PEMANFAATAN BONE MARROW MESENCHYMAL STEM CELL UNTUK TERAPI MODEL EPILEPSI PADA TIKUS
YETTY RAMLI B361070041
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pemanfaatan Bone Marrow Mesenchymal Stem Cell Untuk Terapi Model Epilepsi Pada Tikus, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2012
Yetty Ramli B 361070041
ABSTRACT
YETTY RAMLI. Utilization of Bone Marrow Mesenchymal Stem Cells for Therapeutic Model of Epilepsy. Under the directions of SRI ESTUNINGSIH, ARIEF BOEDIONO, and NURHADI IBRAHIM.
Epilepsy is a chronic neurologic disease, caused by abnormal electrical activity in the brain. Uncontrolled medication using the currently available antiepileptic drugs may result in low quality of life. Bone marrow mesenchymal stem cell (bMSCs), one source of stem cell that is multipotent, can be given as an alternative treatment for intractable epilepsy. This research was aimed to (1) analyze the effect of chemical substance that can damaged the brain, to make a suitable animal model for epilepsy, (2) study of the culture bMSCs, and induced to become neurons in vitro neuron progenitor cells, before it can be transplanted to the animal model, (3) observe the effect of different dosages of bMSCs, and comparing the 2 routes of administration, through an intravenous line or a direct intracerebral approach. This study used 46 Spraque Dawley rats, aged 2 months which were divided to 7 groups consisted 6 rats each (1) negative control group, were given only 1ml NaCl 0.9% intravenous, (2) development of animal group model, 3 rats were given lidocaine 90mg/kg, 3 rats injected with bicuculine 8mg/kg, 1 rat was sacrificed each at the point of 24 hours, 3 days and 7 days after treatment, (3) positive epilepsy group, injected with bicuculine 8mg/kg intraperitoneally, and 3 rats were sacrificed each after 3 weeks and 6 weeks, (4-7) epilepsy group, after injected with bicuculine 8mg/kg intraperitoneally, at day-7 received bMSCs injection, each using 3x2x105 cell intravenous, 1x5x106 cell intravenous, neuron progenitor at 1x2x106 cell intravenous and neuron progenitor at 1x2x105 cell intracerebral. The result of this study showed that bicuculine injection, as a GABA-antagonist, was better when applied to create an epilepsy animal model. The most severe irreversible damaged occurred after the 7th day of treatment. The amount of cells of bMSCs culture at the 4th and 5th passages was sufficient to be transplanted, and the induction of neuron progenitor with basic fibroblast growth factor and epidermal growth factor was seen by noticing the change of the fibroblasts to neurons. The activity of bMSCs to regenerated neurons could be seen that injection of bMSCs 3x2x105 results the highest number of survived neurons. There was no systemic effect of bMSCs. From this study concluded that bMSCs improved regenerate the damage of hippocampal area caused by seizure in epilepsy model animals. A low dose, intravenous administration, given repeatedly every 2 weeks gives a better respon compared to a bolus with high dose intravenous and , intracerebrally. bMSCs treatment was better than progenitor neuron treatment. Keywords: epilepsy, bone marrow mesenchymal stem cell, progenitor neuron, transplantation, intravenous, and intracerebral
RINGKASAN YETTY RAMLI. Bone marrow mesenchymal stem cell untuk terapi model epilepsi. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH, ARIEF BUDIONO, NURHADI IBRAHIM Epilepsi adalah gangguan neurologi kronis yang disebabkan oleh cetusan listrik abnormal berlebihan pada otak. Serangan kejang yang intractable (tidak terkontrol dengan obat anti epilepsi), mengakibatkan kualitas hidup penyandang epilepsi jadi rendah, karena keterbatasan dibidang pendidikan, olah raga, pekerjaan dan kesulitan mendapatkan pasangan hidup ditambah akibat adanya stigma di masyarakat bahwa epilepsi adalah penyakit menular, keturunan, dan penyakit jiwa. Pengendalian dan pengontrolon serangan kejang dengan pemberian obat anti epilepsi yang benar dan teratur disertai efek samping minimal merupakan pilihan pengobatan yang ideal. Epilepsi lobus temporal merupakan salah satu dari jenis epilepsi yang resisten terhadap pengobatan. Intervensi pembedahan merupakan pilihan pengobatan saat ini untuk mengatasi serangan kejang berulang. Namun, tidak semua penderita epilepsi yang resisten dengan pengobatan (intractable) dapat dilakukan operasi dan membaik setelah pengobatan. Kondisi ini telah menimbulkan permasalahan cukup besar bagi ekonomi dan kualitas hidup mereka, dengan alasan ini memicu untuk mencari alternatif terapi dalam pengobatan epilepsi. Stem cell merupakan sel yang mempunyai kemampuan mengembangbiakkan dirinya sendiri dan berdiferensiasi multilinear, telah banyak digunakan oleh peneliti di berbagai negara untuk pengobatan dan mempunyai efek farmakologi yang luas, antara lain pada penyakit degeneratif, genetik, antikanker, antiradang, dan penyakit imunologis. Bone marrow mesenchymal stem cell (bMSCs) salah satu dari sumber stem cell yang bersifat multipoten dapat diberikan sebagai alternatif terapi pada epilepsi intractable. Epilepsi termasuk gangguan dengan berbagai penyebab etiologi dan patofisiologi maka perlu dilakukan kajian ilmiah pemanfaatan bMSCs sebagai terapi pada epilepsi intractable ditinjau dari kemampuannya meregenerasi neuron pada hipokampus. Penggunaan stem cell saat ini masih dalam tahap penelitian, perlu diteliti efek samping jangka panjang, sebelum dipakai luas di masyarakat. Penggunaan langsung pada pasien karena terkait etik harus dikaji terlebih dahulu kepada hewan model. Penelitian ini bertujuan (1) melihat pengaruh zat kimiawi yang dapat merusak otak untuk pembuatan hewan model epilepsi, (2) mempelajari kultur bMSCs tanpa diferensiasi menjadi neuron dan yang diinduksi menjadi progenitor neuron in vitro sebelum ditransplantasikan kepada hewan model epilepsi, (3) melihat pengaruh pemberian bMSCs dengan dosis berbeda melalui pendekatan terapi pemberian sistemik intravena dibandingkan dengan pemberian langsung intraserebral. Tahapan penelitian yang dilakukan, ialah sebagai berikut. (1) Pembuatan hewan model epilepsi dengan induksi zat kimiawi yang paling berat menimbulkan kerusakan pada hipokampus otak tikus dengan lidocaine (anestesi lokal pada dosis tinggi bersifat neurotoksik) yaitu dosis 90 mg/kgbb intraperitoneal dibandingkan zat antagonis GABA bicuculine dosis 8 mg/kgbb intraperitoneal. (2) Aspirasi bone marrow dari tulang tibia dan femur tikus, dan dikultur menjadi bone marrow mesenchymal stem cel(bMSCs)l sampai jumlah sel sudah mencukupi untuk
ditranplantasikan kepada hewan model epilepsi. Mesenchymal diinduksi menjadi neuron progenitor dengan menambahkan basic fibroblast growth factor dan epidermal growth factor. (3) Penentuan aktivitas bMSCs dalam meregenerasi neuron di hipokampus. Penelitian in vivo kelompok pembentukan hewan model menggunakan 9 ekor tikus galur Spraque Dawley umur 2 bulan yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan masing-masing 3 ekor tikus yaitu (1) diinjeksi lidocaine dosis 90mg/kgbb intraperitoneal; (2) diinjeksi bicuculine dosis 8 mg/kgbb intraperitoneal; (3) 3 ekor lagi tanpa perlakuan dilanjutkan masingmasing 1 ekor dikorbankan pada 24 jam, hari ketiga, dan hari ketujuh setelah perlakuan. Penelitian lanjutan in vitro melihat pengaruh toksik bicuculine pada kultur jaringan otak dari 1 ekor tikus yang dikorbankan. Penelitian untuk melihat pengaruh stem cell dalam meregenerasi hipokampus mempergunakan 6 kelompok tikus masing-masing 6 ekor tikus yaitu (K1) kelompok kontrol negatif tikus sehat, masing-masing hanya diberi 1 ml NaCl 0,9% intravena; (K2) kelompok kontrol positif epilepsi diinjeksi bicuculine dosis 8 mg/kgbb intraperitoneal; (M1-M4) kelompok terapi stem cell setelah diinjeksi bicuculine dosis 8 mg/kgbb intraperitoneal pada hari ketujuh disuntik bMSCs dengan masing-masing dosis 3x2x105 sel intravena, dosis 1x5x106 sel intravena, neuron progenitor dosis 1x2x106 sel intravena dan neuron progenitor 1x2x105 sel intraserebral. Pada minggu ketiga dan keenam setelah perlakuan dari masing-masing kelompok dikorbankan tiga ekor. Otak dan organ jantung, paru-paru, hati, ginjal, limpa dikoleksi dibuat preparat histopatologi untuk melihat perubahan patologis, selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah neuron yang hidup dan mati di hipokampus. Bobot badan ditimbang sebelum dan sesudah perlakuan . Hasil penelitian in vitro dan in vivo memperlihatkan bicuculine sebagai antagonis GABA lebih baik dipakai untuk pembentukan hewan model epilepsi. Kerusakan bersifat irreversibel paling berat setelah 7 hari perlakuan. Kultur bMSCs pada pasase ke-4 sampai ke-5 jumlah sel sudah memadai untuk ditransplantasi, induksi neuron progenitor dengan basic fibroblast growth factor dan epidermal growth factor terlihat perubahan dari sel berbentuk fibroblas menjadi neuron. Pengaruh bMSCs pada tikus secara klinis tidak memperlihatkan kesakitan. Pemberian bMSCs intraserebral tikus terlihat kurang aktif selama 3 hari dan setelah itu membaik seperti sebelum perlakuan. Aktivitas bMSCs terhadap regenerasi neuron memperlihatkan bahwa pemberian bMSCs 3x2x105 intravena didapatkan jumlah neuron yang hidup paling tinggi . Pengaruh bMSCs sistemik terhadap organ lain tidak memperlihatkan perubahan secara makroskopis dan mikroskopis walaupun bMSCs ditemukan pada organ ginjal, paru dan limpa. Kesimpulan dari penelitian ialah bahwa bMSCs, dapat meregenerasi kerusakan pada daerah hipokampus akibat kejang pada hewan model epilepsi. Pemberian intravena, dosis rendah berulang setiap 2 minggu memberikan perbaikan yang lebih baik dari pada pemberian dosis tinggi sekaligus dan pemberian intraserebral, sedangkan pemberian bMSCs lebih baik dari pada pemberian neuron progenitor .
Kata kunci: Epilepsi, bone marrow mesenchymal stem cell, neuron progenitor, transplantasi intravena dan intraserebral.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Pemanfaatan bone marrow mesenchymal stem cell untuk terapi model epilepsi pada tikus
YETTY RAMLI B 361070041
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup
:
Prof .drh. Fedik Ratam, PhD, drh. Dewi Ratih, PhD, APVet
Penguji pada Ujian Terbuka
:
Prof. dr. Teguh AS Ranakusuma, SpS K Prof. drh. Bambang Pontjo, PhD, APVet
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian dalam rangka penyelesaian studi program Doktor (S-3). Disertasi ini ditulis untuk memenuhi salah satu persyaratan bagi penulis dalam memperoleh gelar doktor pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan, Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Disertasi ini berjudul “Pemanfaatan bone marrow mesenchymal stem cell untuk terapi model epilepsi pada tikus”. Penelitian ini penulis selesaikan atas berbagai sumbangan
pemikiran dan masukan dari komisi pembimbing serta bantuan pihak lain. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. drh. Sri Estuningsih MSi, APVet. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. drh. Arief Budiono, PhD. dan dr. Nurhadi Ibrahim PhD. sebagai anggota komisi pembimbing atas segala kesabaran dan bimbingan, kritik, saran, masukan, motivasi serta dorongan yang sangat besar arti dan peranannya dalam terselesaikannya disertasi ini; serta terima kasih kepada penguji luar komisi pada ujian tertutup: Prof. drh. Fedik Ratam, PhD, dan drh. Dewi Ratih, PhD. APvet, penguji ujian terbuka Prof. dr. Teguh Ranakusuma SpS. K dan Prof.drh. Bambang Pontjo P, MS. PhD. APvet atas segala saran, wawasan, dan masukan untuk penyempurnaan penulisan disertasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Direktur RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, atas izin pendidikan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di Institut Pertanian Bogor. Terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis selama mengikuti pendidikan. Selanjutnya ucapan terima kasih ditujukan kepada suami tercinta Ir. Taslim Husni, MSi dan ananda Yahyasalam Taslim, Imamurahman Taslim yang telah memberi dorongan, semangat, dan bantuan yang tidak tenilai dengan penuh pengertian, kesabaran sehingga penulis selalu semangat dalam penyelesaian disertasi ini; Orang tua dan mertua, kakak-kakak terutama kakak ipar Dr. drh. Yulia Yelita yang selalu mendorong saya untuk menyelesaikan pendidikan S3 di IPB dan adik-adik serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, semangat,
dan kasih sayangnya selama penulis menempuh pendidikan S 3 di Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini tidak akan terwujud dan dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan staf Laboratorium stem cell Institut Tropical Disease Unair: Prof. drh. Fedik Ratam, PhD, dr Purwati SpPD, Dr Herri SPOT, mas Anas, mbak Helen, mas Erik, Handoko, mbak Indah dan staf Patologi FKH IPB: drh. Ekowati H, MS,PhD, APvet , drh. Dewi Ratih,PhD, APvet, drh. Hernomoadi MVS, APvet, Dr. drh. Eva Harlina,Msi, APvet, Dr.drh. Wiwin Winarsih, Msi, APvet, Prof. drh. Bambang Pontjo,PhD. APvet, drh. Mawar Subangkit, drh. Vetnizah Juniantito, PhD, Apvet, pak Kasnadi, pak Endang, pak Soleh, Kiki, drh. Ibnu,Msi, staf pengajar anatomi drh. Nurhidayat, MS, PhD dan drh. Supratikno, Msi, staf pengajar fisiologi drh. Huda Shalahudin Darusman , Msi, dr. Kiking, dr. Anastasia, dr. Indah SpS, Dr.drh.I Wayan Batan,MS dan teman-teman senasib sewaktu penulis menempuh pendidikan. Dr.drh. Ngurah Sudisma, drh. Boky Jeane Tuasikal ,MSi atas dukungan dan dorongan penulis untuk tetap bersemangat menyelesaikan pendidikan ini serta
berbagai pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Semoga Allah yang maha luas kasih sayangNya membalas semua kebaikan dengan keberkahan, keselamatan, pahala, dan kebaikan berlipat ganda. Semoga hasil penelitian ini bisa berguna bagi yang memerlukan.
Bogor, Juli 2012 Yetty Ramli
RIWAYAT HIDUP
Yetty Ramli, dilahirkan di Padang pada tanggal 31 Januari 1964 sebagai anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Ramli Sidin dan Husnidar. Menikah dengan Ir. Taslim Husni, Msi dan dikarunia 2 orang anak Yahyasalam Taslim dan Imamurahman Taslim. Pendidikan SD Adabiah Padang lulus tahun 1976, SMP Adabiah Padang lulus tahun 1979, SMA Negeri 2 Padang lulus tahun 1983. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran UNAND, Padang, lulus sarjana kedokteran tahun 1989 dan lulus profesi dokter spesialis Neurologi FK UI tahun 2001. Sejak tahun 2001 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai Staf Pengajar pada Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, Program Studi Ilmu Penyakit Syaraf. Pada akhir tahun 2007, penulis terdaftar sebagai mahasiswa program doktor (S-3) pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor .
Jakarta, Juli 2012
Yetty Ramli
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR SINGKATAN .............................................................................
Xv
DAFTAR TABEL
...................................................................................
X vi
DAFTAR GAMBAR
.................................................................................
X vii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
X viii
PENDAHULUAN
...................................................................................
1
Latar Belakang
.....................................................................................
1
Perumusan Masalah .................................................................................
3
Tujuan Penelitian
..................................................................................
4
......................................................................................
5
Hipotesis
...............................................................................
5
Alur Penelitian ........................................................................................
6
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
7
...........................................................................................
7
Definisi Epilepsi ...........................................................................
7
Klasifikasi Kejang ..........................................................................
7
Neurofisiologi Epilepsi ........................................................................
8
Elektrofisiologi Seluler ..................................................................
8
Kanal ion
9
Epilepsi
..............................................................................
Konduktansi Voltage-Dependent Membrane....................................
9
Konduktansi Hiperpolarisasi ...........................................................
9
Transmisi Sinaptik Inhibitorik .............................................................
10
xiii
Transmisi Sinaptik Eksitatorik .............................................................
11
Cetusan listrik Neuron Abnormal ........................................................
12
Paroxysmal Depolarization Shift ........................................................
13
Mekanisme Sinkronisasi
....................................................................
13
Mekanisme Glial Dalam Modulasi Epileptogenesis ...........................
14
Epilepsi Lobus temporal
..........................................................................
15
Anatomi .................................................................................................
15
Etiologi .................................................................................................
15
Gambaran klinis ...................................................................................
19
Pemeriksaan Penunjang ......................................................................
19
Diagnosis ............................................................................................
20
Intervensi Pengobatan ..........................................................................
21
Stem cell untuk terapi epilepsi ....................................................................
23
.................................................................................
23
Sumber stem cell ...................................................................................
24
Proses perbaikan jaringan epileptik yang rusak.....................................
24
Manfaat penggunaan stem cell ............................................................
26
Potensi stem cell
HEWAN MODEL UNTUK EPILEPSI .......................................................
28
...........................................................................................
28
Pendahuluan .........................................................................................
29
Bahan dan Metode ................................................................................
30
Hasil dan pembahasan
32
Abstrak
.........................................................................
...........................................................................................
39
Isolasi dan Identifikasi Bone Marrow Mesenchymal Stem Cell ...................
41
Kesimpulan
Abstrak
.............................................................................................
Pendahuluan
......................................................................................
Bahan dan Metode
...............................................................................
Hasil dan pembahasan
...........................................................................
41 42 43 45
xiv
Kesimpulan ..............................................................................................
48
Transplantasi Bone Marrow Mesenchymal Stem cell untuk model epilepsi ...
49
Abstrak.....................................................................................................
49
Pendahuluan ............................................................................................
50
Bahan dan Metode .................................................................................
52
Hasil dan Pembahasan ...........................................................................
54
Kesimpulan .............................................................................................
59
Pembahasan Umum.........................................................................................
60
Simpulan dan saran..........................................................................................
64
Daftar Pustaka
..........................................................................................
65
.................................................................................................
73
Lampiran
DAFTAR SINGKATAN AMPA
: α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid
APC
: Antigen Presenting Cell
ATL
: Anterior Temporal Lobectomy
bFGF
: Basic Fibroblast Growth Factor
bMSCs
: Bone Marrow Stem Cells
BNF
: Buffered Neutral Formalin
βME
: β-mercaptoethanol
Ca1, Ca3
: Corpus Annom 1,
EGF
: Epidermal Growth Factor
EPSP
: Eksitatori Potensial Pos Sinaptik
GABA
: Gamma Aminobutyric Acid
GD
: Girus Dentatus
IFN-γ
: Interferon-γ
ILAE
: International League Against Epilepsy
IPSP
: Inhibitori Pos Sinap Potensial
LTLE
: Lateral Temporal Lobe Epilepsy
MTLE-HS
: Mesial Temporal Lobe Epilepsy-Hipocampus Sclerosis
MRI
: Magnetic Resonance Imaging
MRS
: Magnetic Resonance Spectroscopy
NMDA
: N-methyl-D-aspartate
OAE
: Obat Anti Epilepsi
PNCs
: Progenitor Neural Stem Cell
PDS
: Paroksismal Depolarisasi Shift
PLD
: Post Lesion Delay
FDG-PET
: Positron Emission Tomography with F-Fluorodeoxyglucose
SAH
: Selective Amygdalaohippocampectomy
SCNT
: Somatic Cell Nuclear Transfer
TNF-α
: Tumour necrosis Factor
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Peran kanal dan reseptor dalam cetusan listrik normal dan epileptik ..........
12
2
Sindroma MTLE-HS ...................................................................................
21
3
Jenis pengobatan epilpesi dan tingkat keberhasilan pengobatan .................
22
4
Rata-rata jumlah kematian neuron pada hipokampus setelah injeksi
36
lidocaine dan bicuculine dibandingkan kontrol negatif ............................. 5
Rata-rata jumlah kematian neuron pada hipokampus setelah injeksi
38
bicuculine pada pengamatan minggu ketiga dan keenam dibandingkan tikus normal ................................................................................................ 6
Rata-rata jumlah neuron normal di hipokampus tikus.................................
55
DAFTAR GAMBAR Halaman
1.
Alur Penelitian....................................................................................
6
2
Daerah hipokampus yang terlibat pada epilepsi lobus temporal.......
17
3
Hipokampus sklerosis ......................................................................
18
4
Hipokampus sklerosis pada epilepsi lobus temporal .......................
18
5
Peningkatan GABAdari stem cell embrionik.......................................
27
5
Fotografi daerah kortek hipokampus dan meningen tujuh hari setelah
33
injeksi lidocaine dan bicuculine. 6
Rata-rata jumlah kematian neuron hari ketujuh di hipokampus........
34
7
Perubahan hipokampus pada hari kedua dan hari ketujuh setelah
35
injeksi lidocaine.................................................................................. 8
Rata-rata jumlah kematian neuron hari ketujuh di hipokampus........
36
9
Hipokampus hari ketujuh pasca injeksi lidocaine dan bicuculine ......
37
10
Kultur bone marrow mesenchymal stem cell.............................
45
11
Identifikasi mesenchymal stem cell.....................................................
46
12
Differensiasi bMSCS menjadi PNCs...................................................
