PEMBENTUKAN DAN PEMISAHAN MAGMA 1. Pendahuluan Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan bahwa suatu erupsi vulkanik dapat ditampilkan sebagai puncak dari rangkaian proses fisika dan kimia (Figure 1.21, Parfitt (2008)). Tahapan awal dari rangkaian tersebut adalah pembentukan magma di dalam Bumi. Tidak akan terjadi erupsi jika tidak terdapat magma.
Pada bab ini kita akan membahas mengenai pembentukan magma dan tahapan paling awal dari pergerakan magma, di mana magma pertama kali mulai berpisah dan bergerak menjauh dari tempat pembentukannya.
2. Mekanisme Pelelehan Batuan Semua batuan tersusun dari suatu campuran berbagai mineral yang berbeda sehingga mereka cenderung meleleh pada rentang temperatur yang beragam, bukan pada temperatur yang spesifik. Temperatur di mana pelelehan pertama dimulai disebut temperatur solidus, sementara temperatur di mana seluruh batuan berubah menjadi cair dan material padat lenyap
disebut liquidus temperature. Ada 3 proses utama yang memungkinkan terjadinya pelelehan batuan di dalam Bumi, yaitu : 1. Dengan memanasi batuan dan meningkatkan temperaturnya melebihi solidus temperature. 2. Dengan mengurangi confining pressure pada batuan sementara temperaturnya dijaga konstan. Pada kebanyakan kasus, mengurangi tekanan yang bekerja pada suatu batuan dapat mengurangi temperatur solidus dan likuidus (Fig. 2.1, Parfitt (2008)). Sehingga, walaupun temperatur sebenarnya dari batuan tidak banyak berubah, namun temperatur batuan tersebut relatif lebih tinggi dibanding solidusnya. Pelelehan seperti ini biasa disebut dengan decompressing melting atau pressure-release melting. 3. Dengan mengubah komposisi batuan, biasanya dengan menambah air. Temperatur pelelehan batuan “kering” cenderung lebih tinggi dibanding temperatur pelelehan batuan “basah”, seperti temperatur di mana batuan akan meleleh ketika terdapat air dalam jumlah yang banyak (Fig. 2.2, Parfitt (2008)). Sebagai hasilnya, penambahan air pada batuan kering dapat memicu pelehan jika temperatur awal batuan cukup tinggi.
Selanjutnya, kita akan membahas mengenai proses pelelehan batuan dan segregasi magma di dalam mantel bumi.
3. Vulkanisme dan Tektonik Lempeng Beberapa informasi dasar dapat diperoleh dengan mengamati peta sederhana dari lokasi-lokasi aktivitas vulkanik yang terjadi di Bumi (Fig. 2.3 (Parfitt, 2008) dan Gb. 1). Gunungapi di planet ini tidak terdistribusi secara acak, tetapi terbentuk pada zona-zona yang dapat diperkirakan dengan baik. Zona yang paling terkenal adalah Pacific Ring of Fire, yaitu pita atau cincin sempit yang melingkari Pasifik, tempat di mana aktivitas vulkanik berlangsung. Pacific Ring of Fire membentang mulai New Zealand, naik melalui P. Tonga dan P. Solomon, dan New Hebrides hingga ke Filipina, melalui Jepang dan Semenanjung Kamchatka di Rusia, melalui Kepulauan Aleutian, kemudian melalui Cascades di Kanada sebelah barat dan USA, melalui Amerika Tengah, dan akhirnya turun melalui pesisir barat Amerika Selatan ke Pulau
Deception pada ujung Semenanjung Antartika (Fig. 2.3 (Parfitt, 2008) dan Gb. 1). Ring of Fire ini berhubungan dengan banyak erupsi gunungapi dengan volume dan energi terbesar yang pernah terjadi di dalam catatan sejarah manusia, termasuk erupsi terbesar di abad ke-20, yaitu erupsi Katmai pada tahun 1912 di Alaska, erupsi G. Pinatubo di Filipina tahun 1991, serta erupsi Krakatau tahun 1883 dan Tambora tahun 1815 di Indonesia (erupsi Tambora merupakan erupsi terbesar yang pernah terjadi di dalam catatan sejarah modern).
