Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Pembentukan Identitas Budaya Generasi Muda Etnik Maluku di Belanda: Tahun 1960-2015 Fiori Rizki Djuwita (NPM 1206270975) Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia, 2016 Email :
[email protected] Abstrak Makalah ini membahas mengenai pembentukan identitas budaya generasi muda etnik Maluku di Belanda yang terbentuk melalui tiga tahapan proses pembentukan identitas budaya menurut Phinney (1990). Namun makalah ini akan lebih berfokus pada tahapan kedua dari teori pembentukan identitas yaitu, pencarian identitas. Dalam menulis makalah ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Melalui makalah ini akan terlihat pencapaian identitas budaya generasi muda etnik Maluku di Belanda sebagai etnik Maluku yang tinggal di Belanda dengan nilainilai budaya yang telah diadaptasi mengikuti modernisasi budaya barat, khususnya Belanda Kata kunci
: Belanda, Etnik Maluku, Identitas Budaya, KNIL, Pembentukan Identitas.
Abstract
This paper discusses about the cultural identity formation of young generation of Moluccans in Netherlands which formed by three-phase cultural identity formation process according to Phinney (1990). However, this paper will mainly focus on the second phase of the cultural identity formation theory namely, cultural identity search. In writing this paper, the author used qualitative research methods. This paper presents the cultural identity achievement of young generation of Moluccans in Netherlands as Moluccans who live in Netherlands which the cultural values have been adapted to the modernization of western culture, specifically Netherlands. Keywords
: Cultural Identity, Identity Formation, KNIL, Moluccan, Netherlands.
Pendahuluan Kehadiran imigran-imigran asing sering kali dianggap sebagai suatu masalah di Belanda. Permasalahan-permasalahan yang timbul kerap kali mencakup masalah perbedaan bahasa, budaya, ras dan agama. Dari sekian banyak etnis minoritas yang ada di Belanda terdapat etnik
1 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Maluku. Orang-orang Maluku tersebut adalah mereka yang pada tahun 1951 melakukan eksodus ke Belanda. Etnik Maluku pertama kali datang ke Belanda karena ketidakstabilan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah penyerahan kedaulatan yang dilakukan Belanda kepada Indonesia pada tahun 1949 yang menyebabkan KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) juga dibubarkan pada tahun 1950. Demobilisasi ini menimbulkan masalah menyangkut kekhawatiran para bekas tentara KNIL, khususnya etnik Maluku, terhadap reaksi pemerintah Indonesia karena peran mereka dalam membantu pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi masalah demobilisasi tersebut maka dibuat suatu kesepakatan di antara Indonesia, KNIL dan Belanda untuk memindahkan para bekas tentara KNIL tersebut ke Belanda untuk sementara. Namun kesepakatan ini ternyata hanya menyelesaikan masalah yang ada untuk sementara waktu (Bartels 1990:1). Terlebih lagi, masalah “Irian Barat”1 yang semakin memburuk membuat perundingan mengenai kepulangan KNIL Maluku ke Indonesia dikesampingkan. (Ohorella, Harjono, dan Wulandari 1993:83) Menurut Lustig dan Koester (1999), identitas budaya adalah perasaan menjadi bagian dari suatu budaya atau kelompok etnis tertentu. Hal tersebut terbentuk melalui proses yang dihasilkan oleh keanggotaan dalam budaya tertentu, dan hal itu juga melibatkan penerimaan dan pembelajaran mengenai tradisi, warisan, bahasa, agama, leluhur, keindahan, pola pikir dan struktur sosial dari budaya tersebut (Fong dan Chuang 2004:6). Selain itu, Alo Liliweri (2005) dalam bukunya yang berjudul “prasangka dan konflik: komunikasi lintas budaya masyarakat multikultur” juga mendefinisikan identitas budaya sebagai rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya (bonded), tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri budaya lain (Liliweri 2005: 41-42). Terdapat beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai kehidupan etnik Maluku di Belanda. Tamme Wittermans dan Noel P. Gist (1962) membahas mengenai 1
Wilayah Irian Barat merupakan wilayah milik Belanda semenjak tahun 1828. Ketika Belanda secara formal telah mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1949, status kepemilikan wilayah Irian Barat masih dipertanyakan. Sehingga terjadi sengketa antara Belanda dan Indonesia mengenai status Irian Barat (Historical Background diperoleh dari http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unsfbackgr.html).
2 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
pergerakan nasionalis etnik Maluku di Belanda dan kaitannya dengan ketidakjelasan status. Selain itu Dieter Bartels (1986) juga membahas mengenai kemungkinan terjadi lagi aksi kekerasan yang dilakukan oleh etnik Maluku di Belanda setelah pembajakan kereta pada tahun 1970-an. Dalam jurnal tersebut Bartels juga menyinggung mengenai pencarian identitas dan westernisasi orang Maluku di Belanda serta dampak buruk dari pembajakan. Namun Bartels tidak menjelaskan bagaimana proses pembentukan identitas generasi muda etnik Maluku di Belanda secara sistematis. Hal tersebut yang kemudian membuat penulis tertarik untuk membahas proses pembentukan identitas budaya generasi muda etnik Maluku di Belanda periode tahun 1960-2015. Pada tahun 1977, generasi kedua dan ketiga etnik Maluku di Belanda melakukan pembajakan terhadap kereta dan sekolah serta menyandera 105 orang anak serta 59 orang dewasa. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana etnik Maluku berupaya untuk mencari identitas budayanya melalui pergerakan politik di Belanda. Hal tersebut yang mendasari ketertarikan penulis untuk membahas lebih jauh mengenai proses pencarian identitas budaya generasi muda etnik Maluku di Belanda. Pertanyaan yang diajukan adalah: Bagaimana proses pembentukan identitas budaya generasi muda Etnik Maluku di Belanda periode 1960-2015? Faktor-faktor apa saja yang mendorong generasi muda etnik Maluku di Belanda untuk melakukan pencarian identitas? Dan bagaimana bentuk pencarian identitas budaya yang dilakukan oleh generasi muda Etnik Maluku di Belanda melalui pergerakan politik pada tahun 1970an? Makalah ini bertujuan untuk mengetahui proses pembentukan identitas budaya generasi muda etnik Maluku di Belanda periode tahun 1960-2015 dan upaya pencarian identitas budaya melalui pergerakan-pergerakan politik yang dilakukan oleh generasi muda etnik Maluku di Belanda, khususnya generasi ketiga etnik Maluku di Belanda, untuk mencapai identitas budayanya pada tahun 1970-an. Selain itu penulis juga akan memaparkan faktor-faktor yang mendorong etnik Maluku di Belanda untuk melakukan pencarian identitas budaya. Makalah ini akan membahas tahapan-tahapan pembentukan identitas budaya generasi muda etnik Maluku di Belanda, khususnya generasi ketiga. Namun porsi pembahasan akan lebih berfokus pada tahapan kedua dalam teori pembentukan identitas milik Phinney yaitu, pencarian identitas budaya. Melalui makalah ini akan terlihat bagaimana generasi muda etnik Maluku di Belanda mulai mengalami krisis identitas sehingga mempertanyakan siapa diri mereka sebenarnya. Hal tersebut yang menuntun mereka untuk melakukan eksplorasi terhadap identitas 3 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
budaya mereka melalui berbagai kegiatan. Hingga akhirnya, mereka dapat berkomitmen penuh terhadap satu identitas budaya. Pada makalah ini juga terdapat pembagian dalam menyebutkan generasi. Generasi tua atau pertama merupakan bekas tentara KNIL Maluku dan istrinya yang lahir di Indonesia dan pindah ke Belanda bersama keluarganya pada tahun 1951. Sedangkan generasi muda berisi generasi kedua dan generasi ketiga. Generasi kedua merupakan mereka yang lahir di Indonesia dan masih anak-anak ketika pindah ke Belanda dan generasi ketiga adalah mereka yang lahir di Belanda. Landasan Teori Dalam menulis makalah ini, penulis akan menggunakan teori pembentukan identitas (identity formation theory) yang dicetuskan oleh Jean S. Phinney (1990). Phinney melihat proses dari perkembangan identitas budaya meliputi tiga tahapan: a. Identitas Budaya Tak Teruji (Unexamined Cultural Identity) Pada tahapan ini, individu belum memiliki pengetahuan mengenai perbedaan budaya, etnis dan ras (Fong dan Chuang 2004: 31). Tahap ini dibagi menjadi dua subtahapan Pada subtahapan pertama, individu belum mempertanyakan dan mengeksplorasi identitas budaya mereka (Tracy, Illie dan Sandel 2015:317). Subtahapan ini disebut dengan
diffusion.
