Pembelajaran Sains: Wahana potensial untuk membelajarkan soft skill dan karakter (Disajikan pada seminar nasional pendidikan IPA di Universitas Lampung pada tanggal 26 November 2011)
Anna Permanasari Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI Abstrak Pembelajaran sains pada dasarnya bertujuan untuk membangun literasi sains siswa. Hal ini sejalan dengan harapan pemerintah dalam PP No. 19 tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan Pasal 6 ayat (1), pembelajaran sains memiliki lingkup untuk mengenal, merespon, mengapresiasi dan memahami sains, mengembangkan kebiasaan berpikir ilmiah seperti berpikir kritis dan kreatif, mandiri, dan memiliki sikap pisitif. Pendidikan pada dasarnya dapat digunakan oleh siswa sebagai motor untuk mempelajari dirinya sendiri dan lingkungannya, serta dapat menerapkan pengetahuannya untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran seharusnya difokuskan pada penyediaan pengalaman langsung melalui proses inkuiri ilmiah. Jadi pada hakekatnya, pembelajaran sains yang benar harus dapat membangun soft skills dan hard skills, dimana keduanya harus diberikan secara sinergis. Pembelajaran sains yang memaksimalkan aktifitas siswa melalui inkuiri ilmiah sangat potensial mengembangkan keduanya. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan adalah kontekstual, inkuiri, problem based learning, problem solving, learning cycle, dan pendekatan lain yang berbasis paradigm konstruktivisme. Pada hakekatnya, pembelajaran soft skills bukan dibelajarkan, melainkan dicontohkan. Oleh karena itu, dosen yang mendidik calon guru harus mampu menjadi model, sementara guru harus mampu menjadi model bagi siswa nya. Pendahuluan Sebelum kita membahas bagaimana pembelajaran sains yang mampu membelajarkan softskills, lebih baik kita melihat sejenak berbagai berita baik di Koran maupun di majalah atau sumber berita lainnya, yang mewartakan betapa kita pendidik ternyata belum mampu mendidik anak-anak kita menjadi manusia-manusia seperti yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional kita. Tawuran antar pelajar, perkelahian antar anggota DPR yang terhormat, kasus-kasus penganiayaan oleh sesama pelajar (bullying), pergaulan bebas, demonstrasi anarkis, korupsi yang meraja lela, merupakan contoh produk kesemrawutan pendidikan di Indonesia. Belum lagi masalah lingkungan yang semakin rumit, masalah sampah, masalah eksploitasi kekayaan bumi yang
semakin tidak terkendali. Semua ini merupakan cerminan belum terkelolanya pendidikan secara serius. Apa yang harus kita lakukan sebagai pendidik atau calon pendidik? Mari kita berbuat sesuai dengan tugas kita, mendidik siswa dengan benar. Oleh karena bidang keahlian kita dalam pendidikan matematika dan sains, maka mari kita refleksikan apa yang selama ini telah kita lakukan bagi dunia pendidikan. Apakah telah memberikan kontribusi positif? Ataukah sebaliknya kitalah yang membuat negeri kita menjadi carut-marut seperti ini? Dalam makalah ini pembahasan akan dibatasi pada hal-hal yang berhubungan dengan dunia pendidikan sains saja. Kurikulum Sains di Indonesia Kurikulum sains yang berlaku untuk sekolah kita sejak jaman Orba bisa dikategorikan sebagai kurikulum yang condong pada pengajaran sains sebagai produk, yaitu berisi transfer pengetahuan berupa fakta-fakta, prinsip-prinsip, teori-teori
dan
hukum-hukum
sains
kepada
siswa
oleh
guru.
