KSI-PI 47
PEMANFAATAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN
Astri Suryandari, Danu Wijaya, dan Agus Arifin Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan
[email protected]
ABSTRAK Labi-labi (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) termasuk jenis kura-kura air tawar yang diperdagangkan. Pemanfaatan satwa ini sudah berlangsung lama. Status labi-labi telah masuk dalam Apendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered of Wild Flora and Fauna) yang menunjukkan bahwa jenis tersebut dapat terancam punah apabila peredaran internasionalnya tidak dikontrol. Sumatera Selatan merupakan salah satu daerah penyebaran labi-labi di Indonesia. Kabupaten Musi Banyuasin merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi labi-labi. Penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi pemanfaatan labi-labi di Sumatera Selatan khususnya di Kabupaten Musi Banyuasin telah dilakukan pada pada bulan Juni - Desember 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan di Kabupaten Musi Banyuasin merupakan habitat labi-labi. Labi-labi yang ditangkap dan diperdagangkan dari Kabupaten Musi Banyuasin memiliki ukuran yang bervariasi dan banyak yang tidak sesuai dengan kaidah pengaturan kuota perdagangan labi-labi. Untuk menjaga kelestarian populasi labi-labi di alam diperlukan pengawasan yang ketat dalam perdagangannya. Kata kunci : Labi-labi, Amyda cartilaginea, pemanfaatan, Kabupaten Musi Bayuasin
PENDAHULUAN Labi-labi (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) merupakan jenis kura-kura air tawar yang memiliki bentuk tubuh oval atau agak bulat, pipih tanpa sisik. Bagian punggung atau karapas pada bagian dorsal dan plastron atau tempurung pada bagian ventral terbungkus oleh kulit yang liat. Di sisi belakang karapas terdapat pelebaran pipih yang bentuknya membulat mengikuti bentuk karapas bagian belakang dengan tekstur seperti tulang rawan (cartilago) (Ernst & Barbour, 1989; Iskandar, 2000). Satwa ini menyebar luas di Asia Tenggara (Asian Turtle Conservation Network, 2006; Iskandar, 2000; van Dijk, 2000). Penyebaran A. cartilaginea di Indonesia dijumpai di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok (Auliya, 2007; Iverson, 1992). Menurut Iskandar (2000), labi-labi umumnya dijumpai di daerah yang tenang, berarus lambat. Labi-labi juga selalu bersembunyi di dalam lumpur atau di dalam pasir di dasar kolam atau sungai, sehingga sulit untuk ditemukan. Labi-labi termasuk satwa air yang dikonsumsi dan diperdagangkan. Pemanfaatan labi-labi di Indonesia sudah berlangsung lama mengingat hewan tersebut termasuk satwa liar yang tidak dilindungi oleh undang-undang Republik Indonesia walaupun menurut IUCN Tahun 2006 statusnya di alam adalah rawan dan tidak dilindungi (CITES, 2004). Oleh karena itu, labi-labi pada masa tersebut masih banyak diperdagangkan dan dieksploitasi secara bebas. Namun pada tahun 2008, A. cartilaginea telah masuk dalam Apendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered of Wild Flora and Fauna) yang menunjukkan bahwa jenis tersebut dapat terancam punah apabila peredaran internasionalnya tidak dikontrol (CITES, 2010).
