PEMANFAATAN BIOMASSA ECENG GONDOK DARI KOLAM PENGOLAHAN GREYWATER SEBAGAI PENGHASIL BIOGAS
THE USE OF WATER HYACINTH BIOMASS FROM GREYWATER TREATMENT POND FOR BIOGAS PRODUCTION Azay Ragsul Saputri (1) dan Yulinah Trihadiningrum (2)
[email protected] Jurusan Teknik Lingkungan Facultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ABSTRAK Eceng gondok, jenis tanaman air yang sering digunakan pada pengolahan greywater. Setelah penggunaannya, eceng gondok dibuang tanpa pengolahan lebih lanjut. Padahal tumbuhan ini merupakan biomassa yang dapat dikonversi menjadi biogas melalui proses anaerobic digestion. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi eceng gondok tersebut dalam menghasilkan biogas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penambahan biostarter 1,25 g kotoran sapi, dapat meningkatkan produksi biogas 5 kali lipat yaitu 45 L biogas/kg Total Solids (TS) dibandingkan kontrol.. Sedangkan biostarter. dengan usus bekicot tidak menghasilkan biogas sama sekali. Penambahan jumlah biostarter menjadi 50 g kotoran sapi hanya meningkatkan 6,3 kali lipat yaitu 57 L biogas/kg TS. Adanya perlakuan hidrolisis asam terhadap substrat eceng gondok dan tanpa biostarter hanya menghasilkan 0,1 kali yaitu 9 L biogas/kg TS. Sedanngkan dengan adanya perlakuan hidrolisis asam dan penambahan biostarter 1,25 g kotoran sapi, menghasilkan biogas 5,3 kali lipat yaitu 48 L biogas/kg TS. Oleh karena itu, perlakuan hidrolisis asam terhadap substrat eceng gondok dinilai kurang menguntungkan. Kata Kunci : eceng gondok, biogas, anaerobic digestion, hidrolisis asam
1
ABSTRACT Water hyacinth, a type of aquatic plants that has often been used in tertiary wastewater treatment. After being used, this plant is usually dispose of without further treatment. In fact, biomass content in water hyacinth is reasonably high to produce biogas by anaerobic digestion. Therefore, the aim of this research was to investigate the potential of water hyacinth biomass to produce biogas. Results of this research showed that water hyacinth substrate with 1,25 g cow manure addition produced biogas 5 times higher (45 L biogas/kg TS) than control. Water hyacinth substrate with terrestrial snail intestine addition did not produce biogas at all. More addition of cow manure quantity up to 50 g made the biogas production to rise up to 6,3 times (57 L biogas/kg TS). Acid hydrolysis pretreatment without cow manure addition produced low biogas production quantity. Whereas, acid hydrolysis pretreatment with 1,25 g cow manure addition could rise biogas production up to 5,3 times (48 L biogas/kg TS). Therefore, the use of acid hydrolysis pretreatment for biogas production from water hyacinth was not efficient. Keyword : water hyacinth, biogas, anaerobic digestion, acid hydrolysis pretreatment.
PENDAHULUAN Salah satu tanaman air yang sering digunakan dalam pengolahan air limbah greywater adalah eceng gondok. Hal ini dikarenakan eceng gondok mempunyai laju pertumbuhan yang sangat cepat, terlebih lagi pada kondisi lingkungan yang tinggi nutrien seperti limbah domestik/ greywater. Eceng gondok juga mempunyai sistem perakaran yang luas, hal ini sangat bagus untuk media pendukung pertumbuhan mikroorganisme (Zimmels, Kirzhner, dan Malkovskaja, 2006). Namun umumnya, eceng gondok sisa pengolahan limbah tersebut hanya dibuang sebagai sampah tanpa adanya pengolahan lanjut. Padahal eceng gondok merupakan salah satu sumber biomassa yang masih dapat dimanfaatkan. Hal ini menunjukkan bahwa potensi biomassa eceng gondok yang sangat berlimpah yang belum dimanfaatkan. Menurut Malik (2006) eceng gondok mengandung 95% air dan menjadikannya terdiri dari jaringan yang berongga, mempunyai energi yang tinggi, terdiri dari bahan yang dapat difermentasikan dan berpotensi sangat besar dalam menghasilkan biogas (Chanakya, et al, 1993 dalam Gunnarsson dan Cecilia, 2006).
