PEMANFAATAN SIG UNTUK PEMBUATAN PETA KERAWANAN BANJIR Oleh : Sisno, SJ.
ARC VIEW
PRODI DIPLOMA III PERENCANAAN SUMBERDAYA LAHAN/ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2016
0
A. LATAR BELAKANG Bencana banjir, banjir bandang, dan tanah longsor yang menimpa sebagian besar wilayah Indonesia pada akhir-akhir ini bukan suatu perkembangan baru. Bencana banjir yang selalu terjadi di wilayah Indonesia setiap tahunnya, terutama di wilayah permukiman kota seperti Jakarta sudah semestinya menyadarkan kita semua, betapa pentingnya perencanaan penggunaan lahan dan penataan kota pada setiap kegiatan pembangunan. Kesadaran untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam sebagai anugerah Illahi harus selalu ditumbuhkembangkan dalam setiap masyarakat Indonesia, terutama para penentu kebijakan (stakeholder) di negeri tercinta ini. Banjir adalah fenomena alam yang terjadi pada saat intensitas hujan yang turun sangat tinggi, melebihi kapasitas resapan dan daya tampung alami lahan sehingga terjadi runoff pada permukaan tanah yang besar.
Amsyari (1986) mengemukakan bahwa
peristiwa banjir dan manusia memiliki hubungan yang erat, yaitu banjir mempengaruhi kehidupan manusia, dan sebaliknya manusia menjadi penyebab terjadinya banjir, sehingga bisa dikatakan banjir dan manusia sesungguhnya mempunyai ikatan ekologis. Ketersediaan air di muka bumi sangat bergantung pada daur hidrologi, kemampuan bumi untuk menyimpan air, serta kemampuan manusia untuk mengelolanya. Adanya gangguan pada daur hidrologi inilah peristiwa banjir menjadi tidak terkontrol dan seringkali menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya di muka bumi. Sejalan dengan berkembangnya penduduk, terjadi peningkatan pemanfaatan lahan guna keperluan permukiman, perdagangan, industri, fasilitas kesehatan dan pendidikan, sarana dan prasarana transportasi, pertanian, dan penggunaan lahan lainnya telah mengakibatkan terjadinya gangguan pada daur hidrologis, baik kualitas maupun kuantitasnya.
Ketidakmampuan manusia dalam mengelola sumberdaya air dapat
berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri, baik akibat tercemarnya 1
tubuh air oleh limbah berbahaya dan beracun, banjir pada musim penghujan, maupun kekeringan pada musim kemarau. Wilayah Indonesia yang memiliki kondisi iklim tropik basah dan intensitas hujan yang tinggi, terutama di wilayah Indomnesia bagian barat memiliki potensi yang sangat tinggi untuk terjadinya bencana banjir pada musim penghujan. Meningkatnya aliran air sungai melebihi tebing sungai dapat menggenangi daerah sekitar sungai. Banjir di kawasan permukiman dapat pula disebabkan oleh terakumulasinya aliran air pada daerah dengan topografi datar yang melebihi laju infiltrasi air ke dalam tanah. Kejadian banjir yang kedua tersebut lebih sering terjadi di wilayah permukiman kota yang tanahnya ratarata telah mengalami pemadatan akibat meningkatnya perubahan penutupan/ penggunaan lahan untuk pembangunan. Praktikum mengenai ”Pemanfataan SIG untuk Pembuatan Peta Kerawanan Banjir” ini dilaksanakan menggunakan metode analisis digital pada citra Landsat 8 yang diintegrasikan dengan metode Geographyc Information System. Analisis digital citra dilaksanakan menggunakan metode Maximum Likelihood Algorithm Superfised Classificatiton dan teknik overlay data citra multi temporal yang meliput daerah yang sama. Variabel yang dikaji untuk mengetahui kerawanan banjir adalah (1) bentuk lahan; (2) lereng; (3) tataguna lahan; (4) kerapatan aliran; dan (5) kapasitas infiltrasi tanah. Masing-masing parameter diklasifikasikan dan diberi harkat (skor) sesuai tingkat keandilannya dalam menentukan terjadinya banjir di wilayah kajian. Penentuan kelas kerentanan banjir dilakukan melalui teknik overlay menggunakan teknik aritmatik, yaitu melalui teknik penjumlahan harkat setiap parameter penyebab terjadinya banjir. Dalam praktikum ini, zona kerawanan banjir dibagi dalam 3 kelas kerawanan, yaitu tidak rawan banjir, agak rawan banjir, dan rawan banjir yang digambarkan pada Peta Kerawanan
2
Banjir Daerah ”X” dengan skala 1 : 50.000 (PP No. 10 Tahun 2000, tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah). B. PERUMUSAN MASALAH Banjir merupakan suatu peristiwa meluap dan atau menggenanginya air pada suatu dataran dan menjadi ancaman serius bagi penduduk, terutama penduduk yang menempati bantaran sungai dan atau penduduk yang tinggal di dataran rendah (ledokan), serta daerah pesisir dekat muara sungai. Berdasarkan sumbernya, pada umumnya banjir dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu (1) banjir kiriman, sebagai akibat meningkatnya debit air sungai di bagian hulu melebihi daya tampung sungai sehingga air meluap menggenangi wilayah disekitarnya yang lebih rendah; (2) banjir lokal, sebagai akibat tingginya intensitas hujan dan rendahnya laju infiltrasi tanah dan atau kurangnya saluran drainase yang mengakibatkan terakumulasinya air hujan di daerah tersebut; (3) banjir rob, sebagai akibat tingginya air pasang laut yang menggenangi daerah-daerah sekitar pantai yang memiliki elevasi permukaan tanah yang rendah. Sejalan dengan perkembangan penduduk dan peningkatan tuntutan kebutuhan lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan dan permukiman, terjadinya konversi lahan dari lahan-lahan terbuka hijau menjadi lahan-lahan terbangun merupakan konsekuensi logis dari pembangunan yang tidak dapat dihindarkan.
