i
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS TANI DALAM PENERAPAN SISTEM PERTANIAN ORGANIK (Studi Tiga Desa Binaan BP3K UPTD Dramaga Kabupaten Bogor)
Oleh Maslichah Azzuhro I34070102
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ABSTRACT MASLICHAH AZZUHRO. Empowerment Farmer Community on the Application of Organic Agricultural System. Case on Three Village of BP3K UPTD Darmaga, Bogor District, West Java Province. (Supervised by MURDIANTO)
Climate change and the demanding for sustainable energy are challenging agroecosystems’ productivity and food supply systems. Organic Agriculture is important for guaranteeing generations to come with a healthy, fair, correct environment for harmonious living that respects people and the earth (IFOAM 2008). Methods and cultivation techniques used, but also due to its culture of living in harmony with Mother Earth. It combines tradition, innovation and science to benefit the shared environment and promote fair relationships and a good quality of life for all involved. Cooperation between different parties is important for organic farming sustainability which is in line with empowerment program. The participation of farmers and stakeholders is the affectivity indicator of the empowerment program. Thus, this paper is focus on the farmers’ empowerment in the implementation system of organic farming. The purposes of the research are to understand how the application of empowerment process on the farmers’ community; the attitude of community towards organic farming, includes skills and comprehension of program; farmers’ internal characteristic affected program implementation; and to analyze the correlation of the community participation and the readiness of institution with affectivity of the empowerment program. Respondents of the research are 40 persons chosen by probability sampling using Simpel Random sample. The result showed that few farmers perform the principle of organic farming, while the community has a good attitude and comprehension towards organic farming. Farmers’ internal characteristic in terms of level of land ownership and level of farming experience affected the farmers’ participation in the implementation of empowerment program, whereas age and attitude include characteristic of accessibility to agricultural information did not affect the implementation of empowerment program. As for the community participation and the readiness of institution in the program implementation affect the affectivity implementation of empowerment program.
Keywords: Participation, Empowerment, Organic Agricultural.
iii
RINGKASAN MASLICHAH
AZZUHRO.
Pemberdayaan
Komunitas
Tani
Dalam
Penerapan Sistem Pertanian Organik (Studi Tiga Desa Binaan BP3K UPTD Dramaga Kabupaten Bogor. (Dibawah Bimbingan MURDIANTO) Pembangunan di sektor pertanian masih dititik beratkan pada peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan. Program pembangunan pertanian digalakkan melalui kegiatan penyuluhan pertanian (RKPP, 2008). Namun, upaya pembangunan pertanian melalui peningkatan pemanfaatan potensi alam dewasa ini telah menimbulkan masalah baru bagi kelestarian alam dan struktur komposisi tanah penyebab berkurangnya kesuburan tanah (Sutanto, 2002). Inovasi pertanian organik menjadi salah satu alternatif dalam menjawab kegagalan dari penerapan sistem pertanian konvensional pada umumnya. Pertanian organik memiliki ciri khas dalam hukum dan sertifikasi, larangan penggunaan bahan sintetik, serta pemeliharaan produktivitas tanah, (IFOAM, 2008)
sehingga sangat aman bagi kesehatan sekaligus merupakan teknologi
pertanian yang ramah lingkungan. Selain itu, pertanian organik juga bernilai tinggi secara ekonomi. Meskipun demikian, pertanian organik belum dapat diterapkan sepenuhnya dalam aktivitas pertanian masyarakat. Agar program pertanian ini berkelanjutan, perlu adanya upaya pemberdayaan komunitas tani dalam menerapkan program pertanian organik. Tujuan dilaksanakannya penelitian adalah untuk; 1) mengidentifikasi sikap petani tentang pertanian organik dan konvensional, 2) mengetahui proses penerimaan
masyarakat terhadap pertanian organik tersebut, 3) mengetahui
tingkat kesiapan institusi dalam mensosialisasikan pertanian organik kepada masyarakat, 4) mengetahui bagaimana karakteristik internal individu petani mempengaruhi pertisipasi petani dalam proses pemberdayaan komunitas terhadap pertanian organik, dan 5) menganalisis sejauhmana tingkat partisipasi petani dan tingkat kesiapan institusi dalam pelaksanaan program telah memberdayakan petani. Penelitian ini dilakukan di tiga desa binaan BP3K UPTD Dramaga diantaranya adalah Desa Parakan Kecamatan Ciomas dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga, dan Desa Pasir Eurih Kecamatan Taman Sari, dengan
jumlah responden sebanyak 40 orang. Mayoritas petani dalam lokasi penelitian menerapkan sistem pertanian semi organik, yang baru bebas dari pestisida kimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap petani terhadap praktek bertani organik cenderung sangat positif. Hal ini terlihat dari tingkat pemahaman dan pengetahuan petani tentang pertanian organik dan konvensional tergolong tinggi dan mereka memiliki keinginan menerapkan cara bertani organik. Namun dalam pelaksanaannya,
mereka
cenderung
kembali
menerapkan
cara
bertani
konvensional. Keberhasilan pemberdayaan petani dalam penerapan sistem pertanian organik dipengaruhi oleh tingkat partisipasi dan tingkat kesiapan institusi. Secara keseluruhan, tingkat kesiapan institusi dalam pelaksanaan program tergolong tinggi. Hal ini juga terlihat dari tingginya pemahaman petani tentang manfaat dan praktek bertani organik. Selain itu, institusi memiliki instrument pemberdayaan yang tepat dan perencanaan pelaksanaan program berjalan sesuai jadwal Rencana Kegiatan Penyuluhan Pertanian (RKPP). Faktor yang memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi petani adalah karakteristik internal petani seperti tingkat kepemilikan lahan bertani, tingkat pengalaman dalam kegiatan bertani. Adapun karakteristik umur, dan tingkat keterjangkauan terhadap informasi penyuluhan pertanian tidak memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi. Adanya orientasi yang sama dari semua golongan umur dalam memandang peningkatan pendapatan secara ekonomi, demikian pula dalam memandang produktivitas hasil bertani. Selain itu, pada umumnya mereka memiliki pekerjaan utama diluar kegiatan bertani. Tingkat keterjangkauan informasi penyuluhan pertanian berdasarkan anlisis statistik tidak memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi. Hal ini karena adanya perbedaan tingkat penerimaan inovasi atau program pertanian organik dalam proses pemberdayaan, dimana mereka yang memiliki sikap yang positif terhadap sistem pertanian organik dan konsisten menerapkannya adalah mereka yang tergolong innovator dan early adopter dimana jumlahnya lebih sedikit dibandingkan petani yang tergolong early mayority dan late mayority, mereka itu memiliki tingkat pengalaman yang tinggi dan tingkat kepemilikan atau penguasaan lahan yang tinggi pula, dan mereka lebih terbuka dengan inovasi atau program.
i
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS TANI DALAM PENERAPAN SISTEM PERTANIAN ORGANIK (Studi Tiga Desa Binaan BP3K UPTD Dramaga Kabupaten Bogor)
Oleh Maslichah Azzuhro I34070102
Skripsi Sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa
:
Maslichah Azzuhro
Nomor Pokok
:
I34070102
Departemen
:
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul
:
Pemberdayaa Komunitas Tani dalam Penerapan Sistem Pertanian Organik (Studi Tiga Desa Binaan BP3K UPTD Dramaga Kabupaten Bogor)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui. Dosen Pembimbing
Ir. Murdianto, M.Si NIP. 19630729 199203 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Pengesahan:
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL PEMBERDAYAAN KOMUNITAS TANI DALAM PENERAPAN SISTEM PERTANIAN ORGANIK (STUDI TIGA DESA BINAAN BP3K UPTD DRAMAGA KABUPATEN BOGOR), ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN
TINGGI
MANAPUN,
SEMUA
DATA
DAN
INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.
Bogor, Januari 2012
Maslichah Azzuhro I34070102
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemberdayaan Komunitas Tani Dalam Penerapan Sistem Pertanian Organik Studi di Tiga Desa Binaan BP3K UPTD Kabupaten Bogor”. Penyusunan dan penyelesaian Skripsi ini tidak terlepas dari peran berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada : 1. Ir. Murdianto, MSi selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dan dengan sabar membimbing penulis, juga senantiasa memberikan
masukan-masukan yang begitu berarti selama penyusunan
skripsi ini. 2. Ir. Nuraeni W. Prasodjo, MS selaku dosen penguji utama skripsi yang telah memberi masukan, dan sarannya yang membantu penulis menyempurnakan penulisan skripsi ini sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya. 3. Rina Mardiana, Msi selaku dosen penguji wakil departemen yang juga telah memberi evaluasi dan masukan kepada penulis dalam menyempurnakan penulisan skripsi ini. 4. M. Jaya Raynaldo Aqua sebagai pendamping hidup yang selama ini telah memberi semangat dan mendukung penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 5. Fairuz Hasnamujahidah Putri A. sebagai anak yang menjadi semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 6. Ayah (Ahmad Bungkus) dan
Ibu (Hanifah), serta adik-adik (Fatiha,
Nurmalikha, dan Alya) yang selama masa penyusunan skripsi ini telah mendukung dan telah banyak membantu meringankan penulis dalam aktivitas harian dan usaha yang sedang dikembangkan. 7. Bapak Tatang Supriyatna, M.Ad. yang telah banyak memberi masukan dan informasi dalam aktivitas penelitian yang telah dilakukan. 8. Bapak Adi Suwardi (Ketua Kelompok Tani Rawasari), yang telah banyak meluangkan waktu menemani penulis mencari data penelitian dan memberikan informasi yang berguna selama aktivitas penelitian dilakukan.
RIWAYAT HIDUP Maslichah Azzuhro atau biasa dipanggil Masliha atau Aah (Penulis), lahir di Indramayu, 24 Juni 1988. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, pasangan Bapak Ahmad Bungkus dan Ibu Hanifah. Penulis menempuh pendidikan dari mulai Dinniyah di Madrasah Diniyyah Awwaliyyah Haurgeulis pada tahun1995-1997, sambil belajar di Sekolah Dasar Negeri 2 Kertanegara pada tahun 1995-2001, SMP Negeri 1 Haurgeulis tahun 2001-2004 dan SMA Negeri 1 Haurgeulis tahun 2004-2007. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis memilih Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang berada dibawah naungan Fakultas Ekologi Manusia sebagai angkatan ketiga. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti beberapa organisasi. Berawal dari tingkat 1 (satu), menjadi anggota dari Lembaga Dakwah Kampus Alhurriyyah (2007 – 2010) dalam divisi Komunikasi dan Informasi (2007), kemudian dalam Divisi Syiar (2008). Memasuki tingkat kedua perkuliahan, penulis juga aktif di kegiatan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas ekologi Manusia, menjabat sebagai anggota dalam Divisi Kebijakan Publik dan Ekologi (JAKPUBLOGI) (2008) dan anggota dalam Divisi Politik Kajian dan Strategi Advokasi (POLKASTRAD) (2009). Selain itu, penulis juga mengikuti beberapa kepanitiaan acara seperti, panitia Masa Perkenalan Mahasiswa Baru (MPKMB) Institut Petanian Bogor (2008) dalam Divisi Logistik dan Transportasi. Selain itu menjadi panitia dalam Paket Qiyamu Ramadhan (PQR) (2009) sebagai kordinator divisi Dana Usaha dan Sponshorship, Ketua Pelaksana dalam Forum Diskusi Fakultas Ekologi Manusia (2009), Divisi PAK dalam Masa Perkenalan Departemen SKPM (2009) dan dalam Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia (2009). Mamasuki tingkat empat perkuliahan (2010 – sekarang), penulis mencoba memulai suatu usaha, dan berasama rekan-rekan lain penulis membangun suatu usaha jasa dibidang kesehatan dan kecantikan, dan berhasil membangun suatu usaha bernama CV Natural Care Entreprise dangan nama usaha Beauty and Green Heatlh Therapy (BGHT) dan mendapat gelar sebagai Young Entrepreneur dari Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni IPB yang bekerjasama dengan Bank Mandiri (2011), selain itu penulis juga pernah menjadi asisten pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor tahun Ajaran 2009/2010 dan 2011/2012.
KATA PENGANTAR Puji syukur yang tiada terkira penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang berkat karunia, rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Pemberdayaan Komunitas Tani Dalam Penerapan Sistem Pertanian Organik Studi Tiga Desa Binaan BP3K UPTD Kabupaten Bogor”. Meski terkadang penulis menemui masalah dan hambatan dalam menyelesaikan skripsi ini, namun pertolongan yang Allah berikan mampu menuntun penulis untuk menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan memberikan sumbangan yang nyata untuk perbaikan sistem kebijakan dalam perencanaan dan penerapan program Pertanian Organik sebagai langkah menuju pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
Bogor, Januari 2012
Maslichah Azzuhro
x
DAFTAR ISI Hal
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………….........
x
DAFTAR TABEL………………………………………………………………………….....
xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... .........................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... ……………...
xvi
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang……………………………………………………………....
1
1.2
Perumusan Masalah………………………………………………………....
3
1.3
Tujuan Penelitian ..........................................................................................
3
1.4
Kegunaan Penelitian .....................................................................................
4
2 PENDEKATAN TEORITIS 2.1
Tinjauan Pustaka ...........................................................................................
5
2.1.1
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan…………………………………....
5
2.1.2
Pertanian Organik........................................................................................
8
2.1.2.1
Tinjauan Konsep Pertanian Organik………………………………..……...
8
2.1.2.2
Prinsip-prinsip Pertanian Organik………………………….......................
8
2.1.3
Pemberdayaan ...............................................................................................
12
2.1.4
Partisipasi ......................................................................................................
14
2.1.5
Hubungan Pemberdayaan dengan Partisipasi ...............................................
18
2.1.6
Partisipasi dalam Penyuluhan Pertanian……………………………………
19
2.17
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberdayaan dan Partispasi…………
21
2.2
Kerangka Pemikiran......................................................................................
22
2.3
Hipotesis Penelitian ......................................................................................
25
2.4
Definisi Konseptual ......................................................................................
25
2.5
Definisi Operasional .....................................................................................
27
3 PENDEKATAN LAPANGAN 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................
33
3.2
Teknik Pengumpulan Data ............................................................................
33
Populasi dan Sampel………...……………………………………………..
34
Teknik Pengolahan dan Analisis Data ..........................................................
36
3.2.1 3.3
xi
4 GAMBARAN UMUM INSTITUSI DAN LOKASI PENELITIAN 4.1
BP3K Wilayah Dramaga...............................................................................
38
4.2
Visi dan Misi Penyuluhan Pertanian .............................................................
39
4.3
Tujuan Penyuluhan Pertanian .......................................................................
40
4.4
Tiga Desa Binaan BP3K UPTD Dramaga Kabupaten Bogor .......................
40
4.4.1
Kondisi Geografis Desa…………………………………………………....
41
4.4.2
Kondisi Sosial Ekonomi…………………………………………………...
42
5 KARAKTERISTIK RESPONDEN
6
5.1
Umur .............................................................................................................
45
5.2
Tingkat Kepemilikan Lahan Pertanian .........................................................
45
5.3
Tingkat Pengalaman Usaha Tani ..................................................................
46
5.4
Tingkat Keterdedahan Informasi Penyuluhan Pertanian ..............................
47
SIKAP
DAN
PENERIMAAN
PETANI
TERHADAP
PERTANIAN
KONVENSIONAL DAN PERTANIAN ORGANIK 6.1 6.2 7
Pemahaman dan Pengetahuan Petani tetang Pertanian Konvensional dan Pertanian Organik .........................................................................................
49
Proses Penerimaan Sistem Pertanian Organik ..............................................
53
PARTISIPASI KOMUNITAS TANI DAN KESIAPAN INSTITUSI DALAM PELAKSANAAN PROSES PEMBERDAYAAN
8
7.1
Partisipasi sebagai Kunci Pemberdayaan……………………………..……..
54
7.2
Tingkat Partisipasi dalam Pelaksanaan Proses Pemberdayaan …………….
55
7.3
Tingkat Kesiapan Institusi dalam Pelaksanaan Proses Pemberdayaan……..
61
HUBUNGAN PARTISIPASI DENGAN SIKAP DAN KARAKTERISTIK INTERNAL INDIVIDU PETANI 8.1
Hubungan Sikap dengan Tingkat Partisipasi……………………………....
62
8.2
Hubungan Tingkat Partisipasi dengan Karakteristik Internal Petani…..…..
62
8.2.1
Hubungan Partisipasi dengan Umur Petani ..................................................
63
8.2.2
Hubungan Partisipasi dengan Tingkat Kepemilikan Lahan Pertanian..........
64
8.2.3
Hubungan Partisipasi dengan Tingkat Pengalaman Bertani .........................
65
8.2.4
Hubungan
Partisipasi
dengan
Tingkat
Keterdedeahan
Informasi
Penyuluhan Pertanian....................................................................................
66
xii
9
FAKTOR-FAKTOR
YANG
MEMPENGARUHI
KEBERHASILAN
PROGRAM PEMBERDAYAAN 9.1
Faktor-faktor penentu Keberhasilan Program Pemberdayaan ......................
68
9.1.1
Tingkat Keberhasilan Program Pemberdayaan Komunitas………………..
69
9.1.2
Hubungan
Tingkat
Partisipasi
dengan
Keberhasilan
Program
Pemberdayaan…………………………………………………………....... 9.1.3
70
Hubungan Tingkat Kesiapan Institusi dengan Keberhasilan Program Pemberdayaan ……………………………………………………………..
71
Kesimpulan…………………………………………………………………
74
10 PENUTUP 10.1
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL Hal Tabel 1
Perbandingan secara anatomi, ekonomi, sosial, dan kesehatantentang konsep pertanian organik dan konvensional ...............................................
10
Tabel 2
Data Curah Hujan Wilayah UPTD Dramaga Bogor Tahun 1998 – 2007 ...
41
Tabel 3
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin............................................
42
Tabel 4
Jumlah Dan Presentase Responden Menurut Golongan Umur ...................
45
Tabel 5
Jumlah Dan Presentase Responden Menurut Tingkat Kepemilikan Lahan Pertanian ......................................................................................................
Tabel 6
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengalaman Bertani .........................................................................................................
Tabel 7
49
Tingkat Pengetahuan dan Pemahaman Petani tentang Pertanian Konvensional………………………………………………………………
Tabel10
48
Persentase Responden Mengenai penilaian terhadap Sistem Pertanian Konvensional ...............................................................................................
Tabel 9
47
Tingkat Keterjangkauan Responden terhadap Informasi Penyuluhan Pertanian ......................................................................................................
Tabel 8
46
50
Persentase Responden Mengenai Sikap terhadap Sistem Pertanian Organik ........................................................................................................
51
Tabel 11
Tingkat Pengetahuan dan Pemahaman Petani tentang Pertanian organik..
52
Tabel 12
Sikap Petani terhadap Sistem Pertanian Organik………………………….
52
Tabel 13
Tingkat Peneriman Sistem Pertanian Organik…………………………….
53
Tabel 14
Persentase Tingkat Partisipasi Responden dalam Proses Penyadaran tentang Program Pertanian Organik ............................................................
Tabel 15
Tingkat Partisipasi Responden dalam Proses Penerapan Program Pertanian Organik ........................................................................................
Tabel 16
57
Tingkat Partisipasi Responden dalam Evaluasi Pelaksanaan Program Pertanian Organik ........................................................................................
Tabel 16
56
Tingkat Partisipasi Responden dalam Aplikasi Penerapan Program Pertanian Organik ........................................................................................
Tabel 17
56
Tingkat Partisipasi Petani Berupa Dukungan Dalam Pelaksanaan
58
xiv
Program ....................................................................................................... Tabel 19
Hubungan Sikap Responden terhadap Sistem Pertanian Organik dengan Tingkat Partispasi dalam Pelaksanaan Program Pemberdayaan………….
Tabel 20
Hubungan
Umur
dengan
Tingkat
Partisipasi
Responden
69
Hubungan Tingkat Partisipasi dengan Tingkat Keberhasilan Program Pemberdayaan Komunitas dalam Penerapan Pertanian Organik ................
Tabel 26
66
Tingkat Partisipasi Petani dalam Pengulangan Kegiatan Bertani Organik……….. ..........................................................................................
Tabel 25
65
Hubungan Jangkauan Informasi Pertanian dengan Tingkat Partisipasi Responden dalam Pelaksanaan Program .....................................................
Tabel 24
64
Hubungan Tingkat Pengalaman Bertani dengan Tingkat Partisipasi Responden dalam Pelaksanaan Program .....................................................
Tabel 23
63
Hubungan Tingkat Kepemilikan Lahan Pertanian dengan Tingkat Partisipasi Responden dalam Pelaksanaan Program ...................................
Tabel 22
62
dalam
Pelaksanaan Program .................................................................................. Tabel 21
58
71
Hubungan Tingkat Kesiapan Intitusi dengan Tingkat Keberhasilan Program Pemberdayaan Komunitas dalam Penerapan Pertanian Organik .
72
xv
DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 1
Jenjang partisipasi komunitas Arnstein (1969) ...........................................
Gambar 2
Kerangka Berfikir Pemberdayaan Komunitas Tani dalam
15
Penerapan
Sistem Pertanian Organik ............................................................................
24
Gambar 3
Kerangka Percontohan Penelitian ...............................................................
35
Gambar 4
Jumlah Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian ......................................
43
Gambar 5
Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan....................................
43
Gambar 6
Jumlah Penduduk berdasarkan Status Petani ..............................................
44
Gambar 7
Persentase Bentuk Partisipasi Aktif Responden dalam Pelaksanaan Program Penerapan Sistem Pertanian Organik ...........................................
59
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Hal Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian .................................................................................
81
Lampiran 2 Hasil Uji Korelasi Rank Spearman .............................................................
82
Lampiran 3 Rencana Kerja Penyuluh Pertanian dan Evaluasi ........................................
