PEMBELAJARAN SASTRA ANAK BAGI SISWA PENUTUR BERBAHASA ASING Oleh : Din Ahdin ABSTRACT This article is provided for one who cares to the teaching of literature, especially for elementary school students, and involved for Indonesian foreign speaker. Therefore the purpose of the writing in general is to develop teacher’s comprehension about children’s literature in the hope that they will continue to teach it in their classroom more intensively. We also hope that teachers who read this article would be able to create in children a love good books and a joy in reading literature, whether fable, legend, folktale and other kind of stories. Teachers will be able to describe a complete analysis and understandable explanation if he or she has a great of interest on literature. We realize that educators and parents are have the same stance that reading skills would give students to know more informations about everything they need. So the focus of the article is on reading literature, that would have many profits: to sharpen their emotion and feeling, to practice students critical and analytical thinking on the problems presented in the story. Educators also have realized the importance of story and real books in developing readers skills. We have also known that literature will give the reals aspect of the life. All penomena are presented in the story, in principle as the result of critical thinking of it writer. So, if students are able to solve the problems based on their capasities, he or she will also be able to solve those in the real life. The real problems will be integrated with the aesthetical values, by interrelating strategy used by the writers in elements of literature such as plot, setting, carachters, theme, point of view, and structure of the story, and all those should be thought by students during, or after reading take place. Strategy of teaching choose by the teacher must be considered as well as possible. It must be noted that strategy chosen by the teachers would determine of teaching objective. The strategy could be involved the process of reading, environment of the classroom, selecting children’s book, opportunities of reading, dicussing about story, and giving question about aesthetic and efferent of the text we read. Kata Kunci : Children Literatire (Sastra Anak )
A. Konsep Dasar Sastra Konsep dan keberadaan sastra akan ditemukan dalam hampir setiap budaya manusia. Adapun bentuknya seperti apa tidak menjadi soal, yang penting aspek budaya ini berkembang seiring dengan lamanya kehidupan manusia di bumi ini. Manusia yang beradab dan yang tidak beradab sekalipun, hampir tidak mungkin terlepas dari aspek kehidupan sastra. Aspek kesastraan ini zaman dulu bisa berbentuk mantra, bagi masyarakat animis dan dinamis, digunakan untuk melakukan persembahan dan pemujaan manusia kepada arwah para leluhur. Manusia bisa
berhubungan dengan kehidupan alam lain, tidak terlepas dari bantuan kata-kata dan kalimat-kalimat sakral yang tersusun secara mutlak oleh para tetua adatnya. Pengertian sederhana yang paling mendasar, sastra bisa dimaknai sebagai segala sesuatu yang ditulis. Ronald Scheifer (2001: 559-560) mengemukakan enam konsep dasar sastra. Pertama, sastra dimaknai sebagai tulisan imajinatif, berisi dalam artian tidak mesti berisi kebenaran dari segi harpiah. Misalnya saja dalam sastra Yunani klasik, Aristoteles membedakan antara puisi dengan sejarah tepatnya fokusnya kepada apa yang mungkin alih-alih apa
1 Jurnal Edukasi
yang sesungguhnya telah terjadi. Puisi menurut Scheifer, lebih menitikberatkan pada hal yang bersifat pilisofis dan lebih tinggi alih-alih sejarah : bagi puisi cenderung mengungkapkan hal yang bersifat universal, sedangkan sejarah menitikberatkan pada hal yang khusus. Sedangkan pada kedua, Arnold menyebutkan bahwa sastra dimaknai sebagai ungkapan pribadi individu jenius, sastra menjadi sebuah bentuk kebenaran universal yang diungkapkan melalui ungkapan personal yang sangat kuat. Ketiga, yang menjadi sifat sastra adalah sejenis tulisan tertentu, yang berbeda dari penggunaan bahasa lainnya. Dalam definisi linguistik ilmiah, sering diidentifikasi analisis strukturalis, seperti definisi teori linguistik menurut Roman Yakobson, sastra mentransformasikan bahasa luar biasa dengan cara meminta perhatian terhadap teori linguistik dan aestetiknya yang menantang terhadap proses komunikatif. Oleh karena itu menurut konsep ini bahwa orang selalu bisa menemukan unsur-unsur sastra dalam berbagai wacana seperti unsurunsur kesastraan atau puitisitas yang oleh kaum Formalis Rusia dan Jacobson digambarkan pada awal abad ke 20. Definisi keempat, merupakan definisi sastra yang lebih tua, masih bertautan tapi dapat dibedakan dengan uraian ilmiah Jakobson, konsep ini memandang sastra sebagai pengejawantahan persoalan sakral dan mistik dalam wacana formasi sosial. Definisi ini sering dikaitkan dengan tradisi sastra lisan , walaupun pada zaman modern ini Walter Benyamin (Arnold, 2001) menggambarkan kekuatan bahasa terhadap pembukaan rahasia yang pasti seperti konflik antar apa yang tidak dapat diungkapkan dan tidak diungkapkan atau proses komunikasi dengan kata Tuhan. Kelima, definisi sastra sebagai kekuatan model wacana yang menunjukkan bentuk-bentuk tradisional.
