Pembenaran Teoritis tentang Keabsahan Anak (Analisis Metodologik Pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam) Copyright © Penulis, Jasmani Oktober, 2013 Editor, Muh. Zuhry Penata Letak, MS Sampul, Wahyudi Hasyim Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT) Pembenaran Teoritis tentang Keabsahan Anak Analisis Metodologik Pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam ISBN 978-602-17855-5-3 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang. Dilarang memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini tanpa izin tertulis penulis. Luqman al-Hakim Press Jl. Langsat, Lr. 3 No. 25 Watampone Telp. (0481) 27774 E-mail:
[email protected] Anggota IKAPI, No. 013/SSl/2015
PEMBENARAN TEORITIS TENTANG KEABSAHAN ANAK (Analisis Metodologik Pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam)
KATA PENGANTAR Keabsahan anak adalah sebuah persoalan penting dalam kehidupan manusia. Semua sistem hukum yang dikenal oleh manusia membincang masalah ini, dan ternyata masingmasing sistem hukum telah meletakkan kriteria-kriteria sebagai tolok ukur keabsahan seorang anak. Membincang keabsahan seorang anak menjadi sangat penting sebab keberadaan anak itu sebagai keturunan sebuah keluarga dapat terjadi dengan berbagai bentuk. Di Indonesia, salah satu piranti yuridis yang membincang keabsahan seorang anak adalah Kompilasi Hukum Islam, yaitu pasal 99 dan 100. Dengan segala kompleksitasinya Kompilasi Hukum Islam telah meletakkan kriteria dan teori keabsahan anak, yang ternyata memuat sebuah pembaruan fikih, yang berbeda dengan fikih klasik. Karena itu, tesis ini mencoba menyorot pembaruan fikih dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam dari segi kerangka metodologi hukum Islam. Pertanyaan pokok penelitian ini adalah bagaimana dasar penetapan keabsahan anak, dan apa implikasinya. Untuk meneliti pokok penelitian ini diperlukan data pustaka secara memadai. Data yang diperoleh diolah secara kualitatif dengan teknik penyajian dedukatif dan komparatif. Pengolahan data dan teknik pembahasan disesuaikan dengan pokok bahasan yang secara garis besarnya terdiri atas bab pendahuluan yang berisi tentang kerangka pembahasan kerja penelitian. Pokok bahasan selanjutnya adalah signifikasi keabsahan anak dalam dunia hukum, teori-teori keabsahan anak, analisis metodologik pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam. Dalam pada itu metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif (fikih) dan yuridis (perundang-undangan) serta pendekatan holistik (terpadu) antara pasal-pasal yang terkait langsung ataupun tidak 1
PEMBENARAN TEORITIS TENTANG KEABSAHAN ANAK (Analisis Metodologik Pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam)
langsung yaitu pasal 53, 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam tentang keabsahan anak. Dari pembahasan penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa teori keabsahan anak yang diakomodir langsung oleh pasal 99 dan 100, dan secara tidak langsung oleh pasal 53 Kompilasi Hukum Islam adalah metode istimbath istihsan dan mafhum mukhalafah. Kesimpulan ini tidak mendukung sepenuhnya hipotesis, sehingga teori keabsahan anak pasal 99 dan 100 yang diduga berdasarkan ‘urf ternyata tidak tepat. Berdasarkan hasil (temuan) penelitian ini sebagaimana yang telah dinyatakan di atas, maka kontroversi tentang keabsahan anak yang dibenihkan sebelum akad nikah menurut pasal 99 Kompilasi Hukum Islam hendaknya dapat menyadarkan para ulama untuk tidak lagi dualisme tentang masalah ini. Diharapkan, muatan Kompilasi Hukum Islam yang kontroversial, sepanjang dapat dibuktikan kajian/landasan metode istimbathnya sepanjang itu pula diterima sebagai dinamika hukum fikih yang dapat dikaji ulang.[] Watampone, 1 Oktober 2013
Jasmani
2
PEMBENARAN TEORITIS TENTANG KEABSAHAN ANAK (Analisis Metodologik Pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam)
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR, iii DAFTAR ISI, v
BAB I PENDAHULUAN, 1 A. B. C. D. E. F. G. H.
Latar Belakang Masalah, 1 Rumusan dan Batasan Masalah, 4 Pengertian Istilah dan Definisi Operasional, 5 Hipotesis, 6 Tinjauan Pustaka, 6 Kerangka Teori, 9 Tujuan dan Kegunaan Penelitian, 12 Metodologi, 12
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM, 15 A. Status Hubungan Kekeluargaan, 15 B. Hak dan Kewajiban, 23 BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK, 37 A. B. C. D. E.
Menurut Hukum Adat, 37 Menurut Hukum Perdata, 42 Menurut Hukum Fikih, 48 Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, 53 Menurut Kompilasi Hukum Islam, 56 3
PEMBENARAN TEORITIS TENTANG KEABSAHAN ANAK (Analisis Metodologik Pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam)
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN PASAL 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM, 61 Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, 61 Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, 72 BAB V PENUTUP, 77 A. Kesimpulan, 77 B. Rekomendasi, 78 KEPUSTAKAAN, 79
4
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehadiran anak dalam sebuah rumah tangga merupakan anugerah Tuhan yang patut disyukuri oleh orang tua. Pengejawantahan kesyukuran tersebut dengan diadakannya sejumlah upacara ritual, baik menurut tradisi, maupun menurut ketentuan agama. Bagi keluarga muslim, acara mensyukuri kehadiran anak adalah dilakukannya aqiqah dengan sentuhan tradisi di sana sini. Perbuatan tersebut di atas merupakan realitas terdepan menyangkut kehadiran anak, sehingga masalah keabsahan anak persoalan menyusul. Masalah yang disebut terakhir ini (keabsahan anak), dalam dunia hukum, ternyata adalah perkara yang telah diatur sedemikian rupa. Satu di antaranya adalah teori/rumusan tentang anak sah dan anak tidak sah. Secara umum dijumpai kesamaan dalam berbagai sistem hukum bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir akibat perkawinan yang sah dengan masa kelahiran minimal 180 hari sejak perkawinan itu dilangsungkan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa seorang perampuan kadang dinikahi setelah terlebih dahulu hamil, sehingga rumusan anak sah secara umum itu tidak terwujud. Akibatnya muncullah status anak tidak sah dengan segala konsekuensinya. Tentang perkawinan wanita hamil, sistem-sistem hukum yang ada telah mengaturnya sedemikian rupa, baik itu hukum perundang-undangan maupun hukum yang berdasarkan agama tertentu, seperti Islam. Di Indonesia, 1
PENDAHULUAN
rujukan perkawinan wanita hamil adalah undang-undang No. 1/1974 tentang Perkawinan dan Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Perkawinan wanita hamil itu sendiri penting, sebab ia merupakan salah satu pertimbangan untuk menyatakan sah atau tidaknya anak yang lahir dari perbuatan hukum ini. Dalam pasal 53 (1) KHI disebutkan “Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya”.1 Berdasarkan pasal ini, perkawinan wanita hamil adalah sah jika yang mengawininya adalah laki-laki yang menghamilinya. Jika yang mengawininya bukan laki-laki yang menghamilinya, maka perkawinannya tidak sah. Tentang sahnya perkawinan perempuan hamil oleh laki-laki yang menghamilinya, ayat 2 pasal 53 Kompilasi Hukum Islam menegaskan dan mengukuhkannya dengan menyatakan bahwa “Perkawinan dengan wanita hamill yang disebutkan pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.2 Ayat 2 pasal 53 Kompilasi Hukum Islam di atas menolak pendapat fuqaha yang tidak membenarkan perempuan hamil dikawinkan hingga ia melahirkan anaknya, atau dapat dikawinkan dengan seorang laki-laki namun ia tidak dibenarkan mencampurinya sebelum ia melahirkan. Dengan demikian, perempuan hamil tidak dihukum beriddah dan sama kedudukannya dengan perempuan yang tidak hamil. Ia sah berkawin dalam kondisi kehamilannya itu, dan karenanya pula laki-laki yang mengawininya dapat mencampurinya. Apatahlagi jika yang mengawini perempuan hamil itu adalah memang laki-laki yang menghamilinya. Selanjutnya pada ayat 3 pasal 53 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa “Dengan dilangsungkannya per1H.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Cetakan Pertama, Jakarta: Akademika Presindo, 1992), h. 125. 2Ibid
2
PENDAHULUAN
kawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir”. Ayat ini merupakan penegasan bahwa perkawinan wanita hamil benar-benar sah, tidak dihalangi keabsahannya oleh persepsi iddah dan juga oleh perkawinan ulang setelah anak yang dilahirkannya. Anak yang lahir dari yang pertama adalah anak sah, sedangkan yang disebut terakhir, menurut Kompilasi Hukum Islam, adalah anak tidak sah. Dalam pasal 99 KHI, anak sah ialah “anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”.3 Dalam pasal 100 dinyatakan: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mampunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarganya”.4 Dari kedua pasal KHI ini dipahami bahwa keabsahan anak-anak sah dan anak tidak sah tetap menjadi isu penting dalam dunia hukum. Kalau dicermati rumusan anak sah yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ditemukan rumusan yang berbeda dengan hukum fikih. Dalam hukum fikih dirumuskan bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir akibat perkawinan yang sah, minimal enam bulan (180 hari) sejak akad nikah dilangsungkan. Menurut rumusan ini, seorang anak yang lahir dalam ikatan perkawinan yang sah, namun kurang dari enam bulan sejak akad nikah, maka anak tersebut adalah anak tidak sah (anak luar nikah). Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam, anak sah adalah anak yang lahir dalam ikatan perkawinan yang sah dengan tidak lagi mensyaratkan enam bulan sejak akad nikah. Oleh sebab itu, menurut Kompilasi Hukum Islam, anak sah adalah anak yang lahir dari dan dalam perkawinan yang normal, ataupun dari dan dalam perkawinan wanita sesuai pasal 53 Kompilasi Hukum Islam ayat 1, 2 dan ayat 3. Semuanya ini disebut dengan anak yang lahir dalam perkawinan. Selanjutnya, anak luar nikah (Psl 100 KHI) adalah anak yang 3Ibid.,
h. 137
4Ibid.
3
PENDAHULUAN
lahir dari wanita yang hamil luar nikah tanpa dikawini ibunya atau dikawini oleh laki-laki lain, bukan laki-laki yang menghamilinya setelah anak yang dikandungnya itu lahir. Berdasarkan rumusan/teori tentang anak sah yang telah dipaparkan di atas, khususnya antara teori fikih dengan rumusan KHI ditemukan adanya hasil ijtihad yang baru. Oleh karena itu, penting dilakukan kajian metodologi istimbat tentang pembaruan teori keabsahan anak yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam. B. Rumusan dan Batasan Masalah Mengacu pada latar belakang masalah yang telah diuraikan, diketahui bahwa keabsahan seorang anak yang lahir didasari pada persoalan keabsahan perkawinan orang tuanya. Yang dimaksudkan adalah kapan akan nikah dilangsungkan. Lebih khusus lagi kapankah seorang wanita dikawinkan dengan seorang laki-laki. Tentang perkawinan seosrang perempuan, ada dua kondisi yang dapat terjadi, yaitu: (1) perempuan dikawinkan dalam keadaan tidak hamil; (2) perempuan dikawinkan dalam keadaan hamil. Sedangkan laki-laki yang mengawininya, oleh laki-laki yang menghamilinya dan atau laki-laki yang bukan menghamilinya. Menurut KHI, perkawinan wanita hamil yang sah hanyalah yang dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya. Dalam hukum fikih, perkawinan wanita hamil dapat dilakukan dan sah hukumnya. Karena itu anak yang lahir dari padanya ada dua kemungkinan yaitu anak sah dan atau anak tidak sah. Teorinya adalah jika anak itu lahir enam bulan sejak akad nikah orang tuanya, maka anak itu adalah anak sah, dan jika kurang dari enam bulan, maka anak itu anak tidak sah. Teori dan rumus tersebut di atas ternyata tidak dianut oleh Kompilasi Hukum Islam. KHI tidak mempersoalkan 4
PENDAHULUAN
batas kelahiran minimal seorang anak. Yang diperuntukkan adalah adanya perkawinan yang sah dan anak itu lahir dalam ikatan yang sah. Berdasar pada identifikasi permasalahan keabsahan anak, maka pertanyaan penelitian yang dapat diajukan adalah : Bagaimana pembenaran teoritis keabsahan anak menurut Kompilasi Hukum Islam, dengan sub masalah sebagai berikut : 1. Metodologi hukum Islam apa yang menjadi dasar konsepsi keabsahan anak dalam Pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam ? 2. Apakah implikasi teori (konsepsi) anak sah dalam Pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam ? C. Pengertian Istilah dan Defenisi Operasional Keabsahan anak adalah kalimat yang menunjuk pada dua kemungkinan status anak yang dilahirkan, yaitu anak sah dan anak tidak sah. Rumusan (penetapan) keabsahan anak yang menjadi obyek kajian adalah pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 99 KHI, anak yang sah adalah : a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan isteri tersebut. Pasal 100 KHI, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Berdasarkan pasal KHI di atas, maka yang dimaksudkan anak sah dalam obyek penelitian ini adalah pasal 99 huruf a, sedangkan anak tidak sah adalah anak yang lahir tidak dalam perkawinan yang sah. Analisis metodologik adalah kajian yang akan menerangkan tentang legitimasi (pembenaran) rumusan 5
PENDAHULUAN
keabsahan anak dalam pasal 99 huruf a dan pasal 100 KHI menurut metode penetapan hukum Islam (Ushul Fikih). D. Hipotesis 1. Mendudukkan teori keabsahan anak menurut Kompilasi Hukum Islam di antara sistem-sistem hukum yang ada tentang obyek masalah, dapat diajukan hipotesis bahwa KHI memakai metode istnbath al-`urf. Faktor yang mendukung adalah ditemukannya upaya mengawinkan wanita hamil oleh laki-laki yang menghamilinya, sehingga anak yang lahir dari padanya mempunyai ayah yang benar telah mendapat legitimasi sebagai anak sah. 2. Implikasi teori anak sah menurut Kompilasi Hukum Islam adalah gugurnya masa kehamilan minimal dalam menyatakan sah dan tidaknya seorang anak; berlakunya perwalian wali nasab tidak anak yang lahir dalam perkawinan yang sah; adanya hak memperoleh nafkah dari ayahnya serta adanya hak mewarisi kedua orang tua dan keluarga kedua orang tua atas tiap anak yang lahir dalam masa perkawinan yang sah. E. Tinjauan Pustaka Persoalan keabsahan anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan merupakan fokus pembaharuan dalam sistem hukum yang berlaku di masyarakat, baik itu hukum tertulis maupun tidak tertulis. Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu hukum tertulis menyatakan keabsahan anak dalam pasal 99 dan 100. Diyakini bahwa sebagai fikih Indonesia, penetapan keabsahan anak dalam KHI ini didasari oleh sebuah metode istinbat. Oleh karenanya perlu ditelusuri dengan melakukan studi pembenaran teoritis tentang hal itu. Kajian semacam ini sangat boleh jadi telah ada, namun perbedaan hasil penelitian tetap terbuka sebagaimana kemungkinan timbulnya perbedaan penerapan pasal 99 dan pasal 100 KHI oleh para hakim Pengadilan Agama. 6
PENDAHULUAN
Dalam hukum perdata, tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya (Psl. 250 KHU Perdata). Keabsahan seorang anak yang dilahirkan sebelum hari yang keseratus delapan puluh dalam perkawinan suami isteri, dapat diingkari oleh si suami (Psl. 251 KUH Perdata). Menurut sistem hukum perdata di atas, anak sah dapat dikenali bagi tidap anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah dengan minimal waktu dilahirkan seratus delapan puluh hari. Anak yang lahir kurang dari seratus delapan puluh hari sejak hari perkawinan ditetapkan sebagai anak tidak sah. Dalam sistem hukum Adat ditemukan pula teori penetapan keabsahan seorang anak yang dilahirkan oleh perempuan. Disebutkan, anak yang lahir dalam perkawinan sah antara seorang pria dan seorang wanita, mempunyai sebagai ibu wanita yang melahirkannya dan sebagai bapak pria suami wanita dimaksud.5 Teori di atas adalah yang normal. Dalam keadaan tidak normal (perkawinan wanita hamil), keabsahan anak yang lahir itu telah melahirkan upaya-upaya adat agar anak itu sah. Upaya-upaya adat itu adalah “kawin paksa” dan nikah “tambelan” di Jawa dan “pattongko siri” di masyarakat Bugis.6 Kawin paksa adalah suatu tindakan adat yang memaksa si pria mengawini wanita yang telah melahirkan anak itu.7 Sedangkan nikah tambelan (Jawa), Pattongko siri (Bugis) adalah upaya adat mengawinkan wanita yang sedang hamil dengan laki-laki lain.8 Maksudnya supaya 5Soerojo
Wignjodipoero, SH., Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Cetakan Ketujuh, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984), h. 112. 6Ibid.,
h. 113-114.
