ADSORPSI SIMULTAN KITOSAN-BENTONIT TERHADAP ION LOGAM DAN RESIDU PESTISIDA DALAM AIR MINUM DENGAN TEKNIK BATCH (Diseminarkan pada seminar nasional kimia dan pendidikan kimia UNY, November 2011) Della, Anna Permanasari, Zackiyah Program Studi Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia Email:
[email protected] ABSTRAK
Efektifitas Kitosan-bentonit telah dibuktikan dalam mengadsorpsi ion logam dan residu pestisida di dalam air minum. Pada penelitian ini telah dikaji kinerja adsorpsi kitosanbentonit terhadap ion logam Fe(III), Cu(II), Cd(II), residu endosulfan dan diazinon di dalam air minum secara simultan dengan teknik flow. Untuk memastikan keberhasilan sintesis kitosan-bentonit dilakukan karakterisasi menggunakan spektrofotometer Fourier TransformInfra Red (FT-IR), X-Ray Difraction (XRD), Scanning Electron Microscopy (SEM), dan Thermal Gravimetry-Differential Thermal Analysis (TG-DTA). Selanjutnya kinerja adsorben terhadap ion logam dikaji melalui pengukuran kandungan ion logam (Fe(III),m Cu(II), Cd(II)) dengan teknik AAS ( Atomic Absorption Spectroscopy), sebelum dan sesudah proses interaksi. Untuk mengetahui jumlah pestisida endosulfan dan diazinon yang teradsorpsi/tidak teradsorpsi oleh kitosan-bentonit dianalisis dengan spektrofotometer UV, Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan teknik flow. Adsorben kitosan-bentonit mampu mengadsorpsi ion logam Fe (III), Cd(II), Cu(II), residu pestisida endosulfan dan diazinon secara simultan dengan teknik flow, pada konsentrasi masing-masing 20 ppm dengan penggunaan 15 gram adsorben dalam sampel air 250 mL. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa ukuran partikel adsorben dengan kinerja paling baik untuk proses flow adalah 50 mesh. Kata kunci: adsorpsi, flow process, kitosan-bentonit, logam, pestisida.
PENDAHULUAN Dewasa ini, air menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius. Untuk mendapat air yang baik sesuai dengan ketentuan standar yang berlaku, saat ini menjadi barang yang mahal, karena air sudah banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah dari berbagai hasil kegiatan manusia. Sehingga secara kualitas, sumber daya air telah mengalami penurunan. Demikian pula secara kuantitas, yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Effendi, (2003) telah menemukan residu pestisida pada plankton sebesar 0,04 ppm, pada tanaman air sebesar 0,08
ppm, pada kerang 0,42 ppm, pada ikan 1,20 ppm, dan pada bebek 3,50 ppm sedangkan ambang batasnya sebesar 0,0007 ppm. Dapat dibayangkan apabila, air yang tercemar pestisida tersebut terkonsumsi oleh manusia, maka akan menimbulkan masalah serius terhadap kesehatan. Indikasi terjadinya kontaminasi terhadap air minum terhadap manusia yaitu mual, muntah, iritasi kulit, kepala pusing dan dalam dosis yang tinggi menyebabkan kematian. Selain dari cemaran pestisida, limbah industri juga sangat berperan dalam pencemaran air tanah diantaranya menyebabkan cemaran air oleh limbah logam berat yang masuk ke dalam badan 1
air. Hampir semua industri memiliki limbah berupa logam berat, namun penanggulangnnya ini masih sangat minim. Limbah industri yang mengandung logam berat bisa berasal dari industri tekstil, industri cat, dan lainlain. Pencemaran perairan akan memberikan dampak buruk bagi kehidupan makhluk hidup dan manusia, karena semua makhluk hidup memerlukan air untuk dapat bertahan hidup. Pencemaran lingkungan perairan yang disebabkan oleh logam-logam berat seperti kadmium, timbal dan tembaga yang berasal dari limbah industri sudah lama diketahui. Pencemaran karena logam berat dapat menyebabkan berbagai kelainan dan penyakit pada manusia. Pestisida di dalam air minum dapat dikurangi kadarnya agar air minum tersebut dapat memenuhi kriteria yang berdasarkan PERMENKES 492 tahun 2010 tentang pesyaratan kualitas air minum dengan penggunaan adsorben yang telah banyak digunakan sebelumnya yaitu zeolit dan karbon aktif. Sebelumnya Kan et al., (2002) mengkaji kemampuan zeolit dalam mengadsorpsi pestisida triadimefon. Hasil penelitian tersebut menunjukkan zeolit dapat mengadsorpsi fungisida golongan organoklor (triadimefon) dalam konsentrasi kecil. Penelitian tentang adsorben karbon aktif (Las dkk, 2006) dapat mengadsorpsi insektisida dalam air mencapai 90,90% dari konsentrasi awal 2,250 mg/L. Selain kedua adsorben tersebut terdapat material lain yang dapat digunakan sebagai adsorben yaitu bentonit. Bentonit sendiri di Indonesia tergolong sangat melimpah, tetapi penggunaannya belum maksimal. Bentonit memiliki kapasitas adsorpsi yang besar terhadap senyawa anorganik dan logam-logam berat. Tetapi bentonit memiliki kapasitas adsorpsi yang kecil untuk mengadsorpsi senyawa organik, sehingga untuk meningkatkan kapasitas adsorpsi bentonit terhadap senyawa
