“Pembacaan Hermeneutika Hadits Tentang Perempuan Kekurangan Akal dan Agama: Perspektif Hans-Georg Gadamer” Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh: Lia Andriyani NIM: 1112034000069
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H./2017 M.
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 7 November 2016
Lia Andriyani
i
ABSTRAK Lia Andriyani. “PEMBACAAN HERMENEUTIKA HADITS TENTANG PEREMPUAN KEKURANGAN AKAL DAN AGAMA: PERSPEKTIF HANSGEORG GADAMER” Skripsi ini membahas penafsiran hadits tentang “perempuan kekurangan akal dan agama” dengan perspektif hermeneutika Hans-Georg Gadamer. Sejauh peneliti dapat telusuri kajian atas hadits ini, hanya menyentuh rasionalisasi yang terkesan diskriminasi terhadap perempuan. Hadits tersebut mengisyaratkan perempuan untuk mengambil sikap hati-hati. Dengan cara misalanya, Hamim Ilyas melihatnya pada fakta sosial sekarang yang menunjukan bahwa perempuan sering terbawa emosi, labil dan tidak kuat pendirian. Sementara fokus kajian dalam skripsi sekarang mencoba mengisi yang belum diungkap dalam kajian tersebut, yaitu aspek historikalitas hadits. Peneliti berkeyakinan pendalaman pemahaman akan kesejarahan teks hadits ini akan menyingkap apa yang sebenarnya dimaksudkan tentang “perempuan kekurangan akal dan agama”. Adapun penelitian dalam skripsi menemukan beberapa temuan menarik, antara lain melalui analisis hermeneutika Gadamer. Penemuan pertama, analisis cakrawala teks tentang “perempuan kekurangan akal dan agama” yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī, menginformasikan bahwa pesan hadits tersebut tidak dimaksudkan untuk melemahkan perempuan. Akan tetapi, hadits tersebut hanya menginformasikan kelemahan dan kekurangan dalam diri perempuan. Dalam arti perempuan tidak bisa menunaikan ibadah shalat dan puasa ketika menstrulasi itulah maksud kekurangan agama. Sedangkan kekurangan akal perempuan dalam arti perbedaan penilaian satuan persaksian, dimana dua orang saksi perempuan sebanding dengan satu orang lakilaki. Penemuan kedua, analisis cakrawala pembaca menginformasikan bahwa pesan hasil dari analisis cakrawala teks sesuai dengan perkembangan gagasan dan kesadaran pembaca yang telah mengenal semangat zaman modern. Yaitu demokrasi, kesetaraan dan sensifitas gender. Penemuan ketiga, analisis peleburan cakrawala menginformasikan bahwa pessan hadits tentang “perempuan kekurangan akal dan agama” lebih pas dibaca secara kontekstual. Karena kekhususan-kekhususan makna yang terkandung di dalamnya yang bersifat praktis dan tidak menyalahi semanagat besar Islam sebagai agama yang universal, adil, demokratis, setara serta rahmat bagi sekalian alam. Hasil dari penelitian ini tentunya masih jauh dari sempurna, masih banyak ruang yang perlu diteliti lebih jauh. Salah satu ruang yang perlu diteliti lebih lanjut, misalnya meneliti hadits “perempuan kekurangan akal dan agama” dari segi semiotika.
ii
KATA PENGANTAR puji dan syuur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan jasmani, rohani, taufik, rahmat dan hidayah-Nya, serta kemudahan dan kesabaran dalam menghapi berbagai kesulitan dan cobaan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Rasulullah Saw, Rasul penutup para Nabi, serta doa untuk keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini merupakan satu diantara tugas yang harus diselesaikan dalam rangka mendapatkan gelar Sarjana Agama Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Tafsir-Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul skripsi ini adalah “Memahami Kembali Hadits Tentang Perempuan Kekurangan Akal dan Agama (Studi Hermeneutika Hans-Georg Gadamer), penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini dan sangat memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, penulis membuka lebar-lebar kritikan dan saran yang sifatnya konstruktif. Penulis menyadari sepenuhnya, karya ini bisa terwujud bukan karna hasil karya seorang diri, namun tidak lain berkat dukungan moril dan materil yang telah rela meluangkan waktu disela-sela kesibukannya. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Prof dede rosyada, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat beserta seluruh jajarannya.
iii
3. Ibu Dr. Lililk Umi Kultsum, MA., dan Ibu Dra. Banun Binaningrum M.Pd., selaku Ketua dan Sekertaris Jurusan Tafsir-Hadits 4. Bapak Rifqi Muhammad Fathi, MA. dan Bapak Kusmana, MA., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dengan memberikan banyak ilmu serta dukungan dan motifasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah senantiasa membalass segala kebaikan beliau-beliau. 5. Bapak Faris Pari dan seluruh dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bnayak ilmu, bimbingan dan motivasi selama kuliah. 6. Orang tua tercinta Bapak Anwar dan Ibu Khujaemah, yang telah mecurahkan cinta dan kasih sayang dan do‟a sepanjang waktu. Senantiasa berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. 7. Keluarga besar H. M. Yusuf dan kost Bapak Ujang yang telah banyak berbagi suka dan duka, dukungan serta do‟a. 8. Teman-teman seperjuangan Tafsir-Hadits angkatan 2012, semoga tali kekeluargaan kita semua tetap berjalan dengan baik juga diberikan kesehatan dan kemudahan dalam mencapai maksud dan tujuannya. 9. Lovely patner Aga Pratama, yang telah banyak membatu baik dari segi moril maupun materil.
Ciputat, 22 Desember 2016
iv
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F. G. H.
Latar Belakang Masalah ..............................................................................1 Identifikasi....................................................................................................6 Pembatasan dan Perumuan Masalah ...........................................................7 Tujuan Penelitian .........................................................................................8 Kegunaan Penelitian.....................................................................................8 Kajian Pustaka .............................................................................................9 Metode Penelitian ......................................................................................14 Sistematika Penulisan ................................................................................19
BAB II MISOGINIS DAN EKSISTENSINYA DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS A. Definisi Misoginis ......................................................................................21 B. Al-Qur‟an dan Misoginis ..........................................................................23 1. Misoginis dalam Keluarga ...................................................................23 a. Otoritas Talaq .................................................................................23 b. Berpoligami ....................................................................................26 2. Misoginis dalm Muamalah ...................................................................29 a. Status Persaksian Perempuan .........................................................29 b. Status Kepemimpinan Perempuan .................................................32 C. Hadis dan Misoginis ...................................................................................36 1. Misoginis dalam Ibadah: Larangan Puasa Tanpa Ijin Suami ...............36 2. Misoginis dalam Keluarga ...................................................................38 a. Penciptaan Perempuan Dari Tulang Rusuk Laki-Laki...................38 b. Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual ...............................40 D. Hadis Tentang Perempuan Kekurangan Akal dan Agama .........................43 BAB III ANALISIS HADITS MISOGINIS PERSPEKTIF HERMENEUTIKA HANS-GEORG GADAMER A. Pengertian Hermeneutika ...........................................................................46 B. Hermeneutika Hans-Georg Gadamer .........................................................47 1. Biografi Hans-Georg Gadamer ............................................................47 2. Karya-karya Hans-Georg Gadamer......................................................48 3. Pemikiran Hermeneutika Secara Umum ..............................................49 4. Pemahaman Teks Hans-Georg Gadamer .............................................52 C. Cakrawala Teks Hadits ..............................................................................53 a. Deskripsi Hadits .............................................................................54 b. Historikalitas Hadits .......................................................................57
v
D. Cakrawala Pembaca ...................................................................................63 a. Kesadaran akan Sejarah ................................................................63 b. Pra-pemahaman (Praduga Pemahaman) ........................................67 E. Peleburan Cakrawala .................................................................................68 F. Tinjauan Kritis Pemahaman Hadits Tentang Perempuan Kekurangan Akal dan Agama .................................................................................................70 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................................77 B. Saran-Saran ................................................................................................80 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................81
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam “Buku Pedoman Akademik Program Strata 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”. a. Padanan Aksara Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan tidak dilambangkan
B
be
T
te
Ts
te dan es
J
je
H
h dengan garis di bawah
Kh
ka dan ha
D
de
Dz
de dan zet
R
er
Z
zet
S
es
Sy
es dan ye
S
es dengan garis di bawah
D
de dengan garis di bawah
T
te dengan garis di bawah
Z
zet dengan garis di bawah
´
koma terbalik di atas hadap kanan
vii
Gh
ge dan ha
F
ef
Q
ki
K
ka
L
el
M
em
N
en
W
we
H
ha apostrof ye
Y
b. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
A
fathah
I
kasrah
U
dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
viii
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
Ai
a dan i
Au
a dan u
Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
â
a dengan topi di atas
î
i dengan topi di atas
û
u dengan topi di atas
Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, aldiwân bukan ad-diwân. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda (ّ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
ix
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضّرورةtidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya. Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh: No
Tanda Vokal Latin
Keterangan
1
tarîqah
2
al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah Wahdat al-wujûd
3
Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama
x
tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi). Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin alRaniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânirî.
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembahasan mengenai perempuan sebenarnya bukanlah kajian yang baru, namun dari waktu kewaktu kajian ini terus bergulir dan berkembang hingga saat ini. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa perempuan dianggap sesuatu yang negatif, bernilai rendah bahkan diremehkan.1 Diskursus kesetaran gender ini sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah Saw hidup, hanya saja tidak terlalu diperdebatkan. Pada waktu itu, Ummu Salamah pernah mempertanyakan kepada Rasulullah Saw tentang naskah al-Qur‟an yang kurang memberi tempat kepada kaum perempuan dan ia kurang berkenan dengan narasi al-Qur‟an yg memberi tempat lebih kepada laki. Ini diperkuat oleh struktrur bahasa Arab yang memasukkan perempuan dalam bahasa yang dipakai untuk laki- laki. Meski pertanyaan tersebut tidak mendapatkan penjelasan lebih rinci, namun belakangan para ahli tafsir sering menjadikan pertanyaan Ummu Salamah tersebut sebagai dasar argumen bahwa al-Qur‟an menjadi satu-satunya kitab yang berbicara langsung kepada kaum perempuan. Pertanyaan Ummu Salamah tersebut memantapkan kenyataan bahwa nilai realitas perempuan diatara kaum mukminin bukan sekedar pelengkap, melainkan juga menjadikan perempuan sebagai bagian dari wacana ketuhanan dan kemanusiaan.2 Sebagaiman Hadits yang diungkapkan oleh Nabi bahwa kaum perempuan memilki kekurangan akal dan juga agama. Kemudian Nabi memerintahkan untuk 1
Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner, Aplikasi Penekatan Filsafat, Sosiologi dan Pendekatan Sejarah (Yogyakarta: Qirtas, 2014), h. 3. 2 Subhamis, “Pendekatan Feminis terhadap al-Qur‟an dan Bibel”, Jurnal Al-Ta’lim V 1, no 3 (November 2012): h. 232.
1
2
bersedeqah kepada seluruh umatnya baik perempuan maupun laki-laki. Bersedeqah merupakan bagian dari cara perempuan melengkapi pengamalan keagamaannya, dilain pihak penyebab perempuan kekurangan agama disebabkan datangnya menstrulasi, tidak seperti laki-aki yang ibadahnya tidak terintrupsi karna menstrulasi. Sedangkan kekurangan akal perempuan ditunjukan dengan adanya kesaksian dua orang perempuan yang disamakan dengan kesaksian seorang laki-laki. Hadits Nabi tentang perempuan kekurangan akal dan agama juga banyak dijuampai dalam literatur hadits, diantaranya kitab Jāmi’ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī Muḥammad bin Ismā‟īl Abū Abdillāh al- Bukhārī (1442 H), Jāmi’ Ṣaḥiḥ Muslim karya Muslim bin al-Ḥajāj (t.t), Fatḥ al-Bārī karya Ibn Ḥajar al-„Asqalānī (1424 H), Syarḥ Saḥiḥ Muslim karya Abu Zakariyyā al-Nawawi (1422 H), Tuḥfatu alAḥwadzī fi Syarḥ Sunan al-Tirmidzī karya Muḥammad Abd Rahman alMubārakfūrī (1353 H), dan masih banyak lagi literatur keagamaan yang menjadikan hadis tersebut sebagai dalil. Adanya mainstream patriarchy yang demikian kuat ini sangat dipahami oleh Nabi, sehingga dalam mengucapkan hadits, seringkali Nabi menggunakan bahasa-bahasa yang elastis hal ini bisa dilihat dalam kasus hadits-hadits yang secara tekstual dianggap mendukung pandangan-pandangan “misoginis”3. Haditshadits yang tampak “misoginis” tadi mempengaruhi cara pandang mereka yang berujung pada ketimpalan relasi gender dalam praktek-praktek kehidupan. Karena itu hadits-hadits yang dipandang misoginis tadi perlu diteliti validasi dan isinya, guna diperoleh pengetahuan dan pandangan baru yang memiliki tempat 3
Hadits Misoginis adalah hadits yang isinya tidak berpihak paada kaum perempuan, lihat: Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam. Penerjemah Yaziar Radianti (Bandung: Pustaka, 1994), h. 62.
3
terciptanya keadilan dan keseimbangan dalam pola hubungan laki-laki dan perempuan sebagaimana dicita-citakan Islam.4 Dalam penelitiannya, Agus Moh. Najib mengatakan bahwa agama Islam menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sejajar. Islam datang mendobrak budaya dan tradisi patriarki bangsa Arab, bahkan dapat dikatakan dengan cara yang revolusioner. Tradisi Arab ketika itu secara umum menempatkan perempuan hampir sama dengan hamba sahaya dan harta benda. Mereka biasa mengubur hidup-hidup bayi perempuan, tidak memberikan hak waris kepada perempuan, poligami dengan belasan istri, dan membatasi hak-hak perempuan baik dalam wilayah publik maupun domestik. Islam datang dengan mengecam penguburan bayi-bayi perempuan, membatasi poligami, memberikan hak waris dan hak-hak lainnya kepada perempuan sesuai dengan fungsi dan peran sosial perempuan ketika itu. Dengan demikian semangat dan pesan universal yang dibawa Islam pada dasarnya adalah persamaan antara laki-laki dan perempuan serta berusaha menegakan kesetaraan dalam masyarakat 5. Yang sering disebut dengan keadilan gender.6 Mansour Faqih dalam buku Analisis Gender dan Transformasi sosial menjelaskan, setidaknya terdapat lima bentuk ketidak adilan gender. Pertama, violence, kekerasan dalam kehidupan sosial. Penyebabnya adalah lemahnya kaum perempuan. Tiadanya aturan yang dapat memperkuat posisi perempuan manakala 4
Khariroh, “Hadis-Hadis Tentang Kekurangan Akal dan Agama Bagi Perempuan” (skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Institut Agama Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001), h. 5-6. 5 Hamim Ilyas dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis Misoginis (Yogyakarta: Elsaq Press dan PSW, 2008), h. 31. Lihat Qs. Al-Hujurāt (49): 13, Ali „Imran (3): 195, an-Nisā (4): 124, dan al-Taubah (9): 71. 6 Gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 517.
4
dihadapkan pada situasi demikian. Kedua, marginalisasi, pemiskinan perempuan dalam kehidupan ekonomi. Terdapat banyak perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses pemiskinan perempuan, kerena perbedaan gender. Ketiga, stereo type, pelabelan negatif dalam kehidupan budaya. Stereo tyipe dalam kaitannya dengan gender adalah pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya kaum perempuan. Perempaun tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena tugasnya hanya berkutat di sumur, dapur, dan kasur. Pelabelan ini sangat populer di masyarakat. Keempat, Duoble burden, beban berganda dalam kehidupan keluarga. Seorang isteri, selain melayani suami, memasak dan merawat anak, membersihkan rumah, mencuci pakain, membentu kerja suami ditoko, kantor, sawah, pasar, dan sebagainya. Kelima, subordinasi, penomorduaan dalam kehidupan politik. Bentuk ketidakadilan ini antara lain, berupa penempatan perempuan hanya pada posisi yang kurang penting, posisi yang tidak mempunyai wewenang untuk mempengaruhi proses pembentukan keputusan.7 padahal Al-Qur‟an menjelaskan prinsip tentang keadilan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman Allah surah Al- Hujarāt/ 49: 13 berikut: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
7
Munawir Haris, “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam”, Analisis: Jurnal Studi Keislaman V 15, no. 1 ( Juni 2015): h. 82-83.
5
Hadits tentang perempuan sudah berkembang sejak lama, hal tersebut terkait erat dengan peradaban Islam yang ditandai dengan produksi literer (berhubungan dengan tradisi) yang bersifat masif (kuat). Pemahaman yang kurang memperhatikan aspek-aspek historis akan menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami hadits Nabi, sehingga banyak pemahaman pesan hakiki hadits Nabi tersebut tidak sampai. Pemahaman yang hanya memperhatikan aspek bahasa tidak akan mendapatkan pesan yang terkandung dalam teks, karena teks adalah reportase masa lalu, termaksud teks hadits. Dengan demikian, memahami hadits Nabi tidak bisa dilepaskan dari konteks temporal masa lalu.8 Oleh karena itu, pendekatan hadits harus terbuka dalam usaha menegosiasikan makna dan tidak hanya didominasi oleh sekelompok otoritas tertentu. Terbukaanya pemaknaan mengembalikan hadits pada spirit Islam sebagai agama pembebasan. Pembaca harus memperhatikan beberapa aspek terkait dalam upaya menegosiasikan matan dengan realita kemasyarakatan sekarang ini, termaksud dengan menggunakan kajian hermeneutika. 9 Memahami sebuah teks dengan menggunakan metode hermeneutika, di dalam kajian al-Qur‟an dan hadits sendiri hingga saat ini masih diperdebatkan dikalangan pemikir Muslim. Banyak dari mereka menolak secara keseluruhan dan sebagian lain menerima dan sebagian lagi menolaknya tidak secara keseluruhan.10 Dalam
penelitian
ini,
penulis
mencoba
untuk
mengintegrasikan
hermeneutika sebagai teori memahami hadits misoginis karena adanya 8
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi (Jogyakarta: Idea Press, 2008), h. 30-31. 9 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pesantren Nawesia Press, 2009), h. 15. 10 Phil Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Qur’an & Hadis (Yogyakarta: elSAQ Press, 2010), h. 1.
6
pemahaman yang bias gender. Pada wilayah inilah hermeneutika menjadi metode interpretasi bagi problem pembacaan hadits. Meskipun secara ajaran hadits mempunyai nilai normatif keagamaan, tetapi hadits telah manjadi sebuah teks yang dapat dipahami oleh siapa saja yang ingin mengungkap makna yang terkandung dalam teks. Namun terkadang menjadi persoalan ialah, apa mungkin menghadapkan hadits yang memiliki pesan normatif keagamaan dengan kajian hermeneutika yang memiliki kecenderungan memperlakukan semua data secara historis (relatif dan tentatif).11 Dalam tulisan ini penulis tertarik mengkaji hadits misoginis tentang perempuan kekurangan akal dan agama. Seperti yang telah ditegaskan dari awal, bahwa perkembangan diskriminasi perempuan banyak berangkat dari hadits Nabi yang terbingkai dalam relasi sosial. Oleh karena itu, judul skripsi yang penulis ambil adalah “Pembacaan Post-Modern Hadits Perempuan Kekurangan Akal dan Agama: Perspektif Hermeneutika Hans-Georg Gadamer”. B. Identifikasi Masalah Dari permasalahan-permasalahan yang timbul dari latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberpa persoalan yang dapat dibagi: 1.
