PEMANFAATAN BAHASA DAERAH SEBAGAI PENDUKUNG KARAKTER TOKOH NOVEL JEJAK SANG PENCERAH KARYA DIDIK. L HARIRI Oleh LIES WAHYUNI Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan bahasa daerah yang terdapat dalam novel Jejak Sang Pencerah dan mengumpulkan data berupa fakta mengenai pemanfaatan bahasa daerah sebagai pendukung karakter tokoh dalam novel Jejak Sang Pencerah karya Didik L. Hariri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA. Objek penelitian ini adalah isi dari novel Jejak Sang Pencerah karya Didik L. Hariri. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan analisis isi yaitu dengan cara menganalisis objek penelitian kemudian mendeskripsikannya dan mengelompokannya. Cara pengambilan kalimat yang akan dianalisi yaitu peneliti membaca novel Jejak sang Pencerah karya Didik L. Hariri secara cermat, teliti, dan kritis. Kemudian dari keseluruhan jumlah 104 kalimat penulis mengelompokkan kajian yang mengandung karakter tokoh, yaitu melalui pernyataan langsung, melalui peristiwa, melalui percakapan, melalui monolog batin, melalui tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dan tokoh lain, dan melalui kiasan atau sindiran. Dari penjabaran diatas kemudian menganalisisnya dan mengambil kesimpulan dan hasil analisis tersebut. Dari hasil analisis yang telah dikaji dapat disimpulkan bahwa dari keseluruhan jumlah 104 kalimat yang terdapat dalam novel Jejak Sang Pencerah karya Didik L. Hariri. Melalui pernyataan langsung 11 kalimat, melalui peristiwa 7 kalimat, melalui percakapan 67 kalimat, monolog batin 2 kalimat, tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dan tokoh lain 9 kalimat, serta melalui kiasan atau sindiran 8 kalimat. Dari hasil kajian tersebut dapat diketahui bahwa dari keseluruhan kalimat pada novel Jejak Sang Pencerah Karya Didik L. Hariri tersebut karakter tokoh yang paling menggambarkan melalui percakapan seorang tokoh. Pendahuluan Sastra merupakan hasil ekspresi manusia dengan imajinasi dan pengalaman yang berasal dari kehidupan sehari-hari berupa ide, pikiran, perasaan, pendapat, pengalaman, semangat, dan sebagainya. Sastra juga merupakan salah satu dari unsur kebudayaan yang bersifat imajinatif dan fiktif yang lahir dari pemikiran manusia secara utuh yang mencangkup hal-hal yang indah, memikat, tragis, dan menyedihkan. Sejak zaman dahulu, masyarakat sudah mulai mengenal sastra. Kesusastraan disesuaikan dengan cara berfikir, filsafat hidup, situasi dan kondisi dari kehidupan mereka sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumardjo bahwa
116
sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat dan keyakinan dalam bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan suatu alat bahasa (Sumarjo dan Saini KM, 1994: 3). Ketika dua atau lebih bahasa bersanding dalam pemakaiannya di masyarakat, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, kedua bahasa itu hidup berdampingan secara berkesinambungan dan memiliki kesetaraan. Kedua, salah satu bahasa menjadi lebih dominan, menjadi bahasa mayoritas, dan menjadi lebih berprestise, sementara yang lain berkondisi serba sebaliknya, bahkan terancam menuju kepunahannya Bahasa memiliki jalinan yang sangat erat dengan budaya sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan. Karena begitu eratnya jalinan antara bahasa dan budaya, Dawson mengatakan tanpa bahasa, budaya kita pun akan mati. Hal ini bisa terjadi karena, sebagaimana dikatakan oleh Fishman bahasa adalah penyangga budaya sebagian besar budaya terkandung di dalam bahasa dan diekspresikan melalui bahasa, bukan melalui cara lain. Ketika kita berbicara tentang bahasa, sebagian besar yang kita bicarakan adalah budaya. Menurut Silzer yang dikutip dalam Chaer (2004: 168) bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua fenomena yang terikat, bagai dua anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem yang lain berupa sisitem budaya, maka apa yang tampak pada budaya akan tercermin dalam bahasa, dan sebaliknya. Menyinggung tentang bahasa maka kita teringat akan linguistik, bahwa linguistik adalah adalah ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Melihat kedudukan dan fungs-fungsi bahasa daerah, maka kedudukan bahasa bahasa daerah melengkapi dan mendukung keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Jika bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan sarana pendukung tugas-tugas nasional, alat komunikasi nasional, wahana pemersatu bangsa, sarana pengembangan kebudayaan nasional dan IPTEK, maka keberadaan bahasa daerah selain sebagai sarana komunikasi juga memiliki fungsi strategis dalam pengungkapan dan pengembangan budaya bangsa, serta pencerdasan dan pembangunan karakter bangsa yang berakar pada nilai-nilai budaya dan keunggulan lokal. Di era globalisasi ini berbagai pengaruh dan budaya asing menyerbu bagai air bah tanpa terbedung melalui berbagai sarana komunikasi yang semakin canggih. Nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan keramahtamahan sosial yang pernah dianggap sebagai kekuatan pemersatu masyarakat, makin pudar bersamaan dengan menguatnya nilai-nilai materialisme dan kecenderungan individualisme. Intensitas silaturrahmi antar anggota atau kelompok masyarakat semakin berkurang. Jika tidak ada filter dan daya tangkal yang tangguh maka tidak menutup kemungkinan budaya dan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia kian hari kian pupus. Di sinilah bahasa daerah dapat memainkan peran