organik dilakukan modifikasi bentonit dengan menggunakan surfaktan atau polimer. Bentonit yang telah dimodifikasi menggunakan surfaktan atau polimer ini dinamakan organobentonit. Penelitian Carrizosa et al., (2003) mengkaji adsorpsi herbisida bersifat asam menggunakan bentonit termodifikasi hexadecyltrimethylammonium, dioctadecyldimethylammonium dan octadecylammonium. Dari hasil penelitiannya diperoleh bahan organobentonit tersebut dapat menurunkan jumlah kontaminan herbisida dalam air. Bentonit yang dimodifikasi dengan surfaktan atau polimer telah banyak diteliti dan diaplikasikan. Dampak dari penggunaan surfaktan atau polimer sebagai senyawa untuk memodifikasi bentonit dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah baru terhadap lingkungan, karena surfaktan dan polimer dapat menghasilkan polutan dari residunya. Oleh karena itu para peneliti mencoba melakukan modifikasi bentonit dengan menggunakan bahan organik alam atau bahan organik yang aman untuk digunakan. Diharapkan bentonit yang dimodifikasi dengan senyawa organik alam atau senyawa organik aman tidak menimbulkan masalah baru terhadap lingkungan. CruzGuzmán et al., (2004) telah mensintesis organo-bentonit dari tiga jenis kation organik alam yaitu L-carnitine, L-cystine dimethyl ester, dan thiamine serta menguji kapasitas adsorpsinya terhadap herbisida simazine. Hasilnya menunjukkan organo-bentonit dari kation organik alam tersebut dapat mengadsorpsi simazine lebih baik dibandingkan dengan organo-bentonit dari kation alkilamonium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adsorben histidin-bentonit memiliki kinerja adsorpsi yang lebih baik bila dibandingkan dengan Ca-bentonit, yaitu dapat mengadsorpsi pestisida diazinon dalam air minum mencapai 2
95,11% dari konsentrasi awal 12,00 mg/L. Permanasari, Anna (2009) Penggunaan asam amino histidin ini sebagai modifier bentonit memiliki kelemahan diantaranya mempunyai sifat asam amino yang kurang tahan terhadap perubahan suhu, sangat rentan terhadap bakteri, dan memiliki pH isolistrik 7,59 sehingga terdapat kemungkinan larut dalam air dan terlepas dari adsorben bentonit. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Deskawati (2007) yang menyatakan bahwa adsorben histidinbentonit kurang stabil pada berbagai faktor lingkungan. Oleh sebab itu, dalam aplikasinya adsorben ini disarankan digunakan pada suhu 250C (suhu kamar) dan diusahakan tidak terkena radiasi sinar UV (cahaya matahari) secara langsung. Berdasarkan analisis kelemahan tersebut, tim peneliti telah berhasil menemukan alternatif adsorben baru yang menunjukkan ketahanan lebih tinggi, lebih murah dan lebih mudah dalam sintesisnya, yaitu adsorben kitosan-bentonit (khoerunnisa dkk, 2009). Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan kinerja yang sangat baik terhadap residu pestisida diazinon dengan kekuatan adsorpsi 90,04 % dan lebih cepat proses adsorpsinya. Kitosan-bentonit juga memiliki kinerja yang baik sebagai adsorben untuk logam berat Fe, Cd dan Cu secara simultan dengan kekuatan adsorpsi rata-rata di atas 90% (Wulandari, 2009). Selain itu penggunaan kitosan sangat aman karena kitosan merupakan bahan anti oksidan (pembentuk kulit udang) yang biasa dikonsumsi manusia dan yang terpenting tidak mengandung toksik. Oleh karena itu, adsorben kitosan-bentonit sangat prospektif untuk diaplikasikan lebih lanjut dalam proses pengolahan air minum dalam skala yang lebih besar. Sesuai dengan kebutuhan dalam aplikasinya, penelitian ini mencoba mengkaji uji kinerja adsorben yang terdapat dalam sediaan packing flow.