Islam adalah agama yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan namun ada hadits-hadits yang terkesan menempatkan perempuan menjadi subordinasi. Padahal di dalam al-Qur‟an sendiri Allah telah menjelaskan dalam Al-Hujurāt/49:13, bahwa manusia itu sejatinya adalah sama. Oleh karena itu, manusia memiliki kedudukan yang sama.
11
Moh Mohtador “Hadits-Hadits Misoginis dalam Perspektif Gender dan Hermeneutika (Studi Hadits Tentang Perempuan Dalam Keluarga)” (Tesis S2 Fakultas Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), h. 6.
7
2. Adanya mainstream patriarchy yang demikian kuat sangat dipahami oleh Nabi, sehingga dalam mengucapkan hadits, seringkali Nabi menggunakan bahasa-bahasa yang elastis hal ini bisa dilihat dalam kasus hadits-hadits yang
secara
tekstual
dianggap
mendukung
pandangan-pandangan
misoginis. 3. Secara ajaran hadits mempunyai nilai normatif keagamaan, tetapi hadits telah manjadi sebuah teks yang dapat dipahami oleh siapa saja yang ingin mengungkap makna yang terkandung dalam teks. Namun terkadang menjadi persoalan ialah, apa mungkin menghadapkan hadits yang memiliki pesan normatif keagamaan dengan kajian hermeneutika yang memiliki kecenderungan memperlakukan semua data secara historis (relatif dan tentatif). Inilah beberapa permasalahan yang melatarbelakangi penulis untuk mengadakan penelitian terhadap permasalahan tersebut, dengan memberikan gmabaran tentang makna yang terkandung di dalam hadits yang menyebutkan perempuan kekurangan akal dan agama. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Hadits tentang perempuan kekurangan akal dan agama telah banyak diriwayatkan oleh perawi hadits, namun penulis membatasi pembahasan pada poin ketiga dengan mengambil hadits yang diriwayatkan dalam kitab Ṣaḥiḥ alBikhārī dengan menggunakan hermeneutika sebagai teori interpretasi. Karena hadits tersebut menyatakan bahwa kodrat perempuan memiliki kekurangan, baik kekurangan dari segi akal maupun agama, dan banyak dibincangkan mengandung unsur-unsur misoginis atau kebencian terhadap perempuan.
8
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dipaparkan di atas, perumusan masalah yang penulis angkat di dalam penelitian ini adalah “Bagaimana penggunaan metode hermeneutika Hans-Georg Gadamer dalam memahami hadits tentang perempuan kurangan akal dan agama?” D. Tujuan Penelitian Dengan seiringnya rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu: 1. Untuk memahami kembali pemahaman hadits tentang perempuan kurang akal dan agama. 2. Untuk memahami horizon teks hadits tentang perempuan kurangan akal dan agama, dengan menggunakan hermeneutika Hans-Georg Gadamer sebagai teori interpretasi ketika memahami teks hadits tersebut. E. Kegunaan Penelitian. Dari hasil penelitian ini mempunyai kegunaan secara prakris dan teoritis. Adapun kegunaan tersebut sebagai berikut: 1. Mendapatkan pemahaman ulang dalam memahami hadits tentang perempuan kurang akal dan agama. 2. Mendapatkan pemahaman yang jelas tentang kajian hermeneutika HansGeorg Gadamer sebagai teori interpretasi dalam memahami horizon teks hadits tentang perempuan kekurangan akal dan agama. F. Kajian Pustaka Setelah
melakukan
penelusuran
dari
berbagai
penelitian,
sejauh
pengamatan dan pencarian yang dilakukan, penulis menemukan beberapa karya ilmiah yang sejalan dengan kajian ini:
9
1. Buku penulis menemukan buku yang di dalamnya sedikit menyinggung tentang hadits kekurangan akal dan agama, yang berjudul “Perempuan Tertindas: Kajian Hadits-Hadits Misoginis” karya Hamim Ilyas dkk, yang diterbitkan oleh ElSAQ Press tahun 2005. Dalam buku tersebut berisikan makalah-makalah seputar isu-isu misoginis yang terdapat dalam hadits Nabi, yang ditulis oleh beberapa dosen Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di dalam buku tersebut ada satu makalah yang menyinggung hadits Nabi tentang perempuan kekurangan akal dan agama yang ditulis langsung oleh Hamim Ilyas. Dan penulis dapati juga beberapa buku yang membahas tentang hermeneutika, diantaranya berjudul “Kebenaran dan Metode” karya Hans-Georg Gadamer yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Sahidah dengan judul asli “Wahrheit and Methode”, yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar
tahun 2010. Dalam bukunya Gadamer menjelaskan tentang ruang lingkup hermeneutika, dan tokoh-tokoh hermeneutika serta perbedaan pemikiran dalam menafsirkan sebuah teks. Termasuk metode atau cara Gadamer sendiri dalam melihata dan memahami sebuah teks yang ada. 2. Jurnal Selain buku-buku seputar perempuan dan hermeneutika, penulis juga mendapati beberapa jurnal yang membahas permasalahan yang sama. Di antaranya ialah jurnal yang membahas seputar kajian hadits mosoginis, yang ditulis oleh Nawang Rofiq Kholis dengan judul “Kedudukan Perempuan Dalam Rumah Tangga” dalam jurnal AL-IFKAR Vol 1, no. 1 (Maret 2013). Ia menjelaskan seputar perempuan dan hadits-hadits misoginis baik dari segi sanad
10
maupun matan. Khususnya hadits seputar kedudukan perempuan dalam rumah tangga, bagaimana Rasul mejelaskan tentang hadits-hadits perempuan, yang terkesan mengandung unsur-unsur misoginis padahal Rasul sendri yang mengangkat derajat perempuan setelah kemunculan Islam. Jurnal lainnya yaitu, yang ditulis oleh Limmatus Sauda‟ dengan judul “Hadits Misoginis dalam Perspektif Hermeneutika Fatima Mernissi” dalam Jurnal Keilmuan Tafsir-Hadits, Vol 4, no. 2 (Desember 2014). Mernissi mempunyai cara tersendiri dalam mengkritisi hadis-hadis misoginis, yaitu dengan kajian historis dan metodologis. Pada dasarnya dua tahapan ini tidak berbeda dengan kaidah kritik hadis
konvensional,
yang membedakannya adalah aspek
penerapannya. Adapun mengenai kajian historisnya, Mernissi tidak hanya melibatkan situasi pada waktu ketika hadis itu muncul. Data historis tersebut tetap ia gunakan untuk dijadikan sebagai pertimbangan dan bahan uji dengan situasi kontemporer masa kini. Pada level ini Mernissi mencoba menunjukkan bahwa hadits itu tidak hanya milik umat Islam masa lalu, umat Islam yang sekarang juga masih terus meyakini hadits. Selain untuk mengetahui pemahaman Mernissi tentang hadits-hadits misoginis, penjelasan Mernissi ini dipaparkan untuk menelusuri kerangka hermeneutika hadisnya. 3. Skripsi Selain jurnal-jurnal tersebut saya pun mendapatkan beberapa skripsi yang membahas seputar isu-isu yang terjadi pada perempuan, antara lain: Latifa
Anwar
dengan
judul
“Wanita
Berbentuk
Setan”.
Yang
memfokuskan pada studi sanad dan matan, hal ini disesuaikan dengan komponen hadits yang terdiri dari 2 komponen yaitu sanad dan matan. Adapun pemaknaan
11
tentang perempuan berbentuk setan dalam Sunan al-Tirmidzi nomor indeks 1161 ialah perempuan memiliki bentuk yang indah dan mempesona sehingga sangat berpotensi membuat kaum pria tergoda. Hadits tersebut berisi peringatan dan pengarahan terhadap kaum pria untuk mengendalikan kaum pria, karena Allah telah memberikan kecendrungan dalam hatinya untuk menyukai wanita yang telah diberi keistimewaan oleh Allah dengan keindahannya. Oleh karna itu, keduanya harus bisa saling menjaga agar tidak berlanjut pada perbuatan maksiat. Rasullah memberikan peringatan pada kaum pria supaya berhati-hati terhadap perempuan dan memerintahkan mendatangi istrinya jika merasa tergoda ketika melihat perempuan lain agar terhindar dari perbuatan maksiat. Ulfa Zakia dengan judul “Re-Interpretasi Hadits Perempuan Mayoritas Penghuni Neraka (Kajian Hadits Misoginis)”. Di dalam tulisannya ia mencoba berbicara tentang perempuan dalam pandangan hadits, dalam penelitiannya ia memfokuskan untuk membahas hadits yang menyatakan bahwa perempuan mayoritas penghuni neraka. Adapun fokus yang ia bahas dalam penelitiannya ialah membaca kembali hadits yang menyatakan perempuan mayoritas penghuni neraka yang ia anggap musykil. Umi Aflaha dengan judul “Kajian Hadits Dalam Ormas-Ormas Islam Di Indonesia (Analisa Pemahaman NU dan Muhammadiyah Terhadap Hadits-hadits Misoginis)”. Dari uraiannya ia menyimpulkan permasalahan-permasalahan akademis yang menjadi fokus kajian atas pemahaman ormas-ormas Islam (NU dan Muhammadiyah) terhadap hadits Nabi SAW, khususnya mengenai haditshadits misoginis ialah dengan menjawab beberapa pertanyaan tentang bagaimana pemahaman hadits-hadits misoginis menurut ormas-ormas Islam di Indonesia.
12
Juga menjawab tentang bagaimana tipologi pemahaman ormas-ormas Islam di Indonesia terhadap hadits-hadits misoginis serta menjawab tentang implikasi pemahaman hadits mereka ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Qoriatul Hasanah dengan judul “Kritik Hadits Wanita (Studi atas Tujuan dan Metode Kritik Aisyah r.a terhadap Hadits-hadits tentang Wanita)”. Hasil penelitian dan pembahasan yang telah Qoriatul Hasanah uraikan yaitu tema hadits yang dikeritik Aisyah r.a adalah hadits-hadits ibadah, yang meliputi: hadits tentang ciuman pasangan suami istri mengharuskan berwudhu, kewajiban bagi perempuan untuk menguraikan rambutnya ketika sedang mandi, perempuan sebagai penyebab terputusnya shalat, dan status perempuan haidh yang sedang melakukan ibadah haji. Tema lainnya yang dikeritik oleh Aisyah r.a adalah haditshadits tentang etika, yang meliputi: etika hubungan suami istri, kesialan terdapat pada perempuan, dan perempuan diazab karena seekor kucing. Tujuan kritik Aisyah r.a terhadap hadits-hadits tetang perempuan yang dikritiknya adalah untuk menjelaskan dan meluruskan pemahaman dari hadits-hadits tersebut agar diketahui dengan jelas kapan dan untuk siapa hadits itu ditunjukan. 4. Tesis Moh. Muhtador dengan judul “Hadits-Hadits Misoginis Dalam Perspektif Gender dan Hermeneutika (Studi Hadis Perempuan Dalam Keluarga)”. Dalam tesisnya ia mengkaji hadits misoginis dalam keluarga dengan melihat dari segi sosiologi, bahwa perkembangan diskriminasi perempuan banyak berangkat dari hadits Nabi yang terbingkai dalam relasi kekeluargaan. Pada tataran penulisan tersebut ia tertarik mengkaji karena rangkaian deskriminasi atas perempuan tidak
13
terjadi pada satu masa, tapi sikap deskriminasi perempuan berkembang secara masif, dimulai dari prapernikahan sampai seorang hidup berumah tangga. Agus Moh. Najib dengan judul “Penciptaan Perempuan dari Tulang Rusuk Laki-laki”. Dalam penelitiannya ia mencoba untuk mekontruksi pemahaman yang berkembang dimasyarakat, bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Penelusuran awal, Agus Najib mencari tahu status hadits tersebut dengan mentakhrij sanadnya. Dari kesimpulan yang didapat bahwa hadits tersebut sanadnya bernilai shahih, tetapi masih terdapat perbedaan pendapat tentang matannya, karena matan hadits tersebut masih diperdebatkan. Setidaknya ada dua kelompok terkait dengan matan tersebut. Kelompok pertama menerima hadits tersebut karena sebagai tafsir An-Nisa ayat 1, dan ada yang mengartikan bahwa hadits tersebut harus ditarik secara metafora, yaitu laki-laki harus berlaku baik dan bijaksana dalam memperlakukan perempuan. Kelompok kedua menolak hadits tersebut secra matan, karena tidak sesuai dengan semangat al-Qur‟an dan tidak ada akurasi kesahihan matan yang terdapat dalam hadits tersebut. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari suatu objek yang dapat diambil dan diteliti.12 2. Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen perpustakaan tertulis (librarty research) maka pengumpulannya ialah degan cara 12
2002), h. 3.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,
14
menelusuri kitab-kitab, buku ilmiah dan referensi tertulis lainnya. Data-data tertulis tersebut terbagi menjadi dua jenis sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Jāmiʻ al-Ṣaḥīḥ, yang terdapat pada kitab al-Siyam, Bab Tarku′l Haid Al-Shaum, Jilid I hadits nomor 29 yang menyatakan bahwa kodrat perempuan kekurangan akal dan agama. Serta buku Truth and Method dan terjemahannya Kebenaran dan Metode (2010) yang menjealskan motode
hermeneutika
Gadamer
sebagai
interpretasi
dalam
memahami teks. Adapun sumber skunder yaitu yang dapat digunakan dalam memahami hadis secara tekstual maupun kontekstual, maka digunakanlah kitabkitab syarh hadis seperti kitab Fatḥ al-Bārī syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī karya Ibn Hajar al-ʻAsqalānī. Dan jurnal serta buku-buku pendukung lainnya seperti “Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi” karya Richard E. Palmer (2013) dan “Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer” karya Ridwan Inyak M (2010). 3. Cara Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data-data untuk penelitian, penulis mentakhrij hadis-hadis tentang perempuan kekurangan akal dan agama dengan menggunakan kitab Muʻjam al-Mufahras li-Alfāẓ al-Ḥadīts al-Nabawiy, karya A.J. Wensink. Kitab ini menyajikan data-data yang memadai. Disamping itu, kitab ini lebih mudah digunakan. 4. Analisa data Setelah data-data terkumpul, penulis menganalisa aspek kebahasaan di dalam hadits yang diteliti. Kemudian menelusuri pesan yang terkandung dalam
15
hadits tersebut, dengan melihat lintasan sejarah dan mengeceknya dalam referensi-referensi terkait. penulis juga merujuk kepada pendapat Yūsuf Qarḍāwī bahwa diantara cara-cara yang baik dalam memahami hadis Rasulullah Saw ialah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakanginya. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis tersebut atau yang disimpulkannya, serta dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya.13 Dalam tahap ini hadits-hadits tentang perempuan kekurangan akal dan agama akan ditinjau dari segi asbāb alwurūd nya dan kondisi sosial masyarakat arab ketika hadis tersebut muncul. Langkah selanjutnya penulis menggunakan metode hermeneutika dalam memahami hadits Nabi. Sebagai teori interpretasi hermeneutika menjadi penting ketika dikaitkan dengan pemahaman hadis misoginis. Pemahaman yang berkembang atas hadits Nabi menyisakan problem atas pemahaman komprehensif tentang realitas sosial. Dengan demikian hermeneutika Gadamer menjadi penting karena merupakan teori pemahaman, meski secara eksplisit Gadamer tidak membicarakan tentang hadits. Teori gadamer dianggap relevan dalam kajian pemahaman hadits dengan model keseimbangan pembacaan secara komprehensif atas suatu hadits, sehingga membuka wacana yang lebih luas karena cara analisis heremeneutika Gadamer membantu memahami hadits lebih dekat dengan apa yang sesungguhnya terjadi atau terkait. Setidaknya ada tiga komponen hermeneutika Gadamer dalam memahami sebuah teks: kesadaran sejarah diri, prapemahan dan peleburan cakrawala.
13
Muḥ ammad Yūsuf Qarḍ āwī, Bagaimana memahami hadits Rasulullah Saw. Penerjemah Muhammad al-Baqir (Bandung: Karisma, 1994), h. 131.
16
Horizon pertama, ialah kesadaran sejarah diri. Yaitu dalam memahami teks seseorang harus memperhatikan sejarah atau horizon-horizon tentang dirinya yang berkaitan dengan tradisi dan menjadi bagian dalam kehidupnya. Karena hal tersebut adalah beban dalam proses pemahaman dan sejarah bukanlah suatu kebenaran konklusif. Seperti ungkapan Gadamer: “Wirkungsgeschichtliches bewustsein is primarilly consciousness of the hermeneutical situation. To acquire an awareness of a situation is, however alwats a task of peculiar dificulty...this is also true of the hermeneutic situation, the situation in which we find ourselves with regard to the tradition that we are trying to understand. (Kesadaran sejarah adalah kesadaran tentang situasi hermeneutika. Namun, untuk mendapatkan sebuah kesadaran merupakan tugas khusus yang sulit. Ini juga terjadi pada situasi hermeneutik, yakni situasi dimana kita menemukan diri kita berhubungan dengan tradisi yang coba kita pahami”.14
Adapun penerapannya dalam penelitian skripsi ini tentang kesadaran akan sejarah, menjadi hal yang penting dalam memahami suatu hadits. Yakni seorang pembaca harus memahami sejarah atau budaya dan berhubungan dengan tradisi yang dipahami oleh pembaca. Termaksud isu-isu dan masalah-masalah yang berkembang dalam dunia perempuan. Horizon kedua, ialah prapemahaman (praduga pemahaman). Yaitu merupakan konsep yang menitik beratkan pada prasangka-prasangka yang telah dibentuk oleh seseorang untuk memahami sesuatu, karena akal budi yang baik secara metodologi bisa
menyelamatkan seseorang dari kesalahan, hal tersebut
diungkapkan oleh Discartes.15 Sebagai media untuk memahami sesuatu prapemahaman selalu memainkan peran, dimana prapemahaman tersebut diwarnai oleh tradisi yang berpengaruh dalam aktivitas pemahaman, begitu juga prejudisprejudis yang telah termuat dalam horizon pembaca. Oleh sebab itu Gadamer 14 15
335.
Hans-Georg Gadamer ,Trurh and method (London: Continuum: 1989), h. 301. Hans-Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2010), h.