Meningkatnya lahan-lahan
terbangun mengakibatkan terjadinya pemadatan dan penutupan tanah oleh bangunan permanen yang berakibat pada menurunnya kapasitas infiltrasi tanah. Apabila terjadi hujan pada daerah terbangun dengan intensitas hujan yang tinggi dan waktu yang cukup lama, air hujan akan tertampung dan mengalir dipermukaan tanah, kemudian terakumulasi pada daerah-daerah yang lebih rendah sebagai peristiwa banjir. Berbagai literatur menunjukkan, bahwa peristiwa banjir hanya akan terjadi apabila air hujan yang turun pada suatu daerah melebihi kapasitas tampung sungai dan kapasitas 3
infiltrasi tanah. Perubahan pada karakteristik hidrograf aliran sebagai akibat perubahan penutupan/ penggunaan lahan seperti pembuatan bangunan di sepanjang bantaran sungai, penumpukan sampah pada aliran sungai, pembuatan jalan, bangunan, permukiman, dan kegiatan pemadatan tanah lainnya dapat memacu terjadinya banjir pada daerah-daerah rendah disepanjang aliran air dari hulu ke hilir.
Sejalan dengan apa yang diungkapkan
oleh Asdak (2002), bahwa kegiatan yang bersifat memadatkan tanah dapat meningkatkan volume dan waktu berlangsungnya air larian, dan memperbesar debit puncak dapat menimbulkan banjir, maka perubahan penutupan/ penggunaan lahan pada suatu daerah harus tetap terkontrol dengan baik agar peristiwa banjir dapat dikendalikan pada skala yang tidak membahayakan. Praktikum mengenai pemanfaatan data penginderaan jauh untuk kajian kerentanan banjir dapat dilakukan dengan menganalisis faktor-faktor
penentu terjadinya banjir,
seperti bentuk lahan, topografi, tataguna lahan, kapasitas infiltrasi tanah, dan kerapatan aliran. Faktor bentuk lahan, topografi, tataguna lahan, dan kerapatan aliran dapat disadap dan dianalisis menggunakan data penginderaan jauh yang diintegrasikan dengan sistem informasi geografi, sedangkan faktor kapasitas infiltrasi tanah dapat diperoleh melalui pengamatan lapang dan analisis laboratorium, maupun melalui metode pendugaan atas dasar karakteristik medan. Hasil analisis faktor-faktor penentu banjir yang disadap dari citra penginderaan jauh, pengamatan lapang dan analisis laboratorium masing-masing diklasifikasi dan diberi nilai bobot. Melalui analisis digital menggunakan cara overlay aritmatik seluruh kelas faktor penentu banjir, akan diperoleh Peta Zona Kerawanan Banjir. Dari uraian tersebut di atas, permasalahan yang perlu dipecahkan dalam penelitian ini adalah :
4
1. Berapa luas areal penutupan lahan yang ada di daerah kajian sebagai konsekuensi logis dari kegiatan pembangunan ?. 2. Berapa luas areal lahan terbuka hijau sebagai daerah tangkapan dan resapan air di wilayah kajian ?. 3. Bagaimana pengaruh tataguna lahan terhadap tingkat dan zona kerentanan banjir di wilayah kajian ?.