METODE PENELITIAN
Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentonit yang berasal dari Karangnunggal (Tasikmalaya), kitosan, asam asetat (CH3COOH) 98%, diazinon (nama dagang sidazinon 60 EC), endosulfan (nama dagang Akodan 350 EC), Fe(NO3)3.9H2O, Cd(NO3)2.4H2O, Cu(NO3)2.3H2O dan aquades.
Alat Peralatan yang digunakan meliputi multishaker MMS 3000, oven, neraca analitis, Centrifuge tipe H–103 N Kokusan, desikator, peralatan filtrasi vakum dan peralatan gelas. Untuk keperluan analisis digunakan Sektrofotometer UV Mini Shimadzu 1240, XRD PANanalytical X’Pert, SEM jeol JSM 6360 LV dan FT-IR Shimadzu 8400.
Prosedur Kerja
Pembuatan Kitosan-Bentonit Sebanyak 180 gram Ca-bentonit dimasukkan ke dalam gelas kimia 1 L dan ditambahkan 1 L kitosan 1000 ppm. Dikocok selama 30 menit pada 160 rpm. Kemudian di saring menggunakan kertas saring Whatman No.1, filtrat yang diperoleh disimpan untuk dianalisis, dan residu yang diperoleh adalah kitosanbentonit. Kitosan-bentonit yang diperoleh dicuci dengan aquadest sampai bebas asam, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 1000C. Kitosan bentonit yang sudah kering dihaluskan untuk penggunaan lebih lanjut, dan sebagian dari kitosan-bentonit diambil untuk
3
karakterisasi menggunakan FT-IR, TGDTA, SEM dan XRD.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Adsorpsi Campuran Residu Logam dan Pestisida oleh Kitosan-Bentonit
Analisis karakterisasi kitosanbentonit dilakukan menggunakan instrumen FTIR, XRD dan SEM. Selain kitosan-bentonit, analisis dilakukan pada Ca-bentonit dan kitosan. Karakterisasi tersebut dilakukan sebelum pengujian secara simultan adsorben kitosan-bentonit dengan variabel massa dan ukuran adsorben.
Pengujian kinerja adsorben kitosanbentonit dilakukan dengan mengontakkan 250 mL campuran diazinon dan endosulfan (sampel pestisida) dan logam (Cu, Cd, Fe) pada perbandingan konsentrasi 20:20:20:20:20 dengan adsorben kitosan-bentonit sebanyak 25 g.
Karakterisasi Kitosan, Ca-Bentonit, dan Kitosan-Bentonit
4.1.1 Spektrofotometer FTIR Campuran antara logam Fe (III), Cu (II), Cd (II), -diazinon-endosulfan, dikontakkan dengan kitosan bentonit dalam kemasan flow. Selanjutnya disentrifugasi selama 30 menit pada 3000 rpm. Konsentrasi logam sisa dalam supernatan dianalisis dengan menggunakan AAS, sedangkan konsentrasi diazinon dan endosulfan sisa dalam supernatan dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV dan untuk perhitungan dibuat kurva kalibrasi larutan standar. Kondisi pengujian kinerja adsorben dilakukan pada keadaan isoterm, yaitu pada suhu ± 27ºC. Adsorben dalam larutan sampel air diekuilibrasi menggunakan multishaker dengan kecepatan 160 rpm. Waktu kontak yang digunakan adalah waktu kontak hasil percobaan sebelumnya yang memberikan persen adsorpsi paling tinggi. Selanjutnya campuran tersebut disentrifugasi selama 30 menit pada 3000 rpm. Konsentrasi ion logam sisa dalam supernatan dianalisis menggunakan AAS, sedangkan konsentrasi diazinon dan endosulfan sisa dalam supernatan dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV dan untuk perhitungan dibuat kurva kalibrasi larutan standar.