7Ibid.,
h. 112.
8Ibid.,
h. 113
7
PENDAHULUAN
anak dapat lahir dalam masa perkawinan yang sah, sehingga anak itu menjadi anak yang sah. Teori keabsahan anak dalam hukum adat berdiri pada prinsip bahwa anak lahir dalam perkawinan yang sah. Syarat minimal kelahiran dan syarat harus laki-laki yang menghamilinya tidak dimutlakkan. Dalam hukum fikih, teori keabsahan anakpun telah ditetapkan. Seorang anak sah jika ia dilahirkan setelah masa enam bulan dari perkawinan (mazhab hanafi) atau setelah kemungkinan dukhul, bukan dihitung dari hari akad nikah sebagaimana yang dikatakan oleh jumhur. Jika anak dilahirkan kurang dari batas minimal kehamilan, fukaha sepakat bahwa anak tersebut tidak dapat dinisbahkan kepada si suami, kecuali jika ia mengakui kehamilannya sebelum akad nikah semata-mata kemaslahatan anak.9 Dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam disebutkan : “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”. Selanjutnya anak tidak sah adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (Psl. 100 KHI). Dari teori-teori keabsahan anak bagi masing-masing sistem hukum (Perdata, Adat, Fikih dan KHI) ditemukan rumusan yang berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dinyatakan dalam tiga kategori. (1) teori Fikih dan Hukum Perdata; (2) teori Hukum Adat; (3) teori Kompilasi Hukum Islam. Semua teori ini sepakat menetapkan bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang sah adalah menjadi anak dari ibu dan bapak yang melahirkan. Yang menjadi perbedaan adalah anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Hukum Perdata dan Fikih mengujinya dengan batas minimal kelahiran, yaitu enam bulan atau 180 hari setelah 9Lihat,
Dr. Wahbat al-Zuhailiy, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Juz VII, (Cetakan Ketiga, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h. 682.
8
PENDAHULUAN
pernikahan. Kurang dari itu, anak yang dilahirkan adalah berstatus anak tidak sah. Dalam hukum adat tidak ada kebiasaan menetapkan waktu lahir dari enam bulan setelah nikah sebagai syarat kelahiran anak agar diakui sebagai anak sah. Yawng pasti adalah ketentuan dalam hukum perdata dan fikih sama sekali tidak mempengaruhi lembaga adat “kawin paksa”, nikah tambelan atau Pattongkok siri. Sementara itu Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa anak yang lahir dalam perkawinan yang sah adalah anak yang sah. Perbedaannya dengan Hukum Adat adalah adanya KHI hanya menghakui anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang tidak normal itu oleh laki-laki yang menghamili perempuan itu. F. Kerangka Teori Teori tentang keabsahan anak merujuk pada hukum fikih dan Kompilasi Hukum Islam. Masing-masing teorinya dapat digambarkan sebagai berikut :
9
PENDAHULUAN
Menurut Hukum Fikih :
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Anak Sah
Anak Sah Anak Sah Anak Sah Anak Tidak Sah Anak Tidak Sah Anak Tidak Sah Anak Tidak Sah
Keterangan :
Anak Tidak Sah
: Laki-laki
: Perempuan : Kawin 1, 2, 3, 4, dst. : Masa bulan kehamilan : Masa kelahiran anak yang dipandang sah : Masa kelahiran anak yang dipandang tidak sah 10
PENDAHULUAN
Menurut KHI:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Anak Sah Anak Sah Anak Sah Anak Sah Anak Sah Anak Sah Anak Sah Anak Sah Anak Sah Keterangan : : Laki-laki : Kawin
: Perempuan 1, 2, 3, 4, dst. : Masa kehamilan
: Masa kelahiran anak 11
PENDAHULUAN
G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Penelitian ini bertujuan menyingkap metode penetap-an keabsahan anak, agar ketetapan itu dapat diduduk-kan sebagai hasil ijtihad yang dapat dipertanggungjawabkan. 2. Penelitian bertujuan menghilangkan perbedaan penerapan pasal 99 menyangkut aspek-aspek hukum yang berkaitan dengannya, sehingga mewujudkan kepastian hukum bagi semua pemakai KHI. 3. Penelitian ini bertujuan mendudukkan teori keabsahan anak dalam KHI sebagai informasi aktualisasi hukum Islam, sehingga pihak-pihak tertentu tidak menilai hukum Islam tidak akomodatif dengan rasa keadilan masyarakat setempat. H. Metodologi 1. Metode Pendekatan a. Pendekatan Normatif, yaitu sebuah metode yang penulis gunakan dalam menjelaskan hal-hal tertentu dalam penelitian ini dengan merujuk pada hukumhukum fikih normatif sebagai acuan. b. Pendekatan Yuridis, yaitu sebuah metode yang penulis gunakan untuk menjelaskan hal-hal tertentu dalam penelitian ini dengan merujuk pada pasal-pasal perundang-undangan sebagai acuan. c. Pendekatan Holistik, yaitu sebuah metode yang digunakan oleh penulis dengan melihat secara integral (menyeluruh) antara pasal 53, 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam dalam mengungkap teori pembenaran keabsahan anak menurut pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam. 2. Pengumpulan data Penelitian ini murni kajian teoritis akademik. Sesuai sifatnya, maka data yang dibutuhkan seluruhnya bersumber dari referensi (kepustakaan). 12
PENDAHULUAN
3. Pengolahan data Data kepustakaan yang diperoleh diolah secara kualitatif. Fokusnya adalah menggali teori-teori keabsahan anak dari berbagai sistem hukum. Tujuannya adalah menyingkap dan menentukan kekuatan hukum teori keabsahan anak dalam Kompilasi Hukum Islam. 4. Tehnik Penyajian Dalam hal mengolah data yang ada, penulis menyajikan dengan alur pikir deduktif dan komparatif. Penyajian deduktif dilakukan terhadap rumusan/teori keabsahan anak masing-masing sistem hukum yang ditampilkan dalam penelitian ini. Hasilnya adalah diperolehnya kesimpulan dari teori-teori yang ada tersebut. Di samping alur deduktif, juga digunakan alur berpikir komparatif. Dari teori-teori keabsahan anak yang ada ditemukan dalam berbagai sistem hukum, sisi-sisi persamaan dan perbedaan yang ditemukan sangat berguna untuk menyatakan metode penetapan keabsahan anak dalam Kompilasi Hukum Islam itu. Hasilnya mungkin dinyatakan sebagai adopsi hukum atau sebuah pembaruan hukum.[]
13
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM A. Status Hubungan Kekeluargaan Sejarah hidup dan kehidupan manusia di bumi menunjukkan bahwa hukum (norma=aturan) adalah piranti kehidupan yang niscaya. Betapa tidak, dengan hukum, ketertiban dan kepastian hidup dapat terwujud, tidak terkecuali perihal kejelasan dan kepastian kekerabatan anak dengan orang tuanya. Hal ini membuktikan bahwa semua sistem hukum yang dikenal oleh manusia tidak berhenti melihat kehadiran (kelahiran) seorang anak sebagai anak alam (biologis) semata-mata, melainkan perlu dikukuhkan oleh hukum setempat yang diakui. Hubungan kekeluargaan (kekerabatan) adalah sebuah perkara hukum yang dibahas oleh semua sistem hukum, baik itu hukum berdasarkan agama, atau bukan. Pembahasan hubungan kekelurgaan ini adalah menyatakan posisi interaksi antara ayah, ibu dan anak-anaknya. Dalam interaksi yuridis ini, orang tua (ayah/ibu) mengakui anaknya, dan si anak mengakui ayah dan ibunya. Interaksi harmonis dalam sebuah keluarga seperti yang digambarkan di atas ternyata tidak selamanya normal. Dengan penyebab tertentu, seorang anak hanya dapat diakui kekerabatannya dengan ibu biologisnya, tidak dengan ayah biologisnya. Namun terkadang juga, dengan faktor tertentu, seorang anak dari orang lain diakui memiliki hubungan kekerabtan dengan pasangan suami isteri, misalnya anak angkat. Melalui lembaga hukum adopsi, maka secara 15
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
yuridis, anak angkat memiliki hubungan kekeluargaan dengan orang yang mengangkatnya (mengadopsinya). Kendatipun hubungan kekerabatan seorang anak dengan yang melahirkannya semuanya bertumpu pada persoalan keabsahan anak, maka masalah yang mendasar adalah apakah seorang anak itu adalah “anak sah” atau “anak tidak sah”. Munculnya dua kategori mendasar bagi seorang anak yang dilahirkan ternyata disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satu faktor yang memunculkan upaya hukum dalam penentuan hubungan kekerabatan seorang anak dengan orang tuanya adalah anak yang lahir di luar nikah. Menurut Soedaryo Soimin,1 terhadap anak-anak hasil di luar perkawinan, hukum adat di pelbagai daerah tidak mempunyai pandangan yang sama. Hukum adat mempunyai pelbagai cara untuk mengatasinya, agar anak itu menjadi anak sah. Cara-cara yang dimaksud adalah kawin paksa,2 atau mengawinkan wanita hamil di luar nikah itu dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. Bahkan, di Minahasa, ayah biologis anak yang lahir di luar nikah itu, juga ayah si anak secara yuridis.3 Di luar upaya di atas, dan kasus anak luar nikah di Minahasa, maka anak semacam ini menjadi anak tidak sah, dan mutlak hanya memiliki hubungan kekerabatan dengan ibunya dan kerabat-kerabat ibunya. Inilah hubungan kekeluargaan secara mendasar anak yang lahir di luar nikah. Hal ini disebabkan, anak yang mempunyai ibu itu, secara yuridis maupun biologis, untuk membuktikannya tidaklah 1Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat, Hukum Islam dan Hukum Adat, (Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 43. 2Kawin Paksa Menurut Hukum Adat adalah mengawinkan perempuan yang hamil di luar nikah dengan laki-laki yang menghamilinya agar anak yang dikandungnya itu menjadi sah. Dengan upaya hukum ini, anak tersebut telah memiliki hubungan kekerabatan dengan kedua orang tuanya. 3Soedaryo Soimin, Loc.cit.
16
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
begitu sulit. Lain halnya untuk membuktikan bahwa sang anak itu adalah sungguh-sungguh anak dari sang ayah. Kalau dalam hukum adat masyarakat Indonesia mengandalkan piranti perkawinan sebagai upaya hukum yang handal menyatakan adanya hubungan kekerabatan antara anak yang lahir di luar nikah dengan seorang laki-laki yang menjadi ayahnya, ternyata dalam sistem hukum Perdata Barat (BW) harus ditopang lagi oleh pengakuan. Soedaryo Soimin menyatakan,4 menurut sistem yang dianut BW (KUH Perdata), dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya. Baru setelah ada pengakuan, terbit suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibatnya. Jikalau kedua orang tua yang telah melangsungkan perkawinan belum memberikan pengakuan terhadap anaknya (biologis) yang lahir sebelum perkawinan, pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan surat pengesahan dari kepala negara. Dalam hal ini Presiden harus meminta pertimbangan dari Mahkamah Agung. Filosofi keabsahan anak seperti yang terdapat dalam sistem hukum BW (Perdata Barat) ternyata semakit rumit. Kalau hukum adat hanya membutuhkan suatu piranti hukum untuk menyatakan sahnya anak yang lahir di luar nikah, yaitu perkawinan, maka BW memerlukan suatu piranti dasar, yaitu perkawinan danpengakuan. Bahkan jika tidak ada pengakuan, maka keputusan sahnya anak luar nikah itu melalui penetapan Presiden (Kepala Negara). Di sini menunjukkan bahwa lembaga ikrar (pengakuan) menempati posisi terpenting jika dibandingkan dengan perkawinan. Selain penetapan hubungan kekeluargaan seorang anak melalui pengakuan (kasus anak luar nikah), ada juga kemungkinan pasangan suami isteri yang sah menyangkali (ayah) sahnya anak yang lahir dari padanya. Akibatnya, 4Ibid.,
h. 44.
17
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
hubungan kekeluargaan si anak hanya ada pada ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan kekeluargaan kembali pada asas dasar, yakni hubungan kekerabatan seorang anak sudah pastilah dengan ibu yang melahirkannya. Adapun hubungan kekeluargaan si anak dengan ayahnya memiliki ruang pembuktian, apakah si anak adalah ayah dari laki-laki yang mengawini ibunya atau bukan. Hal ini disebabkan, penetapan keabsahan hubungan kekeluargaan si anak dengan kedua orang tuanya dapat ditetapkan melalui pengakuan atau pengingkaran. Boleh jadi, penetapan kata “bin” atau “binti” antara nama seorang anak dengan laki-laki yang menjadi suami ibunya memperkuat hubungan kekeluargaan seorang anak dengan kedua orang tuanya. Di Indonesia pemberian nama seorang anak seperti cara di atas tidak dianut secara mutlak, hanya sebagian masyarakat yang memberi nama anaknya dengan mengikutkan nama ayahnya di belakang. Padahal kalau diteliti, ternyata pemberian nama dengan mengikutkan nama ayah di belakang nama si anak merupakan bukti kuat bahwa anak tersebut adalah anak sah dan bebas dari pengingkaran oleh suami ibunya. Dalam pasal 262 KUH Perdata, garis keturunan hanya dapat dibuktikan dengan bukti permulaan berupa surat-surat tertulis atau dengan keadaan nyata. Keadaan nyata itu adalah praktek kehidupan dan pergaulan seharihari antara mereka. Misalnya, masyarakat memperlakukan seorang anak sebagai anak yang sah dari suatu keluarga. Juga, nama belakangnya dari anak itu selalu memakai nama si ayah. Juga saudara-saudaranya mengakui dia sebagai anak dari si ayah. Kalau keadaan seperti ini sesuai dengan bukti permulaan, maka hubungan mereka itu tidak boleh dipersoalkan lagi kebenarannya.5 Di samping cara-cara penetapan tentang ada atau tidaknya hubungan kekeluargaan seorang anak dengan orang tuanya, ada juga cara yang disebut adopsi (mengangkat 5Ibid.,
h. 51-52.
18
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
anak). Menurut Surojo Wignjodipuro, SH., adopsi adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.6 Penetapan adanya hubungan kekeluargaan antara seorang anak dengan sepasang suami isteri melalui lembaga hukum adopsi adalah tergolong sistem yang lebih berani (radikal). Sebab, anak angkat adalah seorang yang bukan keturunan dua orang suami isteri, yang dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri. Akibat hukum pengangkatan anak ini (adopsi) ialah bahwa anak itu mempunyai kedudukan hukum terhadap yang mengangkatnya. Adopsi ini dikenal dalam sistem hukum adat di Indonesia dan oleh perundang-undangan. Dalam INPRES No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan (Pasal 171 butir h). Dari batasan anak angkat tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam menghargai pengangkatan anak yang dikenal masyarakat adat Nusantara, namun tidak dalam sifat yang identik. Hal ini disebabkan Syari’at Islam telah melarang keras pengangkatan anak. Karena itu dapat pula dinyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam memodifikasi status anak angkat itu sendiri sedemikian rupa sehingga ia tetap mengakomodir rasa keadilan hukum masyarakat Nusantara, namun tidak juga melanggar aturan syari’at Islam. Modifikasi status anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam adalah bahwa anak yang dinyatakan status6Soerojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, (Cetakan Ketujuh, Jakarta: Gunung Agung, 1984), h. 117-118.
19
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
nya sebagai anak angkat berdasarkan putusan pengadilan hanyalah sebatas hubungan materi saja, tidak dengan hubungan nasab (darah). Anak angkat tetaplah anak orang tua asalnya, dan orang tua angkat hanya memiliki kewajiban sebatas memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan si anak dan hal-hal lain yang dibutuhkan olehnya. Oleh sebab itu, dalam hal kewarisan antara orang tua angkat dan anak angkatnya secara timbal balik tidaklah saling mewarisi menurut posisi ahli waris nasab, melainkan melalui wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan (Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam). Adanya sebagian sistem hukum menganut adopsi dan segala akibat hukumnya, tidak terkecuali masalah hubungan kekeluargaan (kekerabatan) adalah berdasarkan dengan deklarasi Hak Asasi Manusia dan Deklarasi Hak Anak-Anak Tahun 1929 di Jenewa.7 Dari sini diketahui bahwa adopsi memiliki misi kemanusiaan, di samping ketertiban hukum. Pengangkatan anak yang menerbitkan hubungan kekeluargaan yang sah dalam hukum adat dan perundangundangan di Indonesia, secara rinci dapat diterangkan motif adopsi itu sebagai berikut : 1. Karena tidak mempunyai anak. 2. Karena belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak mampu menafkahinya. 3. Karena belas kasihan disebabkan si anak yatim piatu. 4. Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah seorang anak perempuan atau sebaliknya. 5. Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk mempunyai anak kandung. 6. Untuk menambah tenaga dalam keluarga. 7. Agar anak yang diangkat mendapat pendidikan yang layak. 8. Karena unsur kepercayaan. 7Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Cetakan Ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 109.
