ISSN 1693-7945
Vol.VII No.3 April 2016
PEMBELAJARAN BERBASIS PENGALAMAN (EXPERIENTAL LEARNING) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERFIKIR KRITIS DAN AKTIVITAS MAHASISWA Oleh: Yani Kusuma Astuti STKIP NU Indramayu, Jawa Barat ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berfikir kritis dan aktivitas belajar mahasiswa melalui pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential Learning). Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experimen dengan desain penelitian yang digunakan adalah one-shot case study. Teknik pengambilan data berupa tes keterampilan berfikir kritis dan lembar aktivitas belajar mahasiswa. Analisis data dilakukan validitas dan reabilitas, sedangan uji hipotesisnya menggunakan Uji Mann-Whitney. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan terdapat peningkatan aktivitas belajar mahasiswa dapat dilihat kategori aktivitas sebagian besar terkategori aktif. Sedangkan hasil keterampilan berfikir kritis mahasiswa mengalami peningkatan dari 6,66 menjadi 8,83 dengan N-gain 2,17. Dengan demikian penerapan pembelajaran Konsep Dasar IPA SD melalui Experiental Learning dapat meningkatkan keterampilan berfikir kritis dan aktivitas belajar mahasiswa. Kata kunci: Experiential Learning, Keterampilan Berfikir Kritis, Aktivitas Belajar PENDAHULUAN Memasuki Perkembangan Abad ke-21 yang menawarkan kehidupan dunia tanpa batas, globalisasi dan pesatnya teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi akan perluasan pengetahuan yang akan berdampak pada bidang ekonomi, budaya bahkan politik suatu negara. Perubahan global secara langsung berdampak pendidikan. Dengan semakin ketergantungan dengan kemajuan teknologi, output sumber daya manusia di dalam pendidikan memasuki dunia kerja sangat penting mengembangkan keterampilan baik hard skill maupun soft skill. Salah satu keterampilan yang dikembangkan dalam era globalisasi adalah keterampilan berfikir kritis. Tanpa keterampilan berpikir kritis, informasi yang salah bisa berdampak negatif terhadap keputusan hidup. Menurut Stobaugh (2013), mengatakan bahwa menanamkan keterampilan berpikir kritis dalam kurikulum membantu meningkatkan pendidikan; mempersiapkan mahasiswa untuk belajar, meningkatkan karir untuk masa depan, dan memecahkan permasalahan kehidupan. Menurut Riyadi (2005) berpikir kritis adalah proses mental untuk menganalis atau mengevaluasi informasi. Informasi tersebut bisa didapatkan dari hasil pengamatan, pengalaman, akal sehat atau komunikasi. Siswa yang menggunakan keterampilan berpikir kritis memikirkan hubungan antara variabel-variabel dengan mengembangkan pemahaman logis, memahami asumsi-asumsi dan bias-bias yang mendasari proses utamanya. Hal senada dikemukan Stobaugh (2013) bahwa Keterampilan berfikir kritis adalah suatu aktifitas kognitif yang berkaitan dengan penggunaan nalar. Belajar untuk berpikir kritis berarti menggunakan proses-proses mental, seperti memperhatikan, mengkategorikan, seleksi, dan menilai/memutuskan. Pembelajaran yang berkualitas sangat berpengaruh terhadap hasil pembelajaran dan aktivititas belajar mahasiswa. Hal ini sangat tergantung kreativitas pengajar dan motivasi belajar mahasiwa. Nata (2009) dalam Faturrahman (2015) mengatakan pembelajaran merupakan usaha yang dapat mempengaruhi emosi, intelektual dan spiritual seseorang 148
ISSN 1693-7945
Vol.VII No.3 April 2016
untuk belajar atas dasar kemauan sendiri. Dengan pembelajaran akan mengembangkan moral, aktivitas dan kreativitas mahasiswa melalui interaksi dan pengalaman belajar. Selama ini masih banyak pengajar yang mengadalkan penugasan yang berbentuk studi literatur, namun kurang memberikan tugas stuktur kepada mahasiswa dalam bentuk pengalaman belajar. Oleh karena itu usaha dalam meningkatkan kualitas mengajar merupakan hal penting agar meningkatnya pemahaman mahasiswa terutama pada konsep dasar IPA. Menurut Rahman (1994) mengemukan “rendahnya kualitas pembelajaran karena menggunakan metode pembelajaran yang monoton dan tidak bervariasi”. Salah satu pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman konsep dan aktivitas belajar mahasiswa adalah pembelajaran berbasis pengalaman (Experiental Learning). Colin dan Wilson (2006) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis pengalaman (Experiental Learning) membangun pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pengalaman yang bermanfaat bagi pembelajar. Menurut Fathurrahaman (2015) mengatakan bahwa pembelajaran berbasis pengalaman (Experiental Learning) adalah” proses induktif, berpusat pada pembelajar dan berorientasi pada aktivitas refleksi secara personal tentang suatu pengalaman dan memformulasikan rencana untuk menerapkanapa yang telah diperoleh dari pengalaman”. Pembelajaran berbasis pengalamnan terjadi ketika pembelajar melakukan: (1). Berpartisipasi dalam kegiatan (aktivitas), (2) menyelidiki secara kritis pengalaman dalam aktivitas, (3). Mengambil manfaat dari pengalaman yang diperoleh, (4). Menerapkan pengalaman yang diperoleh dengan situasi yang baru. David kolb (1984) mengembangkan model Experential Learning digambarkan sebagai berikut:
Gbr. Siklus Model Experiential Learning Model pembelajaran Experiential Learning memiliki empat tahapan yang meliputi concrete experience, observa-tion and reflection, forming abstract concepts, dan testing in new situation (Fathurrahman, 2015) Aktivitas mahasiswa dalam experiental learning Aktivitas adalah keterlibatan mahasiswa dalam sikap, pola pikir, perhatian dan aktivitas dalam pembelajaran yang dapat mendukung keberhasilan suatu proses pembelajaran (Kunandar, 2008). Menurut Paul D. Dierich (Hamalik, 2009) aktivitas mempunyai 8 kelompok yang diklasifikasikan menurut jenisnya yaitu visual, Lisan (oral), mendengarkan, menulis, mengambar, metrik, mental dan emosional. Mengingat banyaknya jenis aktivitas yang diamati, dalam penelitian ini peneliti mengambil jenis aktivitas yang sesuai dengan Experiental Learning. Adapun aktivitas yang akan diamati dan menjadi objek penelitian adalah sebagai berikut;
149
ISSN 1693-7945
Vol.VII No.3 April 2016
Tabel 1. Aktivitas belajar mahamahasiswa yang diamati No. 1. 2 3. 4 5
Aktivitas Mahamahasiswa Mengamati eksperimen Mengungkapkan pendapat Mencatat hal-hal yang penting/relevan Menyelesaikan masalah dengan kelompoknya Keberanian untuk bertanya dan menjawab
Jenis Aktivitas visual lisan tulisan menulis, mendengarkan dan mental lisan dan emosional
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experimen dengan desain penelitian yang digunakan adalah one-shot case study, dimana suatu kelompok dikenakan perlakuan (treatment) tertentu kemudian melakukan pengukuran terhadap variabel terikatnya.Sampel yang digunakan adalah mahasiswa PGSD semester 5 yang memperoleh matakuliah Konsep Dasar IPA SD di STKIP NU Indramayu. Teknik pengambilan data berupa tes keterampilan berfikir kritis dan lembar aktivitas belajar mahasiswa. Analisis data dilakukan validitas dan reabilitas, sedangan uji hipotesisnya menggunakan Uji MannWhitney untuk mengetetahui besarnya peningkatan berkir kritis mahasiswa. HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa aktivitas mengamati eksperimen memperoleh persentase rata-rata sebesar tertinggi 86,6% dan terkategori aktif. Selain aktivitas yang terendah adalah mengungkapkan pendapat rata-rata sebesar 56,6% dan terkategori kurang aktif. Sedangkan aktivitas menyelesaikan masalah dengan kelompoknya sebesar 80 %, mencatat hal-hal yang penting/ relevan 70 %, keberanian untuk bertanya dan menjawab sebesar 66,6 % terkategori cukup aktif. Dengan demikian bahwa pembelajaran berbasis pengalaman dapat menumbuhkan aktivitas mahasiswa menjadi aktif dalam pembelajaran. Untuk mengetahui gambaran profil rata- rata aktivitas mahasiswa secara lebih jelas dapat dilihat dari pada Gambar 1.1
Gambar 1.1 Profil Aktivitas Aktivitas Ke- 1: Mengamati Eksperimen Aktivitas Ke- 2: Mengungkapkan Pendapat Aktivitas Ke- 3: Mencatat hal- hal yang penting / relevan Aktivitas Ke- 4: Menyelesaikan Masalah Dalam Kelompok Aktivitas Ke- 5: Keberanian bertanya Dan menjawab Pertanyaan Sedangkan hasil tes keterampilan berfikir kritis mahasiswa setelah belajar melalui Experiental Learning dapat diperoleh rata-rata mahasiswa memperoleh nilai 8,83. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2. 150
ISSN 1693-7945
Vol.VII No.3 April 2016