2
Eceng gondok mempunyai kandungan hemiselulosa yang cukup besar dibandingkan komponen organik tunggal lainnya. Hemiselulosa adalah polisakarida kompleks yang merupakan campuran polimer yang jika dihidrolisis menghasilkan produk campuran turunan yang dapat diolah dengan metode anaerobic digestion untuk menghasilkan dua senyawa campuran sederhana berupa metan dan karbon dioksida yang biasa disebut biogas (Ghosh, Henry, dan Christopher, 1984). Biogas merupakan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan, dapat dibakar seperti gas elpiji (LPG), dan dapat digunakan sebagai sunber energi penggerak generator listrik (Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2009). Untuk itu dalam penelitian ini akan dikaji besarnya potensi eceng gondok dalam menghasilkan biogas melalui proses anaerobic digestion. METODOLOGI Persiapan Alat Persiapan reaktor anaerobic mengunakan reaktor batch dengan kapasitas 250 mL sebanyak 12 buah. Reaktor berupa erlenmeyer 250 mL yang ditutup dengan karet berselang yang dihubungkan ke gelas ukur 50 mL untuk pengamatan penurunan air atau larutan kapur yang ada dalam gelas ukur akibat terbentuknya biogas. Gambar reaktor dapat dilihat pada Gambar 1.
Termometer
Gelas ukur
Selang Substrat
Air
Gambar 1. Reaktor Batch Anaerobik Digester
3
Persiapan Bahan Penyediaan eceng gondok. Eceng gondok diambil langsung dari saluran pembuangan greywater di wilayah ITS Surabaya. Setelah itu seluruh bagian eceng gondok (akar, batang, dan daun) dicacah hingga berukuran kecil-kecil. Setiap reaktor menggunakan 50 g eceng gondok (dalam berat basah) lalu diblender dan ditambahkan air sesuai variabel komposisi yang akan digunakan pada penelitian pendahuluan. Penyediaan Kotoran Sapi Kotoran sapi diambil dari peternakan sapi perah di kawasan Jalan Kali Kepiting. Kotoran sapi ini dicampur dengan eceng gondok yang sudah diblender sebagai biostarter. Sedangkan bekicot diambil di wilayah TL ITS. Rancangan Penelitian Dalam penelitian ini akan digunakan tiga variabel, yaitu: 1. Variasi biostarter awal
1,25 g kotoran sapi (2,5 % dari 50 g berat eceng gondok yang digunakan pada reaktor)
Usus bekicot
2. Adanya preatreatment terhadap substrat dengan hidrolisis asam. 3. Penambahan jumlah biostarter menjadi 1 : 1 terhadap eceng gondok yang digunakan (50 g eceng : 50 g biostarter) Pengoperasian Reaktor Pengoperasian reaktor dilakukan berdasarkan urutan berikut ini :
Pada penelitian tahap 1, substrat dengan komposisi yang sesuai, diberi perbedaan perlakuan yaitu dengan variasi biostarter 1,25 g kotoran sapi ( 2,5 % dari 50 g eceng gondok yang digunakan) pada reaktor TAS, penambahan usus bekicot pada reaktor TAB dan reaktor TAK sebagai kontrol tanpa penambahan apapun. 4
Dari ketiga reaktor dengan biostarter yang paling efektif dalam menghasilkan biogas akan digunakan sebagai dasar penelitian tahap 2.
Penelitian tahap 2 diawali dengan melakukan preatreatment terhadap substrat. Substrat yang digunakan pada tahap 2 ini adalah substrat dengan komposis yang berdasarkan hasil penelitian pendahuluan. Substrat dihidrolisis dengan menambahkan asam sulfat (H2SO4) 5% ke dalam substrat hingga mencapai pH ± 2. Kemudian substrat dipanaskan pada suhu 170° - 200°C selama 1 jam. Setelah dihidrolisis, substrat diberi penambahan NaOH 1 M untuk mengembalikan pH susbtrat pada kisaran normal 6,8-8. Setelah pH substrat kembali normal maka selanjutnya diberi biostarter yang paling efektif berdasarkan hasil tahap 2 sebagai reaktor AS dan tanpa biostarter sebagai kontrol disebut reaktor AK.