Gb. 1. Sebaran gunungapi, lempeng tektonik, dan Ring of Fire di permukaan Bumi Sumber : www.usgs.gov
Tidak begitu jelas namun cukup penting diketahui bahwa terdapat rangkaian gunungapi yang sempit dan panjang berjajar di bawah permukaan samudera. Observasi menggunakan sonar imaging systems serta submersible baik yang berawak maupun yang menggunakan remote kontrol menunjukkan keberadaan mid-ocean ridges (MORs) (Fig. 2.4). Erupsi di sepanjang MORs terjadi pada kedalaman yang sangat dalam di bawah samudera (khususnya 14 km) sehingga kita jarang memperhatikan aktivitasnya dan kesulitan mengobservasinya. Akan tetapi, pada bulan Juni 1993, sebuah jaringan hydrophone mendeteksi aktivitas seismik di sepanjang bagian dari punggungan Juan de Fuca (sebuah pusat pemekaran yang terletak ~400 km dari pesisir barat Oregon, USA). Investigasi selanjutnya menggunakan berbagai jenis peralatan menunjukkan bahwa aktivitas seismik merupakan tanda-tanda adanya erupsi di sepanjang punggungan yang menghasilkan suatu aliran lava basa sepanjang 3,8 km dengan lebar mencapai 500 m.
Gb. 2. Batas-batas lempeng tektonik Sumber : 08. Tektonik Lempeng (.pdf), Salahuddin Husein, 2007
Vukanisme pada zona sempit dan panjang ini sangat erat hubungannya dengan struktur Bumi dalam skala besar, khususnya fakta bahwa lapisan planet yang paling luar terdiri dari rangkaian slab yang terpisah-pisah, yang kemudian disebut sebagai lempeng. Ilmu yang mempelajari tentang hubungan antar lempeng-lempeng Bumi dan interior Bumi yang lebih dalam disebut tektonik lempeng, dan zona vulkanik sempit menandai beberapa batas pertemuan lempeng. Pada beberapa kasus, zona vulkanik sempit ini merupakan tempat di mana dua lempeng bergerak saling menjauh, atau yang kemudian disebut divergent margins atau spreading centers dan merupakan tempat terjadinya vulkanisme punggungan tengah samudera (Fig. 2.4 (Parfitt, 2008)). Fakta bahwa lempeng-lempeng bergerak menjauh pada lokasi ini dan material baru mencapai permukaan memperjelas kemungkinan bahwa beberapa pergerakan material mantel yang pelan ke arah permukaan terjadi di sini. Proses yang terjadi pada divergent margins nampak pada Gb. 3, di mana pemekaran samudera berawal dari pemekaran benua yang berlanjut terus-menerus. Di tempat lain, dua lempeng bergerak bersama dan bertumbukan yang kemudian disebut convergent margins. Ada 3 jenis batas konvergen (Gb. 4), yaitu batas konvergen benua-benua yang menghasilkan rangkaian pegunungan non-vulkanik, batas konvergen benuasamudera yang menghasilkan gunungapi busur benua, dan batas konvergen samuderasamudera yang menghasilkan gunungapi busur kepulauan. Convergent margins berhubungan dengan vulkanisme di mana subduksi terjadi, misalnya lempeng yang satu menyusup ke bawah lempeng yang lain (Fig. 2.4). Proses ini mendominasi pembentukan RoF di sekitar Pasifik. Fakta bahwa lempeng yang turun bergerak ke dalam mantel, yang harus mengubah bentuk agar memungkinkannya masuk, lagi-lagi menunjukkan bahwa pada skala waktu yang panjang, mantel mampu bertindak seakan-akan dia merupakan fluida. Faktanya, sekarang kita
paham bahwa perbedaan temperatur antara interior mantel yang panas dan permukaan lapisan di atasnya yang dingin menyebabkan mantel mengalami konveksi yang pelan namun terjadi secara terus-menerus.