FNPKSI - IV
Prosiding Forum Nasional Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan – IV
Sumatera Selatan merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi labi-labi cukup besar. Oktaviani et al.(2008) menyebutkan bahwa Provinsi Sumatera Selatan telah menghasilkan kura-kura air tawar sebanyak 77 ton dengan rata-rata 4,8 ton pertahun selama kurun waktu 16 tahun (1990 – 2005). Salah satu daerah di Sumatera Selatan yang memiliki potensi labi-labi adalah Kabupaten Musi Banyuasin. Kegiatan eksploitasi labi-labi di beberapa daerah di Sumatera Selatan termasuk Musi Banyuasin menunjukkan kecenderungan peningkatan setiap tahunnya. Hal tersebut menjadi ancaman bagi kelestarian labi-labi. Diperlukan upaya pengelolaan yang lebih intensif untuk menjaga kelestarian labi-labi di Sumatera Selatan. Oleh sebab itu diperlukan penelitian untuk mendapatkan data dan informasi sebagai masukan untuk pengelolaan labi-labi di Sumatera Selatan . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan labi-labi di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Data dan informasi tersebut diharapkan dapat menjadi masukan untuk upaya konservasi labi-labi di Sumatera Selatan. BAHAN DAN METODE Lokasi dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin (MUBA) Provinsi Sumatera Selatan (Gambar 1) pada bulan Juni- Desember 2012. Penentuan sampel penelitian dilakukan dengan metode snowball sampling dengan teknik pengambilan data menggunakan metode survei dan wawancara. Penentuan lokasi sampling di lapangan ditentukan berdasarkan penelusuran informasi dari informan kunci yang telah ditentukan sebelumnya. Aspek yang diamati yaitu ukuran berat tubuh labi-labi, nisbah kelamin, struktur umur, kondisi lingkungan habitat labi-labi serta aktivitas penangkapan dan perdagangan labi-labi di Kabupaten Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan.
Gambar 1. Lokasi penelitian Labi-Labi di Kabupaten Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan
KSI-PI 47
Makalah Poster – Bidang Konservasi Sumberdaya Ikan dan Perubahan Iklim
HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi dan Morfometrik Labi-Labi Morfologi labi-labi berdasarkan pengukuran metoda curveline menurut Nuitja (1992) yang meliputi panjang lengkung karapas (PLK) dan lebar lengkung karapas (LLK) serta sebaran ukuran berat. Sebaran Panjang Lengkung Karapas (PLK), Lebar Lengkung Karapas (LLK) dan berat labi-labi tertera pada gambar 2, 3 dan 4. Labi-labi yang tertangkap memiliki kisaran panjang lengkung karapas (PLK) antara 10 hingga 70 cm dengan ukuran PLK didominasi oleh ukuran 30-40 cm sedangkan Lebar Lengkung Karapas (LLK) labi-labi didominasi oleh ukuran 20-30 dan 30-40 cm. Ukuran berat labi-labi yang tertangkap didominasi oleh ukuran kecil (0-5 kg) dan (5-10 kg).
frekuensi (ekor)
120 100 80 60 40 20 0 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 Panjang Lengkung Karapas (cm)
Gambar 2. Sebaran Ukuran Panjang Lengkung Karapas Labi-Labi
frekuensi (ekor)
100 80 60 40 20 0 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 Lebar Lengkung Karapas (cm)
Gambar 3. Sebaran Ukuran Lebar Lengkung Karapas Labi-Labi
Frekuensi (ekor)
200 150 100 50 0 0-5 5-10 10-15 15-20 20-25 25-30 30-35 35-40 >40 Bobot (kg)
Gambar 4. Sebaran Ukuran Berat Labi-labi
KSI-PI 47
Prosiding Forum Nasional Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan – IV
Nisbah kelamin diperoleh dari perbandingan jenis kelamin jantan dan betina dan merupakan parameter populasi yang penting dalam menentukan keberhasilan reproduksinya di alam (Sunyoto, 2012). Berdasarkan hasil pengamatan 306 sampel labi-labi pada setiap pengumpul didapatkan nisbah kelamin jantan dan betina adalah 1 : 1,37 atau 42,16% jantan dan 57,84% betina. Walaupun individu betina lebih banyak tertangkap dibandingkan jantan, kedua jenis kelamin labi-labi tersebut memiliki peluang tertangkap yang sama. Menurut Sunyoto (2012), nisbah kelamin labi-labi betina yang lebih besar dari jantan menunjukkan kondisi yang baik karena labi-labi jantan tidak perlu melakukan perkelahian untuk mendapat pasangannya mengingat perkelahian dapat menyebabkan terjadinya luka dan kematian pada labi-labi. Labi-labi betina memiliki potensi reproduksi yang lebih tinggi, bahkan Iskandar (2000) menyatakan bahwa labi-labi betina bahkan mempunyai mekanisme untuk menyimpan sel sperma dalam saluran perkembangbiakannya sehingga sel-sel sperma tersebut dapat bertahan hingga satu tahun dalam kondisi yang subur.
