Pembentukan Bangsa Indonesia dari Perantauan Manusia REP | 22 May 2015 | 11:34 | Lihat di Beta Oleh: Anthony Hocktong Tjio.
Dibaca: 51
Komentar: 0
0
Siapakah yang boleh disebut Pribumi di-Nusantara, apakah itu orang Melayu atau itu orang Jawa? Sebetulnya sekarang tidak ada yang boleh dikatakan Pribumi atau Aborigin yang berada di-Nusantara. Yang boleh dibilang sebagai Pribumi mungkin adalah pra-manusia berdiri Homo erectus yaitu Jawa Man yang sisa tengkoraknya ditemukan didekat Ngawi Jawa Timur pada tahun 1891, tetapi merekapun sudah musnah puluhan ribu tahun yang lalu. Sedangkan yang membetuk Bangsa Indonesia dikemudian hari, adalah dari peleburan manusia perantauan yang secara bergelombang menghuni Nusantara selama 4500 tahun terachir ini.
Rupa Homo erectus Orang Jawa yang ditemukan di Trinil, tepi Bengawan Solo didaerah Ngawi, Jawa Timur.(gambar diambil dari James Attwood)
Cerita perantauan manusia: Dalam kepahaman waktu ini, orang sekarang ini merupakan manusia ber-intelegensi yaitu Homo sapiens yang mulai muncul di Afrika Timur disekitar 150,000 tahun lalu, mereka hidup memburu binatang liar dan berkembang biak disana, sehingga pada suatu saat disekitar 70,000 tahun lalu jumlahnya mencapai kira-kira 10,000 orang. Tetapi pada waktu itu juga, dunia diambang Jaman Es (Glacial Periods) yang mendingin, sehingga lembab udara bumi terisap membeku menjadi es diparuhan utara dunia, ini mengakibatkan Afrika bagian utara sebagian besar menjadi padang pasir, keadaan itu sampai hampir memusnahkan segala kehidupan termasuk manusia disana. Maka manusia mengikuti perginya sumber bahan makanan kejurusan yang diambil oleh binatang liar yang merantau kesebelah selatan kemudian mereka menjadi orang Afrika sekarang. Ternyata ada segelintir manusia diantaranya yang merantau kejurusan timur dan keluar dari Afrika, mereka menyeberang Selat Bab-al-Mandeb dari Djibouti di-Afrika ke-Yemen di-Asia dan menetap di-Semenanjung Arab sewaktu 60,000-70,000 tahun lalu. Bagaimana mungkin mereka menyebrang Selat Bab-al-Mandeb yang meski lebarnya hanya 30 kilometer tersebut tanpa kepintaran berlayar, diperkirakan bahwa pada waktu itu memang belum 1
ada selat tersebut, yang karena suatu gempa bumi maka genting tanah patah dan menjadikan selat sekarang ini atau, karena banyak air laut yang membeku di-Kutup Utara dimasa Jaman Es, sehingga permukaan laut menjadi sangat rendah dan selat menjadi kering yang mudah diliwati dengan begitu saja.
Peta
manusia
pertama
menyeberang
Selat Bab-el-Mandeb keluar dari Afrika ke-Asia.(gambar
diambil
dari
The
Encyclopedia of Earth)
Kemudian perlahan-lahan mereka dari Semenanjung Arab masih meneruskan perantauan mereka mengikuti binatang pemburuan mereka kearah timur, dengan kecepatan perantauan kira-kira satu kilometer pertahun, maka mulai ada manusia gelombang pertama yang mengambil Jalur Selatan yang menelusuri sepanjang pantai Lautan Hindia sampai di-India Selatan dan masih meneruskan perjalanan mereka melalui Nusantara sampai di-Nusa Tenggara dan achirnya mencapai Australia bagian utara disekitar 50,000 tahun lalu. Sekali lagi disini, bagaimana segelintir orang tersebut bisa menyeberang mencapai di-Nusantara dan ke-Australia itu, juga dikarenakan sejak masa Jaman Es disekitar 72,000 tahun lalu, pantai laut maju sejauh 40Km dan permukaan laut merendah sedikit-dikitnya 110 meter yang menjadikan Nusantara diwaktu itu berupa daratan yang luas, sehingga dari semenanjung Malaya sampai utara Australia tersambung menjadi satu, yang terus begitu sampai 18,000 tahun lalu (Late Glacial Maximum). Penyatuan daratan Nusantara dengan Asia Timur dan Australia akibat kerendahan permukaan laut dimasa Jaman Es.(gambar dari Kim Cobb,Georgia Tech University)
Mereka yang berhasil mencapai di-Australia disekitar 50,000 tahun lalu itu, ternyata adalah mereka yang lolos dari rentetan letusan dahsyat Gunung Toba yang menjadikan Danau Toba pada 77,000 sampai 69,000 tahun lalu, yang abunya menutupi permukaan bumi yang luas terutama Nusantara dan India, dan menyebabkan kegelapan langit selama 10 tahun lamanya, sehingga mengakibatkan suhu dunia merendah selama 1000 tahun, bencana alam tersebut diperkirakan memusnahkan hampir separuh dari segala makluk hidup pada waktu itu, maka mungkin karena bencana itu yang mendorong mereka merantau lebih jauh sampai ke-Australia (Stephen Oppenheimer: Out of Eden). Sekarang ada bukti bahwa dari manusia yang sudah di Australia itu ada sebagian yang 2
malah kembali lagi, sekali lagi melintasi Nusantara dan achirnya menghuni di-India bagian selatan sekitar Madurai, Tamil Nadu 35,000 tahun lalu, mereka membawa bahasa pembicaraan mereka dan menjadikan Bangsa India sekarang (Ramasamy Pitchappan and Ganes Prashad Arunkumar:Madurai, Kamaraj University, India).
