PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI TENGAH KONFLIK DAN TRAUMA DI LUWU (1907-1980) 7+('(9(/23(0172)('8&$7,21,17+(0,'672)&21)/,&7 $1'75$80$,1/8:8 7DX¿NAhmad Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748, 885119 Faksimile (0411) 865166 Pos-el: WDX¿NBPXNDUUDPD#\DKRRFRP Handphone: 082193224847 Diterima: 10 Juli 2015; Direvisi: 12 September 2015; Disetujui: 26 November 2015 ABSTRACT 7KHDGYDQFHPHQWRIHGXFDWLRQLVQRWRQO\GLUHFWO\SURSRUWLRQDOWRWKHOHYHORISURVSHULW\SXEOLFDZDUHQHVVDQG political development of education, but also it is closely related to the stability and political instability. This article DLPVWRH[DPLQHWKHGHYHORSPHQWRIHGXFDWLRQZLWKXVLQJKLVWRULFDODSSURDFKVWUHVVLQJSURFHVVFKDQJHDQG FRQWLQXLW\DQGSODFHWKHPLQWKHGHYHORSPHQWRIUHJLRQDODQGQDWLRQDOSROLWLFV%\WDNLQJ/XZXUHJLRQDVWKHFDVH WKLVVWXG\SURYHVWKDWWKHUHZDVFRQWLQXLW\EHWZHHQWKHODFNRIDZDUHQHVVLQVRFLHW\WKHLPSRUWDQFHRIHGXFDWLRQ ZLWKWKHLPSOLFDWLRQRIFRORQLDOSROLWLFGLVFULPLQDWLRQLQHGXFDWLRQVHFWRU7KLVVLWXDWLRQZDVH[DFHUEDWHGE\WKH ORFDOSROLWLFDOLQVWDELOLW\ZLWKWKHHPHUJHQFHRI',7,,.DKDU0X]DNNDUWKDWGHPROLVKLQJIRUPDOHGXFDWLRQ HVSHFLDOO\LQUXUDODUHDV$IWHUWKHVHFXULW\VLWXDWLRQZDVVWDEOHDQG1HZ2UGHUZDVHVWDEOLVKHG/XZXVRFLHW\ KDGWRIDFHDGHHSWUDXPDEHFDXVHRIFRQÀLFWDQGZDUIRUDORQJWLPHDVZHOODVWKH\KDGWRIDFHDVWLJPDDV DVRFLHW\ZKLFKVWLOOUHPDLQHGDQGFRQQHFWHGWR',7,,.DKDU0X]DNNDULGHRORJ\)XUWKHUWKHGHYHORSPHQWRI HGXFDWLRQFRXOGQRWEHGHYHORSHGPD[LPDOO\SDUWLFXODUO\,VODPHGXFDWLRQSURJUDPV7KHSDUDGLJPRI1HZ 2UGHUPRUHOHDGVLPSURYLQJVFLHQFHDQGWHFKQRORJ\WKDQFKDUDFWHUEXLOGLQJNQRZOHGJHRIORFDOUHVRXUFHV and local cultural values. Keywords:GHYHORSPHQWRIHGXFDWLRQSROLWLFVRIHGXFDWLRQ',7,,.DKDU0X]DNNDU/XZX ABSTRAK Kemajuan pendidikan tidak hanya berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan, kesadaran masyarakat dan politik pembangunan pendidikan pemerintah, tetapi juga berkaitan erat dengan kestabilan dan ketidakstabilan politik pemerintah. Artikel ini bertujuan menjelaskan pembangunan pendidikan dari perspektif sejarah, menekankan pada proses, perubahan dan kontinuitas dan menempatkannya dalam perkembangan politik lokal dan nasional. Dengan mengambil daerah Luwu sebagai kasus, studi ini membuktikan bahwa ada kontinuitas antara rendahnya kesadaran pentingnya pendidikan oleh masyarakat Luwu sebagai implikasi politik diskriminasi pendidikan kolonial. Keadaan ini diperburuk oleh ketidakstabilan politik lokal dengan munculnya gerakan DI/ TII Kahar Muzakkar yang melumpuhkan pendidikan formal terutama di daerah pedalaman. Setelah situasi NHDPDQDQVWDELOGDQODKLUQ\D2UGH%DUXPDV\DUDNDW/XZXPHQJKDGDSLWUDXPDVHEDJDLDNLEDWGDULNRQÀLN\DQJ berkepanjangan serta adanya anggapan bahwa daerah Luwu masih menyisakan gerakan DI/TII Kahar Muzakkar. Akibat lebih jauh, program-program pendidikan di Luwu tidak dapat berkembang baik, terutama yang berbasis pendidikan Islam. Paradigma pendidikan Orde Baru lebih mengarah pada peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi daripada penguatan karakter, pemahaman sumber daya lokal, dan nilai budaya lokal. Kata Kunci: pembangunan pendidikan, politik pendidikan, DI/TII Kahar Muzakkar, Luwu
PENDAHULUAN Terdapat ketimpangan yang cukup tajam antara pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan dengan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) yang rendah. Ketimpangan ini terlihat pada pertumbungan ekonomi Sulawesi Selatan yang mencapai 8,39 persen, sementara IPM menempati urutan ke 23 dari 33 provinsi pada 2007, dan hanya 267
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 267—281 meningkat menjadi urutan 19 dari 33 provinsi pada 2012. Sebuah angka sangat rendah untuk ukuran Sulawesi Selatan sebagai pusat ekonomi kawasan timur Indonesia. Tingginya angka buta huruf menjadi penyebab utama sekaligus pembenaran bagi pemerintah Sulawesi Selatan atas kegagalan dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (Arpan Rahman, 2013). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2012 bahwa angka buta aksara di wilayah ini mencapai 70,071 orang, dan sebagian besar dari mereka sudah lanjut usia, utamanya mereka yang tidak sempat menempuh pendidikan formal sebagai akibat dari gejolak politik regional 1950-an. Ketidakstabilan politik dan keamanan regional sepanjang dekade 1950-an adalah salah satu faktor yang memberi sumbangan penting terhadap tingginya angka buta huruf di Sulawesi Selatan. Persoalan Indeks Pembangunan Manusia pada dasarnya tidak hanya dilihat dari akurasi program-program pembangunan, tetapi juga tidak dapat dilepaskan dari persoalan-persoalan kelampauan di mana pembangunan manusia itu dibentuk. Dalam kondisi apa pembangunan manusia di masa lalu, penting dilihat sebagai kerangka dasar untuk memahami persoalan masyarakat itu sendiri dalam konteks kekinian. Artikel ini bermaksud untuk melihat sejarah pendidikan masyarakat di tengah gejolak politik lokal. Dengan mengambil studi kasus di daerah Luwu, artikel ini menempatkan ruang pembahasan pembangunan pendidikan dari periode kolonial Belanda sampai era Order Baru. Sejak periode kolonial Belanda sampai era Orde Baru, masyarakat Luwu menghadapi WUDXPDGDQNRQÀLN\DQJVLOLKEHUJDQWL3HQDWDDQ pendidikan di era kolonial tidak mendapat respon dengan baik dari sebagian besar masyarakat Luwu karena trauma akibat perang dan munculnya persepsi buruk masyarakat tentang pendidikan yang dibangun pemerintah kolonial. Pasca proklamasi kemerdekaan, di tengah upaya pembangunan pendidikan, muncul gerakan DI/TII Kahar Muzakkar yang menimbulkan ketidakstabilan politik dan keamanan regional. Bagaimana persoalan pendidikan rakyat di tengah JHMRODNSROLWLNORNDOVHUWDGDPSDNVLJQL¿NDQ\DQJ
268
ditimbulkan bagi perkembangan pembangunan manusia dalam konteks lebih luas, adalah pertanyaan penting akan dijawab pada bagian ini. Kemudian, pasca konflik, pembangunan pendidikan kembali memasuki periode trauma. Kekhawatiran pemerintah Order Baru terhadap daerah Luwu yang masih dianggap basis DI/ TII Kahar Muzakkar dan menyisakan gerakan radikalisme Islam mengakibatkan munculnya diskriminasi dalam bidang pendidikan, terutama institusi pendidikan Islam yang tidak mendapat ruang dibanding dengan pendidikan formal lainnya. Pembahasan ketiga periode berbeda ini akan menjadi teropong untuk memahami persoalan pembangunan manusia dalam konteks lebih luas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 56, Tahun 1951, daerah Luwu yang sebelumnya berstatus sebagai Afdeling menjadi daerah pemerintahan swapraja yang meliputi seluruh wilayah Luwu dan Toraja. Andi Jemma sebagai Datu Luwu berusaha membangun daerah Luwu sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu persoalan penting adalah pembangunan pendidikan masyarakat sebagai ujung tombak pembangunan manusia. Oleh karena itu, melalui Jawatan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, pemerintah Luwu berusaha meletakkan pondasi pendidikan. Akan tetapi, pembangunan pendidikan di Luwu mengalami hambatan kurangnya tenaga pendidik dan rendahnya tingkat pendidikan sebagai warisan kolonial, serta minimnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan. Keadaan ini diperparah dengan munculnya gerakan DI/ DII Kahar Muzakkar yang melumpuhkan kegiatan pendidikan formal, terutama di wilayah pedalaman Luwu. Persoalan yang kemudian mengemuka bagaimana pembangunan pendidikan pada masa periode kolonail dan pasca kolonial serta di tengah keamanan yang tidak stabil, minimnya saranan dan prasarana pendidikan serta rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan? Bagaimana pembangunan pendidikan dalam periode pemulihan keamanan sampai menjelang berakhirnya Orde Lama dan apakah
