PEMAKNAAN AGAMA TERHADAP SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT BILIPU- ABBUMPUNGENG BONE- SULAWESI SELATAN
Abdillah*
Abstraks: Islam is able to thought in two aspects, namaly, as god religion and culture. God religion which is aimed to this writing is religion which is completed by Alquran book, as people of Bilipu, Abbumpungeng village believing. While, as culture religion is people’s believing system of Bilipu, Abbumpungeng. Its religion experience has already contaminated animism believing before Islam came to Indonesia. Seemingly, the people of Bilipu religous not easy (simple) to isolate beetwen Islam doctrine and animism which is believed from thiers great-grenfather. It is able to pictured if there is moment, like, wedding party, circumcision. The rituals are also seen when the people who acted as picturing and appreciating with doing the ritual in the type of reactual. Keywords: Society, Local religion, and Believing system
Pendahuluan Istilah agama apabila ditinjau dari sudut pandang bahasa Indonesia, maka kata agama dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu a berarti tidak dan gama berarti kacau. Jadi, agama berarti tidak kacau. Secara linguistik kebahasaan agama dapat diartikan bahwa suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Sedangkan kata religi yang terambil dari bahasa Inggeris yaitu religion yang berarti mengumpulkan atau mengikat. Hal ini dapat dimaksudkan sekumpulan manusia yang diikat oleh suatu ikatan itulah yang disebut religi atau agama. Koentjaraningrat seorang antropolog Indonesia, dalam setiap tulisannya selalu membedakan antara agama dan religi. Istilah agama digunakan untuk menyebut agama-agama besar, sedangkan religi digunakan untuk menyebut agama masyarakat primitif atau agama-agama suku, atau ia terkadang menganggap bahwa religi itu bahagian dari amalan agama. Hal ini dapat terlihat dalam setiap karyanya tentang agama atau religi. Lebih lanjut Koentjaraningrat menguraikan bahwa dalam kenyataannya masyarakat akan kita lihat adanya bentuk-bentuk religi tersebut yang hanya merupakan unsur-unsur saja yang akan selalu tampak tercampur dan terjalin erat dalam aktifitasaktifitas keagamaan dalam masyarakat.1 Koentjaraningrat juga menegaskan bahwa istilah agama digunakan untuk menyebut agamaagama resmi yang diakui oleh negara.2 Sedangkan agama-agama yang hidup pada beberapa suku di Indonesia sebagai agama asli, tidaklah dianggap sebagai suatu agama, tetapi sebagai suatu aliran kepercayaan atau golongan penghayat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Koentjaraningrat barangkali mengikuti pandangan yang membedakan antara agama budaya dan agama wahyu. Padahal EvansPritchard menegaskan bahwa dikotomi agama budaya dengan agama wahyu sebenarnya palsu dan hanya mengelirukan.3 Dari segi makna, Paassen mengemukakan bahwa istilah agama di Indonesia harus dibedakan pemahamannya. Ada dua makna yaitu agama dalam arti politik dan agama dalam arti ilmiah. Agama Guru SMK Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. E-mail:
[email protected].
*
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta:UI Press, 1987), h.254. Evans Pritchard, Theories Of Primitive Religion, (New York:Oxpord University Press, 1987), h.10. 3 Ibid, h.10. 1 2
46
Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 45-54
dalam arti politik dijelaskan bahwa suatu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kepercayaan terhadap segala ajaran, kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu, yang diakui oleh pemerintah di Indonesia. Sementara agama dalam arti ilmiah adalah kepercayaan kepada Dewa, serta dengan ajaran, kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Dalam hal ini, Agama dalam konsep ilmiah menurut passen sejalan dengan pandangan Koentjaraningrat tentang kepercayaan masyarakat terhadap adanya obyek keramat (sakral) yang sebenarnya tidak lain hanya merupakan suatu lambang yang dipahami masyarakat sebagai obyek keramat yang biasa dikenal dengan istilahtotem.Totem itu sendiri boleh berupa bintang atau apa saja yang menjadi obyek sakral dan berfungsi untuk mengkonkritkan prinsip totem yang ada dibelakngnya, sementara prinsip totem itu sendiri adalah suatu kelompok tertentu di dalam masyarakat berupa klan. Komponen kedua dalam suatu agama adalah sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan agama dapat mendorong orang berperilaku serba-agama. Pikiran dan gagasan manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud alam gaib (kosmologi), tentang terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), tentang zaman akhirat, tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, roh jahat, hantu, dan makhluk halus lainnya. Artinya tidak satupun disebut agama jika tidak memiliki kepercayaan terhadap kekuatan yang bersifat supranatural dan mewujudkan upacara amal sebagai manifestasi dari suatu kepercayaan. Hal ini terjadi pada masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng. Masyarakat Bilipu adalah masyarakat Bugis yang tinggal di Wilayah kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Masyarakatnya 100% memeluk agama Islam. Walaupun Islam telah menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat Bilipu, akan tetapi dalam prakteknya masih diwarnai dengan ritualritual yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Bilipu sulit membedakan antara adat dengan ajaran agama itu sendiri. Mungkin ini salah satu imbas dari strategi dakwah yang diterapkan Tri Datok dalam menyebarkan agama Islam di Sulawesi Selatan yang tidak mengadakan perombakan terhadap pranata-pranata adat yang ada sebelum masuknya Islam di Sulaewsi Selatan. Implikasinya adalah masyarakat Bilipu dalam pengamalan beragamanya sulit membedakan antara adat dengan ajaran agama Islam itu sendiri. Sebahagian masyarakat Bilipu masih menggantungkan hidupnya kepada sakralitas bendabenda dan tempat-tempat tertentuyang masuk dalam wilayah supranatural. Supranatural dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu supranatural yang asalnya bukan manusia dan supranatural yang menjelma dari manusia itu sendiri. Supranatural merupakan dunia gaib yang tidak bisa dijangkau oleh alam pikiran manusia. Oleh karena manusia tidak boleh memasuki dunia supranatural disebabkan karena keterbatasan pancaindera dan akalnya, maka manusia pada akhirnya sadar sekaligus mempercayai bahwa dunia gaib itu didiami oleh berbagai makhluk dan kuasa alam yang tak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara biasa. Masyarakat Bilipu selalu mencari kekuatan hakiki yang menguasai hidupnya dan semua alam yang ada disekelilingnya. Selain itu, masyarakat Bilipu mengapresiasikan keyakinanya terhadap kekuatan supranatural melalui ritus atau upacara amal. Sistem ritus atau upacara amal dalam kepercayaannya berwujud pada aktifitas dan tindakan masyarakat Bilipu dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lainnya, dan dalam usahanya berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni gaib lainnya.Semua kelakuan agama tergambar dengan jelas dalam ritualnya. Begitu pula dengan nilai keyakinan terhadap agama dinampakkan dalam upacara amal dan ritual agama itu sendiri yang akan diuraikan dalam pembahasan. Mengacu kepada latar belakang masalah, maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah bagaimana sistem kepercayaan masyarakat Bilipu di Desa abbumpungen dalam memaknai ajaran agama Islam di Desa Abbupungeng.
Abdillah, Pemaknaan Agama terhadap Sistem Kepercayaan Masyarakat
47
Kepercayaan Agama Masyarakat Bilipu dalam Perspektif Antropologi Banyak pakar yang telah memberikan definisi dan pengkajian tentang agama, diantaranya: Durkheim menjelaskan bahwa agama adalah sistem kepercayaan dan amalan yang bersepadu dan berkaitan dengan benda-benda yang kudus, yaitu benda-benda yang diasingkan dan dianggap mempunyai kuasa yang dapat menyatukan semua ahli masyarakat ke dalam suatu komuniti moral, yaitu bendabenda yang diasingkan dan dianggap mempunyai kuasa dan dapat menyatukan semua ahli masyarakat kedalam suatu komuniti moral atau tempat beribadah. Berdasarkan dari definisi ini agama dianggap sebagi suatu yangkolektif dan secara nyata adalah produk sosial yang bertujuan untuk mempersatukan ahli masyarakat kedalam suatu komuniti moral. Didalam acara yang kudus (sacret) dan ada yang profan. Kudus disucikan dan dianggap sebagai ekspresi simbolik dari realitas sosial, kemujudan memiliki suatu kualitas transendental, sedangkan profan adalah kebalikan dari sakral yang sesuatu yang biasa saja. 4 Geertz menyatakan bahwa agama adalah: 1). sistem yang terdiri dari berbagai simbol, 2) mewujudkan dalam diri manusia suatu perasaan dan rangsangan yang kuat, menyeluruh dan berkepanjangan melalui, 3) pembentukan kesadaran terhadap kewujudan satu bentuk aturan umum yang tertib dan teratur yang berkaitan dengan kehidupan, serta 4) menyelubungi kesadaran tersebut dengan satu bentuk aura yang kelihatan betul-betul berwibawa, 5) perasaan dan rangsangan tersebut seolah-olah mempunyai kebenaran yang sangat unik dan istimewa.5 Definisi yang dikemukakan Geetz ini dapat dimaknai bahwa dalam kehidupan sosial beragama ada berbagai simbol yang wujud. Simbol-simbol ini sebagai suatu konsep yang hidup dalam pikiran setiap pengikut agama. Dengan simbol itu suasana hati terasa tenang, nikmat, merasa stabil, khidmat dan rasa keterarahan dengan penuh bakti, menimbulkan motivasi-motivasi yang kuat. Suatu motivasi adalah suatu kecenderungan yang tahan lama, suatu kecondongan yang terus menerus muncul untuk menampilkan jenis tindakan-tindakan tertentu dan megalami perasaan tertentu dalam situasi-situasi tertentu. Geertz menyatakan bahwa simbol-simbol sakral itu membentuk iklim dunia dengan menarik si penyembah keseperangkat disposisi-disposisi tertentu, seperti kecenderungan-kecenderungan, kemampuan-kemampuan, kewajiban-kewajiban dan kebiasaankebiasaan yang memberi satu ciri tetap pada arus kegiatannya dan pada kualiti pengalamannya. Suasana hati yang disebabkan oleh simbol-simbol keramat, pada masa dan tempat yang berbeda-beda, berturut-turut dari tempat kegembiraan yang meluap-luap sampai ke kesedihan yang mendalam, dari keyakinan diri sampai kerasa kasihan terhadap diri sendiri. Geertz melihat agama sebagai fakta budaya saja, bukan semata-mata sebagai ekspresi keperluan sosial atau ketegangan ekonomi. Melalui simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaan, ditemukan adanya pengaruh agama dalam setiap aktifitas masyarakat Bilipu. Sejalan dengan hal ini, Koentjaraningrat adalah seorang antropologis yang terkenal di Indonesia menegaskan bahwa, ada Lima komponen agama dan ini juga terdapat dalam masyarakat Bilipu diantaranya: 1). Emosi Keagamaan, 2) sistem keyakinan, 3) sistem ritus dan upacara, 4) peralatan ritus dan upacara, dan 5) ummat agama (beragama).6 Emosi keagamaan adalah suatu keinginan dalam jiwa manusia yang dapat memotivasi manusia untuk melakukan aktivitas keberagamaan. Emosi keagamaan ini tidak selalu ada dalam diri setiap manusia, terkadang hanya sekejab saja. Untuk dapat bertahan, maka harus dipelihara dengan cara melakukan kontraksi masyarakat berupa upacara seperti yang dilakukan masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng. Upacara ini menurut Durkheim merupakan cara bertindak yang wujud ditengah-tengah kelompok yang berkumpul itu dan dipersiapkan untuk membangkitkan, melestarikan, atau menciptakan kembali keadaan mental tertentu dalam kelompok Emile Durkheim, The Elementary Forms Of The Religious Life, Terj. Joseph Ward Swain, (London: George Allen &Unwin,
4
1976), h.47. 5 Clifford Geertz, Interpretation Of Cultures, (New:York, Basic Books,1973), h.90. 6 Koentjaraningrat, Op.cit, h.80.