Karakterisasi mengunakan Spektrofotometer FTIR (Fourier Transform-Infra Red) dilakukan untuk mengetahui perubahan gugus fungsi dari Ca-bentonit sebelum dikontakkan dengan kitosan dan setalah dimodifikasi dengan kitosan. Kitosan yang digunakan dikarakterisasi untuk mengetahui gugus fungsi apa saja yang terdapat pada kitosan. Spektra kitosan secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar 4.1 100.0 %T 97.5
2341.4 2364.6
95.0
1249.8
894.9
1423.4 1654.8 1589.2 1380.9 1153.4
92.5 2920.0
1087.8 1033.8
90.0
3529.5
87.5
3433.1 85.0 4000.0
3500.0
3000.0
2500.0
2000.0
1750.0
1500.0
1250.0
1000.0
750.0
500.0 1/cm
Gambar 1 Spektra FTIR Kitosan Pada spektra FTIR kitosan, terdapat puncak-pucak pada bilangan panjang gelombang 3433,1 cm-1 ; 2920 cm1 ; 1423,4 cm-1 ; 1589,2 cm-1 ; 1153,4 cm-1; 1033,8 cm-1 ; 1087,8 cm-1 ; 894,9 cm-1. Puncak serapan pada bilangan gelombang 3433,1 cm-1 memperlihatkan adanya vibrasi ulur O-H dan N-H (Kolhe dan Kannan, 2002; Bhumkar dan Phokarkar, 4
2006). Puncak serapan pada bilangan gelombang 2920 cm-1 memperlihatkan vibrasi ulur C-H dari -CH2- yang diperkuat dengan munculnya puncak serapan pada bilangan gelombang 1423,4 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi tekuk C-H dari -CH2-. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1589,2 cm-1 menunjukan vibrasi tekuk N-H dari gugus NH2. Puncak pada bilangan gelombang 1153,4 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi ulur –C-O. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1033,8 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur CO-C pada cincin glukosamin. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1087,8 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur –C-OH. Adapun puncak serapan pada bilangan gelombang 894,9 cm-1 memperlihatkan adanya vibrasi ulur C-C sakarida (Sastrohamidjojo, 1992). Karakterisasi kitosan-bentonit bertujuan untuk mengetahui perubahan dan penambahan gugus fungsi pada kitosanbentonit dibandingkan dengan Cabentonit. Spektra FTIR dari kitosanbentonit dapat dilihat pada gambar 4.2
100.0
%T
80.0
752.2 1639.4 694.3 667.3
60.0
794.6 1631.7 617.2
40.0
3448.5 3652.9 914.2
3622.1
1095.5 1033.8 1006.8
3413.8
532.3 470.6 524.6
1045.3 3500.0
Dilihat dari spektra FTIR kitosanbentonit dan Ca-bentonit, terlihat hanya terdapat pergeseran beberapa bilangan gelombang pucak. Bilangan gelombang pucak yang bergeser anatara lain pada puncak 3625,9 cm-1 menjadi 3622,1 cm-1, 3413 cm-1 menjadi 3448,5 cm-1, 1631,7 cm-1 menjadi 1639,4 cm-1, dan 667,3 cm-1 menjadi 694,3 cm-1. Perubahan tingkat energi menyebabkan pergeseran bilangan gelombang. Peningkatan energi tersebut menandakan terjadinya ikatan yang lebih kuat antara bentonit dengan suatu spesi, dalam hal ini adalah kitosan. Spektra kitosan-bentonit tidak menunjukan puncak pada bilangan gelombang 1045,3 cm-1 yang menunjukkan vibrasi ulur Si-O pada lapisan tetrahedral. Hal tersebut terjadi karena lapisan Si-O tertutupi oleh kitosan, dan hal ini terbukti dari munculnya puncak pada bilangan gelombang 1033,8 cm-1 yang menunjukkan vibrasi ulur C-O-C pada cincin glukosamin. Terdapat pula puncak baru pada bilangan gelombang 914,2 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi ulur C-C pada sakarida.