20
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
9. Untuk menyambung keturunan bagi yang tak mempunyai anak kandung. 10. Permintaan keluarga untuk dijadikan anaknya sebagai anak angkat oleh keluarganya sendiri. 11. Anak angkat dapat menolong seseorang (orang tua angkatnya) di hari tua. 12. Akibat sering kematian anak, sehingga orang tua kandungnya menyerahkan kepada keluarga atau orang lain untuk diadopsi.8 Dari uraian yang telah dikemukakan dapat ditarik kesimpulan bahwa penetapan ada atau tidaknya hubungan kekeluargaan seorang anak dengan sepasang suami isteri yang melahirkannya tergantung pada apakah anak itu anak sah atau anak tidak sah. Jika anak itu ditetapkan sebagai anak sah, maka hubungan kekeluargaannya ada pada kedua orang tuanya (ayah dan ibu). Jika anak itu dijatuhkan sebagai anak tidak sah, maka hubungan kekeluargaannya hanya ada pada ibunya saja, tidak dengan suami ibunya. Seiring dengan kemajuan rekayasa genetika (teknologi kedokteran), maka pembicaraan hubungan kekeluargaan si anak, tidak hanya pada anak lahir secara alamiah, tetapi juga anak yang lahir dengan teknik bayi tabung, yang juga mempunyai karakteristik dan persoalan hukum tersendiri. Yang pasti, di dunia ini telah lahir manusia-manusia bayi tabung dengan tiga bentuk, yaitu bayi tabung dari sperma dan ovum suami isteri, bayi tabung dengan sperma donor, dan bayi tabung dengan surrogate Mother (penyewaan rahim). Teknik-teknik bayi tabung yang digambarkan di atas adalah hal yang belum pernah terjadi di masa Nabi saw. dan masa imam-imam mujtahid. Dengan demikian, persoalan hubungan kekerabatan anak bayi tabung ditetapkan berdasarkan ijtihad, baik perorangan maupun kolektif (organisasi keagamaan). Ada hasil Ijtihad yang menyatakan, bayi
8Ibid.,
h. 15
21
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
tabung dengan sperma donor adalah anak zina.9 Dengan demikian, hubungan kekerabatan hanya pada ibu yang melahirkannya. Hasil Ijtihad lainnya adalah bayi tabung yang lahir dari sperma dan ovum pasangan suami isteri adalah anak yang sah, dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan kedua orang tuanya. Adapun bayi tabung yang lahir dari sperma dan ovum pasangan suami isteri, namun ditempat-kan pada rahim perempuan lain, maka ada hasil Ijtihad yang menetapkan bahwa cara Surrogate Mother dibolehkan dan cara ini disamakan dengan ibu susuan. Dengan sendirinya anak yang dilahirkan dari padanya dikualifikasi sebagai anak susuan.10 Berbeda dengan hasil ijtihad di atas, Majelis Ulama Indonesia memutuskan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil secara muhtaram dari pasangan suami isteri untuk isteri-isteri yang lain hukumnya haram.11 Dengan demikian, anak yang dilahirkan oleh isteri-isteri yang lain adalah anak zina. Karenanya, hubungan kekeluargaan si anak hanya ada pada ibu dan keluarga ibunya. B. Hak dan Kewajiban Secara umum perkara hak dan kewajiban dalam dunia lintas hukum adalah hal yang substansial. Hak dan kewajiban terutama antara subyek hukum dengan obyek hukum atau antara sesama subyek hukum, tak terkecuali hak dan kewajiban yang terbit antara anak dengan orang tuanya. Tentang hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak dan anak-anaknya mengacu pada sejauhmana status hubungan kekerabatan di antara mereka. Dalam pada itu, hubungan kekerabatan itu sendiri dipengaruhi oleh keabsahan anak, apakah ia anak sah atau anak tidak sah. Dengan 9Salim HS, Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum, (Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafikia), h. 43. 10Ibid., h. 46. 11Ibid., h. 47.
22
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
demikian dapat dikatakan bahwa berbicara tentang hak dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya, atau sebaliknya, adalah perkara turunan dari hubungan kekerabatan (kekeluargaan), dengan keabsahan anak. Seperti disebutkan terdahulu, kembali diajukan di sini bahwa dalam sebuah rumah tangga, keluarga inti terdiri atas isteri/ibu, suami/ayah dan anak atau anak-anak (keturunan tingkat pertama). Ternyata kehadiran anak dalam sebuah rumah tangga memiliki persoalan hukum tersendiri, misalnya tentang status hukum sang anak. Menurut Soerjono Soekanto, sesuai dengan hasil penelitiannya, di Indonesia yang terdiri banyak suku dan agama/keyakinan (multi etnik dan pluralisme agama) ada lima jenis anak, yaitu : 1. Anak kandung 2. Anak angkat 3. Anak tiri 4. Anak piara (anak pungut) 5. Anak di luar kawin.12 Ad 1) Hak dan Kewajiban Anak Kandung Perbedaan antara hubungan anak dengan orang tuanya serta hubungan anak dengan saudaranya, adalah suatu hal yang sangat perlu. Oleh karena ternyata anak mempunyai nilai yang lain khususnya terhadap golongan kekerabatan dalam sistem penarikan garis keturunan. Misalnya, dalam sistem kekerabatan yang patrilineal, nilai anak adalah lain dari pada ibunya, juga dalam sistem kekeluargaan yang matrilineal, nilai anak lain dengan pihak ayahnya. Pelbagai hubungan hukum seperti kewajiban memelihara, hak untuk dipelihara, wewenang untuk mengawinkan, dan hak waris yang timbul di dalamnya.
12 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Cetakan Keempat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 253.
23
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
Anak kandung berarti anak sendiri, yakni anak yang dilahirkan oleh seorang ibu dari suaminya yang sah berdasarkan perkawinan memenuhi syarat.13 Berdasarkan pengertian ini, maka anak kandung adalah anak yang sah sehingga menimbulkan hak dan kewajioban antara ia dengan kedua orang tuanya. Landasannya adalah perkawinan yang sah. Kendati demikian, dalam hal-hal tertentu, dari perkawinan yang sah adakalanya lahir sang anak, tetapi ia bukan anak kandung dan sekaligus bukan anak sah. Hal ini terjadi jika seorang ayah menyangkali anak yang dilahirkan oleh isterinya yang masih terikat tali perkawinan dengannya. Istilah anak kandung adalah penyebab terjadinya hubungan darah yang sangat erat antara tiga golongan manusia, yaitu ayah, ibu dan anak. Anak kandung mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarga. Misalnya, hak dan kewajiban apa yang melekat padanya terhadap orrang tuanya, demikian juga sebaliknya. Dalam sejarah referensi ilmu hukum ditemukan dua istilah yang dipakai silih berganti, yaitu “kekuasaan orang tua” terhadap anaknya, dan “hak dan kewajiban”. Soedaryo Soimin, SH. menerangkan,14 tentang kekuasaan orang tua, dituntut juga hubungan timbal balik antara orang tua dan anak-anaknya, bahwa tiap-tiap anak dalam umur berapapun juga, wajib menaruh kehormatan dan kesungguhan terhadap bapak dan ibunya. Si bapak dan si ibu wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang belum dewasa. Fuad Mohd. Fachruddin menyatakan, orang tua berkewajiban atas nafkah hidup, pendidikan, pengawasan dalam ibadat dan budi pekerti anak dalam kehidupan sampai ia dewasa. Setelah anak itu dewasa, anak harus berdiri sendiri. Di samping itu sang anak mendapat warisan dari ibu bapaknya.15 13Fuad Moh. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina, (Cetakan Kedua, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h. 33. 14Soedaryo Soimin, Op.cit., h. 53. 15Fuad Mohd. Fachruddin, Op.cit., h. 36.
24
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, kekuasaan orang tua dapat dilihat pada Bab X Hak dan Kewajiban antara orang tua dan anak. Pasal 45 ayat 1 menyebutkan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya. Ayat 2 menegaskan kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.16 Dari uraian yang telah dikemukakan, anak kandung memiliki posisi terkuat dalam memperoleh hak-haknya, yaitu berupa hak nafkah hidup (materil) dan hak pembinaan hidup sebagai hak asasinya. Apa yang terjadi hak si anak, tentunya menjadi kewajiban orang tuanya. Bagi anak kandung terpokus bagi si ayah jika ia masih hidup dan memiliki kesanggupan. Jika si anak meninggal dan atau tidak memiliki kemampuan, maka hak anak atas nafkahnya ada pada si ibu. Jika kedua orang tua si anak meninggal dan ia belum dewasa (belum berusia 18 tahun), maka anak tersebut dibina di bawah aturan hukum perwalian. Menurut pasal 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah menikah, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali yang menyangkut pribadi anak tersebut maupun harta bendanya.17 Perwalian anak yatim piatu ini dapat dilakukan oleh saudaranya (kakak) yang telah kawin, atau dapat juga ditempuh berdasarkan sistem kekerabatan si anak. Jika matrilineal, maka menjadi walinya (pengganti orang tua) adalah keluarga dari pihak ibunya. Jika patrilineal, maka yang menjadi walinya adalah pihak keluarga ayah. Jika
16Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Cetakan Pertama, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h. 299. 17Ibid., h. 300.
25
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
parental, maka yang menjadi walinya salah seorang dari pihak keluarga ayah dan ibu.18 Ad 2) Hak dan Kewajiban Anak Angkat Sebelum diuraikan tentang hak dan kewajiban anak angkat, ada baiknya ditegaskan kembali hakikat hukum anak angkat itu. Menurut Hilman Hadikusuma, SH., anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak tersendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.19 Dalam ensiklopedia umum disebutkan, adopsi sebagai institusi pembenar pengangkatan anak sebagai cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.20 Akibat dari adopsi ialah bahwa anak yang diadopsi memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban.21 Dari pengertian anak angkat di atas diketahui bahwa sistem hukum yang tegas menerima pengangkatan anak adalah hukum adat dan perundang-undangan. Kedua sistem hukumini memiliki persepsi yang sama, yakni anak angkat identik dengan anak kandung dari segala hak dan kewajiban. Kalau demikian halnya hak dan kewajiban anak angkat ini identik juga dengan hak dan kewajiban anak kandung. Berdasarkan perlakukan yang diberikan oleh hukum adat dan hukum positif (perundang-undangan), dapat pula ditegaskan bahwa hukum Islam tidak sealur dengan kedua 18Lihat
Soerjono Soekanto, Op.cit., h. 257-258. Hadikusuma, Hukum Perkawina Adat, (Bandung: Alumni, 1983), h. 149. 20Hassan Shadily, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1997), h. 16. 21Ibid. 19Hilman
26
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
sistem hukum tersebut. Dr. Mahmud Syalthout, seperti yang dikutip secara ringkas oleh Drs. Fatchur Rahman dalam bukunya Ilmu Mawaris, yaitu : (pertama), pernyataan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri; (kedua), yakni tabanni berupa memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya, sebagai anak yang sah, mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak.22 Sisi positif pengangkatan anak seperti yang dianut oleh hukum adat dan hukum perundang-undangan, pada dasarnya dapat diterima oleh hukum Islam. Yang tidak dapat diterima adalah menyamakan nasab (hubungan darah) antara anak angkat dengan anak kandung. Dengan demikian, anak angkat menurut hukum hanyalah sebatas perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah dan pemeliharaan, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri. Bagaimanapun anak angkat adalah nasab (darah daging) orang lain yang tidak mungkin disatukan dengan nasab (keturunan) orang tua angkat. Alasan-alasan seperti di atas diakomodir oleh Kompilasi Hukum Islam, yaitu hanya sebatas memelihara dan memberi nafkah hidup, bukan sebagai anak kandung. Dalam ensiklopedi Indonesia,23 dengan tegas dikatakan, hukum Islam menolak hukum anak angkat dalam hukum adat. Ad 3) Hak dan Kewajiban Anak Tiri Anak tiri ialah anak suami atau isteri dari perkawinannya dengan orang lain. Anak yang dibawa serta dalam 22Lihat, Fatchur Rahman, Ilmu Mawaris, (Cetakan Kedua; Bandung: Al-Ma’arif, 1981), h. 15. 23Hassan Shadily, Loc.cit.
27
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
perkawinan baru, maka ia menjadi anak tiri sebagai sang suami atau sang isteri. Kedua keadaan ini membawa persoalan dalam kedudukan anak.24 Dari pengertian anak tiri di atas, maka hubungan kekerabatannya dapat berupa anak tiri bagi suami dan anak kandung bagi si ibu, atau anak tiri bagi si isteri dan anak kandung bagi si ayah. Dengan demikian, anak tiri bagi suami tidak memiliki hubungan nasab dengan anak tirinya itu. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan ayahnya dahulu. Begitu juga, anak tiri bagi si isteri, tidak memiliki hubungan nasab dengan anak tirinya itu. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ayahnya dan ibunya dahulu. Istilah anak tiri sebaiknya tidak mengecoh hubungan hukum antara ayah atau ibu tiri dengan si anak bawaan dalam perkawinan baru. Anak tiri sebenarnya mengarah pada perlakuan baik saja seorang suami atau seorang ibu kepada anak bawaan dari hasil perkawinannya yang dahulu ke dalam perkawinannya yang baru. Anak tiri tidak wajib dibiayai oleh ibu tirinya maupun bapak tirinya, tetapi nafkahnya ditanggung oleh bapak kandungnya. Dalam hal ini bukan berarti ibu atau bapak tiri itu tidak boleh membantu dan memperhatikan hidupnya karena tetap masih ada persaan kemanusiaan dan rasa santun.25 Demikian juga anak tiri tidak mendapat warisan dari ibu atau bapak tiri, tetapi mendapatkan bagian warisan dari bapak kandung atau ibu kandungnya serta keluarga masing-masing sesuai dengan hukum kewarisan.26 Ad. 4) Hak dan Kewajiban Anak Piara Dalam kepustakaan hukum adat ditemukan dua istilah yang secara sepintas memiliki kesamaan perlakuan orang tuanya. Keduanya itu ialah anak piara dan anak 24Fuad
Mohd. Fachruddin, Op.cit., h. 75. h. 76. 26Ibid., h. 76-77. 25Ibid.,
28
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
pungut. Namun, setelah dilakukan penelitian secara seksama, sesungguhnya kedua jenis status anak ini berbeda. Dalam bukunya Beginselen En Stelsed Van Het Adat Recht yang diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto, Ter Haar menerangkan bahwa mengenai menitipkan seorang anak kepada orang lain untuk diperliharanya sebagai anak piara, maka untuk ini seorang tua di mana-mana diperkenankan sebagai suatu cara untuk memenuhi kewajibannya memelihara anak. Anak yang dititipkan (dipiara) sewaktuwaktu dapat diambil kembali oleh orang tuanya.27 Berdasarkan penjelasan Ter Haar di atas, maka ada beberapa kata kunci yang harus dijelaskan, yaitu: Penyerahan/Penitipan seorang anak oleh orang tuanya kepada seseorang untuk dipelihara; penyebab orang tua kandung si anak menitipkan anaknya; waktu pemeliharaan anak; serta perkara biaya pemeliharaan anak. Penyerahan/Penitipan Anak untuk Dipelihara Seorang anak yang berstatus sebagai anak piara memiliki orang tua kandung yang jelas. Orang tua piara adalah memelihara anak orang lain, baik itu kerabatnya atau bukan. Fakta semacam ini dapat menimbulkan masalah jika perlakukan terhadap anak piara ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya, di antaranya harus dibuatkan akte atau surat perjanjian. Karena sangat boleh jadi, pengambilan anak piara dilakukan secara informal (kekeluargaan). Akibatnya boleh jadi anak piara ini menjadi anak angkat. Ter Haar menyatakan, anak piara adalah bukan mengadopsi anak, sehingga antara keduanya tidak sama status hukumnya. Ter Haar sendiri mengakui bahwa menurut kenyataannya sulit untuk dibedakan apakah adopsi atau penitipan saja. Kendatipun adanya kesulitan ini, anak piara tidak 27Mr. B. Terhear Bzn, Beginselen En Stelsel Van Het Adat Recht, diterjemahkan oleh K. Ng. Soebakti Poesponoto dengan judul “AsasAsas dan Susunan Hukum Adat”, (Cetakan Kesepuluh, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1991), h. 148.