strategisnya dalam upaya pencerdasan dan pembangunan budaya dan karakter bangsa, khususnya di daerah. Bahasa daerah dapat menjadi sumber untuk menemukan kembali nilai-nilai moral yang semakin terkikis gaya hidup hedonis di era globalisasi. Di dalam bahasa daerah kita dapat menemukan dua keunggulan, yaitu keunggulan internal dan keunggulan eksternal. Keunggulan internal, merujuk pada kekayaan linguistik, misalnya kosa-kata yang luas untuk mengekspresikan suatu gagasan yang nyata atau abstrak. Keunggulan eksternal, yaitu keunggulan yang mengacu pada aspek-aspek di luar bahasa, seperti kekayaan budaya daerah serta kekuatankekuatan batiniah yang meliputi bahasa daerah itu, dari hal tersebut akan terjadi alih kode dan campur kode. Masuk dalam variasi bahasa berdasarkan segi penuturnya adalah dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dilaek didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional, atau dialek geografi. Misalnya bahasa Jawa dilaek Yogyakarta memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan ciri yang dimiliki bahasa Jawa lainnya. Usaha pembicaraan sastra dan pengembangan sastra merupakan salah satu bentuk pembangunan di bidang kebudayaan, karena karya sastra merupakan manifestasi kehidupan dimasa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Upaya mengembangkan dan melestarikan kebudayaan tersebut sangat diperlukan. Berdasarkan bentuknya karya sastra dibagi atas puisi, prosa, drama dan novel. Berikut ini yang akan penulis bahas adalah mengenai novel. Menurut Esten (2000: 12) novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang) dimana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya. Dalam novel pengungkapan permasalahan kehidupan lebih luas. Novel sebagai karya sastra fiksi dibangun oleh unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik, novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan masalah yang lebih kompleks. Dalam menyampaikan permasalahan tersebut, pengarang membangun cerita dengan menampilkan unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik karena dengan kedua unsur tersebut akan menjadi lebih sempurna karya sastra tersebut. Unsur instinsik dalam novel terdiri dari: tema, plot (alur), penokohan (perwatakan), setting (latar), sudut pandang, gaya bahasa, amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik dalam sebuah novel terdiri atas : pendidikan, agama, budaya, sosial, bahasa. Dengan menulis novel siswa dapat mengekspresikan emosi, suasana hati, rasa pesona, kagum, keresahan, sedih, bahkan gembira, serta suasana hati yang lainnya berdasarkan pengalaman maupun daya imajinatif. Dengan demikian akan timbul kesadaran siswa dalam mengamati, mengagumi sebuah karya sastra. Kurikulum KTSP SMA 2006, kurikulum bahasa dan sastra Indonesia membahas memahami berbagai hikayat, novel Indonesia atau novel terjemahan
yaitu menentukan unsur-unsur instrisik dan unsur-unsur ekstrinsik hikayat. Menganalisis unsur-unsur ekstrinsik novel Indonesia atau terjemahan. Dalam novel Jejak Sang Pencerah, bahasa Jawa yang terkandung dalam cerita ini meliputi orientasi tokoh, wujud lingual tokoh, strategi pengenalan tokoh, hubungan antartokoh, kesinambungan tokoh. Dalam hal ini ada dua jenis tuturan dalam berbahsa Jawa, tuturan tidak langsung dan tuturan langsung. Sedangkan karakter tokoh meliputi Aspek karakter yang akan diteliti melalui pernyataan langsung, melalui peristiwa, percakapan, monolog batin, tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dari tokoh lain, kiasan atau sindiran. Penulis akan mengkaji novel Jejak Sang Pencerah, novel Jejak Sang Pencerah memang menceritakan tentang kisah K.H. Ahmad Dahlan, namun dibalik itu semua novel ini bercerita tentang perjuangan. Di dalamnya berisi tentang semangat anak muda, patriotisme anak muda dalam merepresentasikan pemikiran-pemikirannya. Berikut ini kutipan dalam novel Jejak Sang Pencerah karya Didik L. Hariri, dalam kutipan tersebut menggunakan bahasa Jawa. Le....., nek kowe wis khatam turutan, tengese kowe wis gedhe wancine sunat. Yang artinya Nak, kalau