PEMAKNAAN YOUTH ISLAMIC STUDY CLUB (“YISC”) AL-AZHAR TERHADAP SIMBOL ISLAM YANG DIGUNAKAN SEBAGAI CITRA PARTAI POLITIK DI INDONESIA Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1) Ilmu Komunikasi
Disusun Oleh: Nama NIM Jurusan
: Rizki Atina : 44205110104 : Ilmu Hubungan Masyarakat
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2008
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI Judul
:
PEMAKNAAN YOUTH ISLAMIC STUDY CLUB (“YISC”) AL-AZHAR TERHADAP SIMBOL ISLAM YANG DIGUNAKAN SEBAGAI CITRA PARTAI POLITIK DI INDONESIA
Nama
:
Rizki Atina
NIM
:
44205110104
Fakultas
:
Ilmu Komunikasi
Jurusan
:
Ilmu Hubungan Masyarakat
Mengetahui, Pembimbing I
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
TANDA LULUS SIDANG SKRIPSI Nama
:
Rizki Atina
NIM
:
44205110104
Fakultas
:
Ilmu Komunikasi
Judul Skripsi
:
PEMAKNAAN YOUTH ISLAMIC STUDY CLUB (“YISC”) AL-AZHAR TERHADAP SIMBOL ISLAM YANG DIGUNAKAN SEBAGAI CITRA PARTAI POLITIK DI INDONESIA
Jakarta, 14 September 2008 Ketua Sidang
Nama: Penguji Ahli
Nama: Pembimbing I
Nama:
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
PENGESAHAN PERBAIKAN SKRIPSI Nama
:
Rizki Atina
NIM
:
44205110104
Fakultas
:
Ilmu Komunikasi
Judul Skripsi
:
PEMAKNAAN YOUTH ISLAMIC STUDY CLUB (“YISC”) AL-AZHAR TERHADAP SIMBOL ISLAM YANG DIGUNAKAN SEBAGAI CITRA PARTAI POLITIK DI INDONESIA
Jakarta, 8 November 2008 Disetujui dan Diterima Oleh:
Mengetahui
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA Rizki Atina: PEMAKNAAN YOUTH ISLAMIC STUDY CLUB (“YISC”) AL-AZHAR TERHADAP SIMBOL ISLAM YANG DIGUNAKAN SEBAGAI CITRA PARTAI POLITIK DI INDONESIA Periode (Juli – September 2008) 114 Halaman + 60 Lampiran Bibliografi: 53 buku – 41 kepustakaan (artikel, makalah, laporan formal) (Thn 1982 - 2008) ABSTRAKSI Sistem Pemilu 2009 menggunakan sistem multi partai. Hal ini selain mengakibatkan tingginya persaingan antar partai politik juga mempersulit strategi Humas partai dalam menanamkan identifikasi partai kepada masyarakat. Salah satu strategi klasik Humas Partai yang masih dianggap relevan adalah strategi demografi – agama Islam. Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia dianggap masih memiliki peran penting dalam menentukan keberpihakan suara masyarakat. Fokus penelitian ini kemudian mempersempit lingkupnya ke dalam (i) mengetahui pengetahuan YISC Al-Azhar mengenai simbol-simbol Islam dan maknanya; (ii) mengetahui kesadaran YISC Al-Azhar terhadap penggunaan simbol Islam oleh partai politik dan pesan yang dapat mereka tangkap atas fenomena tersebut; (iii) mengetahui penerimaan YISC Al-Azhar terhadap pemakaian simbol agama tersebut dalam politik umunya, serta partai khususnya. Masyarakat YISC Al-Azhar, adalah sebuah wadah komunitas umat Islam muda untuk saling berbagi pengetahuan Islam. Pergerakan YISC Al-Azhar dan komunitasnya merupakan suatu daya tarik sendiri dan pemikiran mereka tentang sistem politik dan Islam adalah suatu hal yang menarik. YISC Al-Azhar adalah tempat dimana pemuda Islam belajar mengenai agamanya sendiri sehingga peneliti menyimpulkan tidak ada tempat yang lebih mengena ketika
membicarakan Islam dan politik kepada pemuda Islam di komunitas Islaminya sendiri. Penelitian ini bahkan semakin menarik bahwa dari pemaknaan itu sendiri kemudian terlihat pemetaan atas pola pikir masyarakat YISC Al-Azhar mengenai subyek yang diteliti.
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Berkat ridho-Nya yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul: Pemaknaan Youth Study Club („YISC“) Al-Azhar terhadap Simbol Islam yang digunakan sebagai citra partai politik di Indonesia. Penulisan skripsi ini adalah salah satu bentuk dari karya ilmiah yang pada dasarnya merupakan syarat mutlak untuk meraih gelar Sarjana Strata Satu khususnya Jurusan Public Relations Universitas Mercu Buana. Oleh karena itu, dalam penulisannya memerlukan kesungguhan, kecermatan dan wawasan yang cukup sehingga dapat mengaplikasikan kemampuan dalam mengembangkan teoriteori yang telah diperoleh selama perkuliahan dan sekaligus dapat menerapkannya dalam praktek. Penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak. Oleh karena itu penulis setelah sebelumnya mengucap puji syukur Alhamdulillah atas segala berkah dan kekuatan yang diberikan oleh Allah SWT penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1.
Bapak Farid Hamid Umarella S.Sos.,MSi, Sekretaris Ketua Jurusan Public Relations, dan juga selaku Pembimbing I. Terima kasih banyak karena telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulisa dalam penyusunan skripsi hingga selesai.
2.
Dra. Diah Wardhani, Msi selaku Dekan Universitas Mercu Buana
3.
Ibu Marhaeni selaku ketua Bidang studi Public Relatios Universitas Mercu Buana. Terima kasih banyak karena telah meluangkan waktunya untuk menjadi ketua sidang.
4.
Bapak Drs. Akhmad Mulyana M.Si., terima kasih, pak, telah bersedia menjadi penguji sidang.
5.
Komunitas YISC Al-Azhar, terima kasih bang Muchtar atas waktunya (maaf merepotkan baru saja selesai shalat Jumat sudah ditodong), Rahman, terima kasih banyak. Teman-teman informan lain yang mohon maaf namanya tidak disebut satu persatu.
6.
Semua keluargaku, orang tuaku yang tercinta, Ibu dan Bapak, Pak Koko, Bumi, Galuh serta kucing-kucingku yang selalu setia menemani sampai jauh larut pagi pada setiap pengetikan ide skripsi.
7.
Teman-teman Fikom PR UMB angkatan IX, Emma dan kameranya, Romi dan vitamin gratisnya, Stella dengan semangat yoga-nya, Mba Endah dan Reni yang bersedia hadir di hari sidang skripsi, Ajo dengan lulurnya, Cici dan jilbab barunya, Vossy yang nge-punk, Vidy dan anak-anak barunya, ni hao laoshi!!!, Mba Wina yang baru saja dapat titipan baru dari Allah, Mba Lina yang funkeh, tembemnya Endah, Pak Edy, assalamualaikum, pak dan sumbangan logistik Mba Wid (tahu goreng dan sambalnya).
8.
Semua HBT Familly terutama Iyus, Dince, Enika dan Ochel yang sangat mendorong atas selesainya penelitian ini.
9.
Teman-teman Fikom Manajemen 2005, terima kasih atas support yang terus diberikan.
10.
Team Worldbank, terima kasih atas kesempatan yang dipercayakan. Penulis berharap karya tulis ini dapat memberikan kontribusi bagi
perkembangan ilmu penelitian. Ternyata setelah mengalaminya sendiri peneliti dapat merasakan bahwa makna dari penelitian bukan lah hanya sebagai persyaratan belaka. Namun, lebih dari itu penelitian memungkinkan peneliti untuk bekerja bersama masyarakat, melihat dari dekat, dari lubang cacing, tidak sekedar dari mata elang yang hanya bisa melihat segala sesuatunya dari umum. Proses bagi peneliti merupakan hal yang menyenangkan dan memberikan fungsi kepuasaan yang jauh lebih bermakna ketimbang kelulusan itu sendiri. Terima kasih banyak atas kesempatan yang diberikan.
DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN........................................................................................................ 1 1.1
Latar Belakang Masalah ................................................................................................ 1
1.2
Perumusan Masalah ....................................................................................................... 7
1.3
Tujuan Penelitian ........................................................................................................... 7 1.3.1 Kegunaan Teoritis .............................................................................................. 8 1.3.2 Kegunaan Praktis: .............................................................................................. 8
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 9 2.1
Komunikasi Politik ........................................................................................................ 9 2.1.1 Bentuk Komunikasi Politik .............................................................................. 12 2.1.1.1 Propaganda ........................................................................................... 12 2.1.1.2 Iklan ..................................................................................................... 13 2.1.1.3 Humas .................................................................................................. 14 2.1.2 Penyampaian Informasi sebagai elemen Komunikasi Humas (Bentukan Komunikasi Politik) ......................................................................................... 16
2.2
Marketing PR (“MPR”) Politik .................................................................................... 22 2.2.1 Segmentasi ....................................................................................................... 23 2.2.2 Targeting .......................................................................................................... 25 2.2.3 Positioning ....................................................................................................... 27 2.2.4 Identifikasi ........................................................................................................ 29 2.2.5 Bentuk Kampanye Humas dalam Politik ......................................................... 32
2.3
Interaksi Simbolik ........................................................................................................ 34 2.3.1 Bentuk Simbol .................................................................................................. 39 2.3.1.1 Simbol Linguistik ................................................................................ 39 2.3.1.2 Simbol Optik ........................................................................................ 39 2.3.1.3 Simbol Akustik .................................................................................... 40 2.3.1.4 Simbol Ruang dan Waktu .................................................................... 40
2.4
Arti-Penting Agama ..................................................................................................... 41
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN .............................................................................. 43 3.1
Tipe Penelitian ............................................................................................................. 43
3.2
Metode Penelitian ........................................................................................................ 44
3.3
Definisi Konsep ........................................................................................................... 46
3.4
Fokus Penelitian ........................................................................................................... 47
3.5
Teknik Analisis Data.................................................................................................... 47 3.5.1 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data .............................................................. 49
3.6
Nara Sumber (Subyek Penelitian) ................................................................................ 49 3.6.1 Informan Kunci (Key Informan)....................................................................... 49 3.6.2 Informan ........................................................................................................... 50 3.6.3 Data Primer ...................................................................................................... 51 3.6.3.1 Observasi Non-Partisipatif ................................................................... 51 3.6.3.2 In-Depth Interview ............................................................................... 51 3.6.4 Data Sekunder .................................................................................................. 52
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................................... 53 4.1
Gambaran Umum Objek Penelitian ............................................................................. 53 4.1.1 Subyek Penelitian (YISC Al-Azhar) ................................................................ 53 4.1.1.1 Sejarah Umum YISC Al-Azhar ........................................................... 53 4.1.1.2 Kegiatan untuk Anggota ...................................................................... 54 4.1.1.3 Narasumber dan Referensi ................................................................... 55 4.1.1.4 Struktur Pengurus YISC Al-Azhar ...................................................... 56
4.2
Pembahasan.................................................................................................................. 56 4.2.1 Islam dan Politik............................................................................................... 57 4.2.1.1 Pendahuluan: Potensi Islam dalam Politik Indonesia .......................... 57 4.2.1.2 Islam, Politik, Demokrasi, Pemilu dan Indonesia ................................ 61 4.2.2 Simbol Islam yang diketahui Masyarakat ........................................................ 72 4.2.2.1 Bulan Sabit dan Bintang ...................................................................... 75 4.2.2.2 Ka’bah .................................................................................................. 77 4.2.2.3 Ayat Suci Al-Quran, Lafadz dan Kebudayaan Arab ........................... 78 4.2.2.4 Mesjid .................................................................................................. 79 4.2.2.5 Simbol Warna dalam Islam .................................................................. 80 4.2.2.6 Lain-lain ............................................................................................... 81 4.2.3 Contoh Refleksi Simbolik Islam dalam Politik ................................................ 86 4.2.3.1 Simbol Islam dalam Penamaan Partai.................................................. 87 4.2.3.2 Peran serta Kyai sebagai simbol .......................................................... 89 4.2.4 Kesadaran Masyarakat terhadap pemakaian simbol Islam oleh Partai Politik. 91 4.2.5 Pemaknaan terhadap Penggunaan Simbol Islam oleh Partai Politik ................ 96 4.2.5.1 Understanding and Acceptance ........................................................... 96
4.2.5.2 Pengaruh simbol Islam dalam pencalonan kandidat Presiden oleh partai politik ................................................................................................. 105 4.2.5.3 Pesan/Kritik/Saran Masyarakat terhadap Partai Politik ..................... 109 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 112 5.1
Kesimpulan .................................................................................................... 112
5.2
Saran .............................................................................................................. 114
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 115
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 : Unsur-unsur Dinamis Partai Politik
11
Gambar 2.2 : Propaganda
13
Gambar 2.3 : Iklan
14
Gambar 2.4 : Hubungan Masyarakat
16
Gambar 2.5 : Transfer Humas
18
Gambar 2.6 : Konstruksi Citra
20
Gambar 2.7 : Segmentasi dan Positioning Politik
23
Gambar 2.8 : Metode Segmentasi Pemilih
24
Gambar 2.9 : Kampanye Pemilu vs Kampanye Politik
33
Gambar 4.1 : Logo YISC Al-Azhar, Jakarta
53
Gambar 4.2 : Kompleks Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta
53
Gambar 4.3 : Hasil Polling About.com tentang simbol Islam yang diakui masyarakat
75
Gambar 4.4 : Simbol Bulan Sabit dan Bintang
75
Gambar 4.5 : Ka’bah
78
Gambar 4.6 : Simbolik kaligrafi Arab bernafaskan Islam dan Al-Quran
79
Gambar 4.7 : Masjid
79
Gambar 4.8 : Empat warna Islam
80
Gambar 4.9 : Janggut dan Jilbab wanita
81
Gambar 4.10: Pemetaan Pengetahuan Masyarakat terhadap simbol Islam 84 Gambar 4.11: Simbol verbal pada penamaan Partai (1999)
88
Gambar 4.12: Simbol verbal pada penamaan Partai (2009)
88
Gambar 4.13: Logo PKS dan Makna Simbolis Islam yang terkandung
93
Gambar 4.14: Pesan yang ditangkap masyarakat dari penggunaan simbol Islam oleh Partai Politik 95 Gambar 4.15: Understanding & Acceptance Masyarakat terhadap penggunaan Simbol Islam untuk kepentingan partai politik Gambar 4.16: Pesan/Kritik/Saran terhadap Partai Politik
97 110
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Pencitraaan dan identifikasi pada komunikasi politik adalah obyek kunci
dari kampanye Hubungan Masyarakat (“Humas”) partai politik. Tujuan utama aktivitas tersebut adalah menanamkan dan memperkokoh citra dan identifikasi partai. Secara alami, masyarakat akan memilih partai dengan ideologi yang selaras dengan keinginan dan/atau aspirasi mereka. Pertanyaan sulit yang harus dijawab partai politik ialah bagaimana cara mengkonsolidasikan citra partai sehingga selaras dengan keinginan masyarakat dan mencapai identifikasi yang baik?. Tantangan inilah yang harus siap dihadapi oleh 44 partai peserta Pemilu 20091. Selain semakin ketatnya persaingan, banyaknya partai politik peserta Pemilu juga akan berdampak pada kesediaan calon pemilih untuk memilih. Semakin banyak partai, semakin banyak informasi yang disebar, semakin tinggi tingkat potensi kerancuan. Masyarakat dapat merasa overload atau bahkan underload terhadap informasi mengenai partai peserta pemilu. Dampak radikalnya masyarakat dapat merasa tidak well informed yang pada akhirnya tidak well identified terhadap partai-partai yang ada sehingga kemungkinan untuk bersikap abstain pun semakin besar. Akibatnya potensi golongan putih (golongan yang tidak ikut memilih) juga bisa semakin meningkat.
1
Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 7 Juli 2008 dan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 10 Juli 2008 menetapkan 34 partai peserta pemilu 2009. Kompas, 12 Juli 2008, Pemilu 2009: Putusan MK Prospektif ke Depan, hal. 1
4 partai tambahan peserta Pemilu melalui Surat KPU Nomor: 2546/15/VIII/2008 tanggal 16 Agustus 2008
1
2
Menghadapi hal ini, partai secara cerdas harus dapat memanfaatkan keunggulan taktik Marketing PR Politik dan fenomena yang terjadi di masyarakat. Salah satunya dengan menggunakan pendekatan sosiologis – agama. Agama dapat dipilih sebagai identifikasi dan corong citra karena konsep agama sendiri sudah dikenal baik oleh masyarakat. Selama masyarakat Indonesia masih mengganggap bahwa agama itu penting bagi kehidupan maka pencitraan partai mengikuti pola nilai agama masih berpotensi tinggi.2 Hingga saat ini segmentasi berdasarkan demografi - agama merupakan salah satu pendekatan segmentasi yang penting untuk memahami karakter pemilih Indonesia dan salah satu faktor penting pembentukan perilaku pemilih di Indonesia.3 Dalam studi-studi perilaku pemilih di negara-negara demokrasi, agama tetap merupakan faktor sosiologis yang sangat kuat dalam mempengaruhi sikap pemilih terhadap partai politik atau kandidat. Dalam hal ini, agama bisa diukur dari afiliasi pemilih terhadap agama tertentu seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Asumsinya bahwa para pemilih yang beragama Islam akan cenderung memilih partai-partai Islam, yang beragama Kristen akan memilih partai Kristen dan seterusnya.4 Pemilih Islam mempunyai area konstituen yang penting karena persentase umat Islam di Indonesia mencapai 88.2% dari jumlah keseluruahan penduduk.5
2
Hasil survei Roy Morgan (dikutip Guharoy, Jakarta Post, 2007) menunjukkan bahwa sembilan diantara sepuluh orang Islam dan Kristen, sepuluh diantara sepuluh orang Konghucu dan Budha, serta lima di antara sepuluh orang Hindu menganggap agama merupakan bagian penting kehidupan sehari-hari mereka. Hasil survei ini menyimpulkan bahwa agama, sebagai nilai, masih merupakan hal yang dipandang penting oleh umat beragama di Indonesia. 3 Adman Nursal, Political Marketing: Strategi memenangkan Pemilu., (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), 80. 4 Muhammad Asfar, Beberapa Pendekatan dalam Memahami Perilaku Pemilih”, Jurnal Ilmu Politik, 16. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), hal. 47 5 Sensus Penduduk tahun 2000
3
Umat Islam, dengan proporsinya yang sangat besar, tentunya merupakan lahan konstituen politik terbesar. Tidak mungkin sebuah kontestan politik dapat menjadi pemenang Pemilu tanpa meraih dukungan umat Islam. Bahtiar Effendy seperti dikutip Adman Nursal dalam Marketing Politik mengungkapkan, “ada dasar-dasar yang pokok yang merangkai aliran-aliran keagamaan Islam dalam entitas keumatan – kadangkala bersifat simbolik (emosional keagamaan), kadangkala bersifat substantif (rasional). Semata-mata kareana adanya “rasa” keislaman itulah 6 yang menyatukan mereka ke dalam suatu kaukus konstituen politik Islam.”
Tidak heran bila kemudian simbolik agama, sebagai representasi Islam digunakan oleh partai politik dalam kampanye humas partai tersebut, hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Asep Saiful Muhtadi7 sebagai berikut: “Simbol-simbol agama kemudian menjadi salah satu variasi yang dimiliki, dilakukan atau mungkin sekedar ditempelkan pada pakaian-pakaian birokrasi untuk melegitimasi perjalanan karier yang ditempuhnya. Bahkan ketika simbol Islam menjadi komoditas politik yang relatif paling laris terutama ketika politik membutuhkan legitimasi publik yang lebih besar. Kampanye pemilihan umum sebagai salah satu perwujudan komunikasi politik juga sangat diwarnai oleh simbol agama”.
Deskripsi diatas menjelaskan bahwa ada kecenderungan seorang pemeluk agama untuk memilih partai yang berbasis dan/atau sama dengan agama yang dipeluknya. Selain berdasarkan kedekatan agama, secara teoritis terdapat pendekatan-pendekatan yang mempengaruhi perilaku pemilih masyarakat. Pendekatan sosiologis, psikologi, rasional dan domain kognitif8. Implikasinya dalam fenomena ini, tidak semua pemilih yang beragama Islam akan secara langsung memilih partai Islam. Fenomena ini dimaknai sebagai adanya aspirasi lain masyarakat yang belum terjangkau yang akhirnya memunculkan partai-partai bercirikan pluralis dan inklusif. Partai-partai tersebut, meski mempunyai cirinya sendiri dan bukan 6 7 8
Op. Cit, 115 - 116 Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia, Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru (Jakarta: Komunikasi Politik Indonesia, 2008), 35 Op. Cit. 54
4
partai agama, menyadari bahwa Islam masih memiliki potensi penting dalam mempengaruhi perilaku pemilih. Akibatnya, partai-partai nasionalis tersebut berupaya untuk tetap menggambarkan kedekatan mereka dengan Islam melalui pendekatan-pendekatan yang menggunakan simbolik keagamaan dalam kegiatan kampanyenya. Seperti bahwa, ulama diperebutkan oleh partai-partai politik9, pemakaian ayat-ayat suci10 dalam kampanye politik, peran tokoh agama sebagai opinion leader dan pemakaian simbol-simbol agama lainnya untuk menarik simpati massa. Simbol digunakan karena dipandang lebih abadi karena pesannya dianggap lebih ekspresif dan imperatif. Kekuatan simbol keagamaan adalah karena simbol tersebut merupakan dimensi sakral yang memiliki makna dan pesan abstrak yang misterius dan melampaui kemampuan nalar untuk memberi penjelasan secara verbal deskriptif.11 Tetapi, bagaimana penerimaan dari sisi masyarakat?. Simbol adalah milik publik dan bersifat luas. Pencirian simbol Islam dapat berbeda antara umat Islam yang satu dengan yang lain karena berbagai faktor (termasuk persoalan sosial demografis diatas). Sehingga, sebenarnya, akan sangat sia-sia bila suatu partai politik menggunakan simbol Islam tertentu yang ternyata bagi masyarakat Islam yang lain simbol tersebut tidak dikenal secara universal sebagai simbol Islam. Terlebih, strategi simbolik Islam dalam pencitraan partai sebenarnya telah digunakan sejak Pemilu I. Berarti ini adalah strategi lama yang digunakan 9 10
11
“Ramai-ramai berebut Ulama”, Tabloid Tekad edisi 18-24 Januari 1999 Harian Umum Suara Merdeka dalam mengulas Pemilu 2004, menangkap fenomena sebagai berikut: “Jakarta – Ayat-ayat suci dalam agama yang digemakan sejumlah partai politik lewat juru bicara kampanyenya tetap bermuara pada ajakan mencoblos gambar tertentu. Aksi itu berjalan lancar karena memang belum ada aturan normatifnya.” Komaruddin Hidayat., Politik Panjat Pinang: Dimana Peran Agama (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), 137 - 138.
5
kembali. Pemilu I tahun 1955, lingkup masyarakat Islam dibagi oleh Clifford Geertz dalam trikotomi, santri, abangan dan priayi12. Sedang perkembangannya sekarang, paling tidak ada 8 (delapan) fermentasi pemikiran Islam13 yang merunut kepada cara pemikiran masyarakat terhadap suatu masalah (termasuk di dalamnya politik). Dulu, informasi masyarakat masih terbatas dan terjebak oleh kendala ruang dan waktu sehingga faktor percaya (termasuk di dalamnya keyakinan dan proporsi opinion leader) dan kedekatan emosi dapat dikatakan sebagai faktor penentu keputusan. Tapi, sekarang, informasi adalah luas dan tidak terbatas. Semakin
banyak
infomasi
yang
sampai
kepada
calon
pemilih
akan
mengkondisikan masyarakat untuk lebih memakai rasionalitas ketimbang emosi semata karena bahan pertimbangan mereka juga akan semakin mencukupi dan dianggap valid secara persepsi. Sebagai penguat dapat dilihat bahwa dalam studi-studi yang dilakukan belakangan ini, menunjukkan bahwa ada perubahan perilaku pemilih di Indonesia. Studi Agus Muhammad14 menunjukkan terjadinya redifinisi politik Islam. Terlihat dari tiga perubahan mendasar yang terjadi: 1. 12
13
umat Islam memahami konvergensi yang sudah cukup cair; Geertz menjelaskan pengertian aliran sebagai berikut: Desa di Jawa kebanyakan terbentuk dalam pola aliran. Aliran terdiri dari parpol yang dikelilingi oleh organisasi-organisasi yang secara formal atau informal terhubung dengannya dan memiliki arah dan pendirian ideologi yang sama. Aliran lebih daripada parpol atau sekadar ideologi. Ia sudah menjadi suatu pola integrasi sosial. Konsep aliran mengacu pada cara berpikir orang Jawa khususnya yang didasarkan pada pola relijius-kultural yang dinyatakan dalam trikotomi santri, abangan, dan priayi. Santri adalah orang yang orientasi hidupnya adalah seperangkat keyakinan, nilai, dan simbolsimbol yang utamanya didasarkan pada ajaran Islam. Abangan adalah orang yang bersandar pada tradisi Jawa yang dipengaruhi elemen jaman pra-Islam atau dikenal dengan nama Kejawen. Priyayi sebenarnya termasuk dalam kelas sosial masyarakat Jawa yang berkarakter birokratis dan tidak banyak berada di pedesaan. Pola orientasi sosio-relijius Geertz (1960; 1965) seperti dikutip dari blog Teguh Imam Prasetya, Javanese Voters: Review atas Penelitian Affan Gaffar, 6 Juni 2008.
Afif Hasan, Fragmentasi Ortodoksi Islam: membongkar akar sekularisme, (Jakarta: Pustaka Bayan, 2008), 3 - 40 14 Nursal, Op. Cit, 80
6
2.
sikap politik umat sudah terfragmentasi, sehingga adalah suatu hal yang mungkin bila bahkan di satu keluarga saja mempunyai orientasi politik yang berbeda;
3.
timbulnya golongan terpelajar, dimana perilaku pemilih kelompok ini lebih menekankan kepada pertimbangan rasional ketimbang pertimbangan primordial seperti simbol-simbol dan atribut tersebut. Sehingga, pertanyaannya, bagaimana sebenarnya pemaknaan masyarakat
terhadap fenomena ini sekarang? Apakah masyarakat mengetahui simbol Islam dan bagaimana pemaknaan mereka terhadap simbol tersebut?. Apakah masyarakat juga sadar bahwa partai politik menggunakan simbol tersebut sebagai identifikasi mereka? Bila iya, dapatkah masyarakat dapat menangkap pesan yang berupaya untuk disampaikan oleh partai politik atas simbol itu?. Bila dapat, bagaimana masyarakat memaknai interaksi yang digunakan oleh partai politik politik tersebut? Berdasarkan makna dan pemahaman tersebut bagaimana masyarakat memandang pemakaian simbol tersebut? Adakah kesan mempertaruhkan citra dan martabat agama?. Sebagai
refleksi
dari
masyarakat
peneliti
mengambil
subjek
masyarakat/anggota YISC Al-Azhar, Jakarta. Beberapa pertimbangan sebagai berikut dianggap sesuai untuk menggambarkan diversifikasi umat Islam di Jakarta: 1.
YISC Al-Azhar merupakan organisasi remaja masjid pertama di Jakarta. Sebagai yang lebih berpengalaman YISC dianggap memiliki kematangan konsep dalam institusinya;
2.
YISC Al-Azhar selain sebagai wadah organisasi juga merupakan institusi pendidikan spiritual dan pengembangan diri. Dalam hal keilmuan dan
7
kreatifitas YISC bersifat liberal. Anggotanya dipersilahkan untuk mempelajari apa saja untuk mengembangkan konsep dirinya, termasuk politik. Bahkan beberapa alumni YISC sukses menjadi tokoh politik nasional, seperti K.H. Rahmat Abdullah (alm)., Yusril Ihza Mahendra, Jimly Assidiqie, Reza M. Syarief, Din Syamsudin, Satria Hadi Lubis dan lainnya. 3.
YISC bersifat netral terhadap politik. YISC tidak terjebak dalam keberpihakan terhadap partai politik tertentu; dan
4.
Anggota YISC sangat beragam, dari usia 17 – 33 tahun, dari segala wilayah Jakarta yang berasal dari keluarga dengan latar budaya dan kedaerahan yang berbeda serta keragaman pendidikan, pekerjaan serta status. YISC dianggap sebagai representasi perubahan pola pikir masyarakat Islam Indonesia sekarang. Dengan keutamaan-keutamaan tersebut diatas, peneliti berharap bahwa-
hasil
penelitian
pada
masyarakat
YISC
Al-Azhar
dapat
menerangkan
fenomenologi yang sedang terjadi di masyarakat atas isu ini. 1.2
Perumusan Masalah Bagaimana pemaknaan YISC Al-Azhar terhadap simbol Islam yang
digunakan Partai Politik sebagai pencitraannya? 1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tujuan, pertama, mengetahui pengetahuan
YISC Al-Azhar mengenai simbol-simbol Islam dan maknanya. Kedua, mengetahui kesadaran YISC Al-Azhar terhadap penggunaan simbol Islam oleh partai politik dan pesan yang dapat mereka tangkap atas fenomena tersebut.
8
Ketiga, mengetahui penerimaan YISC Al-Azhar terhadap pemakaian simbol agama tersebut dalam politik umunya, serta partai khususnya. 1.3.1
Kegunaan Teoritis Memberi sumbangan pengetahuan dan pemikiran di bidang komunikasi,
khususnya kegiatan komunikasi politik dalam kajian Humas Politik dan partai. Penelitian ini berupaya untuk menjadi referensi ilmiah terutama dalam memperkuat posisi humas sebagai keilmuan yang turut mendidik perilaku pemilih. 1.3.2
Kegunaan Praktis Bagi masyarakat umumnya dan anggota YISC Al-Azhar khususnya,
diharapkan dapat memberikan pengetahuan politik mengenai MPR Politik sehingga tercipta masyarakat yang sadar akan pentingnya politik dan demokrasi atas dasar ideologi kesatuan dan itikad baik. Bagi partai politik diharapkan dapat berguna terutama dalam hal strategi penggunaan simbol Islam dalam kampanye politik yang efektif, efisien dan simpatik.
BAB II 2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Komunikasi Komunikasi atau communication berasal dari communicatus dalam bahasa
latin yang artinya berbagi atau menjadi milih bersama. Dengan demikian komunikasi, menurut Lexicographer menunjuk pada suatu upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai kebersamaan. Carl I. Hovland mendefinisikan ilmu komunikasi sebagai upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap. Istilah komunikasi sendiri dimaknai sebagai proses mengubah perilaku orang lain. Akan tetapi, seseorang hanya akan dapat mengubah sikap pendapat atau perilaku orang lain apabila komunikasi itu komunikatif.15 Komunikator perlu memahami aspek-aspek komunikasi atau unsur-unsur komunikasi, sebagai berikut: 1.
Source, yaitu inisiator komunikasi, bertindak sebagai sumber untuk menyampaikan suatu pesan.
2.
Message, suatu gagasan dan ide berupa pesan, informasi, pengetahuan, ajakan, bujukan atau ungkapan bersifat pendidikan, emosi dan lain sebagainya yang akan disampaikan komunikator kepada perorangan atau kelompok tertentu (komunikan).
3.
Channel, berupa media, sarana atau saluran yang dipergunakan oleh komunikator dalam mekanisme penyampaian pesan-pesan kepada khalayak.
4.
Effect, suatu dampak yang terjadi dalam proses penyampaian pesan-pesan tersebut, yang dapat berakibat positif maupun negatif menyangkut tanggapan persepsi dan opini dari hasil komunikasi tersebut.16
15
Sasa Djuarsa Sendjaja, Pengantar Ilmu Komunikasi, Universitas Terbuka, 2003, Hal. 1.10 Rosady Ruslan, Manajeman Humas dan Manajemen Komunikasi. (Jakarta: Raja Grafindo Persada Jakarta, 1999). Hal. 71.
16
9
10
2.2
Komunikasi Politik Komunikasi dan politik adalah dua disiplin yang sama-sama tergolong
dalam ilmu-ilmu sosial. Antara keduanya terdapat hubungan yang erat karena di dalam wilayah politik, proses komunikasi menempati fungsi yang fundamental. Bahkan, sejumlah pendiri (the founding fathers) ilmu komunikasi memiliki latar belakang akademik sebagai ilmuwan politik, disamping sosiolog dan psikolog.17 Komunikasi Politik mempelajari mata rantai antara komunikasi dan politik atau jembatan metodologis antara disiplin komunikasi dan literatur.18 Walaupun demikian, definisi komunikasi politik tidaklah semudah menggabungkan dua definisi tersebut menjadi satu. Komunikasi politik merupakan disiplin ilmu yang masih baru.19 Politik sendiri, secara leksikal Yunani mengenal beberapa kata. Antara lain politicos (menyangkut warga negara), polites (seorang warga negara), polis (kota, negara), dan politea (kewarganegaraan). Kata-kata diatas bila dimaknai pada akhirnya mendorong lahirnya penafsiran politik sebagai tindakan-tindakan (termasuk tindakan komunikasi), atau relasi sosial dalam konteks bernegara atau dalam urusan publik. Dye20, mendefinisikan politik sebagai the management of conflict. Menurutnya, “the management of conflict is one of the basic purpose of government”. Hal ini berarati, bahwa, salah satu tujuan pokok pemerintahan sendiri adalah untuk memberikan jaminan kehidupan yang tentram bagi masyarakatnya, terhindar dari kemungkinan terjadinya konflik di antara individu
17 18 19
20
Zulkarimein Nasution, Komunikasi Politik: Suatu Pengantar. (Jakarta: 1990), 9. Deddy Mulyana dan Solatun, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya),29. Ibid. 27. Dalam tulisan yang sama Mulyana dan Solatun juga mengutip Dan Nimmo yang mengatakan bahwa “di Amerika sekalipun komunikasi politik masih mencari bentuk, as fields of investigations go, political communications is obviously still in infancy (2000:vii). Thomas R. Dye, Politics in States and Communities. (New Jersey: Prentice Hall), 1
11
ataupun kelompok dalam masyarakat. Untuk bisa mengatur konflik tentunya kekuasaan atau otoritas formal kenegaraan menjadi penting. Dan supaya dapat menjadi pemimpin yang sukses harus ada umpan balik dari masyarakat. Masalahnya bagaimana cara merangsang umpan balik dari masyarakat majemuk? Inilah salah satu dasar dari konteks komunikasi politik. Sedangkan, para ilmuwan lain, melihat komunikasi politik sebagai suatu pendekatan dalam pembagunan politik. Plano, contohnya, seperti dikutip dari Deddy Mulyana dan Solatun21 menyatakan bahwa “komunikasi politik merupakan proses penyebaran, makna atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik”. Secara definitif, Komunikasi politik, menurut pandangan Rush dan Althoff, seperti dikutip Asep Saeful Muhtadi22, merupakan transmisi informasi yang relevan secara politis dari suatu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dengan sistem politik – merupakan unsur dinamis dari suatu sistem politik; dan proses sosialisasi, partisipasi, serta rekrutmen politik bergantung pada komunikasi. Secara sederhana, unsur-unsur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 : Unsur-unsur dinamis Partai Politik23
21 22
23
Deddy Mulyana dan Solatun, Op. Cit., 29 Asep, Op. Cit., 21 Sumber: Asep Saeful Muhtadi, Op. Cit. 28
12
Firmanzah,24 melihat bahwa inti dari komunikasi sebuah partai politik adalah komunikasi ideologi karena ideologi adalah unsur utama dalam politik. Pemikiran ini secara lebih lengkap adalah sebagai berikut: “Ideologi perlu dikomunikasikan kepada masyarakat luas dan publik. Membangun ideologi politik yang kuat niscaya sulit dilakukan tanpa adanya komunikasi politik. Ketika masyarakat dan publik sangat memahami filosofi dasar dan sistem nilai yang melatarbelakangi pendirian suatu partai dan tujuan akhir yang ingin dicapainya, dapat disimpulkan bahwa komunikasi ideologinya sudah berjalan dengan baik. Namun, ketika masyarakat dan publik tidak dapat mengidentifikasi kejelasan posisi ideologinya, berarti metode dan strategi komunikasi ideologinya perlu ditinjau ulang.”
Membangun komunikasi ideologi untuk sampai di masyarakat sesuai dengan apa yang diharapkan suatu partai politik bukanlah hal yang mudah dan dapat dicapai. Untuk itu komunikasi politik, harus dilihat sebagai usaha terus menerus dari partai untuk melakukan komunikasi dialogis dengan masyarakat. Komunikasi ini tidak hanya terjadi sewaktu periode kampanye pemilu saja, melainkan harus konsekuen melekat juga pada pemberitaan dan publikasi atas apa saja yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh partai politik bersangkutan. 2.2.1
Bentuk Komunikasi Politik Peter Schroder25, menjelaskan bahwa dalam komunikasi politik, secara
garis besar ada tiga bentuk komunikasi, yaitu: 2.2.1.1 Propaganda Istilah propaganda berasal dari „Congregatio de propaganda fide“26 yang menurut Brockhaus merupakan suatu bentuk iklan untuk tujuan spiritual tertentu dan juga ide-ide politik serta keagamaan. Pada masa sosialisme nasional, setelah
24
Peter Schroder, Strategi Politik. (Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung), 307-309 Ibid, 216 - 218 26 Kongregasi untuk perluasan kepercayaan 25
13
sarana
komunikasi
umum
diseragamkan,
propaganda
dijadikan
sarana
indoktrinasi untuk menyeragamkan warga. Dalam propaganda, organisasi mendefinisikan dirinya sebagai sesuatu yang berada di luar sistem dan organisasi berusaha untuk mengarahkan publik ke satu cara pandang tertentu. Segala informasi yang diberikan kepada sistem hanya ditujukan untuk melayani tujuan ini. Karenanya umpan balik dan diskusi tidaklah dimungkinkan. Gambar 2.2 : Propaganda27
Masyarakat
Organisasi
2.2.1.2 Iklan Seperti halnya propaganda, iklan juga mendefinisikan dirinya sebagai sesuatu yang berada di luar sistem. Diskusi mengenai produk juga tidak dimungkinkan. Umpan balik dapat terjadi, tetapi dalam tahapan iklan hal ini tidaklah diperhatikan. Berbeda dengan propaganda, yang akan dimanipulasi dalam iklan bukanlah seluruh masyarakat melainkan hanya kelompok target tertentu, sehingga pilihan suara, pilihan keterlibatan atau penggunaan dana mereka akan
27
Sumber: Peter Schroder, Op.Cit, 217
14
menjadi pilihan yang sesuai dengan keinginan organisasi. Bentuk komunikasi ini digunakan di tahap akhir setiap kampanye. Yang menjadi persoalan disini adalah penggunaan potensi-potensi yang telah ada sebelumnya. Gambar 2.3 : Iklan28
Masyarakat Kelompok Target
Organisasi
2.2.1.3 Humas Prof. Byron Christian mendefinisikan humas sebagai suata usaha yang secara sadar memotivasi agar orang-orang terpengaruh, terutama melalui komunikasi agar timbul pikiran yang sehat terhadap individu atau organisasi tersebut memberi rasa hormat, mendukung dan bertahan dengan berbagai cobaan dan masalah.29 Setelah mengkaji banyaknya definisi humas, dr. Rex Harlow dalam bukunya berjudul A Model for Public Relations Education for Professional Practices yang diterbitkan IPRA 1978, menyimpulkan bahwa definisi Humas adalah fungsi manajemen yang khas dan mendukung pembinaan, pemeliharaan jalur bersama antara organisasi dan publiknya, menyangkut aktifitas komunikasi, pengertian, kerjasama dan penerimaan yang melibatkan manajemen dalam 28
Sumber: Peter Schroder, Op. Cit., 217 Soleh Soemirat & Elvinaro Ardianto, Dasar-dasar Public Relations, (Bandung: Remaja Rosdakarya:, 2002), Hal. 13 -14 29
15
menghadapi opini publik, mendukung manajemen dalam mengikuti dan memanfaatkan perubahan secara efektif juga bertindak sebagai sistem peringatan dini dalam mengantisipasi kecenderungan penggunaan penelitian serta teknik komunikasi yang sehat dan etis sebagai sarana utama.30 Organisasi, dalam kegiatan hubungan masyarakat, mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari sistem. Organisasi memberikan informasi ke luar, tetapi juga terbuka terhadap umpan balik dari luar dan dengan demikian selalu mengubah dirinya dalam proses komunikasi. Sikap komunikasi seperti ini sangat masuk akal misalnya dalam tahap pra-kampanye, tetapi tidak dalam masa-masa ‘panas’, karena produk yang senantiasa berubah tidak dapat dijual. Humas sendiri, menurut F. Rachmadi, mempunyai fungsi pokok sebagai (i) alat bantu untuk mengerti atau memahami sikap publik dan mengetahui apa yang harus dan tidak boleh dilakukan oleh perusahaan untuk mengubah sikap mereka; dan (ii) sebagai suatu program aksi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Humas, sendiri, lebih lanjut, menurut F. Rachmadi memiliki tugas dan kewajiban: 1.
Menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas penyampaian informasi atau pesan secara lisan, tertulis atau melalui gambar (visual) kepada publik, sehingga publik mempunyai pengertian yang benar tentang halikhwal perusahaan atau lembaga, segenap tujuan serta kegiatan yang dilakukan.
2.
Memonitor, merekam dan mengevaluasi tanggapan serta pendapat umum atau masyarakat.
30
Ibid, Hal. 112
16
3.
Mempelajari dan melakukan analisi reaksi publik terhadap kebijakan perusahaan atau lembaga maupun segala macam pendapat.
4.
Menyelenggarakan hubungan yang baik dengan masyarakat dan media massa untuk memperoleh public favour, public opinion dan perubahan sikap.31 Gambar 2.4 : Hubungan Masyarakat32
Masyarakat
Hubungan Masyarakat
Organisasi
2.2.2
Citra
2.2.2.1 Definisi Citra Citra menurut Jalaludin Rakhmat adalah penggambaran tentang realitas dan tidak sesuai dengan realitas, citra adalah dunia persepsi.33 Definisi ini berusaha menyimpulkan bahwa semua sikap bersumber pada organisasi, pada informasi dan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang. Citra merupakan tujuan utama dan sekaligus merupakan reputasi dan prestasi yang hendak dicapai humas. Pengertian citra sendiri pada dasarnya
31
F. Rachmadi, Public Relations dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Gramedia, 1994) Hal. 23 Sumber: Peter Schroder., 218 33 Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya: 2002) Hal. 122 32
17
abstrak dan tidak dapat diukur secara matematis tetapi wujudnya bisa dirasakan dari hasil penelitian baik atau buruk. Frank Jenkins kemudian, membagi citra ke dalam lima spesifikasi sebagai berikut: 1.
The Mirror Image (cerminan citra) yaitu bagaimana dugaan (citra) manajemen terhadap publik eksternal dalam melihat perusahaannya;
2.
The Current Image (citra saat ini) yaitu citra yang terdapat pada publik eksternal, yang berdasarkan pengalaman atau menyangkut informasi dan pemahaman publik eksternal;
3.
The Wish Image (citra yang diinginkan) yaitu manajemen menginginkan pencapaian prestasi tertentu. Citra ini diaplikan untuk sesuatu yang baru sebelum publik eksternal memperoleh informasi secara lengkap;
4.
The Multiple Image (citra ganda) yaitu sejumlah individu atau perusahaan lainnya dapat membentuk citra tertentu yang belum tentu sesuai dengan keseragaman citra seluruh organisasi atau perusahaan;
5.
The Corporate Image (citra perusahaan) yaitu berkaitan dengan sosok perusahaan sebagai tujuan utamanya, bagaimana menciptakan citra perusahaan yang positif agar lebih dapat dikenal serta diterima publiknya. Citra lembaga adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan jadi
bukan citra atas produk atau pelayanannya saja. Citra lembaga didasarkan atas tiga hal yaitu, reputasi (baik buruknya nama perusahaan), aktivitas (kegiatankegiatan), perilaku manajemen perusahaan.34 Citra lembaga yang baik dan kuat mempunyai manfaat-manfaat sebagai berikut: 34
Frank Jenkins, Public Relations Technique, Intermassa, 1984.
18
1.
Daya saing jangka menengah dan panjang yang mantap (mid and long term sustainable competitive position).
2.
Menjadi perisai selama krisis (an insurance for adverse time).
3.
Menjadi daya tarik eksekutif handal (attracting the best executives available)
4.
Meningkatkan
efektivitifas
strategi
pemasaran
(increasing
the
effectiveness or marketing instrument) 5.
Penghematan biaya operasional (cost saving).35
2.2.3 Penyampaian Informasi sebagai elemen Komunikasi Humas (Bentukan Komunikasi Politik) Komunikasi politik adalah proses tukar menukar informasi atas dua entitas atau lebih. Tujuan utama dari komunikasi politik adalah menciptakan kesamaan pemahaman politik antara suatu partai politik dengan masyarakat. Komunikasi dalam hal ini lebih dilihat sebagai komunikasi dua arah dan bukan top-down.36 Komunikasi jenis inilah yang ditawarkan oleh bentuk komunikasi humas. Ilmu Humas sendiri, pada dasarnya berorietasi kepada perubahan mind set positif masyarakat mengenai suatu hal (partai politik) atau proses Transfer Humas (lihat gambar 2.4). Gambar 2.5: Transfer Humas No.
Posisi Negatif
Transfer
Posisi Positif
1
Permusuhan (Hostility)
→
Simpati (Symphaty)
2
Prasangka (Prejudice)
→
Menerima (Acceptance)
3
Ketidakpedulian (Aphaty)
→
Berminat (Interest)
35
Sutojo Siswanto, Membangun Citra Perusahaan, PT Dharmamulia Pustaka, Jakarta, 2007, Hal 3-7. 36 Firmanzah, Marketing Politik, Op. Cit. hal. 243
19
No. 4
Posisi Negatif Ketidaktahuan (Ignorance)
Transfer →
Posisi Positif Pemahaman (Knowledge)
Dari Gambar diatas terlihat bahwa, setidaknya ada empat unsur yang perlu ditangani. Tugas humas ialah melakukan proses transfer untuk mengubah 4 (empat) “situasi negatif” ke “situasi positif”, yaitu mengupayakan: a.
Bagaimana mereka yang tidak tahu menjadi tahu;
b.
Yang sudah tahu menjadi suka;
c.
Mereka yang suka dipertahankan semakin suka dan senang untuk menerimanya.37 Komunikasi humas ada tiga elemen utama yang harus sama-sama berjalan
efektif, yaitu: 1.
Penyampaian informasi;
2.
Persuasi (membujuk); dan
3.