Dalam rumusan ini, sastra mengacu kepada rumusan bentuk-bentuk wacana yang meniru dan memodifikasi wacanawacana tradisional di mana budaya yang telah mengolahnya dari generasi ke generasi untuk alasan-alasan lain. Karena itu, orang dalam budaya Yunani Kuno dipercaya bahwa puisi itu terwujud karena diilhami oleh para dewa. Karena itu, sastra dalam hal ini merupakan tulisan yang halus yang mengikuti bentuk-bentuk kurang-lebih tulisan sakral, seperti epik, perumpamaan, ungkapanungkapan lirik yang terinspirasi, dengan demikian pengekalan ini merupakan nilai yang paling tinggi dalam satu budaya. Definisi keenam digambarkan bahwa sastra sebagai batasan yang dimuat secara normatif dan bernilai yang merancang bentuk-bentuk tulisan yang mewujudkan nilai-nilai kelompok atau kelas dominan dalam waktu-waktu tertentu. Dengan demikian sastra didefinisikan sebagai satu batasan normal atau nilai-nilai pilihan dan berfungsi sebagai pendorong dari minat-minat dan ideologi tertentu dalam sebuah masyarakat sosial. Batasan sastra itu muncul dengan maknanya sendiri secara orisinal selama masa Pencerahan pada abad 17 dan 18 di Barat. Penggunaan kata sastra (literature) yang paling pertama di Inggris mendapat kritikan dari Raymond William (Ronald, 2001:559), yang mengatakan bahwa sesungguhnya kata literature telah dipakai sejak abad ke-14. Kata itu menurutnya dipinjam dari bahasa Prancis dan Latin, yang dimaknai sebagai cara belajar yang sopan dan halus melalui proses membaca. William beralasan bahwa kata literature berkaitan dengan pengertian modern dengan kata literacy (melek huruf). Akan tetapi pada abad ke -18 maknanya justru berubah menjadi khusus untuk menunjukkan tulisan imajinatif atau tulisan yang indah (susastra). Lebih-lebih pada akhir abad ke-18, konsep sastra nasional
2 Jurnal Edukasi
(national literature) malah menjadi salah satu pengejawantahan semangat atau budaya suatu masyarakat yang terpenting. B. Konsep Mengenai Sastra Anak Kita mungkin bisa memaknai pembelajar-an sastra anak secara sederhana, sebagai pembelajaran sastra untuk anak-anak. Seperti halnya sastra dewasa bisa diasumsikan sebagai bacaan sastra yang topik pembahasannya mengenai persoalan orang dewasa, atau persoalan yang menjadi fokus perhatiannya layak bagi orang dewasa. Begitu pula sastra anak, sastra ini sengaja ditulis orang dewasa untuk bisa dibaca oleh anak-anak. Anak-anak yang sedang menjalani proses perkembangan fisik dan psikologis secara cepat, mesti banyak memperoleh pengalaman langsung maupun tidak langsung dari karya sastra yang berisi pesan keteladanan yang berguna bagi mereka. Anak yang memerlukan idola dalam hidupnya mesti diperlihatkan tokoh-tokoh pahlawan, ksatria atau pejuang yang pantas jadi contoh dalam kehidupan. Misalnya, dalam 12 Dongeng Populer karya Jajak MD, semua cerita yang disajikan berisi pesan moral mengenai kebaikan budi pekerti sebagai seorang anak. Seperti halnya namanya, seluruh cerita dalam sastra anak, bahasa dan alur ceritanya mudah dipahami, karena itulah anak-anak senang dan mudah menikmati karya sastra ini. Sastra anak tidak berarti semua tokohnya mesti oleh anak. Charlotte Huck dan Janet Hickman (1989) pun mengakui sastra anak tidak mesti harus sepenuhnya berbicara tentang anak. Ini nampak dalam novel Si Jamin dan Si Johan karya Merari Siregar (cet.20, karya saduran karya Van Maurik 1918). Novel ini memang menceritakan nasib kakak beradik (Si Jamin dan Si Johan) yang hidup dalam keadaan sengsara, karena prilaku orang tuanya. Sampai akhirnya kedua anak ini meninggal, karena
kesalahan prilaku ayahnya. Walaupun menceritakan kehidupan suami yang tidak berbudi (Bertes), tetapi tokoh si Jamin dan si Johan ini justru menjadi fokus perhatian pengarang dan pada gilirannya akan menjadi idola bagi anak pembaca novel ini. Idola dalam artian tidak mesti ingin beridentifikasi pada tokoh sentral. Melainkan pembaca amat berempati kepada tokoh ini karena keadaannya. Jika kita boleh menilai, novel ini cocok pula dibaca oleh anak-anak SD dari kelas 5 ke atas. Perkembangan kemajuan standar kehidupan ekonomi dalam berbagai lapisan telah mengubah pola prilaku anak-anak. Pengalaman hidupan bagi anak-anak semakin hari semakin kompleks, tantangan dan hambatan kehidupan pun semakin lama semakin tidak bisa dikendalikan. Prilaku anak sekolah saat ini, bukannya lebih banyak menggunakan waktu untuk membaca karya-karya yang bermutu, melainkan lebih banyak waktu dihabiskan hanya untuk menonton acara televisi. Sedangkan acara televisi pada saat ini, lebih banyak menimbulkan permasalahan kehidupan alih-alih memberi solusi dan pembelajaran bagi kehidupan. Keadaan seperti ini dinyatakan oleh Nielsen 1990 Report on Television (Huck dan Hickman, 1989: 9) bahwa: They spend a great deal of time within view of an operting television. Actual watching time for children ages 6 to 11 averages almost 24 hours per week. Preschoolers watch more, approximately 27 hour per week. The evening news has shown them actual views of war while they ate their dinners. They have witnessed air strikes, assassinations, and starvation. ...the mass media bring vicarious and daily experiences of crime, poverty, war, death, and deprevity into living rool of virtually all American homes. This generation is exposed to more violence in the name of entertainment.