91
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Era industrialisasi ini, pertanian masih merupakan sektor yang berperan
penting bagi perekonomian bangsa Indonesia. Berdasarkan PDB pertanian tahun 2007, pertumbuhan sektor pertanian pasca krisis mencapai 4,62%, dan berdasarkan neraca perdagangan, kinerja pertanian setiap tahunnya selalu meningkat. Tercatat hingga 2007, pertanian mencapai nilai US$ 8,2 milyar1. Melihat potensi yang demikian besarnya, berbagai program pembangunan pertanian digalakkan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Pembangunan di sektor pertanian masih dititik beratkan pada peningkatan produksi dan produktivitas tanaman
pangan. Berbagai program pembangunan
pertanian digalakkan melalui kegiatan penyuluhan pertanian (RKPP, 2008). Namun, upaya pembangunan pertanian melalui peningkatan pemanfaatan potensi alam dewasa ini telah menimbulkan masalah baru bagi kelestarian alam dan struktur komposisi tanah (Sutanto, 2002). Inovasi pertanian organik menjadi salah satu alternatif dalam menjawab kegagalan dari penerapan sistem pertanian konvensional pada umumnya. Upaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia melalui peningkatan pemanfaatan potensi alam dewasa ini telah menimbulkan masalah baru bagi kelestarian alam dan struktur komposisi tanah (Sutanto, 2002). Hal ini didukung dengan peningkatan jumlah penduduk sehingga turut mempengaruhi upaya peningkatan produktivitas pertanian. Sektor pertanian menjadi tumpuan harapan bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi nasional terutama di pedesaan di masa yang akan datang. Perubahan iklim dan kebutuhan akan keberlanjutan energi yang menjadi tantangan dalam produktivitas agrosistem dan persediaan bahan pangan. Oleh sebab itu, pertanian organik menjadi sangat penting untuk menjamin generasi yang akan datang dengan prinsip kesehatan, keadilan, lingkungan baik untuk harmonisasi kehidupan yang menghargai keberadaan manusia dan bumi (IFOAM 2008). 1
Departemen Pertanian, 2008, Kinerja Pembangunan Sektor Pertanian, DEPTAN, Jakarta
2
Dengan demikian, pertanian organik menjadi salah satu alternatif dalam menjawab kegagalan dari penerapan sistem pertanian konvensional pada umumnya. Pertanian organik merupakan salah satu bagian dari pendekatan pertanian berkelanjutan. Pertanian organik memiliki ciri khas dalam hukum dan sertifikasi, larangan penggunaan bahan sintetik, serta pemeliharaan produktivitas tanah, sehingga sangat aman bagi kesehatan sekaligus merupakan teknologi pertanian yang ramah lingkungan (IFOAM, 2008). Selain itu, pertanian organik juga bernilai tinggi secara ekonomi, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mengacu pada hal tersebut diatas, maka Pemerintah Kota Bogor sejak November 2002 memfokuskan program peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis melalui pembangunan budidaya pertanian organik, yang merupakan kebijakan Pemkot Bogor berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pertanian setempat pada 2001-20052. Meskipun demikian, pertanian organik belum dapat diterapkan sepenuhnya dalam aktivitas pertanian masyarakat. Adapun upaya untuk menerapkan sistem pertanian organik agar dapat diterima dan dapat membudaya dalam lingkungan dan aktivitas pertanian masyarakat pada umumnya, sangat memerlukan upaya pemberdayaan dan partisipasi dari seluruh elemen terutama komunitas tani yang merupakan aktor dalam melaksanakan aktivitas pertanian. Namun, upaya untuk mewujudkan pemberdayaan dan partisipasi tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Terdapat banyak faktor yang harus diperhatikan, tidak hanya faktor internal dari masyarakatnya, tetapi juga faktor eksternal masyarakat. Selain itu, kesiapan institusi dalam mempersiapkan program juga mempengaruhi upaya pemberdayaan tersebut seperti upaya penyadaran masyarakat terhadap program meliputi proses inisiasi, dan sosialisasi hingga aplikasi pelaksanaan program. Pemberdayaan komunitas tani mutlak memerlukan perhatian dalam upaya mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Namun, proses pemberdayaan itu sendiri tidak terlepas dari faktor-faktor dari dalam dan luar masyarakat itu sendiri. Selain itu, ancaman ketidakberlanjutan pertanian di pedesaan saat ini sangat tinggi, seperti masalah kepemilikan dan penguasaan lahan 2
http://pupuknpkorganiklengkap.blogspot.com/2009/11/bogor‐kembangkan‐pertanian‐ organik.html
3
serta akses komunitas tani terhadap sumberdaya pertanian, masalah posisi tawar petani yang rendah dan beragam masalah lingkungan akibat sistem pertanian konvensional yang sulit dipulihkan. Untuk mengatasi hal demikian, pemberdayaan komunitas tani dalam aktivitas pertanian organik menjadi upaya yang sangat penting untuk dilaksanakan.
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penelitian ini
mengkaji pemberdayaan komunitas tani dalam penerapan sistem pertanian organik di tiga Desa Binaan BP3K UPTD Dramaga Bogor seperti di Desa Purwasari Kecamatan Dramaga, Desa Pasir Eurih Kecamatan Tamansari, dan Desa Parakan Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor dan secara spesifik penelitian ini akan memusatkan perhatian permasalahan yang disebutkan dibawah ini: 1. Bagaimana sikap petani tentang pertanian konvensional dan kaitannya dengan pertanian organik? 2. Bagaimana proses penerimaan petani terhadap pertanian organik? 3. Bagaimana tingkat kesiapan institusi dalam pelaksanaan proses pemberdayaan petani terhadap program pertanian organik? 4. Bagaimana karakteristik internal individu mempengaruhi partisipasi petani terhadap proses pemberdayaan komunitas? 5. Sejauhmana partisipasi petani dan kesiapan institusi telah memberdayakan petani? 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan
dilaksanakannya penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi bagaimana sikap masyarakat tentang pertanian organik dan konvensional, 2. Mengetahui bagaimana proses penerimaan masyarakat terhadap pertanian organik tersebut, 3. Mengetahui bagaimana tingkat kesiapan institusi dalam mensosialisasikan pertanian organik kepada masyarakat.
4
4. Mengetahui bagaimana karakteristik internal individu petani mempengaruhi pertisipasi petani dalam proses pemberdayaan komunitas terhadap pertanian organik. 5. Menganalisis sejauhmana tingkat partisipasi petani dan tingkat kesiapan institusi dalam proses penyadaran dan penerapan pertanian organik telah memberdayakan petani. 1.4
Kegunaan Penelitian Mengacu kepada tujuan penelitian, maka kegunaan dilaksanakannya
penelitian ini terbagi menjadi kegunaan penelitian bagi pemerintah, masyarakat awam dan akademisi. Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kegunaan Penelitian bagi Pemerintah Penelitian ini dapat digunakan sebagai media evaluasi dan masukan bagi pemerintah dalam menerapkan kebijakan pembangunan pertanian organik yang berkelanjutan. 2. Kegunaan Penelitian bagi Masyarakat Bagi masyarakat, penelitian ini dapat menambah wawasan masyarakat mengenai pentingnya pertanian organik dan hasil positif dari penerapan pertanian tersebut, sehingga dapat berperan aktif dalam mencoba dan mendukung pelaksanaan sistem pertanian tersebut. Adapun, bagi komunitas tani pada khususnya, penelitian ini diharapkan dapat memperlihatkan bagaimana pentingnya penerapan sistem pertanian organik dalam aktivitas pertaniannya. 3.
Kegunaan Penelitian bagi Akademisi Bagi akademisi, khususnya yang mendalami bidang ini, diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran, serta dapat dijadikan landasan bagi penelitian maupun kegiatan akademis lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Pembangunan dalam Rahardjo (1999) mempunyai makna perubahan yang disengaja atau direncanakan, dimana bertujuan untuk mengubah keadaan yang tidak dikehendaki kearah yang dikehendaki. Pembangunan berkelanjutan menurut Agus Pakpahan (2006) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan daya dukung sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan generasi berikutnya. Dikatakan demikian, agar istilah pembangunan tidak bias dengan pengertian pertumbuhan. Pembangunan berkelanjutan melibatkan berbagai sifat sumberdaya, seperti eksternalitas, indivisibility, public goods, property right, dan masalah-masalah kelangkaan spasial. Dengan demikian, aspek keadilan (keseimbangan) dalam segala kegiatan ekonomi pertanian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Gips (nd) yang dikutip oleh Jarnanto (2010), suatu sistem pertanian itu bisa disebut berkelanjutan jika memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1. Mampertahankan fungsi ekologis, artinya tidak merusak ekologi pertanian itu sendiri 2. Berlanjut secara ekonomis artinya mampu memberikan nilai yang layak bagi pelaksana pertanian itu dan tidak ada pihak yang dieksploitasi. Masing-masing pihak mendapatkan hak sesuai dengan partisipasinya 3. Adil berarti setiap pelaku pelaksanan pertanian mendapatkan hak-haknya tanpa dibatasi dan dibelunggu dan tidak melanggar hal yang lain 4. Manusiawi artinya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dimana harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi termasuk budaya yang telah ada 5. Luwes yang berarti mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) sendiri dipandang sebagai suatu bentuk pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources), yang mana dalam proses produksi pertanian menekankan dampak negatif terhadap
6
lingkungan
seminimal
mungkin.
Keberlanjutan
yang
dimaksud
meliputi:
penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan. Hal tersebut telah memunculkan suatu pemikiran bahwa pembangunan pertanian lebih banyak bertumpu pada kemampuan sumber daya alam lokal, selanjutnya secara terus menerus mengembangkannya untuk menghadapi kebutuhan pangan yang terus meningkat dalam ketersediaan sumberdaya pertanian yang terbatas (Jarnanto, 2010). Kegiatan pertanian berada diwilayah perdesaan. Desa selalu diidentikkan dengan pertanian. Mosher (1974), dan Bertrand (1958), yang dikutip oleh Rahardjo (1999) juga mengungkap bahawa pembangunan pertanian juga merupakan pembangunan perdesaaan, Dengan demikian, perlu memperhatikan aspek pembangunan ekonomi desa melalui basis pertanian. Desa harus dipandang sebagai wadah dan basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi prasarana dan sarana penunjang pertanian serta mengarahkannya lebih terpadu. Dengan demikian, sektor pertanian harus menjadi fondasi utama pembangunan ekonomi nasional dan masyarakat petani berperan sebagai subjek bukan objek pembangunan pertanian. Indriana (2010) menyebutkan bahwa pembangunan pertanian berkelanjutan membutuhkan dukungan dari kelembagaan pertanian yang sesuai diantara rumah tangga individu, perusahaan swasta, dan organisasi publik seperti organisasi pemerintahan. Dukungan dari kelembagaan dititikberatkan pada mekanisme dan pengaturan (rule of the game) baik dari dimensi yang bersifat regulatif (peraturan perundang-undangan) dan yang bersifat normatif (kesepakatan-kesepakatan), maupun pengetahuan budaya lokal masyarakat. Dengan demikian, upaya perwujudan pembangunan pertanian yang berkelanjutan memerlukan adanya keberlanjutan kelembagaan. Kondisi keberlanjutan kelembagaan tersebut dapat dicapai dengan adanya pengorganisasian sosial dan teknik sosial yang kemudian hal tersebut tidak terlepas dari peran faktor internal dan eksternal dari suatu sistem sosial pertanian tersebut. Menurut Anwar (1992) upaya untuk mewujudkan pembangunan pertanian berkelajutan di Indonesia selain dapat dimulai dari inisiatif pemerintah dan tekanan
7
kelembagaan yang dilakukan oleh masyarakat luas itu sendiri, juga perlu adanya pengembangan sumberdaya manusia seutuhnya. Hal tersebut, dapat mewujudkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat, sehingga dapat terwujudnya suatu kemandirian bangsa secara keseluruhan. Prioritas pembangunan pertanian itu sendiri diantaranya adalah: 1) meningkatkan produktivitas pertanian dengan melalui pengembangan industri hulu dan hilir. 2) membangun agroindustri dengan mempererat keterkaitan sektor pertanian dengan industri jasa, serta mempercepat pembangunan perdesaan, 3) memperkokoh ketahanan pangan dalam negeri yang dapat mengentaskan kemiskinan (JAJAKI, 2005). Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan menghadapi banyak tantangan. Tantangan yang dimaksud adalah menemukan cara yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan dengan menggunakan sumberdaya alam
secara lebih bijaksana.
Dengan demikian, pembangunan pertanian dilakukan melalui pengelolaan sumberdaya desa dalam satu pola yang menjamin kelestarian ekologi, dan memperbaiki kualitas sumberdaya alam sehingga dapat terus diberdayakan, serta menerapkan model pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya yang lebih efisien (JAJAKI, 2005). Hal ini menjadi dasar pemahaman bahwa program pembangunan pertanian yang berkelanjutan adalah suatu sistem pertanian yang memaksimalkan potensi lokal dan pengetahuan lokal yang ada dalam wilayah setempat tanpa mengkesampingkan teknologi yang ramah lingkungan. Pembangunan pertanian dapat
berlanjut
jika
dapat
dipraktekkan3
oleh
masyarakat
dan
mampu
mensejahterakan masyarakat, tidak hanya memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat tetapi juga kebutuhan sosial, lingkungan dan integritas masyarakat petani sendiri. Dengan demikian, untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang 3
Pokok dalam pembangunan pertanian adalah cara bertani yang dapat dipraktekkan dengan efektif oleh petani walaupun petani tersebut mempunyai kemampuan yang sedang-sedang saja, cara penggunaan tanah yang dan usaha produktivitas yang sedang secara lebih produktif,sejalan dengan cara-cara yang praktis yang dapat meningkatkan kesuburan tanah, dan juga menyediakan sumbersumber pendidikan, perlengkapan usaha tani, kredit dan saluran pemasaran, sehingga petani tidak merasakan kesukaran dalam melakukan program pembangunan pertanian tersebut. (AT. Mosher,1977).
8
berkelanjutan, diperlukan suatu sistem yang mampu memandirikan petani terutama dalam aspek kelembagaan pertanian. Selain itu, pembangunan pertanian ini dapat menjaga kelestarian sumberdaya alam, kesinambungan kegiatan pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani. 2.1.2 Pertanian Organik 2.1.2.1 Tinjauan Konsep Pertanian Organik Pertanian organik dipandang sebagai jawaban dari kegagalan dari sistem pertanian
konvensional,
dimana
sistem
pertanian
konvensional
hanya
mengutamakan kegiatan peningkatan produksi pertanian dengan menggunakan teknologi yang tidak ramah lingkungan sehingga dalam pelaksanaannya mengabaikan prinsip ekologi dan kearifan lokal. Berbeda halnya dengan Pertanian organik yang dipandang sebagai suatu sistem pertanaman yang berasaskan daur ulang unsur hara secara hayati (Sutanto, 2002). Sistem pertanian organik merupakan suatu sistem yang berusaha mengembalikan semua jenis bahan organik kedalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun limbah ternak yang bertujuan memberi makan pada tanaman secara tradisional dan pengetahuan lokal. Filosofi pertanian organik adalah memberi makan pada tanah, yang kemudian secara tidak langsung tanah menyediakan unsur hara yang cukup dan dibutuhkan oleh tanaman, sehingga sistem pertanian organik merupakan suatu strategi “membangun kesuburan tanah Sutanto,2002). Begitupun dengan yang diungkap oleh Rienjtes (1992) yang dikutip oleh Indriana (2010) bahwa sistem pertanian organik meliputi cara produksi, dilandasi oleh aturan nilai, hubungan-hubungan sosial yang terbentuk sebagai upaya pengelolaan sumber daya lahan pertanian yang menjamin keberlanjutan lingkungan. Salikin (2003) yamg dikutip oleh Indriana (2010) mengemukakan tujuh keunggulan dan keutamaan sistem pertanian organik, sebagai berikut: Orisinal, rasional, global, aman, netral, internal, kontinuitas. 2.1.2.2 Prinsip-prinsip Pertanian Organik Dasar pertanian organik yang menjadi prinsip dalam penerapan sistem pertanian organik menurut IFOAM (2008) adalah: (1) The principle of health, (2) The principle of ecology, (3) The principle of fairness, dan (4) The principle of
9
care. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pelaksanaan sistem pertanian organik menghindari penggunaan pupuk, pestisida, dan obat-obatan serta zat-zat berbahaya yang berdampak negatif bagi kesehatan. Dengan demikian, manfaat yang dapat diambil dari sistem pertanian organik menurut Landong (2004) yang dikutip oleh Indriana (2010) sebagai berikut: Pertama, adanya manfaat secara ekologis, dimana pertanian organik menjamin kegemburan dan kesuburan tanah dan terhindar dari polusi, sehingga sangat ramah lingkungan dan dapat menjamin keseimbangan ekosistem. Kedua, memiliki manfaat secara ekonomis, dimana unsur hara yang dibutuhkan tanaman tidak memerlukan biaya yang mahal. Dalam sistem pertanian organik, petani dapat membuat benih sendiri dan mengolah lahan pertanian secara alami sesuai dengan pengetahuan lokal mereka. Ketiga, manfaat sosial budaya, dalam hal ini, pertanian organik menjadi faktor pengintegrasi antara pengetahuan lokal petani dengan karakteristik tanahnya juga dalam menumbuhkan rasa saling percaya dan saling membutuhkan diantara para petani dalam menerapkan sistem pertanian organik tersebut. Keempat, memiliki manfaat politis. Hal ini karena pertanian organik dikembangkan berdasarkan inisiatif dan kreativitas rakyat sendiri. Dengan kata lain, pertanian organik merupakan sistem pertanian yang
dapat
menciptakan masyarakat yang mandiri, otonom, dan maju. Kelima, memiliki manfaat yang berspektif gender, dimana dalam pelaksanaan pertanian organik menggunakan peran perempuan sebagai pembuat benih utama. Sistem pertanian organik merupakan sebuah teknis usahatani alternatif, melalui pemanfaatan sumberdaya lokal secara intensif dengan sedikit atau tidak menggunakan input luar (low external input and sustainable agricultural) atau yang dikenal dengan LEISA. Sistem pertanian organik itu sendiri adalah sistem pertanian yang mendukung kegiatan peningkatan fungsi dan pelestarian ekologis dan dapat memperkaya keanekaragaman hayati, selain itu merupakan suatu sistem pertanian modern yang ramah lingkungan, dimana memadukan konsep pertanian lokal, yang menggunakan teknologi dan inovasi pertanian. Secara umum terdapat perbedaan yang mencolok antara sistem pertanian organik dan sistem pertanian konvensional, baik secara ekonomi, sosial maupun kesehatan.
10
Tabel 1. Perbandingan secara ekonomi, sosial, dan kesehatan tentang konsep pertanian organik dan konvensional Faktor
Sistem Pertanian Organik
Pembeda Perlakuan Pra produksi sampai Pasca produksi Bibit
konvensional Dilakukan secara tradisional dan alami atau semi alami tanpa menggunakan alat-alat mekanisasi yang dapat merusak kesuburan tanah Berasal dari varietas bibit-bibit lokal Sederhana, dan berkelanjutan
Pengairan Bentuk fisik tanaman
Kokoh, tidak mengandung banyak air
Rasa Umur tanaman Pendekatan pola produksi
Enak (aromatik) Panjang Menggunakan pendekatan alternatif dan keseimbangan ekologis Agak lambat, karena tumbuh secara alami Disukai konsumen
Pertumbuhan Pilihan konsumen Jumlah
Seimbang, (sedikit dalam masa produksi yang panjang)
Sumber input Resistensi hama penyakit Pola tanam
Lokalism, dan orisinal Tahan hama dan penyakit
Pemupukan
Hasil/kualitas produksi
Sistem Pertanian
Ditanam secara tumpangsari, pergiliran tanaman, dsb (mix cropping) Menggunakan bahan-bahan kimia organis (asli dan mudah terurai secara alami)
Beraneka ragam, berkualitas tinggi, bebas residu kimia
Menggunakan alat-alat semi sampai full mekanis dalam setiap tahap pekerjaan Berasal dari bibit unggul, hibrida, dan transgenik (transformasi gen) Mekanis, sehingga mempercepat pengurasan air yang tersedia dalam tanah Lemah, mengandung banyak air, sehingga mudah diserang Hama dan Penyakit Tawar, kurang enak Pendek Menggunakan pestisida kimia sintetis (beracun) Cepat, tumbuh Kurang disukai, kurang enak
karena
Tidak menentu (banyak dalam masa produksi yang singkat) Input dari luar Mudah diserang hama dan penyakit Monokultur (satu jenis tanaman pada satu hampar lahan) Kimia non-organis (sintetis, sehingga sulit terurai dan menimbulkan timbunan senyawa baru yang merusak keseimbangan biokhemis tanah) Sejenis, kurang berkualitas, mengandung residu kimia
11
Harga
beracun, mengandung gizi yang seimbang, tahan disimpan lama, dsb Standar harga pasar
Resiko kegagalan usaha tani Biaya produksi Kemudahan dilakukan Resiko sosial
Sedikit, karena ada Tumpang sari, rotasi, dan sudah terbiasa dilakukan petani Biaya produksi lebih rendah Lebih membutuhkan ekstra perhatian Terbebas dari ketergantungan
Lapangan Kerja
Menciptakan kesempatan kerja dan membuka lapangan kerja baru bagi perempuan Kreatif dan menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dan kekuatan alam Tidak ada, karena bersifat alami dan mengandung nutrisi lebih banyak yang dibutuhkan tubuh
Resiko budaya Resiko kesehatan
Sumber : Disarikan dari berbagai sumber4
berbahaya, kandungan gizi tidak berimbang, dan tidak tahan untuk disimpan lama Relatif, tergantung pedagang dan distribusi yang bertingkat-tingkat Lebih besar pada tahap awal dengan peningkatan input serta wabah hama/penyakit Biaya produksi lebih tinggi Lebih sederhana Menciptakan ketergantungan pada petani dan lahan, dan adanya monopolis kapitalis, degradasi nilai-nilai sosial Mekanisme menyebabkan marginalisasi tenaga kerja perempuan dan laki-laki Efisien, menimbulkan degradasi budaya Adanya keracunan secara akut atau kronis untuk waktu jangka panjang, karena mengandung bahan karsinogenik
Selain itu, bertani secara organik juga menghemat biaya karen dapat menghemat pemakaian gas, karena dengan sistem pertanian organik, pengolahan dan sistem penanaman menggunakan bahan-bahan organik, atau tidak bergantung dengan pupuk kimia dibanding pemakaian pupuk kimia yang pembuatannya membutuhkan suplay gas cukup besar (Musirawa, 2010)5.
4
5
Kelembagaan Pertanian (Indriana, 2010) dan www.mailarchive.com/rantau...com/.../Istilah_pertanian_organik.rtf Diakses tanggal 26 April 2011 pukul 19.33 WIB. http://palembang.tribunnews.com/view/29655/pertanian_organik_menghemat_gas\ Diakses tanggal 26 April 2011 pukul 19.33 WIB
12
2.1.3
Pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat sebagai upaya untuk mengaktualisasikan
potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat (Setiana, 2005). Selain itu, Setiana (2005) juga menyebutkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya selalu dihubungkan dengan karakteristik sasaran sebagai suatu komunitas yang mempunyai ciri, latar belakang, dan budaya tertentu. Pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan (Suharto, 2005). Sebagai proses, pemberdayaan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Ife (2008) mengatakan bahwa partisipasi merupakan unsur pokok pemberdayaan. Pengertian pemberdayaan sendiri menurut Suharma (2005) adalah mengembangkan peranan dan fungsi suatu komunitas dalam suatu usaha ekonomi produktif, sehingga dapat memberikan kegiatan yang bermanfaat sebagai proses pembelajaran dalam kegiatan keberlanjutan usaha komunitas. Widianto (2008) menyebutkan bahwa proses pemberdayaan komunitas dapat disebabkan oleh adanya multy player effect yang bekerja didalam komunitas. Multy Player effect itu sendiri dapat berupa modal sosial yang membantu masyarakat memperoleh informasi. Selain itu, Widianto (2008) menyatakan bahwa, program-program berupa kemitraan dapat memberdayakan dan memandirikan petani, karena dapat menjadi sarana dalam pengembangan komunitas petani. Elizabeth (2007) menyebutkan bahwa pemberdayaan (empowerment) merupakan strategi/upaya untuk memperluas akses masyarakat terhadap suatu sumberdaya ataupun program melalui penciptaan peluang seluas-luasnya agar masyarakat lapisan bawah mampu berpartisipasi.
