3
2. TINJAUAN PUSTAKA Bentuk dan Perilaku Belerang di dalam Tanah Ada tiga sumber alami pokok unsur hara belerang (S) bagi tanah yang menyediakan belerang untuk tanaman. Ketiga sumber tersebut ialah: (1) mineral tanah, (2) gas belerang dalam atmosfir, dan (3) bahan organik. Disamping itu ada 4 aliran utama S ke atmosfir dengan urutan sebagai berikut; lepasan/produk bakteri < pembakaran bahan bakar fosil < penghembusan garam-garam laut < pelepasan gas volkan (Notohadiprawiro, 1998). Belerang di dalam tanah didapatkan dalam dua bentuk utama yaitu bentuk organik dan bentuk anorganik, tetapi sebagian besar dalam bentuk organik (Stevenson, 1994). Bentuk S tersebut menentukan perilakunya di dalam tanah. Hampir semua S dalam tanah tropika yang tidak di pupuk terdapat dalam bentuk organik. Unsur ini diserap oleh tanaman hampir seluruhnya dalam bentuk ion sulfat (S04 2-) dan hanya sejumlah kecil sebagai gas belerang (SO2) yang diserap langsung dari tanah dan atmosfir. Berdasarkan bentuknya di dalam tanah, S dapat dikelompokkan menjadi sulfat organik, sulfat terlarut, sulfat terabsorpsi, S-elemen, dan sulfida. Hampir semua S organik dalam tanah yang beraerasi baik berada dalam bentuk ion sulfat yang berkombinasi dengan unsur-unsur lain seperti Ca2-, Mg2+, K+, Na+, atau NH4+. Peningkatan adsorpsi SO42- per unit meningkatkan adsorpsi Ca 2+ 12 kali lebih besar dalam tanah yang mengandung Fe dan Al hidrooksida dibandingkan dengan tanah yang didominasi oleh bahan organik. Meningkatnya adsorpsi Ca2+ dengan kehadiran SO42- terjadi karena peningkatan muatan negatif yang diakibatkan oleh SO42- dan meningkatnya pH karena pertukaran SO42- dengan ion OH (Curtin dan Syers, 1990). Pengapuran dan pemupukan dengan fosfor juga mempengaruhi perilaku S di dalam tanah. Pengapuran dan pemupukan P dengan superfosfat menurunkan SO42- dalam tanah dan SO42-
teradsorpsi dari larutan CaSO4; pH tanah dan konsentrasi
H2PO4 menurunkan SO42- teradsorpsi. Pengapuran lebih banyak menurunkan SO42- teradsorpsi daripada pemupukan dengan P. Di daerah tropika basah sulfat mudah hilang dari tanah melalui berbagai cara, yaitu terangkut oleh tanaman dan organisme tanah, tererosi, dan tercuci. Pengelolaan tanah dan tanaman menentukan keberadaan sulfat karena erosi. Kehilangan satu milimeter bagian atas tanah akan disertai kehilangan sedikitnya 4 kg S/ha/tahun. Tekstur yang kasar mempercepat kehilangan sulfat. Pencucian sulfat dari lapisan bagian atas tanah dapat merupakan penyebab terjadinya
4
kahat S dibagian tersebut (Elkins dan Ensminger, 1971).
Absorpsi sulfat
dipengaruhi oleh sejumlah sifat tanah, antara lain: jumlah (kadar) dan tipe mineral liat, hidroksida, horison atau ke dalaman tanah, pH, konsentrasi sulfat, waktu kehadiran anion lain dan bahan organik (Tisdale et al. 1990). Nisbah C:N:S dalam bahan organik adalah sekitar 125 :10 : 1.2. Dalam keadaan aerobik bakteri yang sama dapat mengoksidasi S menjadi H2S04. Unsur S dapat pula dioksidasi oleh bakteri Khemotropik dari genus Tiobacillus (Mengel dan Kirkby, 1978). Bagan daur belerang, tertera pada Gambar 1. SO2 ATMOSFER
larut dalam air hujan
MINYAK BUMI BATU BARA BIOMASSA
Pembakaran gas
H2S S ORGANIK
VOLKAN
Perombakan reduktif oleh bakteri
Oksidasi oleh bakteri S fotosintetik dan kemosintetik
Oksidasi dalam lingkungan aerob
Hewan
S0 Oksidasi dalam lingkungan aerob
2-
SO4
Tumbuhan
TANAH
akar
daun
Oksidasi
SULFIDA pelapukan
infiltrasi
pelapukan
BATUAN
pelindihan
Gambar 1 Bagan daur belerang (Notohadiprawiro,1998). Belerang yang terikat oleh bahan organik menjadi tersedia karena kegiatan jasad mikro. Dalam proses mineralisasi ini terbentuk H2S dan dalam keadaan anaerobik menjadi S042-. Dalam anaerobik H2S teroksidasi menjadi S oleh bakteri belerang Khemotropik (Beggiatoa, Thiothrax).