Mampu memperoleh dukungan publik Penelitian ini adalah kepada pemaknaan yang timbul akibat adanya
informasi yang disebar. Oleh karena itu titik berat elemen komunikasi humas adalah pada penyampaian informasi terutama berkaitan dengan transfer citra yang baik. Informasi dapat menentukan preferensi seorang pemilih. Namun, seringkali faktor pengambilan pilihan tersebut dilatarbelakangi pengaruh dari kesatuan citra partai yang dicerna masyarakat. Citra bagi partai merupakan faktor utama yang menentukan tingkat loyalitas dan preferensi pemilihan partai. F. Rachmadi lebih lanjut mengenai hal ini mengungkapkan: 37
Rhenald Kasali, Manajemen Public Relations : Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2005). Hal. 28 -29
20
“Praktek humas adalah keseluruhan upaya yang dilangsungkan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan dan memelihara niat baik dan saling pengertian antara suatu organisasi dan khalayaknya”.38
Masyarakat tidak semua hanya bersikap pasif menerima Social Imagery (pencitraan umum, citra yang sengaja dijual/diumbar pada publik). Namun, masyarakat dapat juga bersikap aktif mencari informasi, mengamati aksi-aksi yang dilakukan organisasi yang sebagai akibatnya memberikan pemaknaan citra yang lain. Aksi tersebut dapat dengan sengaja disebar aksi secara sadar maupun secara tidak sadar. Pendek kata, sebuah citra yang kuat ditopang oleh kombinasi sejumlah faktor (lihat Gambar 2.5 untuk melihat bagaimana tahap konstruksi citra. Gambar 2.6 : Konstruksi Citra39 Pembelajaran Sosial
Aksi secara sadar
Komunikasi Politik
Aksi secara tidak sadar
Image Terekam
Identifikasi Sosial
Stimulus yang kemudian diolah menjadi informasi dari komunikasi politik bagi masyarakat bermula dari aksi secara sadar (intended) dan tidak sadar (unintended). Aksi secara sadar adalah semua hal yang terkait dengan aktivitas politik seperti jargon, program kerja, figur pemimpin dan simbolisasi yang ingin diciptakan yang secara sadar dibentuk dan disusun oleh partai politik. Namun tidak semua hal dapat dikontrol oleh partai politik.
38
39
F. Rachmadi, Public Relations dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Gramedia, 1994), Hal. 20-21 Sumber: Firmanzah, Marketing Politik: Antara pemahaman dan realitas hal. 243
21
Ketika intended action ternyata dipahami berbeda oleh masyarakat maka inilah yang disebut sebagai aksi secara tidak sadar (unintended action). Contohnya, pada organisasi politik misalnya, PDI-P mengadakan program sosial belajar cepat baca Al-Quran dengan memasang billboard besar di daerah strategis dengan tak lupa mencantumkan logo besar PDI-P. Pesan yang hendak disampaikan adalah sosialisasi dan promosi program kerja PDI-P yang tidak melulu harus menyangkut segala sesuatu yang berbau politik (intended action). Namun, ternyata masyarakat menganggap ini sebagai tindakan “nyolong start” atau merupakan bentuk kampanye. Anggapan masyarakat inilah yang disebut sebagai unintended action. Ketika masyarakat mendapat stimulus aksi (informasi), masyakarat penerima aksi akan mengolah aksi tersebut dalam dua proses yang terjadi secara simultan,
yakni proses belajar sosial dan identifikasi sosial. Dalam proses
pembelajaran sosial, semua informasi yang terkadang ambigu dan bertolak belakang, diterima sekaligus dipelajari masyarakat. Setelah mempelajari, baru masyarakat melakukan identifikasi untuk menentukan apakah aksi tersebut benar atau salah, objektif atau subjektif, tepat atau tidak tepat, baik secara rasional maupun emosional. Hasil dari proses pembelajaran dan identifikasi inilah yang akan tertanam dalam benak masing-masing individu yang nantinya menjadi citra, reputasi dan kesan tentang suatu partai politik. Apabila ternyata citra lama yang mereka tangkap berbeda dengan citra baru yang terkesan, mana yang mereka pilih untuk
22
yakini akan ditentukan oleh seberapa besar derajat tertanamnya citra lama dan seberapa besar tekanan citra baru untuk diterima.40 Kokohnya suatu citra tergantung dari sistem keyakinan dan kognitif masyarakat terhadap citra tersebut. 2.3
Marketing PR (“MPR”) Politik Thomas L. Harris melalui bukunya the Marketer’s Guide to Public
Relations mempopulerkan istilah MPR. Secara lebih lanjut Harris menjelaskan bahwa: “Marketing Public Relations merupakan suatu proses perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian program-program yang dapat merangsang penelitian dan kepuasan melalui komunikasi dengan informasi yang dapat dipercaya dan melalui kesan-kesan positif yang ditimbulkan serta berkaitan dengan identitas perusahaan sesuai dengan 41 kebutuhan, keinginan, perhatian dan kepentingan bagi para konsumennya”
Dalam Politik, produk politik bersifat abstrak, hanya dapat diyakini, dan bentuknya berupa kepercayaan. Realitas ini menuntut strategi dan mekanisme industri citra yang baik. Politik dalam perspektif ilmu humas sendiri merupakan upaya untuk mempengaruhi orang lain untuk mengubah, membentuk atau mempertahankan citra yang baik melalui manajemen citra dan popularitas. Marketing PR Politik secara sinergis berupaya untuk merubah pemikiran citra masyarakat terhadap partai politik dengan mengupayakan konsolidasi strategi atas value-value, tren, ataupun masalah atau issue yang dihadapi masyarakat. Semakin dekat partai politik dengan masyarakat maka semakin familiar partai politik tersebut dan semakin kuat kemungkinan untuk mendapatkan pemilih. Disinilah peran konsep segmentasi dan positioning Marketing PR Politik dalam strategi awal perolehan suara bagi partai politik.
40 41
Firmanzah, Marketing Politik, hal. 243 - 245 Ruslan, Rosady, Marketing Public Relations, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 228
23
Antara segmentasi dan positioning adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Segmentasi sangat dibutuhkan untuk dapat mengidentifikasi karakteristik yang muncul di setiap kelompok masyarakat. Sementara positioning adalah upaya untuk menempatkan image dan produk politik yang sesuai dengan kelompok-kelompok masyarakat. Positioning tidak dapat dilakukan tanpa adanya segmentasi politik. Tanpa adanya aktivitas segmentasi, partai politik akan mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat. Menurut Bartle dan Griffith, kontribusi penting ilmu marketing dalam domain politik adalah aktivitas yang terkait dengan segmentasi, sementara positioning meskipun adalah istilah marketing namun praktiknya lebih condong mengulas pencitraan yang merupakan ruang lingkup PR. Lebih jelasnya mengenai alur langkah segmentasi dan positioning dapat dilihat pada bagan berikut: Gambar 2.7 : Segmentasi dan Positioning Politik42 Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Segmentasi Pasar Politik
Targetisasi pasar Politik
Positioning Pasar Politik
1. Identifikasi dasar segmentasi pemilih
3. Menyusun pemilihan pemilih
2. Menyusun profil dari hasil segmentasi pemilih
4. Memilih target segmen pemilih
2.3.1
kriteria segmen
5. Menyusun strategi positioningdi setiap segmen 6. Menyusun bauran marketing di setiap segmen politik
Segmentasi Segmentasi muncul dari asumsi bahwa masing-masing kelompok
masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Setiap karakteristik menuntut pendekatan yang berbeda-beda. Menggunakan satu pendekatan untuk semua karakteristik akan membuat tidak efektifnya pendekatan 42
Sumber: Smith & Hirst (2001: p. 1061)
24
tersebut. Seberapa besar pesan politik yang dapat disampaikan dan diterima oleh masyarakat akan sangat ditentukan oleh seberapa besar kesesuaian pilihan bahasa, media penyampaian dan komunikasi dengan kondisi real masyarakat yang menjadi target.43 Segmentasi diartikan sebagai suatu proses identifikasi dan klasifikasi masyarakat ke dalam kelompok-kelompok yang memikili agenda dan tujuan politik sendiri-sendiri. Dengan adanya segmentasi politik, suatu organisasi akan mampu mengidentifikasi semua elemen yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian, tidak ada satu kelompok masyarakat pun yang akan terlewatkan dalam analisis politiknya. Sementara dari sisi masyarakat, segmentasi pemillih juga akan menjamin bahwa kepentingan dan tujuan politiknya akan terwakili oleh organisasi politik.44 Bartle dan Griffith seperti dikutip Firmanzah dalam Marketing Politik: antara Pemahaman dan Realitas hal. 214, mengungkapkan bahwa dalam segmentasi terdapat dua hal yang harus dilakukan: Pertama
adalah
identifikasi
dasar-dasar
yang
dilakukan
dalam
menggunakan segmentasi. Gambar 2.8 akan menjelaskan metode dasar segmentasi pemilih yang biasa digunakan: Gambar 2.8 : Metode Segmentasi Pemilih45 Dasar Segmentasi Geografi 43
Detail Penjelasan Masyarakat
dapat
disegmentasi
berdasarkan
Firmanzah, Op. Cit. Hal. 212 - 213 Firmanzah,Op. Cit. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: 2008. Hal. 150 - 152 45 Sumber: Firmanzah, Op.Cit, hal. 155. 44
geografis
dan
25
Dasar Segmentasi
Detail Penjelasan kerapatan (density) populasi. Misalnya produk dan jasa yang dibutuhkan oleh orang yang tinggal di pedesaan akan berbeda dengan produk politik yang dibutuhkan oleh orang perkotaan.
Demografi
Konsumen politik dapat dibedakan berdasarkan umur, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan, pekerjaan dan kelas sosial. Masing-masing kategori memiliki karakteristik dan pandangan yang berbeda tentang isu politik Untuk itulah perlu dilakukan pengelompokan berdasarkan kriteria demografi.
Psikografi
Psikografi memberikan tambahan bagi metode segmentasi yang berdasarkan geografi. Dalam metode ini segmentasi dilakukan berdasarkan kebiasaan, lifestyle dan perilaku yang mungkin terkait dengan isu-isu politik.
Perilaku (Behavior)
Masyarakat dapat dikelompokkan dan dibedakan berdasarkan proses pengambilan keputusan, intensitas ketertarikan dan keterlibatan dengan isu politik, loyalitas dan perhatian terhadap permasalahan politik. Masing-masing kelompok memiliki perilaku yang berbeda, sehingga perlu diidentifikasi.
Sosial-budaya
Pengelompokkan masyarakat dapat dilakukan melalui karakteristik sosial dan budaya. Klasifikasi seperti, budaya, etnis dan ritual spesifik seringkali membedakan intensitas, kepentingan dan perilaku terhadap isu-isu politik.
Sebab Akibat
Selain metode segmentasi yang bersifat statis, metode ini mengelompokkan masyarakat berdasarkan perilaku yang muncul sebagai akibat dicanangkannya isu-isu politik. Metode sebab-akibat ini melandaskan pengelompokan berdasarkan perspektif pemilih (voters). Pemilih dapat dikelompokkan berdasarkan pemilih rasional, tradisional, kritis dan pemilih mendua.
Kedua, partai politik perlu menyusun profil hasil segmentasi politik. Profil ini sebaiknya meliputi tiga hal. 1.
Profil tentang pendukung partai politik.
2.
Profil tentang massa mengambang.
3.
Profil tentang pendukung partai lain.
2.3.2
Targeting Targeting atau menetapkan sasaran adalah memilih salah satu atau
beberapa segmen yang akan dibidik untuk mencapai sasaran obyektif. Sebelum
26
menentukan target sasaran pasar, terlebih dahulu harus dimulai dengan memahami wilayah pemilihan, jumlah total pemilih dan jumlah kursi yang diperebutkan, berapa jumlah kursi yang diperebutkan, analisa sebaran para pemilih secara geografis dan cara mengakses para pemilih secara efisien dan efektif. Data-data pemilu sebelumnya dan data riset memungkinkan pemasar melakukan segmentasi dasar. Segmentasi dasar biasa dibilang sebagai segmentasi post-hoc, yakni segmentasi berdasarkan hasil Pemilu sebelumnya. Adman Nursal46, dengan mengesampingkan kelompok golongan putih mengungkapkan bahwa Targeting merupakan identifikasi mapping masyarakat pada tiga segmen berikut: 1.
Target para pendukung kontestan yang dipasarkan. Segmen ini dipilah lagi menjadi dua: a.
Pendukung inti (basis massa atau base partisan) adalah pendukung fanatik yang sangat sulit berubah pilihannya
b.
Pendukung lapis kedua yang lazim juga disebut sebagai softpartisan, massa pendukungyang masih bisa berubah pilihannya oleh faktor-faktor atau tawaran-tawaran tertentu.
2.
Segmen para pendukung kontestan pesaing yang juga terdiri dari (a) pendukung inti, dan (b) pendukung lapis kedua.
3.
Segmen massa mengambang, yaitu segmen yang belum memutuskan kepada pihak mana suaru akan diberikan. Secara umum, segmen ini juga dapat dipilah menjadi dua:
46
Nursal, Op. Cit., 146 - 147
27
a.
Segmen nonpartisan dimana para pemilu ke pemilu keputusan pilihan tidak menetap pada satu partai atau kandidat tertentu tapi bisa berubah-ubah tergantung faktor situasional
b.
Segmen yang pernah menjadi pendukung pihak tertentu tapi akan mengubah pilihannya karena merasa aspirasinya tidak terpenuhi.
2.3.3
Positioning Positioning merupakan proses dimana atribut produk dan jasa yang
dihasilkan akan direkam dalam bentuk image yang terdapat dalam sistem kognitif konsumen. Bagi orang-orang marketing, positioning sangat menentukan keberhasilan pemasaran. Dalam Political Marketing, karena produk dan jasa yang ditawarkan adalah ideologi, dimana bentuk ideologi adalah lebih abstrak, maka Positioning dalam politik sangat tergantung dengan pencitraan. Positioning yang jelas tentang citra partai politik akan dapat memudahkan masyarakat dalam memilih partai politik yang sesuai dengan ideologi dan program kerja yang ditawarkan. Atas hal ini, Partai-partai memberikan akses informasi yang luas tentang prospektus mereka masing-masing. Disinilah pentingnya citra untuk membedakan atau identifikasi kuat atas satu partai politik dengan partai politik lainnya. Citra yang membedakan atau identifikasi ini dikategorikan sebagai salah satu strategi positioning suatu partai politik diantara partai-partai politik lainnya.47 Citra ini terkait erat dengan identitas (Gioia & Thomas, 1996). Citra biasanya diartikan sebagai cara anggota organisasi dalam melihat kesan dan citra
47
Firmanzah, Marketing Politik: antara pemahaman dan realitas , (Jakarta: Yayasan Obor, 2007), 230-231
28
yang berada di benak orang (Dutton et all., 1994). Atribut-atribut yang diberikan pihak luar membentuk citra tertentu atas suatu entitas. Perlahan dan pasti citra yang ditangkap dalam sistem kognitif akan membentuk persepsi atas partai atau kandidat. Sehingga citra dan identitas terkait erat satu dengan yang lain. Pengertian citra seperti ini sering disebut sebagai 'construed external image'. Hal ini ditegaskan lebih lanjut Adnan Nursal dalam definisinya mengenai Positioning dalam Political Marketing, Strategi memenangkan Pemilu, hal. 137: “Positioning adalah tindakan untuk menancapkan citra tertentu ke dalam benak para pemilih agar tawaran produk politik dari satu kontestan memiliki posisi khas, jelas dan meaningful.”
Strategi Positioning politik merupakan hal yang penting dilakukan organisasi politik karena beberapa hal: Pertama, strategi positioning akan membantu pemilih dalam menentukan siapa yang akan dipilih. Kejelasan positioning politik akan memudahkan pemilih dalam mengidentifikasi suatu partai politik sekaligus membedakannya dengan organisasi lainnya. Kedua, positioning yang jelas juga membantu anggota partai politik itu sendiri dalam membentuk identitas mereka. Ketiga, positioning yang jelas juga akan membantu penyusunan strategi dalam pendekatan organisasi politik ke masyarakat. Keempat, positioning yang jelas juga akan membantu dalam mengarahkan jenis sumber daya politik apa yang dibutuhkan.48
48
Firmanzah, Op. Cit., 208
29
Sementara dalam hubungannya dengan menjaring massa, Positioning menurut Jack Trout dan Steve Rikin (1995), diperlukan karena beberapa alasan berikut: 1.
Daya ingat manusia sangat terbatas, padahal manusia tak henti-hentinya dihujani berbagai informasi. Dengan demikian, seseorang akan kesulitan mengingat, apalagi menerima atau menyetujui suatu kontestan Pemilu dengan Positioning yang tidak jelas.
2.
Otak manusia memuat hal-hal yang membingungkan dan kacau.
3.
Otak manusia insecure
4.
Pikiran manusia sulit berubah; seseorang yang sudah memiliki anggapan tertentu kepada seseorang lainnya tidak gampang diubah.
5.
Pikiran manusia mudah kehilangan fokus.49
2.3.4
Identifikasi Identifikasi berfungsi sebagai penyebar identitas dan citra mempunyai sifat
sebagai pembeda partai. Tujuannya mempermudah masyarakat memahami ideologi dengan cara penggunaan simbol-simbol yang biasanya sudah lebih dahulu dikenal masyarakat. Identifikasi berorientasi kepada proses dan tidak memiliki tujuan menjaring massa. Penyebaran identifikasi berkaitan dengan proses edukasi masyarakat terhadap ideologi partai. Identifikasi mempunyai tujuan memanfaatkan pengaruh emosional calon pemilih terhadap isu. Perilaku masyarakat terhadap isu dicirikan berbeda. Terhadap isu baru masyarakat cenderung menginvestigasi dan mencari informasi ataupun bersikap pasif mencerna informasi (kognitif). Sementara terhadap isu lama masyarakat akan cenderung menggunakan pengalamannya dalam mencerna 49
Nursal, Op. Cit. 153 -154
30
(emosi). Masyarakat sudah merasa familiar terhadap isu tersebut sehingga kecenderungannya untuk menerima isu juga akan lebih mudah. Anggapan ini berangkat dari pengertian bahwa pemilih tidak hanya digerakkan oleh isu-isu baru, melainkan juga oleh isu-isu lama yang masih tertanam di benak pemilih.50 Dan Nimmo, seperti dikutip oleh Adman Nursal dalam Political Marketing:
Strategi
Memenangkan
Pemilu
menerangkan
bahwa
dalam
mengambil keputusan pemilih seringkali dipengaruhi oleh peran konsep tindakan komunikasi. Menurutnya, perilaku pemilih adalah hasil dari pengaruh kelompok masyarakatnya sendiri yang dibentuk oleh faktor-faktor jangka panjang (faktor sosial dan demografi) dan beraksi terhadapnya secara pasif dan terkondisi. Pengelompokan masyarakat ini pada akhirnya berkorelasi dengan proses identifikasi partai.51 Proses yang terjadi dalam lingkup sosial dan demografi dapat menciptakan simbol-simbol yang dimaknai sendiri oleh kelompok sehingga menimbulkan simbol kelompok. Simbol kelompok pada dasarnya membentuk nostalgia sejarah yang pada akhirnya memberikan satu kedekatan emosional bagi anggotanya. Ketika simbol yang sama digunakan oleh pihak lain (partai) pemaknaan oleh masyarakat terhadap simbol tersebut tidak berubah. Kedekatan emosional yang melekat pada simbol juga akan melekat di simbol partai tersebut. Masyarakat secara atributif sudah merasa dekat dengan partai tersebut. Kedekatan yang berasal dari kedekatan emosional ini akan membawa masyarakat pada suatu ikatan psikologis, rasa mengenal, mengetahui dan memahami. Bila sudah demikian, dengan mudah identifikasi partai dapat tercapai.
50 51
Nursal, Op. Cit., 39. Ibid, 61 - 62
31
Misalnya, kedekatan emosional lintas kelompok, seperti (sebagian) anggota organisasi NU memiliki hubungan emosional dengan PKB. Atau, suatu kelompok masyarakat dapat memiliki ikatan emosional dengan tokoh tertentu yang menjadi ikon partai tertentu. Seperti Muhammadiyah dan Amien Rais.Seperti juga kedekatan masyarakat terhadap simbol warna. Seperti, pada masa orde baru, warna saja sudah melambangkan ideologi yang direpresentasikan. Maka umat Islam, cenderung memilih partai dengan warna hijau dan/atau kaum nasionalis-sosialis merasa dekat dengan partai yang memakai warna merah. Ikatan semacam ini seringkali tak tergoyahkan, terutama, jika tidak ada proses sosialisasi simbol-simbol yang panjang dari partai lainnya. Meski secara teoritis mudah, namun proses mengkomunikasikan identifikasi merupakan proses yang sangat kompleks, terlebih dalam upaya membangun citra. Identifikasi bukan hanya berkampanye menyebar segala data dan informasi tentang partai. Lebih dari itu, identifikasi adalah proses penyampaian pesan simbolik yang terdapat di belakang data dan informasi yang disebar. Patut dicermati, bahwa yang pada akhirnya membentuk citra bagi partai adalah pesan simbolis tersebut, bukan data dan informasi yang disebar.52 Kompleksitas ini sampai pada kesimpulan bahwa merumuskan identifikasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Identitas yang disodorkan oleh partai politik ternyata dapat diterima atau dipersepsikan beda oleh massa53. Penguraian identifikasi berpusat pada pengkodean, proses pemaknaan. Transfer makna yang berusaha disampaikan identifikasi merunut kepada
52
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 329
32
pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap partai. Oleh karena itu, proses identifikasi adalah proses yang penting dan merupakan ujung pangkal penting bagi partai politik yang berusaha menjaring massa. 2.3.5
Bentuk Kampanye Humas dalam Politik Pemahaman komunikasi Humas pada intinya bertujuan untuk mendidik
masyarakat dan pembentukan opini publik yang positif terhadap organisasi yang diwakili oleh Humas tersebut (partai politik dan kandidatnya). Pendidikan yang dimaksud disini adalah pendidikan yang beresensi pada penyebaran pemaknaan (meaning) dan persepsi terpusat pada kepentingan satu pihak. Kampanye (humas)54 merupakan alat yang dianggap paling efektif untuk menjalankan fungsi komunikasi humas Partai Politik. Kampanye humas Politik pada dasarnya terdiri dari: 1.
Kampanye Pemilu; dan
2.
Kampanye Poitik55.
54
Kampanye humas sendiri didefinisikan sebagai usaha terkoordinir untuk mempengaruhi masyarakat, baik yang mendukung maupun tidak dalam menerima misi yang disampaikan, dengan tujuan mempengaruhi target audience untuk mengikuti keinginan organisasi atau mendukung jalannya operasi organisasi. Sementara, dalam arti sempit kampanye humas bertujuan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan khalayak sasaran untuk merebut perhatian serta menumbuhkan persepsi atau opini yang positif terhadap suatu kegiatan dari suatu lembaga atau organisasi agar tercipta suatu kepercayaan dan citra yang baik dari masyarakat melalui penyampaian pesan secara intensif dengan proses komunikasi dan jangka waktu tertentu yang berkelanjutan. Ruslan, Rosady, Kiat dan Strategi Kampanye Public Relations Edisi Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2002. Hal. 58
55
Definisi Kampanye partai politik menurut Keputusan KPU No. 7 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kampanye Pemilu 2004: “Kampanye partai politik peserta pemilu dan/atau calon Anggota DPR dan DPRD dilakukan untuk menyakinkan para pemilih bukan anggota untuk mendapatkan dukungan sebesarbesarnya, dengan menawarkan program-program partai melalui media massa di ruang terbuka atau gedung pertemuan pada tanggal 11 Maret 2004 sampai dengan 1 April 2004.”
33
Kampanye Pemilu bersifat jangka pendek dan biasanya dilakukan menjelang Pemilu. Sementara Kampanye Politik bersifat jangka panjang dan dilakukan secara terus menerus. Untuk lebih jelas mengenai perbedaan antara kedua jenis kampanye humas ini, lihat Gambar 2.9 berikut: Gambar 2.9 : Kampanye Pemilu Vs. Kampanye Politik56 Kampanye Pemilu
Kampanye Politik
Jangka dan batas waktu
Periodik dan tertentu
Jangka panjang menerus
dan
terus
Tujuan
Menggiring pemilih ke bilik suara
Image Politik
Strategi
Mobilisasi dan pendukung (Push Marketing)
berburu
Membangun dan membentuk reputasi politik (PullMarketing)
Komunikasi Politik
Satu arah dan penekanan kepada janji dan harapan politik kalau menang pemilu
Interaksi dan mencari pemahaman beserta solusi yang dihadapi masyarakat
Sifat hubungan antara kandidat dan pemilih
Pragmatis/transaksi
Hubungan relasional
Produk politik
Janji dan harapan politik Figur kandidat dan program kerja
Pengungkapan masalah dan solusi Ideologi dan sistem nilai yang melandasi tujuan partai
Sifat dan program kerja
Market-oriented dan berubahubah dari pemilu satu ke pemilu lainnya
Konsisten dengan sistem nilai partai
Retensi memori kolektif
Cenderung mudah hilang
Tidak mudah hilang dalam ingatan kolektif
Sifat kampanye
Jelas, terukur dan dapat dirasakan langsung aktivitas fisiknya
Bersifat laten, bersikap kritis dan bersifat menarik simpati masyarakat
Peter Schroder57 menjelaskan bahwa untuk mencapai komunikasi politik yang efektif dan efisien, strategi komunikasi harus mampu menjawab tantangan dari komunikasi vertikal dan horisontal yang dapat terlihat dari kondisi dan mekanisme komunikasi internal sebuah organisasi.
56
Firmanzah, Marketing Politik: Strategi Alternatif Partai Politik (Jakarta: Pasca Sarjana Ilmu Manajemen UI, http://forum-politisi.org/downloads/Marketing_Politik_-_Firmanzah.pdf), 6) 57 Ibid. (Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung), 66-67
34
Komunikasi vertikal (ke luar) memiliki makna yang sangat penting dalam situasi kampanye pemilu. Firmanzah mengatakan bahwa ada dua strategi yang dapat dilakukan, pertama, komunikasi terbuka dan eksplisit atas ideologi yang dimiliki. Ideologi tersebut tertuang secara eksplisit dalam isu-isu politik yang dikeluarkan, baik secara verbal oleh pemimpin partai atau yang tertulis. Strategi kedua, pesan-pesan ideologi disembunyikan dalam isu politik atau aktivitas yang kelihatan secara kasat mata. Misalnya, menyembunyikan pesan ideologi nasionalisme dengan melakukan isu penyelamatan aset-aset negara. Dengan mengangkat suatu isu atau tema yang berkesinambungan, masyarakat dan publik akan dapat menarik benang merah keterkaitan ideologis antara satu isu dengan isu lainnya.58 Sementara komunikasi horisontal (ke dalam) perlu untuk membangun jaringan dan dalam bekerja sama dengan aliansi. 2.4
Interaksi Simbolik Teori interaksi simbolik menggunakan paradigma individu sebagai subjek
utama dalam percaturan sosial, meletakkan individu sebagai pelaku aktif dan proaktif. Teori ini sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial khususnya ilmu komunikasi. Pengaruh itu terutama dalam hal cara pandang holistik terhadap gejala komunikasi sebagai konsekuensi dari prinsip berpikir sistemik yang menjadi prinsip dari teori interaksionisme simbolik. Prinsip ini menempatkan komunikasi sebagai suatu proses menuju kondisi-kondisi interaksional yang bersifat konvergensif untuk mencapai pengertian bersama (mutual understanding) di antara para partisipan komunikasi.59
58
59
Firmanzah, (2007) Op. Cit., 333 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif. (Yogyakarta: LkiS, 2007), 67.
35
Pada dasarnya teori interaksionisme simbolik mengetengahkan soal diri sendiri (the self) dengan segala atribut dunia luarnya. Artinya, setiap interaksi manusia selalu dipenuhi dengan simbol-simbol, baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan diri sendiri. Diri tidak terisolasi, melainkan bersifat sosial. Individu lain adalah ‘cermin’ untuk melihat diri sendiri. Dengan demikian teori interaksi simbolik merupakan cara pandang yang memperlakukan individu sebagai diri sendiri sekaligus diri sosial.60 Manusia mempersepsikan setiap interaksi, lambang, simbol, atribut, komunikasi verbal dan non-verbal dalam konsep meaning (pemaknaannya) masing-masing
dalam
mengikuti
konteks
identifikasi
diri
yang
sudah
diketahuinya. Kebebasan manusia selalu akan dibatasi dan terbatasi oleh bahasa maupun simbol-simbol kita yang lain.61 Ini berarti bahwa pakem simbolik yang terjadi di luar penuh batasan dan penuh pemaknaan. Inilah dasar dari argumen Lisa Harison, bahwa dalam Interaksi Simbolik orang akan cenderung bertindak berbeda dalam situasi yang tidak diakrabinya.62 Ketika, suatu identifikasi baru muncul maka, pemrosesan identifikasi itu akan jauh lebih lama ketimbang identifikasi lama yang sudah melekat dan memiliki citra yang baik dalam pengalaman. H. Mead yang sering dianggap sebagai bapak Interaksionisme Simbolik, mengatakan bahwa: ”Cara manusia mengartikan dunia dan dirinya berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self) menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain”.
60
Mulyana. Deddy dan Solatun, Op. Cit., 35 Ibid., 36 62 Harison, Lisa. Metodologi Penelitian Politik, (Jakarta: Kencana, 2001), 93. 61
36
Intinya, hanya dengan menyerasikan diri dengan harapan-harapan orang lain, maka interaksi menjadi mungkin. Semakin mampu seseorang mengambil alih, atau membatinkan perasaan-perasaan sosial semakin terbentuk identitasnya. Interaksi yang merupakan jawaban dari harapan orang lain dapat hanya dapat ditransfer dengan efektif tergantung dari bentuk strategi komunikasi yang ditempuh. Apapun bentuk komunikasi yang dijalankan, komunikasi vertikal maupun horisontal, eksplisit maupun implisit masing-masing membutuhkan pemaknaan bagi yang menerima pesan interaksi. Tentunya yang implisit akan membutuhkan jauh lebih besar usaha untuk memaknainya dibandingkan yang ekplisit. Produk politik yakni ideologi membutuhkan peran serta aktif dari masyarakat untuk memberikan arti, makna dan nuansa yang terkandung di dalamnya. Bahkan, seringkali proses pemaknaan pesan-pesan ini lebih memainkan peranan penting dalam komunikasi ideologi. Sehingga tidaklah mengherankan bila komunikasi ideologi berarti mengkomunikasikan sesuatu yang bersifat simbolik. Simbolik disini menekankan aspek atribut dan konotasi yang muncul di seputar kata, benda dan objek yang dimaksudkan.63 Simbol terjadi berdasarkan metonimi (metonimy), yakni nama lain untuk benda lain yang berasosiasi atau menjadi atributnya64. Peirce dalam Semiotika Alex Sobur mengartikan simbol sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri, atau secara lengkap “A symbol is a sign which refers to the object that is denotes by virtue of law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as referring to that object.”
63 64
Firmanzah, (2007) Op. Cit. 333 Pemakaian kata atribut merujuk sebagai bagian (part) dari objek yang dirujuk simbol tersebut.
37
Pengertian dasar yang ditemukan dalam konsep kerja identitas dan pandangan interaksi simbolik secara umum, bahwa identitas tidak muncul atau terjadi begitu saja. Identitas adalah hasil kerja atau upaya karena ia merupakan sesatu yang harus dikomunikasikan dan diinterpretasikan. Wickland dan Gollwitzer seperti dikutip oleh Deddy Mulyana dan Solatun dalam Metode Penelitian Komunikasi berpendapat bahwa identitas berkisar sekitar upaya mengumpulkan dan mempertontonkan simbol-simbol dengan maksud untuk membuat label-label definisi diri yang lebih lengkap. Oleh karena itu, individuindividu yang mengalami identitas yang ambivalen dan tidak sempurna biasanya menggunakan simbol untuk mempublikasikan identitas sosial mereka. Sehingga, inti identitas adalah mengumpulkan dan menampakkan simbolsimbol kesempurnaan (diri/organisasi). Simbol-simbol ini digunakan dalam usaha untuk mengkomunikasikan definisi diri, posisi sosial, latar belakang, pengalaman, pencapaian status, sepak terjang pada masa lalu dan prospek/potensinya di masa depan. Usaha inilah yang kemudian didefinisikan Wicklund dan Gollwitzer sebagai Kerja Identitas. Kerja Identitas menyangkut upaya-upaya untuk memperluas realitas sosial. Maksud mereka adalah bahwa identitas-identitas “muncul dan bertahan sepanjang ada pengakuan dari orang lain”.
Sekali seseorang telah memiliki
indikator, rasa kesempurnaan diri harus ditingkatkan sampai pada tingkat di mana ia dapat memberitahu lebih banyak orang tentang hal tersebut. Atau pada tataran yang lebih luas, ia memperbanyak jumlah atau cakupan orang yang akan mengenal kesempurnaan definisi dirinya.65 Atau dalam kata lain, Identitas 65
Mulyana, Deddy dan Solatun, Op. Cit. 221 - 223
38
berkaitan dengan apa yang disodorkan pemasar. Walau demikian identitas harus dibedakan dengan citra, identitas adalah dari sisi partai (pemasar) sementara citra lebih pada apa yang dipersepsikan oleh massa. AB Susanto mengungkapkan hal ini sebagai berikut: “Identitas merupakan pendahuluan dari citra. Identitas dikirim bersama dengan sumber-sumber informasi lainnya dan kemudian melalui media komunikasi sinyalsinyal ini dikirimkan pada konsumen. Sinyal-sinyal ini diperlakukan sebagai stimulus dan diserap (apperception) oleh indera dan ditafsirkan oleh konsumen. Proses penafsirannya dilakukan dengan mengasosiasikan dengan pengalaman masa lalu dan kemudian diartikan. Proses inilah yang disebut sebagai persepsi. Berdasarkan persepsi konsumen inilah citra terbentuk.”66
Simbol sebagai identitas pada dasarnya terkait dengan (1) penafsiran pemakai, (2) kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya dan (3) kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya. Simbol yang ada dalam dan berkaitan dengan ketiga butir tersebut disebut bentuk simbolik. Kekuatan sebuah agama dalam menyangga nilai-nilai sosial menurut Geertz terletak pada kemampuan simbol-simbolnya untuk merumuskan sebuah dunia tempat nilai-nilai itu, dan juga, kekuatan-kekuatan yang melawan perwujudan nilai-nilai itu menjadi bahan-bahan dasarnya. Agama melukiskan kekuatan imajinasi manusia untuk membangun sebuah gambaran kenyataan.67 Daya tarik simbolik merupakan daya tarik emosional karena lebih dititikberatkan pada keadaan psikologis atau perasaan dari calon pemilih, seperti, kecintaan, kebanggaan, kepastian, keamanan dan lain-lain yang menyangkut dengan emosi. Makna suatu simbol bukanlah pertama-tama ciri fisiknya, namun apa yang orang dapat lakukan mengenai simbol tersebut. Dengan demikian semua objek simbolik menyarankan suatu rencana tindakan (plan of action) dan bahwa alasan
66
Susanto, A. B., Himawan Wijanarko. Power Branding: Membangun Merk Unggul dan Organisasi Pendukungnya. (Jakarta: Quantum Bisnis & Manajemen, 2004). 67 Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), 156 - 177
39
untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap suatu objek antara lain diisyaratkan oleh objek tertentu.68 2.4.1
Bentuk Simbol Secara umum, konteks simbolis menurut Adman Nursal dibagi menjadi
empat: 2.4.1.1 Simbol Linguistik Pemilihan simbol linguistik terkait dengan isu apa yang hendak ditekan. Kaitan kuat dengan pemilih dapat dibangun dengan menciptakan simbol konkret yang mudah masuk ke titik fokus kognitif pemilih melalui jalan pintas informasi. Tentu saja simbol-simbol yang digunakan adalah simbol-simbol yang jelas dan dikenal. Dengan demikian simbol-simbol tersebut mudah dimaknai.
Simbol
linguistik biasa berupa positioning statement atau slogan. 2.4.1.2 Simbol Optik Mengacu kepada Schweiger dan Adami, presentasi yang efektif tidak cukup dengan kata-kata melainkan juga dengan gambar. Pasalnya, citra disimpan di otak manusia dalam bentuk gambar dan kode verbal. Ketika menjelaskan person sebagai substansi produk politik sudah disampaikan bahwa fenotipe optis dari seorang kandidat memiliki makna penting dalam kampanye politik. Setidaknya ada empat alasan mengapa gambar menghasilkan efek yang lebih baik dibandingkan dengan kata-kata: 1.
Dicamkan dan disimpan lebih dulu dibandingkan dengan kata-kata
2.
Merupakan alat aktivasi atau stimulus informasi yang lebih cepat dibandingkan teks
3. 68
Lebih mudah diingat dibandingkan dengan kata Ibid, 167.
40
4.
Bisa digunakan untuk menciptakan citra positif produk
2.4.1.3 Simbol Akustik Meliputi bagaaimana nada, irama dan warna bunyi ketika sebuah pesan politik disampaikan. Sudah menjadi pengetahuan umum, kualitas retorika dari seseorang juga dipengaruhi kepiawaannya menggunakan simbol-simbol akustik. Subtsanti bisa sama tapi makna akan berbeda juka disampaikan dengan menggunakan simbol akustik yang berbeda. Simbol-simbol akustik ini memiliki muatan emosi dari substansi pesan yang disampaikan. Seringkali seorang tokoh politik gagal menarik minat massa karena tidak mampu mengelola simbol-simbol akustik dalam berbicara atau berpidato. Simbol-simbol akustik, selain pidato, juga meliputi musik, jingle dan efekefek suara yang digunakan dalam menyampaikan berbagai produk politik seperti iklan, penyelenggaraan event, dan sebagainya. 2.4.1.4 Simbol Ruang dan Waktu Adalah simbol yang menggunakan ruang atau lokasi tertentu untuk membentuk makna tertentu pula. Pidato di kawasan peranga akan berbeda maknanya dibandingkan di tempat aman walaupun substansi pidatonya sama. Penyampaian pesan melalui ruang iklan memiliki makna yang berbeda dibandingkan dengan melalui berita. Selain itu, siapa yang terdapat dalam ruang tersebut juga akan menentukan makna politis yang terbentuk. Waktu atau momentum juga faktor penting untuk membentuk makna politis tertentu. Kritik politik yang disampaikan sebelum peristiwa reformasi memiliki makna yang berbeda dibandingkan setelah reformasi. Organisasi politik yang tangguh umumnya memiliki kepekaan terhadap momentum. Efektivitas
41
pesan juga terkait dengan momentum yang dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan tersebut. Presentasi produk politik – dengan menggunakan media dan konteks simbolis tertentu – sangat penting untuk mengatasi karakter produk politik yang intangible, perishable, dan inseparable. Dengan demikian, para pemilih akan mudah mengenal dan mengasosiasikan produk politik tersebut. Tanpa manajemen presentasi yang baik, produk politik akan sulit dikenal para pemilih, apalagi untuk membangun asosiasi tertentu. Jika hal ini terjadi, kampanye politik tidak akan menghasilkan makna politis yang diharapkan dalam pikiran para pemilih. 2.5
Arti-Penting Agama Seperti dikutip oleh Leege dan Kellstedt dalam Politik Agama Amerika,
Roof dan Perkins mengamati bahwa ukuran-ukuran arti penting agama dimasukkan dalam berbagai survei jauh sebelum maknanya diselidiki secara menyeluruh. Akibatnya, para ilmuwan seringkali mengartikan arti-penting agama secara berbeda-beda, menggunakan konsep itu dalam peran-peran teoritis yang saling bertentangan dan mengharapkannya memperlihatkan beberapa jenis pengaruh politik yang berbeda.69 Pertama, para peneliti menggunakan konsep terebut dalam dua cara. (1) Arti-penting agama secara umum, arti penting ini biasanya mengacu pada pentingnya agama dalam kehidupan seseorang atau kadang kala kuatnya komitmen keagamaan; (2) Relevansi religius, berarti relevansi keyakinan bagi sikap atau keputusan spesifik individu. Sebagaimana yang ditemukan dalam sebuah survei terbaru (seperti diungkap oleh Patterson dan Kim dan dikutip oleh Leege dan Kellstedt), banyak 69
David C. Leege dan Lyman C. Kellstedt, Agama dalam Politik Amerika, Yayasan Obor Indonesia, (Jakarta: 2006), hal. 252 -253
42
rakyak Amerika mengklaim bahwa agama sangat penting, tetapi tidak melihat relevansinya pada keyakinan atau perilaku politik. Dengan demikian, persoalan yang lebih penting adalah bagaimana tepatnya agama muncul sebagai sebuah faktor dalam membuat pilihan politik. (Bagaimanapun, agama bisa berpengaruh tanpa seorang individu menyadari tentang fakta tersebut).70 Terkait dengan hal ini, menyatakan Eep Saefullah Fattah menyatakan bahwa agama punya peran penting dalam menentukan perilaku pemilih. (Kompas, 4 Desember 1998): ”segmen pemilih primordial merupakan pemilih yang cukup besar dalam pemilu mendatang. Mereka terkait dengan simbol-simbol primordial yang terkait dengan mereka”
70
Op. Cit, hal. 253 - 255
BAB III 3 3.1
METODOLOGI PENELITIAN
Tipe Penelitian Sifat penelitian ini akan menggunakan analisa Deskriptif. Analisa
deskriptif
yang
dimaksud
terbatas
pada
usaha
mengungkapkan
suatu
permasalahan atau keadaan atau peristiwa secara obyektif atau bagaimana adanya bersifat mengungkapkan fakta, dimana hasil penelitian tersebut menekankan pada pemberian gambaran secara obyektif mengenai keadaan yang sebenarnya dari obyek yang diteliti.71 Penelitian deskriptif ditujukan untuk: (1)
Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada;
(2)
Mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktekpraktek-praktek yang berlaku
(3)
Membuat perbandingan atau evaluasi
(4)
Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.72 Penelitian deskriptif mencari teori, bukan menguji teori. Penelitian ini
timbul karena suatu peristiwa yang menarik perhatian peneliti, tetapi belum ada kerangka teoritis yang menjelaskannya.73
71
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial. (Gajah Mada University. 1985), 131 Jalaludin Rachmat. Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), 25 73 Ibid 72
44
3.2
Metode Penelitian Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena sifat dari
subyek penelitian tidak dapat didefinisikan dengan baik dan kurang dipahami.74 Para ilmuwan sosial telah lama menduga bahwa religiusitas individu mempengaruhi sikap dan perilaku politik. Namun, hubungan antara keyakinan kegamaan dan konsekuensi politik ternyata tidak begitu jelas. Sebagian dari masalah itu terletak pada menentukan aspek-aspek apa saja dari agama yang mempunyai dampak. Banyaknya dimensi agama mempengaruhi sikap dan perilaku politik dalam cara yang berbeda-beda, menjadikan para analis harus memilah-milah efek-efek tersebut.75 Pendekatan
kualitatif,
lebih
lanjut,
mementingkan
pada
proses
dibandingkan dengan hasil akhir76, oleh karena itu urut-urutan kegiatan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang ditemukan. Hal ini, juga dikarenakan tujuan penelitian ini berkaitan dengan halhal yang bersifat praktis sehingga hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses77. Dalam tradisi penelitian kualitatif terdapat sejumlah pendekatan yang menjadi landasan penelitian. Penelitian ini mengambil pendekatan Fenomenologi . Konsep fenomenologi Alfred Schutz menjadi dasar fenomenologi dalam penelitian ini. Perspektif fenomenologi Alfred Schutz menjelaskan bahwa perilaku aktual manusia haruslah dikaji berdasarkan orientasi subjektif mereka sendiri. Alfred Schutz (1972) mengemukakan hal ini melalui karya klasiknya The 74
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualititatif: Edisi Revisi. (Bandung: Remaja Rosdakarya: 2006), hal. 7. 75 Dikutip dari Wuthnow, 1973 oleh Leege dan Kellstedt, Op. Cit., hal. 251 76 Ciri ke-tujuh dalam karakteristik penelitian kualitatif. Moleong., Op. Cit., hal. 11-12 77 Ibid
45
Phenomenology of the Social World. Schutz tertarik dengan upaya penggabungan sejumlah pandangan fenomenologi dengan sosiologi atas arus pengalaman (stream of experience) manusia tentang dunia. Schutz menganggap manusia adalah makhluk sosial. Kesadaran akan kehidupan sehari-hari adalah sebuah kesadaran sosial yang menurutnya berlangsung dalam dua cara: pertama, kesadaran untuk mengandaikan begitu saja kegiatan orang lain yang dialami bersama; kedua, kesadaran memakai tipe-tipe yang diciptakan dan dikomunikasikan oleh kelompok-kelompok individu yang ada. 78 Fenomenologi memiliki kecenderungan untuk menghindari reduksionis seperti dalam paradigma pendekatan kuantitatif. Namun, pada saat yang sama juga menolak pemikiran spekulatif serta kecenderungan bertumpu pada segi-segi bahasa saja. Sebagai konsekuensinya, kalangan fenomenologis menyarankan suatu metode reflektif berkenaan dengan proses kesadaran dengan memberikan penekanan pada persoalan bagaimana dan/atau untuk tujuan apa proses kesadaran termaksud digunakan. Selebihnya fenomenologi cenderung menggunakan analisis-analisis yang mengarah pada penggambaran, serta pemberian maknamakna atas gejala-gejala yang diteliti.79 Hal ini sejalan dengan pendekatan teoritis bahwa prinsip dari interaksi simbolik adalah dari prinsip berpikir sistemik sehingga memperlihatkan cara pandang holistik terhadap gejala komunikasi. Interaksi simbolik berusaha menempatkan
komunikasi
sebagai
suatu proses menuju kondisi-kondisi
interaksional yang bersifat kovergensif untuk mencapai pengertian bersama (mutual understanding) diantara para partisipan komunikasi dimana informasi memegang peranan pokok. Informasi dalam hubungan ini pada dasarnya berupa 78 79
Mulyana, Deddy dan Solatun., Op.cit. 32 Pawito, Op. cit. 56-58.
46
simbol yang saling dipertukarkan oleh atau di antara para partisipan komunikasi. Dalam studi ini, adalah penting untuk dapat melihat bagaimana nilai-nilai simbolik berperan terhadap identifikasi yang dilakukan oleh masyarakat dan pada akhirnya apakah sistem identifikasi dan persepsi pencitraan serta pemaknaannya tersebut mampu mempengaruhi pemikiran kognitif masyarakat untuk menjadi partisipan suara bagi partai politik bersangkutan. 3.3
Definisi Konsep
1.
Pemaknaan Merupakan hasil analisa dan pemahaman yang melahirkan understanding
and acceptance yang pada akhirnya dapat menimbulkan pemetaan. Pemaknaan mendasari persepsi, sikap dan/atau perilaku. Proses pemaknaan merupakan proses yang meliputi pengolahan aspek kognitif, rasional dan emosional individu terhadap suatu isu. 2.