13
Azis (2005) menyebutkan tahapan-tahapan dalam proses pemberdayaan, diantaranya: 1. Membantu masyarakat dalam menentukan masalahnya 2. Melakukan analisa atau kajian terhadap permasalahan tersebut secara mandiri (partisipatif) 3. Menentukan skala prioritas masalah 4. Mencari cara penyelesaian masalah yang sedang dihadapi, antara lain dengan pendekatan sosio kultural yang terdapat dalam masyarakat 5. Melaksanakan tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi 6. Mengevaluasi seluruh rangkaian dan proses pemberdayaan tersebut untuk menilai sejauhmana keberhasilan dan kegagalannya. Pada hakikatnya, makna pemberdayaan mencakup tiga aspek, yaitu: 1) menciptakan iklim kondusif yang mampu mengembangkan potensi masyarakat setempat, 2) memperkuat potensi/modal sosial masyarakat demi meningkatkan mutu kehidupannya, 3) melindungi dan mencegah semakin melemahnya tingkat kehidupan masyarakat (Azis 2005). Berdasarkan definisi pemberdayaan tersebut diatas dapat dikatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya peningkatan kemampuan masyarakat agar tanggap dan kritis terhadap berbagai perubahan, serta mampu mengakses proses pembangunan untuk mendorong kemandirian yang berkelanjutan. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat mampu berperan aktif dalam menentukan nasibnya sendiri. Adapun upaya untuk memberdayakan komunitas terutama petani menurut Widianto (2008) adalah melalui kegiatan peningkatan usaha pertanian dengan basis pada program-program kemitraan yang dapat memandirikan petani. Upaya memberdayakan masyarakat ini membutuhkan tanggung jawab dan partisipasi dari berbagai pihak. Dalam hal ini, peran stakeholder terkait mejadi sangat penting dalam mensinergikan antara kebutuhan masyarakat
dengan
program-program
pemberdayaan.
Dengan
demikian,
pemberdayaan masyarakat ini menjadikan masyarakat sebagai pemeran utama dalam pelaksanaan program pembangunan. Strategi pemberdayaan menurut Suharto (2005) dapat dilakukan melalui tiga aras pemberdayaan yaitu; 1) aras mikro atau disebut pendekatan berpusat pada tugas, dimana pemberdayaan dilakukan secara individu melalui kegiatan
14
bimbingan, konseling, stress, management, crisis intervention. 2) Aras mezzo atau disebut strategi meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan, dimana pemberdayaan dilakukan menggunakan kelompok sebagai media intervensi, melalui kegiaan pendidikan, pelatihan, dan dinamika kelompok. 3) Aras makro atau disebut strategi sistem besar, sasaran perubahan diarahkan pada lingkungan yang lebih luas. 2.1.4 Partisipasi Partisipasi menurut Apriyanto (2008) merupakan keterlibatan seseorang secara aktif dalam mengikuti kegiatan. Adapun yang menjadi indikator partisipasi masyarakat terhadap suatu kegiatan menurut Apriyanto (2008) meliputi sikap dan peranannya dalam tahapan partisipasi yaitu berupa pengambilan keputusan, pelaksanaan kegiatan, penikmat hasil, dan evaluasi kegiatan. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari internal warganya ataupun dari pelaksanaan program itu sendiri. Adapun menurut Makmur (2008), partisipasi merupakan suatu proses pemberdayaan secara individu sebagai anggota kelompok tertentu, dalam mengidentifikasi dan membentuk modal masyarakat. Elizabeth (2007) juga mengungkap konsep partisipasi sebagai : 1) tindakan pemekaan terhadap pihak petani miskin untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menanggapi program pembangunan pertanian di pedesaan, 2) kontribusi sukarela dan keterlibatan aktif petani miskin dalam program pembangunan pertanian tanpa ikut pengambilan kepentingan, 3) merupakan suatu proses yang aktif, dimana petani miskin atau orang terkait dapat mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk menggunakan hal tersebut, 4) pemantapan komunikasi (dialog) antara pihak terkait dalam proses pembangunan agar memperoleh informasi semaksimal mungkin mengenai konteks lokal dan dampak sosial, 5) kerjasama yang erat antar pihak yang terkait, baik pemerintah atau masyarakat
dalam
merencanakan,
melestarikan,
dan
memanfaatkan
hasil
pembangunan yang dicapai. Arnstein (1969) yang dikutip oleh Indriana (2010) manyatakan partisipasi sebagai suatu proses bertingkat dari pendistribusian kekuasaan pada komunitas, sehingga mereka memperoleh kontrol lebih besar pada hidup mereka sendiri.
15
Arnstein (1969) yang dikutip oleh Ife (2008), juga menyebutkan 8 tipologi yang menunjukkan tipe partisipasi dan non partisipasi komunitas (Gambar 1). Demokrasi Partisipatif Deliberatif Demokrasi Representatif
Eksploitatif
8 Citizen control
Citizen Power
7 Delegated Power 6
Partnership
5 4 3 2 1
Placation Consultation Information Therapy Manipulatif
Tokenisme Non partisipation
Gambar 1 Jenjang partisipasi komunitas Arnstein (1969) Dari tipologi tersebut, menjelaskan bahwa yang dapat dikatakan sebagai ‘partisipasi’ berkisar pada manipulasi oleh pemegang kekuasaan hingga komunitas sendiri yang memilki kontrol terhadap keputusan-keputusan bagi kehidupan mereka. Hal tersebut bervariasi menurut tingkat kontrol. Jenjang partisipasi Arnstein tersebut identik dengan kekuasaan masyarakat, yang terdiri dari: 1. Jenjang non partisipasi Pasif/manipulatif adalah suatu bentuk partisipasi yang tidak memerlukan respon partisipan untuk terlibat banyak. Suatu Institusi pengelola program akan menggunakan perwakilan dari anggota komunitas untuk mengumpulkan tanda tangan warga sebagai bentuk dukungan dan kesediaan warga terhadap suatu program yang direncanakan institusi pengelola program. Pada tingkat partisipasi ini, masyarakat tidak memiliki peran dalam setiap tahapan penerapan program. Terapi adalah suatu bentuk partisipasi yang melibatkan anggota komunitas namun hanya sebatas dialog antara institusi dengan anggota komunitas lokal yang mana anggota komunitas lokal diminta member suatu jawaban dan tanggapan atas suatu isu untuk membentuk suatu program. Namun, jawaban tersebut tidak mempengaruhi kebijakan dan keputusan dalam pembuatan program.
16
2. Jenjang tokenisme Informasi adalah suatu bentuk kegiatan yang dilakukan suatu institusi pengelola program untuk memberi sosialisasi kepada anggota komunitas lokal tentang suatu program. Meskipun terjadi komunikasi antara anggota komunitas dengan institusi namun sifatnya masih searah. Konsultasi merupakan suatu jenjang partisipasi dimana anggota komunitas diberikan pendampingan dalam pelaksanaan suatu program oleh institusi. Dalam tahap ini komunikasi dua arah telah terjadi yang mana anggota komunitas yang terlibat untuk menyampaikan pendapatnya, namun dalam pelaksanaannya telah terjadi penjaringan aspirasi, karena suatu bentuk usulan yang disetujui telah disusun sebelumnya, atau masyarakat diarahkan untuk menyetujui suat isu tersebut. Penenangan, merupakan jenjang partisipasi yang mana komunikasi telah berjalan baik dan sudah terdapat dialog antara masyarakat dengan istitusi pengelola program.
Namun, kewenangan dan keputusan untuk penerimaan
usulan tersebut masih menjadi milik institusi, mereka yang menilai kelayakan usulan dari anggota komunitas apakah telah layak untuk dilaksanakan atau tidak. Dalam pelaksanaan program, partisipasi anggota komunitas hanya bersifat materi, artinya ada pemberian insentif bagi anggota yang melaksanakan program. 3. Jenjang Kekuatan Warga Negara Kerjasama, merupakan suatu jenjang partisipasi yang fungsional. Semua pihak dalam pelaksanaan program bersama-sama membuat dan merancang suatu program. Satu sama lain saling duduk berdampingan. Pendelegasian wewenang, merupakan suatubentuk partisiasi aktif yang mana anggota komunitas lokal telah benar-benar terlibat dalam setiap tahapan keputusan. Mereka diberikan kekuasaan untuk melaksanakan suatu program. Pengawasan oleh komunitas, merupakan suatu bentuk partisipasi yang mana anggota komunitas telah memiliki kewenangan untuk mengawasi dan mengontrol
kebijakan
pelaksanaanya,
anggota
dari
institusi
komunitas
tentang yang
suatu
mengelola
program. kegiatan
Dalam untuk
17
kepentingannya sendiri tanpa campur tangan dari institusi Arnstein (1969) dalam Wicaksono (2010). Ife (2008) juga menyebutkan bahwa partisipasi dapat diwujudkan dengan cara mewujudkan HAM. Kondisi-kondisi yang dapat mendorong terbentuknya partisipasi menurut Ife (2008) adalah sebagai beirkut: 1. Masyarakat dapat berpartisipasi apabila mereka merasa bahwa isu atau aktivitas tersebut penting 2. Masyarakat juga harus merasa bahwa aksi mereka akan membuat perubahan 3. Berbagai bentuk partisipasi masyarakat harus diakui dan dihargai 4. Masyarakat harus dapat berpartisipasi, dan didukung dalam partisipasinya 5. Struktur dan proses tidak boleh mengucilkan Berdasarkan kondisi yang tersebut, dapat dikatakan bahwa partisipasi harus berbasis masyarakat, dimana institusi atau organisasi juga turut mendukung pelaksanaan partisipasi tersebut. Partisipasi masyarakat menurut Ife (2008) dapat diukur menggunakan jenisjenis indikator. Cara pengukuran partisipasi dibedakan berdasarkan jenis indikator, yaitu indikator jenis kuantitatif dan kualitatif. Indikator secara kuantitatif diantaranya adalah adanya perubahan-perubahan positif dalam layanan-layanan lokal, terdapat jumlah pertemuan dan jumlah peserta, terdapat proporsi berbagai bagian dari kehadiran masyarakat, adanya sejumlah orang yang dipengaruhi oleh isu yang diangkat, adanya sejumlah pemimpin lokal yang memegang peranan, adanya sejumlah warga lokal yang memegang peranan dalam proyek, adanya sejumlah warga lokal dalam berbagai aspek proyek dan pada waktu yang berbedabeda. Indikator secara kualitatif menurut Ife (2008) diantaranya adalah adanya suatu kapasitas yang tumbuh untuk mengorganisasi aksi, terdapat terdapat dukungan yang tumbuh dalam masyarakat tentang hal seperti keuangan dan manajemen proyek, adanya keinginan masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan proyek, serta adanya peningkatan kemampuan dari mereka yang berpartisipasi dalam mengubah keputusan menjadi aksi, meningkatnya jangkauan partisipan melebihi proyek untuk mewakilinya dalam organisasi-organisasi lain, munculnya pemimpin-pemimpin dari masyarakat, serta meningkatnya jaringan dengan proyek-
18
proyek, masyarakat dan organisasi lainnya, dan hal tersebut mulai mempengaruhi kebijakan. Partisipasi dapat dikatakan sebagai suatu langkah memberdayakan masyarakat, dimana dalam pelaksanaan programnya menjadikan masyarakat sebagai aktor utama. Pelaksanaan partisipasi ini perlu menyentuh ranah kebutuhan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar pentingnya program pembangunan tersebut tidak hanya dapat menyentuh aspek kognitif masyarakat saja tetapi juga aspek rasa, kemampuan, dan kesempatan masyarakat, sehingga program pembangunan tersebut dapat menggugah masyarakat untuk bersikap mendukung, mau dan mampu melaksanakan serangkaian program pembangunan tersebut. Disamping itu, untuk menjadikan
masyarakat
pembangunan,
sangat
mau perlu
dan
mampu
kiranya
berpartisipasi
mengidentifikasi
dalam
program
faktor-faktor
yang
melatarbelakanginya diantaranya adalah faktor eksternal dan internal dari masyarakatnya baik dari karakteristik masyarakatnya juga karakteristik institusi yang menginisiasi program.
2.1.5 Hubungan Pemberdayaan dan Partisipasi Pemberdayaan dan partisipasi petani merupakan aspek penting dalam program pembangunan pertanian. Kedua konsep ini saling mendukung, dimana pemberdayaan petani merupakan target yang hendak dicapai dalam program pembangunan pertanian, sedangkan partisipasi sebagai alat untuk pencapaian tujuan pembangunan tersebut. Salah satu prinsip pemberdayaan menurut perspektif pekerjaan sosial Suharto (2005) adalah masyarakat harus berpartisipasi dalam kegiatan sosial atau program pemberdayaan. Suharto (2005) juga menyebutkan bahwa masyarakat harus dapat berpartisipasi dalam pemberdayaan mereka sendiri: tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka sendiri. Dengan demikian, dalam penelitian ini, aspek ukuran keberhasilan pemberdayaan petani dalam penerapan sistem pertanian organik ini adalah dilihat dari partisipasi komunitasnya dalam pelaksanaan dan penerapan program pertanian organik. Namun demikian, perwujudan partisipasi masyarakat membutuhkan kesadaran dan pemahaman dari berbagai pihak dalam merencanakan dan melaksanakan suatu program yang harus lahir dan tumbuh dari masyarakat. Tingkat
19
kesadaran menjadi sebuah kunci dalam keberhasilan pemberdayaan, karena pengetahuan
dapat
meningkatkan
mobilisasi
tindakan
bagi
perubahan
(Suharto,2005).
2.1.6
Partisipasi dalam Penyuluhan Pertanian Partisipasi dalam menerapkan sutau program pemberdayaan petani pada
kerangka penyuluhan pertanian sering diistilahkan sebagai bentuk adopsi, dimana suatu komunitas atau seseorang dapat menerima suatu ide-ide baru sampai memutuskan menerima atau menolak ide-ide tersebut (Setiana, 2005). Tahapan proses seseorang dapat berpartisipasi dalam suatu program pemberdayaan tidak jauh berbeda dengan tahapan dalam proses adopsi inovasi. Wiriaatmaja (1971) yang dikutip oleh Setiana (2005) menyebutkan tahapan proses adopsi adalah sebagai berikut: 1) tahap sadar, dimana seseorang sudah mengetahui sesuatu yag baru karena hasil dari berkomunikasi dengan pihak lain, 2) tahap minat, tahap dimana seseorang mulai memiliki keinginan mengetahui lebih banyak tentang isu tersebut, 3) tahap menilai, dimana seseorang mulai menilai atau menimbangnimbang serta menghubungkan dengan keadaan atau kemampuan dirinya, 4) tahap mencoba, dimana seorang mulai menerapkan aau mencoba dalam skala lebih kecil sebagai upaya untuk meyakinkan apakah dapat dilanjutkan, 5) tahap penerapan atau disebut adopsi, pada tahap ini seseorang sudah yakin akan isu atau hal baru tersebut dan mulai konsisten menerapkan. Dalam kerangka ilmu penyuluhan pertanian, Kartasapoetra (1987) menyebutkan bahwa perilaku petani sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, kecakapan, dan sikap mental petani itu sendiri. Van den Ban dan Hawkins (2005) menyebutkan bahwa tujuan perilaku selain dipengaruhi oleh sikap, juga dipengaruhi oleh harapan lingkungan sosialnya, norma-norma subjektif, dan penilaian perilaku sendiri. Sikap itu sendiri menurut Van den Ban dan Hawkins (2005) adalah perasaaan, pikiran, kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat
permanen
mengenai
aspek-aspek
tertentu
dalam
lingkungannya.
Selanjutnya, Van den Ban dan Hawkins (2005) juga menyebutkan komponen sikap itu sendiri adalah pengetahuan, perasaan-perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak atau kecondongan evaluatif terhadap suatu objek atau subjek yang
20
memiliki konsekuensi. Pemahaman masyarakat terhadap suatu program merupakan bentuk pandangan yang dapat membentuk sebuah penilaian dan dapat mengarahkan pada sebuah tindakan untuk kebaikan dirinya. Adapun tingkat penilaian petani merupakan ukuran baik dan tidak baiknya atau positif dan
negatifnya suatu
program yang dapat membentuk sikap penerimaan atau penolakan terhadap suatu program, seperti yang diungkap oleh Baron dan Byrne (2003) yang dikutip oleh Lokita (2011) ketika individu memiliki sikap yang kuat terhadap isu-isu tertentu, maka mereka seringkali bertingkah laku konsisten dengan pandangan tersebut. Penilaian yang positif terhadap suatu program akan mendorong responden untuk terlibat dalam rangkaian kegiatan program pertanian organik. Dapat diambil kesimpulan mengenai makna tersebut bahwa pengetahuan dan kesadaran tentang suatu isu tertentu merupakan suatu bentuk penilaian yang menentukan sikap seseorang negatif atau positif terhadap isu ataupun program tertentu dan hal ini turut mempengaruhi perilaku seseorang untuk menolak atau menerima isu atau program tersebut. Hal demikian serupa dengan tahap partisipasi, dimana seseorang yang secara sadar akan adanya suatu ide baru atau suatu program, yang kemudian mencari informasi tambahan seputar program yang menunjukkan minat terhadap program dan kemudian menilai, lalu mencoba menerapkan dan secara konsisten menerapkan program merupakan suatu bentuk proses pemberdayaan, dimana dalam penelitian ini dijadikan sebagai proses dan ukuran keberhasilan program pemberdayaan komunitas tani dalam penerapan sistem pertanian organik. Perubahan perilaku dalam penyuluhan pertanian umumnya berjalan lambat, karena tidak setiap orang mengadopsi inovasi atau isu tertentu pada tingkat yang sama. Setiana (2005) menyebutkan bahwa kecepatan adopsi dipengaruhi oleh faktor sifat inovasi, sifat sasaran, faktor individu atau pribadi, luas usaha tani, tingkat pendapatan, keberanian mengambil resiko, umur, tingkat partisipasi dalam kelompok atau organisasi luar, dan berbagai sumber informasi yang dapat di manfaatkan. Sifat sasaran atau pengadopsi (Rogers 1983) yang dikutip oleh Van den Ban dan Hawkins (2005) dibedakan menjadi kategori, yaitu inovator (kelompok perintis), early adopter (kelompok pelopor atau penerap lebih dini), early mayority (penerap inovasi awal), late mayority (penerap inovasi lambat), dan
21
laggard (penolak inovasi). Selanjutnya Rogers (1983) dalam Van den Ban dan Hawkins (2005) juga mengatakan bahwa variabel yang mempengaruhi tingkat kecepatan adopsi tersebut diantaranya adalah pendidikan, keterampilan baca tulis, status sosial ekonomi yang tinggi, unit ukuran yang lebih besar, orientasi ekonomi komersial, sikap tentang kredit, sikap tentang perubahan dan pendidikan, partisipasi sosial, intelegensi, kosmopolitan (keterbukaan), kontak dengan agen perubahan. Kaitan kecepatan adopsi dengan keberhasilan program pemberdayaan dalam penerapan sistem pertanian organik disini, dilihat dari tingkat penerapan petani dalam pelaksanaan program pertanian organik, artinya proses pemberdayaan masih berlangsung dengan adanya perbedaan tingkat penerapan program dari masingmasing individu petani. 2.17 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Komunitas dalam Penerapan Sistem Pertanian Organik Suatu proses pembangunan, memerlukan
upaya pemberdayaan dan
partisipasi komunitas. Pembangunan pertanian pun dapat berkelanjutan jika didukung oleh faktor keberlanjutan kelembagaan dalam masyarakat. Indriana (2010) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan dalam sistem pertanian organik adalah faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal sangat mempengaruhi tata kelola baik dalam sistem pemerintahan, jejaring kerjasama dan sarana umum, sedangkan faktor internal seperti kepemimpinan, dan adanya aturan tertulis dan tidak tertulis, serta proses pendirian kelembagaan dan partisipasi komunitas. Partisipasi menurut Mubyarto (1985) yang dikutip oleh makmur (2007), adalah suatu kesadaran masyarakat untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan diri sendiri. Adapun dalam hubungannya dengan pembangunan, partisipasi harus memiliki tiga syarat yaitu: adanya kesempatan, kemauan, dan dan kemampuan masyarakatnya untuk berpartisipasi. Apriyanto (2008) menyebutkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari internal warganya ataupun dari pelaksanaan programnya. Faktor dari internal warganya seperti umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, beban keluarga, pengalaman berkelompok, dan lama tinggal. Sedangkan dari pelaksanaan programnya seperti metode kegiatannya,
22
dan pelayanan kegiatan programnya. Selain faktor eksternal dan internal tersebut, pemberdayaan dan partisipasi sangat ditentukan oleh keberlanjutan kelembagaan ekonomi yang terbentuk dalam masyarakat, dimana hal tersebut sangat didukung oleh pola kemitraan antara masyarakat dengan pihak swasta dan masyarakat dengan good governance. Pada umumnya, faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari faktor internal dan eksternal dari masyarakat itu sendiri. Faktor internal masyarakat itu sendiri diantaranya adalah faktor kebutuhan, dan kemampuan masyarakat yang dapat mendorong motivasi masyarakat terhadap program, sedangkan faktor eksternal seperti lingkungan masyarakat dimana masyarakat itu tinggal, meliputi aturan dalam masyarakat (rule of the game) baik tertulis ataupun tidak tertulis, keadaan sumberdaya alamnya, modal sosial masyarakatnya, kebijakan pemerintah, sarana dan prasarana yang mendukung partisipasi seperti informasi dan jejaring kerjasama antara masyarakat dengan stakeholder terkait lainnnya. Dalam penelitian ini faktor-faktor internal individu petani menjadi faktor yang mempengaruhi partisipasi petani dalam pelaksanaan program, seperti yang disebutkan oleh Van den Ban dan Hawkins (2005) luas usaha tani, dan keberanian mengambil resiko, serta sumber informasi yang dapat dijangkau dan dimanfaatkan didaerah tersebut, dan tingkat partisipasi dalam kelompok. Selain itu, Rogers (1983) yan dikutip oleh Van den Ban Hawkins (2005) menyebutkan bahwa variabel umur, keterbukaan dengan media massa, status sosial yang tinggi, dan tingkat pendidikan juga mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap program. Dengan demikian, penelitian ini, membatasi faktor internal tersebut hanya pada golongan umur, tingkat pengalaman bertani, tingkat kepemilikan lahan, dan tingkat keterjangkauan informasi penyuluhan pertanian. 2.2
Kerangka Pemikiran Adanya asumsi bahwa dalam proses penerapan pertanian organik terhadap
komunitas petani mengalami benturan budaya pertanian, dalam hal ini adalah benturan antara budaya bertani konvensional yang telah lama diterapkan oleh masyarakat atau dikenal sebagai revolusi hijau dengan budaya bertani organik. Kondisi pertanian masyarakat sebelumnya diasumsikan mengembangkan sistem pertanian konvensional yang telah melembaga dalam aktivitas pertaniannya.
