Perkembangan Teknologi TRO 22 (1) Juni 2010 Hlm. 31-37 ISSN 1829-6289
PEMANFAATAN TEKNOLOGI FAR INFRA RED (FIR) PADA PENGERINGAN REMPAH Ridwan Rachmat, Mulyana Hadipernata, dan Djajeng Sumangat Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Jl. Tentara Pelajar 12, Bogor 16111 (Terima tgl. 12/1/2010 - Disetujui tgl. 16/04/2010) ABSTRAK Pembuatan produk kering dari hasil pertanian berupa simplisia rempah atau sayuran kering telah banyak dilakukan melalui penggunaan teknologi pengeringan dengan udara panas secara konveksi dan konduksi. Metode pengeringan konveksi dan konduksi dengan alat pengering oven memerlukan waktu, proses, dan biaya relatif tinggi, dan juga rentan terhadap timbulnya kerusakan atau perubahan nutrisi serta senyawa bioaktif lainnya dari bahan terutama pada bahan tanaman rempah dan aromatik. Produk kering yang dihasilkan dengan pengeringan menggunakan radiasi far infra red (FIR) pada sayuran menunjukkan hasil yang lebih seragam dan higienis dengan perubahan nutrisi yang minimal. Hasil perbandingan menunjukkan bahwa proses pengeringan sayuran dengan teknologi FIR lebih efisien. Hal ini terjadi karena proses pengeringan terjadi melalui mekanisme pemutusan molekul-molekul air (H2O) secara vibrasi atau getaran tanpa melalui media perantara (udara) seperti halnya pada proses konveksi dan konduksi. Dengan karakteristik produk kering hasil pengeringan dengan FIR, maka pemanfaatan teknologi FIR sangat prospektif untuk diterapkan dalam pengeringan bahan rempah dan aromatik yang menghendaki perubahan minimal pada aroma dan warna serta senyawa bioaktif lainnya dari produk keringnya.
Kata Kunci : Far infra red, pengeringan, rempah, aromatik
ABSTRACT Prospect of Far Infra Red (FIR) Technology for Use in Drying Spices Most dried products of spices, aromatic plants, and vegetables are usually prepared using hot air drying method. However, this method is less suitable for drying spices and aromatic crops as well as for vegetables those are to be used as ingredients in instant foods, since the rehydration rate of vegetables is slower and more costly. Besides, nutrition contents especially bioactive compounds found in spices, aromatic crops, and vegetables which are sensitive to heat will be deteriorated. The FIR drying process is expected to represent a new process for production of high quality dried foods at low cost. Substances will absorb FIR energy most efficiently through the mechanism of change in molecular vibration state, which can lead to heating. Minimal changing of dried product characteristics (flavor, color, and volatile substance) employing FIR dryer, enable the mthod to be applied for spice drying.