17
menilai dalam memahami teks, seorang penafsir sepantasnya untuk tidak langsung menggali makna yang terdapat dalam teks, namun meneliti aspek-aspek yang terkait dengan prapemahaman dan makna teks. Sebagimana diungkapkan: “But understaning realizes its full potential only when the foremeaning that it begins with are not arbitrary, relying solely on the fore-meaning already available to him, but rather explicitlyto examine the legitimacy-the origin and validy- of the fore meanings dwelling within him. (Tetapi pemahaman mencapai potensilitas hanya seutuhnya ketika asumsi awal yang digunakan tidak arbitrer “sewenang-wenang” , benar sekali bagi penafsir untuk tidak mendekati teks secara langsung dengan semata-mata menyadarkan pada asumsi awal sekaligus prapemahamannya, namun agaknya dengan menelaah secara eksplisit kesahannya, yakni asal-usul dan kesahihan, asumsi awal yag ada padanya)”.16
Gadamer mendefinisikan penjelasan tersebut adalah kerja prasangka subjek. Subjek dalam mengalisis pengalaman diberi kesempatan untuk melakukan prasangka atas sejarah teks. Menurut Heidegger, dalam penafsiran sejarah, subjek tidak berangkat dengan otak kosong, subjek harus berangkat dari prasangka, ide dan gagasan. Tanpa hal tersebut subjek tidak bisa menggiring sejarah pada posisi dinamisasi. Karena pada intinya, kerja hermeneutika adalah kerja dialogisasi. Oleh karean itu, sejarah harus dibentuk sebagai objek dinamisasi melalui prasangka subjek. Prasangka subjek adalah pertanyaan awal atas objek.17 Adapun penerapannya dalam penelitian skripsi ini tentang prapemahaman, yaitu menjadi sebuah keharusan bagi seorang pembaca untuk tidak langsung menggali makna yang terkandung dalam teks hadits tersebut. Akan tetapi, pembaca diharuskan untuk mengeluarkan asumsi-asumi awal yang ia pahami dalam memahami teks hadits tersebut. Dengan tidak melepaskan sejarah yang dipahami oleh pembaca. 16
Gadamer, Trurh and method, h. 270. Salahudin, “Anatomi Teori Filsafat Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Dialogis Historikalitas Dalam Memahami Teks” (Tesis S2 Fakultas Sosiologi, Universitas Muhamadiyah Malang, 2011), h. 10. 17
18
Horizon Ketiga, ialah peleburan cakrawala. Yaitu pertemuan dua horizon dari unsur yang berbeda, yaitu horizon penafsir yang temporal dan horizon teks yang historis. Sebagimana yang dikatakan Gadamer. “Insofar as we must imagine the other situation. But into this other situation we must bring, precisely, ourselves. (Sejauh harus kita bayangkan situasi berbeda. Tetapi dalam situasi lain pembaca harus membawa sistemnya)”.18
Dalam setiap pemahaman dan penafsiran, kedua horizon tersebut selalu ada termasuk bagian yang harus diperhatikan. Karena untuk mengungkap makna yang akan dicapai keduanya harus dikomunikasikan supaya tidak terjadi ketegangan. Seperti yang dikutip Sahiron dalam tulisan Gadamer yang lain, the tension between the horizons of the text and the reader is dissolved19. (ketegangan antara cakrawala teks dan pembaca dileburkan). Dalam hal ini, seorang penafsir harus memiliki keterbukaan untuk mengakui adanya horizon lain, yakni horizon teks yang mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan horizon pembaca. Dengan demikian, dalam memahami teks seorang penafsir tidak boleh hanya menggunakan makna teks saja, namun ruang yang melingkupi kemunculan teks harus diperlihatkan. Selain itu, sisi penafsir yang telah dipengaruhi kondisi sosial, politik, ekonomi dll, juga memberikan pengaruh. Oleh sebab itu, interaksi antara teks dan penafsir harus bernegosiasi, karena keduanya muncul dalam ruang dan waktu yang berbeda. Pertemuan dua unsur tersebut harus menemukan makna baru. Karena dalam pandangan Gadamer pemahaman dan penafsiran tidak cukup tanpa adanya penerapan. 20
18
Gadamer, Trurh and method, h. 303. Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, h. 48. 20 Muhtador, “Hadis-Hadis Misoginis Dalam Perspektif Gender dan Hermeneutika”, h. 19
24-25.
19
Adapun penerapannya dalam penelitian skripsi ini tentang peleburan cakrawala, yaitu pembaca harus menegosiasikan makna yang terkandung di dalam teks hadits, yang menjadi ketegangan antara cakrawala teks dan cakrawala pembaca untuk dileburkan. Sehingga menghasilkan makna yang dapat dipahami minimal bagi pembaca. 5. Teknik Penulisan Adapun mengenai teknik penulisan dan transliterasi, saya merujuk pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development Ana Assurance) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. Sebagai pedoman transliterasi, saya menggunakan pedoman transliterasi Arab-Indonesia berdasarkan Surat Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 22 Januari 1988. H. Sistematika Penulisan. Dalam Skripsi ini penulis membagi bahasan menjadi empat bab dengan rincian sebagai berikut: Bab pertama, berisi pendahuluan yang mendeskripsikan perdebatan seputar hadits tentang perempuan kekurangan akal dan agama, sehingga perlu adanya pemahaman ulang untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas mengenai maksud dari hadis tentang perempuan kekurangan akal dan agama. Ulasan bab ini terdiri dari: latarbelakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian yang digunakan, sistematika penelitian. Dengan kata
20
lain, bab ini sebagai kerangka dari seluruh ini penelitian. Sedangkan secara terperinci hasil penelitian tersebut peneliti ulas dalam bab selanjutnya. Bab kedua, membahas lebih jelas tentang definisi misoginis, kemudian mengklasifikasikan hadits-hadits dan juga ayat-ayat al-Qur‟an yang diduga mengandung unsur-unsur misoginis, dan mencari keabsahan hadits tentang perempuan kekurangan akal dan agama. Sehingga dari sini lain akan terlihat hasil pemahaman dari literatur-literatur Islam seputar isu Misoginis. Bab ketiga, berbicara seputar hermeneutika Hans-Georg Gadamer, yaitu meliputi pengertian hermeneutika secara umum, biografi Gadamer, karya-karya Gadamer, pemikiran hermeneutika secara umum, dan pemahaman teks Gadamer. Serta mengaplikasikasikan hadits tentang perempuan kekurangan akal dan agama dengan menggunakan metode hermneneutka Gadamer, dengan melihat lebih jelas maksud yang sebenarnya dalam hadits Nabi tersebut. Sehingga mendapatkan pemahaman lain bagi pembaca tentang maksud ysng terkandung dalam hadits Nabi tentang perempuan kekurangan akal dan agama. Bab keempat, merupakan kesimpulan dari seluruh uraian yang telah dikemukakan jawaban atas permaslahan yang diteliti, dilengkapi dengan saransaran yang dapat direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya dari penelitian ini, sekaligus sebagai pamungkas dari penelitian ini.
BAB II MISOGINIS TERMINOLOGI DAN EKSISTENSINYA DALAM ALQUR’AN DAN HADITS A. Definisi Misoginis Dalam kamus bahasa Inggris sendiri istilah misoginis berasal dari kata “misogyny” yang berarti ”kebencian terhadap wanita”1 Dalam kamus ilmiah popular terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin” berarti: benci akan perempuan, membenci perempuan, “misogini” berarti, “benci akan perempuan, perasaan benci akan perempuan” sedang “misoginis” artinya “laki-laki yang benci kepada perempuan”. Namun secara terminologi istilah misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan, seperti yang terdapat dalam beberapa teks hadits seputar kedudukan perempuan.2 Sedang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan orang yang membenci wanita.3 Istilah “misoginis” yang membenci perempuan masih menimbulkan banyak pertanyaan, fungsi Rasulullah SAW diutus Allah adalah tidak lain mengangkat harkat dan martabat manusia termasuk kaum perempuan. Oleh karena itu, untuk menjembatani adanya yang pro dan kontra maka penulisan istilah misoginis di sini ditulis dalam tanda kutip. Secara luas kajian atas hadits-
1
John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1986), h.
382. 2
A. Partantopius dan al-Barry M Dahlan, kamus Ilimah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), h. 473. 3 Lihat, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 660.
21
22
hadits “misoginis” perlu dikembangkan untuk memperlihatkan wajah Islam yang sesungguhnya.4 Klaim adanya unsur misoginis dalam hadits digunakan oleh Fatima Mernissi5 (W 2015) di dalam bukunya Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry. Untuk menunjukkan hadits-hadits yang dianggapnya membenci dan merendahkan derajat perempuan.6 Istilah hadits sebagaimana diketahui adalah suatu yang disandarkan kepada Rasuullah SAW. Baik ucapan, perbuatan, maupun taqrir. Disebut hadits misoginis karena di dalamnya mengandung makna-makna yang memojokan kedudukan kaum perempuan serta deskriminasi terhadap hak dan kewajiban kaum perempuan. Adanya penafsiran yang mengandung unsur-unsur misoginis, salah satunya terdapat dalam Tafsir al-Qurtubi (W 671 H) dikatakan bahwa laki-laki memiliki kelebihan akal, managerial, kejiwaan dan naluri, yang tidak dimiliki oleh perempuan. Naluri laki-laki diyakini didominasi oleh unsur panas dari kering yang merupakan sumber kekuatan, sementara naluri perempuan didominasi unsur basah dan dingin yang merupakan sumber kelembutan dan kelemahan. Senada dengan al-Qurtubi, Zamakhsari (W 538 H) yang berasal dari kalangan Mu‟tazilah 4
Hasani Ahmad Said, “Hadis-Hadis Misoginis: Wacana Pemahaman Hadis, Menggali Akar Sosio-Kultural”, Al-Dzikra V 6, no. 1 (Januari-Juni 2012): h. 4-5. 5 Fatima Mernissi, merupakan salah satu sarjana feminis di Timur Tengah yang paling populer. Fatima sendiri sangat produktif dalam menerbitkan karya-karyanya baik dalam bahasa Prancis maupun dalam bahasa Arab. Diantara karya-karyanya yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris adalah Beyond the Veil (Indiana University Press), Doing Daily Battle (Women‟s Press/Rutgers University Press), The Veil and the Male Elite (Addison Wesley) diterbitkan di Inggris dengan judul Women and Islam (Blackwell), The Forgotten Queens of Islam (Polity Press/University of Minnesota Press), Islam and Democracy (Addison Wisley/ Virago), dan Dreams of Trespass (Addison Wesley), diterbitkan di Inggris dengan judul The Harem Within (Doubleday). Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita! Peran Intelektual Kaum Wnita Dalam Sejarah Muslim. Penerjemah Rahmani Atuti (Bandung: Mizan, 1999), h. 5. 6 Fatima Mernissi, Wanita didalam Islam. Penerjemah Yaziar Radianti (Bandung: Pustaka, 1994), h. 62.
23
dan dikenal dengan rasionalitasnya mengatakan bahwa laki-laki memiliki berbagai kelebihan diantaranya dalam hal akal, ketegasan, kekuatan tekad, dan kekuatan fisik. Sehingga menurutnya laki-laki pantas menjadi para Nabi, ulama, kepala negara, dan Imam. Masih banyak ahli tafsir lain seperti Ibn Kasir (W 774 H) dan Fakhruddin al-Razi (W 1966), yang mengukuhkan superioritas laki-laki dengan legitimasi tekstual dan dalil dari al-Qur‟an maupun Hadits.7 Dari penjelasan di atas, dapat saya simpulkan bahwa istilah hadits misoginis ialah penafsiran atau ucapan Nabi yang dituding mengandung unsurunsur kesenjangan sosial yang terjadi antara perempuan dan laki-laki yang menyangkut perbedaan kedudukan, hak dan juga kewajiban, baik yang dijelaaskan dalam al-Qur‟an maupun hadits. Oleh karena itu, disini saya mencoba untuk mengkelompokannya ke dalam beberapa tema. B. Al-Qur’ān dan Misoginis Pembicaraan tentang masalah kedudukan perempuan dalam paradigma Islam sesungguhnya telah dimulai sejak munculnya agama itu sendiri. Al-Qur‟an sebagai kitab suci umat Islam, bahkan secara spesifik membahas hal-hal yang menyangkut kewajiban dan kedudukan perempuan di dalam beberapa surat.8 1. Misoginis dalam Keluarga a. Otoritas Thalaq Sebagimana firman Allah yang tertera dalam al-Qur‟an surah AtThalaq/65: 1 berikut:
7
Siti Zubaedah, “Mengurai Problematika Gender dan Agama” Yin Yang V 5, no. 2 (JulDes 2010): h. 258. 8 Sa‟diyah, “Isu Perempuan (Dakwah dan Kepemimpinan Perempuan dalam Kesetaraan Gender)”, h. 315.
24
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah. Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.
Dalam ayat ini Allah berfirman kepada Nabi-Nya, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya yang wajar”. Maksudnya adalah wahai Nabi, bila kamu menthalaq istri-istrimu maka thalaqlah mereka pada saat mereka dalam keadaan suci. Maka kamu dapat menghitungnya sebagai satu fase masa iddah. Adapun ahli tafsir yang berpendapat sama dengan pendapat tersebut ialah Abu Kuraib, Ibnu Basysyar, Ibnu Al Mutsanna dan Ya‟qub bin Ibrahim. 9 Thalaq adalah suatu keadaan yang menyebabkan ikatan perkawinan menjadi terputus. Dalam Islam konsep awal thalaq ini memang dipegang oleh pihak suami. Artinya di tangan suamilah sebuah perkawinan bisa tetap berlanjut atau terputus. Paling tidak, ada dua alasan mengapa hak thalaq ada di tangan suami, Pertama, perempuan memiliki perasaan yang lebih halus ketimbang laki-laki. Artinya secara emosional, perempuan akan lebih mudah terbawa oleh
Abū Ja‟far Muḥ ammad bin Jarīr al-Ṭ abarī, Tafsir al-Ṭ abarī. Penerjemah Anshari Talim dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Jilid XXV, h. 137. 9
25
perasaannya. Ketika hak thalaq ada di tangan perempuan, maka dikhawatirkan dia akan menggunakannya untuk alasan-alasan sepele yang sebenarnya tidak patut digunakan untuk mengakhiri kehidupan rumah tangga. Kedua,
thalaq
sesungguhnya
memiliki
konsekwensi-konsekwensi
ekonomis. Seorang suami yang masih berhutang (belum membayar) mahar kepada isterinya, maka ia harus membayarnya ketika ia menceraikan isterinya itu. Seorang suami juga masih berkewajiban secara lahir menafkahi isterinya selama masa iddah. Karena konsekwensi-konsekwensi ekonomis inilah maka kemudian sang suami tidak akan sembarangan menjatuhkan thalaq kepada isterinya.10 Dari segi kontrak pernikahan sendiri, sebenarnya sang isteri telah mengetahui bahwa suaminyalah yang memiliki otoritas thalaq. Artinya sejak awal perkawinan sang isteri telah mengetahui bahwa thalaq memang diputuskan oleh pihak laki-laki. Namun demikian, sebenarnya pihak isteri bisa saja mensyaratkan thalaq yang bisa dilakukannya seizin pihak suami pada saat kontrak nikah dimulai. Kita megenal ini dengan istilah ta'liq thalaq. Maksudnya jika ada hal-hal yang menurut isteri akan merugikan dirinya dan itu dilakukan oleh pihak suami, maka saat itu thalaq bisa terjadi. Misalnya jika suami tidak bisa menafkahi lahir batin isterinya selama enam bulan berturut-turut, dan sang isteri menjadikan itu sebagai ta'liq thalaq, maka begitu genap enam bulan sang suami tidak menafkahinya, secara hukum agama Islam telah terjadi thalaq. Atau ketika sang isteri mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, ia juga mempunyai hak untuk melaporkannya ke pengadilan untuk meminta cerai dari suaminya.11
10
Didin Faqihuddin, “Memahami Ayat-Ayat Misogyny dalam Al-Qur‟an”, Musawa, V 2, no 2 (Desember 2010): h. 176-177. 11 Wahbah al-Zuhailī, Al-Fiqḥ al-Islām wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), Jilid VII, h. 360-361.
26
Dengan demikian, saya dapat memahami ayat di atas terlihat jelas bahwa hak thalaq yang ada ditangan suami adalah konsep awal yang tidak kaku. Karena pada kenyataan nya pihak istri sendiri bisa menuntut cerai ketika ia mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupan perkawinannya. Hak thalaq yang berada ditangan suami tidak lebih dari sekedar bahwasanya secara emosional laki-laki lebih stabil dibandingkan dengan perempuan, ayat di atas sekaligus memberikan nasihat agar suami tidak sembarangan dalam menjatuhkan thalaq kepada istrinya. b. Berpoligami Sebagaimana firman Allah yang tertera dalam al-Qur‟an suarat surah AnNisaa‟/4: 3 berikut: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Jika dibaca secara sepintas ayat ini memang terkesan “menganiaya” perasaan perempuan karena adanya redaksi yang memerintahkan laki-laki untuk mengawini perempuan sampai jumlah empat orang. Namun memahami ayat AlQur‟an tidak bisa dilakukan secara parsial, misalnya hanya dengan melihat redaksi dan seterusnya tanpa melihat konteks sosial ayat. Sebagian ulama berpendapat bahwa maknanya ayat tersebut yaitu, “Jika kalian takut wahai wali-wali anak yatim untuk tidak berlaku adil dalam
27
(memberikan) mahar kepada mereka (bila kamu menikahi mereka), kemudian kalian berlaku adil dalam hal itu dan memberikan mahar kepada mereka sesuai mahar perempuan-perempuan yang seperti mereka, maka janganlah kalian menikahi mereka. Akan tetapi, nikahilah perempuan selain mereka yaitu perempuan-perempuan yang telah Allah halalkan dan jadikan baik bagi kalian mulai dari satu sampai empat. Bila kalian takut akan melampaui batas dengan menikahi perempuan-perempuan yang asing itu lebih dari satu sehingga kalian tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah satu orang (saja) atau budak-budak yang kalian miliki. Riwayat yang berpendapat sama juga dijelaskan oleh Ibnu Humaid, Yunus bin Abdil A‟la, Yunus bin Yazid, dan Al Hasan bin Yahya. Adapula yang berpendapat bahwa makna (firman Allah) tersebut adalah “Dilarang menikahi dengan lebih dari empat orang perempuan, guna melindungi harta anak yatim agar tidak dihabiskan oleh walinya. Riwayat yang berpendapat sama juga dijelaskan oleh Ḥannad bin as-Sarī, Muḥ ammad bin Al Muṭ sanna, dan Muḥ ammad bin Sa‟ad12 Ayat tersebut sesungguhnya bukan berisi perintah menikahi perempuan lebih dari satu tanpa reserve (syarat). Secara kontekstual, ayat ini masih terkait dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan pengasuhan terhadap anak yatim. Pada masa itu di Arabia, ada seseorang yang mengasuh anak yatim perempuan dan bermaksud menikahinya dengan pemikiran bahwa menikahi anak yatim tidak perlu dibayarkan maharnya seperti menikahi perempuan lainnya. Dalam pandangan Islam hal ini mencedarai rasa keadilan. Maka Islam mempersilahkan untuk menikahi perempuan lain saja bahkan jika mau boleh sampai empat, dengan
12
Al-Ṭ abarī, Tafsir al-Ṭ abarī, Jilid VI, h. 379-384.