Aktivitas Penangkapan Labi-Labi Penangkapan labi-labi dilakukan di sungai, rawa dan lebung. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap labi-labi adalah pancing dan tongkat atau yang biasa dikenal dengan sistem “cis” oleh masyarakat penangkap labi-labi di Sumatera Selatan. Penangkapan dengan sistem “cis” yaitu dengan memukul-mukulkan sebuah tongkat pada daerah penangkapan labi-labi yang telah ditentukan di rawa, sungai atau lebung. Apabila terdengar bunyi tongkat yang khusus diduga terdapat labi-labi dan langsung dilakukan penangkapan secara manual dengan tangan atau alat bantu lainnya seperti tali dan gancu. Penangkapan juga dilakukan pada sarang labi-labi. Menurut penangkap labi-labi, sarang tersebut berupa ceruk atau gua kecil yang mulutnya berada di tepian sungai dengan jarak sekitar 1 – 5 m dari tepian. Penangkapan dengan sistem cis tersebut sebagian besar dilakukan pada musim kering atau kemarau mengingat labi-labi banyak berdiam diri di dalam sarangnya. Menurut pengumpul dan penangkap labi-labi, puncak musim penangkapan labi-labi terjadi pada musim kering atau kemarau (Juli-Agustus) dimana volume air sungai menyusut dan daerah yang kering semakin luas sehingga sarang labi-labi lebih mudah terjangkau. Hal tersebut dapat terlihat dari jumlah Labi-Labi di beberapa pengumpul (Gambar 5).
volume (ekor)
200 150 100 50 0 Jun
Jul
Ags
Sept
Okt
Nov
Des
Gambar 5. Jumlah individu labi-labi (ekor) yang ditangkap di Kec. Sekayu selama bulan JuniDesember 2012
KSI-PI 47
Makalah Poster – Bidang Konservasi Sumberdaya Ikan dan Perubahan Iklim
Pada saat musim kering labi-labi sulit untuk berenang dan berendam, sehingga lebih banyak berada di darat atau di dalam sarangnya. Hal tersebut memberi peluang yang besar bagi Labi-Labi untuk tertangkap. Sebaliknya pada musim penghujan, jumlah labi-labi yang tertangkap akan jauh menurun. Menurunnya jumlah labi-labi yang tertangkap disebabkan karena sungai umumnya meluap dan menutupi area sarang labi-labi yang biasanya berupa lubang atau cekungan di tepian sungai sehingga labi-labi cenderung beruaya ke luar sarangnya akibatnya sulit bagi pencari labi-labi untuk mendapatkan hewan tersebut. Pada saat air sungai meluap sebagian besar labi-labi diperoleh dengan alat tangkap pancing. Selain karena musim, faktor harga juga menjadi penentu bagi intensitas penangkapan labi-labi di Sumatera Selatan. Apabila harga yang diberikan pengumpul besar di Palembang dinilai relatif rendah, maka aktivitas penangkapan labi-labi cenderung berkurang mengingat harga yang diberikan tidak sesuai dengan risiko yang ditanggung. Penangkapan labi-labi di Sumatera Selatan umumnya dilakukan sebagai aktivitas sampingan Daerah Penangkapan Labi-Labi Berdasarkan hasil survey dan wawancara dengan para penangkap labi-labi diperoleh beberapa lokasi yang merupakan habitat labi-labi di Kabupaten Musi Banyuasin yaitu Sungai Punjung, Sungai Pangkuasan, Sungai Pengaturan dan Danau Panjang. Deskripsi dari lokasi tersebut di atas tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Deskripsi habitat Labi-Labi Lokasi
Posisi Geografis
Sungai Punjung
S 02°48,328’ E103°22,896’
Sungai Pangukasan
S 02°37,032’ E 103°41,456’
Sungai Pengaturan
S 02°38,929’ E 103°43,338’
Danau Panjang
S 02°40,607’ E 103°44,687’
Deskripsi