Pencitraan Partai Politik Strategi MPR yang digunakan oleh Partai Politik untuk mendapatkan
identifikasi (well identified) oleh masyarakat sehingga masyarakat dapat memiliki gambaran atau pencitraan yang baik terhadap partai tersebut yang pada akhirnya diharapkan dapat mempengaruhi perilaku pemilih. 3.
Simbol Islam Segala simbol yang berkaitan dengan dan/atau dapat langsung
dianalogikan sebagai representasi dari Islam (atributif). 4.
YISC Al-Azhar Sebagai subjek penelitian anggota YISC Al-Azhar dianggap representasi
paling mendekati dari diversifikasi umat Islam Indonesia masa kini.
47
3.4
Fokus Penelitian
1.
Pengetahuan dan pemaknaan terhadap simbol Islam
2.
a.
Mengetahui simbol Islam yang diketahui masyarakat; dan
b.
Mengetahui makna Kesakralan Simbol bagi masyarakat
Awareness terhadap pemakaian simbol Islam dalam partai politik a.
Mengetahui awareness (Pemakaian simbol pada partai politik dan kampanyenya) pada masyarakat dan bentuk yang mereka tangkap?
b.
Dapatkah masyarakat menangkap pesan yang berusaha disampaikan dari pemakaian simbol tersebut?
3.
Sikap terhadap pemakaian simbol Islam a.
Penerimaan terhadap pemakaian simbol
b.
Partisipasi Pemilu yang lalu dan alasannnya
c.
Pengaruh simbolik agama pada partai dan kampanyenya pada perilaku pemilih
4.
Ideologi Studi Sebuah partai politik secara ideologi sudah cocok dengan anda namun ternyata mencalonkan kandidat non-muslim. Bagaimana sikap terhadap studi kasus
5.
3.5
Kritik/Saran/Pesan terhadap partai politik
Teknik Analisis Data Akar pemikiran interaksi simbolik mengasumsikan realitas sosial sebagai
proses dan bukan sebagai sesuatu yang statis-dogmatis. Oleh karena itu rencana analisis yang digunakan menggunakan pendekatan yang bukan berkonotasi
48
terhadap means-end namun lebih kepada proses yang mendukung terjadinya tujuan akhir tersebut. Penggunaan interaksi simbolik dalam studi kasus dalam penelitian komunikasi dapat dilakukan dengan mengikuti prosedur sebagai berikut: (1)
Pengolahan data, yang terdiri dari kategorisasi dan reduksi data, Pengolahan data terdiri atas tabulasi dan rekapitulasi data. Tabulasi data
dinyatakan sebagai proses pemaduan atau penyatupaduan sejumlah data dan informasi yang diperoleh peneliti dari setiap sasaran penelitian, menjadi satu kesatuan daftar, sehingga data yang diperoleh menjadi mudah dibaca atau dianalisis. Rekapitulasi merupakan langkah penjumlahan dari setiap kelompok sasaran penelitian yang memiliki karakter yang sama, berdasar kriteria yang telah dirumuskan terlebih dahulu oleh peneliti. Reduksi data diartikan secara sempit sebagai proses pengurangan data, namun dalam arti yang lebih luas adalah proses penyempurnaan data, baik pengurangan terhadap data yang kurang perlu dan tidak relevan, maupun penambahan terhadap data yang dirasa masih kurang. (2)
Penyajian data Proses pengumpulan informasi yang disusun berdasar kategori atau
pengelompokan-pengelompokan yang diperlukan. (3)
Interpretasi data; Interpretasi data merupakan proses pemahaman makna dari serangkaian
data yang telah tersaji, dalam wujud yang tidak sekedar melihat apa yang tersurat, namun lebih pada memahami atau menafsirkan mengenai apa yang tersirat di dalam data yang telah disajikan.
49
(4)
Penarikan kesimpulan-kesimpulan/verifikasi. Penarikan kesimpulan/verifikasi merupakan proses perumusan makna dari
hasil penelitian yang diungkapkan dengan kalimat yang singkat-padat dan mudah difahami, serta dilakukan dengan cara berulangkali melakukan peninjauan mengenai kebenaran dari penyimpulan itu, khususnya berkaitan dengan relevansi dan konsistensinya terhadap judul, tujuan dan perumusan masalah yang ada. 3.5.1
Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data Penelitian ini akan menggunakan teknik Triangulasi dengan sumber.
Teknik ini memanfaatkan pengecekan sumber lain untuk pembanding. Secara khusus teknik ini berusaha membandingkan dan mengecek kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda seperti: a.
Perbandingan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara;
b.
Perbandingan keadaan dan perspektif (contohnya antara rakyat biasa dengan golongan berpendidikan atau dengan pejabat pemerintah).
3.6
Nara Sumber (Subyek Penelitian) Merupakan narasumber yang dianggap memiliki kompetensi dan
kredibilitas untuk dapat menjabarkan fenomena yang terjadi dalam kacamata keilmuan.: 3.6.1
Informan Kunci (Key Informan)
1.
YISC Al - Azhar YISC Al-Azhar adalah unik karena posisinya sebagai pionir (organisasi
remaja mesjid yang pertama di Jakarta), keragaman stratifikasi sosial dari anggotanya, hingga rentang usia anggotanya yang cukup luas. Anggota YISC sangat bervariasi mulai dari berbagai golongan profesi siswa SMU, mahasiswa/i, Ibu Rumah Tangga, Pengacara, Dosen, Karyawan, Karyawan NGO, Karyawan
50
Swasta, dan lain-lain hingga perbedaan pendidikan (lulusan SMU, D3, dll), status (Kawin/Tidak Kawin/punya tanggungan atau tidak), tingkat ekonomi dsb. Diversifikasi ini merupakan representasi yang kuat atas masyarakat Indonesia dimana pola pikir kedaerahan dan modernisme untuk maju ke arah bangsa yang majemuk dan dewasa. 3.6.2
Informan
1.
Pemuka Masyarakat Peneliti mendefinisikan pemuka masyarakat sebagai opinion leader atau
merupakan figur yang memiliki karakteristik kuat sebagai informan yang kredibel. Figur seperti ulama diharapkan akan mampu memberikan penjelasan tambahan mengenai hukum tentang penggunaan atribut keislaman sebagai bagian dari identifikasi partai politik. Bagaimana Islam sesungguhnya memandang demokrasi dan kecenderungan dampak sosiologis terhadap pemakaian atribut tersebut dalam praktek kampanye. Peneliti menemukan bukti pertama atas klasiknya isu ini adalah berdasarkan hasil wawancara-wawancara yang dilakukan oleh media massa terhadap pemuka masyarakat. 3.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data primer dan data sekunder. “Data primer adalah data yang diperoleh langsung oleh pengumpul data dari obyek penelitian. Sedangkan data sekunder adalah semua data yagn diperoleh secara tidak langsung dari obyek yang diteliti.”
Data primer bersumber pada hasil observasi non-partisipatif.
51
3.6.3
Data Primer
3.6.3.1 Observasi Non-Partisipatif Peneliti melakukan observasi non-partisipatif supaya mendapatkan gambaran situasi sosial secara umum dan kemudian dijadikan acuan atas tindakan sosial selanjutnya. 3.6.3.2 In-Depth Interview Wilayah Jakarta digunakan sebagai daerah observasi karena Jakarta merupakan representasi dari suku bangsa yang ada di Indonesia. Faktor tingkat pendidikan, kemakmuran, pola pikir dan akses informasi yang lebih bervariasi dibanding dengan daerah-daerah lain di Indonesia dianggap menjadi nilai tambah daerah ini dalam penelitian ini. Wawancara mendalam (in-depth interview) merupakan jenis wawancara dengan pedoman wawancara (interview guide) dengan lebih memfokuskan pada persoalan-persoalan yang menjadi pokok dari minat penelitian.80 Subyek wawancara adalah anggota YISC dalam kategorisasi masyarakat atas perbedaan gaya hidup, budaya, tingkat kemampuan ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan/atau religiusitas. Dalam penelitian ini, informan kunci diambil dengan menggunakan snowball-samplinq technique (teknik sampling bola salju). “Metode snowball merupakan metode yang mengharuskan peneliti memulai dari keterangan seorang informan pangkal yang dapat memberikan petunjuk lebih lanjut tentang adanya individu lain dalam komunitas yang dapat memberikan berbagai keterangan lebih lanjut yang diperlukan peneliti. Informan-informan pangkal serupa itu sebaiknya merupakan orang yang mempunyai pengetahuan meluas mengenai berbagai sektor dalam masyarakat dan mempunyai kemampuan untuk mengintroduksikan kita sebagai peneliti kepada informan lain yang merupakan ahli tentang sektor-sektor masyarakat atau unsur-unsur kebudayaan yang ingin peneliti
80
Pawito, Op. Cit., 133
52
ketahui. Informan-informan lain itulah yang disebut informan pokok atau key informan.”81
3.6.4
Data Sekunder Penulis menggunakan studi dokumentasi sebagai data sekunder dengan
pertimbangan bahwa dalam melakukan observasi yang tidak terlibat, peneliti akan sangat tergantung dengan hasil data-data survei yang telah dijadikan penelitian sebelum yang indikatornya dapat dijadikan petunjuk atas penjelasan fenomena yang terjadi. Dokumentasi yang dimaksud berupa studi pustaka, jurnal, transkrip ataupun tulisan-tulisan ilmiah dalam berbagai media (termasuk didalamnya web). Periode Riset untuk data riset adalah data-data yang berusia tidak kurang dari masa 2 (dua) kali Pemilu (1999 dan 2004) sebelum Pemilu tahun 2009. Sementara, untuk pengambilan data aktual terhadap responden dan pihak partai yang diwawancara adalah pada masa persiapan Pemilu 2009. 4
81
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1994), 163 – 164
53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1
Gambaran Umum Objek Penelitian
4.1.1
Subyek Penelitian (YISC Al-Azhar)
4.1.1.1 Sejarah Umum YISC Al-Azhar YISC Al-Azhar merupakan organisasi pemuda masjid pertama di Indonesia (16 Mei 1971).82 YISC dibentuk sebagai pengajian yang dikelola oleh dan untuk kaum remaja dan kaum muda Islam. Sehingga bentuknya adalah lebih kepada transfer of knowledge daripada pendidikan formal. Gambar 4.1 Logo YISC Al-Azhar – Jakarta
Gambar 4.2 Kompleks Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta
YISC Al-Azhar sejak awal kelahirannya menempati kantor sekretariat dan beraktivitas di dalam Kompleks Masjid Agung Al-Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (lihat gambar 4.2). YISC Al-Azhar hingga kini dikaryakan sebagai wadah bagi pemuda dan/atau
remaja
untuk
berinteraksi,
berkreasi,
mengekspresikan
dan
mengaktualisasikan diri. Termasuk sebagai wadah pergaulan alternatif bagi remaja/pemuda, khususnya yang tinggal di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
82
http://www.hanyawanita.com/_event/flash/article.php?article_id=8395
54
YISC Al-Azhar merupakan organisasi pemuda yang dirancang untuk mengenalkan Islam kepada pemuda bukan sebagai otoritarian yang mengharuskan pemuda untuk sudah mengenal Islam saat hendak mau masuk YISC Al-Azhar. YISC Al-Azhar cenderung bersikap tolerir terhadap setiap perkembangan kebudayaan dan tidak bersikap diskriminatif terhadap calon anggota. Pemuda manapun yang mau belajar Islam dipersilahkan untuk bergabung. Hal ini sesuai dengan visi YISC Al-Azhar sebagai komunitas belajar yang berakhlakuk karimah dengan berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. YISC Al-Azhar diharapkan dapat menjalankan misi sebagai Doa Ilallah (berda’wah di jalan Allah), Amila Shalihan (melakukan amal saleh), dan Innani minal Muslimin (menegakkan kepribadian muslim) (QS. Fussilat:33). YISC Al-Azhar berupaya mengundang kaum pemuda dalam tujuan memakmurkan mesjid-mesjid Allah (QS At-Taubah:18), menegakkan persatuan dalam agama Allah (QS. Ali Imran: 103) dan berjuang menuju keridhaan Allah SWT (QS. Al-Ankabut:69) 4.1.1.2 Kegiatan untuk Anggota Seperti pola pendidikan di institusi pendidikan formal, YISC Al-Azhar juga mengenal tingkat-tingkat pembelajaran. Contohnya, seorang anggota baru akan masuk ke dalam tingkat dasar. Pengetahuan wajib yang harus diikuti adalah BSQ dan SII (lihat lampiran 1). Untuk tingkatan di kelas BSQ ditentukan berdasarkan seberapa lancar kemampuan studi baca Quran-nya. Sementara kelas SII dibagi lebih berdasarkan rentang usia. Kelas dasar berlangsung selama 1 semester (6 bulan) ditutup dengan penyelenggaraan Tafaquh Fiddin yang diharapkan dapat menjadi simulasi implementasi praktis dari yang sudah dipelajari di kelas.
55
Selanjutnya, anggota kelas dasar dapat meningkatkan status ke kelas lanjutan. Pembelajaran satu semester ke depan masih dalam pola yang sama dengan kelas lanjutan. Privilege dari kelas lanjutan adalah mereka boleh mengikuti program magang, membantu divisi kerja YISC. Ketika masa lanjutan selesai mereka boleh untuk dinominasikan sebagai pengurus YISC. Kegiatan YISC tidak terbatas pada kegiatan untuk anggota saja. YISC juga memiliki program-program bagi umum yang ingin mengenal Islam lebih baik. Sifat program tersebut dapat bersifat insidentil ataupun merupakan program yang berlanjut, dengan biaya pendaftaran ataupun tidak. Untuk lebih lengkap mengenai kegiatan YISC untuk anggota dan umum ini lihat Lampiran 1 dan untuk Prestasi Karya lihat Lampiran 2. 4.1.1.3 Narasumber dan Referensi Berikut daftar Narasumber dan pemberi referensi bagi YISC Al-Azhar dalam 3 tahun terakhir sebagai berikut: Para Alumni YISC, Takmir Masjid Al-Azhar, mahad Al-Hikmah, IKADI, FORSIMTA, Pengajar IAIN, LIPIA, PTIQ, UIJ, Pengajar beberapa Pesantren di Jakarta, Institusi, Ormas dan Lembaga Islam
Beberapa tokoh antara lain : Yusril Ihza Mahendra, Jimly Assidiqie, Hidayat Nur Wahid, Subki Al-Bughury, Reza M. Syarief, Abdullah Gymnastiar, Ahmad Safori Ismail, Attabik Luthfi, Abdurrahman Jundi, Satria Hadi Lubis, Ahmad Sarwat, Adhiyaksa Dault, Syukron M. Toha, Ahmad Yani, Imam Prasojo, Said Agil Al Munawar, Komarudin Hidayat, AM Fatwa, Din Syamsudin, Azyumardi Azra, Arief Rahman, Bahtiar Natsir, Afif Hamka, Sukeri Abdillah, Ferry Nur, Garin Nugroho, Shobahussurur,
56
Ratna Sanumpeat, Agus Abubakar, Hartono Ahmad Jaiz, Rusydi Hamka, Suharyadi, Arifin Ilham, Suharyadi, Hatta Rajasa, Anwar Sanusi, Ade Purnama, Lthfiah Sungkar, Astri Ivo, Nasaruddin Umar, Ibnu Jarir, Syahroni, David Chalik, Mardiyanto Lc, Ahmad Muzammil, Abu A’la Al Maududi, Imanuddin Abdulrahim, Adhian Husaini, dll. 4.1.1.4 Struktur Pengurus YISC Al-Azhar Dengan aktif menjadi pengurus organisasi, YISC memberikan kesempatan bagi anggotanya untuk belajar manajemen organisasi, manajemen kepemimpinan, manajemen pengelolaan konflik, manajemen waktu dan sebagainya. YISC Al-Azhar juga adalah tempat untuk memperluas jaringan (networking)
sehingga
akan
menciptakan peluang-peluang serta potensi
berinteraksi dalam kaidah Akhlak dan Akidah Islamiah. Musyawarah Lengkap (Musleng) YISC Al-Azhar 2008, telah menetapkan susunan pengurus YISC Al-Azhar masa bakti 2008 – 2009 (Lihat Lampiran 3). 4.2
Pembahasan Meskipun kajian penelitian ini pada akhirnya adalah berupa saran terhadap
strategi Humas yang dilancarkan oleh Partai Politik. Namun ketika berbicara tentang Islam sebagai unsur dari strategi tersebut maka adalah penting untuk menelusuri tentang bagaimana sebenarnya Islam memandang politik dan dimana posisi politik bagi Islam. Ini kemudian merujuk kepada pemahaman Islam terhadap demokrasi sehingga melahirkan suatu dasar pijakan dalam merencanakan suatu rencana kehumasan berkaitan dengan hal ini.
57
4.2.1
Islam dan Politik
4.2.1.1 Pendahuluan: Potensi Islam dalam Politik Indonesia Peneliti melihat bahwa Islam potensial dalam tataran politik Indonesia. Oleh karena itu tidak heran bila pemakaian simbolik Islam sebagai pemanfaatan asas kedekatan emosional masyarakat masih tetap digunakan meski strategi ini sudah klasik. Pemakaian ini, menurut peneliti, terutama didukung oleh hal-hal sebagai berikut: Pertama, masyarakat Indonesia ataupun masyarakat timur pada umumnya adalah masyarakat yang sangat terikat oleh nilai-nilai. Nilai-nilai ini menjadi pegangan dan dasar dari kehidupan. Nilai-nilai kedaerahan maupun keagamaan pada akhirnya akan menbentuk identitas bagi masyarakatnya. Uniknya, kedua nilai ini seakan menjadi simbiosa yang dapat dipersatukan meskipun sebenarnya tidak ada dalil yang jelas tentang hal ini. Contohnya, kepercayaan slametan 1,3,7,40 dan haul bagi masyarakat Jawa yang beragama Islam sebagai tradisi mengirim doa terhadap arwah. Kebudayaan ini tidak ada di Makassar meskipun mayoritas penduduknya juga beragama Islam. Namun, bagi masyarakat Jawa absensi terhadap penyelenggaran tradisi ini bisa dianggap sebagai suatu tindakan yang tidak menjalankan ritual Islam. Penggunaan dalil atas nilai-nilai yang sudah dikenal dan dianut dengan baik oleh masyarakat tentunya mempercepat proses identifikasi masyarakat terhadap partai politik. Kedua, Islam sendiri merupakan agama mayoritas di Indonesia. Meskipun ada perbedaan pola pikir Islami dalam masyarakat sendiri, namun konsep persatuan dalam rumpun Islam sudah merupakan kekuatan penggunaan atribut Islam dalam kampanye politik.
58
Ketiga, adanya penafsiran dalam Islam, bahwa agama dan politik tidak dapat dipisahkan. Dalam Islam, kecenderungan teologis praktis mengacu kepada perbedaan-perbedaan rumusan fiqh, yang merupakan tata laku dari segala urusan duniawi termasuk di dalamnya urusan politik (Fiqh Siyasi, Fikih Politik). Disini berlaku Islam sebagai identitas yang melahirkan identitas keagamaan bagi masyarakatnya. Leege dan Kellstedt mengatakan bahwa identitas keagamaan pada dasarnya muncul akibat dua sumber, yakni afililiasi keagamaan dan doktrin keagamaan.83 Al-Qardhawi (1999:34-35) seperti dikutip Asep Saeful Muhtadi dalam Komunikasi Politik Indonesia84, menafsirkan Siyasi sebagai pandangan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Agama dan politik harus berhubungan secara organis. 85 Keempat, berkembangnya pola pikir masyarakat Islam yang mendorong pada pengelompokan golongan Islam. Fenomena ini sebagaimana digambarkan dalam laporan kebebasan beragama Indonesia 2007 adalah sebagai berikut: “Most Muslims in the country are Sunni. The Shi'a estimate that there are between one and three million Shi'a. The majority of the mainstream Muslim community follows two orientations: modernists, who closely adhere to scriptural orthodox theology while embracing modern learning and concepts; and traditionalists, who often follow charismatic religious scholars and organize around Islamic boarding schools. The leading modernist social organization, Muhammadiyah, claimed 30 million followers, while the largest traditionalist social organization, Nahdlatul Ulama, claimed 40 million.
83
Leege dan Kellstedt, Op. Cit, 141 Muhtadi, Asep Saeful, Komunikasi Politik Indonesia, Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru, (Jakarta, 2008), 67. 85 Di Indonesia paham ini dianut oleh M. Natsir, pemimpin partai Masyumi yang pernah menyatakan pentingnya negara Islam di Indonesia (1955). Pemikirannya berdasar pada konsep “persatuan agama dan negara”, Negara bukanlah tujuan melainkan alat. Tujuannya adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi. Menurutnya, ada beberapa alasan mengapa Islam pantas dijadikan sebagai dasar negara, diantaranya (1) karena agama lebih banyak memberikan pemeluknya peluang dan kemungkinan untuk mencari ilmu dan kebenaran; dan (2) paham agama meliputi seluruh bagian kehidupan termasuk kematian, pikiran, perasaan dan tindakan lainnya. Ibid, 67. 84
59
Smaller Islamic organizations range from the Liberal Islam Network, which promotes an individual interpretation of doctrine, to groups such as Hizb ut-Tahrir Indonesia, which advocates a pan-Islamic caliphate, and the Indonesian Mujahidin Council, which advocates implementation of Shari'a as a precursor to an Islamic state. A small minority of people subscribe to the Ahmadiyya interpretation of Islam and there are 242 Ahmadiyya branches. Other messianic Islamic groups exist, including Darul Arqam, Jamaah Salamulla (Salamulla Congregation), and the Indonesian Islamic Propagation Institute.”86
Setiap aliran ini masing-masing memiliki penganut yang loyal dan organisasi massa yang besar. Contohnya, organisasi keislaman Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) merupakan representasi dari aliran modernis dan tradisionalis. Penganutnya yang loyal merupakan pemilih potensial, sehingga tidak heran bila dalam program kampanye partai politik, partai-partai politik tertentu berupaya untuk mengasosiasikan diri dengan salah satu organisasi Islam tersebut. Kelima, hubungan historis-politis antara Islam dengan perkembangan politik di Indonesia sudah berlangsung erat. Kedekatan Islam dengan ideologi politik mulai berkembang di Nusantara sejak akhir abad 13 – awal abad 1487. Dimulai dari pertumbuhan praktek perdagangan dengan pedagang Muslim, yang pada kenyataannya, membentuk dan telah menjadi bagian integral dari sejarah politik negeri. Mencapai puncaknya ketika sistem kerajaan tradisional mulai membentuk kerajaan Islam. Kesultanan Demak, Banten, Gowa merupakan salah satu contoh keberhasilan Islam menjadi ideologi politik negara. Sistem kesultanan yang dianut merefleksikan kuatnya dominasi Islam dalam negara.88
86
the Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor, US Department of State, International Religious Freedom Report 2007, (14 September 2007, http://www.state.gov/g/drl/rls/irf/2007/90137.htm)
87
Effendy Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Politik Islam di Indonesia, (Jakarta, 1998), 21-22.
88
Kata Sulthan merupakan istilah yang diperkenalkan Al-Quran berkenaan dengan kekuasaan politik. Kata ini disebut dalam Q.S. Al-Isra', 17/50:33 dan 80 dengan makna kekuasaan.
60
Pemimpin agama, seperti Wali Songo, merupakan suatu kekuasaan yang bergerak di luar kekuasaan kesultanan. Masyarakat memiliki dua pemimpin yang harus dihormati, pemimpin spiritual yang menjadi referensi atas segala dan pemimpin kesultanan yang harus dihormati karena tatanan struktural keduniawian. Dari sini sudah mulai terlihat bahwa sistem agama dan politik sudah mulai ada pemisahan. Meski, Sultan sebagai pemimpin negara setiap ada masalah selalu dikembalikan kepada tatanan agama sebagai laku undang-undangnya namun jalannya suatu struktural kekuasaan dengan diplomasinya adalah masalah keduniawian. Konsep Islam dalam politik tampaknya sudah sangat melekat sebagai identifikasi masyarakat dan kemudian dituding sebagai salah satu penyebab kondisi instabilitas pasca Pemilu I Indonesia 1955. Pada saat itu, Pemilu yang kerap digambarkan sebagai salah satu contoh pemilu yang terbuka dan bebas diikuti lebih dari 30 partai politik dan lebih dari seratus calon perorangan. Namun alih-alih terkonsolidasi, demokrasi Indonesia pasca Pemilu malahan mengalami arus balik. Kondisi instabilitas yang diakibatkan oleh terciptanya posisi kunci mati (deadlock) dalam pembahasan undang-undang dasar terutama yang menyangkut isu dasar negara antara pendukung negara Islam dan negara Pancasila ditambah degnan pemberontakan-pemberontakan di daerah. Menyoroti Islam, Pemilu 1955 dan Indonesia ini digambarkan lebih jeli oleh Crouch seperti dikutip oleh Saiful Mujani dan R. William Liddle sebagai berikut:
Dikaitkan dengan konsep kekuasaan politik negara, dalam konotasi sosiologis, terlihat bahwa istilah tersebut lebih relevan dengan konsep kemampuan daripada konsep kewenangan (otoritas). Abdul Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada bekerja sama dengan Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1994), 5-6.
61
“Indonesian political experience partly shows how strong Islamic as political culture towards the failure of democratic transition in 1950s. At that moment, Islam is understood and translated as a political identity, thus national politics were divided into two political groups: Islam Nationalist versus Secular nationalist, or santri versus abangan (Geertz, 1960). The elites from blocks failed to reach a compromise in relation to the state’s ideology, although this failure was not merely because of polarization of ideologies. The military factor and President Soekarno who was almost eliminated in the national politics clearly contributed to this failure. (Crouch, 1988).”
4.2.1.2 Islam, Politik, Demokrasi, Pemilu dan Indonesia Konsepsi politik murni mengajarkan makna sekularisme, kekuasaan duniawi. Pandangan ini pada masyarakat majemuk harus disikapi dengan pandangan terbuka dan toleransi tinggi. Politik bertumpu kepada asas demokrasi. Dimana pada demokrasi, kebebasan bersikap, berperilaku, berpikir adalah didasarkan pada asas teori-teori rasional logis. Oleh karena itu hukum yang diterapkan adalah hukum heterogen. Hal ini sesungguhnya berseberangan secara diametral dengan akidah tauhid dalam Islam. Menurut Qardhawi, akidah tauhid pada hakikatnya adalah revolusi untuk mewujudkan kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan bagi manusia sehingga tidak boleh sebagian manusia menjadikan sebagian lainnya sebagai Tuhan selain Allah dan akidah tauhid juga membatalkan penyembahan manusia kepada manusia (penghormatan yang berlebihan). Ide tauhid dalam Islam bertumpu pada asas bahwa manusia muslim tidak akan mencari Tuhan selain Allah, tidak akan menjadikan pelindung selain Allah dan tidak akan mencari hakim selain Allah, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-An’am. 89 Firman Allah SWT menegaskan mengenai hal ini sebagai berikut: “Tidaklah hukum itu melainkan milik Allah; Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya.” (QS. Yusuf: 40).
89
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid 1. (Jakarta: Gema Insani Press: 2008) 898
62
Penjelasan diatas merujuk pemahaman bahwa konsepsi politik dalam Islam bertumpu pada Islam adalah politik. Walau demikian, di kalangan umat Islam, masih terjadi perbedaan pandangan mengenai hubungan Islam dan politik. Meski, sesungguhnya Islam adalah satu, tidak bersekutu dan bertumpu pada Al-Quran dan Al-Hadits namun perkembangan aliran-aliran seperti yang telah disebutkan diatas latar belakangnya menimbulkan perbedaan cara pandang dalam bersikap dan berperilaku dalam politik dan demokrasi. Peneliti melihat bahwa situasi kontradiktif antara kehadiran kaum pelajar (moderat Islam) dan konsepsi tradisional religiusitas masyarakat masih merupakan dua hal yang sebenarnya bertolak belakang dan tidak sinergis. Antara rasio memilih pemimpin yang terlihat capable namun secara religiusitas rendah merupakan suatu potensi konflik. Sekularisme Indonesia maupun demokrasinya tidak akan pernah murni mengingat sifat bangsa kita yang merupakan penganut nilai-nilai yang taat (baik religiusitas maupun adat istiadat). Inilah yang coba dipahami dalam penelitian ini apakah sebuah Partai Politik yang menyatakan dekat atau bersinggungan dengan agama tertentu menyadari manakah yang paling berperan dalam masyarakat, rasionalitas atau emosional?. Atau dalam kata kata lain, seberapa penting arti-penting agama dalam demokrasi?. Demokrasi merupakan wadah dari kreatifitas politik suatu Negara. Demokrasi murni mendukung persaingan bebas antar ideologi untuk kemudian bekerja sama mewujudkan ketertiban umum bangsa. Lebih lanjut Joseph A. Schumpeter menyatakan bahwa “democratic method is the institutional planning
63
to achieve political agreement in which individual has rights to acquire the power to decide by means of competitive struggle for people’s vote”. Tidak pernah ada kata yang dengan pas dapat mendefinisikan makna demokrasi. Menurut Nurcholis Madjid, sesuai dikutip oleh Anas Urbaningrum90, demokrasi adalah konsep yang hampir-hampir mustahil untuk ditakrifkan. Oleh karena itu cukup dikatakan bahwa demokrasi adalah sinonim dengan apa yang disebut polyarchy. Demokrasi dalam pengertian ini bukanlah sistem pemerintahan yang mampu mencakup seluruh cita-cita demokratis, tetapi yang mendekatinya dalam batas-batas yang pantas. Atau dalam kata lain, esensi dari demokrasi adalah hukum yang bersumber dari rakyat sehingga konsep hukum itu sendiri adalah mengikuti aspirasi rakyat yang terbesar. Tidak heran bila Emha Ainun Nadjib menempatkan demokrasi dalam tingkat kebenaran yang lebih tinggi, yakni benarnya orang banyak.91 Demokrasi lebih lanjut disebut sebagai logo-nya kehidupan modern. Ia bahkan melebihi segala Agama, bahkan lebih tinggi dari Tuhan. Hukum rakyat adalah bersifat sosialis bukan atas dasar ingin menyenangkan dan memuaskan semua pihak namun kesejahteraan-yang idealnyabersama. Hukum ini kemudian dikuasakan kepada wakil rakyat yang dianggap memiliki kemampuan untuk mewujudkan cita-cita bersama dengan proses liberalis. Kebebasan penuh untuk berekspresi dan punya pemikiran kreatif tentang visi, misi serta tujuan yang direncanakan untuk mencapai tujuan strategik ideal 90 91
Urbaningrum, Anas. Islamo-Demokrasi: pemikiran Nurcholis Madjid, (Jakarta: Penerbit Republika), 105 Emha Ainun Nadjib mengemukakan tiga model kebenaran. Pertama, benarnya sendiri (benere dhewe), Kedua, benarnya orang banyak (benere wong akeh), Ketiga, kebenaran hakiki (bener kang sejati). M. Alfan Alfian, M. Aprinus Salam dan Wawan Susetyo.Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib, (Jakarta: Penerbit Zaituna dan Republika), hal. 217
64
kebangsaan tersebut. Hukum rakyat adalah amanat dan bukan pemberian (gift) yang dapat disalahgunakan (menuntut penghormatan berlebih diluar kapasitasnya sebagai pemimpin negara). Benarnya orang banyak (demokrasi) sangat penuh kelemahan dan sama sekali tidak mengandung jaminan keselamatan diantara pelakunya, bahkan bagi pelaku diktatorisme mayoritas itu sendiri. Benarnya orang banyak harus disangga oleh sangat banyak faktor lain: kematangan budaya, tegaknya akal dan kejujuran, pendidikan yang memadai, kedewasaan mental kolektif dan lain sebagainya. Lebih lanjut pertentangan konsep demokrasi dalam Islam secara global, digambarkan oleh Saeful Mujani dan R. William Liddle dalam Islam, Political Culture and Democratization: A Preliminary Comparative Analysis dalam tiga bentukan opini. Pertama, bahwa Islam dan demokrasi merupakan dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak dapat menjadi sub-bagian dari demokrasi. Kedua, Islam berbeda dari Demokrasi. Demokrasi dimaknai sebagai suatu keteraturan bersama yang disetujui dan dilaksanakan secara sadar dalam suatu kesatuan Negara. Sementara, Islam dimaknai sebagai sistem politik yang bisa dikatakan demokratis bila berkaitan dengan pasal bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan Negara merupakan perwujudan dari kedaulatan dari tangan rakyat. Namun, kedaulatan di tangan rakyat disini lebih ke arah homogenitas. Dimana, ada satu mayoritas kelompok yang memiliki kuasa dalam kedaulatan tersebut. Kecenderungan ini, diterjemahkan oleh beberapa pihak sebagai melanggar peraturan utama demokrasi yakni pluralisme dan persaingan antara
65
kelompok sosial dibatasi. Contohnya di Iran, tidak boleh ada partai politik yang tidak beraliran Islam. Ketiga, Islam merupakan suatu sistem nilai yang membentuk dan mendukung sistem politik demokratis. Hal ini membentuk pandangan bahwa suara rakyat harusnya adalah suara Tuhan yang kemudian menjadi basis dalam pemilihan umum dan partai-partai politik (“The view on the voice of the people is the voice of the God, which is translated into electoral politics and party politics, lives among Islamic thinkers, although it may not be the mainstream”92) Kelemahan benarnya orang banyak (demokrasi) bagi bangsa yang yang cenderung menghindari konflik diinterpretasikan kepada sikap lebih condong kepada apa yang sudah secara hakiki ditetapkan dalam aturan yang jelas (Agama, misalnya). Sikap ini berangkat dari pemahaman masyarakat bahwa „Tuhan itu demokratis, sedangkan agama seringkali otoriter“.93 Demokratis sejati adalah milik Tuhan sehingga, demokrasi adalah wujud kesempurnaan yang sulit dicapai. Jalan mencapai kesempurnaan tersebut adalah melalui jalan Agama sehingga Agama lebih dimaknai sebagai otoritas tertinggi dan otoriter yang paling benar dan dibenarkan. Demokrasi menganggap bahwa Islam menghalangi kebebasan bagi rakyat untuk mengekspresikan aspirasinya sementara Islam sendiri berpendapat bahwa kebebasan yang paling bebas adalah kebebasan atas nama Allah SWT.
92
Seperti dikutip Saiful Mujani dan Wiliam Liddle dalam Islam, Political Cultural and Democratisation, dari Kurzman, 1998
93
T. Arif Hidayat Malik, Tesis-tesis tentang Agama, Tuhan dan Negara, (4 Juni 2008 : http://sufimuda.wordpress.com/2008/06/04/tesis-tesis-tentang-agama-tuhan-dan-negara/)
66
Di Indonesia, konflik antara demokrasi dan Islam terlihat sejak awal berdirinya Negara Republik Indonesia. Analisa Douglas E. Ramage dalam bukunya Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance melihat bahwa pertentangan antara “Negara” dan “Islam” adalah dua sisi yang cukup dominan mewarnai diskursus politik Indonesia.94 Di jaman Orde Baru, pertentangan Negara dan Islam juga tetap berlanjut. Asep Saeful Muhtadi menyatakan, pada masa tersebut isu Negara hampir selalu digandengkan dengan militer dan Islam selalu diidentifikasi dengan komando jihad.95 Pemilu sendiri sebagai refleksi dari pesta demokrasi sampai sekarang masih diperdebatkan di kalangan aliran Islam tertentu. Forum Komunikasi ITB pada Juni 2007 memuat posting Abu Faris An-Nuri mengenai keputusan tentativenya untuk mengikuti Pemilu. Di awal tulisannya beliau menulis: “Sekedar informasi, bahwa selama ini saya belum pernah ikut serta dalam pemilu satu kali pun, seingat saya. Dan, pendapat saya terkait keikutsertaan dalampemilu kali ini pun masih bersifat tentative, dapat berubah sekiranya saya mendapatkan argument lain yang lebih kuat, sebagaimana halnya dulu pun saya tidak berpendapat sebagaimana yang sekarang ini.”96
Lebih lanjut Abu Faris menulis pendapat dua ulama yang berbeda pendapat tentang hal ini namun masing-masing dengan argumen yang kuat. Syaikh Ibn al-‘Utsaimin memfatwakan untuk turut serta dalam pemilu. Namun, sebagian ulama yang lain, semisal Syaikh Muqbil, melarang secara mutlak
94
Isu ini muncul bahkan sejak saat para pendiri bangsa ini memikirkan format Negara yang akan lahir pada masa pasca kolonialisme tahun 1945. Perdebatan tentang dasar Negara, misalnya menuntut sejumlah pasal UUD 1945 yang telah disetujui oleh majlis konstituante diamandemen karena mengandung cita-cita politik Islam sehingga dianggap tidak mengikuti era politik demokrasi yang seharusnya dijunjung negara ini. 95 Muhtadi, loc. cit 93 96 Abu Faris An-Nuri, http://salafyitb.wordpress.com/2007/06/19/pendapat-lain-tentang pemilu (1of40)5/12/2008 3:17:39pm
67
keikutsertaan dalam pemilu, dengan alasan pemilu dan demokrasi merupakan sistem yang megandung berbagai macam kebatilan bahkan kekufuran (mengarah kepada syubhat). Keputusan Abu Faris An-Nuri untuk menulis alasan-alasannya untuk pada akhirnya ikut Pemilu ternyata mengundang komentar-komentar yang menarik dari pembacanya. Beberapa menentang keputusan tersebut baik secara sinikal dan bahkan secara sarkasme menyatakan bahwa Pemilu adalah HARAM dalam Islam. Tulisan ini pun pernah dijadikan dasar penulisan artikel pada website myquran.com dalam judul “Bila Ustad Salafy “mendukung” PEMILU….”, Agustus 2007. Untuk lebih jelasnya melihat betapa menariknya isu ini Peneliti melampirkan keseluruhan posting tulisan dan komentar-komentarnya pada Lampiran 4: Forum Komunikasi Islam ITB, Pendapat Lain tentang Pemilu. Relevansinya ialah partai politik yang cerdas harus dapat mengolah fenomena ini sebagai strategi humasnya. Bahwa sebelum mereka mencoba untuk menjual suara partai kepada masyarakat mereka harus terlebih dahulu mendidik masyarakat97. Untuk kasus partai politik, cara pertama ialah mengetahui sasaran massa partainya. Setelah itu, baru kemudian dibuat program-program kehumasan untuk memenuhi tiga kebutuhan manusia dari pandangan politik pasar terhadap produk politik, yaitu (i) needs, kebutuhan paling dasar, bersifat fisik. Rakyat membutuhkan makan, sembako yang cukup, perumahan yang murah, pendidikan gratis, transportasi umum yang murah dan memadai dan sebagainya. (ii) wants, kebutuhan yang didasari oleh keinginan, merupakan kelanjutan dari needs, namun cara memenuhinya yang berbeda. Kemudahan untuk punya mobil pribadi, bebas 97
Lihat pendapat Deliberate tentang humas, bahwa humas adalah kegiatan yang disengaja (intentional). Hal ini sengaja dilakukan untuk mempengaruhi, meningkatkan pemahaman, menyediakan informasi dan memperoleh umpan balik.
68
fiskal, dan sebagainya (iii) Expectations, pemberdayaan pajak negara yang bertanggung jawab, negara bebas korupsi dan sebagainya. Pada level wants and expectations inilah pemasar maupun perancang komunikasi Marketing PR Politik memanfaatkan perilaku konsumen yang mengubah keinginan dan harapan, menjadi kebutuhan dasar yang membutuhkan pemenuhan segera. Opini konsumen dipengaruhi agar dirinya merasa tidak nyaman dan digiring untuk segera memenuhi wants dan expectations. Inilah yang disebut Demos, lembaga kajian demokrasi dan hak asasi, sebagai the Politics of Public Behaviour. Bahwa, hal-hal yang bersifat kehidupan sehari-hari pun diangkat sebagai bagian dari politik (wujud kepedulian politik). Politik bukan hanya lagi mengatur atau menjanjikan masalah yang berkaitan dengan kenegaraan murni namun juga tata laku sosial masyarakat. Contohnya di Inggris, demi menjaga agar pola makan anak sekolah tetap sehat, pemerintah Inggris mewajibkan sekolah untuk menyediakan hanya makanan sehat di kantin sekolah yang mana hal ini ternyata tidak disukai anakanak dan implikasinya banyak anak-anak yang akhirnya malah membawa bekal tambahan dari rumah berupa gorengan, keripik ataupun coklat (bukan makanan sehat). Realitas ini memicu peraturan lain dari pemerintah agar pihak sekolah memeriksa bekal makan siang anak-anak98. Adanya intervensi politik seperti ini ditujukan demi memenuhi standar masyarakat akan wants dan expectations masyarakat terhadap standar hidup yang lebih baik. Implikasi tidak langsung yang patut diperhatikan juga adalah bagaimana bila suatu kebijakan yang bersifat pribadi yang diangkat sebagai masalah publik dapat dianggap pula sebagai intervensi. Di Indonesia, contoh yang paling mudah adalah adanya Rancangan Undang-Undang Anti Pornoaksi dan Pornografi. Maksud dibalik undang-undang 98
Andrew Lansley MP, The Politics of Public Behaviour: Realising choice, (London, Demos, 2008), hal. 23.
69
ini adalah mulia, sebagai salah satu bentuk kesadaran masyarakat terhadap perilaku masyarakat yang dianggap sudah mulai diluar batas ketimuran dan agama. Namun, ternyata memicu kontroversi dari masyarakat. Tantangan Pemilu Indonesia selain bagi beberapa umat Islam masih mengharamkan keikutsertaan terhadap Pemilu juga diwarnai oleh tantangan golongan putih (“golput”) karena ambigunya pemahaman ideoligi politik dan partai politik di Indonesia. Umat Islam memang pemegang konstituante suara terbesar di Indonesia tapi kecenderungan umat Islam untuk masuk golput juga lebih besar. Suara Islam di sini dimaksudkan sebagai aspirasi dan artikulasi kalangan Islam yang secara captive market selama ini bermuara ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), empat parpol yang berasaskan Islam. Gencarnya koalisi sejumlah parpol, membuka harapan suara Islam itu akan terbagi ke partai-partai politik berhaluan nasionalis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat (PD) dan Partai Golkar. Doktor Anies Baswedan, rektor Universitas Paramadina, bahkan memprediksi bahwa suara Islam akan menjadi kartu truf yang menentukan siapa presiden RI selanjutnya99. Meski potensi suara Islam sangat besar namun fenomena belum ada partai politik Islam yang pernah memenangkan Pemilu juga dapat dijadikan alasan kenapa beberapa partai cenderung memilih aliran nasionalis namun tetap mempertahankan citra kedekatan partai mereka terhadap Islam.
99
Suara Islam kartu truf 2009? http://www.berpolitik.com/news.pl?n_id=15870&c_id=5¶m=AaulpfHJEQwgZXO2gOlo, kamis 28 Agustus 2008
70
Hidayat Nurwahid dengan tenang berusaha menjawab mengapa fenomena ini dapat terjadi100: “Dalam kaidah politik Islam, ada istilah kualitas rakyat mencerminkan kualitas pemimpin. Kualitas pemimpin adalah bagian dari kualitas rakyat. Kalau rakyat misalnya ternyata lebih menyukai dengan yang tidak Islam, maka akan memilih partai yang tidak Islam. Tapi kalau rakyat menyukai hal yang berkait dengan Islam, maka rakyat akan memilih parpol Islam, meski diintimidasi dengan cara apa pun. Jadi menurut saya mengapa partai Islam tidak juga menang, rakyat pada umumnya belum Islam secara politik.”
Hidayat Nurwahid secara tegas menggaris bawahi bahwa masyarakat Indonesia kurang mendapatkan pendidikan politik yang cukup sehingga merupakan tugas sebuah partai politik untuk melakukan komunikasi intensif dan memberdayakan masyarakat dengan dakwah yang lebih berkualitas, serta menghadirkan fakta bahwa parpol Islam lebih baik dan lebih membela kepentingan umat secara lebih profesional. Bagi partai politik Islam, tugas Marketing Politik PR-nya adalah mengedukasi masyarakat agar mengerti Islam secara politik. Namun, bagi partai nasionalisme yang lain, mempunyai makna kedekatan terhadap Islam sendiri sudah merupakan plus poin. Artikel Berpolitik.com tanggal 25 Agustus 2008 menyoroti PDS (Partai Demokrat Sejahtera) yang selama ini dikenal sebagai partai berbasis Kristen berkoalisi dengan partai Islam dan turut mencalonkan kandidat Islam. Lebih lengkapnya Berpolitik.com menulis: “(berpolitik.com) Partai Damai Sejahtera bikin terobosan. Meski jelas-jelas merupakan partai agama (Kristen), rupanya tak menghalangi PDS memajukan caleg yang beragama Islam. Bahkan, beberapa disebutnya setaraf kiai. Caleg beragama Islam 100
Nurfajri Budi Nugroho, Lebih dekat dengan Hidayat Nurwahid : Berpartai tak cuma cari kekuasaan, (http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/10/tgl/03/time/113048/idnews/ 687915/idkanal/10, 3 Oktober 2006)
71
rencananya bakal maju di Banten dan juga Jawa Timur. Sejatinya, langkah PDS ini mirip dengan yang dilakukan PKB. Secara konsisten Gus Dur telah menempatkan orang-orang yang berlatar non-NU dan non-Islam di sejumlah propinsi, baik secara pengurus teras partai maupun sebagai caleg. Pertanyaannya pun mengembang: apa yang hendak mereka kejar? Reposisi? Yang segera nampak. partai-partai ini sepertinya tengah berupaya melakukan reposisi, meski dengan tujuan yang berbeda-beda. Dalam hal PKB, Gus Dur meyakini, PKB tak akan pernah menjadi jawara dalam pemilu jika masih berbasis pada suara NU saja. Secara ideologis, Gus Dur punya keinginan kuat untuk mewadahi mereka yang marginal, baik dari sisi agama maupun pemikiran. Dalam hal PDS, sepertinya, langkah itu bersifat sangat taktis. Sekadar upaya memberi gincu agar kekentalan PDS sebagai "partai salib" bisa terkurangi. Soalnya, sejauh ini, orang-orang memposisikan PDS sebagai partai yang sangat kanan. Ini diperkuat dengan kebijakan legislasinya yang sangat kental. PDS antara lain pernah menolak penerapan perbankan syariah.”101
Ada banyak cara bagai partai untuk memperjelas makna kedekatan partai politik dengan Islam. Salah satu yang paling mudah dan paling dipahami untuk menggambarkan kedekatan partai dengan Islam adalah dengan menggunakan simbol Islam. Bahtiar Effendy, doktor politik Islam lulusan Ohio State University berkomentar “Penggunaan simbol dan formalisme Islam dalam pemilu, itu biasa. Yang menarik, justru masih digunakannya simbol-simbol Islam dalam kampanye. Seperti, para kiai itu.” (lihat lampiran 4:Kompilasi Kliping Wawancara para Tokoh mengenai penggunaan simbol Islam dalam partai Politik untuk hasil wawancara lebih detail). Simbol bersifat universal dan atributif. Simbol merefleksikan suatu objek abstrak yang dihargai dan terlalu kompleks untuk dibawa secara utuh ke ruang publik. Islam sendiri bersifat universal dan Islam sebagai ajaran melahirkan budayanya sendiri yang kemudian dipengaruhi oleh budaya lokal. Konsep ini lebih dikenal masyarakat dalam bentuk syariah. Perbankan syariah, sistem ekonomi dan finansial syariah, Marketing Communications syariah, Asuransi 101
Akrobatik Parpol Mengais Suara, http://www.berpolitik.com/news.pl?n_id=15738&c_id=3¶m=Lyo8dhqfi\ Wriv6gf2h3F
72
syariah, hingga siyasah (politik Islam). Masyarakat bukan addicted terhadap Islam tetapi menghargai dan menjaga Islam sebagai panutan dan berupaya sebaik mungkin menjalankan ajaran Islam sesuai syariat. Islam sendiri di Indonesia seperti dikutip dari Saiful Mujani dan William Liddle sejak dahulu dipahami mempunyai fungsi sebagai budaya politik (political culture): “Indonesian political experience partly shows how strong Islam is as a political culture in the 1950s. At the moment, Islam is understood and translated as a political identity, thus Islam Nationalist versus Secular Nationalist, or santri versus abangan. The elites with wide mass support had a huge interest at that moment, to declare Indonesian national political identity, which was supposed to be Islam. Therefore, it is not surprising if the elite of Muslim scholars, tried to label national politics as Islamic politics, or at least in the spirit of Islam. Islamic politc elites’ recruitment was subsequently not only conducted in the secular-educated Muslim groups, but also in the religious figures or ulama who posed as “charismatic” figures for their followers. The presence of the Islamic political elites was not only making politics very serious and emotional, but also very symbolic.”