3 Jurnal Edukasi
Fenomena dunia anak-anak zaman modern ini, dengan sendirinya memaksa para pendidik dan orang arif untuk menulis dan membelajarkan kembali tradisi membaca karya sastra anak yang lebih memupuk kearifan budi pekerti siswa. Kalau kita bercermin kepada kultur budaya Amerika masa lalu, Meet the Austin karya Medeleine L „Engle ditolak oleh berbagai penerbit untuk diterbitkan karena cerita itu dimulai dengan kematian.; atau pula beberapa penelaah sangat terkejut oleh ungkapan kata-kata yang dipandang tabu (tidak etis untuk dikatakan) dalam Harriest the Spy karya Louise Fitzhugh (Charlotte & Susan, 1989). Itu terjadi dalam kebudayaan Barat masa lalu, orang tua dan pendidik tetap memelihara aspek moral dalam penerbitan, agar proses penerbitan itu tidak meracuni budi pekerti para pembaca, khususnya anak-anak. Sedangkan buku anak-anak, menurut Charlotte dan Susan (1989) umumnya tidak menyampaikan sesuatu itu secara terus terang, seperti dalam buku-buku untuk orang dewasa. Sastra anak kontemporer sebaliknya lebih merefleksikan apa yang sedang terjadi pada masa kini, seperti halnya sesuatu yang dia lihat dalam televisi, surat kabar, dan atau pengalaman langsung dalam rumahnya. Karena itu betapa banyak tindakan frustasinya seorang anak justru berulang-ulang dan sama persis dengan apa yang telah diberitakan dalam televisi beberapa saat yang lalu. Semua ini terjadi karena anak memperoleh pengalaman dari proses menonton acara televisi. Dengan demikian, Charlotte dan Susan (1989: 7) menyatakan bahwa isi sastra anak lazimnya dibatasi oleh pengalaman dan pemahaman anak itu sendiri. Respon psikologis dan emosional tertentu yang ke luar pada dasarnya merupakan dunia nyata masa kanakkanak. Anak-anak jarang sekali melihat pengalaman hidup ke belakang, akan tetapi sebaliknya mereka justru lebih
banyak menatap ke depan. Seperti yang ada di perpustakaan SD saat ini seri legenda, seri dongeng klasik dari berbagai belahan dunia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan atau cerita yang berseting waktu dan tempat kehidupan saat ini. Kisah Seekor Angsa Emas, Ali Baba, Si Kikir, Raja dan Petani, Hakim yang Bijaksana, semua isi buku tersebut merefleksikan pengalaman hidup orang dewasa yang disajikan dengan kecermatan, kesabaran dan keuletan tokoh anak untuk diteladani oleh pembaca anak dengan pola pikir sederhana. Karakteristik penting sastra anak adalah bahwa kita tidak akan menemukan aspek sindiran dalam refleksi emosi anak-anak. Alam pikiran mereka selalu apa adanya, jujur dan selalu optimis dalam menatap kehidupan ke depan. Benar kata Charlotte dan Susan (1989) bahwa anak selalu tampil sangat cantik tatkala ada ketidakbagusan, dia selalu optimis tatkala orang dewasa menyerah. Akan tetapi bukan berarti tema sastra anak mesti seperti apa yang disajikan di atas, melainkan sastra tetaplah sastra berjalan sebagaimana kaidah yang seharusnya. Hal yang paling penting adalah bagaimana sastra bisa menjadi media pembinaan budi pekerti siswa, menanamkan kebiasaan anak membaca persoalan yang pantas ada dalam dunia anak. Pendek kata sastra anak adalah sastra yang memfokuskan perhatian pada kejujuran, kepahlawanan dan sifat kesatria dalam menghadapi tantangan. Karena itu tidak terlalu berlebihan jika Louis Rossenblatt (1983:4) mengatakan bahwa peran guru sastra mau tidak mau mempengaruhi pemahaman siswa mengenai kepribadian manusia dan kepribadian sosial. . Guru sastra yang pertama-tama harus diterima bahwa dirinya tidak bisa mengelak dari pengalaman manusia dalam hubungan sosial dan perbedaan personal mereka. Hanya sastra yang akan memaksa langsung kepada persoalan ini.