Sungai Punjung memiliki kedalaman sekitar 0,7 – 1,4 m, aliran air berarus lambat dengan dasar dan tepian berlumpur. pH perairan berkisar 4,5 – 5 dan. Warna air coklat dengan kecerahan berkisar antara 15 – 25 cm. Di tepian sungai banyak ditumbuhi oleh vegetasi mulai dari semak hingga pohon besar. Aliran air relatif tenang dengan tepian sungai banyak ditumbuhi oleh vegetasi yang berkanopi, dasar sungai berupa tanah liat dan berlumpur dengan kecerahan 10 – 15 cm . Di beberapa bagian sungai yang dalam terdapat lebung atau lebak yang merupakan cekungan dimana saat musim kemarau daerah tersebut tetap tergenang air sehingga menjadi tempat perlindungan bagi labi-labi. pH perairan berkisar antara 6,16-6,5 dan turbiditas 55,4 – 73 NTU. Sungai Pengaturan bermuara ke Sungai Batanghari Leko yang merupakan subDAS dari Sungai Musi, terletak di areal perkebunan sawit. Aliran air sungai relatif lambat dan cenderung ,menggenang. Dasar perairan berlumpur kecerahan air 30 cm dan turbiditas 9,1 NTU. Perairan tersebut cenderung asam dengan pH sekitar 6,34. Danau Panjang merupakan bagian dari aliran Sungai Panjang yang terbendung sehingga menggenang menyerupai danau. Sungai tersebut bermuara ke Sungai Batanghari Leko yang merupakan sub-DAS dari Sungai Musi. Kecerahan mencapai 50 cm dengan turbiditas sebesar 0,9 NTU dan TDS 0,013 g/L dan pH sekitar 6,32. Dasar perairan berupa tanah lempung berwarna kuning dan bagian permukaan bayak ditumbuhi Hydrilla sp.
KSI-PI 47
Prosiding Forum Nasional Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan – IV
Labi-labi di Provinsi Sumatera Selatan secara umum berada di sepanjang aliran sungai yang berarus lambat dan tidak terlalu dalam. Menurut Mumpuni (2011), labi-labi umumnya dijumpai di daerah yang tenang dan berarus lambat seperti sungai yang berlumpur, rawa, kolam dan waduk untuk irigasi. Sungai yang menjadi habitat labi-labi adalah sungaisungai kecil dan sungai-sungai besar. Labi-labi hidup di sungai yang memiliki lebar hingga 25 meter dengan kedalaman hingga 10 meter (Kusrini et al. 2009). Tipe perairan yang sangat disukai A. cartilaginea adalah perairan tenang, dengan dasar perairan berlumpur (Ernst & Barbour, 1989). Tipe perairan tersebut banyak terdapat di dataran rendah yang meliputi sungai, rawa, dan danau sungai mati (oxbow). Tipe dasar perairan yang berlumpur sangat disukai A. cartilaginea karena dapat menunjang kegiatan reproduksinya (tempat breeding ground) dan sebagai tempat bersembunyi (Ernst & Barbour 1989). Secara umum, wilayah Sumatera Selatan masih merupakan daerah potensi labi-labi mengingat 93,05% wilayahnya merupakan bagian dari daerah aliran sungai, termasuk di dalamnya daerah rawa. Menurut Oktaviani et al. (2008), topografi wilayah Sumatera Selatan dengan 25% daerah rawa yang mempunyai karakteristik berarus lambat dengan dasar lumpur atau gambut merupakan habitat bagi A. cartilaginea. Selain lima lokasi tersebut (Danau Teluk Gelam, Sungai Punjung, Sungai Pangukasan, Sungai Pengaturan dan Danau Panjang) daerah penangkapan labi-labi di sekitar wilayah Kabupaten Musi Banyuasin antara lain Sungai Semanggus, Sungai Keruh, Sungai Deras, Sungai Lintang, Sungai Pinang (juga termasuk daerah Musi Rawas), Sungai Labi, Sungai Prigi, Sungai Kapas, Sungai Toman, Sungai Nangka, Sungai Lilin, Sungai Bayung dan Sungai Tebaktua yang semuanya merupakan subDAS dari Sungai Musi. Rantai Pemasaran dan Volume Perdagangan Labi-Labi Rantai pemasaran labi-labi di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan dikendalikan oleh pengumpul besar yang terdapat di Palembang. Di Palembang sendiri terdapat sekitar 3 pengumpul besar dimana masing-masing pengumpul besar memiliki Surat Izin Tangkap yang dikeluarkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sumatera Selatan yang menunjukkan status legalitas usahanya. Rantai pemasaran labi-labi di Musi Banyuasin adalah dari penangkap labi-labi kemudian ke pengumpul kecil. Pengumpul labi-labi di Sekayu Kab. Musi Banyuasin dikategorikan sebagai pengumpul kecil. Pengumpul kecil di Kabupaten Musi Banyuasin kemudian menjual labi-labi tersebut ke Pengumpul besar di Kota Palembang dan pengumpul besar tersebut akan menjual labi-labi ke eksportir.