Model
pengajaran sains berbasis buku teks ini sesuatu yang tidak dihindari karena kita memang melakukan adopsi isi kurikulum dari negara maju dengan usaha yang minim untuk menjadikannya lebih kontekstual dengan kondisi dan situasi belajar dimana siswa berada. Sains pada kurikulum baru yang sekarang sudah disahkan pun yang dinamakan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), isinya kalau diamati tidak lebih dari perubahan urutan materi pelajaran saja yang harus diajarkan pada siswa dibanding dari kurikulum sebelumnya Sebenarnya, apa uraian SK dan KD yang sekarang digunakan tidak mengacu pada tujuan pendidikan sains sepenuhnya. Permendiknas No.22 tahun 2006 menyatakan bahwa standar isi mata pelajaran sains harus memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan kompetensi yang dibutuhkan oleh kehidupan mereka sekarang dan masa yang akan datang. Hasil kajian mendalam yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum Sejak dua tahun terakhir menunjukkan bahwa aspek konten sains dalam standar telah memadai untuk seluruh level, tetapi di beberapa materi terlihat adanya gap diantara level pendidikan. Disamping itu, kedalaman dan keluasan materi tidak dinyatakan secara eksplisit, sehingga pada implementasinya sangat
tergantung dari keahlian guru/penulis buku yang akibatnya pemahaman siswa terhadap konetn menjadi sangat beragam. Pada
beberapa
aspek,
keterampilan
berpikir
kritis
telah
mulai
dikembangkan, tetapi umumnya tidak terstruktur, dan disana sini terlihat kurangnya relevansi dengan tingkat kompetensi. Sebagai contoh, beberapa keterampilan berpikir tinggi muncul di SMP tetapi Kelemahan
lainnya
dari
standar
isi
adalah
tidak terlihat di SMA. sangat
lemah
dalam
mengembangkan kompetensi tentang bagaimana menggunakan sains untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, Indonesia sangat potensial mengalami gempa bumi, tetapi belum terantisipasi dalam standar isi. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional bahwa
peran
pendidikan
nasional
adalah
untuk
mengembangkan
keterampilan dan membangun karakter serta membangun kebanggaan bangsa dalam konteks kehidupan bernegara, bertujuan untuk mengembangkan potensi pebelajar untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan YME, mulia, sehat, berpengetahuan, mampu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan memiliki tanggung jawab yang baik. Jadi jelaslah, bahwa di luar lemahnya standar isi pelajaran sains dalam memuat pembelajaran karakter, sebenarnya pembelajaran karakter sudah merupakan tujuan utama dalam sistem pendidikan kita. Pembelajaran karakter sangat erat kaitannya dengan pengembangan soft skills. Jadi sebenarnya yang menjadi permasalahan kita adalah bagaimana membelajarkan karakter atau soft skills pada anak didik kita? Apa soft skills itu? Sebelum mengulas bahasan tersebut, saya akan membawa anda semua berdiskusi tentang takdir. Setujukah anda dengan salah satu pernyataan bahwa: takdir itu merupakan pemberian tuhan? Dan kita tidak dapat melawan takdir? Banyak orang malas yang menjadikan takdir sebagai dalih atas kemalasannya. Padahal takdir itu bisa diubah. Allah yang menentukan takdir kita, tetapi Allah pula yang berkuasa untuk mengubah takdir kita, sehingga kita memiliki takdir yang baru. Bagaimana takdir tersebut berubah? Dengan do’a dan usaha tentu saja.
Beberapa sumber menyatakan bahwa berubahnya takdir berawal dari pikiran, yang kemudian diaktualisasikan dalam tulisan atau kata-kata. Tidak cukup kata-kata, melainkan harus diimplementasikan dalam tindakan. Tindakan yang berulang-ulang dilakukan akan menjadi kebiasaan yang pada akhirnya akan membangun karakter seseorang. Karakter inilah yang akan membawanya kepada takdir. Berpikir dapat saja dimulai dengan bermimpi (kata lebih tinggi dari bercita-cita). Pernahkan anda menggantungkan cita-cita setinggi langit? Pernahkan anda mempunyai impian sebagai guru? Apabila ya, maka anda akan berhasil menjadi seorang guru kelak. Semua langkah-langkah di atas memerlukan keterampilan, diantaranya keterampilan berpikir, keterampilan berkomunikasi, keterampilan bertindak secara konsisten, keterampilan mengelola tindakan, dan lainnya. Keterampilan-keterampilan tersebut pada hakekatnya merupakan wujud soft skill seseorang. Keterampilan berkomunikasi, keterampilan berpikir kritis dan kreatif