Indonesia ialah negara pluralistik dimana universalitas daerah dan budaya sangat luas. Pemaknaan mengenai suatu hal pun bisa diartikan berbeda-beda. Begitu juga dengan simbol Islam. Islam dapat saja dimaknai dan memiliki simbol yang berbeda. Sehingga, bagi peneliti penelitian ini tidak akan sampai pada esensinya ketika konteks simbol Islam sendiri sudah ditetapkan dengan baku. Dengan membiarkan masyarakat mengemukakan pandangannya terhadap seperti apa simbol Islam yang diketahui, peneliti memperoleh gambaran tentang varianvarian simbol yang menggambarkan Islam. Pada satu pihak hal ini akan menjadi penjelas bahwa ketika mengusung suatu simbol ke dalam ruang publik sebaiknya juga diperhatikan unsur ambiguitas. Apakah masyarakat sepakat bahwa simbol yang digunakan memang simbol Islam atau bukan? 4.2.2
Simbol Islam yang diketahui Masyarakat Kajian simbol Islam sangat luas dan beragam tergantung dari cara
masyarakat memaknai Islam itu sendiri, fungsi demografis termasuk di dalamnya
73
geografis – historis – budaya sangat berperan terhadap penafsiran pemaknaan Islam dan simbol sebagai turunannya. Saking luasnya, beberapa waktu lalu bahkan konsep simbol Islam diperdebatkan di internet, seputar apakah beberapa simbol yang familiar di kalangan umat Islam sebenarnya patut atau tidak dijadikan simbol Islam.102 Tidak pernah ada simbol resmi dalam Islam. Semua simbol yang ada sekarang adalah hasil difusi budaya yang dilandasi oleh kesepakatan bersama dan pada
akhirnya
commonnes.
Hasil
wawancara
yang
peneliti
lakukan
memperlihatkan bahwa masyarakat sendiri pun masih ambigu terhadap konsepsi atau paling tidak historik apa yang terletak di balik sebuah simbol Islam yang populer. Para informan cenderung tidak ambil pusing tentang dari mana simbolsimbol tersebut berasal. Simbol Islam adalah simbol yang secara jamak diakui masyarakat, ada secara turun temurun dan terlihat dimana-mana. Hanya beberapa informan saja yang dapat memberikan catatan sejarah tambahan tentang bagaimana sebuah simbol akhirnya diangkat sebagai simbol Islam. Peneliti tidak kaget melihat bahwa informan cenderung memberikan pandangan yang berbeda tentang wujud dan makna sakral Islam. Konsep asosiasi simbol bagi masyarakat adalah bertumpu pada seberapa familiar-kah anggota masyarakat terhadap simbol tersebut (common). Familiritas
102
Lihat web-web berikut: http://www.cyberforums.us/showthread.php?t=10478,http://www.religionfacts.com/islam/symbols. htm, http://bahas.multiply.com/journal/item/16/Jilbab_Sebagai_Sebuah_Simbol, http://www.wadsworth.com/religion_d/special_features/symbols/islamic.html
74
tidak dapat berdiri kokoh tanpa didukung oleh pemaknaan atau esensi yang ditangkap dari simbol tersebut. Bang Muchtar, ketua Pemuda Al-Azhar secara lugas menerangkan bahwa pemaknaan simbol Islam akan lebih kepada esensinya: “Sekarang kembali lagi esensi simbol itu sebagai apa… gedung biasa bisa kok jadi mesjid. Tidak jadi jaminan bila bukan masjid maka tidak baik untuk beribadah. Esensi ibadahnya itu yang sebenarnya dicari. Lihat simbol Ka’bah. Kalau untuk orang-orang tua, petani, apa makna simbol Ka’bah bagi mereka? Haji. Sementara makna simbolik Ka’bah itu kan sebenarnya lebih besar dari itu.”
Simbol sendiri sendiri bersifat tidak tetap, mudah bertransformasi mengikuti perkembangan jaman, budaya hingga perubahan pola pikir masyarakat. Kemunculan simbol adalah insidental. Islam tidak pernah punya simbol resmi yang keluar dari hasil kebudayaan Islam itu sendiri. Simbol-simbol yang dipercayai tergantung kepada kesepakatan bersama dan sosialisasinya pada masyarakat. Bang Qodrat, mantan Ketua Umum YISC tahun 2007-2008 mengemukakan bahwa konsep simbol Islam dimaknai sebagai obyek yang sering digunakan umat Islam secara umum. Sehingga kata umum itu sendiri bisa berubah sesuai jamannya. Sejarah penggunaan simbol bulan bintang misalnya, simbol ini bukan digunakan di jaman Nabi melainkan pada masa perang salib oleh Shalahuddin Al-Ayyubi (jauh setelah masa Rasulullah SAW). Ternyata kemudian, simbol ini menjadi simbol populer Islam. Rahman, ketua umum YISC 2008 – 2009, menambahkan, kondisi ini memperjelas posisi dan fungsi simbol yang lebih kepada alat perekat, pemersatu umat Islam. Diantara luasnya simbol Islam, menarik mengetahui, bahwa simbol umum yang diketahui para informan penelitian ini terpaut pada, bulan-bintang, ka’bah, mesjid, kaligrafi (tulisan Arab, seperti Allah, Bismillah, Muhammad ataupun kalimat Islam) dan kebudayaan Arab, Rasulullah, Al-Quran, Mekkah, Ka’bah,
75
mesjid dan warna hijau. Hal ini seakan memperkuat perolehan hasil survei about.com sebuah situs yang masih satu kelompok dengan The York Times. Gambar 4.3103 Hasil Polling About.com tentang simbol Islam yang diakui masyarakat About Poll On a webpage or publication about Islam, what type of graphic would you use? The crescent moon - it is a recognized symbol of the faith (6656)
40%
A mosque (1736)
10%
The Ka'aba (2495)
15%
Islamic calligraphy or arabesque design (2918)
17% 2%
Other (462) I wouldn't use a graphic or symbol (2057)
12%
Total Votes: 16324
4.2.2.1 Bulan Sabit dan Bintang GAMBAR 4.4: Simbol Bulan Sabit dan Bintang
Bulan Sabit dan Bintang Ulfa secara serius mengatakan bulan sabit dan bintang merupakan simbol yang pertama kali terlintas dipikirannya ketika membicarakan Islam. Alasannya sederhana, karena simbol bulan dan bintang bisa dengan mudah diketemukan dimana-mana. Terutama di atas kubah masjid. Febri menimpali, dengan 103
http://islam.about.com/od/history/a/crescent_moon.htm
76
menunjukkan bahwa simbol tersebut secara common digunakan secara universal. Ia merujuk pada pejuang Timur Tengah yang berjuang di jalan Islam. Atribut perang yang digunakan berupa simbolik Islam seperti bulan sabit, sebagai representasi dan pembeda dari tentara lawan. Hampir sebagian besar informan menyebut bulan bintang di tempat pertama sebagai simbol Islam yang mereka ketahui. Menarik mengetahui bahwa sebenarnya simbol bulan sabit dan bintang tidak memiliki keterkaitan sejarah dengan jaman Nabi Muhammad SAW. Simbol ini lahir akibat difusi kebudayaan dan masih diperdebatkan apakah patut dijadikan simbol Islam atau tidak karena sejarah keberadaannya yang cenderung politeistik. Simbol Bulan dan bintang berasal dari simbol kuno kota Byzantium (Istambul, Turki) yang diberikan oleh Yunani, sebagai dedikasi terhadap Dewa mereka, Dewi Artemis (Diana) yang memiliki simbol bulan sabit. Catatan lain menyatakan bahwa bulan sabit merupakan simbol Dewi Tnit (Carthagian, bangsa Phoenic). Setelah Raja Constantine meninggal, Byzantium lebih dikenal dengan nama Konstantinopel (kota Konstantin). Konstantinopel kemudian dijadikan ibukota Romawi Timur dan menetapkan Kristen sebagai agama resmi negara tersebut. Kaisar menambah simbol bintang ditengah simbol kota Konstantin yang lama. Bintang disebut sebagai simbol perawan suci bunda Maria. Catatan lain menyebutkan bahwa simbol bintang dirujuk dari simbol Dewi Ishtar –kata star dalam bahasa inggris diambil dari nama dewi itu. Simbol bulan bintang tetap digunakan oleh Sultan Muhammad II, Sultan ke-7 dari Kekaisaran Ottoman di Turki (dinasti Turki Usmani) pasca
77
kemenangannya
menaklukkan
Konstatinopel
pada
1453.
Muhammad
II
mengadopsi simbol Konstatinopel dalam bendera Ottoman. Nama Konstatinopel pun diganti dengan Istanbul dan menjadi kota pusat kebudayaan Islam. Legenda lain Turki Usmani menyebutkan bahwa simbol tersebut diambil juga dari mimpi Sultan Usman I. Mimpi itu terjadi jauh sebeleum ia menjadi raja. Penasihat spiritualnya menyebutkan bahwa mimpi itu menjadi pertanda akan kebesaran namanya di masa depan. Kekaisaran Ottoman merupakan kekaisaran yang berhasil mengangkat Bulan dan Bintang sebagai simbol negara dan juga representasi kebesaran Islam. Simbol tersebut dibawa dalam panji-panji perang, bendera dan lambang negara. Simbol bulan bintang lahir dari simbol pemujaan dewa-dewa kaum pagan. Hal ini sekarang memicu perdebatan dari kaum Islam sendiri apakah simbol ini masih patut dipertahankan sebagai simbol Islam?. Mengingat familiritas simbol yang sudah terlalu luas dan minimnya informasi yang ditangkap masyarakat tentang sejarah simbol ini, tampaknya simbol bulan bintang sebagai simbol Islam akan tetap bertahan selama beberapa dekade ke depan. 4.2.2.2 Ka’bah Gambar 4.5: Ka’bah
Ka’bah
78
Salah satu simbol favorit Islam adalah Ka’bah. Bang Muchtar, Imam dan Ketua Pemuda Masjid Al-Azhar mengungkapkan bahwa fungsi Ka’bah bukan hanya sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Islam dari seluruh dunia tapi lebih dari itu, Ka’bah sendiri merupakan simbol tunggal dari persatuan Islam. Ketika orang datang ke Ka’bah bukan berarti bahwa mereka menyembah Ka’bah, mereka tetap harus mengkultuskan Allah. Islam merebut Ka’bah yang tadinya merupakan simbol pemujaan berhala. Sebelumnya, Ka’bah merupakan tempat pemujaan berhala yang disembah kaum Arab pagan. Ketika Islam datang, Islam berupaya memerangai kekufuran yang ada dengan merebut Ka’bah serta menghancurkan berhala-berhala yang ada di dalamnya. Fungsi Ka’bah bukan lagi sebagai tempat pemujaan tapi sebagai tempat simbolik persatuan umat. Ka’bah hanyalah simbol. Ini berarti sebagai simbol, Ka’bah tidak memiliki fungsi sakral bila dibandingkan dengan makna sakral sikap tauhid kepada Allah SWT. “Ketika simbol Ka’bah digunakan untuk kepentingan selain kepentingan agama ya, sah-sah saja, karena simbol tersebut adalah milik semua.” Ungkap Bang Muchtar lebih lanjut. 4.2.2.3 Ayat Suci Al-Quran, Lafadz dan Kebudayaan Arab
Gambar 4.6: Simbolik kaligrafi Arab bernafaskan Islam dan Al-Quran
Untuk Santi lafadz Bismillah adalah juga simbol Islam. Seorang Muslim dianjurkan untuk memulai semua kegiatannya dengan meyebut nama Allah,
79
Bismillah. Sehingga dengan sendirinya doa ini bila didengar orang lain juga merupakan representasi dari ke-Islaman yang berarti mempunyai makna simbolik Islam. Bagi Bang Qodrat dan Rahman konteks ini termasuk juga lafadz Laa Ilaha Illallah baik dalam bentuk ucapan maupun tulisan, bahkan niat sekalipun. Febri menambahkan, kalimat syahadat juga merupakan lafadz yang dengan jelas menggambarkan posisi simbolik Islam bagi yang mendengarnya. Ayat suci Al-Quran juga merupakan simbol Islam bagi Tri, seorang konsultan hukum sebuah perusahaan telekomunikasi dan juga anggota YISC sejak tahun 2007. Ia beralasan, “orang nyari dasar hukum disitu, kalo mau memberikan argumen cari dalil-dalil dari situ, dijadikan landasan hukum untuk berbuat”. Tito juga berpendapat sama, ia cenderung menekankan makna Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam, simbol yang merupakan pedoman hakiki umat Islam. 4.2.2.4 Mesjid Gambar 4.7: Masjid
Mesjid
Mesjid merupakan tempat ibadah bagi umat Islam. Tri, menyebut masjid pada dasarnya adalah basis massa bagi umat Islam. Ciri masjid yang paling kental adalah penggunaan lambang bulan dan bintang diatas kubah atau atap mesjid. Mesjid-mesjid pun dikenal memiliki menara. Beberapa cerita kuno mengatakan bahwa fungsi menara tersebut adalah supaya suara azan muadzin dapat dengan
80
lantang didengar oleh warga disekitar mesjid. Namun, sebuah sumber kuno mengungkapkan awal menara mesjid berasal dari manarah (tempat menyalakan api), simbol pemujaan kaum Majusi. 4.2.2.5 Simbol Warna dalam Islam Gambar 4.8: Empat warna Islam
Empat warna Islam yang diakomodir Emirat Arab dalam benderanya
Warna hijau dikatakan sebagai warna tradisional Islam, hijau dianggap memiliki dekat dengan alam. “Green is considered the traditional color of Islam, likewise because of its association with nature. This is for several reasons. First, Muhammad is reliably quoted in a hadith as saying that “water, greenery, and a beautiful face” were three universally good things In the Qur'an, sura Al-Insan, believers in God in Paradise wear fine green silk. Also, Al-Khidr (“The Green One”), is a Qur’anic figure who met and traveled with Moses”.104
Lebih lanjut, Bang Qodrat mengungkapkan bahwa sebenarnya warna Islam bukan mutlak warna hijau. Ada tiga warna lain yang lebih sering dipakai oleh Rasulullah. Yakni Hitam, Merah, Putih dan Hijau kehitaman. Warna hitam sering digunakan Rasulullah sebagai identifikasi pasukan muslim dalam perang. Sekarang, warna hitam lebih banyak digunakan oleh kaum syiah. Bagi mereka warna hitam melambangkan rasa duka akbat terbunuhnya Husein ibnu Ali (cucu 104
http://www.religionfacts.com/islam/symbols.htm
81
Rasulullah) pada pertempuran di Karballa. Warna merah, sebenarnya adalah warna asli yang melambangkan Islam. Warna putih, dianggap sebagai warna jihad. Melambangkan kemurnian dan kedamaian. Umat Islam lebih banyak memilih warna putih sebagai warna busana dalam ritual ibadahnya. Contohnya, jamaah shalat jumat ataupun mukena wanita kebanyakan memakai warna putih. Ketika Rasulullah wafat, warna-warna tersebut digunakan juga oleh dinasti-dinasti Islam sebagai simbol. Dinasti Umayah berperang dengan membawa panji-panji putih, Dinasti Abbasiyah memilih warna hitam, Dinasti Fatimah menggunakan hijau sementara beberapa negara di daerah Teluk Persia memilih menggunakan warna merah. Keempat warna ini (putih, hitam, hijau dan merah) kemudian diadopsi oleh Arab Saudi dalam benderanya. 4.2.2.6 Lain-lain
Gambar 4.9: Janggut dan Jilbab bagi Wanita
Peci Putih dan Janggut
Jilbab
82
Selain itu, benda-benda Islam dianggap memiliki potensi untuk menjadi simbol. Seperti Bang Qodrat dengan santai menekankan, “peci termasuk simbol Islam namun pecinya harus peci putih...”. Bang Qodrat cenderung terkenang pada nasihat kakeknya, bahwa apabila bepergian kemana-mana kalau bisa jangan sampai lupa pakai peci putih. Karena peci putih menunjukkan identifikasi Islam. Jadi paling tidak menjadi bahan pertimbangan dalam berperilaku (sikap hati-hati), ketika melakukan suatu kegiatan bukan hanya diri yang dinilai masyarakat tapi juga Islam. “Bisa saja sih, mau dugem peci dilepas, mau maksiat peci dilepas, ya udah ga keliatan Islamnya tapi sebenarnya itu kan lama-lama larinya ke hati nurani juga… heheheh”, ujarnya lebih lanjut. Selain peci, jilbab juga dianggap sebagai simbol Islam. Ketika ditanya alasannya, Rahman menjawab: “Jilbab itu adalah pakaian muslimah, identitas muslimah, menunjukkan bahwa ia adalah orang Islam. Lagipula hal ini juga sudah dengan jelas dicantumkan oleh Allah dalam Surat An-Nisa” Seperti halnya simbol-simbol Islam lain diatas, ditinjau dari segi sejarah jilbab juga bukan asli kebudayaan Islam. Tradisi jilbab berasal dari etnis Mesopotamia. Rebekah, tokoh penting dalam Injil dari etnis tersebut dikenal mengenakan jilbab. Ketika terjadi perang antara Romawi – Byzantium dan Persia, rute perdagangan antar pulau mengalami perubahan, kota di beberapa pesisir Jazirah Arab tiba-tiba menjadi wilayah penting transit perdagangan dan alternatif pengungsian dari daerah yang bertikai. Budaya Hellenisme-Byzantium dan Mesopotamia-Sasania pun ikut menyentuh wilayah Arab. Seperti dikutip dari tulisan Firman Hidayat, menurut De
83
Vaux dalam Sure le Voile des Femmes dans l’Orient Ancient, tradisi jilbab dan pemisahan perempuan (seclution of women) bukan tradisi asli bangsa Arab. Walaupun begitu, peranan Islam-lah yang terbesar dalam menyebarkan penggunaan jilbab dan lambat laun jilbab secara konvensi masyarakat telah menjadi simbol Islam.105 Janggut dipanjangkan dan kumis dicukur, ditegaskan Rahman sebagai bagian dari simbol Islam. Sama seperti jilbab, janggut merupakan fungsi identitas Islam yang jelas bagi kaum pria. “Janggut itu disunahkan dan kalau kumis dicukur dan itu adalah sunnah rasul dan adalah identitias orang Islam.”
Terkait dengan sejarah sunnah Rasul ini, Bang Muchtar memberi penjelasan bahwa asal kisah ini terjadi pada masa peperangan Islam. Ketika Rasulullah terlibat peperangan dengan kaum kafir Quraisy. Kaum kafir Quraisy mengatur pasukannya dan menyeragamkan dengan cara kumis dipanjangkan dan janggut dipotong. Sebagai pembeda maka Rasulullah menggunakan cara sebaliknya yakni kumis dipotong dan janggut dipanjangkan. Yang berbeda adalah cara pandang simbolik Islam ala Jamil. Seorang pegawai IT di sebuah NGO dan juga memiliki posisi sebagai Dewan Syuro dalam kepengurusan YISC (semacam anggota MPR dalam negara). Jamil tidak me-refer simbol ke dalam bentuk simbol tapi lebih kepada sifatnya. Simbol dilihat dari cara pandang Tarbiyah. “Simbol sekarang sifatnya Tarbiyah. Suatu sistem
105
Firman Hidayat, Jilbab sebagai sebuah simbol (http://bahas.multiply.com/journal/item/16/Jilbab_Sebagai_Sebuah_Simbol, 4 Desember 2007).
84
pembinaan terhadap individu-individu untuk mendapatkan tujuan. Tujuannya pemahaman Islam.” Dalam kalimat lain suatu hal apapun itu dapat dikatakan sebagai simbol Islam selama simbol tersebut dapat memberikan suatu pemahaman terhadap Islam. Untuk memperjelas pemetaan pengetahuan masyarakat (informan) terhadap simbol, lihat Gambar 4.10 berikut: Gambar 4.10: Pemetaan Pengetahuan Masyarakat terhadap Simbol Islam No.
Jenis Simbol
1.
Linguistik
Bentuk Simbol Kata- kata
Huruf Arab Lafadz Allah & Muhammad Lafadz Laa Ilaha Illallah
Nama 2.
Simbol Optik
Penampilan fisik
Janggut
Warna Artefak/Benda
3.
Simbol Akustik
Bintang Pedang Surban Peci & Peci Putih Bulan Bulan dan Bintang Jilbab
Nada Alat Musik
4.
Ruang & Waktu
Tempat
Ka’bah Mesjid (Menara, Kubah, dll)
Peristiwa Waktu-waktu sakral Islam
Sekelumit pengetahuan masyarakat diatas memperlihatkan betapa konsepsi simbol Islam sendiri bagi satu individu dengan individu lain bisa sangat berbeda. Hampir keseluruhan simbol Islam yang disebut bukanlah asli dari kebudayaan Islam. Ini memberikan kesan bahwa Islam adalah agama yang adaptif. Islam tidak
85
berupaya untuk menghilangkan kebudayaan dari kaum pagan yang dikalahkannya namun melakukan simbiosa baru kebudayaan yang lebih sesuai dengan jiwa Islami. Lebih lanjut kondisi ini juga berarti bahwa simbol Islam tidak hanya akan berhenti pada simbol-simbol yang sudah ada. Simbol Islam akan tetap punya kemungkinan untuk berkembang dan bertambah sesuai dengan perkembangan budaya lokal dan universal. Ketika simbol ini semakin berkembang dan bertambah, semakin rentan pula tingkat ambigu pemaknaan masyarakat terhadap simbol yang sama oleh masyarakat. Hal ini sebenarnya yang harus diwaspadai oleh Partai politik. Pertama, jangan sampai hanya untuk mengejar titik identifikasi Islam tertentu suatu simbol digunakan yang ternyata malah memiliki signifikansi yang berbeda (tidak dipahami sebagai simbol Islam atau malah dipahami berbeda (konstektualitasnya)) oleh masyarakat. Perlu diperhatikan oleh partai bahwa suatu simbol disebut signifikan atau memiliki makna bila simbol itu membangkitkan pada individu yang menyampaikannya respons yang sama seperti yang juga akan muncul pada individu yang dituju. Simbol yang signifikan memungkinkan orang menjadi stimulator bagi tindakannya sendiri.106 Kedua, makna kesakralan. Karena simbol memiliki hubungan dengan Islam (representasi) maka penggunaannya pun harus hati-hati. Sudah terjadi pergeseran pendapat masyarakat tentang makna kesakralan ini. Bila pada masa 1920-an segala sesuatu tentang Islam adalah sakral bahkan sampai kegiatan penerjemahan Al-Quran pun tidak diperbolehkan karena takut akan mengubah
106
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006) hal. 77-78
86
arti ayat tersebut. Tetapi pada masa sekarang hal ini mengalami pergeseran dan perbedaan makna kesakralan. Titi karyawan swasta dan anggota YISC sejak 2003 berkata bahwa sebenarnya simbolik Islam itu tidak diatur dalam Al-Quran atau hadits, simbol ada karena kesepakatan bersama. Karenanya, lebih kepada perilaku umum yang harus dihormati. Jamil mengatakan bentuk kesakralan itu ada karena jabatan simbol sebagai perwakilan dari Islam. Sementara bang Muchtar mengatakan simbol belum tentu sakral. Karena Islam adalah agama Tauhid, yang disakralkan adalah Allah sebagai Tuhan yang Esa bukan apa yang mewakili-Nya. Hal ini juga diyakini oleh bang Qodrat, Widya dan Rahman. Mereka cenderung mengatakan tidak ada hal yang menjadikan simbol tersebut sebagai suatu hal yang harus disakralkan. Widya dengan tegas menyatakan, bukan masalah seberapa sakral simbol yang penting. Tapi hati yang menjalankan ritual itu tidak hanya sekedar simbolik tapi sakral (khusyu‘). Rahman kembali menegaskan: “Tidak ada (kesakralan simbol Islam itu.pen). (hanya.pen) Sekedar Identitas saja untuk pencitraan….”
Walaupun berbeda pandangan, namun keseluruhan informan cenderung kepada dasar pemikiran yang sama bahwa penggunaan simbol tersebut terlepas dari pemaknaan sakral atau tidaknya harus-lah disesuaikan dengan nilai-nilai yang mengaturnya dalam artian bersikap konsekuen dan mau bertanggungjawab. 4.2.3
Contoh Refleksi Simbolik Islam dalam Politik Jenis-jenis simbol dalam penelitian ini adalah dari masyarakat bukan dari
hasil observasi peneliti. Meskipun demikian, sebelum masuk ke dalam tujuan penelitian kedua, yakni mengetahui kesadaran masyarakat terhadap simbol yang
87
digunakan oleh Partai Politik. Peneliti merasa perlu untuk memberikan dua contoh kasus yang sederhana saja tentang fenomena penggunaan simbol Islam oleh Partai Politik. Hal ini untuk memudahkan frame of reference. Contoh kasus pertama adalah pada proses penamaan partai dan yang kedua mengenai peran serta Kyai dalam Pemilu. 4.2.3.1 Simbol Islam dalam Penamaan Partai Kedekatan emosional semacam ini sudah digunakan sejak Pemilu I tahun 1955. Contoh yang paling mudah terlihat adalah pada pemakaian simbol verbal untuk penamaan Partai. Untuk tidak melebar bahasan kepada masa yang terlampau jauh, maka peneliti akan mulai dari masa Pemilu setelah reformasi, Pemilu 1999. Sejak runtuhnya kekuasaan orde baru 21 Mei 1998 hingga awal 1999, ratarata lebih dari satu partai lahir pada setiap bulannya. Tentu saja bukan hal yang gampang bagaimana merumuskan pesan dan strategi komunikasi politik untuk meraih simpati calon pemilih dalam waktu relatif singkat. Pada masa pemilu 1999 sangat terlihat beberapa partai cenderung mengidentifikasikan dirinya dari pencirian simbol keislaman. Simbol-simbol verbal yang melekat dengan komunitas Islam seperti tharikat, sunny, ahlusunnah wal jamaah, wahdatul ummah, abdul yatama dan Islam serta muslim sendiri banyak digunakan para pendirinya menjadi nama partai. Untuk lebih mudahnya, lihat bagaimana pemakaian simbol verbal tersebut digunakan oleh beberapa partai yang sebagiannya tidak lolos seleksi menjadi peserta pemilu 1999:
88
Gambar 4.11: Simbol Verbal pada Penamaan Partai (1999) No.
Nama Partai
1.
Partai Persatuan Tharikat Islam (PPTI)
2.
Partai Aliansi Kebangkitan Muslim Sunny Indonesia (AKAMSI)
3.
Partai Umat Muslimin Indonesia (PUMI)
4.
Partai Kebangkitan Kaum Ahlisunnah Wal Jamaah (PAKKAM)
5.
Partai Kesatuan Wahdatul Ummah (PKWU)
6.
Partai Kebangkitan Muslim Indonesia (Partai KAMI)
7.
Partai Islam Demokrat (PID)
8.
Partai Dinamika Umat (PDU)
9.
Partai Abul Yatama (PAY)
10.
Partai Thareqat Islam
11.
Partai Persatuan Sabilillah
12.
Partai Era Reformasi Tarbiyah Islamiyah (PERTI)
13.
Partai Islam Persatuan Indonesia (PIPI)
14.
Partai Dua Syahadat (PDS)
15.
Partai Ka’bah
16.
Partai Bakti Muslim
17.
Partai Pengamal Thareqat Indonesia
18.
Partai Persatuan Islam Indonesia
Pada Pemilu tahun 2004 terlihat kecenderungan bahwa penggunaan nama sebagai simbol yang paling jelas mulai memudar. Dari 24 partai politik peserta pemilu 2004, hanya 7 (tujuh) partai politik yang mengambil unsur simbolik agama dari penamaan. Jumlah ini sedikit menurun pada jelang Pemilu 2009. Dari 51 partai politik yang mendaftar sebagai calon partai peserta Pemilu hanya 6 (enam) partai yang membawa simbolik Islam dalam penamaannya. Untuk lebih jelas lihat gambar berikut: Gambar 4.12: Simbol Verbal pada Penamaan Partai (2009) No. 1.
Nama Partai PBB (Partai Bulan Bintang)
89
No.
Nama Partai
2.
Partai Nurani Umat
3.
Partai Kebangkitan Nasional Ulama
4.
Partai Persatuan Nahdhatul Ummah Indonesia
Parpol yang tidak lolos verifikasi KPU 5.
Partai Islam
Parpol mengundurkan diri tidak berbadan hukum Dephum & HAM 6.
Partai Islam Indonesia Masyumi
Berusaha merefleksikan kecenderungan yang ada, survei diadakan oleh Lembaga Survei Indonesia (Oktober 2007) mengenai “Trend Orientasi Nilai-nilai Politik Islamis vs Nilai-nilai Politik Sekuler dan Kekuatan Islam Politik”. Hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa pemakaian simbolik Islam cenderung mengalami penurunan pendukung. Sekitar 57% umat Islam Indonesia mulai lebih berorientasi pada nilai-nilai politik sekuler. Mereka yang berorientasi pada nilainilai politik Islamis jauh lebih sedikit, yakni hanya sekitar 33%. Survei ini juga menghasilkan temuan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia lebih cenderung memilih partai nasionalis-sekuler ketimbang partai Islam jika sekiranya pemilu diadakan pada saat ini. Sebanyak 52% cenderung memilih partai-partai nasionalis-sekuler, seperti PDI-P, Golkar, dan Partai Demokrat. Sebanyak 8% memilih partai-partai Islamis, seperti PKS dan PPP serta 7% memilih partai-partai yang berbasis pada organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, seperti PAN dan PKB. 4.2.3.2 Peran serta Kyai sebagai simbol Ditengah masyarakatnya, Kyai adalah aktor komunikasi yang dapat memainkan peran-peran perubahan sosial. Ia memiliki pengaruh kuat karena menurut Dhofier, Kyai memiliki (1) perasaan kemasyarakatan yang dalam dan
90
tinggi (high developed social senses) dan (2) selalu melandaskan sesuatu kepada kesepakatan bersama (general consensus).107 Mari kita lihat kronologis dari keikutsertaan kiai dalam politik dengan mengusung nama Islam berikut sebagai contoh: 1.
Di awal kemerdekaan, kiai berperan dalam perumusan dasar negara Pancasila.
2.
Pada pemilu tahun 1955 parpol yang mewakili suara umat Islam berdasarkan Kongres Umat Islam tahun 1945 adalah Masyumi (partai yang digawangi oleh Muhammadiyah, NU, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai A. Wahid Hasyim, Kiai Masykur dan Kiai Ilyas Syarqawi Annuqayah).
3.
Pada pemilu tahun itu juga (1955) para kiai keluar dari Masyumi kemudian mengkampanyekan NU sebagai partai politik tandingan.
4.
Tangaal 5 Februari 1973, PPP mengakomodasi suara kaum muslimin Indonesia di era Orde Baru berdasarkan fusi lima partai Islam).
5.
Pada pemilu tahun 1982, sebagian kiai keluar dari PPP.
6.
Pertengahan tahun 1983, kiai As’ad Syamsul Arifin mengungkapkan pendapatnya bahwa Pancasila wajib hukumnya dan haram menolaknya.
7.
Ketika Orde Baru tumbang dan tatanan politik Indonesia berubah, kiai semakin terpecah ke dalam berbagai partai politik yang didirikan oleh masing-masing. Seperti Partai Nahdhatul Ummah, Partai Kebangkitan Umat, PPP, Partai Bintang Reformasi, PKB dan PKNU.
107
Asep, Op. Cit., 197
91
4.2.4
Kesadaran Masyarakat terhadap pemakaian simbol Islam oleh Partai Politik Meskipun masyarakat mengetahui bahwa simbol Islam adalah sangat
bervariasi namun pertanyaannya sadarkah mereka bahwa simbol tersebut digunakan sebagai konsumsi publik?. Simbol agama dikatakan sebagai pencitraan yang baik karena konsep agama itu sendiri adalah baik mengayomi umatnya. Semua informan sepakat mereka mengetahui fenomena ini. Mereka melihat simbol tersebut digunakan dan masing-masing berpendapat bahwa di balik pemakaian simbol tersebut ada yang hendak disampaikan oleh partai politik mengenai suatu hal. Ketika ditanya tentang partai politik mana yang menurut masyarakat paling menggunakan simbol Islam. Sebagian besar informan cenderung untuk menunjuk kepada Partai Persatuan Pembangunan (P3). Hal ini menarik, karena bagaimanapun sepertinya masyarakat masih terdoktrin oleh masa Pemilu zaman Orde Lama dimana hanya tiga partai yang berpartisipasi. Simbol warna saja pada masa Pemilu tersebut sudah dapat digunakan sebagai identifikasi partai dan sebenarnya bahkan pemenangnya pun sudah dapat diprediksikan. Penggolongan masyarakat calon pemilih sudah dapat dilihat, yang mengaku muslim pilih P3, pihak non-muslim dan kaum nasionalis cenderung pada PDI sementara keseluruhan pejabat negara dianjurkan untuk setia pada Golkar. Ternyata, sampai sekarang pun, pasca – reformasi, doktrin bahwa Islam sama dengan hijau sama dengan P3 masih tetap kuat dalam ingatan masyarakat. Cara pandang ini terutama didukung oleh pemakaian simbol Ka’bah yang kata Emma, seorang karyawan dari perusahaan Jepang, merupakan representasi dari
92
makna “menjual Islam banget”. Yusriah menambahkan “Tapi, mungkin bisa dilihat P3, mengedepankan agama sekali, ada semacam pernyataan tersirat, kalau anda Islam pilih Partai ini, padahal penerapannya tidak ada, tidak mencerminkan dari segi partai atau orang-orangnya. Apalagi melihat slogan-slogan-nya kebanyakan menyoal NU sebagai panutan.” Citra P3 sebagai mayoritas tunggal partai yang membawa citra Islam kemudian luntur oleh pendapat Dini tentang PDI-Perjuangan (PDI-P). Dimana Dini bercerita bahwa di kawasan Tebet ada sebuah poster yang cukup besar (eyecatching) tentang metode belajar mengaji secara cepat. Hanya saja dalam poster tersebut juga terdapat logo PDI-P yang cukup terlihat. Dini lebih lanjut mengatakan “yah, menurut gue itu tidak pada tempatnya. Gak make sense aja, kenapa belajar ngaji harus disponsori oleh partai politik tertentu.” Peneliti belum melihat poster yang dimaksud namun dari ciri-ciri yang dikemukakan Dini, peneliti mempunyai asumsi bahwa kegiatan mengaji tersebut diselenggarakan oleh Baitul Muslimin Indonesia (“Bamusi”). Bamusi merupakan sayap organisasi PDI-P yang terbuka bagi semua lapisan umur dan perannya terbatas dalam kegiatan pendidikan, pelatihan Islam dan juga bantuan bagi anggota PDI yang hendak menunaikan Ibadah Haji. Kemunculan Bamusi di tahun 2007 sempat dipertanyakan masyarakat seperti kutipan dari blog Muhsin Labih (http://muhsinlabib.wordpress.com/2007/04/15/baitul-muslimin-pdip-siluet-hijaudalam-kanvas-merah/) dalam Baitul Muslimin PDI-P: Siluet Hijau dalam Kanvas Merah? tanggal 15 April 2007 berikut: “Pemilihan umum memang masih lama. Tapi kompetisi merebut hati pemilih tak kenal henti. Sejumlah partai pun mulai ancang-ancang melakukan konsolidasi dan perbaikan citra demi mendulang suara. Hari itu, ratusan perempuan berkerudung riuh-rendah mengikuti acara salawatan. Kaum pria berpeci hitam pun tampak khusyuk menyimak puja-puji untuk Rasulullah dan
93
keluarganya, yang meluncur melalui pengeras suara. Tak seperti biasa, bukanlah Kwitang atau Keramat—tempat tradisional kaum salawatan—tetapi justru dari Lenteng Agung-lah salawatan itu terdengar. Dan, yang punya hajat adalah DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bukan para ustad, kyai kampung, atau habaib. PDIP, partai yang identik sebagai wadah aspirasi kaum abangan ini tampak sedang berusaha mencitrakan dirinya sebagai saluran politik yang siap menampung aspirasi kaum santri, dan menepis jauh-jauh stigma nasionalis-sekularistik, dengan mendeklarasikan sebuah organisasi sayap politik baru, bernama Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi). Kali ini, partai berlambang banteng ini tidak setengah-setengah. Megawati Soekarnoputri, sang nahkoda, berjaya menghadirkan dua pemimpin ormas Islam terbesar di Indonesia, Din Syamsuddin (Muhammadiyah) dan Hasyim Muzadi (NU). Berbagai macam spekulasi pun mengemuka. Ada yang melihatnya sebagai sebuah kewajaran demokratis dalam iklim persaingan politik yang sehat. Namun, tak pelak, ada yang mempertanyakan ambivalensi dan inkonsistensi partai kedua terbesar ini dalam mempertahankan visi nasionalis mereka yang pluralis. Dari sisi agama, ada juga menganggap fenomena ini sebagai suatu eksperimen yang mengambil posisi tengah antara simbolisme dan substansialisme politik Islam. Terlepas dari semua itu, fenomena banyak parpol yang berupaya mendekati umat Islam, sebagai mayoritas pemilih Indonesia, dengan menggunakan simbol-simbol Islam itu sendiri bisa ditafsirkan sebagai simplifikasi persoalan. PDIP sebenarnya tidak perlu cemas dan khawatir akan kehilangan suara umat Islam, sehingga harus potong kompas dengan masuk dalam permainan simbol, atau menorehkan sebuah ‘siluet hijau’ di tengah kanvas merahnya.”
Selain PDI-P dan Bamusi-nya, partai yang dianggap paling kental dengan simbolisasi Islam adalah Partai Keadilan Sejahtera (“PKS”). Bahkan seperti diungkap Yusriah bahkan logo PKS sendiri pun memiliki makna simbolis Islam, maknanya adalah sebagai berikut: Gambar 4.13: Logo PKS dan Makna Simbolis Islam yang terkandung PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
“Kotak segi empat” berarti kesetaraan, keteraturan dan keserasian “Kotak hitam” berarti pusat peradaban dunia islam yakni Ka’bah “Bulan sabit” berarti lambang kemenangan Islam, dimensi waktu, keindahan, kebahagiaan, pencerahan dan kesinambungan sejarah “Untaian padi tegak lurus” berarti keadilan, ukhuwah, istiqamah, berani, ketegasan yang mewujudkan kesejahteraan “Putih” berarti bersih dan kesuciaan. “Hitam” berarti aspiratif dan kepastian. “Kuning emas” berarti kecermalangan, kegembiraan dan kejayaan.
94
Makna lambang partai secara keseluruhan adalah mengegakkan nilai-nilai keadilan berlandaskan kepada kebenaran, persaudaraan dan persatuan menuju kesejahteraan dan kejayaan umat dan bangsa.
Dalam PKS, menurut Jamil, bersifat militan karena didalamnya ada Dewan Syuro dimana pembinaan adalah lebih dipentingkan ketimbang tujuan kepartaian lain. “Partai-partai lain kalau mau mengangkat calon kandidat biasanya kan kuatkuatan pendukung atau dana. Kalo PKS yang dilihat sudah sampai level berapa tingkat pemahaman agamanya. Ada satu tokoh, yang mau mencalonkan tapi gak boleh karena dianggap pembinaan agamanya kurang dan level kelas agamanya masih dibawah gw. Jadi yah, masih terus dibina (belum boleh ikut pencalonan.pen).” ungkap Jamil lebih
lanjut. Rahman ketika ditanya mengenai awareness terhadap kegiatan partai yang menggunakan simbol Islam terlihat lebih tertutup. Ia hanya menyatakan bahwa sudah jelas terlihat bahwa ada partai-partai yang menggunakan simbol bulan sabit dan atau bintang dan ka’bah. Tiga unsur tersebut sudah cukup memperlihatkan dominansi penggunaan simbol Islam pada partai politik. Ada pula kegiatan satu organisasi masyarakat yang membagi-bagi jilbab dengan gerakan seribu jilbab. Rahman mengindikasikan bahwa dalam gerakan tersebut ada kedekatan/kerja sama dengan partai politik tertentu dan untuk kemungkinan menarik massa. Meskipun demikian hal ini tidak masalah bagi Rahman, karena penggunaan jilbab sendiri dalam Islam adalah hal yang wajib. Sehingga kegiatan ini akan lebih terasa sifat kebaikannya. Mengenai masalah pesan yang berupaya disampaikan setiap informan tampaknya mempunyai kesamaan dasar bahwa agama yang berupaya untuk
95
ditampilkan oleh partai politik tersebut bersifat sebagai alat penarik simpati massa. Mengenai hal ini Bachtiar Effendy (lihat lampiran 4) secara historik menggambarkan fenomena yang terjadi pada masa Orde Lama: Tabel dibawah berupaya memperlihatkan betapa pandangan pesan dari tiap-tiap individu mempunyai kesamaan makna: Gambar 4.14: Pesan yang Ditangkap Masyarakat dari Penggunaan Simbol Islam oleh Partai Politik No. 1.
Nama Muchtar
Pesan yang ditangkap Menarik simpati masyarakat… Tapi kalau tujuannya ini ya, berarti tujuannya duniawi saja, murni politik. Kalau politik saja, kan berarti hanya dunia saja yang dapat, akhiratnya tidak dapat. Kalau tujuannya untuk memajukan Islam, memurnikan ajaran Allah, masyarakatnya ya, itu lain lagi berarti…
2.
Jamil
Cara untuk menarik simpati. Sebagai alat. Namun sebenarnya salah pada penempatannya. Partai itu kan berusaha untuk meraih kepentingannya dengan berbagai cara, jadinya semua cara dipakai. Tujuannya ya, mencapai kepentingannya yaitu ingin mendapat suara secara cepat.
3.
Qodrat
Citra dan menarik massa. Maksud penggunaan simbol tersebut sebgai identifikasi jadi ketika melihat itu (simbol .pen) masyarakat tahu bahwa Partai tersebut memiliki kedekatan dan/atau asas Islam.
4.
Tri
Ya iya. Untuk kepentingan politik sesaat intinya.
5.
Febri
Banyak. Lagi itu gue pernah ikut pengajian dibawakan oleh seseorang, ketika dia menyampaikan pesan moral tausyiah dia menyelipkan juga tentang kondisi partai-nya dia. Dia coba mengkondisikan partainya.
6.
Erna
Identitas, saya islam
7.
Hanafi
Biar dibilang jujur, padahal mah ga tau deh.
8.
Titi
Lambang itu citra diri, identitas.
96
No. 9.
Nama Tito
Pesan yang ditangkap Pertama, adalah seperti dakwah, rasulullah menyampaikan agama dengan perang, itu dakwah. Dibalik partai-partai islam itu orang-orang mau berdakwah… mau mencakup seluruh penduduk Indonesia. Idealisme mereka mengislamkan Indonesia dengan nilai-nilai syarat islam. Mereka sadar Indonesia memiliki populasi Islam terbesar. Dengan merangkul Islam maka kesempatan untuk menang lebih besar. Jadi, gue melihat dua hal pesan dakwah dan pesan kekuasaan.
10.
Santi
Sampe saat ini gak.
11.
Wiwid
Menarik massa
12.
Ulfa
Menjual agama untuk kepentingan mereka…
4.2.5
Pemaknaan terhadap Penggunaan Simbol Islam oleh Partai Politik
4.2.5.1 Understanding and Acceptance Masyarakat mengetahui dan menyadari bahwa simbol Islam secara universal dan bebas digunakan oleh Partai Politik demi kepentingannya. Masalahnya karena ini adalah simbol milik Islam maka masalah kepemilikan (tentang siapa yang berhak menggunakan) adalah tanggung jawab bersama diantara umat. Tidak mungkin ada klaim individualis ataupun organisatoris yang bersifat secara mutlak merasa sebagai pemegang konstituen terbesar dalam hal penggunaan simbol Islam yang berarti punya hak untuk melarang pihak lain untuk menggunakannya. Penggunaan simbol tersebut dapat menjadi masalah atau tidak tergantung dari pandangan rasionalitas masyarakat Islam. Seperti telah dijelaskan sebelumnya sebagai negara dengan penduduk muslim mayoritas, maka perilaku pemilih Islam juga teramat penting. Bagi beberapa kalangan muslim, mereka masih merasa lebih nyaman terhadap partai
97
yang masih mengaku memiliki kedekatan atau kaidah Islam dan bukan purenasionalisme Untuk hal ini, harus diingat Islam sebagai agama yang paripurna telah menetapkan aturan-aturan terutama tata politik dimana merupakan kesempatan ibadah pula bagi muslim bila menjalankannya. Atas isu ini, masyarakat cenderung bersikap toleran terhadap pemakaian simbol hanya saja, pemakaian tersebut tetap dengan catatan tanggung jawab yang paripurna dan tetap memperhitungkan kaidah nilai-nilai yang menyertainya. Ada kecenderungan bahwa masyarakat bersikap lebih liberal, terbuka dan rasional terhadap isu-isu yang berkaitan dengan politik dan agama. Islam memang mengatur segala aspek kehidupan tapi sebaiknya juga dipertimbangkan bahwa menjual agama atau ayat Islam demi kepentingan pribadi atau golongan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan yang Islami. Peneliti secara ringkas menggambarkan bahwa masyarakat terbagi atas dua golongan dalam menyikapi fenomena ini. Gambar 4.15: Understanding & Acceptance Masyarakat terhadap penggunaan simbol Islam untuk kepentingan partai politik Masalah atau Tidak Golongan Pertama: Masyarakat yang keberatan penggunaan simbol Islam
Alasan 2. terhadap 3.