Pada penelitian tahap 2 ini, digunakan pula substrat tanpa proses pengasaman. Namun biostarter yang diberikan lebih banyak yaitu 50 g atau sebanding dengan eceng gondok yang digunakan. Penambahan jumlah biostarter pada tahap 2 ini menggunakan 2 reaktor. Rincian reaktorreaktornya adalah sebagai berikut :
1. Reaktor KS (50 g kotoran sapi) 2. Reaktor SD (sustrat tanpa proses pengasaman dan diberi biostarter dengan perbandingan 1:1) Dilakukan pemantauan secara rutin setiap hari untuk aspek volume biogas total yang terbentuk dan suhu. Pada awal dan akhir proses dilakukan analisis BOD, COD, TS, VS, dan pH terhadap substrat dari reaktor anerobik. HASIL DAN PEMBAHASAN Penambahan Kotoran Sapi dan Usus Bekicot Kotoran sapi ditambahkan ke dalam reaktor karena mengandung bakteri biodegradatif yang dapat memulai dan menyokong produksi biogas (Chanakya et al., 1993). Golongan bakteri
5
selulolitik seperti actinomycetes dan dari campuran spesies bakteri dapat meningkatkan produksi biogas dri kotoran sapi sebanyak 8,4-44% (Tirumale dan Nand, 1994 dalam Yadvika et al, 2004) Dalam studi tentang Helix aspersa (salah satu jenis bekicot) menunjukkan bahwa bakteri selulolitik terdapat pada saluran pencernaan (Lésel et al dalam Flari et al., 1995). Hal tersebut menjadikan dasar penggunaan usus bekicot pada substrat. Substrat eceng gondok banyak mengandung selulosa dan hemiselulosa yang dapat didegradasi oleh bakteri selulolitik. Pada tahap ini digunakan 4 reaktor yaitu : 1. Reaktor TAK 50 g eceng gondok + 150 mL air (sebagai kontrol) 2. Reaktor TAS 50 g eceng gondok + 150 mL air + 1,25 g kotoran sapi ( 2,5 % dari eceng gondok yang digunakan) 3. Reaktor BTA 50 g eceng gondok + 150 mL air + usus bekicot Dari ketiga reaktor yang dijalankan, reaktor TAK sebagai kontrol berhasil membentuk biogas. Hasil produksi biogas masing-masing reaktor dapat dilihat pada Tabel 1. dan Gambar 2. Tabel 1. Produksi Biogas Tiap Reaktor Nama
COD
Produksi
Lama Waktu
Reaktor
(mg/l)
Biogas
Pembentukan Biogas
(mL)
(hr)
TAK
18.916
38
5
TAS
23.950
212
21
TAB
20.144
0
0
Ket : TAK = Tanpa Pengasaman Kontrol
6
TAS = Tanpa Pengasaman dengan Biostarter 1,25 g kotoran sapi TAB =Tanpa Pengasaman dengan biostarter usus Bekicot
Reaktor TAB dengan penambahan usus bekicot tidak menghasilkan biogas sama sekali, dimungkinkan karena ketidakcocokan antara mikroorganisme (bakteri selulolitik) dengan substrat eceng gondok. Selain itu dimungkinkan juga dengan adanya kondisi aerobik yang dapat membunuh bakteri selulolitik. Produksi Biogas Kum ulatif pada Reaktor variasi Penam bahan
volume biogas (ml)
250 200
TAK
150
TAS
100
TAB
50 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
hari ke-
Gambar 2. Produksi Biogas Kumulatif pada Reaktor Variasi Penambahan
Menurut Kayhanian, (1999) dalam Chen, (2007), ammonia dapat dihasilkan dari proses degradasi materi nitrogenous secara biologi, yang sebagian besar berbentuk protein dan urea. Usus bekicot merupakan materi yang mengandung protein (materi nitrogenous) yang dapat terdegradasi dan menghasilkan ammonia yang dapat menjadi inhibitor dalam pembentukan biogas. Mekanisme inhibisi oleh ammonia bisa dengan merubah pH di intrasel, meningkatkan kebutuhan energi perawatan, dan menghambat reaksi spesifik suatu enzim (Whittman et al, 1995 dalam Chen, 2007). Oleh karena itu, reaktor TAB tidak menghasilkan biogas sama sekali. Karena reaktor TAS dengan penambahan kotoran sapi yang berhasil menghasilkan biogas lebih banyak dari reaktor kontrol, maka penambahan kotoran sapi dipilih untuk digunakan sebagai biostarter pada penelitian tahap selanjutnya.