Key word : Far infra red, drying, spices, aromatics
PENDAHULUAN Rempah-rempah merupakan kelompok tanaman atau hasil tanaman yang digunakan untuk memberikan cita rasa dan aroma pada makanan dan minuman. Berdasar kandungan kimianya, rempah-rempah memiliki karakteristik sebagai bakteriosidal, bakteriostatik, fungi-
statik, antifertilitas, antihelmintik, dan juga medisinal (Pruthi, 1980). Sebagian besar bagian tanaman rempah (daun, umbi, rimpang, bunga, buah, biji, kulit batang) memerlukan perlakuan pengeringan sebelum digunakan atau diolah lebih lanjut. Salah satu tahap penting dalam penanganan pascapanen adalah pengeringan. Perkembangan teknologi pengeringan telah semakin maju, pengeringan tidak hanya ditujukan agar bahan kering dan aman untuk disimpan, tetapi juga agar perubahan kandungan nutrisi, vitamin, aroma, warna dan rasa terjadi seminimal mungkin, khususnya pada komoditas yang mengandung senyawa aktif dan bersifat volatil seperti rempah. Tujuan utama pengeringan hasil pertanian adalah mengurangi kandungan air dalam bahan sampai taraf tertentu supaya aman disimpan. Berbagai cara atau metode pengeringan yang telah digunakan pada skala komersial, pada dasarnya berdasarkan prinsip perpindahan panas dan massa dari air yang dikeluarkan dari bahan hasil pertanian yang dikeringkan. Metode yang umum digunakan menggunakan sumber panas (thermal) untuk merubah air dalam bahan dari fase cair menjadi fase uap yang selanjutnya dikeluarkan dari ruang pengering. Sumber panas yang digunakan umumnya berasal dari energi matahari, energi listrik, hasil pembakaran biomasa atau bahan bakar petroleum seperti minyak tanah, dan solar. Metode pengeringan lain yang sedang dikembangkan adalah pemanfaatan energi radiasi elektromagnetik yang panjang gelombangnya lebih besar dari infra red dan lebih kecil dari microwave (3 - 1000µm), yaitu radiasi sinar Far Infra Red (FIR). Pada umumnya komoditas pangan dapat menyerap gelombang pada rentang 2-20µm, sehingga radiasi FIR dapat dipergunakan untuk kepentingan pengeringan bahan pangan (Hashimoto et al., 1992). Proses pengeringan yang terjadi melalui teknologi FIR adalah melalui pemutusan ikatan molekul air karena panas radiasi langsung menembus bagian dalam molekul dan memutus ikatan molekul air pada molekul bahan tanpa melalui media perantara udara seperti pada proses pengeringan melalui konveksi termal dan konduksi (Rachmat et al., 2003). Radiasi FIR memiliki keunggulan
31
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TRO VOL. 22 No. 1, Juni 2010: 31-37
merang (Rachmat et al., 2005), gabah dan beras (Kashiwazaki et al., 1995), dan pasteurisasi media bakteria (Hashimoto et al., 1992). Pemanfaatan FIR
untuk pengeringan tanaman rempah dan aromatik yang telah dilaporkan diantaranya bawang putih (Rachmat et al., 2005) dan ginseng (Kim et al., 2002). Tulisan ini menguraikan prinsip teknologi FIR dan aplikasinya pada pengeringan beberapa komoditas tanaman serta peluangnya untuk diaplikasikan pada pengeringan rempah. PRINSIP DASAR PEMANAS FIR Energi infra red merupakan energi elektromagnetik yang ditransmisikan sebagai gelombang yang melakukan penetrasi pada makanan, dan diubah menjadi panas. Radiasi infrared diklasifikasikan sebagai panjang gelombang antara cahaya biasa dengan microwaves (11.000 µm). Dengan kata lain, radiasi infrared dibagi menjadi tiga kelas menurut panjang gelombangnya yaitu near infra red (NIR) 0,78-1,4 µm, mid infra red (mid-IR) : 1,4 – 3 µm, dan far infrared (3 – 1.000 µm). Panjang