Pembangunan Pendidikan di Tengah ... 7DX¿NAhmad
transisi kekuasaan mempengaruhi kebijakan pendidikan? Dan bagaimana pembangunan pendidikan pada periode Orde Baru ketika daerah Luwu menjadi salah satu wilayah yang dianggap/ dicurigai masih menyimpan benih-benih separatis dan gerakan Islam fundamental. Bagaimana dampak jangka gerakan DI/TII Kahar Muzakkar terhadap pembangunan sumber daya manusia dalam konteks lebih luas. Pertanyaan-pertanyaan ini secara otomatis menggiring pada pembahasan pembangunan pendidikan di Luwu pada dua periode rezim berbeda. Studi tentang pendidikan dan politik telah banyak dilakukan dari berbagai perspektif. Stavros Moutsios (2010) dalam studinya tentang 3RZHU SROLWLFV DQG WUDQVQDWLRQDO SROLF\PDNLQJ ineducation, menganalisis hubungan antara kekuasaan dan politik di bawah kondisi globalisasi ekonomi dan kebijakan transnasional. Ia menilai bahwa dalam membangun pendidikan tidak hanya tergantung pada kekuasaan yang memproduksi regulasi, praktek pedagogik lokalitas, tetapi juga terletak pada dukungan dan persepsi masyarakat tentang pendidikan, daya saing, serta pertumbuhan ekonomi. Hubungan kekuasaan dan pendidikan dalam sejarah Indonesia, juga dapat dilihat dari hasil Studi Robert van Niel (2009), yang menguraikan tentang perubahan kebijakan pemerintah kolonial Belanda melalui politik etis pada akhirnya melahirkan elite modern terpelajar di Indonesia. Berkaitan dengan politik etis, Elizabeth *UDYHV OHELKVSHVL¿NPHOLKDWUHVSRQSRVLWLI masyarakat Sumatera Barat dan khususnya Bukit Tinggi terhadap kebijakan pendidikan kolonial yang kalau dirunut kemudian melahirkan elite berpendidikan Barat/Islam yang menguasai birokrasi pemerintahan di seluruh Indonesia awal proklamasi. Jika studi Graves yang melihat respon positif masyarakat Minangkabau, maka tulisan ini mencoba melihat cara yang berbeda dengan manganalisis respon dan trauma masyarakat Luwu setelah perang pasifikasi yang mempengaruhi sikap dan pandangan mereka terhadap program pendidikan pemerintah kolonial. Kemudian, tulisan Sarita Pawiloy (1981) tentang sejarah pendidikan daerah Sulawesi Selatan, menggambarkan kondisi pendidikan di
Sulawesi Selatan sejak periode kolonial Belanda sampai tahun 1980-an. Tulisan ini memberi informasi penting terutama perkembangan institusi pendidikan di Sulawesi Selatan. Karya lain ditulis oleh Sarkawi (1997) Perkembangan Pendidikan .RORQLDO GL 0DNDVVDU tulisan ini lebih khusus mengkaji persoalan institusi pendidikan pada periode kolonial. Munculnya sekolah-sekolah formal yang diperkenalkan dan diperuntukkan untuk kepentingan kolonial di Makassar merupakan basis utama pemahasan dari tulisan ini. Kebijakan pendidikan kolonial yang diskriminatif telah melahirkan hanya sedikit kelompok elite berpendidikan di seluruh Hindia Belanda, tidak kecuali di Sulawesi Selatan. Pendidikan tidak hanya melahirkan kelompok elite yang berperan dan mengisi ruang-ruang birokrasi dan politik di tingkat lokal dan nasional, tetapi juga sebagai satu faktor penting membentuk identitas seperti dibahas oleh Heri Kusuma Tarupay (2012) 6HMDUDK6HNRODK&LQDGL0DNDVVDU 3URVHV3HPEHQWXNDQ,GHQWLWDV2UDQJ Cina. Dengan menggunakan data arsip, penelitian ini memberi ruang penjelasan yang detail tentang sekolah Cina di Makassar dan proses pembentukan identitas. Tidak hanya memaparkan angka-angka statistik perkembangan sekolah Cina tetapi juga memberi ruang penjelasan tentang identitas serta kebijakan-kebijakan pemerintah dari berbagai rezim berbeda. Tulisan-tulisan di atas memperkaya sekaligus mempertajam pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam artikel ini. Jika karyakarya sebelumnya meletakkan pembahasan pada perkembangan institusi pendidikan, hubungan institusi pendidikan dengan pembentukan identitas di Sulawesi Selatan, maka studi ini menempatkan relasi antara perkembangan pendidikan dengan situasi politik dan keamanan regional serta kondisi masyakarat dalam konteks lebih luas. Persoalanpersoalan keamanan regional pada tahun 1950an, stigma pemerintah Orde Baru dan kondisi PDV\DUDNDWSDVFDNRQÀLNPHQMDGLWLWLNEHUDQJNDW dalam melihat perkembangan pembangunan pendidikan di daerah Luwu. Tiga pokok bahasan diuraikan dalam artikel ini, yaitu: pertama, penataan awal pendidikan pada
269
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 267—281 SHULRGHNRORQLDO%HODQGDSDVFDSHUDQJSDVL¿NDVL dengan menyoroti trauma dan sikap masyarakat terhadap program pendidikan pemerintah kolonial; kedua, 3HQGLGLNDQGLWHQJDKNRQÀLNGDQ ketidakstabilan politik keamanan regional serta dampak yang ditimbulkan terhadap perkembangan pendidikan di Luwu. .HWLJDPeriode Pemulihan SDVFD NRQÀLN VDPSDL HUD 2UGH %DUX 7UDXPD akibat perang serta kecurigaaan pemerintah atas daerah Luwu yang masih menyisakan gerakan DI/TII Kahar Muzakkar mewarnai pembangunan pendidikan pada periode ini. Dengan pemahaman yang utuh dan komprehensif tentang sejarah PDV\DUDNDW GL WHQJDK NRQÀLN GDQ WUDXPD LQL akan membuka raung yang lebih lus lagi dalam memahami karakter masyarakat itu sendiri sehingga persoalan-persoalan yang muncul dalam pembangunan manusia dalam konteks sekarang ini tidak hanya dipahami secara parsial. METODE Informasi yang dikumpulkan untuk penelitian ini terdiri dari sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis adalah arsip, dokumen, dan kepustakaan dan beberapa surat kabar. Sementara itu sumber lisan berupa wawancara mendalam dengan para praktisi pendidikan, birokrat dan masyarakat pada umumnya yang memiliki kapasitas untuk mendukung fokus penelitian ini. Penelusuran awal data penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (library research). Data yang dikumpulkan berupa buku, hasil penelitian, jurnal, artikel/makalah, dan majalah. Bahan sumber tersebut merupakan rekaman informasi masa lalu terkait dengan sejarah pendidikan di Luwu. Wawancara mendalam dengan beberapa informan tidak hanya sebagai suatu usaha untuk melengkapi informasi tertulis, juga merupakan informasi penting untuk melihat pembangunan pendidikan di Luwu pada tiga periode rezim berbeda. Dalam menganalisis data, akan dipergunakan tiga komponen analisis yang aktivitasnya saling berinterakasi dalam pengumpulan data yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan NHVLPSXODQVHUWDYHUL¿NDVLQ\D.HWLJDDNWLYLWDV tersebut memungkinkan bagi peneliti untuk terus 270