Sedangkan
subtahapan
kedua,
foreclose,
menunjukkan
keberterimaan individu terhadap nilai-nilai budaya dan perilaku orang tua mereka tanpa pernah mempertanyakannya (Tracy, Illie dan Sandel 2015:317). Selain itu, keputusan untuk menerima nilai-nilai budaya dan perilaku tersebut bukan merupakan keputusan pribadi (Singelis 1997:167). Pada tahap ini, seringkali individu menerima segala prasangka negatif terhadap etnis mereka (stereotype) dari etnis mayoritas (Bernal 1993:66). b. Pencarian Identitas Budaya (Cultural Identity Search) Tahapan ini juga disebut sebagai moratorium. Pada tahapan ini, individu mengeksplorasi identitas budaya mereka namun belum memutuskan untuk berkomitmen pada satu identitas budaya tertentu (Singelis 1997:167). Eksplorasi 4 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
dilakukan melalui kegiatan membaca buku berkaitan dengan budaya mereka, mengikuti kelas yang mengangkat topik-topik budaya, ras, atau etnik dan mengikuti acara-acara yang berkaitan dengan budaya mereka. Individu juga mulai memberi perhatian pada isu-isu yang berkaitan dengan identitas budaya mereka yang umumnya diawali dengan suatu kejadian penting atau konflik-konflik budaya yang membangunkan kesadaran mereka. Mereka mulai menyadari identitas budaya mereka dan mulai mengikuti organisasi-organisasi sosial berlatar belakang kesamaan etnis atau budaya (Tracy, Illie dan Sandel 2015:317). Pada tahapan ini, sangat memungkinkan bagi seseorang mengalami krisis identitas (Fong dan Chuang 2004:32). c. Pencapaian Identitas Budaya (Cultural Identity Achievement) Tahap ini biasa disebut dengan achieved. Pada tahap ini, individu sudah mengeksplorasi identitas budaya mereka dan sudah berkomitmen pada satu identitas budaya tertentu yang didasari oleh keputusan pribadi bukan keputusan orang tua (Singelis 1997:167). Individu mendapatkan pemahaman yang lebih jelas dan mendalam mengenai identitas budaya mereka (Tracy, Illie dan Sandel 2015:317). Pada tahap ini, individu mulai diliputi perasaan nyaman karena sudah mengetahui, memahami, mengapresiasi dan menerima jati diri mereka. Mereka juga sudah dapat menghindari internalisasi komentar-komentar negatif, stereotip dan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap etnis atau budaya mereka (Fong dan Chuang 2004: 21,32). Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif sehingga laporan akhir akan berstruktur fleksibel dan data berbentuk tekstual. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah studi pustaka. Data-data yang digunakan berdasarkan pada temuan-temuan pada penelitian-penelitian sebelumnya. Korpus dari makalah ini adalah sebuah jurnal dari Dieter Bartels berjudul Can the Train Ever Be Stopped Again? Developments in the Moluccan Community in the Netherlands before and after the Hijackings (1986), yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teori pembentukan identitas budaya oleh Phinney yang telah dijelaskan di atas. 5 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Sejarah Kedatangan imigran-imigran dari Maluku di Belanda dan Bergabungnya Mereka dengan RMS Berawal dari penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia Serikat pada tahun 1949 yang berujung kepada pembubaran KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) setahun setelahnya. KNIL adalah tentara yang bekerja di bawah otonomi pemerintah Hindia-Belanda dan terlepas dari tentara Belanda umumnya di Eropa. KNIL terdiri dari berbagai macam etnik seperti, Jawa, Maluku, Minahasa dan Bugis (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:81). Namun, banyak orang yang mengasosiasikan kata KNIL dengan pemuda Ambon yang mayoritasnya beragama Kristen dan dicap sebagai antek Belanda. Padahal, KNIL lebih banyak beranggotakan etnik Jawa dibandingkan dengan etnik Maluku dengan perbandingan sekitar 4000 orang etnik Maluku dan 13.000 orang etnik Jawa pada tahun 1916 (Matanasi 2015:11-12). Oleh karena demobilisasi tersebut, tercipta beberapa kondisi yang menyebabkan para bekas tentara KNIL berdarah Maluku harus dipindahkan untuk sementara waktu ke Belanda. Terdapat pandangan yang mengatakan bahwa para tentara KNIL berdarah Maluku yang saat itu masih tersebar di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Jawa dan masih menunggu untuk di bebastugaskan dan dikirim kembali ke Maluku oleh pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir akan pembalasan pemerintah Indonesia terhadap mereka yang dianggap telah berkhianat karena telah membantu pemerintah Hindia-Belanda dan menghalang-halangi kemunculan Republik Indonesia (Bosma 2012:123). Sehingga para tentara ini melakukan negosiasi dengan petinggi Maluku di Maluku untuk mendukung gerakan separatis Republik Maluku Selatan. Mengetahui hal ini pemerintah Indonesia tidak hanya diam saja. Pemerintah pun menghalangi kepulangan para bekas tentara KNIL ini ke Maluku dan melakukan negosiasi dengan kerajaan Belanda. Konflik yang terus berlangsung membuat para bekas tentara KNIL yang berada di luar Maluku turut khawatir. Mereka menolak untuk didemobilisasi di Jawa namun juga menolak tawaran dari Presiden Sukarno untuk bergabung dengan TNI. Mereka menginginkan pembubaran mereka dilaksanakan di Ambon atau di Irian Jaya (sekarang Papua) yang saat itu masih dibawah kekuasaan Belanda (Bartels 1986:27). Namun keinginan ini tidak dapat dikabulkan oleh Presiden Sukarno. 6 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Penolakan atas keinginan tersebut didasarkan atas kecurigaan Presiden Sukarno terhadap para bekas tentara KNIL. Ia curiga mereka akan memperkuat gerakan separatis RMS jika diizinkan kembali ke Maluku (Bartels 1986:27). Kenyataan ini membuat para bekas tentara KNIL menunjuk seorang berdarah Ambon di Rotterdam untuk menjadi perwakilan mereka di Belanda untuk memperkarakan kasus ini ke pengadilan. Kasus ini dimenangkan oleh para bekas tentara KNIL yang gugatannya dikabulkan oleh para hakim di Belanda dengan keputusan untuk mengirimkan para bekas tentara KNIL dan keluarganya ke Belanda untuk menghindari pertumpahan darah. Namun di sisi lain terdapat juga pandangan yang mengatakan bahwa ketika dibubarkan pada 26 Juli 1950, tentara KNIL berdarah Maluku diperkirakan harus menunggu beberapa bulan lagi untuk didemobilisasi. Mereka diberikan status sementara sebagai KL (Koninklijke Leger)2 yang mengharuskan mereka untuk taat terhadap disiplin militer yang ada (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:81). Pada saat itu, pemerintah sudah menawarkan bagi mereka yang ingin bergabung dengan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) untuk mendaftar secara perseorangan dan bagi mereka yang ingin kembali ke masyarakat juga dipersilakan untuk mencari tempatnya di masyarakat. Solusi untuk mendemobilisasi tentara KNIL dari luar Maluku di Ambon juga tampaknya tidak mungkin dilaksanakan. Terlebih lagi, saat itu kendali terhadap kota Ambon sudah dipegang penuh oleh APRIS (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:81). Hal tersebut membuat pihak KNIL Maluku mengirimkan utusan yang dipimpin oleh Aponno untuk berunding dengan kabinet Belanda dan mengajukan usul agar demobilisasi dilakukan di Pulau Seram. Namun, pemerintah Belanda menolak usulan sehingga delegasi utusan KNIL Maluku ini mengajukan permasalahan tersebut ke pengadilan di Den Haag. Kali ini, mereka meminta agar demobilisasi mereka tidak dilakukan di Ambon ataupun wilayah Indonesia manapun. Hal ini pun disetujui oleh ketua pengadilan dengan alasan keselamatan (Ohorella, Harjono, dan Wulandari 1993:82-83). Namun, waktu keberadaan tentara Belanda di RIS akan habis pada April 1951. Hal tersebut juga berarti bahwa keberadaan KL sudah tidak diperkenankan lagi di wilayah Indonesia. Sehingga, sebagian besar tentara KL sudah dipulangkan ke Belanda, KNIL di luar etnik Maluku
2
Koninklijke Leger (tentara Kerajaan) adalah tentara angkatan darat Belanda yang sesungguhnya.