Gb. 3. Proses yang terjadi di batas divergen Sumber : 08. Tektonik Lempeng (.pdf), Salahuddin Husein, 2007
Gb. 4. Berbagai jenis batas konvergen Sumber : 08. Tektonik Lempeng (.pdf), Salahuddin Husein, 2007
Estimasi terbaik dari produksi magma di Bumi menyatakan bahwa 88% magma terbentuk di batas lempeng – 62% di MORs dan 26% di zona subduksi. Figure 2.3 menunjukkan bahwa 12% magma terbentuk di lingkungan intraplate, jauh dari batas-batas lempeng. Contohnya, terdapat pusat-pusat seperti Hawaii di Samudera Pasifik dan Reunion di Samudera Hindia yang terletak dekat dengan bagian tengah lempeng samudera. Terdapat pusat-pusat lain, seperti Yellowstone di USA bagian barat yang terletak di dalam area lempeng benua dan jauh dari batas lempeng tertentu (Fig. 2.3). Pusat-pusat ini berhubungan dengan hot spots, kenampakan yang menunjukkan zona di mana variasi temperatur di dalam mantel mengalami upwelling dan membentuk mantle plumes. Walaupun lokasi hot spots yang ada sekarang cenderung tidak berhubungan dengan sistem lempeng tektonik utama, namun hot spots memainkan peranan yang penting dalam pembentukan pusat pemekaran yang baru. Akan terjadi updoming dan rifting ketika puncak dari mantle plume pertama kali mengenai litosfer (Fig. 2.5 (Parfitt, 2008)) dan erupsi lava basa dalam volume besar akan membentuk Large Igneous Provinces (LIPs). Jika pemekaran terus berlanjut, maka pemekaran lantai samudera akan mulai terjadi (Fig. 2.5) dan pergerakan lempeng Bumi yang berangsur-angsur menyebabkan pusat pemekaran baru bergerak menjauh dari hot spot semula (Gb. 5). Hot spot terus-menerus memproduksi magma, walaupun tidak dalam jumlah yang besar bersama dengan tahap awal pemekaran, dan menghasilkan isolated intraplate magmatic centers. Sejumlah hot spots terbentuk dekat dengan punggungan tengah Atlantik, menunjukkan peran baru mereka dalam memulai pemekaran di sana (Fig. 2.6 (Parfitt, 2008)). Salah satu contoh yang jelas di mana pemekaran berkaitan dengan hot spot adalah yang terjadi sekarang di East African Rift Valley (Fig. 2.7). Di sini, hot spot Afar menyebabkan flood basalt volanism, updoming, dan faulting kerak benua, membentuk triple junction, di mana Laut Merah dan Teluk Aden membentuk dua lengan bersama dengan East African Rift Valley sebagai lengan ke-3-nya (Fig. 2.7). Pemekaran di sepanjang Laut Merah dan Teluk Aden meningkat pada keadaan di mana pemekaran lantai samudera telah dimulai. Ekstensi dan sesar normal terjadi di sepanjang East African Rift Valley yang berkaitan dengan vulkanisme yang berkelanjutan, akan tetapi prosesnya tidak meningkat menjadi pemekaran lantai samudera.
Gb. 5. Pergerakan lempeng dapat diamati dari rangkaian pegunungan samudera yang terbentuk oleh hotspot. Sumber : 08. Tektonik Lempeng (.pdf), Salahuddin Husein, 2007
Fig. 2.5. Efek pembentukan hotspot Sumber : Parfitt, 2008
Selain itu, terdapat batas transform yang merupakan implikasi dari kecepatan subduksi maupun pemekaran dari tiap bagian lempeng yang berbeda-beda sehingga menimbulkan sesar-sesar di sekitar MOR.
