CITRA PARTAI POLITIK DALAM FRAMING MEDIA Agus Triyono Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta Email :
[email protected] Abstrak. Era keterbukan berpolitik pasca runtuhnya Orde baru, secara tidak langsung berdampak pada proses demokrasi di Indonesia. Munculnya partaipartai baru, entah dengan basis dukungan massa yang jelas atas hanya sekedar euphoria demokrasi, menjadikan tantangan tersendiri bagi keberadaan partaipartai “sesepuh”. Tidak hanya itu, partai-partai baru pun juga dihadapkan pada upaya untuk mengenalkan keberadaannya kepada rakyat. Manajemen public relations partai pun harus difungsikan dengan maksimal dan bukan hanya sekedar simbol stuktural. Pengelolaan PR yang baik, tentunya akan menghasilkan elektabilitas yang tinggi. Dalam hal ini, peran pers begitu penting akan masa depan partai dan oleh karenanya seorang praktisi PR pun juga dituntut untuk mengetahui bagaimana memaknai teks yang muncul dalam sebuah berita. Framing yang dilakukan oleh media massa atas sebuah perstiwa akan berdampak pada citra partai dihadapan public. Baik atau buruknya citra partai ditentukan oleh bagaimana framing media kepadanya, dan framing media tersebut dipengaruhi oleh bagaimana hubungan yang terjadi antara partai politik dengan media. Kata kunci : manajemen PR partai, citra, framing media. Manajemen PR Partai Politik Gerakan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 telah memberikan warna tersendiri terhadap kondisi politik nasional. Mobilitas politik massa lahir ke permukaan dengan warna-warni yang berbeda. Wajah perpolitikan secara nasional berubah drastis setelah sebelumnya dalam kurun waktu 32 tahun terbungkam dalam kebijakan politik Orde Baru yang sarat akan nuansa otoriter dan monopolitik. Seperti sebuah saluran pipa air yang sudah lama tersumbat lalu kemudian terbuka lebar, maka dibutuhkan wadah penampungan untuk menampung tumpahan air tersebut akan tidak terbuang sia-sia. Agar mampu menampung aspirasi publik yang beraneka ragam tersebut, maka wadah-wadah
politik baru pun kemudian bermunculan dalam bentuk parpol. Dengan bermunculannya partai-parpol baru, maka berakhirlah era monopolitik yang menjenuhkan dan melaju ke arah perpolitikan yang bebas dan demokratis. Pertumbuhan parpol ini memberi harapan baru bahwa keberadaan mereka dapat menjadi katalisator yang positif bagi peningkatan aspirasi politik masyarakat dalam kehidupan berpolitik. Namun demikian, munculnya partaipartai baru tersebut memerlukan usaha yang keras agar dapat diterima di masyarakat. Terlebih lagi, pengetahuan masyarakat akan parpol masih melekat kuat pada partai–partai peninggalan Orde Baru. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya parpol mendekatkan dirinya dengan calon konstituent yang ada di tingkat masyarakat. Artinya, sebuah parpol harus mampu berinteraksi dengan kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita politik dan kepentingan yang sama dalam kerangka memperoleh kekuasaan. Salah satu tugas berat bagi sebuah parpol adalah bagaimana partai tersebut bisa diterima oleh masyarakat. Permasalahan ini sangat krusial, karena hal ini menjadi langkah awal bagaimana partai harus menanamkan citranya sebagai organisasi politik dalam benak masyarakat. Mengelola persoalan ini bukan tugas yang sederhana dan mudah. Mempublikasikan dan mensosialisasikan nilai-nilai partai membutuhkan penanganan yang khusus mengingat bahwa parpol memiliki dinamika yang tidak mudah diduga. Oleh sebab itulah, keberadaan public relations dalam dunia kepartaian menjadi sesuatu yang sangat strategis dan teramat penting.