7 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
juga sudah didemobilisasi, sebagian juga banyak yang bergabung dengan APRIS. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 115 anggota KNIL Maluku yang kembali ke Maluku Tengah. Hal ini tentu saja membuat kekacauan lainnya karena status KNIL saat itu sudah berubah menjadi KL dan keberadaan mereka sudah tidak diperkenankan. Sehingga, tidak ada solusi lain yang dapat ditawarkan oleh pemerintah Belanda selain membawa tentara KNIL Maluku tersebut ke Belanda untuk sementara waktu. Selain itu hal ini juga didukung oleh pemerintah Indonesia. Namun dikarenakan masalah “Irian Barat” yang semakin memburuk membuat perundingan mengenai kepulangan KNIL Maluku ke Indonesia dikesampingkan (Ohorella, Harjono, dan Wulandari 1993:83). Selain alasan yang telah dijelaskan diatas terdapat juga kabar angin yang mengatakan bahwa orang-orang Jawa akan membalas dendam terhadap peran para bekas tentara KNIL yang ketika itu berjuang dibawah bendera Belanda untuk menentang pergerakan kemerdekaan Indonesia. Terdapat juga kabar angin yang menyatakan bahwa seluruh umat Kristiani harus disunat dan harus menganut agama Islam (Bartels 1986:26). Kabar angin yang beredar saat itu tentu saja tidak hanya mengkhawatirkan bekas tentara KNIL namun juga masyarakat Maluku pada umumnya. Oleh karena ketakutan dan kekhawatiran itu, etnik Maluku memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 25 April 1950 di bawah bendera Republik Maluku Selatan di Ambon. Mereka juga mengklaim Maluku tengah dan tenggara sebagai wilayah mereka. Keputusan orang-orang Maluku untuk memproklamasikan kemerdekaannya merupakan hasil dari usaha Johannes Alvarez Manusama (1910–1995) yang meyakinkan masyarakat Maluku bahwa hanya negara serikat yang mampu menjaga mereka dari dominasi orang-orang Jawa (Bartels 1986:26). Manusama merupakan seorang federalis berdarah Maluku yang lahir di Jawa. Ia merupakan seorang insinyur dan guru didikan Belanda. Kemudian ia pergi ke Ambon untuk pertama kalinya pada tahun 1947 untuk meyakinkan masyarakat Maluku untuk mendukung ideologinya (Bartels 1986:27). Keputusan ini berdampak pada penyerbuan Ambon oleh tentara Indonesia pada tanggal 28 September 1950. Kemudian pada tanggal 5 November 1950, tentara Indonesia berhasil menaklukkan kota Ambon. Oleh karena penaklukkan itu, pemerintah RMS melarikan diri ke Pulau Seram dan melanjutkan perjuangannya secara gerilnya disana hingga tahun 1960-an dibawah pimpinan Dr. Christiaan Robbert Steven Soumokil (1905-1966). Ia adalah keturunan 8 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Maluku yang lahir di Surabaya dan mengenyam pendidikan di Universitas Leiden. Ia adalah mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur yang kemudian menjadi pemimpin pergerakan RMS di Indonesia. Soumokil merupakan proklamator Republik Maluku Selatan. Akhirnya berdasarkan hasil keputusan pengadilan, pemerintah Belanda bersedia untuk mengirimkan sekitar 4.000 bekas tentara dan 8.500 anggota keluarganya ke Belanda pada Maret hingga Juni 1951 untuk sementara waktu sampai Indonesia memiliki kontrol penuh terhadap Maluku. Hingga saat kedatangan para bekas tentara ini di Belanda, mereka masih meyakini bahwa mereka akan berada di Belanda hanya untuk sementara waktu dan akan segera kembali ketika keadaan mulai kondusif. Namun kenyataannya, keyakinan ini tidak pernah dapat terealisasikan. Pandangan lain mengatakan tergabungnya KNIL Maluku dengan RMS adalah wujud nyata dari propaganda organisasi Door de eeuwen trouw (setia selama berabad-abad)3. Pandangan ini percaya bahwa ketika KNIL Maluku menginjakkan kakinya ke Belanda, mereka belum termasuk bagian dari gerakan separatis RMS. Door de eeuwen trouw yang ketika itu menyambut mereka ketika mereka sampai di Pelabuhan Rotterdam, Belanda turut membawa bendera RMS dan bendera Belanda serta mencoba menanamkan ideologi RMS dengan cara menyebarkan pamflet-pamflet yang berisi ajakan dan uraian alasan mengapa mereka harus bergabung dengan RMS. Kemudian, organisasi tersebut juga meyakinkan mereka bahwa RMS merupakan wadah terbaik untuk para KNIL Maluku dan menjanjikan kepulangan mereka ke Maluku di bawah bendera RMS merdeka (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:86-87). Kebijakan tijdelijk verblijf (tinggal sementara) juga membuat mereka bingung akan statusnya yang bukan merupakan warga negara Republik Indonesia maupun warga negara Belanda juga dipercaya mengantarkan mereka kepada ideologi RMS (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:83-84).
3
Door de eeuwen trouw adalah organisasi yang didirikan di Eindhoven pada 29 April 1950 yangbertujuan untuk membangun perhatian di negeri Belanda dan tempat-tempat lain bagi kepentingan bangsa Ambon, Timor dan Minahasa serta berbagai kelompok lainnya di bekas Hindia Belanda serta bertujuan untuk mengusahakan hak untuk menentukan nasib sendiri. Organisasi ini juga yang turut menyuarakan ketidaksetujuan untuk melakukan demobilisasi KNIL Maluku di Indonesia (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:86).
9 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Awal Mula Pembentukan Identitas Budaya Etnik Maluku di Belanda Ketika 12.500 orang bekas tentara KNIL dan keluarganya sampai di Belanda, mereka harus tinggal di kamp-kamp di daerah pinggiran kota. Drs. Huib Akihary (?-?) seseorang yang pernah ditugaskan untuk mempelajari sejarah pemukiman tersebut oleh Museum Maluku di Utrecht membagi kamp-kamp tersebut menjadi beberapa bagian, yaitu (1) Kamp bekas kamp konsentrasi Nazi seperti Kamp Vught (sekarang Lunetten) di Noord Brabant (Brabant Utara) dan kamp Westerbork (sekarang Schattenberg) di Drenthe, (2) Biara Katolik untuk penganut katolik seperti orang Kei-Aru, misalnya Capucijner Klooster (Biara Capucijner) di Limburg dan klooster Rijckholt (Biara Rijckholt) di Limburg, (3) Vila-vila seperti vila De Zwaluwenburg di Gelderland, (4) Kamp dari Dinas Penempatan Tenaga, misalnya Kamp Wyldemerk di Balk, Friesland, Kamp Donzel di Nistelrode, Noord Brabant dan kamp Nuis di Marum, Groningen, (5) Kamp dari Departemen Sosial, dan (6) Kamp militer seperti di Woerden, Utrecht. (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:90). Awal mula kehidupan mereka di Belanda bisa dikatakan jauh dari kata layak. Kamp-kamp tempat mereka tinggal hanya dipisahkan oleh dinding-dinding tipis antara satu keluarga dan keluarga lainnya (Bartels 1986:27). Di tempat tersebut tidak pernah ada cukup ruang bagi seseorang untuk memiliki ruang pribadi. Kondisi cuaca Belanda yang sangat dingin semakin memperburuk keadaan mereka yang terbiasa dengan iklim tropis Indonesia. Akan tetapi hal tersebut tidak meredupkan keyakinan mereka bahwa Belanda akan menepati janjinya untuk membantu mereka mencapai tujuannya dan memberikan kemerdekaan bagi Maluku di bawah bendera Republik Maluku Selatan. Keyakinan ini membuat mereka enggan untuk bergabung dengan masyarakat Belanda. Namun, berbeda dengan keyakinan yang dimiliki oleh para bekas tentara KNIL dan keluarganya, pemerintah Belanda justru meyakini bahwa orang-orang Maluku ini akan kembali ke Indonesia namun bukan ke Maluku yang merdeka. Selain itu, Belanda bersikeras bahwa mereka tidak pernah menjanjikan memberikan Maluku yang merdeka kepada para bekas tentara KNIL (Bartels 1986:29). Selain menafikkan janji mereka terhadap para bekas tentara KNIL, Belanda juga membubarkan mereka dengan cara yang dianggap oleh para bekas tentara KNIL kurang layak. Tidak hanya itu, Belanda juga mencabut status militer para bekas tentara KNIL (Wittermans dan Gist 1962:312). Pencabutan status ini juga mengakibatkan pencabutan terhadap gaji mereka. 