28
catatan mahar harus dibayar dan keadilan diantara para istri itu harus diwujudkan.13 Menurut Ulfa Yusuf dalam bukunya Hîrah Muslimah bahwa perbincangan poligami di dalam al-Qur‟an hanya berkisar pada dua ayat saja, yaitu dalam surah al-Nisâ/4: 3 dan 129. Terkait dua ayat ini, para mufasir sibuk menjelaskan tentang makna adil yang dinilai menjadi syarat keabsahan poligami. Menurutnya yang lebih penting adalah mengamati kembali bahwa surah al-Nisâ/4: 4 tersebut sama sekali tidak berbicara tentang keabsahan poligami secara multak. Ada syarat yang jauh lebih penting diperhatikan, yaitu kekhawatiran menzalimi seorang anak yatim perempuan. Secara umum, ia menegaskan bahwa pada dasarnya perkawinan monogamilah yang paling ideal. Hal ini didasarkan pada persyaratan Al-Qur‟ an sebagaimana diuraikan di atas, disamping itu juga adanya argumen dari hadis sahih. Misalnya kisah ketika Nabi tidak membolehkan Alī ibn Abū Thālib untuk menikahi perempuan lain selama istri pertamanya (Fātimah) masih hidup, kecuali setelah menceraikannya.14 Dengan demikian, saya dapat memahami konteks ayat di atas yaitu sebagai kritik terhadap laki-laki yang hendak berlaku curang mengawini perempuan yatim tanpa mau membayar maharnya. Al-Qur‟an mepersilahkan untuk menikahi perempuan lain yang tentu maharnya harus dibayarkan. Agama Islam membolehkan laki-laki untuk menikahi empat orang perempuan sekaligus dengan syarat harus berlaku adil kepada perempuan-perempuan yang telah dinikahinya. Apabila ia tidak bisa berlaku adil karena berkewajiban untuk 13
Faqihuddin, “Memahami Ayat-Ayat Misogyny dalam Al-Qur‟an”, h. 172. Ahmad Fawaid, “Pemikiran Mufasir Perempuan Tentang Isu-Isu Perempuan”, Karsa V 23, no. 1 (juni 2015): h. 70. 14
29
membiayai dan memenuhi kebutuhan istri-istrinya, maka cukup nikahi satu orang istri saja. Hal demikian yang lebih baik untuk dikerjakan. 2. Misoginis dalam Muamalah a. Status Persaksian Perempuan. Sebagaimana firman Allah yang tertera dalam al-Qur‟an surah AlBaqarah/2: 282 berikut: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
30
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu‟amalahmu itu), kecuali jika mu‟amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Maksud ayat tersebut ialah, mintalah kesaksian dari dua orang laki-laki. Apabila tidak ada dua orang laki-laki, boleh dengan seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Yang demikian ini adalah dalam urusan harta benda, seperti hutang piutang, jual beli, sewa menyewa, penggadaian, pengakuan harta benda dan penggasaban (pemanfaatan barang taapa izin pemiliknya). Dalam kitab ringkasan Ibnu Katsir disebutkan bahwa Sufyan al-Ṭ sauri meriwayatkan dari Ibnu Abbās “Ayat yang diturunkan berkaitan dengan masalah salam (mengutangkan) hingga waktu tertentu. Saya bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk diselesaikan pada tempo tertentu adalah di halalkan dan di izinkan oleh Allah. 15 Perintah ayat ini secara redaksional ditunjukan kepada orang-orang beriman tetapi yang dimaksud ialah mereka yang melakukan transaksi hutang piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang berutang. Hal ini agar yang memberi piutang merasa tenang dengan punulisan itu. Sebab menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan.16 Ibnu Ḥ ajar al-Asqalānī dalam kitabnya Fatḥ ul Bārī memberi keterangan bahwasanya Jumhur Ulama mengkhususkan hadits tersebut pada masalah Al-Ṭ abarī, Tafsir al-Ṭ abarī, h. 43. Muzakir S, “Regulasi Hutang Piutang dalam Tinjauan Ekonomi Islam (Telaah Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 282)”, Iqtishaduna V 5, no 1 (Juni 2014): h. 69. 15 16
31
kebendaan, dan mereka tidak membolehkan kesaksian perempuan di dalam masalah hudud dan qishas. Jumhur ulama juga berselisih di dalam masalah nikah dan thalaq. Berbeda dengan pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa perempuan tidak diperbolehkan menjadi saksi dalam hudud. Imam Malik dan Imam Syafi‟i memperbolehkan kesakisian seorang laki-laki dan dua orang perempuan dalam hal harta benda, akan tetapi kesaksian perempuan tidak diterima dalam hal hukum badani seperti hudud, qishash, nikah, thalaq, dan rujuk. Maka berbeda halnya dengan pendapat Ibn Hazm, menurutnya perempuan dapat menjadi saksi untuk semua perkara tanpa terkecuali dengan ketentuan untuk kedudukan satu orang laki-laki dapat ditempati oleh dua orang perempuan dalam kesaksian. Dari keterangan Ibnu Hazm di atas telah jelas bahwa ia dengan tegas menerima kesaksian perempuan, tidak hanya menerima perempuan menjadi saksi dalam wilayah hukum hudud dan qishash saja. Tetapi Ibnu Hazm menerima kesaksian perempuan dalam semua perkara dan kejadian, dan mengagap kesaksian perempuan mempunyai kekuatan yang sama sebagaimana kerasksian orang laki-laki. Adapun yang menjadi alasan Ibnu Hazm dalam memberikan kedudukan perempuan untuk menjadi saksi dalam semua perkara atau kejadian ialah dengan merujuk firman Allah surah Al-Imran/3: 77.17
17
Pradita Nur Alim, “ Status Kesaksian Wanita dalam Hukum Pidana Islam Menurut Pendapat Ibn Hazm” (Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negri Semarang, 2016), h. 46-48.
32
Sedangkan alasan mengapa dianjurkannya dua orang saksi perempuan, sebab bila yang seorang lupa maka yang lainnya bisa mengingatkannya dan melengkapi kesaksiannya.18 Dengan demikian, saya dapat memahami bahwa ayat diatas mengandung perintah penting yaitu anjuran untuk mencatat dan mendatangkan saksi apabila dibutuhkan, hal itu sebagai upaya dalam memperkuat bukti atau sebagai arsip bagi kedua belah pihak. Sehingga tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. b. Status Kepemimpinan Perempuan Sebagaimana firman Allah yang tertera dalam al-Qur‟an surah AnNisaa‟/4: 34 berikut: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.
Ahli tafsir menyatakan bahwa qowwam berarti pemimpin, pelindung, pengatur dan lain-lain. Ketika menjelaskan surah al-Nisā/4:34, para mufasir memiliki penafsiran yang beraneka ragam. Al-Ṭ habarī menafsirkan potongan ayat
18
Muzakir S, “Regulasi Hutang Piutang dalam Tinjauan Ekonomi Islam (Telaah Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 282)”, Iqtishaduna V 5, no. 1 (Juni 2014): h. 71-72.
33
tersbut bahwa laki-laki adalah orang yang pantas memimpin istri-istrinya, baik dalam hal mendidik mereka atau dalam hal mengarahkannya untuk melaksanakan tanggung jawab Allah dan tanggung jawab Keunggulan laki-laki disebabkan oleh keunggulan akal dan fisiknya, demikian ungkap al-Razy dalam Tafsir al-Kabir. Di samping itu, al-Zamakhsari dalam Tafsir al-Kasysyaf mengungkapkan keunggulan laki-laki atas perempuan adalah karena akal, ketegasan, tekad yang kuat, kekuatan fisik, secara umum memilik kemampuan baca tulis dan keberanian. Thaba‟thaba‟i mengungkapkan kelebihan laki-laki disebabkan oleh akalnya saja mampu melahirkan jiwa-jiwa seperti keberanian, kekuatan, dan kemampuan dalam mengatasi kesulitan. Sebaliknya, perempuan lebih sensitif dan emosional. Oleh sebab itu, banyak tugas berat yang diembankan kepada laki-laki sebagai Nabi, imam, guru dan sebagainya. Demikian pula dalam jihad, azan shalat jum‟at, sedangkan wali perempuan tidak banyak dilibatkan dan tidak memiliki otoritas. Konsep qowwam dalam al-Qur‟an tersebut adalah laki-laki sebagai pemimpin perempuan dalam ruang lingkup rumah tangga. Hal ini ditegaskan dengan kewajiban laki-laki untuk memberi nafkah kepada perempuan, pemberian nafkah hanya dilakukan suami kepada istrinya dan tidak ada kewajiban untuk menafkahi perempuan selain istrinya. Ibn Katsir, Ibn Arabi, dan al-Maraghi mempunyai titik kesamaan terkait dengan kelebihan antara laki-laki terhadap perempuan. Kalimat Arrijalu qawwamūn ala an-nisā yang terdapat dalam ayat tersebut selalu menjadi salah satu dasar normatif superioritas laki-laki atas perempuan. Kalimat ini sering diartikan kewajiban laki-laki untuk dijadikan sebagai seseorang
34
pemimpin bagi perempuan dalam segala urusan, baik itu urusan domestik maupun urusan publik. Pelarangan kepemimpinan perempuan juga didasarkan pada hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī, ketika beliau mendengar berita bahwa masyarakat persi telah memilih putri Kisra sebagai pemimpin. Kemudian Nabi bersabda “Apabila suatu kaum menyerahkan urusannya kepada perempuan maka rusaklah kaum itu”. 19 Menurut Abū Ja‟far kelebihan yang Allah berikan kepada kaum laki-laki atas istri-istrinya disebabkan pemberian mahar, pemberian nafkah dari hartanya, dan merekalah yang mencukupi kebutuhn istri-istri mereka. Itu merupakan keutamaan yang Alah berikan kepada kaum laki-laki atas istri-istri mereka, sekaligus orang yang melaksanakan apa yang Allah wajibkan kepada mereka dalam urusan istri-istri mereka.20 Berbeda dengan pandangan Izzat Darwazah yang mengatakan bahwa ayat tersebut meskipun menggunakan redaksi umum, tapi dilihat dari semangat ayatnya berhubungan dengan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan diranah domestik seperti ranah rumah tangga. Namun, dalam konteks publik ayat tersebut tidak tepat untuk digunakan. Meskipun ayat ini absen menjelaskan kebebasan perempuan dalam ranah sosial politik, hal itu tidak berarti bahwa hak politik perempuan ditundukkan oleh otoritas laki-laki. Ini didasarkan bahwa AlQur‟an memberikan hak yang sama, baik pada laki-laki maupun perempuan,
19
Ida Novianti, “Dilema Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam”, Yinyang V 3, no 2 (Juli-Desember 2008):h. 2. 20 al-Ṭ abarī, Tafsir al-Ṭ abarī, Jilid VI, h. 881.
35
dalam keimanan, beramal, mencari pengetahuan, berpikir, berjihad, berdakwah pada kebaikan, berinfak dan lain sebagainya.21 Pendapat yang serupa diucapkan oleh Jamaluddin Muḥ ammad Maḥ mud. Menurutnya, tidak ditemukan satu ketentuan yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan wanita dalam bidang politik, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya pada kaum laki-laki. Pendapat lainnya mengenai larangan perempuan dalam dunia politik dan kepemimpinan, M. Quraish Shihab dalam salah satu makalahnya mengenai: Kosnep Wanita Menurut Al-Qur’an, Hadits dan Sumber-sumber Ajaran Islam, memberi kupasan yang cukup lengkap mengenai hak-hak perempuan dalam bidang politik. Menurutnya, wanita mempunyai hak yang sama dengan laki-laki.22 Dengan demikian, saya dapat memahami bahwa ayat di atas menjelaskan pemimpin yang ideal dalam agama Islam baik dalam ruanglipkup domestik maupun publik. Adapun anggapan laki-laki sebagai pemimpin yang paling utama dikarnakan kemampuan laki-laki dalam memberikan nafkah kepada perempuan, dan apabila laki-laki tidak sanggup lagi dalam memberikan nafkah untuk keluarganya maka istri dapat mengambil alih peran qawwam itu. Oleh karena itu, ayat diatas tidak bisa digunakan untuk melarang perempuan tampil sebagai pemimpin publik seperti presiden atau yang lainnya. Sebagaimana dadalm alQur‟an surat al-Hujarat/49: 3, menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa hubungan laki-laki dan perempuan merupakan mitra sejajar dalam berbagai hal, baik kesamaan dalam hak dan juga kewajiban.
21
Fawaid, “Pemikiran Mufasir Perempuan Tentang Isu-Isu Perempuan”, h. 68. Nur Khoirin, “Laporan Hasil Penelitian Telaah Terhadap Otentitas Hadits-Hadits Misogini” (IAIN Sunan Kalijjaga Yogyakarta, 2000), h. 75-76. 22
36
Demikian
ayat-ayat
diatas
yang banyak
diklaim
dan
dipahami
mengandung unsur-unsur misoginis dan menjadikan perempuan sebagai subordinat, dan sering dijadikan dalil untuk menjatuhkan kelompok lainnya. Sehingga terjadi kesenjangan sosial antara laki-laki dan perempuan. C. Hadits dan Misoginis Hadits-hadits yang dimaksud ialah riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang isinya bernada merendahkan perempuan lebih rendah martabatnya dibandingkan laki-laki sebagai lawan jenisnya. Dalam hadits-hadits misoginis secara eksplisit laki-laki memperoleh kedudukan yang kuat. Laki-laki diposisikan sebagai pemimpin, pembanding, dan sekaligus sebagai pelindung. Sedangkan perempuan sebagai makhluk yang lemah secara tabi’i (fitrah) yang harus dipimpin, dibimbing, dan dilindungi agar perjalanan hidupnya terarah dan ampai pada tujuan. Sebagai konsekuensinya, seorang perempuan selaku istri harus terkait secara ekonomis, psikologis, dan bahkan secara teologis. Dengan kata lain, gambaran seorang perempuan yang baik adalah yang mampu menyerahkan dirinya secara total dan mentaati suaminya dengan penuh rasa pengabdian.23 Adapun hadits-hadits yang diklaim mengandung unsur-unsur misoginis. Di antaranya ialah sebagai berikut: 1. Misoginis dalam Ibadah: Larang Berpuasa Tanpa ijin Suami
23
Khoirin, “Laporan Hasil Penelitian Telaah Terhadap Otentitas Hadits-Hadits Misogini”, h. 16. 24 Muḥ ammad bin Ismā‟īl Abū Abdillāh al- Bukhārī, Jāmi’ Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī (Damaskus: Dār Ṭ hauq al-Najah, 1442 H), Jilid IV, h. 30.
37
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil Telah mengabarkan kepada kami Abdullah Telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Janganlah seorang wanita berpuasa padahal suaminya sedang ada, kecuali dengan seizinnya."
Secara harfiah hadits tersebut memberikan pengertian bahwa soeorang istri yang melakukan puasa sunah, tatkala suaminya ada di rumah, diharuskan meminta izin kepada suaminya. Berdasarkan pemahaman tekstual ini, matoritas ulama terdahulu berpendapat bahwa ketika suami ada di rumah haram hukumnya seorang istri berpuasa sunah. Manakala puasa sunah tetap dilakukan, maka alihalih mendapakan pahala yang terjadi malah ia telah melakukan dosa karena mengerjakan perbuatan yang dilarang. Pendapat demikian hingga saat ini dianut oleh umumnya masyarakat Muslim. Peralihan nilai puasa yang semula berpehala menjadi berdosa karena tatkala istri berpuasa sunah dipandang telah membiarkan suaminya tanpa diberikan hak “pelayanan”. Dalam hubungan ini an-Nawawi mengatakan bahwa seorang istri dalam situasi apa pun harus siap memberikan pelayanan kepada suaminya. Karena apabila ia melakukan perbuatan yang nilainya hanya sunah, maka suamilah yang harus didahulukan, karena memberikan pelayanan kepada suami hukumnya wajib dan tidak dapat dikalahkan oleh perbuatan sunah.25 Adapun penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sofyan A.P dan Zulkarnain Suleman, menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak cukup dipahami secara tekstual sebagaimana dipahami kebanyakan ulama. Sebab „illat hukum (kausa legis) yang mendasari keharusan istri meminta izin kepada suami untuk puasa sunah adalah wa zawjuhā syāhid (selama suaminya berada dirumah). Oleh
25
Hamim Ilyas dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis Misoginis (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008), h. 158-159.
38
karena itu, jika suami tidak berada dirumah, maka istri tidak perlu izin. Jika hal ini dipandang sebagai „illah al-ḥ ukum (kausa legis), sedangkan hukum berubah seiring dengan ada tidaknya (al-ḥ ukum yadūru ma’a ‘illatih wujūdan wa ‘adaman), maka ketentuan hukum tentang meminta izin dapat berubah. Secara substansial hadits tersebut tidak sedang menegaskan kewajiban istri meminta izin kepada suami. Akan tetapi, pesan moral hadits tersebut adalah kemampuan istri dalam menyeimbangkan kewajibannya terhadap suami dan keinginan dirinya beribadah kepaa Tuhannya. Dengan demikian, saya dapat memahami bahwa hadits tentang dilarangnya perempuan berpuasa tanpa izin suami, apabila dipahami secara tekstual maka maknanya akan sangat memojokan perempuan. Sehingga perempuan tidak dapat melakukan apapun sesuai dengan keinginannya, peralihan nilai puasa yang semula berpahala menjadi berdosa dikarnakan istri sedang berpuasa sunah tanpa ijin suaminya. Yang dipandang telah membiarkan suaminya tanpa hak pelayanan apa pun. Akan tetapi, jika melihatnya dari segi tekstual maupun kontekstual seorang istri boleh melaksanakan ibadah puasa sunah tanpa izin suami. Apabila suami sedang tidak dirumah, seperti berpergian. 2. Misoginis dalam Keluarga a. Penciptaan Perempuan dari Tulang Rusuk Laki-Laki
“Telah bercerita kepada kami Abu Kuraib dan Musa bin Hizam keduanya berkata, telah bercerita kepada kami Husain bin "Ali dari Za'idah dari Maisarah Al Asyka'iy dari Abu Hazim dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Nasehatilah para wanita karena wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan 26
Al-Bukhārī, Jāmi‟ Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī, Jilid III, h. 133.
39
yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah pangkalnya, jika kamu mencoba untuk meluruskannya maka dia akan patah namun bila kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Untuk itu nasehatilah para wanita".
Hadits tersebut secara tekstual memiliki arti bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau perempuan seperti tulang rusuk. Dalam hadits tersebut tidak dijelaskan siapa perempuan yang dimaksud dan diciptakan dari tulang rusuk siapa. Namun, teks hadits inilah yang berkembang dimasyarakat, bahkan mereka memberikan penafsiran lebih lanjut bahwa perempuan yang dimaksud hadits tersebut adalah perempuan pertama, yaitu Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pemahaman bahwa Hawwa (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk Adam (laki-laki) yang diyakini berasal dari hadits Nabi. Kemudian menjadi doktrin teologi yang dipercayai oleh kebanyakan masyarakat Islam.27 M. Quraish Shihab dalam karyanya Wawasan al-Quran mengatakan ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan pria. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan wanita, sebagaimana tidak berhasilnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Dikemukakan pula oleh Fatima Mernissi dalam bukunya Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry, keduanya menolak pandangan penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Dengan alasan bahwa, konsep semacam ini datang dari Injil masuk lewat kepustakaan hadis yang penuh kontroversi. Dalam syarah Umdat al-Qari karya al-Aini dikatakan bahwa maksud hadis tersebut adalah “carilah wasiat dari dirimu sendiri tentang hak-hak mereka (kaum 27
Ilyas dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis Misoginis, h. 42-43.
40
wanita) dengan baik”. Ini mengandung makna anjuran untuk berbuat baik kepada kaum wanita.28 Dengan demikian, saya dapat memahami bahwa hadits penciptaan wanita dari tulang rusuk laki-laki tidak sesuai apabila dipahami sebagai informasi bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Apabila dicermati lebih jauh hadits tersebut sebenarnya berisi anjuran atau perintah kepada laki-laki untuk saling menasihati satu sama lain, dan berbuat baik serta bijaksana terhadap istri-istri mereka. b. Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Adi dari Syu'bah dari Sulaiman dari Abu Hazim dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jika seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, lalu ia enggan untuk memenuhi ajakan suaminya, maka ia akan dilaknat Malaikat hingga pagi."
Hadits di atas berkaitan dengan campur tangan malaikat dalam hubungan seksual suami-istri, salah satunya diriwayatkan oleh Bukhārī dan Muslim. Apabila dipahami secara harfiah hadis tersebut megatakan bahwa melayani kebutuha seksual suami adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda. Istri hanya boleh menolak ajakan suami jika ia dalam keadaan haidh dan nifas. Mengenai hadits tersebut, para ulama dan ilmuwan berbeda pendapat dalam memahaminya. Ada kelompok yang menerima hadits tersebut apa 28
Hasani Ahmad Said, “Hadis-Hadis Misoginis: Wacana Pemahaman Hadis, Menggali Akar Sosio-Kultural”, Al-Dzikra V. 6, no. 1 (Januari - Juni 2012): h. 8-9. 29 Al-Bukhārī, Jāmi’ Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī, Jilid VII, h. 30.