kamu sudah menamatkan ngaji turutan, kamu sudah besar saatnya disunat. Peran tokoh dalam cerita sangatlah penting, dengan adanya tokoh, maka akan jelas tergambarnya watak atau karakter pemainnya. Untuk itu, karakter menentukan sekali hidup atau matinya sesuatu cerita. Menurut Semi cara mengunggkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui pernyataan langsung, melelui peristiwa, melalui percakapan, melalui monolog batin, mealui tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dari tokoh lain, dan melalui kiasan atau sindiran. Perwatakan dalam tokoh sebagai salah satu unsur pembangun fiksi dapat dikaji dan dianalisis keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangun lainnya. Jika fiksi yang bersangkutan merupakan sebuah karya sastra yang berhasil, perwatakan pasti berjalan secara harmonis dan saling melengkapi dengan berbagai unsur yang lain. Begitu juga dengan keberhasilan sebuah novel, yang dihadapkan sejumlah tokoh yang dihadirkan didalamnya. Namun, dalam kaitannya dengan keseluruhan cerita, peranan masingmasing tokoh tersebut tidaklah sama. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya perwatakan tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan tampil terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian cerita dan sebaliknya,ada tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dari itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Setelah melihat isi novel Jejak Sang Pencerah secara keseluruhan maka muncullah rasa ketertarikan untuk menganlisis novel tersebut, lalu tumbuh keinginan untuk menganalisis pemanfaatan bahasa daerah sebagai pendukung karakter tokoh dalam novel Jejak Sang Pencerah secara mendalam. Selain itu novel merupakan salah satu media belajar yang sangat baik dalam menjelaskan suatu kebudayaan, novel merupakan media yang cukup efektif dalam pembelajaran bahasa, dan motifasi siswa dalam proses pembelajaran
Alasan peneliti mengambil judul Pemanfaatan Bahasa Daerah Sebagai Pendukung Karakter Tokoh dalam Novel Jejak Sang Pencerah dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA, peneliti ingin mengetahui keanekaragaman kebudayaan Indonesia miliki dalam hal bahasa. Dalam novel ini menampilkan tentang kebudayaan Indonesia dalam hal bahasa yang sangat beraneka ragam, salah satunya diperkenalkan melalui novel Jejak Sang Pencerah yang memperkenalkan bahasa Jawa yang memperkuat karakter tokoh Ahmad Dahlan. Novel Jejak Sang pencerah merupakan salah satu hasil karya sastra fiksi yang dapat dijadikan alternatif untuk memberikan materi dalam pembelajaran apresiasi sastra, khususnya pemanfaatan bahasa daerah sebagai pendukung karakter tokoh. KAJIAN TEORI 1. Hakikat Novel Dalam memberikan teori mengenai novel Yandianto (2003: 160) selalu mengarahkan dan membandingkan novel dengan roman. Novel merupakan cerita yang menggambarkan tokohnya dapat sebagian dari hidupnya dapat merubah suatu nasib ke nasib yang lainnya. Roman biasanya berkisah dari awal tokoh lahir hingga tokoh dewasa kemudian meninggal. Sumardjo (1994: 29) menjelaskan bahwa novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas, yaitu alur yang kompleks, karakter yang banyak, tema, dan setting yang beragam. Jadi, novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, melibatkan permasalahan yang lebih kompleks. Novel mempunyai ciri khas, lebih banyak isinya, lebih rinci, dan yang jelas ceritanya lebih panjang dari cerpen. Suasana yang digambarkan dalam sebuah novel adalah sesuatu yang relistis dan masuk akal. kehidupan manusia dalam jangka lebih panjang, dimana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antar para pelakunya (Esten, 2000: 72). Novel juga dapat digunakan sebagai tolak ukur bahkan sebagai pengetahuan dalam menghadapi berbagai persoalan sehari-hari, karena pengalaman hidup manusia tidak jauh berbeda meskipun waktu dan tempat dapat membedakannya. Novel dapat terbangun atas beberapa unsur intrinsik. Seperti yang dikatakan Subroto bahwa karya sastra dalam bentuk prosa pada dasarnya dibangun oleh unsur-unsur tema, amanat, plot, perwatakan, dialog, dan pusat pengesahan, inilah yang disebut unsur intrinsik (Suroto, 1989: 88). Untuk memperjelas tentang novel Tarigan memberikan ciri-ciri novel yaitu, alurnya lengkap dan jelas tidak berteletele. Watak atau karakter pelaku tergambar dengan jelas. Ulasan tema mendalam, merangkum banyak masalah dalam kehidupan, tokoh novel menghadapi banyak konflik dan tantangan (1987: 25). Jika melihat dari tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah karya sastra fiksi yang terbangun atas beberapa unsur yang terkait dan didalamnya sastra juga menceritakan kehidupan selain itu dalam novel juga terdapat berbagai macam karakter sama halnya dalam diri manusia.