47
13
Mesenchymal stem cell sebelum dilabel PKH2
48
14
Mesenchymal stem cell sesudah dilabel PKH2 in vitro dan di otak
48
tikus dilihat dengan mikroskop flourescent 15
Transplantasi bMSCs dan progenitor neuron sel setelah dikultur
53
melalui vena ekor dan intra serebral 16
Rerata jumlah neuron normal pengamatan 3 minggu di hipokampus
54
17
Rerata jumlah neuron normal pengamatan 6 minggu di hipokampus
55
18
Pemberian stem cell sistemik positif Neu N pada hipokampus
56
19
Pemberian stem cell sistemik positif Neu N pada ginjal dan limpa
57
20
Pemberian stem cell sistemik positif Neu N dan negatif pada paru-
58
paru dengan pemeriksaan imunohistokimia
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Hasil analisis statistik degenerasi neuron di hipokampus pada pemberian zat kemikal dibandingkan dengan kontrol negatif….………………
73
1.1 Analisis ragam (ANOVA) pengaruh pemberian lidocaine dan bicuculine di 73 hipokampus pada hari ke-7 setelah injeksi.............................................. 1.2 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus Ca1 setelah injeksi
73
bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 dibandingkan tikus normal… 1.3 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus Ca1 setelah injeksi
73
bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 dibandingkan tikus normal… 1.4 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus Ca3 setelah injeksi
74
bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 dibandingkan tikus normal… 1.5 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus Ca3 setelah injeksi
74
bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 dibandingkan tikus normal… 1.6 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus GD setelah injeksi
75
bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 dibandingkan tikus normal… 1.7 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus GD setelah injeksi
75
bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 dibandingkan tikus normal… Hasil analisis statistik pengaruh pemberian MSCs terhadap neuron yang 75 normal pada hipokampus dibandingkan dengan kontrol positif dan negatif 2.1 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal 76
2
di hipokampus Ca1 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 pasca perlakuan ..............................................................................… 2.2 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal 76 di hipokampus Ca1 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 pasca perlakuan ................................................................................ 2.3 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal 76 di hipokampus Ca3 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 pasca perlakuan ....................................................................................
xix
Halaman 2.4 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal 77 di hipokampus Ca3 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 pasca perlakuan .................................................................................. 2.5 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal 77 di hipokampus GD setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke3 pasca perlakuan ..............................................................................… 2.6 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal 77 di hipokampus GD setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke6 pasca perlakuan
.......................................................................................
3
Kultur primer bone marrow
.......................................................................
78
4
Identifikasi PNCs dengan marker nestin dan β aktin .................................
78
5
Pelabelan stem cell dengan PKH2
79
6
Proses pembuatan sedian histopatologi .....................................................
79
7
Proses pewarnaan hematosylin-Eosin (HE) .................................................
80
8
Proses pewarnaan Neu N secara imunohistokimia
.....................................
81
9
Keterangan kelaikan etik hewan model..........................................................
82
...........................................................
PENDAHULUAN Latar Belakang Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronik ditemukan pada 50 juta penduduk dunia, dan 85% hidup di negara berkembang. Diperkirakan setiap tahun ditemukan kasus baru sebanyak 2,4 juta orang. Rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1000 penduduk dan 50% dari kasus ini terjadi pada masa anak-anak dan remaja (WHO 2004 dan WHO 2009). Angka kejadian epilepsi di Indonesia saat ini belum ada data yang pasti, dengan jumlah total penduduk Indonesia 222 juta (BPS 2011) diperkirakan jumlah penyandang epilepsi yang membutuhkan pengobatan sebanyak 1,8 juta orang. Epilepsi memberikan pengaruh cukup besar terhadap kualitas hidup penyandang. Penyandang epilepsi harus minum obat secara teratur dalam jangka waktu panjang,
membebani ekonomi keluarga dan adanya stigma dimasyarakat
bahwa epilepsi penyakit menular, kutukan, disertai adanya pembatasan untuk mendapatkan pendidikan, olah raga dan pekerjaan. Penyandang epilepsi yang belum terkontrol serangannya, sering kesulitan mendapat pasangan hidup (Mac et al. 2007). Dari hasil survey di komunitas 40% mengatakan penyandang epilepsi tidak layak untuk mendapatkan pendidikan atau pekerjaan dan 11% dari masyarakat menolak anaknya berteman dengan anak yang menderita epilepsi ( Shidaran 2002). Pemberian obat secara benar dan teratur pada penyandang epilepsi, 70 sampai 80% dari penyandang dapat hidup normal dan sembuh dengan pengobatan anti epilepsi. Setelah 2 sampai 5 tahun keberhasilan pengobatan dan obat dihentikan lebih kurang 70% dari penyandang epilepsi anak-anak dan 60% penyandang epilepsi dewasa sembuh total tanpa kambuh lagi ( WHO 2009).
Sekitar 20-30%
dari
penyandang epilepsi tidak memberikan respon dengan obat epilepsi (epilepsi intractable). Hasil penelitian pada populasi di Negara Eropa 1 dari 8 orang penyandang epilepsi tidak terkontrol dengan pengobatan yang memadai (Picot et al. 2008). Lebih kurang 10-50% dari penyandang intractabel ini dapat membaik dengan operasi (Shidaran 2002).
2
Di negara berkembang
60 sampai 90% dari penyandang epilepsi tidak
mendapatkan pengobatan yang maksimal dan menimbulkan konsekuensi gangguan kognitif, psikologi dan sosial (WHO 2004 dan WHO 2009). Epilepsi menurut ILAE 2008 dibagi atas jenis serangan, lokasi, dan gejala. Salah satu dari klasifikasi epilepsi berdasarkan lokasi yaitu epilepsi lobus temporal. Sebanyak 35% dari penyandang epilepsi lobus temporal menjadi epilepsi kronis dan resisten terhadap pengobatan dengan obat anti epilepsi. Kebanyakan dari penyandang mengalami gangguan fungsi kognitif, gangguan belajar, gangguan memori dan depresi (Sridharan 2002). Defisit tersebut terjadi akibat sklerosis pada hipokampus. Pada epilepsi lobus temporal dengan sklerosis temporal, alternatif pembedahan merupakan salah satu cara untuk mengatasi serangan kejang. Namun demikian tidak semua penyandang intractable dapat ditanggulangi dengan tindakan pembedahan dan masih menyisakan gangguan memori dalam berbagai derajat. Adanya keterbatasan untuk pengobatan epilepsi yang tidak membaik dengan obat anti epilepsi, penggunaan tranplantasi stem cell dapat dipertimbangkan untuk mengaktivasi neurogenesis endogen menggantikan neuron yang mengalami degenerasi (Schuele dan Luders 2008) atau untuk memodulasi hipereksitasi melalui induksi interneuron inhibisi GABA (γ-aminobutyric acid) , dan sebagai faktor neuroprotektif (Raedt dan Boon 2005, Shetty dan Hattiangady 2007, Farin et al. 2009). Pengetahuan tentang tidak adanya regenerasi dari jaringan otak telah dibantah dengan ditemukannya terapi sel. Salah satu terapi sel adalah dengan menggunakan stem cell. Meskipun masih dalam tahap penelitian, stem cell
dapat mengatasi
kerusakan otak akibat penyakit degeneratif pada hewan model dan manusia seperti penyakit parkinson, stroke, trauma medula spinalis, dan Alzheimer (Barker et al. 2003). Saat ini sudah banyak negara di dunia yang memanfaatkan stem cell sebagai salah satu metode pengobatan untuk penyakit-penyakit yang tidak dapat diobati dengan pengobatan kenvensional. Sumber stem cell dapat diambil dari stem cell embrio dan stem cell somatis (dewasa) yang dijumpai pada berbagai jaringan tubuh. Masih ada kontroversi yang terkait etik penggunaan stem cell yang berasal dari embrio dan kemungkinan
3
terbentuknya teratoma setelah ditranplantasi. Penggunaan stem cell dewasa atau stem cell induksi pluripoten saat ini banyak dikembangkan dalam berbagai penelitian pengobatan penyakit degeneratif, kanker, kelainan genetik (Raedt dan Boon 2005). Bone marrow stroma stem cell (bMSCs) merupakan stem cell dewasa, ditemukan pada
stromal sumsum tulang mempunyai kemampuan untuk
berdiferensiasi kedalam berbagai sel spesifik seperti: otot, kulit, hati, paru-paru, ginjal dan neuron ketika ditranplantasikan kepada hewan dan manusia walaupun sampai saat ini belum jelas fraksi yang mana dari bMSCs yang lebih cendrung untuk berdiferensiasi menjadi tipe sel yang berbeda dari asalnya dalam tubuh, atau mengalami penyatuan (assimilasi dari sel yang ditransplantasi atau menjadi progenitor dan hidup menjadi neuron dan membentuk heterokaryon) dan atau proses transdiferensiasi (konversi langsung begitu ditransplantasikan menjadi neuron) (Pluchino et al. 2005). Perlu adanya kajian ilmiah untuk mempelajari kemampuan diferensiasi dan homing bMSCs setelah ditransplantasikan ke tikus secara intravena dan intraserebral. Perumusan Masalah Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronis di otak yang dapat menurunkan kualitas hidup penyandangnya apabila serangan kejang tidak terkontrol dengan baik. Pengobatan rutin jangka panjang dan adanya stigma di masyarakat epilepsi merupakan penyakit akibat gangguan jiwa, keturunan, menular ditambah dengan adanya pembatasan dalam bidang pendidikan, olah raga dan pekerjaan serta kesulitan untuk mendapatkan pasangan hidup menimbulkan permasalahan yang besar bagi penyandang epilepsi. Epilepsi intractable adalah epilepsi yang sulit dikontrol bangkitan kejang dengan pengobatan anti epilepsi. Kelainan patologi di otak tergantung dari etiologi dan patofisiologi penyebab kejang. Epilepsi dengan kejang umum faktor genetik yang paling sering mendasari etiologinya akibat gangguan mutasi ion channel atau gangguan migrasi neuronal. Bentuk epilepsi ini membutuhkan pengobatan dengan
4
target yang luas di sistim saraf. Epilepsi parsial paling sering terjadi setelah cidera fokal di otak. Epilepsi parsial sering melibatkan lobus temporal dan hipokampus (Naegele et al. 2010). Pengobatan dengan obat anti epilepsi sering gagal mengontrol kejang dan hanya dalam jumlah sedikit dari penyandang epilepsi ini dapat dilakukan intervensi bedah untuk membuang fokus kejang. Disamping membutuhkan biaya yang tinggi, dengan fokus kejang dikedua lokasi hipokampus tindakan operasi tidak mungkin dilakukan karena akan menggangu kemampuan memori dan tidak semua serangan dapat dikontrol dengan operasi, sehingga terapi alternatif dengan menggunakan stem cell dapat dipakai untuk memperbaiki sel-sel neuron yang mengalami degenerasi . Penggunaan stem cell untuk diaplikasikan kepada manusia sampai saat ini masih diteliti keberhasilan dan efek samping jangka panjang. Para peneliti masih mencari metode pemberian yang terbaik dengan hasil yang maksimal. Pemberian embrionik stem cell melalui intraserebral yang dilakukan Li et al. 2007 membuktikan keberhasilan stem cell dalam mencegah terjadinya kindling (adanya fokus kejang kecil-kecil yang timbul akibat serangan kejang berulang) epileptogenesis pada tikus. Aktivitas kejang ditekan hampir sempurna selama 4 hari pada tikus model kindling setelah transplantasi sel penghasil adenosine ke dalam ventrikel (Huber et al. 2001). Efek proteksi ini secara bermakna menghilang setelah 3 minggu. Penelitian Chu et al. 2004 menunjukan transplantasi neural stem cell manusia intravena kepada tikus setelah diinduksi kejang status epileptikus dengan pilocarpine terjadi penurunan kejang spontan berulang dari 28 sampai 35 hari setelah status epileptikus. Penelitian ini akan mencoba menyelesaikan masalah tersebut dengan pembuatan hewan model epilepsi dan stem cell dari kultur bone marrow (bMSCs) dan progenitor neural cell yang ditransplantasikan melalui pendekatan pemberian intravena dibandingkan dengan pemberian intraserebral yang lebih invasif. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan terapi alternatif pengganti operasi pada epilepsi intractable.
5
Secara rinci tujuan khusus adalah: 1. Untuk membandingkan pemberian zat kimiawi lidocaine dengan bicuculine dalam menginduksi kejang dan menimbulkan kerusakan hipokampus hewan model epilepsi. 2. Untuk membandingkan pengaruh pemberian intravena dengan intraserebral bMSCs dan progenitor neural cell. 3. Untuk mendapatkan terapi stem cell yang terbaik dan tidak menimbulkan penolakan pada resipien dalam mengatasi kerusakan otak dengan menggunakan stem cell dari bMSCs allogenik yang diberikan intravena dosis berulang dibandingkan dengan pemberian satu kali dosis tinggi. 4. Untuk membandingkan proses perbaikan hipokampus dengan pemberian bMSCs yang tidak diferensiasi dan progenitor neural stem cell dalam mengatasi kerusakan di hipokampus.
Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Bone marrow mesenchymal stem cell dapat memperbaiki kerusakan hipokampus akibat induksi kejang dengan zat kimiawi. 2. Pemberian bMSCs melalui intravena hasilnya tidak berbeda dengan pemberian intraserebral dalam mengatasi kerusakan di hipokampus. 3. Tranplantasi bMSCs dosis rendah berulang hasilnya lebih baik dalam mengatasi kerusakan hipokampus dibandingkan pemberian satu kali dosis tinggi. 4. Bone marrow mesenchymal stem cell yang tidak berdiferensiasi dalam mengatasi kerusakan
di hipokampus tidak berbeda hasilnya dibandingkan progenitor
neural stem cell. Manfaat Penelitian Hasil akhir penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengatasi penyakit epilepsi terutama epilepsi kualitas hidup penyandang.
intractable, sehingga dapat meningkatkan
Alur penelitian Penelitian ini dibagi 3 tahap seperti yang tercantum pada Gambar 1
Aklimasi hewan model tikus Spraque Dawlley usia 2 bulan, berat badan 200-400 gr
In Vivo :Hewan model epilepsi injeksi intraperitoneal bicuculine 8mg/kgbb, lidocaine 90mg/kgbb Dikorbankan 24 jam, hari ke-3 & ke-7 pasca injeksi
Pengamatan klinis kejang, Histopatologi daerah hipokampus (pewarnaan HE)
Induksi bMSCs menjadi PNCs Identifikasi PNCs nestin, β aktin
Aspirasi bone marrow tikus Kultur bMSCs, identifikasi marker MSCs CD44,CD45,CD105
Tikus sehat (K1)
Injeksi intravena bMSCs 3x2x105 (M1)
In Vitro : Kultur jaringan otak tikus diberi Bicuculine 10 µgr
Injeksi intravena bMSCs 1x5x106 (M2)
Injeksi intraserebral PNCs 1x2x105 (M4)
Injeksi intravena PNCs 1x2x105 (M3)
Tikus model epilepsi (K2)
Histopatologi daerah hipokampus (pewarnaan HE) Pemeriksaan imunohistokimia Neu N
Gambar 1 Alur penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
Epilepsi termasuk gangguan neurologis kronis yang cukup serius dengan jumlah penydanang di seluruh dunia mencapai hampir 50 juta penduduk (Sander, 2003). Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa 70% sampai 80% dari penderita epilepsi sembuh dengan pengobatan dan sisanya masih menderita kejang dan resisten terhadap pengobatan yang ada saat ini (Kwan dan Sander, 2004). Faktor resiko yang paling sering menjadi penyebab epilepsi adalah penyakit pembuluh darah otak, tumor otak, cedera kepala, kelainan perkembangan kortikal, kelainan genetik, dan infeksi otak (Hesdorffer 2008). Definisi Epilepsi Epilepsi didefinisikan (ILAE 2005) sebagai suatu keadaan di mana terjadi lebih dua kali bangkitan epileptik, dengan interval lebih dari 24 jam tanpa diprovokasi yang menyebabkan terjadinya perubahan di otak dan meningkatkan kecenderungan terjadinya serangan selanjutnya dan berhubungan dengan gangguan neurobiologi, kognitif, psikologis dan konsekuensi sosial ( Fisher RS et al. 2005). Klasifikasi Kejang Berdasarkan sumber aktivitas listrik dan penyebarannya, kejang epilepsi terdiri dari kejang parsial dan kejang umum. Kejang parsial adalah kejang yang prosesnya diawali oleh aktivitas listrik abnormal di suatu area fokal otak sehingga manifestasi klinisnya berupa gangguan fungsi otak sesuai fungsi area otak tersebut. Aktivitas listrik fokal tersebut dapat menyebar ke area otak lainnya secara sinaptik dan nonsinaptik, meluas ke area kortikal lainnya atau subkortikal melalui komisura sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan kejang umum. Aktivitas listrik yang menimbulkan kejang umum primer berasal dari kedua hemisfer dan melibatkan thalamus secara resiprokal (Najm et al. 2006).
8
NEUROFISIOLOGI EPILEPSI Epilepsi adalah kelainan yang ditdanai dengan kejang berulang yang disebabkan aktivitas listrik otak abnormal. Ketidakseimbangan antara aktivitas eksitasi dan inhibisi merupakan konsep dasar aktivitas listrik abnormal pada kejang. Aktivitas listrik tersebut merupakan hasil proses biokimiawi pada tingkat sel dalam jaringan neuron yang luas dan melibatkan struktur kortikal dan subkortikal. Keluaran proses tersebut dapat direkam pada elektroensefalografi. Komponen yang penting dalam proses tersebut adalah hipereksibilitas dan hipersinkronisitas (Rho dan Stafstrom 2006).
Elektrofisiologi Selular Hipokampus Hipokampus merupakan area otak yang paling banyak diteliti dalam studi elektrofisiologi terkait epilepsi. Hipokampus terdiri dari girus dentatus, hipokampus proper (Ammon’s horn dengan subarea Ca1, Ca2, dan Ca3), subikulum, dan korteks entorinal. Keempat area ini saling berhubungan melalui koneksi eksitatorik anterograde unidireksional yang besar. Namun demikian, terdapat beberapa proyeksi retrograde, yaitu dari korteks entorinal ke ammon’s horn dan dari Ca3 ke girus dentatus. Sirkuit trisinaptik yang dominan adalah sirkuit yang bermula dari neuron lapis kedua pada kortek entorinal dan aksonnya bersinaps dengan girus dentatus melalui jalur perforantes yang bersinaps dengan sel granul dan interneuron (Jones 2006). Sel granul, yang merupakan neuron utama girus dentatus, mengirimkan aksonnya untuk bersinaps di hilus dan ammon’s horn area Ca3. Sel pyramidal Ca3 mengirimkan aksonnya ke sel pyramidal Ca3 lainnya (melalui kolateral lokal), ke ammon’s horn area Ca1 (melalui kolateral Schaffer), dan ke hipokampus kontralateral. Sel pyramidal Ca1 mengirimkan aksonnya ke kompleks subikular dan diteruskan ke korteks entorinal, struktur kortikal serta subkortikal lainnya (Najm et al. 2006; Rho dan Stafstrom 2006).
9
Kanal Ion Ada dua tipe kanal ion yang berkaitan dengan proses eksitasi dan inhibisi, yaitu voltage-gated ion channels dan ligdan-gated ion channels. Kanal ion tipe pertama adalah (1) kanal Na dan Ca aktivasi voltasenya akan mendepolarisasi membran sel ke arah ambang batas potensial; dan (2) kanal K yang berfungsi untuk mengimbangi eksitasi neuron. Kanal ion tersebut diaktivasi melalui perubahan potensial membran dan kemudian merubah konformasi kanal ion sehingga dapat dilewati oleh substratnya. Ligdan-gated receptors, seperti reseptor glutamate dan GABA, merupakan tipe kanal ion kedua, yang aktivasinya dimediasi melalui pengikatan ligan sehingga terjadi perubahan konformasi. Perubahan konformasi ion tersebut mengubah permeabilitas kanal terhadap substratnya. Aliran ion tersebut dapat menghasilkan depolarisasi atau hiperpolarisasi (Rho danStafstrom 2006).
Konduktansi Voltage-Dependent Membrane Kanal ion Na terdiri dari tiga subunit polipeptida, yaitu subunit alfa dan dua subunit beta yang mempengaruhi kemampuan kinetik subunit alfa. Influx Na menyebabkan depolarisasi awal dan influx Na selanjutnya yang persisten menambah depolarisasi. Selain itu, neuron juga memiliki kanal ion Ca. Daerah hipokampus, sel pyramidal di Ca3 merupakan neuron dengan aliran Ca yang paling signifikan. Aktivasi kanal ion Ca menyebabkan depolarisasi yang pada akhirnya mempengaruhi pelepasan neurotransmiter, ekspresi gen, dan pola aktivitas listrik neuron. Struktur molekul kanal ion Ca serupa dengan kanal ion Na. Kanal ion Ca merupakan kompleks hetero-oligomerik yang terdiri dari subunit alfa sebagai penyusun pori, dan subunit yang lebih kecil (α2, β, ɣ , δ) yang memodulasi kemampuan kinetik kanal (Jones 2006).
Konduktansi yang Menyebabkan Hiperpolarisasi Kanal ion K mampu mengimbangi aktivitas depolarisasi dengan menyebabkan hiperpolarisasi. Kanal ion K terdiri dari empat subunit α di membran sel dan empat subunit β sebagai regulator. Pada neuron hipokampus, konduktansi K
10
merupakan determinan mayor potensial istirahat membran (Rho dan Stafstrom, 2006).