C. TINJAUAN PUSTAKA Sunarto (2006), mengemukakan bahwa bencana antropogenik seperti banjir dan longsor di Indonesia yang semakin bertambah frekuensi, besaran, maupun luasannya diakibatkan oleh adanya degradasi lahan dan kerusakan lingkungan dalam skala luas sehingga mengubah unsur-unsur iklim yang mengakibatkan cuaca yang ekstrem. Salah satu fenomena alam yang timbul akibat cuaca ekstrem adalah musim kemarau yang cenderung semakin panjang, musim hujan yang cenderung semakin pendek, hujan dengan durasi pendek tetapi memiliki intensitas curah hujan yang tinggi. Kondisi cuaca ekstrem tersebut mengakibatkan perubahan lingkungan pada daerah aliran sungai dimana banjir dan longsor merupakan respon dari daerah aliran sungai yang telah terganggu. Banjir dan longsor keduanya merupakan suatu peristiwa alam sebagai bagian dari proses goelogik oleh akibat bekerjanya energi eksogenik dan endogenik pada suatu bentang alam. Dalam beberapa hal, selain pengaruh aktivitas manusia pada lahan, energi eksogenik yang berupa iklim, terutama curah hujan merupakan faktor utama terjadinya bencana banjir dan longsor tanah. Sebagai suatu peristiwa alam, banjir lebih sering diartikan sebagai peristiwa meluapnya aliran air sungai yang melebihi daya tampung sungai dan kemudian menggenangi wilayah yang ada di bagian bawahnya sebagai akibat tingginya intensitas hujan yang turun di suatu daerah tangkapan air dan atau 5
terakumulasinya air hujan yang turun di suatu daerah akibat rendahnya laju infiltrasi air ke dalam tanah (Asdak, 2002). Azwar Maas (2006) menyebutkan paling tidak ada 6 faktor penentu terjadinya peristiwa banjir, yaitu (1) iklim, terutama curah hujan; (2) perubahan tataguna lahan; (3) kemiringan dan tindakan konservasi tanah; (4) erosi dan sedimentasi; (5) kegiatan biota (vegetasi, hewan, jasad renik); dan (6) manusia. Dari keenam faktor tersebut, faktor manusialah yang paling berperan dalam memacu, menghambat atau mencegah terjadinya banjir, diantaranya melalui perubahan tataguna lahan, pengelolaan lingkungan hidup, dan kebijakan penataan ruang. Perubahan tataguna lahan (konversi lahan) dapat diartikan sebagai suatu perubahan pemanfaatan sebidang lahan dari suatu penggunaan lahan tertentu ke penggunaan lahan lain.
Perubahan tataguna lahan dari lahan-lahan terbuka hijau
(pertanian) ke lahan-lahan non pertanian (terbangun) yang bersifat menutupi dan atau memadatkan tanah sebagaimana terjadi di Jakarta dan kota-kota lainnya, umumnya dinilai sebagai faktor penentu utama terjadinya bencana banjir. Perubahan tataguna lahan terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah (1) kebijakan pemerintah, (2) diversifikasi/ pengembangan usaha, dan (3) kebutuhan yang mendesak. Asdak (2002) mengungkapkan bahwa kegiatan yang bersifat menutupi dan atau memadatkan tanah seperti penggembalaan, pembuatan jalan dan bangunan lainnya, dan pembalakan hutan dalam batas tertentu dapat meningkatkan volume dan waktu berlangsungnya air larian, dan dengan demikian memperbesar debit puncak yang kemudian dapat menimbulkan banjir. Analisis faktor-faktor penentu terjadinya banjir seperti bentuk lahan, topografi, tataguna lahan, kapasitas infiltrasi tanah, ukuran dan kerapatan drainase menggunakan data penginderaan jauh yang diintegrasikan dengan sistem informasi geografi
yang
dilanjutkan dengan survei lapang sangat penting untuk mengetahui tingkat kerawanan
6
banjir di suatu daerah.