48
Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 45-54
tersebut.Yang paling penting adalah gairah yang ditimbulkan oleh kehidupan kolektif didalam diri seorang individu.7 Koentjaraningrat mengikut Rudolf Otto dan Soderblon yang menguraikan bahwa emosi keagamaan itu berupa “Sikap kagum-terpesona terhadap hal-hal yang gaib serta keramat”, yang pada hakikatnya tak dapat dijelaskan dengan akal manusia karena berada diluar jangkauan kemampuannya. Emosi keagamaan adalah sikap “takut bercampur percaya“ kepada hal-hal yang gaib dan keramat. Koentjaraningrat menegaskan bahwa komponen emosi keagamaan inilah yang merupakan komponen utama dari suatu gejala agama yang membedakan suatu sistem agama dengan semua sistem sosial budaya yang lainnya dalam masyarakat Bilipu. Pangkal agama merupakan suatu emosi atau suatu getaran jiwa yang timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal yang luar biasa, diantaranya gejala-gejala alam tertentu yang tidak dapat diterjemahkan dengan akalnya. Disamping ituemosi keagamaan adalah semacam nada atau kualiti perasaan yang muncul semasa menjadikan sesuatu itu sakral.Selain itu emosi keagamaan juga merupakan getaran jiwa sebagai sebuah perasaan berkobar, kegairahan, ketakjuban, dan berada dalam keadaan hati yang khusuk. Karenanya, emosi keagamaan merupakan sejenis perasaan batiniah dalam setiap melakukan yang serba agama dan menjadikan segala hal yang berhubungan kelakuan keagamaan itu menjadi sakral, tanpa memandang perbedaan tempat dimana dilakukan, orang maupun benda akan menjadi sakral. Dari pendapat para pakar antropologi yang mendefinisikan dan menafsirkan perasaan beragama dalam masyarakat akan dijadikan sebagai barometer untuk melihat profil religiusitas masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng dalam memaknai sebuah agama. Konsep Kepercayaan Masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng Di dalam diri manusia terdapat suatu potensi yang senantiasa mendorong melakukan kegiatan untuk mencapai kepuasan hidupnya. Dalam tuntutan pemuasan tersebut antara naluri dengan jasmani terdapat stimulus yang berbeda. Kebutuhan jasmani merupakan kebutuhan interen pada seseorang, berbeda dengan naluri yang muncul karena adanya pemikiran yang dapat mempengaruhi perasaan. Atau boleh jadi berhadapan dengan suatu kenyataan yang dapat diindera sehingga muncul perasaan untuk memenuhinya. Dalam konteks kefitrahan, naluri beragama ada pada setiap diri manusia yang senantiasa membutuhkan pertolongan dari “sang pencipta”, tanpa memandang siapa yang dianggap pencipta itu. Perasaan ini muncul sebagai salah satu bagian dari penciptaan manusia yang disebut perasaan beragama atau tadayyun. Tadayyun dalam perwujudannya membutuhkan adanya perasaan taqdis (pensucian) baik dalam bentuk yang hakiki (ibadah) maupun dalam gambaran yang sederhana berupa kultus atau pengagungan. Taqdis dalam bentuk pengkultusan agaknya sejalan dengan kepercayaan masyarakat Bugis pra Islam dapat dilihat dalam tiga bentuk: 1. Kepercayaan terhadap arwah nenek moyang 2. Kepercayaan terhadap banyaknya dewa 3. Kepercayaan terhadap pesona-pesona jahat. Ketiga bentuk kepercayaan tersebut muncul dalam bentuk tanda-tanda, kata-kata, dan berbagai sarana simbol yang melahirkan pemujaanatau cult. Pemujaan itu sendiri berupa ungkapan perasaan, sikap dan hubungan sebagaiman yang dinyatakan Malinowski bahwa perasaan, sikap dan hubungan ini diungkapkan tidak memiliki tujuan selain dalam dirinya sendiri. Tindakan mereka berupa pengungkapan pemujaan yang mempunyai nilai misteri yang dinalarkan secara penuh sebagai sesuatu yang melekat dalam diri mereka.8 Hubungan dalam proses pemujaan itu Durkheim, Op.Cit, h.10. Thomas, F.O’deo, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, terj, (Yogyakarta: Raja Grafindo persada, 1983), h.23.
7 8
Abdillah, Pemaknaan Agama terhadap Sistem Kepercayaan Masyarakat
49
merupakan hubungan dengan obyek suci. Sementara, dalam hubungan antara sesama anggota, antar anggota dengan pemimpin, merupakan hubungan yang implisit dalam tindakan pemujaan itu sendiri. Ritual keagamaan tidak hanya tampil sebagai suatu pengalaman filosofis atau intelektual, tetapi juga melibatkan perasaan dan tindakan manusia yang tidak dapat diikuti oleh pemujaan dalam bentuk penonjolan keyakinan semata, akan tetapi tampil sebagai tindakan yang kaya akan corak suatu karya seni. Ritual keagamaan demikian itu dilakukan dalam bentuk nyanyian, doa-doa, perjamuan suci dan pengorbanan. Kesemuanya itu dimaksudkan bukan untuk tujuan praktis dan solidaritas sosial. Kalaupun solidaritas muncul dalam kenyataannya itu hanya merupakan salah satu efeknya saja, tetapi esensi mitos maupun ritual tampil sebagai tujuan yang hakiki. Dalam aspek kepercayaan masyarakat Bilipu terhadap arwah nenek moyang yang dilakukan dengan pemujaan terhadap tempat,9 benda-benda tertentu dan kuburan. Pemujaan terhadap kuburan dilakukan pada kuburan orang-orang tertentu yang mereka anggap berjasa pada masyarakat, baik karena mereka pernah memberikan sumbangan dalam membangun pemukiman atau karena semasa hidup mereka dianggap sebagai tokoh rohaniawan dalam masyarakat. Kuburan10 mereka dianggap keramat dan arwahnya dapat memberi berkah. Kepercayaan semacam ini berlanjut sampai sekarang. Bentuk penyembahan yang dimaksudkan tersebut dapat dilakukan dengan cara menyiapkan sesajen berupa songkolo11, buah-buahan dan berbagai macam binatang12, upacara ritual Tempat penyembahan dimaksudkan untuk memberikan sesajen kepada:
9
A. Fammanang Tana (Yang punya kampung) atau roh yang terdapat pada setiap kampung. Biasanya roh ini bersemayam di lereng gunung, batu besar, dan pohon yang rindang dan angker(aju ara). Untuk memberikan sesajen kepada roh fammanang tana maka masyarakat mendirikan sebuah rumah kecil atau hanya sekedar disimpan disuatu tempat yang dipercayai sebagai tempatnya roh tersebut. B. Fangngonroang Bola (penjaga rumah) yang biasa dianggap sebagai malaikat rumah atau roh yang terdapat pada setiap rumah yang dapat menolong atau sebaliknya bisa mengganggu penghuninya. Roh ini bersemayam pada tiang bahagian tengah rumah yang disebut fosi bola. Untuk menjaga agar fangngonroang bola tidak mengganggu penghuni rumah, maka sebelum rumah dibangun terlebih dahulu tiang tengah harus diberikan tanda (biasanya dibungkus dengan kain berwarnah putih). Sesajian dibuatkan lagi pada setiap rumah akan didirikan sampai rumah itu ditempati sekurang kurangnya diberi sesajen dalam waktu sekali seminggu. Disamping itu setiap ada acara dirumah tersebut maka fosi bola diberikan sesajen yang diletatkkan di fosi bola yang disesuaikan dengan acara. Anak-anak dilarang mendekati fosi bola tersebut, karena bisa mendapat teguran yang menyebabkan ia sakit. C. Fangngonrog salo (Penjaga sungai) atau roh yang terdapat pada sungai yang dapat mengganggu sehingga manusia menderita penyakit yang bermacam-macam. Bentuk ritual dilakukan sesuai dengan hajatan masyarakat dengan membawa sesajen kesungai. Ritual ini biasa diistilahkan dengan mappano. Ritual untuk disungai dilakukan oleh masyarakat yang punya keturunan atau pernah melahirkan seekor buaya, dan setelah lahir dikembalikan kesungai. Oleh karena itu setiap ada hubunga keluarganya yang punya hajatan maka wajib untuk memberikan sesajian agar setiap hajatannya bisa berjalan lancar. D. Roh yang terdapat pada sawah atau koko. Posisi roh ini hampir samadengan pammanang tana, Cuma ditempatkan pada sawah atau kebun. Untuk menjaga agar roh tersebut tidak mengganggu tanaman, maka perlu dilakukan ritus dengan menyediakan sesajen pada waktu tertentu yang biasanyadimulai ketika sawah akan dikerjakan sampai selesai panen. Sesajen yang disiapkan berisi rekko (Daun siri dengan model khusus), kue tradisional (onde-ond dan afang), songkolo (ketan putih dan ketan hitam) yang disertai dengan ayam sebagai pelengkap (nasu likku), dahung-dahung (kemenyang yang dibakar dengan gula pasir). Posisi sesajenini biasanya diletakkan disudut sawah. 10
gunung). Kuburan tersebut adalah pemimpin (rohaniawan)tersebut dianggap keramat dan dijadikan sebagai tempat untuk bernazar. Apabila nazarnya tercapai maka mereka akan kembali untuk mempersembahkan sesajen sesuai dengan perjanjiannya pada saat mereka datang bernazar dikuburan itu. Bahkan ada masyarakat yang memang sudah menganggap bahwa membawa sesajen ke puncak bulu tanah tersebut sudah dianggap wajib hukumnya apabila menyelenggarakan sebuah pesta. Ada sebuah perasaan takut akan terjadi sesuatu termasuk kegagalan dalam penyelenggaraan hajatan jikalau tidak membawa sesajen. Bentuk sesajen yang disiapkan disesuaikan dengan hajatannya. 11Songkolo sejenis nasi yang terbuat dari beras ketan dengan aneka warna seperti songkolo hitam dan songkolo putih. Songkolo ini ditata dengan rapi di atas piring yang biasanya dilakukan oleh orang tua yang berpengalaman, kemudian diletakkan pada tempat yang disakralkan itu (batu nisan). pada saat penataan songkolo juga disertakan manu nasu likku makkaju (ayam masakan likku/masakan tradisional masyarakat Bilipu yang masih utuh). Disamping itu juga ditata bersama dengandoang (udang), bukkang(kepiting),ittello manu kampong(telur ayam kampung) dan utti lampe (pisang Ambon), Disamping itu dalam kasus tertentu yang punya hajatan juga biasanya melepaskan manu bolong puppu makkalabini (sepasang ayam berwarna hitam pekat). Uniknya masakan ini tidak bisa dinikmati oleh siapapun juga sebelum dipersembahkan dalam bentuk sesajen. 1 Binatang yang biasanya dipersembahkan berupa kerbau, sapi, kambing dan ayam. Baik yang sudah dimasak maupun dalam 2
keadaan hidup dipersembahkan ketempat yang sakral itu, tergantung dari motif penyembahannya.