5
Peranan Belerang dalam Pertumbuhan Tanaman Pada umumnya belerang dibutuhkan tanaman dalam pembentukan asamasam amino sistin, sistein dan metionin. Disamping itu S juga merupakan bagian dari biotin, tiamin, ko-enzim A dan glutationin (Marschner, 1995). Diperkirakan 90% S dalam tanaman ditemukan dalam bentuk asam amino, yang salah satu fungsi utamanya adalah penyusun protein yaitu dalam pembentukan ikatan disulfida antara rantai-rantai peptida (Tisdale et al. 1990). Belerang merupakan bagian (constituent) dari hasil metabolisme senyawa-senyawa kompleks. Belerang juga berfungsi sebagai aktivator, kofaktor atau regulator enzim dan berperan dalam proses fisiologi tanaman. Selain fungsi yang dikemukakan di atas, peranan S dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman sangat banyak dan penting, diantaranya (1) merupakan bagian penting dari ferodoksin, suatu komplex Fe dan S yang terdapat dalam kloroplas dan terlibat dalam reaksi oksidoreduksi dengan transfer elektron serta dalam reduksi nitrat dalam proses fotosintesis, (2) S terdapat dalam senyawa-senyawa yang mudah menguap yang menyebabkan adanya rasa dan bau pada rumput-rumputan dan bawangbawangan (Tisdale et al. 1990). Belerang
dikaitkan
pula
dengan
pembentukan
klorofil
yang
erat
hubungannya dengan proses fotosintesis dan ikut serta dalam beberapa reaksi metabolisme seperti karbohidrat, lemak dan protein (Tisdale et al. 1990). Belerang juga dapat merangsang pembentukan akar dan buah serta dapat mengurangi serangan penyakit. Kebutuhan Belerang bagi Tanaman Pada umumnya belerang yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal tanaman bervariasi antara 0.1 sampai 0.5% dari bobot kering tanaman (Marschner, 1995). Spencer (1975) membagi 3 kelompok tanaman berdasarkan tingkat kebutuhan S, yaitu:
(1) tanaman dengan tingkat kebutuhan S yang
banyak (20-80 kg S/ha), (2) tanaman dengan tingkat kebutuhan S sedang (10-50 kg S/ha), dan (3) tanaman dengan kebutuhan S rendah (5-25 kg S/ha). Prasad dan Power (1997) menyatakan bahwa, tanaman serealia membutuhkan 3-4 kg S/t biji, 8 kg S/t biji pada tanaman legume dan 12 kg S pada tanaman yang menghasilkan minyak. Berdasarkan familinya, kebutuhan S oleh tanaman: Gramineae, Legumineae, Cruciferae, yang dapat dilihat dari kandungan sulfat pada biji dari masing-masing kelompok tanaman tersebut adalah secara berturutturut (0.18-0.19%; 0.25-0.3% dan 1.1-1.7%) dari bobot kering tanaman. Menurut
6
Yamaguchi (1999) jumlah S yang dibutuhkan oleh tanaman sama dengan jumlah fosfor (P). Kekahatan S menghambat sintesis protein dan hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya klorosis seperti tanaman kekurangan nitrogen. Kahat S lebih menekan pertumbuhan tunas dari pada pertumbuhan akar. Gejala kahat S lebih nampak pada daun muda dengan warna daun yang menguning sebagai mobilitasnya sangat rendah di dalam tanaman (Haneklaus dan Schnug, 1994). Penurunan kandungan klorofil secara drastis pada daun merupakan gejala khas pada tanaman yang mengalami kahat S (Marschner, 1995). Kahat S menyebabkan terhambatnya sintesis protein yang berkorelasi dengan akumulasi N dan nitrat organik terlarut. Menurut Stewart dan Partier (1969) apabila belerang dalam keadaan kurang akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas produksi hasil. Kekahatan