29
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
mengakibatkan terbitnya hubungan kekeluargaan/kekerabatan (clan) dengan orang yang memeliharanya. Dengan demikian status hukum anak piara dengan anak angkat sangat berbeda, walaupun anak piara dan anak angkat sama-sama dipiara oleh seorang dari anak dan atau anak-anak orang lain. Penyebab Orang Tua Menitipkan Anaknya untuk Dipiara Karena status anak piara melibatkan dua pihak, melahirkan suatu pemikiran bahwa adanya anak piara ini tentu memiliki sebab. Kalau penjelasan Ter Haar dijadikan acuan untuk menjelaskan apakah anak piara itu, maka di situ hanya disebutkan satu penyebabnya, yakni ketidakmampuan orang tua memelihara anaknya (memenuhi nafkah hidupnya secara layak). Pernyataan penulis di atas sangat beralasan karena sebutan sebagai “anak piara” menunjukkan bahwa sebab mendasar adanya anak piara ini yang dikenal oleh masyarakat adat Indonesia adalah persoalan ketidakmampuan orang tua kandung menafkahi anaknya. Dengan demikian, motif pengambilan anak piara ini sangat berbeda dengan motif pengangkatan anak yang menyebabkan seorang mengambil anak angkat yang sederajat anak kandungnya dalam segala hak dan kewajiban. Selain argumen di atas, adanya pernyataan Ter Haar bahwa anak piara dapat diambil kembali oleh orang tuanya kapan saja atau sesuai batas waktu perjanjian, terutama jika sang orang tua kandung telah memiliki kemampuan menafkahinya kembali setelah mengganti ongkos pemeliharaannya yang dikeluarkan oleh orang tua piara. Waktu Pemeliharaan Anak Piara Seperti dijelaskan terdahulu, kepentingan adanya anak piara adalah terletak pada faktor pemenuhan nafkah si anak itu sendiri. Karena alasan pembenarnya tidak kompleks, dan hanya bersifat sederhana, maka waktu pemeliharaan anak piara ini perlu diuraikan. Hal ini disebabkan semua jenis anak yang diperanakkan oleh orang 30
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
lain membutuhkan biaya pemeliharaan. Tampaknya, biaya pemeliharaan anak yang memperanakkan anak orang lain adalah sesuatu yang mutlak. Mungkin itu sebabnya sehingga biaya (nafkah) anak angkat, atau anak pungut misalnya tidak perlu dipersoalkan. Lain halnya nafkah anak piara, karena sifatnya penitipan, maka biaya nafkah anak piara memiliki persoalan tersendiri. Ter Haar menyatakan,28 seorang orang tua dibolehkan menyerahkan anaknya untuk dipelihara oleh seseorang sebagai cara memenuhi nafkah anaknya melalui jasa orang lain. Ini adalah sama sekali bukan menyerahkan anaknya untuk diadopsi. Dengan demikian tidak ada hak dan kewajiban yang melekat secara mutlak antara anak piara dengan orang yuang memeliharanya, sehingga status anak piara ini dapat dibatasi oleh waktu (dapat diambil kembali oleh orang tuanya). Biaya Pemeliharaan Anak Piara Anak piara sebagai titipan orang tua kandung kepada seseorang untuk dipenuhi nafkah hidupnya menunjukkan bahwa cara seperti itu adalah memanfaatkan jasa orang lain. Jika sudah berbicara tentang jasa orang, maka memperhitungkan biaya pemeliharaannya anak piara dapat dibenarkan. Berbicara tentang jasa sudah barang tentu akan melahirkan persoalan siapa yang membutuhkan dan siapa yang dibutuhkan. Kalau merujuk awal terjadinya anak piara sebagaimana yang dikemukakan oleh Ter Haar, maka dapat dinyatakan bahwa yang membutuhkan jasa pemeliharaan pada kasus anak para ini adalah orang tua kandung si anak. Tampaknya anak piara ini memiliki keunikan sebab perkara biaya pemeliharaan seorang anak piara dapat dipersoalkan dan diperhitungkan sekalipun anak piara itu diperlakukan sama dengan jenis anak lainnya dalam segala segi, kecuali status hukumnya. Soerjono Soekanto menyatakan, baik anak kandung, maupun anak angkat, demikian juga anak 28Ibid.
31
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
tiri dan anak piara serta anak di luar kawin, semuanya mempunyai hak untuk dipelihara oleh orang tuanya. Anak angkat, anak piara, anak tiri memperoleh hak untuk dipelihara dengan baik oleh orang tua angkat, orang tua tiri, dan orang tua piara.29 Apa yang dikemukakan Soerjono Soekanto di atas, dan jika dikaitkan dengan penjelasan Ter Haar, maka nafkah anak piara menjadi unik, yaitu memungkinkan terjadinya penggantian biaya jika terjadi penarikan anak piara itu oleh orang tuanya.30 Ad. 5) Hak dan Kewajiban Anak Di Luar Kawin Menurut Anisitus Amanat, SH, CN, berdasarkan sistem BW, seorang pria dan seorang wanita dibenarkan mengadakan hubungan badan sebelum melangsungkan perkawinan yang sah. Hubungan badan di luar ikatan perkawinan sah itu boleh jadi diteruskan ke jenjang perkawinan sah dan bisa juga tidak. Masing-masing pihak melangsungkan perkawinan sah dengan pria atau wanita lain. Akibatnya seorang suami bisa memiliki anak luar kawin dan demikian sebaliknya.31 Dari keterangan di atas, dipahami bahwa anak luar kawin itu adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan tidak dikawini oleh seorang laki-laki yang menghamilinya. Menurut Pasal 272 BW, tiap anak yang dibenihkan di luar perkawinan dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya akan menjadi anak sah apabila kedua orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan undang-undang atau pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri.32 Dengan perlakuan yuridis terhadap anak luar kawin menurut sistem BW menyebabkan ia memiliki dua 29Soerjono
Soekanto, Op.cit., h. 253 Haar, Loc.cit. 31Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, (Cetakan Kedua, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 15. 32Ibid., h. 16. 30Ter
32
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
kemungkinan, yaitu sebagai “anak sah” atau tetap sebagai “anak tidak sah”. Untuk kemungkinan pertama (anak sah), maka hak dan kewajiban anak luar kawin itu sama dengan anak sah. Dalam perkara warisan misalnya, terdapat ketentuan sebagai berikut : Anak luar kawin hanya berhak mewarisi jika ia diakui. Pengakuan itupun tidak mutlak berakibat timbulnya hak waris atas harta warisan orang tua yang mengakuinya. Pengakuan anak luar kawin yang tidak menimbulkan hak untuk mewarisi harta warisan orang tua yang mengakuinya adalah apabila tak kala orang tua yang mengakuinya itu masih terikat dalam perkawinan sah dan dalam perkawinan itu ada anak atau suami dan isteri yang masih hidup. Tetapi kalau dalam perkawinan itu di mana ada anak di luar kawin itu diakui ternyata tidak ada ahli waris, maka ia berhak mewarisi (Pasal 285 : 2 BW), Pasal 865 BW menyebutkan, anak luar kawin yang telah diakui dapat mewarisi atas seluruh harta peninggalan orang tua jika tidak ada seorang pun ahli waris yang sah.33 Dalam sistem hukum perdata, anak sah (keturunan yang sah) memiliki akibat-akibat hukum yang paling lengkap. Berbeda dengan anak luar kawin dapat diakui oleh bapaknya (bapak biologis), pengakuan mana diperlukan untuk menimbulkan hubungan-hubungan keperdataan antara bapak dan anak.34 Dari sini diketahui bahwa anak luar kawin yang tidak diakui oleh bapaknya hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Dalam hal pengakuan seorang ayah (biologis) kepada anaknya luar kawin, tidaklah dituntut seperti itu bagi ibu yang melahirkannya. Vollmar mengatakan,35 bahwa sudah 33Ibid.,
h. 16-18 Vollmar, In Leiding to de Studie Vam Het Nederlands Burgedijk Recht, diterjemahkan oleh I.S. Agiwinarta dengan judul “Pengantar Studi Hukum Perdata” (Cetakan Keempat, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996), h. 121. 35Ibid., h. 122. 34H.F.A.
33
BAB II SIGNIFIKANSI KEABSAHAN ANAK DALAM DUNIA HUKUM
karena kelahirannya timbullah antara seorang anak luar kawin dengan ibunya hubungan-hubungan keperdataan (hak dan kewajiban) secara timbal balik. Penjelasan Vollmar di atas, itu juga yang dianut oleh hukum adat. Dengan demikian hubungan kekeluargaan anak luar kawin dengan ibunya sudah mutlak. Yang masih relatif adalah kebapakan seorang ayah. Jika seorang bapak biologis mengawini ibu anak luar kawin itu (kawin darurat/ kawin paksa), maka menjadilah ia anak sah, yang memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya. Itulah yang dianut oleh banyak daerah hukum adat di Nusantara, kecuali di Minahasa.36 Tetapi di banyak daerah hukum adat, anak yang lahir di luar perkawinan itu, secara adat tidak mempunyai bapak.37 Demikian juga halnya dengan hukum Islam (hukum fikih). Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan tentang hak dan kewajiban seorang anak dengan orang tuanya telah dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan kekerabatan sangat menentukan tentang hal ini. Hak dan kewajiban antara anak dan orang tua secara timbal balik ternyata memiliki permasalahan tersendiri akibat dikenalnya beberapa jenis anak (menurut hukum) dan adanya perlakuan yang berbeda oleh sistem-sistem hukum yang dikenal oleh masyarakat.[]
36Di Minahasa, hubungan antara anak luar kawin dengan pria yang tidak jadi mengawini ibunya adalah biasa seperti antara anak dengan bapak. Untuk meyakinkan dirinya sebagai bapak, ia memberikan ibu si anak pemberian yang disebut “lilikur”. Pemberian ini terjadi jika si ayah itu tidak serumah dengan ibu si anak luar kawin itu. 37Soerjono Wignjodipuro, Op.cit., h. 113
34
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
BAB III
TEORI KEABSAHAN ANAK A. Menurut Hukum Adat Dalam kepustakaan hukum adat, ada dua jenis anak yang memiliki status hukum yang sama, yaitu anak kandung dan anak angkat. Kepastian hukum tentang status kekerabatan anak ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan jenisjenis anak adat lainnya, misalnya anak luar kawin. Anak luar kawin sangat tergantung pada alasan pembenarannya menurut hukum adat setempat. Mengacu pada beragamnya kondisi jenis-jenis anak dalam hukum adat itu, maka ditemukan fakta bahwa ada beberapa teori hukum adat menyangkut keabsahan anak, apakah ini anak sah atau anak tidak sah. Teori-teori hukum adat dimaksud dapat diterangkan sebagai berikut. 1. Teori Berkawin Hilman Hadikusuma, SH. menerangkan, semua anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya adalah anak kandung. Apabila perkawinan ayah dan ibunya sah, maka anaknya adalah anak kandung yang sah, apabila perkawinan ayah dan ibunya tak sah, maka anaknya menjadi anak kandung yang tidak sah.1 Pernyataan di atas menunjukkan bahwa perkawinan yang sah antara ayah dan ibu berakibat lahirnya anak kandung yang sah. Perkawinan yang disebut sah menurut hukum adat 1Hilman
Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Alumni, 1977), h. 143.
37
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
perlu diterangkan karena hukum adat itu memiliki hukumhukum normatif sendiri, dan ditambah kondisi hukum adat yang telah mendapat pengaruh dari hukum Islam. Tentang sah dan tidaknya perkawinan seorang lakilaki dan perempuan dalam hukum adat terutama menyangkut tidak adanya pelanggaran boleh tidaknya kawin di antara keduanya. Salah satu akibat hukumyang ditimbulkan oleh perkawinan adalah adanya larangan kawin pada garis keturunan tertentu. Oleh karena itu, perkawinan ayah dan ibu seorang anak memerlukan penelitian apakah ada atau tidaknya larangan kawin. Kalau tidak ada larangan kawin antara keduanya menurut hukum adat setempat, maka perkawinan orang tua si anak adalah sah. Akibat hukumnya, status hukum si anak adalah anak yang sah pula. Sebaliknya, jika perkawinan ayah dan ibu si anak ternyata melanggar larangan kawin, maka perkawinannya itu tidak sah, sehingga status hukum anaknya adalah anak kandung tidak sah. Teori di atas adalah tertuju pada perkawinan yang berlangsung secara normal. Teori ini sekaligus berfungsi sebagai pendeteksian keabsahan perkawinan seorang pasangan suami isteri, baik yang belum punya keturunan, apalagi yang sudah memiliki. Adapun keabsahan anakyang lahir dari perkawinan darurat (tidak normal), ternyata hukum adat punya hukum tersendiri. Anak yang dimaksud di sini adalah anak luar kawin atau anak zina. Anak luar kawin dan anak zina adalah anak yang dilahirkan oleh ayah dan ibu yang tidak didahului oleh perkawinan yang sah. Bagaimana hubungan si anak dengan perempuan yang melahirkannya, juga dengan laki-laki yang menyebabkan si perempuan hamil ? tegasnya bagaimana keabsahan si anak ?
38
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
Soerojo Wignjodipuro, SH. menerangkan,2 terdapat suatu tindakan adat yang memaksa pria yang bersangkutan kawin dengan perempuanyang melahirkan anak itu. Tindakan adat ini disebut kawin paksa. Di samping itu, ada juga usaha yang lain, yaitu mengawinkan wanita yang sedang hamil itu dengan seorang laki-laki lain. Maksudnya agar anak dapat lahir dalam masa perkawinan yang sah, sehingga anak itu menjadi anak yang sah. Cara demikian disebut nikah tambelan (di Jawa), dan Pattongkok Siri (Suku Bugis). Menurut hukum adat, agar ibu si anak luar nikahitu tidak bertambah berat bebannya (aibnya), sekaligus keabsahan si anak yang bersangkutan, masyarakat adat melakukan perkawinan darurat. Ketika anak zina itu lahir, maka dilakukanlah kawin paksa dengan si ayah biologis sehingga benar-benar menjadi ayah (biologis dan yuris). Jika cepat diambil tindakan, maka perempuan yang hamil luar nikah itu dapat dikawinkan dengan laki-laki lain. Tujuannya pun sama, yaitu si perempuan memiliki suami yang sah, dan si anak memiliki orang tua yang sah. Dengan demikian anak yang lahir akibat hubungan zina manjadi anak yang sah.3 Perkawinan sebagai penentu sahnya anak zina menurut hukum adalah murni hukum adat. B Ter Haar BZN menyatakan,4 menurut hukum adat rupa-rupanya tidak menjadi soal tempo berapa lama sesudahnya perkawinan anak itu lahir. Hukum Islam (Fikih) menuntut lahirnya anak harus dalam tempo lebih dari enam bulan sesudah perkawinan supaya anak itu dapat dinyatakan sah. Dalam pada itu, Soerojo
2Lihat, Soerojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, (Cetakan Ketujuh, Jakarta: Gunung Agung, 1984), h. 112-113. 3Ibid. 4Mr.
B. Ter Haar Bzn, Beginselen En Stelsel Van Het Adat Recht, diterjemahkan oleh K. Ng. Soebakti Poesponoto dengan judul “AsasAsas dan Susunan Hukum Adat”, (Cetakan Kesepuluh, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1991), h. 147.
39
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
Wignjodipuro, SH. menegaskan,5 memang diakui bahwa ketentuan hukum Islam di sana sini mempengaruhi hukum adat yang berlaku. Tetapi yang pasti adalah ketentuan hukum Islam sama sekali tidak mempengaruhi lembaga adat “kawin paksa” dan kawin darurat”. 2. Teori Pengakuan Instirusi perkawinan adalah penentu sahnya anak zina, namun ternyata ada juga masyarakat adat di nusantara ini tidak menganut cara seperti itu. Tampaknya cara itu lebih tepat disebut pengakuan. Dengan cara ini, tanpa kawin pun sang anak zina atau luar nikah dapat menjadi anak sah. Namun dapat dinyatakan, bahwa cara ini tidak populer, kecuali di Minahasa. Menurut Soerojo Wignjodipuro, SH. 6 di daerah lainnya anak yang lahir di luar perkawinan, secara adat, tidak mempunyai bapak. Di Minahasa, hubungan antara anak dengan pria yang tidak atau belum kawin dengan perempuan yang melahirkan si anak adalah biasa seperti anak dengan bapak. Bilamana si bapak buat dia sendiri menghendaki supaya perhubungan itu tidak diragu-ragukan, maka ia memberikan ibunya anak itu – bila ia (lelaki) tidak berhidup kumpul dengan dia (perempuan) – satu hadiah yang disebut lilikur.7 3. Teori Pengesahan Satu lagi cara penyelamatan yang dilakukan oleh lembaga adat bagi anak luar kawin yang tidak dikawini ibunya yakni pengesahan. Selama belum dilakukan pengesahan adat, maka anak luar kawin itu tetapi menjadi cemoohan oleh masyarakat sebagai anak haram jodoh (jawa) dan Astra (Bali).
5Soerojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, (Cetakan Ketujuh, Jakarta: Gunung Agung, 1984), h. 114. 6Ibid., 7Ter
h. 113
Haar, Op.cit., h. 146.
40
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
Menurut Ter Haar, di Bali, terkadang ada alasanalasan tertentu untuk mengesahkan anak itu dengan dilakukannya pembayaran adat supaya diperbolehkan tetap tinggal dalam masyarakat. Perhubungan anak dengan ibunya yang tak berkawin itu, selanjutnya sama dengan perhubungan anak terlahir dalam perkawinan dengan ibunya. Di Bali, anak-anak yang terlahir dalam suatu masa berhidup kumpul sebelum perkawinan, adalah sah.8 Kedudukan anak luar kawin di Minahasa dengan di Bali pada dasarnya sama. Kedua masyarakat adat ini menganggap hubungan badan oleh seorang laki-laki dan perempuan sebelum perkawinan adalah hal yang dapat dibenarkan, sehingga anak yang lahir dari padanya adalah anak sah. Dalam hal ini bapak biologis anak luar kawin itu, niscaya juga sudah menjadi bapaknya secara hukum. Hanya saja, di Bali ayahnya lebih mengadat sedikit jika dibandingkan di masyarakat adat Minahasa. Karena, masyarakat adat Bali terkadang melakukan sanksi adat berupa pembayaran bagi ayah biologis anak luar kawin untuk mengesahkan status anak sebagai anak yang sah. Di dua masyarakat adat ini tidak memerlukan institusi perkawinan yang menetapkan keabsahan anak luar kawin.9 4. Teori Adopsi Anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat. Pengangkatan (pengambilan) anak dapat terjadi antara keluarga dan atau dengan orang lain. Menurut Soerojo Wignjodipuro, SH.,10 antara orang yang memungut (mengangkat) anak dengan anak yang dipungut (diangkat) itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri. 8Ibid. 9Ibid. 10Soerojo
Wignjodipuro, Op.cit., h. 118.
41
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
Senada dengan hal di atas, Ter Haar menerangkan bahwa mengambil anak orang lain ke dalam suatu golongan sanak saudara yang kokoh, yakni sebagai bagian dari kerabat (clan). Anak itu dilepaskan dari lingkungan yang lama dengan serentak (tunai) diberikan taranya (imbalan) berupa bendabenda berkhasiat, dan setelah pembayaran sedemikian itu, anak dipungut masuk ke dalam kerabat yang mengambil anak. Inilah ambil anak sebagai perbuatan tunai.11 Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa dalam sistem hukum adat di Indonesia, anak angkat disamakan kedudukannya dengan anak kandung. Anak angkat sudah diputus hubungan kekerabatan orang tua kandungnya secara adat, dan masuk menjadi kerabat orang tua angkatnya. Dengan demikian hak dan kewajibannya sama dengan anak kandung. Melalui lembaga adopsi, secara peradatan anak angkat adalah anak sah secara yuris, kendatipun hakikatnya adalah keluarga buatan. Berdasarkan beori-teori hukum adat tentang keabsahan seorang anak tidak sesederhana eksistensi seorang anak dalam sebuah kalangan. Keabsahannya dengan berbagai upaya adat, semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yaitu sebagai anak yang sah. B. Menurut Hukum Perdata 1.
Teori Pembenihan (Verwekking)
Pasal 240 KUH Perdata menyatakan, tiap-tiap anak yuang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.12 Berkaitan dengan Pasal ini, H. F. A. Vollmar memberi batasan anak sah itu 11Ter
Haar, Op.cit., h. 155. Bandingkan Muderis Zaini, SH., Adopsi Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Cetakan Ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 48 12R.
Subekti; R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Cetakan Keduapuluh Lima, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1992), h. 53
42
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
sebagai anak yang dilahirkan atau yang dibenihkan di dalam perkawinan (meskipun hal itu berlangsung dalam waktu yang amat pendek sesudah perkawinan dilangsungkan).13 Dengan perkawinan yang sah, maka lahir pulalah anak yang sah. Kendati demikian BW memberi peluang untuk menyangkali anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang sah itu. Di sinilah urgensi pembenihan (verwekking) diterapkan. Menurut Vollmar, membuktikan pembenihan di dalam perkawinan adalah tidak begitu mudah, malahan seringkali tidak dapat ditunjukkan sama sekali. Sedangkan pembuktian peristiwa itu haruslah dibarengi oleh suatu pemeriksaan yang tidak menyenangkan. Untuk menghindari hal ini pembentuk undang-undang menggunakan fiksi-fiksi. Di situ digunakan jangka waktu kehamilan yang terpendek adalah 180 hari, dan yang terpanjang adalah 300 hari.14 Tenggang waktu pembenihan (masa konsepsi) di atas itulah sebagai faktor penentu keabsahan seorang anak dari sebuah perkawinan yang sah jika anak yang dilahirkan dari padanya hendak disangkal oleh si ayah. Dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata, Subekti menyatakan,15 seorang anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan orang tuanya dihapuskan, adalah anak yang tidak sah. Jikalau seorang anak dilahirkan sebelum lewat 180 hari setelah hari pernikahan orang tuanya, maka ayahnya berhak menyangkal sahnya anak itu.
13H.F.A. Vollmar, In Leiding to to all Studie van Het Nederlands, diterjemahkan oleh I.S. Adiwinarta dengan judul “Pengantar Studi Hukum Perdata” (Cetakan Keempat, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996), h. 122. 14Ibid.,
h. 123.
15Subekti,
Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Cetakan Keduapuluh Empat, Jakarta: PT. Intermasa, 1992), h. 48
43
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
Berdasarkan tenggang waktu pembenihan yang terpanjang (300 hari), maka diketahui bahwa ia mengacu pada masa kehamilan normal perempuan pada umumnya itu, yaitu 9 bulan (270 hari). Dengan demikian waktu pembenihan yang sebenarnya adalah 30 hari (satu bulan). Ini digunakan pada adanya perceraian orang tua si anak. Maksudnya, jika seorang isteri mengandung ketika diceraikan oleh suaminya, dan anak itu lahir dalam masa 300 hari, itu artinya hak suami untuk tidak menyangkali anaknya selama 270 hari telah dilewati, sehingga anak itu bukan lagi milik si ayah. Karenanya anak tersebut adalah anak tidak sah. Akan halnya tenggang waktu pembenihan terpanjang, tenggang waktu pembenihan terpendek pun mengacu pada batas minimal mengandung perempuan pada umumnya. Hal ini dibuktikan banyak anak yang lahir prematur pada bulan ketujuh kehamilan, setelah usia minimal kandungan terpenuhi, yaitu 6 bulan (180 hari). Oleh sebab itu, Subekti menyatakan16 jika seorang anak dilahirkan kurang dari 6 bulan setelah pernikahan orang tuanya, si ayah dapat menyangkalinya sebagai anak kandungnya. Hal ini disebabkan, tenggang waktu terpendek itu tidak seluruhnya dijalani oleh kelahiran si anak, sehingga terbit keyakinan bahwa anak itu bukan bibit si ayah, melainkan bibit orang lain yang dibenih-kan kepada ibu si anak sebelum berdua melangsungkan perkawinan. 2.
Teori Pengakuan Berkawin
Pasal 280 BW (KUH Perdata) berbunyi : “Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya.17 Pasal 280 BW (KUH Perdata) di atas adalah sebuah peraturan yang menyelamatkan nasib anak-anak luar kawin yang terdapat di mana-mana kelompok masyarakat manusia. 16Ibid. 17R.
Subekti, KUH Perdata, Op.cit., h. 59.
44
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
Oleh sebab itu, anak luar kawin (anak lahir tanpa didahului nikah/perkawinan) mendapat perhatian tersendiri oleh pembuat undang-undang, baik itu hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis (hukum adat) seperti keadaannya di Indoneasia. Menurut Vollmar,18 anak luar kawin yang dituju oleh pasal 280 BW di atas adalah anak tidak sah yang lahir bukan karena akibat zina atau sumbang. Menurut Subekti,19 dengan adanya keturunan di luar kawin saja belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya. Barulah dengan pengakuan (erkenning) lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga ada. Hubungan itu hanya dapat diletakkan dengan pengesahan anak, yang merupakan langkah lebih lanjut dari pengakuan. Untuk pengesahan ini, diperlukan kedua orang tua yang telah mengakui anaknya, kawin secara sah. Pengakuan yang dilakukan pada hari pernikahan, juga membawa pengesahan anak. Menurut Vollmar,20 dengan pengesahan si anak lantas memperoleh kedudukan sabagai anak sah. Aturan-aturan hukum di atas melahirkan kaidah bahwa anak berkawin yang statusnya dari anak tidak sah dapat menjadi anak sah melalui lembaga pengakuan berkawin. Anak luar kawin bukan akibat zina (overspel), yaitu akibat hubungan gelap antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki yang masing-masing masih berstatus belum kawin dapat menjadi anak sah setelah yang bersangkutan kawin, dengan terlebih dahulu mengakui anak gelapnya yang lahir itu. Dengan demikian, aturan ini penulis menyebutnya teori pengakuan berkawin menyangkut sahnya seorang anak luar kawin. Subekti menegaskan,21 18Vollmar, 19Subekti,
20Vollmar, 21Subekti,
Op.cit., h. 125.
Op.cit., h. 50 Op.cit., h. 126.
Loc.cit.
45
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
undang-undang tidak membolehkan pengakuan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina, atau yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin satu sama lain. Lembaga pengakuan hanya berperan mengangkat status anak luar kawin akibat zina menurut versi KUHP. Menurut Pasal 284 KUHP, perbuatan zina adalah hubungan seksual yang terjadi antara seorang lakilaki dan perempuan yang kedua-duanya, atau salah satunya telah kawin.22 Jika kedua-duanya belum kawin, maka hubungan gelap yang dilakukannya itu bukan zina. Anak yang lahir dari padanya tidak dijangkau oleh lembaga pengakuan BW tersebut. 3. Teori Berkawin Teori ini ditujukan pada penyelamatan ketidakabsahan anak zina menurut versi BW (hubungan gelap antara laki-laki dan perempuan yang sudah kawin, baik keduanya maupun salah satunya). Pasal 272 BW (KUH Perdata) menyatakan: “Kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zina atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan di luar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak atau ibunya, akan menjadi sah, apakah kedua orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan undang-undang, atau apabila pengakuan itu dalam akta perkawinan sendiri.23 Terhadap kasus anak tidak sah akibat sumbang, maka dengan kawinnya bapak biologis dengan perempuan yang sedang hamil, dapat mengangkat status anak yang bersangkutan menjadi anak sah. Di samping itu undangundang juga membolehkan si ibu kawin dengan laki-laki lain, dan inipun menyebabkan anak yang dikandungnya akan terlahir sebagai anak sah. Laki-laki lain yang bukan 22Lihat,
R. Susilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya lengkap Pasal demi pasal (t.t.: Poleteia-Bogor:, t.th.), h. 180. 23
R. Subekti, KUH Perdata, Op.cit., h. 57.
46
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
bapak biologis seorang anak yang sedang dibuahi di luar perkawinan, dapat menjadi ayah si anak yang bersangkutan. Jika ia mengetahui keadaan itu, atau mencatumkan pengakuannya itu pada saat berlangsungnya perkawinan dalam sebuah akta perkawinan. 4. Teori Pengesahan Pasal 274 BW (KUH Perdata) berbunyi: “Jika kedua orang tua sebelum atau tatkala berkawin telah melalaikan mengakui anak-anak mereka luar kawin, maka kelalaian itu dapat diperbaiki dengan surat pengesahan Presiden, yang mana akan diberikan setelah didengarnya nasehat Mahkamah Agung.24 Pasal 274 BW (KUH Perdata) di atas adalah pintu darurat akibat kelalaian pengakuan atas seorang anak luar kawin oleh orang tuanya. Dengan demikian, pasal ini juga menyangkut upaya hukum untuk anak berkawin saja, yang belum juga diakui oleh orang tuanya yang sudah berkawin. Vollmar menegaskan,25 dengan pengesahan, si anak lantas memperoleh kedudukan sebagai anak sah. Kalau dicermati secara seksama, empat teori keabsahan anak yang dianut dalam BW (KUH Perdata), dapat disimpulkan bahwa beragamnya upaya hukum tersebut adalah akibat adanya anak yang dibenihkan sebelum perkawinan (anak zina) dan anak luar kawin. Kesemuanya dikategorikan sebagai anak tidak sah, sementara kedudukan anak yang menjamin masa depannya adalah anak yang sah. Dengan demikian teori-teori keabsahan anak dalam BW itu pada hakikatnya adalah upaya penyelamatan nasib malang anak tidak sah.
24Ibid. 25Vollmar,
Loc.cit.
47
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
C. Menurut Hukum Fikih 1. Teori Farasy ()الفراش Teori ini berdasar pada sebuah hadis Rasul saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yaitu :26 الولد للفراش وللعاهر ( الحجرAnak itu untuk yang empunya tikar dan bagi pezina hukuman rajam). Yang dimaksud dengan pemilik firasy adalah suami/ayah, sedang firasy itu sendiri adalah isteri/ ibu. Dr. Muhammad Yusuf Musa menerangkan,27firasy yaitu seorang perempuan telah dijadikan oleh seseorang (laki-laki untuk melahirkan keturunan. Berdasarkan pengertian al-firasy di atas dapat dinyatakan bahwa alasan pembenarnya adalah perkawinan. Firasy yang didasari oleh perkawinan yang sah mewujudkan firasy yang sah. Sebaliknya, firasy yang didasarkan kepada perkawinan yang tidak sah berakibat pula adanya firasy yang tidak sah. Hal ini akan berakibat pada keturunan yang sah dan atau tidak sah akibat adanya hubungan suami isteri antara suami (pemilik firasy) dengan si isteri (firasy). Menurut informasi dalam kitab Fath al-Bāriy28 latar belakang adanya Nabi saw. mengucapkan “ ” الولد للفراش. adalah berpangkal pada perselisihan pengakuan terhadap seorang anak yang lahir dari seorang sahaya perempuan. Seperti diterangkan, perselisihan itu terjadi antara Sa’ad, saudara ‘Utbat dengan Abdu, anak Zam’at. Ketika itu, Saad mengklaim bahwa anak sahaya tersebut adalah anak Utbat, saudaranya seketika itu juga Abdu bangkit di hadapan Nabi saw, anak itu adalah saudaraku karena ia lahir dari sahaya ayahku sebagai firasynya yang sah (selir).
171
26Muslim,
Al-Jami’ al-Shahih, Juz. IV, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th), h.
27Muhammad
Yusuf Musa, Al-Nasab Wa Atsaruhu, (Cetakan Kedua, Kairo: Dar al-Ma’rifat, 1967), h. 8 28Lihat,
Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Bāriy, Juz XII, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 33.