Ada kuburan yang sering didatangi masyarakat Bilipu bahkan ada juga dari masyarakat luar yang terletak di bulu tanah (di puncak
50
Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 45-54
biasanya dipimpin oleh salah seorang bernama sanro.13 Penyembahan terhadap banyaknya dewa pada masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng, nampaknya merupakan fenomena alam yang dimanusiakan. Hal ini sejalan dengan pandangan Max Muller tentang mitos alam bahwa, manusia dalam kehidupannya selalu mempunyai kecenderungan untuk berhubungan denganh Tuhan, atau sesuatu yang bersifat abadi (The infinite) yang kesemuanya itu terbentuk dari pengalaman inderawi. Dalam persoalan kepercayaan masyarakat senantiasa melalui proses penginderaan atau diistilahkan oleh Muller dengan “Nihil In Fide Quod Non Ante Fuerit In Sensu” tiada kepercayaan sebelum penginderaan”.14 Kepercayaan akan dewa(dewata) yang terdapat pada benda yang tak dapat diraba15 kapasitasnya hanya dapat memberikan ide kepada manusia tentang nilai-nilai kesakralan (The infinite), atau boleh jadi sekedar pelengkap materi-materi untuk mencapai pemahaman tentang Tuhan. Proses munculnya idea tentang Tuhan pada awalnya melalui pengkiasan dalam bentuk simbol, yang menyebabkan benda tersebut kehilangan makna hakikinya dengan jalan mentokohkannya sebagai dewa. Prosesi ini menurut Muller menjadi penyakit bahasa yakni dari kata nomina (nama) menjadi numina (sesuatu yang ditakuti).16 Ada juga salah satu tradisi yang berkembang dalam masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng, seperti pada saat membangun rumah baru, seorang uragi bola biasanya menentukan tanah yang akan ditempati. Pembangunannya diawali dengan meletakkan sesajian, atau menanam kelapa yang sudah dibela dua kemudian diisi dengan daun-daun dan kayu yang menurut uragi bola17 dapat memberikan manfaat bagi tuan rumahnya. Selain itu juga bertujuan untuk memberikan makanan kepada roh nenek moyang mereka dan menolak malapetaka yang mungkin akan menimpa rumah itu. Interaksi antara uragi bola dengan tuan rumah bukan hanya bersifat temporal saja, akan tetapi berlangsung secara terus menerus. Bahkan, setiap tuan rumah mau melakukan hajatan dalam bentuk apapun, maka tuan rumah harus memanggil uragi bolanya untuk mabbaca-baca (mengirimakan doa) agar kelak hajatan yang dilakukan itu bisa berjalan dengan sukses tanpa ada gangguan dari pangngonroang bolanya(dewa penunggu rumah).Setelah itu tuan rumah harus membawakan makanan kerumah uragi bola beserta dengan uang sesuai dengan bentuk hajatnnya sebagai tanda terima kasih. Kebiasaan ini terjadi secara natural dan terpola sebagai suatu kebudayaan tanpa ada sebuah ikatan dan perjanjian diantara keduanya. Hal ini merupakan kebiasaan lama masyarakat Bilipu di desa Abbumpungeng yang masih berkembang sampai sekarang. Selain itu, masyarakat Abbumpungeng juga percaya tentang keberadaan Pallohe. Pallohe adalah semacam sesembahan masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng yang dipelihara oleh orang tua yang terpilih untuk meneruskan untuk mappakaraja pallohe (memelihara dan memakmurkan sesembahan) yang diwarisi secara turun temurun. Pallohe tersebut adalah kumpulan dari patungpatung yang terbuat dari kapok yang telah dibungkus dengan kain kemudian dijahit dan didesain yang menyerupai orang kemudian disimpan di rakkeange (Langit rumah panggung) dengan dibuatkan rumah-rumah kecil kemudian dipasangi dengan kelambu. Disamping itu juga disiapkan bempa (tempayang) kemudian diisi dengan air sehingga semua keturunannya baik yang dalam keadaan sakit maupun yang melaksanakan proses hajatan maka wajib untuk datang mengunjungi pallohe tersebut dengan membawa sesajian dan setelah kembali maka yang punya pallohe memberikan air yang ada didalam bempa (tempayang)tersebut. Tujuannya adalah, bagi orang sakit sebagai obat 1
Sanro(dukun) berfungsi untuk: 1. memimpin upacara atau ritual.2. Menjaga tempat-tempat yang sakral, 3. Mengatur dan
3
melayani upacara sesajian. 1 4 1 5 1 6 1
7
E.E.Evans Pritchard, (Yogyakarta: PLP2M, 1984), h.28. Teori-teori Tentang Dewa pada benda yang dimaksudkan adalah matahari, bulan, bintang dan bumi. Agama Primitif, terj E.E. Evans Pritchard, Teori...., h.29. H.A.Ludijito, Uragi bola/panrita bolaadalah seorang ahli adat yang punya keahlian supranatural dan dipercaya oleh masyarakat Bilipu di desa Abbumpungeng untuk memberikan doa-doa pada saat rumah itu dibangun, dengan harapan agar melalui do’a tersebut tuan rumah sekeluarga bisa selamat dunia dan akhirat dan rumah ini bisa ditempati dengan baik untuk mencari rezeki.