41
adanya secara tekstual, sedangkan kelompok yang lain mencoba untuk melihat dari konteksnya. Perbedaan pandangan antara kelompok pertama dan kedua menurut Mas‟udi disebabkan oleh perbedaan konstruk tentang seksualitas itu sendiri. Kelompok pertama mengatakan bahwa melayani ajakan suami untuk berhubungan seksual adalah sebuah keharusan kapan pun dan sesibuk apa pun. Salah satu hak suami yang harus dipenuhi istri adalah melayani kebutuhan seksualitas suami. Berbeda dengan kelompok sebelumnya, kelompok kedua banyak dipelopori oleh tokoh-tokoh gerakan perempuan yang menyatakan bahwa hadits tersebut perlu dilihat kembali. Jika dilihat secara tekstual saja maka ada kesan bahwa perempuan atau istri tidak mempunyai hak akan kepuasan seksual. Dalam tasawuf seks, orgasme merupakan jalan menyatukan diri seorang hamba dengan Tuhannya. Karena itu baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki hak untuk dapat menikmati hubungan seks yang mereka lakukan. 30 Masdar F Mas‟udi menyatakan meskipun hadits ini diriwayatkan Bukhari dan Muslim, tapi tidak dapat diterima begitu saja karena Rasulullah saw tidak mungkin mensabdakan ketidakadilan suami terhadap istri. Kritik yang sama diungkapkan Siti Musdah Mulia bahwa pemahaman tekstual terhadap hadits tersebut akan menimbulkan kesan yang kuat tentang ketinggian derajat lelaki atas perempuan, bahkan menjadi alat legitimasi bagi lelaki untuk memaksa dan mengeksploitasi perempuan dalam hubungan seksual. Menurutnya, jika penolakan 30
Ilyas dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis Misoginis, h. 216-219.
42
dikarenakan kondisi istri sedang tidak sehat atau tidak bergairah atau karena suami mengajak dengan kasar dan tidak manusiawi, maka seharusnya suamilah yang mendapat laknat malaikat karena dia dianggap melakukan nusyuz terhadap istri. Zaitunah Subhan juga berpendapat serupa, bahwa laknat malaikat tidak bisa disimpulkan mutlak menimpa istri yang tidak memenuhi ajakan suaminya saja, tetapi juga berlaku bagi suami, karena Islam mengakui keberadaan perempuan sebagai individu independen yang juga mempunyai hak yang dapat dituntut.31 Dengan demikian, saya dapat memahami bahwa laknat malaikat terhadap istri yang menolak ajakan suami tidak bisa difahami secara konteks saja. Dalam urusan seksualitas bukan hanya kewajiban seorang istri akan tetapi keduanya, dalam hal tersebut tidak hanya mementingkan kepuasan laki-laki tetapi kepuasan bersama. Oleh karena itu, peran keduannya sangat penting dalam hal berhubungan dan harmonis. Adapun perempuan yang menolak ajakan suami tidak bisa dianggap telah dilaknat oleh malaikat, tetapi kembali kepada psikologi suami, apabila ia memaafkan istrinya maka hal tersebut tidak berlaku padanya. Begitupun sebaliknya apabila suami memaksa sedangkan istri dalam keadaan kurang baik, maka pada hakikatnya suami telah melanggar prinsip mu’asyarah bil ma’ruf. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surah al-Nisa‟/4:19.
D. Hadis Tentang Perempuan Kekurangan Akal dan Agama
31
Nawang Rofiq Kholis, “Kedudukan Perempuan dalam Rumah Tangga: Kajian Hadits Misoginis” AL-IFKAR V 1, no. 01 (Maret 2013): h. 93.
43
Berbicara seputar hadis misoginis tentang perempuan kekurangan akal dan agama, terdapat dalam beberapa kitab induk hadits selain dari Ṣaḥ iḥ Bukhārī hadits tersebut pun diriwayatkan oleh riwayat lain, diantaranya sebagai berikut: 1. Terdapat dalam Kitab Ṣaḥ iḥ Bukhārī
“Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Abu Maryam berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja'far berkata, telah mengabarkan kepadaku Zaid -yaitu Ibnu Aslam- dari 'Iyadl bin 'Abdullah dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada hari raya 'Iedul Adlha atau Fitri keluar menuju tempat shalat, beliau melewati para wanita seraya bersabda: "Wahai para wanita! Hendaklah kalian bersedekahlah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak menghuni neraka." Kami bertanya, "Apa sebabnya wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian." Kami bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama?" Beliau menjawab: "Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari persaksian laki-laki?" Kami jawab, "Benar." Beliau berkata lagi: "Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?" Kami jawab, "Benar." Beliau berkata: "Itulah kekurangan agamanya."Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far berkata, telah menceritakan kepada saya Zaid dari 'Iyadh dari Abu Sa'id radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila (seorang wanita) sedang mengalami haidh, maka dia tidak shalat dan tidak puasa. Yang demikian itu menunjukkan kurangnya agamanya".
Adapun hadits serupa, memiliki lafad yang sama dengan Ṣaḥ iḥ Bukhārī diriwayatkan juga oleh Ibn Majah33, Sunan Abī Daud34, dan Sunan Ad-Dārimī35.
Al- Bukhārī, Jāmi Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī, Jilid I, h. 68. Yazid al-Quzwainī, Sunan Ibn Mājah, Jilid I, h. 1326 34 Abū Daud Sulaimān bin al-Asy‟as Abū Daud, Sunan Abī Daud (Beirut: Maktabah AlAsyriyah, tt.), Jilid IV, h. 214. 35 Abdullāh bin Abdurahmān al-Dārimī, Musnad al-Dārimī (Saudi Arabiyah: Dāru alMughnī linasyr wa al-Tauzī”, 1412 M), Jilid I, h. 684. 32 33
44
2. Terdapat dalam Kitab Ṣ aḥ iḥ Muslim
“Telah meriwayatkan Muhammad bin Rumh bin al-Muhajir alMishri telah mengabarkan kepada kami al-Laits dari Ibnu al-Had dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Wahai kaum wanita! Bersedekahlah kamu dan perbanyakkanlah istighfar. Karena, aku melihat kaum wanitalah yang paling banyak menjadi penghuni Neraka." Seorang wanita yang pintar di antara mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa kaum wanita yang paling banyak menjadi penghuni Neraka?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. bersabda: "Kalian banyak mengutuk dan mengingkari (pemberian nikmat dari) suami. Aku tidak melihat mereka yang kekurangan akal dan agama yang lebih menguasai pemilik akal, daripada golongan kamu." Wanita itu bertanya lagi, "Wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Maksud kekurangan akal ialah persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga kaum wanita tidak mengerjakan shalat pada malam-malam yang dilaluinya kemudian berbuka pada bulan Ramadlan (karena haid). Maka inilah yang dikatakan kekurangan agama." Dan telah menceritakan tentangnya kepada kami Abu ath-Thahir telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahab dari Bakar bin Mudlar dari Ibnu al-Had dengan sanad ini semisalnya." Dan telah menceritakan kepadaku al-Hasan bin Ali alHulwani dan Abu Bakar bin Ishaq keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja'far dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Zaid bin Aslam dari Iyadl bin Abdullah dari Abu Sa'id al-Khudri dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah serta Ibnu Hujr mereka bertanya, telah menceritakan kepada kami Ismail -yaitu Ibnu Ja'far- dari Amru bin Abu Amru dari al-Maqburi dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seperti hadits yang semisal dengan hadits Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam”. Muslim bin al-Ḥajāj, Jāmi’ Ṣ aḥ iḥ Muslim (Beirut: Dār al-Iḥ yā al-Turās al-Arabī, tt.), Jilid I, h. 86. 36
45
Adapun hadits serupa, memiliki lafad yang sama dengan Ṣ aḥ iḥ Muslim diriwayatkan oleh Sunan Abū Daud37. Berdasarkan pengumpulan hadits yang setema tersebut, dapat dilihat hadits tersebut memiliki beberapa jalur sanad. Hal ini menunjukan bahwasanya hadits ini banyak diriwayatkan dan memilki kwalitas yang tinggi, terbukti hadits tersebut terdapat dalam kitab-kitab induk hadits yang memiliki kreadibilitas yang tinggi diantaranya terdapat dalam Ṣaḥ iḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥ iḥ Muslim. Selain itu, varian hadits-hadits tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Perbedaannya hanya terdapat dalam redaksi yang sedikit berbeda saja, tidak berbeda dalam hal makna.38
37
Daud Sulaiman, Sunan Abī Daud, Jilid IV, h. 214. Ulfa Zakiyah, “Re-Interpretasi Hadis Perempuan Mayoritas Penghuni Neraka (Kajian Hadis Misoginis)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h. 71-72. 38
BAB III ANALISIS HADITS MISOGINIS PERSPEKTIF HERMENEUTIKA HANS-GEORG GADAMER A. Pengertian Hermeneutika Kata hermeneutika secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari kata Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneueia secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi. Istilah hermeneutik merujuk pada mitos Hermes (Dewa Yunani) yang bertugas menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa kepada manusia.1 Menurut Hossein Nasr sebagaimana yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat, Hermes tak lain adalah Nabi Idris a.s. yang disebut dalam Alquran. Sementara menurut cerita yang beredar dikalangan pesantren, pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukan tenun. Jika propesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang Dewa Hermes, di sana terdapat korelasi positif. Kata kerja “menenung” atau “memintal” yang dalam bahasa latin adalah tegere, sedangkan produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika yang dinisbahkan pada Hermes. Jadi, kata hermeneutika adalah sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional dan imajinatif dari bahan baku berupa teks. Bagi Nabi Idris atau Dewa Hermes, ketika persoalan pertama yang dihadapi adalah bagaimana menyampaikan pesan-pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar bisa dipahami manusia yang berbicara dengan bahasa “bumi”2.
1
Abdul Hadi W. M, Hermeneutika Sastra Barat dan Timur, (Jakarta: Sadra Press, 2014),
h. 26. 2
Sulaiman Ibrahim, “Hermeneutika Teks: Sebuah Wacana Metode Tafsir Qur‟an” Studia Islamika V 11, no.1 (Juni 2014): h. 27.
46
47
Sedangkan menurut Carl Braaten mendefinisikan hermeneutika sebagai “ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi kita sekarang”.3 B. Hermeneutika Hans-Georg Gadamer 1. Biografi Hans-Georg Gadamer Hans-Georg Gadamer merupakan salah satu tokoh yang sangat terkenal diantara para tokoh filsafat hermeneutika. Gadamer lahir pada tanggal 11 Februari 1900 ia terlahir sebagai anak kedua di tengah keluarga pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes Gadamer (1867-1928) dikota Marburg, sebuah kota bagian selatan Jerman. Sejak berusia dua tahun, ia pindah ke kota Breslau (sekarang dikenal dengan nama Wroclau, Polandia) karena ayahnya diminta menjadi profesor luar biasa di Universitas Breslau. Gadamer mempelajari filsafat kepada sejumlah filsuf diantaranya ialah Paul Natorp, Nikolai Hartman, Martin Heidegger, dan Rudolf Blutmann. Pada tahun 1922 Gadamer berhasil merebut gelar doktor dengan sebuah disertasi berjudul “The Nature of Pleasure According to Platos Dialogues” di bawah bimbingan filsuf Paul Natorp. Gadamer mengikuti kuliah Martin Heidegger pada tahun 1923 di Universitas Freiburg. Pada tahun 1927 Heidegger mengusulkan kepada Gadamer untuk membuat Habilitation. Dalam sistem akademis di Jerman, orang yang memiliki gelar doktor filsafat harus membuat tulisan Habilitation sebelum bisa diangkat sebagai dosen di Universitas. Dibawah bimbingan
3
Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme. Penerjemah Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), h. 83.
48
Heidegger akhirnya Gadamer berhasil membuat Habilitation tentang etika dialektis Plato. Akhirnya Gadamer diangkat menjadi dosen di Universitas Marburg.4 Gadamer meninggal di Jerman, 13 Maret 2002 pada umur 102 tahun. 2. Karya-Karya Hans-Georg Gadamer Karya-karya Gadamer diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Keseluruhan karya itu telah dikumpulkan dalam edisi khusus sebanyak 10 jilid Gesammelte Worke (The Complete Works). Gadamer juga dikenal sebagai seorang penulis kontemporer dalam bidang hermeneutika yang amat terkemuka, lewat karya monumentalnya Wahrheit and Methode: Grundzuge einer Philosophischen Hermeneutik (Kebenaran dan Metode: Sebuah Hermeneutika Filosofis menurut garis besarnya)5. Kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul Truth anda Method6. Penelitian tersebut menjadi adikarya Gadamer karena di dalamnya terangkum pemikiran-pemikiran inti yang telah beliau rintis sejak masa perkuliahannya, sekaligus mejadi titik acuan bagi perkembangan pemikirannya. Buku ini menjadi berat karena kepadatan isinya, keluasan, dan kedalaman analisisnya. Hal ini berangkat
dari
pertanyaan-pertanyaan
perihal
epistemologi
Geisteswissenschaften, lalu menyususri wilayah seni, sejarah, dan berakhir dia analisis tentang bahasa.
4
Inyak Ridwaan Munzir, Hermenutika Filosofis Hans-Georg Gadamer (Yogyakarta: AR RUZZ MEDIA, 2010), h. 40-44. 5 Sofyan A.P. Kau, “Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya dengan Tafsir”, Farabi V 11, no 1. (Juni 2014): h, 5. 6 Truth and Method adalah karya Gadamer yang telah di terjemahkan kedalam bahasa Inggris diterjemahkan oleh J. Weinsheirmer dan D.G. Marshall, Truth and Method, (New York: Seabury Press, 1989). Dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Sahidah, Kebenaran dan Metode (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010).
49
Adapun karya-karya Hans-Georg Gadamer dalam bahasa Jerman, diantaranya ialah :
Der Anfong der Philohie. Stuttgart: Reclam, (1996).
Das Erbe Europas: Beitrnge. Frankfurt:Suhrkamp, (1989).
Hermeneutische Entwiirfe. Tubigen: Mohr Siebeck. (2000). Dan karya-karya Hans-Georg Gadamer yang telah diterjemahkan dalam
bahasa Inggris, diantaranya ialah:
The Beginning of Philosopy. Translated by Rod Coltman (New York: Continuum, 1998).
Hegel’s Dialectic: Five Hermeneutical Studies. Translated by F. Christopher Smith (New Haven: Yale University Press, 1976).
Lectures on Philosophical Hermeneutics (Pretoria: Universiteit van Pretoria, 1981).
Truth and Method. Translated by J. Weinsheimer and D. G. Marshall (New York: Seabury Press, 1989).7
3. Pemikiran Hermeneutika Secara Umum Kehadiran hermeneutika tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada awalnya hermeneutika banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dalam kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia, model ini dikenal dengan Ilmu Tafsir Kitab Suci. Namun, hermeneutika tidak mutlak hanya
7
Munzir, Hermenutika Filosofis Hans-Georg Gadamer, h. 58-59.
50
milik kaum penafsir kitab suci saja, ia berkembang pesat dalam berbagai disiplin ilmu yang luas.8 Josef Bleicher (2007) membagi hermeneutika kedalam tiga bagian yaitu Teori Hermeneutika, Filsafat Hermeneutika, dan Hermeneutika Kritis. Tiga bagian tersebut memiliki kajian berbeda. Teori hermeneutika bertitik pada kajian untuk memahami apa yang dimaksud dengan konsep hermeneutika, yang selanjutnya dikembangkan oleh Dilthey. Ia berurusan dengan epistemologi dalam konteks “Critique of Historical Reason” yang mengusahakan sebuah penelitian transendental atas kondisi-kondisi mengenai kemungkinan pengetahuan historis dengan mengikuti contoh yang telah disediakan oleh Kant dalam “Critique of Pure Reason”. Dilthey mempertajam aspek metodologisnya menjadi interpretasi atas dokumen-dokumen yang secara linguistik sempurna (Bleicher, 2007). Filsafat hermeneutika terfokus pada kajian dalam menemukan metode hermeneutika. Salah satu pandangan utama filsafat hermeneutik menegaskan bahwa ilmuwan sosial atau interpretator dan obyek yang diinterpretasikan pada prinsipnya
telah
dihubungkan
oleh
sebuah
konteks
tradisi.
Hal
ini
mengindikasikan, bahwa ia telah memiliki sebuah pra-pemahaman atas objek tersebut, sehingga tidak mungkin untuk memulai dengan sebuah pemikiran yang netral. Filsafat hermeneutika tidak bertujuan mencapai sebuah pengetahuan objektif dengan menggunakan prosedur-prosedur metodis, melainkan pada pengungkapan dan deskripsi fenomenologis mengenai Dasein manusia dalam temporalitas dan historisitasnya (Bleicher, 2007). 8
Ibrahim, ““Hermeneutika Teks: Sebuah Wacana Metode Tafsir Qur‟an”, h. 26.
51
Hermeneutika
kritis
mengkaji
bagaimana
menerapkan
konsep
hermeneutika kedalam tindakan praktis. Apel dan Habermas melangkah pada bidang hermeneutika kritis ini. Mereka mengkombinasikan pendekatan metodik dan objektif dengan mengusahakan pengetahuan yang secara praktis relevan. Yang dimaksud “Kritis” di sini secara umum adalah penaksiran atas hubunganhubungan yang telah ada dalam pandangan standar yang berasal dari pengetahuan mengenai sesuatu yang lebih baik yang telah ada sebagai sebuah potensi atau tendensi di masa kini; ia dituntun oleh prinsip rasio sebagai tuntutan komunikasi tanpa tekanan dan pembatasan diri (Bleicher, 2007).9 Meskipun terdapat perbedaan kajian, ketiga bidang hermeneutika tersebut tidak dapat berdiri sendiri, namun memiliki kesatuan historis. Hal ini dilihat dari pemikir-pemikir hermeneutika yang kajian hermeneutiknya tidak dibatasi oleh ruang pembagian tersebut. Misalnya, Hans-Goerg Gadamer oleh Josef Bleicher ditempatkan pada bidang kajian filsafat hermeneutika. Meskipun demikian, Gadamer juga mengkaji hermeneutika pada bidang kritis dan mengkaji pemahaman epistimologis hermeneutika. Inilah yang dimaksud dengan kesatuan historis. Josef
Bleicher
menggolongkan
Gadamer
pada
bidang
filsafat
hermeneutika, alasannya karena Gadamer menghabiskan banyak waktu dalam membicarakan pertanyaan, metode apa yang tepat untuk melakukan pemaknaan
9
Sembodo Ardi Widodo, “Metode Hermeneutika dalam Pendidikan”, UNISIA V 31, no 70 (Desember 2008): h. 325-326.