gelombang dari emisi energi elektromagnetik pemanas FIR ada pada rentang 2,5-30 µm, Oleh sebab itu pemanas FIR biasanya diartikan sebagai pemanas radiatif yang berada pada panjang gelombang 2,5-30 µm. Panjang gelombang dengan radiasi maksimum dari pemanas (puncak panjang gelombang) diartikan sebagai suhu dari pemanas. Hubungan ini dijelaskan dengan hukum dasar Stefan Boltzman, Distribusi Palnck’s, dan Wien’s displacement untuk radiasi black body. Jumlah energi radiasi Far infra red yang dialirkan ke makanan pada pemanas FIR semakin meningkat dan puncak panjang gelombang semakin menurun pada suhu pemanas yang rendah. Suhu maksimum pada pemanas FIR yang biasanya dibuat dari keramik adalah 326,85-676,85oC, dengan puncak panjang gelombang 35 µm. Pada pemanas NIR, suhu maksimum untuk radiator gelombang pendek seperti lampu tungsten filamen yaitu 2.126,85 - 2.226,85oC dengan puncak panjang gelombang 1,1-1,3 µm. Ketika energi radiasi elektromagnetik ditujukan pada permukaan makanan, terjadi perubahan secara elektronik, vibrasi, dan rotasi pada atom dan molekul. Beberapa macam mekanisme energi absorpsi diuraikan sesuai dengan rentang panjang gelombang energi radiasi yaitu perubahan secara elektronik terjadi pada panjang
32
gelombang 0,2-0,7µm (ultraviolet dan sinar cahaya), perubahan secara vibrasi ada pada rentang panjang gelombang 2,5-100µm (FIR), dan perubahan secara rotasi ada pada panjang gelombang lebih dari 100 µm (microwaves). Penyerapan energi FIR lebih efisien melalui mekanisme perubahan dengan vibrasi atau getaran molekuler. Air dan senyawa organik, seperti protein dan pati yang merupakan komponen utama pada makanan, menyerap energi FIR pada panjang gelombang lebih dari 2,5 µm (Hashimoto et al., 1992). 7
10
Puncak panjang gelombang (Wien’s displacement law)
106 energi radiasi (W/m2.um)
dalam mengaktifkan sel-sel zat dalam bahan yang dikeringkan dan sangat bermanfaat untuk pengamanan karakteristik bahan kering karena perubahan karakteristik fisik dan kimia dari bahan hasil pertanian terjadi secara minimal. Penggunaan teknologi pengeringan/pemanasan FIR telah dicoba dilakukan pada pengolahan sayuran kering yaitu, bayam, seledri, cabe merah, dan jamur
105
2500K 2000K 1500K
4
10
1000K 103 500K
102
0
1
0
10
panjang gelombang (um)
100
(Sakai dan Hanzawa, 1994) Gambar 1. Karakteristik spektral radiasi black body pada suhu yang berbeda (Sakai dan Hanzawa, 1994)
Figure 1.
Spectral characteristic of black body radiation at different temperatures (Sakai dan Hanzawa, 1994)
Penetrasi energi FIR ke dalam makanan adalah faktor yang penting pada pemanas FIR. Hashimoto et al. (1992) melaporkan penetrasi energi FIR ke dalam ubi dan menyimpulkan bahwa pada jarak sekitar 0,1-0,22 mm di bawah permukaan penyerapan energi FIR mempunyai dampak 1% untuk nilai awal. Untuk memperkirakan profil suhu pada makanan, Sakai dan Hanzawa (1994) membandingkan dua model matematika. Model satu mengasumsikan bahwa sebagian dari energi iradiasi mempengaruhi makanan. Model lainnya mempunyai asumsi bahwa semua energi FIR diserap ke permukaan. Tidak ada perbedaan nyata dari hasil perhitungan antara dua model dan ditemukan bahwa kedalaman penetrasi energi FIR tidak berpengaruh
Ridwan Rachmat, dkk: Pemanfaatan Teknologi Far Infra Red (FIR) pada pengeringan rempah
a) FIR
b) Oven Konvensional
Pemanas F IR
Tungku
Makanan Rantai Konveyor
Makanan
Aliran panas secara radiasi
Rantai Konveyor
Pemanas FIR
Aliran panas secara konveksi
Tungku