Abdillah, Pemaknaan Agama terhadap Sistem Kepercayaan Masyarakat
51
untuk menyembuhkan penyakitnya, sementara bagi yang sedang hajatan tujuannya adalah agar mereka kelak acara hajatannya itu bisa berjalan tanpa ada hambatan sekaligus minta restu dari roh nenek moyang. Bentuk kepercayaan ini terformat dan berlangsung sampai sekarang. Bagi masyarakat yang sudah percaya dengan keberadaan Pallohe tersebut kelihatnnya sulit membedakan apakah ritual yang dilakukan ini sesuai dengan ajaran Islam atau hanya budaya yang turun temurun dari nenek moyangnya. Bahkan ironisnya, setiap ada hajatan bagi masyarakat yang percaya dengan pallohe maka dia mendatangi tempat itu untuk bernazar dan meminta agar apa yang dicita-citakan atau apa yang dihajatkan itu bisa tercapai. Apabila mereka berhasil maka wajib hukumnya untuk kembali mengunjungi pallohe tersebut dengan membawa sesajen sebagai bentuk persembahan dan tanda terima kasih kepada pallohe yang telah mengabulkan keinginannya. Implikasi dari kepercayaan ini menurut penulis sudah termasuk musyrik karena seakan-akan pallohe dianggap memiliki kekuasaan yang lebih dari pada kekuasaan yang dimiliki oleh Allah SWT. Disamping itu masyarakat yang mempunyai keinginan dan harapan kepada Allah terkesan harus`melalui perantara Pallohedulu bukan ditujukan langsung kepada Allah SWT. Terbukti pada saat berlangsung acara ritual dalam memberikan sesajen kepada pallohe ternyata didahului dengan basmalah dan dilanjutkan dengan surat al-fatihah kemudian diikuti dengan doa-doa yang sesuai dengan harapan pemujanya. Upacara yang berkaitan dengan peralihan hidup manusia dari satu tahap ketahap berikutnya juga disakralkan oleh masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng. Upacara ini biasanya dalam antropologi dinamakan Rites Of passage atau rangkaian upacara inisiasi.18 Upacara ini dilakukan untuk mensucikan situasi kritis dalam kehidupan manusia.19 Kelahiran merupakan saat yang membahagiakan dalam kehidupan, sebab peristiwa ini menandai kehadiran anggota baru dalam keluarga. Karena itu kelahiran disambut dengan berbagai upacara atau ritus seperti maddukkaju (Aqiqah) pada saat bayi masih berumur 7 hari. Bagi orangtua yang kurang mampu maka maddukkaju (aqiqah) hanya dengan jalan menyembelih ayam saja bukan kambing dengan jumlah ekor beserta songkolo yang disesuaikan dengan kemampuannya. Selain kelahiran, perkawinan juga merupakan fase penting dalam kehidupan manusia, sebab peristiwa ini merupakan peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa. Masyarakat Bilipu di Desa Abbumbungeng mensakralkan peralihan ini bukan saja dalam arti biologis, melainkan secara sosologis menunjukkan adanya tanggung jawab bagi kedua mempelai dengan suatu ikatan batin untuk membentuk kehidupan baru. Karenanya, perkawinan dianggap suci dan harus dilakukan dengan penuh khidmat dan kebanggaan. Terjadinya perkawinan, merupakan langkah untuk mendekatkan dua keluarga menjadi satu ikatan yang lebih besar. Keluarga ini merupakan idaman bagi orang tua untuk hati-hati dalam memilih jodoh bagi anak gadisnya. Kamudian, Setiap cara yang ditempuh itu, selalu mempunyai alasan-alasan tertentu yang bertumpuh pada tradisi budaya dan kecenderungan untuk mempertinggi martabat keluarganya. Dalam perkawinan, perkawinan dengan sistem peminangan merupakan suatu upacara yang disenangi. Perkawinan ini menggunakan waktu yang cukup lama dan dana karena melalui beberapa tahap20 Upacara akad nikah, biasanya diawali Joachim Wach, Types Of Religious experience, Criastian And non-Christian, (Chicago: University Of Chicago, 1952), h.42. 1 Situasi kritis dapat dilihat pada awal masa kelahiran, perkawinan, dan kematian. 1 8
9 20
pihak laki-laki datang ke rumah perempuan untuk mengetahui kondisi calon perempuan yang akan dilamar dan keluarganya (perkenalan keluarga kedua belah pihak), 2. Tahap kedua: Madduta (Melamar) yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita, 3. Tahap ketiga: mette/mappaendre doi, berupa kunjungan pihak laki-laki kepada pihak perempuan dengan membawa emas (berupa cincin, anting, gelang dan kalung), uang belanja dan beberapa jenis kue dalam bossara (jumlah bossara ditentukan oleh kasta kedua mempelai) serta dalam acara tersebut sekaligus menentukan hari akad nikah dan pestanya. Apa yang menjadi bawaan pihak laki-laki disesuaikan dengan kesepakatan dengan pihak perempuan, 4. Tahap keempat: Mapparola, adalahacara inti atau hari pesta perkawinan dimana mempelai
laki-laki diantar kerumah mempelai wanita dengan membawa seperti yang tahap ketiga tadi kecuali uang belanja. Pada tahap tersebut berlangsung akad nikah dan dilanjutkan acara resepsi, 5. Tahap kelima: mabbenni tellu, dimana pihak laki-laki datang kerumah pihak perempuan untuk memanggil mempelai wanita untuk datang bermalam di rumah mempelai laki-laki.
Ada 5 tahap dalam menyelenggarakan perkawinan pada masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng: Tahap pertama: mappese-pese,
52
Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 45-54
dengan acara mappaccing21 pada malam harinya sebagai simbol akan kesucian lahir dan batin bagi kedua mempelai. Pada aspek lain, Kematian merupakan peralihan hidup manusia dari alam nyata ke alam ghaib yang bersifat misterius. Banyak ritus yang dilakukan untuk mengiringi kematian itu, yang kesemuanya memiliki makna keselamatan pada si mayat dan keluarganya yang ditinggalkan. Selanjutnya, Menurut kepercayaan pra-Islam, seorang yang meninggal dunia mayatnya harus dijaga agar rohnya tidak mengganggu orang yang masih hidup. Kepercayaan ini menyebabkan keluarga si mayat harus terjaga malam sebelum mayat itu dikebumikan. Keluarga-keluarga lainnya pun biasanya memperlihatkan solidaritasnya dengan ikut berjaga malam. Tradisi jaga malam ini diwarnai dengan bermain kartu untuk mengusir kantuk. Sekarang acara kematian lebih banyak ditampilkan cara-cara pelaksanaan menurut Islam dari pada adat. Upacara adat dapat terlihat pada acara pengambilan hari ketujuh, hari keempat puluh, bahkan bagi orang kaya dapat diperingati sampai hari keseratus dari kematiannya. Pelaksanaan upacara ini diisi dengan tadarrus al-qur’an yang dilakukan secara bergilir sampai tammat mulai dari hari pertama sampai hari ketiga yang setelah tadarrusan maka dirangkaikan dengan takziah. Pada saat hari ketujuh maka keluarga si mayat menyembelih binatang seperti sapi, kerbau atau kambing bahkan ayam saja bagi keluarga yang kurang mampu untuk dirangkaikan dengan acara mattampung.22 Kepercayaan akan makhluk-makhluk halus bagi masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng timbul dari kesadaran animisme tentang jiwa (soul) yang menempati seluruh alam. Makhlukmakhluk halus dalam kepercayaan masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng ada yang bersahabat dengan manusia, dan juga ada yang jahat yang menyebabkan terjadinya malapetaka bagi manusia. Makhluk halus yang jahat diistilahkan oleh Abu Hamid sebagi pesona-pesona jahat yang terdiri dari parakang, peppo dan tujua23. Perubahan wujud pada manusia tersebut seperti peppo dan parakang dilatarbelakangi oleh adanya ilmu yang dipelajari dari seorang guru dengan motif untuk memperoleh harta yang banyak, untuk menambah kecantikan bagi seorang perempuan, dan boleh jadi ilmu dari orang tuanya dialihkan kepada anaknya. Sementara tujua identik dengan tukang sihir dalam Islam yang dilakukan dengan berbagai macam cara untuk mencapai keinginan pada orang yang disihir. Menurut Ibnu Qudamah, terjadinya sihir diawali dengan proses mengalihkan sesuatu dari wujud yang sebenarnya kepada wujud lain melalui mantra dan ucapan yang divokalkan, ditulis atau dikerjakan sesuatu yang dapat menimbulkan pengaruh pada badan, hati atau akal orang yang terkena sihir tanpa menyentuhnya.24 Terkabulnya sihir dilandasi dengan adanya kesepakatan antara tukang sihir dengan syaitan, yakni tukang sihir harus melakukan perbuatan yang berbentuk syirik sebagai imbalan dari bantuan dan kepatuhan setan kepadanya. Selanjutnya, Dari berbagai macam bentuk kepecayaan masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dianalisis bahwa, kondisi keberagamaan pra-Islam diwarnai dengan kepercayaan animisme 21
seperti: a. Pacci (Daun pacar) yang telah ditumbuk dibungkus dengan daun lontar merupakan simbol persatuan dua hati yang sulit untuk dipisahkan, b. Angkulung (Bantal) bermakna penghormatan atau martabat seseorang, c. Pusyu Utti (Pucuk daun pisang) merupakan simbol kehidupan yang sambung menyambung, d. Lilin/sulo Bermakna suluh penerang, e. Berre (beras), bermakna harapan agar kedua mempelai dapat berkembang dengan baik. 2 Mattampung adalah acara yang digelar untuk mempermanenkan kuburan dengan jalan menyiapkan semen, pasir dan batu 2
kemudian dibeton. Acara ini hanya dilakukan oleh pihak laki-laki dengan cara gotong -royong. Sementara perempuannya sibuk mempersiapkan makanan untuk dimakan secara bersama-sama dalam ikatan kekeluargaan di kuburan tersebut. 2 Parakang merupakan manusia yang berubah wujud apabila sedang beroperasi untuk mendapatkan mangsanya, dengan jalan 3
menyedot organ tubuh bagian dalam seperti jantung, hati, dan usus. Wujud manusia dapat berupa kerbau, anjing, kambing, cecak, keranjang dan bahkan dalam wujud lain. Peppo, merupakan manusia yang berubah wujud yang menyerupai burung yang terbang. Sementara tujua adalah manusia yang tidak berubah wujud akan tetapi dalamprakteknya mereka memerintahkan makhluk halus untuk mengganggu orang yang akan dimantrai sehingga menyebabkan gila karena kena penyakit guna-guna.
2 4
Ibnu Qudamah al-Maqdis, Al-Mughni, (Beirut:Dar al-Fikr,tth), h.104.