23
Kemudian, pemerintah atau institusi menerapkan suatu konsep pertanian organik. Pergeseran dan perubahan aktivitas dan budaya pertanian dari sistem pertanian konvensional menjadi sistem pertanian organik disebabkan oleh adanya proses pemberdayaan masyarakat terhadap pertanian organik. Proses pemberdayaan dilakukan melalui aktivitas penyadaran atau pengenalan komunitas (sosialisasi) program, dan aktivitas penerapan program bertani organik. Aktivitas penerapan program meliputi pelatihan, aplikasi program, evaluasi bersama terhadap pelaksanaan program. Meskipun demikian, dalam proses penyadaran dan penerapan program terhadap komunitas, perlu memperhatikan karakteristik individu petani dan karakteristik inisiator program (institusi) agar petani mau dan mampu berpartisipasi. Karakteristik individu petani dan karakteristik institusi menjadi faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberdayaan komunitas dalam pelaksanaan program. Karakteristik individu petani dilihat dari faktor internal dan eksternal dari diri mereka. Faktor internal individu petani yang dapat diukur dan dapat mempengaruhi tingkat partisipasi responden dalam pelaksanaan program pemberdayaan komunitas dalam penerapan Sistem Pertanian Organik meliputi umur, tingkat pendidikan, kepemilikan dan luas lahan pertanian (tingkat stratum rumah tangga pertanian), serta tingkat pengalaman dalam bertani, dan tingkat keterdedahan terhadap informasi penyuluhan pertanian. Adapun faktor eksternal yang terdapat dalam diri mereka yang tidak diteliti namun dapat mempengaruhi keberhasilan program pemberdayaan komunitas meliputi ketersediaan sumberdaya alam, modal sosial, aturan tertulis dan tidak tertulis, dan peran kepemimpinan, serta kelembagaan pertanian yang telah terbentuk. Karakteristik institusi atau inisiator program merupakan variabel lain yang turut mempengaruhi keberhasilan pemberdayaan petani meliputi kepentingan institusi atas program, kebutuhan pangan nasional, kebijakan pemerintah terhadap pertanian, ketersediaan sarana dan prasarana pertanian, serta jejaring kerjasama yang akan dan atau telah terbentuk.
24 Inovasi Pertanian Organik
Proses Benturan Budaya Pertanian
Pertanian Konvensional (Revolusi Hijau)
Batasan Penelitian Karakteristik Individu Petani
Proses Pemberdayaan : Karakteristik Institusi ¾ Kepentingan institusi ¾ Kebutuhan pangan nasional ¾ Kebijakan Pemerintah terhadap pertanian ¾ Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pertanian ¾ Jejaring kerjasama
Tingkat Kesiapan Institusi: Instrumen & Pelaksanaan dilapangan
Tingkat Penilaian Proses Penyadaran : ¾ Aktivitas Inisiasi program ¾ Aktivitas Sosialisasi program
¾ ¾ ¾
Tingkat Penerimaan Proses Penerapan: Pelatihan Aplikasi Program Evaluasi Proses Bersama
Tingkat Partisipasi Petani
Internal : ¾ Umur ¾ Tingkat Kepemilikan lahan pertanian ¾ Tingkat Pengalaman Bertani ¾ Tingkat Keterjangkauan terhadap informasi Penyuluhan
Eksternal : ¾ Ketersediaan sumberdaya alam ¾ Modal Sosial ¾ Aturan tertulis dan tidak tertulis ¾ Peran kepemimpinan ¾ Kelembagaan pertanian
Tingkat Keberhasilan Pemberdayaan Komunitas Tani dalam Penerapan Pertanian Organik: Kelanjutan Penerapan Sistem Bertani Organik oleh Petani (pengulangan kegiatan bertani organik)
Tingkat Pendapatan hasil pertanian
24
Keterangan : Menyebabkan : Mempengaruhi : Mencakup :
25
2.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran, dapat disusun hipotesis sebagai
berikut: 1. Karakteristik internal individu petani seperti umur, tingkt kepemilikaan lahan bertani, tingkat pengalaman bertani, dan tingkat keterjangkauan informasi penyuluhan pertanian mempengaruhi tingkat partisipasi petani dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan komunitas. 2. Tingkat kesiapan institusi dalam sosialisasi program, mempengaruhi tingkat keberhasilan pemberdayaan petani. 3. Tingkat partisipasi petani dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan pertanian organik mempengaruhi tingkat keberhasilan pemberdayaan komunitas tani dalam penerapan pertanian organik. 2.4
Definisi Konseptual Penelitian ini menggunakan beberapa istilah konseptual yang digunakan
sebagai pengertian awal beberapa variabel dari penelitian ini. Definisi dari berbagai variabel yang ada diperoleh melalui pemahaman atas berbagai definisi dan teori yang terkait dengan variabel tersebut. Istilah-istilah konseptual tersebut yaitu: 1. Pertanian konvensional adalah sistem pertanian yang menggunakan input luar yang tinggi, dimana bertujuan untuk memaksimalkan produktivitas tanpa memperhatikan fungsi ekologi dan keanekaragaman hayati. 2. Sistem pertanian organik adalah sistem pertanian yang mendukung kegiatan peningkatan fungsi dan pelestarian ekologis dan dapat memperkaya keanekaragaman hayati. Selain itu, merupakan suatu sistem pertanian modern yang ramah lingkungan. 3. Pemberdayaan adalah upaya peningkatan kemampuan masyarakat agar tanggap dan kritis terhadap berbagai perubahan, serta mampu mengakses proses pembangunan untuk mendorong kemandirian yang berkelanjutan. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat mampu berperan aktif dalam menentukan nasibnya sendiri. 4. Petani adalah pelaku dalam kegiatan pertanian yang menjadi pelaksana kegiatan pemberdayaan.
26
5. Institusi program merupakan institusi penginisiasi dan pendukung program pertanian organik meliputi institusi pemerintah daerah, pemerintah pusat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Pendidikan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 6.
Karakteristik institusi merupakan karakteristik yang dimiliki institusi yang turut mempengaruhi proses pemberdayaan masyarakat. Karakteristik tersebut meliputi kepentingan institusi, kebutuhan pangan
nasional. kebijakan
pemerintah terhadap pertanian, ketersediaan sarana dan prasarana pertanian, jejaring kerjasama. 7. Kegiatan Pemberdayaan Kegiatan pemberdayaan merupakan rangkaian tahapan proses penyuluhan dalam memberdayakan komuntas tani dalam penerapan sistem pertanian organik, tahapan dalam proses tersebut meliputi aktivitas penyadaran (sosialisasi program) dan proses penerapan pertanian organik oleh komunitas tani. 1. Aktivitas penyadaran (Sosialisasi Program) merupakan rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk menyadarkan, memberi informasi, memberi pengetahuan terhadap masyarakat tentang pertanian organik agar petani dapat menilai dan menerima sistem pertanian organik dalam aktivitas bertaninya, meliputi kegiatan inisiasi, dan sosialisasi program. Aktivitas penyadaran secara umum bertujuan untuk membentuk sikap petani terhadap sistem pertanian organik. 2. Kegiatan penerapan merupakan rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk membuat masyarakat mau mencoba dan mengaplikasikan pertanian organik pada aktivitas pertaniannya. Kegiatan penerapan tersebut diantaranya meliputi: i. Pelatihan pelaksanaan program merupakan kegiatan berupa pelatihan baik berupa metode ataupun teknik bertani organik yang dilakukan oleh institusi kepada masyarakat. ii. Aplikasi program merupakan kegiatan dimana masyarakat mulai mencoba bertani organik.
27
iii. Evaluasi proses bersama merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan institusi dalam seluruh tahapan program dari mulai tahap persiapan dan pelaksanaan program, hingga evaluasi terhadap hasil yang dicapai program. b) Karakteristik eksternal individu petani meliputi ketersediaan sumber daya alam, modal sosial masyarakat seperti trust, norm, network, selain itu aturan tertulis dan tidak tertulis, peran kepemimpinan dan peran kelembagaan pertanian. (i) Ketersediaan sumberdaya alam merupakan suatu keadaan dimana alam memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan masyarakat dalam aktivitas pertaniannya. (ii) Modal sosial masyarakat merupakan potensi yang dimiliki masyarakat yang secara luas menjadi pengikat dan penguat hubungan antar anggota masyarakat. (iii) Aturan tertulis dan tidak tertulis merupakan aturan main (rule of the game) yang dibuat dan disepakati oleh masyarakat yang menjadi dasar hubungan sosial antar anggota masyarakatnya. (iv) Peran kepemimpinan merupakan peran suatu tokoh yang dianggap mumpuni dan dipercaya masyarakat dalam mengambil keputusan inovasi. (v) Peran kelembagaan pertanian merupakan peran suatu institusi masyarakat dalam proses penerimaan dan pengambilan keputusan inovasi. 2.5
Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan
untuk mengukur berbagai variabel. Masing-masing variabel terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu: 2.5.1 Sikap petani tehadap pelaksanaan program merupakan suatu bentuk pemahaman dan penilaian terhadap suatu program yang membentuk suatu tindakan bagi kebaikan dirinya. Ukuran sikap tersebut berdasarkan tingkat pemahaman dan pengetahuan petani tentang pertanian organik baik manfaat
28
ataupun praktek, yang diungkapkan dengan pemahaman setuju atau tidak setuju tentang pemahaman suatu program, dengan nilai sangat setuju = 5, setuju = 4, kurang setuju = 3, tidak setuju = 2, dan sangat tidak setuju = 1. Terdapat tiga kategori ukuran penilaian masyarakat hingga masyarakat menilai positif pertanian organik dalam aktivitas pertaniannya, yaitu: 1.
Positif, jika petani mengetahui dan memahami pentingnya praktek bertani organik dibanding praktek bertani konvensional dengan total skor (44-65)
2.
Kurang Positif, jika petani memiliki pemahaman dan pengetahuan yang kurang tentang manfaat dan praktek bertani organik
dibanding
pertanian konvensional dengan total skor (22-43) 3.
Tidak Positif (negatif), jika petani tidak tahu dan tidak memahami pentingnya bertani organik dibanding bertani konvensional, dengan memiliki
jawaban
yang
cenderung
memihak
praktek
bertani
konvensional dengan total skor (13-21). 2.5.2
Tingkat Penerimaan petani terhadap pertanian organik merupakan ukuran diterima atau tidak diterimanya suatu program oleh masyarakat. Penerimaan tersebut diukur berdasarkan kecenderungan keinginan menerapkan praktek bertani organik, dengan nilai Ya = 3, dan tidak tahu =2, 1=tidak. Terdapat tiga kategori ukuran penerimaan petani hingga petani mau melaksanakan dan menerapkan pertanian organik dalam aktivitas pertaniannya, yaitu: 1. Menerima, jika petani cenderung berkeinginan menerapkan pertanian organik dengan skor (9-12) 2. Kurang Menerima, jika petani cenderung kurang berkeinginan (ragu-ragu) menerapkan pertanian organik dengan skor (5-8) 3. Tidak Menerima, jika petani cenderung tidak berkeinginan menerapkan pertanian organik dengan skor (1-4).
2.5.3
Petani Karakteristik individu petani dapat dilihat berdasarkan karakterisitk internal dan karakteristik eksternal individu petani.
29
Karakteristik internal individu petani meliputi tingkat umur, tingkat kepemilikan dan atau penguasaan luas lahan, tingkat pengalaman bertani, dan tingkat keterjangkauan terhadap informasi penyuluhan. (i)
Tingkat Umur petani merupakan ukuran lama hidup responden, dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: 1) Muda, jika umur petani rata-rata (< 30) tahun. 2) Dewasa, jika umur petani rata – rata sekitar (30 - 50) tahun. 3) Tua, jika umur petani (> 50) tahun.
(ii) Tingkat pengalaman dalam kegiatan pertanian merupakan lama responden telah melakukan kegiatan bertani organik sebagai mata pencahariannya, dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: 1) Rendah, jika telah melakukan kegiatan bertani (< 10) tahun. 2) Sedang, jika telah melakukan kegiatan bertani (10 - 30) tahun. 3) Tinggi, jika telah melakukan kegiatan bertani (> 30) tahun. (iii) Tingkat stratum rumah tangga petani ( kepemilikan, dan atau penguasaan luas lahan) merupakan ukuran banyaknya luas lahan yang dimiliki atau dikuasai oleh responden yang digunakan untuk kegiatan bertani, dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: 1) Rendah, jika petani organik hanya menguasai atau memiliki lahan bertani (< 0,25 Ha). 2) Sedang, jika petani organik menguasai atau meimiliki lahan bertani (0.25 – 0.5) Ha. 3) Tinggi, jika petani menguasai atau memiliki lahan bertani (> 0.5 Ha). (iv) Tingkat keterjangkauan informasi penyuluhan adalah tingkat akses dan keterdedahan petani terhadap informasi penyuluhan, Ukuran
tingkat
keterjangkauan
informasi
penyuluhan
ini
dikategorikan menjadi tiga, diantaranya: 1) Rendah, jika petani tidak memperoleh informasi penyuluhan pertanian organik, sehingga tidak melaksanakan program. 2) Sedang, Jika petani menerima informasi penyuluhan hanya dari kelompok tani atau petani lain yang menerapkan program.
30
3) Tinggi, jika petani setelah menerima informasi penyuluhan selain dari kelompok tani dan PPL, serta dari media informasi lainnya. 2.5.4 Tingkat partisipasi petani adalah keterlibatan petani secara aktif dalam mengikuti kegiatan penyadaran dan penerapan pertanian organik. Tingkat partisipasi petani diukur berdasarkan kehadiran, dan keterlibatan aktif mereka dalam kegiatan proses penyadaran seperti keaktifan bertanya, dan menanggapi informasi yang disampaikan dengan nilai sering = 3, jarang = 2, dan tidak pernah = 1, dan berdasarkan dukungan berupa pengorbanan biaya, tenaga, ide dan lainya dalam pelaksanaan hingga evaluasi program dengan nilai Ya = 2, dan Tidak = 1, Hal ini dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu: 1) Rendah, jika dari pelaksanaan kegiatan penyuluhan yang diadakan oleh institusi dalam kegiatan pemberdayaan (aktivitas
penyadaran dan
aktivitas penerapan), jumlah kehadiran petani kategori tidak pernah, dan tidak ikut terlibat dalam mendukungan pelaksanaan program dengan skor (16) 2) Sedang, jika dari pelaksanaan kegiatan penyuluhan yang diadakan oleh institusi dalam kegiatan pemberdayaan (aktivitas
penyadaran dan
aktivitas penerapan), jumlah kehadiran petani kategori jarang hadir ataupun jarang terlibat dalam mendukung pelaksanaan program dengan skor (32 - 17) 3) Tinggi, jika dari pelaksanaan kegiatan penyuluhan yang diadakan oleh institusi dalam kegiatan pemberdayaan (aktivitas
penyadaran dan
aktivitas penerapan), jumlah kehadiran petani kategori sering hadir, dan sering teribat dalam memberi dukungan terhadap pelaksanaan program dengan skor (48 - 33) 2.5.5
Institusi Tingkat Kesiapan Intitusi adalah ukuran dikatakan siap atau tidaknya institusi sebagai pelaksana dan penyelenggara kegiatan pemberdayaan dalam mencapai keberhasilan program. Ukuran kesiapan tersebut diukur berdasarkan indikator kualitatif:
31
1) Ketepatan instrumen pemberdayaan yang digunakan menurut prinsip pemberdayaan, dan 2) Pelaksanaan praktek dilapangan oleh institusi. Adapun indikator secara kualitatif ukuran kesiapan institusi berdasarkan ukuran pengetahuan petani tentang praktek bertani organik berdasarkan hasil penyuluhan yang dirasakan oleh responden. Dengan demikian ukuran tingkat kesiapan institusi menjadi tiga kategori, diantaranya: 1) Tidak siap, jika institusi dalam pelaksanaan proses pemberdayaan tidak melaksanakan program sesuai dengan target pencapaian program, dan tidak menggunakan instrumen pemberdayaan, dengan
skor tingkat
pengetahuan petani terhadap program (66-44) 2) Kurang siap, jika institusi dalam pelaksanaan proses pemberdayaan kurang sesuai dengan target pencapaian program, dan memiliki atau tidak instrumen pemberdayaan, dengan skor tingkat pengetahuan petani terhadap program (43-22) 3) Siap,
jika
institusi
dalam
pelaksanaan
proses
pemberdayaan
melaksanakan program sesuai dengan target pencapaian program, dan memiliki instrumen pemberdayaan, dengan skor tingkat pengetahuan petani terhadap program (21-13) 2.5.6
Tingkat Keberhasilan Program Pemberdayaan Petani dalam penerapan pertanian Organik. Tingkat keberhasilan pemberdayaan petani dalam penerapan sistem pertanian organik merupakan ukuran dikatakan berhasilnya pemberdayaan petani dalam penerapan pertanian organik. Hal ini dilihat dari berlanjut atau tidaknya kegiatan bertani organik oleh petani. Terdapat tiga kategori ukuran tingkat keberhasilan pelaksanaan pemberdayaan pertanian organik tersebut, diantaranya: 1) Berhasil, jika petani melaksanakan (mengulangi) kegiatan bertani sesuai dengan seluruh atau beberapa prinsip bertani organik sejak dilaksanakannya program hingga tahun dimana dilakukan penelitian.
32
2) Kurang Berhasil, jika petani melaksanakan (mengulangi) kegiatan bertani sesuai dengan seluruh atau beberapa prinsip bertani organik hanya beberapa kali dan kembali lagi ke metode bertani konvensional. 3) Tidak Berhasil, jika petani tidak melaksanakan kegiatan bertani sesuai dengan prinsip bertani organik sejak tahun dilaksanakannya program pertanian organik.
33
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN
1.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah di tiga desa binaan BP3K Kecamatan Dramaga
diantaranya adalah Desa Parakan Kecamatan Ciomas dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga, dan Desa Pasir Eurih Kecamatan Taman Sari. Pemilihan lokasi di tiga desa binaan BP3K Kecamatan Dramaga tersebut didasarkan pada mata pencaharian masyarakat yang dominan sebagai petani, dan lokasi penelitian yang berpotensi sebagai areal pertanian yang subur yang pernah diterapkan program pertanian organik. Selain itu, tingkat kepemilikan lahan yang rendah, dimana hampir sebagian besar tanah dikuasai oleh pendatang dan hampir seluruh petani merupakan petani penggarap, Hal ini menjadi suatu ancaman bagi keberlanjutan pertanian disana. Pengumpulan data primer dan data sekunder dilakukan pada minggu ke tiga bulan April hingga minggu ke tiga bulan Juli 2011. Kemudian dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data pada bulan Agustus dan penulisan serta perbaikan laporan pada bulan September sampai dengan Desember 2011. 1.2
Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan penelitian explanatory (penjelasan) yang
dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif berdasarkan pengalaman sosial mereka masingmasing. Data yang didapatkan merupakan data deskriptif yang berupa kata-kata dari subyek penelitian. Dalam pendekatan kualitatif, penelitian ini menggunakan metode wawancara. Adapun dalam pendekatan kuantitatif selain menggunakan data sekunder yang didapat dari literatur ataupun dokumen yang dimiliki institusi penginisisasi program dalam hal ini data dari penyuluh pertanian, juga menggunakan metode penelitian survei dimana data diperoleh dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi dengan menggunakan kuesioner (Singarimbun dan Effendi, 1989). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Instrumen data yang dipakai adalah kuesioner dan wawancara. Data
34
sekunder yang dikumpulkan merupakan dokumen yang terkait dengan aktivitas pelaksanaan program pertanian organik yang telah dilaksanakan, seperti data kegiatan sosialisasi dan penerapan program yang dilakukan oleh institusi, arsip keikutsertaan masyarakat dalam program seperti kehadiran dan keterlibatan aktif masyarakat, serta dokumen target capaian dan hasil serta evaluasi program yang dimiliki oleh institusi. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung di lokasi penelitian. Adapun data kuantitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui instrumen utama penelitian survei, yaitu kuesioner. Kuesioner tersebut disampaikan dengan cara menanyakan langsung isi kuesioner kepada responden dalam wawancara tatap muka. 3.2.1 Populasi dan Sampel Populasi Sampling dari penelitian ini adalah seluruh petani yang berada di tiga desa wilayah binaan BP3K Kecamatan Dramaga yaitu sebanyak 437 jiwa. Total populasi petani tersebut merupakan gabungan dari jumlah keseluruhan anggota petani yang berada di tiga desa wilayah binaan BP3K UPTD Dramaga yaitu Desa purwasari Kecamatan Dramaga, Desa Parakan Kecamatan Ciomas, dan Desa Pasir Eurih Kacamatan Taman Sari. Populasi sasaran dari penelitian ini adalah seluruh petani yang berada di wilayah tersebut yang telah atau pernah menerapkan cara bertani organik. Pemilihan populasi dipilih secara purposive, yang mana ditentukan berdasarkan konteks lokal dan kondisi alam yang sama atau hampir sama yang sangat potensial dikembangkannya sistem pertanian organik. Sampel diambil berdasarkan informasi yang diperoleh dari Gapoktan atau kelompok tani dan PPL. Unit analisis penelitian ini adalah individu petani yang telah atau pernah menerapkan cara bertani organik atau semi organik. Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik probability sampling yaitu simpel random sampling atau pemilihan responden secara acak sederhana (Singarimbun dan effendi, 1989). Teknik tersebut merupakan suatu pengambilan sampel secara acak yang dilakukan dengan pemilihan sampel dari beberapa lokasi penelitian, dari beberapa desa binaan BP3K UPTD Darmaga dipilih tiga desa dengan total jumlah petani yang terdapat di tiga desa sebesar 437 jiwa diambil hanya 40 responden dengan kriteria pernah atau telah menerapkan praktek bertani
35
organik. Responden yang dipilih digambarkan pada kerangka percontohan (Gambar 1) dibawah ini. Banyaknya responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 40 orang dengan komposisi yang terdiri dari 15 orang petani Desa Purwasari dan 15 orang petani Desa Pasir Eurih, dan 10 orang petani Desa Parakan.