48
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
Ada dua bentuk argumen yang muncul dalam kasus di atas, yaitu menurut cara Jahiliyah dan Islam. Di antara cara yang ditempuh masyarakat Jahiliyah dalam menentukan keabsahan anak adalah dengan melihat kesamaan muka si anak dengan pelaku. Tampaknya cara ini yang ditempuh oleh Sa’ad dalam konteks hadis yang disebutkan di atas. Cara lain ialah dengan penunjukan langsung si ibu kepada pelaku (hubungan gelap) yang tidak boleh dibantah oleh yang bersangkutan. Adapun cara Islam untuk menentukan nasab (keabsahan seorang anak) adalah dengan perkawinan yang sah. Dengan begitu Nabi saw. memutuskan bahwa yang berhak kepada anak yang bersangkutan itu ialah Zam’at sebagai pemilik sahaya tersebut. Dengan demikian hadis الولد للفراش, oleh fuqaha telah dijadikan kunci pemutus tentang keabsahan seorang anak. Hasbi As-Shiddieqy mengatakan,29 menurut ketentuan, kalau seorang isteri melahirkan anak, dalam hal ia sudah menjadi isteri kita, maka yang dilahirkan itu adalah anak kita. Jadi yang perlu bagi kita adalah firasy yang sahih, karena ada juga firasy yang tidak sahih. Di sini firasylah yang menyebabkan anak itu dihubungkan kepada kita. Dari uraian di atas diketahui bahwa teori firasy merupakan hal pertama dan utama untuk penentuan keabsahan seorang anak yang dilahirkan oleh orang tuanya. Dari sini dapat dibuat kaedah (rumus) bahwa selama tidak ada faktor lain, maka firasy yang sah menimbulkannasab yang sah bagi si anak. Setidaknya firasy yang tidak sah, menimbulkan nasab yang tidak sah bagi anak. Kendatipun firasy yang sah telah menjadi teori keabsahan keturunan, namun dalam hal-hal tertentu, teori ini dapat diabaikan, jika masa kelahiran anak itu tidak wajar (menyimpang dari masa mengandung rata-rata, 9 bulan). Fuqaha menetapkan bahwa masa mengandung itu paling 29Lihat,
T.M. Hasbi As-Shiddieqy, Kumpulan Soal Jawab, (Cetakan Pertama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 83
49
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
sedikit 6 bulan. Muhammad Abu Zahra menerangkan,30 bahwa pernah seorang perempuan dilaporkan kepada Umar melahirkan dalam masa 6 bulan sejakperkawinannya, lalu Umar berkesimpulan bahwa ia harus dijatuhi hukuman. Ketika itu Ali ra. berkata: tidak begitu, Allah swt. berfirman bahwa para ibu menyusukan anaknya selama dua tahun sempurna bagi yang mau.31 Kemudian Allah swt. berfirman lagi, mengandung anak itu dan menyapihnya selama 30 bulan.32 Kedua pekerjaan ini mengandung dan menyusui) adalah 2 tahun 6 bulan. Advis kepada khalifah Umar ini, ada juga yang meriwayatkan bahwa ia bersumber dari Ibnu Abbas. Rumusan ini dipergpegangi oleh Imam Mazhab empat. Tampaknya bagi sistem hukum tertentu, misalnya BW dan Hukum Islam (fikih), masa hamil 6 bulan itu sangat menentukan keabsahan anak yang lahir dari pasangan suami isteri yang sah. Akibatnya, masa minimal mengandung ini dapat berakibat penyangkalan anak oleh si ayah, yang berakibat pula tidak sahnya nasab si anak (anak tidak sah). Penerapan rumus 6 bulan ini adalah bahwa jika seorang isteri melahirkan kurang dari 6 bulan sejak perkawinannya, maka ditetapkanlah bahwa anak itu adalah anak tidak sah sebab telah terjadi pembuahan sebelum nikah. Menurut Hukum Islam, perbuatan ini adalah zina. Menurut Abu Zahrah,33 satu kaedah dalam penentuan keabsahan anak ialah bahwa, zina itu tidak dapat menetapkan sahnya nasab sang anak.
30Muhammad
Abu Zahra, Al-Ahwal al-Syakhshiyyat, (Cetakan Ketiga, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1957), h. 451. 31Lihat 32
Surat Al-Baqarah (2) ayat 233.
Lihat Surat al-Ahqaf (46) ayat 15.
33Ibid.,
h. 454.
50
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
2. Teori Ikrar()اإلقرار Secara alami, ternyata kelahiran seorang anak tidak hanya oleh satu sebab hukum, sehingga kehadirannya dapat dengan berbagai kondisi. Misalnya, seorang anak jelas asal usulnya, dan mungkin juga tidak jelas asal usulnya. Pada kondisi kelahiran anak yang disebut terakhir, maka hukum Islam dapat menentukan nasabnya melalui lembaga ikrar (pengakuan). Menurut Abu Zahrah, teori keabsahan anak Al-Iqrar hanya dapat digunakan jika seorang anak tidak jelas nasabnya (ayahnya atau ibunya). Lembaga Ikrar ini dapat didukung oleh penetapan akan kesamaan wajah, dan bisa juga digunakan secara tunggal.34 Ikrar yang diakui adalah pengakuan orang tua secara langsung atau oleh si anak secara langsung. Adapun pengakuan orang lain akan nasab si anak tidak dapat dipakai sebagai alat bukti.35 Syarat-syarat penggunaan teori keabsahan anak alIqrar (pengakuan) adalah sebagai berikut : 1. Adanya kondisi nasab si anak tidak jelas. 2. Tidak dinyatakan anak itu sebagai hasil hubungan zina. 3. Adanya keserupaan wajah si anak dengan orang tua yang mengakuinya pada usia yang memungkinkan tampak keserupaan itu sangat jelas. 4. Adanya si anak membenarkan pengakuan seseorang kepadanya jika ia sudah mumayyiz.36 Akibat hukum penerapan teori al-Iqrar ini, yaitu adanya anak yang diakui itu sebagai anak kandung, bukan anak angkat. Karena itu, ia memiliki hak dan kewajiban sama dengan anak kandung dari segala aspek. Lembaga alIqrar ini memang bertujuan menetapkan nasab seorang anak
34Ibid.,
h. 463
35Ibid.,
h. 463-464
36Ibid.
51
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
secara hakiki, bukan mengikutkan (memasukkan) ke dalam kekerabatan seperti halnya anak angkat.37 3. Teori al-Bayyinah (Pembuktian) Pada kondisi lain kelahiran dan keberadaan seorang anak, dari segi pandangan hukum, menuntut adanya piranti lain untuk menyatakan keabsahan seorang anak. Misalnya, jika nasab seorang anak diperebutkan oleh dua orang atau lebih. Dari sinilah hukum fikih memberdayakan institusi hukum al-Bayyinah. Al-Bayyinah hanya digunakan jika seorang anak diakui oleh dua orang atau lebih. Bagi yang mempunyai bukti yang kuat dan ditunjang oleh pengakuan anak yang bersangkutan (jika telah mumayyiz), kepadanyalah anak itu dihubungkan nasabnya. Menurut Wahbah al-Zuhailiy, teori nasab al-Bayyinah sebenarnya adalah bentuk pengembangan al-Iqrar. Ia mengatakan, penetapan nasab dengan al-Bayyinah adalah lebih otentik dari al-Iqrar, karena al-Bayyinah itu sendiri adalah alat bukti yang paling kuat. Teori nasab al-Bayyinah dapat membatalkan hasil al-Iqrar tentang keabsahan seorang anak.38 Hal yang diandalkan dalam teori nasab al-Bayyinah adalah kesaksian saksi. Syarat formal kesaksian ini sama dengan kesaksian pada umumnya, yaitu dua orang saksi laki-laki yang adil, atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Bahkan menurut mazhab Malikiy, hanya dua orang saksi yang laki-laki saja.39 Adapun kualitas kesaksian saksi dalam perkara nasab seseorang adalah dapat berupa kesaksian langsung di mana saksi melihat dan atau mendengarnya sendiri. Kemungkinan 37Ibid.,
h. 65.
38Wahbah
al-Zuhailiy, Al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuh, Juz. VII, (Cetakan Ketiga, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h. 695. 39Ibid.
52
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
lain adalah kesaksian saksi melalui informasi yang ia dengar. Informasi tersebut berkembang di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah yang dinilai tidak sekongkol dalam kebohongan.40 D. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 1. Teori Berkawin Pasal 42 menyatakan : “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.41 Menurut pasal di atas, salah satu tolok ukur keabsahan seorang anak adalah bahwa anak itu lahir akibat perkawinan yang sah. Artinya, teori ini menegaskan bahwa anak sah itu adalah anak yang lahir dari hubungan badan yang sah, yaitu yang didahului oleh akad nikah atau ikatan perkawinan. Kendatipun perkawinan sebagai alas pembenar hubung-an badan antara seorang laki-laki dengan perempuan, namun perkawinan yang dimaksud harus steril dari pelanggaran larangan perkawinan itu sendiri karena dapat saja memunculkan persoalan dengan sendirinya, sehingga seseorang tidak boleh terkecoh oleh perkawinan seseorang. Artinya, perkawinan itu harus dilakukan secara hati-hati. Menurut penulis, hal-hal yang perlu diteliti dan diperhatikan adalah penjabaran pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal ini, bila ternyata dilanggar, maka anak yang lahir dari padanya adalah anak tidak sah karena dihasilkan oleh perzinaan. Bunyi pasal 8 Undangundang No. 1 Tahun 1974 itu adalah sebagai berikut:
40Ibid.,
h. 696.
41Sudarsono,
Hukum Perkawinan Nasional, (Cetakan Pertama, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h. 298.
53
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, saudara susuan, anak susuan dan bibi susuan/paman susuan; e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemanakan, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Selama tidak ada pelanggaran pada pasal l8 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan itu, maka anak yang dihasilkan oleh sebuah perkawinan dinyatakan secara hukum sebagai anak sah. Kelahiran anak itu adalah akibat dari sebuah sebab yang sah yaitu akad nikah/ikatan perkawinan. Dari teori perkawinan ini menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang diperhitungkan sebagai alas hak sahnya seorang anak yang lahir setelah ikatan perkawinan hanyalah yang memenuhi syarat sahnya perkawinan menurut ketentuan agama (Pasal 8 menurut Hukum Islam). Hanya perkawinan semacam ini yang menjadi penyebab halalnya hubungan badan antara seorang laki-laki dan perempuan. Akibatnya, lahir pulalah anak yang sah secara niscaya. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa teori berkawin berdasarkan Pasal 42 Jo. Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah ketentuan yang berdasarkan hukum Islam dan mengikat umat Islam Indonesia.
54
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
2. Teori Rentang Kandungan Pasal 43 ayat 1 menyatakan : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.42 Menurut pasal di atas anak luar kawin adalah anak tidak sah. Tolok ukurnya adalah penegasan pasal 43 itu sendiri bahwa secara hukum, anak luar kawin itu hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak itu adalah anak ibunya kendatipun telah diketahui nyata bapak biologisnya. Anak luar kawin adalah anak yang lahir tanpa ayah secara yuris. Oleh sebab itu anak luar kawin dipastikan membincang kasus wanita hamil akibat hubungan gelap. Hubungan seksual gelap ini dapat terjadi antara perawan dan bujang dan atau perselingkuhan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara eksplisit perkawinan wanita hamil. Kendati demikian, kesimpulan hukum dari pasal 43 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan itu membenarkan perkawinan wanita hamil. Anak yang lahir dari padanya adalah anak sah. Yang dinyatakan anak tidak sah hanyalah anak luar kawin. Dengan demikian teori rentang kandungan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah bahwa UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan membenarkan bahwa apabila seorang perempuan hamil sebelum akad nikah/ikatan perkawinan, kemudian perempuan itu dikawinkan dengan seorang laki-laki, baik itu yang menghamilinya maupun bukan, maka anak yang lahir dari padanya adalah anak sah. Dari teori tentang perkawinan ini, yang menjadi tolok ukur keabsahan anak yang lahir dari seorang perempuan 42Ibid.
55
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
hamil adalah peneltian pada persoalan kapankah anak tersebut dilahirkan. Sekiranya anak hubungan gelap itu lahir dalam masa perkawinan yang sah, tanpa mempersoalkan berapa lamanya, maka ia adalah anak sah. Sekiranya pula anak semacam itu lahir di luar masa perkawinan, maka ia adalah anak yang tidak sah, kendatipun pada akhirnya perempuan itu dikawinkan. Prinsipnya, anak luar kawin adalah anak tidak sah, yang oleh hukum Islam disebutkan sebagai anak zina. E. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) 1. Teori Berkawin Pasal 99 butir a menyatakan : “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”.43 Pasal 100 menyatakan: “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.44 Akan halnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka Kompilasi Hukum Islam pun mengenal dua jenis status anak, yaitu anak sah dan anak luar kawin (anak tidak sah). Kendati demikian, Kompilasi Hukum Islam lebih maju dan lebih tegas. Dikatakan lebih maju karena Kompilasi Hukum Islam sudah memasukkan teknik pembuahan di luar rahim sebagai tolok ukur keabsahan anak dengan inseminasi. Dikatakan tegas, karena Kompilasi Hukum Islam sudah mencantumkan perkawinan perempuan hamil. Tentang anak sah yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah tidak ada perbedaan antara UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Oleh sebab itu yang perlu 43Direktorat
Badan Pembinaan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (t.c. Jakarta: t.p. 1993/1994), h. 54. 44Ibid.
56
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
diterangkan adalah perkawinan perempuan hamil dan status anak yang lahir daripadanya. Hal ini disebabkan, UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak mengaturnya secara eksplisit. Berkaitan dengan hal di atas, pasal 99 Kompilasi Hukum Islam tidak dapat dipahami secara parsial. Ia harus dipahami secara komprehensif dengan pasal 100 dan pasal 53. Pemahaman secara komprehensif ini dapat dilakukan dengan sebuah pendekatan, yaitu teori rentang masa kandungan. 2. Teori Rentang Masa Kandungan Substansi pendekatan tentang masa kandungan khusus dipakai pada penetapan keabsahan anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil luarnikah yang telah dikawinkan sebelum anaknya lahir. Apakah anak tersebut diakomodir oleh pasal 99 Kompilasi Hukum Islam atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka sangat perlu diurai kata kunci dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yaitu “dalam” atau “akibat” perkawinan yang sah. Metode yang dipakai adalah pendekatan komprehensif,yang secara berturut-turut dijelaskan sebagai berikut: Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam menyatakan : anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan tegas anak seorang perempuan hamil yang tidak dikawini adalah anak luar nikah dan ia adalah anak tidak sah. Alas haknya adalah bahwa oleh pasal 100 Kompilasi Hukum Islam tersebut menyatakan dengan tegas bahwa nasab anak semacam itu hanya memiliki kekerabatan dengan ibunya. Semua sistem hukum menganut bahwa seorang anak yang hanya menasab kepada ibunya dan keluarga ibunya adalah anak tidak sah. Berbeda dengan hal di atas, jika seorang perempuan hamil di luar nikah dikawinkan dengan seorang laki-laki, 57
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
maka syarat keabsahan status anak yang dilahirkan oleh perempuan hamil tersebut telah diakomodir oleh pasal 99, yaitu lahir dalam masa perkawinan. Satu lagi yang perlu diuraikan adalah apakah perkawinan perempuan hamil sah atau tidak. Kalau sah, maka anak yang lahir dari perempuan hamil yang telah dikawinkan ini adalah sebagai anak sah. Sekaitan hal tersebut, maka pasal 99 Kompilasi Hukum Islam harus dipahami pula secara komprehdnsif dengan pasal 53. Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam berbunyi sebagai berikut : 1. Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. 2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpamenunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. 3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.45 Berdasarkan bunyi pasal 53 Kompilasi Hukum Islam di atas, dipahami bahwa perkawinan wanita hamil luar nikah adalah sah. Akibat hukumnya, adalah karena anak yang dibenihkan sebelum ikatan (akad) perkawinan itu lahir dalam perkawinan yang sah, maka status hukum anak tersebut adalah sebagai anak sah. Argumen yang dapat diajukan adalah bahwa bunyi ayat (a) pasal 99 Kompilasi Hukum Islam pada dasarnya memuat dua tolok ukur keabsahan anak, sehingga bunyi ayat a tersebut adalah: 1. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. 2. Anak sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah. 45Ibid.,
h. 36
58
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
Kedua item tolok ukur sahnya seorang anak di atas berbeda satu sama lain. Item pertama hanya ditujukan pada keabsahan anak yang lahir dari perempuan hamil yang telah dikawinkan. Sedangkan item kedua adalah anak yang dilahirkanpada perkawinan biasa (normal), yaitu anak tersebut dibenihkan setelah akad nikah. Argumen lain yang dapat diajukan untuk menyatakan keabsahan anak yang dilahirkan oleh perempuan hamil yang telah dikawini, bahwasanya ada dua tujuan pokok mengawinkan perempuan hamil itu, yaitu : (1) menutup aib pelaku hubungan gelap itu; (2) agar anak itu lahir dengan berayah. Dengan demikian, ayat 3 pasal 53 tersebut mempertegas keabsahan anak, karena perhatian wanita hamil tidak diperlukan perkawinan ulang lagi setelah anak yang dikandung lahir. 3. Teori Firasy Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam butir b menyatakan bahwa anak sah adalah “hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”.46 Kriteria anak sah yang terkandung dalam pasal 100 Kompilasi Hukum Islam di atas adalah jawaban Hukum Islam atas terjadinya pembiakan manusia yang memanfaatkan teknologi kedokteran. Anak yang lahir daricara semacam ini lazim disebut dengan bayi tabung. Selain istilah bayi tabung tersebut, kadang juga dikenal dengan istilah inseminasi buatan, dan juga mani buatan (artifcial insamination). Dalam bahasa Arab dikenal dengan nama alTalqīh al-Shina’iy ( ) التلقح الصناعى. Sebuah hasil nyata inseminasi yaitu lahirnya anak manusia yang normal layaknya bayi-bayi yang lahir karena hubungan seksual yang umum terjadi. Kalau anak yang lahir akibat hubungan biasa tadi kadang dipersoalkan keabsahan46H.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Cetakan Pertama, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 137.