7
Pretreatment terhadap eceng gondok Pretreatment pada substrat eceng gondok dimaksudkan untuk mempercepat proses pembentukan biogas. Preatreatment dilakukan dengan penambahan asam sulfat (H2SO4) 5 % pada substrat dan dipanaskan selama 1 jam. Selama
proses
hirolisis
ini,
beberapa
produk
turunan
seperti
furfural,
5-
hidroksimetilfurfural, asam phenolic, dan beberapa aldehid, asam levulinic, dan asam alivatik lainnya dapat terbentuk dan dapat menghambat hidrolisis enzim dan fermentasi (Saosa et al., 2009). Semakin lamanya pemanasan, maka potensi bertambahnya volume produk turunan tersebut semakin besar. Hal tersebut menjadikan pilihan hidrolisis terhadap substrat eceng gondok ini selama 1 jam. Namun, senyawa turunan inhibitor yang biasanya terbentuk setelah proses hidrolisis ini bisa dikurangi konsentrasinya dengan cara menaikkan pH hingga mencapai 6 atau lebih (Agbogbo dan Wenger, 2007; Nigam, 2001a; Palmqvist dan Hähn-Hägerdal, 2000a dalam Huang et al., 2009). Asam sulfat biasanya lebih sering digunakan pada hidrolisis asam ini sebagai katalis pelarutan hemiselulosa dan lignin pada konsentrasi rendah (0.05-5%), dan pada temperatur 160°220°C (Saosa et al., 2009). Dengan dilakukannya pretreatment terhadap substrat terlebih dahulu, diharapkan hemiselulosa dan selulosa yang banyak terdapat pada substrat akan dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana. Terpecahnya polisakarida menjadi monomer-monomer glukosa tersebut dapat mempercepat proses pembentukan biogas. Diharapkan dengan adanya perlakuan pretreatment ini dapat mempercepat dan memperbanyak produksi biogas dari eceng gondok ini. Pada tahap ini digunakan 2 reaktor yaitu : 1. Reaktor AK 50 g eceng gondok + 150 mL air (dihidrolisis selama 1 jam dan tanpa penambahan biostarter kotoran sapi)
8
2. Reaktor AS 50 g eceng gondok + 150 mL air (dihidrolisis selama 1 jam dan diberikan biostarter 1,25 g kotoran sapi) Hasil produksi biogas masing-masing reaktor dapat dilihat pada Tabel 2. dan Gambar 3. Tabel 2. Produksi Biogas Tiap Reaktor Pengasaman Nama
COD
Produksi
Lama Waktu
Reaktor
(mg/l)
Biogas
Pembentukan
(ml)
Biogas (hr)
AK
22.069
7,5
38
AS
25.222
286
63
Ket : AK = Pengasaman Kontrol AS = Pengasaman dengan Biostarter 1,25 g kotoran sapi Produksi Biogas Kumulatif pada Reaktor Pengasaman 350
Volume Biogas (ml)
300 250 200
Reaktor AK
150
Reaktor AS
100 50 0 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 hari k e -
Gambar 3. Produksi Biogas Kumulatif pada Reaktor pengasaman
Reaktor AK pada Gambar 2 hanya menghasilkan 7,5 mL biogas yang hasilnya sangat berbeda jauh dari hasil reaktor TAK (Kontrol tanpa Pretreatment hidrolisis asam) yang menghasilkan 38 mL. Hal ini bisa dimungkinkan karena kurangnya mikroorganisme yang
9
memfermentasikan monomer-monomer sederhana menjadi Asam Lemak Volatile, asam-asam sederhana lainnya dan juga H2 dan CO2. Adanya pretreatment berupa hidrolisis asam menjadikan mikroorganisme alami yang terdapat pada eceng gondok sebelumnya mati, sehingga memerlukan tambahan mikroorganisme sebagai starter berupa biostarter dalam melakukan proses fermentasi dan juga konversi. Hal ini sama dengan cara pembuatan etanol yang menggunakan enzim (dari mikroorganisme) setelah melalui pretreatment (Abedinifar et al., 2009). Dari