Transmisi Sinaptik Inhibitorik Inhibisi sinaptik di hipokampus dimediasi melalui dua sirkuit. Sirkuit pertama adalah umpan balik atau inhibisi berulang ketika neuron eksitatorik bersinaps dengan neuron interneuron inhibitorik yang kemudian memproyeksikan kembali sinyal inhibitorik ke neuron eksitatorik. Sirkuit kedua adalah inhibisi anterograde yang terjadi ketika akson diproyeksikan pada area sinaps dan secara langsung mengaktifkan interneuron inhibitorik yang kemudian menginhibisi neuron eksitatorik. Neurotransmiter yang memediasi proses ini adalah GABA. GABA adalah asam amino netral yang disintesis dari asam glutamate oleh enzim asam glutamate dekarboksilase. GABA berikatan dengan dua tipe reseptor, yaitu reseptor GABAa dan GABAb yang ditemukan pada hamper neuron kortikal. Reseptor GABAa merupakan makromolekul yang terdiri dari pori ion dan situs ikatan untuk agonisnya dan berbagai substrat alosterik, misalnya benzodiazepine dan barbiturate yang secara berbeda mempengaruhi kinetik reseptor. Reseptor ini merupakan kompleks heteropentamerik yang terdiri dari polipeptida (subunit α, β, ɣ , δ, ε, π, ρ) yang menyusun kanal ion. Kanal tersebut permeable terhadap ion klorida dan bikarbonat. Aktivasi reseptor GABAa menyebabkan influx Cl- sehingga terjadi hiperpolarisasi ( Rho dan Stafstrom 2006 ). .Selain itu, terdapat pula reseptor GABAb yang merupakan reseptor metabotropik yang terletak di membrane pascasinaps dan terminal presinaps. Mekanisme kerja reseptor GABAb dimediasi melalui GTP-binding protein yang mengontrol konduktansi Ca dan K. Reseptor GABAa menggenerasi potensial pascasinaps inhibitorik yang cepat dan berkonduktansi tinggi, sedangkan reseptor GABAb memediasi potensial pascasinaps inhibitorik yang lambat, berdurasi lebih lama, dan dengan konduktansi rendah. Aktivasi reseptor GABAb memblok pelepasan vesikel neurotransmiter GABA di akson terminal yang seharusnya berikatan dengan
11
reseptor GABAa di membrane pascasinaps sehingga menyebabkan disinhibisi ( Sharma et al. 2007)
Transmisi Sinaptik Eksitatorik Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik utama. Jalur yang dimediasi glutamate tersebar di berbagai area otak dan berperan dalam perkembangan otak yang normal dan plastisitas sinaps. Reseptor glutamate ionotropik terdiri dari reseptor NMDA(N-methyl-D-aspartate) dan non-NMDA. Reseptor NMDA terdiri dari situs ikatan glutamate dan modulator lainnya (glisin, poliamin, MK-801, dan lain-lain). Reseptor NMDA juga mendemonstrasikan blokade yang difasilitasi voltase oleh ion Mg. Ketika membrane terdepolarisasi dan blokade Mg terhadap reseptor NMDA tersupresi, aktivasi reseptor NMDA menyebabkan influx Ca dan Na. Influx Ca esensial dalam kaskade aktivasi berbagai enzim kinase yang pada akhirnya mengamplifikasi transduksi sinyal dan regulasi transkripsi. Aktivasi reseptor NMDA menggenerasi potensial pascasinaps yang lambat dan berdurasi lama. Fenomena sinaptik tersebut berkontribusi pada cetusan epileptiform, dan blokade reseptor NMDA berperan dalam atenuasi aktivitas
epileptiform
pada berbagai model
(Sharma et al. 2007). Reseptor non-NMDA terdiri dari reseptor AMPA (α-amino-3-hydroxy-5methyl-4-isoxazole propionic acid) dan kainat. Reseptor AMPA berperan dalam generasi potensial pascasinaps yang cepat dan berdurasi pendek. Depolarisasi yang disebabkan aktivasi AMPA mempengaruhi aktivasi reseptor NMDA secara efektif. Reseptor metabotropik glutamate merepresentasikan family reseptor yang dimediasi protein G yang mengaktivasi berbagai jalur transduksi, yaitu hidrolisis fosfoinositol dan aktivasi adenilat siklase serta fosfolipase C-D. Reseptor tersebut merupakan modulator penting kanal ion K dan Ca, aliran kation nonselektif, reseptor yang dimediasi ligan (reseptor GABA dan glutamate), dan regulasi pelepasan glutamat (Najm et al. 2006, Sharma et al. 2007).
12
Cetusan Listrik Neuron yang Abnormal Pada situasi normal, potensial aksi yang digenerasi oleh suatu neuron akan menyebar ke neuron di dekatnya melalui mekanisme sinaptik atau efatik (potensial elektrik) termasuk ke neuron yang bersifat eksitatorik dan inhibitorik. Keseimbangan antara proses eksitasi dan inhibisi merupakan kunci aktivitas listrik otak yang normal. Aktivitas inhibisi tersebut dapat diperantarai oleh neuron tunggal di hipokampus yang memiliki koneksi luas dengan berbagai neuron kortikal. Oleh karena itu, untuk menimbulkan cetusan listrik abnormal di otak diperlukan suatu sinkronisitas berbagai neuron untuk melawan mekanisme penyeimbang inhibitorik di hipokampus tersebut seperti yang tercantum pada tabel 1 ( Rho dan Stafstrom 2006 ).
Tabel 1. Peran Kanal dan Reseptor dalam Cetusan Listrik Normal dan Epileptik Kanal atau Reseptor
Peran dalam Fungsi Peran dalam Epilepsi Neuronal Normal Voltage-gated Na channel Subthreshold EPSP, action Cetusan potensial aksi potential up-stroke repetitive Voltage-gated K channel Action potential down-stroke Repolarisasi potensial aksi abnormal 2+ + Ca -dependent K channel Hiperpolarisasi pasca Membatasi cetusan repetitive potensial aksi; generasi periode refrakter Voltage-gated Ca channel Pelepasan transmitter, Pelepasan transmitter membawa depolarisasi dari berlebihan, aktivasi proses dendrite ke soma intraselular patologis Reseptor non-NMDA EPSP yang cepat Inisiasi paroxysmal depolarization shift Reseptor NMDA EPSP yang lambat dan Mempertahankan PDS, Ca berkepanjangan mengaktivasi proses intraselular patologis Reseptor GABAa IPSP Membatasi eksitasi Reseptor GABAb IPSP berkepanjangan Membatasi eksitasi Sianaps elektrikal Transmisi eksitatorik yang Sinkronisasi cetusan neuronal sangat cepat Pompa Na-K Restorasi keseimbangan ion Mencegah depolarisasi yang diinduksi K Keterangan : EPSP; eksitatori potensial pos sinaptik, IPSP, inhibitori pos sinap potensial, NMDA; N-methyl-d-aspartase, PDS; paroksismal depolarisasi shift ( Rho dan Stafstrom
2006 ).
13
Paroxysmal Depolarization Shift Fenomena di tingkat selular yang berkorelasi dengan cetusan epileptiform interiktal adalah paroxysmal depolarization shift yang terlihat melalui perekaman menggunakan mikroelektrode. Pada awalnya, terjadi pergeseran potensial membran secara cepat yang mengarah ke depolarisasi, yang kemudian diikuti cetusan potensial aksi repetitif yang berlangsung selama beberapa ratus milidetik. Depolarisasi inisial dimediasi oleh reseptor non-NMDA, sedangkan depolarisasi yang lebih persisten dimediasi oleh reseptor NMDA. Kemudian, paroxysmal depolarization shift mengalami terminasi melalui fase repolarisasi sebagai konsekuensi peningkatan konduktansi K dan Cl yang dimediasi reseptor GABA. Periode hiperpolarisasi yang berkepanjangan setelah paroxysmal depolarization shift dimediasi oleh konduktansi ion inhibitorik sehingga menghasilkan periode refrakter ( Rho dan Stafstrom 2006 ).
Mekanisme Sinkronisasi Formasi hipokampus secara normal menunjukkan sinkronisitas neuron. Gelombang tajam, paku, aktivitas teta, dan osilasi berfrekuensi 40Hz dan 200 Hz merupakan berbagai bentuk sinkronisasi neuron yang dapat direkam pada berbagai area hipokampus. Aktivitas neuron yang sinkron merupakan kerja intrinsik hipokampus yang normal. Sinkronisasi neuron juga merupakan konsep dasar epilepsi. Sinkronisitas yang digenerasi oleh hipokampus dapat menyebabkan kejang. Aktivitas sinkron yang normal yang tidak menggenerasi cetusan epileptiform dapat mencetuskan kejang pada hipokampus yang kehilangan neuronnya secara selektif, reorganisasi sinaptik, dan perubahan ekspresi reseptor. Mekanisme sikronisasi pada hipokampus melibatkan input dari nukleus subkortikal dan sinkronisasi yang dimediasi interneuron intrinsik. Aktivitas teta merupakan representasi sinkronisasi kerja berbagai sel di hipokampus yang sebagian besar tergantung pada input dari septum (nukleus subkortikal). Septum tersebut menerima proyeksi akson yang divergen yang mentarget interneuron di hipokampus. Proyeksi akson divergen dari interneuron dan efek kuat konduktansi yang dimediase reseptor GABAa menyebabkan interneuron berperan dalam aktivitas sejumlah besar
14
neuron utama. Karakteristik tersebut mencerminkan bahwa interneuron sebagai target efektif dalam modulasi subkortikal aktivitas sel utama hipokampus. Interaksi inhibitorik mutual di antara interneuron hipokampus menghasilkan sinkronisasi. Sirkuit eksitatorik berulang merupakan dasar lain dalam sinkronisasi neuronal di hipokampus. Kolateral eksitatorik berulang merupakan karakter utama area Ca3 (sel pyramidal di Ca3 membentuk koneksi monosinaptik langsung dengan sel pyramidal Ca3 lainnya). Interaksi eksitatorik tersebut berkontribusi pada cetusan sinkron yang merupakan karakteristik area Ammon’s horn. Pada epilepsi lobus temporal terjadi reorganisasi sinaptik, dan sprouting aksonal menyebabkan eksitasi berulang yang pada akhirnya merupakan suatu mekanisme sinkronisasi di area lain formasi hipokampus (termasuk di Ca1, kompleks subikular, korteks entorinal, dan girus dentatus). Pada girus dentatus yang normal, sel granul tidak atau hanya sedikit membentuk monosinaps dengan sel granul lainnya, sedangkan pada girus dentatus yang abnormal terjadi sprouting akson sel granul yang bersinaps dengan sel granul lainnya. Fenomena tersebut berkontribusi pada interaksi eksitatorik langsung di antara sel-sel tersebut. Mekanisme lainnya dalam sinkronisasi juga melibatkan gap junction, efek lapang elektrik dan perubahan konsentrasi ion ekstraselular. Adanya gap junction menyebabkan penyebaran potensial aksi ke sel yang berdekatan walaupun tanpa hubungan sinaptik. Potensial aksi juga menyebar melalui substrat antar sel yang disebut sebagai efek lapang elektrik. Peningkatan konsentrasi K ekstraselular mempengaruhi eksitabilitas epileptogenik dan sinkronisasi (Najm et al. 2006; Sharma et al. 2007)
Mekanisme Glial dalam Modulasi Epileptogenisitas Sel glial merupakan sel yang berperan dalam homeostasis konsentrasi ion intra dan ekstraselular sehingga memungkinkan terjadinya siklus depolarisasi dan repolarisasi yang normal. Astrosit diperkirakan berperan dalam regulasi konsentrasi ion K ekstraselular karena sifat membrannya yang permeable terhadap K dan perannya dalam pembentukkan sawar darah otak. Selain itu, sel glial juga dapat
15
meregulasi glutamate keluar dari kompartemen ekstraselular. Kemampuan dalam meregulasi glutamate keluar dari kompartemen ekstraselular dimungkinkan karena adanya dua molekul transport glutamate pada membrane sel glial. Penyingkiran glutamate dari ekstraselular pascadepolarisasi mencegah depolarisasi terus-menerus pada neuron. Sel glia juga mampu meregulasi pH esktraselular melalui transport proton dan bikarbonat. Aktivitas neuron yang minimal mampu menyebabkan perubahan pH signifikan.Perubahan pH tersebut memodulasi fungsi reseptor NMDA yang berperan dalam eksitabilitas neuron.Sekresi sel glial, berupa glutamate dan sitokin (Il-1) berperan dalam eksitabilitas dan mekanisme antiepileptik (Najm et al. 2006).
EPILEPSI LOBUS TEMPORAL Anatomi Epilepsi yang berasal dari lobus temporal dibagi menjadi dua yaitu bagian mesial (Mesial Temporal Lobe Epilepsi/MTLE) yang berasal dari hipokampus & amigdala dan bagian lateral (lateral temporal lobe epilepsy / LTLE) yang berasal dari neokorteks & bagian perifer lobus temporal (Qureshi 2007). Sistem limbik terdapat pada otak bagian medial mengelilingi tepi ventrikel yang terdiri atas girus singuli, girus parahipokampus, amigdala, nukleus septal dan hipokampus. Secara anatomis, hipokampus terletak pada unkus (bagian medial lobus temporal) dan memiliki fungsi penting dalam memori jangka panjang dan kemampuan recall (Titus et al. 2007 dan Mathern et al. 2008). Hipokampus dibagi menjadi empat bagian yaitu subiculum, kornu amonis regio superior (Ca1), kornu amonis regio inferior (Ca3) dan girus dentata. Girus dentata hampir sebagian besar terdiri atas sel granula dengan akson yang disebut sebagai “mossy fibers” (Qureshi 2007) . Etiologi Penyebab pasti terjadinya sklerosis hipokampus pada MTLE-HS hingga saat ini masih kontroversial. Hubungan kausal antara sklerosis hipokampus dan kejang
16
demam pertama kali dilaporkan 30 tahun yang lalu (Engel et al. 2008). Hal ini juga didukung dengan penelitian terkini dimana diantara beberapa faktor risiko yang mungkin memicu terjadinya sklerosis, 66% pasien memiliki riwayat kejang demam berkepanjangan (prolonged febrile convulsions) ( Qureshi 2007, Engel et al. 2008). Saat ini terdapat dua teori populer tentang mekanisme dasar terjadinya sklerosis pada kejang demam (Panayiotopoulus 2005). Teori pertama menyatakan bahwa kejang demam yang berkelanjutan menyebabkan perubahan pada hipokampus sedangkan pendapat kedua menyatakan abnormalitas hipokampus sebelumnya menjadi faktor predisposisi terhadap kejang demam yang menyebabkan kerusakan lebih lanjut ( Qureshi 2007, Panayiotopoulus 2005, Engel et al. 2008). Merkenschlager et al. 2009 melaporkan kasus pediatri dengan kejang demam kompleks yang berkepanjangan dimana MRI saat onset dalam batas normal namun 1 tahun kemudian saat dilakukan MRI follow-up tampak lesi pada hipokampus selanjutnya menjadi atrofi. Berdasarkan laporan kasus tersebut, mereka mendukung hipotesis bahwa kejang demam berkepanjangan dapat menyebabkan sklerosis tanpa adanya lesi pendahuluan pada hipokampus. Meskipun demikian, hingga saat ini
kedua teori ini masih sering
diperdebatkan terutama dalam hal risiko terjadinya MTLE-HS setelah kejang demam. Etiologi lain yang diduga menyebabkan sklerosis adalah cidera awal seperti trauma dan infeksi pada otak yang menjadi faktor presipitasi (McIntyre 2008). Sklerosis pada hipokampus juga diduga berhubungan dengan mikrodisgenesis karena ditemukan pada pasien dengan lesi diplastik (hamartoma, heterotopia) serta riwayat keluarga dengan epilepsi dan kejang demam yang mengarah kepada kemungkinan predisposisi genetik atau kongenital (Janszky 2004, McIntyre 2008) . Epilepsi lobus Temporal adalah jenis epilepsi fokal yang paling sering ditemukan pada usia remaja dan dewasa, potensial untuk resisten terhadap pengobatan 20-30%. Pada kebanyakan kasus daerah epileptogenik ditemukan di daerah
struktur
mesial temporal (seperti
hipokampus, amygdala, dan girus
parahipokampusl). Lesi di hipokampus progresif menyebabkan epilepsi kronis, gangguan belajar dan gangguan memori dan berkurangnya neurogenesis di girus
17
dentatus. Kejang dimulai pada akhir masa kanak-kanak dan remaja. Kondisi ini biasanya berhubungan dengan kejang demam pada masa kanak-kanak dan pada beberapa penelitian ditemukan adanya riwayat infeksi herpes simplex virus (HSV) DNA dan diduga etiologi epilepsi akibat proses infeksi, riwayat trauma kepala dan status epileptikus (Najm et al. 2006, Qureshi 2007).
Gambar 2. Daerah hipokampus yang terlibat pada saat epilepsi lobus temporal (Sharma et al. 2007)
Gambaran sklerosis pada MTLE-HS memiliki keunikan tersendiri karena berbeda dengan sklerosis akibat kelainan serebral lainnya (Panayiotopoulus 2005). Pola kerusakan hipokampus pada MTLE-HS adalah spesifik yaitu hilangnya sel neuron terutama pada daerah Ammon horn (Ca1 & prosubiculum; sering disebut sebagai sektor Sommer) dan pada sel granula fasia dentata (Titus et al. 2007). Sedangkan pola kerusakan hipokampus pada cidera akibat penyakit hati kronis atau hipoksia-iskemia mengenai seluruh hipokampus termasuk Ca2, subiculum dan girus parahipokampus. Dengan demikian, sklerosis hipokampus pada MTLE-HS berarti spesifik pada daerah Ammon horn yaitu pada Ca1, neuron hilar dan neuron Ca2 Engel et al. 2008). Gambar 1 menunjukan lokasi hipokampus yang sering rusak pada epilepsi lobus temporal (Sharma et al. 2007). Lesi di daerah hipokampus akibat kejang akut menyebabkan kehilangan neuron dan penyimpangan penyebaran dari serat saraf. Patologi yang paling sering didapatkan pada penderita epilepsi ini adalah sklerosis mesialis/ sklerosis hipokampus dan atrofi formasio hipokampus. Mekanisme terjadi epilepsi timbul akibat eksitatori yang berlebihan melalui NMDA glutamat reseptor, berkurangnya
18
inhibisi neuron akibat gangguan pelepasan GABA, gangguan ekspresi reseptor GABAA, abnormalitas fungsi K channel, dan hipersinkronisasi mediasi neuron inhibisi (Mody dan Heinemann 1987). Gambaran histopatologi yang timbul hilangnya sel neuron, degenerasi, proliferasi glial dan muncul hipertrofi dan didaerah neuron yang hilang, hipokampus menjadi sklerotik seperti terlihat pada Gambar 2. Kerusakan hipokampus kebanyakan asimetri hanya 10% yang rusak simetris dan mungkin berhubungan dengan kelainan ekstrahipokampus seperti tumor.
Gambar 3.Hipokampus sklerosis (Boeve et al. 2006)
Dari percobaan binatang ditemukan kejang akut menginduksi neurogenesis, sementara pada kejang berulang terjadi pengurangan neurogenesis. Status epileptikus akan menyebabkan hilangnya sel neuron terutama di daerah girus dentatus hipokampus daerah Ca1 dan Ca3, daerah amygdala, kortek piriform, talamus, serebelum dan kortek serebri.
Gambar 4 Hipokampus sklerosis pada epilepsi lobus temporal ( Chang dan Lowenstein 2003)
19
Gambaran Klinis MTLE-HS dapat memberikan manifestasi berupa bangkitan fokal sederhana maupun kompleks. Bangkitan fokal yang kemudian berkembang menjadi umum biasanya jarang ditemukan pada pasien dengan pengobatan yang adekuat (Panayiotopoulus 2005). Anatomi dan fisiologi sistem limbik sangat mempengaruhi tdana dan gejala dari epilepsi limbik. Cetusan yang terbatas hanya pada hipokampus jarang memberikan manifestasi klinis yang berarti. Aura yang khas ditemukan berasal dari proyeksi ipsilateral. Gejala otonom dan emosi seperti rasa takut mungkin disebabkan dari penyebaran ke hipotalamus dan insula. Gejala psikis termasuk gangguan sensorik multimodal dapat berasal dari proyeksi neokortikal terutama pada perbatasan temporo-parieto-oksipital. Struktur limbik yang juga berperan pada memori termasuk indra pengecap dan penghidu dapat menyebakan aura olfaktorius dan gustatorius (Engel et al. 2008). Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan EEG rutin pada MTLE-HS dapat memberikan hasil yang normal atau berupa gambaran non-spesifik. Karakteristik gambaran EEG inter iktal berupa gelombang paku atau tajam serta gelombang lambat pada daerah temporal anterior dan paling maksimal pada elektroda bagian basal seperti sfenoidal, true temporal dan aurikuler. Gambaran ini dapat ditemukan bilateral secara independen pada sepertiga kasus (Engel et al. 2008, Janzsky 2005). Fenomena ini disebut sebagai “mirror focus” yang timbul pada lobus temporal kontralateral. Pada epilepsi limbik terdapat mekanisme intrinsik dimana cetusan tetap terjadi secara unilateral selama beberapa menit bila dibdaningkan dengan cetusan dari neokorteks yang menyebar sangat cepat ke daerah kontralateral melalui korpus kalosum. Bila penyebaran memang terjadi, biasanya secara tidak langsung melalui neokorteks temporal atau frontal ipsilateral. Kemungkinan penyebaran ke daerah kontralateral tidak terjadi melalui secara kalosal (Engel dan Williamson 2008). Pemeriksaan dengan Magnetic Resonance Imaging
20
(MRI) adalah alat diagnostik yang paling penting. MRI dengan resolusi tinggi biasanya dapat menunjukkan adanya atrofi hipokampus pada hampir sebagian besar pasien MTLE dengan epilepsi intractable.
Pada T2, sering ditemukan daerah
hiperintens pada area hipokampus yang sklerotik (Panayiotopoulus 2005, Williamson dan Engel 2008). Pemeriksaan mutakhir lainnya adalah dengan menggunakan FDG-PET (positron emission tomography with F-fluorodeoxyglucose). Pemeriksaan ini paling sensitif dalam identifikasi defisit fungsional fokal yang berhubungan dengan sklerosis hipokampus berupa daerah hipometabolisme yang luas melibatkan thalamus, ganglia basal dan struktur lain yang bersifat ipsilateral. Dengan menggunakan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS), sklerosis pada hipokampus dapat dicurigai bila dijumpai penurunan N-acetylaspartate (Engel dan Williamson 2008). Meskipun demikian, pada kasus epilepsi dimana ditemukan gambaran sklerosis pada MRI yang sesuai dengan klinis, mungkin tidak diperlukan pemeriksaan lanjutan (Panayiotopoulus 2005). Diagnosis Gambaran klinis MTLE-HS dapat dibedakan dari MTLE lainnya dengan usia saat onset yang lebih muda, riwayat kejang demam atau cidera awal pada otak, riwayat kejang pada anggota keluarga, defisit memori yang spesifik, pola onset iktal yang khas terutama pada elektroda sfenoidal serta ditemukannya atrofi hipokampus pada MRI (Engel dan Williamson 2008). Secara umum, diagnosis MTLE-HS dapat ditegakkan dengan menemukan beberapa temuan penting (Tabel 2) .