428.2
3625.9 20.0
4000.0
pada Ca-bentonit maupun pada kitosanbentonit. Puncak pada bilangan gelombang 3100-3700 cm-1 merupakan puncak yang terbentuk karena adanya vibrasi ulur O-H dan puncak pada bilangan gelombang 1600-1700 cm-1 merupakan daerah vibrasi tekuk H-O-H (Hongping et al ,. 2004).
3000.0
2500.0
(Kitosan-BENTONIT)
2000.0
1750.0
1500.0
1250.0
1000.0
(Ca-BENTONIT)
Gambar 2. Spektra FTIR Bentonit dan Ca-Bentonit
750.0
500.0 1/cm
Kitosan-
Terdapat puncak-puncak serapan yang khas, pada bilangan gelombang 3100-3700 cm-1 dan 1600-1700 cm-1. Pita serapan yang muncul pada bilangan gelombang 3100-3700 cm-1 dan 16001700 cm-1 menunjukan adanya molekul H2O yang terikat melalui ikatan hidrogen pada monmorilonit yang terdapat pada
Pada spektra kitosan-bentonit juga muncul beberapa puncak serapan baru. Puncak baru tersebut muncul pada bilangan gelombang 3622,1 cm-1 dan 3695,4 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi ulur N-H. Gugus tersebut berasal dari struktur kitosan, berarti secara kualitatif kitosan telah berinteraksi dengan bentonit. Panjang gelombang 3622,1 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur pada amina (NH) dan cocok dengan panjang gelombang 1095,5 cm-1 yang menunjukkan vibrasi ulur C-N. (Ngah et al., 2006). 5
Karakterisasi adsorben kitosanbentonit sebelumnya telah dilakukan menggunakan instrumen FTIR, karakterisasi dilakukan pula dengan difraksi sinar X (XRD). Data XRD yang didapat digunakan untuk lebih meyakinkan bahwa kitosan telah berinteraksi dengan Ca-bentonit. Selain itu juga, untuk menentukan keberadaan mineral monmorilonit dalam Ca-bentonit dan kitosan-bentonit. Dengan mengetahui harga 2θ dan jarak antar bidang (d) dari Ca-bentonit dan kitosan-bentonit, maka akan diketahui perubahan-perubahan yang terjadi akibat pemodifikasian Ca-bentonit menjadi kitosan-bentonit. Dari data tersebut akan diketahui apakah interaksi kitosan dengan bentonit terjadi di interlayer atau di outlayer bentonit. Apabila jarak antar bidang pada Cabentonit berbeda dengan jarak antar bidang pada kitosan-bentonit maka dimungkinkan kitosan terdapat di bagian interlayer bentonit. Spektra dari Ca-bentonit dan Kitosan-bentonit disajikan dalam Gmbar 3.
bentonit pita serapan yang khas dari senyawa monmorilonit yaitu pada 2θ sebesar 5,31; 19,88; dan 28,45 (PetrovicFilipovic et al., 2002) dengan jarak bidangnya (d) berturut-turut 15,74 Ǻ, 4,46 Ǻ, dan 3,13 Ǻ. Sedangkan pada spektra XRD kitosan-bentonit hampir tidak terjadi perubahan harga 2θ pada puncak-puncak khas untuk monmorilonit yaitu dari 5,31 menjadi 5,77; dari 19,88 menjadi 19,98; dan dari 28,45 menjadi 28,96. Jarak antar bidang (d) terjadi penurunan yaitu dari 15,74 menjadi 15,30; dari 4,46 menjadi 4,43 dan dari 3,13 menjadi 3,08. Kitosan yang dikontakan pada Cabentonit tidak terlalu mengakibatkan terjadinya peningkatan harga 2θ dan penurunan jarak antar bidang (d). Adanya peningkatan harga 2θ menunjukkan bahwa mineral yang ditunjukkan oleh puncakpuncak tersebut berinteraksi dengan kitosan. Hal tersebut, menunjukan kemungkinan interaksi yang terjadi antara Ca-bentonit dengan kitosan terjadi di outlayer atau di permukaan. Perubahan nilai 2θ dan jarak antar bidang (d) dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.2 Harga 2θ dan jarak antar bidang (d) Ca-bentonit dan Kitosan-Bentonit Ca-Bentonit
Kitosan-bentonit
2θ
d (Ǻ)
2θ
d (Ǻ)
5,31
15,74
5,77
15,30
19,88
4,46
19,98
4,43
Gambar 4.3 Spektra Difraksi Sinar X CaBentonit dan Kitosan-Bentonit
28,45
3,13
28,96
3,08
Spektra XRD dari Ca-bentonit dan kitosan-bentonit, dilihat secara keseluruhan tidak menunjukkan terjadinya perubahan puncak-puncak serapan baik yang ada di Ca-bentonit maupun di kitosan-bentonit. Pada spektra XRD Ca-
Karakterisasi menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) digunakan untuk memperkuat data FTIR dan XRD tentang keberadaan kitosan dalam bentonit. Dari hasil pengukuran SEM dapat mengetahui perubahan yang 6
terjadi pada permukaan Ca-bentonit dan kitosan-bentonit. Gambar 4.4 menunjukkan foto SEM untuk Ca-bentonit dan kitosan-bentonit.