10 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Sebagai gantinya mereka diberikan tunjangan berjumlah sedikit per minggu. Mereka pun berusaha untuk mencari pekerjaan, baik pekerjaan umum maupun pekerjaan musiman. Namun karena kurangnya kemampuan dan pengalaman, membuat sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Pemerintah Belanda juga menetapkan peraturan untuk memberhentikan tunjangan mingguan dan tunjangan baju bagi mereka yang telah mendapatkan pekerjaan. Terlebih lagi, mereka harus menyisihkan 60% dari hasil kerja keras mereka untuk membayar uang atas rumah dan makan mereka ke pemerintah Belanda. Peraturan tersebut justru membuat mereka enggan untuk mencari pekerjaan (Wittermans dan Gist 1962:312). Sejak tahun 1960-an terdapat upaya dari pemerintah Belanda melalui Commissaris van Ambonezen (CAZ)4 untuk mengintegrasi etnik Maluku di Belanda dengan masyarakat Belanda dengan cara memindahkan mereka ke gugusan bangsal di kota-kota kecil di seluruh penjuru Belanda (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:91). Hal ini dilakukan untuk menanggapi protes yang dilontarkan etnik Maluku di Belanda terhadap perlakuan buruk pemerintah. Namun, tidak semua penghuni kamp berkenan untuk dipindahkan karena mereka harus membayar uang sewa rumah yang dipotong melalui tunjangan yang diberikan CAZ. Kamp terakhir yang dipindahkan adalah kamp militer di Woerden pada tahun 1980-an. Penghuni kamp ini juga bersikeras untuk mendapatkan status militer mereka kembali (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:91). Selain itu, ketidakjelasan status politik juga menjadi faktor pendorong mereka untuk melakukan pencarian identitas budaya. Kenyataan bahwa mereka bukan seorang imigran tetapi juga bukan sekedar pengunjung membuat mereka bingung dan menanyakan siapa sebenarnya mereka. Mereka tidak menganggap diri mereka sebagai warga negara Belanda namun juga tidak menganggap diri mereka sebagai warga negara Indonesia. Di sisi lain, pemerintah Belanda justru menganggap mereka sebagai warga negara Indonesia. Hal ini mendorong mereka untuk mengajukan banding ke PBB untuk mendapatkan pengakuan terhadap republiknya, seperti yang diberikan PBB pada Indonesia (Wittermans dan Gist 1962:312). Hal lain yang menjadi faktor pendorong pergerakan politik generasi muda etnik Maluku di Belanda adalah kejayaan generasi tua di masa lalu. Pada masa kolonial di Indonesia, generasi
4
Commissaris van Ambonezen merupakan organisasi pemerintah yang bertahan hingga tahun 1970an dan dipimpin oleh Ir. J van Ringen dengan tujuan untuk menangani masalah-masalah yang muncul di antara etnik Maluku penghuni kamp.
11 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
tua etnik Maluku bekas tentara KNIL ini berada di kelas sosial menengah di antara rakyat Indonesia lainnya dan orang-orang Belanda. Hal ini terjadi karena Belanda memberikan mereka hak khusus atas kerja mereka sebagai KNIL. Sehingga mereka terbiasa menikmati perlakuan khusus yang diberikan Belanda kepada mereka (Wittermans dan Gist 1962:312). Namun hal ini tentu saja tidak berlaku di Belanda, Belanda menganggap mereka sebagai warga negara Indonesia dan tidak memberikan hak khusus kepada mereka lagi. Generasi muda menentang hal tersebut dan merasa bertanggung jawab untuk membalas perlakuan tidak adil Belanda kepada orang tua mereka yang telah berjuang untuk Belanda selama bertahun-tahun. Kehidupan keras yang mereka jalani juga menjadi salah satu faktor pendorong mereka untuk melakukan pencarian identitas. Kehidupan yang terlalu terbuka di kamp dan di awal kepindahan mereka ke bangsal-bangsal mengakibatkan adanya kontrol sosial yang kuat yang terkadang bersifat menindas. Generasi tua memaksa anak-anak mereka untuk berperilaku sesuai dengan aturan militer dan mematuhi peraturan dan norma-norma adat yang sebenarnya tidak banyak mereka ketahui karena kebanyakan dari mereka besar dan lahir di luar Maluku. Sehingga mereka harus merekonstruksi ulang adat sesuai dengan ingatan masing-masing dari mereka yang mengakibatkan perbedaan adat di antara sekelompok etnik Maluku dengan sekelompok etnik Maluku lainnya di berbagai wilayah Belanda dan etnik Maluku yang berada di Maluku (Bartels 1986:30). Faktor-faktor yang telah dijelaskan di atas menimbulkan kekecewaan bagi para bekas tentara ini. Mereka merasa dikhianati oleh tuan yang telah mereka layani selama masa kolonial. Namun, mereka tidak pernah merasa benci terhadap tuannya. Kebanyakan dari mereka mengaku bahwa mereka kecewa pada pengkhianatan yang dilakukan tuannya tetapi tidak pernah ada kebencian di hati mereka (Bartels 1986:34). Perubahan terjadi pada generasi ketiga etnik Maluku di Belanda. Ketika masih anak-anak mereka menerima saja nilai-nilai budaya (adat istiadat, kepercayaan dan perilaku) orang tua mereka tanpa mempertanyakan darimana semua itu berasal dan mengapa nilai-nilai budaya tersebut harus dipatuhi. Hal tersebut merupakan tahap pertama dari teori pembentukan identitas Jean S. Phinney yaitu Identitas Tak Teruji (Unexamined Identity). Namun ketika mereka beranjak dewasa, mereka mulai mempertanyakan nilai-nilai budaya yang dianut oleh orang tuanya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mulai memasuki tahap kedua yaitu, pencarian identitas budaya 12 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
(Cultural Identity Search). Terlebih lagi melihat penderitaan orang tua mereka, generasi ketiga etnik Maluku di Belanda merasa bertanggung jawab untuk membalaskan dendam orang tuanya (Bartels 1986:34). Mereka berkeyakinan bahwa mereka memiliki peran untuk mengembalikan kehormatan orang tua mereka. Generasi ketiga etnik Maluku di Belanda mulai melakukan eksplorasi terhadap identitas budaya mereka melalui pembentukan perkumpulan untuk mengatasi masalah politik, berdiskusi dan mempelajari sejarah kolonial Belanda semenjak pertengahan abad 60-an. Para pemuda Maluku ini berasal dari berbagai daerah di segala penjuru Belanda. Di setiap pertemuan mereka, mereka selalu bertukar pengetahuan baru yang mereka dapatkan terutama mengenai peran Maluku di sejarah kolonial Belanda dan mempelajari karya-karya klasik mengenai krisis identitas seperti karya Black Skin White Mask (1952) oleh Frantz Fanon (1925-1961). Selain melakukan pertemuan formal bulanan di pusat-pusat daerah, terkadang mereka juga berdiskusi dalam pertemuan-pertemuan informal yang dilakukan di lapangan dekat tempat tinggal mereka. Gerakan Pattimura merupakan satu dari perkumpulan generasi muda Maluku di Belanda yang rutin mengadakan pertemuan bulanan di Nijmegen (Bosma 2012:125). Pertemuan-pertemuan tersebut dipercaya sebagai salah satu faktor yang membentuk sifat radikal mereka. Di dalam pertemuan ini mereka menginterpretasi sejarah dengan cara mereka sendiri. Mereka mempelajari apa yang dilakukan oleh Belanda kepada leluhurnya dahulu. Mereka mengetahui bahwa Belanda memaksa para leluhurnya untuk menanam rempah-rempah demi kepentingan Belanda, lalu Belanda meninggalkan para leluhurnya ketika pasar rempah-rempah hancur. Kemudian Belanda menggunakan para leluhurnya sebagai tentara untuk membela pemerintah Hindia-Belanda dalam perang (Bosma 2012:125). Hingga akhirnya, mereka mengambil kesimpulan bahwa pemerintah Belanda tidak dapat sepenuhnya dipercaya. Hal ini menumbuhkan pemikiran bahwa cara halus yang digunakan oleh orang tua mereka sudah gagal dan tidak akan membuahkan hasil. Oleh karena itu, mereka memilih untuk melakukan pergerakan politik yang kemudian berujung pada aksi kekerasan terhadap masyarakat Belanda. Perasaan benci, terasingkan dan tak berdaya membuat mereka menjadi radikal. Terlebih lagi, keberhasilan gerakan Black Panthers5 di Amerika Serikat dan kepopuleran Palestine 5
The Black Panther adalah sebuah partai sosialis yang memiliki basis masa golongan Afrika-Amerika (Afro). Partai ini mulanya bernama The Black Panther Party for Self Defense yang berdiri pada oktober 1966. Partai ini bertujuan