Gambar 3.
Kerangka Percontohan Penelitian
Informan meliputi PPL, Pemerintah Desa, Tokoh Masyarakat. Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi dengan tujuan untuk memperbanyak informasi mengenai pelaksanaan penerapan program pertanian organik oleh petani di daerah tersebut. Pemilihan informan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling) karena memungkinkan perolehan data sari suatu informan ke informan lainnya. 1.3
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan perlakuan yang
berbeda sesuai dengan jenis data yang diperoleh. Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif akan diolah melalui tiga tahap analisis data kualitatif, yakni
36
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Sugiono (2008) dalam Arif (2010) mendefenisikan tahap-tahap analisis data sebagai berikut: 1) Reduksi data: merangkum, memilah hal-hal pokok, memfokuskan pada halhal yang penting, dan mencari tema serta pola data yang diperoleh 2) Penyajian data: menyajikan data dalam bentuk uraian singkat, bagan hubungan antar kategori, flowchart, dan lain-lain. ini dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam mengorganisir data, menyusun pola dan memahami data yang diperoleh 3) Penarikan kesimpulan yang menghasilkan temuan baru atas obyek penelitian. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan Uji Korelasi Rank Spearman. Uji Korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengukur hubungan tingkat partisipasi dan tingkat hubungan antara dua variabel penelitian yaitu, tingkat penilaian dan penerimaan masyarakat terhadap program dan juga untuk menguji hubungannya
dengan
karakteristik
petani
dalam
pelaksanaan
proses
pemberdayaan dan variabel lain yang mempengaruhi keberhasilan pemberdayaan komunitas tani dalam penerapan pertanian organik. Pengujian ini menggunakan program komputer SPSS 16.0 for Windows. Teknik analisis data dengan uji korelasi Rank Spearman pada penelitian kuantitatif ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisa data deskriptif yaitu melalui statistika deskriptif. Statistika deskriptif digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul tanpa membuat generalisasi hasil penelitian. Analisis data statistik deskriptif antara lain penyajian data melalui tabel, grafik, diagram, persentase, frekuensi, perhitungan mean, median atau modus. Sebelum mengolah data kedalam uji korelasi Rank Spearman, data terlebih dahulu diolah menggunakan Microsoft Office Excel 2007. Analisis data meliputi: 1. Penentuan jumlah skor. Proses scoring yaitu penentuan jumlah skor pada masing-masing responden. Jumlah skor akan digolongkan ke dalam range kelas. Proses scoring ini dilakukan untuk: a) Menghitung tingkat partisipasi dalam pelaksanaan program.
37
b) Menghitung tingkat pemahaman dan pengetahuan petani terhadap program. c) Menghitung tingkat penilaian dan penerimaan petani terhadap program. d) Menghitung tingkat keberhasilan program dalam memberdayakan petani. 2. Dummy table. Tabel tiruan (dummy table) dibuat untuk menghasilkan tabel-tabel bentukan hasil penghitungan (kalkulasi) dalam tabel atau antar tabel. Kegunaan utama untuk menghasilkan tabel-tabel frekuensi dan tabel indikator. Dengan cara ini akan dapat dihasilkan tabel-tabel yang sesuai dengan keinginan, seperti hubungan pengaruh antara tingkat partisipasi dengan umur petani, tingkat kepemilikan lahan pertanian, tingkat pengalaman bertani, juga tingkat keterjangkauan petani dalam informasi penyuluhan pertanian.
36
BAB IV GAMBARAN UMUM BP3K UPTD DRAMAGA DAN LOKASI PENELITIAN
4.1
BP3K UPTD Dramaga Badan Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K) merupakan
suatu badan yang bergerak dalam kegiatan pembangunan pertanian. BP3K UPTD Dramaga membina beberapa lokasi penyuluhan yang terdiri dari beberapa kecamatan seperti Kecamatan Dramaga, Kecamatan Ciomas, dan Kecamatan Tamansari. BP3K melakukan kegiatan pembangunan pertanian berdasarkan Kebijakan dari Departemen Pertanian dibawah kordinasi BP4K Kabupaten Bogor. Kegiatan pembangunan pertanian tersebut dititik beratkan pada: 1. Program Peningkatan Ketahanan Pangan. 2. Program Pengembangan Agribisnis. 3. Program Peningkatan Kesejahteraan Petani yang dilaksanakan secara bertahap pada tiap daerah. Pembangunan di sektor pertanian di Kabupaten Bogor masih dititik beratkan pada peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan. Hal ini disebabkan kebutuhan pangan yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Berbagai program pembangunan pertanian digalakkan melalui kegiatan penyuluhan pertanian sebagai upaya peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan, dari sistem pertanian konvensional hingga sekarang menggunakan sistem pertanian organik. Pelaksanaan kegiatan pembangunan pertanian mutlak memerlukan aktor kunci pelaksanan pembangunan, dalam hal ini adalah petani. Dengan demikian, salah satu faktor pendukung kegiatan pembangunan pertanian yang menjadi sasaran penyuluhan pertanian adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap petani ditingkat usaha tani. Upaya penyuluhan yang dilakukan dalam meningkatkan Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan (PSK) petani adalah dengan berbagai pendekatan penyuluhan seperti metode berkelompok (kelompok tani). Hal ini bertujuan agar pelaksanaan pembangunan pertanian tersebut berjalan secara partisipatif.
39
4.2 Visi dan Misi Penyuluhan Pertanian Kartasapoetra (1987) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian adalah usaha mengubah perilaku petani dan keluarganya agar mereka mengatahui, menyadari, dan mempunyai kemampuan dan kemauan, serta tanggung jawab untuk memecahkan masalahnya sendiri dalam rangka kegiatan usaha tani dan kehidupannya. Selanjutnya Setiana (2005) juga menyebutkan bahwa fungsi penyuluhan adalah untuk menjembatani kesenjangan antara pratik yang biasa dijalankan oleh para petani dengan pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang menjadi kebutuhan para petani tersebut. Hal tersebut diatas sejalan dengan visi badan penyuluhan pertanian BP4K yaitu terwujudnya pelaku utama dan pelaku usaha yang tangguh, mandiri dan berdaya saing. Untuk mewujudkan visi tersebut, misi yang dilakukan adalah: 1. Meningkatkan kapabilitas sumberdaya manusia dan kelembagaan penyuluhan 2. Meningkatkan jejarig kerja dalam alih inovasi teknologi. Adapun misi dari BP3K yang bergerak dibawah kordinasi BP4K adalah: 1. Meningkatkan kesolehan sosial anggota masyarakat dalam kehidupan kemasyarakatan. 2. Meningkatkan perekonomian daerah yang berdaya saing dengan titik berat pada revitalisasi pertanian dan pembangunan yang berbasis perdesaan. 3. Menngkatkan infrastruktur dan aksesbilitas daerah yang berkualitas dan terintegrasi secara berkelanjutan. 4. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. 5. Meningkatkan Pemerataan dan kualitas penyelenggaraan pendidikan. 6. Meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan kinerja penyelanggaraan pemerintahan daerah. 7. Meningkatkan kerjasama pembangunan daerah. BP3K bekerja berdasarkan kebijakan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan, diantaranya: 1. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan dilakukan oleh Pemerintah, Provinsi, Kabupaten/Kota, Petani dan pelaku usaha lainnya. 2. Penyelenggaraannya berdasarkan program yang telah disusun bersama antara penyuluh dan petani
40
3. Hubungan
kelembagaan
penyuluhan
pemerintah,
Provinsi
dan
Kabupaten/Kota, petani dan swasta merupakan hubungan fungsional yang bersifat terbuka, saling ketergantungan, demokratis, dan terintegrasi dengan sektor lain. 4.3
Tujuan Penyuluhan Pertanian Filosofi peyuluhan pertanian adalah pemberian dan pengayaan pengalaman
petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian untuk hidup layak sebagai warga terhormat. Kegiatan peyuluhan pertanian diupayakan berlangsung lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaan pembangunan pertanian. Kebijakan pembangunan pertanian pun disesuaikan dengan situasi dan kondisi petani dimana meraka berusaha tani. Untuk melaksanakan kegiatan pembangunan pertanian tersebut, BP3K membuat suatu Rencana Kerja Tahunan Penyuluh yang bertujuan: 1. Mengetahui dan mengidentifikasi masalah yang terdapat di lapangan, khususnya dalam melaksanakan penyuluhan pertanian, serta berusaha mengatasi permasalahan tersebut sesuai dengan kemampuan serta fasilitas yang ada. 2. Memberikan arah dan pedoman, serta tujuan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian. 3. Mengaplikasikana berbagai program serta kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah khususnya dibidang pertanian, peternakan, dan perikanan. 4. Membangun kesediaan dan kesiapan para pelaku dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian dan kehutanan yang dirumuskan dalam bentuk kongkrit dalam setiap tahapan kegiatan penyuluhan berdasarkan perencanaan yang telah disusun secara partisipatif. 5. 4.4
Tiga Desa Binaan BP3K UPTD Dramaga Kabupaten Bogor
4.4.1 Kondisi Geografis Desa Data kondisi curah hujan di tiga desa binaan UPTD Dramaga Bogor yaitu desa Purwasari, desa Pasir Eurih dan Desa Parakan dapat dilihat dalam tabel 2 berikut :
41
Tabel 2. Data Curah Hujan Wilayah UPTD Dramaga Bogor dari tahun 1998 - 2007 Bulan /Tahun
Rata- Rata Curah Hujan Jan
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah Rata-rata
Feb
Mar
Apr
Mei
524 311 297 383 629 212 404 537 516 373
423 271 286 352 475 638 327 580 313 438
741 98 98 276 414 471 432 568 383 276
456 397 276 34 578 309 640 308 245 473
581 326 491 335 247 501 374 429 318 198
4186
4103
3757
3716
419
410
376
372
Jun
Juli
Agus
Sept
Okt
Nov
Des
399 231 227 340 345 180 169 682 470 274
222 252 327 366 312 25 209 215 264 134
252 207 208 142 128 91 166 163 10 248
189 123 399 445 118 270 392 320 338 206
573 421 191 307 298 552 277 351 451 236
181 381 480 445 416 326 401 423 709 444
135 234 79 70 385 398 432 252 213 476
3800
3317
2326
1615
2800
3657
4206
2674
380
331.7
233
162
280
366
421
267
Sumber: Data Curah Hujan Stasiun Klimatologi dan Geofisika Dramaga Bogor, 2007 Keterangan: Bulan Kering : Curah Hujan kurang dari 60 mm/bulan Bulan Basah : Curah Hujan lebih dari 155 mm/bulan Curah Hujan > 65 mm/bulan < 155 mm/bulan Dari tabel tersebut diatas maka tataguna tanah di wilayah BP3K UPTD Dramaga 25% sawah, 30% pekarangan, 42% tegalan, dan 3% kolam. Berdasarkan curah hujan tersebut , tiga desa ini sangat cocok diusahakan komoditas padi sawah. Desa Purwasari terletak di kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, yang berada 5 Km dari Ibukota Kecamatan, 7 Km dari ibukota Kabupaten, dan 40 Km dari Ibukota propinsi. Luas wilayah sebesar 160,56 ha, dengan luas lahan pertanian 142,284 ha yang terdiri dari sawah dengan pengairan teknis seluas 95,148 ha dan sawah dengan pengairan setengah teknis seluas 35,44 ha, peternakan 1 ha, perikanan 5 ha, dan lainnya 12,276 ha. Desa Purwasari merupakan daerah dataran sedang dengan jenis tanah latosol, yang mana ph berkisar antara 4,5–7,5 ha, dengan ketinggian 250m dpl, dengan derajat kemiringan daerah antara 10 - 20 %. Desa Pasir Eurih terletak di Kecamatan Taman Sari dengan luas wilayah 285,4 dengan luas lahan pertanian sawah sebesar 152,7 ha. Desa Pasir Eurih termasuk daerah dataran sedang dengan jenis tanah latosol, pH tanah adalah 5,4. Desa berada pada ketinggian 550m dpl, dengan derajat kemiringan daerah antara 10 – 20 %.
42
Desa Parakan terletak di kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor dengan luas wilayah sebesar 165,5 ha yang terdiri dari 12.5 ha lahan sawah tadah hujan, 69 ha perumahan, 25 ha lahan sawah dengan pengairan ½ teknis, dan 29 ha lahan pekarangan, sisanya 30 ha lahan lainnya. Desa Parakan termasuk dataran sedang dengan jenis tanah latosol denga ph tanah berkisar 5,7 dengan ketinggian 295 dpl dan dengan derajat kemiringan sekitar 35%6.
4.4.2
Kondisi Sosial Ekonomi Jumlah penduduk di desa Purwasari sebanyak 6.747 jiwa yang terdiri dari
51 persen laki-laki dan 49 persen perempuan. Total penduduk tersebut berdasarkan 1.791 jumlah kepala keluarga. Sedangkan jumlah penduduk di desa Pasir Eurih sebanyak 8.305 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki 54 persen dan penduduk perempuan 46 persen dari 1.914 jumlah kepala keluarga. Adapun jumlah penduduk di desa Parakan sebanyak 7.546 jiwa, yang terdiri dari 48 persen penduduk laki-laki dan 52 persen perempuan dari jumlah 2.749 kepala keluarga. Keadaan penduduk desa berdasarkan jenis kelamin tersebut dapat dilihat dalam table berikut : Tabel 3. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin Desa
Laki-laki
Perempuan
Purwasari 3.474 3.273 Pasir Eurih 4.497 3.808 Parakan 3.634 3.912 Sumber: Data Monografi tiap-tiap Desa (2010)
Jumlah
KK
6.747 8.305 7.546
1.791 1.914 2.749
Desa Pasir Eurih memiliki jumlah prosentase laki-laki lebih besar dibanding jumlah perempuan, begitupun dengan desa Purwasari meskipun perbedaanny tidak terlalu besar. Namun berbeda dengan desa Parakan dimana jumlah perempuan lebih banyak dibanding jumlah laki-laki. Data demografi ekonomi di tiga desa tersebut dapat dilihat pada gambar 2. dibawah ini:
6
Rencana Kerja Penyuluhan Pertanian (RKPP) UPTD Dramaga Bogor (2008)
43
Gambar 4. Jumlah Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian Keterangan: Sb x : Mata Pencaharian Sb y : Jumlah Jiwa Mata pencaharian penduduk di tiga desa tersebut beragam, diantaranya ada petani, pedagang, buruh, pegawai negeri sipil, POLRI atau TNI, swasta. Mayoritas penduduk di tiga desa tersebut bekerja sebagai petani dan buruh, dengan jumlah petani di desa Purwasari sebanyak 883 jiwa, desa Pasir Eurih 605 jiwa dan desa Parakan sebanyak 176 jiwa. Adapun jumlah buruh di desa Purwasari dan Parakan mendominasi keseluruhan jumlah penduduk yang mana sebanyak 908 jiwa penduduk dari desa Purwasari dan 242 jiwa penduduk dari desa Parakan. Data demografi berdasarkan pendidikan penduduk di tiga desa (Gambar 5).
Gambar 5. Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan Keterangan: Sb x : Tingkat Pendidikan Sb y : Jumlah Jiwa Berdasarkan gambar tersebut diatas, dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk desa Purwasari tamatan Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 2.293 jiwa, begitupun dengan desa Pasir Eurih sebanyak 881 jiwa dan Parakan yaitu sebanyak 3.150 jiwa.
44
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan penduduk di tiga desa tersebut tergolong rendah. Data demografi jumlah petani berdasarkan status petani dapat dilihat dalam gambar 4. dibawah ini, yaitu:
Gambar 6. Jumlah Penduduk berdasarkan Status Petani
Keterangan : Sb x : Status Petani Sb y : Jumlah Jiwa Dari gambar terlihat bahwa mayoritas petani di desa Purwasari dan desa Parakan bekerja sebagai buruh tani yaitu sebanyak 883 jiwa petani dari desa Purwasari dan 115 jiwa petani dari
desa Parakan, sedangkan mayoritas petani
desa Pasir Eurih bekerja sebagai Penggarap yaitu sebanyak 293 jiwa dan penyakap sebanyak 254 jiwa.
45
BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN
5.1
Umur Umur petani merupakan ukuran lama hidup seseorang yang diukur dalam
satuan tahun. Kategori umur telah ditentukan menurut Havighurst dan Acherman dkk yang dikutip oleh Mugniesyah (2008), dimana umur rata-rata petani yang terdapat di area penelitian, dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu dewasa awal/muda (18-30 tahun), dewasa pertengahan/dewasa(31-50 tahun), serta dewasa tua / tua (>50 tahun). Tabel 4.
Jumlah dan Persentase Responden Menurut Golongan Umur, Tahun 2011 Jumlah Golongan Umur N % Tua (> 50 Tahun) 34 85 Dewasa (30 - 50 ) Tahun 4 10 Muda ( < 30 Tahun) 2 5 40 100 Jumlah Berdasarkan Tabel 4 diatas, dapat terlihat bahwa mayoritas responden
berada pada golongan umur tua yaitu sebanyak 85 persen, dengan umur rata-rata lebih dari 30 tahun. Hanya 5 persen responden yang berada pada golongan umur muda dan 10 persen responden berada pada golongan umur dewasa. Hal inilah yang kerapkali ditemukan bahwa mayoritas responden yang menekuni kegiatan pertanian adalah golongan tua, sedangkan untuk golongan muda dan dewasa lebih banyak diarahkan pada peningkatan kegiatan ekonomi diluar pertanian. 5.2
Tingkat Kepemilikan Lahan Pertanian Tingkat stratum rumah tangga petani ( kepemilikan, dan atau penguasaan
luas lahan) merupakan ukuran banyaknya luas lahan yang dimiliki atau dikuasai oleh responden yang digunakan untuk kegiatan bertani, dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: 1) Rendah, jika petani organik hanya menguasai atau memiliki lahan bertani (< 0,25 Ha).
46
2) Sedang, jika petani organik menguasai atau meimiliki lahan bertani (0.25 – 0.5) Ha. 3) Tinggi, jika petani menguasai atau memiliki lahan bertani (> 0.5 Ha). Tabel 5.
Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Kepemilikan Lahan Pertanian Jumlah Tingkat kepemilikan Lahan Pertanian N % Rendah (n < 0,25 ha) 15 37.5 Sedang (0,25 ha – 0,5 ha)
21
52.5
Tinggi (> 0,5 ha)
4
10.0
40
100
Jumlah
Berdasarkan Tabel 5 diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden adalah petani penggarap yang memiliki lahan untuk bertani antara 0,25 ha – 0,5 ha, yaitu sebanyak 52,5 persen. Dari tingkat kepemilikan lahan tersebut dapat dikatakan bahwa tingkat kepemilikan lahan responden tergolong sedang. Menyusul kemudian responden yang memiliki lahan bertani kurang dari 0,25 ha yaitu sebanyak 37,5 persen. Persentase inilah yang kerapkali menjadi penyebab mayoritas petani di tiga desa tersebut hanya mengembangkan pertanian yang subsisten, sehingga hanya dapat digunakan untuk memenuhi konsumsi skala rumah tangga petani. 5.3
Tingkat Pengalaman Usaha Tani Tingkat pengalaman dalam kegiatan pertanian merupakan lama responden
telah melakukan kegiatan bertani sebagai mata pencahariannya, dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: 1. Rendah, jika telah melakukan kegiatan bertani (< 10) tahun. 2. Sedang, jika telah melakukan kegiatan bertani (10 - 30) tahun. 3. Tinggi, jika telah melakukan kegiatan bertani (> 30) tahun. Ukuran kategori ini dibuat berdasarkan temuan di area penelitian dimana mayoritas petani berada pada golongan kategori tersebut.
47
Tabel 6.
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengalaman Bertani Jumlah
Tingkat Pengalaman Bertani Rendah (< 10 Tahun) Sedang ( 10 - 30 Tahun) Tinggi ( > 30 Tahun) Jumlah
N 15 15 10 40
% 37.5 37.5 25.0 100
Berdasarkan Tabel 6 diatas dapat dapat dilihat bahwa responden sebagian besar memiliki pengalaman bertani tidak lebih dari 30 tahun yaitu sebanyak 75 persen. Dari tingkat pengalaman bertani tersebut, dapat dikatakan bahwa tingkat pengalaman bertani responden tergolong rendah dan sedang. Menyusul kemudian responden yang memiliki pengalaman bertani lebih dari 30 tahun sebanyak 25 persen. Berdasarkan tingkat pegalaman bertani inilah yang seringkali menggugah kesadaran mereka untuk menerapkan cara bertani organik, karena berdasarkan pengalaman masing-masing petani yang telah lama berusaha tani, mengemukakan bahwa menggunakan praktek bertani konvensional banyak menimbulkan dampak negatif bagi kesuburan tanah. 5.4
Tingkat Keterjangkauan Informasi Penyuluhan Pertanian Tingkat keterjangkauan informasi penyuluhan adalah jangkauan akses dan
keterdedahan petani terhadap informasi penyuluhan pertanian, yang dilihat dari sumber informasi yang digunakan dan cara penyebaran informasi tersebut. Ukuran tingkat keterjangkauan informasi penyuluhan ini dikategorikan menjadi tiga, diantaranya: 1) Rendah, jika petani tidak memperoleh informasi penyuluhan pertanian organik, sehingga tidak melaksanakan program. 2) Sedang, Jika petani menerima informasi penyuluhan hanya dari kelompok tani atau petani lain yang menerapkan program. 3) Tinggi, jika petani setelah menerima informasi penyuluhan selain dari kelompok tani dan PPL, serta dari media informasi lainnya. Adapun jangkauan informasi penyuluhan pertanian tersebut dapat dilihat pada tabel 8 dibawah ini,
48
Tabel 7.
Tingkat Keterjangkauan Responden Terhadap Informasi Penyuluhan Pertanian. Jangkauan Informasi Penyuluhan Pertanian Jumlah Tingkat Keterjangkauan Informasi Sumber Informasi N % Tidak mendapat informasi Rendah penyuluhan pertanian 12 30 Sedang
Petani atau Kelompok Tani (Getok tular)
Tinggi
PPL atau Kelompok Tani dan atau media info lainnya Jumlah
12
30
16
40
40
100
Berdasarkan Tabel 7 diatas, mayoritas responden tidak hanya mendapat informasi penyuluhan pertanian dari PPL atau kelompok tani juga dari media info lainnya dan mereka berusaha melaksanakan program yaitu sebanyak 40 persen. Dari tingkat keterjangkauan informasi penyuluhan pertanian tersebut, dapat dikatakan bahwa tingkat keterjangkauan responden terhadap informasi penyuluhan pertanian tergolong tinggi. Menyusul kemudian sebanyak 30 persen responden yang tidak memperoleh informasi penyuluhan secara langsung hanya ikut-ikutan mencoba melaksanakan program dan sebanyak 30 persen responden yang tingkat keterjangkauan informasi pertaniannya yang tergolong sedang. Berdasarkan tingkat keterdedahan inilah yang cenderung membentuk sikap petani yang positif terhadap pertanian organik.