melakukan analisis terhadap data yang diperoleh selama proses penelitian. PEMBAHASAN Respon dan Trauma terhadap Pendidikan Kolonial Dibanding dengan daerah-daerah lain, seperti Jawa dan Sumatera Barat, yang sudah dibangun institusi pendidikan Barat lebih awal oleh pemerintah kolonial Belanda untuk dipekerjakan dalam birokrasi pemerintahan, kondisi ini tidak terjadi di Sulawesi Selatan. Penaklukkan Sulawesi Selatan secara keseluruhan baru pada tahun 1907 sehingga pembangunan institusi pendidikan barat baru dilaksanakan setelah itu, yakni setelah daerah lain seperti di Pulau Jawa dan Sumatera Barat telah menghasilkan kelas menengah yang berpendidikan perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Perang penaklukan Sulawesi Selatan yang berlarut-larut yang menghabiskan biaya besar dan korban di kedua belah pihak pada gilirannya berimplikasi pada keterlambatan dalam pembangunan pendidikan. Tidak hanya itu, perang ini juga melahirkan trauma dan sikap antipati terhadap program pendidikan Barat yang diperkenalkan oleh pemerintah Belanda. Ungkapan bahwa “Jika anak kita pintar, kelak akan dibawa ke negeri Belanda”, adalah sebuah pandangan mencerminkan sikap ketidakrelaan menempuh pendidikan di institusi pendidikan kolonial (Samuel Sampotondok, ZDZDQFDUD 14 Juli 2014). Pandangan ini dipertegas pula oleh Pawiloy (1981: 58) bahwa masyarakat enggan menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Belanda karena baru saja mereka menyaksikan bagaimana tentara Belanda merusak desa-desa mereka dan menembak orang tua mereka. Perang penaklukan Sulawesi Selatan tidak hanya menancapkan kekuasaan Belanda di Sulawesi Selatan, tetapi juga melahirkan trauma dan persepsi buruk terhadap pemerintah kolonial, termasuk dalam bidang pendidikan. Tiga tahun pasca penaklukan Sulawesi Selatan, pemerintah kolonial Belanda baru mulai membangun pondasi pendidikan formal. Terdapat dua insitusi pendidikan formal pada awal penataan pendidikan di derah Luwu, yaitu,
Pembangunan Pendidikan di Tengah ... 7DX¿NAhmad
pertama, institusi pendidikan pemerintah kolonial Belanda, dan kedua, institusi pendidikan zending dan missie. Kedua pelaksana pendidikan ini saling membantu dan melengkapi satu sama lain. Tenaga pendidikan dari zending dapat juga menjadi tenaga pendidik sekolah yang dibangun oleh pemerintah. Baik zending maupun missie adalah juga berasal dari Belanda dan negara Eropa lainnya. Pada tahun 1910, pemerintah Belanda mengelola institusi pendidikan di Luwu, yaitu inlandshe school dan volkschool. Inlandsche school bertempat di Kota Palopo dan Toraja, adalah lembaga pendidikan berbahasa Melayu sehingga dapat disebut sekolah Melayu. Kemudian volkschool merupakan lembaga pendidikan yang didirikan di setiap desa utama di mana terdapat pemukiman yang padat. Tabel 1 Kondisi Pendidikan Formal Tahun 1910 berdasarkan wilayah di Residensi Zuid Celebes Nama Daerah Afdelling Kota Makassar Afdeling Makassar Afdeling Parepare Afdeling Mandar Afdeling Bothain Afdeling Bone Afdeling Luwu
Inlandshe school 3 5 5 3 3 5 3
Volkschool 5 20 20 10 10 20 10
6XPEHU3DZLOR\
Tabel 1 memperlihatkan jumlah lembaga pendidikan yang masih minim dibanding dengan luas wilayah serta jumlah penduduk Sulawesi Selatan yang mencapai 2 juta jiwa. (.HPHQWHULDQ 3HQHUDQJDQ, 1952:25). Sebagai sebuah penataan awal pendidikan, pemerintah Belanda baru dapat menguasai sepenuhnya Sulawesi Selatan dengan menundukkan Bone pada tahun 1907, setelah menghabiskan biaya yang besar, sehingga pembangunan bidang pendidikan terlambat dibanding dengan daerah Jawa dan Sumater Barat yang telah melahirkan kelas menengah terpelajar dari perguruan tinggai di Batavia dan perguruan tinggi Islam di Mesir dan kawasan Timur Tengah lainnya. Peperangan yang berkepanjangan menimbulkan prasangka buruk terhadap pemerintah Belanda sehingga
mempengaruhi jumlah penduduk yang ingin menempuh pendidikan di sekolah Belanda. Keinginan pemerintah Belanda membangun membangun institusi pendidikan Barat tidak begitu mendapat respon positif dari masyarakat. Sebagian masyarakat enggan memasukkan anaknya ke sekolah Belanda. Di samping itu, pendidikan kolonial yang diskriminatif lebih diperuntukkan bagi kaum bangsawan serta budaya paternalistik yang masih kuat mengakibatkan tidak meratanya pendidikan di Sulawesi Selatan. Akibatnya jumlah murid sangat terbatas. Mereka yang menempuh pendidikan formal di sekolah Belanda antara lain; anak-anak para pegawai pemerintah, keluarga para pedagang besar, dan keluarga bangsawan yang tidak memiliki peranan penting dalam peperangan, atau bangsawan yang tidak ikut berperang melawan Belanda, atau bahkan memihak kepada Belanda (Pawiloy, 1981:58). Pada tahun 1912, pemerintah Belanda mendirikan +ROODQG,QODQGVFKH6FKRRO(HIS) di Palopo yang membuka kesempatan lebih besar terhadap penduduk bumi putra untuk mempelajari bahasa Belanda. Sedangkan di Toraja, ketika itu masuk dalam wilayah Afdelling Luwu, berkembang pendidikan formal yang diprakarsai oleh zending. Pendidikan di wilayah ini lebih berkembang daripada Kota Palopo sebagai pusat pemerintahan Afdeling Luwu. Bahkan guruguru yang mengajar di sekolah-sekolah Palopo sebagian lulusan dari sekolah zending di Toraja. Berbeda dengan pendidikan Barat yang diperkenalkan oleh Belanda, pendidikan Islam mendapat respon cukup baik dari kalangan masyarakat. Pendidika Islam yang dipekenalkan ulama lebih terbuka untuk masyarakat. Pada tahun 1930 berdiri institusi pendidikan Islam di daerah Luwu, seperti Madrasah Fakhriyah di Belopa dan Madrasah Alfalah di Palopo. Kedua institusi Islam ini mengajarkan ilmu-ilmu agama dengan biaya pendidikan bersumber dari kas Kerajaan Luwu dan sumbangan masyarakat (Pawiloy, 1981:84-85). Berdirinya institusi pendidikan Islam di wilayah ini merupakan respon atas program pendidikan pemerintah Belanda yang bekerjasama dengan zending. Dengan metode yang masih tradisional, murid-murid atau santri yang memakai sarung
271