Penangkap
Pengumpul kecil
Pengumpul besar
Eksportir
Gambar 6. Alur Pemasaran Labi-Labi di Sumatera Selatan
Volume perdagangan Labi-Labi di Kabupaten Musi Banyu Asin selama periode penelitian berlangsung tertera pada Gambar 7. Seiring dengan meningkatnya jumlah LabiLabi yang tertangkap, perdagangan Labi-Labi juga meningkat pada bulan Juli dan Agustus (musim kemarau).
KSI-PI 47
Makalah Poster – Bidang Konservasi Sumberdaya Ikan dan Perubahan Iklim
frekuensi (ekor)
200 150 100 50 0
Gambar 7. Volume perdagangan Labi-Labi selama periode penelitian berlangsung
Harga Labi-Labi ditentukan oleh pengumpul besar di Kota Palembang. Pengumpul kecil di Kabupaten Musi Banyu Asin, menyesuaikan harga Labi-Labi dengan harga yang telah ditentukan oleh pengumpul besar di Palembang. Harga jual labi-labi dibedakan berdasarkan ukuran berat tubuhnya. Harga labi-labi di salah satu pengumpul besar di Kota Palembang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kisaran harga jual labi-labi di salah satu pengumpul besar di Palembang Kelas Ukuran (kg)
Harga per kg (Rp)
0,1 - 0,5
-
0,6 - 1,1
10.000
1,2 - 3,0
15.000
3,1 - 4,9
15.000
5,0 - 7,0
15.000
7,1 - 9,9
20.000
10,0 - 19,9
20.000
20,0 - 29,9
10.000
30,0 - 39,9 > 40
10.000 10.000
Harga labi-labi di salah satu pengumpul di Palembang menunjukkan bahwa labi-labi yang memiliki harga tinggi adalah yang berukuran 7,1-19,9 kg. Kondisi tersebut hampir sama dengan penelitian Oktaviani & Samedi (2008) bahwa harga jual yang tinggi untuk labi-labi berkisar antara 0,6 – 19,9 kg, hanya ukuran batas bawah yang lebih besar. Oktaviani & Samedi (2008) menjelaskan bahwa alasan mengapa ukuran tersebut memiliki harga yang lebih tinggi kemungkinan karena adanya nilai estetika yang terkait dengan penyajian.Menurut Mardiastuti dalam Oktaviani & Samedi (2008), terdapat dua faktor yang mempengaruhi harga, yaitu permintaan pasar dan status kelangkaan. Kriteria harga labi-labi di pengumpul ditentukan berdasarkan ukuran berat. Oktaviani (2007) menyebutkan bahwa jenis, ukuran tubuh serta kondisi labi-labi sangat menentukan harga. Variasi atau fluktuasi harga labi-labi
KSI-PI 47
Prosiding Forum Nasional Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan – IV
umumnya terkait dengan permintaan pasar, terutama untuk kebutuhan ekspor dengan negara tujuan ekspor utama adalah Cina. Harga jual labi-labi selain berdasarkan ukuran berat juga ditentukan oleh kondisi fisik labi-labi tersebut. Apabila labi-labi yang dikumpulkan sudah berumur tua dengan karakteristik karapas yang bungkuk dengan istilah setempat “locco”, maka harga jualnya hanya 80% dari harga normal sesuai kategori berat dan apabila terdapat rusak atau cacat pada labi-labi (BS), maka harga jualnya menurun menjadi 50% dari harga yang telah ditentukan oleh pengumpul besar. Pengelolaan Labi-Labi Aktivitas perburuan dan perdagangan labi-labi diduga semakin meningkat sehingga menyebabkan penurunan populasi labi-labi di alam. Saat ini status labi-labi Amyda cartilaginea secara internasional telah masuk daftar Apppendix II CITES. Status labi-labi (Amyda cartilaginea) di Indonesia masih belum dilindungi undang-undang sehingga pemanfaatan masih diperbolehkan, akan tetapi merujuk pada status Appendix II CITES maka perdagangan labi-labi diatur dengan sistem kuota. Penetapan kuota dan ijin untuk perdagangan serta ekspor labi-labi di Indonesia dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Kementerian Kehutanan sebagai Pengelola Otoritas CITES di Indonesia. Perijinan perdagangan labi-labi di Sumatera Selatan berada di bawah pengawasan Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Sumatera Selatan. Data kuota perdagangan dan realisasi labi-labi A. cartilaginea di Sumatera Selatan cenderung mengalami peningkatan dalam kurun waktu tiga tahun kebelakang. Data mengenai kuota perdagangan dan realisasi labi-labi tahun 2007-2012 di Sumatera Selatan tertera pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Kuota perdagangan dan realisasi berdasarkan penerbitan SATS-DN BKSDA Sumatera Selatan untuk A. cartilaginea di Sumatera Selatan tahun 2007 - 2012