49
BAB VI SIKAP DAN PENERIMAAN PETANI TERHADAP PERTANIAN KONVENSIONAL DAN PERTANIAN ORGANIK
6.1.
Sikap Petani tentang Pertanian Konvensional dan Pertanian Organik
Pemahaman masyarakat terhadap suatu program merupakan bentuk pandangan yang dapat membentuk sebuah penilaian dan dapat mengarahkan pada sebuah tindakan untuk kebaikan dirinya. Adapun tingkat penilaian petani merupakan ukuran baik dan tidak baiknya atau positif dan
negatifnya suatu
program yang dapat membentuk sikap penerimaan atau penolakan terhadap suatu program, seperti yang diungkap oleh Baron dan Byrne (2003) yang dikutip oleh Lokita (2011) ketika individu memiliki sikap yang kuat terhadap isu-isu tertentu, maka mereka seringkali bertingkah laku konsisten dengan pandangan tersebut. Penilaian yang positif terhadap suatu program akan mendorong responden untuk terlibat dalam rangkaian kegiatan program pertanian organik. Sikap petani terhadap program yang diungkap dengan pemahaman dan pengetahuan petani tentang program pertanian tersebut yaitu dengan pemahaman setuju atau tidak setuju tentang suatu program. Tabel 8.
No.
Persentase Responden Mengenai Sikap Terhadap Sistem Pertanian Konvensional Pernyataan
1. Pupuk dan pestisida kimia mengurangi kesuburan tanah sehingga biaya bertani lebih mahal 2. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia menyebabkan ketergantungan 3. Hasil panen bertani an organik tinggi namun tidak sebanding dengan biaya produksi 4. Cara bertani lebih mudah dan efisien
Setuju
Raguragu
Tidak setuju
Sangat Tidak Setuju
%
%
%
%
%
32.5
57.5
5.0
2.5
2.5
100
17.5
50.0
12.5
17.5
2.5
100
20.0
52.5
12.5
12.5
2.5
100
32.5
57.5
7.5
0.0
2.5
100
Sangat Setuju
Jumlah
Mayoritas responden menilai bahwa cara bertani konvensional lebih banyak memberikan dampak yang negatif bagi kesuburan tanah sehingga membutuhkan
50
biaya bertani yang lebih tinggi. Hal tersebut yang mengarahkan mereka untuk mencoba menerapkan kembali cara bertani organik, seperti yang diungkap oleh Bapak AdS L, 45 Tahun:
“……..petani disini de gak murni organik, masih tetap pake pupuk kimia untuk mempertahankan hasil panen, namun jumlah pemakaiannya lebih sedikit, kalo pake pupuk kimia semua mah tanah jadi keras, susah di cangkul, air juga susah meresap ke tanah, belum lagi tanaman juga gampang keserang hama.” Responden juga menganggap bahwa cara bertani konvensional dengan menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia jauh lebih efisien namun biaya yang dikeluarkan juga lebih mahal, seperti yang diungkapkan oleh Bpk Hsn L,50 Tahun :
“….memang sih lebih gampang cara bertani pake pupuk kimia dan pake pestisida, tinggal semprot gak perlu nyari bahan-bahannya dan gak perlu repot-repot buat pupuk kompos, tapi harga obat-obatnya juga sangat mahal, kadang gak cukup satu botol untuk hasil yang banyak, kalo dihitung-hitung hasil tani hanya cukup untuk membeli obatnya saja”. Tabel 9. Tingkat Pengetahuan dan Pemahaman Petani tentang Pertanian Konvensional Tingkat Pemahaman dan Jumlah Pengetahuan Tentang Pertanian Konvensional N % Rendah 1 2.5 Sedang 23 57.5 Tinggi 16 40.0 Total 40 100.0 Pemahaman responden tentang manfaat dan dampak dari sistem bertani konvensional cukup tinggi. Berdasarkan pengalaman bertani masing-masing, mereka memahami bahwa praktek bertani organik adalah praktek bertani secara tradisional yang memanfaatkan bahan-bahan dari alam yang menggunakan prinsipprinsip kembali ke alam. Adapun sikap responden terhadap sistem pertanian konvensional dapat dikatakan negatif, hal demikian dapat mendorong responden untuk terlibat dalam rangkaian kegiatan penerapan program pertanian organik dan mencoba melaksanakan program.
51
Meskipun demikian, petani masih sangat sulit lepas dari praktek bertani konvensional. Mereka sudah terbiasa dengan cara-cara bertani yang dianggap lebih mudah dan efisien. Selain itu, penggunaan pupuk kimia juga memacu produktivitas yang tinggi meskipun biaya yang digunakan juga tinggi, hal ini seperti yang diungkap oleh Bpk Kndr L,55 Tahun:
“…lebih mudah menggunakan pupuk kimia, pertumbuhan tanamannya juga lebih cepat, dan hasilnya juga tidak terlalu merosot drastis, meski tanah jadi keras tapi hasilnya masih dapat dipertahankan”. Tabel 10. Persentase Responden Mengenai Sikap Terhadap Sistem Pertanian Organik No.
Pernyataan
Sangat Sangat Ragu- Tidak Tidak Setuju Setuju ragu setuju Setuju Jumlah %
1. Cara bertani mudah namun tidak efisien dan membutuhkan waktu yang lama 2. Hasil panen organik lebih tinggi, lebih berkualitas dan lebih sehat 3. Nilai jual produk organik sangat tinggi 1. Bertani organik mengembalikan kesuburan tanah 5. Biaya bertani organik sangat murah 6. Sulit dijual karena harga yang tinggi
%
%
%
%
32.5
60.0
2.5
5.0
0.0
100
27.5
70.0
2.5
0.0
.00
100
22.5
40.0
15.0
22.5
0.0
100
55.0
42.5
2.5
0.0
0.0
100
37.5
27.5
20.0
15.0
0.0
100
22.5
35.0
17.5
22.5
2.5
100
Berdasarkan Tabel 10 diatas, hampir sebagian besar responden setuju dengan apa yang disampaikan tentang pertanian organik baik keunggulan ataupun keterbatasannya. Mereka juga menyadari manfaat dari cara bertani organik lebih besar dibandingkan bertani konvensional. Mereka menyadari bahwa sebagian besar tanah sudah mengalami kerusakan, dan hilangnya kesuburan tanah akibat pemakaian pupuk kimia yang berlebihan, meskipun demikian, masih sedikit responden yang menerapkan cara bertani organik. Hal tersebut juga dipicu oleh ketersediaan bahan-bahan pupuk dan pestisida alam yang sudah semakin langka, seperti yang diungkap oleh Bpk Mst L,50 Tahun:
52
“…memang berar lebih murah kalo pupuknya dan pembasmi hamanya membuat sendiri, tapi sekarang ini dek, sulit mengerjakannya, selain butuh waktu yang lama juga karena bahan-bahannya juga sulit ditemukan, kayak kotoran kambing saja kalo yang tidak punya ternak kambing harus beli dulu, belum lagi daun dan sekam nya juga…” Tabel 11. Tingkat Pengetahuan dan pemahaman Petani tentang Pertanian Organik Tingkat Pemahaman dan Pengetahuan Tentang Pertanian Organik Sedang Tinggi Total
Jumlah N
%
9 31 40
22.5 77.5 100.0
Berdasarkan tabel 11 diatas, menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman petani tentang pertanian organik dapat dikatakan tinggi yaitu sebesar 77,5 persen. Hal ini yang membentuk sikap responden terhadap program pertanian organik yang positif seperti yang ditunjukkan pada tabel 12 dibawah ini, Tabel 12. Sikap Petani terhadap Sistem Pertanian Organik Tingkat Penilaian terhadap Sistem Pertanian Organik Kurang Positif Positif Sangat Positif Total
Jumlah N 5 15 20 40
% 12.5 37.5 50.0 100.0
Meskipun penilaian responden terhadap pertanian organik positif, hal ini tidak serta merta membuat petani begitu saja lepas dari praktek bertani konvensional. Sebagian besar mereka masih menerapkan cara bertani konvensional dalam penggunaan pupuk an organik. Adapun praktek bertani dalam pengolahan tanah, pemberantasan hama sebagian besar sudah menerapkan cara bertani organik seperti pemanfaatan tanah secara terasering, tumpangsari, penggunaan bahan-bahan alami untuk memberantas penyakit dengan daun pandan, “bernuk”, “ bangkai” dan lainnya yang merupakan bentuk pengetahuan lokal petani.
53
6.2
Proses Penerimaan Sistem Pertanian Organik Penerimaan petani terhadap penerapan sistem pertanian organik dapat
dikatakan tinggi seperti yang tertera dalam tabel 13 dibawah ini, dalam hal ini adalah penerimaan dalam prinsip bertani bebas pestisida, penanaman tumpangsari, dan penggunaan bahan-bahan alami untuk pupuk dan pestisida, dan mina padi. Tabel 13. Tingkat Penerimaan Petani terhadap Penerapan Sistem Pertanian Organik Tingkat Penerimaan terhadap Praktek Bertani Organik Tidak Menerima Kurang Menerima Menerima
Jumlah N
%
1 8 31
2.5 20.0 77.5
Sosialisasi program pertanian organik disampaikan melalui berbagai kegiatan yang diadakan oleh kelompok tani dan dipraktekan oleh masing-masing pengurus dan ketua kelompoknya dengan serta merta memberikan keteladanan dalam
hal praktek bertani organik dari awal diadakan program hingga saat
dilakukan penelitian. Proses penyuluhan pun terus berlangsung melalui kegiatan kelompok tani. Secara “getok tular” informasi tentang manfaat bertani organik disampaikan kepada petani lain. Namun demikian, tidak sedikit petani yang masih menerapkan praktek bertani konvensional. Perbedaan tingkat penerimaan inovasi atau pelaksana praktek kegiatan bertani organik yang menyebabkan cepat dan lambatnya peerimaan pertanian organik oleh petani. Perbedaan tingkat penerapan inovasi atau program pertanian organik oleh petani dibedakan berdasarkan kategori inovator, early adopter, early mayority, late mayority, dan laggard (Rogers 1983) yang dikutip (Van den Ban, Hawkins 2005) dimana mayoritas mereka yang menerapkan praktek bertani organik adalah mereka merupakan inovator dan early adopter dalam masyarakat seperti ketua kelompok tani atau tokoh masyarakat yang juga merupakan penerima informasi dan inovasi yang pertama kali. Hal inilah yang membedakan antara petani yang masih menerapkan praktek bertani organik dengan mereka yang baru menerapkan atau kembali menerapkan praktek bertani konvensional. . Mayoritas dari mereka hanya melaksanakan praktek bertani organik pada saat informasi pertanian organik gencar dibicarakan, namun setelah program
54
pertanian organik tersebut selesai, mereka cenderung kembali menerapkan praktek bertani konvensional, golongan ini disebutkan sebagai golongan early mayority atau late mayority. Mereka yang termasuk golongan tersebut cenderung bersikap hati-hati untuk menghindari kerugian, mereka akan tetap menerapkan inovasi atau praktek bertani organik jika mereka merasa hal tersebut menguntungkan secara ekonomi mereka, dan mereka dapat menerapkan praktek bertani organik jika kebanyakan petani di sekitar lingkungannya telah menerapkannya dan benar-benar meningkatkan kehidupannya, ketika hal tersebut dirasakan oleh mereka tidak seperti harapan, mereka cenderung kembali menerapkan praktek bertani konvensional. Berbeda untuk petani yang tergolong early adopter ataupun inovator, mereka tetap menerapkan praktek bertani organik hingga saat dilakukan penelitian, meski mereka mendapatkan penurunan tingkat produksi dari hasil bertani organik, mereka cenderung percaya hal tersebut dapat memberikan manfaat secara jangka panjang, mereka yang tergolong inovator adalah para ketua kelompok tani, yang tidak hanya mencoba menerapkan inovasi atau praktek bertani organik tersebut tetapi juga mengajak petani lain untuk ikut dalam penyuluhan dan penerapan program,
mereka
menciptakan
cara
baru
bagaimana
petani
lain
dapat
mengaplikasikan inovasi tersebut, dan mereka ini yang cenderung menjadi teladan bagi petani lain dalam menerapkan inovasi pertanian organik. Adapun mereka yang merupakan golongan early adopter adalah mereka yang tergabung menjadi anggota dalam kelompok tani, dimana mereka sangat terbuka dan luwes menerima inovasi atau program, dan mereka mau menerapkannya. Adanya tingkat penerimaan inovasi atau program pertanian organik ini, yang menunjukkan cepat lambatnya petani menererapkan inovasi atau praktek bertani organik. Dengan adanya perbedaan tersebut dapat dikatakan bahwa proses pemberdayaan masih terus berlangsung meskipun pada saat penelitian ini sebagian besar petani kembali menerapkan praktek bertani konvensional.
55
BAB VII
PARTISIPASI KOMUNITAS TANI DAN KESIAPAN INSTITUSI DALAM PELAKSANAAN PROSES PEMBERDAYAAN
7.1
Partisipasi sebagai Kunci Pemberdayaan Partisipasi menurut Apriyanto (2008) merupakan keterlibatan seseorang
secara aktif dalam mengikuti kegiatan. Adapun yang menjadi indikator partisipasi masyarakat terhadap suatu kegiatan menurut Apriyanto (2008) meliputi sikap dan peranannya dalam tahapan partisipasi yaitu berupa pengambilan keputusan, pelaksanaan kegiatan, penikmat hasil, dan evaluasi kegiatan. Tingkat partisipasi masyarakat pada suatu program dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari internal warganya ataupun dari pelaksanaan program itu sendiri. Ukuran partisipasi yang digunakan dalam penelitian ini, adalah ukuran partisipasi masyarakat menurut Ife (2008) yang menggunakan jenis-jenis indikator jenis kuantitatif dan kualitatif. Indikator secara kuantitatif yang digunakan dalam penelitian diantaranya: jumlah pertemuan dan jumlah peserta, proporsi berbagai bagian dari kehadiran masyarakat, jumlah orang yang dipengaruhi oleh isu yang diangkat, jumlah pemimpin lokal yang memegang peranan, jumlah warga lokal yang memegang peranan dalam proyek, jumlah warga lokal dalam berbagai aspek proyek dan pada waktu yang berbeda-beda. Sedangkan indikator secara kualitatif diantaranya: suatu kapasitas yang tumbuh untuk mengorganisasi aksi, dukungan yang tumbuh dalam masyarakat tentang hal seperti keuangan dan manajemen proyek, keinginan masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan proyek, peningkatan kemampuan dari mereka yang berpartisipasi dalam mengubah keputusan menjadi aksi, meningkatnya jangkauan partisipan melebihi proyek untuk mewakilinya dalam
organisasi-organisasi
lain,
pemimpin-pemimpin
yang
muncul
dari
masyarakat, meningkatnya jaringan dengan proyek-proyek, masyarakat dan organisasi lainnya, mulai mempengaruhi kebijakan.
56
7.2 Tingkat Partisipasi dalam Pelaksanaan Proses Pemberdayaan Tabel 14. Persentase Tingkat Partisipasi Responden dalam Proses Penyadaran tentang Program Pertanian Organik Jumlah
Tingkat Partisipasi dalam Kegiatan Penyadaran Rendah (Kategori Tidak Pernah Hadir Sosialisasi) Sedang (Kategori Jarang Hadir Sosialisasi) Tinggi (Kategori Sering Hadir Sosialisasi) Jumlah
N 8 13 9
% 45.0 32.5 22.5
40
100
Berdasarkan kuantitas jumlah pertemuan dan kehadiran dalam kegiatan sosialisasi dan penyuluhan program, mayoritas responden tidak pernah hadir dalam yaitu sebanyak 45 persen. Menyusul responden yang jarang hadir dalam sosialisasi program pertanian organik. Hal tersebut yang menyebabkan sebagian besar responden tidak memperoleh informasi penyuluhan pertanian secara langsung dari kegiatan penyuluhan pertanian. Informasi tentang manfaat bertani organik lebih banyak disampaikan dari petani ke petani, yang mana diawali oleh para pengurus dan ketua kelompok tani. Masing-masing diantara mereka mempraktekan cara bertani organik hingga saat dilakukan penelitian, dan telah menunjukkan keunggulan dari hasil bertani organik, hal ini yang mendorong petani lain untuk mencoba melaksanakan kegiatan bertani organik. Dengan demikian, peran pemimpin dan kelembagaan pertanian seperti kelompok tani sangat mendukung terhadap keberhasilan program pemberdayaan. Tabel 15. Tingkat Partisipasi Responden dalam Proses Penerapan Program Pertanian Organik Jumlah
Tingkat Partisipasi dalam Kegiatan Pelatihan Rendah Sedang Tinggi Jumlah
N 28 4 8 40
% 70 10 20 100
Berdasarkan Tabel 15, dapat dilihat bahwa mayoritas responden tidak pernah mengikuti kegiatan pelatihan dalam praktek bertani organik yaitu sebesar 70 persen. Menyusul responden yang sering mengikuti pelatihan praktek bertani
57
organik yaitu sebesar 20 persen. Hal ini berdasarkan fakta bahwa responden yang aktif mengikuti kegiatan adalah mereka yang termasuk anggota pengurus kelompok tani, namun sebagian besar petani dapat mempraktekan kegiatan bertani organik dengan melihat dan mengikuti cara bertani organik dari ketua kelompok atau anggota pengurus kelompok tani lainnya. Selain itu, mereka juga sering mempraktekan cara bertani organik berdasarkan pengetahuan lokalnya yang diturunkan dari para orang tuanya dimana hal tersebut merupakan salah satu prinsip bertani organik contohnya “pemanfaatan jerami sebagai pupuk”, dan “pemanfaatan bangkai sebagai pengusir hama penyakit”. Tabel 16
Tingkat Partisipasi Responden dalam Aplikasi Penerapan Program Pertanian Organik
Tingkat Partisipasi dalam Kegiatan Aplikasi Penerapan Program Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Jumlah N 18 19 13
% 45.0 22.5 32.5
40
100
Berdasarkan Tabel 16, terlihat bahwa mayoritas responden tidak mengaplikasikan praktek bertani organik dalam aktivitas pertaniannya yaitu sebesar 45 persen, sedangkan responden yang mengaplikasikan praktek bertani organik dalam aktivitas bertaninya sebanyak 32,5 persen. Hal ini karena, sebagian besar responden yang tidak mengaplikasikan praktek bertani organik adalah karena khawatir akan resiko penurunan jumlah produksi di awal pelaksaan praktek bertani organik, seperti yang diungkap oleh Bpk Shd L, 50 Tahun:
“…di awal praktek bertani organik, jumlah hasil panen mengalami penurunan yang besar sekali, biasanya setiap panen dari satu hektar dapat menghasilkan 10 sampai 12 ton, tapi setelah mencoba praktek bertani organik yaitu dengan tidak lagi menggunakan pupuk kimia, mengalami penurunan hasil menjadi sekitar 4 sampai 5 ton padi.”
58
Tabel 17. Tingkat Partisipasi Responden dalam Evaluasi Pelaksanaan Program Pertanian Organik Jumlah Tingkat Partisipasi dalam Kegiatan Evaluasi Pelaksanaan Program N % Rendah 30 80 Sedang 0 0 Tinggi 8 20 Jumlah 40 100 Berdasarkan Tabel 17, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden tidak pernah hadir dalam kegiatan evaluasi pelaksanaan program yaitu sebanyak 80 persen, sedangkan 20 persen responden mengikuti kegiatan evaluasi program bersama penyuluh setempat. Hal tersebut karena responden mayoritas tidak mengetahui adanya program dan evaluasi program, dan
responden yang aktif
dalam kegiatan pelaksanaan program dalam hal ini kegiatan evaluasi program bersama penyuluh hanya mereka yang aktif dalam kelompok tani atau disebut sebagai anggota dan pengurus kelompok tani. Tabel 18. Tingkat Partisipasi Petani berupa Dukungan dalam Pelaksanaan Program Jumlah Tingkat Partisipasi Berupa Dukungan Terhadap Pelaksanaan Program
N
%
Rendah
34
85
Sedang
0
0
Tinggi
6
15
40
100
Jumlah
Berdasarkan Tabel 18 tersebut, dapat dilihat bahwa mayoritas responden tidak memberikan dukungan baik berupa tenaga, dana, ataupun pemikiran dalam pelaksanaan program yaitu sebanyak 85 persen. Hanya 15 persen responden yang memberikan dukungan baik berupa dana atau tenaga ataupun pemikiran, dan mereka itu sebagian besar adalah para pengurus kelompok tani golongan ini yang disebut sebagai golongan inovator atau early adopter.
59
Partisipasi aktif responden diukur berdasarkan seberapa sering responden mengikuti kegiatan, dan seberapa aktif responden dalam mendukung pelaksanaan program baik berupa pemberian sanggahan,tanggapan, ataupun pertanyaan dalam kegiatan penyuluhan atau pertemuan kelompok tani. Hal ini, seperti yang dikatakan oleh Apriyanto (2008) bahwa partisipasi merupakan keterlibatan seseorang secara aktif dalam
mengikuti kegiatan. Adapun yang menjadi indikator partisipasi
masyarakat terhadap suatu kegiatan menurut Apriyanto (2008) meliputi sikap dan peranannya dalam tahapan partisipasi yaitu berupa pengambilan keputusan, pelaksanaan kegiatan, penikmat hasil, dan evaluasi kegiatan. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap program dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari internal warganya ataupun dari pelaksanaan program itu sendiri. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, persentase tingkat partisipasi aktif
responden terhadap
pelaksanaan program baik dalam aktivitas penyadaran, pelatihan, hingga aplikasi dan dukungan program masih tergolong rendah. Hal tersebut diketahui selain dari pengakuan responden sendiri juga dapat dilihat pada daftar hadir kegiatan dari seluruh rangkaian kegiatan pelaksanaan penerapan program pertanian organik yang dilaksanakan oleh Institusi dalam hal ini oleh BP3K UPTD Dramaga Bogor melalui kegiatan penyuluhan pertanian.