4.
Golongan Kedua: Masyarakat yang tidak merasa terhadap penggunaan simbol Islam
keberatan
1. 2. 3.
Menjaga keseimbangan pluralisme – mencegah potensi konflik sosial horisontal (konteks wawasan kebangsaan) Kepercayaan yang rendah terhadap rasa tanggung jawab moral partai terhadap Islam sebagai agama panutan. Potensi timbulnya kesan mempertaruhkan citra dan martabat agama. Tujuan dakwah; Hubungan aspiratif antara partai politik dan masyarakat Sikap ignorance masyarakat
98
Golongan pertama menganggap penggunaan simbol agama dalam partai Politik adalah masalah. Pemikirannya timbul dari: Pertama, kajian bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Sehingga apa yang dilakukan satu golongan dapat mempengaruhi golongan lain. Dalam Islam, konsep pluralisme disebutkan oleh Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 251 mengenai hal ini: “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur, namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.”
Penyalahgunaan simbol dapat berimplikasi mempertaruhkan citra dan martabat agama itu sendiri. Meskipun ini adalah kajian pluralistik yang mungkin bagi beberapa umat Islam kajian ini dikategorikan sebagai wujud liberalisme. Namun dalam upaya untuk menjadi obyektif, bahwa negara Indonesia sendiri memiliki akar pluralisme yang kuat maka peneliti berupaya untuk menjelaskan hal ini lebih lanjut untuk kepentingan ilmiah. Simbol dan ritual keagamaan bersifat homogen. Bila simbolisasi ini dibawa ke dalam publik yang heterogen yang akan timbul adalah problem sosial horisontal yakni (1) persaingan klaim, (2) monopoli kebenaran; dan (3) perebutan kuasa (politik) yang pada akhirnya meruncing kepada terciptanya kesan yang ambigu terhadap suatu agama (kesan yang tidak tepat). Komaruddin Hidayat108 menyebut situasi ini sebagai proses kolaborasi dan simbiose antara simbol dan perilaku keagamaan dengan simbol dan perilaku politis. Problem sosial horisontal ini dapat timbul sebagai akibat dari (1) heterogenik masyarakat (multi etnik – agama), situasi dimana masyarakat tidak 108
Ibid., 139
99
mengamini satu nilai yang sama, (2) rendahnya tingkat kepentingan masyarakat terhadap permasalahan (politik dianggap tidak bersinggungan langsung dengan kehidupan keseharian masyarakat), (3) ikatan hukum yang tidak relevan (bahwa masyarakat disatukan dalam hukum negara dan bukan hukum agama tertentu) dan (4) masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang yang berakibat pula pada perbedaan penafsiran antar individual. Keseimbangan pluralisme ini hanya dapat terjadi bila manusia menjaga dari segala potensi konflik sosial horisontal. Dan penerapan suatu simbol Islam tertentu dipandang sebagai refleksi dari pelaksanaan ideologi Islam seutuhnya selanjutnya. Contohnya sebagaimana dikemukakan Ulfa, masalah Tabligh Akbar saja, kegiatan ini merupakan hal yang positif terutama bagi umat Islam. Tapi, bila sampai mengganggu masyarakat umum, seperti polusi suara yang berlebihan, kemacetan yang tidak terkontrol karena dilakukan pada hari kerja maka ini juga dapat dikatakan hal yang negatif. Kedua, penggunaan simbol Islam masalah, karena masyarakat kita sendiri memiliki kepercayaan yang rendah terhadap rasa tanggung jawab moral partai terhadap Islam. Islam adalah satu. Menyandang simbol Islam berarti menyandang Islam secara keseluruhan. Pemilu tahun 1999, banyak partai yang berupaya tampil untuk menyuarakan aspirasi umat Islam yang selama ini terpendam. Hal ini paling mudah terlihat dari banyaknya penamaan Partai yang menggunakan ciri keislaman. Masyarakat yang tadinya bersikap menyambut fenomena ini sebagai suatu upaya rekonstruksi bangsa melalui keimanan sedikit demi sedikit mulai kecewa karena sikap partai yang cenderung retorikal. Bagi Tri pemakaian simbolik Islam dalam partai baik partai Islam maupun nasionalis bukanlah
100
masalah. Yang menjadi masalah adalah pada wawasan kebangsaan. Sambil menyeruput kopinya, secara berapi-api Tri mengemukakan bahwa penggunaan simbolik agama semakin ke sini semakin memperlihatkan suatu hal yang tidak murni, „Karena kalo mo bener murni, Indonesia sebagai entitas politik tidak sesuai dengan tuntutan agama, ini kalau kita mau ngomong saklek, ya. Kembali lagi, dasar Indonesia bukan negara agama. Kalau mau memperjuangkan Islam jangan pake nation. Islam itu hanya satu, ga ada Islam Indonesia, Islam Afrika. Islam itu Satu. (Kadang-kadang.pen) Karena ga ada pilihan yang lain makanya kita termakan juga oleh simbol-simbol itu. Kalo ada beberapa pilihan sama-sama gak bener maka ambillah pilihan yang tingkat gak benernya paling ringan… Kita ngomongin Indonesia, Indonesia dibentuk dari cita-cita nasional,.. bukan cita-cita Islam semata. Islam itu universal ga ada Islam Indonesia, Islam Amerika atau apalah.” Erna di kesempatan lain, ditemui di warung kaki lima di belakang AlAzhar juga merasa masalah dengan penggunaan simbol Islam oleh Partai Politik. Alasannya, “Islam adalah politik, (jangan sampai.pen) politik mencampuri Islam.” Ketiga, Penggunaan simbol agama yang tidak sesuai juga dapat menimbulkan kesan mempertaruhkan citra dan martabat agama. Febri berkata, „hal ini tentunya masalah banget buat gue. Pengajian tujuannya adalah untuk mendengarkan tausyiah (pencerahan agama.pen). Bukan untuk menjatuhkan orang atau kampanye.“ tukas Febri yang mempunyai pengalaman pernah mendatangi sebuah pengajian yang tausyiah dari penceramah selalu diupayakan untuk nyerempet ke partai politik yang di ikuti sang penceramah.
101
Peneliti juga jadi teringat pengalaman seorang teman tentang pengajian yang di hadiri oleh Bibinya. Sang Bibi bercerita, pengajian tersebut mengundang seorang penceramah wanita yang sangat terkenal secara nasional. Di tengahtengah, ceramah, sang ustadzah menyoroti tentang masa pemilihan gubernur DKI yang merupakan isu saat itu. Dengan berapi-api sang ustadzah sangat memperlihatkan dukungannya terhadap sang calon gubernur bahkan dengan menyitir dalil-dalil Al-Quran serta beberapa dalil akan sangat mudharat bila tidak memilih sang calon gubernur yang dimaksud. Pengajian tersebut rata-rata dihadiri oleh wanita-wanita berusia matang (diatas 50 tahun). Kebanyakan dari mereka masih berpandangan tradisionalis, dimana Islam dipandang sebagai budaya, sehingga pengaruh sosial dan opinion leader masih sangat berpengaruh sekali. Dengan berapi-api pula sang Bibi bercerita kepada keluarganya dan menghimbau agar seluruh anggota keluarganya memilih calon gubernur yang dimaksud. Senada dengan hal diatas, Berpolitik.com baru-baru ini menurunkan berita tentang demonstrasi ratusan orang yang datang dalam dua gelombang di kantor PKS, Mampang Prapatan. Massa memprotes dukungan PKS (sebagai Partai Islam) terhadap Calon Gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman, yang dinilai gemar berjudi. Aksi massa di latar belakangi foto yang menampilkan sosok yang diduga Syahrial tengah berjudi di kawasan Genting Highlands, Malaysia 29 Juli 2006.109 Contoh-contoh kasus diatas memperlihatkan bahwa agama menjadi bagian dari praktek kampanye partai politik. Disana agama tidak berfungsi netral malah menjadi sub-bagian dari kepentingan golongan. Bagi massa, hal ini sudah menunjukkan suatu masalah. Ada kekhawatiran tersendiri bahwa hal tersebut akan
109
Alfian Banjaransari, Dukung Cagub yang diduga Penjudi, PKS didemo (Detik News: 26 Agustus 2008)
102
mendorong ke arah kesan mempertaruhkan citra dan martabat Islam baik di kalangan umat Islam sendiri maupun umat lain yang melihat konsep praktik politik umat Islam. Mereka yang memandang bahwa penggunaan simbol agama sebagai masalah pada umumnya melihat dari sudut pandang pesimistik. Bahwa tugas partai yang menyandang simbol Islam akan jauh lebih berat karena partai-partai tersebut akan mencoba untuk mengikuti kaidah agama sebagai sifat yang sempurna. Sehingga masyarakat juga akan melihat tingkat keberhasilan dari upaya ini juga semakin berat (kecil). Partai-partai tersebut bukan hanya akan mempertanggungjawabkan aktivitas politik namun juga aktivitas moral dari kadernya, apakah telah sesuai dengan akidah Islam atau tidak. Golongan kedua masyarakat berpendapat bahwa mereka tidak melihat penggunaan simbol Islam dalam partai sebagai masalah. Alasan, mereka, pertama, dalam tujuan dakwah. Tito cenderung melihat masuknya Islam ke dalam politik Indonesia adalah juga untuk tujuan dakwah. Oleh karena itu pemakaian simbol-simbol Islam dalam kegiatan partai dianggap sebagai suatu hal yang tidak masalah. „Semakin banyak partai Islam yang berkembang makin bagus banget. Berarti umat Islam sedang bangkit.” Tito menggaris bawahi peristiwa mati surinya partai-partai akibat pembatasan partai pada masa Orde Baru. Pemilu 1955, selain sebagai Pemilu I Indonesia dianggap juga sebagai pesta demokrasi paling sukses karena mampu mengakomodir kebebasan ideologi politik dalam wadah partai-partai yang secara aktif menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia yang baru merdeka. Ketika Orde Baru, partai-partai di batasi dalam fusi hingga akhirnya hanya terdiri dari 3 (tiga) partai. Fenomena pemasungan Islam dalam demokrasi
103
politik Indonesia pada masa Orde Baru ini ditulis secara lengkap oleh Syarifuddin Jufri110 sebagai berikut: “Setelah melakukan fusi partai, pemerintah melakukan proses deideologisasi dengan menerapkan asas tunggal bagi seluruh kekuatan sosial, politik dan keagamaan. Langkah pemerintah dengan memberlakukan penyeragaman ideologi Pancasila bagi partai politik pada awal 1980-an dan ormas tahun 1985 menutup rapat perjuangan untuk melakukan pelegal-formalan Islam dalam konstitusi negara. Selain ideologi Pancasila, tidak ada ideologi lain yang digunakan oleh partai politik dan ormas sosial keagamaan. Hal ini mengakibatkan beberapa ormas yang tidak dapat menerima kebijakan tersebut terpaksa bergerak di bawah tanah, selama lebih dari sepuluh tahun, hingga akhirnya kekuasaan Orde Baru runtuh tahun 1998.”
Kedua, adanya hubungan aspiratif antara partai politik dan masyarakat (sama-sama berusaha untung). Merupakan hal yang sah bila masyarakat memanfaatkan apa yang diberikan oleh partai politik demi kesejahteraan umat. Widya cenderung santai mengemukakan hal ini: “Buat saya gak masalah. Ambil untungnya aja...“
Maksudnya, jaman kampanye seperti sekarang ini banyak partai politik yang mengadakan acara peduli masyarakat, bakti sosial-agama terhadap masyarakat, pembagian jilbab seperti yang sudah di kemukakan Rahman diatas, bagi-bagi Al-Quran pada masjid atau musholla yang baru dibangun, pelatihan mengaji dan lain-lain. Masyarakat yang cerdas tentunya dapat memanfaatkan kesempatan ini tentunya dengan tetap menggunakan pemikiran rasional yang tinggi. Bachtiar Effendy (lihat Lampiran 4) dari kajian histori, melihat bahwa praktik yang sama juga terjadi pada masa Orde Lama lalu. Lebih lengkap beliau berkata “Memang, hubungan antara umat Islam dengan orsospol, tidak lagi bersifat ideologis. Tapi, lebih bersifat aspiratif. Misalnya, para kiai pesantren tidak bisa lagi menyalurkan suaranya ke PPP yang terlalu banyak konflik internalnya. 110
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 265
104
Akibatnya, para kiai lebih memandang Golkar ketimbang PPP. Melihat hal ini, tentunya Golkar bermain dengan menggunakan simbol-simbol Islam untuk menarik massa kalangan pesantren. Imbalannya, Golkar akan menyuarakan suara umat Islam, bila kalangan pesantren menyuarakan ke Golkar. Begitu pula dengan PDI. Ia juga akan menggunakan simbol Islam untuk menarik simpati. Menurut saya, ini positif, karena kalangan pesantren punya akses dimana saja. Tidak hanya di PPP, tapi juga di Golkar dan PDI. „ Ketiga, masyarakat cenderung bersikap ignorance. Simbol Islam bagi mereka bukanlah masalah sakral sehingga semua golongan boleh memakai simbol ini dalam kepentingannya masing-masing. Sikap masyarakat yang semacam ini biasanya diikuti oleh perilaku untuk tidak dipengaruhi oleh penggunaan simbol Islam oleh Partai politik. Setiap manusia bebas untuk melakukan hal-hal yang disukainya dengan batasan tanggung jawab secara moril dan materiil. Ada kesan ignorance terhadap fenomena ini dengan bukti bahwa simbol-simbol tersebut pada dasarnya tidak mempengaruhi keberpihakan atau pilihan masyarakat terhadap partai. Simbol itu seperti dikatakan bang Muchtar lebih mempunyai pengaruh terhadap naluri seseorang. Simbol ini berupaya mengarahkan dengan pendekatan emosional mencoba mengulik kesadaran rasional. Hal ini sedikit menjelaskan fenomena mengapa calon pemilih yang sudah tetap dengan suatu partai tertentu ketika sampai di bilik suara ternyata malah memilih partai yang lain. Bagi golongan kedua, simbol agama hanyalah satu diantara berbagai macam faktor yang menentukan pilihan mereka. Kualitas kandidat, visi misi partai dan/atau opinion leader, kedekatan emosional sama-sama Islam, misalnya juga
105
sangat penting. Kader-kader partai termasuk di dalamnya ideologi dan kerapihan organisasi partai politik yang bersangkutan juga termasuk ke dalam hal-hal yang diperhitungkan oleh masyarakat. Masyarakat lebih condong kepada rasionalitas dan/atau tradisional- emosi untuk menentukan pilihan partai mereka. 4.2.5.2 Pengaruh simbol Islam dalam pencalonan kandidat Presiden oleh partai politik Paling menarik untuk mengetahui sikap informan terhadap kasus. Sebuah partai nasionalis dengan ideologi yang sudah sesuai dengan cocok dengan calon pemilih ini, namun ternyata mencalonkan kandidat non-muslim bagaimana sikap dan perilaku mereka?.111 Salah satu tujuan Pemilu adalah untuk menetapkan Presiden. Agama dari kandidat tersebut juga adalah termasuk interaksi simbolik. Hal ini terutama terlihat dari penelitian ini. Studi kasus ini memperlihatkan adanya perbedaan sikap terhadap perilaku yang pada akhirnya memiliki kemampuan untuk mengubah perilaku yang tersebut. Refleksi sedikit secara global, seorang nasionalis yang beragama Islam akan mengalami kesulitan untuk menerima seorang kandidat Presiden yang beragama bukan Islam. Meskipun, secara sikap sejak pertama, si nasionalis ini bersikap sangat-sangat demokratis sekali. Kedekatan emosional agama sebagai sebuah budaya yang mendasari panutan hidup masyarakat terlihat.
111
Peneliti cenderung tidak menyamakan konsep bahwa merubah perilaku adalah merubah sikap. Karena berbagai penelitian membuktikan bahwa sikap meski dapat memprakirakan perilaku (sikap dapat menentukan perilaku) namun tidak secara otomotis dapat meramalkan perilaku. Ada suatu kecenderungan ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku pada suatu kondisi-kondisi tertentu. Pembentukan sikap yang paling efektif adalah melalui pengalaman sendiri. Para pakar masih hendak mengetahui sampai seberapa jauh perilaku dapat mempengaruhi terbentuknya sikap (Perilaku menentukan Sikap).
Disimpulkan dari Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 238 - 254
106
Informan terpecah secara natural ke dalam kelompok-kelompok aliran sesuai dengan pandangan pola pikir individu mengenai Agama. Dalam kasus ini, agama memenuhi semua fungsi dasar sebuah budaya, yaitu (1) identitas, mengatakan pada kita siapa kita dan siapa saya; (2) norma-norma, ia mengatakan bagaimana kita seharusnya bertingkah laku dan (3) pemeliharaan tapal batas mengatakan kepada kita siapa dan perilaku apa yang bukan bagian dari kita.112 Maka, kemudian Peneliti membagi perbedaan sikap ini dalam 3 aliran berikut: (1) Kelompok Islam Nasionalis; (2) Kelompok Islam Moderat; dan (3) Kelompok Islam Kontemporer. Pertama, Kelompok Islam Nasionalis mempunyai ciri sangat terbuka terhadap informasi dan perubahan yang mungkin, memiliki toleransi tinggi terhadap pluralitas yang terjadi dan (berusaha) menjunjung tinggi demokrasi. Konsep mereka adalah lebih kepada memajukan bangsa sehingga ketika agama mulai diyakini mempunyai nilai-nilai yang agak sedikit ditimbang cenderung diametral dengan konsep politik maka mereka bersikap untuk lebih banyak menggunakan rasio ketimbang penalaran religi. Mereka banyak mendapat dan menyerap informasi sehingga ketika suatu informasi masuk merka tidak cenderung langsung percaya namun mengolahnya terlebih dahulu. Sikap kehati-hatian golongan ini lebih kepada usaha pemahaman secara logis dan rasio yang membutuhkan lebih banyak kemampuan kognitif ketimbang emosional ataupun afektif semata. 112
Ibid., 16
107
Jawaban-jawaban pertama yang diluncurkan oleh kaum ini pada dasarnya sangat mendukung sekali ke dalam kebebasan, demokrasi politik, tingkat toleransi terhadap pluralisme yang tinggi. Konflik sikap pada masalah ini cenderung sangat terlihat. Kebanyakan dari mereka akan terdiam sejenak, memikirkan jauh lebih dalam sebelum kemudian menjawab pertanyaan ini. Walaupun pada akhirnya jawaban mereka cenderung seragam, bahwa mereka akan lebih melihat dari keunggulan kandidat ini, sehingga bila memang cocok kenapa tidak, namun telah terjadi apa yang dikatakan oleh Emile Durkheim113 sebagai kekuatan agama yang tidak hanya diinspirasikan kepada anggotanya tetapi juga diproyeksikan ke luar kesadaran dan dimanifestasikan. Disatu sisi mereka menjunjung Islam sebagai agama mereka sehingga keberpihakan emosional jelas tetap pada Islam sementara di sisi lain semangat toleransi yang kuat bahwa sudah saatnya manusia mempunyai pandangan lain yang sama baiknya juga tidak bisa dihindarkan. Tri dalam hal ini bersikap: “Akan mempertimbangkan lagi. Karena ya itu, demokrasi kan mayoritas, masa mayoritas dipimpin minoritas? Kalo begitu nantinya dampaknya ga bagus, krn minoritas ga akan bisa menyelami keinginan mayoritas.
Sementara Wiwid, “Pribadi, ya gak masalah, kalo ga se-agama. Yang penting visi misinya bener, ga ada cacat-cacatnya. Ga harus islam aja yang memimpin… secara Indonesia sendiri kan ada 5 partai. “
113
Leege & Kellstedt, Op. Cit., 14
108
Kedua, Kelompok Moderat, kelompok ini berkeyakinan bahwa segala sesuatunya
harus
dikembalikan
kepada
Al-Quran
dan
Hadits.
Yusriah
mengungkapkan: “Otomatis tidak akan milih. Pandangan saya sebisa mungkin pemimpin adalah Muslim. Misalnya saya suka ideologi partai tersebut, agamis dan pure politik, tapi tetap saja ada batasan-batasan, ada panduan-panduan dengan agama. Tapi, kalau sudah mencalonkan non-muslim ya, menolak untuk milih, cari partai lain saja.”
Atau tanggapan Bang Muchtar berikut: “Saya punya prinsip sesuai dengan fiman Allah bagaimanapun Akhlak nya orang Islam harus pilih orang Islam Seorang pemimpin harus menjadi khalifah, khalifah menjadi wali. Wali bagi rakyat. ketika perempuan tidak punya maka yang menjadi walinya adalah pemimpin negara. Akhlak disini yang berbicara…. Saya akan memilih siapa yang berpihak kepada Allah dan Rasul. Adil sesuai dengan konsep kita. Secara syariat, akhlak, keberpihakan, masyarakat, dalam kondisi dijajah kepada muslim dia membela barat atau muslim Saya akan condong terhadap seorang kandidat tentunya dari partai yang sesuai dengan visi dan misi keislaman yang saya anut. Bagaimanapun politik adalah lingkaran setan.”
Senada dengan diatas, Jamil menyatakan hal demikian: “Bila orang tersebut berpandangan nasionalis abis, jelas ini diterima. Karena Negara perlu diselamatkan. Jika orang-orang yang sudah dibina (dididik) mereka melihat apabila masih ada orang lain maka sebaiknya cari terbaik dari yang terbaik, cari yang terbaik dari yang terburuk. Yang dilihat adalah: 1. Kepentingan samua (bukan kepentingannya partai politik aja, harus ada mutualisme, membangun Islam juga) 2. Tujuan --- bisa nyedain tujuan yang baik untuk masyakat gak? Jangan nanti ternyata hanya untuk tujuan partai atau individu saja tapi mengatasnamakan perjuangan kebangsaan kemudian pake simbol agama.”
Ketiga, Kelompok Kontemporer. Kelompok ini merupakan kelompok yang sangat terikat kuat dengan ritual Islam sebagai agama dan budaya sehingga penafsiran terhadap Islam cenderung konstekstual dan mengikuti secara harafiah.
109
Apa yang dikatakan oleh Islam adalah hal yang tidak dapat dan tidak boleh diutakatik ataupun dipertanyakan. Pipit (nama samaran). Ketika ditanyakan mengenai sikapnya pada studi kasus bersikap emosi. Karena menurutnya pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang bersifat retorika dan tidak harus dipertanyakaan. Meskipun pada awalnya Pipit mengakui bahwa Indonesia adalah agama yang majemuk sehingga pemakaian simbol agama juga tidak boleh sembarangan dan tidak melukai umat lain namun ketika menyangkut pemimpin, maka ia harus seorang Muslim. Seorang Muslim harus memilih seorang muslim karena ia memiliki kewajiban untuk meneruskan perjuangan Muslim. Pertanyaan yang ditanyakan dianggap tidak relavan karena baginya semua Muslim juga akan mempunyai pandangan yang sama tentang konsepsi kepemimpinan. Para informan adalah anggota YISC, mereka berada dalam organisasi yang sama, agama yang sama namun latar belakang setiap informan yang berbeda baik dari segi pendidikan, status, keluarga, sukuisme hingga lingkungan pekerjaan mereka sekarang telah membawa perbedaan dalam pola pikir masing-masing informan. Bukan kapasitas peneliti untuk menilai mana golongan yang baik atau buruk karena semua adalah baik. Peneliti hanya berusaha untuk mendeskripsikan fenomena yang terjadi agar masyarakat dapat memahami apa yang sedang terjadi di masyarakat. 4.2.5.3 Pesan/Kritik/Saran Masyarakat terhadap Partai Politik Pertanyaan terakhir yang Peneliti tanyakan adalah mengenai pesan. Berikut pesan-pesan yang disampaikan oleh tiap individu terhadap partai politik.
110
GAMBAR 4.16: PESAN/KRITIK/SARAN TERHADAP PARTAI POLITIK No.
Nama
1.
Ulfa
2.
Widya
3.
Santi
4.
Muchtar
Pesan/Kritik/Saran terhadap Partai Politik Jangan pernah menggunakan simbol agama untuk kepentingan golongan karena itu hanya urusan antara kita dan yang diatas. Pokoknya intinya gini deh, jangan mencampur adukkan agama dan politik. Mendingan ga usah pake deh, sekarang gini aja deh, dewa (band, pen) aja diomelin pake-pake simbol agama… Kalo bisa yah, parpol-parpol islam yang melambangkan simbol islam menyatu aja, jangan terpisah-pisah bisa melambangkan ukhuwah islamiyah. Simbol itu tidak boleh kita mengkultuskan, sekadar simbol saja. Seperti bendera Indonesia hanya sebagai lambang negara. Tujuan kita beribadah semata-mata mengabdi kepada Allah… apapun yang kita kita lakukan mengabdi kepada Allah. Tapi sebenarnya simbol itu kan sama dengan strategi. Sama ketika jaman perang Rasulullah dahulu. Ketika orang kafir Quraisy musuh memanjangkan kumis, janggut dipendekkan. Maka Rasulullah membuat identifikasi umat Islam dengan cara kebalikannya. Kumis dipotong, janggut dipanjangkan. Sekarang kembali lagi esensi simbol itu sebagai apa… gedung biasa bisa kok jadi mesjid. Tidak jadi jaminan bila bukan masjid maka tidak baik untuk beribadah. Esensi ibadahnya itu yang sebenarnya dicari. Lihat simbol Ka’bah. Kalau untuk orang-orang tua, petani, apa makna simbol Ka’bah bagi mereka? Haji. Sementara makna simbolik Ka’bah itu kan sebenarnya lebih besar dari itu.
5.
Jamil
Partai politik sih sebenarnya terserah. Tapi kalo ada partai Islam atau mengaku merepresentasikan Islam wah itu yang ga setuju. Udah ga efektif sekarang.
6.
Febri
Sarannya adalah simbol bukan main factor untuk mendapatkan suara tapi lebih ke arah proses dan implementasi dari visi/misi itu sendiri. Program2nya.
7.
Erna
8.
Hanafi
9.
Titi
10.
Tri
berharap semoga jujur menjalankan dnegna niat baik karena Allah Ta’ala. supaya tidk bernaung di bawah lambang islam untuk mencari keuntungan sesaat. Ingat azab Allah. kalo ngomongin jujur, partai selalu ngomongin dia paling jujur. Jadi gw no comment aja. Lebih realistis dalam memahami masalah di negaranya. Ekonomi ga bisa diperbaiki sebagus apapun sistemnya akan
111
No.
Nama
Pesan/Kritik/Saran terhadap Partai Politik percuma. Orang laper itu ga usah ngomong demokrasi, ga aka nada demokrasi kalo perutnya laper. Aku lebih senang negara kesejahteraan, seperti swedia, Denmark, finland. Ideologi ga usah terlalu… tp kayakny sekarang mo kemana2 juga independen… belum bisa ngomong kemauannya apa…
11.
Tito
Pertama, coba lebih focus, untuk point dakwah. Jangan lupa untuk membentuk kader-kader… harus dibentuk dulu sehingga partai itu benar-benar kekuatan islam yang sesungguhnya. Islam akan membawa dampak yang lebih besar kepada masyarakat. Bayhangkan kalo satu partai yang kandidat yang pandai quran, rahjin salat sunah dan kadernya juga sangat islami. Karena islam pada dasarnya adalah rahmatan lil alamin
112
5
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Pemaknaan simbol Islam bagi masyarakat YISC Al-Azhar tidak lagi
mempunyai pengaruh yang kuat bagi keputusan memilih suatu partai. Hal ini dikarenakan: Pertama, Simbol adalah representasi dari. Simbol Islam berasal dari kesepakatan budaya bersama hal ini terutama dikarenakan Islam secara resmi tidak pernah menetapkan simbol Islamnya. Diversifikasi simbol Islam yang ada menghasilkan kategorisasi simbol yang demikian luas sehingga menimbulkan pemaknaan yang berbeda-beda. Konsep ini terutama mengikuti pengaruh budaya komunitas dari individu yang bersangkutan. Dalam Penelitian ini tercatat ada lima simbol yang populer, yakni Bulan dan bintang, Masyarakat YISC Al-Azhar cenderung memaknai suatu simbol sebagai simbol Islam bukan dari sisi sejarahnya namun lebih ke arah simbol mana yang paling sering terlihat. Pengaruh identifikasi asal individu sangat berperan dalam hal ini. Masyarakat YISC Al-Azhar tidak melihat simbol sebagai suatu hal yang sakral karena dalam kapasitas bahwa simbol hanyalah representasi dari bukan esensi dari. Simbol bukan suatu hal yang disembah sehingga harus dikultuskan. Kedua, Identifikasi simbol Islam merupakan strategi klasik. Komunitas YISC Al-Azhar tahu dan sadar bahwa ada pemakaian simbol Islam oleh Partai Politik dalam kegiatannya. Namun, kebanyakan dari informan
113
mengalami kesulitan bila harus me-recall partai mana dan untuk kampanye yang bagaimana. Kondisi ini memperlihatkan kecenderungan bahwa masyarakat sudah mulai melihat fenomena ini sebagai suatu hal yang biasa. Ini berarti, pesan yang disampaikan menjadi kurang efektif dalam mempengaruhi perilaku pemilih. Bila partai tersebut tidak cerdas dalam membawa isu ini malah menuai citra negatif dari masyarakat. Ketiga, Understanding and Acceptance YISC Al-Azhar terhadap penggunaan simbol Islam adalah tergantung pada tanggung jawab paripurna dari partai politik. Pemakaian simbol Islam hanya akan menjadi masalah saat ada ketidak sinkronisan antara asas (kedekatan terhadap Islam) yang dipakai dengan perilaku moral partai politik termasuk kader-kader di dalamnya. Simbol Islam tidak masalah digunakan bila mempunyai muatan nilai positif terhadap lingkungan dan terutama bagi kesejahteraan umat, bangsa dan negara. Keempat, kecenderungan pengaruh pendekatan simbolik Islam ada pada figur kandidat. Komunitas mengaku lebih banyak dipengaruhi oleh figur atau kandidat pemimpin dan visi dan misi Partai daripada hanya melihat secara simbolik Partai mana yang mempunyai kedekatan dengan Islam. Komunitas YISC Al-Azhar masih menuntut seorang pemimpin yang beragama Islam pula. Kedekatan emosional bahwa seorang muslim akan merasa lebih aman dan nyaman bersama seorang pemimpin muslim masih sangat diharapkan.
114
5.2 1.
Saran Partai hendaknya bersikap hati-hati dalam pemilihan simbol Islam yang
akan digunakan. Karena konsep simbol sendiri dalam masyarakat adalah berbedabeda dan besar potensi ambiguitasnya. 2.
Spesialisasi segmentasi pasar pemilih berdasarkan aliran Islam. Perubahan pola pikir masyarakat Islam memungkinkan perbedaan
keputusan memilih partai bahkan dalam lingkup satu keluarga sekalipun. Pemaknaan masyarakat terhadap simbol agama cenderung berbeda-beda dan pada dasarnya lebih bertumpu pada aliran Islam mana yang mendasarinya. Sehingga, aliran pada dasarnya adalah kata kunci dari segmentasi yang ingin dituju oleh partai politik. Spesialisasi segmentasi akan lebih efisien ketimbang berusaha memasuki keseluruhan ruang publik umat Islam. 3.
Bila Partai siap untuk berdekatan dengan ruang publik Islam maka Partai
tersebut juga harus siap dengan kompleksitas Islam. Oleh karena itu tindakan maupun strategi yang harus dijalankan juga harus hati-hati. Karena penilaian masyarakat bukan lagi dari sisi politik semata namun dari sisi yang lebih paripurna. Salah memilih strategi, maka potensi citra dan martabat partai menjadi buruk akan lebih besar dan cepat.
115
DAFTAR PUSTAKA Ardianto, Elvinaro dan Soemirat, Soleh, Dasar-dasar Public Relations. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Bogdan, R.C., and Biklen, S.K., Qualitative research for education an introduction to theory and methods. London: Allyn and Bacon Inc., 1982. Burnham, Andy MP, Lansley, Andrew and Huhne, Chris, The Politic of Public Behaviour, London: Demos, 2008. Cutlip, Center & Glen Broom Effective Public Relations,6th edition, New Jersey: Prentice-Hall,Inc., Englewood Cliffs, 2000. Dye, Thomas R. Politics in States and Communities, New Jersey: Prentice Hall, 1988 Dault, Adhyaksa., Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005. Firmanzah, Marketing Politik: antara pemahaman dan realitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. --------, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Harrison, Lisa., Metodologi Penelitian Politik, Jakarta: Kencana, 2007. Hasan, Afif., Dr., M.Pd, Fragmentasi Ortodoksi Islam, membongkar akar sekularisme, Malang: Pustaka Bayan, 2008. Hidayat, Komaruddin, Politik Panjat Pinang: Dimana Peran Agama, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006. Jurdi, Syarifuddin, Pemikiran Politik Islam Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Kennedy, John E., Soemanagara, R. Dermawan., Marketing Communication, Taktik dan Strategi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2006. Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994.
116
Leege., David C., dan Kellstedt., Lyman A, Agama dalam Politik Amerika, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. Muhtadi, Asep Saeful, DR., M.A., Komunikasi Politik Indonesia, Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008. Mulyana, Deddy., M.A., Ph.D, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005. ---------., Metodologi Penelitian Kualitatif:Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Mulyana, Deddy., dan Solatun., Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Nasution, Zulkarimein, Komunikasi Politik: Suatu Pengantar, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Nursal, Adnan, Political Marketing, Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta: PT Gramedia Utama, 2004. Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2007. Rachmadi, F. Public Relations dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Gramedia, 1994. Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: PT Sinar Baru Algesindo, 1995. Ruslan, Rosady, Marketing Public Relations, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008 ------, Metode Penelitian, Public Relations dan Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. ------, Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999.. Schröder, Peter, Strategi Politik. Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung, 2004.
117
Sendjaja, Sasa Djuarsa. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka, 2003. Sobary, Mohammad, Kesalehan Sosial. Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara, 2007. Sobur, Alex., Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. Strauss, Anselm & Corbin, Juliet, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar, 2003. Sudibyo, Agus, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta: LKiS, 2006. Susanto, A. B., Himawan Wijanarko. Power Branding: Membangun Merk Unggul dan Organisasi Pendukungnya. Jakarta: Quantum Bisnis & Manajemen, 2004. Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008. White, Louise G. Robert P. Clark. Political Analysis Technique and Practice 2nd ed. Pacific Grove, CA.: Brooks/Cole Publishing Company, 1990. Qaradhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 1. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. ------. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. ------., Retorika Islam: Bagaimana Seharusnya menampilkan wajah Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007. Zaituna. Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib. Zaituna dan Republika, 2001. Artikel/Tulisan/Makalah A'la, Abd., Menggaet Agama untuk Politik, dari world wide web, Radar Lampung Online, 18 Oktober 2007 An-Nuri, Abu Faris, Pendapat lain tentang pemilu, dari world wide web Falasyitb.wordpress.com/2007/06/19/pendapat-lain-tentang pemilu
118
Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor, US Department of State, International Religious Freedom Report 2007, dari world wide web http://www.state.gov/g/drl/rls/irf/2007/90137.htm Artikel dari world wide web, http://www.berpolitik.com, Suara Islam kartu truf 2009? ---------, Akrobatik Parpol Mengais Suara Firmanzah, Marketing Politik:Strategi Alternatif Partai Politik, dari world wide web, Pasca Sarjana Ilmu Manajemen UI, http://forumpolitisi.org/downloads/Marketing_Politik_-_Firmanzah.pdf) Gioaia, D.A., & Thomas, J.B., Identity, image and issue interpretation:sensemaking during strategic change in academic Administrative Science Quarterly, (41),3, hal. 370-403 Artikel
dari world wide web http://www.hanyawanita.com/_event/flash/article.php?article_id=8395
Heryanto, Gun Gun, Sphere of Reflection: Marketing Politik dan Industri Citra, dari world wide web, http://gunheryanto.blogspot.com/2007/12/marketingpolitik-dan-industri-citra.html, 5 Desember 2007 Hidayat, Firman., Jilbab sebagai sebuah simbol, dari world wide web, http://bahas.multiply.com/journal/item/16/Jilbab_Sebagai_Sebuah_Simbol, 4 Desember 2007.
Mujani, Saiful, Muslim Demokrat – Islam, Budaya demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Order Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007. Mujani, Saiful & Liddle, William, R. et. al. The Long Road to Democracy, Jakarta: the Habibie Center, 2004. --------, Leadership Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia Nugroho, Nurfajri Budi, Lebih dekat dengan Hidayat Nurwahid: Barpartai tak cuma cari kekuasaan, artikel dari world wide web http:www.detiknews.com, 3 Oktober 2006 Artikel dari world wide web http://www.religionfacts.com/islam/symbols.htm
119
T. Arif Hidayat Malik, Tesis-tesis tentang Agama, Tuhan dan Negara, (4 Juni 2008 : http://sufimuda.wordpress.com/2008/06/04/tesis-tesis-tentangagama-tuhan-dan-negara/) Komisi Pemilihan Umum, Keputusan Komisi Pemilihan Umum No. 7 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Komisi Pemilihan Umum tanggal 10 Februari 2004, Tempo Interaktif, 16 Maret 2004 http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/03/16/prn,2004031619,id.html Wijaya, Bambang Sukma, Sebuah Boneka bernama Fauzi Bowo, dari world wide web http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/category/komunikasipolitik, 7 Desember 2007.
120
Lampiran 1 Kegiatan YISC Al-Azhar untuk Anggota dan Umum Kegiatan untuk Anggota
Kegiatan Untuk Umum
Bimbingan Studi Qur’an (BSQ); setiap hari Minggu pukul 08.00 pagi, dibagi menjadi beberapa kelas sesuai kemampuan dan pemahaman anggota.
Kajian Buku; sebuah kajian suatu Buku antar komunitas YISC secara diskusi interaktif. Setiap Rabu, 19.00-21.00.
Terdiri dari materi Iqra, Tajwid, Tahsin dan Bhs Arab. Studi Islam Intensif (SII); setiap hari minggu pukul 10.00 pagi, pembagian kelas berdasarkan usia anggota. Kegiatan studi ini memiliki metode diskusi interaktif. Materi terdiri dari Aqidah, Syariah, Muamalah, Akhlak, Al-Qur’an dan Hadits, Sejarah dan wacana Islam Aktual.
Tafaqquh Fiddin; pendalaman agama serta pendekatan keseimbangan antara konsep diri, pembinaan spiritual dan akal dalam bentuk praktek tadarus, dzikir, muhasabbah, tadabur alam, outbound training dan diskusi interaktif.
Forum Dialog; forum dialog, membahas masalah aktual di masyarakat tentang agama, psikologi, politik, ekonomi dan sosial budaya dengan narasumber yang kompeten dibidangnya. Sebulan dua kali, Sabtu 16.00-18.00 di Masjid dan Aula SMU Al-Azhar. Kegiatan ini tanpa dipungut biaya. Pengajian Lepas Kerja; pengajian umum dengan tema Mental Health, di Masjid Agung Al-Azhar, satu bulan sekali Jumat 19.30-21.00 Acara ini tidak di pungut biaya.
Dilaksanakan sekali dalam satu semester khusus bagi anggota kelas tingkat dasar, diadakan di kawasan Puncak, mulai Sabtu sore sampai dengan Ahad Sore. Kegiatan pembinaan Pengembangan Diri dalam bentuk perkuliahan, pelatihan, workshop tentang Konsep Diri, Pengembangan Diri, Motivasi Diri, Team Building dan Leadership.
Kajian Islam Tematik; mengkaji pemikiran dan wacana keislaman tentang Tafsir, Teologi, Filsafat Islam, Tasawuf Filosofis dan aktual lainnya. Sebulan 3 kali, Jumat, 19.00-21.00. Apabila acara di selenggarakan secara Paket Intensif, peserta dipungut biaya.
Pelatihan, keterampilan untuk menopang aktifitas dakwah dan keterampilan diri seperti Public Speaking, Penulisan, Internet, Organisasi dan kepanitiaan, Jelata (Jelajah Wilayah Kota), aksi kepedulian sosial ke lokasi Adik Asuh YISC dan Panti asuhan.
Paket Kajian Qolbun Salim; paket Kajian tematik tentang Manajemen Qolbu dengan narasumber kompeten yang diselenggarakan setiap Ahad, 09.00-11.30 di Kampus UAI dengan peserta di pungut biaya per paket.
Forum Cinta Ilmu (FCI), sebuah forum diskusi antar anggota tentang masalah aktual dan permasalahan perkuliahan. Sebulan 2 kali,
Pesantren Kilat; Kegiatan paket pesantren kilat yang dikemas secara interaktif dan edukatif dengan berbagai tema alternatif sesuai dengan
121
Kegiatan untuk Anggota
Kegiatan Untuk Umum
Ahad, 13.00-15.00.
kebutuhan peserta. Peserta adalah SD-SMU dengan penawaran ke suatu institusi atau untuk umum yang diselenggarakan pada bulan Ramadhan dan Liburan sekolah.
English Forum, sebuah forum untuk pengembangan Bahasa Inggris antar anggota dengan sistem kelas dan group discussion.
Diskusi Virtual melalui Internet; diskusi interaktif, wadah bertukar informasi dan media komunikasi secara virtual melalui website http://www.yisc.or.id
Terdiri dari elementary and Conversation Class. Setiap hari Minggu, 13.00-15.00 di Kelas SMU Al-Azhar. Majalah Berita YISC (BY), Majalah internal YISC Al-Azhar sebagai media komunikasi, diskusi, dakwah antar anggota tentang berbagai masalah aktual internal organisasi dan aktual di masyarakat. Terbit 2 minggu sekali. Pembinaan Adik Asuh YISC (PAYISC); Pembinaan adik-adik asuh sekitar 126 orang dari keluarga kurang mampu dalam bentuk pemberian beasiswa, pendidikan, bimbingan belajar dan sanggar seni.
122
Lampiran 2 Prestasi dan Karya YISC Al-Azhar
Berikut merupakan prestasi dan karya YISC Al-Azhar: 1.
Pesantren Kilat Liburan dan Ramadhan: untuk umum, putra Putri Karyawan Pertamina Balongan, TPI, Bank Mandiri, Adik asuh dan Anak – anak di Rumah Singgah
2.
Memelopori Silaturrahmi Pemuda Remaja Masjid se DKI dan MasjidMasjid Besar di Jawa, serta pelatihan manajemen Remaja Masjid.
3.
Delegasi dalam berbagai acara a.l : Generasi Muda antar Iman (Gemari), YEH International Conference, IIFTIHAR Conference, Young Moslem Secretariate MABIMS Singapore, KODI/FKLDPI-DKI, Masyarakat Tolak Pornografi (MTP)
4.
Kegiatan Sosial: Sunatan Massal, Qurban peduli, Pernikahan Massal, Posko Reformasi, Posko Peduli Gempa Bengkulu 2000, Peduli Peduli Banjir Jakarta 2002, Posko Kebakaran 2002, Santunan 1500 anak yatim dan dhuafa, Gempita Anak sholeh, Konser Amal (29 June 2002) dihadiri oleh DEBU, The FIKR, Al Amro, SEMANTIK, Tamara
5.
Kesenian: Festival Seniman Anak Jalanan, Festival Nasyid se DKI, Konser Amal.
6.
Kegiatan, Prestasi dan karya lainnya dalam bentuk mensikapi kondisi di masyarakat baik wacana maupun aksi, peserta, pelaksana atau narasumber dalam berbagai seminar, diskusi panel, atau konferensi, dan kegiatan harihari besar Islam dan Ramadhan.
123
Lampiran 3 Struktur Organisasi, Fungsi dan Tugas Kepengurusan YISC Al-Azhar
Fungsi dan Tugas Kepengurusan Jenis Bidang
Fungsi dan Tugas Bidang
Sekretaris Umum:
:
4. Mengatur kesekretariatan (ruang sekretariat, telepon, komputer, printer, alat tulis, dsb serta kepanitian) kegiatan besar YISC; 5. Melakukan penelitian dan pengembangan untuk membantu Pengurus Harian dalam mengambil keputusan untuk pengembangan organisasi; 6. Membiat data base organisasi, mengelola website, mengelola infrastruktur sistem komputer.
Bendahara Umum:
:
1. Mengontrol aliran dana untuk pembiayaan kegiatankegiatan YISC; 2. Mengatur dan mendistribusikan dana untuk keperluan yang bersifat sosial; dan 3. Membuat usaha-usaha yang dapat memberikan pemasukan dana ke dalam organisasi
Departemen Pendidikan
:
1. Menyelenggarakan materi-materi kegiatan pendidikan bidang studi Islam Intensif (materi-materi keislaman, seperti Tauhid, Rukun Islam, Sejarah Islam, Fikih, dll); 2. Menyelenggarakan kegiatan pendidikan bidang Bina
124
Jenis Bidang
Fungsi dan Tugas Bidang Studi Quran (Iqro, Tajwid, Tahsin, Bahasa Arab); 3. Mengadakan pelayanan sosial terhadap masyarkat sekitarnya, bersifat insidentil; dan 4. Mewujudkan pengabdian YISC kepada masyarakat sekitar bersifat kontinu.
Bidang Hubungan Masyarakat
:
1. Sebagai public relation internal, sosialisasi kegiatankegiatan YISC ke internal; 2. Sebagai public relation eksternal, berperan sebagai marketing YISC; dan 3. Menginformasikan seluruh kegiatan YISC melalui media majalah.
Bidang Kajian
:
1. Mengadakan kajian keislaman yang bertema kontemporer; 2. Mengadakan kajian keislaman yang bertema khusus seperti Tafsir Tematik, Kristologi, Muamalah
Departement Pembinaan dan Kaderisasasi
:
1. Mengadakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan meningkatkan kapasitas anggota YISC dan mengadakan kegiatan yang menarik pihak luar YISC untuk menjadi anggota YISC; dan 2. Mengadakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan menyiapkan anggota YISC untuk siap menjadi pengurus.
