PEMANFAATAN SPENT BLEACHING EARTH DARI PROSES PEMUCATAN CPO SEBAGAI BAHAN BAKU BRIKET
FITRIANA SABARINA MANIK F34053432
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FITRIANA SABARINA MANIK. F34053432. Pemanfaatan Spent Bleaching Earth dari Proses Pemucatan CPO sebagai Bahan Baku Briket. Di bawah bimbingan KHASWAR SYAMSU dan DJENI HENDRA. 2010. RINGKASAN Salah satu perlakuan dalam proses pemurnian minyak sawit adalah proses pemucatan. Proses ini menghasilkan sejumlah bleaching earth bekas (spent bleaching earth). Spent bleaching earth merupakan hasil sampingan proses pemucatan minyak sawit yang masih mengandung 20-30% b/b minyak sawit. Pada penelitian ini dilakukan formulasi spent bleaching earth dan arang tempurung kelapa sawit sebagai bahan baku briket. Dipilihnya tempurung kelapa sawit karena dua bahan ini merupakan limbah dalam proses pengolahan kelapa sawit. Selain itu, arang tempurung kelapa sawit memiliki nilai kalor yang tinggi sehingga sesuai sebagai bahan tambahan dalam pembuatan briket. Ada dua tujuan dalam penelitian ini. Tujuan utamanya adalah untuk mengkaji pemanfaatan spent bleaching earth dari proses pemucatan minyak sawit sebagai bahan baku briket. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh kombinasi konsentrasi perekat dan konsentrasi arang tempurung kelapa sawit terhadap mutu briket yang dihasilkan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu konsentrasi perekat dan konsentrasi arang tempurung kelapa sawit. Faktor konsentrasi perekat terdiri dari tiga taraf yaitu 2% (A1), 3% (A2), dan 4% (A3). Faktor konsentrasi arang tempurung kelapa sawit bervariasi mulai dari taraf 25% (B1), 50% (B2), dan 75% (B3). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi perekat berpengaruh nyata dan meningkatkan kadar zat mudah menguap tetapi menurunkan kadar karbon terikat. Peningkatan konsentrasi arang tempurung kelapa sawit berpengaruh nyata meningkatkan kadar air dan keteguhan tekan namun menurunkan kadar zat mudah menguap dan kadar abu. Selain itu, interaksi kedua faktor ini juga mempegaruhi kadar air briket yang dihasilkan. Berdasarkan hasil karakteristisasi sampel bleaching earth diketahui bahwa spent bleaching earth mengandung kadar minyak sebesar 26,325% b/b, kadar air sebesar 3,727% b/b, kadar zat mudah menguap 32,230% b/b, kadar abu 68,416% b/b, kadar karbon terikat 0,354% b/b, dan nilai kalor sebesar 6796 kal/gram. Perlakuan terbaik adalah briket dengan perlakuan A1B3 (konsentrasi perekat 2% dan konsentrasi arang tempurung kelapa sawit 75%). Briket ini menghasilkan kadar zat mudah menguap paling rendah yaitu 18,021% b/b, kadar abu terendah 20,1% b/b, kadar karbon terikat tertinggi 61,879% b/b, dan nilai kalor sebesar 6528 kal/gram. Selain itu, dengan massa 255 gram briket kombinasi terbaik ini dapat mendidihkan tiga liter air selama 75,26 menit dan dapat menyala 148 menit.
FITRIANA SABARINA MANIK. F34053432. The Utilization of Spent Bleaching Earth from Crude Palm Oil Bleaching Process as Briquette Material. Under Guidance of KHASWAR SYAMSU and DJENI HENDRA. 2010. SUMMARY Refining process of crude palm oil in refinery which involves bleaching generates plenty of spent bleaching earth. The spent bleaching earth serves as byproduct, which still contains 20-30% w/w of crude palm oil. The research formulated spent bleaching earth and charcoal of oil palm shell as the briquette materials. Charcoal of oil palm shell was choosen because both of them are waste from processing the oil palm. In addition, charcoal of oil palm shell has the high caloric value, so its suitable as the added material for production a briquette. There were two objectives in this research. The main objective was to study the utilization of spent bleaching earth from crude palm oil bleaching process as briquette material. The spesific objective was to study the effect of combination of glue consentration and charcoal of oil palm shell concentration toward the quality of briquette. This research utilized completely randomized factorial design with two factors, i.e. glue concentration factor and charcoal of oil palm shell concentration factor. The glue concentration factor were varied at 2% (A1), 3% (A2), and 4% (A3). The concentration of charcoal of oil palm shell were varied at 25% (B1), 50% (B2), and 75% (B3). The variance analyses showed that the increase of glue consentration affected significantly and increased the volatile matter content but decreased fixed carbon content of briquette. The increase of charcoal oil palm shell concentration affected significantly and increased the moisture content and crushing strength but decreased the volatile matter content and ash content. Furthermore, the interaction of two factors affected significantly the moisture content of briquette. Based on the characteristic of the spent bleaching earth sample, it was found that spent bleaching earth contained 26,325% w/w of residual oil, moisture content 3,727% w/w, volatile matter 32,230% w/w, ash content 68,416% w/w, fixed carbon content 0,354% w/w, and caloric value 6796 cal/gram. The best treatment combination of all the experimental units was briquette A1B3 (glue concentration 2% and charcoal of oil palm shell concentration 75%). This treatment resulted the lowest volatile matter content about 18,021%, the lowest ash content 20,100%, the lowest fixed carbon content 61,879%, and the caloric value about 6528 cal/gram. This briquette could boil three liters of water in 75,26 minutes (based on 255 gram of briquette) and could keep burned until 148 minutes.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Spent Bleaching Earth dari Proses Pemucatan CPO sebagai Bahan Baku Briket” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2010
Fitriana Sabarina Manik NRP. F34053432
PEMANFAATAN SPENT BLEACHING EARTH DARI PROSES PEMUCATAN CPO SEBAGAI BAHAN BAKU BRIKET
FITRIANA SABARINA MANIK F34053432
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi
: Pemanfaatan Spent Bleaching Earth dari Proses Pemucatan CPO sebagai Bahan Baku Briket
Nama
: Fitriana Sabarina Manik
NRP
: F34053432
Menyetujui:
Pembimbing I
Pembimbing II
(Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc.St) NIP : 19630817 198803 1 003
(Djeni Hendra, MSi) NIP : 19550108 198503 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP : 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau pada tanggal 26 Mei 1988. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara
dari
pasangan
Johner
Manik
dan
Dameria
Simanjuntak. Penulis memulai pendidikan di TK Santa Bernadeth Tanjung Pinang pada tahun 1992, SD Katolik Tanjung Pinang pada tahun 1993, SLTP Katolik Tanjung Pinang pada tahun 1999, SMA Negeri 1 Tanjung Pinang pada tahun 2002 dan pada tahun 2004 di SMA Negeri 57 Jakarta Barat. Penulis menyelesaikan sekolah pada tahun 2005 dan masuk ke perguruan tinggi IPB melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) di Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Pada tahun 2006, penulis masuk ke Mayor Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen (UKM PMK) IPB dan menjadi Penanggung Jawab Bidang Pelayanan Bursa Buku (2006/2007), Bendahara Komisi Literatur (2007/2008), Asisten PA Martikulasi IPB (2009). Penulis juga telah melaksanakan Praktek Lapang di PT. Indolakto (Indomilk) Jakarta pada tahun 2008 dengan judul “Mempelajari Proses Produksi Susu Pasteurisasi di PT. Indolakto” dan menjadi Asisten Praktikum Bioproses TIN (2007/2008). Dalam berbagai kejuaraan tingkat mahasiswa, penulis juga ikut terlibat seperti Program Kreatifitas Mahasiswa (2009) dan “Jurnalistic Fair Liputan 6“ (2007). Penulis menjadi panitia di beberapa acara yang diadakan di lingkungan kampus IPB, serta aktif mengikuti pelatihan dan seminar-seminar baik yang berhubungan dengan agroindustri maupun tema umum lainnnya. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian IPB, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Pemanfaatan Spent Bleaching Earth Dari Proses Pemucatan CPO sebagai Bahan Baku Briket” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc.St dan Djeni Hendra, MSi.
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala curahan rahmat dan kasih sayangNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian
dan
penulisan
skripsi.
Skripsi
dengan
judul
“Pemanfaatan Spent Bleaching Earth dari Proses Pemucatan CPO sebagai Bahan Baku Briket” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2010
Penulis
i
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Yesus Kristus atas segala cinta kasih-Nya sehingga penulisan skripsi ini telah berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang besar kepada semua pihak yang telah membantu dari awal penelitian hingga penyelesaian penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada : 1.
Keluarga Manikku tercinta: Johner Manik (Ayah), Dameria Simanjuntak (Ibu), Johandi Manik (Abang Tertua) dan Ade Christian Manik (Abang Kedua) atas cinta kasih yang luar biasa, serta dukungan spritual dan material yang diberikan selama ini.
2.
Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc.St selaku dosen pembimbing pertama dan Djeni Hendra, MSi selaku pembimbing kedua, atas bimbingan, arahan, saran dan kritik kepada penulis sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
3.
Bapak Adhiwisoko Kasman selaku pimpinan PT. Panca Nabati Perkasa (Kawasan Industri Pulo Gadung) atas bantuan bahan baku dalam penelitian penulis.
4.
PTPN VIII Kertajaya Malingping, Kabupaten Lebak, Banten atas bantuan bahan baku dalam penelitian penulis.
5.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor atas perijinan sebagai lokasi penelitian. Teknisi Laboratorium Kimia dan Energi : Pak Saepuloh, Pak Dadang, Pak Ismat, khususnya Pak Mahpudin atas bantuan tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan penelitian.
6.
Teman-teman seperjuangan selama penelitian di Litbang : Eka Puspitasari, Novi Silaen, Abdullah, Agung, Dadan, Minaria atas bantuan, semangat dan tukar pikiran selama ini. Semoga penelitian-penelitian yang telah kita lakukan ini dapat berguna untuk masa depan.
7.
Rekan-rekan TIN 42 atas bantuan, kebersamaan dan keceriaan selama ini khususnya (Novi Saputra, Bahaderi Coupido Sapay, Wenny Silvia Loren br. Sinaga) dan teman-teman se-PA (Nunung dan Prima).
ii
8.
Keluarga Besar Opung Manik dan Keluarga Besar Opung Simanjuntak khususnya Kak Sri Wahyuni, Kel. Uda Rebecca Manik, Kel. Uda Grace Manik, Dewi Manik, serta keponakan-keponakanku atas kehangatan keluarga yang selama ini kalian diberikan.
9.
Sahabat-sahabat tersayangku: Maryto Maretis, Rina Aprilisiawati, Apriyanti Pratiwi, Merlynda Dewi, Hendra, Sriayu Dharmawati, Joni, Zaini, Daniel, Nuah Japet, serta khususnya Aprivita Sitanggang dan Yunita atas sukacita, dukacita dan ‘curhatan’ selama ini.
10. Keluarga besar Wisma Jenius : Mei, Lamtiur, Kak Elsa, Ayu, Yeti, Fenny, Jessi, Risna, Dewi, Loreta, Christin, Kade, Lenny, Christa, dan Mettha atas kebersamaan, canda tawa selama ini melengkapi sukacita penulis. 11. Teman-teman Komisi Literatur PMK IPB baik alumni, teman seangkatan, serta adik-adik komisi yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Biarlah pembinaan dan pelayanan yang kita lakukan selama ini adalah atas rencana Tuhan dan untuk kemuliaan-Nya. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu baik secara langsung maupun tidak langsung membantu saya dari awal pembuatan proposal, penyarian lokasi penelitian, pelaksanaan penelitian hingga terselesainya penyusunan skripsi ini.
iii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
ii
DAFTAR ISI ............................................................................................
iv
DAFTAR TABEL.........................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
viii
I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ...............................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Pemucatan (Bleaching) CPO..................................................
4
2.2 Bentonit .......................................................................................
5
2.3 Bleaching Earth...................................................................................
6
2.4 Proses Pemucatan CPO dengan Menggunakan Bleaching Earth ...........
9
2.5 Bleaching Earth Bekas (Spent Bleaching Earth/ SBE).........................
9
2.6 Tempurung Kelapa Sawit (Elaeis guinensis)......................................
14
2.7 Pembuatan Briket ................................................................................
16
2.8 Mutu Briket .........................................................................................
19
III. METODOLOGI 3.1 Bahan dan Alat ..................................................................................
21
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................
21
3.3 Metode Penelitian..............................................................................
21
3.3.1 Penelitian Pendahuluan ......................................................
21
3.3.2 Penelitian Utama .....................................................................
23
3.4 Perlakukan Percobaan......................................................................
26
3.5 Rancangan Percobaan......................................................................
26
3.6 Uji Aplikasi Mendidihkan Air..........................................................
27
iv
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan ..................................................................
28
4.1.1 Analisa Karakteristik Spent Bleaching Earth (SBE) ..............
28
4.1.2 Pengaruh Perekat terhadap Pengempaan Briket .....................
31
4.1.3 Pengaruh Penambahan Arang terhadap Pembakaran Briket ....
33
4.2 Penelitian Utama ............................................................................
35
Mutu briket penelitian utama..................................................
37
1.
Kadar Air........................................................................
38
2.
Kadar zat mudah menguap...................................................
40
3.
Kadar abu......................................................................
42
4.
Kadar Karbon Terikat......................................................
44
5.
Kerapatan.......................................................................
46
6.
Keteguhan Tekan.............................................................
48
7.
Nilai Kalor.....................................................................
49
4.3 Arang Briket Hasil Penelitian............................................................
52
4.4 Uji Aplikasi Mendidihkan Air..............................................................
54
4.2.1
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan.......................................................................................
59
5.2 Saran..............................................................................................
60
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
61
LAMPIRAN.....................................................................................................
64
v
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Komposisi kimia bleaching earth jenis Landau Raw Clay (LRC) dan Florida Clay (FC)....................................................
6
Tabel 2.
Spesifikasi bleaching earth .....................................................
7
Tabel 3.
Jumlah industri minyak goreng dan kapasitas produksi ..........
10
Tabel 4.
Karakteristik residu CPO dari spent bleaching earth ..............
13
Tabel 5.
Komposisi rata-rata buah kelapa sawit ...................................
14
Tabel 6.
Karakterisitik tempurung kelapa sawit ....................................
15
Tabel 7.
Karakteristik arang tempurung kelapa sawit .............................
16
Tabel 8.
Sifat briket arang buatan Jepang, Amerika, dan Inggris ...........
20
Tabel 9.
Hasil uji karakteristik spent bleaching earth..............................
29
Tabel 10.
Pengaruh perekat terhadap pengempaan briket..........................
32
Tabel 11.
Pengaruh penambahan arang terhadap pembakaran briket........
33
Tabel 12.
Mutu briket hasil penelitian..................................................
38
Tabel 13.
Perbandingan mutu briket kombinasi terbaik dengan briket
Tabel 14.
buatan Jepang,dan Inggris serta briket komersial .....................
53
Parameter mutu briket pada uji mendidihkan air.......................
54
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Reaksi aktivasi bentonit dengan asam ....................................
8
Gambar 2.
Diagram alir analisa karakteristik spent bleaching earth .......
22
Gambar 3.
Diagram alir pembuatan briket dengan/tanpa Perekat ............
22
Gambar 4.
Diagram alir pembakaran briket dengan pengaruh penambahan arang .................................................................
Gambar 5.
23
Diagram alir pembuatan briket spent bleaching earth dengan campuran arang tempurung kelapa sawit ...............................
25
Gambar 6.
Diagram alir uji pembakaran briket kombinasi terbaik ..........
27
Gambar 7.
Spent bleaching earth..............................................................
28
Gambar 8.
Pengujian kadar minyak spent bleaching earth.......................
29
Gambar 9.
Pirolisis tempurung kelapa sawit............................................
36
Gambar 10.
Histogram kadar air briket......................................................
39
Gambar 11.
Histogram kadar zat mudah menguap briket..........................
40
Gambar 12.
Histogram kadar abu briket....................................................
43
Gambar 13.
Histogram kadar karbon terikat briket........................................
44
Gambar 14.
Histogram kerapatan briket.....................................................
48
Gambar 15.
Histogram keteguhan tekan briket..........................................
49
Gambar 16.
Histogram nilai kalor briket....................................................
51
Gambar 17.
Uji pembakaran briket 100% TKS, briket hasil penelitian,
Gambar 18.
dan briket 100% SBE..............................................................
57
Alat Bomb Calorimeter.........................................................
70
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Perbandingan nilai kalor beberapa jenis bahan bakar ..........
64
Lampiran 2.
Perbandingan nilai kalor beberapa jenis briket biomassa.....
65
Lampiran 3.
Pengujian Mutu Briket .........................................................
66
Lampiran 4.
Tabel hasil analisa briket spent bleaching earth dengan campuran arang tempurung kelapa sawit.............................
71
Lampiran 5.
Uji statistik kadar air............................................................
75
Lampiran 6.
Uji statistik kadar zat mudah menguap ................................
76
Lampiran 7.
Uji statistik kadar abu ........................................................... 77
Lampiran 8.
Uji statistik kadar karbon terikat ..........................................
77
Lampiran 9.
Uji statistik kerapatan...........................................................
78
Lampiran 10. Uji statistik keteguhan tekan ................................................
79
Lampiran 11. Rekapitulasi hasil analisis briket spent bleaching earth dengan campuran arang tempurung kelapa sawit ...................... 80 Lampiran 12. Uji aplikasi briket (aplikasi mendidihkan air 1000C)...........
81
Lampiran 13. Dokumentasi penelitian ........................................................
82
Lampiran 14. Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1999 tentang Bahan Beracun Berbahaya (B3).......................................................