hasil penelitian tahap 2 dan 3, produksi biogas pada Tabel 1. dan Tabel 2. menunjukkan hasil yang tidak terpaut jauh. Reaktor TAS menghasilkan 212 mL biogas sedangkan reaktor AS yang mendapat perlakuan tambahan preatreatment berupa hidrolisis asam hanya menghasilkan 286 mL biogas. Hal ini bisa disebabkan kurangnya konsentrasi mikroorganisme dalam reaktor dapat diatasi dengan penambahan biostarter ke dalam reaktor. Pada Gambar 3. terlihat jelas bahwa mulai banyak terbentuknya biogas pada hari ke-21 sedangkan pada Gambar 2. pada hari ke-15 sudah mulai banyak terbentuk biogas. Hal ini menunjukkan bahwa substrat eceng gondok yang melalui pretreatment membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pembentukan biogasnya. Hal ini bisa disebabkan karena adanya hidroksida (OH-) dari penambahan NaOH yang bertujuan untuk menetralkan substrat setelah proses pengasaman. Adanya hidroksida ini menjadikan COD terlarut selain itu juga membentuk senyawa yang sulit dipecah (refractory coumpound) (Penaud et al, 1999). Selain itu, dimungkinkan juga karena adanya inhibitor berupa sulfur dan reaksi Maillard yang menyebabkan rendahnya proses pencernaan secara anaerob (Jin et al, 2009) Hal tersebut mendasari untuk dilakukannya sekali lagi percobaan dimana biostarter yang ditambahkan pada substrat eceng gondok lebih banyak lagi yaitu dengan perbandingan komposisi eceng gondok : biostarter yaitu 1: 1.
10
Penambahan Biostarter terhadap Substrat Penambahan biostarter dapat menambah jumLah mikroorganisme pengurai substrat, sehingga membantu dalam peningkatan produksi biogas. Oleh karena itu, pada percobaan ini akan digunakan perbandingan komposisi eceng gondok : kotoran sapi yaitu 1 : 1. Pada tahap ini digunakan 2 reaktor yaitu : 1. Reaktor KS 50 g kotoran sapi (Kontrol) 2. Reaktor SD 50 g eceng gondok + 150 mL air + 50 g kotoran sapi Reaktor KS merupakan reaktor kontrol untuk reaktor SD. Hal tersebut guna mengetahui banyaknya biogas yang dihasilkan oleh kotoran sapi saja. Sehingga akan terlihat jelas biogas hasil pencampuran eceng gondok dan kotoran sapi. Dari kedua reaktor yang dijalankan, reaktor KS sebagai kontrol hanya berhasil membentuk biogas lebih sedikit dari reakor SD. Hasil produksi biogas masing-masing reaktor dapat dilihat pada Tabel 3. dan Gambar 4. Tabel 3. Produksi Biogas pada Reaktor Biostarter 1: 1 Nama
COD
Produksi
Lama Waktu
Reaktor
(mg/l)
Biogas
Pembentukan
(ml)
Biogas (hr)
KS
135.576
49
6
SD
67.783
791
66
Ket : KS = Kotoran Sapi SD = Tanpa pengasaman dengan Biostarter 50 g kotoran sapi
11
Hasil produksi biogas pada reaktor SD sangat berbeda jauh dengan reaktor kontrol KS. Biogas yang dihasilkan dari kotoran sapi tanpa campuran apapun hanya 49 mL. Sedangkan campuran eceng gondok dan kotoran sapi dapat menghasilkan 791 mL yaitu 16 kali lebih banyak dari reaktor kontrol. Produksi Biogas Kum ulatif pada Seeding 1: 1
Volume Biogas (ml)
900 800 700 600 KS
500 400
SD
300 200 100 0 1
5
9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 hari ke-