Hasil analisis faktor-faktor penentu banjir
yang diperoleh
masing-masing diklasifikasi dan diberi nilai bobot faktor penentu banjir. Melalui teknik pemetaan digital dengan cara overlay dan penjumlahan nilai bobot seluruh kelas faktor penentu banjir, akan diperoleh Peta Zona Kerentanan Banjir. Sutanto (1986) mengemukakan bahwa penggunaan data penginderaan jauh untuk pemetaan bencana yang tidak memungkinkan dilakukan pemetaan secara terseterial adalah satu satunya cara yang tidak dapat diabaikan. Lillesand dan Kiefer (1994), mengemukakan bahwa penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni perolehan data dan informasi obyek, area, dan fenomena alam melalui analisis data dan informasi yang diperoleh tanpa kontak langsung dengan obyek, area dan fenomena yang dikaji. Data penginderaan jauh adalah data yang diperoleh menggunakan kamera dan atau scanner yang dipasang pada suatu wahana guna meliput obyek permukaan bumi. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan kedirgantaraan, sekarang ini telah banyak dikenal data penginderaan jauh yang memiliki resolusi spasial dan resolusi spektral yang tinggi, diantaranya adalah citra Landsat 7 ETM+, Landsat 8, SPOT 5, Ikonos, Quickbird, ALOS, Radarsat, Envisat, Terra, Aqua, Couldsat, dan GOES. Semakin meningkatnya pemanfaatan data penginderaan jauh untuk kajian sumberdaya alam, antara lain disebabkan oleh (1) kemampuan data penginderaan jauh untuk menggambarkan wujud dan letak obyek yang mirip dengan wujud dan letak obyek di permukaan bumi; (2) meliput daerah yang luas; dan (3) informasi yang lengkap, akurat dan permanen. Paine (1979) mengemukakan bahwa data penginderaan jauh merupakan sumber informasi yang penting mengenai perubahan-perubahan tataguna lahan sepanjang waktu. Hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Paine selama 15 tahun dari tahun 1956 sampai tahun 1979 di daerah negara bagian Oregon menunjukkan 28 persen lahan pertanian dan lahan kehutanan telah mengalami perubahan tata guna lahan menjadi lahan
7
permukiman.
Bintarto (1976), menyebutkan paling tidak ada enam manfaat data
penginderaan jauh untuk studi kota, diantaranya adalah (1) monitoring perubahan tataguna lahan dan struktur bangunan kota, (2) pembuatan dan pembaharuan peta tataguna lahan dan peta perencanaan kota, (3) deliniasi batas pemilikan tanah dan perbaikan perpajakan tanah dan bangunan, (4) penilaian jalur lalu lintas untuk merancang jalur lalu lintas baru, (5) deteksi perubahan dan pertumbuhan permukiman baru di wilayah perkotaan, dan (6) monitoring tingkat pencemaran lingkungan perkotaan. Dalam bidang perencanaan dan pemantauan perkembangan kota, penggunaan data penginderaan jauh multi temporal sangat berguna untuk mengetahui luas dan jenis perubahan tataguna lahan di wilayah perkotaan.
De Bruijn, et al (1976 dalam
Avery,1989) mengemukakan, bahwa penggunaan data penginderaan jauh diperlukan untuk studi perkembangan kota dan masalah-masalah perkotaan,
sangat
antara lain
untuk pengaturan dan perencanaan bangunan, penilaian pajak, pemekaran kota, studi lalu lintas, studi kualitas lingkungan kota, dan penarikan batas pemilikan tanah. Pemanfaatan data penginderaan jauh dalam waktu dan tingkat ketelitian yang tepat dapat menjadi alat yang efisien dan efektif untuk mempelajari masalah-masalah perkotaan yang kritis, seperti pertumbuhan penduduk, kepadatan jaring-jaring transportasi, penilaian kualitas dan pertumbuhan pembangunan perumahan (real estate), kebutuhan-kebutuhan rekreasi, dan zonasi kualitas lingkungan hidup (Avery,1989). Sedangkan Lillesand dan Kiefer (1994) mengatakan bahwa interpretasi data penginderaan jauh sangat membantu kajian kualitas perumahan melalui analisis statistik atas serangkaian faktor kualitas lingkungan seperti ukuran rumah, ukuran persil, kepadatan bangunan, mundurnya letak bangunan dari jalan, tumbuhnya perkampungan kumuh di sekitar lokasi pembangunan dan bantaran sungai, lebar dan kondisi jalan, pemeliharaan halaman dan lahan terbuka, jarak terhadap tempat parkir, dan jarak terhadap daerah industri.
8
Dalam bidang pemantauan dan pengendalian bencana banjir, paling tidak ada 5 hal yang dapat disadap dari data penginderaan jauh, yaitu : (1) memantau perkembangan faktor-faktor lingkungan yang dapat menimbulkan terjadinya bencana; (2) mengetahui sumber dan luas areal persebaran bencana; (3) memperkirakan dampak/ kerugian yang mungkin terjadi akibat bencana; dan (4) menganalisis dan menentukan langkah pengendalian dan penanggulangan bencana. Sutanto (1986), pemanfaatan data penginderaan jauh untuk tujuan penelitian dilaksanakan melalui enam tahap, yaitu (1) perumusan masalah dan tujuan penelitian, (2) evaluasi kemampuan data penginderaan jauh yang digunakan, (3) pemilihan prosedur, (4) persiapan bahan dan alat penelitian, (5) interpretasi data, uji lapangan, dan interpretasi ulang, dan (6) penyajian laporan.
Dulbahri (1999) mengemukakan bahwa melalui
integrasi data penginderaan jauh dan sistem informasai geografi (SIG), pemanfaatan data penginderaan jauh untuk berbagai penelitian/ kajian mencakup skala yang sangat luas dan dapat menghasilkan berbagai informasi baru yang tidak terprediksi sebelumnya.