Lembiga Pembinaan (PAYISC)
:
Melakukan pembinaan terhadap anak-anak tidak mampu di lingkungan sekitar YISC
Anak
125
Lampiran 4 Diskusi Forum Komunikasi ITB: Pendapat Lain tentang “Pemilu” Juni 19, 2007 pada 12:59 am · Disimpan dalam Diskusi Milis Assalamu’alaikum wr wb Saya sempatkan diri untuk melanjutkan kembali komentar dan tanggapan saya tentang masalah keikutsertaan dalam pemilu di PC saya di rumah… agar saya tidak merasa “berhutang” lagi, khususnya terhadap Pak Faidzin ^_^ Saya akan mencoba menurunkan pembahasan ini secara singkat, meskipun ternyata hasilnya cukup panjang ^_^ mudah-mudahan dapat diambil faidahnya, setidaknya sebagai bahan renungan atau perbandingan. Sekedar informasi, bahwa selama ini saya belum pernah ikut serta dalam pemilu satu kali pun, seingat saya. Dan, pendapat saya terkait keikutsertaan dalam pemilu kali ini pun masih bersifat tentatif, dapat berubah sekiranya saya mendapatkan argumen lain yang lebih kuat, sebagaimana halnya dulu pun saya tidak berpendapat sebagaimana yang sekarang ini ^_^ Sebelum masuk ke dalam pembahasan, saya ingatkan bahwa masalah ini masih debatable di kalangan ulama kita. Syaikh Ibn al-‘Utsaimin pernah ditanya oleh ikhwah dari Indonesia, kalau tidak salah sampai dua kali, apakah kaum muslimin Indonesia ikut serta dalam pemilu atau tidak, dan beliau memfatwakan untuk turut serta dalam pemilu. Namun sebagian ulama lain, semisal Syaikh Muqbil, melarang secara mutlak keikutsertaan dalam pemilu, dengan alasan pemilu dan demokrasi merupakan sistem yang mengandung berbagai macam kebatilan bahkan kekufuran (namun bukan di sini tempat untuk membahas kebatilan sistem demokrasi dan pemilu). Saya pribadi untuk saat ini cenderung kepada pendapat Syaikh Ibn al-’Utsaimin. Berikut adalah alasannya…. Pada tulisan sebelumnya telah saya sampaikan bahwa keikutsertaan seseorang dalam pemilu tidak melazimkan bahwa yang bersangkutan meyakini demokrasi dan pemilu sebagai sistem yang benar, namun bisa jadi karena pertimbangan maslahat dan mudharat, atau usaha untuk mendapatkan mudharat yang paling ringan. Sahabat ‘Umar Ibn al-Khaththab berkata, “Bukanlah orang yang berakal itu adalah yang dapat mengetahui kebaikan dari keburukan, namun orang yang berakal adalah yang mampu mengetahui yang terbaik dari dua keburukan.” (periksa misalnya awal-awal kitab Raudhatul Muhibbin, karya Imam Ibnul Qayyim) Imam Ibnul Qayyim berkata, “Poros syariat dan taqdir (madar asy-syar’ wal qadar), di mana kepadanya lah kembali penciptaan dan perintah (al-khalq wal amr), adalah mengedepankan kemaslahatan yang paling besar, meskipun harus kehilangan maslahat yang lebih rendah daripadanya, serta memasuki kemudharatan yang paling ringan dalam rangka mencegah kemudharatan yang lebih besar.” (periksa misalnya ad-Da` wad Dawa` atau al-Jawab al-Kafi, dan Ahkam Ahl adz-Dzimmah) Bagaimana penjelasan hal tersebut terkait keikutsertaan dalam pemilu? Secara realitas, jika Anda tidak ikut serta dalam pemilu, atau menjadi ‘golput’, apakah Anda dapat terlepas dari sistem demokrasi? Jika jawabannya adalah iya, yakni dengan ketidakikutsertaan Anda beserta rekan2 Anda maka pemilu menjadi batal atau Anda dapat terlepas dari sistem demokrasi serta berganti menuju sistem yang lebih baik dan islami, maka saya dengan tidak ragu menyatakan bahwa keikutsertaan dalam pemilu pada kondisi ini hukumnya haram. Namun pada kenyataannya Anda belum dapat lepas dari sistem demokrasi, baik ikut pemilu maupun tidak. Karena itu, apabila Anda diminta memilih, antara hidup dalam sistem demokrasi yang dipenuhi beragam kejahatan, korupsi, ketidakadilan, penindasan, dll, atau hidup dalam sistem demokrasi yang masih mengandung nilai-nilai kebaikan, seperti kejujuran, keadilan, tidak adanya korupsi, dll, maka manakah di antara keduanya yg akan Anda pilih? Jawabnya tentu Anda menginginkan demokrasi yang di dalamnya lebih banyak mengandung nilai-nilai kebaikan. Jika
126
demikian, lalu apakah Anda akan bersikap apatis, diam berpangku tangan begitu saja dengan tidak ikut serta dalam pemilu, ataukah Anda ikut serta dalam pemilu untuk mendapatkan apa yang diinginkan, yaitu mendapat yang terbaik dari dua keburukan? Misalkan saja, terdapat komunitas muslim yang hidup dalam negeri kufur dengan penguasa yang kafir. Katakanlah semisal komunitas muslim di Amerika. Komunitas muslim tersebut tidak hijrah karena mereka masih dapat mengerjakan kewajiban agama dan mereka dapat berdakwah. Pada suatu ketika, negeri tersebut mengadakan pemilu. Ada dua kandidat pemimpin yang muncul. Keduanya sama-sama kafir. Namun yang satu sikapnya lebih adil dan lebih toleran terhadap kaum muslimin, sementara yang lain lebih keras permusuhannya terhadap kaum muslimin. Komunitas muslim tersebut, katakanlah jumlahnya sekitar 25% dari total penduduk, dibolehkan untuk memberikan suaranya dalam pemilu. Sekiranya Anda adalah bagian dari komunitas muslim tersebut, secara jujur, siapakah yang Anda inginkan untuk terpilih jadi penguasa, apakah yang sikapnya lebih toleran kepada kaum muslimin ataukah yang lebih keras permusuhannya? Pertanyaan selanjutnya, maka apakah kaum muslimin akan diam saja, tidak memberikan suara mereka? Padahal dengan jumlah suara kaum muslimin yang cukup signifikan besar kemungkinan mereka mampu menjadikan kandidat yang lebih toleran terhadap kaum muslimin tersebut sebagai penguasa. Katakanlah kandidat yang lebih keras permusuhannya terhadap kaum muslimin memperoleh 45% suara, sementara kandidat yg lebih toleran memperoleh 30% suara. Apabila kaum muslimin, yg dalam contoh ini memiliki 25% dari total suara, tidak bertindak dan tidak memberikan suara mereka untuk kandidat yang lebih toleran niscaya kandidat yang lebih keras permusuhannya tersebut akan menempati posisi pimpinan, di mana hal ini akan lebih memudharatkan kaum muslimin. Pada contoh di atas, bagi kaum muslimin yang mengikuti pemilu, dapatkah dikatakan bahwa mereka ridha terhadap kekufuran penguasa berikut sistem yang ada? Jawabnya tentu saja tidak, namun permasalahannya terkait dengan pertimbangan yang terbaik di antara dua mudharat (akhaffudh dhararain). Hal yang sama dapat dianalogikan untuk pemilu yang akan berlangsung di negeri kita. Meskipun kondisinya sedikit berbeda, namun substansinya tidak keluar dari permisalan di atas. Paham kan cara penganalogiannya? Semoga… ^_^ Selanjutnya… dalam hal ini timbul beberapa pertanyaan yang membutuhkan jawaban: Mungkin ada yang akan mengatakan bahwa sistem Islam yang kita cita-citakan tidak akan terealisir dengan jalan demokrasi plus pemilu. Kita katakan bahwa kita sepakat dengan yang bersangkutan. Sistem yang islami dan ideal tidak akan terbentuk dengan cara yang tidak islami. Jika tujuan Anda adalah Jakarta, namun Anda mengambil rute ke Bandung maka Anda tidak akan sampai kepada tujuan. Namun, kita hidup pada realita dan bukan utopia. Kita menginginkan maslahat yang besar dengan penerapan sistem yang islami dan ideal di masa yang akan datang, namun kita juga harus menolak kemudharatan sesuai kemampuan pada masa yang berdiri di hadapan kita. Jika keduanya memungkinkan untuk dapat dilakukan, maka mengapa tidak dilakukan? Pertanyaan, siapa yang akan menjamin bahwa orang yang kita pilih itu akan bertindak lurus sebagaimana sebelum ia dipilih? Bukankah ia dapat berubah ketika menerima jabatan? Jawabnya, wahai Saudaraku, sesungguhnya Allah tidak membebani kita atas apa yang di luar kemampuan dan jangkauan pikiran kita, namun Allah hanya membebani kita dengan apa yang kita mampu. Jika Anda hendak memilih ketua pengurus masjid, misalnya, di mana ketika itu ada dua kandidat, yang satu lebih shalih dan lebih kompeten dibandingkan yang lain (secara track record), maka manakah yang akan Anda pilih? Bukankah tidak wajar jika kemudian Anda memilih yang kurang shalih dan kurang kompeten? Bagaimana jika yang shalih dan kompeten tadi ternyata kemudian berubah di kemudian hari? Hal yang sama juga berlaku pada apa yang kita pilih ketika pemilu.
127
Jika yang track record-nya lebih baik saja dapat berubah menjadi buruk, maka bukankah besar kemungkinan yang track record-nya lebih buruk akan berubah menjadi bertambah buruk? Namun sekali lagi hal ini di luar kemampuan kita dan kita tidak terbebani untuk itu. Wallahu a’lam bish shawab. Pertanyaan berikutnya, apakah ini dalam tolong-menolong dalam keburukan, di mana berarti bisa jadi kita mendorong saudara kita untuk masuk ke dalam sistem yang penuh dengan kebatilan, bahkan kekufuran? Jawab: Mengenai masuknya saudara kita parlemen, maka itu pilihannya (ringkasnya demikian, karena ini kembali membutuhkan kajian khusus yang tidak dibahas di sini). Anda memilih atau tidak memilih ia sudah berniat dan bahkan berbuat untuk masuk ke dalam parlemen (sehingga hal itu sudah masuk dalam catatan amalnya). Yang penting untuk Anda perhatikan dan lakukan adalah bagaimana justru bagaimana mengambil keburukan yang paling ringan untuk mencegah keburukan yang lebih besar, dengan pandangan secara agregat, integral dan komprehensif, dan hal ini tentu bukan termasuk tolong-menolong dalam keburukan, namun justru upaya pencegahan keburukan yang lebih luas. Pertanyaan selanjutnya, bukankah poros demokrasi berkisar antara mayoritas-minoritas, di mana mayoritas mengalahkan minoritas. Jika kaum muslimin yang baik tersebut adalah minoritas, maka apa gunanya mereka ikut pemilu? Toh mereka akan kalah dan tertelan oleh kelompok mayoritas yang dalam hal ini adalah buruk. Dan, sekiranya kaum muslimin yang baik tersebut adalah mayoritas, bukankah mereka dapat membatalkan pemilu dan sistem demokrasi itu sendiri melalui ketidakikutsertaan dalam pemilu dan kekuatan mereka? (Ini adalah argumen saya waktu menolak pemilu beberapa waktu yang lalu ^_^) Tidak demikian, wahai Saudaraku, yang Anda sebutkan itu mungkin benar secara teoritis namun pada realita sebenarnya tidak terjadi. Yang jelas, sekali lagi, kita hidup dalam realita dan bukan utopia. Memang benar bahwa dalam sistem demokrasi minoritas pasti akan kalah oleh mayoritas. Dan, adalah benar bahwa pada saat ini yang baik tersebut hanyalah minoritas. Tetapi bukankah ‘kegelapan yang masih memiliki cahaya’ itu lebih baik dibandingkan ‘kegelapan yang benar-benar gulita’? Bukankah ‘cahaya’ yang sedikit tersebut memungkinkan untuk bertambah luas dengan adanya proses interaksi dan dakwah? Meskipun mungkin juga bahwa justru ‘cahaya tersebut itulah yang ditelan oleh kegelapan’. Yang jelas, bukankah keberadaan sedikit orang yang memiliki kebaikan yang menduduki posisi yang strategis itu lebih baik ketimbang seluruh posisi strategis itu dikuasi oleh orang-orang yang buruk? Demikianlah, wallahu a’lam bish shawab…. Sekali lagi, pembahasan saya kali ini hanyalah terkait dengan ikut serta dalam pemilu, dan sama sekali tidak terkait dengan permasalahan yang terkait dengannya, semisal bagaimana hukum membentuk partai politik, hukum kampanye, hukum masuk dan mengikuti pola serta aturan parlemen, dan lain-lain. Tidak ada konsekuensi logis antara pembahasan saya kali ini dengan halhal tersebut, karena masing-masing membutuhkan pembahasan secara khusus. Wallahu a’lam bish shawab…. Begitulah ‘cuap2’ saya kali ini, semoga ada faidahnya… minimal jadi bahan renungan dan pertimbangan…. NB: Saya mungkin akan off dari internet sampai akhir Juni dalam rangka mengikuti training Salam, Abu Faris an-Nuri Permalink 44 Tanggapan »
1. johnny berkata, Juni 26, 2007 @ 1:45 am
128
Aku sendiri bingung, karena ada ulama yg membolehkan dan ada ulama yang tidak membolehkan, karena demokrasi berasal dr non muslim, bagaiman mau menegakan islam tp dgn cara-cara non islam gitu katanya. Masing2 ulama yg membolehkan dan yg tidak membolehkan punya dalil dan mereka jg melihat mudhorat yg paling ringan. Tapi kalo saya mo iku pemilu kalo memang hanya ada 1 partai yang islam, kalo sekarang banyak partai islam, semuanya islam, ada yg menyerukan kami lebih islami kami lebih jujur kami lebih amanah kami lebih adail dan banyak lebih - lebih yang membuat kita terpecah. Dari sisi mana mereka bisa mengatakan lebih - lebih….. Benarkan apa yg disabdakan Nabi Muhammad SAW Islam kan terpecah. Akhirnya aku bertanya dalam diriku?? sebenarnya siapa yg mo diperjuangkan ?? Islam atau Partainya. Kalo begini capeedehh. Lebih baik mengaji dan belajar jadikanlah islam dalam dirikita, keluarga kita dengan tasfiyah dan tarbiyah Inysa Allah hukum islam akan tegak
2. Ahmad berkata, Juli 2, 2007 @ 6:27 am Janganlah menebarkan pemikiran yang Syubhat… Demokrasi HARAM hukumnya menurut para Ulama, baca lagi fatwa fatwa ulama mengenai Demokrasi. Wallaaahu a’lam.
3. Muhammad Dhoniy Al Palembani berkata, Juli 25, 2007 @ 9:06 am Assalamu’alaykum yaa Akhi… Kalau kita sibuk membicarakan hukum berdemokrasi itu halal atau haram. Maka kita kembali ke “tinggalkan apa yang meragukan kamu pada apa yang tidak meragukan” da ma yuribuk ila ma la yuribuk” Al hadist Demokrasi adalah syubhat,dia mendekati haram kalo kita tidak tahu. Misal ada org yang awam bingung apakah memakan Babi itu haram atau halal hukumnya,dia ragu krn keterbatasan ilmu agamanya,ini menjd syubhat bagi dia,meragukan bagi dia,maka sebaiknya dia tinggalkan memakan itu. Maka sebaiknya kita tinggalkan melakukan pemilu jika berdemokrasi,bukan kah Rasullullah telah mencontohkan politik yang paling baik. Yaa akhi,tinggalkanlah Pemilu, biar kita tidak terjerumus dalam hal2 yg syubhat. Syukron
4. Ahmad Ridha berkata, Agustus 23, 2007 @ 12:20 am Assalaamu’alaykum, Ust. Abu Faris Tulisan antum telah disalahgunakan menjadi sebuah artikel berjudul “Bila Ustadz Salafy “mendukung” PEMILU….” Mungkin baik juga jika antum bisa bergabung dan meberikan penjelasan. http://myquran.org/forum/index.php/topic,25177.0.html Barakallahu fiik.
129
Regards, Abu Faris an-Nuri
5. Abdullah berkata, September 6, 2007 @ 10:05 pm yaa syabaab, yang boleh berfatwa dalam masalah nawaazil adalah para ulama mujtahidun dan setiap kondisi memiliki hukum masing-masing. دﻩتجملا ىلع ةرصاق ةيسايسلا لزاونلا يف ىوتفلا: ﻗﺎل اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ:{ْﻦ َﻳﺴْﺘَﻨ ِﺒﻄُﻮ َﻧ ُﻪ ِﻣﻨْ ُﻬﻢ َ ﻷﻣْ ِﺮ ِﻣﻨْ ُﻬﻢْ َﻟ َﻌِﻠ َﻤ ُﻪ اّﻟﺬِﻳ َ ل وَإِﻟَﻰ أُوﻟِﻲ ا ِ } َوَﻟﻮْ َردﱡو ُﻩ ِإﻟَﻰ اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ وﻗﺎل اﺑﻦ اﻟﻘﻴﻢ: ” ﻓﻬﺬا اﻟﻨﻮع اﻟﺬي ﻳَﺴﻮغ ﻟﻬﻢ،اﻟﻌﺎﻟِﻢ ﺑﻜﺘﺎب اﷲ وﺳﻨﺔ رﺳﻮﻟﻪ وأﻗﻮال اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻓﻬﻮ اﻟﻤﺠﺘﻬﺪ ﻓﻲ اﻟﻨﻮازل وهﻢ اﻟﺬﻳﻦ ﻗﺎل ﻓﻴﻬﻢ رﺳﻮل اﷲ تفإلا،ض اﻻﺟﺘﻬﺎد ُ اء وﻳَﺴﻮغ اﺳﺘﻔﺘﺎؤهﻢ وﻳﺘﺄدى ﺑﻬﻢ ﻓﺮ- ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ-: (( “ )) إن اﷲ ﻳﺒﻌﺚ ﻟﻬﺬﻩ اﻷﻣﺔ ﻋﻠﻰ رأس آﻞ ﻣﺎﺋﺔ ﺳﻨﺔ ﻣﻦ ﻳﺠﺪﱢد ﻟﻬﺎ دﻳﻨﻬﺎ. تلق: يدرواملا لاق امك داﻩتجالا ةجرد غولب يأ: ” لزاونلا يف داﻩتجالا ىلإ يدؤملا ملعلا ”ماكحألاو، وﻗﺎل اﻟﺸﺎﻃﺒﻲ: ” وإﻧﻤﺎ ﻳﺠﺪهﺎ، وﻻ ﻳﺠﺪهﺎ ﻣَﻦ ﻟﻴﺲ ﺑﻤﺠﺘﻬﺪ،ﺑﻞ إذا ﻋﺮﺿﺖ اﻟﻨﻮازل روﺟﻊ ﺑﻬﺎ أﺻﻮﻟﻬﺎ ﻓﻮُﺟﺪَت ﻓﻴﻬﺎ “ ﻩقفلا لوصأ ملع يف نوفوصوملا نودﻩتجملا. ﻗﺎل اﻟﺤﺴﻦ اﻟﺒﺼﺮي: ” ﻞ ﺟﺎهﻞ و إذا أدﺑﺮت ﻋﺮﻓﻬﺎ آ ﱡ،ﻞ ﻋﺎﻟﻢ “ إن هﺬﻩ اﻟﻔﺘﻨﺔ إذا أﻗﺒﻠﺖ ﻋﺮﻓﻬﺎ آ ﱡ. -Madarikun NadhorApakah antum termasuk mujtahidun?
6. taufik berkata, Nopember 11, 2007 @ 5:16 pm kita sama2 sepakat tentang keharaman demokrasi, apabila hal itu haram tanpa adanya keterpakasaan maka tidak ada rukhsoh. hendaknya kita jangan tertipu dengan banyaknya orang yang mengamalkan hal tersebut (yusuf :106 surah yunus :36) toh golput juga ga jadi masalah, ga ada yang maksa ko… justru buang2 waktu ikut2an pemilu itu yang lebih repot. 1. ngabis2in duit rakyat cuma buat bikin foto2 terus dicoblos 2. kebanyakan orang2 ga tau sifat yang dipilih jadi ga ada gunanya memilih kalo ga tau apa-apa. 3. buang2 waktu nunggu yang ga ada gunanya. 4. lebih baik dipakai untuk keperluan rakyat miskin, peningkatan kesejahteraan. dengan adanya pemilu ada berapa partai yang ikut? berapa biaya untuk tiap partai? terus karena biasa lahh..orang indonesia banyak yang nipu, dibuat entah ada berapa lembaga independen dana lagi…n duit rakyat lagi… so…
7. nila berkata, Nopember 13, 2007 @ 5:02 am Baca ini: http://eramuslim.com/berita/int/7b08163139-dewan-hukum-islam-saudi-bolehkanquotpilihquot-jenis-kelamin-bayi-dengan-alasan-kesehatan.htm Kutipan dari era muslim.com,kamis 8 nov 2007 Maaf, untuk lebih lengkap baca di link aslinya seperti diatas.
8.
130
Abu Luqman al-fatahila berkata, Mei 24, 2008 @ 3:59 am Lucu juga, ketika orang berbeda pendapat dalam masalah ijtihad lalu dianggap penyebar syubhat. Apakah di zaman Rasul dulu sudah ada pemilu? Jika sudah ada, adakah fatwa dari Beliau haramnya pemilu. Raja-raja naik silih berganti, namun tidak ada larangan begini dan begitu dari Rasul mengenai pola pengangkatan mereka. Jika demikian, tidakkah kita boleh berijtihad. Okelah, jika antum bersikukuh mau mengharam pemilu. Silahkan. Namun jabarkan dulu BAGAIMANA CARANYA MEMILIH PEMIMPIN SESUAI SUNNAH DALAM KONTEKS UMAT ISLAM INDONESIA YANG SUDAH HAMPIR 200 JUTA INI. Jika sudah ketemu jawabannya, barulah bicara yang hebat-hebat!!!
9. Ibnu Rusman berkata, Juni 9, 2008 @ 1:51 am Assalaamu’alaikum….Ustadz berikut ana lampirkan jawaban Ahmad Sarwat seputar demokrasi & kepartaian dalam eramuslim.com, mudah-mudahan menjadi tambahan wawasan bagi kita: DEMOKRASI & KEPARTAIAN Assalamu’alaikum.. Apakah benar Ustadz, bahwa demokrasi itu distem kufur? Lalu bagaimana sistem pemerintahan yang sesuai dengan Sunnah Rasul SAW? Adakah negara yang menerapkannya sekarang? Jazakumulloh Khoiron Katsiro. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh. Muhamad Derajat derajat at eramuslim.com Jawaban Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh Saat ini umat Islam dihadapkan pada kenyataannya bahwa khilafah Islamiyah yang tadinya besar itu telah dipecah-pecah oleh penjajah menjadi negeri kecil-kecil dengan sistem pemerintahan yang sekuler. Namun mayoritas rakyatnya Islam dan banyak yang masih berpegang teguh pada Islam. Sedangkan para penguasa dan pemegang keputusan ada di tangan kelompok sekuler dan kafir, sehingga syariat Islam tidak bisa berjalan. Karena mereka menerapkan sistem hukum yang bukan Islam dengan format sekuler dengan mengatasnamakan demokrasi. Meski prinsip demokrasi itu lahir di barat dan begitu juga dengan trias politikanya, namun tidak selalu semua unsur dalam demokrasi itu bertentangan dengan ajaran Islam. Bila kita jujur memilahnya, sebenarnya ada beberapa hal yang masih sesuai dengan Islam. Beberapa di antaranya yang dapat kami sebutkan antara lain adalah: • Prinsip syura (musyawarah) yang tetap ada dalam demokrasi meski bila deadlock diadakan voting. Voting atau pengambilan suara itu sendiri bukannya sama sekali tidak ada dalam syariat Islam. • Begitu juga dengan sistem pemilihan wakil rakyat yang secara umum memang mirip dengan prinsip ahlus syuro.
131
• Memberi suara dalam pemilu sama dengan memberi kesaksian atas kelayakan calon. • Termasuk adanya pembatasan masa jabatan penguasa. Sistem pertanggung-jawaban para penguasa itu di hadapan wakil-wakil rakyat. • Adanya banyak partai sama kedudukannya dengan banyak mazhab dalam fiqih. Namun memang ada juga yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, yaitu bila pendapat mayoritas bertentangan dengan hukum Allah. Juga praktek-praktek penipuan, pemalsuan dan penyelewengan para penguasa serta kerjasama mereka dalam kemungkaran bersama-sama dengan wakil rakyat. Dan yang paling penting, tidak adanya ikrar bahwa hukum tertinggi yang digunakan adalah hukum Allah SWT. Namun sebagaimana yang terjadi selama ini di dalam dunia perpolitikan, masing penguasa akan mengatasnamakan demokrasi atas pemerintahannya meski pelaksanaannya berbeda-beda atau malah bertentangan dengan doktrin dasar demokrasi itu sendiri. Sebagai contoh, dahulu Soekarno menjalankan pemerintahannya dengan gayanya yang menurut lawan politiknya adalah tiran, namun dengan tenangnya dia mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya dengan demokrasi terpimpin. Setelah itu ada Soeharto yang oleh lawan politiknya dikatakan sebagai rezim yang otoriter, namun dia tetap saja mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya demokrasi pancasila. Di belahan dunia lain kita mudah menemukan para tiran rejim lainnya yang nyata-nyata berlaku zali dan memubunuh banyak manusia tapi berteriak-teriak sebagai pahlawan demokrasi. Lalu sebenarnya istilah demokrasi itu apa? Istilah demokrasi pada hari ini tidak lain hanyalah sebuah komoditas yang sedang ngetrend digunakan oleh para penguasa dunia untuk mendapatkan kesan bahwa pemerintahannya itu baik dan legitimate. Padahal kalau mau jujur, pada kenyataannya hampir-hampir tidak ada negara yang benar-benar demokratis sesuai dengan doktrin dasar dari demokrasi itu sendiri. Lalu apa salahnya di tengah ephoria demokrasi dari masyarakat dunia itu, umat Islam pun mengatakan bahwa pemerintahan mereka pun demokratis, tentu demokrasi yang dimaksud sesuai dengan maunya umat Islam itu sendiri. Kasusnya sama saja dengan istilah reformasi di Indoensia. Hampir semua orang termasuk mereka yang dulunya bergelimang darah rakyat yang dibunuhnya, sama-sama berteriak reformasi. Bahkan dari sekian lusin partai di Indonesia ini, tidak ada satu pun yang tidak berteriak reformasi. Jadi reformasi itu tidak lain hanyalah istilah yang laku dipasaran meski -bisa jadi- tak ada satu pun yang menjalankan prinsipnya. Maka tidak ada salahnya pula bila pada kasus-kasus tertentu, para ulama dan tokoh-tokoh Islam melakukan analisa tentang pemanfaatan dan pengunaan istilah demokrasi yang ada di negara masing-masing. Lalu mereka pun melakukan evaluasi dan pembahasan mendalam tentang kemungkinan memanfaatkan sistem yang ada ini sebagai peluang menyisipkan dan menjalankan syariat Islam. Hal itu mengingat bahwa untuk langsung mengharapkan terwujudnya khilafah Islamiyah dengan menggunakan istilah-istilah baku dari syariat Islam mungkin masih banyak yang merasa risih. Begitu juga untuk mengatakan bahwa ini adalah negara Islam yang tujuannya untuk membentuk khilafah, bukanlah sesuatu yang dengan mudah terlaksana. Jadi tidak mengapa kita sementara waktu meminjam istilah-isitlah yang telanjur lebih akrab di telinga masyarakat awam, asal di dalam pelaksanaannya tetap mengacu kepada aturan dan koridor syariat Islam. Bahkan sebagian dari ulama pun tidak ragu-ragu menggunakan istilah demokrasi, seperti Ustaz Abbas Al-`Aqqad yang menulis buku AdDimokratiyah fil Islam. Begitu juga dengan ustaz Khalid Muhammad Khalid yang malah terang-terangan mengatakan bahwa demokrasi itu tidak lain adalah Islam itu sendiri. Semua ini tidak lain merupakan bagian dari langkah-langkah kongkrit menuju terbentuknya khilafah Islamiyah. Karena untuk tiba-tiba melahirkan khilafah, tentu bukan perkara mudah. Paling tidak, dibutuhkan sekian banyak proses mulai dari penyiapan konsep, penyadaran umat, pola pergerakan dan yang paling penting adalah munculnya orang-orang yang punya wawasan dan ekspert di bidang ketata-negaraan, sistem pemerintahan dan mengerti dunia perpolitikan.
132
Dengan menguasai sebuah parlemen di suatu negara yang mayoritas muslim, paling tidak masih ada peluang untuk ‘mengIslamisasi’ wilayah kepemimpinan dan mengambil alihnya dari kelompok anti Islam. Dan kalau untuk itu diperlukan sebuah kendaraan dalam bentuk partai politk, juga tidak masalah, asal partai itu memang tujuannya untuk memperjuangkan hukum Islam dan berbasis masyarakat Islam. Partai harus ini menawarkan konsep hukum dan undang-undang Islam yang selama ini sangat didambakan oleh mayoritas pemeluk Islam. Dan di atas kertas, hampir dapat dipastikan bisa dimenangkan oleh umat Islam karena mereka mayoritas. Dan bila kursi itu bisa diraih, paling tidak, secara peraturan dan asas dasar sistem demokrasi, yang mayoritas adalah yang berhak menentukan hukum dan pemerintahan. Umat Islam sebenarnya mayoritas dan seharusnya adalah kelompok yang paling berhak untuk berkuasa untuk menentukan hukum yang berlaku dan memilih eksekutif (pemerintahan). Namun sayangnya, kenyataan seperti itu tidak pernah disadari oleh umat Islam sendiri Tanpa adanya unsur umat Islam dalam parlemen, yang terjadi justru di negeri mayoritas Islam, umat Islammnya tidak bisa hidup dengan baik. Karena selalu dipimpin oleh penguasa zalim anti Islam. Mereka selalu menjadi penguasa dan umat Islam selalu jadi mangsa. Kesalahannya antara lain karena persepsi sebagian muslimin bahwa partai politik dan pemilu itu bid`ah. Sehingga yang terjadi, umat Islam justru ikut memilih dan memberikan suara kepada partai-partai sekuler dan anti Islam. Karena itu sebelum mengatakan mendirikan partai Islam dan masuk parlemen untuk memperjuangkan hukum Islam itu bid`ah, seharusnya dikeluarkan dulu fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila memberikan suara kepada partai non Islam. Atau sekalian fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila hidup di negeri non-Islam. Partai Islam dan Parlemen adalah peluang Dakwah: Karena itu peluang untuk merebut kursi di parlemen adalah peluang yang penting sebagai salah satu jalan untuk menjadikan hukum Islam diakui dan terlaksana secara resmi dan sah. Dengan itu, umat Islam punya peluang untuk menegakkan syariat Islam di negeri sendiri dan membentuk pemerintahan Islam yang iltizam dengan Al-Quran dan Sunnah. Tentu saja jalan ke parlemen bukan satu-satunya jalan untuk menegakkan Islam, karena politik yang berkembang saat ini memang penuh tipu daya. Lihatlah yang terjadi di AlJazair, ketika partai Islam FIS memenangkan pemilu, tiba-tiba tentara mengambil alih kekuasaan. Tentu hal ini menyakitkan, tetapi bukan berarti tidak perlu adanya partai politik Islam dan pentingnya menguasai parlemen. Yang perlu adalah melakukan kajian mendalam tentang taktik dan siasat di masa modern ini bagaimana agar kekuasaan itu bisa diisi dengan orang-orang yang shalih dan multazim dengan Islam. Agar hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Selain itu dakwah lewat parlemen harus diimbangi dengan dakwah lewat jalur lainnya, seperti pembinaan masyarakat, pengkaderan para teknokrat dan ahli di bidang masingmasing, membangun SDM serta menyiapkan kekuatan ekonomi. Semua itu adalah jalan dan peluang untuk tegaknya Islam, bukan sekedar berbid`ah ria. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, BERPARTAI ADAKAH CONTOHNYA DARI NABI? Ustadz, ana ingin bertanya. Kalau dilihat dari realita yang sekarang, banyak sekali partai yang mengatas namakan partai Islam (PKB, PKS, PAN dan lain-lain) sehingga sebagai seorang muslim ada yang mewajibkan harus memilih salah satu dari beberapa partai tersebut atau bahkan sama sekali tidak memilih. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sesungguhnya atau sebenarnya dilihat dari sudut pandang Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam hal berpolitik/berpartai? Ada nggak contohnya dari Nabi dan para sahabat? Mohon penjelasan, jazakumulloh khoiron katsiron.
133
Wassalam, Abu Hurairah Ali Asmara abuhurairah at eramuslim.com Jawaban Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya seumur-umur belum pernah ikut pemilu, apalagi membangun dan mengurusi partai politik. Realita seperti ini sudah disepakati oleh semua orang, termasuk para ahli sejarah, ulama dan juga semua umat Islam. Dengan realita seperti ini, sebagian kalangan lalu mengharamkan pemilu dan mendirikan partai. Alasannya, karena tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW, juga tidak pernah dilakukan oleh para shahabat belia yang mulia, bahkan sampai sekian generasi berikutnya, tidak pernah ada pemilu dan pendirian partai politik dalam sejarah Islam. Bahkan sebagian dari mereka sampai mengeluarkan statemen unik, yaitu bahwa ikut pemilu dan menjalankan partai merupakan sebuah bid’ah dhalalah, di mana pelakunya pasti akan masuk neraka. Ditambah lagi pandangan sebagian mereka bahwa sistem pemilu, partai politik dan ide demokrasi merupakan hasil pemikiran orang-orang kafir. Sehingga semakin haram saja hukumnya. Tentu saja pendapat seperti ini bukan satu-satunya buah pikiran yang muncul di kalangan umat. Sebagian lain dari elemen umat ini punya pandangan berbeda. Mereka tidak mempermasalahkan bahwa dahulu Rasulullah SAW dan para shahabat tidak pernah ikut pemilu dan berpartai. Sebab pemilu dan partai hanyalah sebuah fenomena zaman tertentu dan bukan esensi. Lagi pula, tidak ikutnya beliau SAW dan tidak mendirikan partai, bukanlah dalil yang sharih dari haramnya kedua hal itu. Bahwa asal usul pemilu, partai dan demokrasi yang konon dari orang kafir, tidak otomatis menjadikan hukumnya haram. Dan kalau mau jujur, memang tidak ada satu pun ayat Quran atau hadits nabi SAW yang secara zahir mengharamkan partai politik, pemilu atau demokrasi. Sebagaimana juga tidak ada dalil yang secara zahir membolehkannya. Kalau pun ada fatwa yang mengharamkan atau membolehkan, semuanya berangkat dari istimbath hukum yang panjang. Tidak berdasarkan dalil-dalil yang tegas dan langsung bisa dipahami. Namun tidak sedikit dari ulama yang punya pandangan jauh dan berupaya melihat realitas. Mereka memandang meski pemilu, partai politik serta demokrasi datang dari orang kafir, mereka tetap bisa melihat esensi dan kenyataan. Berikut ini kami petikkan beberapa pendapat sebagian ulama dunia tentang hal-hal yang anda tanyakan. Seruan Para Ulama untuk Mendukung Dakwah Lewat Parlemen Apa komentar para ulama tentang masuknya muslimin ke dalam parlemen? Dan apakah mereka membid’ahkannya? Ternyata anggapan yang menyalahkan dakwah lewat parlemen itu keliru, sebab ada sekian banyak ulama Islam yang justru berkeyakinan bahwa dakwah lewat parlemen itu boleh dilakukan. Bahkansebagiannya memandang bahwa bila hal itu merupakan salah stu jalan sukses menuju kepada penegakan syariat Islam, maka hukumnya menjadi wajib. Di antara para ulama yang memberikan pendapatnya tentang kebolehan atau keharusan dakwah lewat parlemen antara lain:
134
1. Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam 2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 3. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah 4. Muhammad Rasyid Ridha 5. Syeikh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di: Ulama Qasim 6. Syeikh Ahmad Muhammad Syakir: Muhaddis Lembah Nil 7. Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi 8. Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz 9. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin 10. Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-AlBani 11. Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan 12. Syeikh Abdullah bin Qu’ud 13. Syeikh Dr. Umar Sulaiman Al-’Asyqar 14. Syeikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq Kalau diperhatikan, yang mengatakan demikian justru para ulama yang sering dianggap kurang peka pada masalah politik praktis. Ternyata gambaran itu tidak seperti yang kita kira sebelumnya. Siapakah yang tidak kenal Bin Baz, Utsaimin, Albani, Asy-Syinqithi, Shalih Fauzan dan lainnya? 1. Pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz a.
Fatwa Pertama Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang dasar syariah mengajukan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hukum Islam atas kartu peserta pemilu dengan niat memilih untuk memilih para da’i dan aktifis sebagai anggota legislatif. Maka beliau menjawab: Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu tidak ada masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela kebenaran serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela kebenaran dan dakwah kepada Allah SWT.
b.
Begitu juga tidak ada masalah dengan kartu pemilu yang membantu terpilihnya para da’i yang shalih dan mendukung kebenaran dan para pembelanya, wallahul muwafiq. Fatwa Kedua Di lain waktu, sebuah pertanyaan diajukan kepada Syeikh Bin Baz: Apakah para ulama dan duat wajib melakukan amar makruf nahi munkar dalam bidang politik? Dan bagaimana aturannya? Beliau menjawab bahwa dakwah kepada Allah SWT itu mutlak wajibnya di setiap tempat. Amar makruf nahi munkar pun begitu juga. Namun harus dilakukan dengan himah, uslub yang baik, perkataan yang lembut, bukan dengan cara kasar dan arogan. Mengajak kepada Allah SWT di DPR, di masjid atau di masyarakat.
135
Lebih jauh beliau menegaskan bahwa bila dia memiliki bashirah dan dengan cara yang baik tanpa berlaku kasar, arogan, mencela atau ta’yir melainkan dengan katakata yang baik. Dengan mengatakan wahai hamba Allah, ini tidak boleh semoga Allah SWT memberimu petunjuk. Wahai saudaraku, ini tidak boleh, karena Allah berfirman tentang masalah ini begini dan Rasulullah SAW bersabda dalam masalah itu begitu. Sebagaimana firman Allah SWT: Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl: 125). Ini adalah jalan Allah dan ini adalah taujih Rabb kita. Firman Allah SWT: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu? (QS Ali Imran: 159) Dan tidak merubah dengan tangannya kecuali bila memang mampu. Seperti merubha isteri dan anak-anaknya, atau seperti pejabat yang berpengaruh pada sebuah lembaga. Tetapi bila tidak punya pengaruh, maka dia mengangkat masalah itu kepada yang punya kekuasaan dan memintanya untuk menolak kemungkaran dengan cara yang baik. c.
Fatwa Ketiga Majalah Al-Ishlah pernah juga bertanya kepada Syeikh yang pernah menjadi Mufti Kerajaan Saudi Arabia. Mereka bertanya tentang hukum masuknya para ulama dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu pada sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya? Syaikh Bin Baz menjawab bahwa masuknya mereka berbahaya, yaitu masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu berbahaya namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agam Allah SWT, berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang baik seperti ini, saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya. Bila dia masuk dengan niat seperti ini dengan berbekal bashirah hingga memberikan posisi pada kebenaran, membelanya dan menyeru untuk meninggalkan kebatilan, semoga Allah SWT memberikan manfaat dengan keberadaannya hingga tegaknya syariat dengan niat itu. Dan Allah SWT memberinya pahala atas kerjanya itu. Namun bila motivasinya untuk mendapatkan dunia atau haus kekuasaan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari ridha Allah, akhirat, membela kebenaran dan menegakkannya dengan argumen-argumennya, niscaya majelis ini memberinya ganjaran yang besar.
d.
Fatwa Keempat Pimpinan Jamaah Ansharus sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan, Syaikh Muhammad Hasyim Al-Hadyah bertanya kepada Syaikh bin Baz pada tanggal 4 Rabi’ul Akhir 1415 H. Teks pertanyaan beliau adalah: Dari Muhammad Hasyim Al-Hadyah, Pemimpin Umum Jamaah Ansharus-Sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan kepada Samahah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, mufti umum Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Hai’ah Kibar Ulama wa Idarat Albuhuts Al-Ilmiyah wal Ifta’.
136
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Saya mohon fatwa atas masalah berikut: Bolehkah seseorang menjabat jabatan politik atau adminstratif pada pemerintahan Islam atau kafir bila dia seorang yang shalih dan niatnya mengurangi kejahatan dan menambah kebaikan? Apakah dia diharuskan untuk menghilangkan semua bentuk kemungkaran meski tidak memungkinkan baginya? Namun dia tetap mantap dalam aiqdahnya, kuat dalam hujjahnya, menjaga agar jabatan itu menjadi sarana dakwah. Demikian, terima kasih wassalam. Jawaban Seikh Bin Baz:
1.
2. 3.
Wa ‘alaikumussalam wr wb. Bila kondisinya seperti yang Anda katakan, maka tidak ada masalah dalam hal itu. Allah SWT berfirman,”Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan.” Namun janganlah dia membantu kebatilan atau ikut di dalamnya, karena Allah SWT berfirman,”Dan janganlah saling tolong dalam dosa dan permusuhan.” Waffaqallahul jami’ lima yurdhihi, wassalam wr. Wb. Bin Baz Wawancara dengan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Pada bulan Oktober 1993 edisi 42, Majalah Al-Furqan Kuwait mewawancarai Syaikh Muhammad bin shalih Al-’Utsaimin, seorang ulama besar di Saudi Arabia yang menjadi banyak rujukan umat Islam di berbagai negara. Berikut ini adalah petikan wawancaranya seputar masalah hukum masuk ke dalam parlemen Majalah Al-Furqan :. Fadhilatus Syaikh Hafizakumullah, tentang hukm masuk ke dalam majelis niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, apa komentar Anda dalam masalah ini? Syaikh Al-’Utsaimin : Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan masuknya itu untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang ditetapkan. Dalam hal ini bila dia mendapatkan hal yang bertentangan dengan syariah, harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga, tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh yang baik. Sedangkan membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi itu untuk orangorang yang jauh dari tahkim syariah merupakan tafrit yang dahsyat. Tidak selayaknya bersikap seperti itu. Majalah Al-Furqan : Sekarang ini di Majelis Umah di Kuwait ada Lembaga Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Ada yang mendukungnya tapi ada juga yang menolaknya dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Apa komentar Anda dalam hal ini, juga peran lembaga ini. Apa taujih Anda bagi mereka yang menolak lembaga ini dan yang mendukungnya? Syaikh Al-Utsaimin: Pendapat kami adalah bermohon kepada Allah SWT agar membantu para ikhwan kita di Kuwait kepada apa yang membuat baik dien dan dunia mereka. Tidak diragukan lagi bahwa adanya Lembaga Amar Makmur Nahi Munkar menjadikan simbol atas syariah dan memiliki hikmah dalam muamalah hamba Allah SWT. Jelas bahwa lembaga ini merupakan kebaikan bagi negeri dan rakyat. Semoga Allah SWT menyukseskannya buat ikhwan di Kuwait. Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara kembali dengan Syaikh Utsaimin: Majalah Al-Furqan: Apa hukum masuk ke dalam parlemen? Syaikh Al-’Utsaimin: Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala’. Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah unutk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya.