21
Tabel 2 Sindroma MTLE-HS ( Alving 1995). Riwayat kejang demam Perjalanan penyakit bifasik (kejang parsial kompleks pada dekade pertama dan terjadi rekurensi setelah “remisi” Aura dengan rasa takut atau gejala vegetatif Tidak ditemukan / jarang sekali terjadi kejang umum sekunder EEG : Gelombang paku/tajam-lambat pada temporal anterior MRI : atrofi hipokampus ipsilateral & peningkatan intensitas sinyal pada T2
Intervensi Pengobatan Pengobatan epilepsi yang ada saat ini tidak semuanya bisa mengendalikan serangan. Dibutuhkan intervensi dimasa mendatang untuk meringankan penderitaan penydanang epilepsi akibat penyakit kronis dan memberikan dampak terhadap kehidupan dan kualitas hidup pasien.
Terapi pembedahan Secara umum, kriteria untuk tindakan pembedahan pada epilepsi adalah serangan yang masih belum terkontrol dengan penggunaan dua OAE selama dua tahun atau lebih, telah dicoba menggunakan dua OAE atau lebih tanpa adanya kontrol kejang yang adekuat, fokus epileptogenik yang dapat diidentifikasi, daerah reseksi tidak meliputi area fungsional yang harus dipertahankan dan manfaat pembedahan melebihi risiko yang mungkin terjadi. Tipe pembedahan yang sering dilakukan adalah reseksi lobus temporal bagian anteromesial / anterior temporal lobectomy (ATL) Saat ini telah dikembangkan teknik operasi yang lebih selektif yaitu selective amygdalaohippocampectomy (SAH) ( Ozkara et al 2008). Sebanyak 60% pasien yang mengalami pembedahan menjadi bebas kejang setelah operasi. Pada sebagian, serangan berkurang pada 20% pasien yang tetap mendapatkan OAE, 10% pasien
22
tidak mengalami perubahan dan 10% mengalami perburukan (Qureshi 2007, Engel et al. 2008, McIntyre dan Schwartzkroin 2008). Efek samping pembedahan yang sering dibahas adalah risiko defisit kognitif akibat tindakan reseksi. Diperkirakan 50-60% pasien setelah 5 tahun paska bedah dapat mengalami gangguan memori lebih lanjut. Derajat beratnya defisit kognitif tergantung dari jaringan reseksi, keadaan fungsional sebelum operasi dan kontrol kejang. Reseksi jaringan yang selektif dapat membantu mengurangi risiko terjadinya defisit kognitif setelah pembedahan ( Engel et al. 2003, Helmstaedter dan Kockelmann 2006). Terapi lain Pengobatan yang ada saat ini ditunjukkan pada Tabel 3 ( Blaise et al. 2001) dengan melihat angka kejadian bebas kejang setelah intervensi terapi: Tabel 3 Jenis pengobatan epilepsi dan tingkat keberhasilan pengobatan Jenis N terapi
Bebas kejang
Potensial perbaikan
10-80%
Beberapa kasus
50-80%
Tidak ada
< 10 %
Tidak ada
< 30%
Tidak ada
No 1 2 3 4
1 Obat anti epilepsi 2 Operasi 3 Vagus nerve stimulator 4 Diet ketogenik
Keberhasilan pengobatan tergantung pada penyebab epilepsi, usia saat onset, ketepatan diagnosis, tipe dan sindroma epilepsi. Pasien dengan epilepsi umum idiopatik 82% bebas serangan dalam 1 tahun pengobatan, epilepsi parsial kriptogenik 45%, epilepsi lobus temporal tanpa hipokampus sklerosis 20%, sedangkan hipokampus skelorosis dengan kelainan dual patologi hanya 3 % bebas serangan (Semah et al.1998).
23
Stem cell untuk terapi epilepsi lobus temporal Stem cell adalah sel yang belum terspesialisasi dan mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk berkembang menjadi berbagai jenis sel yang berbeda di dalam tubuh. Stem cell memiliki 3 kemampuan unik yaitu mereka memiliki kemampuan membelah dan memperbaharui (meregenerasi) dirinya sendiri secara berulang-ulang dalam waktu yang lama, dan dapat berdifferensiasi menjadi berbagai jenis sel, dengan fungsi yang lebih khusus, seperti sel saraf, sel jantung, sel otot, sel hati, sel tulang (Korbing dan Estrov, 2003) Stem cell dapat dikategorisasi menurut potensi yang dimiliki oleh sel tersebut maupun menurut asalnya.
Stem Cell Berdasarkan Potensinya Ada 3 tingkatan dalam potensi stem cell, sebagai berikut: 1. Totipoten stem cell; sel telur yang sudah mengalami fertilisasi memiliki kemampuan total untuk berdiferensiasi menjadi jenis sel apapun. Stem cell totipoten diperoleh dari sel induk embrio, hasil pembuahan sel telur oleh sperma atau melalui somatik transfer inti (somatic cell nuclear transfer /SCNT) atau melalui partenogenetik; sel telur tanpa pembuahan sel sperma (Bongso 2005). 2. Pluripoten stem cell; dapat berdiferensiasi menjadi jenis sel apapun (dapat membetuk 3 lapisan germinal : ektoderm, mesoderm, dan endoderm) kecuali jenis sel yang dibutuhkan selama perkembangan fetus (jaringan ekstraembrionik seperti plasenta dan tali pusat) contohnya adalah stem cell embrionik (Bongso 2005). 3. Multipoten stem cell yang hanya dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel tertentu seperti pada stem cell dewasa
berasal dari sumsum tulang, tali pusat,
plasenta, adiposa, folikel rambut, pulpa gigi, epidermal dan lain sebagainya dapat berdiferensiasi pada in vitro dan in vivo menjadi sel neuron, sel hati, sel pembuluh darah, sel otot, sel tulang (Korbing dan Estrov 2003, Bongso 2005).
24
Stem cell Berdasarkan Asalnya Sel induk embrio (embryonal stem cells) Sel induk ini diambil dari embrio pada fase blastosit (5-7 hari setelah pembuahan). Massa sel bagian dalam mengelompok dan mengdanung sel-sel induk embrionik. Sel diisolasi dari massa sel bagian dalam dan dikultur secara in vitro. Sel induk embrional dapat diarahkan menjadi semua jenis sel yang dijumpai pada organisme dewasa, seperti sel-sel darah, sel-sel hati, sel-sel otot, sel-sel ginjal serta sel-sel yang lainnya (Radt dan Boon, 2005). Stem cell dewasa (adult stem cells) Adult stem cells adalah stem cell yang terdapat di semua organ tubuh, dan berfungsi untuk melakukan regenerasi dalam mengatasi berbagai kerusakan yang selalu terjadi dalam kehidupan. Adult stem cell diambil dari jaringan dewasa, seperti susunan saraf pusat, adiposit (jaringan lemak), otot rangka, atau pankreas fetus (fetal stem cells), sum-sum tulang (bone marrow stem cells), darah perifer , darah tali pusat, sel rambut, jaringan adipose, pulpa gigi, hati (Kolf et al. 2007, Rastegar et al. 2010) Adult stem cell mempunyai sifat plastis, artinya selain berdiferensiasi menjadi sel yang sesuai dengan jaringan asalnya, juga dapat berdiferensiasi menjadi sel jaringan lain. Seperti mesenchymal stem cells yang ada di bone marrow dan sel darah tali pusat dapat berubah menjadi sel otot jantung, sel beta pankreas. sel neuron, pembuluh darah, sel otot dan sel tulang (Kolf et al. 2007, Rastegar et al. 2010). Kemampuan stem cell untuk berdiferensiasi dipengaruhi oleh 2 signal yaitu signal internal dan signal eksternal. Signal internal berupa gen-gen yang berisi kodekode untuk mengatur struktur dan fungsi seluler. Signal eksternal dapat berupa senyawa kimia yang disekresikan oleh sel lain, kontak fisik dengan sel tetangga, atau pengaruh molekul tertentu di lingkungan sel (Korbing dan Estrov 2003; Raedt dan Boon 2005).
Proses perbaikan struktural dari jaringan epileptik yang rusak 1. Transplantasi sel untuk perbaikan sirkuit hipokampus
25
Pada kasus epilepsi lobus temporal, sklerosis hipokampus merupakan target perbaikan yang terpenting pada epilepsi lobus temporal. Namun upaya menjembatani perbaikan struktural yang rusak keseimbangan
eksitasi
dan
pada jaringan hipokampus untuk menjaga
inhibisi
jelas
merupakan
tantangan
tersendiri.
Sebagaimana telah dijelaskan, sklerosis hipokampus berhubungan hilangnya berbagai tipe dari neuron eksitasi dan inhibisi di berbagai area yang berbeda pada struktur hipokampus. Untuk itu perbaikan seluler dari sklerosis hipokampus
akan
membutuhkan implantasi jamak/multipel dengan berbagai tipe sel berbeda pada struktur hipokampus. Proses implantasi membutuhkan kemampuan untuk dapat bertahan, bermigrasi ke sel yang sesuai, tumbuh dalam bentuk fenotip yang sesuai baik jumlah dan lokasi di hipokampus, dapat memberikan respons input aferen yang sesuai dan mampu bertahan dalam jangka panjang pada neuron induk target secara baik (Chu et al. 2004, Raedt dan Boon 2005). 2. Transplantasi sel hipokampus fetal Neuron hipokampus fetal telah ditransplantasikan di hipokampus melalui model injeksi asam kainat intraventrikular. Pada model ini, terdapat kehilangan selektif dari neuron pyramidal Ca3 dan menghasilkan bangkitan spontan di limbik. Tingkat bertahannya sel dipengaruhi oleh postlesion delay (PLD) , usia tikus, dan tipe sel yang ditransplantasikan. Angka bertahan hidup tertinggi (77%) terlihat pada sel Ca3 fetal yang ditransplantasikan pada tikus muda matur dengan PLD selama 4 hari. Jika PLD memanjang, fraksi sel yang bertahan hidup menjadi turun (21-31% jika PLD selama 45 hari). Kemampuan bertahan dapat meningkat, hingga mencapai 99% dengan pemberian growth factor dan faktor anti apoptosis. Angka bertahan hidup juga dipengaruhi oleh spesifitas sel ( Shetty et al. 2007, Acharya et al. 2007). 3. Transplantasi neural stem /sel progenitor Transplantasi jaringan otak fetal memiliki keterbatasan aplikasi dalam skala luas. Keterbatasan ini termasuk akibat ketidakmampuan untuk menyimpan sel fetus, kebutuhan jumlah yang banyak pada sel fetus untuk satu kali transplantasi (misal 6-8 donor fetal untuk satu kali transplantasi). Keterbatasan lainnya adalah tingkat
26
kemurnian dan viabilitas transplan yang sulit dikontrol sehingga hasil transplanstasi menjadi sulit dikontrol ( Chu et al. 2004)
Manfaat dari penggunaan stem cell Penelitian tentang penggunaan stem cell saat ini masih dilakukan untuk menguak misteri dari sel induk ini. Karena sel ini dapat berdifferensiasi secara spontan maupun dikontrol dengan berbagai pengarahan baik di in vitro maupun in vivo dengan induksi yang benar atau signal yang bisa merangsang menjadi sel spesifik. Keberhasilan penggunaan stem cell tergantung dari biomaterial yang dipakai, kontrol sistem dari growth factor, protokol sistem transplantasi dan sistem imun resipien (Rho dan Stafstrom 2006). Penelitian stem cell untuk pengobatan epilepsi tidak sebanyak penelitian pada stroke karena etiologi dan patofisiologi epilepsi dengan berbagai variasi seperti kelainan genetik, kriptogenik, idiopatik dan simtomatik. Dari penelitian yang telah dilakukan pada hewan dengan terapi stem cell adalah epilepsi lobus temporal karena ada lesi fokal di hipokampus dan sekitarnya berupa hipokampus sklerosis dan cendrung intraktabel (Shetty dan Hattiangady 2007), menyimpulkan pengobatan epilepsi dengan embrionik stem cell melalui pendekatan penghambatan proliferasi dan abnormal migrasi sel neuron yang terbentuk akibat status epileptikus dan menyebabkan timbulnya spontaneous epileptiform selanjutnya berkembang menjadi epilepsi kronik. Payanm Muhammad Gharibani et al.2009 menemukan mesenchymal stem cell dari bone marrow in vitro dapat mengalami transdiferensisasi menjadi sel Gaba-ergic Like neuron ( Raedt dan Boon 2005.) Stem sel neural dapat dibedakan menjadi dua yakni sel neuron dan sel glia setelah ditransplantasikan ke SSP yang cedera. Stem cell merupakan bagian dari sel neuron,
hipokampus, yang
merupakan donor yang menjanjikan untuk
terjadinya reorganisasi dan memperbaiki daerah hipokampus yang mengalami cedera pada epilepsi lobus temporal. Namun, efikasi dari pendonoran stem cell hipokampus untuk memperbaiki daerah hipokampus yang mengalami cedera masih belum jelas. Penelitian Hong Shen et al. 2010 mentransplantasikan stem cell hipokampus pada
27
hipokampus kanan tikus, dengan pemberian asam kainat sebagai penginduksi terjadinya epilepsi. Aktivitas hipokampus dan nukleus amigdala dimonitor dengan EEG monitoring selama 24 minggu setelah tranplantasi. Hasil penelitian menunjukkan pengurangan frekuensi aktivitas epileptiform dan penurunan 50% amplitudo bangkitan di minggu ke 1, 4, 8 dan 24 minggu setelah transplantasi. Hasil ini, dapat memberikan masukan bahwa stem cell hipokampus dari hipokampus post natal menjanjikan efek perbaikan pada otak epileptik yang diinduksi asam kainat. Masiano et al. 2009 melakukan pemaparan peningkatan progenitor GABA ergik dari stem cell embrionik dengan memodifikasi kondisi kultur yang ada. Upaya kombinasi growth factors, molekul sinyal, atau media yang sudah terkondisi dari kultur embrionik precursor GABA ergik merupakan berbagai pendekatan dari yang sudah dilakukan. Kondisi ini merupakan pendekatan yang menjanjikan seperti yang digambarkan dalam petunjuk gambar 5 di bawah ini.
Gambar 5 Peningkatan GABA dari stem cell embrionik (Masiano 2009).
28
PEMBUATAN HEWAN MODEL TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) UNTUK EPILEPSI ABSTRAK Hewan model diperlukan untuk melakukan penelitian yang belum bisa diterapkan pada manusia karena terkait etika. Tidak semua hewan model dapat ideal menerangkan semua isu tentang proses terjadinya epileptogenesis. Penelitian ini bertujuan untuk membuat hewan model epilepsi dengan menginduksi kejang menggunakan zat kimia. Penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu in vivo dan in vitro. In vivo menggunakan bahan bicuculine (8mg/kgbb) dan lidocaine (90mg/kgbb) dengan menginjeksi tikus intraperitonial. In vitro menggunakan kultur otak tikus yang diberi bicuculine 10 µg di dalam 5x106 sel otak tikus/10 cm cawan kultur. Penelitian in vivo menunjukkan gejala klinis kejang pada saat induksi kedua zat kimiawi dengan stadium yang tidak berbeda bermakna tetapi kerusakan yang timbul di hipokampus pada pemberian lidocaine bersifat reversibel. Kerusakan dengan pemberian bicuculine lebih berat dibandingkan lidocaine dan bersifat ireversibel di semua lokasi hipokampus Ca1, Ca3, dan girus dentatus pada hari ketujuh setelah diinjeksi. Penelitian in vitro terjadi kematian sel otak tikus dimulai pada hari ketiga kultur. Kematian sel mencapai 50% pada hari ketujuh. Bicuculine merupakan zat neurotoksik yang dapat dipakai untuk membuat hewan model epilepsi. Kata kunci: hewan model, bicuculine, lidocaine, epilepsi ABSTRACT An experimental animal model is needed for experiments that can't be performed in humans due to certain ethical issues. Not all animal model is ideal to explain the process of epileptogenesis. The aims of this study to made animal model for epilepsy. This research divided two stages there were in vivo and in vitro. In vivo used bicuculine (8mg/kgbb) and lidocaine (90mg/kgbb lidocaine) injected intraperitonial. In vitro used bicuculine 10 µg in 5x106 cell of neuron rat/10 cm culture flask. In vivo showed that identifying damaged of lidocain injection reversible at hypocampus. Brain damaged with bucuculine most severe compared to lidocain and irreversible occurred at hypocampus Ca1, Ca3 and gyrus dentatus after the 7th day of treatment. In vitro showed that necrotic of rat brain started 3rd day of treatment. Cell dead more than 50% after 7th day of treatment. Bicuculine was neurotoxic agent and better when applied to create an epilepsy animal model. Keywords: animal model, bicuculine, lidocaine, epilepsy
29
PENDAHULUAN Pembuatan hewan model untuk percobaan epilepsi merupakan suatu hal yang penting untuk mengetahui patogenesis dan mekanisme pengobatan epilepsi. Model epilepsi pada hewan mempunyai keterbatasan dan tidak satupun yang kondisinya serupa
dengan manusia, seperti hewan model untuk mempelajari efek operasi
epilepsi pada manusia. Idealnya hewan model epilepsi harus memiliki ciri-ciri: (1)Menunjukan gejala klinis kejang spontan dan berulang, (2)Kejang pada hewan model harus sama dengan kejang pada manusia, (3)Gambaran Elektro Ensefalo Grafi (EEG) harus sama dengan tipe epilepsi, (4)Frekuensi kejang harus cukup untuk memenuhi tes obat fase akut dan kronis (Sarkistan 2001). Induksi kejang pada hewan model epilepsi atau seperti kondisi epilepsi dapat dibuat dengan rangsangan listrik, hipertermia, toksin tetanus, atau pemberian zat kimia pada hewan yang sehat. Hewan yang sering dipakai adalah tikus. Neuron di hipokampus lebih mudah terangsang selama kejang. Daerah hipokampus merupakan daerah yang rentan terjadinya kerusakan akibat hipoksia dan iskemi oleh sebab itu daerah hipokampus adalah tempat yang terbaik untuk mempelajari efek kejang pada hewan model epilepsi (Loscher 2002). Penelitian epilepsi gejala klinis kejang pada hewan dapat diklasifikasikan: (1) kejang akut, (2) kejang kronik parsial sederhana, (3) kejang komplek parsial, (4) kejang umum tonik klonik, (5) kejang umum absans. Induksi kejang menggunakan zat kimiawi bicuculine sebagai reseptor antagonis GABAA (gamma aminobutyric acid) dapat merusak daerah hipokampus, amygdala dan kortek serebri, selain itu obat anestesi lokal lidocaine dapat digunakan sebagai anti epilepsi pada dosis rendah sementara pada dosis tinggi bersifat neurotoksik menimbulkan kejang (Fujita 2009, Veliser 2006). Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan kerusakan otak terutama daerah hipokampus akibat pemberian zat kimiawi bicuculine dibandingkan lidocaine.
30
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Bagian Patologi, Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan Institut Tropical Disease Universitas Airlangga Surabaya. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai Agustus 2011. Bahan Penelitian Penelitian ini menggunakan tikus jantan galur Sprague Dawley umur 2 bulan bobot badan berkisar antara 200-300 g yang dibagi menjadi atas 3 kelompok: (1) kelompok K1 (n=3) sebagai kontrol negatif, (2) kelompok K2 (n=3) hewan model epilepsi injeksi lidocaine (3) kelompok K3 (n=3) hewan model epilepsi injeksi bicuculine. Sebelum percobaan dilakukan, hewan diaklimatisasi lebih kurang tujuh hari untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan diberi makan dengan pakan standar dan minum ad libitum. Tikus dipelihara dan diperlakukan sesuai dengan prosedur standar komisi etik penelitian FKH Unair. Pembuatan hewan model epilepsi Penelitian awal dilakukan 9 ekor tikus Sprague Dawley berat 200-300mg dibagi dalam 3 kelompok (masing-masing 3 ekor): Kelompok (1) kontrol negatif (tanpa perlakuan). Kelompok (2) tikus disuntik lidocaine 90mg/kgbb intraperitoneal. Kelompok (3) disuntik bicuculine 8 mg/kgbb intraperitoneal. Diamati gejala klinis kejang dan tingkah laku tikus selama perlakuan dengan menggunakan skoring dari Racine (1972) berupa gejala klinis: Stadium(1) gerakan-gerakan berulang pada mulut dan wajah; Stadium(2) kepala mengangguk-angguk; Stadium (3) gerakan klonus pada ke empat kaki;Stadium (4) rearing; Stadium (5) rearing dan jatuh. Tikus dikorbankan pada hari pertama, ketiga dam ketujuh untuk diamati secara histopatologi terhadap perubahan neuron hipokampus dengan pewarnaan Haematoxylin-Eosin (Kiernan, 1990). Jumlah kematian neuron dihitung di area Ca1 (Corpus Anom 1, GD (Girus Dentatus) dan Ca3 (Corpus Anom 3) hipokampus. Zat kimiawi induksi kejang yang paling neurotoksik kemudian digunakan untuk perlakuan hewan model selanjutnya. Penelitian hewan model untuk epilepsi sebanyak 6 ekor tikus setelah di suntik zat
31
kimiawi dipelihara dan setiap 3 minggu dikorbankan untuk melihat kerusakan otak yang terjadi dibandingkan dengan tikus kontrol negatif 6 ekor yang dikorban juga setiap minggu ke-3 dan ke-6 bersamaan dengan penelitian berikutnya. Histopatologi Hewan dikorbankan dengan injeksi Ketamin dosis 10 mg/kgbb dan Xylazin 2 mg/kgbb, setelah teranestesi diperfusi dengan larutan parafin 10% langsung ke jantung. Kemudian dilakukan nekropsi untuk mengambil otak, organ jantung, paruparu, hati, ginjal, dan limpa selanjutnya difiksasi dalam larutan buffered Neutral Formalin (BNF) 10% selama 24 jam. Sampel diproses untuk pemeriksaan histologi dengan proses dehidrasi, direndam dalam alkohol bertingkat dilakukan penjernihan dengan xylol dan diinfiltrasi di larutan parafin cair, embedding, blocking dan dipotong dengan ketebalan 5µm. Dilekatkan di gelas objek dan diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37ºC selama 24 jam lalu diwarnai dengan Hematosilin-Eosin/ HE (Kiernan, 1990). Hasil pewarnaan diamati di bawah mikroskop cahaya. Parameter yang diamati pada pemeriksaan HE meliputi bentuk, ukuran dan perubahan parenkim otak
akibat induksi bicuculine dan lidocaine apakah terjadi proses inflamasi,
kongesti, udema, apoptosis, nekrosis, sklerosis. Dilakukan penghitungan jumlah kematian neuron yang terjadi dengan soft ware MacBiophotonics Image J pada 10 lapang pandang daerah hipokampus yang paling rentan kerusakan daerah Ca1, Ca3 dan girus dentatus.