Parpol sebagai institusi yang menjalankan fungsi komunikasi politik memerlukan pengintegrasian isu dan pesan-pesan politiknya yang ditunjukan bagi masyarakat. Itu berarti kebutuhan akan eksistensi public relations dalam mengidentifikasi, mempertahankan, dan menjaga kesinambungan hubungan yang saling menguntungkan antara parpol dan masyarakat sangat relevan dengan kepentingan parpol agar memperoleh dukungan masyarakat secara lebih kontinyu. Heterogenitas masyarakat Indonesia membawa nilai-nilai yang beragam pula. Kompleksitas permasalahan yang ada di negeri ini menunjukan ketidaksederhanaan atas permasalahan-permasalahan yang muncul ke permukaan. Kondisi yang ada ini pun pada akhirnya melahirkan berbagai kelompok kepentingan dan sekian banyak persoalan yang mengakibatkan pertentangan antar kelompok. Pertentangan dan munculnya permasalahan-permasalahan yang ada di berbagai pelosok tanah air semakin menunjukan bahwa kompleksitas ini sangat mendesak untuk diatasi bersama. Parpol yang berperan menjalankan fungsi artikulasi kepentingankepentingan yang ada di dalam masyarakat dituntut untuk mampu mengatasi keadaan ini. Sehingga kapabilitas parpol dalam mengelola isu-isu yang berkembang dalam masyarakat yang begitu kompleks sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan masyarakat kemudian dialihkan pada tataran politik yang kontitusional. Dalam mengelola isu-isu dalam lingkungan publik ini memerlukan kemampuan managerial public relations oleh parpol. Fungsi manajemen public relations diarahkan guna mengantisipasi, menganalisis, dan menafsirkan perilaku
maupun opini publik serta isu-isu yang bisa berpengaruh terhadap reputasi, pelaksanaan serta rencana organisasi partai. Hadirnya public relations dalam lingkungan manajemen parpol saat ini secara umum memang sudah ada di dalam tubuh partai. Hanya saja, pengamatan empiris menunjukan bahwa peranan public relations belum dimanfaatkan secara optimal dan strategis. Indikasi ini dapat dilihat dalam kasus-kasus tertentu yang dialami parpol, dimana sering terjadi permasalahan-permasalahan partai terpublikasikan secara tidak terorganisir dan terkoordinasi. Apabila kita cermati bersama, tidak jarang pernyataan politisi satu dengan yang lain simpang siur. Dalam komunikasi politik, hal ini dapat dimaklumi, mengingat sebuah pesan yang disampaikan sebuah parpol akan mengalami deviasi yang cukup signifikan ditataran publik. Bila kondisi ini dibiarkan, maka masalah yang dihadapi partai tidak jarang melahirkan opini yang publik yang kurang baik terhadap citra parpol. Analogi ini setidaknya mengindikasikan bahwa fungsi strategis public relations selama ini masih dianggap remeh dalam manajemen parpol maupun kehidupan kalangan pimpinan partai pada khususnya. Perubahan-perubahan lingkungan baik didalam maupun diluar partai sangat berpengaruh bagi upaya partai dalam meraih tujuan-tujuan politiknya. Oleh sebab itu, public relations mempunyai peran yang yang cukup signifikan dalam mengefektifkan organisasi partai dalam rangka membangun hubungan jangka panjang di masa depan, baik dengan konstituen partai maupun institusi lain yang ada dalam sistem politik. Public relations dituntut untuk mengantisipasi isu-isu
yang berkembang dalam masyarakat maupun internal partai agar proses komunikasi politik partai bisa berjalan dua arah, yakni antara parpol dengan masyarakat. Disamping itu, public relations diharapkan mampu mengevaluasi perilaku publik, mengidentifikasi kebijakan dan berbagai prosedur organisasi dengan kepentingan publik serta melaksanakan suatu program aksi (dan komunikasi) guna mendapatkan pemahaman publik atas program partai. Kalimat yang begitu melekat kuat dibenak masyarakat saat Orde Baru masih berkuasa adalah ”politik itu kotor”. Pemahaman politik sebagai sesuatu yang buruk tersebut berpengaruh terhadap psikopolitik masyarakat kita. Namun demikian, seiring dengan berjalannya Orde Reformasi, jargon tersebut telah mengalami perubahan yang kemudian memberi peluang kembalinya politik dalam genggaman masyarakat. Sejak itu, politik telah menjadi kebutuhan yang mulai mendominasi benak pikiran masyarakat hingga saat ini. Karenanya tak mengherankan kebangkitan partai-partai baru disambut dengan antusias oleh publik. Kelahiran partai-partai telah memberi harapan bagi sebagian kelompok masyarakat untuk menjadikannya sebagai instrumen dalam melakukan upaya mobilitas sosial ke tingkat yang lebih baik. Ditengah-tengah kelahiran partai-partai baru yang lahir pasca era Orde Baru, eksistensi partai-partai lama seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golongan Karya, Partai Amanat Nasional (PAN) mulai mendapat ”ancaman” yang tidak ringan. Terlebih partai-partai baru yang kelahirannya dimotori oleh figur-figur publik yang relatif familiar dikalangan masyarakat.