Skema
perantauan
berdasarkan Y-chromosome
manusia pengusutan
lelaki.(gambar
diambil dari Genographic Project National Geographic)
Boleh jadi peninggalan purba di-Gunung Padang dekat Cianjur, Jawa Barat yang baru ditemukan tidak lama itu, juga merupakan peninggalan keturunan sisa manusia perantau yang gelombang pertama tersebut. Pemandangan layang Teras 1 Peninggalan Purba Gunung Padang, Cianjur.(gambar dari Rodney Hale) Disamping itu ada juga manusia perantau gelombang kedua yang mengambil Jalur Utara dari Iran menuju ke-Sentral Asia sekitar 35,000 tahun lalu, mereka terus menetap dan berkembang biak dengan merubah cara hidup mereka dari pemburu menjadi peternak dan petani di-Mesopotamia, sampai disekarang Kyrgyzstan dan Kazakhstan diperbatasan timur dengan Tiongkok. Boleh dikatakan Afrika Timur adalah tempat kelahiran manusia dan Sentral Asia adalah taman kanak-kanak manusia. Dari Sentral Asia ini, manusia mulai berkembang biak dengan pesat dan kemudian menyebar, yang kebarat kemudian menjadi orang Eropah dan yang ketimur kemudian menjadi orang Tionghoa, Siberia, Eskimo dan Indian Amerika. Dari sekarang jumlah total 6 milliar manusia didunia ini, kenyataannya hanya berasalkan 40 pasang Homo sapiens yang berhasil berkali-kali menangkis kemusnahan selama 70,000 tahun ini. Kenyataan lainnya, orang yang berasalkan Tiongkok Selatan yang pertama-tama datang dan menghuni ditanah Nusantara, dan yang merupakan penghuni yang paling awal bermukim di-Indonesia. Pembentukan Bangsa Indonesia: 3
Penduduk awal Malaysia, Filipina dan Indonesia adalah orang Tionghoa dari sekitar Yunnan, Tiongkok Selatan, mereka melintasi Vietnam dan terus berkembang biak di-Nusantara selama 3500-4500 tahun lamanya (G.O.M. Jameson: A Short History of Southeast Asia). Keturunan Tionghoa tersebut tetap mengadakan perjalinan rekat dengan Tiongkok selama ribuan tahun, sampai saat adanya orang asing dengan kebudayaan lain yang juga datang menduduki Nusantara dijaman dinasti Qin dan Han Tionghoa 2200 tahun lalu. Mereka merupakan berbagai golongan orang dari Kerajaan Hindhu Kalinga India Selatan yang didesak melarikan diri ke-Nusantara oleh kekuatan Kerajaan Maurya Maharaja Ashoka yang menganut Buddhisme, akibatnya: 1. Golongan Ksatria (militer) mulai meng-kolonisasi dan mendirikan kerajaan-kerajaan Dravidian Nusantara, seperti Kerajaan Funan di Kambodia dan Kerajaan Kalinga di Sumatra dan Jawa, yang karena itu orang Tamil India masih disebut “Kling” di-Jawa, yang juga maksudnya orang ‘hitam’ sampai sekarang, contohnya Pacar Kling di Surabaya; 2. Golongan Vaisya (pedagang) yang mendatangkan rempah-rempah kare, yang semulanya untuk konsumsi orang sebangsanya dari India Selatan yang kemudian menjadi sangat mempengaruhi kuliner Nusantara sekarang, mereka menemukan bahan mineral dan metal mulia sehingga menamakan Nusantara sebagai Suvarnabhumi dan Suvarnadvipa (bumi dan pulau emas), selain itu mereka juga membawa pulang banyak rempah-rempah asal Nusantara yang kemudian disebarkan sampai ke-Eropah, karena rempah-rempah itu ternyata bisa dipakai sebagai bahan penambah rasa dalam proses pengawetan daging (ham) untuk persediaan makanan didalam musim dingin disana, maka memicu orang Eropah berdatangan untuk mencarinya sendiri dan mulai menjajah Nusantara; 3. Golongan Brahmana (pendeta), datang dengan misi penyebaran ajaran Hindhuisme yang membawa kebudayaan dan ritual