13 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Liberation Organization6 menginspirasi mereka untuk melakukan pergerakan politik di Belanda. Inspirasi yang didapat generasi muda etnik Maluku dari Black Panthers terletak pada kesamaan memperjuangkan etnis minoritas di dalam dominasi etnis mayoritas dan perasaan lelah terhadap langkah diplomasi yang sudah dilakukan. Melalui PLO, generasi muda etnik Maluku di Belanda juga terinspirasi gerakan yang bertujuan untuk memperjuangkan self-determination (penentuan nasib sendiri) sebuah negara. Pergerakan ini diawali dengan perlakuan provokatif mereka terhadap masyarakat Belanda. Mereka seringkali berpergian dalam kelompok besar dan kemudian terlibat pertarungan dengan warga sekitar (Bosma 2012:125). Pergerakan politik yang dilakukan oleh generasi muda etnik Maluku di Belanda memiliki tujuan utama untuk dapat kembali ke Maluku dan untuk mewujudkan cita-cita RMS. Pergerakan ini juga merupakan bentuk usaha mereka untuk mencari identitas budaya mereka. Keinginan keras mereka ini yang kemudian juga mengantarkan mereka kepada tindakan-tindakan kriminal untuk menyokong pergerakan politik mereka seperti merampok bank dan menjual narkoba. Tidak berhenti sampai disitu, pada pertengahan tahun 1960-an mereka pun memulai aksi kekerasan mereka di Belanda. Pergerakan-pergerakan Politik Etnik Maluku di Belanda Menurut www.vocabulary.com, Pergerakan politik adalah suatu aksi yang dilakukan oleh suatu kelompok yang menganut ideologi yang sama untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Pergerakan politik umumnya dipimpin oleh seorang pemimpin yang dapat meyakinkan rakyat untuk memperjuangkan kesetaraan dan hak-hak golongan kulit hitam, yang dimana pada tahun berdirinya golongan kulit hitam kerap mendapat diskriminasi dan pelanggaran HAM. Partai ini membentuk sebuah kekuatan yang militan, yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuanya karena menganggap langkah diplomasi dengan damai oleh Martin Luther King telah gagal. Salah satu contoh tindakan konkrit dari aksi miltan partai ini adalah aktivitas patroli yang dilakukan setiap malam di permukiman-permukiman yang ditempati kulit hitam, untuk memantau polisi yang menindas kulit hitam, aktivitas ini marak pada tahun 1966. (Black Panthers diperoleh dari https://www.marxists.org/history/usa/workers/black-panthers/ dan The Black Panthers diperoleh dari http://www.historylearningsite.co.uk/the-civil-rights-movement-in-america-1945-to-1968/the-black-panthers/) 6 Palestine Liberation Organization (Organisasi Pembebasan Palestina) PLO merupakan organisasi politik yang merepresentasikan orang-orang Palestina yang tersebar diseluruh dunia. Organisasi ini diciptakan pada tahun 1964 untuk mensetralisisasikan kekuatan kelompok-kelompok Palestina yang sebelumnya telah melakukan gerakan resistensi. Salah satu penyebab terciptanya PLO adalah untuk mendukung self-determination (penentuan nasib sendiri) Palestina, dimana mereka ingin menghilangkan kekuasaan Istrael di Palestina dan sekaligus menghancurkan Istrael. PLO melakukan serangkaian serangan pada tahun 1970-an terhadap markas-markas tentara Israel, dan terhadap negara Israel sendiri. Aksi penyerangan-penyerangan PLO sendiri berhasil memberikan pengakuan internasional terhadap eksistensi mereka, dan diakui secara penuh sebagai bagian dari Liga Arab pada tahun 1976. (Diperoleh dari http://www.britannica.com/topic/Palestine-Liberation-Organization)
14 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
untuk berjuang bersamanya dalam usaha mencapai tujuan politiknya. Pergerakan politik biasanya didasari pada rasa senasib sepenanggungan dan komitmen pada ideologi yang sama. Berawal dari kemarahan para pemuda Maluku di Belanda atas pelaksanaan hukuman mati terhadap Christiaan Soumokil, generasi muda etnik Maluku di Belanda pun menyerang kedutaan Indonesia di Den Haag pada tanggal 26 dan 27 Juli 1966. Kemudian beberapa tahun setelahnya tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1970, terjadi lagi penyerangan di salah satu tempat tinggal duta besar Indonesia untuk Belanda dan pendudukan kedutaan Indonesia di Belanda oleh para pemuda Maluku di Belanda. Penyerangan ini terjadi dua hari sebelum kedatangan presiden Suharto ke Belanda yang merupakan kali pertama seorang presiden Indonesia (setelah penyerahan kedaulatan) mendatangi Belanda. Peristiwa ini disebut sebagai peristiwa Wassenaar yang menewaskan seorang polisi berkebangsaan Belanda (Bartels 1986:34). Pada tahun 1975 terungkap sebuah rencana penculikan Ratu Juliana oleh kelompok pemuda Maluku di Belanda. Rencana penculikan ini dipicu oleh kemenangan Vietnam atas tentara Amerika dan pembajakan serta penculikan yang dilakukan oleh PLO. Melihat keberhasilan dari gerakan-gerakan nasionalis lainnya membuat mereka menjadi semakin bersemangat. Selanjutnya pada bulan Desember di tahun yang sama ekstremis pemuda Maluku di Belanda membajak kereta di Assen (sebuah daerah di utara Belanda) yang merupakan daerah yang memiliki populasi etnik Maluku tertinggi di Belanda. Empat hari kemudian kelompok pemuda lainnya menyandera beberapa orang di konsulat Indonesia di Amsterdam yang menewaskan empat orang sebelum akhirnya mereka menyerah (Bartels 1986:34). Aksi kekerasan ini kemudian memuncak pada bulan Mei tahun 1977. Dua kelompok pemuda Maluku dari utara Belanda melakukan penyanderaan dan pembajakan kereta lagi. Mereka berhasil menyandera 105 orang anak dan 59 orang dewasa. Berbeda dengan pergerakan sebelumnya yang biasanya berakhir dengan penyerahan diri para pemuda. Kali ini, aksi mereka ini diberhentikan secara paksa oleh tentara Belanda (Bartels 1986:34). Aksi pembajakan empat buah kereta dan penyanderaan yang terjadi pada tahun 19751977 dilakukan oleh 26 orang pemuda Maluku dan seorang pemudi Maluku. Peristiwa tersebut tidak memiliki kaitan dengan organisasi teroris internasional. Aksi pembajakan kereta dan penyanderaan tersebut bukan merupakan aksi yang sudah direncanakan terlebih dahulu. Insiden pembajakan dan penyanderaan ini kurang lebih dilakukan secara spontan atas dasar rasa senasib 15 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
sepenanggungan dan rasa putus asa terhadap kelanjutan hidup mereka (Bartels 1986:35). Satu tahun setelahnya pada 13 Maret 1978, “komando Bunuh Diri Maluku Selatan” yang terdiri dari tiga orang pemuda ekstremis melakukan aksi penyerbuan dan menduduki gedung pemerintah provinsi Drenthe dengan tuntutan sejumlah uang, pesawat dan pembebasan 21 orang Maluku yang dipenjara akibat aksi-aksi sebelumnya. Dalam kurun waktu 28 jam tentara berhasil menaklukkan mereka dan dua di antaranya terbunuh. Tahun-tahun berikutnya aksi kekerasan dan demonstrasi tetap ada namun tidak terlalu ekstrem dan umumnya dilakukan ketika peringatan hari proklamasi RMS (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:94). Sebelum penangkapan dan kematian Soumokil, pergerakan politik yang dilakukan oleh para bekas tentara KNIL ini disebut sebagai gerakan pendukung nasionalis. Gerakan ini dipimpin oleh Manusama, seorang perwakilan dari gerakan separatis RMS yang meninggalkan pulau Seram dan tiba di Belanda pada tahun 1953. Setelah penangkapan Soumokil dan para pejuang gerilyanya pada tahun 1963 dan pelaksanaan hukuman mati pada Soumokil tiga tahun setelahnya, gerakan ini berubah menjadi gerakan nasionalis ex-patria yang dipimpin oleh Manusama dibawah sebuah badan persekutuan bernama Badan Persatuan Rajat Maluku Selatan (BPRMS). Tidak hanya menjabat sebagai presiden persekutuan, Manusama juga menjabat sebagai presiden pemerintahan darurat setelah kematian Soumokil. Manusama meyakinkan mereka untuk memerdekakan Maluku dari luar (Bosma 2012:124). Selain pergerakan yang dipimpin Manusama, seorang bekas sersan tentara KNIL bernama Isaac Tamaëla (1914-?) menantang kepemimpinan Manusama. Tamaëla mendirikan gerakan yang disebut “Missie Militer” yang kemudian berubah menjadi Front Siwa Lima. Ia menyatakan diri mereka sebagai oposisi dari pemerintah. Tamaëla lebih cenderung untuk berkonsentrasi pada usaha mendapatkan pengakuan dari PBB. Pergerakan ini memberikan harapan baru bagi mereka yang mulai jemu dengan stagnasi dari gerakan RMS (Bartels 1986:31-32). Perselisihan antara kedua pemimpin ini juga membuktikan bahwa konflik yang ada bukan hanya datang dari luar kelompok etnik Maluku. Konflik internal juga membuat etnik Maluku di Belanda saat itu semakin menderita dan terpecah-belah. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Maluku ini bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat dan mengenalkan ideologi dan tujuan kelompok mereka kepada masyarakat. Kemudian, mereka juga ingin mendapatkan pengakuan dari 16 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