84
viii
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Spent bleaching earth merupakan limbah padat proses pemucatan dalam pemurnian CPO. Jumlah konsumsi bleaching earth untuk pemucatan CPO di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan pengembangan industri minyak goreng di Indonesia. Menurut Capricorn Indonesia Consult (2007), ada 65 buah industri minyak goreng di seluruh Indonesia dengan total kapasitas produksinya mencapai 9,9 juta ton/tahun hingga tahun 2006. Berdasarkan hal tersebut, jika sekitar 40% total kapasitas produksi minyak goreng menggunakan bleaching earth sebagai adsorben pemucatnya dan dosis bleaching earth yang digunakan sekitar 1% bobot CPO, maka akan menghasilkan spent bleaching earth sebanyak 39.600 ton/hari atau mencapai 1,18 juta ton/ bulan. Apabila merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No.18 tahun 1999 dalam Tabel 2, Daftar Limbah Spesifik, Kode Limbah D-233, Jenis Industri Pengolahan Lemak Hewan dan Nabati dan Derivatnya (Lampiran 13), maka spent bleaching earth dapat dikategorikan sebagai B3. Alasan yang menjadi pertimbangan dalam PP tersebut adalah karena bahan tersebut mengandung residu minyak dan asam. Sebagai B3, sebaiknya pengolahan limbah B3 tersebut dilakukan oleh industri yang menghasilkan limbah itu sendiri. Hal tersebut merupakan anjuran yang terdapat dalam PP No.18/ 99. Pada peraturan ini juga dikemukakan bahwa limbah ini dapat digunakan namun harus dilakukan sesuai dengan aturan yang ada. Aturan upaya pemanfaatan limbah B3 ini dikenal dengan 3R (Recycle, Reuse, dan Recovery). Selama ini ada beberapa upaya pemanfaatan yang dilakukan seperti 1) recycling sebagai tanah urugan/ landfill; 2) recycling sebagai pupuk kelapa sawit; 3) reuse spent bleaching earth sebagai adsorben kembali pada proses proses pemucatan CPO pada industri minyak goreng tersebut (Wahyudi, 2000); 4) recovery residu CPO dengan porous metal filters menjadi minyak sawit kualitas rendah dan derivatnya (Chanrai et al.,
1
2004); 5) recovery residu CPO dengan solvent extraction dan supercriticalfluid extraction menjadi metil ester sebagai bahan baku biofuel (Kheang et al., 2006). Menurut penelitian Kheang et al. (2006), persentase residu minyak CPO di dalam spent bleaching earth bisa mencapai 20-30% dan sulit dipisahkan tanpa penangan khusus seperti ekstraksi. Sisa minyak yang tersisa inilah yang sebenarnya masih berpotensi jika dimanfaatkan karena memiliki nilai kalor yang tinggi, dan salah satu alternatif pemanfaatannya dapat dibuat menjadi briket. Membuat briket hanya dari spent bleaching earth dan tambahan perekat saja menghasilkan kualitas briket yang rendah karena memiliki kadar abu yang tinggi, kadar zat terbang yang tinggi, serta sulit terbakar walaupun nilai kalornya tinggi. Oleh karena itu, diperlukan bahan campuran lainnya sehingga dapat memperbaiki kekurangan pada proses pembuatan briket dari bahan spent bleaching earth. Bahan yang digunakan sebagai bahan campuran dalam briket ini adalah tempurung kelapa sawit. Tempurung kelapa sawit merupakan salah satu bahan yang sesuai untuk bahan campuran untuk pembuatan briket spent bleaching earth ini. Selain karena ketersediannya berlimpah, nilai kalornya tinggi, kadar abu dan kadar zat mudah menguapnya yang rendah, tempurung kelapa sawit dan spent bleaching earth berada dalam satu lini proses pengolahan kelapa sawit. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian untuk mengetahui pengaruh kombinasi faktor konsentrasi perekat dan faktor konsentrasi arang tempurung kelapa sawit terhadap mutu briket yang dihasilkan. Perekat yang akan digunakan pada penelitian ini adalah pati tapioka, karena tidak menimbulkan asap yang berlebihan serta mudah diperoleh. Adapun parameter-parameter yang menentukan mutu briket sebagai bahan bakar yang diuji pada penelitian ini adalah kadar air, kadar zat mudah menguap, kadar abu, kadar karbon terikat, kerapatan, keteguhan tekan, dan nilai kalor. Selain itu dilakukan pengujian pembakaran untuk mengetahui kualitas pembakaran briket hasil penelitian ini.
2
1.2 Tujuan Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengakaji pemanfaatan spent bleaching earth dari proses pemucatan CPO sebagai bahan baku pembuatan briket. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh kombinasi konsentrasi perekat dan konsentrasi arang tempurung kelapa sawit terhadap mutu briket yang dihasilkan.
3
II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Proses Pemucatan (Bleaching) CPO Pemucatan atau bleaching merupakan suatu tahap proses pemurnian minyak untuk menghilangkan zat-zat warna yang tidak disukai dalam minyak. Pemucatan ini dilakukan dengan mencampur minyak dengan sejumlah kecil adsorben, seperti tanah serap (fuller earth), lempung aktif (activated clay), arang aktif, atau dapat juga dengan menggunakan bahan kimia. Proses penyisihan warna sebenarnya tidak hanya terjadi pada proses pemucatan. Pada proses deodorizing dan degumming juga terjadi penyisihan warna dari CPO. Pada proses pemucatan penyisihan warna CPO hanya sekitar 50% sedangkan total penyisihan warna untuk keseluruhan proses refining sekitar 75-90% (Wahyudi, 2000). Zat warna dalam minyak terdiri dari zat warna alamiah dan zat warna hasil degradasi zat warna alamiah/ zat warna disebabkan oleh organologam. Zat warna alamiah dalam minyak dapat dihilangkan dengan penambahan adsorben, sedangkan zat warna yang disebabkan oleh organologam dihilangkan dengan senyawa pembentuk kompleks. Zat warna yang termasuk dalam zat warna alamiah adalah karoten, klorofil, xanthofil, dan anthosianin. Karoten merupakan pigmen yang menghasilkan warna merah, kuning, atau jingga dan memiliki struktur dasar yang sama. Warna minyak juga ditentukan oleh komponen-komponen lain selain pigmen tapi pengaruhnya relatif kecil karena minyak kelapa sawit mengandung karoten dalam jumlah yang tinggi. Kandungan karoten dalam minyak sawit (ordinary) kurang lebih 500-700 ppm (Ketaren, 1986). Dengan proses pemurnian CPO diperoleh total kandungan karoten minyak sawit komersial menjadi 17 ppm (Rianto, 1995). Selain penghilangan zat warna, pemucat juga dapat mengurangi komponen-komponen lain yang tidak diinginkan seperti logam-logam transisi sekitar 0,001-0,1 ppm. Proses pemucatan juga dapat mengurangi kadar sabun hasil proses netralisasi hingga 5-10 ppm, sedangkan kadar asam lemak bebas akan bertambah secara lambat. Selain itu, pemucatan juga akan
4
menyerap sebagian suspensi koloid (gum dan resin) serta hasil degradasi minyak seperti peroksida (Ketaren, 1986).
2.2
Bentonit Arifin dan Sudrajat (1997) menyatakan bahan dasar yang digunakan untuk membuat bleaching earth adalah bentonit. Nama bentonit ini pertama kali digunakan Knight pada tahun 1898, untuk suatu jenis lempung tanah pemucat yang terdapat di daerah Benton, Rockcreek, Wyoming, Amerika Serikat. Bentonit merupakan istilah bahan galian yang digunakan di dalam dunia perdagangan untuk sejenis batu liat yang mengandung mineral montmorillonit sebagai komponen utamanya. Rumus kimia montrmorilonit adalah (Mg, Ca) O. Al2O3. 5SiO2. 8H2O. Mineral-mineral montmorillonit umumnya berupa butiran halus/sedang, lapisan-lapisan penyusunnya tidak terikat dengan kuat. Dalam kontaknya dengan air, mineral-mineral tersebut menunjukkan pengembangan antar lapis yang menyebabkan volumenya meningkat menjadi dua kali lipat atau lebih. Potensi mengembang dan mengerut, dan adanya muatan negatif yang tinggi merupakan penyebab mineral ini dapat menerima dan menyerap ion-ion logam dan kation-kation organik. Menurut Tank (1993), sifat-sifat bentonit adalah sebagai berikut: a. Berwarna dasar putih dengan sedikit kecoklatan atau kemerahan atau kehijauan tergantung dari jenis dan jumlah fragmen mineralmineralnya. b. Bersifat sangat lunak, ringan, mudah pecah, terasa seperti sabun, mudah menyerap air dan dapat melakukan pertukaran ion. c. Berat jenisnya berkisar 2,4-2,8 gram/cm3. Menurut Arifin dan Sudrajat (1997), secara umum bentonit dibagi menjadi dua jenis, yaitu : a. Swelling
bentonite,
adalah
bentonit
yang
volumenya
mengembang (swelling) hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap tersdispersi beberapa waktu dalam air. Jenis ini disebut juga jenis Wyoming dan secara kimia mengandung natrium sehingga disebut juga ‘Natrium Bentonit’.
5
Natrium Bentonit dalam keadaan kering berwarna putih atau cream, sebaliknya pada keadaan basah dan terkena sinar matahari akan berwarna mengkilap, bentonit tipe ini sering dipakai sebagai lumpur pembilas dalam pemboran minyak bumi. b. Non swelling bentonite, adalah jenis bentonit dimana volumenya kurang mengembang (non swelling) apabila dicelupkan ke dalam air, dan tetap terdispersi di dalam air, tetapi secara alami atau setelah diaktifkan mempunyai sifat menghisap yang baik sehingga digunakan sebagai absorben pada proses pemucatan CPO atau dikenal dengan bleaching earth.
2.3
Bleaching Earth Bleaching earth merupakan sejenis tanah liat dengan komposisi utamanya terdiri dari SiO2, Al2O3, Fe2O3, CaO, dan MgO (Tabel 1). Tabel 1. Komposisi kimia bleaching earth jenis Landau Raw Clay (LRC) dan Florida Clay (FC) Komposisi Kimia (%)
Jenis Absorben LRC
FC
SiO2
59.0
56.9
Al2O3
22.9
11.6
Fe2O3
3.4
3.3
CaO
0.9
3.1
MgO
1.2
6.3
Sumber : Arifin dan Sudrajat, 1997
Dalam perdagangan bleaching earth mempunyai nama dan komposisi kimia yang berbeda. Bleaching earth yang berasal dari Amerika dikenal dengan nama Floridin (Florida earth), bleaching earth yang berasal dari Inggris disebut Fuller’s Earth. Bleaching earth yang berasal dari Rusia, Kanada, dan Jepang dikenal dengan nama Gluchower Kaolin. Secara umum spesifikasi bleaching earth dapat dilihat pada Tabel 2.
6
Tabel 2. Spesifikasi bleaching earth Karakteristik Fisik 1. Bentuk
Serbuk (powder)
2. Warna
Cream keputih-putihan
3. Ukuran Partikel
65% lolos ayakan 150 mesh dengan 5% lolos ayakan 200 mesh 0,5-0,8 g/ml
4. Bulk Density
Karakteristik Kimiawi 1. Kadar air
Maks. 5 %
2. pH Slurry
4-5
Sumber : Wahyudi (2000)
Menurut Wahyudi (2000), bleaching earth telah lama digunakan untuk proses adsorpsi komponen warna dalam minyak nabati. Pada awalnya bleaching earth digunakan dalam bentuk bentonit alami tanpa proses aktivasi. Bleaching earth dalam bentuk alami pada umumnya hanya mampu menyerap ion-ion bermuatan positif, baik ion anorganik maupun organik. Hal ini terjadi karena mineral montmorillonit yang terdapat dalam bentonit mempunyai lapisan silikat yang bermuatan negatif dengan lingkungan
permukaan
mineral
yang
bersifat
hidrofilik.
Untuk
meningkatkan kemampuan bentonit dalam menyerap senyawa-senyawa organik, terutama yang bersifat nonpolar, seperti senyawa-senyawa hidrokarbon aromatik, maka bentonit tersebut perlu diaktivasi terlebih dahulu. Ada dua cara aktivasi untuk meningkatkan daya serap bentonit: a.
Aktivasi dengan pemanasan Pengaktifan dengan pemanasan bertujuan agar air yang terikat dicelah-celah
molekul
dapat
teruap,
sehingga
porositasnya
meningkat. Proses ini sangat sesuai pada jenis bentonit Swelling. b.
Aktivasi dengan pengasaman. Pengaktifan
dengan
pengasaman
dapat
menaikkan
angka
perbandingan antara SiO2 : Al2O3. Proses ini dilakukan dengan cara melarutkan bentonit ke dalam asam (HCl atau H2SO4) pada
7
konsentrasi tertentu dengan waktu perendaman tertentu pula. Proses ini sangat sesuai untuk dilakukan untuk bentonit yang non swelling. Menurut Ketaren (1986), aktivasi menggunakan asam akan menimbulkan tiga macam reaksi sebagai berikut (Gambar 1): 1) mulamula asam akan melarutkan komponen Fe2O3, Al2O3, CaO, dan MgO yang mengisi permukaan adsorben. Hal ini mengakibatkan terbukanya pori-pori yang tertutup sehingga menambah luas permukaan adsorben, 2) selanjutnya ion-ion Ca++ dan Mg++ yang berada pada permukaan kristal adsorben secara berangsur-angsur diganti oleh ion H+ dari asam mineral. 3) sebagian ion H+ yang telah menggantikan ion Ca++ dan Mg++ akan ditukar oleh ion Al+++ yang telah larut dalam larutan asam. Daya pemucat bleaching earth disebabkan oleh ion Al3+ pada permukaan
partikel
penyerap
sehingga
dapat
lebih
efektif
mengabsorbsi zat warna.
Ca
2H+
++
+
Clay
4 H+
2H+
Mg++
Al+++
2H+ + Al+++ 2H+
+
Clay
Mg++
Clay
Ca++
+
Clay
3H+
H+
Gambar 1. Reaksi aktivasi bentonit dengan asam (Ketaren, 1986)
8
2.4. Proses Pemucatan CPO dengan menggunakan Bleaching Earth Proses pemucatan CPO dengan menggunakan adsorben berhubungan dengan daya adsorbsi. Daya adsorbsi disebabkan oleh karena adsorben memiliki pori dalam jumlah besar dan adsorbsi akan terjadi karena adanya perbedaan energi potensial antara absorben dengan zat yang akan diserap. Penyerapan terhadap warna akan lebih efektif jika adsorben tersebut memiliki bobot jenis yang rendah, ukuran partikel halus, dan pH adsorben mendekati netral. Adsorben yang digunakan untuk memucatkan minyak dapat berupa bleaching earth, arang, dan arang aktif (activated carbon) (Ketaren, 1986). Di Indonesia, industri minyak goreng umumnya menggunakan bleaching earth. Hal ini dikarenakan harga bleaching earth jauh lebih murah dibandingkan arang aktif. Sementara hasil penyerapan zat warna oleh bleaching earth dan arang aktif ini tidak jauh berbeda (Wahyudi, 2000). Bleaching earth merupakan pilihan yang sangat baik untuk pemucatan minyak nabati karena bleaching earth lebih efektif memisahkan warna hijau (klorofil) dan residu CPO yang tersimpan lebih sedikit jika dibandingkan dengan arang aktif (Ketaren, 1986).
2.5
Bleaching Earth Bekas (Spent Bleaching Earth/ SBE) Spent bleaching earth merupakan limbah padat yang dihasilkan dalam tahapan proses pemurnian minyak dalam industri minyak nabati (Chanrai et al., 2004). Spent bleaching earth yang berasal dari pemucatan CPO merupakan campuran antara bleaching earth dan senyawa organik yang berasal dari CPO. Senyawa organik yang berasal dari CPO sebagian besar merupakan senyawa trigliserida (fat) dan komponen organik dalam jumlah relatif kecil adalah digliserida, asam lemak bebas, protein, zat warna alami, dan wax. Selain itu dalam spent bleaching earth juga masih terkandung komponen asam fosfat. Asam fosfat ini berasal dari proses degumming yang terbawa oleh CPO ke unit bleaching (Wahyudi, 2000). Bleaching earth banyak digunakan pada industri minyak goreng. Menurut Capricon Indonesia Consult (2007), hingga akhir 2006 ada sekitar
9
65 buah industri minyak goreng di Indonesia dengan total kapasitas produksi sebesar 9,9 juta ton per tahun (Tabel 3).
Tabel 3. Jumlah industri minyak goreng dan kapasitas produksinya Provinsi
Jumlah Industri
Kapasitas Produksi
Minyak Goreng
(ton/tahun)
Sumatera Utara
19
2.713.477
Sumatera Barat
1
35
Riau
4
1.520.250
Sumatera Selatan
2
531
Lampung
5
417
DKI Jakarta
13
1.698.905
Jawa Barat
7
887.656
Banten
1
143.640
Jawa Tengah
2
290
Jawa Timur
8
1.554.600
Kalimantan Barat
3
110
Jumlah
65
9.901.528
Meningkatnya pertumbuhan produksi minyak goreng sawit Indonesia menyebabkan meningkatnya jumlah spent bleaching earth. Jumlah adsorben yang dibutuhkan untuk menghilangkan warna minyak tergantung dari jenis dan tipe warna dalam minyak dan sampai berapa jauh warna tersebut akan dihilangkan. Menurut Devine dan Williams (1961), konsentrasi bleaching earth yang biasa digunakan adalah 1-2% b/b minyak. Namun bila warna yang dikehendaki adalah putih atau kuning pucat, dibutuhkan bleaching earth sebesar 3-5% b/b minyak. Menurut
Wahyudi
(2000),
apabila
merujuk
pada
Peraturan
Pemerintah No.18 Tahun 1999 dalam Tabel 2, Daftar Limbah Spesifik, Kode limbah D-233, Jenis Industri Pengolahan Lemak Hewan/Nabati dan Derivatnya (Lampiran 13), maka spent bleaching earth dapat dikategorikan
10
sebagai B3. Alasan yang menjadi pertimbangan dalam Peraturan Pemerintah tersebut adalah karena mengandung residu minyak dan asam. Selama ini cara penanganan dan pemanfaatan SBE ini masih belum sesuai dengan peraturan tersebut. Pemanfaatan bahan tersebut sebagai tanah urugan oleh masyarakat merupakan salah satu contohnya. Pengawasan BAPEDAL terhadap penanganan SBE ini belum sungguhsungguh. Hal ini kemungkinan disebabkan belum adanya kasus luar biasa yang terjadi akibat pembuangan bahan ini. Sebagai limbah B3, spent bleaching earth harus dibuang pada tempat tertentu yang telah diakreditasi oleh pemerintah. Biaya pembuangan limbah B3 relatif mahal. Oleh karena itu, sebaiknya pengolahan limbah B3 tersebut sebaiknya dilakukan oleh industri yang menghasilkan limbah itu sendiri. Hal tersebut merupakan anjuran yang terdapat dalam Peraturan Penerintah No. 18 Tahun 1999. Pada PP No.18/99, limbah B3 masih dapat digunakan namun harus diolah sesuai dengan aturan yang ada. Upaya penanganan atau pemanfaatan limbah B3 dikenal dengan 3 R (Recycling, Reuse, dan Recovery). Upaya recycling adalah memanfaatkan bahan tersebut untuk kegiatan atau proses lain sedangkan reuse adalah pemanfaatan bahan tersebut untuk digunakan kembali dalam proses yang sama. Upaya recovery adalah pengambilan komponen tertentu dalam limbah B3 untuk dimanfaatkan dalam kegiatan lain. Upaya pemanfaatan tersebut diharapkan dapat meminimalisasi jumlah limbah dan mengurangi tingkat toksisitas serta mengurangi biaya produksi (Wahyudi, 2000). Selama ini ada beberapa upaya pemanfaatan spent bleaching earth yang banyak dilakukan: a.