2. Penokohan Novel merupakan sebuah karya sastra fiksi yang salah satunya dibangun oleh unsur intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri seperti peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Dalam hal ini, penulis fokuskan pada karakter tokoh. Tokoh adalah pelaku yang membangun peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, tokoh, dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku, atau watak-watak tertentu. Dalam sebuah karya sastra yang berupa film unsur penokohan merupakan hal yang sangat penting karena tanpa adanya tokoh sebuah karya tidak akan maju. Karena tokolah yang nantinya akan mengerakan alur dalam cerita tersebut. Yang dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang disamakan (Sujiman, 1988: 16). Semi (1988: 32) menjelaskan tokoh adalah perbuatan atau prilaku yang terjadi dengan sendirinya atau diperankan oleh suatu faktor tertentu dalam cerita. Penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama atau sebutan. Lebih lanjut penokohan dapat diidentifikasi dalam pengambaran fisik, jenis kelamin, umur, karakter, status sosial, dan lain-lain, yang dapat menghidupkan tokoh dalam cerita fiksi dengan begitu dinamis. Berbeda dengan Semi, Esten menjelaskan penokohan adalah bagai mana cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh dalam sebuah cerita rekaan (1987: 20). Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat dalam penerimaan pembaca. Dengan demikian istilah penokohan lebih luas dari pada penertian tokoh, sebab ia sekaligus mencangkup masalah siapa saja tokoh cerita, bagaimana perwatakannya dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas bagi penonton. 3.
Karakter Setelah dari penokohan nantinya akan terbentuklah sebuah karakter dalam tokoh, karakter pada setiap prilaku dalam sebuah cerita menjadi hal penting, karakter berfungsi untuk melukiskan suatu cerita sehingga muncul gambar yang jelas pada pembaca dan dapat juga memberikan suatu prsepsisuasi dengan logika cerita. Memang antara tokoh dan watak tidak dapat di pisahkan karena mereka semua melekat dan utuh. Jika pembaca mendengar nama tokoh maka pembaca langsung membayangkan tentang watak karakter dari tokoh tersebut. Masalah perwatakan dan penokohan merupakan salah satu hal yang paling penting dalam kehadirannya karena tanpa adanya tokoh diceritakan mungkin takan ada suatu karya fiksi. Dari penjabaran di atas bisa dilihat bahwa karakter terbagi menjadi dua yaitu perwatakan /watak dan tokoh cerita.
Watak adalah menujukan sifat dan sikap pada tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca melalui ciri-ciri lahir, sifat dan sikap batinnya. Hal ini menujuk pada kualitas pribadi tokoh. Sujiman mengatakan bahwa watak ialah sifat yang terdapat dalam diri tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakan dengan tokoh lain (1988: 23). Tokoh atau perwatakan sangat penting dalam cerita. Tanpa tokoh dan perwatakannya tidak akan ada cerita. Wellek dan Warren menjelaskan, perwatakan dalam penampilannya satu alenia menguraikan penampilan fisik mereka dan satu alenia lagi untuk menganalisis sifat moral dan psikologis mereka (1995: 288). Walaupu tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup wajar, sewajarnya sebagaimana dalam cerita. Kehidupan tokoh cerita merupakan kehidupan dalam dunia fiksi yang digambarkan dengan penampilan fisik tokoh yang kemudian dilanjutkan dengan sifat moral dari psikologis. Perwatakan sebenarnya salah satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita, karena tanpa penokohan sebuah karya sastra tidak akan mempunyai arti apa-apa. Hal ini mencerminkan adanya hubungan yang sangat erat antara cerita dengan tokoh-tokohnya. Perwatakan sebagai salah satu unsur pemabangun fiksi dapat dikaji dan dianalisis keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangun lainnya. Jika fiksi yang bersangkutan merupakan sebuah karya sastra yang berhasil, penokohan pasti berjalin secara harmonis dan saling melengkapi dengan berbagai unsur yang lain. Perwatakan (karaktristik) dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak-tanduk, ucapan atau sejalan tidaknya antar apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Prilaku para tokoh dapat diukur melalui tindaktanduk, ucapan, kebiasaan, dan sebagainya. Cara bagaimana pengarang menegtahui tentang perwatakan itu ditampilkan pengarang lewat karyanya. Dari tokoh, kita akan mengetahui beberapa karakter yang dimilikinya. Peran tokoh dalam cerita sangatlah penting. Dengan adanya tokoh, maka akan jelas tergambarnya watak atau karakter