Kelengkapan acara mappaccing pada perkawinan adat masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng memiliki simbol tertentu
Abdillah, Pemaknaan Agama terhadap Sistem Kepercayaan Masyarakat
53
sebagaimana telah diungkapkan oleh Taylor. Manurut Tailor, animisme merupakan kepercayaan tentang realitas jiwa yang bukan hanya terdapat pada makhluk hidup tetapi juga terdapat pada benda-benda mati.25 Masyarakat Bilipu di Desa Abbumpunngeng percaya bahwa, orang yang telah meninggal dunia rohnya akan menempati makhluk-makhluk hidup atau benda yang bersifat materil. Menurut Taylor bahwa agar roh yang meninggal tidak mengganggu, maka perlu dilakukan pemujaan pada arwah leluhur atau benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan magis.26 Tingkat kepercayaan masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng terhadap animisme mempunyai struktur sosial sebagaimana halnya manusia biasa. Dalam artian, leluhur yang dijadikan obyek penyembahan mempunyai kedudukan yang berstruktur, menyebabkan bentuk upacara pemujaan dilakukan secara berstarata juga. Konsekwensi logisnya terlihat keragaman bentuk pemujaan sebagai religiusitas masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng sampai sekarang. Manusia pada dasarnya mempunyai fithrah untuk beragama sebagai konsep pemaknaan agama. Dalam bentuk masyarakat primitif pun senantiasa cenderung menjadi nilai-nilai kesakralan yang tidak terdapat pada manusia. Untuk mengarahkan potensi beragama pada masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng yang belum tersentuh dengan dakwah secara maksimal, dapat diekspresikan melalui penyembahan terhadap totem-totem yang menurut keyakinannya dapat membawa ketentraman batin pada dirinya. Bentuk keyakinan inilah menyebabkan munculnya berbagai pemahaman tentang banyaknya dewa, yang mana dalam melakukan penyembahan senantiasa menampilkan ekspresi yang berbeda. Oleh karenanya, munculnya kepercayaan masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng untuk mensakralkan benda-benda yang bersifat materil dilakukan tiada lain hanya untuk mengekspresikan potensi agama yang dimilikinya. Manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai macam problema hidup, sehingga untuk memberikan ketentraman batin terhadap masalah yang dihadapi disandarkan pada totem-totem yang dianggap mempunyai nilai-nilai kesakralan. Bentuk-bentuk kepercayaan seperti ini masih mewarnai kehidupan masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng sampai sekarang, walaupun mereka telah menerima Islam sebagai agamanya. Fenomena keagamaan pada masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng merupakan kondisi ril salah satu religiusitas masyarakat Islam yang ada Di Indonesia. Kondisi ini memerlukan perhatian khusus dan penanganan yang intens dari pemerintah dan ulama untuk meluruskan pemaknaan agama terhadap ajaran Islam agar bisa tercipta masyarakat yang Islami. Bagi seorang da’i perlu menformat ulang model dakwah termasuk materi, metode, media dan pendekatan dakwah dalam menghadapi masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng. Terciptanya model dakwah yang kontekstual akan melahirkan paradigma baru bagi masyarakat Bilipu yang memandang bahwa Islam adalah agama yang dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulan Setiap agama memiliki sistem kepercayaan. Sebagai agama wahyu memiliki sistem kepercayaan melahirkan berbagai macam pendapat dari para ahli tergantung sudut pandang apa yang mereka gunakan untuk memandang sebuah persoalan agama. Agama dalam aspek teologi membahas tentang kepercayaan terhadap adanya Tuhan dan berusaha melakukan berbagai implikasi dari keyakinan itu terhadap kehidupan manusia. Sementara misalnya dalam aspek antropologi, cenderung mengkaji agama dari sudut amalan-amalan agama dalam bentuk ritual-ritual tertentu yang dilakukan oleh para penganutnya, seperti halnya masyarakat Bilipi Desa Abbumpungeng. Masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng adalah masyarakat pemeluk agama Islam. Namun, sistem kepercayaannya masih melakukan ritual-ritual yang bertentangan dengan ajaran Islam. 2 5 2 6
E.E. Evans Pritchard, Teori....., h.32. Ibid, h. 81.
54
Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 45-54
Untuk mengapresiasikan pengalaman beragamanya acapkali masih menyandarkan diri kepada nilai-nilai yang mereka sakralitakan, yang ada pada tempat tertentu yang dianggap mampu mewujudkan apa yang menjadi harapan dan keinginanya. Implikasi dari perilaku kepercayaan ini, menunjukkan bahwa masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng belum dapat membedakan antara ajaran agama Islam, yang mereka anut dengan budaya yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Clifford Geertz, Interpretation Of Cultures, New York: Basic Books, 1973. Daniel L,Pas, Seven Theories Of Religion, Terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta:Qalam, 2001. Emile Durkheim, The Elementary Forms Of The Religious Life, Terj. Joseph Ward Swaim, London:George Allen&Unwim, 1976. E.E.Evans Pritchard, Teori-teori tentang Agama Primitif, terj H.A.Ludijito, Yogyakarta:PLP2M,1984. Ibnu Qudamah al-Maqdis, Al-Mughni, Beirut:Dar al-fikr, tth. Joachim Wach, Types Of Religion Experience, Cristian And Non-Christian, Chicago: University Of Chicago, 1952. Koentjaraningrat , Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta:UI Press, 1987. Samsul Munir, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009. Thomas, F.O’deo, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, terj, Yogyakarta: Raja Grafindo persada, 1983.
PEMAKNAAN AGAMA TERHADAP SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT BILIPU- ABBUMPUNGENG BONE- SULAWESI SELATAN
Abdillah*
Abstraks: Islam is able to thought in two aspects, namaly, as god religion and culture. God religion which is aimed to this writing is religion which is completed by Alquran book, as people of Bilipu, Abbumpungeng village believing. While, as culture religion is people’s believing system of Bilipu, Abbumpungeng. Its religion experience has already contaminated animism believing before Islam came to Indonesia. Seemingly, the people of Bilipu religous not easy (simple) to isolate beetwen Islam doctrine and animism which is believed from thiers great-grenfather. It is able to pictured if there is moment, like, wedding party, circumcision. The rituals are also seen when the people who acted as picturing and appreciating with doing the ritual in the type of reactual. Keywords: Society, Local religion, and Believing system
Pendahuluan Istilah agama apabila ditinjau dari sudut pandang bahasa Indonesia, maka kata agama dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu a berarti tidak dan gama berarti kacau. Jadi, agama berarti tidak kacau. Secara linguistik kebahasaan agama dapat diartikan bahwa suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Sedangkan kata religi yang terambil dari bahasa Inggeris yaitu religion yang berarti mengumpulkan atau mengikat. Hal ini dapat dimaksudkan sekumpulan manusia yang diikat oleh suatu ikatan itulah yang disebut religi atau agama. Koentjaraningrat seorang antropolog Indonesia, dalam setiap tulisannya selalu membedakan antara agama dan religi. Istilah agama digunakan untuk menyebut agama-agama besar, sedangkan religi digunakan untuk menyebut agama masyarakat primitif atau agama-agama suku, atau ia terkadang menganggap bahwa religi itu bahagian dari amalan agama. Hal ini dapat terlihat dalam setiap karyanya tentang agama atau religi. Lebih lanjut Koentjaraningrat menguraikan bahwa dalam kenyataannya masyarakat akan kita lihat adanya bentuk-bentuk religi tersebut yang hanya merupakan unsur-unsur saja yang akan selalu tampak tercampur dan terjalin erat dalam aktifitasaktifitas keagamaan dalam masyarakat.1 Koentjaraningrat juga menegaskan bahwa istilah agama digunakan untuk menyebut agamaagama resmi yang diakui oleh negara.2 Sedangkan agama-agama yang hidup pada beberapa suku di Indonesia sebagai agama asli, tidaklah dianggap sebagai suatu agama, tetapi sebagai suatu aliran kepercayaan atau golongan penghayat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Koentjaraningrat barangkali mengikuti pandangan yang membedakan antara agama budaya dan agama wahyu. Padahal EvansPritchard menegaskan bahwa dikotomi agama budaya dengan agama wahyu sebenarnya palsu dan hanya mengelirukan.3 Dari segi makna, Paassen mengemukakan bahwa istilah agama di Indonesia harus dibedakan pemahamannya. Ada dua makna yaitu agama dalam arti politik dan agama dalam arti ilmiah. Agama Guru SMK Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. E-mail:
[email protected]. Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta:UI Press, 1987), h.254. 2 Evans Pritchard, Theories Of Primitive Religion, (New York:Oxpord University Press, 1987), h.10. 3 Ibid, h.10. *
1
46
Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 45-54
dalam arti politik dijelaskan bahwa suatu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kepercayaan terhadap segala ajaran, kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu, yang diakui oleh pemerintah di Indonesia. Sementara agama dalam arti ilmiah adalah kepercayaan kepada Dewa, serta dengan ajaran, kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Dalam hal ini, Agama dalam konsep ilmiah menurut passen sejalan dengan pandangan Koentjaraningrat tentang kepercayaan masyarakat terhadap adanya obyek keramat (sakral) yang sebenarnya tidak lain hanya merupakan suatu lambang yang dipahami masyarakat sebagai obyek keramat yang biasa dikenal dengan istilahtotem.Totem itu sendiri boleh berupa bintang atau apa saja yang menjadi obyek sakral dan berfungsi untuk mengkonkritkan prinsip totem yang ada dibelakngnya, sementara prinsip totem itu sendiri adalah suatu kelompok tertentu di dalam masyarakat berupa klan. Komponen kedua dalam suatu agama adalah sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan agama dapat mendorong orang berperilaku serba-agama. Pikiran dan gagasan manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud alam gaib (kosmologi), tentang terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), tentang zaman akhirat, tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, roh jahat, hantu, dan makhluk halus lainnya. Artinya tidak satupun disebut agama jika tidak memiliki kepercayaan terhadap kekuatan yang bersifat supranatural dan mewujudkan upacara amal sebagai manifestasi dari suatu kepercayaan. Hal ini terjadi pada masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng. Masyarakat Bilipu adalah masyarakat Bugis yang tinggal di Wilayah kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Masyarakatnya 100% memeluk agama Islam. Walaupun Islam telah menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat Bilipu, akan tetapi dalam prakteknya masih diwarnai dengan ritualritual yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Bilipu sulit membedakan antara adat dengan ajaran agama itu sendiri. Mungkin ini salah satu imbas dari strategi dakwah yang diterapkan Tri Datok dalam menyebarkan agama Islam di Sulawesi Selatan yang tidak mengadakan perombakan terhadap pranata-pranata adat yang ada sebelum masuknya Islam di Sulaewsi Selatan. Implikasinya adalah masyarakat Bilipu dalam pengamalan beragamanya sulit membedakan antara adat dengan ajaran agama Islam itu sendiri. Sebahagian masyarakat Bilipu masih menggantungkan hidupnya kepada sakralitas bendabenda dan tempat-tempat tertentuyang masuk dalam wilayah supranatural. Supranatural dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu supranatural yang asalnya bukan manusia dan supranatural yang menjelma dari manusia itu sendiri. Supranatural merupakan dunia gaib yang tidak bisa dijangkau oleh alam pikiran manusia. Oleh karena manusia tidak boleh memasuki dunia supranatural disebabkan karena keterbatasan pancaindera dan akalnya, maka manusia pada akhirnya sadar sekaligus mempercayai bahwa dunia gaib itu didiami oleh berbagai makhluk dan kuasa alam yang tak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara biasa. Masyarakat Bilipu selalu mencari kekuatan hakiki yang menguasai hidupnya dan semua alam yang ada disekelilingnya. Selain itu, masyarakat Bilipu mengapresiasikan keyakinanya terhadap kekuatan supranatural melalui ritus atau upacara amal. Sistem ritus atau upacara amal dalam kepercayaannya berwujud pada aktifitas dan tindakan masyarakat Bilipu dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lainnya, dan dalam usahanya berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni gaib lainnya.Semua kelakuan agama tergambar dengan jelas dalam ritualnya. Begitu pula dengan nilai keyakinan terhadap agama dinampakkan dalam upacara amal dan ritual agama itu sendiri yang akan diuraikan dalam pembahasan. Mengacu kepada latar belakang masalah, maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah bagaimana sistem kepercayaan masyarakat Bilipu di Desa abbumpungen dalam memaknai ajaran agama Islam di Desa Abbupungeng.