belerang
menghambat
sintesis protein karena berkurangnya sintesis asam-asam amino yang mengandung (S). Hal ini mengakibatkan akumulasi asam-asam amino yang tidak mengandung S di dalam jaringan tanaman. Oleh karena itu jaringan tanaman yang kahat belerang, mempunyai nisbah N-organik/S-organik lebih tinggi (70/160/1) dari pada tanaman normal. Nisbah ini dapat dipakai sebagai petunjuk suatu tanaman mendapat suplai belerang cukup atau tidak (Notohadiprawiro, 1998). Pengaruh Pemupukan dengan Belerang pada Hijauan Manfaat
pemupukan tanaman dengan belerang dapat meningkatkan
kualitas dan kuantitas pastura, peningkatan N-organik, Ca- dapat ditukar dan ketersediaan S - di dalam tanah. Pemupukan dengan belerang dapat meningkatkan kadar N, K dan S serta protein kasar, serat kasar dan abu tanaman (Tuherkih
et al. 1998). Bahar et al. (1993) melaporkan hasil penelitian
di rumah kaca bahwa, pemberian 30 kg S/ha dalam bentuk Na2S04 dapat meningkatkan bobot kering legum Centrocema pubescens secara nyata. Lamond et al. (1995)
menyatakan bahwa
pemupukan
dengan belerang secara
keseluruhan meningkatkan produksi, kandungan protein dan belerang hijauan Bromus inermis Leyss (Bromegrass), serta perbandingan N/S rasio 20 : 1. Panditharane et al. (1986) yang meneliti tentang pengaruh kombinasi pemupukan
nitrogen dan belerang terhadap komposisi Dactylis glomerata
(Orchardgrass) dibanding dengan Red clover disajikan pada Tabel 1. Pemupukan sulfur 34 kg/ha dan pupuk Nitrogen 234 kg/ha dapat meningkatkan produksi bahan kering, protein kasar, NDF, ADF, selulosa dan hemiselulosa.
7
Tabel 1 Komposisi Dactylis glomerata yang diberi pupuk campuran nitrogen dan belerang yang dibandingkan dengan Red clover Pupuk S Kg/ha
Keterangan
Perlakuan Pupuk N kg/ha
0 92.2 0 92.6 34 13.8 0 Protein kasar (%) 15.0 34 58.0 0 NDF 58.6 34 35.9 0 ADF 35.5 34 29.0 0 Selulose 28.4 34 22.2 0 Hemisellulose 23.1 34 Sumber : Panditharane et al. (1986) Bahan Kering (%)
234 91.9 91.7 16.2 16.6 62.3 65.6 37.0 39.7 29.9 31.8 25.2 26.0
448 91.7 92.7 14.6 13.8 56.6 57.9 35.6 35.5 28.4 28.7 20.9 24.5
Red clover 92.4 92.2 17.4 18.0 61.0 59.7 36.2 35.1 29.5 28.3 24.8 22.4
Peranan Pupuk Kandang Pupuk kandang (manure) adalah sisa proses pencernaan makanan dalam tubuh hewan bersama dengan sampah kandang yang terutama berasal dan sisa ransum yang tidak termakan dan jejabah yang di "recycle" dengan cara mengembalikan ke dalam tanah. Pupuk kandang adalah bahan organik yang dapat mengendalikan “alumunium” dalam larutan tanah. Pada pH yang sama, tanaman yang tumbuh di tanah dengan bahan organik tinggi tidak mengalami gejala keracunan alumunium dibandingkan tanaman yang tumbuh di tanah dengan bahan organik rendah. Pupuk kandang sangat membantu dalam memperbaiki sifat-sifat tanah seperti permeabilitas tanah, porositas tanah, struktur tanah, (Hardjowigeno,
daya menahan air dan kapasitas tukar kation tanah 1989).