Recycling sebagai tanah urugan Upaya pemanfaatan ini telah sudah sejak lama dilakukan di industri minyak goreng. Cara ini sebenarnya tidak menimbulkan dampak yang sangat merugikan jika ada dalam kuantitas sedikit. Namun cara ini harus dihindari karena dalam kuantitas banyak dapat menyebabkan kebakaran dan sumber polusi yang disebabkan oleh residu minyak (Kheang et al., 2006).
11
b. Recycling sebagai pupuk kelapa sawit. Pada industri minyak goreng yang dekat kebun kelapa sawit hal ini sering dilakukan. Namun sebelum digunakan, spent bleaching earth dinetralkan terlebih dahulu dengan kapur. Hasil pengapuran ini kemudian ditaburkan pada lahan perkebunan kelapa sawit (Wahyudi, 2000).
c.
Reuse spent bleaching earth sebagai adsorben kembali pada proses pemucatan CPO pada industri minyak goreng tersebut (Wahyudi, 2000); Dengan proses aktivasi diharapkan kemampuan penyerapan spent bleaching earth ini dapat meningkat kembali sehingga dapat digunakan kembali sebagai adsorben untuk proses refining CPO.
d. Recovery residu CPO dengan Porous Metal Filters menghasilkan minyak sawit kualitas rendah dan derivatnya (Chanrai et al., 2004); Adapun inovasi dengan Porous Metal Filters dibagi menjadi tiga tahapan yaitu 1) mencampurkan spent bleaching earth dengan pelarut sehingga membentuk adonan; 2) memisahkan padatan dan cairan dari bentuk adonan yang terbentuk pada tahap pertama menjadi fraksi padatan dan fraksi cairan dengan porous metal filters dengan beberapa kali ulangan; 3) ekstraksi minyak dari fraksi cairan yang terbentuk pada pemisahan tahap sebelumnya. Pada proses ini fraksi padatan hasil proses pemisahan pada tahap kedua disebut juga deoiled bleaching earth. Deolied bleaching earth merupakan spent bleaching earth dengan sedikit residu minyak yang sulit dipisahkan lagi dengan porous metal filters. Bahan ini dapat dijadikan bahan bakar boiler, dan hasil pembakarannya berupa abu dapat digunakan sebagai bahan campuran industri semen. Fraksi cairan kemudian diolah lebih lanjut dapat menghasilkan minyak sawit kualitas rendah atau derivatnya.
12
e.
Recovery residu CPO dengan solvent extraction dan supercriticalfluid extraction menghasilkan metil ester sebagai bahan baku biofuel (Kheang et al., 2006); Minyak hasil ekstraksi ini umumnya memiliki kualitas yang tidak layak untuk aplikasi pangan karena tingginya kandungan FFA (Free Fatty Acid) dan tingginya bilangan peroksida sehingga biasanya dikonversi menjadi metil ester untuk biofuel dan aplikasi non pangan lainnya. Persentase hasil dari residu minyak yang dapat dipisahkan dari limbah bleaching earth yang digunakan sebagai absorben pada minyak bisa mencapai 20-30% dengan menggunakan ekstraksi pelarut (solvent extraction) dan supercrtical-fluid extraction (Tabel 4).
Tabel 4. Karakteristik residu CPO dari spent bleaching earth Karakteristik
Solvent Extraction
Residu CPO
WAC
FFA (%)
Supercritical-fluid Extraction
NC
WAC
NC
11,5
12,6
11,5
12,6
3,1
3,4
2,8
2,2
Besi (ppm)
0,22
1,24
N.D
N.D
Tembaga (ppm)
0,32
0,38
N.D
N.D
Karotene (ppm)
3
6
7
8
Vitamin E (ppm)
0
0
0
38,8
Asam Miristat C14
1,1
1,0
1,2
1,3
Asam Palmitat C16
45,2
44,4
44,5
43,6
Asam Stearat C18
4,9
4,7
5,1
4,9
Asam Oleat C18
37,9
39,4
38,6
39,7
Asam Linoleat C18
10,9
10,5
10,6
10,5
30
21
27
20
Peroxide Value
Oil Recovery (%) Sumber : Kheang et al. (2006) Catatan : N.D WAC NC
= Not Detected = bleaching earth yang diaktivasi dengan pengasaman = netral bleaching earth.
13
2.6
Tempurung Kelapa Sawit (Elaeis guinensis) Menurut
Pusat Data dan Informasi Departemen Perindustrian
(2007), kelapa sawit termasuk tumbuhan pohon dan tingginya dapat mencapai 24 meter. Bunga dan buahnya berupa tandan serta bercabang banyak. Buahnya kecil dan apabila masak bewarna merah kehitaman. Buah kelapa sawit terdiri dari daging buah kelapa sawit, biji kelapa sawit, tempurung, dan serat. Daging buah kelapa sawit inilah yang diolah menjadi minyak kelapa sawit kasar (Crude Palm Oil/ CPO) sedangkan dari biji kelapa sawit diperoleh minyak inti sawit (Palm Kernel Oil/ PKO). Pemanfaatan tempurung biasanya untuk bahan bakar boiler dan arang, sedangkan serat banyak digunakan untuk industri kertas karena mengandung selulosa yang tinggi. Minyak kelapa sawit mentah banyak diolah menjadi bahan baku minyak goreng dan bahan baku margarin sedangkan minyak inti sawit menjadi bahan baku alkohol dan industri kosmetik . Komposisi rata-rata buah kelapa sawit yang matang dan segar dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi rata-rata buah kelapa sawit Bagian Buah
Jumlah (% b/b)
Minyak Sawit
29
Air
27
Ampas (Serat)
8
Tempurung
30
Inti
6 Tempurung kelapa sawit (TKS) di Indonesia merupakan limbah
biomassa yang potensial untuk dimanfaatkan. Sampai akhir 2005 luas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 5.597.157 ha. Dari data yang diketahui bahwa pada tahun 2005 di Indonesia terdapat 320 pabrik pengolahan CPO dengan total kapasitas produksi mencapai 13.520 ton TBS/jam, bahkan dalam beberapa tahun ke depan perkembangannya akan semakin pesat (Ditjen Perkebunan, 2006).
14
Menurut Nurhayati et al. (2005), jika diasumsikan sekitar 7% TBS merupakan limbah TKS berarti setiap jamnya mampu menghasilkan sekitar 946 ton limbah TKS. Lima puluh persen limbah yang berasal dari pabrik pengolahan CPO tersebut digunakan sebagai bahan bakar maka ada sekitar 473 ton TKS/jam yang masih berpotensi untuk dimanfaatkan daripada hanya menjadi bahan campuran pengeras jalan. Karakteristik tempurung kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakterisitik tempurung kelapa sawit Parameter
Nilai
Kadar Air (%)
25,5
Kadar Abu (%)
2,42
Kandungan Silika (%)
0,92
Kandungan Lignin (%)
50,03
Kandungan Selulosa (%)
65,45
Nilai Kalor (kal/gram)
4465
Sumber : Nurhayati et al. (2005)
Salah satu pemanfaatan limbah TKS yaitu penelitian Nurhayati et al. (2005) dengan penggunaan teknologi arang terpadu dengan asap cair, sehingga limbah TKS dapat menghasilkan rendeman arang TKS (23,92% b/b) dan rendemen cuka TKS (19,10% b/b). Pemanfaatan cuka kayu umumnya pada sektor pertanian antara lain dapat membuat tanaman sehat, mereduksi
jumlah
insektisida
dan
parasit
tanaman,
sedangkan
pencampurannya dengan nutrisi pupuk dapat membuat tanaman tumbuh lebih baik, sebagai growth promotor dan pupuk alam, dapat menggantikan pupuk kimia, mereduksi bau dari kompos dan pupuk kandang serta menyempurnakan kualitasnya. Pemakaian arang biasanya dapat digunakan sebagai bahan bakar rumah tangga ataupun industri pengolahan hasil pertanian, sebagai sumber bahan baku arang aktif, bahan baku briket, dan industri kimia. Karakteristik mutu arang TKS dapat dilihat pada Tabel 7.
15
Tabel 7. Karakteristik arang tempurung kelapa sawit Parameter
Nilai
SNI*
Kadar Air (%)
3,90
6
Kadar Abu (%)
4,20
4
Kadar Zat Mudah Menguap (%)
27,99
30
Kadar Karbon Terikat(%)
67,82
-
Nilai Kalor (kal/gr)
4947
-
Sumber
2.7
: Nurhayati et al. (2005) *Standar Nasional Indonesia (1989)
Pembuatan Briket Briket merupakan bahan bakar padat dengan dimensi tertentu yang seragam, diperoleh dari hasil pengempaan bahan berbentuk curah, serbuk, berukuran relatif kecil atau tidak beraturan karena sulit digunakan sebagai bahan bakar dalam bentuk aslinya (Agustina, 2007). Ada beberapa tahap penting yang perlu dilalui di dalam pembuatan briket yaitu perlakuan terhadap bahan baku (sortasi, pengeringan, karbonisasi/tidak, pengecilan ukuran), pencampuran serbuk arang dan perekat, pengempaan, dan pengeringan.
2.7.1 Perlakukan Terhadap Bahan Baku Sebelum
dilakukan
pengempaan,
terlebih
dahulu
perlu
dilakukan perlakuan terhadap bahan baku. Perlakukan tersebut tergantung pada keadaan dan jenis bahan yang akan diproses. Perlakuan terhadap bahan baku sebelum pengempaan antara lain adalah sortasi, penggilingan, dan pengeringan. Menurut Abdullah et al. (1998) masing-masing perlakuan dijelaskan sebagai berikut: a.
Sortasi; sortasi perlu dilakukan untuk memisahkan benda dari benda asing seperti metal, dan bahan pengotor lainnya.
b. Pengeringan bahan baku; pengeringan dimaksudkan untuk mengurangi kadar air bahan yang terlalu tinggi, c.
Pirolisis; merupakan penguraian biomassa (lysis) karena panas (pyro) di atas temperatur 150°C-450°C. Hal ini bertujuan untuk
16
mengurangi asap pembakaran, mempermudah penyimpanan, memudahkan proses pengempaan sehingga menghasilkan briket yang utuh (tidak mudah terpisah), serta meningkatkan kadar karbon karena semakin besar kandungan karbon dalam suatu bahan, semakin baik fungsi bahan tersebut sebagai bahan bakar karena akan menghasilkan energi yang lebih besar. Djatmiko et al. (1976) menyatakan bahwa secara garis besar pengarangan dibagi menjadi empat tahap, yaitu: 1) Pada permulaan pemanasan, air dalam bahan menguap. Kemudian dilanjutkan dengan penguraian selulosa sampai suhu 260°C. Destilat yang terjadi sebagian besar mengandung asam-asam dan sedikit methanol. Asam cuka dan asam-asam lainnya terutama dihasilkan pada suhu 200-260°C. 2) Pada suhu 260-310°C sebagian besar selulosa terurai secara intesif. Pada tingkatan ini banyak dihasilkan cairan piroglinat, gas serta sedikit ter yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet. Cairan piroglinat ini berwarna kecoklatan dan mengandung persenyawaan organik yang mempunyai titik didih rendah seperti cuka, metanol, dan ter terlarut. 3) Pada suhu 310-500°C lignin terurai dan dihasilkan lebih banyak ter, sedangkan cairan piroglinat dan gas menurun. Ter tersebut sebagian besar berasal dari permunian lignin. Dengan meningkatnya suhu dan lama waktu, maka gas CO2 semakin berkurang sedangkan gas CO, CH4 dan H2 semakin bertambah. 4) Pada suhu 500-1000°C diperoleh gas yang tidak dapat diembunkan terutama dari gas hidrogen. Tahap ini merupakan proses pemurnian arang.
17
d. Penggilingan; Penggilingan dilakukan apabila ukuran bahan tidak memungkinkan untuk dikempa dan perlu direduksi ukurannya. Penggillingan juga bertujuan untuk menyeragamkan ukuran bahan sehingga memudahkan proses pengempaan. Sebaiknya partikel arang mempunyai ukuran 40-60 mesh (Suryani, 1986). Perbedaan ukuran serbuk arang berpengaruh terhadap keteguhan tekan dan kerapatan arang briket, semakin halus ukuran partikel makin tinggi pula kerapatan dan keteguhan tekan briket yang dihasillkan (Nurhayati, 1983).
2.7.2 Pencampuran dengan perekat Tujuan pencampuran serbuk arang dengan perekat adalah untuk memberikan lapisan tipis dari perekat pada permukaan partikel arang. Ditinjau dari macam bahan perekat yang dipergunakan menurut Hartoyo et al. (1978), ada dua golongan perekat, yaitu perekat yang berasap (tar, pitch, clay, dan molase) dan perekat yang kurang berasap (pati, dekstrin, dan tepung beras). Pemakaian tar, pitch, clay dan molase sebagai bahan perekat menghasilkan briket yang berkekuatan tinggi tetapi mengeluarkan banyak asap jika dibakar. Asap yang terjadi pada saat pembakaran, disebabkan adanya komponen yang mudah menguap seperti air, bahan organik dan lain-lain. Bahan perekat pati, dekstrin, dan tepung beras akan menghasilkan briket yang tidak berasap dan tahan lama tetapi nilai kalornya tidak setinggi arang kayu. Bahan perekat dari tumbuh-tumbuhan seperti pati (tapioka) memiliki keuntungan dimana jumlah perekat yang dibutuhkan untuk jenis ini jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan bahan perekat hidrokarbon. Kelemahannya adalah briket yang dihasilkan kurang tahan terhadap kelembapan. Hal ini disebabkan tapioka memiliki sifat dapat menyerap air dari udara.
18
Achmad (1991) menyatakan bahwa untuk setiap 1000 gram serbuk arang cukup dicampurkan dengan perekat yang terdiri dari 30 gram tapioka (3% dari berat serbuk arang) dan air sebanyak satu liter. Kadar perekat tidak boleh terlalu tinggi karena dapat mengakibatkan penurunan mutu briket yang sering menimbulkan banyak asap. Kadar perekat yang digunakan umumnya tidak lebih dari 5 %.
2.7.3 Pengempaan atau Densifikasi Suryani
(1986)
menyatakan
tekanan
pengempaan
pada
pembuatan briket arang dilakukan untuk menciptakan ikatan antara permukaan bahan perekat dan bahan yang direkatkan. Disamping itu tekanan diperlukan supaya perekat dapat menyebar secara sempurna ke dalam celah-celah dan keseluruhan permukaan arang. Hartoyo et al. (1978) menyatakan bahwa pada umumnya semakin tinggi tekanan yang diberikan akan memberikan kecenderungan menghasilkan arang briket dengan kerapatan dan keteguhan tekan yang semakin tinggi pula. Pada proses pengempaan, besarnya tekanan per satuan luas yang dikenakan
terhadap
bahan
yang
didensifikasi
penting
untuk
diperhatikan. Besarnya tekanan pengempaan akan berpengaruh terhadap kerapatan dan penambahan tekanan melebihi batas tertentu akan meyebabkan kekuatan briket menurun kembali karena bahan perekat itu terbuang keluar.
2.7.4 Pengeringan Briket Briket yang dihasilkan setelah pengempaan masih mengandung air yang cukup tinggi (sekitar 50%). Oleh sebab itu perlu dilakukan pengeringan yang dapat dilakukan dengan berbagai macam alat pengering seperti klin, oven, atau penjemuran dengan menggunakan sinar matahari. Suhu dan waktu penjemuran yang digunakan dalam pembuatan briket tergantung dari jumlah kadar air campuran dan macam pengering. Suhu pengeringan yang umum dilakukan adalah 60°C selama 24 jam dengan menggunakan oven (Suryani, 1986).
19
2.8 Mutu Briket Sampai saat ini belum ada standar mutu briket yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia (Standar Nasional Indonesia), tetapi sifat fisik dan kimia briket arang buatan Jepang, Amerika, dan Inggris dapat dijadikan sebagai acuan (Tabel 8). Kualitas briket arang umumnya ditentukan berdasarkan sifat fisik dan kimianya antara lain ditentukan oleh kadar air, kadar abu kadar zat mudah menguap, kadar karbon terikat (ASTM-1959), kerapatan, keteguhan tekan (ASTM-1970), dan nilai kalor (ASTM-1982).
Tabel 8. Sifat briket arang buatan Jepang, Amerika, dan Inggris No
Sifat Briket
Jepang
Amerika
Inggris
1.
Kadar air (%)
Maks 6
Maks 6
Maks 4
2.
Kadar abu (%)
Maks 6
Maks 13
Maks 9
3.
Kadar zat mudah
Maks 30
Maks 19
Maks 16
Min 60
Min 58
Min 75
-
-
Min 1
-
-
Min 13
Min 6000
Min 6500
Min 7300
menguap (%) 4. 5.
Kadar karbon terikat (%) 3
Kerapatan (gram/cm ) 2
6.
Keteguhan tekan (kg/cm )
7.