Salah satunya adalah kemunculan Susilo Bambang Yudhoyono melalui Partai Demokrat mendorong masyarakat untuk berbondong-bondong masuk ke partai baru sebagai pilihan politik alternatif. Dengan berkaca pada hasil Pemilu 2004, agaknya kita bisa melihat bahwa partisipasi publik ke partai-partai yang memiliki figur publik memperlihatkan bahwa faktor figur publik yang ada di belakang parpol telah memberi arti bagi citra partai. Tidak hanya itu, peningkatan elektabilitas partai Gerinda yang dimotori oleh sosok Prabowo pun seakan juga membuktikan bahwa hipotesis diatas benar adanya. Namun
demikian,
akankah
dengan
mengandalkan
tokoh-tokoh
dibelakang partai itu akan selamanya citra partai itu baik dan mampu menarik dukungan publik kepada partai? Fakta empiris rupanya mampu membalikan semua dugaan tersebut. Pasca Pemilu 1999 menunjukan bagaimana PAN citra PAN yang saat berkampanye mendapat dukungan tokoh-tokoh intelektual, telah menempatkan PAN sebagai partai kalangan menengah dan terdidik. Disisi lain, PAN juga sangat kuat mengumandangkan semangat reformasi dalam tatanan politik, ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana disuarakan masyarakat luas. Tetapi mengapa isu yang dikumadangkan PAN nyata-nyatanya kurang mendapat tempat pemilihnya? dengan figur Amin Rais yang juga tokoh pendorong lahirnya reformasi hanya mampu memperoleh dukungan 7.528.956 atau sekitar 7,12 % dibawah PDIP, GOLKAR, maupun PPP dan PKB. Bahkan pada Pemilu 2004, kondisi PAN jauh lebih terpuruk dibandingkan sebelumnya. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebagai partai baru, mampu mengungguli PAN yang hanya
memperoleh suara 7.303.324 atau 6,44%. Sedangkan PKS memperoleh suara 8.325.020 atau 7,34%. Tabel 1. Perolehan Suara 7 Besar PEMILU 2004 No Nama Partai 1.
Partai Golongan Karya
Jumlah suara 24.480.757
Persen
Kursi
21,58%
128
2.
Partai Demokrasi Perjuagan Indonesia
21.026.629
18,53%
109
3.
Partai Kebangkitan Bangsa
11.989.564
10,57%
52
4.
Partai Persatuan Pembangunan
9.248.764
8,15%
58
5.
Partai Demokrat
8.455.225
7,45%
57
6.
Partai Keadilan Sejahtera
8.325.020
7,34%
45
7.