Pembuktian kerusakan ireversibel dari zat bicuculine pada percobaan in vitro Untuk membuktikan kerusakan yang ditimbulkan bicuculine bersifat ireversibel satu ekor tikus dikorbankan. Otak diambil dan di kultur di laboratorium ITD Unair. Jaringan otak dicacah menjadi potongan kecil-kecil yang dicampur dengan PBS lalu disaring dengan kasa steril. Hasil saringan cairannya disentrifus dengan kecepatan 300 rpm selama 30 menit suhu 25ºC. Supernatan dibuang, pelet yang tertinggal di dasar tabung ditambahkan PBS, Ficoll-Hypaque dan di sentrifus kembali kecepatan 200 rpm 30 menit suhu 25ºC. Setelah di sentrifus lapisan buffy coat diambil, dicampur dengan PBS dan disentrifus kembali dengan kecepatan 1600
32
rpm selama 10 menit. Pelet diambil dan ditambahkan medium penumbuh larutan α Modified Eagle media (Gibco, USA) yang telah disuplementasi dengan Penicillin 50 U/ml, Streptomycin 50 mg/ml (Sigma, USA), dan fetal bovine serum (FBS) (Gibco, USA) 10%, diinkubasi pada 37ºC, 5%, CO2. Sel dikultur di cawan kultur (5cm) dan diamati pertumbuhan setiap hari. Pada saat kultur telah memenuhi 80% cawan kultur dilakukan pemisahan dengan tripsinisasi (0,05% trypsin/EDTA solution (Gibco) untuk dilakukan pasase (Gronthos dan Zannettino 2008) . Kultur dilakukan sampai didapat jumlah sel mencapai 5x106 sel/cm di cawan kultur, diberi perlakuan bicuculine 10 µg untuk melihat perubahan sel otak
in vitro akibat pemberian
bicuculine. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA (analysis of variance) pada taraf 5% dan dilanjutkan dengan uji LSD (least significant difference) untuk menentukan beda nyata antar perlakuan. Analisa menggunakan software The SAS System versi 9. Data yang bersifat kualitatif dijelaskan secara diskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karekteristik sampel penelitian Pemberian lidocaine dan bicuculine pada tikus dari pengamatan selama perlakuan baik secara klinis, tingkah laku, nafsu makan maupun minum tikus tidak mengalami perubahan. Zat kimiawi ini tidak mempengaruhi metabolisme tubuh dibuktikan dengan tidak ada perubahan dari berat badan tikus sebelum dan sesudah injeksi zat kimiawi. Pemberian sistemik kedua zat ini hanya mempengaruhi kerusakan di organ otak. Klinis kejang yang timbul dari kedua zat hampir sama ratarata pada stadium 3 sampai stadium 4. Beratnya klinis kejang pada pemberian lidocaine tidak sebanding dengan gambaran histopatologi yang ditemukan seperti terlihat pada Gambar 6 dan 7. Pemeriksaan histopatologi dengan HE Gambar 6 memperlihatkan pemberian lidocaine maupun bicuculine menimbulkan lesi patologi di hipokampus. Kerusakan
33
neuron otak terjadi setelah satu hari pasca induksi kejang. Gambaran hipokampus dari tikus yang disuntik lidocaine berupa kongesti dan nekrosis sedangkan pada pemberian bicuculine ditemukan edema sitotoksik, kongesti, gliosis dan nekrosis neuron. 3
3
1
1
A
2
50 μm
B
50 μm
2
4 1
C
1
50 μm
D
50 μm
Gambar 6 Fotografi mikro daerah kortek hipokampus dan meningen 7 hari setelah injeksi lidocaine (A) dan bicuculine (B) pembesaran 20x. Nekrosis tanda panah angka 1), gliosis tanda panah angka 2) pada daerah kortek dan kongesti tanda panah angka 3) di meningen pada gambar (A) dan (B). Gambar kortek (C ) injeksi lidocaine neuron normal tanda panah angka 4) nekrosis tanda panah angka 1) dan gambar (D) injeksi bicuculine jumlah neuron yang mengalami nekrosis lebih banyak, pembesaran 40x dengan pewarnaan HE Pasca pemberian lidocaine menunjukan perbaikan di hipokampus bersifat reversibel diperlihatkan pada Gambar 7. Kerusakan pada hari ke dua berupa nekrosis neuron lebih berat dibandingkan dengan hari ke tujuh setelah injeksi lidocaine. Dari pemeriksaan histopatologi pada organ jantung, paru-paru, hati, limpa, ginjal tidak
34
ditemukan adanya perubahan. Dari penelitian ini disimpulkan mekanisme kerusakan akibat induksi kejang lidocaine berupa apoptosis akibat proses injuri dari kejang dan kondisi ini membaik mendekati normal dengan bertambahnya waktu seperti terlihat dari pemeriksaan histopatologi pada hari ketujuh pasca perlakuan. Lidocaine merupakan anestesi lokal dan obat antiaritmia dapat menginhibisi kejang apabila diberikan dosis rendah dengan menekan konduksi saraf melalui penutupan Voltage-gated Na channels di sistim saraf perifer, namun jika diberikan secara sistemik dalam dosis besar akan masuk ke otak menjadi bersifat neurotoksik dan memicu terjadinya tremor, pusing dan kejang umum bahkan kematian dalam waktu 20 menit (Colvino 1987). Konsentrasi lidocaine 5-10 μg/ml sudah menimbulkan toksik di sistem saraf pusat ( Fallah 2007). Induksi kejang pada pemberian lidocaine sama dengan kejang pada penderita epilepsi yang terlihat dengan pemeriksaan EEG (Fujita at al. 2000). Lidocaine diduga menghambat pelepasan GABA ( gamma aminobutyric acid ) dari neuron dan menimbulkan stimulasi dari katekolamine dan seretonin yang akan memicu terjadinya kejang (Endo et al. 1993). Penelitian yang dilakukan Chae et al.1999 dengan injeksi lidocain dosis 120 mg/kgbb intra peritoneal pada tikus Spraque Dawlay dan diamati setiap 20 menit, 2, 4, 8, 12, dan 72 jam terjadi peningkatan ekspresi transkripsi faktor c-fos mRNA di hipokampus daerah Ca3-Ca4 dan girus dentatus, korteks pirifom, putamen, kaudatus, neostriatum dan amygdala dalam 2 sampai 12 jam dan tidak menimbulkan kematian neuron dalam waktu 3 hari. Berbeda dengan pemberian Kainic acid untuk induksi kejang dimana terjadi peningkatan ekspresi c-fos mRNA berhubungan dengan beratnya gejala klinis kejang dan kematian neuron. Hasil penelitian pada Tabel 4 dari kedua zat kimiawi yang dipakai untuk menginduksi kejang pada hari ketujuh pasca perlakuan terlihat kematian neuron yang tinggi secara bermakna (p<0,05) pada pemberian bicuculine ditemukan di daerah Ca1, GD dan Ca3 dan yang paling tinggi tingkat kematian dibandingkan pemberian lidocaine di daerah Ca3 seperti yang terlihat pada Gambar 8.
A
50 μm
A
C
B
B
D
50 μm
C
50 μm
F
E
Gambar 2 Fotomikrograf sediaan
D
50 μm
Gambar 7
E
50 μm
F
50 μm
Perubahan Hipokampus setelah injeksi lidocaine bersifat reversibel. Gambar Ca1 (A), GD (B), Ca3 (C) 2 hari setelah injeksi menunjukan nekrosis di daerah GD dan Ca3 ditunjukan tanda panah ( ). Gambar Ca1 (D), GD(E)), dan Ca3 (F) 7 hari setelah injeksi menunjukan perbaikan dan masih terlihat sedikit neuron yang nekrosis ditunjukan tanda panah ( )pembesaran 40x dengan pewarnaan HE.
35
36
Tabel 4 Rata-rata jumlah kematian neuron pada hipokampus setelah injeksi lidocaine, bicuculine dan dibandingkan kontrol negatif. Waktu hari
Lokasi
Perlakuan K2
K1 b
K3
a
1 0,82±0,12 1,53±0,11 0,82±0,25b b a 3 1,0 ±0,27 1,75±0,09 1,70±0,11 a Ca l 7 0,67±0,58 b 1,52±0,11 a 1,65±0,18 a 1 1,03±0,19 b 1,87±0,17 a 1,19±0,18 b 3 1,22±0,20c 1,59±0,07 b 1,82±0,16 a GD c b 7 0,95±0,19 1,74±0,11 1,87±0,07 a 1 9,3 ± 2,40 c 54,2±8,34 a 15,5 ±4,0 b 3 17,9 ±7,58 c 78 ±12,3 a 30,30±5,01b Ca 3 7 10,20±3,05 c 31,9±7,43 b 52,70±12,83 a Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata K1= Kontrol negatif, K2= lidocaine, K3= bicuculine
Hasil penelitian ini sama dengan penemuan
p<0.05.
Ma et al. 2005 menggunakan injeksi
pilocarpine untuk induksi epilepsi lobus temporal pada tikus menunjukan neuron pyramid Ca3 di daerah 80% kaudal dorsal hipokampus menghilang. Penelitian ini menyimpulkan reorganisasi dari Ca3 berperan dalam timbulnya kejadian epilepsi.
Jumlah neuron degenerasi
Kematian neuron hari ke 7 60 50 40 30
Ca1
20
GD
10
Ca3
0 K1
K2
K3
perlakuan
Keterangan: K1= Kontrol negatif, K2= Lidocaine, K3= Bicuculine,
Gambar 8 Rata-rata jumlah kematian neuron hari ketujuh di hipokampus
A
D
50 μm
50 μm
B
50 μm
C
E
50 μm
F
50 μm
50 μm
Gambar 9 Hipokampus hari ketujuh pasca injeksi bicuculine menunjukan nekrosis semua neuron di daerah Ca1 (A), GD (B), Ca3 (C) ditunjukan tanda panah ( ). Pasca injeksi lidocaine terjadi perbaikan (kerusakan bersifat reversibel) hanya terlihat sedikit neuron yang nekrosis seperti ditunjukan tanda panah ( ) pada daerah Ca1 (D), GD (E), Ca3 (F) pembesaran 40x dengan pewarnaan HE. 37
38
Bicuculine adalah zat alkaloid dan merupakan kompetitif GABA A reseptor antagonis bekerja sebagai penghambat kerja neurotransmiter GABA yang bersifat inhibisi di otak dan mengaktifkan kejang ( Fujita at al. 2000, Endo at al. 1993, Velisek 2006). Penelitian pada tikus menggunakan bicuculine untuk induksi status epileptikus, terlihat dalam 1 atau 2 jam terjadi perubahan di korteks fronto-parietal dan hipokampus tikus. Setelah 5 menit berhenti kejang, edema astrosit menghilang. Setelah 2 jam ditemukan beberapa kerusakan neuron yang berat dengan fragmentasi badan sel (Soderfeldt et al.1983). Pada penelitian ini dengan induksi kejang menggunakan bicuculine, kerusakan yang timbul bersifat ireversibel terbukti pada pemberian in vitro terjadi kematian neuron terlihat pada hari ketiga dan kematian sel > 50% terlihat hari ke tujuh. Hasil ini tidak berbeda dengan yang ditemukan pada percobaan in vivo seperti yang terlihat pada Tabel 5 kerusakan masih ditemukan setelah 6 minggu. Tabel 5. Rata-rata jumlah kematian neuron pada hipokampus setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ketiga dan minggu keenam dibandingkan tikus normal Perlakuan Ca l GD Ca 3
Waktu minggu
K1
Perlakuan K3
3 6 3 6 3 6
9.4 + 8.4 c 8.5 + 5.4 c 13.4 + 7.6 c 18.3 + 14.8 c 12.5 + 6.3 c 8.3 + 7.3 c
29.8 + 11.8 b 28.2 + 9.6 a 37.5 + 17.8 b 43.2 + 20.0 b 35.9 + 12.2 a 32.5 + 13.2 a
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata p<0.05. K1= Kontrol negatif, K3= bicuculine,
Penyebab terjadinya epilepsi pada manusia dapat dibagi atas 3 kategori yaitu: idiopatik, simtomatik, dan kriptogenik ( diduga suatu simtomatik). Idiopatik epilepsi biasanya disebabkan faktor genetik seperti kelainan canelopati. Epilepsi simtomatik terjadi akibat lesi di otak yang dipicu oleh kejang seperti akibat stroke, cedera kepala,
39
infeksi otak atau kejang status epilepsi. Induksi kejang untuk pembuatan hewan model dapat dilakukan dengan pemberian rangsangan listrik atau penyuntikan zat kimia yang diberikan pada hewan normal. Proses epileptogenesis yang terjadi akibat induksi menunjukan sejumlah perubahan besar ditingkat seluler termasuk kematian sel, gliosis, neurogensis, plastisitas dari axon dan dendrit, dan penyusunan kembali matriks ekstra seluler dan angiogenesis (Engel 2001 dan Pitkanen et al. 2007). Dari beberapa penelitian yang dilakukan para peneliti pada hewan model dengan perlakuan cedera kepala, stroke dan status epileptikus, Pitkanen et al. 2007 menujukkan
ternyata
model
status
epileptikus
lebih
berat
menimbulkan
neurodegenerasi, astrogliosis, pertumbuhan axon yang cepat dan perubahan pada dendrit. Sklerosis hipokampus yang menyebabkan epilepsi lobus temporal dan sering intractable ditemukan neuron menghilang di Ca1, Ca3 dan hilus dentatus sedangkan daerah Ca2 dan lapisan granul dentatus relatif tidak terkena (Locher dan Brandt 2010). Dari penelitian ini kerusakan neuron pada hipokampus tikus lebih berat terjadi pada daerah Ca3 dibandingkan Ca1, girus dentatus. Kerusakan ini berlangsung terus sampai minggu ke enam. Hampir sama dengan penelitian (Sharma 2008) degenerasi neuron mulai terlihat hari ke-3 setelah induksi zat kimiawi, mencapai puncak hari ke6 , disertai kejang spontan timbul hari ke-7 dan berkurang setelah hari ke-28. Sedangkan peneliti lain menemukan kerusakan yang bermakna pada Ca1 dan Ca3 (Engel 1989; Lothman dan Bertram 1993; Ben-Ari dan Cossart 2000) dan kerusakan pada girus dentatus (Gray dan Sundstrom 1998). Neurodegenerasi pada Ca1 dan Ca3 memperlihatkan kerusakan yang lebih berat sama seperti pada penderita epilepsi lobus temporal. KESIMPULAN
1. Gejala klinis kejang dan kerusakan histopatologis neuron di hipokampus berupa kongesti, gliosis dan nekrosis akibat pemberian bicuculine lebih berat dibandingkan pemberian lidocaine yang bersifat reversibel .
40
2. Pemberian bicuculine dapat menimbulkan kejang pada tikus dan merusak hipokampus daerah Ca1, GD, dan Ca3 lebih berat dibandingkan pemberian lidocaine terutama pada hari ketujuh setelah diinjeksi. 3. Pemberian bicuculine pada penelitian in vitro dan in vivo menunjukaan kerusakan yang terjadi bersifat ireversibel. 4. Pemberian bicuculine maupun lidocaine sistemik tidak ditemukan kelainan pada organ tubuh yang lain ginjal, hati, limpa, jantung dan paru-paru. 5. Biculine dapat digunakan untuk pembentukan hewan model epilepsi
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BONE MARROW MESENCHYMAL STEM CELL UNTUK TERAPI MODEL EPILEPSI LOBUS TEMPORAL ABSTRAK Bone marrow dapat dikultur dan menghasilkan stem cell yang mempunyai kemampuan untuk membentuk sejumlah kecil jaringan mesodermal mesechymal. Tujuan penelitian in vitro ini adalah (1) untuk mengkaji kemampuan bone marrow saat dikultur menjadi mesenchymal stem cell (MSCs) dan progenitor neural sel (PNCs (2) untuk mengkaji aplikasi bMSCs untuk terapi model epilepsi pada tikus. Bone marrow diaspirasi dari tulang femur dan tibia setelah tikus dianestesi dengan injeksi intraperitoneal Ketamin 10 mg/kgbb dan Xylazin 2 mg/kgbb. Sel dikultur dalam larutan α Modified Eagle media (Gibco, USA), Penicillin 50 U/ml, Streptomycin 50 mg/ml, fetal bovine serum (FBS) 10% dan diinkubasi pada 370C; 5% CO2. Sel di kultur sampai kepadatan 20.000.000 sel/ cm. Identifikasi dari mesenchymal stem cell dilakukan pemeriksaan CD 44, CD 45, CD 105. Percobaan kedua dengan mengkultur MSCs ditambahkan 0,02 mM β-mercaptoethanol (βME), 10 ng basic fibroblast growth factor (bFGF,) dan 10 ng epidermal growth factor ( EGF). Setelah 7 hari terlihat sel seperti neuron dan dilanjutkan pemeriksaan RT-PCR untuk identifikasi nestin dan β aktin. Penelitian ini menunjukan MSCs setelah 1 minggu sudah mencapai konfluensi 80% dan pada saat 4 minggu mencapai jumlah 20.000.000 sel/cm. Identifikasi marker MSCs CD45 (-), CD44(+) dan CD 105(+). Progenitor neural sel positif dengan marker neuron nestin 327bp dan β aktin 500bp. Bone marrow dapat dikultur in vitro menjadi MSCs dan PNSc Kata kunci: bone marrow, mesenchymal stem cell, sel progenitor neural ABSTRACT Bone marrow can be cultured and can produce stem cells that are able to transform to mesenchymal mesoderm tissues. The objectives of this research are (1) to analyze the ability of cultured bone marrow cells to transform to mesenchymal cells, (2) mesenchymal become neural progenitor cells after being induced by β-mercaptoethanol and bFGF. The bone marrow was aspirated from rats femur and tibia, after anaesthetized using Ketamin 10mg/kg and Xylazin 2mg/kg. The aspirated bone marrow was centrifuged at 200G for 30 minutes at 25°C Ficoll Plaque. The cells were cultured in α Modified Eagle media (Gibco, USA), Pencillin 50U/ml, Streptomycin 50 mg/ml and fetal bovine serum (FBS) 10%, and incubated at 37°C and 5% CO2. CD 44, CD 45 and CD 105 were used to identify marker the mesenchymal stem cell. For further culture, to get the celllike neurons, 0,02 mM β-mercaptoethanol (βME), 10ng basic fibroblast growth factor (bFGF) and 10ng epidermal growth factor (EGF) were added to the mesenchymal stem cell culture. After 7 days, cell-like neurons appeared and identify marker neuron cell nestin and β aktin.Cell cultured were confluenced 80% at 7th day of treatment dan after 4 weeks cell counted 20.000 cells/cm . MSCs positif CD 44, CD 105 and negatif CD45. PNCs was positf with nestin 327bp dan β aktin 500bp. Bone marrow can be cultured in vitro to MSCs and PNCs. Keywords: bone marrow, mesenchymal stem cell, progenitor neural sel
42
PENDAHULUAN
Stem cell dapat dikultur dari banyak sumber seperti embrio (embryonic stem cell) atau dari stem cell dewasa yang berasal dari bone marrow, plasenta, umbilical, pulpa gigi, adipose, liver, kulit. Stem cell dari embrio mempunyai kemampuan pluripotent memiliki daya proliferasi yang tinggi, aktivitas enzim telomerase yang tinggi. Akibat daya proliferasi yang tinggi ini beresiko untuk terjadi pembentukan tumor (teratoma)
dan karena terkait etis sumber untuk
mendapatkannya alternatif sumber stem cell yang banyak dipakai untuk riset saat ini dengan memakai stem cell dewasa. Stem cell dewasa mempunyai potensi multipoten dan unipoten. Keterbatasan proliferasi dari sel ini hanya bisa membentuk sejumlah kecil sel atau jaringan terbatas pada lapisan benih tertentu (Paulsom et al. 2002, Baksh et al. 2004 dan Kolf et al. 2007). Bone marrow salah satu dari sumber stem cell dewasa mengandung 2 tipe stem cell yaitu stem cell hematopoitik dan mesenchymall. Mesenchymal stem cell sesuai dengan kriteria International Society for Cellular Therapy merupakan sel yang melekat di dasar cawan kultur, dan permukaan antigennya mengekspresi CD 105, CD 90, CD 73 dan kurang mengekspresi CD 34, CD 45, CD 11b, CD 14, CD 19 atau CD 79a dan human leukocyte antigen-DR ( HLA-DR) (Dominici et al. 2004). Mesenchymal stem cell mempunyai kemampuan berdiferensiasi menjadi lapisan
mesenchym
seperti
osteoblast,
adiposa
dan
krondrosit
atau
bertransdiferensiasi menjadi neuron, sel epitel, sel hati, sel pankreas tergantung dari kondisi lingkungan sel ini tumbuh (Wright et al. 2011). Mesenchymal stem cell tidak seperti hematopoitik stem cell pada saat dikultur dapat berkembang dalam jumlah banyak. Penelitian ini bertujuan (1) membuat stem cell dari kultur bone marrow (bMSCs) dan (2)
induksi
mesenchymal stem cell menjadi neural progenitor cell sebelum ditransplantasikan kepada hewan model epilepsi.