4 Jurnal Edukasi
Sebut saja novelis akan menyajikan seluk- beluk pertautan kepribadian manusia dengan pola emosi dan motif yang tersembunyi di balik diri manusia itu. Kita ambil contoh Kucing Bersepatu Lars, cerita klasik ini sangat bagus untuk membentuk karakter anak seusia anak SD. Pengembangan kepribadian melalui paparan tokoh kucing yang pintar, raja yang baik hati serta lelaki muda yang baik, akan mudah bisa diidentifikasi dan dimaknai oleh pembaca anak 8-12 tahun. Pesan moral sebagai inti dari cerita pun akan gampang dicerna oleh anak-anak Sekolah Dasar. Karena itu pantas sekali Louis Rossenblatt (1983:6) menyatakan: “Whatever the form - poem, novel, drama, biography, essay – literature make comprehensible the myriad ways in which human beings meet the infinite possiblities that life offer.Always too, in greater or lesser degree, the author has written out of scheme of values, a sense of sosial framework or even, perhaps, of a cosmic pattern”. Pendek kata hakekat sastra anak pada dasarnya adalah sastra yang cocok merefleksikan emosi dan pengalaman anak-anak saat ini. Untuk itu maka buku-buku anak-anak yang menggambarkan pandangan anak-anak adalah merupakan fokus dari sastra anak. Sedangkan kekhasan sastra anak sesungguhnya terletak pada audiens yang dimaksud oleh sastra anak tersebut. Penulis sastra anak lazimnya didasari oleh pengalaman dan masa kanak-kanak, tetapi masalah ini sangat luas dan lengkap. Seorang anak, menurut Myer (2001) pertama-tama belajar melalui peniruan, menyenangi tindakan dan pekerjaan peniruan, karena “belajar adalah sesuatu yang paling besar dari kesenangan tidak hanya terhadap pilsufnya belaka, akan tetapi terhadap
sandaran manusia”. Orang yang mengantarai seni memerintah manusia telah diyakini, bahwa nasib kekaisaran itu tergantung pada pendidikan pemuda. Dengan demikian, bukanlah slogan iklan yang mengada-ada jika para penerbit buku anak-anak menyatakan bahwa dua puluh menit kita membaca buku dengan anak-anak kita adalah sangat penting untuk masa depan anakanak kita. Bagi dunia bisnis, tentu saja tindakan ini di luar upaya yang mengasilkan uang, akan tetapi bagi penelitian profesional menunjukkan pesan ini mungkin benar adanya: kemudahan menguasai huruf, ketrampilan dalam memaknai dan mengkonstruksi naratif yang dipadukan dengan mendongeng merupakan pusat dari kebudayaan manusia dan juga perkembangan anak. Penelitian profesional melalui berbagai disiplin akademis telah menyatakan bahwa naratif adalah merupakan esensi dari pemikiran manusia, akan tetapi justru sedikit saja orang yang mau membeli buku. Dimisalkan bahwa vitamin dan makanan yang bergizi sangat baik untuk menjaga kesehatan masyarakat, begitu pula halnya berita dan bacaan naratif sangat baik untuk meningkatkan taraf intelektual dan bahkan moralitas sosial. Inilah yang tidak disadari oleh kebanyakan orang. Para ahli medis terus berupaya menemukan berita mengenai kandungan makanan untuk kesehatan, dan begitu pula orang-orang bijak terus berupaya menemukan cara-cara untuk menarik pembaca dengan memperbanyak bacaan pada sastra anak. Di sini pula pemahaman, apa yang kita baca sama artinya dengan memberi makan bagi otak kita, agar otak kita sehat dan berkembang. C. Menilai Sastra untuk Anak-anak Nilai-nilai Personal. Sastra dapat dinilai dalam berbagai seting, dan sastra memberikan pengayaan kehidupan
5 Jurnal Edukasi
pribadi anak-anak, dan begitu pula memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pendidikan. Charrlotte, Helper dan Hickman (1989:8) menyebutkan ada enam aspek yang tercakup dalam nilai personal : (1) memberikan kesenangan; (2) menguatkan naratif sebagai suatu cara berpikir; (3) mengembangkan imaginasi; (4) menawarkan pengalaman-pengalaman empati; (5) mengembangkan pandangan ke dalam prilaku manusia; (6) menyajikan universalitas pengalaman hidup. Memberi kesenangan. Target pertama dari penyediaan sastra adalah untuk memberikan kesenangan dan kegembiraan bagi para pembacanya. Akan tetapi justru apa yang mereka terima mengenai pembelajaran sastra di sekolah sebaliknya tidak memberikan kegembiraan yang dimaksud. Di sini nampaknya sastra menjadi tersangka adanya ketidakberhasilan ini. Padahal jika kita menyadari bahwa dengan sastra sesungguhnya kita bisa mendidik anak-anak dan sekaligus memberi hiburan pada mereka. Anak-anak seyogiannya mampu menemukan kesenangan dan kegembiraan dari