Nilai Kalor (kal/gram)
Sumber: Pari et al. (1990) Salah satu persyaratan briket yang baik adalah memiliki nilai kalor sepadan dengan bahan bakar lain. Nilai kalor unit dari berbagai bahan bakar dapat dilihat pada Lampiran 1 dan nilai kalor beberapa jenis briket biomassa pada Lampiran 2.
20
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Bahan dan Alat 3.1.1 Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah spent bleaching earth dari proses pemurnian CPO yang diperoleh dari PT. Panca Nabati Prakarsa, Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta. Tempurung kelapa sawit yang digunakan berasal dari PTPN VIII Kertajaya Malingping, Kabupaten Lebak, Banten. Sebagai bahan perekat digunakan pati tapioka yang diperoleh dari pasar daerah Bogor. 3.1.2. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah retort, penggiling, saringan 40 mesh, tanur listrik, bomb calorimeter, sohxlet, cawan kaca, alat pengempa briket manual, desikator, cawan porselin, timbangan, neraca analitik, tungku tanah liat, panci, oven, pengukur, stopwatch, alat penguji keteguhan tekan, dan pengaduk.
3.2
Tempat Penelitian dan Waktu Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Kayu dan Energi Biomassa, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Penelitian ini berlangsung pada Mei hingga September 2009.
3.3
Metode Penelitian 3.3.1 Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan analisis sifat fisik dan kimia dari spent bleaching earth (Gambar 2) untuk mengetahui kelayakan bahan tersebut untuk dijadikan bahan baku briket. Analisa yang dilakukan meliputi kadar minyak, kadar air, kadar zat mudah menguap, kadar abu, kadar karbon terikat (Lampiran 4). Parameter mutu ini mengacu kepada parameter briket pada umumnya.
21
Spent Bleaching Earth
Dimasukan ke dalam cawan untuk dianalisa
Kadar minyak
Kadar air
Kadar abu
Kadar zat mudah menguap
Kadar karbon terikat
Nilai kalor
Gambar 2. Diagram alir analisa karakteristik spent bleaching earth Spent bleaching earth merupakan bahan utama dalam penelitian ini yang berbentuk sangat liat dan ‘lunak’ sehingga diberikan pengujian pengaruh perekat terhadap pengempaan briket (Gambar 3). Perlakukan yang diberikan berupa pengempaan dengan perekat 3% dan pengempaan tanpa perekat. Setelah itu akan dilihat penampilan secara visual briket yang dihasilkan.
Spent Bleaching Earth
Perekat tapioka 3%
Tanpa perekat
Kempa menjadi briket
Penilaian penampakan
Gambar 3. Diagram alir pembuatan briket dengan/tanpa Perekat 22
Penelitian pendahuluan berikutnya adalah pengujian untuk melihat pengaruh penambahan arang terhadap mutu pembakaran yang dihasilkan (Gambar 4). Pengujian ini didasarkan karena arang memiliki kemampuan mempertahankan nyala api, sehingga dengan penambahan arang ini diharapkan dapat menyebabkan kualitas waktu menyala spent bleaching earth lebih baik.
Spent Bleaching Earth
Tanpa Penambahan Arang
Penambahan Arang 50 %
Kempa menjadi briket
Uji Pembakaran Briket
Gambar 4. Diagram alir pembakaran briket dengan pengaruh penambahan arang
3.3.2 Penelitian Utama Setelah hasil penelitian pendahuluan menunjukkan hasil bahwa spent bleaching earth dapat dijadikan bahan baku briket maka dilakukan penelitian utama yaitu pembuatan briket (Gambar 5). Awalnya spent bleaching earth dikeringkan dengan penjemuran di bawah sinar matahari untuk mengurangi kadar air serta mencegah timbulnya bau tengik dan penjamuran. Dilakukan juga sortasi awal agar tidak mengandung bahanbahan yang mengganggu proses pengempaan.
23
Pada bahan tambahan yaitu tempurung kelapa sawit dilakukan pengarangan dengan menggunakan retort. Sebelum pengarangan, dilakukan persiapan pada tempurung kelapa sawit untuk mencegah adanya pasir dan batu-batuan dalam bahan agar tidak mengganngu kerja retort pada proses pengarangan berlangsung.
Selain
itu
tempurung
kelapa
sawit
juga
dikeringkan terlebih dahulu untuk mengurangi kadar air dan mempercepat pengarangan. Suhu pengararangan dimulai dari suhu kamar hingga mencapai 500°C dengan waktu 5 jam untuk sekali pengarangan. Arang tempurung kelapa sawit hasil pengarangan digiling untuk mengecilkan ukurannya dan disaring hingga mencapai 40 mesh. Kemudian dilakukan pencampuran arang tempurung kelapa sawit dengan spent bleaching earth sesuai dengan komposisi briket yang diinginkan. Campuran ini kemudian diberi perekat yang berasal dari pati tapioka. Setelah bahanbahan tercampur rata, maka campuran dapat dikempa dengan alat pengempa briket manual untuk dicetak menjadi briketbriket. Briket yang telah siap dicetak kemudian dikeringkan ke dalam oven dengan suhu 60°C selama 24 jam atau sampai beratnya konstan. Kemudian dilakukan uji kualitas briket campuran spent bleaching earth dan arang tempurung kelapa sawit. Pengujian mutu briket yang dilakukan meliputi kadar air, kadar zat mudah menguap, kadar abu, kadar karbon terikat, kerapatan, keteguhan tekan, nilai kalor (Lampiran 4).
24
Pati Tapioka
Tempurung Kelapa Sawit
Pemanasan
Pengarangan
Perekat
Spent Bleaching Earth
Wood Vinegar
Arang
Pencampuran
Pengempaan
Pengeringan
Uji Pembakaran
BRIKET
Kadar Air
Kadar abu
Kadar zat mudah menguap
Kadar karbon terikat
Kerapatan
Keteguhan Tekan
Nilai Kalor
Gambar 5. Diagram alir pembuatan briket spent bleaching earth dengan campuran arang tempurung kelapa sawit
25
3.4
Perlakuan Percobaan Perlakuan dalam penelitian ini terdiri dari dua faktor, yaitu konsentrasi perekat tapioka (A) yang terdiri dari tiga taraf yaitu konsentrasi perekat 2% (A1), 3% (A2), 4% (A3); dan konsentrasi arang tempurung kelapa sawit (B) yang terdiri dari tiga taraf yaitu konsentrasi campuran 25 % (B1), 50% (B2), 75% (B3). Kombinasi yang dibuat adalah 9 kombinasi yaitu A1B1, A1B2, A1B3, A2B1, A2B2, A2B3, A3B1, A3B2, dan A3B3.
3.5
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan untuk menentukan kombinasi konsentrasi terbaik perekat dan konsentrasi arang tempurung kelapa sawit dalam pembuatan briket ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor. Model matematis rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Yijk =
+ αi + βj + (α β)ij +
ijk
dimana: Yijk
: nilai pengamatan pada ulangan ke-k yang memperoleh kombinasi
perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor konsentrasi
perekat dan taraf ke-j dari faktor konsentrasi arang tempurung kelapa sawit) : nilai tengah (rata-rata) αi
: pengaruh taraf ke-i dari perlakuan faktor konsentrasi perekat.
βj
: pengaruh taraf ke-j dari perlakuan faktor konsentrasi arang tempurung kelapa sawit.
(α β)ij
: pengaruh interaksi taraf ke-i faktor konsentrasi perekat dan dan taraf ke-j dari perlakuan faktor konsentrasi arang tempurung kelapa sawit.
ijk
: pengaruh galat dari percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakukan ij.
26
3.6
Uji Aplikasi Mendidihkan Air Pada pengujian pembakaran disiapkan sekitar 250 gram briket kombinasi terbaik, sebagai pembanding disiapkan juga 250 gram briket dengan 100 % spent bleaching earth, briket dengan 100 % arang tempurung kelapa sawit, serta briket komersial. Hal yang diamati pada pengujian ini adalah untuk mengetahui pengaruh spent bleaching earth dan arang tempurung kelapa sawit terhadap kualitas pembakaran briket. selain itu, disiapkan tungku tanah liat, pemancing, panci, dan beberapa liter air yang akan dimasak dengan briket. Bagan alir uji pembakaran briket dapat dilihat pada Gambar 8. Uji pembakaran yang dilakukan pada penelitian pendahuluan untuk mengetahui mudah atau tidaknya sampel terbakar sedangkan uji pembakaran pada penelitian utama untuk melihat kualitas pembakaran briket meliputi lama briket menyala, laju pembakaran, lama mendidihkan air, laju mendidihkan air, warna nyala api, serta ada/tidaknya asap dan bau pada pembakaran. Briket sebanyak 250 gram
Pemancing
Letakkan briket dalam tungku dan nyalakan dengan bantuan pemancing
Masukan air per liter pada panci, lalu didihkan air dengan menggunakan briket
masih menyala
tidak Abu Briket
Catat: - Lama menyala briket - Waktu mulai
Catat : - Lama mendidihkan per liter briket - Amati warna bara, asap, bau - Suhu air mendidih d ditetapkan 100 Catat: - Bobot Akhir - Waktu habis menyala
Gambar 6. Diagram alir uji pembakaran briket kombinasi terbaik 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Penelitian Pendahuluan Kelayakan briket dalam penelitian ini adalah sebagai bahan bakar alternatif khususnya bahan bakar alternatif industri. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pengujian karakteristik spent bleaching earth (SBE) yang meliputi kadar minyak, kadar air, kadar zat mudah menguap, kadar abu, kadar karbon terikat, serta nilai kalor. Parameter yang diujikan ini didasarkan pada parameter mutu briket pada umumnya. Selain itu dilakukan uji penampilan fisik dengan membuat briket sederhana kemudian diamati bentuk hasil pengempaan dengan tujuan untuk memperkirakan apakah briket yang dihasilkan teguh, dan layak dalam penanganan. Pada penelitian pendahuluan juga dilakukan uji pembakaran untuk mengetahui apakah bahan baku SBE dapat terbakar. Gambar SBE dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Spent Bleaching Earth
4.1.1 Analisa Karakteristik Spent Bleaching Earth (SBE) Beberapa parameter yang dianalisis pada sampel ini adalah kadar minyak, kadar air, kadar zat mudah menguap, kadar abu, kadar karbon terikat, dan nilai kalor bahan. Hasil pengujian karakteristik SBE dapat dilihat pada Tabel 9.
28
Tabel 9. Hasil uji karakteristik spent bleaching earth Parameter
Nilai
SNI*
26,325
‐
3,727
Maks. 6
Kadar Zat Mudah Menguap (%)
31,230
Maks. 4
Kadar Abu (%)
68,416
Maks. 30
0,354
‐
6795,976
‐
Kadar Minyak (%) Kadar Air (%)
Kadar Karbon Terikat (%) Nilai Kalor (kal/gr) *Standar Nasional Indonesia (1989)
Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa kadar minyak dalam sampel SBE mencapai 26,325% bobot CPO. Hal ini sesuai dengan penelitian Kheang et al. (2006) yang menyatakan bahwa residu CPO dalam SBE mencapai 20-30% bobot CPO. Kadar minyak yang diukur pada sampel ini adalah residu CPO sisa proses pemucatan CPO. Pengukuran kadar minyak ini dilakukan dengan metode soxhlet (Gambar 8). Residu CPO ini yang menyebabkan SBE memiliki nilai kalor dan kadar zat mudah menguap yang tinggi.
Gambar 8. Pengujian kadar minyak SBE
29
Untuk menganalisis parameter kadar air, kadar zat mudah menguap, dan kadar abu dapat mengacu kepada standar arang yang selama ini merupakan sering digunakan sebagai bahan baku briket. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa kadar air SBE memeuhi standar bahan baku arang yang dengan batas maksimum 6%. Hal ini dikarenakan kandungan utama SBE merupakan silika. Silika memiliki kemampuan menyerap air yang kecil (Hendra dan Winarni, 2003). Namun kadar zat mudah menguap SBE sebesar 31,230% lebih tinggi daripada standar baku arang yang hanya memperbolehkan maksimal 4% kadar zat mudah menguap. Semakin tinggi kadar zat mudah menguap yang tinggi maka semakin tinggi asap yang dihasilkan pada saat pembakaran. Kadar zat mudah menguap merupakan hasil dari penguapan bahan-bahan lain selain air karena air menguap pada suhu lebih dari 1000C. Tingginya kadar zat mudah menguap pada bahan dikarenakan karena menguapnya sekitar 26,325% residu CPO yang terkandung dalam bahan sehingga semakin banyak residu CPO yang tersimpan dalam bahan maka akan meningkatkan kadar zat mudah menguap. Pada parameter kadar abu, SBE memiliki kadar abu yang cukup tinggi yaitu mencapai 68,416% jika dibandingkan dengan standar bahan baku briket (arang) maksimal 30%. Hal ini dipengaruhi karena SBE merupakan mineral monmorilonit yang mengandung silika yang tinggi sehingga sangat sulit dibakar. Kadar zat mudah menguap dan kadar abu merupakan parameter penting untuk menentukan aplikasi suatu briket. Jika ingin aplikasi briket untuk bahan bakar alternatif rumah tangga maka briket yang sesuai adalah briket yang memiliki kadar abu dan kadar zat mudah menguap yang rendah. Semakin tinggi kadar abu yang dihasilkan maka dapat menyulitkan masyarakat dalam membersihkan abu sisa pembakaran, begitupula jika semakin tinggi kadar zat mudah menguap yang dihasilkan maka semakin banyak pula asap yang dihasilkan, sehingga mencemari lingkungan sekitar.
30
SBE memiliki kadar karbon terikat yang rendah jika dibandingkan dengan briket Indonesia. Umumnya briket yang ada di Indonesia adalah briket arang kayu yang memiliki karbon yang tinggi hingga mencapai 75-80% (Suryani, 1986). Namun SBE yang digunakan sebagai bahan baku dalam penelitian ini merupakan lempung yang mengandung mineral-mineral monmorilonit sehingga sumber karbon yang ada hanya berasal dari residu CPO. Bahan SBE ini memiliki nilai kalor yang tinggi yaitu 6796 kal/gram. Pada Lampiran 2 ditunjukkan bahwa nilai kalor briket ini lebih tinggi daripada nilai kalor kayu sebesar 4765 kal/gram. Namun jika dibandingkan dengan batubara nilai kalor SBE ini lebih rendah. Berdasarkan parameter hasil analisa pendahuluan karakteristik SBE, maka SBE ini layak untuk dijadikan bahan baku briket dilihat dari segi kadar air, dan tingginya nilai kalor. Hanya saja aplikasinya harus diarahkan untuk bahan bakar industri karena memiliki kadar zat mudah menguap dan kadar abu yang tinggi sehingga tidak sesuai untuk
aplikasi
rumah
tangga.
Industri
dewasa
ini,
sangat
membutuhkan alternatif bahan bakar industri yang ekonomis dan memiliki nilai kalor yang tinggi.
4.1.2 Pengaruh Perekat terhadap Pengempaan Briket Umumnya dalam pembuatan briket membutuhkan perekat untuk memudahkan pengempaan. Biasanya perekat yang digunakan sekitar 3-5%. Namun melihat kondisi bahan yang lunak maka dilakukan pengujian pengempaan briket tanpa perekat. Kadar perekat tidak boleh terlalu tinggi karena dapat mengakibatkan penurunan mutu briket dan menimbulkan banyak asap.
31
Tabel 10. Pengaruh perekat terhadap pengempaan briket Parameter
Perekat 3 %
Tanpa Perekat
Bentuk
seperti tabung
seperempat /separuh tabung
Kekerasan
sangat liat dan lunak
sedikit liat dan lunak
Pengempaan
sulit dilepaskan
agak mudah dilepaskan
Dari hasil pengujian pengempaan briket dengan perekat 3% atau tanpa perekat (Tabel 10), diperoleh hasil bahwa briket SBE dengan perekat 3% memiliki bentuk yang lebih rapih sesuai cetakan yang digunakan (dalam penelitian ini digunakan cetakan briket berbentuk tabung dengan diameter sekitar 3,7 cm dan tinggi mencapai 2,7 cm). Namun briket SBE tanpa perekat memiliki bentuk yang tidak teguh dan pecah ini dikarenakan tidak adanya bahan yang menyatukan partikel-partikel SBE tersebut. Jika dibandingkan dari segi kekerasan, briket SBE dengan penambahan perekat sangat liat dan lunak. Hal ini dipengaruhi karena kondisi
bahan
yang
merupakan
lempung
sehingga
dengan
penambahan perekat briket SBE yang terbentuk menjadi sangat lunak. Menurut Suryani (1986), lempung (clay) juga merupakan salah satu jenis perekat. Selain itu residu CPO yang terkandung didalamnya mempengaruhi
bahan
semakin
lunak.
Dari
segi
kemudahan
pengempaan, briket dengan penambahan perekat 3% sulit dilepaskan dari cetakan karena SBE yang diberi perekat semakin liat, sehingga pada saat diberikan tekanan pengempaan bahan sulit dilepaskan dari cetakan. Berdasarkan parameter bentuk, briket dengan perekat memiliki bentuk yang lebih utuh. Namun jika dibandingkan dari parameter kekerasan dan pengempaan, briket dengan penambahan perekat memiliki kerugian karena semakin lembeknya bahan sehingga mempengaruhi pada saat pengempaan bahan sulit dilepaskan dari cetakan. Dari pengujian pengaruh perekat terhadap pengempaan maka disimpulkan bahwa dalam pembuatan briket bahan SBE ini sebaiknya
32
tetap menggunakan perekat namun konsentrasi yang digunakan dicoba lebih rendah dari 3%. Selain itu, dapat juga diberikan bahan campuran lain agar dapat mengatasi sifat SBE yang sangat liat ini.
4.1.3 Pengaruh Penambahan Arang terhadap Pembakaran Briket Untuk menjadi salah satu bahan bakar alternatif maka aspek yang
penting
dalam
proses
pembuatan
briket
SBE
adalah
dapat/tidaknya SBE tersebut terbakar. Salah satu cara untuk mempertahankan lama menyala briket ini digunakan campuran arang yang memang sudah sering digunakan sebagai bahan baku briket arang. Arang yang dipilih adalah arang kayu biasa yang banyak ditemukan di pasar. Selain itu, ada banyak cara untuk membuat briket terbakar diantaranya menggunakan perendaman dalam minyak tanah, ataupun menggunakan pemancing. Pemancing yang digunakan bisa dengan menggunakan spritus, bensin, minyak tanah ataupun campuran biomassa dengan minyak tanah. Pada penelitian ini digunakan campuran serbuk gergaji dengan minyak tanah sebagai pemancing.