D. TUJUAN PRAKTIKUM Tujuan umum praktikum ini adalah : 1. Mengetahui luas area dan prosentase tataguna lahan yang ada di daerah ”X” sebagai konsekuensi logis dari pembangunan. 2. Mengetahui luas areal dan rasio lahan terbuka hijau sebagai daerah resapan air dengan lahan-lahan yang sudah terbangun di wilayah ”X”. 3. Mengetahui zona dan tingkat kerentanan banjir di wilayah ”X” sebagai akibat perubahan tataguna lahan.
9
E. KONTRIBUSI PPAKTIKUM Hasil pelaksanaan praktikum ini diharapkan akan bermanfaat sebagai : 1. salah satu bahan masukan atau sumber informasi bagi mahasiswa Program Studi D3 Perencanaan Sumberdaya Lahan/Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNSOED untuk bisa memanfaatkan Sistem Informasi Geografi untuk penyelesaian tugas akhir. 2. menumbuhkembangkan kesadaran bagi mahasiswa untuk lebih peduli dan tanggap terhadap berbagai persoalan keruangan yang terkait dengan kemajuan daerah dan kondisi sosial masyarakat terutama terkait dengan bidang pertanian. 3. sebagai salah satu bahan informasi bagi masyarakat mengenai peluang terjadinya bencana banjir yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
F. METODOLOGI a. Waktu dan Tempat Praktikum Praktikum ini akan dilaksanakan mulai bulan April – Mei 2016 di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UNSOED dan dilanjutkan dengan kajian lapang. b. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan adalah : a. Bahan yang dibutuhkan adalah :
Citra satelit Landsat 8; Peta Rupa Bumi Digital
Indonesia Lembar P dan Q (misal Lembar Purwokerto 1308-612 dan Lembar Purbalingga 1308-621) Skala 1 : 25.000 edisi I Tahun 2000; Peta Administrasi ”X”; Peta Geologi Lembar R dan S (misal: Purwokerto 1309-3 dan Tegal 1309-6) Skala 1 : 100.000 edisi tahun 1996; sampel tanah untuk uji infiltrasi.
10
b. Alat yang dibutuhkan meliputi : (1) seperangkat komputer Pentium (4) Processor, RAM 524 MB, HardDisk 40 GB, CD Room FX 4820 T!B, Keyboard 104 Keys, Monitor Berwarna SVGA; (2) Penyiam (Scanner) dengan resolusi optik 600 x 1200 dpi (dot per inch) dan Printer dengan tinta warna untuk pencetakan peta dan pelaporan. (3) Perangkat lunak yang berupa program Microsoft Photo Editor untuk konversi dan penyimpanan data analog ke data raster hasil scanning, program pengolah data citra digital
(ER Mapper versi 7.0), pengolah data spasial dan pemetaan
(Arc_View GIS versi 3.3, dan Arc_Info GIS versi 3.5). (4) Kamera, teodolit, clinometer, altimeter, kompas, dan alat dan bahan kimia untuk survei lapang serta analisis laboratorium.
c. Metode Analisis Spasial Metode yang digunakan dalam praktikum ini berupa metode klasifikasi multispektral citra digital Landsat 8 dengan kombinasi saluran spektral RGB 543 yang diintegrasi dengan Sistem Informasi Geografi yang dilanjutkan dengan pengecekan lapangan dan pengumpulan data sekunder. Analisis spasial dilakukan untuk memperoleh data faktor penentu banjir, yang meliputi : bentuk lahan, lereng, tataguna lahan, kerapatan aliran, dan penetapan lokasi pengambilan sampel dan pengecekan lapangan. Sampel tanah yang diambil pada tiap titik sampel pengamatan kemudian dianalisis di laboratorium untuk menetapkan kapasitas infiltrasi tanah (dalam kegiatan praktikum ini, kapasitas infiltarsi hanya ditaksir berdasarkan kelas tekstur dan struktur tanahnya). Hasil analisis digital masing-masing faktor penentu banjir dioverlaykan dan diberi harkat berdasarkan tingkat keandilannya terhadap banjir. Penjumlahan masing-masing harkat faktor penentu banjir digunakan untuk pembuatan Peta Tentatif Zona Kerawanan Banjir Daerah Kajian untuk digunakan sebagai Peta Kerja Lapang untuk pengecekan lapangan dan pengambilan 11