Pemberian
bahan
organik
dapat
meningkatkan
ketersediaan hara di tanah, mengurangi tingkat kepadatan tanah, menambah kemampuan tanah mengeluarkan air dan meningkatkan “kapasitas tukar kation” (KTK) tanah. Flaig (1984) juga mengemukakan bahwa pupuk kandang tidak hanya menyediakan N, P, K dan hara lain tetapi juga memberi pengaruh yang baik terhadap fisik tanah. Komposisi N, P dan K pupuk kandang (domba) adalah (0.95%), (0.35%) dan (1%). Abdulrachman et al. (2000) mengemukakan bahwa pupuk kandang ternyata menurunkan nilai bobot atau meningkatkan porositas tanah dan meningkatkan laju permeabilitas tanah. Perbaikan sifat fisik tanah ini memungkinkan akar tanaman tumbuh lebih baik. Pupuk kandang juga dapat memperbaiki sifat biologis dan kimia tanah. Pupuk kandang bisa mengandung unsur-unsur Ca, Mg, S, Mn, Zn, Cu, Co, dan Mo. Komposisi hara pupuk kandang cukup bervariasi dan tergantung pada jenis hewan, umur hewan,
8
pakan yang dikonsumsi dan penanganan limbahnya (Tisdale et al. 1990). Menurut Suwardjono (2001) pengaruh pemberian pupuk organik terhadap sifat fisik dan kimia tanah adalah: (1) dapat mengurangi pemadatan tanah, (2) menaikkan ketersedian air karena bahan organik yang dapat mengikat air, (3) menaikkan infiltrasi air sehingga tidak mudah tererosi, (4) menaikkan nilai tukar kation tanah, (5) menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman, dan (6) mencegah pengikatan P dan mineralisasi N organik. Semakin banyak pupuk kandang yang diberikan pada tanah, maka kandungan bahan organik di dalam tanah semakin meningkat, mengakibatkan volume tanah semakin besar, bobot isi tanah menjadi ringan. Pupuk kandang dapat bertindak sebagai bahan organik, akan berangsur-angsur membentuk humus. Peningkatan kadar humus inilah yang dapat meningkatkan jumlah pori, sehingga air tersedia di dalam tanah. Humus bersifat sebagai koloid organik berperan aktif dalam penyerapan molekul air yang berada di dalam tanah (Baver et al. 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang 2 ton/ha mampu meningkatkan hasil jagung sebesar 8% (Sutriadi, 2001). Selanjutnya dilaporkan pula bahwa pemberian pupuk kandang pada Rumput Gajah (Penisetum purpureum Schumach) cenderung meningkatkan produksi bahan kering, pertumbuhan tanaman dan indeks luas daun (Ako, 1997). Peranan Belerang pada Ternak Ruminansia Mineral belerang termasuk unsur yang sangat menarik dalam studi nutrisi ruminansia. Mineral ini telah diketahui sangat diperlukan untuk pertumbuhan mikroba rumen dan nutrisi termasuk induk semang. Kadar belerang dalam biomassa mikroba rumen dapat mencapai 8 g/kg bahan kering dan sebagian besar terdapat dalam bentuk protein. Sekitar 0.15% dari bobot hidup dan 10% dari kandungan mineral tubuh adalah belerang. Tanda-tanda defisiensi yang spesifik sebagai akibat kurangnya konsumsi belerang tidak terlihat tetapi biasanya defisiensi akan tercermin pada rendahnya prestasi produksi ternak (Parakkasi, 1999). Metabolisme belerang (S) dapat diklasifikasikan ke dalam dua sistem yaitu sistem organik yang digunakan dalam rumen untuk mensintesis asam amino S, dan sistem anorganik yang digunakan dalam bentuk sulfat aktif. Sulfida adalah bentuk intermediate (antara) kunci antara pemecahan S yang dicerna dan S yang didaur-ulang (Arora, 1989) lihat Gambar 2. Namun demikian dengan adanya metabolisme belerang oleh mikroba dalam rumen maka ruminansia dapat
9
menggunakan belerang dalam bentuk organik dan anorganik (Gambar 2). Belerang dibutuhkan untuk mensintesis protein mikroba. Belerang dalam tubuh berada dalam bentuk anorganik meskipun diketahui ada sedikit sulfat dalam darah (McDonald et al. 1988). Sumber belerang yang berbeda memiliki kecernaan yang berbeda pula. DL-metionin dan analog-analog hidroxynya membantu pertumbuhan bakteri rumen, dan karena itu memperbaiki kecepatan pertumbuhan dan produksi susu (Gill et al. 1973). Sel epitel
usus
Usus halus
darah Rumen
sulfida protein mikroba SO4’’
SSO4
Taurine
Bile
S-
’’
SO4’’
hati
SO4SO4
Saliva
SO4
’’
Cairan ekstraseluler
’’
Usus besar
Gambar 2 Siklus belerang (Arora, 1989).