*) Sakai dan Hanzawa, (1994) Gambar 2. Diagram (a) oven FIR dan (b) Oven Konvensional Figure 2. Diagram of (a) FIR Oven and (b) Conventional hot air dryer
kepada distribusi suhu. Studi ini membuat kejelasan bahwa pengaruh energi FIR sangat kecil dan hampir semuanya diubah menjadi panas pada permukaan makanan. KEUNGGULAN TEKNOLOGI FIR Di dalam industri pangan, permintaan metode pemanasan dengan radiasi Far Infra Red (FIR) meningkat seiring dengan pengembangan pemanas FIR secara komersial. Pengembangan peralatan FIR semakin cepat dan ekonomis untuk pembangunan pabrik produk pangan yang bernilai nutrisi dan organoleptik yang tinggi. Gambar 2 menjelaskan diagram prinsip pemanasan oven FIR dan oven konvensional. Sedangkan Gambar 3 menunjukkan alat pengering hasil rekayasa Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian yang dioperasionalkan untuk kegiatan penelitian di Instalasi Laboratorium Pascapanen Karawang. Alat pengering FIR tersebut telah digunakan untuk penelitian pengeringan sayuran dalam rangkaian kegiatan penelitian sayuran instan kering (Rachmat et al., 2005). Di dalam pemanas FIR, panas dialirkan kepada makanan dengan radiasi elektromagnetik dari pemanas FIR. Rata-rata transfer energi antara pemanas dan makanan tergantung perbedaan suhu antara pemanas dan makanan. Emisi energi FIR dari pemanas dialirkan dengan udara dan diserap oleh makanan. Energi diubah menjadi panas melalui interaksi molekul di dalam makanan. Pada oven konvensional, panas dialirkan ke permukaan makanan secara konveksi dari aliran udara panas. Menurut Sakai dan Hanzawa (1994), pemanas FIR untuk pengolahan pangan mempunyai beberapa keunggulan sebagai berikut:
-
Transfer panas pada makanan efisien sehingga mengurangi waktu proses dan biaya; Udara di dalam peralatan tidak panas dan suhu dapat dipertahankan pada level normal; Memungkinkan untuk merancang piringan dan konstruksi otomatis dengan kemampuan kontrol dan keamanan yang tinggi;
Slang
Gambar 3. Visual alat pengering dengan teknologi Far Infra LPG PemanasRed (FIR) hasil penelitian dan pengembangan FIR Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian.
Figure 3. FIR Dryer designed by Indonesian Center for Agricultural Postharvest Research and Developement. Rol
-
-
Pemanasan semakin seragam dibandingkan oven konvey or konvensional disebabkan permukaan tidak beraturan pada makanan memiliki pengaruh yang panel Kontrol kecil pada transfer panas. kontrol kondisi nyata semakin dibutuhkan, sebab berbahaya jika kelebihan panas.
33
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TRO VOL. 22 No. 1, Juni 2010: 31-37
Tabel 1. Keunggulan FIR dibandingkan pemanas konvensional
Table 1. The advantages of FIR compared to conventional dryer. Kriteria Perbandingan FIR (A)
Jenis Pemanas LPG (B)
Keunggulan FIR (A/B) X 100%
a) Pada pengering/oven untuk memanggang kue. Konsumsi kalori Produksi Waktu Pemasakan Biaya Energi
223.200 kj/jam 10.000 pieces/jam 10 menit 13,70 US$/jam
Kriteria Perbandingan FIR (A) b) Pada pengering/oven untuk memasak ikan. Panjang lintasan 9m Produksi 1.470 kg/hari Konsumsi listrik 0,06 kW/kg Sumber: Sasaki (1988)
836.000 kj/jam 10.000 pieces/jam 15 menit 25,10 US$/jam
Jenis Pengering Nichrome (B) 19 m 500 kg/hari 0,23 kW/kg
26,7% 100,0% 66,7% 54,5% Keunggulan FIR (A/B) X 100%) 47,4% 294,0% 26,1%
Source: Sasaki (1988)