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 267—281 dalam aktivitas belajar¸ dan terbuka kepada masyarakat umum, institusi pendidikan Islam mampu berkembang dengan baik. Pada masa pemerintahan Jepang, dengan maksud menarik simpati masyarakat Sulawesi Selatan, pemerintah Jepang mendatangkan tokoh-tokoh ulama berkebangsaan Jepang yang menganut ajaran agama yang sama dengan penduduk. Untuk itu maka didatangkanlah H. Umar Faisal untuk memikat golongan penduduk Sulawesi Selatan yang beragama Islam. Untuk golongan Protestan didatangkan pendeta Miahira, dan untuk golongan Katolik disinggahkan imam Katolik yang dalam perjalanan ke Flores yaitu Aloysius Ogihara SJ dan Paulus Yamaguchi Uskup Nagasaki (Poelinggomang, 2005:92) Dalam bidang pendidikan, pemerintah Jepang kembali berusaha membuka sekolahsekolah yang telah ditutup pada waktu pendudukan, baik di tingkat sekolah dasar maupun tingkat sekolah menengah, serta membuka sekolah-sekolah kejuruan. Hal ini dilakukan dengan harapan melalui lembaga pendidikan itu, mereka dapat mempengaruhi penduduk untuk memandang bahwa pihak Jepang berkeinginan untuk memajukan penduduk, di samping dapat menanamkan pengaruh Jepang kepada murid sekolah dengan memberikan pelajaran tambahan bahasa Jepang dan senam pagi (taiso) ala Jepang sebelum masuk ke kelas. Selain itu pula, para pelajar mengikuti upacara penaikan bendera Jepang diiringi dengan lagu kebangsaan “.LPLJD\R” serta memberi hormat kepada Tenno Heika. Itulah tugas-tugas yang rutin setiap hari di sekolah-sekolah dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di samping bahasa Jepang (Poelinggomang, 2005:92). Penataan Pendidikan Pasca Kolonial Sampai tahun 1950an, tidak ada perkembangan berarti dalam bidang pendidikan disebabkan karena munculnya berbagai NRQÀLN GDQ NRQGLVL SROLWLN \DQJ EHOXP VWDELO Ricklefs (2008:493) menyebut periode 19501957, dalam sejarah Indonesia sebagai masa “percobaan demokrasi”. Sebagai masa percobaan demokrasi, terdapat berbagai persoalan internal dan perdebatan terkait dengan paradigma 272
politik dan ideologi negara. Akibatnya, muncul berbagai konflik dengan kompleksitas dan kerumitan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pergolakan di daerah Sulawesi Selatan sepanjang periode ini, mulai dari pemberontakan Andi Aziz, DI/TII Kahar Muzakkar sampai ke gerakan Permesta adalah cermin dari perbedaan pandangan tersebut. Pertempuran yang berlarut-larut berimplikasi pada internalisasi dan embedded-nya budaya militer dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di seluruh Sulawesi Selatan. Militerisasi politik sangat menghalangi perkembangan politik masyarakat sipil seperti ditemukan oleh Esther Velthoen dalam studinya (2011) bertali temali pula dengan budaya paternalistik pemerintahan dan kelompok bangsawan Bugis-Makassar warisan kerajaan. Kondisi rakyat sebagian besar buta huruf dan miskin dan peran mereka sebagai klien yang melayani kebutuhan patronnya. Kondisi ini telah menghambat sikap egaliter yang diperlukan untuk mobilitas sosial masyarakat melalui pendidikan. Inilah persoalan-persoalan kultural yang dihadapi dalam pembangunan pendidikan. Menyadari pentingnya pembangunan sektor pendidikan, pemerintah Luwu pada 30 Januari 1952, mengadakan pertemuan antara kepala Wanua dan kepala Jawatan daerah Luwu di Kantor Dewan Pemerintah Swapraja Luwu. Salah satu persoalan penting yang dibahas dalam pertemuan itu adalah pembangunan pendidikan rakyat. Berbagai persoalan pengajaran, pemberantasan buta huruf dan keamanan merupakan isu penting yang disampaikan hampir semua kepala Wanua dan Jawatan. Rapat ini merupakan respon atas ketertinggalan daerah Luwu dalam bidang pendidikan serta respon atas terbentuknya Pemerintaha Luwu sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (Arsip Kabupaten Luwu, Reg. 38). Sejak Desember 1950, pemerintah Provinsi Sulawesi telah menggalakkan Kursus Pengajaran dan Kursus Pengantar ke Kewajiban Belajar yang tersebar di setiap kabupaten, dengan tujuan membantu mengatasi kekurangan guru pada Sekolah Rakyat. Usaha ini termasuk sebagian dari rencana 10 tahun menuju kepelaksanaan Undang-undang Kewajiban Belajar. Jumlah
Pembangunan Pendidikan di Tengah ... 7DX¿NAhmad
murid Kursus Pengajar pada permulaan tahun pengajaran 1950/51 sekitar 679 orang (Angkatan A) (.HPHQWHULDQ 3HQHUDQJDQ RI, 1952:491). Jumlah ini tentunya tidak memadai jika dibanding dengan jumlah penduduk serta luas wilayah di Provinsi Sulawesi, sehingga tidak mampu menutupi kebutuhan guru di wilayah Provinsi Sulawesi. Kursus Pengajar di Kabupaten Luwu di tempatkan di Kota Palopo dengan pasilitas dan jumlah peserta masih sangat terbatas.Sementara angka buta huruf di daerah ini mencapai 433.726 jiwa, sedangkan jumlah penduduk yang dapat membaca dan menulis hanya 48.192 jiwa (.HPHQWHULDQ3HQHUDQJDQ5,, 1952:500). Jumlah angka buta huruf ini cenderung bertambah mengingat angka kelahiran cukup tinggi tanpa dibarengi dengan program-program pemberantasan buta huruf yang memadai. Kemudian, wilayah Toraja sebagai bagian dari wilayah Luwu ketika itu lebih diuntungkan dengan fasilitas pendidikan lebih memadai daripada di wilayah Luwu itu sendiri. Fasilitas pendidikan di Toraja merupakan warisan dari sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Sekolah Rakyat dapat ditemui di Makale, Rantepao dengan ketersediaan guru masih cukup memadai. Bahkan, beberapa guru yang mengajar di Luwu merupakan lulusan dari sekolah rakyat di Toraja karena sekolah rakyat terdapat di Kota Palopo dan Masamba belum menghasilkan lulusan. Sejak tahun 1950, kebijakan pendidikan menekankan pada pendidikan sekolah rakyat dengan membentuk dua pembagian kerja, yaitu, Badan Penyelenggara Sekolah Rakyat dan Inspeksi Aparat Sekolah Rakyat. Wilayah kerja Badan Penyelenggara Sekolah Rakyat adalah daerah-daserah kabupaten yang telah mendapatkan mandat penyelenggaraan sekolahsekolah rakyat. Bidang kerja meliputi, penerimaan murid baru, tata usaha keuangan, administrasi, alat-alat perlengkapan, alat-alat pengajaran, kepegawaian, dan pengadaaan serta pemeliharaan sarana gedung. Badan ini memegang peranan penting dalam hal pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan dengan baik dan mengatur dalam pengadaaan gedung dan pekarangan sekolah. Inspektor atau disebut juga Penilik Sekolah
untuk Sekolah Rakyat bertugas sebagai pelaksana teknis pendidikan dan pengajaran. Tugas-tugasnya antara lain, menetapkan dan mengubah kurikulum (rencana pelajaran sekolah), pengawasan mengenai pelaksanaan pengajaran, serta menetapkan liburan sekolah. Pada periode ini, kelender liburan pendidikan berdasarkan perhitungan tahun Qamariah, sehingga masa liburan pada bulan Ramadhan, sedangkan sistim pengajaran menggunakan kelender pendidikan berdasarkan perhitungan tahun Masehi (Pawiloy, 1981:51). Sistem pengajaran pada periode ini pada dasarnya telah meletakkan unsur budaya dan agama sebagai bagian penting dari pendidikan. Perubahan penetapan kurikulum bisa berbeda setiap daerah tergatung kebutuhan dan keadaan daerah masingmasing.Inspeksi aparat sekolah memiliki tugas penting dalam menetapkan dan mengubah kerikulum termasuk rencana pelajaran sekolah. Pada pertengahan tahun 1951 dibentuk Inspeksi-Inspeksi Sekolah Dasar Kabupaten, yang dikepalai oleh Penilik Sekolah Rakyat. Kemudian dalam mengorganisasikan tugas pengawasan Penilik Sekolah Rakyat dibentuk kepala Penilik Sekolah Rakyat. Tompang selaku kepala Penilik Sekolah Rakyat pada periode itu melakukan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengsinergikan semua pihak untuk memajukan pendidikan di daerah Luwu, termasuk dalam upaya pemberantasan butu huruf (Arsip Kabupaten Luwu Reg. 38). Tabel 2. Jumlah Buta Huruf di Sulawesi Sulawesi Selatan 1952 No.