Gb. 6. Batas transform Sumber : 08. Tektonik Lempeng (.pdf), Salahuddin Husein, 2007
3.1. Lingkungan Tektonik, Proses-proses Pelelehan, dan Komposisi Magma Kita tidak hanya dapat menghubungkan aktivitas vulkanik dengan tektonik setting yang spesifik, tetapi jenis magma terbentuk di setting yang berbeda. MID OCEANIC RIDGES AND OCEANIC INTRAPLATE SETTING
Tipe magma dominan pada MOR adalah basalt, dan mid-ocean ridge basalt (MORBs) adalah hasil langsung dari partial melting mamtel yang naik keatas dibawah pemekaran lempeng. Ketika hotspot mantel berinteraksi dengan kerak samudra dari lempeng yang mekar, pelelehan pertama pada mantle head menghasilkan magma basaltic dengan volume yang sangat besar yang keluar dan membentuk Igneous Province (LIP). Setelah fase awal banjir vulkanisme, magmatisme berlanjut lebih lambat dan didominasi oleh ocean island basalt (OIBs). Kita tahu bahwa kedua setting tersebut berada di zona dimana mantel naik keatas, oleh karena itu, mekanisme pelelehan yang dominan disini adalah decompression melting. Yang pertama kali dicatat adalah gradien geothermal – variasi temperatur terhadap kedalaman – temperatur mantel lebih rendah dari temperatur solidus dari material mantel, maka dapat dikatakan bahwa mantel adalah solid. Bagaimanapun, seperti yang telah kita lihat, sejak skala waktu yang sangat lama terdapat konveksi mantel dan juga mantel yang lebih dalam, level yang lebih panas berangsur-angsur terbawa ke yang lebih dangkal, zona yang lebih dingin. Apa yang terjadi pada mantel yang naik keatas tergantung pada kecepatan material tersebut naik. Ketika material mantel terangkat dengan confining pressure yang lebih rendah dan volume akan mengembang. Ekspansi ini adalah adiabatic (terjadi tanpa tambahan panas dari luar) dan menyebabkan turunya temperatur dari mantel yang terangkat ≈0,5 – 1,00C/km. sebagai tambahan, material bergerak ke zona temperatur lebih rendah dan sehingga ada kesempatan untuk kehilangan panas ke mantel disekitarnya. Jika kenaikan material mantel lebih lambat dari tingkat kehilangan panas maka material mantel yang naik akan cukup dingin, dan tidak terjadi pelelehan. Bagaimanapun, jika kenaikan cukup cepat, konduksi panas terhadap mantel sekitar akan minimal dan pendinginan yang terjadi terbatas disebabkan oleh ekspansi adiabatic dari material plume. Dalam prakteknya biasanya terlihat bahwa kecepatan kenaikan material mantel, tidak hanya adiabatic, cukup cepat untuk meminimalisir kehilangan panas oleh konduksi dan sehingga mantel yang naik mengikuti arah seperti yang ditunjukkan antara titik A dan B pada (fig. 2.1). mempertimbangkan apa yang terjadi pada material mantel yang naik dari titik A ke B. kecepatan naiknya cukup besar dan penurunan temperatur hanya antara A dan B,
tetapi selama naik, reduksi confining pressure yang dialami oleh material mantel yang naik berarti temperatur peleleha tersebut lebih rendah pada kedalaman B dibanding A. pada kedalaman B, temperatur mencapai solidus dan siap untuk meleleh. Kenaikan lebih jauh dan reduksi confining pressure menghasilkan pelelehan lebih jauh. Tidak semua material yang naik meleleh. Studi eksperimen pada material mantel yang dilelehkan pada tekanan tinggi 20 – 25% meleleh dan menghasilkan tholeiitic basalt sperti di MORs dan meninggalkan residu mantel yang mana akan sulit meleleh lebih jauh. Beberapa studi mendukung pemikiran bahwa dominasi magma di tektonik setting tersebut terbentuk akibat partial melting pada mantel. INTRAPLATE SETTING
Terdapat setting dimana MORs dan hotspot samudra merupakan zona mantel yang naik dan juga zona terjadinya pelelehan akibat dekompresioanal. Di samudra, interaksi awal mantel plume dengan kerak benua menghasilkan banjir basalt yang disebut LIPs. Setelah fase awal tersebut, magmatisme berlanjut membentuk magma basaltic tetapi interaksi dari basalt dengan kerak benua membuat batas komposisi magma. Dibeberapa contoh, misalnya Yellowstone, magmatisme adalah bi-modal, menghasilkan keduanya magma basaltic dan rhyolitik. Rhyolit dengan volume besar terbentuk oleh pelelehan batuan kerak disebabkan oleh transfer panas dari kolam magma basaltic didasar kerak. Di setting yang lain khususnya di East African Rift Valley, ditemukan komposisi magma yang sangat beragam. Ditemukan magma paling aneh pemekaran benua adalah carbonatite. Carbonatit adalah magma dimana mengandung lebih dari 50% mineral karbonat dan teramati pada erupsi di Oldoinyo Lengai, gunungapi di East African Rift Valley. Pengamatan awal menunjukkan aliran carbonatit adalah aliran lumpur yang muncrat saat erupsi dan agak berpijar ketika diamati pada malam hari. Lava tersebut memiliki temperatur paling rendah (khususnya 500 – 5900C di Oldoinyo Lengai) dan viskositas terendah dari lava daratan yang diketahui. Mereka sangat mirip dengan basalt. SUBDUCTION ZONES – ISLAND ARC AND CONTINENTAL ARC