Gambar 7. Persentase Bentuk Partisipasi Aktif Responden dalam Pelaksanaan Program Penerapan Sistem Pertanian Organik Keterangan: Sb x : Kategori Tingkat Partisipasi Sb y : Jumlah Persentase Rata-rata Partisipasi Responden dalam Tahapam Pemberdayaan (Kehadiran dan dukungan program dalam kegiatan penyadaran hingga penerapan program)
60
Kategori rendahnya partisipasi responden ini, diketahui berdasarkan konsep jenjang partisipasi Arnstein (1965) yang dikutip oleh Indriana (2010) dimana sebagian besar partisipasi bersifat tokenisme, yang berada pada tahap placation, yang artinya mereka sebagian besar tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program, mereka sebagian besar hanya diberi informasi yang kemudian diberikan pendampingan dalam pelaksanaan program. Meskipun telah terbentuk suatu komunikasi dua arah antara institusi dengan anggota komunitas, namun partisipasi tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh insentif, dimana petani yang sering mengikuti kegiatan akan mendapat bantuan pupuk dan bantuan usaha tani lainnya, sedangkan bagi mereka yang jarang hadir pertemuan tidak akan diberi bantuan tersebut. Dengan demikian, petani masih belum memiliki kekuasaan untuk berpartisipasi sesuai dengan kebutuhan dirinya. Hal ini, yang kerapkali menjadi penyebab responden tidak konsisten menerapkan pertanian organik. Namun, berdasarkan ukuran partisipasi jenis kuantitatif Ife (2008), yang mempengaruhi sikap dan perilaku petani dalam pelaksanaan program pertanian organik adalah bahwa proporsi bagian dari kehadiran petani dalam pelaksanaan kegiatan dimana dari kegiatan sosialisasi program hingga penerapan program, proporsi dan jumlah kehadiran responden tergolong rendah. Adapun jumlah pertemuan tergolong tinggi karena telah dilaksanakan sesuai rencana kegiatan penyuluhan. Hampir sebagian besar responden kurang berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan program tersebut. Meskipun demikian, jumlah orang yang terpengaruh oleh program pertanian organik dapat dikatakan cukup besar meliputi hampir semua anggota kelompok tani, mereka juga adalah orang-orang yang memiliki peranan yang tinggi dalam masyarakat baik sebagai tokoh masyarakat maupun sebagai anggota pemerintahan di desa. Orang-orang inilah yang kerapkali mengorganisasi aksi untuk petani dalam pertemuan-pertemuan kelompok tani kecil secara mandiri baik berupa pengajuan bantuan ataupun praktek bertani organik secara kelompok untuk perkembangan pertanian di daerahnya. Hal ini pulalah yang menjadikan sistem informasi penyuluhan pertanian seringkali disampaikan secara “getok tular”. Dapat dikatakan bahwa mereka yang terpengaruh program adalah mereka yang termasuk inovator atau early adopter.
61
7.3
Tingkat Kesiapan Institusi dalam Pelaksanaan Proses Pemberdayaan Tingkat Kesiapan Intitusi adalah ukuran dikatakan siap atau tidaknya
institusi sebagai pelaksana dan penyelenggara kegiatan pemberdayaan dalam mencapai keberhasilan program. Ukuran kesiapan tersebut diukur berdasarkan indikator kualitatif ketepatan instrumen pemberdayaan yang digunakan, dan pelaksanaan praktek dilapangan oleh institusi, dan indikator kuantitatif berdasarkan ukuran pengetahuan dan penerimaan petani terhadap program. Berdasarkan temuan diarea penelitian, pelaksanaan kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh institusi dalam hal ini institusi penyuluhan pertanian berjalan sesuai target pelaksanaan program, artinya kegiatan penyuluhan dilakukan sesuai dengan Rencana Kerja Penyuluhan Pertanian (RKPP). Adapun pengetahuan responden tentang program berdasarkan hasil kegiatan penyuluhan pertanian tergolong tinggi. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa tingkat kesiapan institusi dalam pelaksanaan program pertanian organik tergolong tinggi.
62
BAB VIII HUBUNGAN PARTISIPASI DENGAN SIKAP DAN KARAKTERISTIK INTERNAL INDIVIDU PETANI
8.1
Hubungan Partisipasi dengan Sikap Petani terhadap Sistem Pertanian Organik Sikap seringkali mempengaruhi tingkah laku seseorang untuk melakukan
suatu tindakan, seperti yang disebutkan oleh Baron dan Byrne (2003) yang dikutip oleh Lokita (2011) dimana sikap yang kuat terhadap isu-isu tertentu, seringkali membuat tingkah laku yang konsisten dengan pandangan tersebut. Penilaian yang positif terhadap suatu program akan mendorong responden untuk terlibat dalam rangkaian kegiatan program pertanian organik. Tabel 19. Hubungan Sikap Responden terhadap Sistem Pertanian Organik dengan Tingkat Partisipasi Petani dalam Pelaksanaan Program Pemberdayaan Sikap Kurang Positif Positif Sangat Positif Ket:=0.06
Rendah 7.5 27.5 17.5 rs=0.397
Tingkat Partisipasi Sedang Tinggi 5.0 0.0 10.0 0.0 15.0 17.5
Total 12.5 37.5 50.0
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa sikap juga mempengaruhi partisipasi seseorang dalam pelaksanaan proses pemberdayaan petani dimana isu utama adalah tentang sistem pertanian organik. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya peran innovator atau early adopter, dimana mereka yang memiliki penilaian yang positif terhadap sistem pertanian organik, cenderung aktif berpartisipasi dalam pelaksanaan program pemberdayaan petani dalam penerapan sistem petanian organik. 8.2
Hubungan Partisipasi dengan Karakteritik Internal Individu Petani Apriyanto (2008) menyebutkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat pada
suatu program dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari internal warganya ataupun dari pelaksanaan program itu sendiri. Faktor dari internal warganya seperti umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, beban keluarga, pengalaman
63
berkelompok, dan
lama tinggal dan pelaksanaan programnya seperti metode
kegiatannya, dan pelayanan kegiatan programnya. Karakteristik internal individu petani yang dikaji dalam penelitian ini meliputi umur, kepemilikan dan atau penguasaan luas lahan, pengalaman bertani, dan keterjangkauan terhadap informasi penyuluhan pertanian. Berikut adalah hipotesis penelitian ini: H0 = Karakteristik internal individu petani tidak mempengaruhi tingkat partisipasi petani dalam proses pemberdayaan pertanian organik. H1 = Karakteristik internal individu petani mempengaruhi tingkat partisipasi petani dalam proses pemberdayaan pertanian organik. 8.2.1 Hubungan Partisipasi dengan Umur Petani Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (1-tailed) hitung sebesar 0,171 > (0,05) dalam pengertian umur, H0 diterima dan H1ditolak. Jadi, karakteristik umur tidak mempengaruhi tingkat partisipasi responden terhadap pelaksanaan program.
Tabel 20. Hubungan Umur dengan Tingkat Partisipasi Responden dalam Pelaksanaan Program Tingkat partisipasi Umur Total Rendah Sedang Tinggi % % % Muda 50 50 0 100 Dewasa 75 25 0 100 Tua 50 29 21 100 Ket: =0,171 rs = 0,154 Berdasarkan Tabel 20 responden dari semua golongan umur, memiliki tingkat partisipasi dalam pelaksanaan program yang tergolong rendah dan hal tersebut berbanding lurus dengan golongan umur. Dari semua golongan umur ini memiliki sebaran merata, artinya baik golongan umur muda, dewasa, ataupun tua memiliki tingkat partisipasi yang tergolong rendah. Hal ini yang menunjukkan bahwa umur tidak mempengaruhi seseorang untuk berpartisipasi dalam suatu program. Golongan umur tidak berpengaruh terhadap tingat partisipasi petani dalam pelaksanaan program disebabkan oleh adanya orientasi yang sama terhadap
64
kebutuhan akan hasil bertani, dimana sebagian besar petani dari semua golongan umur mengandalkan hasil bertani untuk konsumsi keluarganya. Mereka pun seringkali disibukkan dengan aktifitas pencarian nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya, sehingga sangat sedikit waktu untuk mengikuti kegiatan penyuluhan. Adapun mereka yang turut menerapkan cara bertani organik meskipun jarang atau tidak pernah mengikuti kegiatan penyuluhan berupa sosialisasi dan pelatihan, mereka dapat melihat cara bertani organik dari petani lain yang telah menerapkan cara bertani organik. Selain itu, praktek bertani organik juga merupakan praktek bertani yang pada umumnya sudah biasa mereka lakukan dengan prinsip kearifan lokal yang terdapat didaerah tersebut. Hal inilah yang menyebabkan umur tidak mempengaruhi partisipasi petani terhadap pelaksanaan program. 8.2.2
Hubungan Partisipasi dengan Tingkat Kepemilikan Lahan Pertanian Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig.
(1-tailed) hitung sebesar 0,01 < (0,05) dalam pengertian tingkat kepemilikan lahan bertani, H0 ditolak dan H1 diterima. Jadi, karakteristik tingkat kepemilikan lahan pertanian mempengaruhi tingkat partisipasi responden terhadap pelaksanaan program. Tabel 21. Hubungan Tingkat Kepemilikan Lahan Pertanian dengan Tingkat Partisipasi Responden dalam Pelaksanaan Program Tingkat partisipasi Tingkat Kepemilikan Lahan Pertanian Rendah (< 0,25 Ha)) Sedang (0,25 - 0,5 Ha) Tinggi (> 0,5 Ha) Ket: =0,01
Rendah
Sedang
Tinggi
%
%
%
78.6 37.5 40.0
21.40 43.75 20.00
0.00 18.75 40.00
Total 100 100 100
rs = 0,481
Berdasarkan Tabel 21, terlihat bahwa terdapat perbedaan tingkat partisipasi antar tingkat kepemilikan lahan pertanian. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan pengaruh antara tingkat kepemilikan luas lahan pertanian dengan tingkat partisipasi. Sebagian besar, responden yang memiliki luas lahan kurang dari 0,25 ha yaitu sebanyak 78,6 persen memiliki tingkat partisipasi yang rendah. Berdasarkan tabel tersebut juga terlihat bahwa semakin luas lahan yang dimiliki responden,
65
maka semakin tinggi tingkat partisipasi responden dalam pelaksanaan program terutama dalam penerapan praktek bertani organik. Hal tersebut juga yang menyebabkan usaha dalam bidang pertanian responden hanya skala subsisten, yaitu sebatas konsumsi rumah tangga petani. Petani yang memiliki luas lahan yang tergolong rendah mayoritas melihat pertanian dalam jumlah produktivitas dari hasil pertanian, dan memiliki kekhawatiran “gagal panen”, sehingga membuat mereka tidak menerapkan kembali praktek bertani organik dalam aktivitas usaha taninya. Adapun petani yang memiliki luas lahan pertanian yang tergolong tinggi mayoritas memandang bahwa kegiatan pertanian organik sebagai usaha ekonomi produktif yang bernilai tinggi sehingga dengan mencoba menerapkan praktek bertani organik memiliki pengharapan peningkatan produksi, selain itu aspek kesehatan menjadi orientasi petani yang memiliki luas lahan pertanian yang tinggi. 8.2.3
Hubungan Partisipasi dengan Tingkat Pengalaman Bertani Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig.
(1-tailed) hitung sebesar 0,006 < (0,05) dalam pengertian tingkat pengalaman bertani, H0 ditolak dan H1 diterima. Jadi, karakteristik tingkat pengalaman bertani mempengaruhi tingkat partisipasi responden terhadap pelaksanaan program. Tabel 22. Hubungan Tingkat Pengalaman Bertani dengan Tingkat Partisipasi Responden dalam Pelaksanaan Program Tingkat partisipasi Pengalaman Total Rendah Sedang Tinggi Bertani % % % Rendah 78.6 21.40 0.00 100 Sedang 37.5 43.75 18.75 100 Tinggi 40.0 20.00 40.00 100 Ket: =0,006 rs = 0,397 Berdasarkan Tabel 20, terlihat bahwa tingkat pengalaman bertani mempengaruhi tingkat partisipasi responden dalam pelaksanaan program. Responden yang memiliki pengalaman bertani yang rendah, tingkat partisipasi dalam pelaksanaan program sebanyak 78,6 persen, sedangkan untuk tingkat partisipasi yang tinggi untuk pengalaman yang rendah adalah nol persen. Hal ini terjadi karena responden yang memiliki pengalaman bertani yang rendah terbiasa melakukan praktek bertani secara konvensional yang menurut mereka sangat
66
mudah dan efisien untuk meningkatkan produksi, ketika mereka memperoleh penurunan hasil setelah mencoba praktek bertani organik, mereka cenderung kembali ke praktek bertani konvensional. Berbeda dengan petani yang memiliki tingkat pengalaman bertani yang tinggi, mereka secara pengalaman dan pengetahuan lokalnya dapat menganalisa merosotnya produktivitas pertanian disebabkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia yang berlebihan, sehingga mereka cenderung menilai positif dan menerima cara bertani organik. 8.2.4 Hubungan Partisipasi dengan Tingkat Keterdedahan Informasi Penyuluhan Pertanian. Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (1-tailed) hitung sebesar 0,07 > (0,05) dalam pengertian tingkat keterdedahan informasi penyuluhan pertanian, H0 diterima dan H1 ditolak. Jadi, karakteristik tingkat keterjangkauan informasi penyuluhan pertanian tidak mempengaruhi tingkat partisipasi responden terhadap pelaksanaan program. Tabel 23. Hubungan Jangkauan Informasi Pertanian dengan Tingkat Partisipasi Responden dalam Pelaksanaan Program Tingkat Partisipasi Jangkauan Informasi Rendah Sedang Tinggi Total Pertanian % % % Rendah 41.70 50.00 8.30 12 Sedang 91.70 8.30 0.00 12 Tinggi 31.25 31.25 37.50 16 Ket: =0,07 rs = 0,237 Berdasarkan Tabel 23 tersebut terlihat bahwa responden yang memiliki jangkauan informasi rendah memiliki tingkat partisipasi yang tergolong rendah sebanyak 41.7% dan yang tergolong partisipasi sedang sebanyak 50%, sedangkan responden yang memilki jangkauan informasi penyuluhan pertanian tinggi memiliki tingkat partisipasi yang tergolong tinggi yaitu sebesar 37,5% meskipun tidak terlalu besar perbedaanya dengan responden yang partisipasinya rendah. Hal ini berdasarkan keterangan dari beberapa responden yang menyatakan bahwa, mereka yang mencoba bertani organik cenderung karena melihat petani lainnya dimana pada saat itu banyak petani yang menerapkan praktek bertani organik. Dengan kata lain, mayoritas petani yang pernah menerapkan praktek bertani organik hanya ikut
67
ikutan mencoba praktek bertani organik, sehingga setelah mengalami penurunan hasil, mereka cenderung kembali menerapkan praktek bertani konvensional. Meskipun sikap mereka terhadap praktek bertani organik cenderung positif, perasaan “takut akan resiko gagal panen” cenderung membawa mereka kembali menerapkan praktek bertani konvensional. Adapun petani yang masih tetap menerapkan praktek bertani organik meskipun informasi penyuluhan pertanian organik tersebut tersebut didapatkan secara “getok tular” antar petani adalah mayoritas petani yang memiliki luas lahan ataupun luas garapan yang tinggi selain itu mereka yang telah memiliki pengalaman bertani yang tergolong tinggi. Hal ini karena mereka dapat menganalisis masalah berdasarkan pengalaman bertaninya dan terdapatnya kesempatan untuk mereka dapat mengembangkan usaha dibidang pertanian. Berdasarkan pernyataan tersebut, perbedaan tingkat penerimaan inovasi atau program yang menyebabkan tingkat keterjangkauan informasi penyuluhan pertanian tidak mempengaruhi partisipasi petani dalam pelaksanaan pemberdayaan, meskipun demikian, proses pemberdayaan diakatan masih terus berlangsung. Hal ini terlihat dari adanya mereka yang merupakan inovator atau early adopter masih konsisten menerapkan praktek bertani organik, dan sebagian besar dari mereka adalah early mayority dan late mayority kembali menerapkan praktek bertani konvensional setelah mencoba praktek bertani organik mengalami penurunan produktivitas hasil bertani.
68
BAB IX FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS DALAM PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK
9.1
Faktor-faktor Penentu Keberhasilan Program Pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan. Upaya pembangunan pertanian organik yang berkelanjutan dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan komunitas tani dalam penerapan program pertanian organik. Pada hakikatnya, makna pemberdayaan mencakup tiga aspek, yaitu: 1) menciptakan iklim kondusif yang mampu mengembangkan potensi masyarakat setempat, 2) memperkuat potensi/modal sosial masyarakat demi meningkatkan mutu kehidupannya, 3) melindungi dan mencegah semakin melemahnya tingkat kehidupan masyarakat. Pemberdayaan
masyarakat
adalah
upaya
peningkatan
kemampuan
masyarakat agar tanggap dan kritis terhadap berbagai perubahan, serta mampu mengakses
proses
pembangunan
untuk
mendorong
kemandirian
yang
berkelanjutan. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat mampu berperan aktif dalam menentukan
nasibnya
sendiri.
Upaya
memberdayakan
masyarakat
ini
membutuhkan tanggung jawab dan partisipasi dari berbagai pihak. Dalam hal ini, peran stakeholder terkait menjadi sangat penting dalam mensinergikan antara kebutuhan komunitas tani dengan program-program pemberdayaan. Dengan demikian, pemberdayaan komunitas ini menjadikan komunitas sebagai pemeran utama dalam pelaksanaan program pembangunan. Pelaksanaan pemberdayaan komunitas tani dalam penerapan pertanian organik juga memerlukan keberlanjutan dari kelembagaan dalam masyarakat (Indriana, 2009), dalam hal ini kelembagaan pertanian berupa kelompok-kelompok tani. Selain itu kelembagaan dari institusi pengelola program juga menjadi faktor yang menentukan keberhasilan program pemberdayaan. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka faktor-faktor penentu keberhasilan program pemberdayaan komunitas tani dalam penerapan pertanian organik yang diuji dalam penelitian ini meliputi, partisipasi anggota komunitas tani dalam
69
pelaksanaan program, juga kesiapan institusi dalam pelaksanaan program, meskipun demikian peran kelembagaan pertanian juga turut mempengaruhi keberhasilan program pemberdayaan, hal tersebut terlihat dari peran kelompok tani dalam mewadahi kebutuhan anggotanya dalam bidang petanian. 9.1.1 Tingkat Keberhasilan Program Pemberdayaan Komunitas Tingkat keberhasilan
pemberdayaan
komunitas tani dalam penerapan
pertanian organik merupakan ukuran dikatakan berhasilnya pemberdayaan petani dalam penerapan pertanian organik. Hal ini dilihat dari berlanjut atau tidaknya kegiatan bertani organik oleh petani. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dalam pelaksanaan program, hanya sebagian kecil responden yang mengulang praktek kegiatan bertani organik setelah mencoba bertanam organik diawal program, yaitu dari 40 jumlah responden hanya 32,5 persen responden yang masih menerapkan kembali praktek bertani organik secara prinsip bertani organik. Hal ini seperti yang tertera dalam tabel berikut: Tabel 24. Tingkat Partisipasi Responden dalam Pengulangan Kegiatan Bertani Organik Jumlah Tingkat Partisipasi dalam Pengulangan Penerapan Bertani Organik N % Rendah 15 37.5 Sedang 14 35.0 Tinggi 11 27.5 Jumlah 40 100 Berdasarkan Tabel 24, dapat dilihat bahwa responden yang masih turut berpartisipasi dalam menerapkan praktek bertani organik setelah mencoba sekali, dan masih mempraktekan hingga saat dilaksanakan penelitian hanya sebesar 27,5 persen, selebihnya mayoritas tidak menerapkan kembali setelah mencoba bertanam organik di awal program yaitu sebanyak 37,5 persen. Hal tersebut terjadi karena mayoritas aktivitas pertanian hanya pada skala subsisten dan adanya kekhawatiran akan resiko kegagalan panen, yang mana setelah menerapkan praktek bertani organik, hasil panen mengalami penurunan yang sangat tajam. Selain itu, resiko hama tungro yang sampai saat dilakukan penelitian ini belum dapat ditemukan penyelesaiannya. Hal inilah yang seringkali menjadi penyebab petani belum mau
70
menerapkan sepenuhnya cara-cara bertani organik terutama yang berkaitan dengan pemakaian pupuk organik. Ife (2008) yang mengatakan bahwa partisipasi merupakan unsur pokok pemberdayaan. Dengan demikian, partisipasi dapat dikatakan sebagai suatu langkah memberdayakan masyarakat, sehingga dalam pelaksanaan program
partisipasi
petani menjadi salah satu faktor yang mempengarui keberhasilan program pemberdayaan komunitas tani dalam penerapan sistem pertanian organik. Ketika petani tidak terlibat dalam pelaksanaan program, maka program penerapan pertanian organik tersebut tidak berlanjut. Elizabeth (2007) menyebutkan bahwa pemberdayaan (empowerment) merupakan strategi/upaya untuk memperluas akses masyarakat terhadap suatu sumberdaya ataupun program melalui penciptaan peluang seluas-luasnya agar masyarakat lapisan bawah mampu berpartisipasi. Dalam penelitian ini diketahui bahwa sebagian kecil petani mampu berpartisipasi dalam pelaksanaan praktek bertani organik yang bebas pestisida dan praktek bertani secara tumpangsari, da mina padi yang termasuk prinsip bertani organik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa petani terberdayakan dalam prinsip bertani organik yang bebas pestisida dan sistem tumpangsari atau pergiliran tanaman, dan mina padi. 9.1.2
Hubungan
Tingkat
Partisipasi
dengan
Keberhasilan
Program
Pemberdayaan Komunitas Tani dalam Penerapan Pertanian Organik Dalam penelitian ini, partisipasi yang diteliti adalah partisipasi berupa kehadiran dan dukungan responden baik berupa biaya, tenaga, fikiran dan lainnya sesuai kemampuan responden dalam seluruh rangkaian kegiatan pelaksanaan program. Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (1-tailed) hitung sebesar 0,01 < (0,05) sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Jadi, tingkat partisipasi petani dalam pelaksanaan program pertanian organik mempengaruhi tingkat keberhasilan program pemberdayaan komunitas dalam penerapan pertanian organik.
71
Tabel 25. Hubungan Tingkat Partisipasi dengan Tingkat Keberhasilan Program Pemberdayaan Komunitas dalam Penerapan Pertanian Organik Tingkat Keberhasilan Program Pemberdayaan Tingkat Partisipasi Rendah Sedang Tinggi Ket: =0,01
Tidak Berhasil 66.7 50.0 14.3
Total
Berhasil 33.3 50.0 85.7
100 100 100
rs = 0,356
Berdasarkan Tabel 25, terlihat bahwa tingkat partisipasi responden dalam pelaksanaan program mepengaruhi tingkat keberhasilan program pemberdayaan petani dalam penerapan sistem pertanian organik. Jika partisipasi responden rendah program tidak berhasil, dan jika partisipasi responden tinggi, maka program cenderung berhasil. Dalam pelaksanaannya hanya sebagian kecil responden yang masih menerapkan praktek bertani organik pada prinsip bebas pestisida dan sistem tumpangsari. Adapun dalam penggunaan pupuk an organik masih belum bisa ditinggalkan dengan alasan untuk mempertahankan produktivitas. Selain itu, mereka cenderung tidak ingin repot melakukan praktek bertani organik yang kurang efisien secara waktu. 9.1.3 Hubungan Tingkat Kesiapan Institusi dengan Tingkat Keberhasil Program Pemberdayaan Komunitas Tani dalam Penerapan Pertanian Organik Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (1-tailed) hitung sebesar 0,002 < (0,05) sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Jadi, tingkat kesiapan institusi dalam pelaksanaan sosialisasi program pertanian organik mempengaruhi tingkat keberhasilan program pemberdayaan komunitas dalam penerapan pertanian organik.