pemainnya. Untuk itu, karakter menentukan sekali hidup atau matinya suatu cerita. Dalam sebuah cerita, peristiwa tidak akan hidup tanpa adanya tokoh yang memerankan. Tokoh merupakan pelaku yang memperoleh peran dalam sebuah cerita. Menurut Sujiman tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa dalam suatu cerita. Seorang pengarang dituntut untuk menciptakan tokoh yang menarik karena dengan adanya tokoh yang menarik maka pembaca akan menerima hasil karya sastra tersebut dengan baik. Sebagai pengarang kita juga harus dapat menciptakan tokoh yang memiliki sifat-sifat yang dikenal dan tidak asing bagi pembaca bahkan kalau bisa karakter tokoh tersebut sama dengan watak pembaca, karena dari situ pembaca merasa ada relevan dengan apa yang dibaca. Seperti yang dikatakan Sujiman dalam menciptakan watak tokoh-tokohnya, pengarang biasanya mengambil watak orang-orang yang dia kenal dan
pengalaman hidup yang dialaminya sering menjadi inspirasi untuk dituangkan dalam cerita (17). Dalam menentukan sebuah tokoh harus menggunakan beberapa kriteria, yaitu intensitas keterlibatan tokoh didalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita, dan biasanya juga dari hubungan antar tokohnya. Judul dan akhir dari sebuah cerita kadang akan menggungkapkan tokoh utama dalam cerita tesebut. Sebagai tokoh utama juga memiliki penentang yang biasa disebut tokoh lawan atau antagonis. Tokoh protagonis memiliki sifat yang baik sedangkan antagonis memiliki sifat yang jahat atau buruk. Dalam sebuat cerita perkembangan tokoh haruslah wajar dan dapat diterima dengan akal sehat atau setelah diberikan alasan-alasan yang kuat oleh pengarang. Jadi sebagai pengarang kita harus membuat tokoh-tokoh yang meyakinkan yaitu dengan cara pengerang harus melengkapi diri dari pengetahuan yang luas tentang sifat dan karakter manusia serta kebiasaan bertindak dan berujar dalam masyarakat. Sumarjo menjelaskan cara-cara mengenai karakter atau watak tokoh dalam sebuah cerita yaitu apa yang diperbuatnya; ucapan-ucapannya; dan penerangan langsung (65-66). 4. Alih Kode dan Campur Kode Appel dalam Chaer (2004: 107)mendefinisikan alih kode itu segala gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Secara sosial peruahan pemakaian bahasa itu memang harus dilakukan, sebab sangat tidak pantas dan tidak etis secara sosial, untuk terus menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang ketiga. Berbeda dengan Appel, Hymes menyatakan bahwa alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa. Dalam keadaan kedwibahasaan bilingualisme, akan sering terdapat orang mengganti bahasa atau ragam bahasa; hal ini tergantung pada keadaan atau keperluan bahasa, kejadian seperti itu disebut alih kode. Konsep alih kode ini mencangkup juga kejadian dimana kita beralih dari satu ragam fungsiolek (umpanya ragam santai) ke ragam lain (umpamanya ragam formal), atau dari suatu dialek ke dialek yang lain, dan sebagainya (Nababan, 1991: 31). Penyebab terjadinya alih kode itu, maka harus dikembalikan kepada pokok persoalan sosiolinguistik seperti yang dikemukaan Fishman yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa. Dalam berbagai kepustakaan lingustik secara umum penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang keitga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik atau pembicaraan (2004: 108). Faktor situisonal yang menyebabkan terjadinya alih kode antara lain. (1) siapa yang berbicara, (2) dengan bahasa apa, (3) kepada siapa, (4) kapan; dan (5) dengan tujuan apa (Aslinda dan Syafyahya, 2007: 86). Sedangkan menurut Pateda, Appel menambahkan bagaimana bahasa yang dihasilkan. Suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa speech act atau
discourse tanpa ada suatu dalam situasi berbahasa itu yang menurut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan kebiasaan turuti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode (Nababan, 1991: 32). Thelander menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Bila didalam satu peristiwa tutur terjadi peralihan dari suatu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase sempurna hybrid clauses, hybrid phrases, dan masingmasing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode. Dalam hal ini menurut Thelander selanjutnya, memang ada kemungkinan terjadinya perkembangan dari campur kode ke alih kode. Perkembangan ini, misalnya, dapat dilihat kalau ada usaha untuk mengurangi kehibridan klausa-klusa atau frase-frase yang digunakan, serta memberi fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan keotonomian