Berdasarkan penelitian Sasaki (1988), pada Tabel 2 disajikan keunggulan pemanas FIR dibandingkan oven konvensional yaitu biaya energi yang murah serta jumlah produksi yang tinggi. Rachmat et al. (2004) melakukan penelitian mengenai percobaan pengeringan cabe segar dengan menggunakan dua metode pengeringan yaitu metode FIR dan metode oven pada suhu 60oC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode FIR memerlukan waktu pengeringan cabe segar berkisar 2830 menit untuk mencapai kadar air akhir 5-10%, sedangkan dengan metode oven memerlukan waktu rata-rata 240-260 menit. Produk cabe kering melalui radiasi FIR menunjukkan hasil yang lebih seragam dan higienis dengan perubahan nilai gizi yang minimal. Dengan demikian metode FIR ini dapat meminimalkan waktu pengeringan dan biaya energi pengeringan. PENGERINGAN DENGAN FIR Pemanfaatan pengering FIR semakin berhasil untuk produk sayuran dan ikan laut. Hampir sebagian besar sayur kering dihasilkan dengan menggunakan pemanas udara/oven. Metode oven mulai tidak cocok untuk penggunaan sayuran kering yang dipakai sebagai bumbu pada makanan instan, karena waktu rata-rata rehidrasi sayuran terlalu lama. Freeze drying sangat cocok digunakan untuk pengeringan sayuran namun terlalu mahal. Proses pengeringan FIR diharapkan sebagai teknologi proses baru untuk menghasilkan makanan kering dengan kualitas tinggi tetapi biaya proses yang rendah. Penggunaan peralatan FIR memungkinkan untuk menekan biaya dan waktu pengeringan dan mengatur suhu dengan mudah. Satu-satunya kekurangan dari alat
34
ini adalah ukuran sayuran yang dikeringkan tidak boleh tebal (harus kurang dari 5 mm) supaya pengeringan dapat efisien. Pada pengeringan sayuran, sangat penting untuk memberikan perhatian pada perubahan warna, rata-rata rehidrasi, dan kandungan nutrisi pada makanan selain dari efisiensi pengeringan. Perubahan kimia pada klorofil dan karoten disebabkan panas dan oksidasi selama pengeringan. Gambar 4 menunjukkan data penelitian kualitas sayuran (Welsh onion) kering dengan menggunakan 3 metode percobaan yaitu metode FIR dengan udara kering (•), FIR dengan vakum kering ( ), dan udara kering ( ). Pada Gambar 4a, ordinat menunjukkan trasmittance ekstraksi alkohol pada sampel yang mendefinisikan parameter uji untuk mengukur kadar klorofil. Meningkatnya transmittance lebih dari 63% untuk bahan mentah menunjukkan penurunan kadar klorofil. Rata-rata pengeringan lebih besar dari 100%/jam menunjukkan pengeringan sudah selesai dalam waktu kurang dari 1 jam. Metode FIR dengan udara kering menunjukkan kehilangan klorofil sangat rendah karena waktu pengeringan pendek. Ito (1986) melaporkan bahwa pengeringan FIR untuk wortel dan labu menghasilkan kehilangan ß karoten yang rendah dibandingkan dengan pemanasan sinar matahari atau lampu radiasi infra red. Ukuran rehidrasi dipakai sebagai indikator mutu makanan. Makanan yang dikeringkan di bawah kondisi yang optimum akan cepat rusak dan rehidrasi semakin cepat dibandingkan makanan yang benar-benar kering. Pada Gambar 4b, rate of restoration didefinisikan sebagai nisbah kandungan air pada sampel yang dikeringkan terhadap kandungan air awal. Sampel produk direhidrasi dengan air panas 90oC selama 3 menit. Pada Gambar
Ridwan Rachmat, dkk: Pemanfaatan Teknologi Far Infra Red (FIR) pada pengeringan rempah
baru, mungkin sebagai akibat reaksi oksidasi, hidrolisis bentuk glycosylated atau pelepasan senyawa mengikuti rusaknya dinding sel (Huopalahti et al., 1985). Hal serupa mungkin terjadi pada produk sayuran dan rempah yang memiliki senyawa volatil yang khas dan merupakan ciri utamanya, seperti seledri dan bawang putih. PROSPEK PENGERINGAN REMPAH DENGAN TEKNOLOGI FIR Rempah-rempah telah luas dikenal gunanya sebagai pemberi cita rasa atau bumbu, disamping banyak digunakan untuk jamu tradisional dan obat-obat