upacara mereka, seperti upacara yang masih terlihat di Pulau Bali, mendirikan candi-candi yang merupakan prasastri maupun makam, seperti Hindhu Prambanan dan Buddhis Borobudur, memperkenalkan sastra klasik Ramayana, Mahabharata dan sebagainya, dan mereka menggunakan bahasa Sanskrita yang banyak menjadi dasar bahasa Indonesia, sehingga juga dipakai untuk penamaan tempat-tempat daerah, universitas-universitas dan orang-orang Jawa sekarang. Pengaruh Hindhu yang merupakan dasar kerajaan-kerajaan Dravidian Nusantara semula, kemudian digantikan oleh pengaruh Buddhis Dinasti Sailendra yang mendirikan Kerajaan Srivijaya di Palembang, dengan kekuasaannya yang sangat luas hingga termasuk Champa di Vietnam dan Visaya di Filipina diabad 7 Masehi. Keruntuhan Sriwijaya diakibatkan 4
karena adanya serangan dari kekuatan Muslim yang baru bangkit di-India Selatan dan mendirikan Kerajaan Lambri di Aceh, walaupun kekuatan Muslim Chola tersebut achirnya bisa ditumpas oleh Sriwijaya diabad 11 Masehi, di Jawa mulai muncul Hindhu Airlangga di Bali, yang kemudian pecah menjadi Kerajaan Kediri dan Singasari, dan Singasari ini yang achirnya mengusir Sriwijaya keluar dari Jawa, dan kemudian terbentuk juga Kerajaan Hindhu terachir Majapahit diabad 13 Masehi. Baik dimasa Buddhis Sriwijaya dan Muslim Chola sampai Hindhu Singasari dan Majapahit, setiap raja-raja-nya selalu mengadakan hubungan kerap dengan Tionghoa dari Tang sampai Song dalam perniagaan dan bantuan pertahanan, sehingga hubungan antar Nusantara-Tiongkok tidak pernah terputus. Diachir abad 13 dan permulaan abad 14, dari Tiongkok Selatan yaitu Hokkian dan Yunnan terjadi pengungsian masal Muslim Tionghoa keturunan Persia dan Arab mazhab Hanafi akibat kekerasan Ming dalam menumpas pendukung-pendukung sisa Mongol Tartar yang telah menguasai Tiongkok selama 90 tahun disana, mereka kebanyakan berteduh di-Kerajaan Champa yang masih berupa sisa Srivijaya selama satu abad lamanya. Dengan terbukanya Jalur Rempah Maritim dari Quanzhou sampai Surabaya oleh Armada Cheng Ho dan karena juga sudah jatuhnya perekonomian Champa akibat terhentinya perniagaan Jalur Sutra Maritim dari Quanzhou sampai Hormuz, maka keturunan Muslim Tionghoa tersebut mengarahkan mata pencaharian hidup mereka ke-Nusantara dari Aceh Sumatra sampai Ampel Surabaya dipertengahan abad 15 Masehi, dengan demikian selain para Sunan dan eyang keluarga Gus Dur maupun Nyai putri-putri Cina, tidak terhitung pula banyaknya Muslim Sufi Tionghoa yang achirnya juga hijrah ke-Nusantara. Setelah bubarnya Armada Cheng Ho diabad 15, terjadi penyegelan pantai dan pelarangan berlayar keluar masuk Tiongkok oleh pemerintahan Tionghoa Ming yang mengakibatkan terputusnya pendatang baru Tionghoa ke-Nusantara selama kurang lebih 300 tahun. Dengan kesudahan perantauan manusia di-Nusantara yang berabad-abad itu, terjadi peleburan dan perkembang-biakan yang tak terhenti antara keturunan Tionghoa Semula yang sudah berada disana sejak 4500 tahun lalu, dengan keturunan Dravidian yang kemudian datang sejak 2200 tahun lalu, dan dengan keturunan Muslim Tionghoa yang juga hijrah 600 tahun lalu itu, inilah yang membuahkan Bangsa Indonesia sekarang. Yang karena masing-masing telah kabur identitas asal muasal mereka dari keturunan mana yang sudah begitu lama disana, pada umumnya peranakan mereka merasakan dirinya adalah Pribumi di Indonesia maupun Bumiputra di Malaysia.