bahasanya masing-masing. Sedangkan Fasold menawarkan kriteria gramatika untuk membedakan campur kode dari alih kode. Kalau seseorang menggunakan suatu kata atau frase dari suatu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika suatu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain, maka pristiwa yang terjadi adalah alih kode. Dalam peristiwa tutur itu, bila mau dikatakan telah terjadi alih kode berdasarkan rumusan yang telah dibicarakan adalah tidak mudah, sebab peralihan bahasa yang terjadi tidak ada sebabnya, kecuali kemampuan para partisipan terhadap ragam formal bahasa Indonesia yang memang masih rendah. Kalau mau dikatakan suatu campur kode juga agak sukar sebab tidak jelas mana bahasa inti dan mana yang merupakan serpihan. 5. Bahasa Jawa Bahasa Jawa telah banyak mengalami perubahan, terutama karena bertambah kuatnya pengaruh bahasa Indonesia waktu itu yang sekarang masih terasa terus meningkat. Pengaruh ini menghambat perkembangan lanjut bahasa Jawa baku. Dalam bahasa Jawa, ada tiga gaya bahasa tutur, yaitu ngoko (tidak formal), madya (semi-formal), dan krami (formal). Poedjasoedarma berpendapat bahwa tindak tutur ngoko mencerminkan rasa tidak berjarak antara O1 terhadap O2 dan tindak tutur ini dipakai jika seorang ingin menyatakan keakraban terhadap lawan bicaranya (O2) tingkat tutur madya diartikan sebagai tindak tutur menegah antara krama dan ngoko, tetapi tetap menunjukan perasaan sopan meskipun kadar kesopanannya hanya sedang-sedang saja, tingkat tutur krama diartikan sebagai tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan santun dan tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan O1 terhadap O2. Cook mengatakan srtruktur bahasa Jawa telah diamati dalam berbagai tataran tata bahasa, dalam tataran kata, frase, kalimat, dan wacana. Hal ini belum diamati dengan seksama ialah struktur bahasa Jawa dalam tataran klausa.
Sumadi berpendapat bahwa dalam kohesi, konjungsi, digunakan kata atau frasa yang berfungsi sebagai penghubung antar kalimat untuk menendai hubungan makna tertentu. Sehubungan dengan itu, akan dibahas bentuk partisipan dalam wacana bahasa Jawa yang meliputi orientasi tokoh dan kesinambungan tokoh. 1) Orientasi Tokoh Salah satu unsur penting mengenai partisipan dalam wacana naratif adalah orientasi tokoh. Orientasi tokoh adalah salah satu macam struktur dalam wacana naratif, yakni ukuran peran semantik yang dihubungkan dengan tokoh tertentu. Oleh karena itu, dalam sebuah wacana naratif diperlukan adanya orientasi tokoh yang meliputi paling tidak tiga jenis pemaparan, yaitu bagaimana wujud lingual tokoh, bagaimana strategi pengenalan tokoh, dan bagaimana pula hubungan antartokohnya. 2) Wujud Lingual Tokoh Pembahasan wujud lingual tokoh ini terkait dengan bagaimana wujud tokoh itu diperkenalkan pertama kali dalam wacana. Tokoh dalam wacana naratif bahasa Jawa dapat diwujudkan dengan nama, nomina bernyawa, pronomina, dan sapaan. 3) Strategi Pengenalan Tokoh Strategi pengenalan tokoh adalah bagaimana cara penulis pertama kali memperkenalkan tokoh. Strategi pengenalan tokoh dapat ditempuh melalui beberapa cara. Bergantung pada sifat pertaliannya dengan unsur yang lain. 4) Hubungan Antartokoh Bahasa yang muncul paling tidak dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu hubungan orang pertama dan kedua, situasi, dan tujuan. Jika bertolak dari pandangan itu dan disesuaikan dengan fenomena yang menonjol dalam cerita pendek, pengamatan yang dilakukan bertumpu pada hubungan O1 (orang pertama) dan O2 (orang kedua) dengan mengelompokkannya dalam tiga jenis, yaitu hubungan tokoh sekerabat, hubungan tokoh akrab, dan hubungan tokoh yang belum dikenal. 5) Kesinambungan Tokoh Tokoh memiliki kedudukan sentral dalam wacana naratif. Karena kedudukannya itu, tokoh selalu diacu dan dipertahankan di dalam kaliamat pembangun wacana. Pemertahanan tokoh itu dimaksudkan untuk tetap mewujudkan adanya kesinambungan tokoh. Pembahasan kesinambungan tokoh tersebut memanfaatkan teori kesinambungan. Jenis tuturan dalam berbahsa Jawa, istilah tuturan dalam kalimat naratif mengacu pada pendapat Kridalaksana, yaitu tuturan yang menonjolkan serangkaian peristiwa dalam satu rentetan waktu tertentu, bersama dengan partisipan dan keadaan tertentu. Menurut jenisnya, tuturan dalam wacana naratif dapat dibagi menjadi dua, yaitu tuturan tidak langsung dan tuturan langsung. 1) Tuturan Tidak Langsung Tuturan tidak langsung ini terdiri atas empat macam, yaitu tuturan aksi, tuturan proses, tuturan keadaan, serta gabungan tuturan aksi, proses, dan keadaan.