Tabel 2. Rekapitulasi Skor Tes keterampilan berfikir kritis mahamahasiswa Skor rata-rata Skor rata-rata Skor rata-rata pretest posttest gain 6,66 8,83 2,17 Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui terdapat peningkatan hasil tes berfikir kritis mahamahasiswa setelah menggunakan model Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Experiental Learning). Adanya peningkatan keterampilan berfikir kritis mahasiswa yang ditunjukan pada rata-rata gain yang besarnya 2,17. Keterampilan berpikir kritis yang diamati dalam penelitian ini meliputi 5 indikator, yaitu: berhipotesis, mengidentifikasi kriteria untuk mempertimbangkan jawaban yang mungkin, mengaplikasikan konsep, dan mempertimbangkan alternatif, mengidentifikasi kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis uji hipotesis dengan Uji Mann-Whitney diperoleh nilai z adalah 2,04. Dengan menggunakan tabel nilai zhitung diperoleh z(2,04) adalah 0,48. Pada taraf signifikansi 0,05 nilai zkritis adalah 0,33. Karena zhitung > zkritis maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Sehingga pada tingkat signifikansi 0,05 penggunaan model pembelajaran Experintial Learning secara signifikan dapat lebih meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Peningkatan keterampilan berpikir kritis IPA mahasiswa melalui pembelajaran menggunakan model Experiential Learning disebabkan karena model experiential learning menekankan pada peran sentral dari pengalaman dalam proses belajar. Pengalamanpengalaman tersebut akan membangun pengetahuan yang bermakna bagi mahasiswa berdasarkan pengalaman belajar mereka, agar suasana belajar yang menyenangkan dan kondusif akan tercipta dengan sendirinya. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Anggara (2011) yang menyatakan bahwa, “model pembelajaran experiential menekankan pada proses belajar, yang menggunakan pengalaman kehidupan mahasiswa dalam belajar, sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan dan kondusif”. Hal ini berarti bahwa model experiential learning dapat meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa, sehingga kemampuan berpikir kritis mahasiswa berkembang. Penelitian ini juga didukung dari hasil penelitian oleh Agustina, et. al (2014) menyatakan bahwa terjadi pengaruh yang signifikan keterampilan berpikir kritis IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model Experiential Learning dengan kelompok siswa yang dibelajarkan menggunakan model konvensional. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data bahwa keterampilan berfikir kritis mahasiswa yang menggunakan model pembelajaran Experiential Learning menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan. Pada saat pre tes nilai rata – rata 6,66. Setelah dilakukan pembelajaran, rata-rata nilai post test menjadi 8,83 dan N gain pre test dan post tes 2,17 (N gain tinggi) artinya model pembelajaran Experiential Learning mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa.Sedangkan aktivitas belajar mahasiswa sebagian besar terkategori sebagian besar adalah aktif, hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil analisis data yaitu aktivitas yang tertinggi mengamati eksperimen 86,6 % terkategori aktif, sedangkan 1 aktivitas terkategoti kurang aktif yaitu aktivitas mengungkapkan pendapat, sedangkan 3 aktivitas lainnya terkategoti cukup aktif. Dengan demikian bahwa pembelajaran berbasis pengalaman dapat menumbuhkan aktivitas mahasiswa menjadi aktif dalam pembelajaran
151
ISSN 1693-7945
Vol.VII No.3 April 2016
DAFTAR PUSTAKA Agustina. 2014. Pengaruh model experiential learning terhadap Keterampilan berpikir kritis IPA Kelas V Kecamatan Sukasada. E-Journal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha. Anggara, I Komang. 2011. Pengaruh Model Pembelajaran Experiential terhadap Konsep Diri dan Pemahaman Konsep Fisika Siswa Kelas X SMA Negeri 4 Singaraja. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA. Colin, Wilson. 2006. Experiential Learning. A Best Practice handbookfor educationand trainers. London and Philadelpia. Kogan Page. Fathurrahman. 2015. Model-model Pembelajaran Inovatif. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media. Hamalik. 2009. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Kolb David. 1984. Experiential Learnng, Experiential as the Source of Learning and development. New York. International Inc Publishing. Kunandar. 2008. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas sebagi pengembangan Profesi Guru. Jakarta: Rajawali Press. Stobaugh. 2013. Assessing Critical Thinking in Middle and High Schools. New York: Routledge is an imprint of the Taylor & Francis Group.
152