transmittance (%)
100
80
60 0
50
100
150
rerata pengeringan (%/jam)
100
rate of restoration (%)
terlihat bahwa metode FIR dengan vakum menghasilkan rate of restoration terbaik dan metode FIR dengan udara kering menghasilkan warna terbaik. Laporan lain menunjukkan bahwa pengeringan FIR mengurangi kehilangan kandungan vitamin C dan komponen volatil atau flavor pada pengeringan rempah “parsley” dan “yamato yam”. Proses pengeringan FIR cocok untuk makanan dengan nilai ekonomi tinggi yang memiliki karakteristik flavor dan warna. Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil penelitian Rachmat et al. (2004) mengenai pengaruh pengeringan cabe segar dengan metode FIR terhadap komponen mutu yang dianalisis. Kadar vitamin C pada bahan segar yaitu 72,18 mg/100g sedangkan bahan yang telah dikeringkan dengan metode FIR yaitu 51,3 mg/100g. Penurunan kadar vitamin C yang rendah ini dimungkinkan karena kemampuan radiasi FIR dalam mempertahankan mutu suatu bahan. Volatile Reducing Substances (VRS) merupakan zat-zat yang mudah menguap dalam suatu bahan atau produk, misalnya rempah dan tanaman aromatik lainnya (tanaman obat). Semakin tinggi kadar VRS pada suatu bahan menunjukkan mutu yang semakin baik. Dengan perlakuan pengeringan, biasanya kadar VRS suatu bahan akan mengalami penurunan. Kandungan VRS cabe segar 114,29 ppm menjadi 62 ppm pada cabe kering, atau menunjukkan kehilangan kadar VRS sekitar 45%. Pada penelitian pengeringan dengan oven suhu 50oC, kadar VRS pada bawang daun segar sebesar 22,58 mgrek/g menjadi 10,10 mgrek/g pada bawang daun kering atau kehilangan kadar VRS sebesar 56% (Sinaga dan Histifarina, 2000). Menurut hasil penelitian Rachmat et al. (2004), pengeringan sayuran bawang putih, bayam, seledri, cabe merah, dan jamur merang melalui teknologi FIR (input 5 kg berat basah, suhu 60oC) ditempuh dalam waktu yang relatif singkat dan sangat bervariasi yaitu antara 12 sampai 100 menit. Rendemen bahan sayuran kering terhadap bahan segar diperoleh dengan kisaran antara 8,90 sampai 24,42% (Tabel 3). Untuk pengeringan bayam dan seledri diperlukan waktu pengeringan selama 12 dan 20 menit. Sedangkan untuk pengeringan bawang putih, jamur merang, dan cabe merah dperlukan waktu pengeringan masing-masing 56, 60, dan 100 menit. Adanya perbedaan waktu pengeringan ini diantaranya karena faktor kadar air awal, ketebalan irisan, dan bentuk struktur dari komoditas yang tidak sama. Proses pengeringan dapat mempengaruhi kualitas bahan yang dikeringkan, seperti perubahan penampakan dan perbedaan aroma yang disebabkan oleh kehilangan volatil atau pembentukan volatil baru sebagai akibat dari reaksi oksidasi ataupun reaksi esterifikasi (Diaz-Maroto et al., 2002). Penambahan jumlah komponen terjadi pada rempah-rempah atau adanya pembentukan komponen
98
96
94 0
50
100
150
rerata pengeringan (%/jam)
Gambar 4. Pengaruh metode pengeringan terhadap kualitas Welsh onion kering (a) Hubungan antara rerata laju pengeringan dan kehilangan klorofil (diukur dengan peningkatan transmittance yang diekstraksi (b) Hubungan antara rerata laju pengeringan dengan rerata restorasi (Ito, 1986).
Figure 4.
Effect of drying method on quality of dried Welsh onion (a) correlation between average of drying rate and chlorophyll losses, (b) Relation between averages of drying and restoration rates (Ito, 1986).