dan lainnya akan sangat berkembang apabila sesorang memiliki pengetahuan. Kemampuan dalam memahami pengetahuan dikategorikan pada hard skills. Dengan demikian, seseorang dikatakan unggul apabila memiliki soft skills dan hard skills, dinama keduanya dapat dikembangkan dan digunakan dengan saling bersinergis. Jadi, soft skills adalah sifat personal dan interpersonal yang mengembangkan dan memaksimalkan kinerja seseorang. Kemampuan membimbing, melatih, membangun tim, membuat inisiatif, dan menyimpulkan adalah contoh soft skills yang seseorang yang berpotensi sebagai manager. Seorang pemain bola memiliki hard skills seperti menendang bola, berkelit, melakukan tendangan penalty, menyerang atau mengocok bola. Namun demikian, tidak akan sempurna bila tidak diiringi dengan keahlian dalam bekerja sama, gigih dan berani, sportif, mengambil inisiatif, dan berani mengambil keputusan. Bagaimana membelajarkan soft skills pada siswa? Soft skills seyogyanya tidak diajarkan, melainkan ditularkan. Oleh karena itu, agar siswa kita mampu membangun soft skills nya, maka kita sebagai guru harus mengidap terlebih dahulu soft skills tersebut. Bagaimana caranya? Yang pertama adalah disiplin diri. Disiplin merupakan kunci utama menuju pengembangan soft skills lainnya. Tanpa disiplin mustahil seseorang mampu menggapai mimpinya. Selanjutnya meyakini bahwa bersikap baik itu penting. Tidak ada orang yang bersikap baik itu merugi, meskipun kadang-kadang kita sering melihat orang yang bersikap baik malah seringkali di zalimi orang. Tetapi sebenarnya dia tidak merugi, suatu saat pasti orang baik akan memperoleh kebaikan pula. Yakinlah akan hal ini.
Tanggung jawab, jujur dan menghargai orang lain merupakan hal lain yang dapat membangun soft skills seseorang. Demikian pula membuka komunikasi dengan orang lain adalah wujud keterampilan interpersonal yang merupakan bagian dari softskills. Hal yang paling penting untuk membangun soft skills siswa adalah ajaklah siswa belajar sains atau belajar lainnya dengan menggunakan berbagai teknik dan strategi pembelajaran yang dapat mengakomodasi pengembangan soft skills. Teknik/strategi pembelajaran apa yang dapat digunakan? Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, tujuan utama pembelajaran sains adalah membangun literasi sains siswa. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD, 2003) mendefinisikan literasi sains sebagai kapasitas seseorang untuk menggunakan pengetahuan tentang sains
untuk
mengidentifikasi
pertanyaan,
membuat
keputusan
yang
didasarkan atas fakta untuk memahami alam semesta, dan membuat keputusan terhadap perubahan yang terjadi karena aktivitas manusia. Literasi sains sangat penting untuk dikuasai oleh siswa dalam hubungannya dengan bagaimana siswa dapat memahami lingkungan, kesehatan, ekonomi, dan permasalahan lainnya dalam masyarakat modern ini, yang sangat tergantung dari teknologi dan pengetahuan sains. Selain itu perlu kita pahami, bahwa literasi sains siswa adalah kunci keberhasilan pendidikan sains pada siswa berumur 15 tahun-an. Apabila dia berhasil belajar sains dengan baik, maka dia akan terus belajar sains. Akan tetapi bila tidak berhasil, maka siswa akan berhenti belajar sains Berpikir ilmiah diperlukan tidak hanya oleh para saintis, tetapi juga oleh semua
masyarakat.
Pemerintah
menetapkan
literasi
sains
sebagai
keterampilan generic yang merefleksikan pemahaman masyarakat terhadap kejadian
di
lingkungan
dan fenomena
alam,
serta
hal lainnya
yang
berhubungan dengan kehidupan. Inilah, mengapa literasi sains bukan hanya milik siswa di sekolah, tetapi bagi orang di luar sekolah pula. Dari uraian di atas jelaslah, bahwa apabila kita membelajarkan sains sesuai dengan prinsip membangun literasi sains siswa, maka berarti kita
sedang membangun soft skills yang disinergiskan dengan hard skills (pengetahuan tentang sains). Pebelajaran
sains
untuk
membangun
literasi
sains
siswa
dapat
dilakukan dengan berbagai pendekata/strategi yang semuanya bertumpu pada “student active learning”. Pembelajaran yang berpusat pada siswa, sudah pasti berbasis pada proses inkuiri ilmiah dengan prinsip konstruktivisme. Beberapa pendekatan pembelajaran yang dapat mengembangkan literasi sains siswa adalah pendekatan based
learning,
kontekstual,
learning
sains teknologi dan masyarakat, problem
cycle,
dan
pendekatan
inkuiri.