Gambar 4. Produksi Biogas Kumulatif pada Reaktor Biostarter 1:1 Biostarter yang ditambahkan pada reaktor SD sebanyak 50 g kotoran sapi mempunyai jumLah mikroorganisme pengurai yang lebih banyak dari penambahan 1,25 g kotoran sapi sebelumnya. Sehingga dapat dibandingkan antara Tabel 3. dan Tabel 1. reaktor SD dapat menghasilkan 791 mL sadangkan reaktor TAS hanya 212 mL. Produksi biogas pada reaktor SD hampir 4 kali lebih banyak dari hasil produksi reaktor TAS. Monitoring Perubahan Parameter-parameter pada Reaktor Perubahan COD pada Reaktor
Perubahan BOD pada Reaktor 16000
140000
14000
120000
12000
100000 COD awal
80000
COD akhir
60000
BOD (mg/l)
COD (mg/l)
160000
10000 BOD awal
8000
BOD akhir 6000
40000
4000
20000
2000 0
0 TAK
TAS
AK
AS
KS
TAK
SD
Gambar 5. Perubahan COD pada Reaktor
TAS
AK
AS
SD
Reaktor
Reaktor
Gambar 6. Perubahan BOD pada Reaktor
12
Perubahan TS pada Reaktor
Perubahan VS pada Reaktor
16.00
14.00 14.00
12.00 10.00
10.00 TS awal
8.00
TS akhir
6.00
VS (gram)
TS (gram)
12.00
VS awal
8.00
VS akhir
6.00 4.00
4.00
2.00
2.00
0.00
0.00 TAK
TAS
AK
AS
KS
TAK
SD
AK
AS
KS
SD
Reaktor
Reaktor
Gambar 7. Perubahan TS pada Reaktor
TAS
Gambar 8.Perubahan VS pada Reaktor
Menurut Gambar 5. dapat diketahui bahwa meskipun besar penurunan konsentrasi COD sangat beragam, namun memiliki kecenderungan turun hingga proses berakhir. Perbedaan besarnya nilai penurunan pada setiap reaktor dipengaruhi oleh kondisi mikroorganisme pengurai pada setiap reaktor dan kondisi lingkungan pada reaktor yang sangat mempengaruhi proses. Banyaknya biostarter menambah jumlah mikroorganisme pengurai bahan organik sebagai COD, sehingga removal COD pada reaktor ini lebih besar diantara reaktor lainnya. Menurut Gambar 6., penurunan konsentrasi BOD terbesar terjadi pada reaktor AS sebesar 75,05 % karena substrat pada reaktor AS ini sudah mengalami hidrolisis lebih dulu menjadi senyawa yang lebih sederhana berupa glukosa yang mudah didegradasi oleh mikroorganisme. Penurunan BOD ini dikarenakan dimakannya atau didegradasinya bahan-bahan organik dari sampel uji oleh mikroorganisme selama proses inkubasi. Pada Gambar 7. dan Gambar 8., terlihat bahwa penurunan kandungan TS tidak sebanding dengan besarnya penurunan kandungan VS pada reaktor. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua TS pada reaktor mempunyai sifat VS yang sama. Reaktor yang penurunan kandungan TS besar tetapi penurunan kandungan VS yang kecil bisa disebabkan oleh kandungan materi refractory volatile solids yang lebih besar dibandingkan biodegradable volatile solids. Materi refractory volatile solids ini bisa terdiri dari lignin dan pasir atau tanah yang terikut pada akar eceng gondok
13
yang digunakan sebagai substrat. Sedangkan materi biodegradable volatile solids ini terdiri dari selulosa, hemiselulosa, hingga monomer-monomer hasil proses pretreatment terhadap eceng gondok. Produksi Biogas Pada penelitian ini yang dimonitoring hanya biogas, tanpa komposisi metan. Hasil monitoring produksi biogas per Kg biomassa dapat dilihat pada Gambar 9. Dari Gambar 9. terlihat jelas bahwa reaktor
SD menghasilkan biogas terbanyak yaitu sebesar 7,91 L/kg biomassa,
selanjutnya reaktor AS sebanyak 5,12 L/kg biomassa, reaktor TAS sebanyak 4,24 L/ kg biomassa, reaktor KS sebanyak 0,98 L/kg biomassa, reaktor TAK sebanyak 0,76 L/kg biomassa, dan produksi yang terkecil yaitu reaktor AK sebanyak 0,15 L/kg biomassa. Sedangkan menurut Chanakya (1993), biogas yang dihasilkan oleh eceng gondok adalah 27,35 L/ kg biomassa.