Abdillah, Pemaknaan Agama terhadap Sistem Kepercayaan Masyarakat
47
Kepercayaan Agama Masyarakat Bilipu dalam Perspektif Antropologi Banyak pakar yang telah memberikan definisi dan pengkajian tentang agama, diantaranya: Durkheim menjelaskan bahwa agama adalah sistem kepercayaan dan amalan yang bersepadu dan berkaitan dengan benda-benda yang kudus, yaitu benda-benda yang diasingkan dan dianggap mempunyai kuasa yang dapat menyatukan semua ahli masyarakat ke dalam suatu komuniti moral, yaitu bendabenda yang diasingkan dan dianggap mempunyai kuasa dan dapat menyatukan semua ahli masyarakat kedalam suatu komuniti moral atau tempat beribadah. Berdasarkan dari definisi ini agama dianggap sebagi suatu yangkolektif dan secara nyata adalah produk sosial yang bertujuan untuk mempersatukan ahli masyarakat kedalam suatu komuniti moral. Didalam acara yang kudus (sacret) dan ada yang profan. Kudus disucikan dan dianggap sebagai ekspresi simbolik dari realitas sosial, kemujudan memiliki suatu kualitas transendental, sedangkan profan adalah kebalikan dari sakral yang sesuatu yang biasa saja. 4 Geertz menyatakan bahwa agama adalah: 1). sistem yang terdiri dari berbagai simbol, 2) mewujudkan dalam diri manusia suatu perasaan dan rangsangan yang kuat, menyeluruh dan berkepanjangan melalui, 3) pembentukan kesadaran terhadap kewujudan satu bentuk aturan umum yang tertib dan teratur yang berkaitan dengan kehidupan, serta 4) menyelubungi kesadaran tersebut dengan satu bentuk aura yang kelihatan betul-betul berwibawa, 5) perasaan dan rangsangan tersebut seolah-olah mempunyai kebenaran yang sangat unik dan istimewa.5 Definisi yang dikemukakan Geetz ini dapat dimaknai bahwa dalam kehidupan sosial beragama ada berbagai simbol yang wujud. Simbol-simbol ini sebagai suatu konsep yang hidup dalam pikiran setiap pengikut agama. Dengan simbol itu suasana hati terasa tenang, nikmat, merasa stabil, khidmat dan rasa keterarahan dengan penuh bakti, menimbulkan motivasi-motivasi yang kuat. Suatu motivasi adalah suatu kecenderungan yang tahan lama, suatu kecondongan yang terus menerus muncul untuk menampilkan jenis tindakan-tindakan tertentu dan megalami perasaan tertentu dalam situasi-situasi tertentu. Geertz menyatakan bahwa simbol-simbol sakral itu membentuk iklim dunia dengan menarik si penyembah keseperangkat disposisi-disposisi tertentu, seperti kecenderungan-kecenderungan, kemampuan-kemampuan, kewajiban-kewajiban dan kebiasaankebiasaan yang memberi satu ciri tetap pada arus kegiatannya dan pada kualiti pengalamannya. Suasana hati yang disebabkan oleh simbol-simbol keramat, pada masa dan tempat yang berbeda-beda, berturut-turut dari tempat kegembiraan yang meluap-luap sampai ke kesedihan yang mendalam, dari keyakinan diri sampai kerasa kasihan terhadap diri sendiri. Geertz melihat agama sebagai fakta budaya saja, bukan semata-mata sebagai ekspresi keperluan sosial atau ketegangan ekonomi. Melalui simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaan, ditemukan adanya pengaruh agama dalam setiap aktifitas masyarakat Bilipu. Sejalan dengan hal ini, Koentjaraningrat adalah seorang antropologis yang terkenal di Indonesia menegaskan bahwa, ada Lima komponen agama dan ini juga terdapat dalam masyarakat Bilipu diantaranya: 1). Emosi Keagamaan, 2) sistem keyakinan, 3) sistem ritus dan upacara, 4) peralatan ritus dan upacara, dan 5) ummat agama (beragama).6 Emosi keagamaan adalah suatu keinginan dalam jiwa manusia yang dapat memotivasi manusia untuk melakukan aktivitas keberagamaan. Emosi keagamaan ini tidak selalu ada dalam diri setiap manusia, terkadang hanya sekejab saja. Untuk dapat bertahan, maka harus dipelihara dengan cara melakukan kontraksi masyarakat berupa upacara seperti yang dilakukan masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng. Upacara ini menurut Durkheim merupakan cara bertindak yang wujud ditengah-tengah kelompok yang berkumpul itu dan dipersiapkan untuk membangkitkan, melestarikan, atau menciptakan kembali keadaan mental tertentu dalam kelompok Emile Durkheim, The Elementary Forms Of The Religious Life, Terj. Joseph Ward Swain, (London: George Allen &Unwin,
4
1976), h.47. 5 Clifford Geertz, Interpretation Of Cultures, (New:York, Basic Books,1973), h.90. 6 Koentjaraningrat, Op.cit, h.80.
48
Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 45-54
tersebut.Yang paling penting adalah gairah yang ditimbulkan oleh kehidupan kolektif didalam diri seorang individu.7 Koentjaraningrat mengikut Rudolf Otto dan Soderblon yang menguraikan bahwa emosi keagamaan itu berupa “Sikap kagum-terpesona terhadap hal-hal yang gaib serta keramat”, yang pada hakikatnya tak dapat dijelaskan dengan akal manusia karena berada diluar jangkauan kemampuannya. Emosi keagamaan adalah sikap “takut bercampur percaya“ kepada hal-hal yang gaib dan keramat. Koentjaraningrat menegaskan bahwa komponen emosi keagamaan inilah yang merupakan komponen utama dari suatu gejala agama yang membedakan suatu sistem agama dengan semua sistem sosial budaya yang lainnya dalam masyarakat Bilipu. Pangkal agama merupakan suatu emosi atau suatu getaran jiwa yang timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal yang luar biasa, diantaranya gejala-gejala alam tertentu yang tidak dapat diterjemahkan dengan akalnya. Disamping ituemosi keagamaan adalah semacam nada atau kualiti perasaan yang muncul semasa menjadikan sesuatu itu sakral.Selain itu emosi keagamaan juga merupakan getaran jiwa sebagai sebuah perasaan berkobar, kegairahan, ketakjuban, dan berada dalam keadaan hati yang khusuk. Karenanya, emosi keagamaan merupakan sejenis perasaan batiniah dalam setiap melakukan yang serba agama dan menjadikan segala hal yang berhubungan kelakuan keagamaan itu menjadi sakral, tanpa memandang perbedaan tempat dimana dilakukan, orang maupun benda akan menjadi sakral. Dari pendapat para pakar antropologi yang mendefinisikan dan menafsirkan perasaan beragama dalam masyarakat akan dijadikan sebagai barometer untuk melihat profil religiusitas masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng dalam memaknai sebuah agama. Konsep Kepercayaan Masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng Di dalam diri manusia terdapat suatu potensi yang senantiasa mendorong melakukan kegiatan untuk mencapai kepuasan hidupnya. Dalam tuntutan pemuasan tersebut antara naluri dengan jasmani terdapat stimulus yang berbeda. Kebutuhan jasmani merupakan kebutuhan interen pada seseorang, berbeda dengan naluri yang muncul karena adanya pemikiran yang dapat mempengaruhi perasaan. Atau boleh jadi berhadapan dengan suatu kenyataan yang dapat diindera sehingga muncul perasaan untuk memenuhinya. Dalam konteks kefitrahan, naluri beragama ada pada setiap diri manusia yang senantiasa membutuhkan pertolongan dari “sang pencipta”, tanpa memandang siapa yang dianggap pencipta itu. Perasaan ini muncul sebagai salah satu bagian dari penciptaan manusia yang disebut perasaan beragama atau tadayyun. Tadayyun dalam perwujudannya membutuhkan adanya perasaan taqdis (pensucian) baik dalam bentuk yang hakiki (ibadah) maupun dalam gambaran yang sederhana berupa kultus atau pengagungan. Taqdis dalam bentuk pengkultusan agaknya sejalan dengan kepercayaan masyarakat Bugis pra Islam dapat dilihat dalam tiga bentuk: 1. Kepercayaan terhadap arwah nenek moyang 2. Kepercayaan terhadap banyaknya dewa 3. Kepercayaan terhadap pesona-pesona jahat. Ketiga bentuk kepercayaan tersebut muncul dalam bentuk tanda-tanda, kata-kata, dan berbagai sarana simbol yang melahirkan pemujaanatau cult. Pemujaan itu sendiri berupa ungkapan perasaan, sikap dan hubungan sebagaiman yang dinyatakan Malinowski bahwa perasaan, sikap dan hubungan ini diungkapkan tidak memiliki tujuan selain dalam dirinya sendiri. Tindakan mereka berupa pengungkapan pemujaan yang mempunyai nilai misteri yang dinalarkan secara penuh sebagai sesuatu yang melekat dalam diri mereka.8 Hubungan dalam proses pemujaan itu Durkheim, Op.Cit, h.10. Thomas, F.O’deo, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, terj, (Yogyakarta: Raja Grafindo persada, 1983), h.23.