52
(penafsiran) terhadap teks, dan bagimana menerapkan pemaknaan. Hal ini dapat dijumpai pada isi bukunya yang berjudul Truth and Method.10 4. Pemahaman Teks Problematika mendasar dalam mengkaji hermeneutika adalah problem penafsiran teks, baik teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang akan dicoba untuk diselesaikan adalah berbagai persoalan seputar teks dalam kaitannya dengan tradisi di satu sisi,
dengan
pengarang di sisi lain. Yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana agar problem tersebut tidak mengacaukan relasi antara penafsir dengan teks. Relasi antara penafsir dengan teks ini adalah masalah serius dan merupakan pijakan awal bagi para filosof hermeneutika. Teks sebagai hasil komunikasi sebenarnya muncul dalam sekali waktu ketika proses komunikasi terjadi. Namun demikian ketika teks mula-mula muncul dalam bentuk ucapan diproduksi kembali ke dalam teks tertulis, keberadaan teks menjadi lebih mapan dan tahan lama. teks dalam bentuk ucapan mudah mengalami perubahan karena lebih mengandalkan hapalan dan proses penyebarannya lebih mengandalkan pada peralihan suara, maka teks tertulis memberikan jaminan keberlangsungan yang lebih mapan dari segi materinya. Meskipun bentuk materinya sangat dimungkinkan mengalami perubahan juga.11 Memahami teks adalah proses dialogis antara interpertator dengan teks. Interpretator melakukan komunikasi intensif terhadap teks sebagai objek interpretatif. Interpretator menyampaikan pertanyaan-pertanyaan penting terhadap 10
Salahudin, “Anatomi Teori Filsafat Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Dialogis Historikalitas Dalam Memahami Teks” (Tesis S2 Fakultas Sosiologi, Universitas Muhamadiyah Malang, 2011), h. 8-9. 11 Ibrahim, ““Hermeneutika Teks: Sebuah Wacana Metode Tafsir Qur‟an”, h. 28-29.
53
objek.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut
menurut
Gadamer
harus
mampu
mengeksplorasikan hakikat yang ada dibalik teks. Inilah tugas utama interpretator dalam hermeunitika teks. “Tugas utama interpretator adalah menemukan pertanyaan yang padanya sebuah teks menghadirkan jawaban, memahami sebuah teks adalah memahami pertanyaan. Pada waktu yang sama, sebuah teks hanya menjadi sebuah objek interpretasi dengan menghadirkan interpretator yang bertanya (Josef Bleicher,2007:166)”.
Proses tanya jawab yang demikian memungkinkan terjadinya keterbukaan antara interpretator dengan objek interpretatif. Pertanyaan yang disampaikan oleh interpretator menjadi hal penting bagi teks untuk mengeluarkan jawaban atas teks yang dituangkan.12 C. Cakrawala Teks Hadits Cakrawala
teks
adalah
tebaran
pandangan
(Gesichtskreis)
yang
merangkum dan mencakup segala hal yang dapat dilihat dari suatu titik pandang terhadap teks-teks. Dalam menganalisa hadits ini, maka cakrawala teks hadits yang dimakasud adalah wawasan atau gambaran yang terkandung dalam teks hadits itu sendiri dengan memaknai esensi yang terkandung di dalam hadits. Hadits yang saya teliti disini mengenai kodrat perempuan yang kekurangan akal dan juga agamanya. Oleh karena itu, perlu adanya pembuktian dan pemahaman yang lebih jelas.
12
Salahudin, “Anatomi Teori Filsafat Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Dialogis Historikalitas Dalam Memahami Teks”, h. 17-18.
54
“Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Abu Maryam berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja'far berkata, telah mengabarkan kepadaku Zaid -yaitu Ibnu Aslam- dari 'Iyadl bin 'Abdullah dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada hari raya 'Iedul Adlha atau Fitri keluar menuju tempat shalat, beliau melewati para wanita seraya bersabda: "Wahai para wanita! Hendaklah kalian bersedekahlah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak menghuni neraka." Kami bertanya, "Apa sebabnya wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian." Kami bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama?" Beliau menjawab: "Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari persaksian laki-laki?" Kami jawab, "Benar." Beliau berkata lagi: "Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?" Kami jawab, "Benar." Beliau berkata: "Itulah kekurangan agamanya."Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far berkata, telah menceritakan kepada saya Zaid dari 'Iyadh dari Abu Sa'id radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila (seorang wanita) sedang mengalami haidh, maka dia tidak shalat dan tidak puasa. Yang demikian itu menunjukkan kurangnya agamanya".
1. Deskripsi Hadist Dalam memahami hadits perlu dilihat lafadz dan juga makna yang terkandung di dalamnya. Kata yang saya teliti dalam hadits perempuan kekurangan akal dan agama ialah lafad “Nisā’, Nuqṣ ān dan „Aql”. Dalam bahasa Arab perempuan disebut dengan ungkapan “al-Mar’ah” atau “Imra’ah” selain itu disebut pula “an-Nisā” atau “Niswah”. 14 Nisā‟ adalah bentuk jama‟ dari kata mar’ah yang berarti perempuan. Kata nisā‟pada dasarnya berasal dari kata kerja nasa-yansu yang berarti meninggalkan, yaitu meninggalkan masa kanak-kanak kemudian dewasa dan menjadi ibu. Oleh
Muḥ ammad bin Ismā‟il al- Bukhārī , Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī (Damaskus: Dāru Ṭ hauq alNajah, 1442 H), Jilid I, h. 68. 14 Marwati, “Pemberdayaan Perempuan (Kajian Tafsir al-Qur‟an surah an-Nisa ayat 1)” , Adabiyah V 15, no. 2 (2015): h, 103. 13
55
karena itu, kata ini biasanya diterjemahkan dengan istri atau perempuan yang sudah berkeluarga. Sebagaimana imra’ah, kata an- Nisā’ tidak pernah digunakan untuk perempuan di bawah umur. Bahkan kedua kata ini lebih banyak digunakan dalam kaitan tugas reproduksi. Di samping kata nisā‟, al-Qur‟an juga menggunakan kata niswah yang juga berarti perempuan. Keduanya menunjukkan jama‟, dalam al-Qur‟an kata nisā’ disebut sebanyak 57 kali, tersebar dalam beberapa ayat dan surah, sedangkan kata niswah disebut 2 kali, yaitu pada QS. Yūsuf /12: 30 dan 50. Walaupun kedua kata nisā’ dan niswah itu berasal dari akar kata yang sama, namun dalam pengertian dan penggunaannya dalam al-Qur‟an terdapat perbedaan. Perbedaan itu diantaranya sebagai berikut: Pertama, dari segi pengertian kata nisā‟ digunakan untuk menyatakan wanita di dalam jumlah yang lebih kecil, sedangkan kata niswah digunakan untuk menyatakan wanita di dalam jumlah yang lebih besar. Ath-Thabārī, ketika menafsirkan kata niswah di dalam QS. Yūsuf/12: 30, menerangkan bahwa niswah adalah jamā’ah min an-nisā’ (sekelompok besar wanita). Kedua
kata nisā‟ digunakan di dalam konteks pembicaraan tentang
perempuan secara umum, sedangkan kata niswah digunakan al-Qur‟an dalam konteks pembicaraan tentang perempuan-perempuan pada masa Nabi Yusuf as. Dalam al-Qur‟an kata nisā‟ pada umumnya diungkap dalam konteks pembicaraan tentang perkawinan, hubungan suami-istri, perceraian atau talak, pewarisan, dan soal aurat atau kesopanan. Karena itu hanya perempuan dewasa yang sudah berkewajiban menutup aurta.15
15
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir QS, An-Nisa’ [4]: 34-35 Menurut Beberapa Mufasir. Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 2-3.
56
Sedangkan lafadz nuqṣ ān sendiri adalah bentuk maṣ dar dari kata naqasā dalam kitab Lisān al-Arab disebutkan qadr al-syai’ al-dzāhib min al-manqūṣ yang artinya kadar sesuatu yang hilang dari sesuatu yang dikurangi, sedangkan bentuk masdar yang lainnya adalah Naqsān dan Naqīsātan,16 Adapun makna lain dari lafad Nuqsān ialah sesuatu yang hilang setelah ia sempurna17. Kemudian kata Al-‘Aql merupakan maṣ hdar dari kata „aqala-ya’qilu‘aqlan-wama’qūlan yang diartikan dalam Kamus Bahasa Arab disebut dengan tali pengikat, pikiran, ingatan, paham dan rasio18. Menurut Ibn Manzūr dinamakan „aql karena mencegah pemiliknya dari keadaan kosong, ‘aql juga sebagai pembeda antara manusia dan semua jenis binatang. „aql secara bahasa pengikat atau penghalang. Maka dari itu, kita dapati dalam al-Qur‟ān menggunakannya sebagai “Sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa”. Oleh sebab itu, dalam kitab Lisān al-Arab kata „aqil disebutkan sebagai orang yang menjaga diri atau menjauhkan diri dari hawa nafsu dan perbuatan tercela19. Dapat diartikan bahwa orang yang berakal ialah orang yang dapat menahan amarahnya, mengendalikan hawa nafsunya sehingga dapat mengambil sikap dan tindakan yang bijaksana dalam setiap persoalan yang dihadapinya. Orang-orang yang berfikir atau berakal sering juga disebut sebagai Ulil AlBāb dan al-Qur‟an pun memberikan pujian pada mereka yang tidak hanya terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi kaum perempuan juga. Hal ini menunjukan
16
Ibn Manzūr, Lisān al-Arab, Jilid VIII (Qairo: Dār al-Ḥadīts, 2013), h. 675 Murtadhā al-Zabīdī, Tāj al-Arūs min Jawāhir al-Qāmūs, Jilid XVIII (tpn: Dār al-Hidāyah, tt), h. 189 18 Achmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 957. 19 Manzūr, Lisān al-Arab, Jilid IV, h. 3046. 17
57
bahwa kaum perempuan juga dapat berfikir, mengingat, memahami, mempelajari dan kemudian mengamalkan seperti kaum laki-laki. 2. Historikalitas Hadits Point pertama. Sejarah status dan tradisi perempuan di jazirah Arab sebelum datangnya Islam sama halnya dengan status perempuan di luar jazirah Arab. Status perempuan pada dasarnya tidak lebih baik dari peradaban dan agama-agama yang sudah ada. Berbagai literatur sejarah menceritakan bahwa nasib perempuan sebelum datangnya Islam tidak pernah mendapatkan warisan dari manapun, termasuk dari keluarga dekatnya seperti ayah, suami, anak atau saudara laki-lakinya.20 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa budaya masyarakat pada masa tersebut tidak memberikan perhatian khusus kepada perempuan. Terlebih dalam hal waris perempuan dan anak-anak tidak memiliki hak waris, hak waris mutlak diberikan kepada laki-laki yang memiliki kekuatan untuk berperang. Selain perempuan tidak memiliki hak waris, perempuan juga bisa dijadikan barang warisan. Perempuan masuk kelompok hak kekayaan (property) yang dapat diwariskan, sama halnya dengan hak kepemilikan bendabenda lain.21 Seperti pada umumnya masyarakat dikawasan Timur Tengah pada saat itu menganut sistem patriarki. Otoritas bapak atau suami menempati posisi yang dominan dan peranannya penting di dalam keluarga.22 Kontinuitas budaya bangsa Arab pra-Islam menurut Lapidus terjadi dalam berbagai bidang, seperti struktur keluarga dan ideologi patriarki. Keluarga 20
Nasaruddin Umar, Fiqih Wanita Untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010),
h. 135. 21
Zakiyah, ”Re-Interpretasi Hdis Perempuan Mayoriytas Penghuni Neraka (Kajian Hadis Misoginis)”, h. 33-34. 22 Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, h. 128-129.
58
masyarakat Arab pra-Islam dapat dibedakan atas lima bentuk, yaitu: kabilah, subkabilah, suku, keluarga besar, dan keluarga kecil. Namun, apapun nama dan bentuk kesatuan sosialnya, kedudukan laki-laki di dalam lima kelompok masyarakat tersebut tetap sentral sifatnya. Segala kebijakan prinsip baik dalam lingkungan keluarga terkecil sampai kepada lingkungan kelompok terbesar berada ditangan laki-laki. Sebaliknya, kaum perempuan berada pada posisi yang subordinatif. Yang bertindak sebagai pimpinan dalam kelompok-kelompok tersebut adalah laki-laki.23 Point kedua. Setelah Islam datang derajat kaum perempuan menjadi lebih baik, mereka dihormati, dimuliakan, dan diberikan kedudukan yang sejajar dengan kaum laki-laki. Terbukti Pada zaman Nabi banyak sekali sahabat perempuan yang pintar dan juga cerdas, perempuan pada masa Nabi memiliki peran yang penting dalam periwayatan hadis. Bahkan sepanjang sejarah periwayatan hadis, masa Nabi adalah masa dimana jumlah perempuan periwayat hadis memiliki jumlah yang paling banyak. Diantaranya 'Aisyah dan Ummu Salamah, beliau adalah isteri Nabi yang paling banyakmeriwayatkan hadis. Selain para isteri Nabi, beberapa sahabat perempuan juga tercatat sebagai periwayat hadis, seperti Zainab binti Abī Salamah, Asma' binti Abū bakar, Ummu 'Athiyah, Fathimah binti Abī Thalib atau Ummu Hani', Fathimah binti Qays dan sebagainya.24 Perempuan-perempuan lainnya di kubu Muslim disebut-sebut sebagai perawat mereka yang terluka, memindahkan mereka yang gugur dan
23
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001), h. 124-125. 24 Atiyatul Ulya, Proposal Penelitian "Pembacaan Ulang Kualitas Matan Hadis Perempuan Lemah Akalnya" Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
59
terluka dari medan perang.25 Tokoh Umarah pun menjadi sorotan, ia juga turut bertempur dalam sebuah peranng dikubu Muslim bersama suami dan anakankanya. Keberanian dan kemahirannya dalalm menggunakan senjata membuat Nabi tahu bahwa ia lebih hebat dari kebanyakan laki-laki.26 Dengan demikian laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan dan kewajiban yang sama yang menjadi pembeda adalah ketaqwaannya, sebagaimana telah dijelaskan dalam surah al-Hujurāt/49:13. Karna pada dasarnya prinsip universal Islam menyuarakan nilai-nilai kesetaraan (Al-Musawah), pembebasan (Al-Hurriyah), anti kekerasan (Al-Salam), toleransi (Al-Tasamuh), solidaritas kemanusiaan (Al-Ukhuwwah AlBasyariyah), cinta dan kasih sayang (Al-Mahabbah).27 Point ketiga. Taqwa sendiri dapat dipahami sebagai prilaku untuk selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya, sebagai balasannya Allah menjanjikan syurga bagi orang-orang yang bertaqwa. Begitupun sebaliknya Allah telah menyiapkan neraka bagi orang-orang yang tidak bertaqwa kepada Allah. Penghuninya terdiri dari para pelaku maksiat, kezaliman dan seumpama dengan itu. Neraka digambarkan sebagai tempat yang penuh dengan kesengsaraan tanpa kesudahan dan pengurangan. Neraka disimpulkan sebagai tempat yang penuh dengan keburukan tanpa ada sedikitpun di dalamnya kebaikan. Kata alNar ialah sesuatu yang membakar, dan selalu memiliki kesan dengan menyala (lahib) serta dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Kata al-Nar juga
h. 62.
25
Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000),
26
Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000),
h.. 85. 27
Munawir Haris, “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam”, Analisis: Jurnal Studi Keislaman V 5, no. 1 (Juni 2015): h, 83.
60
memiliki sifat panas28, seperti dapat dilansir dari surah al-Baqarah/2:24. “peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orangorang kafir”. Point keempat. Hadits tentang kodrat perempuan kekurangan akal dan agama, disebebkan karna prilaku tidak taqwa sehingga menyebabkannya menjadi penghuni neraka. Diantaranya tidak melaksanakan perintah agama seperti sedekah, puasa, shalat, dan memperbanyak istighfar. Serta melakukan pelanggaran yang dilarang seperti melaknat suami, dan tidak mensyukuri pemeberian suami. Kedua prilaku tersebut dilakukan karena kurang pengetahuan agama dan kurang dalam penggunaan akal, sebab tidak shalat dan puasa diwaktu haidh merupakan perintah dari agama. Sebagaimana yang dijelaskan oleh AnNawawi dalam al-Majmū’, berkata juga Abu Ja‟far dalam kitabnya Ikhtilāfu alFuqahā berkata: “ para ulama sepakat bahwasanya perempuan yang sedang berhalangan wajib untuk meninggalkan shalat yang fardhu maupun yang sunah, menjauhi semua puasa wajib maupun puasa sunah, serta mengabaikan semua thawaf yang wajib maupun yang sunah. Kalaupun ia mengerjakan shalat, puasa atau thawaf, maka hal itu tetap tidak bisa menggantikan yang diwajibkan atasnya (pada saat tidak haidh). Begitupun dalam al-Muhallā ddikatakan: “ larangan mengerjakan shalat, puasa, thawaf, dan bersetubuh dalam masa haidh adalah ijma‟ yang diyakini dan pasti. Tidak ada perselisihana diantara umat Islam pada
28
Deddy Ilyas, “Antara Surga dan Neraka: Menanti Kehidupan nan Kekal Bermula”, Jia V 14, no. 2 (Desember 2013): h, 171.
61
masalah ini”.29 oleh karena itu, seseorang yang meninggalkan shalat dan puasa diwatu haidh bukan termaasuk dosa besar. orang yang bertaqwa. Begitupula kedudukan dua orang perempuan sebagai saksi yang sama dengan satu orang lakilaki. Hal tersebut menunjukan perbuatan yang bertaqwa karena telah mengerjakan pekerjaan yang dilarang, sedangkan balasan orang-orang yang bertakwa ialah mendaptkan surga yang telah dijanjikan dan disediakan oleh Allah. Dengan demikian kasus persaksian dua orang perempuan dan tidak mengerjakan shalat serta puasa diwaktu haidh menggambarkan bahwa perempuan yang diajak bicara oleh Nabi saat itu kurang pengetahuan akan agama dan kurang akal penggunaan akal. Karena menurut Zaitunah Subhah pada masa itu perempuan masih sedikit sekali yang berkemampuan, berkreasi, dan ini dapat dimaklumi karena wanita baru mendapat kebebasan untuk hidup (dihargai sebagai manusia), yaitu sejak Nabi Muhammad menjadi Rasul utusan Allah. Point kelima, Mengenai sebab turunnya hadits perempuan kekurangan akal dan agama tidak ada asbab al-wurud yang jelas, Nabi menyampaikan hadits tersebut ketika hari Raya Id. Namun, ada keraguan dari perawi apakah dihari Raya Id al-Fitri atau Id al-Adha.30 Dalam kitab Fatḥ ul Bārī dijelaskan bahwa Nabi hendak melaksanakan shalat di hari Raya, ketika Nabi melewati kerumunan perempuan. Pada waktu itu Nabi berjanji untuk memberikan khutbah khusus bagi perempuan, dan pada saat itu Nabi menepati janjinya untuk memberikan nasihat serta kabar gembira bagi kaum perempuan. Hadits tersebut diawali dengan
29
Syaikh Husain bin „Audah al-„Awaisyah, Ensiklopedi Fiqih Praktis Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah. Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari dkk (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟i, 2009), h. 226-227. 30 Burhanuddīn bin Hamzah al-Damaski, Al-Bayān wa al-Ta’rīf fī Asbab al-Wurūd AlHadits Al-Syarīf (Beirut: Dar al-Kitāb al-A‟rābi, tth), Jilid I, h. 306.