A
B
permukaan Ca-bentonit. Pada Gambar 4 B dan D gambaran dari kitosan-bentonit, terlihat suatu permukaan yang lebih rapat jika dibandingkan dengan gambar permukaan Ca-bentonit. Foto SEM dari Ca-bentonit dan kitosan-bentonit dapat menyatakan bahwa kitosan terikat pada bagian permukaan bentonit (bagian outlayer). Hasil XRD dan SEM memberikan hasil yang saling mendukung satu sama lain dan keduanya menunjukkan bahwa kitosan berikatan dengan bentonit di bagian outerlayer.
Adsorpsi Kitosan-Bentonit Terhadap Ion Logam dan Residu Pestisida C
D
Gambar 4 Foto SEM Permukaan (A,C) Ca-Bentonit dan (B,D) Kitosan-Bentonit pada perbesaran 5000 X (A,B) dan 10.000 X (C,D)
Uji kinerja dilakukan pada variasi ukuran partikel dan massa adsorben kitosanbentonit, seperti ditunjukkan pada Tabel.2.
N O
Fe(III), Cu(II), Cd(II), Endosulfan, Diazinon, ppm
Ukuran adsorbe n, mesh
Massa adsorbe n (gram)
Kation kitosan yang masuk memiliki molekul yang lebih besar dari kation Ca, hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan porositas dari kitosan-bentonit jika dibandingkan dengan Ca-bentonit. Peningkatan porositas ini tidak dapat teramati pada hasil SEM yang dikarenakan SEM hanya memvisualisasikan bagian permukaan dari bentonit (Aldiantono,2009).
1
5
2
10
Gambar 4 A dan C merupakan gambaran permukaan Ca-bentonit, pada gambar ini masih terlihat bentuk permukaan material yang tidak terlalu rapat, hal ini terlihat dari masih adanya bagian yang berwarna hitam yang merupakan ruang-ruang kosong di sekitar
3
20:20:20:20: 20
9
15
4
20
5
25
1
5
2
10
3
20:20:20:20: 20
50
15
4
20
5
25
7
% Teradsorpsi
Analisis logam Fe (III), Cu (II), Cd (II) yang tersisa di air minum yang telah dikontakan disajikan dalam grafik berikut : 150 100 Logam Cd (II)
50
Logam Cu (II)
0 5 10 15 20 25
Logam Fe (III)
Massa Adsorben Kitosan-Bentonit…
*Pengukuran Secara Duplo Gambar 6 Grafik Persen Teradsorpsi Logam Setelah Dikontakkan Dengan Adsorben Kitosan-Bentonit 9 mesh
% Teradsorpsi
Sementara itu, pada penggunaan adsorben dengan ukuran 50 mesh, terjadi sedikit pengkatan jumlah teradsorpsi, seperti ditunjukkan oleh Gambar 7.