72
Tabel 26. Hubungan Tingkat Kesiapan Intitusi dengan Tingkat Keberhasilan Program Pemberdayaan Komunitas dalam Penerapan Pertanian Organik Tingkat Kesiapan Institusi Kurang Siap Siap
Tingkat Keberhasilan Program Pemberdayaan Tidak Berhasil % 77.8 33.3
Ket:=0.02
Berhasil % 22.2 66.7 rs = 0,444
Total
100 100
Berdasarkan Tabel 26 juga terlihat bahwa tingkat kesiapan institusi dalam pelaksanaan sosialisasi program mempengaruhi tingkat keberhasilan program, artinya semakin tinggi tingkat kesiapan institusi dalam pelaksanaan sosialisasi program, maka semakin tinggi pula kecenderungan tingkat keberhasilannya. Sebanyak 77,8 persen tingkat kesiapan institusi yang sedang tergolong pelaksanaan program yang tidak berhasil. Menyusul 66,7 persen tingkat kesiapan intitusi yang tinggi yang tergolong pelaksanaan program yang berhasil. Berdasarkan hasil data penelitian secara kulitatif, Institusi secara program telah mempersiapkan instrument pemberdayaan yang cukup baik begitupun pelaksanaan kegiatan dilapangan berjalan seperti yang direncanakan, namun pada pelaksanaannya, sebagian besar petani yang tergolong earlymayority dan late mayority kembali menerapkan prakten bertani konvensional, hal ini juga ditemukan bahwa instrument dan perencanaan program tersebut tidak sepenuhnya melibatkan petani dan tidak menyentuh ranah kebutuhan petani yang mendasar dalam hal ini kebutuhan pokok sehingga hanya menyentuh ranah partisipasi petani yang bersifat tokenisme. Hal ini pula yang menyebabkan pelaksanaan program dikatakan belum berjalan baik. Menurut Anwar (2005) upaya untuk mewujudkan pembangunan pertanian berkelajutan di Indonesia selain dapat dimulai dari inisiatif pemerintah dan tekanan kelembagaan yang dilakukan oleh masyarakat luas itu sendiri, juga perlu adanya pengembangan sumberdaya manusia seutuhnya. Begitupun dari hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa program yang dimulai dari inisiatif institusi ini belum dapat mewujudkan partisipasi petani dalam aktivitas pembangunan pertanian, meskipun secara
umum,
program
penyuluhan
pertanian
tersebut
bertujuan
untuk
mengembangkan sumberdaya manusia petani seutuhnya melalui beragam kegiatan penyuluhan yang berorientasi partisipatif.
73
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diluar dari kesiapan institusi penyuluhan dan individu penyuluhnya, juga faktor internal petani dan dukungan dari kelembagaan pertanian serta peran pemimpin dalam kelompok-kelompok tani, serta proporsi jumlah orang yang terpengaruh yang memiliki peranan dalam masyarakat. Hal demikian terlihat dari aktivitas partisipasi petani dalam kegiatan penerapan program, yang mana dibandingkan dari kesiapan institusi dalam pelaksanaan program, lebih banyak dipengaruhi oleh peran inovator atau mereka yang termasuk early adopter dari kelompok tani yang memiliki peranan dalam wilayah itu sendiri terutama kepemimpinan dalam kelompok tani sangat mempengaruhi partisipsi petani. Untuk menggugah kesadaran petani diluar petani yang tergabung dalam kelompok tani, pemimpin dan pengurus kelompok tani yang terlebih dahulu memberikan teladan dalam praktek bertani organik, yang kemudian diikuti oleh anggota kelompok tani setelah membuktikan manfaat dari praktek bertani organik.
74
BAB X PENUTUP
10.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, sikap petani terhadap sistem pertanian organik
cenderung sangat positif. Sebagian besar dari mereka mengetahui bagaimana praktek bertani organik dan besarnya manfaat bertani organik dibanding bertani konvensional. Mereka pun memiliki keinginan menerapkan cara bertani organik tersebut. Hal tersebut menjadi sebuah ukuran penerimaan petani tentang praktek bertani organik. Proses penerimaan petani dalam penerapan sistem pertanian organik dimulai dari kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh institusi dalam hal ini penyuluh pertanian, yang kemudian
isu pertanian organik ini mempengaruhi
sejumlah orang yang memiliki peranan dalam
masyarakat, dimana kemudian
mereka pulalah yang menyampaikan informasi tentang isu pertanian organik tersebut, mereka inilah yang berperan sebagai inovator atau early adopter dalam masyarakat. Analisis hubungan pengaruh antara karakteristik internal individu petani dengan tingkat partisipasi petani dalam pelaksanaan program penerapan pertanian organik. Umur tidak memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi petani dalam pelaksanaan program. Hal ini karena mayoritas petani dari semua golongan umur memiliki orientasi yang sama dalam pemanfaatan waktu dimana mereka jarang berkesempatan mengikuti kegiatan penyuluhan karena disibukan dengan aktifitas pencarian nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Adapun untuk tingkat pengalaman bertani dan tingkat kepemilikan lahan bertani memiliki hubungan pengaruh dengan tingkat partisipasi. Petani yang memiliki lahan bertani yang luas memiliki kesempatan untuk mengembangkan kegiatan bertani sesuai keinginan mereka, dan mereka cenderung tidak menjadikan lahan bertani tersebut sebagai kegiatan ekonomi subsisten. Adapun bagi petani yang memiliki pengalaman bertani yang tinggi cenderung memiliki perhatian yang tinggi terhadap kesuburan tanah dan kesehatan. Adapun, anlisis tingkat keterjangkauan informasi penyuluhan pertanian berdasarkan anlisis statistik tidak memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi. Hal ini karena adanya perbedaan tingkat penerimaan inovasi
75
atau program pertanian
organik dalam proses pemberdayaan, mereka yang
memiliki sikap yang positif terhadap sistem pertanian organik dan konsisten menerapkannya adalah mereka yang tergolong inovator dan early adopter dimana jumlahnya lebih sedikit dibandingkan petani yang tergolong early mayority dan late mayority, mereka itu memiliki tingkat pengalaman yang tinggi dan tingkat kepemilikan atau penguasaan lahan yang tinggi pula, dan mereka lebih terbuka dengan inovasi atau program dan informasi. Dalam pelaksanaan program, petani golongan early mayority dan late mayority cenderung kembali menerapkan praktek bertani konvensional. Hal ini karena sebagian besar petani memiliki kekhawatiran akan “resiko gagal panen” dan penurunan hasil, terutama mereka yang memiliki lahan pertanian yang sempit. Hal tersebut yang membuat mereka bersikap hati-hati dan membuat mereka menerapkan kembali praktek bertani organik setelah mencoba praktek organik. Dari hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa tingkat partisipasi petani dan tingkat kesiapan institusi dalam pelaksanaan program memiliki hubungan pengaruh dengan tingkat keberhasilan program pemberdayaan komunitas tani dalam penerapan sistem pertanian organik. Pelaksanaan program berjalan sesuai target Rencana Kerja Penyuluh Pertanian (RKPP), dengan kata lain pelaksanaan dilapangan berlangsung sesuai jadwal, dan penyuluh pun memiliki instrument pemberdayaan untuk praktek di lapangan, dan responden pun sebagian besar berdasarkan hasil kegiatan penyuluhan memiliki pengetahuan dan keinginan menerapkan praktek bertani organik, meskipun banyak diantara mereka yang kembali menerapkan praktek bertani konvensional. Pelaksanaan program pemberdayan tersebut masih dikatakan kurang berhasil karena masih banyak petani yang kembali menerapkan praktek bertani konvensional setelah mencoba praktek bertani organik. Selain itu, pelaksanaan program yang dilakukan institusi penyuluhan ini belum menyentuh kebutuhan petani yang mendasar dalam
hal ini kebutuhan hidup yang mendasar seperti
kebutuhan ekonomi, sehingga petani masih banyak yang
tidak konsisten
menerapkan praktek bertani organik, dan belum mau melaksanakan terutama bagi petani golongan early mayority dan late mayority.
76
DAFTAR PUSTAKA Anwar A. 1992. Membangun Kerangka Dasar Sistem Pertanian yang Berkelanjutan dalam Rangka Meningkatkan Kemandirian Bangsa. Jurnal Ilmiah Mimbar Sosek no. 4, hal.12-47. Aprianto Y. 2008. Tingkat Partisispasi Warga dalam Pengelolaan Lingkungan Berbasis Masyarakat. [Skripsi]. Bogor [ID]: Program Sarjana Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Apandi AR. 2010. Analisis Modal Sosial Komunitas Terhadap Tingkat Partisipasi Dalam Implementasi Program Corporate Social Responsbility (CSR). Studi Kasus: PT. Arutmin, Kalimantan Selatan. [Skripsi]. Bogor [ID]: Program Sarjana Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Aziz M. 2005. Model-model Pemberdayaan. Jakarta [ID]: LKIS Pelangi Aksara. Departemen Pertanian. 2008. Kinerja Pembangunan Sektor Pertanian. Jakarta [ID] Departemen Pertanian. Elizabeth R. 2007. Partisipasi Sebagai Strategi Pemberdayaan Petani Miskin Melalui Program Integrasi Jagung dan Ternak. Jurnal Sosial Ekonomika (SOCA),vol. 8, no.1. Ife J, Frank T. 2008. Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta [ID]: Pustaka Pelajar. IFOAM (International Federation of Organic Agricultiral Movement). 2008. Prinsip-prinsip Pertanian Organik. [Internet]. [Dikutip 26 April 2011]. Diunduh dari www.ifoam.org. Indriana H. 2010. Kelembagaan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik. [Tesis]. Bogor [ID]: Program Pascasarjana Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. JAJAKI (Jaringan Kebijakan Publik Indonesia). 2005. Rekomendasi Buku Putih: Membangun Pertanian Membangun Kemakmuran Bersama. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Jarnanto A. 2010. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. [Internet]. [dikutip 26 April 2011]. Dapat diunduh dari: http://tanimulya.blog.com/2010/06/13/pertanian-berkelanjutan. Kartasapoetro AG. 1987. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta [ID]. Bumi Aksara. Lokita DA. 2011. Partisipasi Masyarakat dalam Program Pengelolaan Sampah, [Skripsi]. Bogor [ID]. Program Sarjana Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Makmur S. 2007. Partisipasi Masyarakat dalam Program Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D). [Skripsi]. Bogor [ID]: Program Sarjana Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Mugniesyah SS. 2006. Materi Bahan Ajar: Ilmu Penyuluhan. Bogor [ID]: Departemen sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Musirawa. 2010. Pertanian Organik Menghemat Gas. [Internet]. [Dikutip pada 26 April 2011]. Dapat diunduh dari
77
http://palembang.tribunnews.com/view/29655/pertanian_organik_menghe mat_gas\. Pakpahan A. 2005. Membangun Pertanian Indonesia: Bekerja Bermartabat dan Sejahtera. Bogor [ID]: DPP Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor. Renstra (Rencana Strategis) Dinas Pertanian. 2005. Rencana Strategis dan Kbijakkan Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. [Internet]. [Dikutip 26 April 2011]. Diunduh dari http://pupuknpkorganiklengkap.blogspot.com/2009/11/bogorkembangkan-pertanian-organik.html. RKPP (Rencana Kerja Penyuluhan Pertanian). 2008. Rencana Kerja Penyuluh Pertanian Wilayah Binaan UPTD Dramaga. [unpublish]. Bogor [ID]: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian.Yogyakarta [ID]: Gajah Mada University Press. Setiana L. 2005. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bogor [ID]: Ghalia Indonesia. Singarimbun M dan Effendi S. 2006. Metode Penelitian Survey. Jakarta [ID]. Pustaka LP3ES. Suharma. 2005. Pemberdayaan Rumah Tangga Miskin Di Pedesaan Dalam Meningkatkan Kesejahteraannya. [Tesis]. Bogor [ID]: Program Pascasarjana Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Suharto E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung [ID]: Refika Aditama Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. (Pemasyarakatan dan Pengembaangannya). Yogyakarta [ID]: Kanisius. Van den Ban A.W, Hawkins H.S. (2005). Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta [ID]. Kanisius. Wahyuni ES. 2010. Pedoman Teknik Penulisan Studi Pustaka. Bogor [ID]: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB. Wicaksono MA. 2010. Analisis Tingkat Partisipasi Warga dalam Tanggung jawab Sosial Perusahaan. [Skripsi]. Bogor [ID]: Program Sarjana Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Widianto. 2008. Pemberdayaan Komunitas Patani Melalui Program Kemitraan Agribisnis Paprika. [Skripsi]. Bogor [ID]: Program Sarjana Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor.
91
LAMPIRAN
92
93
Lampiran 2. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Umur * Tingkat Partisipasi Pengalaman Bertani * Tingkat partisipasi Kepemilikan lahan Pertanian * Tingkat partisipasi Jangkauan Informasi Penyuluhan Pertanian * Tingkat partisipasi Sikap * Tingkat partisipasi Tingkat Penerimaan * Tingkat partisipasi
Missing
Percent
N
Percent
0
.0%
40
100.0%
40
100.0%
0
.0%
40
100.0%
40
100.0%
0
.0%
40
100.0%
40
100.0%
0
.0%
40
100.0%
40
100.0%
0
.0%
40
100.0%
40
100.0%
0
.0%
40
100.0%
tinggi
Total
Umur
Muda
1
1
0
2
dewasa
3
1
0
4
17
10
7
34
21
12
7
40
Tua Total
Percent
100.0%
Tingkat Partisipasi
rendah
N
40
Crosstab Count
Total
Sedang
94
Correlations
Spearman's rho
Umur
Correlation Coefficient
Umur
Kpartisipasi
1.000
.154
.
.171
40
40
Correlation Coefficient
.154
1.000
Sig. (1‐tailed)
.171
.
40
40
Sig. (1‐tailed) N Kpartisipasi
N
Tingkat Partisipasi
Tingkat partisipasi
95
Spearman's rho
Tingkat
Correlation Coefficient
**
1.000
.481
.
.001
40
40
**
1.000
.001
.
40
40
Kepemilikan Sig. (1‐tailed) N Tingkat Partisipasi Correlation Coefficient
Sig. (1‐tailed)
.481
N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1‐tailed).
Pengalaman Bertani
Spearman's rho
Pengalaman
Correlation Coefficient
Tingkat partisipasi
**
1.000
.397
.
.006
40
40
**
1.000
.006
.
40
40
Bertani Sig. (1‐tailed) N Tingkat Partisipasi Correlation Coefficient
Sig. (1‐tailed) N
.397
96
Correlations
Spearman's rho
Umur
Correlation Coefficient
Umur 1.000
.154
.
.171
40
40
Correlation Coefficient
.154
1.000
Sig. (1‐tailed)
.171
.
Sig. (1‐tailed) N Kpartisipasi
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1‐tailed). Crosstab Count
Tingkat Partisipasi
Pengalaman
Kpartisipasi
rendah
sedang
tinggi
Total
rendah
11
3
0
14
sedang
6
7
3
16
tinggi
4
2
4
10
Bertani
97
Correlations
Spearman's rho
Umur
Correlation Coefficient
Umur 1.000
.154
.
.171
40
40
Correlation Coefficient
.154
1.000
Sig. (1‐tailed)
.171
.
Sig. (1‐tailed) N Kpartisipasi
Total
Kpartisipasi
21
12
7
40
Crosstab Count
Tingkat Kepemilikan rendah
Tingkat Partisipasi
rendah
sedang
tinggi
Total
11
4
0
15
10
7
4
21
0
1
3
4
Lahan sedang
tinggi
98
Crosstab Count
Tingkat Partisipasi
rendah
Tingkat Kepemilikan rendah
sedang
tinggi
Total
11
4
0
15
10
7
4
21
0
1
3
4
21
12
7
40
Lahan sedang
tinggi Total
Correlations
Jangkauan Info
Spearman's rho
Tingkat
Correlation Coefficient
1.000
Tingkat Partisipasi
.237
99
Sig. (1‐tailed)
Jangkauan
.
.070
40
40
.237
1.000
.070
.
40
40
Informasi N
Penyuluhan Pertanian
Tingkat Partisipasi Correlation Coefficient
Sig. (1‐tailed) N
Count
Tingkat
Rendah
5
6
1
12
Informasi sedang
11
1
0
12
5
5
6
16
21
12
7
40
Tingkat Partisipasi
Rendah
sedang
tinggi
Total
Jangkauan
Penyuluha n
tinggi
Pertanian Total
Crosstab
100
Count
Tingkat Partisipasi
Sikap
kurang positif
rendah
Positif
Sangat positif Total
sedang
tinggi
Total
3
2
0
5
11
4
0
15
7
6
7
20
21
12
7
40
Crosstab Count
Tingkat Partisipasi
rendah
sedang
tinggi
Total
101
Tingkat Penerimaan
Tidak Menerima
1
0
0
1
Kurang Menerima
5
3
0
8
15
9
7
31
Menerima
Total
21
12
7
40
102
Case Processing Summary
Cases
Tingkat Partisipasi * Tingkat Keberhasilan Program
Valid
N
Missing
Percent
40
100.0%
N
Total
Percent
0
.0%
N
Percent
40
100.0%
103
Tingkat Penilaian * Tingkat Keberhasilan Program Tingkat Penerimaan * Tingkat Keberhasilan Program
40
100.0%
0
.0%
40
100.0%
40
100.0%
0
.0%
40
100.0%
Crosstab Count
Tingkat Keberhasilan
Program
tidak
ya
Total
Tingkat Partisipasi rendah
14
7
21
sedang
6
6
12
tinggi
1
6
7
21
19
40
Total
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Tingkat Kesiapan Institusi * Tingkat
Missing
Percent
39
Keberhasilan Program
N
97.5%
Total
Percent
1
2.5%
Tingkat Kesiapan Institusi * Tingkat Keberhasilan Program Crosstabulation Count
TingKesInstitusi
Sedang
KberhasilPrg
tidak berhasil
kurang berhasil
14
Total
4
18
N
Percent
40
100.0%
104
Tinggi Total
7
14
21
21
18
39
105
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
KberhasilPrg * Sikap
40
100.0%
0
.0%
40
100.0%
KberhasilPrg * TkPenerimaan
40
100.0%
0
.0%
40
100.0%
KberhasilPrg * Kpartisipasi
40
100.0%
0
.0%
40
100.0%
Crosstab Count
TkPenilaian
KberhasilPrg
kurang positif
positif
sangat positif
Total
tidak berhasil
3
14
4
21
kurang berhasil
2
1
16
19
5
15
20
40
Total
Symmetric Measures
a
Value
b
Interval by Interval
Pearson's R
.495
.148
3.507
.001
c
Ordinal by Ordinal
Spearman Correlation
.562
.143
4.193
.000
c
N of Valid Cases
Asymp. Std. Error
40
Approx. T
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Approx. Sig.
106
Crosstab Count
TkPenerimaan
meneri Tidak Menerima Kurang Menerima
KberhasilPrg
ma
Total
tidak berhasil
1
8
12
21
kurang berhasil
0
0
19
19
1
8
31
40
Total
Correlations
Spearman's rho
TingKesInstitusi
TingKesInstitusi
Correlation Coefficient
Sig. (1‐tailed) N
Kpartisipasi KberhasilPrg
**
.444
**
1.000
.536
.
.000
.002
39
39
39
107
Kpartisipasi
Correlation Coefficient Sig. (1‐tailed) N
KberhasilPrg
Correlation Coefficient
Sig. (1‐tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1‐tailed).
**
1.000
.000
.
.012
39
40
40
**
.356
*
.536
*
.444
.356
1.000
.002
.012
.
39
40
40
108
Crosstab Count
TkPenerimaan
meneri Tidak Menerima Kurang Menerima
KberhasilPrg
Total
tidak berhasil
1
8
12
21
kurang berhasil
0
0
19
19
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1‐tailed).
ma
109
Lampiran 3. Rencana Kerja Penyuluh Pertanian dan Evaluasi Materi Kunjungan Penyuluh Pertanian: No. 1.
Bulan Januari
Materi Kunjungan • Varietas padi benih unggul berlabel/bersertifikat • Pemupukan berimbang • Sosialisasi SLPTT Padi Sawah
Metode Demplot Pertemuan Kunjungan Kunjungan
2.
Februari
3.
April
• Penggiliran varietas padi tahan tungro • Pembuatan Kompos/bokashi
Demplot Pertemuan Kunjungan
4.
Mei
Pertemuan Kunjungan
5.
Juni
• Pembuatan pestisida nabati • Pengendalian hama terpadu padi sawah • Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) SistemLegowo • Pengendalian hama terpadu • Pemupukan berimbang
6.
Juli
Demplot Pertemuan Kunjungan
7.
Agustus
• Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) • Pemupukaan berimbang padi sawah • Pengendalian hama terpadu tahan tungro • Pemupukan berimbang padi sawah • Pola tanam padi dan palawija Cara pemberian pupuk padi sawah • Jadwal pemberian pupuk padi sawah
8.
September
• Penggiliran varietas padi tahan tungro • Pembuatan kompos
Anjangsana
9.
Oktober
• Pengelolaan tanah padi sawah • Pemupukan berimbang pdi sawah • Fungsi Pengurus kelompok tani
Pertemuan Kunjungan Anjangsana
10.
November
Pertemuan Kunjungan Anjangsana
11.
Desember
• • • • • •
Pengelolaan tanah padi sawah Pola tanam padi da palawija Pengendalian hama terpadu Pemupukan berimbang padi sawah Pemupukan berimbang Persemaian padi sawah dan darat
Demplot Petemuan dan Kunjungan
Demplot Kunjungan
Pertemuan Kunjungan
Output Meningkatkan PSK dalam pemupukan, benih bermutu. Meningkatkan PSK Petani Meningkatkan PSK dalam pengendalian hama dan pembuatan pupuk kompos Meningkatkan PSK dalam pembuatan pestisida nabati MEningkatkan PSK dalam penelolaan tanaman dan pemupukan serta pengendalian hama Meningkatkan PSK dalam pemupukan, jarak tanam, dan penetuan umur tanaman Meningkatkan PSK dalam pemupukan, jarak tanam, dan pola pergiliran tanaman Meningkatkan PSK dalam pembuatan pupuk dan pestisida nabati Meningkatkan PSK dalam pengolahan tanah, pemupukan dan pemanfaatan kelompok Meningkatkan PSK
Meningkatkan PSK