2) Tuturan Langsung Tuturan langsung adalah penyebutan (ulang) sebuah tuturan seperti apa adanya. Penyebutan itu tanpa menyertakan modifikasi gramatikal. Tuturan langsung dapat diperinci menjadi yang berpenada. Hal itu bergantung pada ada tidaknya klausa pengantar (reporting klausa). METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan bahasa daerah sebagai pendukung karakter tokoh yang terdapat dalam novel Jejak Sang Pencerah karya Didik L. Hariri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA. Objek penelitian ini adalah novel Jejak Sang Pencerah karya Didik L. Hariri dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA.
Analisis Karakter Tokoh dalam novel Jejak Sang Pencerah No
Halaman
Kalimat
1
Karakter Tokoh 2 3 4 5
6
Keterangan : Aspek karakter tokoh meliputi: 1 : melalui pernyataan langsung 2 : melalui peristiwa 3 : melalui percakapan 4 : melalui monolog batin 5 : melalui tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dan tokoh lain 6 : melalui kiasan atau sindiran HASIL ANALISIS Bahasa daerah merujuk pada kekayaan linguistik, misalnya kosa-kata yang luas untuk mengekspresikan suatu gagasan yang nyata atau abstrak. Beberapa kutipan bahasa daerah yang terdapat dalam novel Jejak Sang Pencerah karya Didik L. Hariri akan peneliti sajikan dibawah ini. Data lengkap mengenai unsurunsur yang mendukung atau menggambarkan bahasa daerah dapat diliat dalam penjabaran dibawah ini. “Le…., nek kowe wis khatam tuturan, tegese kowe wis gedhe wancine sunat” Artinya : “Nak…, kalau kamu sudah menamatkan ngaji turutan, artinya kamu sudah besar dan saatnya disunat.” (JSP: 2010: 24)
Kutipan di atas menunjukan bahwa penulis menjelaskan adanya unsur kesengajaan penggunaan bahasa daerah, melalui petuah bahasa Jawa. Hal ini juga terlihat pada pernyataan berikut, “wis to nyai…, sudahlah istriku, biarkan Darwis berangkat dengan segala kelegaannya, anak itu sudah besar…, aku sudah titipkan dia pada gusti Allah, tinggal ridho kita lah yang mbaturi anak itu, “ ucap Kiai Ketib Amin. Artinya : “sudahlah istriku…., sudahlah istriku, biarkan Darwis berangkat dengan segala kelegaannya, anak itu sudah besar…, aku sudah titipkan dia pada gusti Allah, tinggal ridho kita lah yang menyertai anak itu, “ ucap Kiai Ketib Amin. (JSP:2010:37) Kutipan di atas menunjukan bahwa penulis menjelaskan adanya unsur kesengajaan penggunaan bahasa daerah, unsur penyebab terjadinya alih kode itu disebutkan antara lain adalah pembicara atau penutur, bagaimana pembicara menuturkan kata-kata berbahasa daerah kepada lawan bicaranya bermaksud agar terdengar lebih dekat. Kutipan lain terlihat pada kutipan berikut ini, “segera mungkin permpuan itu menyeka air matanya. Ia menuju ke dapur yang sudah dipenuhi orang rewang masak.” Artinya : segera mungkin permpuan itu menyeka air matanya. Ia menuju ke dapur yang sudah dipenuhi orang membantu masak. (JSP:2010:37) Kutipan di atas menunjukan bahwa penulis menjelaskan adanya unsur kesengajaan penggunaan bahasa daerah, dalam menjelaskan tempat dengan berbahasa Jawa. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan yakni peran bahasa daerah sebagai pendukung karakter novel, memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan gambaran mengenai unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Jejak Sang Pencerah. Melalui bahasa kita dapat mengetahui setting dan latar yang ditampilkan pada cerita tersebut, sehingga pembaca dapat mengetahui dimana, kapan urutan waktu itu terjadi.