sampel tanah berdasarkan metoda stratified random sampling, dan kemudian digunakan sebagai dasar pembuatan Peta Zona Kerawanan Banjir Daerah ”X” Skala 1 : 50.000. d. Variabel Pengamatan Variabel respon yang akan diamati dalam praktikum ini terdiri atas : (1) bentuk lahan; (2) lereng; (3) tataguna lahan; (4) kerapatan aliran; dan (5) kapasitas infiltrasi tanah. a. Bentuk lahan Data bentuk lahan diperoleh berdasarkan identifikasi dan klasifikasi bentuk lahan berdasarkan Pedoman Klasifikasi Landform (Guidelines for Landform Classification) yang disusun oleh Marsoedi Ds, et al (1994). Identifikasi dan klasifikasi dilakukan pada citra komposit Landsat7 ETM+ RGB 543 yang dibantu dengan Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal (1309-3 dan 1309-6) Skala 1 : 100.000 edisi tahun 1996 yang dikeluarkan oleh Geological Research and Development Centre, Bandung. Secara umum, bentuk lahan daerah penelitian termasuk dalam satuan morfologi gunung api. Tabel 1. Klasifikasi bentuk lahan (bobot 40) Bentuk lahan
Skor
Lereng volkan tengah (middle slope) (V1.1.1.2)
5
Lereng volkan bawah (lower slope) (V1.1.1.3)
10
Kaki volkan (volcanic foot slope)
15
(V1.1.4)
Sumber : Marsoedi Ds, et al , 1994 b. Lereng Data lereng (topografi) yang digunakan dalam praktikum ini meliputi bentuk dan kemiringan lereng yang diperoleh melalui analisis kontur pada citra komposit Landsat7 ETM+ RGB 543 yang dibantu dengan peta Rupa Bumi Indonesia Lembar 12
Purwokerto dan Purbalingga (1308-612 dan 1308-621) Skala 1 : 25.000 edisi I-2000 yang dicetak dan dikeluarkan oleh BAKOSURTANAL, Jakarta.
Klasifikasi bentuk
dan kemiringan lereng mengacu pada Pedoman Klasifikasi Landform (Guidelines for Landform Classification) yang disusun oleh Marsoedi Ds, et al (1994). Tabel 2. Klasifikasi bentuk lereng daerah penelitian (bobot 30) Bentuk lereng Cembung (convex slope)
(B1)
Skor 5
Lurus (straight slope)
(B2)
10
Cekung (concave slope)
(B3)
15
Sumber : Marsoedi Ds, et al , 1994 dengan modifikasi Tabel 3. Klasifikasi kemiringan lereng daerah penelitian (bobot 30) Prosen lereng
Kriteria
Skor
Curam (steep)
5
15 – 25 %
Agak curam (moderately steep)
10
3 – 15 %
Landai (slopping)
15
0 – 3%
Datar (flat)
20
> 25 %
Sumber : Marsoedi Ds, et al , 1994 dengan modifikasi c. Tataguna Lahan Data tataguna lahan diperoleh melalui klasifikasi multispektral citra komposit RGB 543 Landsat7 ETM+
menggunakan metode Maximum Likelihood Algorithm
Superfised Classificatiton. Klasifikasi tataguna lahan mengacu pada sistem klasifikasi tataguna lahan yang dibuat oleh I Made Sandy (1975, dalam Hartono, et al., 2001). Kelas tatagunalahan daerah kajian (Purwokerto) pada Tabel 4. d. Kerapatan aliran Data kerapatan aliran diperoleh melalui identifikasi dan pengukuran panjang aliran pada citra Landsat7 ETM+ pada tiap satuan luas lahan dibagi luas satuan lahan dalam 13
km/km2. Klasifikasi kerapatan aliran daerah kajian (Tabel 5) mengacu pada klasifikasi kerapatan aliran yang digunakan untuk menghitung koefisien aliran (runoff) yang dikemukakan oleh Bransby dan Williams dalam Meijerink (1974). Tabel 4. Klasifikasi tataguna lahan daerah kajian (bobot 20) Tataguna lahan
Skor
Pengaliran air (sungai, saluran irigasi, drainase)
5
Kolam, Sawah (irigasi teknis dan non teknis)
10
Sawah tadah hujan (non irigasi), kebun campur, tegalan, lapangan olahraga berumput, taman rekreasi
15
Permukiman dengan pekarangan terbuka dan pepohonan
20
Permukiman dengan sebagian pekarangan yang diperkeras, permukiman agak padat, perkantoran, pendidikan, stasiun KA, jalan KA Pasar tradisional, pasar modern, kompleks pertokoan, terminal, bangunan dengan halaman diperkeras permanen, jalan raya, lapangan voley.