pemerintah. Dengan pengakuan akan keberadaan mereka dan sorotan media terhadap aksi mereka, para ekstremis dapat memperluas pergerakan mereka dan mempermudah perekrutan anggota untuk perjuangan RMS. Peristiwa pembajakan kereta dan sekolah pada tahun 1977 mampu menyadarkan sebagian besar etnik Maluku yang berada di Belanda bahwa mereka tidak dapat kembali ke Maluku dalam kurun waktu dekat dan usaha mereka untuk mewujudkan cita-cita pembentukan RMS tidak akan pernah berhasil. Lambat laun, mereka juga mulai menyadari kenyataan bahwa mereka akan tinggal di Belanda dalam jangka waktu yang panjang bahkan mungkin untuk selamanya (Bartels 1986:31). Di saat itu juga, mereka mulai mendapatkan kebebasan untuk berpendapat dan berdiskusi mengenai kenyataan bahwa mereka akan tinggal untuk jangka waktu lama di Belanda serta mengenai masalah politik dan sosial yang berkembang di dalam masyarakat. Dampak Pergerakan Politik Generasi Muda Etnik Maluku di Belanda Pergerakan politik yang dilakukan oleh generasi kedua dan ketiga etnik Maluku di Belanda berdampak pada beberapa keputusan pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan etnik Maluku di Belanda. Setelah pembajakan kereta pertama, pemerintah Belanda mengadakan program Orientation Visits (Kunjungan Orientasi) ke Maluku untuk menormalkan kembali hubungan antara etnik Maluku di Belanda dan Indonesia. Dahulu di antara etnik Maluku di Belanda, kunjungan ke Maluku merupakan hal yang tabu dan bentuk pengkhianatan terhadap RMS karena mereka menganggap Maluku masih diduduki Indonesia. Terlebih lagi keengganan pemerintah Indonesia mengeluarkan visa untuk orang-orang Maluku ini karena kecurigaan pemerintah Indonesia terhadap simpatisan RMS. Program ini mengatur perjalanan ke Indonesia bagi orang-orang Maluku di Belanda yang sekitar tahun 1960-an juga sudah mulai tertarik untuk mengunjungi Maluku namun terhalang faktor-faktor tersebut (Bosma 2012:126). Kunjungan generasi muda ke Maluku juga memberikan pandangan baru bagi mereka yang sudah terbiasa dengan modernisasi budaya barat seperti pergi ke diskotek. Hal ini mulai menyadarkan mereka bahwa pada kenyataannya Maluku bukan merupakan tempat yang tepat bagi gaya hidup mereka. Pergerakan politik yang dilakukan oleh generasi muda tersebut juga membuat pemerintah membentuk suatu seksi khusus bernama Afdeling Molukkers (Bagian orang Maluku) dalam tubuh 17 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Ministerie van Cultuur, Recreatie en Maatschappelijk Werk (Kementerian Kebudayaan, Rekreasi dan Pekerjaan Sosial). Tujuan dari seksi tersebut adalah mengambil alih dan meningkatkan pekerjaan CAZ yang telah dibubarkan pada tahun 1970-an serta membangkitkan lagi upaya integrasi etnik Maluku di Belanda dengan masyarakat Belanda (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:98). Untuk memuluskan upaya integrasi tersebut pemerintah Belanda juga mengajak pemimpin-pemimpin Maluku untuk memberi usul. Pendeta Samuël Metiarij (1917-2007) merupakan wakil dari pihak Maluku sedangkan Perdana Menteri Rudolphus Franciscus Marie "Ruud" Lubbers (1939-?) adalah wakil dari pihak Belanda. Hal tersebut merupakan awal mula terbentuknya Inspraakorgaan Welzijn Molukkers (IWM). IWM merupakan Badan Penasehat Kesejahteraan orang Maluku. Pada tahun 1983,
IWM bersama Universitas Leiden menunjuk seorang antropolog
Amerika, Dieter Bartels, untuk mempelajari kendala integrasi yang ada. Dieter Bartels melihat pemecahan masalah integrasi harus diawali dengan membedakan antara generasi tua yang datang pada tahun 1951 dan generasi muda yang telah dewasa dan telah dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikirannya sendiri, khususnya pada generasi ketiga yang lahir dan besar di Belanda serta berperan besar dalam pergerakan politik pada tahun 1970-an (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:99). Menurut Bartels, permasalahan yang ada terletak pada kesenjangan di antara generasi tua dan muda yang membuat generasi muda, khususnya generasi ketiga, meragukan kualitas pemimpin RMS seperti Manusama. Selain itu permasalahan juga berada pada sosialisasi dalam keluarga dan sosialisasi dalam masyarakat Belanda. Sosialisasi di dalam keluarga mengalami kendala karena orang tua dari generasi ketiga, yang kebanyakan berasal dari generasi pertama dan beberapa dari generasi kedua, ingin mempertahankan identitas budaya mereka sebagai orang Maluku. Namun pada kenyataannya pengetahuan mereka mengenai kebudayaan Maluku sangat terbatas karena mereka dibesarkan di tangsi-tangsi yang tersebar di berbagai penjuru Hindia Belanda. Keadaan tersebut yang kemudian membuat generasi ketiga merasa tidak puas dengan informasi yang mereka dapatkan mengenai Maluku dari orang tua mereka. Sebaliknya, sosialisasi mereka dengan masyarakat Belanda justru berjalan lancar karena mereka merupakan kaum
18 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
terpelajar yang telah mendapatkan pendidikan luas dan tidak sedikit yang telah mendapat gelar sarjana dari universitas terkemuka di Belanda (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:99). Tidak berbeda dengan generasi tua, generasi muda juga menolak asimilasi sebagai jalan keluar dari pencarian identitas budaya mereka. Mereka menganggap asimilasi hanya akan menghilangkan identitas mereka sebagai orang Maluku sedangkan integrasi mereka dengan masyarakat Belanda masih terbatas dan bahkan ada kemungkinan tidak akan terjadi integrasi emosional (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:99). Integrasi yang dimaksud di sini dibagi menjadi tiga jenis integrasi. Pertama yaitu Integrasi fungsional yang mencakup pekerjaan, sekolah dan pernikahan campuran, kedua Integrasi kognitif yang mencakup cara berpikir rasional dan pengetahuan barat yang mereka dapatkan dari sekolah dan masyarakat luas (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:100), dan ketiga Integrasi emosional yang mencakup rasa cinta terhadap negara, perasaan gembira atas kesejahteraan dan perasaan marah ketika bahaya mengancam (Kochhar 2008: 472). Dieter Bartels menyarankan agar pemerintah Belanda meningkatkan kesadaran etnik Maluku dan pada saat yang bersamaan menyetarakan hak-hak mereka. Dengan harapan generasi yang baru akan lahir dengan kesadaran etnik yang tepat serta hak yang setara dalam masyarakat Belanda (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:100). Sehingga mereka dapat menghilangkan keinginan mereka untuk kembali ke Maluku dibawah bendera RMS dan menghadapi realita keberadaan permanen mereka di Belanda. Hal ini yang diharapkan Dieter Bartels dapat mereka lanjutkan ke generasi mendatang. Pencapaian Identitas Budaya Generasi Muda Etnik Maluku di Belanda Integrasi fungsional dan kognitif lambat laun mulai terjadi di antara generasi muda etnik Maluku di Belanda. Berbeda dari generasi tua yang dididik secara militer sehingga terbiasa dengan kehidupan di sekitar Kamp. Generasi muda, khususnya generasi ketiga, justru lebih terbuka dan bergaul dengan masyarakat Belanda. Mereka dapat berbicara dalam bahasa Belanda dengan fasih, bekerja di kantor Belanda, bersekolah di sekolah Belanda dan menikahi orang Belanda (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:101). Hal tersebut juga menunjukkan bahwa mereka telah mendapatkan peran dalam kehidupan bermasyarakat Belanda.