Kuota (ekor) Realisasi (ekor)
20071) 500 (Konsumsi) 250 (Pet) 500 (Konsumsi) 250 (Pet)
20082) 500 (Konsumsi) 250 (Pet) 500 (Konsumsi) 250 (Pet)
Tahun 20093) 20104) 500 500 (Konsumsi) (Konsumsi) 250 (Pet) 250 (Pet) 500 500 (Konsumsi) (Konsumsi) 250 (Pet) 250 (Pet)
20115) 1.300 (Konsumsi) 125 (Pet) 1.300 (Konsumsi) 25 (Pet)
20126); *) 1.700 (Konsumsi) 125 (Pet) 1.700 (Konsumsi) 125 (Pet)
Keterangan: 1. Berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor SK.33/IV-KKH/2007 tanggal 26 Februari 2007 2. Berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor SK.06/IV-KKH/2008 tanggal 18 Januari 2008 3. Berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor SK.148/IV-KKH/2008 tanggal 31 Desember 2008 4. Berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor SK.18/IV-KKH/2010 tanggal 8 Februari 2010 5. Berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor SK.201/IV-KKH/2010 tanggal 31 Desembar 2010 6. Berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor SK.261/IV-KKH/2011 tanggal 30 Desember 2011
Selain sistem kuota yang ditetakan dalam aturan main perdagangan labi-labi, ukuran berat juga mejadi aturan yang harus dipatuhi dalam perdagangan tersebut. Berdasarkan aturan kuota pengambilan tumbuhan alam dan penangkapan satwa liar dari habitat alam yang dikeluarkan oleh Ditjen PHKA, labi-labi yang boleh ditangkap berukuran berat badan di
KSI-PI 47
Makalah Poster – Bidang Konservasi Sumberdaya Ikan dan Perubahan Iklim
bawah 5 kg atau di atas 15 kg. Labi-labi dengan ukuran berat tubuh 5-15 kg dilarang untuk ditangkap karena diduga merupakan ukuran bagi individu betina yang reproduktif. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan banyak labi-labi yang ditangkap di luar batasan ukuran tersebut. Hal tersebut terlihat dari sebaran ukuran berat labi-labi yang ditangkap di Kabupaten Musi Banyu Asin. Berdasarkan data ukuran berat tersebut diketahui bahwa labi-labi yang tertangkap didominasi oleh ukuran 0-5 kg dan 5-15 kg, sehingga dapat dinyatakan bahwa tangkapan tersebut banyak yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau bersifat ilegal. Volume labi-labi yang diperdagangkan di Sumatera Selatan dilakukan berdasarkan kuota tangkap, Surat Izin Tangkap dan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri (SATS-DN) yang dikeluarkan oleh BKSDA Sumatera Selatan. Pihak BKSDA Sumsel sendiri menyatakan bahwa monitoring perdagangan labi-labi termasuk sulit karena bisa jadi data yang dilaporkan tidak sesuai dengan kenyataan. Labi-labi yang diperdagangkan diluar kuota yang ditetapkan dianggap sebagai perdagangan yang ilegal. Isu IUU (Illegal, Unreported and Unregulated) dalam perdagangan labi-labi tersebut berpotensi menjadi ancaman bagi populasi labi-labi di alam apabila kegiatan penangkapan dan perdagangan yang dilakukan tidak terkendali. Fauzi (2005) mengatakan bahwa penerapan kuota sebaiknya diikuti dengan penegakan hukum yang kuat sehingga dapat menghindarkan terjadinya orientasi tangkap pada spesies yang bernilai tinggi (high grading), pengambilan melebihi kuota (quota busting) dan pelaporan yang disembunyikan (under reporting).