Produksi Biogas per Kg Biomass
Produksi Biogas per Kg COD
8 7 6 5 Produksi biogas
4 3 2 1 0 TAK
TAS
AK
AS
KS
SD
Volume Biogas per Kg COD (m 3)
Volume Biogas pet kg Biomass (l/kg)
9
0.180 0.160 0.140 0.120 0.100 m3/kg COD
0.080 0.060 0.040 0.020 0.000 TAK
TAS
AK
AS
KS
SD
Reaktor
Reaktor
Gambar 9.Produksi Biogas per Kg Biomassa
Gambar 10.Produksi Biogas per Kg COD
Gambar 11. Produksi Biogas per Kg TS 14
Gambar 10. terlihat bahwa produksi biogas per kg COD pada reaktor SD, AS, dan TAS mempunyai nilai produksi biogas per kg COD yang tidak berbeda jauh yaitu 58,3 L/kg COD; 56,7 L/kg COD; dan 44,3 L/kg COD. Sedangkan produksi biogas pada ketiga reaktor lainnya yaitu pada reaktor TAK, KS, dan AK cukup berbeda jauh yaitu sebesar 10 L/kg COD, 1,8 L/kg COD, dan 1,7 L/kg COD. Sedangkan Gambar 11. menunjukkan bahwa bahan organik pada reaktor SD yang paling banyak menghasilkan biogas yaitu 57 L/kg TS. Diurutan kedua yaitu reaktor AS yaitu dengan produksi sebesar 48 L/kg TS, selanjutnya reaktor TAS sebesar 45 L/kg TS, reaktor TAK sebesar 9 L/ kg TS, reaktor KS sebesar 5 L/kg TS, dan yang terkecil dalam menghasilkan biogas yaitu reaktor AK sebesar 1 L/ kg TS. Hasil dari reaktor-reaktor diatas sangat jauh berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya yaitu 146 dan 181 L/kg TS (Chanakya et al., 1992), 190 L/kg TS (Madamwar et al. dalam Gunnarsson dan Cecilia, 2006), 101 L/kg TS ( Ali, 2004 dalam Malik, 2006). Namun ada beberapa data yang menunjukkan hasil jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasil dari penelitian ini yaitu 4,7 L/kg TS (Singh, Singh, dan Pandey, 1992), 15,4 L/kg TS untuk eceng yang ditumbuhkan pada air yang tidak berpolusi dan 23,65 L/kg TS pada eceng yang ditumbuhkan pada efluen limbah pulp dan paper mill (Singhal dan Rai, 2002). Hal tersebut menunjukkan bahwa eceng gondok pada penelitian ini sangat berpotensi dalam menghasilkan biogas. KESIMPULAN Penambahan 1,25 g kotoran sapi pada substrat eceng gondok sebagai biostarter dapat meningkatkan produksi biogas hingga 5 kali lipat yaitu 45 L biogas/kg Total Solids (TS) dibandingkan kontrol.. Sedangkan biostarter. dengan usus bekicot tidak menghasilkan biogas sama sekali. Penambahan jumlah biostarter menjadi 50 g kotoran sapi hanya meningkatkan 6,3 kali lipat yaitu 57 L biogas/kg TS. Adanya perlakuan hidrolisis asam terhadap substrat eceng gondok dan tanpa biostarter hanya menghasilkan 0,1 kali yaitu 9 L biogas/kg TS. Sedanngkan dengan adanya
15
perlakuan hidrolisis asam dan penambahan biostarter 1,25 g kotoran sapi, menghasilkan biogas 5,3 kali lipat yaitu 48 L biogas/kg TS. Oleh karena itu, perlakuan hidrolisis asam terhadap substrat eceng gondok dinilai kurang menguntungkan. DAFTAR PUSTAKA Abedinifer, S., K. Karimi, M. Khanahmadi, dan M. J. Taherzadeh. 2009. Ethanol Production by Mucor indicus and Rhizopus oryzae from Rice Straw by Separate Hydrolysis and Fermentation. Biomass and Energy Vol. 33 Hal. 828-833 Elsevier Ltd. Chanakya, H.N., S. Borgaonkar, G. Meena dan K.S. Jagadish. 