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Syamsul, dkk. 1990. Tipe-Tipe Klausa Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aslinda, dan Leni Syafyaha. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT Refika Aditama. Burhan, Ahmad Najib. 2010. Muhammadiyah Jawa. Jakarta: Al- Wasat Publishing House. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolingistik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Depdiknas, Kurikulum KTSP SMA 2006; Kurikulum Berbahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdiknas. Esten, Mursal. 2000. Kesusastraan: Pengantar, Teori, dan Sejarah. Bandung: Angkasa. Jabrohim. 1994. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Junus, Umar. 1985. Dari Peristiwa Ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia. Nababan, P. W. J. 1991. Sosiolinguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Nurgiantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press. Padeta, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa. Pasek, I Made, dkk. 2002. Warna Lokal Bali Karya Anak Agung Panji Kisana. Jakarta: Pusat Bahasa. Subarianto, Dirgo, dkk. 2004. Konjungsi Antar Kalimat Dalam Bahasa Jawa. Departemen Pendidikan Nasional. Semi, M. Atar. 1988. Anatomi sastra. Padang: Angkasa Raya. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. Sumardjo, Jakob dan Saini K. M. 1994. Apresiasi Kesusatraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sujiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Suroto. 1989. Apresiasi sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga. Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa Raya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Puataka Utama. Yandianto. 2003. Apresiasi Karya sastra dan Punjangga Indonesia. Bandung: CV M25. http://lingkaran-koma.blogspot.com/2010/11/jejak-kisah-sang-pendirimuhammadiyah.html
LAMPIRAN 1 RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
NAMA SEKOLAH
: SMA N 7 TANGERANG
MATA PELAJARAN
: BAHASA INDONESIA
KELAS/SEMESTER
: XI/ IPA - IPS
ASPEK/KETERAMPILAN : MEMBACA ALOKASI WAKTU
: 4X45
1. STANDAR KOMPETENSI
Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/ novel terjemahan 2. KOMPETENSI DASAR
Menemukan unsur-unsur intrinsik dan Ekstrinsik dalam novel Jejak Sang Pencerah. 3. MATERI PEMBELAJARAN
Teks Novel Jejak Sang Pencerah Pengertian novel Unsur-unsur intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar dan amanat) yang terdapat dalam novel Jejak Sang Pencerh 4. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI
No
Indikator Pencapaian Nilai Budaya Kewirausahaan / Kompetensi dan Karakter Ekonomi Kreatif Bangsa Mengidentifikasi novel Bersahabat/ Kepemimpinan Jejak Sang Pencerah Komunikatif karya Didik L. Hariri Menemukan unsur- Tanggung jawab unsur intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, amanat) yang terdapat dalam novel Jejak Sang Pencerah Menceritakan kembali isi novel Jejak Sang Pencerah dengan bahasa sendiri
1
2
3
5. TUJUAN PEMBELAJARAN
Siswa dapat:
Mengidentifikasi novel Jejak Sang Pencerah karya Didik L. hariri Menemukan unsur-unsur intrinsik ysng terdapat dalam novel Jejak sang Pencerah Menceritakan kembali isi novel Jejak Sang Pencerah dengan bahasa sendiri
6. KARAKTER SISWA YANG DIHARAPKAN
Disiplin Menghargai Tekun Peduli Dapat dipercaya
7. METODE PEMBELAJARAN
Penugasan Diskusi Tanya jawab Unjuk kerja
8. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN
NO
Kegiatan Belajar
Nilai Budaya Dan Karakter Bangsa
1.
kegiatan awal
Bersahabat komunikatif
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini
2.
kegiatan inti Eksplorasi Dalam kegiatan eksplorasi
Membaca novel Jejak Sang Pencerah karya Didik L. Hariri
Elaborasi Dalam kegiatan Elaborasi
Mengidentifikasi novel Jejak Sang Pencerah
Menemukan unsur-unsur intrinsik (alur, tema, penokohan,sudut pandang, latar, dan amanat) dalam novel Jejak Sang Pencerah Menceritakan kembali isi novel Jejak Sang Pencerah dengan bahasa sendiri
Tanggung jawab
/
konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi Menyimpulkan tentang hal – hal yang belum diketahui Menjelaskan tentang hal – hal yang belum diketahui 3.
kegiatan akhir Refleksi
Bersahabat komunikatif
Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini
9. SUMBER BELAJAR / ALAT BAHAN
Novel Jejak Sang Pencerah Buku bahasa Indonesia Buku refrensi lain
PENILAIAN Jenis tagihan Tugas individu Tugas Kelompok Ulangan Bentuk instrumen
Uraian bebas Pilihan ganda Jawaban singkat
10. INSTRUMEN / SOAL
1. Siswa diminta menemukan unsur intrinsik pada sebuah novel Jejak Sang Pencerah 2. siswa diminta menyampaikan isi cerita dengan menggunakan bahasa sendiri
/
11. PEDOMAN PENILAIAN
Jika siswa mampu menuliskan dengan bahasa yang baik dan benar dapat diberikan skor 8 Jika siswa mampu menuliskan tapi lapal dan inotasinya kurang tepat diberi skor 6 Jika siswa mampu menuliskan tapi inotasinya tida tepat diberi skor 4 Jika siswa tidak mampu menuliskan diberi skor 0
12. RUBRIK PENILAIAN
No
Uraian
Skor
1
isi benar, tata bahasa benar
8
2
isi benar, tata bahasa kurang tepat
6
3
isi dan tata bahasa kurang benar
4
4
tidak menjawab
0
Jakarta, 24 Agustus 2013 Kepala Sekolah
H. M. Hidayat Arifin, M.Pd
Calon Guru
Lies Wahyuni