19 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Begitu juga dengan integrasi emosional yang dapat dibentuk melalui partisipasi mereka dalam berbagai partai politik, kantor-kantor pemerintahan dan dinas-dinas ketentaraan (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:101). Pada tahun 1986 seorang politisi beraliran sosialis, Johan Jehosefat Lilipaly (1943-?), terpilih menjadi anggota parlemen Belanda. Ia menjadi orang keturunan Maluku pertama dan orang kulit berwarna pertama yang menjadi anggota Tweede Kamer7 Belanda (Jacobs 1999:2). Hal tersebut menunjukkan bagaimana integrasi emosional dapat terbangun melalui partisipasi politik etnik Maluku di Belanda dan membuktikan etnik Maluku di Belanda telah mendapatkan pengakuan dari masyarakat dan pemerintah Belanda. Etnik Maluku di Belanda juga mulai membentuk integrasi emosional terhadap Belanda yang termanifestasi dalam “Revolusi Kebudayaan” yang juga disebut sebagai “Semangat Baru” (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:101). Salah satu pendukung revolusi ini adalah yayasan Tjengkeh8 yang dipimpin oleh sejumlah pemuda dari generasi ketiga di Amsterdam. Yayasan ini sering kali mengadakan ceramah dan mengundang pakar-pakar internasional dan menekankan tema bahwa kebudayaan Maluku berubah sesuai dengan perubahan zaman (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:103). Dalam bidang media komunikasi dan informasi, terdapat kemajuan seperti diterbitkannya majalah Kora-kora yang membawa berita dari Indonesia dan program Suara Maluku yang membahas budaya Maluku diudarakan oleh Radio Hilversum. Dalam bidang seni juga terdapat berbagai kemajuan. Dalam seni tari, generasi muda diajarkan tari tradisional Maluku dan tari modern. Dalam seni musik, lagu tradisional seringkali dimainkan dengan irama modern seperti jazz, dan reggae. Satu dari penyanyi berdarah Maluku yang terkenal di Belanda adalah Daniel Sahuleka. Pada albumnya yang berjudul RahASIA (1995) terdapat lagu-lagu tradisional Maluku yang sudah diadaptasi dengan irama modern seperti Lembe lembe, Ambon Manise dan Mande
7
Tweede Kamer (Kamar Kedua) adalah Majelis Rendah di sistem parlemen Belanda. Anggota Tweede Kamer dipilih secara langsung oleh rakyat. Tugas Tweede Kamer untuk melakukan pembahasan dan pengusulan undang-undang serta kebijakan pemerintah lainnya. (Mengenal lebih dekat parlemen Belanda diperoleh dari http://cepp.fisip.ui.ac.id/2015/07/21/mengenal-lebih-dekat-parlemen-belanda/) 8 Yayasan Tjengke atau Tjengkeh (Cengkeh) adalah organisasi profesional pada tahun 1977 oleh pemuda Maluku yang meninggalkan kamp dan bangsal yang kemudian tinggal di Utrecht dan Amsterdam. Yayasan ini juga memiliki majalah dengan nama yang sama dengan tujuan menyuarakan semangat baru tersebut. Majalah Tjengkeh merupakan majalah bulanan yang terbit dari tahun 1978-1987. (Bosma 2012:120; Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:103)
20 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
mande. Dari bidang kesusasteraan juga terdapat nama-nama etnik Maluku yang menonjol seperti, Abe Sahetapy (Ohorella, Harjono dan Wulandari 1993:105-106). Abe Sahetapy (1953) merupakan satu dari pemuda Maluku yang melakukan pembajakan kereta pada tahun 1975 di Wijster, Drenthe. Oleh karena pembajakan tersebut, ia harus menjalani hukuman 14 tahun penjara. Ketertarikan Sahetapy pada puisi dimulai ketika ia berada di penjara dan berujung pada kelahiran bundel puisi pertamanya yang berjudul Alnasah (1985). Bundel ini berisi mengenai perjuangan etnik Maluku di Belanda untuk RMS. Sedangkan pada bundel keduanya yang berjudul Gambaran (1997), Sahetapy bercerita mengenai perkembangan integrasi dirinya ke dalam kehidupan bermasyarakat Belanda dan mengenai beragam emosi, perasaan dan pengalamannya. Pada tahun 1986 sebuah Museum yang menjaga sejarah etnik Maluku di Belanda didirikan di Utrecht. Museum tersebut diberi nama Museum Maluku namun di Belanda lebih dikenal dengan nama Moluks historisch museum (Museum Sejarah Maluku). Museum ini didirikan melalui kesepakatan antara pemerintah Belanda dan komunitas etnik Maluku di Belanda. Awalnya museum ini mendapatkan kucuran dana dari pemerintah Belanda setiap tahunnya. Namun semenjak tahun 1995, subsidi tersebut diberhentikan dan dikompensasi dengan kucuran dana berjumlah 3,6 juta Euro. Sayangnya, per 1 Oktober 2012 museum ini harus ditutup dengan alasan kekurangan dana. Pada tahun 2015 generasi ketiga dan keempat etnik Maluku di Alphen aan den Rijn, Belanda menyelenggarakan Sama-sama Festival. Festival ini diselenggarakan dalam rangka memperingati 50 tahun kedatangan mereka di distrik Alphen aan den Rijn. Festival ini berlangsung selama 4 hari (15-18 Juli 2015) dan didedikasikan untuk generasi pertama dan kedua etnik Maluku di Belanda. Di dalam festival ini terdapat berbagai macam acara dan kegiatan seperti pasar sama-sama, pertandingan olahraga, dan pertunjukan hiburan dari berbagai artis Belanda keturunan Maluku seperti Danjil Tuhumena, Massada Band dan Dj Ron Funkytown. Hal ini juga menunjukkan bahwa etnik Maluku di Belanda, khususnya generasi muda, telah mencapai tahap ketiga dalam proses pembentukan identitas budaya yaitu, pencapaian identitas budaya (Cultural Identity Achievement). Identitas budaya yang telah mereka capai adalah sebagai etnik Maluku di Belanda yang nilai-nilai budayanya telah diadaptasi dengan modernisasi budaya barat,
21 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
khususnya Belanda, yang tentu saja membedakan mereka dengan etnik Maluku di Maluku, Indonesia. Simpulan Proses pembentukan identitas etnik Maluku di Belanda dimulai semenjak mereka menerima
nilai-nilai
budaya
(adat
istiadat,
kepercayaan
dan
perilaku)
dan
belum
mempertanyakan nilai-nilai budaya yang diajarkan orang tua kepada mereka sedari kecil. Hal ini termasuk dalam tahap pertama dari teori pembentukan identitas Jean S. Phinney yaitu Identitas Tak Teruji (Unexamined Identity). Hal tersebut berubah pada tahun 1960-an ketika mereka mulai beranjak dewasa dan mengeksplorasi identitas budaya mereka. Pada saat ini mereka memasuki tahap kedua dari proses pembentukan identitas yaitu, Pencarian Identitas (Cultural Identity Search). Ketidakjelasan status politik, kehidupan keras yang harus dijalani, janji yang tidak ditepati pemerintah Belanda dan berbagai bentuk ketidakadilan yang mereka peroleh juga menjadi faktor yang mendorong keinginan mereka untuk mencari identitas budaya mereka. Pembentukan perkumpulan dan organisasi sosial berlatar belakang kesamaan etnis dan budaya seperti Gerakan Pattimura (19761985) juga merupakan tahap pencarian identitas. Di dalam perkumpulan ini, mereka bersamasama mempelajari dan berdiskusi mengenai sejarah kolonial Belanda semenjak pertengahan abad 60-an, dan mengatasi masalah politik. Pemelajaran sejarah dan diskusi-diskusi tersebut menumbuhkan rasa benci, tak berdaya dan terasingkan yang kemudian membentuk radikalisme mereka. Berawal dari pergerakan politik yang berujung pada berbagai tindak kriminal dan aksiaksi kekerasan, seperti peristiwa pembajakan kereta dan sekolah yang melibatkan penyanderaan terhadap 109 orang anak dan 59 orang dewasa. Pergerakan politik ini juga merupakan tahap pencarian identitas dalam proses pembentukan identitas. Pergerakan-pergerakan politik tersebut akhirnya berhasil membuat mereka menyadari bahwa impian untuk mendirikan RMS hanya akan menjadi mimpi belaka. Hal ini membuat mereka mulai menerima keberadaan mereka yang akan tinggal dalam jangka waktu yang lama di Belanda. Oleh karena peristiwa ini juga, pemerintah mulai menggalakkan lagi upaya integrasi etnik Maluku di Belanda dengan masyarakat Belanda secara fungsional, kognitif dan emosional dengan bantuan dari pemimpin-pemimpin Maluku. Upaya integrasi ini mulai etnik Maluku di 22 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Belanda bergabung dengan masyarakat Belanda dan dapat membangun kembali identitas di negeri barunya sebagai etnik Maluku yang tinggal di Belanda dengan nilai-nilai budaya yang telah diadaptasi mengikuti modernisasi budaya barat, khususnya Belanda. Pada saat generasi muda ini akhirnya berkomitmen pada identitas budaya tersebut maka pada saat itu juga mereka mencapai tahap ketiga pada proses pembentukan identitas budaya yaitu, Pencapaian Identitas Budaya (Cultural Identity Achievement). DAFTAR PUSTAKA Bernal, Martha E.1993. Ethnic Identity: Formation and Transmission among Hispanics and Other Minorities. New York: SUNY Press. Bosma,
Ulbe.2012.