Sulfida yang terbentuk dalam rumen diubah menjadi protein mikroba atau diabsorbsi oleh dinding rumen. Sulfida yang diabsorbsi dioksidasi menjadi sulfat di dalam darah dan hati yang untuk selanjutnya diedarkan ke dalam cairan extraselular. Sulfat di daur ulang langsung ke rumen melalui sekresi saliva, atau di daur ulang ke usus besar sehingga memberikan mekanisme konservatif bagi makanan dengan kandungan sulfur rendah. Sulfur juga dieksresikan ke dalam empedu dalam bentuk taurine dan sebagian dilepaskan dari sel-sel epitel ke dalam lumen usus (Gambar 2) (Arora, 1989). Ruminansia memanfaatkan mikroorganisme rumen untuk mengkonversi sulfat menjadi H2S dalam sintesis sistein dan metionin. Jalur konversi belerang menjadi sistein dan metionin dapat dilihat pada reaksi dibawah ini.
10
sistein SO4-2
SO3-2
S-2
sistation Homosistein
metionin metionin
Sumber : Georgievskii (1982) Jika didalam rumen tersedia sulfur reduksi dalam bentuk H2S maka senyawa tersebut dapat bereaksi dengan O-asetylserine membentuk sistein dan asam asetat. Proses tersebut melibatkan kerja enzim sistein-sintetase. Secara sederhana proses tersebut disajikan pada persamaan reaksi di bawah ini. Enzim Sistein Sintetase
H2S + Aco – CH2
CH3COOH
+ HS
CH
CH NH 2
CH NH
CO 2 H
CO2 H
(o -asetyl serine)
(asetat)
(sistein)
Sumber: Georgievskii (1982) Kebutuhan domba akan belerang berdasarkan bahan kering adalah 0.14-0.18% untuk domba betina dewasa dan 0.18-0.26% untuk domba muda. Data yang tersedia tidak menentukan batas tertinggi (safe upper limit) untuk sumber belerang yang berbeda pada domba. Nampaknya 0.40% S dari bahan kering adalah batas maksimum untuk belerang pakan dalam bentuk sodium sulfat. Oleh karena belerang berfungsi dalam sintesis asam amino yang mengandung belerang dan beberapa vitamin B selama pencernaan di dalam rumen, maka mikroorganisme rumen yang kekurangan belerang tidak dapat berfungsi secara normal. Penambahan belerang dalam kondisi demikian dapat meningkatkan konsumsi pakan, kecernaan dan retensi nitrogen (NRC, 1985). Kekurangan belerang akan mengurangi mikroorganisme pencerna sellulosa dan produksi asam lemak atsiri (Slyter et al. 1986), akumulasi lemak dalam hati, sintesis protein lambat dan gangguan reaksi oksidasi reduksi. Produksi susu induk domba turun, yang juga akan mempengaruhi perkembangan
domba
yang menyusui (Georgievskii, 1982). Berdasarkan penelitian Onwuka dan Akinsoyinu (1989) pada delapan ekor domba West African Dwarf (bobot hidup
11
antara 10-23 kg) yang berfistula (diberi ransum mengandung 0; 0.25; 0.50 dan 0.75%
belerang),
menunjukkan
bahwa
penambahan
belerang
dapat
meningkatkan konsumsi bahan kering. Suatu penelitian menggunakan domba Nali umur (3.5-4 bulan) yang diberi cacahan jerami padi (ad libitum) + konsentrat yang mengandung 0.14%, 0.20% dan 0.26% belerang menunjukkan peningkatan produksi bulu, pertambahan bobot badan harian (Yadav dan Mandokhot, 1988). Kekurangan belerang akan mengurangi produksi VFA (Bird, 1972). Pemberian S02 pada jerami dapat meningkatkan VFA total rumen, konsentrasi dan proporsi asam butirat dibanding pakan tanpa S02 (Miron et al. 1990). Fungi
anaerob
termasuk
jenis
mikroba
rumen
pencerna
serat.
Pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh kadar belerang di dalam ransum. Gulati et al. (1985) melaporkan bahwa populasi fungi dalam rumen meningkat drastis pada ransum yang disuplementasi belerang. Peningkatan populasi fungi itu juga diikuti peningkatan kecernaan serat sebesar 16%. Penelitian Akin et al. (1983) memperlihatkan hal yang sama, bahwa pada rumen domba yang mengkonsumsi Digitaria penzii yang diberi pupuk belerang, menyebabkan terdapat jumlah koloni fungi dan sporangia yang lebih banyak dibandingkan dengan domba yang mendapat D. Penzii yang tidak dipupuk. Pada penelitian tersebut angka kecernaan bahan kering juga meningkat. Percobaan metabolisme oleh Qi et al. (1992) pada kambing dengan 3 jenis ransum yang masing-masing mengandung belerang 0.16, 0.26 dan 0.36% bahan kering memperlihatkan bahwa kecernaan ADF (acid detergent fiber) meningkat. Kecernaan ADF pada ketiga ransum tersebut berturut-turut 16.8, 26.0 dan 29.2%. Peningkatan kecernaan ADF dalam percobaan tersebut sangat mungkin disebabkan oleh perbaikan pertumbuhan mikroba rumen, terutama fungi. Pada kondisi in vivo suplementasi belerang berpengaruh positif terhadap aliran protein dari rumen dan nilai retensi nitrogen (Durand dan Komisarchuck, 1988). Penelitian pada ternak sapi dan domba yang memperoleh ransum dengan penambahan belerang dapat meningkatkan cacahan total bakteri rumen dan populasi bakteri selulitik (Slyter et al. 1986). Sistem Pencernaan Ruminansia Pencernaan adalah rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang dialami
bahan makanan selama berada di dalam alat pencernaan. Proses
pencernaan
makanan
pada
ternak
ruminansia
relatif
dibandingkan proses pencernaan pada jenis ternak lainnya.
lebih
kompleks
12
Perut ternak ruminansia dibagi menjadi 4 bagian, yaitu retikulum (perut jala), rumen (perut beludru), omasum (perut bulu), dan abomasum (perut sejati). Dalam studi fisiologi ternak ruminasia, rumen dan retikulum sering dipandang sebagai organ tunggal dengan sebutan retikulorumen. Omasum disebut sebagai perut buku karena tersusun dari lipatan sebanyak sekitar 100 lembar. Fungsi omasum belum terungkap dengan jelas, tetapi pada organ tersebut terjadi penyerapan air, amonia, asam lemak terbang dan elektrolit. Pada organ ini dilaporkan juga menghasilkan amonia dan mungkin asam lemak terbang (Frances dan Siddon, 1993). Termasuk organ pencernaan bagian belakang lambung adalah sekum, kolon dan rektum. Pada pencernaan bagian belakang tersebut juga terjadi aktivitas fermentasi. Namun belum banyak informasi yang terungkap tentang peranan fermentasi pada organ tersebut, yang terletak setelah organ penyerapan utama. Proses pencernaan pada ternak ruminansia dapat terjadi secara mekanis di mulut, fermentatif oleh mikroba rumen dan secara hidrolis oleh enzim-enzim pencernaan. Pada sistem pencernaan ternak ruminasia terdapat suatu proses yang disebut memamah biak (ruminasi). Pakan berserat (hijauan) yang dimakan ditahan untuk sementara di dalam rumen. Pada saat hewan beristirahat, pakan yang telah berada dalam rumen dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi), untuk dikunyah kembali (proses remastikasi), kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi). Selanjutnya pakan tersebut dicerna lagi oleh enzim-enzim mikroba rumen. Kontraksi retikulorumen yang terkoordinasi dalam rangkaian proses tersebut bermanfaat pula untuk pengadukan digesta inokulasi dan penyerapan nutrien. Selain itu kontraksi retikulorumen juga bermanfaat untuk pergerakan digesta meninggalkan retikulorumen melalui retikulo-omasal orifice (Tilman et al. 1982). Di dalam rumen terdapat populasi mikroba yang cukup banyak jumlahnya. Mikroba rumen dapat dibagi dalam tiga grup utama yaitu bakteri, protozoa dan fungi (Czerkawski, 1986). Kehadiran fungi di dalam rumen diakui sangat bermanfaat bagi pencernaan pakan serat, karena dia membentuk koloni pada jaringan selulosa pakan. Rizoid fungi tumbuh jauh menembus dinding sel tanaman sehingga pakan lebih terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri rumen. Bakteri rumen dapat diklasifikasikan berdasarkan substrat utama yang digunakan,
karena
sulit
mengklasifikasikan
berdasarkan
morfologinya.