Tabel 11. Pengaruh penambahan arang terhadap pembakaran briket Parameter
Tanpa Arang
Arang 50%
sangat sulit terbakar
lebih mudah terbakar
Lama menyala
sangat singkat
lebih lama
Asap pembakaran
Banyak
Sedikit
Nyala api
seperti 'lilin'
seperti 'bara'
Sisa Abu
Banyak
Sedikit
Kemudahan pembakaran
Berdasarkan Tabel 11, dilihat bahwa briket SBE tanpa arang sangat sulit terbakar dan dalam pelaksanaanya pemancing yang digunakan sangat banyak. Hal ini dikarenakan karena kandungan karbon terikat dalam bahan sangat kecil sehingga memerlukan waktu
33
yang lama untuk terbakar. Setelah briket SBE tanpa arang ini mulai menyala, nyala api briket berbentuk ‘lilin’. Namun nyala api ini berlangsung sangat singkat sejalan dengan residu CPO dalam bahan. Jika dibandingkan dengan briket SBE dengan campuran arang, briket SBE dengan campuran arang lebih mudah menyala. Hal ini dipengaruhi karena karbon-karbon dalam arang membantu proses pembakaran. Perambatan nyala api ini berlangsung perlahan dan bertahan lebih lama selama karbon yang tersedia masih banyak. Dengan penambahan arang kandungan karbon berasal dari dua bahan yaitu karbon arang, dan karbon yang tersimpan dalam bentuk residu CPO dalam SBE. Semakin banyaknya kandungan karbon yang dimiliki suatu bahan maka semakin banyak karbon yang diubah menjadi energi. Inilah yang menyebabkan briket dengan penambahan arang lebih mudah menyala dan lebih lama menyala jika dibandingkan dengan briket SBE tanpa arang. Asap pembakaran yang dihasilkan pada pembakaran briket SBE tanpa arang lebih banyak daripada briket SBE dengan penambahan arang. Asap pembakaran ini diakibatkan kadar air dan kadar zat mudah menguap dalam bahan. Semakin banyak SBE yang digunakan maka semakin banyak pula asap pembakaran yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 9, yang menunjukkan bahwa kadar zat mudah menguap SBE sebesar 31,230% dan kadar zat mudah menguap arang maksimal 4%. Oleh karena itu, semakin banyak residu CPO dalam bahan maka semakin banyak asap pembakaran yang dihasilkan. Sisa abu yang dihasilkan dalam pembakaran briket SBE lebih banyak daripada abu yang dihasilkan dari pembakaran briket dengan campuran arang. Abu yang dihasilkan pada pembakaran briket SBE tanpa arang ini dipengaruhi kandungan mineral SBE yang tinggi seperti silika, sehingga semakin banyak kandungan SBE maka semakin banyak kandungan silika sehingga kadar abu yang dihasilkan juga banyak.
34
4.2
Penelitian Utama Bahan baku pencampur yang dipilih adalah arang tempurung kelapa sawit (TKS). Alasan pemilihan tempurung kelapa sawit sebagai bahan campuran dalam pembuatan briket ini adalah karena SBE dan TKS masih berada dalam satu lini produksi pengolahan kelapa sawit. Alasan berikutnya adalah belum optimalnya pemanfaatan TKS, hanya 50% yang dipakai sebagai bahan bakar boiler sedangkan sisanya digunakan sebagai campuran pengeras jalan atau hanya dibakar. Selain itu, TKS juga memiliki kualitas bahan baku yang baik. Menurut penelitian Nurhayati et al. (2005) arang TKS memiliki nilai kalor yang tinggi yaitu 6001-6905 kal/gram. Nilai kalor ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tandan kelapa sawit yang memiliki nilai kalor sebesar 5457-5789 kal/gram (Lusia, 2008). TKS juga memiliki kadar abu dan kadar zat mudah menguap yang rendah namun memiliki kadar karbon terikat yang tinggi. Umumnya briket mengalami proses pengarangan (karbonisasi) kecuali beberapa briket tertentu seperti briket batubara, dan briket yang berasal dari bungkil biji jarak pagar yang ingin dipertahankan potensi minyak jaraknya seperti penelitian terdahulu oleh Wahyuni (2008). Mengacu pada penelitian Wahyuni
(2008)
yang
tidak
melakukan
pengarangan
karena
mempertahankan potensi minyak dalam bahan, maka pada penelitian ini juga tidak dilakukan pengarangan pada SBE. Namun, pengarangan hanya dilakukan pada tempurung kelapa sawit. Hal ini bertujuan untuk menurunkan kadar air TKS, mengurangi asap pembakaran, memudahkan proses pengempaan, serta menguraikan lignin dan selulosa pada TKS sehingga meningkatkan kandungan karbon dalam suatu bahan. Perbedaan penampakan TKS dengan arang TKS yang mengalami pirolisis dapat dilihat pada Gambar 9.
35
(a) Tempurung kelapa sawit
(b) Arang TKS
Gambar 9. Pirolisis tempurung kelapa sawit (TKS)
Pada Gambar 9, terlihat terjadi perubahan penampakan fisik antara TKS dengan arang TKS yang telah mengalami pirolisis. Pirolisis ini dilakukan hingga suhu mencapai 500 . Proses yang terjadi berupa penguapan air dan penguraian selulosa hingga pada suhu 260 . Setelah itu dilanjutkan dengan penguraian selulosa lebih intesif hingga mencapai suhu 310 . Kemudian proses dilanjutkan dengan penguraian lignin hingga mencapai suhu sekitar 510
(Djatmiko et al.,1976). Jika menggunakan
teknologi pengarangan terpadu seperti pada penelitian Nurhayati et al. (2005) maka menghasilkan cuka kayu/wood vinegar. Pada proses pengarangan TKS dengan 12 kg arang TKS, cuka kayu yang dihasilkan sekitar 10 liter pada suhu 500 . Dengan dihasilkannya arang TKS dan cuka kayu menunjukkan bahwa limbah TKS dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga meningkatkan nilai tambah TKS. Ada dua golongan perekat yaitu perekat yang berasap (tar, pitch, dan molase) dan perekat yang kurang berasap (pati, dekstrin, dan tepung beras). Dipilihnya pati tapioka dalam proses pembuatan briket ini didasarkan dari beberapa pertimbangan yaitu 1) pemakaian bahan perekat pati, dekstrin, dan tepung beras akan menghasilkan briket yang tidak berasap sedangkan tar, pitch, dan molase menghasilkan briket dengan banyak asap; 2) perekat pati 36
menghasilkan briket dengan kerapatan dan kadar abu yang lebih tinggi daripada perekat seperti molase; 3) pati tapioka ketersediaannya cukup banyak, dan jika diarahkan untuk kebutuhan produksi skala pabrik maka dapat membantu sektor industri tapioka yang umumnya masih banyak merupakan industri rumah tangga; 4) selain itu perekat tapioka lebih murah, dan lebih aman dalam penggunaannya jika dibandingkan dengan perekat kimiawi lainnya. Pada penentuan taraf konsentrasi perekat yang dipakai pada penelitian ini, mengacu pada penelitian Achmad (1991) yang menyatakan kadar perekat yang digunakan umumnya tidak lebih dari 5%. Dipilihnya taraf 2% sebagai taraf terendah, karena berdasarkan penelitian pendahuluan mengenai pengaruh perekat terhadap pengempaan diperoleh hasil bahwa dengan perekat 3% menghasilkan briket yang lembek serta menyulitkan dalam pengempaan. Dalam penentuan taraf konsentrasi arang tempurung kelapa sawit pada penelitian ini, mengacu kepada penelitian pendahuluan mengenai pengaruh penambahan arang terhadap kualitas pembakaran. Berdasarkan penelitian pendahuluan diperoleh hasil bahwa briket dengan penambahan arang 50% lebih mudah terbakar, waktu menyala lebih lama, asap dan abu yang dihasilkan juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan briket SBE tanpa arang.
4.2.1 Mutu Briket Hasil Penelitian Utama Tabel 12 terlihat parameter-parameter mutu briket hasil penelitian dari 9 kombinasi briket faktor konsentrasi perekat (2%, 3%, 4%) dan faktor konsentrasi arang TKS (25%, 50%, 75%). Parameter mutu yang diamati meliputi sifat kimiawi briket berupa kadar air, kadar zat mudah menguap, kadar abu, kadar karbon terikat, dan nilai kalor briket, serta sifat fisik briket berupa kerapatan dan keteguhan tekan.
37
Tabel 12. Mutu briket hasil penelitian Parameter Kadar air (%)
Nilai 2,656 – 5,143
Kadar zat mudah menguap (%)
18,021 – 18,953
Kadar Abu (%)
20,100 – 51,491
Kadar karbon terikat (%)
17,912 – 61,879
Kerapatan (gram/cm3) Keteguhan tekan (kg/cm2) Nilai Kalor (kal/gram)
0,903 – 1,295 13,769 – 35,264 5619 - 7480
Briket dengan mutu baik adalah briket yang memiliki kadar air, kadar zat mudah menguap, kadar abu yang rendah tetapi memiliki kadar karbon terikat, kerapatan, keteguhan tekan, dan nilai kalor yang tinggi. Parameter mutu ini juga menunjukkan arah tujuan dan aplikasi briket. Jika briket diarahkan untuk aplikasi rumah tangga, maka hal yang penting diperhatikan adalah kadar zat mudah menguap dan kadar abu yang rendah. Hal ini dikarenakan untuk mencegah polusi udara yang ditimbulkan dari asap pembakaran yang dihasilkan serta untuk memudahkan dalam penangan ketika selesai pembakaran.
1. Kadar Air Kadar air briket diharapkan serendah mungkin agar nilai kalornya tinggi dan mudah dinyalakan. Kadar air mempengaruhi kualitas briket yang dihasilkan. Semakin rendah kadar air semakin tinggi nilai kalor dan daya pembakarannya. Sebaliknya, kadar air yang tinggi menyebabkan nilai kalor yang dihasilkan menurun, karena energi yang dihasilkan akan banyak terserap untuk menguapkan air. Selain itu briket dengan kadar air yang tinggi, menyebabkan kualitas briket menurun ketika penyimpanan karena pengaruh mikroba. Kadar air yang tinggi juga dapat menimbulkan asap yang banyak saat
38
pembakaran. Penetapan kadar air ini bertujuan untuk mengetahui sifat higroskopis briket.
Gambar 10. Histogram kadar air briket
Data kadar air pada Lampiran 4a dan Gambar 10, menunjukkan bahwa kadar air briket SBE dengan arang TKS berkisar antara 2,656 5,143%. Kadar air terendah sebesar 2,656% diperoleh dari briket dengan konsentrasi perekat 4% dengan arang TKS 50%, sedangkan kadar air tertinggi diperoleh dari briket yaitu briket dengan perlakuan konsentrasi perekat 3% dengan arang TKS 75%. Berdasarkan hasil analisa keragaman kadar air (Lampiran 5a) terlihat bahwa konsentrasi perekat tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air yang dihasilkan sedangkan konsentrasi arang TKS dan interaksi kedua faktor memberikan pengaruh yang nyata. Ada kecenderungan makin besar konsenstrasi arang TKS yang digunakan, kadar airnya semakin tinggi. Alasannya adalah arang mempunyai kemampuan menyerap air yang besar dari udara sekelilingnya. Kemampuran menyerap air ini selain dipengaruhi oleh luas permukaan dan pori-pori arang, juga dapat dipengaruhi oleh kadar karbon yang terdapat pada arang itu sendiri. Dengan demikian
39
semakin besar kadar karbon pada arang, kemampuan arang menyerap air dari udara sekelilingnya akan semakin besar pula (Suryani, 1986).
Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 5b) terhadap faktor konsentrasi arang TKS, bahwa briket dengan konsentrasi arang 75% (B3) memiliki rata-rata kadar air lebih tinggi sebesar 4,853% jika dibandingkan dengan briket dengan konsentrasi arang 50% (B2) sebesar 3,470%. Walaupun perlakuan konsentrasi perekat tidak berpengaruh nyata tetapi perlu diperhatikan interaksinya dengan konsentrasi arang TKS berpengaruh nyata. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa briket dengan konsentrasi perekat 4% dengan arang TKS 25% (A3B1) tidak menunjukkan beda nyata terhadap briket dengan perekat 3% dengan arang TKS 25% (A2B1) dan arang TKS 50% (A2B2), serta briket dengan perekat 2% dengan arang TKS 25% (A1B1).
2 . Kadar Zat Mudah Menguap Zat mudah menguap merupakan zat yang dapat menguap sebagai hasil dekomposisi senyawa-senyawa di dalam suatu bahan selain air. Kandungan zat menguap yang tinggi di dalam briket akan menimbulkan asap yang lebih banyak pada saat briket dinyalakan. Hal ini disebabkan oleh adanya reaksi antara karbon monoksida (CO) dengan turunan alkohol (Hendra dan Pari, 2000).
40
Gambar 11. Histogram kadar zat mudah menguap briket Dari data kadar zat mudah menguap briket pada Lampiran 4b dan Gambar 11 terlihat bahwa kadar zat mudah menguap briket dalam penelitian ini berkisar antara 18,021-30,847%. Kadar zat mudah menguap yang paling tinggi adalah 30,847% yang diperoleh dari briket dengan konsentrasi perekat 3% dan arang TKS 25% dan kadar zat mudah menguap terendah adalah briket dengan konsentrasi perekat 2% dan arang TKS 75%. Berdasarkan analisa keragaman kadar zat mudah menguap (Lampiran 6a), ternyata kedua faktor baik konsentrasi perekat dan arang TKS berpengaruh nyata terhadap kadar zat mudah menguap pada briket. Namun interaksi kedua faktor ini tidak berpengaruh nyata terhadap kadar zat mudah menguap yang dihasilkan. Faktor konsentrasi perekat berpengaruh nyata terhadap kadar zat mudah menguap disebabkan adanya kandungan zat-zat menguap yang terdapat pada perekat yang digunakan. Peristiwa peruraian suatu bahan menjadi zat menguap, terlebih dahulu melalui tahap pemutusan ikatan pada molekul atau atom penyusunnya. Tapioka yang merupakan suatu polimer mempunyai struktur rantai yang panjang. Dengan demikian semakin banyak kadar perekat yang ada dalam bahan semakin banyak peruraian suatu bahan menjadi zat menguap.
41
Berdasarkan uji Duncan terhadap konsentrasi perekat (Lampiran 6b), terlihat bahwa briket dengan konsentrasi perekat 4% (A3) memiliki rata-rata kadar zat mudah menguap yang lebih tinggi daripada briket dengan konsentrasi perekat 3% (A2), dan 2% (A1). Faktor konsentrasi campuran arang TKS juga memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar zat mudah menguap briket. Dalam kombinasi bahan baku pada pembuatan briket ini, semakin sedikit arang TKS yang digunakan maka semakin banyak pula SBE yang dicampurkan, sehingga semakin banyak residu CPO yang terkandung dalam briket. Tingginya kadar menguap dikarenakan kadar minyak dalam briket yang masih tinggi. CPO merupakan asamasam lemak yang memiliki rantai yang panjang sehingga dengan pemanasan yang sangat tinggi (950 ) zat mudah menguap yang dihasilkan juga banyak. Umumnya arang yang bermutu baik memiliki kadar zat mudah menguap yang rendah, karena pada suhu 260-500 terjadi pengeluaran zat-zat yang mudah menguap (pirolisis). Oleh karena itu, kadar zat mudah menguap pada briket hasil penelitian ini sangat dipengaruhi seberapa banyak SBE yang dicampurkan. Semakin tinggi konsentrasi arang maka briket yang dihasilkan memiliki mutu yang lebih baik. Berdasarkan hasil uji Duncan pada kadar zat mudah menguap briket terhadap konsentasi arang TKS (Lampiran 6c), menunjukkan bahwa briket dengan briket dengan konsentrasi arang TKS 25% (B1) memiliki hasil berbeda dengan briket dengan konsentrasi arang TKS 50% (B2) dan briket dengan konsentrasi arang TKS 75% (B3). Semakin rendah konsentrasi arang TKS yang dimilikki maka semakin banyak
pula
konsentrasi
SBE
yang
dicampurkan
sehingga
menghasilkan kadar zat mudah menguap yang tinggi pula.
3. Kadar Abu Abu merupakan bagian yang tersisa dari proses pembakaran yang sudah tidak memiliki unsur karbon lagi. Unsur utama abu adalah 42
silika dan pengaruhnya kurang baik terhadapat nilai kalor yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar abu maka semakin rendah kualitas briket yang dihasilkan.
Gambar 12 .Histogram kadar abu briket
Berdasarkan Lampiran 4c dan Gambar 12, terlihat bahwa kadar abu yang dihasilkan pada briket hasil penelitian ini berkisar antara 20,100-51,491% dengan kadar abu terendah pada briket konsentrasi perekat 2% dan arang TKS 75%, dan kadar abu tertinggi pada briket konsentrasi perekat 3% dan arang TKS 25%. Hasil analisa keragaman kadar abu briket (Lampiran 7a), menunjukkan bahwa hanya faktor konsentrasi arang TKS berpengaruh sangat nyata terhadap kadar abu briket yang dihasilkan. Dengan hasil beda Duncan (Lampiran 7b), menunjukkan bahwa briket dengan konsentrasi arang TKS 25% (B1) berbeda nyata dengan briket dengan konsentrasi arang TKS 50% (B2), dan arang TKS 75% (B3). Briket dengan konsentrasi arang TKS yang rendah memiliki kadar abu yang tinggi. Kadar abu dalam penelitian ini dipengaruhi oleh kandungan SBE dalam briket. SBE merupakan bahan baku yang mengandung mineral montmorillonit dengan kadar silika lebih dari 50% bobot bahan sehingga dengan pemanasan suhu tinggi (600 ) silika tidak
43
dapat berubah bentuk ataupun terbakar, namun residu CPO terbakar menjadi abu. Jadi semakin banyak konsentrasi SBE yang ada dalam briket, maka semakin banyak pula abu sisa pembakaran yang dihasilkan. Kadar abu briket selain dipengaruhi SBE juga dipengaruhi oleh arang TKS. Menurut Nurhayati et al. (2006), kadar abu yang dimiliki oleh arang TKS sebesar 4,20%. Hal ini menunjukkan kadar abu dipengaruhi oleh kedua bahan baku yang digunakan. Briket hasil penelitian ini lebih sesuai jika digunakan untuk aplikasi industri karena abu yang dihasilkan banyak. Abu dari pembakaran ini dapat dimanfaatkan sebagai campuran dalam industri semen maupun sebagai tanah urugan. Abu hasil pembakaran ini lebih aman jika digunakan sebagai tanah urugan jika dibandingkan dengan SBE karena residu minyaknya ikut terbakar pada pembakaran.