25
30
Sumber : I Made Sandy (1975, dalam Hartono, et al., 2001) dengan modifikasi Tabel 5. Klasifikasi kerapatan aliran (bobot 20) Kerapatan aliran Kriteria (km/km2)
Skor
<1
Sangat rendah
5
1–2
Rendah
10
2–5
Sedang
15
>5
Tinggi
20
Sumber : Meijerink (1974) dengan modifikasi
e. Kapasitas infiltrasi Data kapasitas infiltrasi dalam penelitian ini diperoleh melalui metode interpretasi karakteristik lahan dan kondisi penutupan lahan, kemudian secara logis ditentukan tingkat infiltrasinya berdasarkan kelas tekstur dan struktur tanahnya.
14
Tabel 6. Klasifikasi kapasitas infiltrasi (bobot 30) Karakteristik lahan
Tingkat infiltrasi
Skor
Cepat
5
Debu dalam dengan infiltrasi kira-kira setipe dengan tanah prairi
Sedang
10
Material liat atau tanah lain dengan kapasitas infiltrasi rendah
Agak cepat
15
Tidak ada penutup tanah efektif dan lapisan tanah yang tipis
Lambat
20
Tanah tertutup material kedap air/ bangunan
Sangat lambat
25
Pasir dalam atau tanah lain yang mampu menyerap air dengan cepat
Sumber : Totok Gunawan (1999), dengan modifikasi
e. Analisis Data Setelah klasifikasi dan pengharkatan dari kelima faktor penentu banjir, kemudian dilakukan tumpangtepat (overlay) peta tematik faktor penentu banjir guna menentukan tingkat kerentanan banjir dan pembuatan Peta Zona Kerawanan Banjir Daerah “X”. Penentuan kelas/ tingkat kerentanan banjir dilakukan dengan cara menjumlahkan skor keseluruh faktor penentu banjir. Pada penelitian ini, jumlah skor tertinggi adalah 3400, dan jumlah skor terendah adalah 850. Tingkat/ kelas kerentanan banjir yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 kelas yang diperoleh dengan persamaan : K = (A – B) / N .............................................................................................. (1) dimana : K = Kelas interval; A = Skor tertinggi; B = Skor terendah; dan N = Jumlah kelas yang diinginkan.
15
Dari persamaan (1) tersebut diperoleh interval 31,67 yang dibulatkan menjadi 32. Dengan demikian kelas/ tingkat kerentanan banjir dalam kegiatan praktikum ini sebagaimana tersebut dalam Tabel 7 di bawah ini. Tabel 7. Kelas kerentanan banjir daerah penelitian Kelas kerentanan Jumlah skor
Kriteria
I
850 - 1700
Tidak rentan banjir
II
1701 - 2250
Agak rentan banjir
III
2251 - 3400
Rentan banjir
f. Tahap Pelaksanaan Praktikum Praktikum rencana akan dilaksanakan dalam 6 tahap, yaitu (1) tahap persiapan; (2) tahap analisis data grafis; (3) tahap pengamatan lapang; (4) tahap analisis laboratorium; (5) tahap reinterpretasi, pengolahan data dan uji ketelitian; (6) pelaporan. a. Tahap Persiapan Tahap persiapan meliputi pengumpulan bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian, seperti pengadaan citra satelit dan peta-peta yang diperlukan, pengadaan bahan dan alat survei lapang dan analisis laboratorium, persiapan komputer dan install program pengolah citra dan program pembuatan peta yang akan digunakan. b. Tahap Analisis Data Grafis Tahap pelaksanaan analisis data grafis meliputi : 1. Input data, cropping area, rektifikasi, interpretasi, analisis dan klasifikasi multi spektral citra Landsat 8 untuk memperoleh data dan peta faktor penentu banjir, seperti : bentuk lahan, topografi, tataguna lahan, kerapatan aliran, dan kapasitas infiltrasi menggunakan perangkat lunak ER Mapper. 2. Deliniasi, editing, tabulasi, dan skorring satuan lahan faktor-faktor penentu banjir menggunakan perangkat lunak Arc_View. 16
3. Analisis tumpang tepat (overlay) peta faktor penentu banjir dan penentuan lokasi serta sebaran titik sampel pengamatan menggunakan perangkat lunak Arc_View 4. Pencetakan peta sementara (tentatif) zona kerentanan banjir
menggunakan
perangkat lunak Arc_View. c. Tahap Pengamatan Lapang Tahap pengamatan lapang meliputi : 1. Pengecekan batas satuan pemetaan dan perbaikan batas dan isi satuan pemetaan. 2. Pengamatan dan penyadapan data lapang yang
diperlukan untuk analisis
kerentanan bajir, seperti : bentuk lahan, bentuk dan kemiringan lereng, tataguna lahan, jenis dan kerapatan bangunan, jenis, bentuk dan ukuran bangunan pengaliran air (drainase), jenis dan kondisi penutupan tanah. 3. Pengambilan sampel tanah pada loksi yang ditentukan. d. Tahap reinterpretasi, pengolahan data, dan uji ketelitian Tahap reinterpretasi, pengolahan data dan uji ketelitian, meliputi : 1. Interpretasi dan perbaikan batas maupun isi satuan pemetaan (poligon) sesuai hasil pengecekan di lapang. 2. Perhitungan statistik luas area faktor penentu banjir daerah penelitian, prosentase lahan terbuka hijau dan lahan terbangun, rasio lahan terbuka hijau dengan lahan terbangun pada masing-masing kelas kerentanan banjir 3. Analisis statistik (uji korelasi) untuk mengetahui hubungan tataguna lahan / pemadatan tanah dengan tingkat kerentanan banjir.