Partai Amanat Nasional
7.303.324
6,44%
52
Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi jawaban diatas. Faktor kemampuan mengembangkan citra positif partai secara rasional masih saja mendapat tantangan dari nilai-nilai emosional budaya paternalistik masyarakat kita. Oleh sebab itu, tak mengherankan apabila Partai Demokrat dengan sosok SBY yang begitu melekat mampu bercokol dalam 5 besar mengungguli PKS dan PAN. Artinya, reputasi parpol di Indonesia saat ini sangat ditentukan oleh figur serta pengidentifikasian partai dengan kondisi psikopolitik sebagian besar masyarakat. Namun demikian, tak selamanya figur akan selalu menjadi “maskot” dalam membangun citra partai. Hal ini dikarenakan sosok figur akan sangat rentan dalam membangun hubungan emosional dengan konstituennya dimasa yang akan
datang. Apabila figur menghilang, reputasi partai pun tak akan menutup kemungkinan terbawa arus perubahan kepemimpinan. Belum lagi apabila pada kenyataannya figur partai itu tidak mampu bersikap konsisten dengan perjuangan partai dan konstituennya. Karenanya dimasa depan hal-hal yang sifatnya substansial yang menyangkut program serta cita-cita partai tampaknya akan lebih mendapat perhatian masyarakat luas. Untuk itu, sudah menjadi konsekuensi bagi sebuah parpol untuk sejak dini menyusun strategi khusus dalam menentukan tujuan dari program public relations nya agar citra partai tetap mendapat tempat dihati pendukungnya, meskipun figur partai nantinya telah menghilang dan tidak lagi diterima oleh masyarakat. Hilangnya figur dalam tubuh partai menempatkan posisi partai dalam masa transisi. Kewibawaan figur utama dalam partai secara berangsur-angsur juga akan surut dan berpengaruh terhadap eksistensi partai. Secara tidak langsung, ini berpengaruh pada usaha bagaimana reputasi partai tetap terjaga di mata konstituennya. Dalam kondisi transisi seperti ini, peranan public relations amat strategis untuk ditempatkan dalam garda depan organisasi partai. Kemampuan mendiagnosa permasalahan kontemporer ini akan sangat berkait dengan sejauh mana partai mampu mengidentifikasi (identity analysis) dirinya dengan permasalahan yang ada tersebut, membangun dan memelihara citra partai (image analysis), serta membangun ikatan bersama dan kesinambungan kerja partai (coherence analysis) setelah ditinggalkan figur partai. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kemampuan untuk menganalisa citra (image analysis) tentang partai. Kegiatan ini dimaksudkan untuk
membangun dan menjaga reputasi partai di mata publik. Maksudnya adalah sejauh mana partai saat ini tetap mendapat citra yang baik dimata pendukungnya sehingga ketika figur utama partai tersebut menghilang, maka nama baik partai akan senantiasa diingat oleh masyarakat. Dalam kaitan ini, sebelum figur partai mengundurkan diri dari kancah politik, manajemen partai harus merancang stategi khusus dalam membangun citra partai lewat tokoh panutan partai. Baru setelah hal tersebut dapat dilaksanakan, strategi membangun citra diarahkan kedalam lingkungan tubuh partai lainnya serta dilanjutkan keluar lingkungan partai.
Reliability
Credibility
Reputasi Partai Politik
Trustworhtiness
Responsibility
Gb. 3 - Skema Membangun Reputasi Parpol
Dalam kaitan ini pula, manajemen partai harus memahami tindak lanjut dalam membangun reputasi partai. Usaha yang telah dibangun melalui dasar kesadaran reputasi partai ini juga akan diiringi pemahaman penuh bahwa reputasi akan selalu berkorelasi dengan usaha partai membangun kredibilitas (credibility)
partai di masyarakat, program-program yang ditawarkan partai bisa dipercaya (realibility), mampu menjaga amanah publik terhadap partai sehingga layak dipercaya (trustworhtiness), serta bertanggungjawab (responsibility). Sama halnya dalam pembentukan citra, maka dalam membangun reputasinya, sebuah parpol tidak bisa melepaskan diri dari media massa. Press senantiasa mempunyai kekuatan dan peran yang signifikan dalam segala sisi skema tersebut. Sebagaimana uraian diatas, maka jelaslah bahwa program public relations partai semestinya sejalan dengan tujuan bagaimana membangun citra partai. Artinya, secara tidak langsung keberhasilan partai