buku yang mereka baca, sebelum mengungkapkan pertanyaan mengenai apa yang mereka baca. Charlotte dan Hickman (1989:9) mereka mampu menyatakan bahwa belajar membaca menyebabkan memberikan banyak pemahaman seperti halnya pemahaman pada belajar mengendarai sepeda; hingga ahirnya mereka akan tahu bahwa dari membaca akan memberikan kesenangan bagi dirinya. Sebagai misal seorang anak akan merasa penasaran dengan tokoh kartun, atau cerita Labu Ajaib, Sang Penenun dan Penggembala, dan Kancil dan Buaya. Mereka akan mencari kelanjutan cerita itu sampai selesai dengan cara membacanya sendiri dari buku yang ada di sekitarnya. Penguatan naratif sebagai satu cara berpikir. Mendongeng adalah sebuah tradisi lama para orang tua yang
sama tuanya dengan sejarah manusia. Tradisi ini merupakan sebuah kearifan orangtua dalam mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada anak-anak melalui cara yang menyenangkan dan sesuai dengan dunia anak. Begitu pula bercerita mengenai pengalaman kepahlawanan, petualangan di depan anak, merupakan sebuah pola pengembangan proses berpikir anak-anak yang dikondisikan oleh orang dewasa dalam bentuk narasi. Charlotte dan Hickman (1989) menyatakan lebih lanjut bahwa jika kita berpikir dalam bentuk naratif artinya ini merupakan karakteristik bentuk pemikiran orang dewasa, kendatipun sesungguhnya bahwa berpikir naratif ini merupakan ciri khas dari pola berpikir anak-anak. Mengembangkan imajinasi. Hal yang sangat menarik untuk dikaji dalam pembelajaran sastra anak menurut Charlotte dan Hickman (1989) adalah bahwa sastra dapat mengembangkan imajinasi anak dan membantu mereka agar bisa memperhatikan alam, masyarakat, pengalaman, atau gagasangagasan dalam cara-cara baru. Kita ambil contoh dalam cerita Putri Bulbul, anak bisa beridentifikasi dengan kehidupan di alam sekitar. Di sini para siswa menyenangi sifat-sifat burung bulbul yang sangat perhatian, dan mengambil kesimpulan sikap burung elang yang jahat. Sifat-sifat itu merupakan representasi sifat dasar manusia yang jahat dan yang baik. Dalam cerita hantu, legenda, dan mitos pengarang berupaya mempengaruhi pembaca agar mampu menorehkan pengalaman imajinasinya terhadap dunia yang dibawakan dalam cerita. Kita menggaris bawahi bagaimana pesan dan peristiwa mitos yang terjadi dalam cerita Cinderela. Bettelheim (Charlotte dan Hickman, 1989: 11) mengatakan, “ Fairy tales have unequaled value, because they offer new dimensions to the child’s imagination which would be impossible for him to discover as truly on his own.”
6 Jurnal Edukasi
Bettelheim meyakini bahwa mengembangkan imajinasi anak-anak nampaknya sangat penting dilatih dan dikembangkan melalui rangkaian peristiwa yang tersusun, agar konsep pemikiran anak terlatih untuk menarik kesimpulan dan tumbuh kemampuan merespon keadaan dengan logika yang wajar. Menawarkan berbagai pengalaman. Anak membaca sastra pada dasarnya anak sedang mejelajahi dunia di luar dirinya. Pembaca anak diperkenalkan kepada pengalaman baru yang mungkin bisa sama sekali asing bagi dirinya, dan mungkin pula merupakan pengulangan dari kehidupan yang lazim terjadi dalam rutinitas kehidupannya. Karena itu, Charlot dan Hickman (1989: 11) menyatakan bahwa anak yang berpengalaman dengan sastra artinya dia mempunyai perspektif baru mengenai dunia, dan penulis yang baik dapat mengantarkan pembaca kepada tempat dan waktu yang lain, serta menjelajahi ruang kehidupan dirinya. Pembaca akan merasa terpaut dengan kehidupan lain seperti halnya dia sedang merasakan sendiri kehidupan yang terjadi dalam cerita. Misalnya, dalam cerita Guliver dan Orang Liliput, anak-anak membayangkan di mana lokasi peristiwa ini terjadi dan kapan kejadian ini berlangsung, apakah suku bangsa Liliput ini sekarang masih ada, serta mengapa kondisi tubuhnya itu kerdil? Karya sastra yang ditulis oleh penulis yang baik akan mampu memberikan pengalaman dan informasi mengenai peristiwa dan keadaan kehidupan masyarakat pada satu waktu, alih-alih keadaan itu dipaparkan secara khusus bukan dalam bentuk karya sastra. Ambil contoh, dalam novel Pangeran Kornel, para pembaca novel ini akan merasa sedang diajak menyaksikan kehidupan di Kadaleman Sumedang yang penuh dengan tipu muslihat. Dalam Sukreni Gadis Bali, karya AA Navis, pembaca akan merasa