Daerah
Buta Huruf
1 2 3 4 5 6 7
K. BesarMakassar Kabupaten Makassar Kabupaten Bonthain Kabupaten Bone Kabupaten Parepare Kabupaten Luwu Kabupaten Mandar
128.250 533.287 347.843 696.662 376.804 433.726 244.600
Pandai Membaca/ Menulis 128.250 177.762 61.384 122.940 66.495 48.192 43.165
6XPEHU.HPHQWHULDQ3HQHUDQJDQ5,
Tabel di atas memperlihatkan bahwa daerah Luwu memiliki tingkat buta huruf urutan ketiga terbanyak setelah Bone dan Makassar, sementara 273
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 267—281 jumlah penduduk yang dapat membaca di Luwu urutan kedua terendah setelah Kabupaten Mandar. Sebuah angka yang cukup memperihatinkan ketidakseimbangan antara jumlah buta huruf dengan jumlah melek huruf. Keadaan ini tentunya akan menghambat proses pembangunan pendidikan di Kabupaten Luwu. Upaya pemberantasan buta huruf di Luwu
dilakukan dengan membuka kursus-kursus membaca di berbagai tempat. Didirikan enam tempat kursus yang tersebar di wilayah Luwu dengan jumlah pelajar laki-laki 91 orang, perempuan 125 orang, dengan jumlah guru sebanyak 7 orang. Mengenai usaha pemberantasa buta di huruf di Sulawesi Selatan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Usaha Pemberantasan Buta Huruf di Sulawesi Selatan tahun 1952 Pelajaran No
Kota/ Kabupaten
Kursus
LakiLaki
Perempuan
Jumlah
Guru
Lulus ujian
1 2 3 4 5 6 7
K. Besar Makassar Makassar Bonthain Bone Parepare Luwu Mandar
83 950 679 241 339 6 635
1378 17919 12005 4104 3931 91 11398
840 12346 19411 3464 6239 125 14753
2218 30265 31416 7568 10170 217 26151
68 682 555 162 267 7 656
502 8807 1101 2637 16224 1944 1736
6XPEHU.HPHQWHULDQ3HQHUDQJDQ5,
Tabel di atas memperlihatkan masih minimnya kursus pembaca di daerah Luwu dibanding dengan daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan. Tingkat kapasitas sumber daya manusia yang rendah ini sangat memprihatinkan, mengingat Luwu merupakan wilayah tua dengan kebesaran Kerajaan Luwu di masa lalu.Jumlah angka buta huruf masih tinggi, fasilitas pendidikan seperti tempat kursus masih terbatas, apalagi menyebutkan program pemberantasan buta huruf yang masih minim dan setengah hati. Dalam laporan kepala-kepala Wanua se-Kabuapten Luwu pada 31 Januarti 1952 diketahui bahwa terdapat tempat kursus yang tidak memiliki guru dan sangat sedikit anak-anak mau belajar membaca. Rendahnya minat belajar di daerah Luwu disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan. Pandangan bahwa “kerbau saja bisa makan tanpa sekolah”yang masih melekat dalam masyarakat menjadi salah satu faktor rendahnya keinginan orang tua menyekolahkan anaknya. Anggapan ini berdasar pada sumber daya alam Luwu yang melimpah, tanah yang subur sehingga mereka dapat mengakses pangan dengan mudah.
274
Kemudahan mengakses pangan mengkibatkan rendahnya tantangan hidup sehingga mereka cenderung mengabaikan pendidikan (Samuel Sampetondok, ZDZDQFDUD11 Juli 2014). Rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingya pendidikan terlihat juga pada program Taman Pustaka. Program bertujuan untuk meningkatkan minat belajar bagi mereka yang telah lulus kursus membaca. Taman Pustaka ini didirikan di beberapa Kabupaten di Sulawesi Selatan dengan berbagai tingakatan, yaitu, pengantar, rendah, menengah dan untuk setiap kabupaten dijadikan Taman Pustaka induk. Taman Pustaka ini bertujuan untuk mempertahankan kemampuan membaca pelajar yang telah lulus kurus pengetahuan umum dan pembaca. Di Kabupaten Luwu taman bacaan ditempatkan di Kota Palopo dengan jumlah buku sebanyak 690 buah persediaan buku sedangkan jumlah pengujung hanya mencapai 73 orang. Sebuah angka pengunjung yang sangat sedikit dibanding dengan kabupaten lain di Sulawesi Selatan. Selain pemberantasan buta huruf, percepatan pembangunan pendidikan juga menjadi persoalan penting. Salah satu metode yang diprogramkan pemerintah Luwu adalah perlunya menggalakkan anak angkat sehingga anak-anak yatim yang tidak
Pembangunan Pendidikan di Tengah ... 7DX¿NAhmad
dapat bersekolah mendapat tunjangan. Guruguru disarankan memperbanyak anak angkat sehingga mereka dapat bersekolah dan setidaknya mendapat mendidikan dari bapak angkat. Kemudian, memberdayakan sekolah-sekolah yang telah didirikan juga menjadi perhatian pemerintah Luwu. Dalam laporan Kepala Wanua Suli bahwa sampai pada Januari 1952, mereka belum mendapatkan guru sebagaimana yang dijanjikan oleh pemerintah Luwu. Berbeda halnya dengan di daerah Wara bahwa sekolah yang telah berdiri selama enam bulan tetapi belum bisa dipergunakan karena kekurangan guru.Untuk mengatasi berbagai pesoalan ini pemerintah Luwu kemudian mendirikan Panitia Penmas (Pendidikan Masyarakat) di setiap distrik. Panitia ini bertujuan untuk mengindentifikasi persoalan-persoalan pendidikan masyarakat kemudian memberikan masukan-masukan kepada pemerintah (Arsip Kabupaen Luwu Reg 38). Persoalan-persoalan pendidikan di atas merupakan kendala utama yang dihadapi oleh pemerintah Luwu. Persoalan-persoalan pendidikan ini merupakan warisan dari pemerintah kolonial yang harus segera mendapat penyelesaian. Akan tetapi di tengah berjalannya program-program pembangunan di bidang pendidikan di Luwu, pada VDDWLWXSXODPXQFXONRQÀLNGDQNHWLGDNVWDELODQ politik lokal yang menghambat kemajuan pendidikan. Daerah Luwu kemudian menjadi basis gerakan DI/TII Kahar Muzakkar (Hamid, 2009:30). Akibatnya, program pendidikan tidak dapat dijalankan secara maksimal. 3HQGLGLNDQ5DN\DWGL7HQJDK.RQÀLN Sebuah artikel dalam Harian Rakyat menyatakan bahwa tahun 1958 “Sulawesi Selatan dikenal sebagai daerah yang terus menerus dalam pemberontakan”. (+DULDQ 5DNMDt, 01-09-1958). Mulai dengan insiden Andi Aziz pada April 1950, gerakan DI/TII Kahar Muzakkar (1952-1960), sampai pada gerakan Permesta (1957-1961). Di antara gerakan daerah ini, DI/TII Kahar Muzakkar merupakan gerakan yang paling memberi pengaruh terhadap pembangunan pendidikan di Luwu. Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar
menimbulkan “kekacauan” dalam bidang pemerintahan (Gonggong, 2004:400-403). Roda pemerintahan semakin sulit dijalankan dengan baik, karena suatu daerah tidak sepenuhnya berada di bawah pemerintahan RI, melainkan juga berada di bawah kekuasaan pasukan DI/TII. Suatu daerah yang terdiri dari sekian distrik, mungkin akan terbagi distrik yang satu dikuasai oleh TNI, sedangkan yang lainnya de facto dikuasai oleh DI/ TII. Sebagai contoh, daerah Sinjai yang terbagi atas 5 distrik, ternyata 3 distrik sepenuhnya daerah de facto dikuasai oleh DI/TII. Demikian pula daerah-daerah lainnya yang memang merupakan pusat kekuatan DI/TII, seperti Luwu, Bone dan Mandar (Gonggong, 2004:404). Kemudian dalam bidang ekonomi, DI/ TII menguasai sumber-sumber perekonomian utama di daerah pedalaman Luwu sehingga menyulitkan kehidupan rakyat pada umumnya. Sebagian masyarakat meninggalkan pemilikannya mencari tempat yang aman, dan bahkan ada yang bermigrasi ke luar Sulawesi. Sementara mereka yang bertahan mengalami kesulitan untuk menggarap lahan pertanian mereka seperti sawah atau kopra karena mendapat tekanan dari pasukan DI/TII baik untuk perjuangan mereka maupun untuk kepentingan pribadi. Sementara itu penduduk setempat terkadang diteror dengan pembunuhan, penganiayaan dan perampokan bahkan tindakan kekerasan terhadap kaum wanita berupa pemerkosaan (Arsip Provinsi Sulawesi Reg. 488). Rasa tidak aman yang dialami oleh penduduk di pendalaman menyebabkan pengungsian penduduk.Sebagian besar penduduk pedalaman Sulawesi Selatan melakukan migrasi ke Kota Makassar dan daerah-daerah lain di luar Sulawesi (Arsip Kodya Ujung Pandang Reg. 184). Banyaknya migrasi dari pedalaman mengakibatkan jumlah penduduk Kota Makassar mengalami peningkatan luar biasa sampai lima kali lipat dari periode sebelumnya (Pradadimara, 2004:8). Masyarakat Luwu sebagian meninggalkan kampung halaman mencari daerah-daerah baru yang lebih aman. Sebagian dari mereka merantau mengungsi sampai wilayah Poso dengan berjalan kaki. Sebagian juga menyingkir ke daerah Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur Utara, yang lebih 275