62
pernyataan Nabi yang memerintahkan untuk bersedekah kepada para perempuan yang sedang berkumpul pada hari Raya Id31. Adapun keadaan pada saat itu sudah sangat mendesak, dan ketika Nabi khutbah dihari Raya Id beliau memerintahkan kepada para perempuan untuk bersedekah. Karena pada saat itu sedekah merupakan kebaikan yang paling utama. Kemudian perintah untuk bersedekah tersebut dilanjutkan dengan cerita surga dan neraka yang Nabi lihat ketika peristiwa isra’ dan mi’raj32. Perkataan Nabi tersebut seolah menjadi bentuk pernyataan agar kaum perempuan pada saat itu lebih memperhatikan sekaligus menggugah kaum perempuan untuk bersedekah.33 Abū Syuqqah memberikan penjelasan yang cukup menarik mengenai bagaimana memahami hadits perempuan kekurangan akal dan agama. Menurutnya, hadits tersebut memiliki konteks khusus yang tidak bisa digeneralisasikan begitu saja. Abū Syuqqah juga menegaskan bahwa hadits itu di nyatakan Nabi pada hari Raya Idul Fitri, yakni ketika Nabi bersama para sahabat sedang bercakap-cakap di dalam masjid setelah menunaikan shalat Ied. Dalam suasana Ied seperti itu, tidak mungkin Nabi secara sengaja mengungkapkan katakata yang menyakiti umatnya, termaksud dalam hal ini adalah menyakiti kaum perempuan. Apalagi dalam prilaku keseharian Nabi dikenal sangat santun dalam memperlakukan istri dan anak-anak perempuannya. Abū Syuqqah juga memandang, bahwa dari segi audiens atau orang-orang yang mendengarkan perkataan Nabi, hadits tersebut ditunjukan kepada para
Ibnu Ḥajar al-Asqalānī, Fatḥ ul Bārī (Jakarta: Pustaka Azam, 2009), Jilid IV, h. 53. al-Asqalānī, Fatḥ ul Bārī, Jilid III, h. 508. 33 Ulfah Zakiyah, ”Re-Interpretasi Hdis Perempuan Mayoriytas Penghuni Neraka (Kajian Hadis Misoginis)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h. 73-74. 31 32
63
perempuan Anshar yang pada umumnya dikenal berani dan pandai berbicara. Abū Syuqqah menceritakan bahwa sifat yang demikian sempat mengusik hati Umar bin Khattab. Umar mengkhawatirkan bahwa para perempuan Muhajirin ikut meniru perangai mereka. Dengan melihat karakter audiens yang demikian, Nabi mengucapkan hadits tersebut untuk menjadi peringatan bagi perempuan yang pandai berbicara, khususnya perempuan Anshar. Itulah alasan yang membuat Nabi mengatakan hal demikian kepada kaum perempuan. D. Cakrawala Pembaca 1. Kesadaran Akan Sejarah Diri Saya Lia Andriyani lahir di Desa Gelam Jaya dan kuliah di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, berbicara tentang perempuan dalam kajian agama bukanlah kajian yang baru. Jika melihat realitas zaman sekarang, banyak kaum perempuan yang memiliki kecerdasan melebihi kaum laki-laki. Dimana konteks perempuan sekaranng mengalami pergeseran, perempuan saat ini lebih aktif dan dapat bebas bersaing dengan laki-laki dalam bidang pekerjaan. Sehingga dapat membedakan mana prilaku yang baik yang dapat berguna bagi dirinya sendiri dan orang lain serta prilaku yang buruk yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, bahkan perempuan saat ini berlomba-lomba untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan baik untuk dapat meraih apa yang ia cita-citakan. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan saat ini lebih diakui keberadaannya dan kebebasan dalam memilih. Hal tersebut terbukti dengan adanya Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 untuk mengatur dan melindungi kaum perempun, dan
64
adanya gerakan-gerakan feminisme serta konferensi-konferensi PBB yang meratifasi anti diskrimani dan penyamaan hak dan kesempatan dalam berbagai bidang. Terbukti Pada tahun 1975 diadakan deklarasi konferensi PBB dengan tema Women In Development (WID), yaitu memprioritaskan pembangunan bagi perempuan yang dikembangkan dengan mengintegrasi perempuan dalam pembangunan. Kemudian pada tahun 1980 tema WID diubah menjadi Women and Development (WAD), karena di dalam studi menunjukan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada kuantitas. Pada tahun 1981 diberlakukan Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan International Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (ICEDAW) sebuah kesepakatan hak asasi internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan . Kemudian pada tahun 1992 dan 1993 dipergunakan pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD) yang menekankan prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki, dan pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan The Millenium Development Goals (MDGs) yang memproklamasikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan. Adanya paham-paham misoginis atau unsur-unsur kebencian banyak ditemukan dalam literatur keagamaan, sehingga paham misoginis tersebut digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan Adanya teks-teks tersebut
65
merupakan respon atas masyarakat pada saat Nabi yang berbudaya patriarkhi dan menindas perempuan. Mengenai faktor biologis dan fisiologis perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan. Secara fisiologis, kaum perempuan memang diciptakan Allah dengan struktur anatomi tubuh khusus yang berbeda dengan laki-laki. Pada perempuan harus terjadi proses pendarahan sebagai lahan untuk terjadinya pembuahan dalam rangka keberlangsungan hidup generasi manusia. Dengan demikian menstruasi atau haidh merupakan sesuatu di luar kehendak kaum perempuan yang sudah menjadi suratan takdir yang telah diberikan oleh Allah kepada kaum perempuan. Hasil riset pakar biologi dan anatomi membuktikan bahwa pada masa haidh, wanita mengalami beberapa perubahan sebagai berikut: 1. Daya tahan suhu tubuh semakin menurun sehingga suhu dan temperature tubuhnya rendah. 2. Denyut jantung semakin pelan, tekanan darah menurun, dan sel-sel darah merahnya berkurang. 3. Alat cerna terganggu, pita suara mengalami perubahan, dan kekuatan tarikan nafas melemah. 4. Indera perasa melemah, anggota tubuh terasa tak bergairah. 5. Ingatan berkurang, sementara pemusatan pikiran bertambah. Semua perubahan ini membuat perempuan yang awalnya sehat pun seolah-olah sedang sakit dan berpengaruh bagi kejiwaan perempuan. Dengan adanya dispensasi untuk tidak shalat dan tidak puasa, hal tersebut membuat perempuan merasakan kenyamanan, dan inilah letak keadilannya. Sehingga wajar
66
saja jika Allah memutuskan hukum terebut sebagai keringanan yang harus disyukuri. Selain merasakan efek samping yang kurang nyaman, ternyata pasca haidh memiliki dampak yang baik bagi kesehatan tubuh. Petama, membersihkan tubuh. Siklus menstruasi yang berjalan normal setiap bulan sangat berguna untuk membersihkan tubuh dari berbagai macam organisme seperti bakteri. Kedua, mempengaruhi penampilan. Pengaruh hormonal pada waktu menstruasi akan memberikan dampak positif setelah menstruasi. Ketiga, membuat kondisi tubuh lebih sehat. Proses menstruasi akan membantu menyeimbangkan kadar zat besi di dalam tubuh sehingga akan membuat kondisi tubuh tetap bugar dan berstamina. Keempat, menjaga berat badan ideal. Manfaat menstruasi yang selanjutnya yaitu untuk menjaga berat badan supaya tetap ideal. Kelima, menstabilkan kondisi tubuh. Menstruasi merupakan salah satu tanda bahwa hormone-hormon di dalam tubuh tetap seimbang sehingga hal ini menjadi indikator kesehatan. Sedangkan perbedaan biologis yang terjadi antara laki-laki dan perempuan sebagai berikut: 1. Emosi, Salah satu hal paling jelas mengenai perbedaan antara pria dan wanita adalah emosi. Wanita mempunyai sistem limbik (struktur neural di otak terkait emosi) yang lebih besar daripada pria, hal ini memperbolehkan mereka untuk lebih "mendalami" perasaan mereka dan lebih baik mengekspresikan diri mereka. 2.
Rasa Sakit, Wanita dan pria mempersepsikan rasa sakit dalam arti yang berbeda. Studi menunjukkan bahwa wanita lebih membutuhkan morfin lebih banyak daripada pria untuk mengurangi rasa sakit dalam tingkat yang sama.
67
3.
Kinerja Otak, Seperti yang kita ketahui bahwa otak manusia dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni otak kiri dan otak kanan. Dimana otak kiri terkait dengan fungsi logika dan perhitungan sedangkan otak kanan terkait dengan fungsi kreativitas dan emosi. Hasil penelitian disebutkan bahwa pria lebih kuat terkait dengan penggunaan otak kiri sedangkan wanita lebih mengarah ke otak kanan hal inilah kenapa pria lebih berorientasi tugas dalam memecahkan masalah, sedangkan wanita lebih memecahkannya secara kreatif. 2. Pra-Pemahaman (Praduga Pemahaman) Praduga penulis ketika membaca dan meneliti hadits Nabi yang
menyebutkan kodrat perempuan kekurangan akal dan agama, merupakan salah satu hadits yang mengandung unsur-unsur misoginis. Karena hadits tersebut mengandung faktor kebencian terhadap perempuan bahkan merendahkan derajat dan kedudukan perempuuan, perempuan sering dianggap sebagai suatu musibah atau kesialan yang sangat besar. Pada zaman dahulu banyak bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup, perempuan dianggap sebagai makhluk yang paling hina dan banyak memiliki kekurangan. Dianataranya kekurangan akal dan kekurangan agama, kekurangan akal pada perempuan berupa persaksian. Sehingga perempuan tidak bisa dijadikan saksi yang valid dalam memecahkan suatu permasalahan. Oleh karena itu, dalam hal persaksin kesaksian dua orang perempuan setara dengan kesaksian seorang laki-laki. Secara tidak langsung laki-laki memiliki kemampuan diatas perempuan, sehingga kemampuan perempuan dianggap jauh lebih tertinggal dibandingkan dengan laki-laki. Begitupun dalam hal keagamaan, perempuan dianggap memiliki kekurangan dalam beribadah karena perempuan memiliki fase menstrulasi yang dianggap sebagai musibah yang ada dalam diri
68
perempuan. Diamana pada masa menstrulasi perempuan dilarang untuk melaksanakan ibadah „Amaliyah seperti shalat dan juga puasa, sehingga apabila dibadingkan ibadah perempuan jauh lebih berkurang dibandingkan dengan ibadah yang dilakukan laki-laki. Dengan demikian hal tersebut dipahami sebagai bentuk kerugian yang dimiliki oleh kaum perempuan. E. Peleburan Cakrawala Adapun peleburan cakrawala yang dihasilkan dari peleburan cakrawala teks dengan cakrawala pembaca, menghasilkan beberapa pemahaman yang dapat dipahami oleh pembaca. Peleburan pertama, perempuan pada masa jahiliyah tidak dihormati, dibunuh hidup-hidup dan tidak diberikan warisan. kemudian pada saat Rasul perempuan diangkat derajatnya, dilindungi dan dimuliakan. Sedangkan realitas kehidupan perempuan saat ini lebih diakui keberadaannya, dihormati, dilindungi bahkan dimuliakan. Dimana perempuan memiliki derajat yang sama dengan derajat laki-laki, yang membedakannya
hanyalah tingkat ketaqwaan. Sebab
kepatuhan terhadap perintah Allah merupakan iman yang tertinggi, sedangkan Islam sendiri artinya ialah ketundukan, kepatuhan, dan kepasrahan pada Allah. Oleh karena itu, orang yang tinggi tingkat kepatuhannya menandakan kualitas iman yang baik. Peleburan kedua. Penyebab perempuan masuk neraka karena prilaku kurang baik (tidak bertaqwa) yang terimplementasi dari prilaku-prilaku yang buruk, karena dapat merugikan dirinya maupun orang lain. Diantara prilaku perempuan yang paling banyak menjadi penghuni neraka dalam hadits Nabi
69
tersebut, karena
prilaku yang sering melaknat orang lain serta mengingkari
pemberian suami (tidak bersyukur).
Inilah yang menjadi alasan Nabi
mengucapkan hadits tersebut, sebab pada saat itu perempuan anshar dikenal sebagai perempuan yang pemberani dan pandai berbicara, dan sempat mengusik hati Umar bin Khattab. Sedangkan perempuan pada saat ini sering terbawa emosi, alih-alih menahannya perempuan lebih suka mengeluarkannya dengan bentuk umpatan atau makian. Dengan demikian. prilaku perempuan pada masa lalu dan sekarang memiliki kesamaan. sehingga prilaku inilah yang menyebabkan perempuan menjadi penghuni neraka. Peleburan ketiga. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits tersebut, bahwa tidak shalat dan puasa merupakan bentuk kekurangan yang ada dalam diri perempuan. Namun tidak shalat dan tidak puasa diwaktu haid
tidak
mengakibatkan perempuan menjadi penghuni neraka, Justru sebaliknya, tidak melaksanakan shalat dan puasa diwaktu haidh menyebabkan perempuan masuk ke dalam syurga. Jika dipahami tidak logis perempuan masuk neraka berdasarkan prilaku yang suka meninggalkan shalat dan puasa diwaktu datangnya haidh. Karena hal tersebut merupakan larangan yang telah diperintahkan oleh Allah, dan menjadi bukti kemuliaan kodrat perempuan serta kelebihan yang dimiliki perempuan. Sedangkan makna kekurangan akal dan agama pada perempuan tersebut akibat dari prilaku yang tidak bertaqwa, karena disebabkan kurang pengetahuan agama dan kurang penggunaan akal.
70
F. Tinjauan Kritis Pemahaman Hadits Perempuan Kekurangan Akal dan Agama Sebelum membaca dan meneliti hadits tentang perempuan kekurangan akal dan agama, penulis membaca dan merangkum buku “Perempuan Tertisdas? Kajian Atas Hadits-Hadits Misoginis” yang ditulis oleh Hamim Ilyas dkk. Salah satunya penelitian hadits tentang kodrat perempuan kekurangan akal dan agama yang diteliti oleh Hamim Ilyas. Adapun metode analisis yang ia pakai dalam mengkaji hadits Nabi tersebut ialah dengan metode takhrij hadits, yaitu dengan meneliti hadits dari segi sanad maupun matan. Setelah diteliti hadits perempuan kekurangan akal dan agama diriwayatkan dalam enam kitab hadits seperti alBukhārī, Muslim, Aḥ mad bin Hambal, Ibn Mājah, Abū Dāwud, dan At-Tirmīzi. Dari hasil penelitiannya melalui jalur sanad hadits, bisa diketahui hadits yang menyebutkan kekurangan akal dan agama pada perempuan nilainya saḥ iḥ . Kesaḥ iḥ an hadits itu menurut hirarki hadits-hadits saḥ iḥ yang dikemukakan anNawawi berada pada tingkatan yang pertama, karena diriwayatkan oleh Bukhāri dan Muslim, yang kitab himpunan hadits keduanya diakui sebagai kitab hadits yang paling saḥ iḥ dan otoritatif dibandingkan dengan himpunan-himpunan kitab hadits lain. Kemudian ia dapati jumlah periwayat dari kalangan sahabat Nabi terdiri dari tiga orang, dan dari kalangan generasi berikutnya meningkat yaitu lebih dari tiga. Hadits tersebut termasuk hadits yang mustafid yang derajat kesaḥ iḥ an nya hanya berbeda satu tingkat dibawah hadits mutawatir. Oleh karena itu, apa yang diungkapkan oleh hadits, tidak bisa harus diterima sebagai fakta sejarah yang benar-benar terjadi dimasa Nabi.
71
Sedangkan bagian awal matan, Hamim Ilyas menjelaskan situasi makro dari hadis tersebut bahwa Nabi menyatakan sabdanya itu dijalan ketika beliau menuju lapangan untuk melakukan salat Idul Adha. Kedua shalat sunat ini disyariatkan setelah hijrah, hal tersebut menujukan kalau nabi melakukan dialog itu di salah satu jalan di Madinah. Jalan-jalan di Madinah ketika itu, seperti jalanjalan dipemukiman yang lain, dulu dan sekarang. Bahkan biasa digunakan baik oleh laki-laki maupun perempuan untuk duduk-duduk di depan rumah sambil mengobrol kesana kemari, kebiasaan ini diantaranya melatarbelakangi turunnya surat an-Nur/24:30-31 yang berisikan perintah kepada kaum Mu‟minin untuk menundukkan pandangan mata. Kebiasaan itu nampaknya kuat berakar dikalangan penduduk Madinah, Nabi pernah bermaksud untuk melarang kebiasaan itu. Namun banyak orang yang berkeberatan, sehingga beliau membolehkan para sahabat untuk tetap melakukannya dengan syarat mereka harus mau memenuhi hak-hak jalan. Hak-hak itu disebutkan Nabi diantaranya adalah: menundukkan pandangan mata, menahan diri dari menyakiti pihak lain, menjawab salam, menganjurkan yang ma‟ruf dan melarang yang munkar. Riwayat tersebut dapat kita lihat di dalam riwayat Imam al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud dari Abu Sa‟id al-Khudri). Berkaitan dengan ini ada kekosongan informasi tentang perempuanperempuan yang dijumpai Nabi di jalan itu, apakah mereka itu sedang dudukduduk didepan rumah, sedang lewat atau sedang melakukan kegiatan yang lain. Mengingat kuatnya kebiasaan itu, nampaknya mereka itu sedang duduk. Pertanyaannya kemudian adalah apa saja yang mereka bicarakan dalam keisengan itu.