sedang diajak menyaksikan seluk-beluk nasib realitas masyarakat tradisional Bali saat itu. Anak akan bisa mengenal tradisi masyarakat saat itu melalui novel ini jauh lebih lengkap dan menyenangkan, alih-alih menerima informasi melalui pelajaran khusus sejarah. Kekuatan ini diakui oleh Charlotte dan Hickman (1989) bahwa, “A history textbook tells; a quality piece of imaginative writing has the power to make the reader feel, to transport him to the deck of a slave ship and force him into the hold until he chokes on the very horror of it.” Ada kata kunci dari pernyataan itu yakni sejarah hanya memberitahu, efek psikologis dari diberi tahu adalah gampang tahu tapi cepat lupa. Kata kunci kedua adalah karya imajinatif mempunyai kekuatan untuk merasakan dan menghanyutkan perasaan pada peristiwa yang terjadi pada satu masa. Efek psikologis dari merasakan lazimnya lebih mengakar dalam batin pembaca, sehingga akan lebih lama tertanam dalam ingatan dan bisa membangkitkan rasa empati pada keadaan tertentu. Mengembangkan pandangan ke dalam prilaku manusia. Sangat diakui bahwa sastra itu menggambarkan kehidupan sosial tempat sastra itu berada, tapi hampir tidak ada yang menggambarkan sepenuhnya gambaran kehidupan. Artinya, warna kehidupan imajinasi akan selalu ditemukan dalam karya itu, sebagai pewarna dan ciri khas karya sastra. Sastra sebagai alat bisa mempunyai kekuatan untuk membentuk dan menautkan pandangan pembaca muda pada pola prilaku manusia pada masa lalu. Karena menurut Charlotte dan Hickman (1989) bahwa sastra berkaitan dengan perasaan dan kualitas kehidupan, bahkan sastra akan bisa mendidik hati dan juga pemikiran. Oleh sebab itu Chukovsky (Charlotte dan Hickman, 1989:12) seorang penyair Rusia mengatakan: “The goal of everyteller consists of fostering in the child, at
7 Jurnal Edukasi
whatever cost, compassion and humaness, this miraculous ability of man to be disturbed by another being’s misfortune, to feel joy about another being’s happiness, to experience another’s fate as your own.” Menghadirkan universalitas pengalaman. Sastra sebagai refleksi kehidupan yang jujur, terus-menerus menanyakan pertanyaan universal mengenai arti kehidupan dan pertautan manusia dengan lingkungannya. Tidak salah kiranya apabila kita menyebutkan bahwa novel itu adalah potret yang paling terang dan indah mengenai kehidupan manusia. Dari gambaran potret kehidupan ini orang akan pembelajaran yang cukup berharga mengenai prestasi kehidupan. Sastra memungkinkan kita bisa menjalani kehidupan baik atau jelek, dan belajar memulai melihat keuniversalan pengalaman manusia. C. Mengembangkan Pemahaman Cerita Tugas guru Bahasa Indonesia pada pendidikan dasar yang terpenting adalah memberikan motivasi agar anak senang membaca. Guru harus mampu meyakinkan bahwa dengan membaca, anak-anak akan memperoleh kesenangan tersendiri dari apa yang dibaca. Guru meyakinkan bahwa membaca adalah kebutuhan hidup. Sedangkan bagi anakanak Sekolah Dasar untuk memotivasi kesukaan membaca, guru bisa memulai dengan proses guru bercerita (mendongeng) agar siswa merasa penasaran untuk menemukan sendiri mengenai isi cerita tersebut. Para siswa yang lebih pokok mestinya diarahkan untuk mendengarkan cerita yang dibacakan atau yang disajikan guru. Langkah ini akan memberikan pengaruh yang cukup kuat bagi perkembangan minat untuk membaca pada siswa tingkat dasar. Frank Smith (dalam Charlotte dan Hickman, 1989) menyatakan bahwa anak-anak harus akrab dengan bahasa
buku, bahasa ini bukanlah bahasa yang biasa didengar dan diucapkan di lingkungan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dan sangat tidak realistis apabila kita mengharapkan mereka untuk mempelajari gaya yang tidak dikenal pada waktu yang bersamaan dengan belajar membaca. Menurut Charlotte juga, bahwa mendengarkan cerita (dongeng) bagi anak-anak bisa berarti memperkenalkan pola-pola bahasa dan memperluas kosakata serta makna. Anak-anak semakin banyak pengalaman berkenalan dengan sastra , maka akan semakin besarlah kemampuan mereka untuk menangkap makna dan pesan moral dari cerita yang disajikan itu. Anak-anak akan mempunyai kemampuan menebak yang cukup besar dari cerita yang disajikan pencerita. Mereka juga akan semakin tajam pikirannya untuk menjadikan dirinya mencontoh prilaku kepahlawanan tokoh yang menjadi idolanya. D. Sastra dan Berpikir Kritis Muara dari proses pendidikan, termasuk di dalamnya pengajaran sastra, adalah melatih para siswa agar menjadi pemikir kritis. Indikator seseorang