35
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TRO VOL. 22 No. 1, Juni 2010: 31-37
Tabel 3. Hasil analisa pada cabe segar dan cabe kering.
Table 3. Analysis result of fresh and dried pepper Jenis Cabe Cabe segar Cabe kering (FIR) *) Sumber: Rachmat et al. (2003)
Komponen Mutu Vitamin C (mg/100g) 72,18 51,3
VRS (ppm)
Kadar Abu (%)
114,29 62
1,09 1,1
Tabel 4. Karakteristik sayuran kering melalui teknologi FIR (input 5 kg berat basah, suhu 60 oC)
Table 4. Characteristics of dried vegetables produced by FIR drying (input 5 kg fresh weight, temperature 60 0C) No Komoditas 1 2 3 4 5
Waktu ( menit) Bawang Putih 56 Bayam 12 Jamur Merang 60 Seledri 20 Cabe Merah 100 *) Sumber: Rachmat et al. (2004)
Kadar air awal (%) 69,42 85,62 89.85 85,66 78.86
herbal. Sifat tersebut disebabkan kandungan zat aktif aromatis di dalamnya, seperti oleoresin atau minyak atsiri. Adanya kehilangan komponen volatil dalam proses pengolahan dengan suhu tinggi; aroma atau flavor, komponen antioksidan alami yang terdapat dalam rempah-rempah telah hilang/berkurang selama proses tidak persis sama dengan rempah-rempah asalnya. Beberapa jenis minyak atsiri mudah teroksidasi. Demikian pula banyak bahan aktif seperti flavor mengandung 20 – 30 macam komponen yang berbeda (kelompok alkohol, aldehida, ester-ester dan keton) yang mempunyai titik didih berkisar antara 30 dan 180oC, sehingga akan memungkinkan kehilangan beberapa komponen aromatik bertitik didih rendah selama proses pengeringan (Sutrisno, 2006). Menurut Zilberboim et al. (1986) teknologi pengeringan untuk mengatasi tanaman rempah yang bersifat sangat volatil atau termolabil, diantaranya teknik “spray drying” atau pengering semprot dengan kondisi suhu dan kelembapan yang diatur digunakan untuk minyak atsiri dan oleoresin rempah-rempah. Proses menggunakan pengeringan beku (freeze drying) untuk mengkapsulasi oleoresin paprika dan beberapa ester dengan gum arab. Demikian pula bawang putih kering (dehydrated garlicpowder) maupun minyak atsiri bawang putih, oleoresin dan pikel bawang putih dikeringkan dengan pengeringan semprot suhu 160 – 170oC. Berdasarkan hasil aplikasi pengeringan dengan teknologi FIR pada beberapa komoditas terutama sayuran yang telah mampu menekan perubahan warna, aroma, dan VRS, maka pengeringan rempah dan juga tanaman aromatik lainnya mempunyai peluang untuk ber-
36
Kadar Air akhir (%) 5,60 5,31 7,07 4,95 8,81
Rendemen (%)
Rehidrasi (%)
24,42 14,92 8,90 17,66 26,92
60,28 90,79 65,42 87,13 76,97
hasil dan layak, terutama untuk komoditas rempah dan tanaman aromatik dengan kriteria : (1) bernilai ekonomis tinggi, (2) memiliki kandungan senyawa aktif yang peka terhadap paparan panas yang lama dan bersuhu tinggi, (3) bagian tanaman rempah dan aromatik yang memiliki bulk density rendah seperti bagian daun, bunga, dan biji, dan (4) memiliki karakteristik fisiko-kimia yang peka kerusakan sehingga memerlukan pengeringan lebih cepat pada suhu rendah. Jika bagian tanaman tersebut memiliki bulk density tinggi, diperlukan pengecilan ukuran (pengirisan dan pemotongan). KESIMPULAN DAN SARAN Produk yang dikeringkan melalui radiasi FIR menunjukkan hasil yang lebih seragam dan higienis dengan perubahan nilai gizi yang minimal. Hasil perbandingan