43
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di laboratorium Institut Tropical Disease Universitas Air Langga Surabaya (Unair). Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai Mei 2011. Kultur bone marrow stem cell (bMSCs) Bone marrow diambil dari tikus setelah dianestesi dengan Ketamin 10 mg/kg bb dan Xylazin 2 mg/kgBB. Bone marrow dari tulang femur dan tibia tikus diaspirasi ± 1 ml dengan jarum 18G ditambah heparin 0,01 ml. Setelah itu tikus dipelihara untuk perlakuan hewan model epilepsi dan diberi terapi stem cell. Bone marrow dicampur dengan PBS dan Ficoll-Hypaque setelah itu di sentrifus 200 G 30 menit suhu 25ºC untuk memisahkan sel darah merah. Lapisan buffy coat diambil dicampur dengan PBS untuk disentrifus kembali dengan kecepatan 1600 rpm selama 10 menit. Hasil dari sentrifus supernatan dibuang, pelet diambil ditambahkan medium penumbuh larutan α Modified Eagle media (Gibco, USA) yang disuplementasi dengan Penicillin 50 U/ml, Streptomycin 50 mg/ml (Sigma, USA), dan fetal bovine serum (FBS) (Gibco, USA) 10%, diinkubasi pada 37ºC, 5% CO2. Sel dikultur di cawan kultur plastik (5cm) dan diamati pertumbuhan setiap hari. Setelah 3 hari medium diganti. Pada saat kultur bMSCs telah memenuhi 80% cawan kultur dilakukan pemisahan sel dengan tripsinisasi (0,05% trypsin/EDTA solution (Gibco) untuk dilakukan pasase (Gregory dan Prookop 2007). Kultur dilakukan sampai didapat jumlah MSC yang mencukupi untuk ditransplantasikan kepada tikus yang telah diindukasi kejang dengan bicuculine. Pada penelitian ini kultur dilakukan sampai pasase keempat dan lima. Identifikasi dari mesenchymal stem cell Mesenchymal stem cell sebelum ditranplantasikan dilakukan pemeriksaan CD 45, CD 44 dan CD 105. MSCs dari kultur dilakukan pemisahan sel dengan tripsinisasi (0,05% trypsin/EDTA solution (Gibco) menjadi sel monolayer. Dilakukan sentrifus kecepatan 9100 rpm selama 5 menit, lapisan supernatan dibuang, pelet yang tertinggal di dasar tabung ditambahkan PBS dilanjutkan
44
dengan resuspensi. MSCs di sentrifus kembali dengan kecepatan 300 rpm selama 5 menit pada suhu 25ºC. Pelet diambil ditambah medium α MEM dan dipindahkan ke dalam sumur tempat kultur monolayer. Setelah tumbuh menjadi sel monolayer dilakukan pemeriksaan imunohistokimia dengan antibodi monoklonal rat CD 105, CD 45 dan CD 44.
Induksi diferensiasi sel neuron. Sel pada cawan kultur dengan jumlah 1000-2000 sel/cm dtambahkan 0,02 mM β-mercaptoethanol (βME) selama 6 jam kemudian ditambahkan 10 ng basic fibroblast growth factor (bFGF, Roche), 10 ng epidermal growth factor ( EGF, Roche).
Medium diganti setiap hari ketiga. Pada hari ketujuh sudah terlihat
adanya pertumbuhan neural progenitor cell like (NPC), diantara sel fibroblas. Sel mengalami konfluensi setelah 12 hari kultur. Disaat sel mencapai konfluensi 80% dilakukan splitting dengan tripsinisasi. Pasase dilakukan sampai jumlah sel mencukupi konsentrasi yang akan digunakan untuk penelitian selanjutnya (Mareschia et al. 2006, Gharibani et al. 2009).
Identifikasi dengan marker neural stem cell. Untuk
membuktikan sudah terjadi diferensiasi neuron dilakukan
pemeriksaan marker neuron nestin dan β aktin. Pemeriksaan PCR dilakukan untuk melihat kemampuan ekspresi gen dari bMSCs yang telah berdiferensiasi dan dikonfirmasi dengan metode RT PCR. Ekspresi nestin dan β aktin diamati hari ketujuh dari tahapan diferensiasi. RNA total diekstrasi dengan Trizol ( Invitrogen USA) dengan menggunakan primer nestin : 5` CTCTGACCTG TCAGAAGAAT3` (sense), β-actin: AGAAGATCTGGCACCACACC (sense), . PCR dilakukan sebanyak 30 siklus dan dianalisa dengan gel agarose 2,55 yang mengandung 100 mg/ml Ethidium Bromide (Gharibani et al. 2009).
Analisis Data Hasil penelitian dianalisis secara diskriptif dan ditampilkan dalam bentuk gambar
45
HASIL DAN PEMBAHASAN Kultur dan identifikasi mesenchymal stem cell dari bone marrow Dari kultur bone marrow Gambar 10 setelah 24 jam terlihat pertumbuhan dan perkembangan dari mesenchymal stem cell ditandai dengan adanya koloni di cawan kultur. Kondisi ini menunjukan viabilitas dari sel itu pada saat dikultur. Pada 48 jam mulai terlihat seperti spindel yang melekat di dasar cawan. Bentuk sel ini sesuai dengan kriteria dari sel mesenchymal. Setelah 1 minggu terlihat sel sudah memenuhi dasar cawan dan selanjutnya dilakukan pasase untuk memicu pertumbuhan sel lebih banyak dengan proses tripsinisasi. Proses ini dilakukan dengan melepaskan sel dari dasar cawan untuk dijadikan mono layer. Hasil kultur dalam waktu 4 minggu menunjukan sel telah mencapai konsentrasi 2x107 sel/cm dan siap untuk ditransplantasikan.
A
50 μm
B
50 μm
C
50 μm
Gambar 10 Kultur bone marrow mesenchyimal stem cell 24 jam (A) sel terlihat melayang pada cawan kultur , setelah 48 jam (B) sel sudah melekat di dasar cawan dan pada 96 jam (C) kultur terlihat seperti sel fibroblas. Hasil dari identifikasi dari MSCs Gambar 11
sesuai dengan kriteria
International Society for Cellular Therapy bahwa MSCs merupakan sel yang melekat di dasar cawan saat dikultur dan CD 105 positif menunjukan multipoten dari MSCs, CD 44 positif marker MSCs dan CD 45 negatif menandakan sel ini bukan stem cell hematopoitik > 95% pada saat dikultur, dari penelitian ini hasil kultur sesuai dengan kriteria MSCs (Domini et al. 2006).
46
A
B
100 μm
A2
100 μm
400 μm
B2
C
100 μm
400 μm
Gambar 11 Identifikasi mesenchyimal stem cell CD 44 (A pembesaran 100x dan A2 pembesaran 400x ) positif ditunjukan dengan tanda panah ( ) menunjukan sel ini mesenchymal dan CD105 (B pembesaran 100 x dan A2 pembesaran 400x) ditunjukan dengan tanda panah ( ) positif menandakan sel ini multipoten dan CD 45(C) negatif menujukan sel ini bukan stem cell hematopoitik. Faktor yang berperan untuk terjadinya diferensiasi MSCs pada saat dikultur adalah nutrisi, konfluensi sel, kadar oksigen, jumlah pasase dan kualitas permukaan cawan plastik tempat kultur yang mempengaruhi prilaku MSCs. Vacanti et al. 2005 membandingkan pasase awal <5 dan pasase yang telat > 15 pasase terbukti adanya hubungan usia sel dengan gambaran akumulasi actin dan berkurangnya kemampuan untuk melekat didasar cawan kultur. Bone marrow dalam keadaan normal in vivo aktivitasnya dalam lingkungan hipoksia, MSCs apabila dikultur dalam kondisi lingkungan hipoksik terlihat potensi diferensiasi tambah besar (Ceradini et al. 2004). Panjang telomerase faktor yang penting menentukan kemampuan diferensiasi dan proliferasi MSCs. Penelitian yang sudah banyak dilakukan memperlihatkan MSCs akan hilang aktivitas telomerase untuk menjaga multipoten setelah dikultur lebih dari 3 tahun. Faktor genetik disini juga berperan
47
untuk mengekspresi berlebihan dari telomerase untuk bertahan terhadap respon stres oksidatif (Amstrong et al 2005). Asimetric cell division ikut berperan menyebabkan MSCs kehilangan sifat multipoten in vitro dengan pengenceran stem cell ( Rambhatla et al. 2001). Pada peneltian ini bMSCs dikultur sampai pasase 5 kemampuan diferensiasi masih tinggi terbukti dengan kemampuan sel ini menjadi progenitor dan positif marker dari CD 105. Kultur dan identifikasi neuron progenitor sel. Mesenchymal stem cell merupakan stem cell yang belum berdiferensiasi dan bersifat multipoten artinya bisa membentuk beberapa jenis sel mesodermal seperti tulang, lemak dan kartilago, dan dapat mengalami transdiferensiasi menjadi sel saraf, jantung maupun sel hati (Safford dan Rice 2005). Untuk menginduksi bMSCs menjadi sel saraf
dibutuhkan zat tambahan pada saat
dikultur seperti retinoic acid, growth factors, anti oksidan atau zat-zat yang dapat meningkatkan cAMP intra sel (Safford dan Rice 2005). Pada penelitian ini dilakukan penambahan β mercaptoethanol (βME) selama 6 jam kemudian ditambahkan 10 ng basic fibroblast growth factor (bFGF, Roche), 10 ng epidermal growth factor ( EGF,Roche). Kultur mesenchymal pada hari ke tujuh terlihat sel seperti neuron dan identifikasi marker neural dengan pemeriksaan PCR didapatkan hasil positif marker neuron nestin 327 bp dan β aktin 500 bp.
A
50 μm
B
50 μm
Gambar 12 bMSCs berdiferensiasi menjadi PNCs sel neural progenitor ( A) tampak seperti sel saraf pada hari ke-7 setelah penambahan βME dan growth factor (bFGF, EGF). Sel kultur setelah 10 hari ( B) telah mencapai konfluensi 40% di cawan kultur.
48
Sebelum disuntikan kepada tikus epilepsi dilakukan pelabelan dengan PKH2 berupa zat berflourescen warna hijau dengan metode ini dapat dilihat kemampuan homing dari mesenchymal stem cell sampai di hipokampus setelah ditranplantasikan baik pada pemberian sistemik maupun intra serebral seperti terlihat pada Gambar 13 dan 14.
A
50 μm
50 μm
B
Gambar 13 Mesenchymal stem cell sebelum di label PKH 2 gambar (A) sel memenuhi seluruh cawan kultur, gambar (B) MSCs setelah menjadi monolayer untuk dilakukan pelabelan PKH2.
50 μm
A
B
50 μm
Gambar 14 bMSCs sesudah di label PKH2in vitro (A) dilihat dengan mikroskop flourescen berpendar warna hijau dan di otak tikus in vivo (B) setelah ditranplantasi bMSCs selama tiga minggu menunjukan sel ini masih viabel dan mempunyai kemampuan homing dengan masih ditemukan di hipokampus.
. KESIMPULAN 1. Mesenchymal stem cell dapat diporoleh dari kultur bone marrow, ditandai dengan kemampuan melekat di dasar cawan kultur disertai posisitf marker CD44, CD105 dan negatif CD45. 2. Mesenchymal stem cell dapat diinduksi menjadi progenitor neural sel dengan penambahan β mercaptoethanol (βME),
basic fibroblast
growth factor (bFGF), dan epidermal growth factor ditandai dengan marker nestin 327 bp dan β aktin 500 bp.
TRANPLANTASI BONE MARROW MESENCHYMAL STEM CELL UNTUK MODEL EPILEPSI ABSTRAK Penggunaan stem cell untuk mengatasi penyakit degeneratif saat ini masih dalam penelitian. Penelitian stem cell banyak dilakukan diberbagai negara
untuk
menemukan alternatif pengobatan epilepsi yang resisten dengan pengobatan yang ada saat sekarang. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian bone marrow mesenchymal stem cell (bMSCs) pada hewan model yang telah diinduksi kejang dengan bicuculine 8mg/kgbb intraperitoneal. bMSCs diberikan pada 4 kelompok tikus: (1) 3 kali injeksi intravena 1x2x105 setiap 2 minggu, (2) 1 kali injeksi dosis tinggi (1x5x106) intravena, (3) 1 kali injeksi progenitor neuron like- cell (PNCs) dosis 1x2x106 intravena, (4) 1 kali injeksi PNCs dosis 1x2x105 intraserebral. Pada minggu ketiga dan
keenam
setelah injeksi bMSCs dari masing-masing
kelompok perlakuan dikorbankan tiga ekor. Otak, organ jantung, paru-paru, hati, ginjal, dan limpa dikoleksi untuk melihat perubahan patologis setelah pemberian stem cell. Hasil penelitian menunjukan bMSCs mempunyai kemampuan meregenerasi neuron di hipokampus dengan pemberian bMSCs 3x2x105 intravena didapatkan jumlah neuron hidup paling tinggi dibandingkan pemberian bMSCs intravena dosis tinggi dan PNCs satu kali pemberian baik intravena maupun intraserebral. Pengaruh bMSCs sistemik terhadap organ lain tidak memperlihatkan perubahan secara makroskopis dan mikroskopis. Kata kunci: transplantasi, mesenchymal stem cell, progenitor neural sel
ABSTRACT The use of stem cell to promote tissue repair in degenerative disease is an exciting of research . Stem cell is one of alternative treatment for intractable epilepsy. The objectives of this research are to observe the ability of stem cell after transplanted intra venous compared intra cerebral with different dose to regenerated in
50
hipocampus. The stem cell were transplanted to the epilepsy model rats after injected with bicuculine 8mg/kg intraperitoneally, and 3 rats were sacrificed each at week-3 and week-6. Group 4-6 after induced epilepsy received bMSCs injection, each using 3x2x105 Intra venous, 1x5x106 Intra venous, neuron progenitor at 1x2x106 Intra venous and neuron progenitor at 1x2x105 intracerebral. Histopathology preparations were made using samples from the brain, heart, lungs, liver, kidney and the spleen, and the pathological changes were observed. The activity of bMSCs to regenerate neurons can be seen that the injection of bMSCs 3x2x105 results the highest number of survived neurons compared bMSCs single high dose and PNSC. There is no systemic effect of bMSCs either macroscopic or microscopic. Keywords: bone marrow mesenchymal stem cell, progenitor neuron, transplantation. PENDAHULUAN
Makhluk hidup di dalam tubuhnya memiliki banyak lokasi yang mengandung stem cell dewasa endogen seperti ditemukan pada bone marrow, otot, otak, hati, pulpa, jaringan adiposa, kulit. Pada waktu timbulnya penyakit, stem cell endogen tidak cukup memadai jumlahnya untuk memperbaiki injuri yang ada. Untuk mengatasi kondisi ini diperlukan tambahan stem cell eksogen untuk memperbaiki kerusakan yang timbul. Berdasarkan tingkat maturasinya sumber stem cell yang dapat diambil dari tubuh ada 2 macam bentuk yaitu stem cell embrionik dan stem cell dewasa. Keuntungan penggunaan stem cell dewasa karena sel ini mempunyai kemampuan untuk digunakan sebagai terapi autologus, sementara stem cell embrionik beresiko terjadinya pembentukan teratoma dan masih dibatasi etik dalam penggunaan sumber sel dari embrio. Sementara kerugian penggunaan stem cell dewasa adalah terbatas kemampuan berdiferensiasi dan tidak bisa dipakai universal dalam tubuh ( Filip et al. 2003, Dantuma 2010). Sel mesenchymal yang terdapat di bone marrow jumlahnya akan berkurang dengan bertambah usia. Pada saat neonatus ditemukan sel mesenchym 1/10.000 sel,
51
pada usia 30 tahun 1/250.000 dan saat usia 60 tahun hanya ditemukan 1/2.000.000 sel (Caplan 2007). Pemberian stem cell dari donor lain (allogenik) bisa mengatasi kendala untuk mendapatkan stem cell dalam jumlah banyak. Pemberian allogenik terbukti aman dan efektif karena dari penelitian yang dilakukan pada manusia, dan hewan menunjukan bahwa MSCs tidak mengekspresikan MHC kelas II sehingga tidak dapat dipresentasikan pada antigen presenting cell (APC). Pemberian allogenik tranplantasi mengekspresikan MHC kelas I intermidiate namun costimulator tetap tidak aktif sehingga MSC tetap anegi (Rastegar et al. 2010, Buja dan Vela 2010). MSCs dapat menekan aktivasi dan proliferasi limfosit T dan menggangu produksi cytokin dengan menurunkan produksi cytokin proinflamasi tumour necrosis factor (TNF)-α, interferon (IFN)-γ. interleukin (IL)-12 dan meningkatkan cytokin anti inflamasi IL 10 . MSCs juga digunakan untuk pengobatan penyakit autoimun seperti rematoid artritis, dermatitis atopik, Multiple Sclerosis, polymiositis dan Graft Versus Host Disease (Ra et al. 2011). . Pemberian stem cell dalam aplikasi klinis telah dilakukan dengan berbagai pendekatan. Transplantasi
dapat diberikan lokal maupun sistemik.
Penelitian
Jackson et al. 2010 membuktikan penyuntikan dengan alat stereotatik neural stem cell dari folikel rambut dan dari bMSCs (50.000 sel dalam 5 μl) dilanjutkan dengan pemeriksaan MRI memperlihatkan bahwa stem cell bermigrasi sepanjang substansia alba, corpus calosum menuju otak kontra lateral. Stem cell masih bisa terdeteksi selama 28 hari sedangkan bMSCs masih terdeteksi sampai 94 hari. Pada pemberian melalui vena ekor memperlihatkan dalam 24 jam setelah disuntik dari kedua jenis stem cell 8% sudah bermigrasi melalui pembuluh darah perifer ke daerah lesi di otak sementara pada pemberian lokal jumlah stem cell yang mencapai tempat lesi 10 kali lebih banyak. Pemberian MSC allogenik maupun autologus melalui injeksi sistemik bisa terdeteksi juga ada dijaringan non hematopoitik termasuk gastro intestinal, ginjal, kulit, paru-paru, timus dan hati. Sel ini masih bisa di deteksi dalam waktu 9 sampai 21 bulan setelah injeksi. Respon signal ini membuktikan bahwa secara fisiologis secara bermakna stem cell dapat bermigrasi di dalam tubuh saat diberikan sistemik (Kan et al. 2005).
52
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian bMSCs dengan konsentrasi berbeda melalui injeksi sistemik intravena dibandingkan dengan pemberian langsung intraserebral dalam meregenerasi hipokampus. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di kandang hewan coba dan laboratorium Tropical Disease Center Universitas Air Langga Surabaya (Unair) dan laboratorium Patologi FKH IPB. Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai Oktober 2011. Tikus dipelihara dan diperlakukan sesuai dengan prosedur standar komisi etik penelitian FKH Unair.
Bahan Penelitian Hewan coba yang digunakan adalah tikus jantan galur Sprague Dawley umur 2 sampai 4 bulan dengan bobot badan berkisar antara 200-300 g sebanyak 36 ekor, yang berasal dari Laboratorium Tropical Disease Center Unair. Sebelum percobaan dilakukan, hewan diaklimatisasi tujuh hari untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan diberi makan dengan pakan standar dan minum ad libitum. Hewan model epilepsi diinjeksi bicuculine dosis 8 mg/kgbb intraperitoneal dan setelah 7 hari induksi dilakukan transplatansi stem cell. Transplantasi bMSCs dan neuron progenitor (NPC). Stem cell yang sudah terlabel dengan pewarna fluorescent PKH2 diberikan lewat injeksi di vena ekor tikus dan intraserebral setelah diukur jaraknya dengan alat stereotaktik daerah hipokampus anterior (AP) 5,5 mm caudal dari bregma, 5,5 mm sebelah kanan garis tengah dan 7,5 mm dari permukaan otak dibawah dura (Li et al. 2007).
53
A
B
Gambar 15 Transplantasi bMSCs dan progenitor neuron sel setelah di kultur melalui vena Ekor (A) dan intraserebral (B).
Tikus kemudian dipelihara dan diamati perubahan klinis. Pada pemberian intraserebral tikus diberikan antibiotik amoksilin sirup dosis 50 mg/kgbb dan parasetamol sirup sebagai anti nyeri 10 mg/kgbb. Sesudah minggu ketiga dan keenam perlakuan, tikus dikorbankan untuk pemeriksaan histopatologi. Pembuatan preparat histologi Setelah tikus dikorbankan otak, organ jantung, paru-paru, hati, limpa, ginjal dikoleksi dan difiksasi dalam larutan buffered Neutral Formalin (BNF) 10% selama 24
jam. Kemudian sampel diproses untuk pemeriksaan histologi dengan proses
dehidrasi dengan direndam alkohol bertingkat dan penjernihan dengan xylol dan diinfiltrasi di larutan parafin cair, embedding, blocking dan dipotong dengan ketebalan 5µm. Dilekatkan diobjek glas dan diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37ºC selama 24 jam lalu diwarnai dengan Hematosilin-Eosin (HE) dan pewarnaan imunohistokima. Pemeriksaan identifikasi sel neuron atau sel glia menggunakan prosedur standar imunohistokimia, dengan menggunakan anti bodi mouse anti NeuN (chemicon
international)
1:1000
dalam
blocking
solution.