Post-Colonial
Immigrants
and
Identity
Formations
in
the
Netherlands.Amsterdam: Amsterdam University Press. Fong, Mary, dan Rueyling Chuang.2004. Communicating Ethnic and Cultural Identity. Oxford: Rowman and Littlefield Publishers, Inc. Kochhar, S.K.2008.Teaching of History: Pembelajaran Sejarah. (H.Purwanta, & Y. Hardiwati, Trans.) Jakarta: Grasindo. Liliweri, Alo.2005.Prasangka dan konflik : komunikasi lintas budaya masyarakat multikultur. Yogyakarta : LkiS. Matanasi, Petrik.2015. RMS: Republik Militer (Para) Sersan. Yogyakarta: Indie Book Corner. Ohorella, GA, P. Suryo Harjono dan Triana Wulandari.1993.Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan Negara dan Kesatuan RI: Kasus Republik Maluku Selatan. Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Singelis, Theodore M.1997.Teaching About Culture, Ethnicity, and Diversity: Exercises and Planned Activities. New York: SAGE Publications, Inc. Tracy, Karen, Cornelia Ilie, dan Todd Sandel.2015. The International Encyclopedia of Language and Social Interaction Volume 1. New Jersey: Wiley-Blackwell 23 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Artikel Jurnal : Bartels, Dieter.1986. “Can the Train Ever Be Stopped Again? Developments in the Moluccan Community in the Netherlands before and after the Hijackings”. Indonesia, No. 41, pp 23-45 diperoleh dari http://www.jstor.org/stable/3351034 Bartels, Dieters. 1990. “From Black Dutchmen to White Moluccans: Ethnic Metamorphosis of an East-Indonesian Minority in the Netherland”. Conference on Maluku Research, pp 1-11 diperoleh dari http://www.nunusaku.com/pdfs/r3c.pdf Jacobs, Dirk.1999. “Absence of the ethnic minority voice?”. The debate over enfranchisement of foreign
residents
in
the
Netherlands
and
Belgium,
pp
1-20
diperoleh
dari
http://www.cedem.ulg.ac.be/wp-content/uploads/workingpaper/13.pdf Nicholas, Ralph W.1973. “Social and Political Movements”. Annual Review of Anthropology Vol. 2, pp. 63-84 diperoleh dari http://www.jstor.org/stable/2949260 Rath, John.1983. “Discourse, Politics and Policy: The Dutch Parliamentary Debate about Voting Rights for Foreign Residents”. International Migration Review Vol. 17, No. 3, pp. 350-373 diperoleh dari http://www.jstor.org/stable/2547187 Snitch, Thomas H.1982.” Terrorism and Political Assassinations: A Transnational Assessment”. Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol.463, International Terrorism, pp 54-68 diperoleh dari http://www.jstor.org/stable/1043611 Wittermans, Tamme and Noel P. Gist.1962. Social Forces vol.40 no.04 The Ambonese Nationalist Movement in the Netherlands: A Study in Status Deprivation, pp.309-317 diperoleh dari http://www.jstor.org/stable/2573886 Internet : Het Koninklijk Nederlands Oost-Indisch Leger KNIL Some remarks about inception, organization and feats of arms of the Royal Dutch East-Indian Army diperoleh dari http://www.indonesiadutchcolonialheritage.nl/KNIL%20ShortHist/KNIL,%20short%20history.pdf diakses pada hari Kamis, 07 April 2015 pada pukul 19:50 24 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Molukse geschiedenis en cultuur in beeld diperoleh dari http://www.geheugenvannederland.nl/?/en/collecties/molukse_geschiedenis_en_cultuur_in_beeld diakses pada hari Kamis, 08 April 2015 pada pukul 20.05 Sejarah RMS diperoleh dari http://www.republikmalukuselatan.nl/ms/archief/maluku/ diakses pada hari Kamis, 11 Juni 2015 pada pukul 15:00 Political movement diperoleh dari http://www.vocabulary.com/dictionary/political%20movement diakses pada hari Selasa, 05 Januari 2016 pada pukul 17:45 Black Panthers diperoleh dari https://www.marxists.org/history/usa/workers/black-panthers/ pada hari Selasa, 05 Januari 2016 diakses pada pukul 18:00 The Black Panthers diperoleh dari http://www.historylearningsite.co.uk/the-civil-rightsmovement-in-america-1945-to-1968/the-black-panthers/ diakses pada hari Selasa, 05 Januari 2016 pada pukul 18:40 Mengenal Lebih Dekat Parlemen Belanda diperoleh dari http://cepp.fisip.ui.ac.id/2015/07/21/mengenal-lebih-dekat-parlemen-belanda/ diakses pada hari Rabu, 06 Januari 2016 pada pukul 01:50 Museum Maluku per oktober dicht diperoleh dari http://www.duic.nl/nieuws/museum-malukuper-oktober-dicht/ diakses pada hari Rabu, 06 Januari 2016 pada pukul 18:26 Geschiedenis dan wat/wie is sama2 diperoleh dari http://sama2.nl/ diakses pada hari Rabu, 06 Januari 2016 pada pukul 18:53 Historical Background diperoleh dari http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unsfbackgr.html diakses pada hari Kamis, 07 Januari 2016 pada pukul 12:50 Interview ex-treinkaper Sahetapy diperoleh dari http://www.historien.nl/interview-ex-treinkapersahetapy/ diakses pada hari Minggu, 10 Januari 2016 pada pukul 21:30 Eenvoud diperoleh dari http://www.toko-buku.nl/eenvoud diakses pada hari Senin, 11 Januari pada pukul 20:25 25 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016
Gambaran diperoleh dari http://www.literatuurplein.nl/boekdetail.jsp?boekId=29505 diakses pada hari Senin, 11 Januari pada pukul 20:30 Daniel Sahuleka diperoleh dari https://www.muziekweb.nl/Link/M00000098362/POPULAR/Songtitels/Daniel-Sahuleka diakses pada hari Senin, 11 Januari pada pukul 20:40
26 Pembentukan identitas…, Fiori Rizki Djuwita, FIB UI, 2016