dalam meraih dukungan dari publik bisa berbanding lurus dengan penguatan citra partai dalam mengakomodir harapan-harapan masyarakat. Teks Media dalam Perspektif PR Media massa pada dasarnya adalah media diskusi publik tentang suatu masalah yang melibatkan tiga pihak : wartawan, sumber berita dan khalayak. Ketiga pihak itu mendasarkan keterlibatannya pada peran sosial masing-masing dan hubungan diantara mereka melalui operasionalisasi wacana yang mereka konstruksi. Kemudian, sebuah media massa dilihat sebagai forum bertemunya phak-pihak dengan kepentingan, latar belakang dan sudut pandang yang berbedabeda. Setiap pihak berusaha untuk menonjolkan basis penafsiran, klaim atau argumentasi masing-masing berkaitan dengan persoalan yang sedang dibicarakan. Kalangan pemerintah, parpol, aktivitas sosial dan pihak yang berkepentingan saling berpacu menggunakan media massa untuk menonjolkan klaim mereka terhadap sesuatu, konstruksi sosial dan definisi masing-masing
tentang peristiwa atau masalah itu. Keputusan atau kecenderungan media diantaranya juga dipengaruhi oleh sumber yang diwawancarai. Polemik yang terjadi dalam media ini bisa jadi menimbulkan efek mendukung yang dalam bentuk konkritnya adalah penggambaran positif dirinya sendiri dan penggambaran negatif pihak lawan. Dengan mengedepankan perspektif, pandangan dan pendapat tertentu, masing-masing kelompok berusaha untuk menarik dukungan dari publik. Namun, dalam proses konstruksi berita yang ada, kembali lagi kepada bagaimana media tersebut memaknai sebuah peristiwa. Sebuah teks yang dihasilkan oleh media massa, khususnya berkaitan dengan sebuah parpol, setidaknya mempunyai dua fungsi sekaligus, yakni sebagai teks media yang dapat dinikmati oleh khalayak dan sebagai teks public relations yang merupakan tujuan dari parpol sebagai upaya untuk membentuk citra kepada khalayak. Dengan adanya teks berita yang dibingkai secara positif, maka secara tidak langsung memberikan keuntungan tersendiri bagi sebuah parpol. Sehingga pembentukan citra yang dilakukan oleh parpol dapat tercapai dengan maksimal. Dalam konteks ini lah, framing dipergunakan oleh perusahaan media untuk mengkonstruksi sebuah teks yang kemudian disajikan kepada khalayak. Pemberitaan sebuah parpol, tentunya memberi dampak yang luar biasa terhadap masa depan partai tersebut. Bagaimanakah sebuah parpol tersebut diberitakan, tentunya akan bermuara pada pencitraan parpol tersebut dilakukan oleh media. Sebuah parpol yang diberitakan (baca : dicitrakan) oleh media baik pemberitaan yang positif ataupun negatif, sangat tergantung oleh pembingkaian (framing) yang dilakukan oleh media tersebut. Proses framing berkaitan dengan
persoalan bagaimana sebuah realitas dikemas dan disajikan dalam presentasi media. Oleh karena itu, dengan mempertajam kemasan tertentu tentang sebuah isu politik, sebuah parpol dapat mengklaim bahwa opini publik yang berkembang mendukung kepentingan dari parpol tersebut. Sebagai contoh, sebuah partai yang melakukan kegiatan sosial di masyarakat (pengiriman relawan, pengobatan gratis, bakti sosial, dan sebagainya), akan dibingkai dengan beraneka ragam oleh media massa yang ada. Disatu pihak, media tertentu akan menurunkan laporan yang berisi tentang kepedulian partai tersebut pada masyarakat, yang kemudian akan dicitrakan sebagai partai yang bukan hanya ”obral” janji pada saat kampanye. Namun disisi lain, media tertentu akan memberitakan bagaimana kegiatan tersebut adalah salah satu bentuk kampanye yang dilakukan oleh partai, apa yang dilakukan partai hanya untuk menarik simpati masyarakat dan citra-citra lain yang berujung pada pembentukan citra yang negatif parpol tersebut. Penghilangan dan penonjolan sebuah fakta inilah yang kemudian disebut sebagai framing. Dalam hubungannya dengan penulis berita tersebut, maka framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang secara radikal berbeda apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda ketika melihat peristiwa tersebut dan menuliskan pandangannya dalam berita. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh Walter Lipman yang dikutip oleh Bimo Nugroho, Untuk sebagian besar, kami tidak melihat kemudian merumuskan : kami rumuskan kemudian kami lihat. Kita sering kali melihat apa yang ingin kita lihat dan mendengar apa yang ingin kita dengar”. Hal ini kemudian menyebabkan