17
f. Tahap pelaporan Tahap pelaporan dalam kegiatan penelitian ini, meliputi : 1. Penyusunan dan pengetikan laporan 2. Pencetakan peta Zona Kerawanan Banjir Daerah ”X” Skala 1 : 50.000 3. Penyerahan laporan dan penyelesaian administrasi. g. Sistematika Pelaporan Sistematika pelaporan adalah sebagai berikut : Halaman Judul Halaman Pengesahan Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran Bab I.
Pendahuluan (meliputi : Latarbelakang, Perumusan maslah, Tujuan dan Manfaat)
Bab II. Metodologi (meliputi : Waktu dan tempat praktikum, bahan dan alat, metode praktikum, , varibel pengamatan, analisis data, dan pemetaan) Bab III. Hasil dan Pembahasan (meliputi : Kondisi umum daerah ”X”, Bentuklahan, Topografi, Tatagunalahan, Kerapatan Aliran, Kapasitas Infiltrasi, Peta Kerawanan Banjir) Bab IV. Simpulan dan Rekomendasi Daftar Pustaka Biodata Penulis
18
G. DIAGRAM ALIR PELAKSANAAN PRAKTIKUM Diagram alir pelaksanaan praktikum disajikan pada gambar 1 berikut ini. CITRA LANDSAT7 ETM+
PETA ADMINISTRASI
PETA RUPA BUMI
PETA GEOLOGI
CROPING AREA
REKTIFIKASI : 1. RADIO METRIK 2. GEOMETRIK
PEMILIHAN SALURAN
1. 2. 3. 4. 5. 6.
KLASIFIKASI MULTISPEKTRAL
PETA KELAS BENTUK LAHAN PETA KELAS BENTUK LERENG PETA KELAS KEMIRINGAN LERENG PETA KELAS TATAGUNA LAHAN PETA KELAS KERAPATAN ALIRAN PETA KELAS INFILTRASI
PETA TENTATIF KELAS KERAWANAN BANJIR
OVERLAY DAN PENGHARKATAN
SURVEI LAPANG
PENGAMATAN / PENGUKURAN
PERBAIKAN SATUAN LAHAN
PENGAMBILAN SAMPEL TANAH
ANALISIS LABORATORIUM
ANALISIS SPASIAL DAN UJI KETELITIAN
LAPORAN
PETA ZONA KERAWANAN BANJIR DAERAH ”X” SKALA 1 : 50.000 19
Daftar Pustaka Aronoff, Stan. 1989. GIS : a Management Perspective, WDL. Publication, Ottawa. Attenuci John C. 1998. GIS a Guide to Technology. John Wiley and Sons, New York. Borrough, Peter A. 1986. Principles of GIS for Land Resources Assesment. Claderon Press, Oxford. Dulbahri. 1999. SIG, Diktat Kuliah Kode 7a. PUSPICS – Fak. Geografi UGM Yogyakarta. I Made Sandy. 1977. Penggunaan tanah (Land use) di Indonesia. Direktorat Tataguna Tanah, Dirjen Agraria, Depdagri. Jakarta. Lillesand dan Kiefer. 1994. Remote Sensing and Image Interpretatio, Third Edition, John Wiley and Sons, New York. Paul Suharto. 1989. SIG : apa, Mengapa, dan Bagaimana. Buletin Survey dan Pemetaan, Volume 7 Nomor 1 Tahun 1989. Short. 1982. The Landsat Tutorial Workbook, Basic of Satellite Remote Sensing. NASA Reference Publication 1078. Washington. Sisno. 2002. Pemanfaatan Data Landsat TM dan SIG untuk Kajian Sebaran Salinitas Tanah., Tesis S2 Program Studi Penginderaan Jauh, UGM, Yogyakarta Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh Jilid 1 dan 2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. ______. 1979. Interpretasi Citra untuk Survei Tata Guna Lahan Dalam rangka Perencanaan Tata Guna Lahan. Pusat Pendidikan Interpretasi Citra Penginderaan Jauh dan Survey Terpadu, UGM – BAKOSURTANAL.
20