137
Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar mengausai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak. (lihat majalah Al-Furqan - Kuwait hal. 18-19) Jadi kita memang perlu memperjuangkan Islam di segala lini termasuk di dalam parlemen. Asal tujuannya murni untuk menegakkan Islam. Dan kami masih punya 13 ulama lainnya yang juga meminta kita untuk berjuang menegakkan Islam lewat parlemen. Insya Allah SWT pada kesempatan lain kami akan menyampaikan pula. Sebab bila semua dicantumkan di sini, maka pastilah akan memenuhi ruang ini. Mungkin kami akan menerbitkannya saja sebagai sebuah buku tersendiri bila Allah SWT menghendaki. 3. Pendapat Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam Dalam kitab Qawa’idul Ahkam karya Al-’Izz bin Abdus Salam tercantum: Bila orang kafir berkuasa pada sebuah wilayah yang luas, lalu mereka menyerahkan masalah hukum kepada orang yang mendahulukan kemaslahatan umat Islam secara umum, maka yang benar adalah merealisasikan hal tersebut. Hal ini mendapatkan kemaslahatan umum dan menolak mafsadah. Karena menunda masalahat umum dan menanggung mafsadat bukanlah hal yang layak dalam paradigma syariah yang bersifat kasih. Hanya lantaran tidak terdapatnya orang yang sempurna untuk memangku jabatan tersebut hingga ada orang yang memang memenuhi syarat. Dari penjelasan di atas dapat dipahami menurut pandangan imam rahimahullah, bahwa memangku jabatan di bawah pemerintahan kafir itu adalah hal yang diperlukan. Untuk merealisasikan kemaslahatan yang sesuai dengan syariat Islam dan menolakmafsadah jika diserahkan kepada orang kafir. Jika dengan hal itu maslahat bisa dijalankan, maka tidak ada larangan secara sya’ri untuk memangku jabatan meski di bawah pemerintahan kafir. Kasus ini mirip dengan yang terjadi di masa sekarang ini di mana seseorang menjabat sebagai anggota parlemen pada sebuah pemeritahan non Islam. Jika melihat pendpat beliau di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menjadi anggota parlemen diperbolehkan. 4. Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Dalam kitab Thuruq Al-Hikmah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691- 751 H) dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyah menulis: Masalah ini cukup pelik dan rawan, juga sempit dan sulit. terkadang sekelompok orang melewati batas, meng hilangkan hak-hak,dfan mendorong berlaku kejahatan kepada kerusakan serta menjadikasn syariat itu sempi sehingga tidak mampu memberikan jawaban kepada pemeluknya. dan menghalangi diri mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan untuk mengetahui kebenaran dan menerapkannya. Sehingga mereka menolak hal tersebut, pada hal mereka dan yang lainnya tahu secara pasti bahwa hal itu adalah hal yang wajib diterapkan namun mereka menyangkal bahwa hal itu bertentangan dengan qowaid syariah. Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai yang dibawa rosulullah, yang menjadikan mereka berpikir seperti itu kurang nya mereka dalam memahami syariah dan pengenalan kondisi lapangan atau keduanya, sehingga begitu mereka melihat hal tersebut dan melihat orang-orang melakukan halyang tidak sesuai yang dipahaminya, mereka melakukan kejahatan yang panjang, kerusakan yang besar.mka permasalahannya jadi terbalik. Di sisi lain ada kelompok yang berlawanan pendapatnya dan menafikan hukum allah dan rosulnya. Kedua kelompok di atas sama-sama kurang memahami risalah yang dibawa rosulnya dan diturunkan dalam kitabnya, padahal Allah swt. telah mengutus rasulnya dan menurunkan kitabnya agar manusia menjalankan keadilan yang dengan keadilan itu bumi dan langit di tegakkan. Bila ciri-ciri keadilan itu mulai nampak dan wajahnya tampil dengan beragam cara mak itulah syariat allah dan agamanya. Allah swt maha tahu dan maha hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. maka apapun jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka itu adalah bagian dari agama,
138
dan tidak bertentangan dengan agama. Maka tidak boleh dikatakan bahwa politik yang adil itu berbeda dengan syariat, tetapi sebaliknya justru sesuai dengan syariat, bahkan bagian dari syariat itru sendiri. kami menamakannya sebagai politik sekedar mengikuti istilah yang Anda buat tetapi pada hakikatnya merupakan keadilan allah dan rosulnya. Imam yang muhaqqiq ini mengatakan apapun cara untuk melahirkan keadilan maka itu adakah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya. Jelasnya bab ini menegaskan bahwa apapun yang bisa melahirkan keadilan boleh dilakukan dan dia bagian dari politik yang sesuai dengan syariah. Dan tidak ada keraguan bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan maka ia harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syariat. Dan berlaku ihsan bekerja untuk kepentingan syariat meskipun di bawah pemerintahan kafir. 5. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Syekh Shaleh Alfauzan ditanya tentang hukum memasuki parlemen. Syekh Fauzan balik bertanya, “Apa itu parlemen?” Salah seorang peserta menjawab “Dewan legislatif atau yang lainnya” Syekh, “Masuk untuk berdakwah di dalamnya?” Salah seorang peserta menjawab, “Ikut berperan serta di dalamnya” Syekh, “Maksudnya menjadi anggota di dalamnya?” Peserta, “Iya.” Syeikh: “Apakah dengan keanggotaan di dalamnya akan menghasilkan kemaslahatan bagi kaum muslimin? Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah kepada Islam, maka ini adalah suatu yang baik, atau paling tidak bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan, jika tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun hanya sedikit.” Salah seorang peserta, “Terkadang didalamnya terjadi tanazul (pelepasan) dari sejumlah perkara dari manusia.” Syeikh: “Tanazul yang dimaksud adalah kufur kepada Allah atau apa?” Salah seorang peserta, “Mengakui.” Syeikh: “Tidak boleh. adanya pengakuan tersebut. Jika dengan pengakuan tersebut ia meninggalkan agamanya dengan alasan berdakwah kepada Allah, ini tidak dibenarkan. Tetapi jika mereka tidak mensyaratkan adanya pengakuan terhadap hal-hal ini dan ia tetap berada dalam keIslaman akidah dan agamanya, dan ketika memasukinya ada kemaslahatan bagi kaum muslimin dan apa bila mereka tidak menerimanya ia meninggalkannya, apa mungkin ia bekerja untuk memaksa mereka? Tidak mungkin kan untuk melakukan hal tersebut. Yusuf as ketika memasuki kementrian kerajaan, apa hasil yang ia peroleh? atau kalian tidak tahu hasil apa yang di peroleh Nabi Yusuf as? Atau kalian tidak tahu tentang hal ini, apa yang diperoleh Nabi Yusuf ketika ia masuk, ketika raja berkata kepadanya, “Sesungguhnya kamu hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya dis isi kami” Nabi Yusuf saat itu menjawab, “Jadikan aku bendaharawan negara karena aku amanah dan pandai.” Maka beliau masuk dan hukum berada di tangannya. Dan sekarang dia menjadi raja Mesir, sekaligus nabi. Jadi bila masuknya itu melahirkan sesuatu yang baik, silahkan masuk saja. Tapi kalau hanya sekedar menyerahkan diri dan ridho terhadap hukum yang ada maka tidak boleh. Demikian juga bila tidak mendatangkan maslahat bagi umat Islam, maka masuknya tidak dibenarkan. Para ulama berkata, “Mendatangkan manfaat dan menyempurnakannya, meski tidak seluruh manfaat, tidak boleh diiringi dengan mafsadat yang lebih besar.” Para ulama mengatakan bahwa Islam itu datang dengan visi menarik maslahat dan menyempurnakannya serta menolak mafsadah dan menguranginya. maksudnya bila tidak bisa menghilangkan semua mafsadat maka dikurangi, mendapatkan yang terkecil dari dua dhoror, itu yang diperintahkan. Jadi tergantung dari niat dan maksud seseorang dan hasil yang diperolehnya. Bila masuknya lantaran haus kekuasaan dan uang lalu diam atas segala penyelewengan yang ada, maka tidak boleh. Tapi kalau masuknya demi kemaslahatan kaum muslimin dan dakwah kepada jalan Allah, maka itulah yang dituntut. Tapi kalau dia harus mengakui hukum kafir maka tidak boleh, meski tujuannya mulia. seseorang tidak boleh menjadi kafir dan berkata “Tujuan saya mulia, saya berdakwah
139
kepada Allah,” tidak tidak boleh itu.” Salah seorang peserta, “Apa yang menjadi jalan keluarnya?” “Jalan keluarnya adalah jika memang di dalamnya ada maslahat bagi kaum muslimin dan tidak menghasilkan madharat bagi dirinya, maka hal tersebut tidak bertentangan. Adapun jika tidak ada kemaslahatan di dalamnya bagi kaum muslimin atau hal tersebut mengakibatkan adanya kemadorotan yaitu pengakuan yaitu pengakuan akan kekufuran, maka hal tersebut tidak diperbolehkan” (Rekaman suara) 4. Syaikh Abdullah bin Qu’ud Sebagian orang-orang meremehkan partai-partai politik Islam yang terdapat di sejumlah negara-negara Islam seperti Aljazair, Yaman, Sudan dan yang lainnya. Mereka yang ikut didalamnya dituduh dengan tuduhan sekuler dan lain-lainnya. Apa pendapat Anda tentang hal tersebut? Sikap atau peran apa yang harusnya dilakukan oleh kaum muslimin untuk menyikapi kondisi tersebut? Jawaban : Akar persoalan dari semua itu adalah adanya dominasi sebagian para dai terhadap yang lainnya. Dan saya berpendapat bahwa seorang muslim yang diselamatkan Allah dari malapetaka untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta berdoa untuk saudara-saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia dan negara-negara lainnya, ataupun bagi kaum muslimin yang berada di negeri-negeri yang jelas-jelas kafir. Dan jika hal tersebut tidak memberikan manfaat kepada mereka, aku berpendapat minimal jangan memadhorotkan mereka. Karena sampai sekarang tidak ada bentuk solidaritas yang nyata kepada para dai tersebut padahal mereka telah mengalami berbagai ujian dan siksaan. Dan kita wajib mendoakan kaum msulimin dan manaruh simpati kepada mereka di setiap tempat. Karena seorang mokmin adalah saudara bagi muklmin yang lainnya, jika mendengar kabar yang baik mengenai saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia atau dinegeri mana saja maka hendaknya ia merespon positif dan seakan-akan ia berkata: “Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar” (QS. An-Nisaa: 73). Dan apa bila mendengar malapetaka yang menimpa mereka, maka hendaklah ia mendoakan untuk saudarnya-saudaranya yang sedang diuji di negeri mana saja, supaya Allah melepaskan mereka dari orang-orang yang sesat dan menjadikan kekuasaan bagi kaum muslimin dan hendaklah ia memuji Allah karena telah menjaga dirinya. Jangan sampai ada seseorang yang bersandar dengan punggungnya di negeri yang aman lalu mencela orang-orang atau para dai yang berjuang demi Islam di bawah kedholiman dan keseweng-wenangan dan intimidasi. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan tindakan yang tidak fair. boleh jadi engkau akan mendapat ujian jika Anda tidak merespon dengan perasaan Anda apa yang dirasakan oleh kaum muslimin yang sedang mengalami ujian dari Allah.. Demikian petikan beberapa pendapat para ulama tentang dakwah lewat pemilu, partai politik, parlemen dan sejenisnya. Semoga ada manfaatnya. Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc.
10. abu aisyah berkata, Agustus 26, 2008 @ 6:08 am Assalaamu’alaykum Maaf ustadz saya mohon penjelasan… Jika sebaiknya kita ikut serta dalam PEMILU, maka partai islam manakah yang sebaiknya kita pilih? Soalnya bila melihat realita di negeri kita, ada beberapa partai islam baik yang memakai asas islam maupun yang tidak. Syukron.
140
Lampiran 5: Kompilasi Kliping Wawancara Tokoh-tokoh Islam mengenai simbol Islam, Islam dan Partai Politik http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/10/tgl/03/time/113048/idnews/6 87915/idkanal/10 Selasa, 03/10/2006 10:46 WIB Lebih Dekat dengan Hidayat Nurwahid (1) Berpartai Tak Cuma Cari Kekuasaan Nurfajri Budi Nugroho – detikNews Medan - Sosok Ketua MPR Hidayat Nurwahid digadang-gadang sebagai tokoh muda yang pantas menjadi pemimpin negeri ini pada 2009 mendatang. Konsep berpolitik pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah 46 tahun silam ini juga menarik disimak. Bagi dia, berpartai tidak hanya untuk tujuan kekuasaan. Hidayat Nurwahid, yang selalu tampil sederhana, ini bersedia diwawancarai wartawan detikcom bersama beberapa wartawan lainnya, sekembalinya dari kegiatan safari Ramadan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Wawancara berlangsung di Bandara Polonia, Medan, Sumatera Utara, Sabtu (30/9/2006) lalu dan berlangsung selama sekitar 30 menit. Hidayat yang sering disapa 'ustad' tampil sederhana mengenakan baju koko bermotif kotak dan tak lepas peci hitam melekat di kepalanya. Berikut wawancara dengan mantan Presiden Partai Keadilan (PK) ini: Apa rahasianya supaya partai tetap solid? Salah satunya adalah paradigma dasar mengapa kita mendirikan parpol. Dasarnya sejak awal bukan untuk kekuasaan an sich, tetapi untuk mengartikulasikan gagasan melayani umat, dan mengartikulasikan organisasi untuk menjadi sarana penyebaran dakwah. Dari dua paradigma ini memunculkan fakta berikutnya kalau kita melayani bagaimana kita akan berkonflik. Kalau kita misalnya di restoran, kemudian para pelayannya menhadirkan konflik, sebentar lagi restorannya tidak didatangi orang. Kalau anda niatnya untuk melayani pasti tidak berkonflik. Kedua, kalau orientasinya untuk dakwah, salah satu pintu dasarnya adalah bil hikmah wal mauidzoh hasanah. Kalau terjadi perdebatan, maka billati hiya ahsan, yakni dengan cara yang lebih baik Itu menutup faktor yang akan mengumbar konflik. Ada yang mengatakan partai dakwah itu tidak ada, dan hanya akal-akalan. Kalau yang berkata begitu mau membaca lebih dalam fakta politik di dunia internasional, di Irak pun ada parpol dakwah dan eksis, bahkan menjadi partai yang paling oposisi. Sampai saat ini partai itu masih dikenal sebagai kekuatan politik yang konkret. Kalau dia bilang tidak ada partai dakwah, artinya dia belum arif melihat fakta internasional. Kalau kemudian, dakwah dilarang berkomunikasi dengan politik dan kekuasaaan, hendaknya yang ngomong itu, baca al-Quran lebih cerdas lagi. Sebab dia akan ketemu para nabi adalah imamnya para dai, dan inilah yang disebut sebagai nabi yang abdan (nabi yang hamba) dan dia tiak berkuasa sama sekali. Tapi ada nabi yang disebut malikan (nabi yang berkuasa) seperti Nabi Yusuf yang berkuasa menjadi menteri, ada Nabi Daud yang kekuasannya luar biasa dan menjadikan teknologi besi untuk mengokohkan kekuasaannya. Ada Nabi Sulaiman yang mempunyai kuasa luar biasa
141
dan berdoa 'Ya Allah berikan kekuasaan kepadaku yang luar biasa, yang tidak akan bisa disaingi penguasa berikutnya'. Jadi dakwah kaitannya dengan kekuasaan itu bagian dari fakta al-Quran. Nabi Muhammad adalah juga contoh bagaimana dakwah dengan kekuasaan, beliau berdakwah dengan menghadirkan masyarakat baru, dengan kepemimpinan. Jadi dakwah itu orientasinya bukan kekuasaan. Dan kekuasaan digunakan sebagai sarana berdakwah amar makruf nahi munkar, dan melakukan mauidzoh hasanah. Berdakwah dengan kekuasaan akan menghadirkan toleransi dan tidak akan memecah belah serta tidak akan menzalimi kelompok minoritas. Islam adalah mayoritas, tapi mengapa parpol Islam tidak pernah menang? Dalam kaidah politik Islam, ada istilah kualitas rakyat mencerminkan kualitas pemimpin. Kualitas pemimpin adalah bagian dari kualitas rakyat. Kalau rakyat misalnya ternyata lebih menyukai dengan yang tidak Islam, maka akan memilih partai yang tidak Islam. Tapi kalau rakyat menyukai hal yang berkait dengan Islam, maka rakyat akan memilih parpol Islam, meski diintimidasi dengan cara apa pun. Jadi menurut saya mengapa partai Islam tidak juga menang, rakyat pada umumnya belum Islam secara politik. Dalam konteks demokrasi, kami sebagai prapol Islam tidak bisa memaksa orang Islam untuk berpartai Islam. Ini juga tantangan bagi parpol Islam untuk melakukan komunikasi intensif dan memberdayakan masyarakat dengan dakwah yang lebih berkualitas, serta menghadirkan fakta bahwa parpol Islam lebih baik dan lebih membela kepentingan umat secara lebih profesional. Kalau kita buat kajian yang lebih mendalam misalnya tahun 1955, siapa yang menjamin waktu itu PNI lebih profesional ketimbang Masyumi. Tokoh Masyumi dari kalangan akademisi, dari kalangan pejuang dan ulama yang luar biasa. Tapi toh akhirnya rakyat yang memenangkan PNI. Jadi saya ingin menegaskan ini bukan satu hal yang matematis, sekaligus sebagai instrospeksi bagi partai Islam. Saya kira babnya bukan karena parpol Islam pecah. Tapi kalau ukurannya partai pecah, lebih banyak partai sekuler yang pecah. Jadi ukurannya bukan pecah atau tidak pecah. Kita harus buktikan parpol Islam membela kepentingan umat, seperti kasus lumpur panas, sejauh mana partai Islam membela kepentingan warga di sana. Ada kasus impor beras, ujian nasional. Kalau kemudian parpol Islam membuktikan itu dan memperjuangkan kepentingan umat, ada kemungkinan parpol sekuler bahkan non muslim pun akan menjadi parpol Islam. Dalam survei LSI hasil pemilu 2004, ternyata pemilih PKS tidak hanya orang Islam. 2,5 Persen dari pemilih PKS adalah non muslim dan menurut LSI, itu lebih besar dari pada pemilih PAN.
Islam dalam konteks Indonesia menurut Ustad seperti apa? Apa perlu ada penyatuan visi yang dijadikan sebagai platform bersama parpol Islam? Saya kira tidak mungkin. Biarkan semuanya berjalan selama dia ada dalam koridor demokrasi. Sebelum berdiri parpol Islam, umat Islam sudah beragam. Kalau kita membayangkan akan adanya satu partai Islam, mungkinkah itu? Mustahil. Umat, partai, dan ormas sudah beragam. Partai berangkat dari ormas, ormasnya saja sudah beragam bagaimana kita membayangkan partainya hanya satu? Belum lagi nanti LSM, organ kampus. Ini istilahnya keragaman yang variatif, bukan keragaman yang kontradiktif. Saya juga tidak ingin terjebak dalam kategorisasi yang lokal, yang sesungguhnya adalah produk dari kalangan orientalis yang membagi Islam Indonesia, Islam Amerika, Islam Timur Tengah. Ini akan menghadirkan cara pandang Islam yang dilokalisir dan mempermudah untuk diadu domba antara daerah satu dan lainnya. Kalau dilokalisir nanti tidak lagi Islam yang kaffah, bukan Islam yang rahmatan lilalamin, tapi rahamatan lil Indonesia aja. Islam dan Indonesia bukanlah dua hal yang saling bertentangan, tapi bisa saling mengisi.
142
Pandangan Ustad tentang keberagaman atau pluralisme? Saya kira yang mengemuka adalah dialog antar agama yang diselenggarakan Pak Din Syamsuddin. Saya juga pernah dialog dengan Romo Magnis (Frans Magniz Suseno), bahwa yang namanya pluralisme itu beda dengan pluralitas. Kita menghormati, tapi kalau masing-masing mengatakan agama saya tidak yang paling benar, itu pasti mengkhianati ajaran dasar setiap ajaran agama. Tidak mungkin saya meyakini agama saya, kemudian mengatakan agama anda lebih benar dari agama saya. Bukan ideologi namanya. Kalau sama benarnya kenapa saya tidak anut agama yang lain saja. Itu tidak mungkin. Jadi yang mungkin adalah ajaran agama saya yang benar dan mengajarkan saya untuk kerja sama dalam ta'awanu alal birri wat taqwa. Agama saya yang benar adalah yang mengajarkan berbuat baik. Untuk menghadirkan kesalehan sosial, solusi, harmoni dalam kehidupan. Dalam konteks Islam, dialog selalu terbuka. Tapi harus billati hiya ahsan. Pluralisme adalah menerima keyakinan bahwa kebenaran itu plural dan sama benarnya. Dan karenanya dalam pluralisme tidak ada yang boleh mengklaim agama saya yang paling benar. Saya tidak sepakat dengan ini. Tapi pluralitas menerima adanya keragaman itu, dengan tidak menafikan ada yang lebih benar daripada yang lain. Dan kebenaran yang kita yakini tidak harus membuat kita berlagak arogan, menegasikan orang lain, menutup diri tidak berkomunikasi. Tetapi ini tentu dengan semangat moralitas. Saya ingin memberi contoh. Tidak mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani tidak berarti umat Islam tidak toleran atau tidak pluralis. Yang namanya toleransi adalah orang Islam punya pendapat tidak mengucapkan selamat Natal. Dan umat kristiani tidak boleh memaksa dan mengkondisikan kalau umat Islam tidak mengucapkan itu akan merasa tidak enakan. Apakah Ustad sepakat dengan formalisasi syariat Islam? Setiap parpol punya banyak tujuan dan platform yang berbeda soal syariat Islam. Saya cenderung menggunakan istilah masyarakat madani, dan itu tidak bertentangan dengan syariat. Istilah ini berangkat dari kondisi bernegara Rasulullah saat hijrah ke Madinah. Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang menjunjung tinggi pluralitas. Ada kaum pendatang, ada penduduk asli. Ada orang Islam, Nasrani dan Yahudi. Artinya universalitas nilai Islam lebih penting dari sekedar simbol syariat Islam? Aspek yang objektif, konkret, aktual, lebih ditunggu perannya dibanding yang simbolis. Tapi saya tidak sepakat ada dikotomi antara simbol dan substansi. Misalkan soal jilbab, saya tidak terima lebih baik menjilbabi hati dibanding menjilbabi kepala. Bagaimana mungkin kita mau menjilbabi hati kalau kita tidak bisa menjilbabi kepala yang lebih terlihat, sementara hati tidak terlihat. Dalam filsafat ada istilah, orang yang memisahkan yang eksistensi dengan yang substansi adalah orang yang tidak rasional.
Lantas bagaimana penerapan syariat yang ideal? Pertama rujukannya adalah al-Quran. Kedua, sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Ini tergantung kekuasaan politik. Bagi saya syariat Islam yang terpenting adalah iqra' bismi rabbika alldzi khalaq. Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Artinya dengan pendidikan, peningkatan kualitas SDM, anggaran APBN dan APBD 20 persen untuk pendidikan, serta menghadirkan masyarakat yang punya komitmen terhadap moralitas, dan penegakan hukum.(fjr/asy)
143
IN: TEMPO - Wawancara Dr. Bachtiar http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/02/08/0087.html From:
[email protected] Date: Sat Feb 08 1997 - 13:26:00 EST
From: John MacDougall
Received: (from apakabar@localhost) by clark.net (8.8.5/8.7.1) id RAA11373 for [email protected]; Sat, 8 Feb 1997 17:26:21 -0500 (EST) Subject: IN: TEMPO - Wawancara Dr. Bachtiar Effendy INDONESIA-L http://www.tempo.co.id/mingguan/50/f_utama4.htm Wawancara Dr. Bahtiar Effendy: "Kiai Tidak Akan Menggadaikan Pondoknya Demi Orsospol" ---------------------------------------------------------------------------Pesantren tak ubahnya sebuah kerajaan kecil, kata seorang peneliti. Di situ berhimpun menjadi satu; kiai pengasuh pesantren yang kharismatik dan ditaati, santri dalam jumlah ratusan hingga ribuan, masjid tempat salat berjamaah dan bermusyawarah, pondok tempat tinggal, sampai tumpukan kitab kuning--kitab ulama klasik yang saking kunonya sampai berwarna kekuningan atau bahkan dicetak dengan kertas kuning. Semua sistem ini terpadu sedemikian rupa, sehingga kerap dianggap menjadi "agen perubahan sosial" yang patut diperhitungkan banyak kalangan. Kalangan yang kini gencar membidik, terutama menjelang musim kampanye tiba, tentunya ketiga orsospol. Wajar, karena di situ, di seantero republik, ada ribuan kiai, puluhan ribu pondok, dan bahkan jutaan santri. Pesantren pun menjadi primadona bagi kontestan pemilu. Apalagi jika bukan untuk menggalang massa, yang berarti juga terkumpulnya jutaan suara. Dengan berbagai cara, ketiganya berusaha menarik simpati pesantren yang umumnya warga nahdliyyin, dengan pengikut sekitar 30 juta ini. Bahtiar Effendi, 37 tahun, doktor politik Islam lulusan Ohio State University, AS, melihat bahwa dari ketiga kontestan pemilu, boleh jadi Golkarlah yang paling berhasil menarik simpati kalangan pesantren. "Kiai-kiai yang bergabung dengan Golkar mengalami peningkatan," ujar lulusan Pesantren Pabelan yang rajin mengamati politik pesantren ini. Bergabungnya para kiai ke Golkar, menurut Bahtiar, karena orsospol itu kini lebih Islami. "Menurut para kiai, Golkarlahyang dapat memperjuangkan aspirasi umat Islam," kata Wakil Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Usaha Indonesia (LSPEU) ini. Untuk mengetahui aspirasi politik pesantren, berikut wawancara Ali Nur Yasin dari TEMPO Interaktif dengan Dr. Bahtiar Effendy, di kantornya, Wisma Perdana, Jl. HR.Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Rabu, 5 Februari 1997 lalu. ---------------------------------------------------------------------------Menjelang pemilu nanti, masihkah pesantren menjadi primadona pengumpul suara? Saya lihat tidak ada yang luar biasa yang dilakukan orsospol dalam menarik simpati kalangan pesantren. Tampaknya, para kontestan pemilu punya cara sendiri untuk mempengaruhi massa pesantren. Caranya pun tidak ada yang baru. Karena sudah dilakukan jauh sebelum terjadinya fusi-
144
fusi partai. Bahkan secara tegas, ada beberapa pesantren yang menyatakan berafiliasi ke Golkar. Atau, ada sejumlah kiai pesantren yang memiliki hubungan dekat dengan Golkar. Memang dalam tradisi pesantren NU, pesantren merupakan basis partai-partai Islam. Tapi itu dulu, sebelum terjadinya fusi. Namun, sejak tahun 1971, sudah ada beberapa pesantren yang menjalin hubungan dengan Golkar. Misalnya, Pondok Pesantren Darul Ulum di Jombang, Jawa Timur. Dan itu biasa, seorang kiai membangun kekuatan politik dengan Golkar. Apakah simbol-simbol Islam akan menarik jika didengungkan saat kampanye nanti? Penggunaan simbol dan formalime Islam dalam pemilu, itu biasa. Yang menarik, justru masih digunakannya simbol-simbol Islam dalam kampanye. Seperti, para kiai itu. Mengapa simbol Islam masih penting? Bukankah sejak tahun 1985 semua orsospol telah menggunakan azas tunggal Pancasila? Memang, hubungan antara umat Islam dengan orsospol, tidak lagi bersifat ideologis. Tapi, lebih bersifat aspiratif. Misalnya, para kiai pesantren tidak bisa lagi menyalurkan suaranya ke PPP yang terlalu banyak konflik internalnya. Akibatnya, para kiai lebih memandang Golkar ketimbang PPP. Melihat hal ini, tentunya Golkar bermain dengan menggunakan simbol-simbol Islam untuk menarik massa kalangan pesantren. Imbalannya, Golkar akan menyuarakan suara umat Islam, bila kalangan pesantren menyuarakan ke Golkar. Begitu pula dengan PDI. Ia juga akan menggunakan simbol Islam untuk menarik simpati. Menurut saya, ini positif, karena kalangan pesantren punya akses dimana saja. Tidak hanya di PPP, tapi juga di Golkar dan PDI. Bisakah para kiai itu menggiring santri dan warganya ke orsospol pilihannya? Hal itu bisa saja terjadi. Karena hubungan antara kiai dengan santri dan masyarakatnya, sangat potensial menggiring ke orsospol tertentu. Namun, hubungan kiai sebagai patron dan santri sebagai klien telah dipengaruhi oleh pola modernisasi yang terus berkembang. Dalam hal agama, hubungan patron-klien masih bisa diterapkan. Tapi, dengan politik, si klien tidak bisa lagi mengikuti pola hubungan itu. Jadi, dalam masalah politik, telah terjadi penurunan peran kiai sebagai patron dan broker (perantara) politik. Dalam hubungan politik, santri tidak segan-segan berbeda pandangan dengan kiainya. Dan itu telah terjadi sekarang-sekarang ini. Lihat saja NU, dahulu semua warganya menyalurkan suaranya ke PPP, tapi sekarang tidak lagi karena bisa menyalurkan ke Golkar dan PDI. Namun, walau demikian penyaluran suara itu tidak menimbulkan perpecahan di tubuh NU. Apakah pesantrennya masih bisa independen jika para kiai mendukung Golkar atau PDI, dan bukan PPP? Ada dua penilaian mengenai hal itu. Ada kiai yang mendukung orsospol tertentu tetapi membebaskan santrinya untuk menentukan suaranya. Tapi, ada juga kiai yang berafiliasi orsospol tertentu dan mempengaruhi santri untuk menyalurkan aspirasinya ke orsospol kiainya. Tapi, setahu saya, karena saya dari pesantren, kebanyakan pesantren di Jawa meliburkan santrinya pada saat hari pemungutan suara. Kebanyakan para santri diperbolehkan pulang. Walaupun, kiainya berafiliasi ke orsospol tertentu, belum tentu santrinya ikut berafiliasi. Selain itu, para kiai tidak punya ketergantungan dengan aparatur desa atau negara untuk memenangkan orsospol tertentu. Maka, dalam setiap pemilu, kiai tidak punya beban, walau ia berafiliasi dengan orsospol tersebut. Dan ini yang menjaga independensi pesantren.
145
IN: KMP - Wawancara Ismail Hasan Me
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/01/07/0043.html From: [email protected] Date: Sun Jan 07 1996 - 11:40:00 EST
From: John MacDougall Received: (from apakabar@localhost) by clark.net (8.7.1/8.7.1) id PAA16308 for [email protected]; Sun, 7 Jan 1996 15:37:36 -0500 (EST) Subject: IN: KMP - Wawancara Ismail Hasan Metareum Kompas Online Minggu,7 Januari 1996 _________________________________________________________________ LEBIH JAUH DENGAN ISMAIL HASAN METAREUM PENGANTAR REDAKSI "MAAF, nanti kalau masuk sepatunya jangan lupa dilepas, karena ruangan tamunya sering dipakai untuk shalat berjamaah," kata seorang staf pribadi Ismail Hasan Metareum ketika mempersilakan Kompas masuk. Berbeda dari kebanyakan rumah pejabat tinggi, rumah Buya -demikian ia akrab dipanggil - ditata bak balai pertemuan. Tak banyak pernak-pernik penghias ruangan di sana. Yang ada ialah dua buah meja besar yang dikelilingi deretan kursi yang disusun secara efisien, yaitu berbaris ke belakang. Katanya, rumah mencerminkan kepribadian seseorang. Begitu jugalah kesan sepintas penampilan Buya. Sederhana penampilannya, santun perilakunya dan teratur tutur sapanya. Tak heran bila banyak pihak yang menilai kepemimpinannya sejuk bak angin sepoi-sepoi. Bagi sejumlah lawan politiknya, istilah sejuk itu lantas dianalogikan sebagai upaya membuat partai menjadi statis, bahkan terlelap tidur. Ismail Hasan Metareum dilahirkan tanggal 4 April 1929 dari pasangan Tengku Ben Hasan alias Tengku (kiai) Meunasah Baro dan istrinya Tengku Hajah Hindun, di Desa Metareum, Kecamatan Mila, sekitar delapan kilometer dari Sigli, ibu kota Kabupaten Pidie, Aceh. Sebetulnya, sewaktu lahir ia hanya diberi nama Ismail. Namun nama ini kemudian dilengkapi dengan Hasan dari nama Ben Hasan, dan juga ditambah dengan nama desa kelahirannya, Metareum. Kehidupan pesantren sarat mewarnai perjalanan hidup Ismail, bahkan tampaknya menjadi dasar perilaku dan wataknya di kemudian hari. Dalam buku Jejak Putera Pesantren (1994) karangan Rasyid Ridla Soleiman diceritakan, Ismail kecil selain menimba ilmu agama dari pesantren, juga belajar di sekolah rakyat hingga 1941. Karena keadaan ekonomi keluarganya saat itu tidak mencukupi, maka Ismail kemudian berpisah dari keluarganya dan melanjutkan pendidikan di Madrasah Sa'adah Abadiyah di Sigli hingga tamat tahun 1946. "Selama di pesantren, saya merasa terjadi pembentukan pribadi dan akhlak sebagaimana yang dikehendaki agama Islam. Kepribadian kita sehari-hari dibentuk dalam pergaulan, tutur kata serta
146
sikap hidup sesuai ajaran guru. Kebetulan saya mendapat pelajaran langsung dariorangtua," kata ayah dari lima anak, buah pernikahannya dengan Maryani. Jadi, ketika belakangan ini pucuk pimpinan DPP Partai Persatuan Pembangunan tersebut mengeluarkan pernyataan galak, banyak kalangan terperangah. Ada apa dengan Buya? Apakah ini hanya taktik menjelang Pemilu? Atau jangan-jangan memang Buya sudah terlalu lama memendam kekecewaan terhadap perlakuan yang menimpa partainya. Apa pun itu, yang pasti, angin kesejukan yang dibawa pria berkaca mata tebal ini mulai berubah menjadi hangat dari hari ke hari... Berikut petikan wawancara dengan Kompas. Kompas/js PPP selalu diidentikkan dengan partai yang mewakili aspirasi Islam. Perkembangan ke depannya bagaimana karena tidak relevan lagi menyebut diri sebagai partai Islam. Kami tidak pernah lagi menyebut diri partai Islam, tapi untuk menyampaikan aspirasi umat Islam, bisa saja, tidak ada persoalan. Simbol-simbol Islam pun tidak lagi dipakai oleh PPP. Mana simbol Islam yang kita eksploitir? Kini justru kelompok lain yang mengeksploitasi simbol Islam. Pewawancara: Elly Roosita/ Myrna Ratna M
147
Edisi 15/02 - 11/Jun/97 Analisa & Peristiwa 5.3
http://209.85.175.104/search?q=cache:RWC5OTt3G8oJ:www.tempointeraktif. com/ang/min/02/15/utama7.htm+wawancara+simbol+islam+dalam+partai&hl= id&ct=clnk&cd=3&gl=id&client=firefox-a
5.4 5.5
Wawancara Dr. Bahtiar Effendi : "PPP Mau Jadi Pembaharu Dalam Konteks Apa?"
Dengan pertimbangan pragmatis, akhirnya PPP akan menerima hasil pemilu. Tentu dengan catatan-catatan. Demikian "ramalan" Dr. Bahtiar Effendi, pengamat politik berusia 37 tahun, tentang sikap PPP terhadap hasil Pemilu 1997. Bukan pertimbangan taktis atau politis, tapi lebih pada sisi yang praktis yaitu karena perolehan suara PPP naik. PPP memang tak punya pilihan lain. Kalaupun ada wilayah atau kabupaten yang belum menandatangani hasil pemilu, itu hanyalah merupakan proses tawar menawar penambahan suara PPP yang kurang. Doktor politik lulusan Ohio State University AS ini juga mengatakan, agak sulit mengharapkan PPP menjadi partai pembaharu. Selain kurangnya sumber daya manusia dalam partai berlambang bintang ini, juga karena partai ini tidak punya visi politik yang jelas. Untuk lebih jelasnya, berikut wawancara Darol Mahmada dari TEMPO Interaktif dengan Wakil Direktur Lembaga Studi pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEUI) ini. Wawancara berlangsung di kantornya, Gedung Menara Perdana Jalan HR Rasuna Said Kuningan (11/5).
Bagaimana hubungannya dengan naiknya suara PPP yang dalam kampanyenya memakai simbol Islam? Memang ada faktor itu dan di sana-sini PPP memunculkan tema-tema keagamaan. Dan ada jubir-jubir PPP yang tampil dengan nuansa keagamaan yang kental seperti Pak Alawy. Ada semangat mengembalikan perasaan kesejarahan warga PPP. Bahwa PPP itu dulu dibentuk dari empat partai Islam. Tapi secara formal dan legal 'kan tidak. Memang PPP mempunyai asal usul sosial massa Islam. Agak sulit membayangkan orang nonIslam menyalurkan aspirasinya ke PPP. Itu karena persoalan asal usul sosial partai itu sehingga mempengaruhi kebijakan-kebijakan partai. Itu mungkin saja faktor yang mendukung perolehan-perolehan PPP. Namun saya kira, tidak bisa dihilangkan kemungkinan-kemungkinan lain. Kita lihat unsur yang mencolok adalah anjloknya suara PDI dan juga ada faktor pemilih pemula yang berjumlah sekitar 21 juta. Belum tentu orang yang tadinya di PDI lalu pindah ke PPP karena alasan retorika agama. Karena melihat tidak ada pilihan, asal jangan Golkar. Itu bukan berarti Golkar tidak membawa misi agama. Kita tahu di Golkar malah banyak tokoh-tokoh agama. Sehingga tema-tema keagamaan pun cukup gegap gempita di Golkar. Dan banyak juga orang PDI yang lari ke Golkar, terbukti suara Golkar melonjak.
148
Dalam pemilu kali ini banyak reaksi kekecewaan dari masyarakat Islam khususnya yang berbasis NU. Apakah ini menunjukkan bahwa umat Islam perduli terhadap politik? Itu penilaian yang sangat bias. Semangat yang seperti itu ada di mana-mana. Kita lihat dalam kampanye Golkar atau PPP itu ada semangat yang berlebihan, yang menjurus pada kekerasan. Sehingga banyak korban yang jatuh. Saya lebih melihatnya karena manajemen kampanye. Ini akibat dari pengerahan massa yang banyak. Walau diatur tapi karena situasinya lebih mengarah pada situasi yang hura-hura, ya akibat seperti itu tidak bisa dielakkan. Jadi bukan karena identitas massa kampanye Islam atau bukan. Dan tidak signifikan faktor Islam atau agama lain dimasukan dalam analisis ini. Ini sematamata karena situasi kejiwaan massa kampanye. Dalam situasi seperti itu, mereka bebas mengekspresikan apa yang dimauinya.
149
http://islamlib.com/id/artikel/hamzah-haz-bukan-representasi-islam-politik/ Jaringan Islam Liberal 12/08/2001 6 Komaruddin Hidayat: Hamzah Haz Bukan Representasi Islam Politik 6.1.1.1.1
Oleh Redaksi
Ketika Islam dibawa dalam medan politik, maka akan banyak sekali klaim yang mengatasnamakan agama ini. Dan karena yang berperan dalam bidang politik itu berasal dari latar belakang yang beragam, maka sifat Islam yang universal dan luas akan mudah dibatasi oleh pemahaman dan pernyataan para politisi tersebut. Ketika Islam dibawa dalam medan politik, maka akan banyak sekali klaim yang mengatasnamakan agama ini. Dan karena yang berperan dalam bidang politik itu berasal dari latar belakang yang beragam, maka sifat Islam yang universal dan luas akan mudah dibatasi oleh pemahaman dan pernyataan para politisi tersebut. Karena itu, menurut Dr Komaruddin Hidayat, kita harus memahami keterbatasan-keterbatasan para politisi itu ketika mereka “mempergunakan” Islam. “Hamzah Haz boleh saja menggunakan Islam politik. Tapi dia bukan satu-satunya representasi Islam politik,” tegas Dosen Pascasarjana IAIN Jakarta, kepada Ahmad Sahal dari Jaringan Islam Liberal. Bagaimana Anda menanggapi naiknya Megawati dan Hamzah Haz, turunnya Gus Dur, serta kaitannya dengan Islam Politik? Terima Kasih. Saya ingin mengawali dengan satu pemetaan masalah ini. Kalau kita menyebut ada istilah Islam politik, berarti ada Islam non-politik. Nah, dalam studi keagamaan, kita bisa membedakan dimensi-dimensi keislaman. Islam itu bisa dibedakan dalam kategori ritus-ritus, ada lagi untuk syariat, ada lagi peradaban, ilmu pengetahuan. Salah satu aspirasi keislaman itu dalam bentuk Islam politik. Jadi kalau kita sebut Islam politik adalah bagaimana pergulatan pemikiran Islam dalam meresponi tuntutan, aspirasi, dukungan politik yang bersifat empiris, historis, regional. Itu kita batasi dalam konteks Indonesia, dan dalam segi waktu dibatasi pasca-Gus Dur. Islam politik yang dipahami masyarakat adalah aspirasi politik yang bergerak pada tataran formalistik. Menurut Anda? Pada level paradigma, kalau kita sebut politik, asosiasi yang bisa kita tampilkan, di situ ada pemerintahan, batas-batas wilayah yang jelas, citizen (warganegara), undang-undang, ada mekanisme peralihan kekuasaan, ada aturan bagaimana mengelola keuangan negara dan lain-lain. Kalau kategori-kategori politik modern ini kita kaitkan dengan Islam, maka orang Islam referensinya pada zaman Madinah. Yang waktu itu Madinah tidak seketat sekarang, tidak ada batas negara, dulu tidak ada paspor, orang Islam bisa berziarah ke Mesir, Mekkah sesuka hatinya. Juga tidak ada hubungan internasional. Dalam konteks modern, negara ini diatur undang-undangnya melalui produk kesepakatan bersama dengan mekanisme permusyawaratan. Kalau Islam ada produk musyawarah, maka musyawarah itu beda dengan demokrasi, beda dengan pemilu. Kalau demokrasi dalam pengertian ini ada partai multipartai, undang-undang, aturan main (prosedur). Kalau musyawarah, diktator pun bisa musyawarah. Disinilah saya melihat, Islam politik —kalau paradigmanya lama di bawa ke modern—, saya melihat banyak pekerjaan rumah yang belum jelas, remang-remang. Anda menyebut tentang simbolisme yang masih mewarnai politik Islam. Bisa dijelaskan? Biasanya sebuah masyarakat yang ekonominya belum maju, selalu membutuhkan yang lain (need for association). Untuk memenuhi kebutuhan asosiasi, yang paling mudah adalah menggunakan sebuah simbol agar orang lain yang simbolnya sama bisa bergabung. Yang pendidikannya maju
150
lebih suka pakai fungsi daripada simbol. Ini ketemu. Tingkat pendidikan, simbolisme dan semangat jamaah karena Islam sangat menekankan jamaah. Jamaah ini bila tidak diikuti tingkat pendidikan yang maju bertemu dengan rasa tidak percaya diri, maka makin menguatkan komunalisme tadi. Dan simbol memberikan akomodasi. Apakah Islam politik saat ini sudah masuk dalam wilayah isi, dan bukan hanya sekadar simbol? Saya khawatir antara simbol dan isi ada kesenjangan. Ka’bah adalah simbolisasi egalitarianisme, mobilitas dan kedekatan Alquran. Ketika orang terjatuh pada mencium batunya, kuat-kuatan untuk mencium Hajar Aswad, berarti ada isi dan subtansi yang dihadirkan dalam haji, tapi tidak muncul karena orang terpaku pada simbolnya. Dalam politik orang juga begitu kemudian simbolnya, perbanyak jamaah, voters tapi benarkah mereka comitted terhadap simbol-simbol yang mereka usung itu? Dan ini nyatanya kalau Islam menekankan persatuan dan kesatuan ternyata yang paling ribut adalah partai-partai Islam dan jumlahnya paling banyak. Kita mengenal Gus Dur sebelumnya sebagai pejuang pluralisme dan toleransi tampak. Tapi setelah gagal, saya khawatir agenda-agenda pluralisme akan ikut dilecehkan? Hemat saya, Gus Dur dan kawan-kawan, perlu redefinisi, karena ketika Gus Dur berada di puncak kekuasaan dia terjebak kepada ekslusifisme dengan PKB-nya, NU-nya. Kalau dia salah, dia harus menjelaskan, tapi kalau disalahpahami dia harus mengklarifikasi. Gus Dur harus menunjukkan prestasinya bahwa dia betul-betul pejuang demokrasi. Sebab dengan masuknya ke politik dan gagal, saya khawatir, dia bukan Gus Dur yang dulu. Dahulu ada Adi Sasoso, pejuang LSM, ketika masuk ke politik dan kalah, orang mempersepsikan dia sebagai pecundang. Bagaimanapun Gus Dur harus menunjukan kepada umatnya bahwa saya bukan pejuang yang kalah, “Saya masuk ke politik sebagai ampiran dari misi mulia perjuangan kultural.” Agenda perjuangan pluralisme dan toleransi tidak bisa dikaitkan dengan orang, tapi gerakan.[
Luthfi Assyaukanie: Kalau Mau Selamat, Jangan Gunakan Isu Islam Ditulis pada Nopember 6, 2007 oleh pormadi TEMPO Edisi. 37/XXXVI/05 - 11 November 2007 Wawancara Luthfi Assyaukanie: Kalau Mau Selamat, Jangan Gunakan Isu Islam Sejak diperkenalkan pertama kali oleh Nurcholish Madjid pada awal 1970-an, istilah sekularisasi menjadi wacana hangat kaum muslim Indonesia. Pro dan kontra bertembung. Kini, setelah lebih 30 tahun berlalu, Luthfi Assyaukanie membeberkan bahwa umat Islam Indonesia sudah lebih terbuka dan bersikap positif terhadap sekularisasi politik. Kesimpulan itu mencuat dari hasil disertasi doktor yang diselesaikannya di Universitas Melbourne, Australia, setahun lalu. Disertasi itu mencuri perhatian karena dua pekan lalu menjadi satu dari empat disertasi terbaik yang mendapat Chancellor’s Prize alias penghargaan rektor. Luthfi juga tercatat sebagai mahasiswa asing pertama yang menerima penghargaan tersebut. Penelitian Luthfi berfokus pada tiga generasi muslim di Indonesia. Sebagai tolok ukur, ia menggunakan perbandingan hasil Pemilu 1955, 1999, dan 2004. Dia mendapati bahwa selain peran negara, argumen yang dikemukakan Cak Nur –panggilan akrab almarhum Nurcholish Madjid— telah merombak pandangan umum kaum muslim bahwa memperjuangkan nilai-nilai Islam yang universal bisa dilakukan tanpa harus melalui partai Islam.
151
Seperti Cak Nur, Luthfi juga berangkat dari pesantren dan kemudian mengenyam pendidikan Barat. Kini ia sedang melengkapi disertasi itu di Universitas Teknologi Nanyang, Singapura, untuk diterbitkan menjadi buku. Di sebuah kantor di kawasan elite Menteng, Jakarta Pusat, Nugroho Dewanto, Idrus F. Shahab, dan Ig. Widi Nugroho dari Tempo, Jumat dua pekan lalu berbincang hangat dengan Koordinator Jaringan Islam Liberal itu. Berikut nukilannya. Setelah era Nurcholish Madjid, apa yang baru dalam kajian tentang Islam dan sekularisasi dalam disertasi Anda? Sekarang telah terjadi perubahan pola pikir kaum muslim Indonesia. Pada 1950-an hampir semua kaum muslim dari latar belakang santri dan religius pasti mendukung konsep negara Islam yang ideologis. Kini mereka tak lagi seperti itu. Apa tolok ukur untuk mengetahui bahwa perubahan telah terjadi? Kita bisa melihat perbandingan pemilihan umum 1955, 1999, dan 2004. Pada 1955 semua partai politik Islam membentuk blok mendukung gagasan, ideologi, dan negara Islam. Termasuk dicantumkannya Piagam Jakarta dalam Pembukaan UUD 1945 dan penerapan syariat Islam secara formal. Di sana ada Masyumi, NU, PSII, dan lain-lain. Mereka meraih 43 persen suara. Hampir semua tokoh Islam juga sangat didominasi pemikiran politik Islam yang masih “konservatif” . Termasuk tokoh “modernis” seperti Pak Roem, Pak Syafrudin, dan Pak Natsir. Mengapa tak dibandingkan juga dengan pemilu di era Orde Baru? Tidak, karena pemilu di masa itu tidak demokratis. Tidak ada partai Islam yang benar-benar memperjuangkan ideologi Islam saat itu karena begitu kuatnya negara. Kemudian apa yang terjadi pada pemilu di era reformasi? Partai-partai Islam kembali memperjuangkan ideologinya seperti pada 1955. Dan kita lihat hasil pemilu 1999, suara partai Islam yang diwakili oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulang Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), dan lain-lain hanya mencapai kurang dari 14 persen. Pada pemilu 2004 jumlah suara mereka meningkat sedikit menjadi 17 persen. Kenaikan itu terutama berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dulu bernama PK. Tapi kenaikan itu bisa dijelaskan lagi-lagi dengan kerangka bahwa terjadi sekularisasi dalam pemikiran politik Islam di Indonesia. Apa maksudnya? PKS sewaktu masih bernama PK cuma meraih sedikit suara dalam Pemilu 1999. Mereka tak lolos electoral threshold karena itu harus mengubah nama dan tanda gambar. Tapi bukan cuma itu. Saya melihat arsip menjelang Pemilu 2004, PKS juga mengubah strategi dan taktik agar bisa menggenjot suara. Caranya? Coba kita bandingkan kampanye mereka pada pemilu 1999 dan 2004. Pada 1999 kental sekali warna ideologi Islamnya. Agenda utamanya syariat Islam, Piagam Jakarta, dan lain-lain. Menjelang Pemilu 2004 petinggi PKS seperti Hidayat Nur Wahid amat mewanti-wanti agar jangan menggunakan simbol-simbol Islam di ruang publik. Karena itu agenda mereka saat kampanye adalah clean government dan anti-korupsi. Jadi kalau mau selamat, jangan gunakan isu Islam. Begitu Anda gunakan isu Islam, Anda akan terjerumus. Itu yang terjadi dan ini menarik sekali.