4. Kadar Karbon Terikat Kadar karbon terikat merupakan kadar fraksi karbon yang terikat dalam bahan, tidak termasuk fraksi air, zat mudah menguap, dan abu. Briket dengan kadar karbon terikat yang tinggi akan menghasilkan kadar abu yang rendah dan kadar zat mudah menguap yang rendah sehingga briket yang memiliki kadar karbon terikat yang tinggi memiliki kualitas briket yang baik. Selain itu, briket dengan kadar karbon terikat yang tinggi memiliki nilai kalor yang tinggi.
44
Gambar 13. Histogram kadar karbon terikat briket
Dari data hasil analisa kadar karbon terikat pada Lampiran 4d dan Gambar 13, terlihat bahwa kadar karbon terikat briket hasil penelitian ini berkisar antara 17,912-61,879%. Kadar karbon terikat terendah terletak pada briket dengan konsentrasi perekat 3% dan arang TKS 25% dan kadar karbon terikat paling tinggi diperoleh oleh briket konsentrasi perekat 2% dengan arang TKS 75%. Hasil analisis keragaman kadar karbon terikat briket (Lampiran 8a) menunjukkan bahwa konsentrasi perekat dan arang TKS berpengaruh nyata terhadap kadar karbon terikat yang dihasilkan. Namun interaksi kedua faktor ini tidak memberikan pengaruh yang nyata. Berdasarkan hasil uji Duncan (Lampiran 8b) terlihat bahwa briket dengan konsentrasi arang TKS 25% (B1) memberikan hasil yang berbeda nyata dari briket dengan konsentrasi arang TKS 50% (B2), dan 25% (B3). Briket dengan konsentrasi arang 25% (B5) memiliki rata-rata kadar karbon terikat yang rendah, karena arang TKS yang dicampur hanya sedikit sehingga karbon yang ada hanya berasal dari sedikit karbon arang TKS dan karbon residu CPO. Semakin tinggi arang TKS yang diberikan maka semakin tinggi pula kadar karbon terikat pada briket. Komposisi briket dengan kandungan
45
arang TKS paling tinggi akan menghasilkan kadar karbon terikat paling tinggi, karena kadar abu dan kadar zat mudah menguapnya lebih rendah jika dibandingkan kombinasi dengan konsentrasi arang TKS yang sedikit. Menurut Suryani (1987), kadar karbon terikat ditentukan oleh kadar abu dan kadar zat mudah menguap. Briket yang memiliki kadar abu dan kadar zat mudah menguap yang tinggi maka kadar karbon terikatnya makin turun. Kadar karbon terikat dihitung sebagai berikut: 100% - (kadar abu + kadar zat mudah menguap). Briket dengan kadar karbon terikat yang tinggi menghasilkan nilai kalor yang dihasilkan tinggi karena dengan adanya reaski oksidasi maka akan menghasilkan kalori (Sudrajat, 1983). Faktor konsentrasi perekat juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar karbon terikat yang dihasilkan. Kadar karbon terikat di dalam pati lebih besar, karena karbon di dalamnya tersusun dalam struktur polimer yaitu rantai C panjang dan bercabang-cabang. Dengan
tingginya
kadar
karbon
terikat
pada
briket
yang
menggunakana pati, maka briket tersebut akan menghasilkan nilai kalor yang tinggi pula (Komarayati dan Gusmailina, 1994). Oleh karena itu, semakin banyak konsentrasi perekat yang digunakan maka semakin tinggi kadar karbon terikat yang dihasilkan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor konsentrasi perekat (Lampiran 7b), dapat dilihat briket dengan perekat 2% (A1) memiliki hasil yang berbeda nyata dengan briket perekat 4% (A3). Namun briket dengan perekat 3% (A2) tidak memberikan hasil yang jauh berbeda dengan briket dengan perekat 2% (A1) dan 4% (A3).
5. Kerapatan Kerapatan menunjukkan perbandingan antara berat dan volume briket. Kerapatan berpengaruh terhadap kualitas briket, karena kerapatan yang tinggi dapat meningkatkan nilai kalor bakar briket.
46
besar kecilnya kerapatan dipengaruhi oleh ukuran dan kehomogenan bahan penyusun briket tersebut (Djeni dan Winarni, 2003). Kerapatan juga dapat mempengaruhi keteguhan tekan, lamanya pembakaran, dan mudah tidaknya pada saat briket akan dinyalakan. Kerapatan yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan briket arang sulit terbakar, sedangkan briket yang memiliki kerapatan yang tidak terlalu tinggi maka akan memudahkan pembakaran karena makin besar rongga udara atau celah yang dapat dilalui oleh oksigen dalam pembakaran. Namun briket dengan kerapatan yang terlalu rendah dapat mengakibatkan briket cepat habis dalam pembakaran karena bobot briketnya lebih rendah.
Gambar 14. Histogram kerapatan briket
Data kerapatan briket yang dihasilkan pada Lampiran 3e dan Gambar 14, menunjukkan bahwa kerapatan briket yang dihasilkan berkisar antara 0,903-1,295 gram/cm3. Kerapatan tertinggi dihasilkan oleh briket dengan perlakuan konsentrasi perekat 3% dengan konsentrasi arang TKS sebanyak 50% sedangkan kerapatan terendah dihasilkan oleh briket dengan konsentrasi perekat 4% dan konsentrasi arang TKS sebanyak 75%. Dari hasil analisis keragaman pada Lampiran 8a, terlihat bahwa faktor konsentrasi arang TKS,
47
konsentrasi perekat maupun interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan briket yang dihasilkan. Konsentrasi arang TKS tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan karena ukuran partikel arang TKS yaitu 40 mesh sedangkan ukuran partikel SBE adalah 150-200 mesh (Tabel 2). Kedua bahan ini saling mengisi sehingga tidak ada pengaruh terhadap faktor ini. Selain itu, faktor konsentrasi perekat juga tidak berpengaruh pada briket ini dimungkinkan karena SBE dan perekat dapat berfungsi sama dalam membentuk ikatan yang kompak. Lempung (clay) juga merupakan salah satu contoh perekat karena memiliki daya rekat (Djatmiko et al.,1986).
6. Keteguhan Tekan Keteguhan tekan menunjukkan daya tahan atau kekompakkan briket terhadap tekanan luar sehingga mengakibatkan briket itu pecah atau hancur. Semakin tinggi nilai keteguhan tekan berarti daya tahan atau kekompakkan briket semakin baik. Kondisi tersebut akan sangat menguntungkan di dalam pengemasan maupun distribusi atau pengangkutan (Hendra dan Darmawan, 2000).
Gambar 15. Histogram keteguhan tekan briket
48
Data hasil keteguhan tekan briket (Lampiran 4f) dan Gambar 15, terlihat bahwa keteguhan tekan briket hasil penelitian ini berkisar antara 13,769-35,264 kg/cm2. Keteguhan tekan tertinggi pada briket hasil penelitian ini adalah pada briket dengan konsentrasi perekat 3% dan konsentrasi arang TKS 75%, dan keteguhan tekan terendah briket hasil penelitian ini adalah pada briket dengan konsentrasi perekat 2% dan konsentrasi arang TKS 50%. Dari hasil analisa keragaman keteguhan tekan pada Lampiran 9a, dapat dilihat bahwa konsentrasi perekat dan interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap keteguhan tekan briket yang dihasilkan. Tapioka merupakan polimer karena panjangnya rantai C maka ikatan antara atom-atom penyusunnya relatif lebih lemah. Dengan demikian daya ikat tapioka cenderung lemah. Inilah sebabnya faktor konsentrasi perekat tidak berpengaruh nyata terhadap keteguhan tekan yang dihasilkan. Namun faktor konsentrasi arang TKS berpengaruh nyata terhadap keteguhah tekan yang dihasilkan. Hasil uji Duncan (Lampiran 10b), menunjukkan bahwa briket dengan konsentrasi arang TKS 25% (B1) memberikan hasil beda nyata terhadap briket dengan konsentrasi arang TKS 50% (B2), dan konsentrasi arang TKS 75% (B3). Namun briket dengan konsentrasi arang TKS 50% (B2) tidak berbeda nyata dengan briket konsentrasi arang TKS 25% (B1). Menurut Hendra dan Winarni (2003), ukuran serbuk arang yang seragam akan mempengaruhi keteguhan tekan yang semakin meningkat. Keteguhan tekan yang rendah juga disebabkan oleh kandungan abu yang tinggi. Keteguhan briket menurun dengan kandungan abu yang semakin tinggi. Semakin banyak SBE yang digunakan maka kandungan abu pada briket semakin meningkat. Namun, semakin banyak arang TKS yang digunakan maka semakin banyak ikatan antara atom-atom penyusunnya sehingga briket yang dihasilkan lebih teguh. Briket yang memiliki keteguhan tekan yang
49
tinggi akan menguntungkan pada saat penanganan karena tidak mudah pecah, dan lebih tahan jika disusun bertumpuk-tumpuk.
7. Nilai Kalor Tujuan pengukuran nilai kalor adalah untuk mengetahui nilai panas pembakaran yang dapat dihasilkan briket. Nilai kalor menjadi parameter mutu penting bagi briket sebagai bahan bakar. Semakin tinggi nilai kalor bahan bakar briket, maka akan semakin baik pula kualitasnya.
Gambar 16. Histogram nilai kalor briket
Data nilai kalor yang diperoleh dari hasil pengujian nilai kalor (Lampiran 4g dan Gambar 16) terlihat bahwa briket hasil penelitian memiliki nilai kalor yang berkisar antara 5619-7480 kal/gram. Briket dengan nilai kalor yang tertinggi adalah briket dengan perekat 2% dengan arang TKS 50% sedangkan briket dengan nilai kalor yang terendah adalah briket dengan perekat 4% dengan arang TKS 75%. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai kalor suatu briket, bahan baku yang digunakan, kadar air, kadar abu, kadar karbon terikat, kadar zat mudah menguap, dan kerapatan briket. Tempurung kelapa sawit pada awalnya yang memiliki nilai kalor sebesar 4947 kal/gram (Tabel 7). Namun ketika dilakukan 50
pengarangan, diberi perekat, kemudian dikempa menjadi briket arang tempurung kelapa sawit maka nilai kalornya meningkatnya menjadi 6584 kal/gram (Lampiran 2). Dengan diberikannya perlakuan campurkan SBE yang masih mengandung residu CPO sekitar 26,325% dengan arang TKS, maka nilai kalornya dapat mencapai 7480 kal/gr (A1B2). Hal ini menunjukkan bahwa residu CPO yang terkandung dalam SBE memberi kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan nilai kalor briket yang dihasilkan. Semakin banyak SBE yang dicampurkan maka semakin meningkat pula nilai kalor yang dihasilkan dari briket campuran tersebut. Selain residu CPO dari SBE yang digunakan, nilai kalor juga dipengaruhi oleh kadar karbon terikat yang dimiliki arang TKS yang dicampurkan. Oleh karena itu, semakin tinggi kadar campuran arang TKS dalam briket maka semakin tinggi pula nilai kalor yang dihasilkan. Arang TKS memiliki kadar karbon terikat yang cukup tinggi yaitu sekitar 67,82% (Nurhayati et al., 2005). Menurut Suryani (1986), hubungan nilai kalor dengan kadar karbon terikat dapat dilihat melalui reaksi berikut:
C + O2
CO2 + 94,45 kkal
1 gram C menghasilkan 7,9 kkal
Pari et al. (1990) menyatakan bahwa hubungan antara kadar perekat dengan nilai kalor briket menunjukkan bahwa makin tinggi kadar perekat, nilai kalornya semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh pertambahan nilai kalor dari perekat yang digunakan sehingga meningkatkan kadar karbon terikat pada briket. Selain itu, briket dengan kerapatan yang tinggi mempunyai nilai kalor yang tinggi pula, karena mempermudah pembakaran dari satu partikel ke partikel lain sehingga walaupun laju pembakarannya lebih lambat. Namun briket dengan kerapatan yang terlalu tinggi akan menyulitkan pembakaran sehingga nilai kalornya tidak terlalu tinggi.
51
Hal ini dikarenakan dalam pembakaran diperlukan udara, jika kerapatan terlalu tinggi maka udara akan sulit masuk ke celah-celah dalam briket sehingga pembakaran tidak akan berlangsung sempurna. Nilai kalor juga dipengaruhi oleh kadar abu yang terkandung dalam briket. Kadar abu yang tinggi juga berarti kandungan silika pada bahan tinggi. Silika dapat menurunkan atau mengurangi nilai kalorbakar briket arang (Hendra dan Winarni, 2003). Briket dengan konsentrasi SBE yang tinggi mengandung banyak silika, sehingga menyulitkan dalam pembakaran. Briket dengan kadar air yang tinggi juga menurunkan nilai kalor briket karena semakin tinggi kadar air dalam bahan semakin banyak energi yang harus dilepaskan untuk menguapkan air dalam bahan. ` 4.3
Arang Briket Hasil Penelitian Ada tujuh parameter yang menentukan mutu briket yaitu kadar air, kadar zat mudah menguap, kadar abu, kadar karbon terikat, kerapatan, keteguhan tekan, dan nilai kalor. Pemilihan parameter yang penting dari ketujuh parameter mutu tersebut mengacu kepada aplikasi briket. Jika diaplikasikan untuk kebutuhan rumah tangga maka briket harus memiliki kadar abu dan kadar zat mudah menguap seminimal mungkin. Jika digunakan sebagai penghangat pada peternakan ayam diperlukan briket dengan kadar karbon terikat yang tinggi, sehingga waktu pembakarannya lebih lama. Berdasarkan parameter mutu yang dihasilkan briket yang dihasilkan, briket ini sesuai untuk alternatif bahan bakar industri. Hal ini dikarenakan karena biayanya ekonomis, namun dapat menghasikan nilai kalor lebih baik daripada kayu sekitar 4765 kal/gram dan cukup bersaing dengan nilai kalor batubara sekitar 7280 kal/gram (Lampiran 1). Tingginya nilai kalor briket ini dipengaruhi oleh kadar karbon terikat pada bahan. Briket ini memiliki kadar abu dan kadar mudah menguap yang tinggi sehingga tidak sesuai untuk aplikasi rumah tangga. Selain itu kelebihan briket ini adalah pemanfaatan SBE yang selama ini menjadi masalah lingkungan .
52
Briket terbaik dari 9 kombinasi perlakuan ini adalah briket dengan kosentrasi perekat 2% dengan arang TKS 75% (A1B3). Briket kombinasi terbaik ini memiliki kadar zat mudah menguap dan kadar abu yang dihasilkan paling rendah sebesar 18,023% dan 20,100%. Selain itu, kadar karbon terikat yang dihasilkan paling tinggi sebesar 61,879% dengan nilai kalor yang tinggi sebesar 6440 kal/gram. Briket kombinasi terbaik ini juga memiliki keteguhan tekan kedua terbaik dari 9 kombinasi yaitu sekitar 28,846 gram/cm3. Keteguhan tekan yang tinggi ini menguntungkan dari segi penyimpanan dan distribusi.
Tabel 13. Perbandingan mutu briket kombinasi terbaik dengan briket buatan Jepang,dan Inggris serta briket komersial Parameter
Kadar Air (%) Kadar Zat Mudah Menguap (%) Kadar Abu (%) Kadar Karbon Terikat (%) Kerapatan (g/cm2) Keteguhan Tekan (g/cm3) Nilai Kalor (kal/gram)
Briket Kombinasi Terbaik *
Briket Komersial *
Briket Jepang
Briket Inggris
4,668
9,210
Maks 6
Maks 4
18,021
40,728
Maks 30
Maks 19
20,100
8,147
Maks 6
Maks 9
61,879
51,125
Min 60
Min 75
1,135
1,318
-
Min 1
28,849
-
-
Min 13
6528
5114
Min 6000
Min 7300
* Pengujian mutu briket dilakukan dengan dua kali ulangan
Pada Tabel 13 terlihat perbandingan parameter mutu briket kombinasi terbaik (perekat 2% dan arang TKS 75%) dengan pembanding briket arang buatan Jepang, Inggris dan briket komersial. Briket komersial yang dipilih pada penelitian ini diperoleh dari swalayan dan terbuat dari arang kayu (Lampiran 4). Briket kombinasi terbaik memiliki kadar air dan kadar zat mudah menguap lebih baik daripada briket komersial dan briket ini masih memenuhi mutu briket arang buatan Jepang dan Inggris. Kadar abu yang 53
dihasilkan briket ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tiga briket pembanding. Kadar karbon terikat briket hasil penelitian ini memiliki kadar karbon terikat paling tinggi dibandingkan dengan 9 kombinasi lainnya. Kadar karbon terikat ini lebih baik daripada briket komersial dan memenuhi mutu briket Jepang. Namun kadar karbon terikat briket ini tidak memenuhi mutu briket buatan Inggris. Kerapatan dan keteguhan tekan briket hasil penelitian ini juga masih memenuhi mutu briket Inggris. Namun pada kerapatan, briket komersial memiliki kadar kerapatan yang tinggi. Nilai kalor briket ini masih jauh jika dibandingkan dengan briket buatan Inggris namun lebih unggul daripada briket komersial.