Ada dua jenis zona subduksi yang terjadi di Bumi. Yang pertama, suatu kerak samudra yang menunjam dibawah kerak samudra yang lain menghasilkan sebuah island arc. Yang kedua, kerak zamudra menunjam dibawah kerak benua menghasilkan continental arc atau active continental margin (fig. 2.8). busur kepulauan memperlihatkan tipe magma dengan range yang lebar, dari basalt sampai andesit basaltic dan andesit sampai dasi dan rhyolit. Meskipun ada banyak variasi antara busur kepulauan yang berbeda, tipe magma dominan adalah andesit, dengan basalt dan andesit basaltic biasa dijumpai dan perkembangan lebih lanjut menghasilkan dasit dan rhyolit namun sangat jarang.busur benua menunjukkan tipe magma yang sangat lebih beragam disbanding busur kepulauan dan khususnya menghasilkan proporsi lebih besar dalam perkembangan magma disbanding busur kepulauan. Meskipun andesit adalah komposisi yang sangat umum, terdapat lebih dasit dan rhyolit dan sedikit basalt dan andesit basaltic disbanding yang dijumpai di busur kepulauan. Sepintas, zona subduksi masa kini bukanlah setting untuk pembentukan magma karena zona dimana penurunan kerak samudra yang dingin menyebabkan pendinginan pada mantel disekitarnya, dan dimana material mantel turun adalah bagian dari sistem konveksi skala besar. Jadi ini bukanlah setting dimana pelelehan terjadi akibat dekompresional atau karena pemanasan. Sebagai ganti terjadinya pelelehan adalah melepaskan volatile, khususnya air, dari lempeng litosfer yang menunjam. Lempeng tersebut dimuati oleh sedimen yang tersaturasi air, beberapa dari mereka akan menunjam bersama lempeng. Yang lebih penting, batuan lempeng itu sendiri mengandung banyak mineral fase hidrous sebagai hasil reaksi kimia antara batuan
dan air hidrotermal yang tersirkulasi didalam batuan saat batuan tersebut membentuk lantai samudra.
Selama lempeng menunjam, terjadi reaksi didalam batuan membuat batuan tersebut dehidrasi dan melepaskan gelembung air. Terlihat seperti air yang naik ke mantel yang meninggalkan lempeng yang menunjam (fig. 2.8), menurunkan solidus material mantel yang cukup untuk menyebabkan pelelehan (fig. 2.2). Seperti di MOR, pelelehan mantel menghasilkan magma basaltic, tetapi meskipun saat ini, mereka bukanlah tipe magma yang dominan yang dijumpai di setting subduksi. Di setting busur kepulauan, pelelehan basaltic di dasar litosfer dan didalam kerak sendiri bisa terjadi kristalisasi fraksional, dengan sisa larutan yang menghasilkan andesit basaltic dan andesit dijumpai disana (fig. 2.8). Di busur benua, dimana magma mencapai permukaan harus melewati kerak benua yang cukup tebal, berpotensi untuk terjadinya proses yang lebih jauh. Kemudian, meskipun magma primer yang dihasilkan adalah basalt dari mantel, interaksi magma dengan kerak benua membuat keragaman magma yang keluar ke permukaan (fig. 2.8). disini potensi yang besar untuk batuan kerak meleleh, untuk asimilasi material kerak selama magma bergerak keatas, untuk kristalisasi fraksional (dimana kristal terbentuk dan tertinggal oleh sisa larutan magma), dan untuk percampuran magma pada kedalaman berbeda dibawah permukaan. Yang relatif penting dimana setiap proses masih menjadi sumber debat antara igneous petrologist dan geochemist, dan ini diluar dari jangkauan diskusi kita. Kita lebih konsentrasi dengan sifat fisik dari magma yang dihasilkan, dan sedikit tetang sifat magma yang berkembang seperti basalt,dapat dikarakterisasi sangat baik dalam istilah kandungan silica magma (table 2.1), meskipun jumlah komposisi kimia lain pada pembentukan mineral pembentuk batuan juga penting. Kunci permasalahan adalah perbedaan komposisi mineral magma menyebabkan mereka memiliki kemampuan yang berbeda melepaskan kandungan volatile seperti air dan
karbo dioksida, dan kemampuan yang berbeda untuk mengalirkan dalam kondisi terkena gaya yaitu mereka mempunyai perbedaan viskositas.