KESIMPULAN Penangkapan labi-labi Amyda cartilaginea di Kabupaten Musi Banyu Asin banyak dijumpai di daerah aliran sungai dengan dasar berlumpur, dangkal, aliran air yang tidak terlalu deras (menggenang) dan banyak vegetasi besar di sekitarnya. Jumlah labi-labi yang ditangkap meningkat pada musim kemarau. Labi-Labi yang tertangkap didominasi oleh ukuran PLK 30-40 cm dan berat 0-10 kg. Fakta menunjukkan bahwa terdapat ketidaksesaian antara ukuran Labi-Labi yang ditangkap dan diperjualbelikan dengan aturan yang berlaku atau dapat dikatakan bersifat ilegal. Isu IUU (Illegal, Unreported and Unregulated) dalam perdagangan labi-labi berpotensi menjadi ancaman bagi populasi labi-labi di alam apabila kegiatan penangkapan dan perdagangan yang dilakukan tidak terkendali.
DAFTAR PUSTAKA Asian Turtle Conservation Network. 2006. Species: Amyda cartilaginea. Retrieved on 27 January 2012 fro http://www.asianturtlenetwork.org/field_guide/amyda_cartilaginea.htm Auliya, M. 2007. An Identification Guide to the Tortoise and Freshwater Turtles of Brunei Daussalam, Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, Philippines, Singapore and Timor Leste. TRAFFIC Southeast Asia. Petaling Jaya, Malaysia.
KSI-PI 47
Prosiding Forum Nasional Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan – IV
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2004. Amendments to Appendices I and II of CITES 13th Meeting of the Conference of the Parties Bangkok (Thailand), 2 – 14 October 2004. Bangkok. Amyda cartilagenea proposal.pdf. Diakses pada tanggal 03 Februari 2012. Ernst, C.H. and R.W. Barbour. 1989. Turtle of the World. Smithsonian Intitution Press. Washington DC and London: 96 – 110 Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis dan Gagasan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 187p. Iskandar, D.T. 2000. Kura-Kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini dengan Catatan Mengenai Jenis-Jenis di Asia Tenggara. PAL Media Citra, Bandung. 191p. Iverson, J.B. 1992. A Revised Checklist with Distribution Maps of the Turtles of the World. Richmond, Indiana: Privately Printed. 363p. Kusrini, M.D., A. Mardiastuti, B. Darmawan, Mediyansyah & A. Muin. 2009. Laporan Sementara Survei Pemanenan dan Perdagangan Labi-Labi di Kalimantan Timur. NATURE Harmony. Bogor. 43p. Oktaviani, D. 2007. Kajian Habitat, Biologi, dan Perdagangan Labi-Labi (Family: Trionychidae) di Sumatera Selatan serta Implikasinya terhadap Konservasi LabiLabi di Masa Datang. Program Studi Biologi, Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok. Tesis. 125p. Oktaviani, D., N. Andayani, M.D. Kusrini dan D. Nugroho. 2008. Identifikasi dan Distribusi Jenis Labi-Labi (Famili: Trionychidae) di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 14 No. 2 Juni 2008: 145 – 157. Oktaviani, D. dan Samedi. 2008. Status Pemanfaatan Labi-Labi (Famili: Trionychidae) di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 14 No. 2 Juni 2008: 159 – 171. Sunyoto. 2012. Konservasi Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) di Desa Belawa, Kecamatan Lemah Abang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis. 73p
KSI-PI 47