Selain
itu,
pembelajaran sains harus berorientasi pada proses berpikir kritis dan pemecahan masalah atau “critical thinking-oriented and problem solvingoriented model”, juga memperhatikan pengembangan “local wisdom” dalam pembelajaran.
Untuk
pertentangan pendekatan
antar
mengatasi etnis,
pembelajaran
maka
permasalahan pembelajaran
multicultural,
yang
muncul
perlu
sehingga
seperti
mengakomodasi
dapat
menciptakan
kebersamaan, empati, serta saling menghargai diantara siswa.
Gambar
2. Pembelajaran yang mempertimbangkan aspek multikultural, dengan konsep dialogis dan berpikir kritis dapat membangun karakter bangsa
Pembelajaran aktif berhubungan dengan keseimbangan kerja otak kiri dan otak kanan manusia. Penelitian baru-baru ini menyatakan bahwa hemispher cortex kanan manusia bekerja 10.000 x lebih cepat dari pada yang kiri. Penggunaan bahasa (berkomunikasi oral) membuat manusia berpikir secepat kata-kata. Limbik (hemisphere lebih dalam dari otak) bekerja 10.000 kali lebih cepat dari pada korteks kanan, dan bagian tersebut mengendalikan dan melaksanakan seluruh proses di korteks kanan. Hal ini lah yang menyebabkan, kadang-kadang proses mental lebih cepat dibandingkan dengan bekerja atau berpikir (Win Wenger, 2003:12-13). Strategi yang digunakan dalam
pembelajaran
konvensional
umumnya
menggunakan
otak
kiri,
sementara kerja otak kanan diabaikan. Dalam pembelajaran aktif, penguatan otak kanan dan kiri berjalan seimbang. Thorndike (Bimo Wagito, 1997) lebih lanjut menyatakan tiga hukum dalam belajar, yaitu: (1). law of readiness, the readiness one to do to accelerate the relation between stimulus and respond (2). law of exercise, tests and examples that should be done will accelerate the relation between stimulus-respond (3). law of effect, the relation between stimulus and responds would be better if it can lead fun things, and this is tend to be repeated.
Gambar. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan membangun soft skills dan hard skills siswa
untuk
Dari hasil kajian lapangan terungkap bahwa umumnya pembelajaran sains masih berlangsung satu arah. Guru lebih domina karena metode dan pendekatan yang digunakan tidak merefleksikan siswa aktif. Pada banyak kasus ditemukan pula bahwa masih sedikit guru yang memahami berbagai model/pendekatan pembelajaran aktif. Mereka menyatakan dalam RPP bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan siswa aktif, tetapi tidak terrefleksikan dalam pembelajaran riil di kelas. Hal ini menjadi salah satu penyebab
mengapa
pembelajaran
sains
di
Indonesia
masih
tetap
memprihatinkan. Di banyak tempat, masyarakat mengeluhkan rendahnya literasi sains siswa, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh PISA (Programme for International
Student
Assesment
yang
diorganisir
oleh
OECD,
2009)
menunjukkan fenomena di atas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir sebagian besar siswa SMA (41 %) hanya memiliki pengetahuan yang terbatas
terhadap sains, dan hanya dapat mengaplikasikannya pada situasi yang umum saja. Lebih lanjut terungkap, tidak ada siswa yang secara konsisten dapat mengidentifikasi, menjelaskan, dan mengaplikasikan pengetahuan sains pada situasi kehidupan yang lebih kompleks. Begitu pula, terungkap bahwa masih ada siswa indonesia (6.9%) yang tidak memiliki kemampuan literasi sains Salah satu factor lain rendahnya literasi sains siswa adalah karena teknik asesmen nya. Di satu sekolah pavorit, rata-rata perolehan siswa dalam sains lebih besar dari 84 (skala 100). Di beberapa kota besar di Jawa, Bali dan Sumatra, rata-rata nilai UN lebih besar dari 7 (skala 10). Apakah hal ini merefleksikan yang sesungguhnya terhadap kemampuan literasi sains siswa? Jawabannya adalah : tidak ….. Mengapa? Karena kita tahu bahwa criteria asesmen yang digunakan dalam UN tidak mengakomodasi secara penuh criteria untuk mengases literasi sains. Menurut Shwartz (2006), literasi sains akan meningkat secara kontinyu selama hidup seseorang. Inilah sebabnya mengapa asesmen literasi sains siswa harus dilakukan secara kontunyu selama periode belajar tertentu. Jadi pada dasarnya, penilaian yang dilakukan oleh PISA dan juga oleh sekolah hanya mengukur "Seeds of literacy" siswa, bukan mengukur secara absolute. Beberapa ahli menyatakan criteria penilaian literasi sains. Shen. Dkk (Dalam Scwartz, 2006) menyatakan tiga criteria, yaitu literasi fungsional, literasi masyarakat, dan literasi budaya. Kriteria ini sangat relevan untuk menilai literasi sains masyarakat. Bybee dalam shwartz (2006) menyarankan 5 level untuk penilaian literasi sains siswa, yaitu scientific literacy, Nominal scientific literacy,
functional
scientific
literacy,
conceptual
scientific
literacy,
dan
multidimentional literacy. PISA, diperkuat oleh Shwartz menetapkan 4 domain dalam mengukur literasi sains siswa, yaitu konten sains, proses sains, konteks sains, dan nilai/sikap.