4. Pelelehan dan Pemisahan Lelehan di dalam Mantle 4.1. Sifat-sifat Mantel 4.1.1. Bagaimana material mantel terbawa ke permukaan? Proses geologi membawa sampel dari mantel ke permukaan. Adapun contohnya yaitu Ophiolit yang merupakan bagian litosfer samudra yang mengalami proses tektonik; hasil uplift, rotasi, juga karena erosi subsekuen kadang-kadang terekspos ke permukaan. Selanjutnya adalah Xenolith, dimana dibawa oleh erupsi volkanik, yang melewati kimberlit pada kedalaman 100 – 200 km. Dan Peridotit adalah mineral yang mendominasi mantel. 4.1.2. Mantel mengalami deformasi Mantel mengalami deformasi ketika diberi tekanan, sebagaimana diterangkan dalam konsep rheology, yait perubahan bentuk terjadi dikarenakan material dikenai stress. Pada skala waktu yang panjang, deformasi dijelaskan oleh batuan pembentuk mantel yang mengalami deformasi secara perlahan yang dianggap sebagai bahan plastis yaitu mempunyai rata-rata 1 cm/tahun, deformasi yang lambat ini dapat disimpulkan bahwa bahan ini mempunyai viskositas yang besar. Dari sini diduga kalau mantel mempunyai sifat yang elastis karena tingkat deformasi nya yang pelan. Kemudian diadakan analisa dalam skala waktu yang pendek, dimana kita menggunakan gelombang seismik, yang mana gelombang kompresi (p) dan gelombang shear (s) dipancarkan. Pada normal liquid hanya gelombang p yang dipancarkan. Akan tetapi karena ada hambatan viskositas, terjadi transformasi energi kinetik menjadi panas dan gelombang s muncul. Hal inilah yang menunjukkan bahwa material mantel merupakan material dengan sifat elastis solid. 4.2. Permulaan Pelelehan Magma Pelelehan dimulai dari tekanan yang dilepaskan pada beberapa bagian mantel, cairan akan terbentuk oleh kontak antar butiran pada mineral (Fig. 2.9).
Ketika jumlah lelehan meningkat, tubuh lelehan akan berubah; lelehan akan menyebar ke ruang kosong antarbutiran mineral. Kontrol utama dari proses ini adalah tegangan permukaan antara liquid-solid. Material yang liquid akan terus berkembang mencari ruang kosong pada mineral yang saling bertemu. Ketika ruang kosong sudah terisi penuh, sementara lelehan masih terus berkembang maka lelehan akan membuat stress pada mineral disekelilingnya, maka timbullah fraktur/retakan pada mineral yang solid kemudian fraktur itu akan diisi oleh lelehan atau yang kita sebut dengan vein.
4.3. Migrasi Lelehan Mengapa lelehan mengalami migrasi? Pertama, Hal ini dikarenakan liquid dalam hal ini lelehan memiliki densitas yang lebih kecil daripada tubuh lelehan yang solid. Kedua, dikarenakan batuan yang mengalami stress dikarenakan beban yang yang diatasnya, selain itu stress yang tidak seragam yang dikarenakan oleh adanya arus konveksi pada mantel. Segregasi lelehan tergantung pada total gaya yang mengenainya, viskositasnya dan tipe pola aliran lelehan yang dibentuk oleh mineral yang tidak meleleh.