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 267—281 aman,bercocok tanam sehingga memunculkan pemukiman-pemukiman baru.Sementara itu gerakan pasukan Kahar Muzakkar membakar sejumlah kampung yang dianggap tidak memihak kepada perjuangan DI/TII, seperti Kampung Bastem, dibumi hanguskan oleh pasukan Kahar Muzakkar, termasuk sekolah zending, yang dibangun sejak zaman kolonial Belanda (Andarias Pasomba, ZDZDQFDUD13 Juli 2014). Dampak yang paling dirasakan dari ketidakmaman itu bagi masyarakat Luwu dapat dilihat terutama dalam bidang pendidikan adalah mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan. Sekolah-sekolah sebagian besar tutup karena seringnya terjadi kontak senjata antara TNI dengan pasukan DI/TII Kahar Muzakkar. Dengan demikian, gerakan Kahar Muzakkar dan krisis ekonomi tidak hanya merusak sendi-sendi ekonomi masyarakat tetapi juga merampas masa depan generasi muda dengan ketidaktersediaan saranan dan prasana pendidikan. Programprogram pendidikan yang telah direncanakan sebelumnya tidak dapat diterapkan sehingga angka buta huruf semakin meningkat dan sebagian besar sekolah di daerah kecamatan ditutup karena tidak adanya murid. Guru-guru kemudian pindah ke Kota Palopo atau berhenti sementara. Sejak meletus gerakan DI/TII Kahar Muzakkar, program pendidikan dan pengajaran tidak dapat dilaksanakan, kecuali di daerah Kota Palopo masih ada sekolah beroperasi karena situasi keamaan relatif dapat dikendalikan oleh TNI (Samule Sampetondok, ZDZDQFDUD11 Juli 2014) Pada tahun 1956, dalam laporan Jawatan Kementerian Penerangan Kabupaten Luwu memperlihatkan aktivitas masyarakat di Kota Palopo masih berjalan dengan baik di bawah kontrol militer dalam hal ini STTV Brawijaya. Masyarakat juga masih menyelenggarakan kegiatan-kegiatan perayaan nasional, seperti Hari Kartini, dan lain sebagainya. Program-program penyuluhan, kursus keterampilan, sekolahsekolah masih berjalan dengan baik. Demikian pula roda perekonomian masih memperlihatkan denyut nadinya yang ditandai dengan produksi pertanian rakyat (beras) di wilayah Wara, Walenrang, Lamasi dan Palopo masih berjalan dengan baik (Arsip Kabupaten Luwu Reg. 144). 276
Akan tetapi di daerah pedalaman sama sekali tidak ada sekolah beroperasi. Masyarakat sebagian besar mengungsi dan meninggalkan kampung halaman sehingga sekolah-sekolah tutup. Pada tahun 1957, daerah Wotu, Mangkutana, Malili telah dikuasai oleh pasukan DI/TII Kahar Muzakkar. Masyarakat kemudian mengungsi ke Poso dengan berjalan kaki. Mereka meninggalkan kampung halaman, harga dan tanah mereka untuk mencari tempat aman (Samule Sampetondok, ZDZDQFDUD11 Juli 2014). Gejolak yang terjadi sepanjang gerakan DI/TII Kahar Muzakkar telah menghambat pembangunan pendidikan di daerah Luwu. Bahkan, gerakan DI/TII Kahar Muzakkar tidak hanya berdampak pada pembangunan pendidikan, tetapi juga berdampak pada memburuknya hubungan Toraja dengan Luwu dan beberapa komunitas etnis lainnya seperti Larompong yang sebagian besar berbeda keyakinan dengan perjuangan DI/TII Kahar Muzakkar (Dik Roth, .RQÀLNDQWDUD71,GHQJDQ',7,,Kahar Muzakkar mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat sipil yang berkepanjangan sehingga pendidikan formal, terutama di daerah pedalaman mengalami kelumpuhan total. Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar justru melarang masyarakat menempuh pendidikan di sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah. Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar kemudian membangun sistem pendidikan berdasarkan ajaran Islam.Sekolah-sekolah yang didirikan di wilayah kekuasannya berbasis Islam. Kahar Muzakkar kemudian melibatkan ulama dari berbagai daerah untuk bersama-sama masuk di hutan dan menjadi iman dan guru agama di basis-basis kekuatan Kahar Muzakkar (Bosra, 2008:271). Pembangunan Pendidikan dan Melawan Trauma Setelah pemberontakan DI/TII, persoalan utama yang dihadapi adalah pemulihan keamanan dan trauma masa lalu menjadi memori kolektif yang masih kuat dalam alam kesadaran masyarakat Luwu.Kondisi ini membutuhkan waktu cukup lama untuk memulihkannya.Kontak senjata antara TNI dengan DI/TII Kahar Muzakkar tidak terjadi lagi,
Pembangunan Pendidikan di Tengah ... 7DX¿NAhmad
WHWDSLVLVDVLVDGDULNRQÀLNEHUNHSDQMDQJDQPDVLK melekat dalam ingatan masyarakat. Pemerintah melakukan serangkaian kegiatan berupa bantuan kepada daerah-daerah yang merasakan dampak VLJQL¿NDQ GDUL JHUDNDQ ',7,, Kahar Muzakkar berupa bantuan alat-alat pertanian dan nelayan. Wilayah yang mendapat bantuan terutama yang memiliki kerusakan akibat perang. Selain trauma akibat perang, wilayah Luwu mendapat stigma buruk dari pemerintah sebagai wilayah yang perlu diwasdai secara ideologis karena masih dianggap menyisakan gerakan DI/ TII Kahar Muzakkar. Pada masa pemerintahan Orde Baru, para eks gerilyawan DI/TII Kahar Muzakkar masih memperlihatkan peran sosial dalam masyarakat, baik sebagai pemimpin formal seperti Kepala Desa, Kepala Kampung maupun sebagai pemimpin non formal terutama dalam bidang keagamaan. Mereka masih sering melakukan pertemuan-pertemuan dan memiliki jaringan yang cukup kuat (Surianto, 2004:40). Keadaan ini memunculkan kekhawatiran pemerintah sehingga penerapan kebijakan pendidikan di daerah Luwu di tempuh dengan hati-hati dan penuh pertimbangan Di tengah upaya pemulihan tersebut, konflik politik dan ideologi yang merembes sampai tingkat lokal melahirkan pengelompokan politik di daerah. Pengelompokan ekonomi dan budaya yang saling memotong di tingkat lokal PHQMDGL WXPSDQJ WLQGLK GHQJDQ D¿OLDVL SROLWLN (Ahmad, 2009:42). Hasilnya bukan politik aliran di tingkat elite, tetapi juga pada basis massa di mana masyarakat terpilah secara vertikal dan horizontal dalam aliran-aliran politik dan partai, yang dikelilingi sejumlah organisasi sosial yang terkait dengannya, baik secara formal maupun non formal. Organisasi-organisasi massa bergerak sesuai dengan garis politik partai yang mendukungnya. Pertarungan di tingkat elite berlanjut di massa dimana segmen masyarakat sipil terbanyak berada di lapisan ini. Fenomena ini terjadi di Sulawesi Selatan dengan ciri khas maraknya partai politik dan suburnya organisasi sosial masyarakat yang berhaluan politikideologis. Dalam konteks demokrasi, tentunya hal ini sangat baik untuk pertumbuhan dinamika politik, tetapi sangat destkruktif untuk negara yang baru saja merdeka.Pembangunan pendidikan