7 8
Abdillah, Pemaknaan Agama terhadap Sistem Kepercayaan Masyarakat
49
merupakan hubungan dengan obyek suci. Sementara, dalam hubungan antara sesama anggota, antar anggota dengan pemimpin, merupakan hubungan yang implisit dalam tindakan pemujaan itu sendiri. Ritual keagamaan tidak hanya tampil sebagai suatu pengalaman filosofis atau intelektual, tetapi juga melibatkan perasaan dan tindakan manusia yang tidak dapat diikuti oleh pemujaan dalam bentuk penonjolan keyakinan semata, akan tetapi tampil sebagai tindakan yang kaya akan corak suatu karya seni. Ritual keagamaan demikian itu dilakukan dalam bentuk nyanyian, doa-doa, perjamuan suci dan pengorbanan. Kesemuanya itu dimaksudkan bukan untuk tujuan praktis dan solidaritas sosial. Kalaupun solidaritas muncul dalam kenyataannya itu hanya merupakan salah satu efeknya saja, tetapi esensi mitos maupun ritual tampil sebagai tujuan yang hakiki. Dalam aspek kepercayaan masyarakat Bilipu terhadap arwah nenek moyang yang dilakukan dengan pemujaan terhadap tempat,9 benda-benda tertentu dan kuburan. Pemujaan terhadap kuburan dilakukan pada kuburan orang-orang tertentu yang mereka anggap berjasa pada masyarakat, baik karena mereka pernah memberikan sumbangan dalam membangun pemukiman atau karena semasa hidup mereka dianggap sebagai tokoh rohaniawan dalam masyarakat. Kuburan10 mereka dianggap keramat dan arwahnya dapat memberi berkah. Kepercayaan semacam ini berlanjut sampai sekarang. Bentuk penyembahan yang dimaksudkan tersebut dapat dilakukan dengan cara menyiapkan sesajen berupa songkolo11, buah-buahan dan berbagai macam binatang12, upacara ritual Tempat penyembahan dimaksudkan untuk memberikan sesajen kepada:
9
A. Fammanang Tana (Yang punya kampung) atau roh yang terdapat pada setiap kampung. Biasanya roh ini bersemayam di lereng gunung, batu besar, dan pohon yang rindang dan angker(aju ara). Untuk memberikan sesajen kepada roh fammanang tana maka masyarakat mendirikan sebuah rumah kecil atau hanya sekedar disimpan disuatu tempat yang dipercayai sebagai tempatnya roh tersebut. B. Fangngonroang Bola (penjaga rumah) yang biasa dianggap sebagai malaikat rumah atau roh yang terdapat pada setiap rumah yang dapat menolong atau sebaliknya bisa mengganggu penghuninya. Roh ini bersemayam pada tiang bahagian tengah rumah yang disebut fosi bola. Untuk menjaga agar fangngonroang bola tidak mengganggu penghuni rumah, maka sebelum rumah dibangun terlebih dahulu tiang tengah harus diberikan tanda (biasanya dibungkus dengan kain berwarnah putih). Sesajian dibuatkan lagi pada setiap rumah akan didirikan sampai rumah itu ditempati sekurang kurangnya diberi sesajen dalam waktu sekali seminggu. Disamping itu setiap ada acara dirumah tersebut maka fosi bola diberikan sesajen yang diletatkkan di fosi bola yang disesuaikan dengan acara. Anak-anak dilarang mendekati fosi bola tersebut, karena bisa mendapat teguran yang menyebabkan ia sakit. C. Fangngonrog salo (Penjaga sungai) atau roh yang terdapat pada sungai yang dapat mengganggu sehingga manusia menderita penyakit yang bermacam-macam. Bentuk ritual dilakukan sesuai dengan hajatan masyarakat dengan membawa sesajen kesungai. Ritual ini biasa diistilahkan dengan mappano. Ritual untuk disungai dilakukan oleh masyarakat yang punya keturunan atau pernah melahirkan seekor buaya, dan setelah lahir dikembalikan kesungai. Oleh karena itu setiap ada hubunga keluarganya yang punya hajatan maka wajib untuk memberikan sesajian agar setiap hajatannya bisa berjalan lancar. D. Roh yang terdapat pada sawah atau koko. Posisi roh ini hampir samadengan pammanang tana, Cuma ditempatkan pada sawah atau kebun. Untuk menjaga agar roh tersebut tidak mengganggu tanaman, maka perlu dilakukan ritus dengan menyediakan sesajen pada waktu tertentu yang biasanyadimulai ketika sawah akan dikerjakan sampai selesai panen. Sesajen yang disiapkan berisi rekko (Daun siri dengan model khusus), kue tradisional (onde-ond dan afang), songkolo (ketan putih dan ketan hitam) yang disertai dengan ayam sebagai pelengkap (nasu likku), dahung-dahung (kemenyang yang dibakar dengan gula pasir). Posisi sesajenini biasanya diletakkan disudut sawah. 10
gunung). Kuburan tersebut adalah pemimpin (rohaniawan)tersebut dianggap keramat dan dijadikan sebagai tempat untuk bernazar. Apabila nazarnya tercapai maka mereka akan kembali untuk mempersembahkan sesajen sesuai dengan perjanjiannya pada saat mereka datang bernazar dikuburan itu. Bahkan ada masyarakat yang memang sudah menganggap bahwa membawa sesajen ke puncak bulu tanah tersebut sudah dianggap wajib hukumnya apabila menyelenggarakan sebuah pesta. Ada sebuah perasaan takut akan terjadi sesuatu termasuk kegagalan dalam penyelenggaraan hajatan jikalau tidak membawa sesajen. Bentuk sesajen yang disiapkan disesuaikan dengan hajatannya. 11Songkolo sejenis nasi yang terbuat dari beras ketan dengan aneka warna seperti songkolo hitam dan songkolo putih. Songkolo ini ditata dengan rapi di atas piring yang biasanya dilakukan oleh orang tua yang berpengalaman, kemudian diletakkan pada tempat yang disakralkan itu (batu nisan). pada saat penataan songkolo juga disertakan manu nasu likku makkaju (ayam masakan likku/masakan tradisional masyarakat Bilipu yang masih utuh). Disamping itu juga ditata bersama dengandoang (udang), bukkang(kepiting),ittello manu kampong(telur ayam kampung) dan utti lampe (pisang Ambon), Disamping itu dalam kasus tertentu yang punya hajatan juga biasanya melepaskan manu bolong puppu makkalabini (sepasang ayam berwarna hitam pekat). Uniknya masakan ini tidak bisa dinikmati oleh siapapun juga sebelum dipersembahkan dalam bentuk sesajen. 1 Binatang yang biasanya dipersembahkan berupa kerbau, sapi, kambing dan ayam. Baik yang sudah dimasak maupun dalam 2
keadaan hidup dipersembahkan ketempat yang sakral itu, tergantung dari motif penyembahannya.
Ada kuburan yang sering didatangi masyarakat Bilipu bahkan ada juga dari masyarakat luar yang terletak di bulu tanah (di puncak
50
Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 45-54
biasanya dipimpin oleh salah seorang bernama sanro.13 Penyembahan terhadap banyaknya dewa pada masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng, nampaknya merupakan fenomena alam yang dimanusiakan. Hal ini sejalan dengan pandangan Max Muller tentang mitos alam bahwa, manusia dalam kehidupannya selalu mempunyai kecenderungan untuk berhubungan denganh Tuhan, atau sesuatu yang bersifat abadi (The infinite) yang kesemuanya itu terbentuk dari pengalaman inderawi. Dalam persoalan kepercayaan masyarakat senantiasa melalui proses penginderaan atau diistilahkan oleh Muller dengan “Nihil In Fide Quod Non Ante Fuerit In Sensu” tiada kepercayaan sebelum penginderaan”.14 Kepercayaan akan dewa(dewata) yang terdapat pada benda yang tak dapat diraba15 kapasitasnya hanya dapat memberikan ide kepada manusia tentang nilai-nilai kesakralan (The infinite), atau boleh jadi sekedar pelengkap materi-materi untuk mencapai pemahaman tentang Tuhan. Proses munculnya idea tentang Tuhan pada awalnya melalui pengkiasan dalam bentuk simbol, yang menyebabkan benda tersebut kehilangan makna hakikinya dengan jalan mentokohkannya sebagai dewa. Prosesi ini menurut Muller menjadi penyakit bahasa yakni dari kata nomina (nama) menjadi numina (sesuatu yang ditakuti).16 Ada juga salah satu tradisi yang berkembang dalam masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng, seperti pada saat membangun rumah baru, seorang uragi bola biasanya menentukan tanah yang akan ditempati. Pembangunannya diawali dengan meletakkan sesajian, atau menanam kelapa yang sudah dibela dua kemudian diisi dengan daun-daun dan kayu yang menurut uragi bola17 dapat memberikan manfaat bagi tuan rumahnya. Selain itu juga bertujuan untuk memberikan makanan kepada roh nenek moyang mereka dan menolak malapetaka yang mungkin akan menimpa rumah itu. Interaksi antara uragi bola dengan tuan rumah bukan hanya bersifat temporal saja, akan tetapi berlangsung secara terus menerus. Bahkan, setiap tuan rumah mau melakukan hajatan dalam bentuk apapun, maka tuan rumah harus memanggil uragi bolanya untuk mabbaca-baca (mengirimakan doa) agar kelak hajatan yang dilakukan itu bisa berjalan dengan sukses tanpa ada gangguan dari pangngonroang bolanya(dewa penunggu rumah).Setelah itu tuan rumah harus membawakan makanan kerumah uragi bola beserta dengan uang sesuai dengan bentuk hajatnnya sebagai tanda terima kasih. Kebiasaan ini terjadi secara natural dan terpola sebagai suatu kebudayaan tanpa ada sebuah ikatan dan perjanjian diantara keduanya. Hal ini merupakan kebiasaan lama masyarakat Bilipu di desa Abbumpungeng yang masih berkembang sampai sekarang. Selain itu, masyarakat Abbumpungeng juga percaya tentang keberadaan Pallohe. Pallohe adalah semacam sesembahan masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng yang dipelihara oleh orang tua yang terpilih untuk meneruskan untuk mappakaraja pallohe (memelihara dan memakmurkan sesembahan) yang diwarisi secara turun temurun. Pallohe tersebut adalah kumpulan dari patungpatung yang terbuat dari kapok yang telah dibungkus dengan kain kemudian dijahit dan didesain yang menyerupai orang kemudian disimpan di rakkeange (Langit rumah panggung) dengan dibuatkan rumah-rumah kecil kemudian dipasangi dengan kelambu. Disamping itu juga disiapkan bempa (tempayang) kemudian diisi dengan air sehingga semua keturunannya baik yang dalam keadaan sakit maupun yang melaksanakan proses hajatan maka wajib untuk datang mengunjungi pallohe tersebut dengan membawa sesajian dan setelah kembali maka yang punya pallohe memberikan air yang ada didalam bempa (tempayang)tersebut. Tujuannya adalah, bagi orang sakit sebagai obat 1
Sanro(dukun) berfungsi untuk: 1. memimpin upacara atau ritual.2. Menjaga tempat-tempat yang sakral, 3. Mengatur dan
3
melayani upacara sesajian. 1 4 1 5 1 6 1
7
E.E.Evans Pritchard, (Yogyakarta: PLP2M, 1984), h.28. Teori-teori Tentang Dewa pada benda yang dimaksudkan adalah matahari, bulan, bintang dan bumi. Agama Primitif, terj E.E. Evans Pritchard, Teori...., h.29. H.A.Ludijito, Uragi bola/panrita bolaadalah seorang ahli adat yang punya keahlian supranatural dan dipercaya oleh masyarakat Bilipu di desa Abbumpungeng untuk memberikan doa-doa pada saat rumah itu dibangun, dengan harapan agar melalui do’a tersebut tuan rumah sekeluarga bisa selamat dunia dan akhirat dan rumah ini bisa ditempati dengan baik untuk mencari rezeki.