59
BAB III TEORI KEABSAHAN ANAK
nya, maka tidak janggal jika Kompilasi Hukum Islam menegaskan status hukumnya, karena ia lahir di luar cara yang umum (biasa). Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy,47al-Talqīh al-Shina’iy boleh dilakukan menurut syari’at Islam, apabila ia dengan mani suami sendiri, dan haram dilakukan dengan mani orang lain karena mengandung arti zina. Anak yang lahir dengan jalan inseminasi yang dibolehkan itu, memiliki segala hak dari ayahnya. Anak yang dilahirkan dengan jalan inseminasi yang dilarang, dihukum sebagai anak yang terjadi karena zina. Pendapat Hasbi Ash-Shiddieqy di atas sangat jelas diakomodir oleh Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam hanya memperkenankan bayi tabung dari pasangan suami isteri yang sah. Karena itu anak yang lahir dari padanya adalah anak yang sah. Dari sini pula diketahui bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak membenarkan penyewaan rahim (Surrogate Mother) atau seorang perempuan yang melahirkan anak melalui jasa bank sperma. Semua ini dilaraang karena dikategorikan perbuan zina. Akibatnya, anak yang lahir dengan cara-cara ini adalah anak tidak sah.[]
47T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Kumpulan Soal Jawab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 84.
60
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam Anak yang sah adalah : a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Redaksi pasal 99 Kompilasi Hukum Islam butir a dapat melahirkan interpretasi tentang kriteria (tolok ukur) keabsahan seorang anak berdasarkan kelahirannya. Satu di antara interpretasi yang dapat muncul adalah bahwa kata “dalam” dan kata “akibat” tidak mengandung makna yang berbeda. Kalau demikian, pasal 99 Kompilasi Hukum Islam tidak ada hubungannya dengan pasal 53 tentang anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan hamil luar nikah kendatipun telah dikawinkan semasa kehamilannya. Padahal, anak dari perempuan hamil luar nikah tersebut lahir dalam masa perkawinan. Dalam pada itu, perkawinan wanita hamil luar nikah adalah sah menurut pasal 53 Kompilasi Hukum Islam, dengan catatan bahwa yang mengawininya itu adalah laki-laki yang menyebabkannya ia hamil, bukan yang lain. Berdasarkan analisis korelasi pasal di atas, penulis berpendapat bahwa pasal 99 dan pasal 53 Kompilasi Hukum Islam harus dipahami secara komprehensif. Kedua pasal tersebut sangat berkaitan dalam bentuk hubungan fungsional. Status anak seorang perempuan hamil dapat ditetapkan keabsahannya berdasarkan kriteria anak sah dalam pasal 99 61
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
Kompilasi Hukum Islam. Sebaliknya, pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menjadi alas pembenar keabsahan seorang anak yang dilahirkan oleh perempuan hamil luar nikah, yang dari padanya mungkin lahir anak dalam perkawinan yang sah, dan mungkin juga lahir seorang anak luar kawin. Dari argumen yang penulis kemukakan di atas, penulis berpendapat bahwa dalam memahami muatan hukum pasal 99 Kompilasi Hukum Islam butir a, maka bunyi hakikat pasal itu adalah : a. Anak yang lahir akibat perkawinan yang sah. b. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Anak yang lahir akibat perkawinan yang sah adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan setelah akad nikah oleh seseorang laki-laki dan perempuan. Keabsahan anak seperti ini tidak diragukan lagi selama si ayah tidak menyangkalinya. Kriteria inilah yang dianut secara umum oleh seluruh sistem hukum, baik itu hukum bikinan manusia, maupun hukum agama. Kebenaran kriteria anak sah semcam ini tidak perlu dikaji ulang karena tetap relevan hingga hari ini, dan bahkan waktu-waktu yang akan datang selama aturan-aturan lembaga perkawinan tetap diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat secara konsekuen. Ternyata, lembaga perkawinan adalah hal yang sangat urgen dalam penetapan keabsahan si anak, baik yang berkasus maupun yang tidak. Adapun anak sah yang lahir dalam perkawinan yang sah adalah berbeda dengan anak yang sah yang lahir akibat perkawinan yang sah. Anak sah kategori kedua adalah anak sah yang lahir dalam masa perkawinan yang sah. Penekanannya adalah pada kelahiran si anak dalam perkawinan yang sah, sehingga anak ini dapat disebut anak dalam perkawinan sebagaimana anak yang lahir akibat perkawinan yang sah. Istilah anak dalam perkawinan di atas adalah sebagai imbangan adanya hukum yang mengenal “anak luar kawin”. 62
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
Anak luar kawin sudah dinyatakan dalam Kompilasi Hukum Islam (Pasasl 100) sebagai anak yang tidak sah. Jika anak luar kawin (yang tidak dikawini ibunya) sebagai anak tidak sah, maka anak dalam kawin (yang dikawini ibunya oleh laki-laki yang menghamilinya) anak yang sah. Hingga di sini dapat pula dinyatakan anak sah kategori kedua yang diperas dari pasal 99 Kompilasi Hukum Islam adalah membicang secara khusus keabsahan anak seorang perempuan yang hamil di luar nikah, bukan yang hamil secara normal. Anak seorang perempuan hamil di luar nikah ada dua kemungkinan, yaitu anak sah dan atau anak tidak sah. Menurut Kompilasi Hukum Islam, anak yang dibenihkan oleh seorang laki-laki pada seorang perempuan sebagai akibat dari hubungan gelap, dinyatakan sebagai anak sah jika ibu si anak itu sempat dikawinkan (kawin paksa) atau dikawini (sukarela) oleh laki-laki yang menghamilinya (lihat pasal 53 Kompilasi Hukum Islam) Adapun jika si perempuan hamil itu tidak sempat dikawinkan oleh laki-laki yang menghamilinya namun dikawinkan dengan laki-laki lain, maka anak yang lahir dari padanya adalah anak tidak sah. Apatah lagi jika ibu si anak yang bersangkutan tidak dikawinkan sama sekali sehingga anak itu lahir di luar perkawinan. Keabsahan perkawinan perempuan hamil di luar nikah sesuai pasal 53 Kompilasi Hukum Islam dapat diterangkan sebagai berikut: (1) Keabsahan perkawinan perempuan hamil haruslah dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya, bukan sembarang laki-laki sebagaimana yang dilakukan oleh hukum adat. Penegasan syarat laki-laki yang boleh mengawini perempuan hamil ini adalah sesuai dengan ayat 3 surat (24) an-Nur yang berbunyi:
ُ .ُي َُ ْ ِكُ َعلَىُالْم ْؤِمن َُ ِالزانِيَةُُ ُلَُيَْن ِكح َهاُإِ ُلَُّ َزانُُأ َُْوُم ْش ِركُُ َوحِِّرَُمُذَل َّ َو 63
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
Artinya : ... dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.1 Penegasan ayat 1 pasal 53 Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas adalah menganut pendapat Hasan alBashriy. Menurutnya, ayat tersebut menjelaskan kaharaman laki-laki yang baik untuk menikahi perempuan hamil akibat hubungan gelap. Itu artinya, yang harus mengawini perempuan hamil luar nikah itu adalah laki-laki yang menghamilinya saja.2 (2) Kehamilan seorang perempuan hamil luar nikah, oleh ayat 2 pasal 53 Kompilasi Hukum Islam tidak dianggap iddah. Perempuan hamil semacam ini tidak beriddah, sehingga ia dapat (sah) dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya. Ayat ini tidak menganut mazhab fikih yangmenyatakan bahwa perempuan hamil luar nikah itu harus beriddah hingga lahir anaknya, baru dapat dikawinkan oleh laki-laki lain. Hal ini disebabkan karena yang sah mengawini perempuan hamil itu hanyalah lakilaki yang menghamilinya. (3) Penegasan ayat 3 pasal 53 Kompilasi Hukum Islam bahwa tidak perlu dikawinkan ulang perempuan hamil itu setelah anaknya lahir adalah bahwa secara meyakinkan, perkawinan perempuan hamil padasaat wanita ini masih mengandung, adalah sah. Di sini tidak ada tajdīd al-nikāh (nikah ulang). Dr. Wahbah al-Zuhailiy menerangkan bahwa fuqaha sepakat membolehkan laki-laki yang berzina mengawini wanita yang dizinainya. Jika wanita itu melahirkan anak setelah lewat 6 bulan sejak akad nikahnya, maka ditetapkan1Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah Munawwarah: Mujamma’ Khadim al-Kharamain al-Syarifain, t.th), h. 543. 2Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuh, Juz. VII, (Cetakan Ketiga, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h. 148-149.
64
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
lah nasab anak itu kepadanya. Tetapi, jika anak itu lahir kurang dari enam bulan sejak akad nikahnya, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepadanya, kecuali bila ia mengakui bahwa anak itu adalah anaknya serta tidak mengakui secara tegas bahwa anak itu adalah hasil perbuatan zina. Dengan pengakuan tersebut ditetapkan nasab si anak kepadanya. Hal ini disebabkan kemungkinan adanya akad sebelumnya atau terjadi hubungan seksual syubhat dengan seorang laki-laki lain. Diterimanya pengakuan dalam hal ini adalah demi kehormatan dan kemaslahatan seorang muslim (anak) tersebut.3 Kalau diadakan perbandingan secara sederhana, maka dapat dikatakan bahwa keabsahan perkawinan wanita hamil luar nikah bertumpu pada kemaslahatan, baik itu untuk si ibu maupun si anak. Prinsip semacam ini dapat dijumpai pada motiv mengawinkan wanita hamil menurut hukum adat, juga seperti yang dikemukakan oleh Wahbah alZuhailiy. Secara erksplisit, pasal 53 Kompilasi Hukum Islam menegaskan hukum perkawinan bagi perempuan yang hamil di luar nikah. Menurut pasal ini, mengawinkan perempuan hamil adalah boleh, sehingga perkawinannya pun dinyatakan sah. Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam sama sekali tidak menyinggung status hukum (keabsahan) anak yang dilahirkannya. Dengan cara merujukkan pasal ini kepada pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, maka si anak dapat dinyatakan sebagai anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Kalau demikian, kesimpulan dapat diambil bahwa seorang perempuan hamil yang dikawinkan sebelum anaknya lahir telah memiliki keturunan yang sah, kendatipun pembenihannya terjadi sebelum akad nikahnya itu. Jika dilakukan analisis perbandingan sederhana, apa yang dianut oleh Kompilasi Hukum Islam (pasal 99) tampak3Ibid.
65
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
nya dijiwai oleh hukum adat nusantara. Hukum adat menganut bahwa perempuan hamil harus dikawinkan, baik kawin paksa, maupun kawin tambelan (Jawa) atau passampo isri (Bugis). Tujuannya, agar anak yang dibenihkan dalam kandungan perempuan hamil sebelum nikah itu memiliki ayah. Jika ia sudah memiliki ayah, maka ia telah berstatus sebagai anak sah. Di sinilah urgensinya lembaga perkawinan itu dalam menyatakan keabsahan anak, terutama anak yang dibenihkan bapak biologisnya. Selain hal di atas, maka yang tak kalah mencoloknya hukum adat dalam memecahkan persoalan anak dari seorang perempuan hamil adalah tidak dianutnya teori tentang kandungan. Artinya, kelahiran seorang anak oleh perempuan hamil tidak dipersoalkan berapa lama minimal ia lahir setelah orang tuanya mengadakan ikatan perkawinan. Hal ini sangat rentan dengan sistem hukum yang menganut teori pembenihan dalam menyatakan keabsahan anak. Di antara sistem hukum yang getol menganut teori ini adalah hukum Islam (fikih). Hukum Islam (fikih) dengan pembenihannya menyatakan bahwa akad nikah adalah alas pembenar hubungan badan antara seorang laki-laki dan perempuan. Jika terjadi hubungan seksual pra nikah, maka pelakunya telah berbuat zina. Jika dari perbuatan itu mengakibatkan terjadinya pembuahan (kehamilan) maka anak yang dikandungnya adalah anak zina. Anak zina adalah anak tidak sah. Jika dari perkawinan seorang laki-laki dan perempuan terjadi penyangkalan anak oleh si ayah, maka salah satu tolok ukur adalah menghitung masa kelahiran si anak dengan batas minimal mengandung, yaitu 180 hari (6 bulan). Hukum Islam (fikih) menyatakan, bila seorang lahir dari sebuah pasangan suami isteri yang sah kurang dari 180 hari, sejak hari akad nikahnya, maka anak yang lahir dari padanya adalah anak tidak sah/anak zina. Teori pembenihan inilah yang menyebabkan pasal 99 Kompilasi Hukum 66
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
Islam tidak populer di kalangan sebagian ulama dan tokoh agama di Indonesia. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam termasuk pasal yang kabur. Karena itu, sangat perlu ditelusuri alas pembenarnya dari segi metodologi hukum Islam (usul fikih). Mencermati anak sah versi anak yang lahir dalam perkawinan yang sah menurut pasal 99 Kompilasi Hukum Islam pada dasarnya memiliki dua maksud pokok, yaitu : (1) melegalkan anak biologis; (2) menetapkan kesejahteraan anak biologis. Menurut hukum Islam (fikih), benih anak yang dibibitkan ke dalam rahim seorang perempuan sebelum akad nikah adalah anak zina. Anak semacam ini tidak mempunyai bapak dari segi yuris, melainkan hanya bapak biologis kendatipun bapak biologisnya itu mengawini ibunya. Tetapi pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa anak biologis bila ibunya(perempuan hamil sebelum nikah) dikawinkan dengan bapak biologisnya, maka anak itu menjadi anak sah. Anak biologis dapat menjadi anak tidak sah selama-lamanya jika ibu anak biologis itu tidak sempat dikawinkan sehingga lahirlah anak di luar nikah (pasal 100 Kompilasi Hukum Islam). Kalau dicermati pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang dapat melegalkan anak biologis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pasal ini memandang status hukum si anak lebih urgen diperhatikan. Anak yuris pastilah anak biologis, tetapi tidaklah semua anak biologis adalah anak yuris. Dengan demikian, hukum sangat berperan menyempurnakan status anak, tidak terkecuali anak yang dibenihkan sebelum akad nikah. Di samping melagalkan status anak biologis, yang tak kalah pentingnya dari efek pasal 99 Kompilasi Hukum Islam adalah menetapkan garis kesejahteraan anak biologis. Anak perempuan hamil luar nikah yang terancam hubungan nasab dan keperdataannya dengan ayah biologisnya, dengan 67
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
dikawinkannya ibunya, maka anak biologis itu telah memiliki hak-haknya atas kedua orang tuanya. Membandingkan teori fikih klasik dengan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, maka ditemukan adanya pembaruan. Pembaruan yang dimaksud yaitu tidaklah selamanya anak yang dibenihkan sebelum akad nikah itu diniscayakan sebagai anak tidak sah. Teori ini ternyata banyak efek mudharatnya kepada si anak yang tidak berdosa itu. Teori klasik itu diakui bermaksud memberipelajaran bagi pelaku seksual sebelum nikah. Mungkin pertimbangan seperti inilah sehingga anak perempuan hamil luar nikah itu, oleh pasal 99 Kompilasi Hukum Islam dapat dilegalkan secara bertanggung jawab. Maksudnya, laki-laki yang menghamili seorang perempuan harus dipaksa kawin dengannya. Adapun jika laki-laki yang mengawininya, maka anak yang dilahirkan oleh perempuan hamil itu tetap melahirkan anak yang tidak sah. Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal pengakuan dan pengesahan anak atas anak luar kawin sebagaimana yang dikenal dalam hukum adat dan KUH Perdata (BW). Dalam pembaruan hukum pasal 99 Kompilasi Hukum Islam dapat dinyatakan bahwa telah ada penyimpangan hukum fikih. Penyimpangan hukum fikih sebagai dinamika ijtihad bukanlah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan. Berbicara tentang hasil ijtihad, maka yang terpenting adalah menguak metode apa yang menghasilkan pembaruan itu, tak terkecuali muatan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam butir a. Penyimpangan hukum fikih dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam adalah memungkinkan anak zina menjadi anak sah dengan syarat ibunya dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya dan lahir setelah itu. Menurut Kompilasi Hukum Islam, ketetapan hukum semacam ini lebih maslahat dalam menyelesaikan kasus perempuan hamil, terutama kepada anak yanglahir daripadanya (tidak 68
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
berdosa) sehingga terhindar dari kutukan hidup selamalamanya. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pasal 99 Kompilasi Hukum Islam hanya berbicara tentang aspek yuris, bukan menyangkut dosa zina. Dosa zina harus diselesaikan dengan piranti hukum lain, yaitu hukum pidana atau jinayat. Kalau demikianhalnya, maka pembaruan fikih yang dihasilkan oleh pasal 99 Kompilasi Hukum Islam ditetapkan atas kerangka metodologi Istihsan ()اإلستحسان. Istihsan itu sendiri adalah :
ُأنُيعدلُاجملتهدُعنُأحيكمُمبثلُماُحكمُبهُىفُنظائرهاُلوجه ُ 4.أقوىُيقتضىُالعدولُعنُاألول Artinya : (Istihsan) ialah berpalingnya mujtahid dari hukum serupa untuk menetapkan hukum suatu kasus yang serupa karena ada alasan lebih kuat untuk menyimpang dari hukum yang pertama. Al-Sarakhsiy dalam kitabnya al-Mabsūt menerangkan hakikat Istihsan itu sebagai berikut :
ُ 5.ُواألخ ﺬمباُهوُأوفقُللناس،اإلستحسانُتركُالقياس Artinya: Istihsan adalah suatu cara menetapkan hukum dengan berpaling dari qiyas, dengan ketetapan hukum yang paling bermanfaat bagi manusia. Berdasarkan batasan istihsan dan hakikat istihsan itu sendiri, muatan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam tentang
4Dr. Husain Hamid Hassan, Nazhariyyat al-Mashlahat Fi al-Syari’at al-Islamiyyāt, (Beirut: Dar al-Nahdhat al-`Arabiyyat, 1971), h. 586. 5Al-Sarakhsiy, Al-Mabsut, Juz. X, (Beirut : Dar al-Ma’rifat, 1989), h. 145.