5
Keturunan Tionghoa sekarang merupakan keturunan pedatang baru dijaman kolonial Hindia Belanda sejak 2 abad yang lalu, kebanyakannya masih berkebudayaan dan masih bercorak wajah yang serupa dengan leluhurnya dari Tiongkok. Meninjau catatan ditahun 2014, bahwa keturunan Tionghoa ini sebanyak 8,2 juta yang merupakan rangking ke-3 dari 250 juta penduduk Indonesia setelah Jawa dan Sunda (NKRI Portal Nasional Republik Indonesia: Jumlah Suku Bangsa Terbesar Di Indonesia), nyata laporan jumlah keturunan Tionghoa tersebut diatas, sangat menyimpang dari laporan Sensus Umum Penduduk 2010 yang dimana Etnis Tionghoa hanya merupakan 1,2% dari penduduk Indonesia yang sejumlah 240 juta, yaitu hanya 2,8 juta di-rangking ke-15 (Wikipedia bahasa Indonesia: Demografi Indonesia/Kelompok Etnis/ Laporan Sensus Umum Penduduk 2010), namun dalam kategori suku Tionghoa tersebut diatas itu, kedua-duanya tidak memperinci berapa banyaknya Peranakan Tionghoa yang terlahir dan beranak-cucu sejak ratusan maupun ribuan tahun di-Indonesia, yang karena sudah kehilangan identitas asal mereka sehingga termasuk dalam kategori suku-suku lainnya. Keturunan Arab dan Persia yang dari pembawa ajaran Islam Wahabi ke-Sumatra Barat sejak abad 19 itu, dengan melalui kesamaan agama, begitu saja mereka lebih mudah menerobos penerimaan masyarakat umum di-Nusantara, sehingga berhasil mengajarkan budaya dan hukum Islam-nya di-Indonesia. Berikanlah waktu beberapa generasi lagi, karena selama hampir seratus tahun terachir ini sudah tidak ada hijrahan baru dari Tiongkok lagi, pada suatu ketika keturunan Tionghoa belakangan ini juga akan melebur diantara masyarakat umum, yang pada waktu itu keturunan selanjutnya sudah sukar diperbedakan lagi dengan penduduk lainnya. Lagi pula, bila mau mengatagori golongan mayoritas dan minoritas di Indonesia, kalau ditinjau dari sudut meluasnya peleburan antar suku di Indonesia, maka suku yang mana yang boleh diakui sebagai mayoritasnya? Kesatuan Bangsa: Bahwa semua orang didunia merupakan impor dari Afrika Timur, dari berbagai gelombang perantauan manusia yang keluar dari sana terbentuklah Bangsa Indonesia di-Nusantara yang terhimpun dari orang India, orang Tionghoa, orang Persia dan Arab, maka bila kita saling memandang kekanan dan kekiri diantara sesama bangsa kita, dibawah perbedaan permukaan kulit kita tetap beraliran darah dari sumber yang sama, karena Indonesia merupakan melting pot bangsa-bangsa. Bersatu kita padu. Pustaka bahan sejarah: 1. Coedes, G: (1968). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. Honolulu.
6
2. Jameson, G.O.M. Brigadier: (1972). A Short Series of the World History: A short History of Southeast Asia. Aerospace Computing Laboratory, Stanford University. Palo Alto California. 3. Wells, Spencer: (2002). The Journey of Man, A Genetic Odyssey. Princeton University Press. New Jersey. 4. Li Yu Kun, Li Xiu Mei: (2006). Ancient Overseas Maritime History of Quanzhou. China Television and Broadcasting Publishings. Beijing. 5. Laffan, Michael: (2011). The Makings of Indonesian Islam, Orientalism and the Narration of a Sufi Past. Princeton University Press. Princeton and Oxford. Utlub il ‘ilma wa lau fis Sin. (Tuntutlah kebijakan walau sejauh di-China). Monterey Park, 15 Mei 2015.
7