Setelah
proses
deparafinisasi dilanjutkan dengan proses antigen retrieval methode dengan merendam slide ke dalam buffer sitrat suhu 90-95ºC selama 30 menit. Dilanjutkan dengan blocking endogenous activity. Setelah itu dilakukan inkubasi antibodi primer 24 jam dan keesokan harinya dengan antibodi sekunder, dilanjutkan pewarnaan DAB, chromogen dan counter stain dengan haematosilin. Dilanjutkan dengan dehidrasi dan penjernihan dan ditutup dengan cover glass dengan bahan perekat etelan. Pengamatan
54
histologi dan imunohistokimia parameter yang diamati meliputi bentuk, ukuran dan perubahan parenkim otak akibat induksi bicuculine apakah terjadi proses inflamasi, apoptosis, nekrosis, sklerosis dan pengaruhnya setelah pemberian stem cell apakah timbul regenerasi neuron, Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA (analysis of variance) pada taraf 5% dan dilanjutkan dengan uji LSD (least significant difference) untuk menentukan beda nyata antar perlakuan, Analisa menggunakan software The SAS System versi 9. Data yang bersifat kualitatif dijelaskan secara diskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia. Hasil pewarnaan HE terlihat pada Gambar 16 terlihat bahwa terjadi perbaikan regenerasi neuron di hipokampus dengan pemberian bMSC dan neuron progenitor. Pada pengamatan 3 minggu pertama terlihat dengan pemberian intravena 3 kali dosis kecil (M1) di daerah girus dentatus, neuron yang hidup hasilnya sama dengan pemberian neural progenitor intraserebral (M4). Neuron normal 3 minggu Jumlah neuron
100 80 60
Ca 1
40
GD
20
Ca3
0 K1
K2
M1
M2
M3
M4
Perlakuan Gambar 16 Rerata jumlah neuron normal pengamatan 3 minggu di hipokampus K1= Kontrol negatif, K2= kontrol positif, M1= bMSCs 3x2x105 intravena, M2= bMSCs 1x5x106 intravena, M3= PNCs 1x2x105 intravena, M4= PNCs1x2x105 intraserebral.
55
Hasil pengamatan setelah 6 minggu di lokasi Ca1 dan Ca3 yang berpengaruh secara bermakna adalah pemberian bMSCs dengan dosis berulang 3 kali intravena (M1) sedangkan daerah girus dentatus tidak terlihat pengaruh pemberian stem cell dari jumlah neuron yang hidup seperti yang tercantum pada Gambar 17.
Neuron normal
Neuron normal 6 minggu 100 80 60
Ca1
40
GD
20
Ca3
0 K1
K2
M1
M2
M3
M4
Perlakuan
Gambar 17 Rerata jumlah neuron normal pengamatan 6 minggu di hipokampus K1= Kontrol negatif, K2= kontrol positif, M1= bMSCs 3x2x105 intravena, M2= bMSCs 1x5x106 intravena, M3= PNCs 1x2x105 intravena, M4= PNCs1x2x105 intraserebral.
Tabel 6 Rerata jumlah neuron normal di hipokampus tikus Lokasi
Waktu minggu
Ca l GD
Ca 3
Perlakuan K1 a
K2 1.05± 0.02
M1 c
1.06±0.01
M2 ab
1.04±0.03
M3 d
1.05±0.02
M4 c
1.05±0.02bc
3
1.06±0
6
1.67±0.16a 1.51±0.17bc 1.55±0.22ab
1.35±0.22d
1.40±0.37cd 1.43±0.20bcd
3
1.960.07a
1.650.39b
1.930.12 a
1.620.43b
1.600.19b
1.920.13a
6
1.760.13a
1.630.12b
1.650.18b
1.530.0.14c
1.580.25bc
1.580.13bc
3
1.530.10a
1.290.20bc
1.310.22bc
1.370.20b
1.240.15c
1.290.15bc
6
1.560.10a
1.350.17c
1.450.21b
1.280.18cd
1.240.27d
1.360.07c
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata p<0.05. K1= Kontrol negatif, K2= kontrol positif, M1= bMSCs 3x2x105 intravena, M2= bMSCs 1x5x106 intravena, M3= PNCs 1x2x105 intravena, M4= PNCs1x2x105 intraserebral.
Dari penelitian ini pada Tabel 6 kemungkinan tidak terlihat respon perbaikan dengan pemberian bMSCs sistemik dosis tunggal dan sel neuron progenitor untuk
56
memperbaiki kerusakan jaringan karena stem cell eksogen hanya sedikit jumlahnya yang bertahan hidup, ditambah dengan
kondisi microenvironmental yang tidak
mendukung terjadinya neurogenesis seperti kurangnya faktor pertumbuhan yang ada, dan adanya faktor toksik dikeluarkan dari jaringan yang rusak sehingga diperlukan pemberian berulang dari stem cell eksogen untuk memobilisasi dari stem cell endogen. Pada kondisi patologis stem cell endogen tidak cukup memadai dalam mengatasi kerusakan yang timbul. Hasil pemeriksaan imunohistokimia dengan marker Neu N pada daerah Ca1,Ca3 dan GD pemberian dosis berulang M1(3x2x105 intravena) lebih tinggi 0,42% dibandingkan pemberian dosis tinggi sekaligus (M2= 0,08%) dan pemberian PNCs (M3=0,17%) dan (M4=0,33%).Hasil penelitian ini lebih rendah dari yang ditemukan Chu et al. 2004 menemukan NeuN 1,5-2,5% sel. Keadaan ini menunjukan microenvironment dan interaksi dari stem cell yang bisa bertahan hidup lama di jaringan yang rusak berperan terhadap keberhasilan pengobatan.
A
50 μm
B
50 μm
C
50 μm
Gambar 18 Positif Neu N (marker neuron matur) di daerah Ca1(Gambar A), Ca3(GambarB) dan daerah girus dentatus/GD (Gambar C) ditunjukan tanda panah ( ). Neuron matur lebih banyak ditemukan positif pada pemberian MSCs sistemik berulang dosis 3x2x105 dibandingkan pemberian dosis 1x5x106 dan pemberian PNCs.
Mekanisme perbaikan kerusakan jaringan otak dengan pemberian stem cell sistemik bermigrasi ke area yang rusak belum sepenuhnya dimengerti. Neuron stem cell dipermukaan selnya mengekspresi beberapa molekul sel seperti CD44 dan VLA4 dan mempunyai kemampuan melekat di pembuluh darah terutama di daerah blood brain barier yang rusak. Zat kimiawi yang menginduksi kejang pada hewan model
57
epilepsi akan meningkatkan kadar dari CD44 di girus dentatus (Borges et al. 2004). Keuntungan pemberian stem cell sistemik pada epilepsi diduga karena: (1) kejang pada status epilepsi akan menyebabkan kerusakan neuron yang luas, tidak tebatas hanya pada hipokampus, jadi transplantasi langsung ke parenkim otak tidak bisa langsung bermigrasi ke daerah yang jauh dari lesi. Pada pemberian stem cell sistemik β gal+ cells juga ditemukan positif ada di hipokampus, amygdala, subiculum terutama daerah kortek piriform (Chu et al. 2004) dan (2) transplantasi stem cell intravena pemberiannya lebih alami tanpa menimbulkan kerusakan jaringan seperti pada pemberian lewat stereotaktik (Rothstein dan Snyder 2004, Chu et al. 2004).
A
50 μm
B
50 μm
Gambar 19 Pemberian stem cell sistemik positif Neu N pada glomerulus dan epitel tubulus ginjal(A) dan pulpa putih limpa(B) seperti ditunjukan tanda panah ( Sel ini tidak menimbulkan trombosis, oklusi maupun infiltrasi lekosit dan kerusakan jaringan.
).
Pemberian stem cell secara sistemik pada penelitian ini ditemukan juga sel positif di glomerulus ginjal, insterstitial paru-paru, dan pulpa putih limpa tetapi tidak ditemukan kerusakan jaringan, infiltrasi leukosit dan pertumbuhan tumor. Penemuan ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Chu et al. 2004 menemukan stem cell yang ditransplantasikan secara sistemuk juga ada di paru-paru (alveolus), ginjal (tubulus proksimal), limpa dan tidak menimbulkan sumbatan/ trombus pada pembuluh darah.
58
A
50 μm
B
50 μm
Gambar 20 Pemberian stem cell sistemik pada paru-paru (gambar A) positif ditemukan pada instertitial ditunjukan tanda panah ( ) dan negatif Neu N pada pemeriksaan imunohistokimia (gambar B).
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan pemberian dosis kecil berulang setiap 2 minggu intravena jauh lebih baik dibandingkan pemberian sekaligus dengan dosis besar. Daerah hipokampus Ca1, Ca3 dan Girus Dentatus merupakan daerah yang rentan terhadap kerusakan otak. Pemberian bMSCs dapat memperbaiki degenerasi neuron. Pemberian intravena mesenchymal stem cell dapat memperbaiki kerusakan sel di hipokampus. Neurogenesis pada pemberian stem cell pada otak bisa melalui 3 proses (a) proliferasi (b) migrasi langsung ke area yang mengalami kerusakan (c) diferensiasi menjadi sel neuron. Mesenchymal stem cell bisa hidup di otak setelah ditransplatasi dan memperbaiki daerah injuri tergantung dari kondisi lingkungan, nerve growth factor, kemampuan proliferasi, migrasi dan diferensiasi dari stem cell (Yu et al. 2011). Mesenchymal stem cell juga mensekresi growth factor, cytokine, molekul adesi dan trophic factors. MSCs menginduksi perbaikan jaringan in vivo melalui kemampuannya berdifferensiasi atau mensekresi trophic factors (tanpa berdiferensiasi) dengan meningkatkan kemampuan lingkungan untuk meregenerasi jaringan atau sel yang rusak ( Chu et al. 2004)
59
KESIMPULAN
1. Mesenchymal stem cell dapat diberikan secara sistemik, intra lesi dan tidak menimbulkan reaksi penolakan baik secara klinis maupun pemeriksaan histopatologi. 2. Pemberian bMSCs intravena dosis rendah berulang lebih baik mengatasi degenerasi neuron di daerah Ca1, dan Ca3 dari pada pemberian dosis tinggi satu kali pemberian, pemberian sel neural progenitor intraserebral . 3. Pemberian stem cell secara sistemik tidak menimbulkan perubahan patologis pada organ jantung, paru-paru, hati, limpa dan ginjal sampai 6 minggu pengamatan.
PEMBAHASAN UMUM
Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronis yang ditandai dengan kejang spontan berulang akibat cetusan listrik abnormal di otak. Faktor resiko yang paling sering menjadi penyebab dari epilepsi adalah penyakit pembuluh darah di otak, tumor otak, infeksi otak, cedera kepala, kelainan perkembangan kortikal di otak dan kelainan genetik (WHO 2005). Penyandang epilepsi sebanyak 70-80% bisa terkontrol serangannya dengan pengobatan obat anti epilepsi yang tersedia saat ini dan lebih dari 30 % tidak terkontrol serangan kejangnya, tidak menjalani pengobatan karena adanya efek samping obat atau karena pengobatan yang tidak maksimal (Raedt et al. 2007). Epilepsi intractable (tidak terkontrol serangan kejang dengan obat anti epilepsi) pengobatan melalui intervensi bedah dapat mengurangi serangan kejang dengan membuang lokasi otak sebagai sumber kejang tetapi pada epilepsi yang lokasi fokus kejangnya tidak jelas tindakan operasi tidak dapat dilakukan. Alternatif tindakan lain pengobatan dengan pemasangan alat vagus nerve stimulation dan deep brain stimulation. Pengobatan ini disamping mahal, angka kejadian bebas kejang setelah 12 tahun di evaluasi hanya 50% (Ben 2002). Pengobatan alternatif yang terbaik untuk mengatasi serangan epilepsi saat ini masih diteliti di seluruh dunia. Pendekatan terapi genetik dan terapi sel saat ini sudah dilakukan di berbagai negara. Belum ada data yang pasti angka keberhasilan yang dicapai dengan pendekatan terapi sel dan genetik. Secara umum pendekatan strategis terapi sel dalam mengatasi kerusakan otak yaitu: (1) sel ditranplantasi untuk menggantikan neuron yang hilang atau (2) dengan memanipulasi proses penyakit (Raedt et al. 2007). Stem cell telah banyak dilakukan penelitian oleh para ahli untuk penyakit degeneratif dan kerusakan otak. Stem cell dari berbagai sumber juga telah diteliti untuk mengatasi epilepsi intractable. Mesenchymal stem cell merupakan salah satu dari sumber stem cell yang dipakai dalam penelitian ini. MSCs dapat diperoleh diberbagai organ tubuh. Dari penelitian yang telah dilakukan selama ini MSCs terbukti secara bermakna mempunyai kemampuan sebagai anti inflamasi,
61
anti proliferasi, anti apoptosis dan untuk pengganti sel yang rusak (Uccelli et al. 20011). Dari hasil penelitian ini bicuculine dapat dipakai untuk induksi kejang pada hewan model dengan terbuktinya kerusakan akibat penyuntikan bicuculine sudah terlihat pada pengamatan 24 jam. Proses kerusakan berjalan terus sampai 6 minggu pengamatan. Bicuculine merupakan antagonis GABA yang bersifat neurotoksik apabila diberikan sistemik maupun intraserebral menyebabkan depolarisasi dan hipereksitabilitas neuron terutama di daerah hipokampus. Pemberian bicuculine secara sistemik akan menyebabkan gangguan pada sawar darah otak, pembengkakan astrosit akibat pelepasan potasium dari sel saraf yang timbul pada saat awal serangan kejang. Hasil ini sama dengan penelitian Soederfeldt et al. 1983 membuktikan setelah 1 jam induksi bicuculine terjadi kerusakan permanen sejumlah neuron di kortek serebri. Bone marrow merupakan salah satu sumber dari mesenchymal stem cell yang bersifat multipoten. Bone marrow berasal dari mesoderem akan membentuk osteoblas, kondrosit dan adiposa, tetapi pada penelitian in vitro bMSCs bisa berubah menjadi ektodermal dan endodermal melalui proses transdiferensiasi. Mareschia et al. 2006 membuktikan MSCs dapat berdiferensiasi menjadi neuron dan
sel
glia.
Penelitian
ini
memperlihatkan
dengan
penambahan
β-
mercaptoethanol (βME), basic fibroblast growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF) pada kultur MSCs terlihat diferensiasi MSCs menjadi neuron like-cell dan positif marker neuron nestin dan β aktin dengan pemeriksaan RTPCR. Transplatasi stem cell untuk mengatasi penyakit degeneratif yang sudah dilakukan para peneliti melalui pemberian autologus dan allogenik baik sistemik intralesi, maupun intravena dan intraarterial. Pemberian autologus merupakan cara yang ideal untuk menghindari penolakan dari tubuh. Reaksi penolakan pemberian allogenik gejala bisa ringan sampai berat (graf versus host disease) bahkan kematian. Disaat kondisi tubuh tidak memungkinkan pemberian autologus pilihan terapi alternatif dengan transplantasi allogenik. Stem cell dewasa jumlahnya akan berkurang dengan bertambahnya usia dan kemampuan proliferasi akibat telomerase terbatas dengan pemberian stem cell autologus tidak memberikan hasil
62
maksimal (Ghannam et al. 2010, Chen 2006). Pemberian allogenik MSCs telah banyak diteliti dan tidak menimbulkan reaksi penolakan dari resipien bahkan MSCs dipakai untuk mengatasi efek samping reaksi penolakan pemberian stem cell (graf versus host disease) dan pengobatan penyakit autoimun. MSCs menekan fungsi sel T, sel B dan sel Natural Killer dan imunogenisitasnya rendah sehingga tidak dikenali oleh HLA inkompatibiliti resipien (Chen 2006, Ucelli et al 2006, Rastegar 2010). Penelitian ini menggunakan bMSCs dan PNCs diberikan secara allogenik intralesi dan sistemik. Pengamatan selama 6 minggu tidak terlihat reaksi penolakan baik secara klinis maupun histopatologis dengan pemeriksaan HE pada organ tubuh tikus. Pemeriksaan marker PKH2 imunoflourescent pada otak tikus masih positif setelah 6 minggu menunjukan homing MSCs setelah ditransplatasikan sampai di organ yang dituju. Epilepsi lobus temporal 30% dari penyandangnya sering tidak terkontrol serangannya dengan obat anti epilepsi yang tersedia saat ini maupun dengan operasi. Kerusakan anatomi pada epilepsi lobus termporal sering ditemukan adanya sklerosis hipokampus akibat kejang berulang terus menerus. Dengan ditemukannya mesenchymal stem cell mempunyai kemampuan untuk mengatasi kerusakan daerah hipokampus melalui penggantian sel, dengan meningkatkan neurotransmiter GABA yang bersifat inhibisi, neuroprotektif faktor yang dihasilkan MSCs,
maupun melalui efek paracrine atau autocrine ( Raedt dan
Boon 2005, Jackson
2010, Uccelli et al 2011). Hasil penelitian ini
memperlihatkan pemberian bMscs dapat menurunkan tingkat kematian neuron di hipokampus akibat kejang yang ditimbulkan antagonis GABA bicuculine. Hipokampus merupakan daerah otak yang paling rentan mengalami kerusakan akibat injuri baik berupa iskemik, hipoksia maupan proses inflamasi. Penelitian ini memperlihatkan pemberian MSCs intravena dosis rendah berulang kali memberikan perbaikan yang lebih baik dibandingkan pemberian dosis tinggi sekaligus dan pemberian PNCs. Dapat disimpulkan untuk perbaikan hipokampus harus dilakukan berulang kali untuk mengatasi kerusakan jaringan karena kemampuan stem cell eksogen terbatas bertahan lama di jaringan otak dan tergantung microenvironment tempat stem cell berada seperti nutrisi, growth factor, trophic factor dan cytokine yang diproduksi MSCs. Pada penelitian ini
63
pemberian PNCs secara statistik tidak bermakna memperbaiki kerusakan di hipokampus kemungkinan karena PNCs sudah berubah menjadi unipoten dan kemampuannya untuk merperbaiki jaringan yang rusak sudah tidak maksimal disamping faktor microenvirontment sangat menentukan keberhasilan pengobatan ini. Pemberian gabungan MSCs dan PNCs memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dari pada hanya pemberian MSCs dan PNCs saja ( Pedran et.al 2009)
Keterbatasan penelitian ini. 1. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran perbaikan dari aspek neurofisiologi dan klinis kejang karena setelah induksi kejang tidak ditemukan kejang berulang pada hewan model seperti pada model kindling. 2. Penelitian ini belum melihat efek microenvironment yang berperan dalam perbaikan kerusakan otak akibat induksi kejang yang diberikan MSC eksogen. 3. Pengamatan pemberian allogenik pada penelitian ini hanya 6 minggu, sehingga belum dapat diketahui efek jangka panjang reaksi penolakan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Pemberian lidocaine dan
bicuculine intraperitoneal dapat menimbulkan
kejang dan merusak daerah hipokampus Ca1, GD, dan Ca3. Pemberian bicuculine merusak hipokampus lebih berat dari pada pemberian lidocaine terutama pada hari ketujuh setelah diinjeksi. 2. Pemberian mesenchymal stem cell dari bone marrow tikus setelah dikultur dan disuntikan intra vena hasilnya lebih baik dibandingkan pemberian intra serebral dalam memperbaiki kerusakan neuron di hipokampus. 3. Pemberian mesenchymal stem cell dengan dosis kecil apabila diberikan berulang kali memberikan perbaikan yang lebih baik dari pada pemberian sekaligus dengan dosis besar. 4. Bone marrow mesenchymal stem cell yang tidak berdifferensiasi dalam mengatasi degenerasi neuron di hipokampus hasilnya lebih baik dibandingkan progenitor neural stem cell.
Saran Untuk mengetahui lebih jauh mekanisme kemampuan stem cell dalam memperbaiki kerusakan jaringan otak diperlukan penelitian lanjutan pada kondisi lingkungan di otak yang rusak dan mempengaruhi viabilitas stem cell setelah ditransplantasi in vivo.
DAFTAR PUSTAKA Acharya MM, Hattiangady B, Shetty AK. 2007. Progress in neuroprotective strategies for preventing epilepsy. Prog neurobiol 84(4):363-404. Alving, J. 1995. What is intractable epilepsy? Dalam Johannessen SI, Gram L, Silanpaa M, Tomson T editor Intractable Epilepsy.US.Wrightson Biomedical Publishing Ltd:1-12. Andrew JC, Sookyong K, Yi Z. 2002. Are Seizures Harmful: What Can We Learn from Animal Models? Progress in Brain research Elsivier Sci 135:13-23. Armstrong L et al. 2005. Overexpression of telomerase confers growth advantage, stress resistance, and enhanced differentiation of ESCs toward the hematopoietic lineage. Stem Cells 23:516-529. Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Indonesia Statistical yearbook of Indonesia. Jakarta. BPS . Baksh D, Song L, Tuan RS. 2004. Adult mesenchymal stem cells: characterization, differentiation, and application in cell and gene therapy. J,Cell.Mol.Med 8:301-316. Barker RA, Jain M, Armstrong RJE, Caldwell MA. 2003. Stem cells and neurological disease. J Neurol Neurosurg Psychiatry 74:553-557. Barker RA, Widner H. 2004. Immune problems in central nervous system cell therapy. The Journal of the American Society for Experimental NeuroTherapeutics 1:472-481. Ben Menachem. 2002. Vagus nerve stimulation for the treatment of epilepsy. Lancet neurology I:477-482. Blaise FD, Bourgeois MD, Raymond J, Dingledine, Wilcox KS. 2001. Innovative epilepsy therapies for the 21st century. American Epilepsy Society:230236. Bobis S, Jarocha D, Majka M. 2006. Mesenchymal stem cell; characteristics and clinical applications. Foliahistochemica ET Cytobiologica 44(4):215-230. Boison D. 2007. Cell and gene therapies for refractory epilepsy. Current Neuropharmacology 5:115-125. Buckmaster Paul S. 2004. Laboratory animal model of temporal lobe epilepsy. Comp Med 54:473-485.