4.4
Uji Aplikasi Mendidihkan Air Dalam uji pembakaran ini dilihat aplikasi briket ini sebagai bahan bakar. Dalam skala laboratorium ini dilakukan pengujian briket untuk mendidihkan air. Kemudian diamati berapa banyak volume air yang dapat didihkan oleh briket yang digunakan. Dalam uji aplikasi mendidihkan air ini diambil beberapa pembanding yaitu briket arang TKS 100%, briket SBE 100% dengan perekat 2%, dan briket komersial (Tabel 14). Selain itu, dilakukan analisis terhadap parameter kualitas briket seperti kadar air, kadar zat mudah menguap, kadar abu, kadar karbon terikat, kerapatan, keteguhan tekan, dan nilai kalor (Lampiran 4). Tabel 14. Parameter mutu briket pada uji mendidihkan air* Briket
Briket 100% TKS
Briket Hasil Penelitian
Briket 100% SBE
Briket Komersial
Kadar air (%)
4,573
4,668
3,387
9,21
Kadar zat mudah menguap (%)
14,848
18,021
32,248
40,728
Kadar Abu (%)
5,445
20,100
66,648
8,147
Kadar karbon terikat (%)
79,707
61,879
1,067
51,125
Kerapatan (gr/cm3)
0,865
1,135
1,419
0,690
Keteguhan tekan (kg/cm2)
20,471
28,849
8,335
-
Parameter
54
Nilai Kalor (kal/gram)
6156
6528
6354
5114
Briket Hasil Penelitian : briket kombinasi terbaik (perekat 2% dan arang TKS 75%). *Pengujian mutu briket dilakukan dengan dua kali ulangan.
Data Tabel 14 terlihat briket hasil penelitian ini memiliki keunggulan jika dibandingkan briket 100% SBE karena memiliki kadar abu dan kadar zat mudah menguap yang lebih rendah serta memiliki kadar karbon terikat, keteguhan tekan, dan nilai kalor yang lebih tinggi. Briket hasil penelitian ini juga lebih unggul daripada briket komersial dari semua parameter mutu. Jika dibandingkan dengan briket 100% TKS, briket hasil penelitian ini juga memiliki kelebihan karena memiliki kerapatan, keteguhan tekan dan nilai kalor yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan campuran arang TKS memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan mutu briket. Selain analisis sifat fisik kimia briket, ada beberapa parameter kualitas pembakaran yang diamati dalam uji aplikasi briket ini. Adapun parameter tersebut adalah waktu menyala, laju pembakaran, volume air yang dapat didihkan, laju mendidihkan air, serta warna nyala api, asap dan bau yang dihasilkan (Lampiran 12). Dengan massa briket 255 gram, briket hasil penelitian ini dapat menyala selama 148 menit, dengan laju pembakaran 1,18 gram/menit. Selain itu, volume air yang dapat didihkan adalah 3 liter dengan laju mendidihkan 25,086 menit/liter. Selain itu, warna menyalanya seperti nyala lilin dan merah bara, namun asap dan bau yang dihasillkan lebih banyak daripada briket 100% TKS. Briket 100% TKS dapat menyala selama 200,03 menit (dengan massa 260 gram), briket hasil penelitian (75% TKS) dapat menyala selama 148 menit (dengan massa 255 gram), namun briket 100% SBE hanya dapat menyala selama 20,03 menit (dengan massa 256 gram). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi arang TKS maka dapat meningkatkan kemampuan briket untuk mempertahankan nyala api. Semakin lama waktu menyala, maka semakin banyak juga air yang dapat didihkan. Hal ini terlihat pada Lampiran 12, briket 100% TKS dapat mendidihkan air sebanyak 4 liter, sedangkan briket hasil penelitian (75%
55
TKS) dapat mendidihkan 3 liter air, dan briket 100% SBE hanya dapat mendidihkan satu liter air. Laju pembakaran menggambarkan berkurangnya bobot briket per menit selama pembakaran. Pengurangan bobot semakin cepat memberikan laju pembakaran yang besar. Semakin besar laju pembakaran maka waktu menyala briket menjadi semakin cepat. Porositas briket yang dihasilkan berpengaruh terhadap efisiensi pembakaran sebagai bahan bakar. Briket yang terlalu padat akan sulit terbakar, sedangkan briket yang kurang padat (porositas yang sangat tinggi) dapat mengakibatkan terurainya briket pada saat pembakaran (ditunjukkan oleh percikan bara dan mengakibatkan menimbulkan kesan tidak bersih) meskipun laju pembakaranya cepat (Abdullah et al., 1998). Dari Lampiran 12 terlihat bahwa kecenderungan laju pembakaran yang semakin meningkat dengan semakin banyaknya SBE yang diberikan. Ini menunjukkan bahwa residu CPO juga memberikan pengaruh dalam laju pembakaran karena nilai kalor yang dimiliki juga tinggi. Dengan tingginya laju pembakaran briket maka semakin banyak pula volume air yang dapat didihkan. Terlihat juga bahwa laju mendidihkan air briket 100% SBE hampir 3 kali lebih cepat daripada laju mendidihkan air briket 100% TKS. Briket 100% TKS membutuhkan 38,85 menit untuk mendidihkan satu liter air sedangkan pada briket 100% SBE memerlukan 13,4 menit untuk mendidihkan satu liter air. Namun dengan adanya penambahan arang TKS sebanyak 75% (briket hasil penelitian), ternyata laju mendidihkan airnya lebih cepat daripada briket 100% TKS sekitar 75,26 menit/liter. Warna menyala briket arang umumnya adalah seperti merah ‘bara’ hal ini sama juga terjadi pada briket 100% TKS. Namun briket 100% SBE nyala apinya sepeti lilin sehingga ketika residu CPO dalam briket terpakai dalam pembakaran, maka pembakaran juga berhenti. Dengan kombinasi arang pada briket hasil penelitian, nyala api yang dihasilkan masih seperti lilin namun masih memiliki bara, sehingga walaupun residu CPO dalam SBE berhenti menyala (nyala api seperti lilin mati), namun bara api yang berasal dari arang masih mempertahankan nyala api.
56
Gambar 17. Uji pembakaran briket 100% TKS, briket hasil penelitian, dan briket 100% SBE (dari kiri ke kanan) Pembakaran biomassa akan mengubah bahan anorganik menjadi abu. Selama pembakaran, oksigen berkombinasi dengan karbon membentuk karbondioksida, air dan energi panas. Selama tahap pertama proses pembakaran, air yang terkandung dalam bahan diuapkan, dan kemudian bahan volatil dikeluarkan dan terbakar. Selanjutnya, biomassa padat diubah menjadi volatil dan arang padat. Tahap akhir pembakaran adalah oksidasi arang. Inilah yang menyebabkan timbulnya asap dan bau pada pembakaran briket. Semakin tinggi kadar air dan kadar zat mudah menguap pada briket maka semakin banyak pula asap yang dihasilkan dan semakin bau pula asap yang dihasilkan. Kadar zat mudah menguap pada briket dengan campuran SBE ini sangat dipengaruhi oleh residu CPO yang terkandung, semakin banyak residu CPO ynag tersimpan maka semakin banyak pula ikatanikatan yang diputuskan dalam pembakaran sehingga membentuk monomer-
57
monomer gas. Briket dengan penambahan arang TKS, asap dan bau yang dihasilkan lebih sedikit daripada briket tanpa penambahan arang. Jika dibandingkan dengan briket komersial dapat dilihat bahwa briket hasil penelitian memiliki keunggulan karena memiliki laju mendidihkan air yang lebih cepat yaitu 25,086 menit per liter. Namun asap dan bau yang dihasilkan briket hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan asap dan bau pembakaran briket komersial. Briket hasil penelitian ini memiliki waktu menyala yang lebih singkat jika dibandingkan dengan briket komersial sehingga air yang dapat didihkan lebih sedikit jika dibandingkan dengan briket komersial. Jika dibandingkan dengan briket SBE, briket hasil penelitian lebih unggul dari segi waktu menyala, laju pembakaran briket, volume air yang dapat didihkan, warna nyala api, asap dan bau yang dihasilkan. Jika dibandingkan dengan briket 100% TKS, briket ini lebih unggul karena memiliki laju mendidihkan air yang lebih cepat, tetapi memiliki asap dan bau yang lebih banyak sehingga aplikasi briket ini diarahkan sebagai bahan bakar industri.
58
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa spent bleaching earth dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku briket. Sampel spent belaching earth masih mengandung residu CPO sebesar 26,325% b/b bobot sampel yang masih berpotensial untuk dimanfaatkan. Namun spent bleaching earth saja memiliki kekurangan jika digunakan sebagai bahan baku utama briket sehingga diperlukan bahan campuran pendukung untuk meningkatkan mutu briket seperti arang tempurung kelapa sawit. Mutu briket ini masih kurang baik sebagai bahan bakar rumah tangga karena memiliki kadar abu dan kadar zat mudah menguap yang tinggi sehingga lebih sesuai sebagai bahan bakar alternatif pada industri Berdasarkan hasil analisa keragaman terlihat bahwa peningkatan konsentrasi perekat berpengaruh nyata meningkatkan kadar zat mudah menguap tetapi menurunkan kadar karbon terikat. Peningkatan konsentrasi arang tempurung kelapa sawit berpengaruh nyata meningkatkan kadar air dan keteguhan tekan namun menurunkan kadar zat mudah menguap dan kadar abu. Selain itu, interaksi kedua faktor ini juga mempegaruhi kadar air briket yang dihasilkan. Briket hasil penelitian dengan mutu terbaik adalah briket dengan konsentrasi perekat 2% dan konsentrasi arang tempurung kelapa sawit 75%. Hal ini dikarenakan kadar zat mudah menguap dan kadar abu yang dihasilkan paling rendah sebesar 18,023% b/b dan 20,1% b/b. Selain itu, kadar karbon terikat yang dihasilkan paling tinggi sebesar 61,879% b/b dengan nilai kalor yang tinggi sebesar 6528 kal/gram. Selain itu berdasarkan uji aplikasi briket dengan mendidihkan air, briket dengan kombinasi terbaik ini memiliki waktu menyala yang lebih lama serta laju mendidihkan air lebih baik jika dibandingkan dari briket pembandingnya. Dengan massa 255 gram, briket kombinasi terbaik ini dapat mendidihkan tiga liter air selam 75,26 menit dan dapat menyala selama 148 menit.
59
5.2
Saran Adapun saran yang diberikan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Perlu kajian lebih lanjut mengenai cara mengatasi asap, bau yang berlebihan hasil pembakaran briket. 2. Lebih cocok untuk aplikasi industri karena memiliki kadar abu dan kadar zat mudah menguap yang tinggi. 3. Perlu pengujian lebih lanjut mengenai umur simpan briket karena bahan baku yang digunakan mengandung residu CPO dan perekat tapioka sehingga rentan terhadap kerusakan mikrobiologis.
60
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, K., A.K Irwanto, N. Siregar, S.E. Agustina, A.H. Tambunan, M. Yasmin, E. Hartulistiyo, Y.A. Purwanto., D. Wulandani, L.O. Nelwan, 1998. Energi dan Listrik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Achmad, R., 1991. Briket arang lebih baik dari Kayu Bakar. Jurnal Neraca 10 (4): 21-22. Agustina, S.E., 2007. Potensi Limbah Produksi Biofuel Sebagai Bahan Bakar Alternatif. Paper pada Konferensi Nasional Pemanfaatan Hasil Samping Industri Biofuel serta Peluang Pengembangan Industri Integratednya. Jakarta. American Society for Testing and Materials (ASTM), 1959. Annual Book of ASTM Standards. ASTM D-5 Coal and Coke. American Society for Testing and Materials, Philadelphia. American Society for Testing and Materials (ASTM), 1970. Annual Book of ASTM Standards. ASTM D-240 Laboratory Sampling and Analysis of Coal and Coke. American Society for Testing and Materials, Philadelphia. American Society for Testing and Materials (ASTM), 1982. Annual Book of ASTM Standards Coal and Coke. American Society for Testing and Materials, Philadelphia. Arifin, M. dan A. Sudrajat, 1997. Bahan Galian Industri: Bentonit. Departemen Pertambangan dan Energi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral, Bandung. Badan Pusat Statistik, 2008. Statistik Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 20032007. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Capricorn Indonesia Consult, 2007. Prospek Industri dan Pemasaran Minyak Goreng di Indonesia. CIC, Jakarta. Chanrai, N.G. and S.G. Burde, 2004. Recovery of Oil from Spent Bleaching Earth. US Patent No. 6,780,321 B2. Devine, T and D. N. Williams, 1961. The Chemistry and Technology of Edible Oils and Fats. Pergamon Press, New York.
61
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006. Statistik Perkebunan. Direktorat Jendral Balai Penelitian Perkebunan, Jakarta. Djatmiko, B., S. Ketaren, dan Setyahartini, 1976. Arang : Pengolahan dan Kegunaanya. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hartoyo, J.A. dan H. Roliandi, 1978. Percobaan Pembuatan Briket Arang dari Lima Jenis Kayu. Laporan Lembaga Penelitian Hasil Hutan No.103. Bogor. Hendra, D. dan G. Pari, 2000. Penyempurnaan Teknologi Pengolahan Arang. Laporan Hasil Penelitian Hasil Hutan. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor. Hendra, D. dan S. Darmawan, 2000. Pembuatan Briket Arang dari Serbuk Gergajian Kayu dengan Penambahan Tempurung Kelapa. Buletin Hasil Penelitian Hutan 18 (1) : 1-9. Hendra, D dan Ina Winarni., 2003. Sifat Fisis dan Kimia Briket Arang Campuran Limbah Kayu Gergajian dan Sabetan Kayu. Buletin Hasil Penelitian Hutan 21 (3) : 211-226. Hendra, D., 2007. Pembuatan Briket Arang dari Campuran Kayu, Bambu, Sabut Kelapa, dan Tempurung Kelapa sebagai Sumber Energi Alternatif. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 25 (3) : 242-255. Ketaren, S., 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Kheang, L.S., C.S. Foon, C.Y. May, and M.A. Ngan, 2006. A Study of Residual Oils Recovered from Spent Bleaching Earth: Their Characteristics and Applications. American Journal of Applied Sciences 3 (10): 2063-2067. Komarayati, S. Dan Gusmailina, 1994. Pembuatan Arang dan Briket Arang dari Kayu Manis (Cinnamomum burmanii Ness ex. BL) dan Kayu Sukun (Artocapus altilis Parkinson). Jurnal Penelitian Hasil Hutan 12 (6): 225-228. Lusia, 2008. Pembuatan Briket dengan Komposisi Limbah Cair CPO (Crude Palm Oil) dan Arang Tandan Kosong Kelapa Sawit. Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Bengkulu. Nurhayati, T., 1983. Sifat Arang, Briket Arang, dan Alkohol yang Dibuat dari Limbah Industri Kayu. Laporan Lembaga Penelitian Hasil Hutan No.165.
62
Nurhayati, T., Desviana, dan K. Sofyan, 2005. Tempurung Kelapa Sawit sebagai Bahan
Baku
Alternatif
untuk
Produksi
Arang
Terpadu
dengan
Pyrolegneous/Asap Cair. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 3 (2) : 3944. Pari, G., D. Hendra, dan Hartoyo, Y.A., 1990. Beberapa Sifat Fisis dan Kimia Briket Arang dari Limbah Arang Aktif. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2 (2) : 61 - 67. Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1999 tentang Bahan Beracun Berbahaya (B3). Pusat Data dan Informasi Departemen Perindustrian, 2007. Minyak Kelapa Sawit. http://www.depperind.go.id. Halaman 1-7. 25 Oktober 2009. Rianto, D. 1995. Sifat Fisiko Kimia dan Stabilitas Panas Minyak Sawit Merah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Riseanggara, R. R., 2008. Optimasi Kadar Perekat pada Briket Limbah Biomassa. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Standar Nasional Indonesia (SNI), 1989. Mutu Arang Kayu. Badan Standar Nasional Indonesia, Jakarta. Sudrajat, R., 1983. Pengaruh Bahan Baku, Jenis Perekat, dan Tekanan Kempa terhadap Kualitas Briket Arang. Suryani, A., 1986. Pengaruh Tekanan Pengempaan dan Jenis Perekat dalam Pembuatan Arang Briket dari Tempurung Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq). Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tank, K.H., 1993. Principles of Soil Chemsitry, 2nd Edition. Marcel Dekker, New York. Wahyudi, M.Y., 2000. Studi Penggunaan Kembali Bleaching Earth Bekas sebagai Adsorben dalam Proses Refining CPO. Tesis Magister. Program Studi Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Wahyuni, A.T., 2008. Pemanfaatan Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L) sebagai Bahan Bakar Biomassa (Briket) Menggunakan Perekat Tapioka dan Gaplek. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
63
Lampiran 1. Perbandingan nilai kalor beberapa jenis bahan bakar Jenis Bahan
Rataan Nilai Kalor (kal/gram)
Kayu
4.765
Batubara
7.280
Fuel Oil 1)
10.270
Kerosine (Minyak Tanah)
10.990
Gas Alam
11.806
Sumber :
Suryani (1986) 1)
Fuel Oil disebut juga Minyak Bakar, yang bukan dari jenis
distilat minyak bumi tetapi dari residu dan berwarna hitam gelap. Minyak bakar lebih kental daripada minyak diesel (solar) dan biasanyanya digunakan untuk bahan bakar pada pembakaran langsung dalam dapur-dapur industri besar yang sangat memperhatikan segi-segi ekonomis dari bahan bakarnya (Badan Pusat Statistik, 2008)
64
Lampiran 2. Perbandingan nilai kalor beberapa jenis briket biomassa
No
Rataan Nilai Kalor
Jenis Briket
(kal/gram)
1
Briket limbah lumpur sawit
2604
2
Briket arang sekam 1)
3520
3
Briket alang-alang
3883
4
Briket ampas jarak
3919
5
Briket bagasse
4216
6
Briket serbuk gergaji
4472 2)
7
Briket bungkil biji jarak
8
Briket arang ampas jarak
4714
9
Briket arang bonggol jagung
4822
10
Briket arang kayu
6360
dan tempurung kelapa 11
4553
3)
Briket arang campuran kayu, bambu, sabut kelapa, dan tempurung kelapa
6429
4)
12
Briket arang tempurung kelapa sawit 5)
6584
13
Briket arang kayu 6)
6,906
Sumber: Agustina (2007) 1)
Riseanggara (2008)
2)
Wahyuni (2008)
3)
Hendra dan Darmawan (2000)
4)
Hendra (2007)
5)
Suryani (1986)
6)
Hendra dan Winarni (2003)
65
Lampiran 3. Pengujian Mutu Briket 1.