1993. Solid Phase Biogas Production with Garbage or Water Hyacinth. Bioresource Technology Vol. 46 Hal. 227– 231 Elsevier Ltd. Chanakya, H.N., S. Borgaonkar, M. G. C. Rajan, dan M. Wahi. 1992. Two-Phase Anaerobic Digestion of Water Hyacinth or Urban Garbage. Bioresource Technology Vol. 42 Hal. 123–131 Elsevier Ltd. Chen, Y., J. J. Cheng, dan K. S. Creamer. 2007. Inhibition of Anaerobic Digestion Process : a Review. Bioresource Technology Vol. 99 Hal. 4044–4064 Elsevier Ltd. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2009. Pemanfaatan Limbah dan Kotoran Ternak menjadi Energi Biogas. Seri Bioenergi Perdesaan. Departemen Pertanian. Flari, V., dan M. L. Dimitriadou. 1995. Evolution of Digestion of Carbohydrates in the Separate Parts of The Digestive Tract of The Edible Snail Helix lucorum (Gastropoda: Pulmonata: Stylommatophora) During a Complete 24-Hour Cycle and The First Days of Starvation. Journal of Comparative Physiology B: Biochemical, Systemic, and Environmental Physiology Vol. 165 Hal. 580-591 SpringerLink Berlin.
16
Ghosh, S., M.P. Henry dan R.W. Christopher. 1984. Hemicellulose Conversion by Anaerobic Digestion. Institute of Gas Technology dan United Gas Pipe Line Company. USA. Biomassa Vol. 6 Hal. 257-258. Gunnarsson, C. C. dan Cecilia M. P. 2006. Water hyacinths as a resource in agriculture and energy production:A literature review. Waste Management Vol.27 Hal. 117–129 Elsevier Ltd. Huang, C. F., T. H. Lin, G. L. Guo, W. S. Hwang. 2009. Enhanced Ethanol Production by Fermentation of Rice Straw Hydrolysate Without Detoxification Using a Newly Adapted Strain of Pichia stripitis. Bioresource Technology. Vol.100. Hal.3914-3920. Elsevier Ltd Jin, Y., Z. Hu, Z. Wen. 2009. Enhancing Anaerobic Digestibility and Phosphorus Recovery of Dairy Manure Through Microwave-Based Thermochemical Pretreatment. Water Research. Vol. 43 Hal. 3493-3502. Elsevier Ltd. Malik, A.. 2006. Environmental Challenge Vis a Vis Opportunity: The Case of Water Hyacinth. Environment International Vol.33 hal.122–138 Elsevier Ltd. Penaud, V., J. P. Delgenés, R. Moletta. 1999. Thermo-chemical Pretreatment of a Microbial Biomass: Influence of Sodium Hydroxide Addition on Solubilization and Anaerobic Biodegradability. Enzyme and Microbial Technology. Vol.25 Hal.258-263. Elsevier Ltd. Saosa, L. d. C., S. P.S. Chundawat., V. Balan., dan B. E Dale. 2009. ‘Cradle- to- grave’ Assesment of Existing Lignocellulose Pretreatment Technologies. Biotechnology Vol. 20 Hal. 1–9 Elsevier Ltd Singhal, V., dan J. P. N. Rai. 2002. Biogas Production from Water Hyacinth and Chanel Grass used for Phytoremediation of Industrial Effluents. Bioresource Technology Vol. 86 Hal. 221-225 Elsevier Ltd.
17
Yadvika, S., T.R. Sreekrishnan, S. Kohli, V. Rana. 2004. Enhancement of Biogas Production from Solid Substrates Using Different Techniques- a Review. Bioresource Technology Vol. 95 Hal. 1–10 Elsevier Ltd. Zimmels, Y., F. Kirzhner, dan A. Malkovskaja. 2006. Application of Eichhornia crassipes and Pistia stratiotes for treatment of urban sewage in Israel. Journal of Environmental Management Vol.81 Hal. 420–428 Elsevier Ltd.
18