66
Buja LM, Vela D.2010. Immunologic and and inflammatory reactions to exogenous stem cells. JACC 56(21):1693-16100. Caplan AI. 2007. Adult mesenchymal stem cells for tissue engineering versus regenerative medicine. Jurnal of Cellular Physiology 213:341-346. Ceradini DJ, et al. 2004 Progenitor cell trafficking is regulated by hypoxic gradients through HIF-1 induction of SDF-1. Nature Medicine 10:858864. Chang BS, Lowenstein DH. 2003. Mechanisms of disease of epilepsy. New England Journal Medicine 349:1257-1266. Chen X, Armstrong MA, Li G. 2006. Mesenchymal stem immunoregulation. Immunology and Cell Biology 84:413-421.
cell
in
Chu K, Kim M, Jeong SW, Kim SU, Yoon BW.2003. Human neural stem cells can migrate, differentiate, and integrate after intravenous tranplantation in adults rat with transient forebrain ischemia. Neuroscience Letters 343: 129-133. Chu K, Kim M, Jung KW, Jeon D, Lee ST,Kim J et al.2004. Human neural stem cells tranplantation reduces spontaneous recurrent seizures following pilocarpine- induced status epilepticus in adults rat. Brain Research 1023: 213-221. Dantuma E, merchant S, Sugaya K. 2010. Stem cells for the treatment of neurodegenerative diseases. Stem Cell Research & Therapy 1:1-7. Domini M, Blanc KL, Muller I, Slaper-Kortenbach I, Marini FC, Krause DS et al. 2006. Minimal criteria for defining multipotent mesenchymal stem cell. The International Society for Cellular Therapy 8(4):315-317. Engel J, Wiebe S, French J et al. 2003. Practice parameter : Temporal lobe and epilepsy ad localized neocortical resections for epilepsy : Report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology, in Association with the American Epilepsy Society and the American Association of Neurological Surgeons. Neurology 60:538-547. Engel J, Williamson PD, Wieser HG. 2008.Mesial Temporal lobe epilepsy with hippocampal sclerosis. Dalam Engel J, Pedley TA (ed). Epilepsy A Comprehensive Textbook 2nd ed. Philadelphia:Wolters Kluwer: 2479-2486. Endo K, Morita K, Uchiyama Y, Takada K, Tsujimoto A, Dohi T.1993. Involvement of brain serotonergic function in lidocaine-induced convulsions in mice. Japan J Pharmacol 62:325-328.
67
Farin A, liu CY, Langmoen IA, Apuzzo MLJ. 2009. Biological restoration of central nervous system architecture and function: part 3-stem cell-and cellbased applications and realities in the biological management of central nervous system disorders; traumatic, vascular, and epilepsy disorders. Neurosurgery 65(5):831-859. Filip S, Morky J, Hruska I. 2003. Adult stem cells and their importance in cell therapy. Folia Biologica (Praha) 49:9-14. Fisher RS, Boas VE, Blume W, et al. 2005. Epileptic seizures and epilepsy definition proposed by the international league against epilepsy (ILAE) and the intenational bureau for epilepsy (IBE). Epilepsia 46:470-472. Fujita H, Maru E, Shimada M, Suzuki H, Ogiuchi H.2009. A decrease in seizure susceptibility to lidocaine in kindled epileptic rats. Anesth Analg 90:11291134. Gharibani PM, Tiraihi T, Arabkheradmand J. 2009. In vitro transdifferentiation of bone marrow stromal cells into gabaergic-like neurons. Iranian Biomedical Journal 13(3):137-143. Ghannam S, Bouffi C, Djouad F, Jorgensen C, Noel D. 2010. Immunosuppresion by mesenchymal stem cells: mechanisms and clinical applications. Stem Cell Research & Therapy1:1-7. Gronthos S, Zannettino ACW. 2008. A method to isolate and purify human bone marrow stromal stem cells. Didalam Prockop DJ, Phinney DG, Bunnell BA. Mesenchymal Stem Cells methods and protocols. Humana Press, Totowa NJ :45-47. Gregory CA, Prockop DJ. 2007. Fundamentals of culture and characterization of mesenchymal stem/progenitor cells from bone marrow stroma. Di dalam Freshney RI, Stacey GN, Auerbach JM, editors. Culture of Human Stem Cells. John Wiley & Sons:211-216. Helmstaedter C, Kockelmann E. 2006. Cognitive outcomes in patients with chronic temporal lobe epilepsy. Epilepsia 47(Suppl.2):96-98. Hauser WA, Amergers JT, Rocca WA. 1996. Descriptive epidemiology of epilepsy: contributions of population based studies from Rochester Minnesota. Mayo Clinic Proc 71(6):576-586. Hesdorffer DC. 2008. Risk factors. Di dalam Engel JR, Pedley TA, editor. Epilepsy a comprehensive text book. 2nd edition. Lippincott Williams & Wilkins:57. Huber A et al. 2001. Grafts of adenosin-releaseing cells suppress seizures in kindling epilepsy. Proc.Natl. Acad. Sci 98:7611-7616.
68
Hwang WY, Ong SY. 2009. Allogenic haematopoitic stem cell transplantation without a matched sibling donor: current options and future potential. Ann Acad Med Singapore 38:40-45. Jackson JS, Golding JP, Chapopn C, jones WA, Bhakoo KK. 2010. Homing of stem cells to sides of inflammatory brain injury after intracerebral and intravenous administration; a longitudinal imaging study. Stem Cell Research &Therapy:1-17. Janszky J, Schulz R, Janszky I, Ebner A.2004. Medial Temporal Lobe Epilepsy : Gender differences. J Neurol Neurosurg Psychiatry 75:773-775. Jones Sw. 2006. Basic Celluler Neurohysiologi. Di dalam Wyllie E, Gupta A, Lachhwani DK, editor. The treatment of Epilepsy Principles & Practice Ed ke-4. Lippincott :69-85. Kwan P, Sander JW. 2004. The natural history of epilepsy: an epidemiological view. J Neurol Neurosurg Psychiatry 75:1376-1381. Kolf CM, Cho E, Tuan RS.2007. Biology of adult mesenchymal stem cell: regulation of niche, self-renewal and differentiation. Arthritis Research & Therapy 204:1-10 Korbing M, Estrov Z. 2003. Adult stem cells for tissue repair. A new therapeutic concept? New England Journal Medicine 349:570-582. Li T, et al. 2007.Suppression of kindling epileptogenesis by adenosine releasing stem cell-derived brain implants. Brain 130:1276-1288. Locharernkul C. 2004. Temporal lobe epilepsy with hippocampal sclerosis – An insight into the disease entity. Neurol Asia (supplement 1):77-79. McIntyre DC, Schwarzkroin PA. 2008. Lymbic anatomy and physiology. Di dalam Epilepsy a comprehensive textbook. Ed ke-2. Philadelphia 1: 337344. Mac TL, et al. 2007. Epidemiology, aetiology, and clinical management of epilepsy in Asia: systemic review. Lancet Neurol 6:553-543. Mareschia K, et al. 2006. Neural differentiation of human mesenchymal stem cells : evidence for expression of neural markers and eagK+ channel types. Experimental Hematology 34(11):1563-1572. Merkenschlager A, Todt H, Pfluger T, Bernhard MK. 2009.Development of hippocampal sclerosis after a comple febrile seizure. Eur J Pediatr 168:487490.
69
Mody. I, U Heinemann. 1987. NMDA receptors of dentate ggyrus granule cells participate in synaptic ttransmission following kindling. Nature 326:701704. Murray CJL, Lopez AD. 1994. Global Comparative Assesment in The Health Sector; Disease Burden, Expenditures, and Intervention Packages. World Health Organization. Geneva. Marck R, Barbaro NM, Alvarez-Buylla A,Baraban SC. 2008. Developing Cell Transplant for Temporal Lobe Epilepsy. Neurosurg Focus 24:E 17. Maisano Xu, et al. 2009. Embriyonic stem cell-derived neural precursor grafts for treatment of temporal lobe epilepsy. Neurotherapeutics: The Journal of the American Society for experimental neurotherapeutics 6:263-277. Mathern GW, Wilson CL, Beck H. 2008. Hippocampal Sclerosis in : Engel J, Pedley TA editor. Epilepsy A Comprehensive Textbook 2nd ed. Philadelphia:Wolters Kluwer:121-136. Naegele J. 2009. Stem Cell Transplant for Brain Repair In Epilepsy and Neurodegerative Diasease.http://www.wesleyen.edu/bio/naegele/naegele.html. diunduh 25 mei 2009. Naegele J, Maisano X, Yang J, Royston S, Ribeiro E. 2010. Recent advancements in stem cell and gene therapies for neurological disordeers and intractable epilepsy. Neuropharmacology 58(6):855-864. Najm I, Duvernoy H, Schweles. 2006. Hippocampal anatomy and hippocampal sclerosis. Di dalam Wyllie E, Gupta A, Lachhwani DK, editor. The Treatment of Epilepsy Principles & Practice. Ed ke-4. Lippincott: 55-66. Ozkara C, et al. 2008. Surgical outcome of patients with mesial temporal lobe epilepsy related to hippocampal sclerosis. Epilepsi 49(4):696-699. Panayiotopoulos CP. 2005. A Clinical Guide to Epileptic Syndromes and their Treatment (based on the new ILAE diagnostic scheme). Oxford Bladon 169-177:205-206. Picot MC, Moulinier MB, Daures JP, Dujols P, Crespel A. 2008.The prevalence of epilepsy and pharmacoresistant epilepsy in adults: A population-based study in a western european country. Epilepsia: 1-9. Pitkanen A, et al. 2007. Epileptogenesis in experimental models. Epilepsia 48 (Suppl.2):13-20.
70
Pedran MS, Deghan MM, Soleimani M, sharifi D, Marjanmehr SH, Nasiri Z. 2009. Transplantation of autologous neural differentiated and undifferentiated mesenchymal stem cells into injured spinal cord of rats (abstract). Spinal Cord 10(1038):153. Pluchino S, Zanotti L, Deleidi M, Martino G. 2005. Neural stem cellsand their use as therapeutic tool in neurological disorders. Brain Research Reviews 48:211-219. Prince DA, Parada I, Scalise K, Shent. 2009. Epilepsy following cortical injury: Cellular and molecular mechanisms as targets for potential prophylaxis. Epilepsia (Suppl 50): 30-40. Poulsom R, Alison MR, Forbes SJ, Wright NA. 2002. Adult stem cell plasticity. Journal of Pathology 197:441-456. Qureshi SA, Qazi R. 2007.Mechanisms underlying the onset and progression of temporal lobe epilepsy. Pak J Neurol Sci 2(2):116-121. Ramani Ramachandran. 2008. Vagal nerve stimulation therapy for seizures. J.Neurosurg Anesthesiol 20:29-35. Ra JC et al. 2011. Stem cell treatment for patients with autoimune disease by sistemic infusion of culture-expanded autologous adipose tissue derived mesenchymal stem cells. Journal of Translational Medicine 9:81. Rastegar et al. 2010. Mesenchymal stem cells: molecular characteristics and clinical applications. World J Stem Cells 2(4):67-80. Ryan JM et al. 2005. Mesenchymal stem cells avoid allogeneic rejection. J Inflam 2:8-18. Racine,R.J. 1972. Modification of seizure activity by electrical stimulation: II Motor seizures. Electroencephalogr Clin Neurophys 32:281-294. Raedt R, Boon P.2005. Cell therapy for neurological disorders : comprehensive review. Acta neurol berg 105:158-170. Rambhatla et al. 2001. Cellular senescence ex vivo p-53 dependent asymetric cell kinetics. J Biomed Biotechnol 1:28-37. Rho JM, Stafstrom Ce. 2006. Neurophysiology of Epilepsy. Di dalam Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, editor. Pediatric Neurology Principles & Practice. Ed ke-4. Philadelphia Elsevier:991-1004. Rothstein JD, Snyder EY. 2004. Reality and immortality-neural stem cells for therapies. Nature Biotechnology 22(3):283-285.
71
Safford KM, Rice HE. 2005. Stem cell therapy for neurologic disorders: therapeutic potential of adipose-derived stem cells. Current Drug Targets 6:57-62. Sander JW. 2003. The natural history of epilepsy in the era of new antiepileptic drugs and surgical treatment. Epilepsia:17-20. Sarkistan MR.2001. Overview of the current animal model for human seizure and epileptic disorders. Epilepsy & Behavior 2:201-216. Schuele SU, Luders HO. 2008. Intractable Epilepsy: Management and Therapeutic alternatives. Lancet neurology 7:S14-24. Semah F, et al. 1998. Is the underlying cause of epilpesy a major prognostic factor for recurrence? Neurology 51:1256-1262. Shi Y, Dennis OC 2008. Stem Cell Research Therapeutics. Springer Sci :123-138. Shetty AK, Hattiangady B. 2007. Consise review: prospect of stem cell therapy for temporal lobe epilepsy. Stem Cells 25:2397-2407. Sridharan R. 2002. Epidemiology of epilepsy. Current Science 82(6):664-670. Titus AM, Revest P, Shortland P. 2007.The Nervous System : Basic Science and clinical conditions. Edinburgh: Churhcill Livingstone :16-17. Tremblay M. 2003. Epilepsy and neurogenesis a profile of hippocampal neurogenesis after induced temporal lobe epileptic seizures. Jur Rochester Edu 2:20-26s. Uccelli A, Benvenuto F, Laroni A, Giunti D. 2011. Neuroprotective features of mesenchymal stem cells. Clinical Haematology 24:59-64. Vacanti V, Kong E, Suzuki G, Sato K, Canty JM, lee T. 2005. Phenotypic changes of adult porcine mesenchymal stem cells induced by prolonged passaging in culture. Jurnal Cell Physiol 220:194-201. Veliser L. 2006. Models of chemically-induced acute seizures. Di Dalam: Asla, PS, Moshe SL.2006. Models Seizures and Epilepsy. Elsevier Academic Press. Amsterdam:127-152 WHO-Regional office for the Western Pacific Epilepsy in the Western Pacific Region 2004 : A call to action; Global Campaign Against Epilepsy Geneva. World Health Organization. 2009. Epilepsy, epidemiology, etiology and prognosis. WHO Factsheet N. 999.
72
Wright KT, Masri WE, Osman A, Chowdhury J, Johnson WEB. 2001. Concise review: bone marrow for the treatment of spinal cord injury; mechanisms and clinical applications. Stem Cells 29:169-178.
Yu L, Ma J, Ma R, Zhang Y, Yu T. 2011. Repair of excitoxic neuronal damage mediated by neural stem cell lysates in adult mice. J Cell Science & Theraphy 2:1-5.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Hasil analisis statistik degenerasi neuron di hipokampus pada pemberian zat kemikal dibandingkan dengan kontrol negatif
Lampiran 1.1 Analisis ragam (ANOVA) pengaruh pemberian lidocaine, bicuculine di hipokampus pada hari ke-7 setelah injeksi Sumber keragaman
Derajat Bebas (db)
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah(KT)
F hitung
Pr > F
Perlakuan Ca1
2
5.63116324
2.81558162
22.09
<.0001
Perlakuan GD
2
4.94859234
2.47429617
137.24
<.0001
Perlakuan Ca3
2
2.73821193
1.36910596
91.50
<.0001
Lampiran 1.2 Analisis statistik degenerasi neuron di hipokampus Ca1 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 dibandingkan tikus normal Sumber keragaman
Derajat bebas (db)
Perlakuan galat Total
1
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
3.79761450
3.79761450
55
2.80177524
0.05094137
56
6.59938973
F
Pr > F
hitung
74.55
0.0001
Lampiran 1.3 Analisis statistik degenerasi neuron di hipokampus Ca1 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 dibandingkan tikus normal Sumber keragaman
Derajat bebas (db)
Perlakuan galat Total
1
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
1. 29697426
1. 29697426
58
1.34652849
0.02321601
59
2.64350276
F hitung
Pr > F
55.87
0.0001
74
Lampiran 1.4 Analisis statistik degenerasi neuron di hipokampus Ca3 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 dibandingkan tikus normal
Sumber keragaman
Derajat bebas (db)
Perlakuan galat Total
1
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
1. 42108608
1. 42108608
58
0.79484024
0.01370414
59
2.21592632
F hitung
Pr > F
103.70
0.0001
Lampiran 1.5 Analisis statistik degenerasi neuron di hipokampus Ca3 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 dibandingkan tikus normal
Sumber keragaman
Derajat bebas (db)
Perlakuan galat Total
1
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
1. 53580006
1. 53580006
58
0.81144123
0.01957615
59
2. 34724129
F hitung
Pr > F
109.78
0.0001
75
Lampiran 1.6 Analisis statistik degenerasi neuron di hipokampus GD setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 dibandingkan tikus normal
Sumber keragaman
Derajat bebas (db)
Perlakuan galat Total
1
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
1. 29697426
1. 29697426
58
1.34652849
0.02321601
59
2.64350276
F hitung
Pr > F
55.87
0.0001
Lampiran 1.7 Analisis statistik degenerasi neuron di hipokampus GD setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 dibandingkan tikus normal
Sumber keragaman
Derajat bebas (db)
Perlakuan galat Total
1
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
1. 42718931
1. 42718931
58
2.65049694
0.04569822
59
4.07768625
F hitung
Pr > F
31.23
0.0001
Lampiran 2 Hasil analisis statistik pengaruh pemberian MSCs terhadap neuron yang normal pada hipokampus dibandingkan dengan kontrol positif dan negatif
76
Lampiran 2.1 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal di hipokampus Ca1 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke3 pasca perlakuan Sumber keragaman
Derajat bebas (db)
Perlakuan galat Total
5
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
0. 01095904
1. 29697426
174
0.05473138
0.02321601
179
0.06569042
F hitung
Pr > F
6.97
0.0001
Lampiran 2.2 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal di hipokampus Ca1 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 Sumber keragaman
Derajat bebas (db)
Perlakuan galat Total
5 173 178
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
1. 92386038
0. 38477208
9.39630107
0.05431388
F hitung
Pr > F
7.08
0.0001
11.32016146
Lampiran 2.3 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal di hipokampus Ca3 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 pasca perlakuan Sumber keragaman
Derajat bebas (db)
Perlakuan galat Total
5 174 178
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
1. 62318131
0. 32463626
5.33818031
0.03067920
6.96136161
F hitung
Pr > F
10.58
0.0001
77
Lampiran 2.4 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal di hipokampus Ca3 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 pasca perlakuan Sumber keragaman
Derajat bebas (db)
Perlakuan galat Total
5 174 179
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
1. 99114427
0. 39822885
5.84087932
0.03356827
F hitung
Pr > F
11.86
0.0001
7.83202359
Lampiran 2.5 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal di hipokampus GD setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 pasca perlakuan Sumber keragaman
Derajat bebas (db)
Perlakuan galat Total
5 174 179
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
4. 56525244
0. 91305049
11.58675391
0.06659054
F hitung
Pr > F
13.71
0.0001
16.15200635
Lampiran 2.6 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal di hipokampus GD setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 pasca perlakuan Sumber keragaman
Derajat bebas (db)
Perlakuan galat Total
5 174 179
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
0. 94437171
0. 18887434
4.80407948
0.02760965
5.74845119
F hitung
Pr > F
6.84
0.0001
78
Lampiran 3 Kultur primer bone marrow Aspirasi Bone Marrow(1cc) + heparin 0,1ml 10% FBS, α MEM Penicillin 50 U/ml, Streptomycin 50 mg/ml Ficoll Density Gradient sentrifus Isolasi sel mononuklear sentrifus Kultivasi selama 5-7 hari Diinkubator suhu 37℃, 5% CO2 Tripsinisasi 0,05% trypsin/EDTA Kultur MSCs selama 3-4 minggu
Lampiran 4 Induksi diferensiasi sel neuron dan identifikasi marker nestin& β aktin Mesenchymal stem cell 1000-2000 sel/cm2 0,02 mM β-mercaptoethanol 6 jam Induksi 10 ng basic fibroblast growth factor (bFGF) 10 ng epidermal growth factor ( EGF neural progenitor cell cell like (NPC) pada hari ke-7 Identifikasi marker neural stem cell dengan PCR nestin dan β aktin
RNA total diekstrasi dengan Trizol primer nestin : 5` CTCTGACCTG TCAGAAGAAT-3` (sense) β-actin: AGAAGATCTGGCACCACACC (sense)
PCR dilakukan sebanyak 30 siklus Analisa dengan gel agarose 2,55 dengan 100 mg/ml Ethidium Bromide.
79
Lampiran 5 Pelabelan stem cell dengan PKH2
Lampiran 6 Proses pembuatan sedian histopatologi Organ otak, paru-paru, jantung, hati, limpa, ginjal
Fiksasi dengan Neutral Formalin (BNF) 10% 24 jam
Dehidrasi dengan alkohol bertingkat
Penjernihan dengan xylol
Embedding dalam parafin
80
Lampiran 7 Proses pewarnaan Hematosylin-Eosin (HE)
Deparafinisasi (5 menit)
Rehidrasi (5 menit)
Air mengalir (10-15 menit)
Aquadest (5-10 menit)
Hematosylin (5-7 menit)
Air mengalir (30-60 menit)
Aquadest 95 menit)
Eosin 930-60 menit)
Aquadest 95-10 menit)
Dehidrasi (103 menit)
Penjernihan (5 menit)
Mounting
81
Lampiran 7 Proses pewarnaan Neu N secara imunohistokimia
Deparafinisasi-Rehidrasi air mengalir(10-15 menit)
Deionized water (15 menit)
Rendam dalam buffer sitrat suhu 90-95ºC (30 menit)
PBS 3 x @ (5 menit H2O2 dalam metanol (15 menit)
Air mengalir (15 menit) Normal serum goat 50-60 μL 37ºC, 30 menit
Inkubasi anti Neu N 24 jam PBS (3x5 menit) Antibody sekunder (DACO Kit ) 37ºC, 30 menit kondisi gelap PBS (3x5 menit) Chromogen (DACO kit) (1-5 menit)
Counter stain dengan haematosilin
Deionized water (15 menit)
Dehidrasi, penjernihan, mounting