Kebalikannya protozoa diklasifikasikan berdasarkan morfologinya sebab mudah dilihat berdasarkan penyebaran silianya. Beberapa jenis bakteri yang dilaporkan
13
oleh Hungate (1966) adalah (a) bakteri pencerna selulosa (Bakteroides succinogenes, Ruminococcus flavafaciens, Ruminococcus albus, Butyrifibrio fibrisolvens), (b) bakteri pencerna hemiselulosa (Butyrivibrio fibrisolvens, Bakteroides ruminocola, Ruminococcus
sp),
(c) bakteri
pencerna pati
(Bakteroides ammylophilus, Streptococcus bovis, Succinnimonas amylolytica, (d) bakteri pencerna gula (Triponema bryantii, Lactobasilus ruminus), (e) bakteri pencerna protein (Clostridium sporogenus, Bacillus licheniformis). Protozoa rumen diklasifikasikan menurut morfologinya yaitu: Holotrichs yang mempunyai silia hampir diseluruh tubuhnya dan mencerna karbohidrat yang fermentabel, sedangkan Oligotrichs yang mempunyai silia sekitar mulut umumnya merombak karbohidrat yang lebih sulit dicerna (Arora, 1989). Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Karbohidrat dalam pakan dapat dikelompokkan menjadi karbohidrat struktural
(fraksi serat) dan karbohidrat non struktural (fraksi yang mudah
tersedia). Selulosa dan hemiselulosa termasuk dalam fraksi karbohidrat struktural (fraksi serat) yang merupakan komponen utama dari dinding sel tanaman. Sering terdapat berikatan dengan lignin sehingga menjadi sulit dicerna oleh mikroba rumen. Lignifikasi meningkat seiring dengan meningkatnya umur tanaman (Church dan Pond, 1988). Untuk itu penggunaanya dalam ransum ternak ruminasia memerlukan pengolahan terlebih dahulu untuk merenggangkan ikatan lignoselulosa sehingga lebih fermentabel dalam rumen. Bergman (1983) membagi karbohidrat menjadi monosakarida dan turunannya (glukosa, fruktosa dan silosa) dan oligosakarida yaitu 2-10 unit sakarida (sukrosa , rafinosa, stacciosa, fruktosa dan hemiselulosa). Karbohidrat memiliki nilai kelarutan yang tinggi didalam air, sehingga memudahkan proses pemanfaatanya. Produk fermentasi (VFA) di dalam rumen diserap melalui epitel rumen dan menjadi sumber energi utama pada ternak ruminasia. Sebagian mikroba yang tumbuh dalam rumen bersama digesta akan bergerak ke abomasum untuk selanjutnya mengalami pencernaan enzimatis dan penyerapan. Untuk mendukung proses metabolisme di atas, pergerakan dan kontraksi dinding rumen sangat berperan. Pergerakan dan kontraski tersebut membantu proses pengadukan digesta dan inokulasi partikel pakan, ruminasi dan pergerakan digesta ke abomasum. Hasil akhir dari fermentasi karbohidrat di dalam rumen adalah VFA (asetat, propionat, butirat), karbon dioksida dan methan. Energi yang hilang pada
14
umumnya dalam bentuk panas dan methan. ATP yang dihasilkan dari proses pemecahan zat makanan menjadi VFA dan komponen intermediat lainnya digunakan mikroorganisme
sebagai sumber energi untuk pertumbuhan
mikroorganisme (Preston dan Leng, 1987). Fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan VFA sebagai produk utama untuk menyediakan energi dan karbon untuk pertumbuhan dan mempertahankan kehidupan komunitas mikroba. Jumlah VFA yang terbentuk sangat
dipengaruhi
oleh
kecernaan
serta
ransum
yang
difermentasi
(Baldwin,1995). Pada umumnya perbandingan proporsi molar VFA sekitar 65% asetat (C2), 20% propionat (C3), 10% butirat (C4) dan 5% valerat (C5). VFA merupakan produk akhir fermentasi dalam rumen yang kemudian tersedia bagi ruminansia induk semang setelah diabsorbsi ke dalam darah. VFA berantai cabang yang esensial bagi pertumbuhan mikroba rumen berasal dari degradasi protein, yang menghasilkan proporsi asetat, propionat, isobutirat, butirat dan valerat secara berurutan adalah 0.40; 0.28; 0.12; 0.13 dan 0.17 (Van Nevel, 1991). Menurut McDonald et al. (1988) proporsi VFA dalam cairan rumen bervariasi tergantung dari macam ransum dan waktu setelah makan. Pada ruminansia, hijauan yang dikonsumsi melalui proses fermentasi di dalam rumen menjadi VFA dengan