69
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
anak sah yang lahir dalam perkawinan yang sah dapat diterangkan sebagai berikut : 1. Melegalkan anak zina dengan mengawinkan laki-laki yang menghamili ibu anak zina itu adalah penyimpangan dari hukum pokok (qiyas). Hukum pokok menyatakan tiap anak yang dibenihkan sebelum akad nikah, adalah anak zina, dikawinkan ibunya atau tidak. Anak tersebut adalah anak tidak sah. Nasabnya hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya. 2. Memberi status hukum nasab yang sah kepada seorang bapak biologis (bukan laki-lakilain) adalah lebih maslahat bagi seorang anak zina karena dapat menjamin masa depannya menjadi lebih baik. Inilah yang dapat dikategorikan sebagai alasan pembenar istihsan. 3. Jika dinyatakan bahwa pasal 99 Kompilasi Hukum Islam butir a itu diilhami oleh hukum adat nusantara, maka hal ini pun semakin memperkuat pembaruan hukum fikih dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam tersebut. Istihsān dan al-`Urf sangat terkait satu sama lain dalam istinbat hukum. Karena itu dapat ditegaskan bahwa istihsān yang melandasi pasal 99 Kompilasi Hukum Islam itu ditopang oleh `Urf (adat). Dari uraian yang telah dikemukakan tentang analisis pasal 99 Kompilasi Hukum Islam butir a tentang anak sah dapat ditarik kesimpulan bahwa kriteria anak sah dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam ini adalah pembaruan fikih yang terang metodologinya sehingga dapat dipertanggung jawabkan. Kalau diperhatikan hukum-hukum fikih yang dihasilkan istihsān, tampak dengan jelas esensinya adalah membenarkan suatu peristiwa hukum, yang menurut kaedah umum terlarang. Dengan sumber yang dapat dijangkau diperoleh informasi bahwa alas pembenar istihsān itu dapat berupa `urf (adat), ijma’ (konsesus), nas, kaedah-kaedah kulliyatyang mengandung prinsip-prinsip umum syara’. 70
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
Melihat sandaran-sandaran istihsān sebagaimana yang dikemukakan di atas dapat diyakini bahwa ulama yang melihat hakikat istihsān dapat menempatkannya secara proporsional, sejajar dengan dalil-dalil syara’ yang lain. Karena itu, mengenai status dan peranannya, Hasby AshShiddieqy berkesimpulan bahwa nyatalah istihsān itu sebagai suatu sumber perluasan hukum Islam.6 Keluasan dalil syara’ istihsān seperti yang dikatakan Hasby Ash-Shiddieqy di atas pada dasarnya adalah kesinambungan pemikiran metodologik mazhab Hanafi, yang ditentang keras oleh Imam Al-Syafi’i. Dalam kitabnya al-Risalāt al-Syafi’i menandaskan : إنما اإلستحسان تلـﺬذ. Maksudnya, istihsān itu tidak lain dari pada menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu (selera/Subyektifitas pribadi). Keritik keras yang dilontarkan Al-Syafi’i tidak menjadi halangan bagi ulama-ulama Indonesia perumus Kompilasi Hukum Islam untuk menyelamatkan istihsān ini. Diakui memang bahwa metodologi hukum Islam yang satu ini memberikan akal mujtahid berperan secara maksimal dalam pengambilan (penetapan natijah hukum). Memperhatikan muatan huruf b Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam tersebut dahulu, maka pada dasarnya sama dengan kriteria yang terdapat pada butir a, kecuali yang berbeda adalah teknik pembuahan janin. Kendati demikian, karena bayi tabung itu rentan bebas nilai, maka memang sangat dituntut kepastian hukum anak yang lahir dengan cara inseminasi. Dalam mendudukkan keabsahan bayi tabung secara metodologis, maka dapat dinyatakan bahwa ia diakomodir oleh metode instinbat qiyas. Gambarannya adalah, anak yang lahir melalui proses bayi tabung dengan sperma suami isteri, sama dengan anak yang lahir dari suami istri yang sah. 6T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, (Cetakan Pertama, Jakarta: Tintamas, 1975), h. 32.
71
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
Sebaliknya, anak bayi tabung dari bukan sperma suami isteri, maka sama halnya dengan seorang wanita yang berzina. Penerapan metode qiyas pada butir b Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam dapat diterangkan sebagai berikut : 1. Maqīs ( )المقيس: anak yang lahir dengan inseminasi (bayi tabung). 2. Maqīs alaih ( )المقيس عليه: anak yang lahir secara alami. 3. Illah hukum : Firāsy (isteri yang sah) adalah dasar penentuan keabsahan anak. 4. Hukum : Anak yang lahir dari Firāsy (isteri) yang sah adalah anak sah. Dengan demikian bayi tabung yang dilahirkan oleh isteri yang sah, adalah anak sah. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal ini pada dasarnya adalah bagian tak terpisahkan dengan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam bahkan pasal 53. Dengan demikian pasal 100 Kompilasi Hukum Islam adalah juga menetapkan status hukum anak yang lahir dari seorang perempuan hamil di luar nikah. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam adalah menegaskan salah satu kemungkinan status anak seorang perempuan hamil, yaitu anak luar nikah. Pasal ini dengan tegas menyatakan bahwa anak luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ini adalah akomodasi ketentuan hukum fikih. Bagi anak yang lahir di luar nikah tak ada jalan bagi hukum Islam untuk melegalkannya, sehingga ulama Indonesia pun berpendirian seperti ini. Penyebabnya sangat jelas, yaitu anak luar kawin itu benar-benar tidak memiliki pengalas hak untuk dinasabkan kepada seorang laki-laki sebagai ayahnya. Di sini hal yang
72
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
substansial tidak ditemukan, yakni perkawinan (akad nikah). Jika pasal 100 Kompilasi Hukum Islam dihubungkan dengan pasal 99, maka salah satu tolok ukur yang juga diperhitungkan adalah kelahiran yang menyusuli tolok ukur perkawinan. Maksudnya, jika anak dari seorang perempuan hamil telah lahir baru orang tuanya berkawin, dengan lakilaki yang menghamilinya sekalipun, tetap tidak dapat mengangkat status hukum si anak. Ia adalah bukan anak dalam kawin, melainkan anak luar kawin. Dari segi metodologi hukum Islam, muatan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam adalah sesuatu yang sangat jelas logikanya, sehingga hukumnya dapat dinyatakan sebagai bentuk mafhum mukhalafah. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam sudah menegaskan bahwa anak zina yang dikawinkan ibunya dengan laki-laki yang menghamilinya, serta lahir dalam masa perkawinan yang sah dinyatakan sebagai anak sah. Sebaliknya anak luar kawin, yaitu anak yang tidak dikawinkan ibunya dan telah lahir tanpa perkawinan yang sah dinyatakan sebagai anak tidak sah. Di kalangan Ushuliyyūn ( ahli usul fikih ), Mafhūm Mukhālafah merupakan salah satu teknik penetapan hukum syara’. Menurut Ushuliyyūn, Mafhūm Mukhālafah (penetapan hukum kebalikan) adalah menetapkan hukum kebalikan dari hukum manthūq (yang tekstual) sebagai hukum yang tidak disebutkan secara lugas dari padanya.7 Dengan Mafhūm Mukhālafah ()مفهوم المخالفة, satu nas mengandung dua kesimpulan atau kandungan hukum yang dapat diketahui oleh mujtahid dalam waktu yang bersamaan Menurut ulama Ushūl yang menerima Mafhūm Mukhālafah sebagai metode memahami nas haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 7Muhammad Abu Zahrah, Ushūl al-Fiqh, (t.t.: Dar al-Fikr al`Arabiy, 1985), h. 148.
73
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
(1) Pembatasan yang menjadi dasar penetapan hukum kebalikan dari yang tersurat ( )منطوقtidak menunjuk pada makna lain seperti targhīb (menggembirakan) atau tarhīb(mengancam). (2) Tidak ditemukan dalil khusus yang menerangkan hukum yang ada dalam Mafhūm Mukhālafah itu.8 Syarat-syarat validitas Mafhūm Mukhālafah di atas adalah bertujuan menghindari kerancuan hukum yang diambil berdasarkan metode ini. Hal ini dapat terjadi jika tidak cermat menerapkan syarat-syarat Mafhūm Mukhālafah sebagaimana yang dikemukakan oleh mazhab Hanafi. Mazhab Hanafi adalah mazhab fikih yang tidak menerapkan Mafhūm Mukhālafah akibat adanya celah kerancuan hukum yang ditimbulkan olehnya. Oleh sebab itu untuk menetapkan analisis metodologik terhadap pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang dinyatakan sebagai penerapan Mafhūm Mukhālafah dapat diterangkan sebagai berikut : 1. Syarat keabsahan anak dari perempuan hamil harus lahir dalam perkawinan yang sah, adalah sifat pembatasan yang tegas, sehingga anak luar kawin dinyatakan sebagai anak tidak sah. 2. Hukum kebalikan sebuah nash mantūq yang diambvil berdasarkan Mafhūm Mukhālafah harus berada pada suatu totalitas (kesatuan). Pernyataan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa anak luar kawin pada dasarnya adalah imbangan atas keabsahan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, dengan anak yang dibenihkan sebelum akad nikah sekalipun Dengan kerangka Mafhūm Mukhālafah()مفهوم المخالفة, maka pasal 100 Kompilasi Hukum Islam berfungsi sebagai penguat dan sekaligus pembeda tentang status hukum seorang anak yang dilahirkan oleh perempuan hamil. Dengan pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam, ketetapan menetapkan nasab seorang anak biologis sudah sangat jelas 8Ibid.,
h. 151-152
74
BAB IV ANALISIS METODOLOGIK PASAL 99 DAN 100 KOMPILASI HUKUM ISLAM
dan memenuhi kerangka kerja metodologi hukum Islam. Boleh jadi inilah sebabnya sehingga status anak luar kawin, oleh UU No. 1 Tahun 1974 dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tetap mengacu pada hukum fikih klasik, kecuali hanya perbedaan redaksi saja. Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Sedangkan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam berbunyi : “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menonjolkan hak anak luar kawin itu, sedangkan Kompilasi Hukum Islam menonjolkan penyebab (alas hak) terbitnya hak seorang anak, yaitu hubungan darah. Dengan demikian, tidak celah pemahaman lain tentang status anak luar kawin itu, selain apa yang dianut oleh fikih klasik, yang selanjutnya diakomodir oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan inpres No. 1 Tahun 1991.[]
75
KEPUSTAKAAN
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kehadiran anak dalam sebuah rumah tangga merupakan anugerah Tuhan yang patut disyukuri oleh orang tua. Pengejawantahan kesyukuran tersebut dengan diadakannya sejumlah upacara ritual, baik menurut tradisi, maupun menurut ketentuan agama. Bagi keluarga muslim, acara mensyukuri kehadiran anak adalah dilakukannya aqiqah dengan sentuhan tradisi di sana sini. 1. Berdasarkan analisis terhadap pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam, maka dapat dinyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam mengenal dua asas penetapan teori keabsahan anak, yaitu: perkawinan dan masa mengandung. Anak yang lahir akibat perkawinan yang sah adalah anak sah. Dalam pada itu anak yang lahir dalam masa perkawinan yang sah dari seorang perempuan hamil, juga dinyatakan sebagai anak sah. Ketetapan keabsahan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah adalah berdasarkan kerangka kerja metode istinbaṭ al-Istihsan. (Lihat Hal. 83). 2. Implikasi teori anak sah menurut Kompilasi Hukum Islam adalah terselamatkannya status hukum akan yang dibenihkan pra nikah. Anak sah yang lahir dalam perkawinan yang sah sama kedudukannya dengan anak sah akibat perkawinan yang sah. Keduanya mempunyai nasab dengan kedua orang tuanya dan terbit segala hak dan kewajiban secara timbal balik. Keduanya adalah anak yang memiliki hubungan daerah dengan kedua orang tuanya. 77
KEPUSTAKAAN
B. Rekomendasi 1. Sosialisasi kajian metodologik (ushul fikih) terhadap materi (pasal) Kompilasi Hukum Islam sangat perlu dilakukan. Kajian metodologik ini diperlukan terhadap pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam, terutama yang mengandung unsur-unsur pembaruan. 2. Perlunya para pengguna Kompilasi Hukum Islam, terutama bagi hakim-hakim agama pada pengadilan agama, dan para Kepala Kantor Urusan Agama, memahami secara metodologik keabsahan anak yang lahir dari seorang perempuan hamil. Hal ini dimaksudkan agar mereka yakin kebenaran ijtihad ulama Indonesia tentang dapatnya anak hasil hubungan gelap menjadi anak sah sebelum mereka memberi penjelasan kepada umat. Mereka tidak senantiasa diharapkan bertaklid dan tidak melakukan penalaran atas hukum-hukum fikih.[]
78
KEPUSTAKAAN
KEPUSTAKAAN al-Asqalaniy, Hajar, Ibnu. Fath al-Bāriy, Juz XII, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Amanat, Anisitus.Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW,Cetakan Kedua, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001 Direktorat Badan Pembinaan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. t.c. Jakarta: t.p. 1993/1994. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Madinah Munawwarah: Mujamma’ Khadim al-Kharamain alSyarifain, t.th. Fachruddin, Fuad Moh. Masalah Anak Dalam Hukum Islam, Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina. Cetakan Kedua, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991. Hadikusuma,Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni, 1977 Hamid Hassan,Husain, Dr. Nazhariyyat al-Mashlahat fi alSyari’at al-Islamiyyāt. Beirut: Dar al-Nahdhat al`Arabiyyat, 1971. Musa,Yusuf, Muhammad. Al-Nasab Wa Atsaruhu. Cetakan Kedua, Kairo: Dar al-Ma’rifat, 1967. Muslim. Al-Jami’ al-Shahih. Juz. IV. Beirut : Dar al-Fikr, t.th. Salim HS. Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum. Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafikia. Al-Sarakhsiy. Al-Mabsuth. Juz. X. Beirut : Dar al-Ma’rifat, 1989. Ash-Shiddieqy, Hasbi, T.M. Kumpulan Soal Jawab. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. 79
KEPUSTAKAAN
----------. Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam. Cetakan Pertama, Jakarta: Tintamas, 1975. Shadily, Hassan. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1997. Susilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya lengkap Pasal demi pasal.t.t.: Poleteia-Bogor:, t.th. Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Cetakan Keempat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Soimin, Soedaryo. Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat, Hukum Islam dan Hukum Adat.Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 1992. SubektiR; R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cetakan Keduapuluh Lima, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1992. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cetakan Keduapuluh Empat, Jakarta: PT. Intermasa, 1992. Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Cetakan Pertama, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991. Al-Syafi’i. Al-Risalāt. Beirut: Dār al-Fikr, t.th. Ter Haar Bzn, Mr. B. Beginselen En Stelsel Van Het Adat Recht, diterjemahkan oleh K. Ng. Soebakti Poesponoto dengan judul “Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat”. Cetakan Kesepuluh, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1991. Vollmar, H.F.A. In Leiding to de all Studie van Het Nederlands. diterjemahkan oleh I.S. Adiwinarta dengan judul “Pengantar Studi Hukum Perdata” Cetakan Keempat, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996. Wignjodipuro, Soerojo. Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat. Cetakan Ketujuh, Jakarta: Gunung Agung, 1984.
80
KEPUSTAKAAN
Zahrah, Abu, Muhammad. Ushūl al-Fiqh. t.t.: Dar al-Fikr al`Arabiy, 1985. ----------.Al-Ahwal al-Syakhshiyyat. Cetakan Ketiga, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1957. Zaini, Muderis.SH. Adopsi Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum. Cetakan Ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 1995. al-Zuhailiy, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuh. Juz. VII. Cetakan Ketiga, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.[]
81