150 100
logam Cd (II)
50
logam Cu (II)
0 5 10 15 20 25
logam Fe (III)
Massa Adsorben Kitosan-Bentonit 9 mesh
Gambar 7. Grafik Persen Teradsorpsi Logam Setelah Dikontakkan Dengan Adsorben Kitosan-Bentonit 50 mesh
Persen teradsorpsi dari logam-logam yang berbeda-beda, menunjukkan adanya persaingan yang terjadi dari masingmasing logam untuk berikatan dengan
adsorben. Fe (III) yang memiliki ukuran jari-jari paling kecil memiliki persen teradsorpsi yang paling besar dalam hal ini sempurna 100 % teradsorpsi, sedangkan Cd (II) yang merupakan logam dengan ukuran jari-jari paling besar, memberikan persen teradsorpsi sedikit lebih kecil yaitu sebesar 99,874 % dibandingkan dengan Cu (II) yaitu sebesar 99,877 dan Fe (III). Hal ini menunjukan bahwa ukuran jari-jari dari masing-masing logam mempengaruhi nilai persen teradsorpsi. Ukuran moleul Fe (III) yang paling kecil menyebabkan ion Fe (III) lebih dulu terikat ke permukaan kitosan-bentonit. Sedangkan, untuk adsorpsi logam-logam lain tidak terlalu signifikan. Hal ini disebabkan karena jumlah situs aktif yang tersedia pada permukaan kitosan-bentonit telah terlebih dahulu mengikat ion Fe (III). Interaksi adsorpsi logam yang terjadi adalah pertukaran kation antara ion logam Fe (III), Cd (II), dan Cu (II) dengan Ca (II) di bagian interlayer, maka interaksi yang terjadi akan dipengaruhi oleh jarak antar spesi yang ada. Sangatlah memungkinkan jika ion logam yang lebih kecil akan masuk ke bagian interlayer dengan lebih mudah dibandingkan dengan ion logam yang memiliki ukuran lebih besar. Perbedaan ukuran dari adsorben kitosan-bentonit memberikan sedikit pengaruh terhadap persen teradsorpsi logam-logam yang diadsorpsi oleh kitosan-bentonit. Terlihat bahwa adsorben kitosan-bentonit yang memiliki ukuran partikel lebih halus yaitu pada ukuran 50 mesh memberikan persen teradsorpsi yang lebih besar dibandingkan dengan adsorben kitosan-bentonit yang berukuran 9 mesh pada kondisi optimum yang sama.. Ukuran partikel adsorben kitosan-bentonit yang halus menyebabkan luas permukaan kitosan-bentonit semakin besar, dan dapat menyentuh permukaan logam yang terdapat di air minum lebih banyak dibandingkan dengan adsorben yang memiliki ukuran partikel lebih besar. 8
Dalam hal ini adsorben kitosan-bentonit dengan ukuran 50 mesh memiliki luas permukaan yang lebih besar dibandingkan adsorben kitosan-bentonit dengan ukuran 9 mesh. Adsorben kitosan-bentonit dengan ukuran 50 mesh lebih banyak menyerap logam Fe (III), Cd (II), Cu (II) yaitu dengan rata-rata persen teradsorpsi sebesar 98, 584%, sedangkan adsorben kitosanbentonit dengan ukuran 9 mesh dapat mengadsorpsi logam-logam dengan ratarata persen teradsorpsi sebesar sekitar 95,57423%. Data analisis residu pestisida diazinon dan endosulfan yang tersisa setelah diadsorpsi oleh adsorben kitosan bentonit, hasil analisis menggunakan spektofotometer UV. Disajikan sebagai berikut.
Kecenderungan yang sama dalam hasil adsorpsi terlihat pula pada serapan dua pestisida yang diteliti. Persen adsorpsi dari diazinon dalam campuran yang diadsorpsi oleh adsorben kitosan bentonit 9 mesh rata-rata sebesar 79,61 % sedangkan persen adsorpsi dari endosulfan dalam campuran yang diadsorpsi oleh adsorben kitosan bentonit 9 mesh rata-rata sebesar 85,12 %. Sedangkan pada persen adsorpsi diazinon dan endosulfan oleh adsorben kitosan-bentonit 50 mesh. Persen teradsorpsi rata-rata diazinon sebesar 86,178 % dan persen teradsorpsi rata-rata endosulfan sebesar 90,7726 %. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa terdapat massa optimum untuk adsorben yang digunakan dalam pengujian, seperti ditunjukkan oleh Gambar 10 dan 11.
80 60 pestisida diazinon
40
20 0
% Teradsorpsi
% Teradsorpsi
100 150
logam Fe (III)
100
Logam Cd (II)
50 0
5 10 15 20 25 Massa Adsorben 9 mesh *Pengukuran Secara Kitosan-Bentonit Duplo
Gambar 8 Persen teradsorpsi Pestisida Diazinon dan Endosulfan Terhadap Adsorben Kitosan-Bentonit 9 mesh.