Jadi
jelaslah,
bahwa
penilaian
PISA,
tidak
hanya
pada
pengukuran pemahaman siswa terhadap konsep sains saja, melainkan juga
pada proses dan keterampilan menggunkan pengetahuan sainsnya dalam kehidupan, dan bagaimana siswa merespon fenomena sains. Penutup Jadi sebenarnya, banyak hal yang harus diperbaiki dalam pembelajaran sains, apabila kita ingin benar-benar mencapai tujuan ahir pembelajaran sains yang membangun soft skills dan hard skills secara seimbang. Proses pembelajaran yang diperbaiki, proses asesmen yang mencakup kedua aspek tersebut, serta niat yang kuat, tulus, dan ikhlas, dari guru untuk membangun bangsa.
Penggunaan
berbagai
pendekatan
dalam
pembelajaran
yang
berorientasi pada siswa aktif menjadi hal yang tidak perlu ditawar lagi, sudah menjadi suatu keharusan. Referensi terkait. Aiken, A. (1969). Attitudes to science: A semantic differential instrument research in science education. Research in Science Education. 7(1), 149155. Anderson, L. W., and Krathwohl, D. R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloo’m Taxonomy of Educational Objectives. New York: Addison Wesley Longman, Inc. Anom. Intruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Anom. Intruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional. Anom. Peraturan Pemerintanh No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Anom. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Anom. Rencana Strategis Kementerian Nasional 2010-2014. Anom. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencara Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Carin, A. A. (1993). Teaching science through discovery (7th.ed.). New York: Maxwell Macmillan International. Collete A.T. & Chiappetta, E.L.. (1994). Science instruction in the middle and secondary school. New York: Macmillan Company. Crawford, M.L. , (1999). Teaching science contextually : The cornerstone of tech. Texas: CORD. Diambil pada tanggal 12 Desember 2007 dari
http://www.cord.org/uploadedfiles/TeachingContextuall20(Crawford).p df. Glynn, S.M. & Duit, R. (1995). Learning science meaningfully: constructing conceptual models. In S.M. Glynn & R. Duit (Eds.), Learning science in the school. Research Reforming Practice, 12 (2), 3-33. Holbrook (1998) A source Book for teachers of Science Subjects. UNESCO McCormack, A. J. (1999). Trends & issues in science curriculum. Science Curriculum Resource H&book: A Practical Guide for K-12 Science Curriculum. New York: Kraus International. National Research Council (NRC). (1996). The national science education standards. Washington, DC: National Academy Press. OECD (2009). PISA 2009: Assesment Framework: Key Competencies in Reading, Math., and Science. Shwartz.Y., Ben-Zevi, R., Hofsein, A.(2006). The Use of Scientific Literacy Taxonomy for asesing The development of Chemical Literacy among High-School Student. The Royal Society of Chemistry Trowbridge, L.W. & R.W. Bybee. (1990). Becoming a secondary school science teacher. Melbourne: Merill Company Yager, R. E. (1996). Science/Technology/Society as reform in science education. New York: State University of New York.