perbandingan asam asetat (C2) : asam propionat (C3) : asam butirat (C4) umumnya adalah 70 : 20 : 10 dan biasanya memenuhi sekitar 70-80 persen dari kebutuhan energi hewan. Molar persentase isoasid (isobutirat dan iso valerat) serta valerat meningkat bila VFA berantai cabang ditambahkan ke dalam pakan (Johnson et al. 1994). Untuk mensintesa protein mikroba yang optimal diperlukan keseimbangan energi (VFA) dan nitrogen dalam bentuk N-NH3. Kekurangan salah satu unsur ini dapat menghambat pertumbuhan mikroba rumen. Metabolisme Protein dalam Rumen Protein pakan di dalam rumen akan mengalami hidrolisis oleh enzim proteolitik menjadi asam amino dan oligopeptida. Selanjutnya asam asam amino mengalami katabolisme lebih lanjut menghasilkan amonia, VFA dan CO2. Amonia menjadi sumber nitrogen utama untuk sintesis de novo asam-asam amino bagi mikroba rumen. Proses metabolisme tersebut mengungkapkan bahwa nutrisi protein ternak ruminan sangat tergantung pada proses sintesis protein mikroba rumen. Produk hidrolisa protein sebagian besar akan mengalami
15
katabolisme lebih lanjut (deaminasi), sehingga dihasilkan amonia (NH3). Amonia asal perombakan protein pakan tersebut sangat besar kontribusinya terhadap pul amonia
rumen.
Diperlukan
kisaran
konsentrasi
amonia
tertentu untuk
memaksimumkan laju sintesa protein mikroba. Karena itu kelarutan dan degradibilitas protein pakan sangat penting untuk diketahui (Arora, 1989). Amonia (NH3) merupakan produk utama dari proses deaminasi asam amino dan kucukupannya dalam rumen untuk memasok sebagian besar N untuk pertumbuhan mikroba merupakan prioritas utama dalam mengoptimalkan fermentasi hijauan (Leng 1990). Menurut Haryanto (1994), konsentrasi amonia di dalam rumen ikut menentukan efisiensi sintesa protein mikroba yang pada gilirannya akan mempengaruhi hasil fermentaasi bahan organik pakan. Hasil fermentasi tersebut dapat dilihat sebagai konsentrasi Volatile Fatty Acid (VFA) di dalam cairan rumen. Konsentrasi amonia tersebut antara lain ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradabilitasnya, lamanya makanan berada di dalam rumen dan pH rumen (Haryanto 1994). Konsentrasi amonia sebesar 50 mg/100ml (setara dengan 3.57 mM/L) di dalam cairan rumen dapat dikatakan optimum untuk menunjang sintesa protein mikroba rumen (Satter dan Slyter, 1974), sedangkan kadar amonia yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal berkisar antara 4-12 mM (Erwanto et al. 1993). Pengamatan secara in vivo yang dilakukan oleh Mehrez et al. (1977), kadar amonia cairan rumen yang optimal untuk pertumbuhan mikroba yang maksimal adalah 16,79 mM. Konsentrasi amonia menggambarkan kecepatan produksi dari pencernaan nitrogen. Produk akhir degradasi purin dan pirimidin pada ruminansia adalah alantoin (Arora,1995), terutama berasal dari mikroba rumen dan dalam jumlah kecil berasal dari jaringan hewan atau disebut alantoin endogen. Kadar alantoin endogen semakin kecil bila suplai alantoin eksogen meningkat. Alantoin, asam urat, xanthin dan hipoxanthin merupakan produk degradasi purin yang dapat dideteksi dalam urin. Alantoin dalam urin dapat digunakan untuk mengestimasi besarnya penyedia protein mikroba rumen terhadap induk semangnya. Jika ekskresi alantoin dalam urin tinggi, ini berarti bahwa protein banyak yang diserap oleh mikroba rumen dan terjadi proses katabolisme. Ekskresi turunan purin di dalam urin dapat dijadikan indikator pasokan protein asal mikroba rumen untuk ternak induk semang, dan kadar alantoin yang didapat pada umumnya 2.13 mmol hari -1. Suplai protein meningkat seiring dengan
16
meningkatnya kadar alantoin. Ekskresi alantoin berbanding lurus dengan alantoin mikroba rumen yang diserap, jika diasumsikan perbandingan protein dengan alantoin dalam populasi mikroba rumen adalah tetap. Sintesis protein mikroba rumen dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan Y = 1.995 + 3.8799 X (Chen et al. 1992).