menunjukkan bahwa proses pengeringan dengan teknologi FIR sangat efisien. Hal ini terjadi karena proses pengeringan terjadi melalui mekanisme pemutusan molekul-molekul air (H2O) secara vibrasi atau getaran tanpa melalui media perantara (udara) seperti halnya pada proses konveksi dan konduksi. Pemanfaatan teknologi FIR pada pengeringan rempah dan tanaman aromatik lainnya berpeluang untuk berhasil jika asumsi kriteria persyaratan dapat dipenuhi. Diperlukan pengujian alat pengering FIR untuk mengeringkan beberapa jenis rempah dan tanaman aromatik. DAFTAR PUSTAKA Diaz-Maroto, M.C., M.S. Perez-Coello, and M.D. Cabezudo. 2002. Effect of drying method on the
Ridwan Rachmat, dkk: Pemanfaatan Teknologi Far Infra Red (FIR) pada pengeringan rempah
volatiles in bay leaf (Laurus nobilis L.). J. Agric. Food Chem 50, 4520-4524. Hashimoto, A., H. Igarashi, and N. Shimizu. 1992. Far Infra Red Irradiation Effect on Pasteurization of Bacteria on or within Wet-solid Medium. J. Chem. Engineering. Jap. 25(6):666-671. Huopalahti, R. 1985. The Content and Composition of Aroma Compounds in Three Different Cultivers of Dill, Anentum graveolens L. Departemen of Chemistry and Biochemistry, Laboratory of Food Chemistry, University of Turku, SF-20500 Turku, Finland. 181:9-96. Ito, K. 1986. Vegetable Drying by Far Infrared Radiation. Food Machine Devices (dalam bahasa Jepang), 1: 45-53. Kashiwazaki, M., Kotaro Kubota, and Tomihiko Ichikawa. 1995. Development of Far infra red drying system for paddy. Proceedings of ARBIP 95, Kobe, Japan. 1995. Kim, M.H., S.M. Kim, C.S. Kim, S.J. Park, C.H. Lee, and J.Y. Rhee. 2002. Quality of Korean ginseng dried by a prototype continuous flow dryer using far infra red radiation and hot air. Canadian Biosystems Engineering. 44 : 347-354. Pruthi, J.S. 1980. Spices and Condiments : Chemistry, Microbiology, and Technology Advances in Food Research. Academic Press, New York.
Rachmat, R., S. Lubis, M. Hadipernata, dan I. Agustinisari. 2005. Perubahan senyawa volatil pada sayuran kering akibat radiasi Far-Infra Red. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen Untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor. Hal. 17-25. Rachmat, R. 2006. Empirical performance evaluation of far-infrared drying of blanched slice mushroom (Volvariella volvacea). International Agricultural Engineering Journal 15 (2-3): 123-129. Sakai, N. dan T. Hanzawa. 1994. Applications and advances in Far-Infrared heating in Japan. Trends in Food Sciences & Technology : vol 5 No 11. Sasaki, T. 1988. Ceramics. Nippon Shokuhin Kogyo Gakkaishi 23. 322-327. Sinaga, R.M. dan D. Histifarina. 2000. Peningkatan Mutu Bawang Putih Irisan Kering dengan Prosedur Perendaman dalam Larutan Natrium Bisulfit. J. Hort.0(4):307-313,2000. Sutrisno. 2006. Teknologi Enkapsulasi Flavor RempahRempah. www.ebookpangan.com. Zilberboim, R.I.J. Kopelman, and Y. Talman. 1986. Microencapsulation by dehydrating liquid: Retention of paprika oleoresins and aromatic esters. J. Food Sci. 51:1301-1310.
Rachmat, R., S. Lubis, M. Hadipernata, Sudaryono, I.A. Widaningrum, dan B.A.S. Santosa 2003. Laporan Penelitian Teknologi Pengeringan Far Infra Red untuk Sayuran Instan. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor. Hal. 25-28.
37