mempunyai kemampuan berpikir kritis adalah ketajaman emosi dalam menyikapi setiap persoalan, baik yang bersifat praktis maupun teoritis. Siswa mampu menempatkan dirinya ketika menghadapi masalah, sehingga pada gilirannya dia akan mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan proporsi yang seharusnya. Menurut Charlotte dan Hickman (1989) bentukbentuk proses tindakan yang termasuk komponen berpikir kritis yang diakui secara umum oleh para pendidik dan ahli sastra adalah membandingkan, menyimpulkan, dan menemukan gagasan utama. Karena itu dalam buku bahan ajar Bahasa Indonesia dan pelajaran bahasa lainnya, aktifitas-aktifitas itu selalu ditemukan dan bahkan
8 Jurnal Edukasi
mendominasi tes materi pemahaman wacana sastra secara keseluruhan. Sebagai contoh dalam cerita Gajah dan Semut, ada ide yang bisa dibandingkan dengan kehidupan masa lalu bangsa Indonesia ketika melawan penjajahan Belanda. Semut ditamsilkan sebagai rakyat kecil yang tidak berdaya, dan gajah sebagai simbol penjajah yang bisa berbuat semena-mena. Dengan persatuan yang kompak ternyata gajah bisa dikalahkan oleh semut yang sangat kecil, sama halnya dengan sejarah Pangeran Diponegoro, melawan penjajah Belanda hanya semata-mata mengandalkan kesatuan rakyat tanpa senjata meyakinkan. Dalam penyajian cerita itu para siswa bisa memetik pesan kepahlawanan yang sangat penting ditanamkan dalam jiwa anak-anak sejak dini. E. Pembelajaran dengan Sastra yang Terintegrasi Kita amat memaklumi bahwa jika tujuan kita mempertajam kemampuan berpikir logika, berilah anak penajaman dengan ilmu-ilmu eksakta. Tetapi jika kita ingin mempertajam empati, kehalusan rasa dan kepekaan emosional, maka ajarkanlah sastra. Carole Cox (1998) menyatakan bahwa sastra mempunyai tiga manfaat: (1) memperluas minat dan dorongan hati siswa untuk menyimak, berpikir, berbicara, menjawab dan membangun ide-ide; (2) memperluas kebebasan membaca siswa dalam berbagai subjek yang diminati siswa; (3) sastra juga memperluas pembelajaran sastra melalui kurikulum, yang mengintegrasikan seni bahasa dengan berbagai bidang isi. Berikut ini ada beberapa strategi pengajaran bahasa bagi penutur asing, yang mungkin bisa diberdayakan untuk mengembangkan ide-ide mereka. Membaca Nyaring. Ada banyak strategi untuk memberdayakan aktifitas membaca nyaring, yakni dengan cara mempola : lingkungan kelas, memilih
buku anak-anak, menjadwalkan waktu dan kesempatan untuk membaca . Lingkungan kelas. Meciptakan kelas sebagai perpustakaan dan pusat buku. Kemudian merancang rak buku, pajangan buku dengan bagian punggung buku menghadap keluar. Menyediakan kursi yang nyaman untuk membaca dan yang lainnya khusus untuk keperluan membaca. Memilah-milah buku anakanak. Ini merupakan bagian dari tugas pustakawan sekolah untuk membantu guru memilih dan memilah buku untuk bacaan anak-anak mereka. Selain dari itu juga guru atau pustakawan bisa mengupayakan cara memilah buku ini melalui jurnal, daftar buku, dan bibiliografi khusus. Membuat jadwal waktu dan kesempatan membaca. Carole Cox (1998) menasihatkan lima cara untuk siswa membaca buku di dalam kelas: (1) Reading aloud (membaca nyaring), di sini guru seharusnya membaca beberapa kali dalam sekali pertemuan kepada seluruh kelas atau kelompok membaca. Bukubuku bergambar bahkan sangat tepat disajikan pada kelas-kelas bawah, seperti halnya buku-buku produksi Walt Disney, akan merupakan sajian yang baik juga bagi siswa-siswa kelas empat ke bawah. Sedangkan bagi kelas lima ke atas akan tepat dibacakan satu bab setiap kali pertemuan, baik hanya sekedar untuk kesenangan maupun untuk memancing respon pembaca siswa; (2) reading along (membaca sendiri terus menerus), di sini para siswa mempunyai juga buku yang sama dengan guru, kemudian guru membimbing mereka untuk melengkapi bagan atau skema mengenai isi cerita yang mereka baca; (3) buddy reading (membaca berpasangan), di sini para siswa bisa membaca cerita yang sedang disajikan dalam kelompoknya, pada saat guru sedang membimbing kelompok lain. Sedangkan untuk menguji pemahaman mereka, guru menyiapkan lembaran kerja yang harus dikerjakan setelah mereka
9 Jurnal Edukasi