72
Tidak ada informasi yang jelas mengenai hal tersebut, namun dalam hadis itu sendiri ada petunjuk yang bisa digunakan untuk dijadikan petunjuk informasi bahwa mereka yang melakukan kebiasaan tersebut sering terbawa oleh situasi. Sehingga mereka tidak bisa memenuhi hak-hak jalan yang disebutkan dalam hadis dari Abu Sa‟id al-Khudri tersebut. Bukannya mereka menahan pandangan mata tetapi malah mengumbarnya, bahkan juga mengumbar mulut mereka untuk menggunjing dan menyoraki orang-orang yang lewat. Mereka yang dijumpai Nabi dijalan itu nampaknya juga tidak bisa memenuhi harapan toleransi Nabi dengan melaksanakan etika duduk-duduk dijalan yang beliau ajarkan. Jelaslah bahwa kekurangan akal dan agama tersebut bukan merupakan kodrat perempuan, tapi merupakan nasihat atau kritik terhadap perempuan-perempuan di zaman Nabi yang memiliki perilaku tertentu. Bila penerapan pandangan itu diperluas, maka orang-orang yang bisa dinilai seperti itu bukan hanya perempuan saja. Tapi juga orang-orang lain yang memiliki perilaku yang sama dengan perilaku mereka, baik perempuan maupun laki-laki. Sedangkan analisis yang dilakukan Abū Syuqqah atas teks hadits tersebut belum tuntas, ia meneliti hadits tersebut hanya sebatas pada historikalitas teks dengan melihat sebab yang melatabelakangi turunnya hadits tersebut dan melihat realitas kehidupan perempuan pada masa itu. Namun Abū Syuqqah memberikan penjelasan yang cukup menarik mengenai bagaimana memahami hadits perempuan kekurangan akal dan agama. Menurutnya, hadits tersebut memiliki konteks khusus yang tidak bisa digeneralisasikan begitu saja. Abū Syuqqah juga menegaskan bahwa hadits itu di nyatakan Nabi pada hari Raya Idul Fitri, yakni ketika Nabi bersama para sahabat sedang bercakap-cakap di dalam masjid setelah
73
menunaikan shalat Ied. Dalam suasana Ied seperti itu, tidak mungkin Nabi secara sengaja mengungkapkan kata-kata yang menyakiti umatnya, termaksud dalam hal ini adalah menyakiti kaum perempuan. Apalagi dalam prilaku keseharian Nabi dikenal sangat santun dalam memperlakukan istri dan anak-anak perempuannya. Abū Syuqqah juga memandang, bahwa dari segi audiens atau orang-orang yang mendengarkan perkataan Nabi, hadits tersebut ditunjukan kepada para perempuan Anshar yang pada umumnya dikenal berani dan pandai berbicara. Abū Syuqqah menceritakan bahwa sifat yang demikian sempat mengusik hati Umar bin Khattab. Umar mengkhawatirkan bahwa para perempuan Muhajirin ikut meniru perangai mereka. Dengan melihat karakter audiens yang demikian, Nabi mengucapkan hadits tersebut untuk menjadi peringatan bagi perempuan yang pandai berbicara, khususnya perempuan Anshar. Itulah alasan yang membuat Nabi mengatakan hal demikian kepada kaum perempuan. Adapun pandangan para ulama tradisional dalam memahami Hadis tentang kekurangan akal dan agama perempuan cenderung tekstual, hal itu bisa dilihat dari hasil penafsiran-penafsiran mereka yang menonjolkan supremasi laki-laki atas perempuan. Adapun pendapat para ulama tradisional ketika memahami maksud yang terkandung dalam hadits tersebut ialah: Pertama, banyak perempuan yang menjadi penghuni neraka karena mereka tidak mensyukuri dan berterima kasih terhadap nafkah yang telah diberikan oleh suami, mereka juga sering mengumpat dan mencaci maki suami mereka. Ini adalah akibat sifat emosional perempuan yang lebih mendominasi dari pada akalnya. Kedua, beberapa kekurangan yang dimiliki perempuan tersebut yang mendorong Rasulullah untuk menasihati kaum wanita agar banyak beristighfar dan bersedekah sehingga dapat
74
menjadi penyeimbang. Ketiga, maksud kekurangan agama menurut ulama tradisional adalah ketika perempuan itu haid dan dia harus meninggalkan shalat dan puasa, maka ini akan mengurangi aktifitas ibadah kaum perempuan. Begitulah tafsiran yang menjadi pemahaman umum tersebut, sehingga tafsiran tersebut menjadi kebenaran mutlak dimasyarakat. Sehingga hadits tersebut banyak dijadikan argumen oleh para ulama tradisional dalam menafsirkan ayat-ayat alQur‟an, di antaranya dapat dijumpai dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓ īm karya Ibn Katsīr, Fatḥ al-Bārī karya Ibn Ḥajar al-„Asqalānī, Bidāyatul Mujtahid karya Ibn Rusyd, Tafsīr Aḥ kam al-Qur’ān karya al-Jaṣ ṣ aṣ dan kitab Al-Ṭ uruq al-
Ḥ ukmiyyah kaya Ibn al-Qayyim, dan masih banyak lagi literatur keagamaan yang menjadikan hadis tersebut sebagai dalil. Selanjutnya penelitian Nawang Rofik Kholis yang merupakan salah satu pemerhati perempuan. Dalam penelitiannya ia tidak hanya meneliti hadits dari segi sanad maupun matan, ia juga meneliti perbedaan fisiologis dan psikologis laki-laki dan perempuan. Kajian dari sanad hadist diperoleh dari lima sahabat yaitu Abu Said Al- Khudri, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurayrah, dan Ibn Mas‟ud. Dengan banyak sekali jalur periwayatan yang ditulis dalam kitab hadits mu‟tabar seperti Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī, Ṣ aḥ iḥ Muslim, Tirmīzi, Ibn Mājah dan Aḥ mad bin Ḥanbal. Dua hadits diriwayatkan Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī dan satu riwayat dalam Ṣ aḥ iḥ Muslim, sehingga tidak diragukan kesahihannya. Sementara alAlbāni juga menyatakan hadis riwayat Tirmizi dan Ibn Majah adalah sahih. Sedangkan kajian dari segi matan hadits, jika hadits ini dipahami secara tekstual saja tentu kita akan salah memahaminya. Mengapa perempuan disebutkan lebih banyak masuk neraka, padahal perempuan diciptakan sama seperti lelaki, yaitu
75
tanpa dosa asal. Oleh karena itu, hadits ini harus dipahami bersama-sama dengan hadits lain yang semakna dengannya. Sehingga ada beberapa hal yang mesti diperhatikan yaitu: Pertama. Apakah hadits ini berarti perempuan lebih dominan dikuasai kejahatan dalam fitrah mereka sementara lelaki tidak? Jawabannya tentu tidak, jika memang kejahatan telah ada pada diri perempuan, tentu mereka tidak akan diminta pertanggungjawaban darinya. Akan tetapi, hadits tersebut menyatakan bahwa mereka bertanggung jawab terhadap apa yang mereka kerjakan sendiri, seperti tidak patuh kepada suami. Kedua. Peringatan Rasulullah saw dalam hadits ini mudah diterima oleh muslimah pada zaman Rasulullah saw karena mereka sering mengingat dan diingatkan tentang hari kebangkitan, padang mahshar, syurga dan neraka. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memahami hadits ini sesuai suasana masyarakat ketika ia disabdakan. Ketiga. Hadits ini bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin baik lelaki maupun perempuan agar mereka berusaha sedaya upaya untuk menghindarkan diri dari siksa neraka. Bagi kaum perempuan, dapat dilakukan dengan memperbanyak sedekah dan meninggalkan sikap durhaka terhadap suami atau kufur terhadap budi baiknya. Sedangkan bagi lelaki, dengan memelihara ibu-ibu, istri-istri, puteri- puteri, dan saudari-saudarinya dengan baik. Dia berkewajiban menyediakan kesempatan yang cukup bagi mereka untuk mendapatkan pengajaran dan melakukan berbagai ibadah dan ketaatan pada Allah, agar hati mereka dipenuhi nilai-nilai iman dan taqwa. Sehingga di dalam hadis ini terdapat anjuran menyampaikan nasihat kepada perempuan sebab nasihat dapat menghilangkan sifat tercela, sedangkan bersedekah yang dianjurkan kepada perempuan dapat menghindarkan azab dan menghapuskan dosa yang terjadi antara para makhluk.
76
Sedangkan penelitian yang dialkukan oleh penulis saat ini, yaitu dengan melakukan analisis dan penafsiran terhadap teks hadis Rasulullah SAW dengan menggunakan teori hermeneutika Hans-Georg Gadamer sebagai teori interpretasi ketika memahami memahami teks hadits Nabi. Dimana hermeneutika Gadamer merupakan proses produksi, bukan reproduksi. Oleh karena itu, suatu teks dipahami tidak untuk mencari tau ide-ide penulis saja (proses reproduksi), melainkan suatu sintesa (proses produksi) dari proses peleburan cakrawala (fusion of horizons) yang dilakukan oleh pembaca ketika membaca teks tersebut. Penulis juga melakukan analisa terhadap cakrawala teks hadits tersebut, dengan melakukan penelitian terhadap deskripsi teks mengunakan pendekatan bahasa dan historikalitas teks menggunakan pendekatan kesejarahan. Selanjutnya melakukan analisa terhadap cakrawala pembaca atau peneliti, tentang kesadaran akan sejarah dan pra-pemahaman, untuk mendapatkan peleburan cakrawala. Adapun hasil peleburan tersebut dapat dilihat bahwa realitas perempuan saat ini dengan saat Rasul memiliki kesamaan. Yaitu sama-sama dilindungi, dihormati, bahkan dimuliakan yang memjadi pembeda hanyalah tingkat ketaqwaan. Diceritakan bahwa prilaku kurang baik, seperti banyak melaknat dan tidak mensyukuri pemberian suami menjadi penyebab perempuan saat itu menjadi penghuni terbanyak di dalam neraka. Begitupun sebaliknya, perempuan pada saat ini memiliki peluang yang sama untuk menjadi penghuni neraka apabila ia melakukan kesalahan yang serupa. Sedangkan tidak shalat dan puasa diwaktu haidh bukan sebuah dosa atau kekurangan, justru sebaliknya tidak mengerjakan shalat dan puasa diwaktu haidh merupakan bagian dari kebaikan (taqwa) dan menjadi bukti kelebihan kodrat perempuan. Dengan demikian dapat disimpulkan
77
kata kekurangan akal dan agama dalam hadits tersebut ditunjukan sebagai peringatan untuk berprilaku, baik peringatan untuk belajar pengetahuan agama maupun peringatan dalam penggunaan akal (yang holistik). Serta mennjukan kemulian kedudukan perempuan, dimana perempuan masa Nabi dan masa sekarang memiliki kesamaan. Sehingga jika dilihat hadits tersebut masih relevan sampai saat ini. Nama
Metode
Hasil
Tradisional
Literal
Diterima sebagai fakta kebenaran
Abū Syyuqah
Historis
Belum tuntas
Hamim Ilyas
Kritik Sanad
Peringatan (lebih kepada prilaku)
Historis
Makna
Nawang Kholis
Rofik
Kritik Sanad
Anjuran
Historis
nasihat kepada perempuan karena
Maksud
dapat menghilangkan sifat tercela dan
untuk
anjuran
menyampaikan
untuk
bersedekah
kepada perempuan karena dapat menghindarkan
azab
dan
menghapuskan dosa yang terjadi antara para makhluk Peneliti
Fusion of Horizon 1. Peringatan Gadamer
a. Prilaku
1
b. Untuk
Horizon
belajar
agama
78
Historis 2
Horizon ini
3
Peleburan
(pengetahua) saat
c. Penggunaan
akal
(yang
holistik) 2. Kemuliaan perempuan 3. Perempuan masa lalu dan masa sekarang sama.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, hadits Nabi tentang perempuan kekurangan akal dan agama tidak dapat dipahami secara tekstual saja. Kata kekurangan akal dan agama dalam hadis ini tidak berarti perempuan secara potensial tidak mampu menyamai atau melampaui prestasi dan kreatifitas akal dan ibadah laki-laki. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman yang lebih jauh dalam melihat hadits perempuan kekurangan akal dan agama, sehingga dapat memahami maksud Nabi yang sebenarnya dalam hadits tersebut. Pemakain metode hermeneutika Gadamer dalam memahami hadits yang bias gender, membantu pembaca untuk memahami hadits lebih dekat dengan apa yang sebenarnya terjadi atau terkait. Karena metode Gadamer dianggap relevan dengan model keseimbangan pembacaan secara kompeherensif, dimana pembaca diberikan ruang untuk ikut berbaur di dalam teks hadits tersebut, terbukti dengan adanya pra-pemahaman dan fusion of horizon terhadap teks yang dipahami. Adapun makna kekurangan akal dan agama yang diucapkan Nabi di dalam hadits ini, bukan menunjukan kodrat perempuan sebagai makhluk yang memiliki kekurangan. Karena kedudukan perempuan sebagai saksi dan tidak melaksanakan shalat serta puasa ketika datangnya haidh bukanlah bentuk dari kekurangan atau kesalahan. Akan tetapi anjuran untuk belajar pengetahuan agama dan penggunaan akal. Serta senantiasa untuk berprilaku baik, sebab dosa yang paling banyak menyeret perempuan masuk ke neraka adalah kemaksiatan tehadap suaminya dan
79
80
pengingkaran terhadap segala kebaikan suaminya. Sehingga penulis memahami hadits tersebut bukan hanya sekedar peringatan Nabi kepada kaum perempuan. Akan tetapi, termasuk bukti kemuliaan kedudukan perempuan. Berdasarkan penjelasan di atas, tidak sedikitpun kita temukan fakta bahwa terdapat unsur misoginis di dalam hadis Nabi tersebut. Bahkan semua ini semakin mengukuhkan syari’at Islam sebagai satu-satunya agama yang menjaga dan mengatur secara terperinci hak-hak setiap individu lelaki maupun wanita, agar dapat terpenuhi sesuai fitrahnya masing-masing. B. Saran-Saran Seperti kutipan dalam Al-Qur’an, bahwa tiada makhluk yang lebih sempurna dibandingkan Allah SWT. Begitu pula dengan skripsi ini yang sangat jauh dari kesempurnaan. Berkenaan dengan pembahasan ini bahwasanya masih banyak yang bisa lebih di eksplor dalam skripsi ini, seperti halnya bagaimana Islam memahami hadits yang dituduh mengandung unsur-unsur misoginis dan mengapa hadits tersebut tersebar dalam kajian-kajian keagamaan. Selain itu, hadits ini berangkat dari kwalitas hadits yang ṣ aḥ iḥ yang banyak diriwayatkan
oleh perawi-perawi hadits. Bahkan hadits ini sering
dipolitisasi untuk dijadikan senjata dalam menjatuhkan kaum tertentu. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya perlu diteliti lebih jauh hadits tentang “Perempuan Kekurangan Akal dan Agama dalam Perspektif Semiotika”.
81
DAFTAR PUSTAKA Abdurahmān, Abdullāh bin al-Dārimī. Musnad al-Dārimī. Saudi Arabiyah: Dāru al-Mughnī linasyr wa al-Tauzī”, 1412 M Ahmed, Leila. Wanita dan Gender dalam Islam. Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000. Ahmad, Hasani Said. “Hadis-Hadis Misoginis: Wacana Pemahaman Hadis, Menggali Akar Sosio-Kultural”, Al-Dzikra V 6, no. 1 (Januari-Juni 2012): h. 4-5. Ardi, Sembodo Widodo. “Metode Hermeneutik dalam Pendidikan”, UNISIA, V XXXI, no. 70 (Desember 2008): h. 6. Esack, Farid. Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme. Terjemahan Watung A. Budiman. Bandung: Mizan, 2000. Echols, John M. dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1983. Faqihuddin, Didin. “Memahami Ayat-Ayat Misogyny dalam Al-Qur’an”, Musawa, Vol. 2, No 2 (Desember 2010): h. 176-177. Georg , Hans Gadamer. Kebenaran dan Metode. Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2010. Ibrahim, Sulaiman. “Hermeneutika Teks: Sebuah Wacana Metode Tafsir Qur’an” Studia Islamika V 11, No.1, (Juni 2014): h. 26-27. Al-Ḥajāj. Muslim bin. Jāmi’ Ṣ aḥ iḥ Muslim. Beirut: Dār al-Iḥ yā al-Turās alArabī, t.t. Hamzah, Burhanudin bin Al-Damaski. Al-Bayān wa al-Ta’rīf fī Asbab al-Wurūd Al-Hadits Al-Syarīf. Beirut: Dar al-Kitāb al-A’rābi, tt. Ismā’īl, Muḥ ammad bin Abū Abdillāh al- Bukhārī. Jāmi’ Ṣ aḥ iḥ al-Bukhārī. Damaskus: Dār Ṭ hauq al-Najah, 1442 H. Ilyas, Hamim dkk. Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis Misoginis. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008. Ja’far, Abū Muḥ ammad bin Jarīr al-Ṭ abarī. Tafsir al-Ṭ abarī. Penerjemah Anshari Talim dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Jannah, Nur Ismail. Peremuan dalam Pasungan. Yogyakarta: Lkis, 2003. Khariroh, “Hadis-Hadis Tentang Kekurangan Akal dan Agama Bagi Perempuan”. Skripsi S1. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Institut Agama Islam Sunan Kalijaga, 2001. Khoirin, Nur “Laporan Hasil Penelitian Telaah Terhadap Otentitas Hadits-Hadits Misogini”. IAIN Sunan Kalijjaga. Yogyakarta, 2000. Manzūr, Ibn. Lisān al-Arab, Juz VIII. Qairo: Dār al-Ḥadīts, 2013. Mernissi, Fatima. Pemberontakan Wanita! Peran Intelektual Kaum Wnita Dalam Sejarah Muslim, Terjemahan Rahmani Atuti. Bandung: Mizan, 1999. Mernissi, Fatima. Wanita di dalam Islam, Penerjemah Yaziar Radianti. Bandung: Pustaka, 1991. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.u Monady, Hanief. “Hermeneutika Hadits Abū Syuqqah,” artikel diakses pada 29 September 2016 dari http://www.academia.edu/20309569/Hermeneutika_Hadis_Abu_Syuqqah
82
Muhtador, Moh. “Hadis-Hadis Misoginis Dalam Perspektif Gender dan Hermeneutika”, Tesis S2 Fakultas Agama dan Filsafat, Universitas Islam Negri Sunan Klijaga, 2015. Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi. Jogyakarta: Idea Press, 2008. Munhanif, Ali. Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islmak Klasik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002 Novianti, Ida. “Dilema Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam”, Yinyang V 3, No 2 (Juli-Desember 2008):h. 2. Phil, Sahiron Syamsuddin. Hermeneutika al-Qur’ᾱ n & Hadis. Yogyakarta: elSAQ Press, 2010. Sa’diyah, Dewi. “Isu Perempuan” (Dakwah dan Kepemimpinan Perempuan dalam Kesetaraan Gender)” Ilmu Dakwah V 4, no. 12 (Juli – Desember 2008): h. 325-326. Sahidah, Ahmad. Kebenaran dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Salahudin, “Anatomi Teori Filsafat Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Dialogis Historikalitas Dalam Memahami Teks”. Tesis S2 Fakultas Sosiologi, Universitas Muhamadiyah Malang, 2011. Ridwan, Inyak Munzir. Hermenutika Filosofis Hans-Georg Gadamer. Yogyakarta: AR RUZZ MEDIA, 2010. Rofiq, Nawang Kholis. “Kedudukan Perempuan Dalam Rumah Tangga: Kajian Hadis Misoginis”, Al-Ifkar V 1, no. 1 (Maret 2013): h. 89. Sa’diyah, Dewi. “Isu Perempuan (Dakwah dan Kepemimpinan Perempuan dalam Kesetaraan Gender)”, Jurnal Ilmu Dkwah, V 4, no. 12 (Juli-Desember 2008): h. 315. S, Muzakir. “Regulasi Hutang Piutang dalam Tinjauan Ekonomi Islam (Telaah Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 282)”, Iqtishaduna V 5, No 1 (Juni 2014):h. 71-72. Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an. Yogyakarta: LKiS, 1999 Subhamis, “Pendekatan Feminis terhadap al-Qur’an dan Bibel”, Jurnal Al-Ta’lim V 1, no 3 (November 2012): h. 232. Thahir, Lukman S. Studi Islam Interdisipliner, Aplikasi Penekatan Filsafat, Sosiologi dan Pendekatan Sejarah. Yogyakarta: Qirtas, 2014.. Tuttle, Lisa. Encyclopedia of Feminism, New York: Facts On File Publication, 1986. Ulya, Atiyatul. Proposal Penelitian "Pembacaan Ulang Kualitas Matan Hadis Perempuan Lemah Akalnya" Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015. Umar, Nasaruddin. Fiqih Wanita Untuk Semua. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010. Umar, Nasaruddin.Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001. Warson, Achmad Munawwir dan Fairuz, Muhammad. Al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab. Surabaya: Pustaka Progresif, 2007. Weinsheirmer, J. dan Marshall, D.G. Truth and Method. New York: Seabury Press, 1989.
83
Yazid, Muḥ ammad bin al-Quzwainī, Sunan Ibn Mājah. Beirut: Dār al-Iḥ ya’ ālIslāmiyyah, t.t. Daud, Abū Sulaimān bin al-Asy’as Abū Daud. Sunan Abī Daud. Beirut: Maktabah Al-Asyriyah, tt. Zakiyah, Ulfa. “Re-Interpretasi Hadis Perempuan Mayoritas Penghuni Neraka (Kajian Hadis Misoginis)”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015 Zubaedah, Siti. “Mengurai Problematika Gender dan Agama” Yin Yang V 5, no. 2 (Jul-Des 2010): h. 258.