152
Apa yang membuat masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam enggan pada penerapan Islam yang formal? Di situ ada peran argumen bahwa Islam bisa diperjuangkan tanpa formalisasi. Jargon yang diucapkan Nurcholish Madjid, yaitu Islam Yes, Partai Islam No, terus berkembang di sejumlah kelompok Islam. Ada semacam promosi besar-besaran bahwa tidak apa-apa bila kita tidak mendukung partai Islam. Lambat-laun, setelah lewat 30 tahun, mereka berpikir, kalau begitu kita memilih partai sekuler pun tidak masalah. Terjadilah proses sekularisasi, yaitu menjauhkan cara berpikir masyarakat muslim dari ideologisasi Islam. Apakah secara substansial PKS tidak berubah? Bukankah pimpinannya mengatakan mereka tidak mendukung Piagam Jakarta tapi Piagam Madinah? Iya, mereka tak mau lagi ikut bertarung dalam isu-isu ideologis karena pasti kalah. Ketika Sidang Istimewa MPR 2002 melakukan voting untuk memasukkan Piagam Jakarta, PKS tidak mau bergabung dengan PPP dan PBB. Mereka bicara Piagam Madinah cuma agar tidak dituduh mendukung kaum nasionalis sekuler. Sekarang orang Islam juga tak lagi alergi bicara tentang demokrasi dan pluralisme? Pada 1950-an, pembicaraan tentang demokrasi, pluralisme, dan sekularisme hanya milik orang nasionalis sekuler. Sedangkan kelompok Islam tak terlalu peduli pada isu itu. Belakangan Cak Nur dengan percaya diri mengatakan bahwa konsep-konsep yang biasa dibicarakan kaum nasionalis justru sangat Islamis. Kelompok seperti Paramadina sekarang sangat familiar dan menjadi pelopor pembicaraan isu semacam itu. Tidakkah kaum santri pembaru ini cuma selapis tipis elite Islam saja? Pada level masyarakat sekarang memang terjadi Islamisasi tetapi diam-diam mereka bisa menerima konsep politik yang sekuler yang diterapkan negara dan dikampanyekan para pembaru muslim. Sejak abad ke-19 para pembaru muslim selalu memiliki agenda yang sama dengan pemerintah dan negara Barat secara umum, yaitu modernisasi, kemajuan, demokrasi, dan pluralisme. Karena itu pembaru muslim selalu dikecam sebagai antek Barat dan antek pemerintah. Jadi, kendati sekarang banyak perempuan memakai kerudung, bukan berarti mereka menerima ide negara Islam? Betul. Tapi kita tak tahu seberapa kuat keyakinan itu. Bukankah mereka gampang beralih, mendukung negara Islam bila waktunya tepat? Agak sulit karena secara konseptual konsep politik Islam itu tak bisa dipertahankan. Wacana pemikiran politik Islam terus berkembang. Pada awal abad ke-20 hampir tidak ada muslim yang berani menolak gagasan khilafah. Satu-satunya ulama yang berani menentang adalah Ali Abdul Razik. Dia sampai disidang oleh para ulama Al-Azhar. Ketika Razik masuk ruang sidang dan memberikan salam, tidak ada satu pun ulama yang menjawab karena dia sudah dianggap kafir. Tapi 70 tahun kemudian tak ada negara muslim yang menginginkan khilafah. Hanya kelompok seperti Hizbut Tahrir yang masih menginginkannya. Jadi, ada sintesis dalam pemikiran politik Islam? Sintesis tak bisa dihindari. Setelah konsep khilafah, muncul konsep negara Islam yang sebetulnya berasal dari konsep nation-state. Orang yang pertama kali memperkenalkan konsep ini adalah Rasyid Ridha. Maksudnya sebetulnya cuma jembatan. Kalau belum bisa menerima konsep nation-
153
state yang netral, ya, kita pakai saja konsep Islamic state. Istilah negara Islam itu sendiri cacat secara konseptual. Di mana cacatnya? Bila kita bicara dari perspektif demokrasi, itu kan tidak demokratis. Ada diskriminasi dalam hakhak warga negara untuk menjadi pemimpin karena pemimpin harus beragama Islam. Dari situ saja sudah bisa terlihat konsep negara Islam nggak akan bisa berkembang. Luthfi Assyaukanie Pendidikan: 2006 Ph.D. Universitas Melbourne, Australia 2003 M.A. Universitas Melbourne, Australia 1995 M.A. Universitas Islam Internasional, Malaysia 1993 B.A. Universitas Yordania, Yordania Pekerjaan: 2006–sekarang. Research Associate Freedom Institute, Jakarta Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta 2000–sekarang. Dosen Jurusan Filsafat dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta 1999–2000. Dosen Jurusan Studi Keislaman Universitas Al-Azhar, Jakarta 1996–1998. Dosen Jurusan Filsafat Universitas Indonesia, Depok 1995–1999. Redaktur Ilmu dan Sains Majalah Ummat, Jakarta
154
Lampiran 6 : Draft In-Depth Interview NAMA
:
PROFESI
:
PENDIDIKAN TERAKHIR : STATUS
:
Assalamuaikum wr. Wb. Terimakasih [Pak/Bu/Mba/Mas] atas waktu dan kesediannya untuk diwawancara. Maaf, kalau boleh langsung saja. Pengetahuan dan pemaknaan terhadap simbol Islam 1. Menurut [Pak/Bu/Mba/Mas] ketika pertama kali mendengar ISLAM, simbol apa yang reflek [Pak/Bu/Mba/Mas] ingat. Mohon sebutkan minimal 3 dan alasannya. 2. Menurut [Pak/Bu/Mba/Mas] apakah simbol tersebut memiliki makna sakral? Makna sakral yang bagaimana [Pak/Bu/Mba/Mas]? Awareness terhadap pemakaian simbol Islam dalam partai politik 1.
Apakah [Pak/Bu/Mba/Mas] mengetahui bahwa ada beberapa simbol Islam yang digunakan oleh Partai?
2.
Bila iya [Pak/Bu/Mba/Mas] dalam bentuk apa ya?
3.
Apakah [Pak/Bu/Mba/Mas] dapat menangkap pesan atau maksud dari penggunaan simbol tersebut? Kenapa ya?
Sikap terhadap pemakaian simbol Islam 1.
Masalah gak sih [Pak/Bu/Mba/Mas] pemakaian simbol Islam dalam partai itu?
2.
Maaf, kalau boleh tahu Pemilu yang lalu [Pak/Bu/Mba/Mas] berpartisipasi? Alasannya boleh tahu?
3.
Apakah ada hubungannya atau pengaruhnya terhadap pemakaian simbolik tersebut?
Ideologi Sebuah partai politik secara ideologi sudah cocok dengan anda namun ternyata mencalonkan kandidat non-muslim. Bagaimana sikap dan/atau perilaku Anda terhadap hal ini? Kritik/Saran/Pesan partai politik
terhadap
:
155
Lampiran B Hasil Wawancara
Lihat halaman selanjutnya
156
FORM IN-DEPTH INTERVIEW YUSRIAH SEKRETARIS PENDIDIKAN TERAKHIR: D3 JEPANG IBU DARI SATU ANAK Simbol
:
Makna Kesakralan Simbol
:
Tidak.
Awareness (Pemakaian simbol pada partai politik dan kampanyenya) Bentuknya apa?
:
Bintang dekat dengan P3, P3 adalah NU. Pedang itu symbol partai di luar negeri partainya apa saya lupa.
‐ ‐ ‐
Bintang Pedang Surban
Kalau pemakaian agama dalam kampanye banyak, tapi saya lupa. Tapi, mungkin bisa dilihat P3, mengedepankan agama sekali, ada semacam pernyataan tersirat, kalau anda islam pilih Partai ini, padahal penerapannya tidak ada, tidak mencerminkan dari segi partai atau orang-orangnya. Apalagi melihat slogan-slogan NU sebagai panutan. Partai Zainuddin MZ, kesannya jadi mengkultuskan diri dan mengedepankan agama. PKS lumayan, cukup sepak terjangnya, keseharian paska kampanye dengan kegiatan-kegiatan bernafaskan agama cukup banyak, seperti Bakti Sosial, dan sebagainya.
Pesan yang ditangkap dari pemakaian simbol tersebut?
:
Kebanyakan partai berbasis agama mendompleng Islam. Mungkin karena Islam di Indonesia mayoritas, tapi ya, harus hati-hati. Meskipun begitu saya kurang setuju kalau agama dan politik dan terpisah. Tapi tetap ada batasan, terutama mengingat seperti Indonesia ini, mau jadi negara Islam, misalnya, tapi orangnya sendiri belum Islam, yang ada partai mendompleng Islam, menyalah gunakan Islam. Akhirnya orang luar akan generalisisr Islam padahal belum tentu begitu.
Penerimaan pemakaian simbol
terhadap
:
Kalau tidak ada pemakaian simbol berarti gak ada partai yang berasaskan Islam dong?. Ini juga saya takut, takutnya jadi sekuler seperti di Turki malah rasanya tidak nyaman sementara kan kita musti tetap berada dalam koridor Al-Quran dan Al-Hadis. Cuma kalau ditanya sekarang jadi rancu, iya, partai Islam atau partai yang mengaku dekat dengan Islam banyak, tapi cenderung gak benar. Takutnya malah Islam disalahgunakan. Riskan.
Partisipasi Pemilu yang lalu dan
:
Ikut milih. Karena orang-orang di dalamnya.
157
alasannnya
Iya, partai agama.
Pengaruh simbolik agama pada partai dan kampanyenya pada perilaku pemilih
:
Saya melihat ke orang-orang di dalamnya. Bukan sekedar kampanyenya.
Sikap terhadap studi kasus
:
Otomatis tidak akan milih. Pandangan saya sebisa mungkin pemimpin adalah Muslim. Misalnya saya suka ideologi partai tersebut, agamis dan pure politik, tapi tetap saja ada batasan-batasan, ada panduan-panduan dengan agama. Tapi, kalau sudah mencalonkan non-muslim ya, menolak untuk milih, cari partai lain saja.
Kritik, Saran & Pesan
:
Partai berani bilang Partai Islam ya, harus tanggun jawab dengan konsekuensinya. Karena salah sedikit yang digeneralisir adalah Islam, Kyai masak begini…
158
FORM IN-DEPTH INTERVIEW Ahmad Muzammil (Jamil) IT, NGO PENDIDIKAN TERAKHIR: S1 IT Belum Menikah Simbol
:
Simbol sekarang sifatnya Tarbiyah. Suatu sistem pembinaan terhadap individu-individu untuk mendapatkan tujuan. Tujuannya pemahaman Islam.
Makna Kesakralan Simbol
:
Simbol sakral karena mewakili suatu agama tertentu. Tapi untuk penggunaanya pada partai simbol yang digunakan seharusnya realitas kebangsaan Indonesia
Awareness (Pemakaian simbol pada partai politik dan kampanyenya) Bentuknya apa?
:
PKS militan karena didalamnya ada Dewan Syuro yang lebih mementingkan kepada pembinaan. Partai-partai lain kalau mau mengangkat calon kandidat biasanya kan kuatkuatan pendukung atau dana. Kalo PKS yang dilihat sudah sampai level berapa tingkat pemahaman agamanya. Ada satu tokoh, yang mau mencalonkan tapi gak boleh karena dianggap pembinaan agamanya kurang dan level kelas agamanya masih dibawah gw. Jadi yah, masih terus dibina.
Pesan yang ditangkap dari pemakaian simbol tersebut?
:
Cara untuk menarik simpati. Sebagai alat. Salah pada penempatannya. Partai itu kan berusaha untuk meraih kepentingannya dengan berbagai cara, semua cara dipakai. Tujuannya ya, mencapai kepentingannya ya ingin mendapat suara secara cepat.
Penerimaan pemakaian simbol
terhadap
:
Simbol Islam sekarang sudah gak efektif lagi dipakai Yang penting: 1. Turunkan harga 2. Pendidikan gratis 3. Kesehatan 4. Keamanan
Partisipasi Pemilu yang lalu dan alasannnya
:
Ikut. Kebetulan partai Islam. Tapi sebenarnya lebih condong melihat kepada orang-orang di dalamnya.
Pengaruh simbolik agama pada partai dan kampanyenya pada perilaku pemilih
:
Partai politik sih sebenarnya terserah. Tapi kalo ada partai Islam atau mengaku merepresentasikan Islam wah itu yang ga setuju. Udah ga efektif sekarang.
Sikap terhadap studi kasus
:
Bila orang tersebut berpandangan nasionalis abis, jelas ini diterima. Karena Negara perlu diselamatkan. Jika orangorang yang sudah dibina (dididik) mereka melihat apabila masih ada orang lain maka sebaiknya cari terbaik dari yang terbaik, cari yang terbaik dari yang terburuk. Yang dilihat adalah: 1. Kepentingan samua (bukan kepentingannya partai
159
2.
Kritik, Saran & Pesan
:
politik aja, harus ada mutualisme, membangun Islam juga) Tujuan --- bisa nyedain tujuan yang baik untuk masyakat gak? Jangan nanti ternyata hanya untuk tujuan partai atau individu saja tapi mengatasnamakan perjuangan kebangsaan kemudian pake simbol agama.
Asal jangan ngumpanin rakyat. Menyalah gunakan kehidupan rakyat yang desperate.
160
FORM IN-DEPTH INTERVIEW Muchtar Ibnu Imam dan Ketua Pemuda Masjid Al-Azhar S1 sedang menyelesaikan S2 PTIQ Menikah – 2 anak Pengetahuan dan pemaknaan terhadap simbol Islam Simbol
:
Ka’bah, mesjid (termasuk kubah, menara masjid)
Makna Kesakralan Simbol
:
Simbol persatuan Islam…. Simbol itu belum tentu sakral. Contohnya, arah kita shalat darimana pun mengarah ke ka’bah. Tapi bukan berarti kita menyembah Ka’bah. Ka’bah itu hanya simbol. Tetap kita kultuskan Allah. Kita bukan mengkultuskan simbol, simbol itu hanya untuk persatuan.
Awareness terhadap pemakaian simbol Islam dalam partai politik Awareness (Pemakaian simbol pada partai politik dan kampanyenya)
:
P3. Jelas, karena memakai simbol Ka’bah.
:
Menarik simpati masyarakat… Tapi kalau tujuannya ini ya, berarti tujuannya duniawi saja, murni politik. Kalau politik saja, kan berarti hanya dunia saja yang dapat, akhiratnya tidak dapat.
Bentuknya apa? Pesan yang ditangkap dari pemakaian simbol tersebut?
Kalau tujuannya untuk memajukan Islam, memurnikan ajaran Allah, masyarakatnya ya, itu lain lagi berarti… Sikap terhadap pemakaian simbol Islam Penerimaan terhadap pemakaian simbol
:
Gak pa pa. Gak masalah.
Partisipasi Pemilu yang lalu dan alasannnya
:
Iya.
Pengaruh simbolik agama pada partai dan kampanyenya pada perilaku pemilih
:
Pengaruh terhadap naluri seseorang. PDI punya massa yang seperti apa, sehingga PDI memakai banteng sebagai simbol. Massa umat Islam itu punya nurani, kultur, sehingga Islam memakai simbolsimbol seperti bulan, bintang, matahari, kalo tidak ada matahari sebagai penerang maka gelap gulita. Dimana arah barat gak tahu. Begitu juga dengan bulan dan bintang.
Ideologi Studi Kasus
:
Saya
punya
prinsip
sesuai
dengan
fiman
Allah
161
Sebuah partai politik secara ideologi sudah cocok dengan anda namun ternyata mencalonkan kandidat nonmuslim. Bagaimana sikap terhadap studi kasus
bagaimanapun Akhlak nya orang Islam harus pilih orang Islam Seorang pemimpin harus menjadi khalifah, khalifah menjadi wali. Wali bagi rakyat. ketika perempuan tidak punya maka yang menjadi walinya adalah pemimpin negara. Akhlak disini yang berbicara…. Saya akan memilih siapa yang berpihak kepada Allah dan Rasul. Adil sesuai dengan konsep kita. Secara syariat, akhlak, keberpihakan, masyarakat, dalam kondisi dijajah kepada muslim dia membela barat atau muslim Saya akan condong terhadap seorang kandidat tentunya dari partai yang sesuai dengan visi dan misi keislaman yang saya anut. Bagaimanapun politik adalah lingkaran setan.
Penentuan golongan masyarakat Kritik/Saran/Pesan terhadap : partai politik
Simbol itu tidak boleh kita mengkultuskan, sekadar simbol saja. Seperti bendera Indonesia hanya sebagai lambang negara. Tujuan kita beribadah semata2 mengabdi kepada Allah… apapun yang kita kita lakukan mengabdi kepada Allah. Tapi sebenarnya simbol itu kan sama dengan strategi. Sama ketika jaman perang Rasulullah dahulu. Ketika orang kafir Quraisy musuh memanjangkan kumis, janggut dipendekkan. Maka Rasulullah membuat identifikasi umat Islam dengan cara kebalikannya. Kumis dipotong, janggut dipanjangkan. Sekarang kembali lagi esensi simbol itu sebagai apa… gedung biasa bisa kok jadi mesjid. Tidak jadi jaminan bila bukan masjid maka tidak baik untuk beribadah. Esensi ibadahnya itu yang sebenarnya dicari. Lihat simbol Ka’bah. Kalau untuk orang-orang tua, petani, apa makna simbol Ka’bah bagi mereka? Haji. Sementara makna simbolik Ka’bah itu kan sebenarnya lebih besar dari itu.
162
FORM IN-DEPTH INTERVIEW ENIKA Resepsionis D3 Sekretaris Menikah dengan satu Anak Simbol
:
Makna Kesakralan Simbol
:
Sakral karena mengacu kepada agama. Untuk masjid ada batasan-batasan tertentu yang tidak bisa dilanggar, jadi penggunaannya tidak boleh sembarangan. Sementara untuk simbol yang lain terserahlah.
Awareness (Pemakaian : simbol pada partai politik dan kampanyenya) Bentuknya apa?
Ya, seperti pemakaian peci pada kandidat partai politik. Seakan-akan menggambarkan orang beriman, lrus, agamais, orang benar padahal kan belum tentu.
Pesan yang ditangkap dari : pemakaian simbol tersebut?
Pilihlah Aku
Penerimaan pemakaian simbol
terhadap :
Tidak masalah sebenarnya tapi memperlihatkan kamuflase. Suatu hal yang klise karena berkedok dengan agama.
Partisipasi Pemilu yang lalu : dan alasannnya
Ikut milih. Alasan pemilihan partai lebih kepada kandidatnya
Pengaruh simbolik agama : pada partai dan kampanyenya pada perilaku pemilih
Tidak
Sikap terhadap studi kasus
Iya juga sih, mempengaruhi ke arah tidak memilih. Kenapa? Karena tradisi, karena seharusnya kan pemimpin itu selaras satu tujuan (sama-sama muslim). Mungkin karena belum pernah jadi tidak merasa terbiasa.
:
‐ ‐ ‐
Bintang Masjid Peci
Jadi, mungkin lebih ke arah ragu-ragu, bukan berarti untuk tidak. Kritik, Saran & Pesan
:
Untuk partai politik yang menggunakan simbolik agama, Just be yourself
163
FORM IN-DEPTH INTERVIEW ROSELLINA HRD S1 Periklanan Belum Menikah Simbol
:
Makna Kesakralan Simbol
:
Sakral karena ada/disebut dalam Al-Quran.
Awareness (Pemakaian simbol pada partai politik dan kampanyenya) Bentuknya apa?
:
Ya, yang ingat P3 tapi lupa simbolnya.
Pesan yang ditangkap dari pemakaian simbol tersebut?
:
Mungkin, menonjolkan sisi keagamaan itu. Misal, PKS tadi, itu partai Islam biar kelihatan Islamnya maka mereka menunjukkan keislaman mereka.
Penerimaan pemakaian simbol
terhadap
:
Sebenarnya tidak masalah selama mereka tidak berlebihan. Sementara di Indonesia ada beberapa agama. Itu sebenarnya yang masalah. Takutnya malah umat lain yang berpikiran negatif terhadap kita.
Partisipasi Pemilu yang lalu dan alasannnya
:
Tidak. Karena saya tidak mengerti apa yang harus saya pilih
Pengaruh simbolik agama pada partai dan kampanyenya pada perilaku pemilih
:
Tidak juga. Lebih ke yang ideologinya pas.
‐ ‐ ‐
Bulan Bintang Huruf Arab (apa saja)
PKS juga, tapi sebenarnya gak cuma simbol yang dipakai di PKS tapi orang-orangnya juga menunjukkan bahwa mereka termasuk dalam agama tertentu.
Tapi iya juga sih, maksudnya kalau partai itu non-muslim ternyata (tapi ideologinya bagus) saya juga tidak milih. Saya sih cenderung memisahkan antara sosial dan politik. Kalau misalnya ada yayasan sosial Budha, punya acara sosial yang bagus, well organised, buat saya gak masalah untuk jadi relawannya, bantu-bantu acara. Tapi kalau soal politik saya masih merasa bahwa Islam masih menjadi touch base saya.
Sikap terhadap studi kasus
:
Bisa dipertimbangkan, tanpa melihat ideologi orang itu, kalau bisa bikin perubahan yang baik kenapa tidak.
Kritik, Saran & Pesan
:
Sebenarnya fine pakai simbol agama tapi jangan sampai under-estimate ideologi lain juga (Islam paling benar, kampanye ala kecap nomor satu). Persaingannya yang sehat lah. Tidak menyudutkan. Harusnya sih, lebih netral karena bukan negara agama.
164
FORM IN-DEPTH INTERVIEW EMMA SEKRETARIS D3 POLITEKNIK UI Belum Menikah Simbol
:
Makna Kesakralan Simbol
:
Batasan seharusnya ada. Saya lebih suka pemakaian simbol secara implisit daripada eksplisit.
Awareness (Pemakaian simbol pada partai politik dan kampanyenya) Bentuknya apa?
:
P3. Menjual Islam banget. Pakai Ka’bah.
Pesan yang ditangkap dari pemakaian simbol tersebut?
:
‐ Bintang
Tapi ada juga partai yang punya simbol itu ada maknanya seperti PKS. Meski saya sendiri tidak bisa jabarin simbol tersebut. Simbol itu tanda kita tahu atau tidak tentang suatu hal tertentu (identifikasi). Waktu jaman 44 partai: Cemara = simbol partai Kristen Merah = partai-partai sosialis, seperti PNI Hijau = rata-rata partai Islam
Penerimaan pemakaian simbol
terhadap
:
Masalah. Karena menjual sesuatu yang belum tentu partainya.
Partisipasi Pemilu yang lalu dan alasannnya
:
Ikut milih. Alasan pemilihan partai lebih kepada kandidatnya
Pengaruh simbolik agama pada partai dan kampanyenya pada perilaku pemilih
:
Tidak mempengaruhi visi. Malah partai agama kurang konsisten karena berlindung di balik simbol.
Sikap terhadap studi kasus
:
Kritik, Saran & Pesan
:
165
FORM IN-DEPTH INTERVIEW Dini Litasari Head of Secretary D3 Sastra Inggris Menikah Simbol
:
‐ ‐ ‐
Bulan & Bintang Masjid Tanda Allah dan Muhammad
Karena itu yang sering terlihat Makna Kesakralan Simbol
:
Iya dong. Bahkan dalam bentuk simbol sekalipun itu kan merepresentasikan Islam, ga main-main sama Islam. Tanda Allah & Muhammad itu lo ga bisa make itu sembarangan
Awareness (Pemakaian simbol pada partai politik dan kampanyenya) Bentuknya apa?
:
Ya, minggu lalu di Tebet. Ada postes anjuran belajar ngaji dengan tai disebelahnya ada logo PDI-P. Gak pada tempatnya.
Pesan yang ditangkap dari pemakaian simbol tersebut?
:
Partai ini menangkap agama ini. Alat untuk mengambil suara rakyat.
Penerimaan pemakaian simbol
terhadap
:
Kasihan, karena masih banyak orang yang melihat secara plek banget. Kalo untuk memajukan bangsa lo hanya memanfaatkan orang-orang dengan pola pikir dengan partai agama ini.
Partisipasi Pemilu yang lalu dan alasannnya
:
Tidak. Karena saya tidak mengerti apa yang harus saya pilih
Pengaruh simbolik agama pada partai dan kampanyenya pada perilaku pemilih
:
Tidak, tidak pengaruh
Sikap terhadap studi kasus
:
Gue akan melihat apa dia bisa kerja atau tidak. (Lebih kea rah kandidat)
Kritik, Saran & Pesan
:
Partai Islam kalau hendak menggunakan simbol Islam untuk mengambil suara tidak relevan. Negara kita bukan cuma Islam tapi ada kebudayaan-kebudayaan lain.
166
IN-DEPTH INTERVIEW NAMA PROFESI PENDIDIKAN TERAKHIR STATUS
: Abdur Rochman : Pengajar : S2 : Belum Menikah
Pengetahuan dan pemaknaan terhadap simbol Islam Simbol
: ‐
Wanita = Jilbab, laki-laki = janggut
‐
Logo atau bendera terlihat kalimat Laa Ilaha Illallah, bulan sabit dan atau bintang atau lambang ka’bah Artinya, karena jilbab identik dengan pakaian muslim, janggut itu disunahkan dan kalau kumis dicukur dan itu adalah sunnah rasul dan adalah identitias orang Islam. Surat An-Nisa…..
Makna Kesakralan Simbol
:
Tidak ada. Sekedar Identitas saja untuk pencitraan….
Awareness terhadap pemakaian simbol Islam dalam partai politik Awareness (Pemakaian simbol pada partai politik dan kampanyenya)
:
Tahu, seperti simbol bulan sabit dan atau bintang dan ka’bah. Tiga unsur…. Dalam rangka mencari masyarakat/umat Islam.
Bentuknya apa?
simpatik
dan
dukungan
Gerakan ormas seribu jilbab. Ketika bekerja sama dengan partai politik ada kemungkinan untuk menarik massa. Pesan yang ditangkap dari pemakaian simbol tersebut?
:
Bicara politik, bicara kekuasaan, partai politik lebih banyak kecenderungan mencari simpatik dan mendulang suara walaupun ada yang benar-benar tulus dalam rangka syiar dan dakwah Islam seperti PKS contohnya. Tidak hanya sekedar citra tapi juga membumikan citra Islam karena sebagian partai politik hanya berusaha menarik Islam tapi di internal sendiri belum Islami. Bahkan ada yang mencoba mendulang suara dari kaum muslimin atau kaum islam tapi asasnya bukan asas Islam. Seperti: PKB dan PAN dan PDI-P dengan Lembaga Baitul Musliminnya (Basumi). Azas Islam : PKS, PPP, PBB, PBR, PKNU.
Sikap terhadap pemakaian simbol Islam Penerimaan terhadap pemakaian simbol
:
Sebenarnya boleh-boleh saja menggunakan simbol islam. Namun demikian yang saya harapkan Islam tidak sekedar simbol partai politik tapi konsisten dengan aturan main dalam politik tersebut, asasnya, AD/ART dan kultur Islami yang dibagun didalamnya. Yang tentu saja dengan
167
harus dengan sistem sebener-benarnya Islam. Sama seperti kita mengaku Islam jangan cuma mengaku saja tapi harus Shalat lima waktu, Puasa, Zakat, berbuat baik jangan hanya slogan saja. Sangat disayangkan, baik pola musyawarahnya, criteria pemimpin harus mengedapkan nilai-nilai Islam, wawasan Islamnya bagus. Seperti sifat Rasulullah, jujur (siddik), cerdas (fathanah), amanah , komunikatif (tabligh). Partisipasi Pemilu yang lalu dan alasannnya
:
Ikut… partai Islam
Pengaruh simbolik agama pada partai dan kampanyenya pada perilaku pemilih
:
Lihat dari asas, struktur partai dan kultur yang Islami internal partai. Moralitas atau akhlak para kader partai yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Intinya simbol itu bagus namun alangka lebih bijaknya diiringi dengan nilai-nilai Islam karena masyarakat sudah lebih cerdas melihat dan menilai mana yang sekeder simbol islam dan mana yang benar-benar menjunjung nilai-nilai Islam.
Ideologi Studi Kasus
:
Sebuah partai politik secara ideologi sudah cocok dengan anda namun ternyata mencalonkan kandidat nonmuslim. Bagaimana sikap terhadap studi kasus Kritik/Saran/Pesan partai politik
terhadap
Pertama, kalau masih ada partai Islam, saya akan cenderung pilih partai Islam. Kalau tidak ada partai Islam, saya akan mencari partai yang mendekati kooperatif dengan partai yang mendekati azas Islam. Jika tidak ada juga maka mencari yang buruk dari yang terburuk artinya yang nilai “mudharat”nya itu lebih kecil.
:
Partai-partai yang menggunakan simbol Islam hendaknya mengevaluasi apakah di dalamnya dibangun kultur yang Islami. Karena berapa banyak partai yang belum menggunakan sistem Islam tapi sudah berani menggunakan simbol Islam. Harus konsisten antara simbol dengan asas, kultur dan struktur yang digunakan agar masyarakat tidak merasa digunakan sebagai obyek untuk menarik simpati masyarakat dan mendulang suara untuk tujuan politiknya. Atau mengeksploitasi masyarakat atau umat Islam (tujuan politik).
168
IN-DEPTH INTERVIEW NAMA : Ulfa PROFESI : Bagian produksi – Media TV JABATAN DI YISC : BEYE PENDIDIKAN TERAKHIR : S1 Komunikasi STATUS : Belum Menikah Pengetahuan dan pemaknaan terhadap simbol Islam Simbol
:
Bulan sabit, ka’bah sama tulisan allah Karena bulan sabit ada dimana-mana terutama di atasnya masjid kita bisa temuin, ka’bah itu kiblat, tulisan allah kalo lagi azan itu keluarnya tulisan allah common Makna Kesakralan Simbol : Sakral sih gak, tapi lebih ke identifikasi, misalnya kita kemana kita tau bahwa ada islam Awareness terhadap pemakaian simbol Islam dalam partai politik Awareness (Pemakaian : Sadar, P3. Karena ada ka’bah… contoh simbol pada partai politik pawai… partai islam lain juga ikut seperti itu, dan kampanyenya) seperti PBR Bentuknya apa? Pesan yang ditangkap dari : pemakaian simbol tersebut?
Menjual agama untuk kepentingan mereka…
Sikap terhadap pemakaian simbol Islam Penerimaan terhadap : pemakaian simbol
Tergantung, positif tabligh akbar itu positif tapi kalo mengganggu masyarakat umum negative
Partisipasi Pemilu yang lalu : dan alasannnya
Milih, partai islam
Pengaruh simbolik agama : pada partai dan kampanyenya pada perilaku pemilih
Ga pengaruh. Gw milih karena suka visi misinya
Ideologi Studi Kasus Sebuah partai politik secara ideologi sudah cocok dengan anda namun ternyata mencalonkan kandidat non-muslim. Bagaimana sikap terhadap studi kasus
:
Pasti batalin. Islam milih pemimpin yang amanah, seagama sama kita segala macam…
169
Kritik/Saran/Pesan terhadap partai politik
:
Jangan pernah menggunakan simbol agama untuk kepentingan golongan karena itu hanya urusan antara kita dan yang diatas. Pokoknya intinya gini deh, jangan mencampur adukkan agama dan politik.
170
IN-DEPTH INTERVIEW NAMA : Widya Magdalena PROFESI : Staff Purchasing PENDIDIKAN TERAKHIR : S1 Akuntasi STATUS : Belum Menikah Pengetahuan dan pemaknaan terhadap simbol Islam Simbol
:
Makna Kesakralan Simbol
:
Mesjid, bintang dan bulan Karena memang simbolnya itu, contohnya diatas masjid ada bulan dan bintang. Katanya sih memang simbolnya Gak, yang penting hatinya aja, yang mending hatinya oke, yang penting dari dalam hatinya ajah
Awareness terhadap pemakaian simbol Islam dalam partai politik Awareness (Pemakaian : Ada sih. PKB simbol bulan-bulan gitu. Tapi ga simbol pada partai politik dan pernah merhatiin politik juga sih. kampanyenya) Trus kaya pks suka kasih sembako, bantuanbantuan sunatan massal, mereka itu pengen kita Bentuknya apa? untuk mendukung partainya. Pesan yang ditangkap dari : Menarik massa pemakaian simbol tersebut? Sikap terhadap pemakaian simbol Islam Penerimaan pemakaian simbol
terhadap :
Sebenarnya sih ga masalah, ambil untungnya aja, masyarakat bisa gunakan… partai ma ngerti lah… meskipun dia ngasih kita apa-apa kalo ga ngrasa apa-apa (kecocokan ideologi.pen) siih…
Partisipasi Pemilu yang lalu : dan alasannnya
Milih. Partai nasionalis.
Pengaruh simbolik agama : pada partai dan kampanyenya pada perilaku pemilih
Ga ngaruh. Yang penting visi misi partai…
Ideologi Studi Kasus
:
Pribadi, ya gak masalah, kalo ga se-agama. Yang penting visi misinya bener, ga ada cacat2nya. Ga harus islam aja yang memimpin… secara Indonesia sendiri kan ada 5 partai.
terhadap :
Mendingan ga usah pake deh, sekarang gini aja deh,
Sebuah partai politik secara ideologi sudah cocok dengan anda namun ternyata mencalonkan kandidat nonmuslim. Bagaimana sikap terhadap studi kasus Kritik/Saran/Pesan
171
partai politik
dewa (band, pen) aja diomelin pake-pake simbol agama…
172
IN-DEPTH INTERVIEW NAMA : Santi PROFESI : Karyawan Swasta JABATAN DI YISC : 2007 PENDIDIKAN TERAKHIR : S1 jurusan teknik sipil STATUS : Belum Menikah Pengetahuan dan pemaknaan terhadap simbol Islam Simbol : Allah, Muhammad dan bismillah Karena kalo maknanya allah itu simbol Tuhan, Muhammad itu nabi kita kalo b itu awal permulaan kegiatan kita Makna Kesakralan Simbol : Sacral banget karena alasan diatas Awareness (Pemakaian : simbol pada partai politik dan kampanyenya)
Ya, ada kalo ga salah pernah ngliat ka’bah p3. Kalo yangbaru2 sekarang ini gw ga tau pake simbol2 laa ilahallah kayak dipakai oleh organisasi islam…
Bentuknya apa? Pesan yang ditangkap dari : pemakaian simbol tersebut?
Pernah, seperti kayak zikir bersama, partai nya apa ya, kalo ga p3 pks… Sampe saat ini gak. Antar parpol itu ga sih
Sikap terhadap pemakaian simbol Islam Penerimaan terhadap : Untuk pake simbol islam, kalo menurut gw sih, pemakaian simbol selama dia ga melanggar akidah2 yang ada sih ya gpp Partisipasi Pemilu yang : Milih. Kebtulan partai islam. lalu dan alasannnya Pengaruh simbolik agama : pada partai dan kampanyenya pada perilaku pemilih
Ideologi Studi Kasus Sebuah partai politik secara ideologi sudah cocok dengan anda namun ternyata mencalonkan kandidat non-muslim. Bagaimana sikap terhadap studi kasus
:
Gw milih karena ada beberapa partisipasi dari partainya membuktikan bahwa partai itu bagus. Seperti pks sepereti kalo da kebakaran langsung berpartisipasi. Ga hanya kebakaran aja tp kalo da bencana2 nasional lain merka langsung terjun ke lapangan. Ga setuju. Di al-quran ato apa, seseorang pemimipin harus islam, pengetahuan luas satunya lagi dia harus pria.
173
Kritik/Saran/Pesan terhadap partai politik
:
Kalo bisa yah, parpol2 islam yang melambangkan simbol islam menyatu aja, jangan terpisah2 bisa melambangkan ukhuwah islamiyah.
174
IN-DEPTH INTERVIEW NAMA : Febri PROFESI : Karyawan swasta JABATAN DI YISC : 2007 PENDIDIKAN TERAKHIR : S1 jurusan IT STATUS : Single Pengetahuan dan pemaknaan terhadap simbol Islam Simbol
:
Bulan sabit, kalimat syahadat, kata Allah Karena itu yang biasanya represented darui islam itu sendiri contoh pejuang timur tengah ketika berperang mereka pake ketiga simbol tersebut
Makna Kesakralan Simbol
:
Pastilah. Itu tadi karena represented dari islam sendiri.
Awareness (Pemakaian : simbol pada partai politik dan kampanyenya)
Selama ini iya. Tahu kalao dipakai. Mungkin kayak p3 = ka’bah. Partai bulan bintang. Banyak. Sby, partai demokrat berobat gratis. Ya paling sunat massal yang diadakan oleh pks.
Bentuknya apa? Pesan yang ditangkap dari : pemakaian simbol tersebut?
Banyak. Biasanya yang pertama, lagi itu gw pernah gw ikut pengajian dibawakan oleh seseorang, ketika dia menyampaikan pesan moral tausyiah tapi dia menyelipkan juga tentang kondisi partai eksternal nya dia. Dia coba mengkondisikan partainya dia. Pada saat itu p3. Telkom kandatel tangerang.
Sikap terhadap pemakaian simbol Islam Penerimaan terhadap : pemakaian simbol
Bermasalah banget. Pengajian tujuannya adalah untuk bertausyiah. Bukan untuk menjatuhkan orang atau kampanye.
Partisipasi Pemilu lalu dan alasannnya
Enggak. Emang udah ga ada yang pantes lagi untuk menjabat. Pantas bukan capability, gw cenderung melihat dari segi proses untuk mendapatkannya, kalo prosesnya aja udah jelek kesananya juga.
yang :
Pengaruh simbolik agama : pada partai dan
Ga ada pengaruh.
175
kampanyenya perilaku pemilih
pada
Ideologi Studi Kasus
:
Gw salah satu orang yang punya prinsip. Dalam memilih harus berlandaskan islam bukan sekuler. PKS awalnya dari gerakan tp kemudian terjebak ke dalam kepartaian. Tp akhirnya sangat terwarnai sekali dengn politik. Faktanya, temen2 gw yang dulunya aktivis, karena dulunya pks itu bergerak di pengajian tp trus diarahin ke pks.
:
Sarannya adalah simbol bukan main factor untuk mendapatkan suara tapi lebih ke arah proses dan implementasi dari visi/misi itu sendiri. Program2nya.
Sebuah partai politik secara ideologi sudah cocok dengan anda namun ternyata mencalonkan kandidat non-muslim. Bagaimana sikap terhadap studi kasus Kritik/Saran/Pesan terhadap partai politik
176
IN-DEPTH INTERVIEW NAMA : Tri Hartanto PROFESI : Legal JABATAN DI YISC : 2004 PENDIDIKAN TERAKHIR : S1 Hukum STATUS : Single Pengetahuan dan pemaknaan terhadap simbol Islam Simbol
:
1. Ayat suci al-quran = orang nyari dasar hukum disitu, kalo mau memberikan argumen kan cari dalil2 dari situ, dijadikan landasan hukum untuk berbuat 2. Bulan bintang = bagian dari masjid, simbol jamak di dunia islam, icon 3. Masjid = tempat ibadah, makanya orang mempergunakan masjid sebagai sarana untuk menggalang massa… Menggalang massa maksudnya simbol digunakan untuk menarik massa
Makna Kesakralan Simbol
:
Sakral, orang menggunakan simbol itu dalam urusannya dengan muamalah. Digunakan sebagai ini apa, sebenarnya menggunakan itu untuk basis massa kecuali… sakral sih sakral, sesuatu yang melambangkan keislaman itu kan maksudnya supaya orang ingat pada penciptaNya
Awareness (Pemakaian : simbol pada partai politik dan kampanyenya)
Sadar, seperti kemarin-kemarin pas ada calonnya dari megawati orang menggunakan dasar hukum, imam dalam islam ga boleh perempuan …Pas megawati, kok bisa?.
Bentuknya apa? Cuman begini, yang aku tangkap orang menggunakan politik praktis, orang menggunakan simbol agama untuk kepentingan politik sesaat malah menodai kesucian agama itu sendiri. Pesan yang ditangkap dari : pemakaian simbol tersebut?
Ya iya. Untuk kepentinganp politik sesaat intinya. Betul, sebagai suatu hal yang ga murni. Karena kalo mo bener murni, Indonesia sebagai entitas politik tidak sesuai dengan tuntutan agama, kalau kita mau ngomong saklek. Dasar Indonesia ini bukan agama. Kalau mau memperjuangkan islam jangan pake nation.
177
Islam satu, ga ada islam Indonesia, islam afrika. Islam itu satu. Karena ga ada pilihan yang lain makanya kita termakan juga oleh simbol2 itu. Kalo ada beberapa pilihan sama2 gak bener maka ambillah pilihan yang tingkat gak benernya paling ringan… Kita ngomongin Indonesia, Indonesia dibentuk dari cita-cita nasional,. Islam itu universal ga ada islam Indonesia, islam amerika atau apalah. Sikap terhadap pemakaian simbol Islam Penerimaan terhadap : pemakaian simbol Partisipasi Pemilu lalu dan alasannnya
yang :
Pengaruh simbolik agama : pada partai dan kampanyenya pada perilaku pemilih
Sebenarnya kan masalahnya kan… bwt gw pribadi si ga ada masalah. Masalahnya buat wawasan kebangsaan itu yang fatal. Pilih. Aku milihnya ada tiga partai, DPR tingkat 2 ma tingkat 3 beda semua. Aku milihnya lebih ke calon individu bukan partainya. Ngaruh tapi sedikit lah. Ada pertimbangan tapi ga signifikan.
Ideologi Studi Kasus
:
Akan mempertimbangkan lagi. Karena ya itu, demokrasi kan mayoritas, masa mayoritas dipimpin minoritas. Kalo begitu nantinya dampaknya ga bagus, krn minoritas ga akan bisa menyelami keinginan mayoritas.
:
Lebih realistis dalam memahami masalah di negaranya. Ekonomi ga bisa diperbaiki sebagus apapun sistemnya akan percuma. Orang laper itu ga usah ngomong demokrasi, ga aka nada demokrasi kalo perutnya laper. Aku lebih senang negara kesejahteraan, seperti swedia, Denmark, finland. Ideologi ga usah terlalu… tp kayakny sekarang mo kemana2 juga independen… belum bisa ngomong kemauannya apa…
Sebuah partai politik secara ideologi sudah cocok dengan anda namun ternyata mencalonkan kandidat non-muslim. Bagaimana sikap terhadap studi kasus Kritik/Saran/Pesan terhadap partai politik
178
IN-DEPTH INTERVIEW NAMA : Tito PROFESI : mahasiswa STIKOM interstudi JABATAN DI YISC : staf SII / masuk juli 2007 PENDIDIKAN TERAKHIR : smu STATUS : blum menikah Pengetahuan dan pemaknaan terhadap simbol Islam Simbol
:
Rasulullah, karena islam dibawa oleh nabi Muhammad Quran karena kitab suci agama islam Mekkah /ka’bah karena simbol kekuatan umat islam
Makna Kesakralan Simbol
:
Sakral, karena Rasulullah adalah pembawa agama islam dan panutan dari semua umat Islam, bahkan sampai istrinya bilang beliatu adalah quran yang berjalan. Figure yang kuat. Berarti kita harus selalu melindungi dia, mendoakan dia dan sahabat2nya. Simbol dari kekeuatan islam Quran pedoman hidup bagi umat islam dalam mengarungi hidup ini. dijagaitu tidak disalahgunakan tidak dipalsukan. Kita tidak boleh membiarkan perbuatan2 yang merendahkan al-quran. Mekkah/madinah karena tempat, mungkin semua agama punya tempat istimewa, nasrani dengan katedral =,vatikan..semua agama punya tempat2 spesial. Mekkah punya tempat kekuatan islam. Kalo kita ke tempat2 ke seperti itu kita dapat merasakan kekuatan yang berbeda…
Awareness (Pemakaian : simbol pada partai politik dan kampanyenya)
Sadar… karena banyaknya partai2 logo nya aja bernafaskan islam seperti kabah, tulisan arab dan nuansa2 islam…
Bentuknya apa?
Dan memang kita harus berpolitik bukan untuk kepentingan politik tapi untuk kepentingan bersama karena ujungnya adalah kekuasaan.
Pesan yang ditangkap dari : pemakaian simbol tersebut?
Pertama, adalah seperti dakwah, rasulullah menyampaikan agama degnan perang dengan dakwah. Dibalik partai2 islam itu orang2 mau berdakwah… mau mencakup seluruh penduduk Indonesia. Idealism mereka mengislamkan
179
Indonesia dengan nilai 2 syarat islam. Sadar indo dengan populasi islam terbesar. Dengan merangkul islam maka kesempatan untuk menang lebih besar. Gw melihat dua hal nilai dakwah dan nilai kekuasaan., Sikap terhadap pemakaian simbol Islam Penerimaan terhadap : pemakaian simbol
Sebenarnya tidak masalah, semakin banyak partai Islam yang berkembang makin bagus banget. Berarti umat Islam sedang bangkit. Kalau dulu Masyumi partai Islam yang besar pada jaman Soekarno. Setelah itu partai-partai mati suri akibat dibatasinya peserta pemilu. Pemilu sekarang sudah mulai bisa kebangkitan partai-partai.
Partisipasi Pemilu lalu dan alasannnya
Ikut. Partai nasionalisme. Karena sosok dan sebenarnya partai itu sudah dijelaskan di quran ar-rum ayat 30-33 jangan sampai bangga pagda golognan. Sehingga mereka cenderung lebih membedakan.
yang :
Pengaruh simbolik agama : pada partai dan kampanyenya pada perilaku pemilih
Gak ada.
Ideologi Studi Kasus
:
Menarik diri. Karena sudah dijelaskan dalam al-quran.tidak sesuai dengan akidah. Walaupun tidak menjamin orang islam itu bener semua.
:
Pertama, coba lebih focus, untuk point dakwah. Jangan lupa untuk membentuk kader2… harus dibentuk dulu sehingga partai itu benar2 kekuatan islam yang sesungguhnya. Islam akan membawa dampak yang lebih besar kepada masyarakat. Bayhangkan kalo satu partai yang
Sebuah partai politik secara ideologi sudah cocok dengan anda namun ternyata mencalonkan kandidat non-muslim. Bagaimana sikap terhadap studi kasus Kritik/Saran/Pesan terhadap partai politik
180
kandidat yang pandai quran, rahjin salat sunah dan kadernya juga sangat islami. Karena islam pada dasarnya adalah rahmatan lil alamin
CV RIZKI ATINA
Data Pribadi Tanggal Lahir
: 22 September 1983
Alamat
: Jl. Shangrilla III/106 Petukangan Selatan Jakarta Selatan 12770
Email
: [email protected]
Rizki Atina (Kiki Atina) mendapatkan gelar diploma tiga dari Akademi Sekretari/LPK Tarakanita Jakarta tahun 2001 dengan predikat Magna Cum Laude. Bagi masyarakat Indonesia, gelar S1 dipandang sebagai gelar kemapanan, hidup tak lengkap tanpa gelar S1. Selain itu dipicu atas idealism pribadi tentang konsep keilmuan yang senantiasa menantang, Kiki Atina kemudian meneruskan kuliah S1-nya dengan bergabung pada program ekstensi Universitas Mercu Buana, jurusan PR pada tahun 2006. Idealismenya adalah merasai setiap proses yang ada dan selalu terkejut ketika Allah SWT senantiasa menyisipkan kejutan-kejutan manis dalam setiap langkah yang berupaya ditempuh. Hal ini senantiasa menyuburkan semangat positif. Kiki Atina saat ini bekerja penuh waktu sebagai team assistant pada Worldbank Jakarta, Indonesia. Serta sedang menabung untuk program S2-nya.