5. Kesimpulan
Kebanyakan gunungapi di Bumi terletak di sepanjang batas lempeng tektonik dan berkaitan dengan konveksi matel dalam skala besar yang menggerakkan lempeng tektonik. Gunungapi lainnya ditemukan jauh dari batas lempeng dan menunjukkan lokasi hot spots – mantle plume yang terbentuk akibat anomali termal di kedalaman mantel. Komposisi lava yang keluar dari gunungapi tergantung pada lingkungan tektonik. Di punggungan tengah samudera, dan di mana tiang hot spot terbentuk di bawah kerak lantai samudera, pelelehan mantel oleh dekompresi menghasilkan fluid basalt yang panas. Hot spots di bawah benua juga menghasilkan basalt, tetapi interaksinya dengan kerak benua menghasilkan suatu variasi magma yang beragam. Di zona subduksi, kehadiran air yang ikut terbawa turun bersama lempeng yang menyusup menyebabkan penurunan temperatur pelelehan, sehingga pelelehan baji mentel menghasilkan basalt. Interaksi antara basalt dengan kerak yang mengapung dan fractional crystallization dari magma yang dihasilkan, menghasilkan variasi magma yang besar, khususnya di zona di mana kerak samudera menyusup ke bawah kerak benua. Walaupun komposisi magma bervariasi pada lingkungan zona subduksi, akan tetapi jenis magma dominannya adalah andesit. Walaupun keberagaman magma yang besar ditemukan di Bumi, pembentukan mereka tergantung pada produksi basalts oleh pelelehan mantel. Pelelehan ini dapat terjadi karena
dekompresi material mantel yang bergerak naik atau karena pelelehan yang disebabkan oleh pelepasan air dari litosfer samudera yang mengalami subduksi, namun pelelehan dekompresi adalah mode yang lebih dominan. Pelelehan pada batuan dimulai pada kontak yang sesuai antara butiran mineral ketika kombinasi temperatur yang turun perlahan dan tekanan yang turun drastis mencapai solidus. Ketika telah terbentuk pelelehan yang cukup, maka kantong-kantong lelehan antar butiran mulai terhubung semuanya. Kemampuan mengapung alami dari lelehan kemudian menyebabkan kantong-kantong lelehan tersebut mulai bergerak akibat rembesan melalui jalan rembesan yang telah ada. Karena sejak proses terbentuknya densitas lelehan lebih rendah dibanding batuan, maka lelehan berusaha menempati volume yang lebih besar dibanding material induknya. Hal ini menyebabkan tekanan dalam lelehan terus bertambah seiring pertumbuhannya dan ruang tambahan untuk pergerakan lelehan dapat terbentuk oleh tekanan fluida yang meretakkan beberapa bagian dari gabungan butiran. Seiring lelehan yang bergerak ke atas, butiran mineral di bagian bawah di mana pelelehan terjadi akan terkompaksi dan fraksi lelehan bagian atas akan meningkat. Seluruh bagian atas dari lokasi yang kaya lelehan secepatnya akan mulai naik sebagai tubuh yang terpisah yang disebut diapir. Kenaikan diapir dibatasi oleh peningkatan viskositas batuan di sekitarnya, dan selanjutnya, lelehan cenderung naik melalui rekahan yang terisi magma yang disebut dyke, terbentuk ketika laju tegangan di dalam host rocks menjadi sangat besar sehingga responnya cenderung dalam mode rapuh dibanding mode plastis.
6. Referensi
Parfitt, E. A., Wilson, L. (2008) Fundamentals of Physics Volcanology. Blackwell Publishing, Oxford, UK. Waluyo. Modul Kuliah Tektonik Lempeng (.ppt). Husein, Salahuddin (2008) 03. Batuan Beku (.pdf). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Husein, Salahuddin (2007) 08. Tektonik Lempeng (.pdf). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.