kemudian juga menjadi bagian dari arena partai politik berebut pengaruh. Pengelompokkan politik tidak hanya di kalangan buruh, tetapi juga di kalangan pelajar, mahasiswa, organisasi profesi dan birorakrasi pemerintah. Masing-masing partai seakan berlomba-lomba mendirikan organisasi massa di semua lapisan masyarakat. Akibatnya masyarakat terpecah dalam berbagai aliran politik dengan ideologi dan garis perjuangan yang berbeda-beda. Keadaan yang sama dalam dunia pendidikan, dimana masing-masing partai politik memiliki jaringan dalam pendidikan sejak usia dini, bahkan memasuki organisasi ekstra kurikuler sekolah. Hal ini tentunya akan mempengaruhi perkembangan pendidikan. Daerah Luwu yang sebelumnya merupakan basis partai Masyumi tidak mendapat tempat karena menjadi partai terlarang sehingga senantiasa mendapat mendapat pengawasan serius dari pemerintah sehingga institusi pendidikan formal berbasis agama Islam mengalami proses pelambatan. Berbeda dengan pendidikan Islam, pendidikan profesi justru mendapat perhatian pada periode ini, seperti setiap kabupaten, termsuk di Kota Palopo didirikan sekolah-sekolah kejuruan atau keterampilan. Kendatipun demikian, sekolahsekolah kejuruan juga menjadi salah satu sumber kampanye partai politik. Bahkan terdapat kursuskursus politik di berbagai daerah. Partai-partai politik juga membuka kursus-kursus keterampilan, seperti menjahit dan lain sebagainya.Secara bertahap, program-program pengajaran mulai dilaksanakan di daerah Luwu dan sekitarnya yang tidak luput dari peran partai politik. Persoalan utama yang kemudian muncul adalah kerusakan infrastruktur yang menghubungkan dari satu tempat ke tempat lain. Kerusakan yang terjadi selama pergolakan DI/ TII Kahar Muzakkar memerlukan setidaknya sepuluh tahun untuk memulihkan kembali jalan-jalan yang rusak serta sekolah-sekolah yang tidak terawat (Samuel Sampotondok, ZDZDQFDUD 11 Juli 2014). Di berbagai tempat tidak dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat sehingga menyulitkan pemerintah dalam program pemerataaan pendidikan. Akibatnya, angka buta huruf dan putus sekolah di Kabupaten 277
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 267—281 Luwu salah satu yang tertinggi di Sulawesi Selatan. Menjelang tahun 1965, program pengajaran mengalami goncangan serius.Peristiwa 30 September 1965 berdampak pada masyarakat Luwu, terutama di wilayah transmigrasi yang didominasi oleh orang Jawa. Konflik sosial kembali muncul sehingga menghambat pembangunan pendidikan. Trauma akibat DI/ TII belum sepenuhnya selesai, masyarakat Luwu mendapat guncangan serius dengan merebaknya NRQÀLNVRVLDOVHSHUWLSHPEXQXKDQGDQSHQFXOLNDQ orang-orang Jawa di daerah transmigran (Ilham, ZDZDQFDUD12 Agustus 2008). Sekolah-sekolah kemudian diliburkan untuk sementara waktu disertai pemeriksaan terhadap aparat pendidikan. Orang-orang Jawa baik dari masyarakat biasa ataupun aparat pendidikan mendapat intimidasi. Mereka khawatir mendapatkan ancaman dan dianggap sebagai orang komunis. Setelah Orde Baru mengambil alih kendali pemerintahan, maka terjadi perombakan secara besar-besaran terhadap struktur pemerintahan, termasuk dalam bidang pendidikan. Paradigma pendidikan Orde Baru bahwa seluruh bentuk pendidikan ditujukkan untuk memenuhi kepentingan penguasa, terutama untuk pembangunan nasional. Siswa sebagai peserta didik, dididik untuk menjadi manusia “pekerja” yang kelak akan berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara. Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk mengeksploitasi intelektualitas mereka untuk kepentingan pemerintahan. Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja. Ada ideologi tersembunyi di balik politik pendidikan pemerintah di Luwu, yakni mencegah terjadinya gerakan separatis. Daerah Luwu yang sebelumnya merupakan pusat gerakan DI/TII Kahar Muzzakkar mendapat perhatian serius pemerintah. Pendidikan di Luwu diarahkan agar gerakan Islam yang fundamentalis sedapat mungkin 278
ditekan dan tidak muncul kembali. Oleh karena itu, daerah Luwu mendapat perhatian pemerintah sebagai wilayah yang senantiasa mendapat pengawasan. Pendidikan sedapat mungkin diarahkan untuk menghilangkan kelompokkelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Pemerintah kemudian menyusun kurikulum baru yang dikenal dengan nama Kurikulum 1968. Kurikulum ini mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan pertimbangan untuk tujuan pembentukan manusia Pancasila sejati.Refereensi? Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Dalam bidang pembangunan pendidikan GDVDUWHUMDGLVXDWXORQFDWDQ\DQJVDQJDWVLJQL¿NDQ dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) tentang Pendidikan Dasar. Namun, yang disayangkan adalah pengaplikasian Inpres ini hanya berlangsung dari segi kuantitas tanpa diimbangi dengan peningkatan kualitas.Yang terpenting pada masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan. Di daerah Luwu dibangun Sekolah Dasar Inpres sampai ke tingkat desa, membuka akses akses pendidikan lebih merata dibanding periode sebelumnya. Pelaksanaan pendidikan pada periode ini ternyata banyak menemukan kendala, karena pendidikan Orde Baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga menempatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. Ebtanas, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk melanggengkan status quo penguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri. Pada pendidikan masa Orde Baru kesetaran dalam pendidikan tidak dapat diciptakan karena unsur dominatif dan submisif masih sangat kental dalam pola pendidikan. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban materi pelajaran yang banyak dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi
Pembangunan Pendidikan di Tengah ... 7DX¿NAhmad
kepentingan dengan faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka terhadap lingkungan (Yamin, 2009:92). Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini, antara lain; Pertama, produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja. Sehingga, berimplikasi pada hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak memanusiakan manusia), .HGXD lahirnya kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang berpikiran positivistik, .HWLJD hilangnya kebebasan berpendapat. Pemerintahan mengedepankan moto “membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”. Pada tahun 1969-1970 diadakan Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) dan menemukan empat masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia: pemerataan, mutu, UHOHYDQVLGDQH¿VLHQVLSHQGLGLNDQ'DQKDVLOQ\D digunakan untuk membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) (Yamin, 2009:99). Pada masa Orde Baru dibentuk BP-7 yang menjadi pusat pengarus utamaan (mainstreaming) Pancasila dan UUD 1945 dengan produknya mata ajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan penataran P-4. Di tahun 1980 mulai timbul masalah pendidikan di Indonesia.Salah satunya adalah “pengangguran terdidik”. Depdiknas di bawah Menteri Wardiman Djojohadiningrat (Kabinet Pembangunan VI) mengedepankan wacana pendidikan “link and match” sebagai upaya untuk memperbaiki pendidikan Indonesia pada masa itu (Nugroho, 2008:20) Pada tahun 1975, pemerintah menyusun kurikulum baru yang dikenal Kurikulum 1975. Kurikulum ini menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (PDQDJHPHQWE\REMHFWLYH). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi: tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting,
karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajarmengajar berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan pelaksanaan program belajar mengajar. Setiap tatap muka telah diatur dan dijadwalkan sedari awal. Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan bertahap. Pada tahun 1984, pemerintah kembali membuat kurikulum baru yang dikenal Kurikulum 1984. Kurikulum ini mengusung process skill approach. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau 6WXGHQW$FWLYH/HDPLQJ (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukkan suatu pengetahuan dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan mendiskusikan sesuatu. Instrumen pendidikan pemerintah Orde Baru mencerminkan upaya peningkatan mutu pendidikan yang bersifat keseragaman kurikulum seluruh Indonesia dan tidak memberi ruang yang banyak kepada pengembangan kurikulum muatan lokal. Materi pelajaran tidak menyentuh aspek lokalitas, sehingga peserta didik teraliniasi dari realitas tempat tinggalnya. Mereka kemudian lebih mengenal sejarah Jawa daripada sejarah daerah sendiri. Kabupaten Luwu dengan sumber daya alam melimbah serta warisan budaya lokal tidak mendapat tempat dalam proses pembelajaran. Bahkan pemerintah tidak memberi ruang untuk berdirinya lembaga pendidikan di luar pemerintah, seperti pendidikan Islam berbasis pesantren. Menurut Arief (2005: xi) bahwa selama kurun waktu lebih dari beberapa dasawarsa sejak Indonesia bebas dari kolonialisme, dunia pendidikan Islam di Indonesia dikatakan EHOXP PHPEHULNDQ NRQWULEXVL \DQJ VLJQL¿NDQ terhadap kemajuan bangsa. Pendidikan Islam saat ini kelihatan sering terlambat merumuskan diri merespon perubahan dan kecenderungan 279