membaca; (4) Sustained silent reading, dalam cara ini seluruh siswa dan guru aktif membaca dalam hati buku yang dipilih masing-masing; (5) Wide independent reading, dalam cara ini siswa bebas memilih buku dan membacanya berdasarkan apa yang mereka sukai, baik dari segi tema ataupun aspek lainnya, dan ini bisa dilakukan pada kelompok membaca. Untuk membuat perkiraan waktu berikut ini dipaparkan tabel waktu membaca. Jenis Membaca Rentang Waktu Durasi perhari Reading aloud 15 – 20 menit 2 – 3 kali Reading along (sjared reading) 30 – 40 menit 1 – 2 kali Buddy reading 15 – 20 menit 1 – 2 kali Sustained silent reading 15 – 20 menit 1 – 2 kali Independent reading 15 – 60 menit 2 – 3 kali F. Diskusi Topik Guru perlu menyediakan waktu untuk membicarakan topik bacaan, baik sebelum proses, sesudah maupun ketika sedang proses membaca dilakukan. Langkah ini menurut Eeds dan Wells (1989), Eeds dan Peterson (1991) diskusi ini akan merupakan percakapan besar (grand convensation), karena kesempatan itu akan merupakan saat terkaya untuk merefleksikan apa yang dibaca siswa, sehingga guru akan mengetahui sampai sejauh mana tanggapan mereka terhadap bacaan, dan selanjutnya dari sini guru bisa merencanakan langkah kegiatan membaca serupa pada kesempatan berikutnya. G. Pertanyaan Mengenai : Aestetis, Eferen, dan Unsur Cerita Kalau kita memperhatikan pendapat Rosenblatt (1982) bahwa betapa banyak pengalaman yang bisa
ditanamkan pada diri siswa jika kita mengajar sastra anak antara lain adalah tanggung jawab utama untuk mendorong persepsi aestetika anak terhadap persoalan yang dihadapinya. Akan tetapi kenyataan yang ada di dalam kelas justru para pengajar bukannya membangun persepsi diri anak terhadap masalah inti yang dibawakan dalam bacaan sastra itu, melainkan hanya untuk menemukan sejumlah informasi belaka, mereka menggunakan pendekatan yang berpusat pada teks dan guru semata-mata. Permasalahannya sekarang, bagaimana langkah untuk mengungkap aspek aestetis dan informasi khusus yang menjadi target dari wacana berdasarkan persepsi siswa? Langkah ini bisa tempuh langsung dengan melempar pertanyaan yang memerlukan jawaban aspek aestetika dan informasi khusus yang ingin diperoleh dari wacana yang mereka baca. Jika para siswa dipandang cukup untuk memberi respon pribadi mengenai aspek eastetis, guru bisa melanjutkan pada aspek unsur cerita. Di sini guru memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengkritisi cerita lebih mendetail dengan pendekatan analisis. Sloan (1984, dalam Carole Cox, 1989) menyarankan bahwa guru bisa memberikan pertanyaan untuk membimbing siswa pada pemahaman yang lebih baik mengenai unsur dan struktur cerita, seperti : latar, alur, tokoh, cara pengisahan, tema, dan struktur ceritanya. H. Kesimpulan Sastra adalah cermin budaya bangsa, simbol identitas kepribadian bangsa. Karena itu untuk memahami bagaimana kepribadian satu bangsa dimana masyarakat sosialnya, kita bisa menganalisisnya melalui karya sastra yang ada dalam lingkungannya. Begitu pula sastra anak merupakan media pendidikan yang paling filosofis, penuh dengan nilai-nilai kehidupan prinsipil,
10 Jurnal Edukasi
yang patut diteladani oleh penikmat sastra itu. Sastra anak ini sengaja dibuat oleh orang-orang arif untuk mendidik mereka dengan cara yang menyenangkan, karena disajikan dalam konteks yang relevan dengan dunia anak. Dengan sastra anak sesungguhnya kita melatih berpikir kritis pada diri siswa sedini mungkin. Membelajarkan dengan sastra pada dasarnya membelajarkan konsep
secara terintegrasi dengan cara menyenangkan. Strategi yang bisa ditempuh guru untuk mengupayakan siswa mengenal dan menyenangi sastra bisa dengan cara : manajemen lingkungan kelas, pemilahan buku, penjadwalan membaca yang tepat dan strategi proses membaca yang terkoordinir dengan telaten.
Daftar Bacaan: Cox, Carole (1998). Teaching Language Arts: A Student – And Response – Centered Classroom.Boston, London, Singapore : Allyn and Bacon. Huck, Charlotte. Helper, Susan, and Hickman, Janet (1989). Children’s Literature in The Elementary School. 5th Edition. Philadelphia, San Diego, New York, London : Harcourt Brace College Publisher. MD, Jajak (2005). 15 Dongeng Pavorit. Jakarta : Progress. Rosenblatt, Louise, M. (1983). Literature As Exploration. New York : The Modern Language Association of America. Schleifer, Ronald (2001). The Encyclopedia Americana International Edition. Dan Burry: Connecticut : Glorier. Sutrisno, Indira (2003). Perjalanan guliver di Negeri Orang Kerdil. Jakarta : Progress. Sunindyo, Irene (2004). Kisah Seekor Burung Bul-bul (Dongeng Klasik). Jakarta : MM Corp.
11 Jurnal Edukasi