Kadar Minyak (Ketaren, 1986)
Pengukuran kadar minyak dilakukan menggunakan metode soxhlet. Sekitar 5 gram sampel dimasukan ke dalam cawan kaca dan ditutup dengan kasa, kemudian cawan kaca yang berisi sampel dimasukan ke dalam labu soxhlet, lalu dituangkan hexan secukupnya. Alat dirangkai refluks selama 5-6 jam. Labu minyak yang berisi minyak hasil ekstraksi dan sisa pelarut hexan kemudian diangkat lalu dipanaskan dalam oven suhu 105
sampai semua pelarut menguap. Didinginkan
dalam desikator lalu ditimbang bobotnya.
2.
Kadar Air (ASTM - 1959) Prinsip Menguapkan bagian air bebas yang terdapat dalam arang, sampai terjadi keseimbangan kadar air dengan udara sekitarnya memakai energi panas. Prosedur Contoh sebanyak satu gram dikeringkan dalam tanur listrik bersuhu 105 sampai beratnya konstan, selanjutnya contoh ditimbang. Perhitungan
dimana: A = massa contoh sebelum dikeringkan (g) B = massa contoh setelah dikeringkan (g) 3.
Kadar Zat Mudah Menguap (ASTM - 1959) Prinsip Menguapkan bahan-bahan yang tidak termasuk air dengan menggunakan energi panas. 66
Prosedur Cawan porselin yang berisi contoh dari penetuan kadar air, dipanaskan dalam tanur listrik pada suhu 950
selama 6 menit. Selanjutnya didinginkan
dalam eksikator dan selanjutnya ditimbang. Perhitungan
4.
Kadar Abu (ASTM - 1959) Prinsip Menentukan jumlah abu yang tertinggal (mineral yang tidak dapat menguap hilang) dengan membakar menjadi abu dengan menggunakan energi panas. Abu terdiri dari mineral-mineral yang tidak dapat hilang atau menguap pada proses pengabuan. Prosedur Cawan porselin yang berisi contoh dari penetuan kadar zat menguap ditempatkan dalam tanur listrik dikeringkan dalam oven listrik bersuhu 600
selama tiga jam sehingga menjadi abu. Selanjutnya didinginkan dalam
eksikator dan selanjutnya ditimbang. Perhitungan
5.
Kadar Karbon Terikat (ASTM - 1959) Prinsip Menentukan fraksi karbon dalam arang, yang tidak termasuk fraksi air, zat menguap dan abu. Perhitungan
67
6.
Kerapatan (ASTM -1982)
Prinsip Mengukur berat bahan untuk setiap satu volume bahan. Prosedur Briket diukur volumenya menurut bentuk bangunnya. Jika mengempa briket yang berbentuk tabung maka diukur volume tabung. Perhitungan
7.
Keteguhan Tekan (ASTM - 1982) Prinsip Mengukur kekuatan tekan briket dengan memberikan beban hingga briket pecah. Prosedur Pengukuran keteguhan tekan dilakukan dengan alat Universal Testing merk Gebruder Amsler dimana beban yang diberikan adalah maksimum 10 ton dan memberikan beban terhadap contoh dilakukan searah dengan tinggi briket. Penekanan dilakukan perlahan-lahan sampai briket arang tersebut pecah. Angka pada skala bila dikonvesrikan merupakan besar keteguhan tekan briket arang per satuan luas. Perhitungan Untuk mengkonversikan angka pada skala menjadi keteguhan tekan, dipergunakan rumus yaitu sebagai berikut:
8.
Nilai Kalor (ASTM - 1970) Prinsip
68
Pengukuran nilai kalor yang ditimbulkan pada pembakaran satu gram briket. Nilai kalor bakar suatu zat diukur berdasarkan kalor reaksi pada volume tetap. Prosedur Pengukuran nilai kalor bakar dilakukan dengan alat Calorimeter Combustion Bomb. Contoh briket ditempatkan dalam cawan silika dan dimasukkan ke dalam bomb. Kemudian bomb ditempatkan di dalam air dalam suatu bejana kalorimeter yang dikelilingi oleh mantel air berdinding ganda. Air di dalam bejana diaduk secara otomatis oleh pengaduk yang digerakkan oleh motor kecil. Bagian atas dari alat ditutup dengan tutup yang memiliki lubang-lubang untuk menempatkan termometer Beckmann di bagian dalam bejana dan sebuah termometer yang pembagian skalanya 0,1 di bagian luar mantel air. Setelah bomb berada dalam air selama kira-kira lima menit, pembacaan suhu dimulai. Pembacaan ini dilakukan tiap menit selama kirakira sepuluh menit. Pada menit kesepuluh, pembakaran dimulai dengan perantaraan suatu kawat nikel yang berpijar seketika karena adanya arus listrik. Pembacaan diulangi sampai tercapai suhu yang tertinggi. Kemudian suhu akan mulai turun perlahan-lahan dan pembacaan setiap menit diulangi sampai kira-kira sepuluh menit. Bomb diangkat dari kalorimeter dan tutup dibuka perlahan-lahan. Alat kalorimeter bomb dapat dilihat pada Gambar 6. Perhitungan Pengukuran nilai kalor bakar dihitung berdasarkan banyaknya kalor yang dilepaskan sama dengan banyaknya kalor yang diserap. Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
dimana : t2 = suhu setelah pembakaran (0C) t1 = suhu mula-mula (0C) A = massa contoh yang terbakar (g) B = koreksi panas kawat nikel (kal/g) = 2358 kal/g
69
Gambar 18. Alat Bomb Calorimeter
70
Lampiran 4. Hasil analisa briket SBE dengan campuran arang TKS Catatan : A1 = konsentrasi perekat 2% A2 = konsentrasi perekat 3% A3 = konsentrasi perekat 4% B1 = konsentrasi arang TKS 25% B2 = konsentrasi arang TKS 50% B3 = konsentrasi arang TKS 75% a.
Hasil analisa kadar air (%) Sampel
Ulangan ke-1
Ulangan ke-2
Rata-rata
A1B1
3,597
3,704
3,65
A1B2
4,348
4,108
4,228
A1B3
5,045
4,29
4,668
A2B1
4,104
3,066
3,585
A2B2
3,629
3,422
3,526
A2B3
5,471
4,816
5,143
A3B1
3,74
3,77
3,755
A3B2
2,538
2,775
2,656
A3B3
4,828
4,669
4,748
Komersial
9,199
9,221
9,21
100% TKS
4,683
4,462
4,573
100% SBE
3,571
3,203
3,387
71
b. Hasil analisa kadar zat mudah menguap (%)
Sampel
Ulangan ke-1
Ulangan ke-2
Rata-rata
A1B1
27,338
27,16
27,249
A1B2
21,941
22,545
22,243
A1B3
17,861
18,182
18,021
A2B1
30,731
30,465
30,598
A2B2
21,299
23,574
22,437
A2B3
18,44
19,467
18,953
A3B1
32,382
29,312
30,847
A3B2
24,906
25,074
24,99
A3B3
21,773
20,525
21,149
Komersial
39,960
41,496
40,728
100% TKS
15,193
14,503
14,848
100% SBE
31,939
32,633
32,286
c.
Hasil analisa kadar abu (%) Sampel
Ulangan ke-1 Ulangan ke-2
Rata-rata
A1B1
49,126
49,288
49,207
A1B2
34,884
34,269
34,576
A1B3
20,383
19,816
20,1
A2B1
51,151
51,83
51,491
A2B2
32,283
35,266
33,774
A2B3
20,061
20,492
20,276
A3B1
50,787
50,236
50,512
A3B2
35,15
35,679
35,415
A3B3
20,394
20,233
20,314
Komersial
8,506
7,787
8,147
100% TKS
5,517
5,375
5,445
100% SBE
66,429
66,867
66,648
72
d. Hasil analisa kadar karbon terikat (%)
e.
Sampel
Ulangan ke-1
Ulangan ke-2
Rata-rata
A1B1
23,535
23,552
23,544
A1B2
43,175
43,186
43,181
A1B3
61,756
62,002
61,879
A2B1
18,118
17,705
17,912
A2B2
46,418
41,16
43,789
A2B3
61,499
60,041
60,77
A3B1
16,831
20,452
18,642
A3B2
39,944
39,247
39,595
A3B3
57,833
59,241
58,537
Komersial
51,533
50,717
51,125
100% TKS
79,292
80,122
79,707
100% SBE
1,633
0,501
1,067
Hasil analisa kerapatan (gr/cm3) Sampel
Nilai
A1B1
1,29
A1B2
1,197
A1B3
1,135
A2B1
1,262
A2B2
1,295
A2B3
1,119
A3B1
1,138
A3B2
1,082
A3B3
0,903
Komersial
0,690
100% TKS
0,865
100% SBE
1,419
73
f. Hasil analisa keteguhan tekan (kg/cm2)
g.
Sampel
Nilai
A1B1
13,769
A1B2
18,424
A1B3
28,846
A2B1
17,693
A2B2
25,065
A2B3
35,264
A3B1
18,479
A3B2
21,079
A3B3
22,883
Komersial
-
100% TKS
20,471
100% SBE
8,335
Hasil analisa nilai kalor (kal/gr) Sampel
Nilai
A1B1
6440
A1B2
7480
A1B3
6528
A2B1
7033
A2B2
6053
A2B3
5758
A3B1
7308
A3B2
7048
A3B3
5619
Komersial
5114
100% TKS
6156
100% SBE
6354
74
Lampiran 5. Uji statistik kadar air pada α = 5 % a. Tabel hasil analisa keragaman kadar air pada α = 5 % Sumber
Db
JK
KT
F hitung
F tabel
A
2
0,71179911
0,35589956
2,82
4,256
B
2
6,73179811
3,36589906
26,68**
4,256
AB
4
2,05590222
0,51397556
4,07*
3,663
Galat
9
1,13537100
0,12651223
Total
17
10,63487044
** berpengaruh sangat nyata * berpengaruh nyata R-square Coeff. Var
= 0,89 = 8,89
b. Uji lanjut Duncan faktor konsentrasi campuran arang TKS pada α = 5 % Perlakuan
N
Rata-rata
Kelompok Duncan
B3
6
4,8532
A
B1
6
3,6635
B
B2
6
3,4700
C
c. Uji lanjut Duncan interaksi faktor konsentrasi perekat dengan konsentrasi campuran arang TKS pada α = 5 % Perlakuan
N
Rata-rata
Kelompok Duncan
A2B3
2
5,1435
A
A3B3
2
4,7485
AB
A1B3
2
4,6675
AB
A1B2
2
4,2880
BC
A3B1
2
3,7550
C
A1B1
2
3,6505
C
A2B1
2
3,5850
C
A2B2
2
3,525
C
A3B2
2
2,6565
C
75
Lampiran 6. Uji statistik kadar zat mudah menguap pada α = 5 % a. Tabel hasil analisa keragaman kadar zat mudah memguap pada α = 5 % Sumber
Db
JK 29,9398690
KT
F hitung
A
2
B
2
AB
4
5,9250110
1,4812527
Galat
9
8,9056395
0,9895155
Total
17
362,4938685
F tabel
14,9699345
15,13*
4,256
317,7233490 158,8616745
160,54**
4,256
1,50
3,663
** berpengaruh sangat nyata * berpengaruh nyata R-square Coeff. Var
= 0,97 = 4,14
b. Uji lanjut Duncan faktor konsentrasi perekat pada α = 5 % Perlakuan
N
Rata-rata
Kelompok Duncan
A3
6
25,6620
A
A2
6
23,9960
B
A1
6
22,5045
C
c. Uji lanjut Duncan faktor konsentrasi campuran arang TKS pada α = 5 % Perlakuan
N
Rata-rata
Kelompok Duncan
B1
6
29,5647
A
B2
6
23,2232
B
B3
6
19,3747
C
76
Lampiran 7. Uji statistik kadar abu pada α = 5 % a. Tabel hasil analisa keragaman kadar abu pada α = 5 % Sumber
Db
JK
KT
1,953537
F hitung
A
2
B
2
AB
4
6,038513
1,509628
Galat
9
5,440206
0,604467
Total
17
2746,811667
F tabel
0,976769
1,62
4,256
273,.379411 1366,689705
2260,98**
4,256
2,50
3,663
Keterangan: ** berpengaruh sangat nyata R-square Coeff. Var
= 0,98 = 2,22
b. Uji lanjut Duncan faktor konsentrasi campuran arang TKS pada α = 5 % Perlakuan
N
Rata-rata
Kelompok Duncan
B1
6
50,4030
A
B2
6
34,5885
B
B3
6
20,2298
C
Lampiran 8. Uji statistik kadar karbon terikat pada α = 5 % a. Tabel hasil analisa keragaman kadar karbon terikat pada α = 5 % Sumber
Db
JK 46,662869
KT
A
2
B
2
AB
4
22,987132
5,746783
Galat
9
22,791868
2,532430
Total
17
4995,593457
F hitung
F tabel
23,331434
9,21*
4,256
4903,151587 2451,575794
968,07**
4,256
2,27
3,663
** berpengaruh sangat nyata * berpengaruh nyata R-square Coeff. Var
= 0,99 = 3,89
77
b.
Uji lanjut Duncan faktor konsentrasi perekat pada α = 5 % Perlakuan
N
Rata-rata
Kelompok Duncan
A1
6
42,8677
A
A2
6
40,8235
AB
A3
6
38,9247
B
c. Uji lanjut Duncan faktor konsentrasi campuran arang TKS pada α = 5 % Perlakuan
N
Rata-rata
Kelompok Duncan
B3
6
60,3953
A
B2
6
42,1883
B
B1
6
20,0322
C
Lampiran 9. Uji statistik kerapatan pada α = 5 % a. Tabel hasil analisa keragaman kerapatan pada α = 5 % Sumber
Db
JK
KT
F hitung
F tabel
A
2
0,01678383
0,00839192
1,57
19,000
B
2 0,037807971
0,01890485
3,53
19,000
AB
4
0,01043196
0,00260799
0,49
19,247
Galat
2
0,01070050
0,00535025
Total
10
0,07572600 R-square Coeff. Var
= 0,98 = 7,58
78
Lampiran 10. Uji statistik keteguhan tekan pada α = 5 % a. Tabel hasil analisa keragaman kerapatan pada α = 5 % Sumber
Db
JK
KT
F hitung
F tabel
A
2
67,2213780
33,6106890
11,54
19,000
B
2 232,0461267
116,0230634
39,82*
19,000
AB
4
53,3803145
13,3450786
4,58
19,247
Galat
2
5,8275005
2,9137502
Total
10
358,4753196
* berpengaruh nyata R-square Coeff. Var
= 0,86 = 6,09
b. Uji lanjut Duncan faktor konsentrasi campuran arang TKS pada α = 5 % Perlakuan
N
Rata-rata
Kelompok Duncan
B3
3
28,998
A
B2
5
22,142
B
B1
3
16,647
B
79
Lampiran 11. Rekapitulasi hasil analisis briket SBE dengan campuran arang TKS Sampel
Kadar Air
Kadar Zat Mudah
Kadar Abu
Kadar Karbon Terikat
Kerapatan
Keteguhan Tekan 2)
Nilai Kalor
(%)
Menguap (%)
(%)
(%)
(gr/cm3)
(kg/cm
(kal/gr)
A1B1
3,650
27,249
49,207
23,544
1,29
13,769
6440
A1B2
4,228
22,243
34,576
43,181
1,197
18,424
7480
A1B3
4,668
18,021
20,1
61,879
1,135
28,846
6528
A2B1
3,585
30,598
51,491
17,912
1,262
17,693
7033
A2B2
3,526
22,437
33,774
43,789
1,295
25,065
6053
A2B3
5,143
18,953
20,276
60,77
1,119
35,264
5758
A3B1
3,755
30,847
50,512
18,642
1,138
18,479
7308
A3B2
2,656
24,99
35,415
39,595
1,082
21,079
7048
A3B3
4,748
21,149
20,314
58,537
0,903
22,883
5619
KOM
9,210
40,728
8,147
51,125
1,318
-
5114
JPN
8
30
6
60
1,2
65
6000
ENG
3,6
16,4
5,9
75,3
0,48
12,7
7289
A1B3 = briket kombinasi terbaik
80
Lampiran 12. Uji aplikasi briket (aplikasi mendidihkan air 1000C)
Parameter
TKS 100%
Hasil Penelitian
SBE 100%
Komersial
Bobot Awal (gr)
260
255
256
255
Bobot Akhir (gr)
43
80
220
25
200,03
148,00
20,03
170,03
1,08
1,18
1,79
1,35
4
3
1
4
Laju Mendidihkan (mnt)
155,38
75,260
13,40
170,03
Laju Mendidihkan Air (mnt/liter)
38,85
25,086
13,40
42,51
Seperti Lilin
Seperti
Merah
+ Merah Bara
Lilin
Kekuningan
Waktu Menyala (mnt) Laju Pembakaran (gr/mnt) Volume Air (liter)
Warna Nyala Briket
Merah Bara
Asap
+
++
+++++
++
Bau
+
++
+++++
++
Keterangan : + + + + = sangat banyak; + + + = banyak; + + = sedikit; + = sangat sedikit Briket Hasil Penelitian : briket kombinasi terbaik dengan konsentrasi perekat 2% dan arang TKS 75%.
81
Lampiran 13. Dokumentasi Penelitian
a. Briket 100% TKS
b. Briket 75% TKS (kombinasi terbaik)
d. Briket Komersial
c. Briket 100% SBE
e. Pembuatan Perekat Tapioka
82
f. Retort
i. Tanur yang berisi cawan porselin
g. Alat Pengempa Briket
j. Oven
h. Alat Penguji Ketahan Tekan
k. Bomb Calorimeter 83
LAMPIRAN 14. PERATURAN PEMERINTAH NO. 18 TAHUN 1999 TANGGAL 27 FEBRUARI 1999
TABEL 1. DAFTAR LIMBAH B3 DARI SUMBER YANG TIDAK SPESIFIK
84
TABEL 2. DAFTAR LIMBAH B3 DARI SUMBER YANG SPESIFIK
85
86
87
88
89
90