terjadinya dua realitas : ”realitas yang sesungguhnya” dan ”realitas media” (yang terbentuk oleh kerja wartawan). Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi yang besar dari pada isu yang lain. Setidaknya terdapat dua aspek yang penting dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi bahwa wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan : apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (exluded). Bagian mana yang ditekankan dan bagian mana yang dihilangkan serta bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih tersebut disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Kemudian bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu : penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, asosiasi terhadap simbol budaya. Pada tahun awal munculnya analisa ini, sebuah frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, serta menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Pada masa sekarang, konsep framing sering digunakan
untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi yang besar dari pada isu yang lain. Robert M. Entman mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi, dalam banyak hal, itu berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan. Realitas yang disajikan secara mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. Dalam kajian komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Framing digunakan dalam rangka untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Dari cara pandang ini, maka menentukan fakta yang akan diambil, kemudian bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut. Dalam melihat suatu realitas yang kontroversial dalam suatu peristiwa maupun fenomena, sebuah media tidak terlepas dari ideologi, konsep politik dan konsep budaya yang menjadi latar belakang pemberitaan. Dalam pandangan ini media dapat mendefinisikan nilai dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai yang diinginkan. Sehingga sesuatu yang tidak terlihat dalam media jika diamati lebih
jauh akan memperlihatkan sesuatu yang dipandang menyimpang dan bukan sesuatu yang alamiah lagi dan disinilah analisis framing itu berperan. Disamping beberapa prinsip yang disebutkan diatas, menurut Sutisna, sesering dan sebaik apapun aktivitas public relations tidak akan ada artinya tanpa ada dukungan dari media massa, dalam hal ini pers. Seandainya aktivitas tersebut tidak didukung oleh media massa maka kegiatan tersebut hanya akan mempunyai pengaruh pada kelompok masyarakat dimana aktivitas tersebut dilakukan. Untuk mendapatkan dukungan dari media massa, jalinan yang erat dengan media massa tidak boleh diabaikan. Hal ini penting, agar ketika aktivitas public relations dilakukan publikasi bisa dilakukan dengan mudah. Daftar Pustaka : Charles J Fombrun, Reputation Realizing Value From The Coporate Image (Boston : 1996) dalam Politik, Demokrasi dan Manajemen Komunikasi (Yogyakarta : 2002), Editor : Suwardi, et al, hal 159. Eriyanto, 2005, Analisis Framing, Yogyakarta : LkiS. Hasil Pemilu Legislatif 2004, http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilu_2004, diakses tanggal 15 Juli 2006 Kasali, Rhenald, 2000, Manajemen Public Relations : Konsep dan Aplikasinya di Indonesia , Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti. Nugroho, Bimo, dkk, (tidak bertahun), Politik Media Mengemas Berita, Yogyakarta : ISAI. Sobur, Alex, 2001, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Sudibyo, Agus, 2006 (Cetakan Kedua), Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta : LKiS Suryawan, Yusi, 2004, Berita Menjelang Pengunduran Diri Susilo Bambang Yudhoyono dari Kabinet Gotong Royong (Analisis Framing Berita Di
Harian Jawa Pos Edisi 1 - 12 Maret 2004), Skripsi Sarjana FISIP UMM, Malang. Suwardi, Harsono, dkk (ed), 2002, Politik, Demokrasi dan Manajemen Komunikasi, Yogyakarta : Galang Press. Venus, Antar, 2004, Manajemen Kampanye : Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi, Bandung : Remaja Rosdakarya.