80 60
Pestisida Diazinon
40 20
5 10 15 20 25 Massa Adsorben Kitosan -Bentonit 9 mesh
Gambar 10. Persen Teradsorpsi Fe (III), Cd (II), Cu (II), Diazinon, dan Endosulfan Terhadap Adsorben Kitosan-Bentonit Pada Variasi Massa Adsorben 9 mesh.
Pestisida Endosulfan
0 5
10
15
20
25
Massa Adsorben Kitosan-Bentonit 50 mesh
Gambar 9. Persen teradsorpsi Pestisida Diazinon dan Endosulfan Terhadap Adsorben Kitosan-Bentonit 50 mesh.
Pestisida Diazinon Pestisida Endosulfan
*Pengukuran Secara Duplo
% Teradsorpsi
% Teradsorpsi
100
Logam Cu (II)
120 100 80 60 40 20 0
Logam Fe (III) Logam Cd (II) Logam Cu (II)
5
10 15 20 25
Pestisida Diazinon Massa Adsorben Kitosan-bentonit 50 mesh
9
*Pengukuran Secara Duplo Gambar 11. Persen Teradsorpsi Fe (III), Cd (II), Cu (II), Diazinon, dan Endosulfan Terhadap Adsorben Kitosan-Bentonit Pada Massa Adsorben Kitosan-Bentonit 50 mesh
Dari gambar tersebut, dapat disimpulkan bahwa kitosan-bentonit menunjukan kinerja adsorpsi yang lebih baik dalam mengadsorpsi secara simultan ion logam dan residu pestisida pada ukuran adsorben 50 mesh dengan menunjukan rata-rata persen teradsorpsi logam dan reisdu pestisida diatas 80 % dengan kondisi optimal persen teradsorpsi pada massa adsorben 15 gram pada setiap variasi ukuran adsorben kitosan-bentonit yaitu 9 dan 50 mesh dengan teknik flow.
Kesimpulan Kitosan-bentonit dapat bekerja secara optimum untuk mengadsorpsi ion Fe(III), Cu(II), Cd(II), pestisida diazinon dan endosulfan secara simultan dalam air minum pada proses flow, dengan kondisi konsentrasi masing-masing 20 ppm, ukuran partikel adsorben 50 mesh, dari 250 mL sampel air. Persen adsorpsi masing-masing spesi pada kondisi optimum tersebut rata-rata lebih besar dari 90%. Perlu dilakukan uji lebih lanjut mengenai batas jumlah volume air yang digunakan
DAFTAR PUSTAKA Khan, T.A., et al. (2001). Reporting Degree of Deacetylation Values of Chitosan: Influence of Analytical Methods. Malaysia. J Rharm
Pharmaceut Sci, 5(3):205-212, 2002. [Online]. Tersedia : http://www.ualberta.ca/~csps. [5 November 2010]. Khoerunnisa, Fitri. (2005). Kajian Adsorpsi dan Desorpsi Ag(S2O3)23dalam Limbah Fotografi pada dan dari Adsorben Kitin dan Asam Humat Terimobilisasi pada Kitin. Tesis Program Studi Ilmu Kimia Universitas Gajdah Mada, Yogyakarta: Tidak Diterbitkan. Permanasari, Anna. (2009). The Effects of Temperature, UV Radiation, and Soaking Time in Drinking Water on Bentonite-Histidine Adsorbent Performance. Jurnal Matematika dan Sains. Vol. 14 No. 4. Rohayani, Rani. (2005). Sintesis Adsorben Histidin-Bentonit dan Uji Adsorpsinya terhadap Pestisida dalam Air Minum. Skripsi program kimia FPMIPA universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Tidak diterbitkan. Saepudin, Asep. (2008).Uji Kinerja Adsorben Histidin-Bentonit dalam Prototipe Kemasan Flow dan Batch terhadap Pestisida Endosulfan dalam Air Minum. Skripsi Program Studi Kimia Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI, Bandung: Tidak Diterbitkan. Wulandari, Irnawati. (2009). Uji Kinerja Adsorben Kitosan-Bentonit terhadap Logam Berat dan Diazinon secara Simultan. Skripsi Program Studi Kimia Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI, Bandung: Tidak Diterbitkan.
10
11