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 267—281 perkembangan masyarakat sekarang dan masa mendatang.Kondisi ini dapat ditemukan dalam perkembangan pendidikan Islam di Luwu yang cenderung melambat di era Orde Baru. Keterlambatan dunia pendidikan Islam di Luwu dalam merespon perubahan tidak hanya disebabkan faktor internal pendidikan Islam itu sendiri, tetapi ruang yang diberikan pemerintah relatif tertutup dibanding dengan daerah lain. Pesantren Modern Datok Sulaiman Palopo baru berdiri pada 1982, sementara di daerah-daerah lain, seperti Wajo, Bone, Pinrang telah berkembang pendidikan berbasis pesantren jauh sebelumnya. Keterlambatan ini disebabkan karena wilayah Luwu pada masa Orde Baru masih dianggap sebagai daerah yang menyisakan gerakan DI/TII Kahar Muzakkar. Trauma masyarakat Luwu serta kecurigaan pemerintah menjadi salah satu faktor sektor pendidikan formal berbasis Islam di Luwu terlambat dibanding daerah lain. Proses pendirian Pesanteran Datok Sulaiman di Palopo melalui tahapan yang cukup panjang (Arifa, ZDZDQFDUD 14 Juli 2014). Akibat lebih dari keterlambatan pembangunan pendidikan di Luwu adalah masih tingginya jumlah angka buta huruf di wilayah ini. Kendatipun derah Luwu dikenal dengan sumber daya alam yang berlimpah, namun kontrol atas sumber daya alam tersebut justru lebih banyak dimanfaatkan oleh para pendatang. Sementara sektor pendidikan memperlihatkan gejala melambat dibanding dengan daerahdaerah lain. Setelah reformasi, Luwu mengalami perkembangan pesat seiring dengan dibentuknya kabupaten-kabuapten baru, seperti: Luwu Timur, Luwu Utara, Kota Palopo dan Kabupaten Luwu. PENUTUP Perkembangan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari perubahan-perubahan politik kekuasaan dan kondisi masyarakat di mana instrumen kebijakan pendidikan dijalankan. 3HUDQJ SDVL¿NDVL GDQ SHUXEDKDQ SROLWLN SDVFD perang melahirkan trauma dan persepsi buruk masyarakat Luwu atas kebijakan pemerintah Belanda dalam berbadai bidang. Trauma dan sikap antipati terhadap pemerintah Belanda tercemin 280
pada ketidakrelaan masyarakat mendukung insititusi pendidikan kolonial. Akibatnya, program pengajaran pada masa pemerintah kolonial Belanda mengalami proses pelambatan. Sementara itu, respon berbeda diperlihatkan terhadap sekolah pendidikan Islam, yang justru mendapat dukungan dari Kerajaan Luwu dan masyarakat. Periode kemerdekaan, penataan kembali pendidikan warisan kolonial tidak dapat berjalan GHQJDQ EDLN NDUHQD PXQFXOQ\D NRQÀLN SROLWLN dan ketidakstabilan regional berdampak semakin tertinggalnya pembangunan pendidikan di Kabupaten Luwu. Pada periode pemulihan keamanan dan pembangunan kembali institusi SHQGLGLNDQWUDXPDDNLEDWNRQÀLNEHUNHSDQMDQJDQ memberi pengaruh terhadap kemajuan bidang pendidikan. Perubahan-perubahan politik nasional sampai menjelang lahirnya Orde Baru berpengaruh penting terhadap perkembangan pendidikan di Luwu. Pada periode Orde Baru, program pendidikan yang diarahkan menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, lebih mengarah pada pencegahan gerakan-gerakan separatis yang dapat mengancam integrasi bangsa. Daerah Luwu merupakan termasuk wilayah yang diwaspadai munculnya gerakan-gerakan Islam fundamental. Akibatnya, terdapat politik pendidikan yang diskriminasi yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru. Masyarakat Luwu tidak mendapat ruang lebih leluasa dalam pengembangan pendidikan, terutama pendidikan berbasis Islam. DAFTAR PUSTAKA ARSIP Peraturan Pemerintah No. 56 tahun 1951 Berita Rapat Kepala2 Wanua dan Kepala2 Djawatan pada tanggal 31-01-1952 bertempat di ruangan Dewan Pemerintah Swapradja Luwu di Palolo (Arsip Kabuparen Luwu) Arsip Provinsi Sulawesi 1960 Reg. 488 tentang masalah yang berhubungan dengan pembunuhan, penganiayaan dan kematian yang dilakukan oleh gerombolan dan beberapa anggota militer. Arsip Pemerintah Kotamadya Ujung Pandang 1926-1988 Volume I Reg. 184 tentang
Pembangunan Pendidikan di Tengah ... 7DX¿NAhmad
pengungsian akibat terganggunya keamanan daerah dari gerombolan. Laporan Djawatan Penerangan RI Kabupaten Luwu, Bulan April – Mei 1956 (Arsip Kabupaten Luwu). BUKU, ARTIKEL, MAKALAH Ahmad, Taufik. 2009. .DPS 3HQJDVLQJDQ Moncongloe. Jakarta: Desantara. Arief, Armai. 2005. Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press Bosra, Mustari. 2008. Tuan Guru, Anrong Guru, GDQ'DHQJ*XUX*HUDNDQ,VODPGL6XODZHVL 6HODWDQMakassar: La Galigo Gonggong, Anhar. 2004. $EGXO.DKDU0X]DNDNDU 'DUL 3DWULRW +LQJJD 3HPEHURQWDN Yogyakarta: Ombak. Graves, Elizabeth E. 2007. Asal Usul Elite Minangkabau Modern: Respons Terhadap .RORQLDO %HODQGD $EDG Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Hamid, Abdul Rahman. 2009. Qahar Muzakkar: Mendirikan Negara Islam. Makassar: 3XVWDND5HÀHNVL Kementerian Penerangan RI. 1952. Provinsi 6XODZHVL. Jakarta: Kementerian Penerangan RI. Moutsios, Stavros. 2010. “Power, politics and transnational policy-making in education” -RXUQDO *OREDOLVDWLRQ 6RFLHWLHV DQG Education. Volume 8. Issue 1.Hal. 121-141 Niel, Robert van. 2009. Muncunya Eliter Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya Nogroho, Rianti. 2008. Pendidikan Indonesia, +DUDSDQ 9LVL GDQ 6WUDWHJLYogyakarta: Pustaka Pelajar. Pawiloy, Sarita. 1981. 6HMDUDK3HQGLGLNDQ'DHUDK 6XODZHVL6HODWDQDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Poelinggomang, Edward L. 2005. 6HMDUDK 6XODZHVL 6HODWDQ -LOLG Makassar: Balitbanda Sulawesi Selatan Pradadimara, Dias. 2004. Penduduk Kota, Warga Kota, dan Sejarah Kota: Kisah Makassar, 'UDI3HUWDPD-XOL. The 1st International Conference on Urban History.
Surabaya: August, 23rd-25th Ricklefs, MC. 2008. 6HMDUDK,QGRQHVLD0RGHUQ ±Serambi: Jakarta. Roth, Dik. 2007. “Gubernur Banyak, Provinsi Tak Ada: Berebut Provinsi di Daerah Luwu-Tana Toraja di Sulawesi Selatan” dalam Henk Schulte Nordholt dkk, Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sarkawi. 1997. “Perkembangan Pendidikan Kolonial di Makassar 1876-1942”. (Tesis tidak terbit). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Sensus Penduduk.19613HQGXGXN'HVD6XODZHVL dan Maluku.Yogyakarta: PPSK-UGM dan BPS, 1981. Surianto, Andi. 2003. “Aktivitas Eks DI/TII Kahar Muzakkar di Luwu 1966-1998” 6NULSVL tidak diterbitkan. Tarupay, Heri Kusuma. 2012. “Sejarah Sekolah Cina di Makassar 1908 – 1966: Proses Pembentukan Identitas Orang Cina”. (Skripsi). Makassar: Fakultas Ilmu Budayan Universitasn Hasanuddin. Velthoen, Esther, 2011. “Memetakan Sulawesi Tahun 1950-an” dalam Sita Van Bemmelen dan Remco Raben, $QWDUD 'DHUDK GDQ 1HJDUD,QGRQHVLD7DKXQDQ Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Yamin, Moh.2009. Menggugat Pendidikan Indonesia.Yogyakarta: Ar Ruz. Wawancara/Koran Samuel Sampetondok, ZDZDQFDUD di Batu Sitanduk, 11 Juli 2014. Andaris Pasomba, ZDZDQFDUDdi Palopo, 12 Juli 2014 Arifa, ZDZDQFDUDdi Palopo, 13 Juli 2014 Ilham, ZDZDQFDUDdi Makassar, 12 Agustus 2008 +DULDQ5DNMDW, 01-09-1958. Arpan Rahman. “Kekacauan politik 19501970 Wariskan Buta Huruf Di Sulawesi” VLQGRQHZVFRP. http://daerah.sindonews. com/read/813648/25/kekacauan-politik1950-1970-wariskan-buta-huruf-disulawesi-1386233657, kamis, 5 Dember 2013, dikases tanggal 5 Oktober 2015.
281