Abdillah, Pemaknaan Agama terhadap Sistem Kepercayaan Masyarakat
51
untuk menyembuhkan penyakitnya, sementara bagi yang sedang hajatan tujuannya adalah agar mereka kelak acara hajatannya itu bisa berjalan tanpa ada hambatan sekaligus minta restu dari roh nenek moyang. Bentuk kepercayaan ini terformat dan berlangsung sampai sekarang. Bagi masyarakat yang sudah percaya dengan keberadaan Pallohe tersebut kelihatnnya sulit membedakan apakah ritual yang dilakukan ini sesuai dengan ajaran Islam atau hanya budaya yang turun temurun dari nenek moyangnya. Bahkan ironisnya, setiap ada hajatan bagi masyarakat yang percaya dengan pallohe maka dia mendatangi tempat itu untuk bernazar dan meminta agar apa yang dicita-citakan atau apa yang dihajatkan itu bisa tercapai. Apabila mereka berhasil maka wajib hukumnya untuk kembali mengunjungi pallohe tersebut dengan membawa sesajen sebagai bentuk persembahan dan tanda terima kasih kepada pallohe yang telah mengabulkan keinginannya. Implikasi dari kepercayaan ini menurut penulis sudah termasuk musyrik karena seakan-akan pallohe dianggap memiliki kekuasaan yang lebih dari pada kekuasaan yang dimiliki oleh Allah SWT. Disamping itu masyarakat yang mempunyai keinginan dan harapan kepada Allah terkesan harus`melalui perantara Pallohedulu bukan ditujukan langsung kepada Allah SWT. Terbukti pada saat berlangsung acara ritual dalam memberikan sesajen kepada pallohe ternyata didahului dengan basmalah dan dilanjutkan dengan surat al-fatihah kemudian diikuti dengan doa-doa yang sesuai dengan harapan pemujanya. Upacara yang berkaitan dengan peralihan hidup manusia dari satu tahap ketahap berikutnya juga disakralkan oleh masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng. Upacara ini biasanya dalam antropologi dinamakan Rites Of passage atau rangkaian upacara inisiasi.18 Upacara ini dilakukan untuk mensucikan situasi kritis dalam kehidupan manusia.19 Kelahiran merupakan saat yang membahagiakan dalam kehidupan, sebab peristiwa ini menandai kehadiran anggota baru dalam keluarga. Karena itu kelahiran disambut dengan berbagai upacara atau ritus seperti maddukkaju (Aqiqah) pada saat bayi masih berumur 7 hari. Bagi orangtua yang kurang mampu maka maddukkaju (aqiqah) hanya dengan jalan menyembelih ayam saja bukan kambing dengan jumlah ekor beserta songkolo yang disesuaikan dengan kemampuannya. Selain kelahiran, perkawinan juga merupakan fase penting dalam kehidupan manusia, sebab peristiwa ini merupakan peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa. Masyarakat Bilipu di Desa Abbumbungeng mensakralkan peralihan ini bukan saja dalam arti biologis, melainkan secara sosologis menunjukkan adanya tanggung jawab bagi kedua mempelai dengan suatu ikatan batin untuk membentuk kehidupan baru. Karenanya, perkawinan dianggap suci dan harus dilakukan dengan penuh khidmat dan kebanggaan. Terjadinya perkawinan, merupakan langkah untuk mendekatkan dua keluarga menjadi satu ikatan yang lebih besar. Keluarga ini merupakan idaman bagi orang tua untuk hati-hati dalam memilih jodoh bagi anak gadisnya. Kamudian, Setiap cara yang ditempuh itu, selalu mempunyai alasan-alasan tertentu yang bertumpuh pada tradisi budaya dan kecenderungan untuk mempertinggi martabat keluarganya. Dalam perkawinan, perkawinan dengan sistem peminangan merupakan suatu upacara yang disenangi. Perkawinan ini menggunakan waktu yang cukup lama dan dana karena melalui beberapa tahap20 Upacara akad nikah, biasanya diawali Joachim Wach, Types Of Religious experience, Criastian And non-Christian, (Chicago: University Of Chicago, 1952), h.42. 1 Situasi kritis dapat dilihat pada awal masa kelahiran, perkawinan, dan kematian. 1 8
9 20
pihak laki-laki datang ke rumah perempuan untuk mengetahui kondisi calon perempuan yang akan dilamar dan keluarganya (perkenalan keluarga kedua belah pihak), 2. Tahap kedua: Madduta (Melamar) yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita, 3. Tahap ketiga: mette/mappaendre doi, berupa kunjungan pihak laki-laki kepada pihak perempuan dengan membawa emas (berupa cincin, anting, gelang dan kalung), uang belanja dan beberapa jenis kue dalam bossara (jumlah bossara ditentukan oleh kasta kedua mempelai) serta dalam acara tersebut sekaligus menentukan hari akad nikah dan pestanya. Apa yang menjadi bawaan pihak laki-laki disesuaikan dengan kesepakatan dengan pihak perempuan, 4. Tahap keempat: Mapparola, adalahacara inti atau hari pesta perkawinan dimana mempelai
laki-laki diantar kerumah mempelai wanita dengan membawa seperti yang tahap ketiga tadi kecuali uang belanja. Pada tahap tersebut berlangsung akad nikah dan dilanjutkan acara resepsi, 5. Tahap kelima: mabbenni tellu, dimana pihak laki-laki datang kerumah pihak perempuan untuk memanggil mempelai wanita untuk datang bermalam di rumah mempelai laki-laki.
Ada 5 tahap dalam menyelenggarakan perkawinan pada masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng: Tahap pertama: mappese-pese,
52
Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 45-54
dengan acara mappaccing21 pada malam harinya sebagai simbol akan kesucian lahir dan batin bagi kedua mempelai. Pada aspek lain, Kematian merupakan peralihan hidup manusia dari alam nyata ke alam ghaib yang bersifat misterius. Banyak ritus yang dilakukan untuk mengiringi kematian itu, yang kesemuanya memiliki makna keselamatan pada si mayat dan keluarganya yang ditinggalkan. Selanjutnya, Menurut kepercayaan pra-Islam, seorang yang meninggal dunia mayatnya harus dijaga agar rohnya tidak mengganggu orang yang masih hidup. Kepercayaan ini menyebabkan keluarga si mayat harus terjaga malam sebelum mayat itu dikebumikan. Keluarga-keluarga lainnya pun biasanya memperlihatkan solidaritasnya dengan ikut berjaga malam. Tradisi jaga malam ini diwarnai dengan bermain kartu untuk mengusir kantuk. Sekarang acara kematian lebih banyak ditampilkan cara-cara pelaksanaan menurut Islam dari pada adat. Upacara adat dapat terlihat pada acara pengambilan hari ketujuh, hari keempat puluh, bahkan bagi orang kaya dapat diperingati sampai hari keseratus dari kematiannya. Pelaksanaan upacara ini diisi dengan tadarrus al-qur’an yang dilakukan secara bergilir sampai tammat mulai dari hari pertama sampai hari ketiga yang setelah tadarrusan maka dirangkaikan dengan takziah. Pada saat hari ketujuh maka keluarga si mayat menyembelih binatang seperti sapi, kerbau atau kambing bahkan ayam saja bagi keluarga yang kurang mampu untuk dirangkaikan dengan acara mattampung.22 Kepercayaan akan makhluk-makhluk halus bagi masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng timbul dari kesadaran animisme tentang jiwa (soul) yang menempati seluruh alam. Makhlukmakhluk halus dalam kepercayaan masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng ada yang bersahabat dengan manusia, dan juga ada yang jahat yang menyebabkan terjadinya malapetaka bagi manusia. Makhluk halus yang jahat diistilahkan oleh Abu Hamid sebagi pesona-pesona jahat yang terdiri dari parakang, peppo dan tujua23. Perubahan wujud pada manusia tersebut seperti peppo dan parakang dilatarbelakangi oleh adanya ilmu yang dipelajari dari seorang guru dengan motif untuk memperoleh harta yang banyak, untuk menambah kecantikan bagi seorang perempuan, dan boleh jadi ilmu dari orang tuanya dialihkan kepada anaknya. Sementara tujua identik dengan tukang sihir dalam Islam yang dilakukan dengan berbagai macam cara untuk mencapai keinginan pada orang yang disihir. Menurut Ibnu Qudamah, terjadinya sihir diawali dengan proses mengalihkan sesuatu dari wujud yang sebenarnya kepada wujud lain melalui mantra dan ucapan yang divokalkan, ditulis atau dikerjakan sesuatu yang dapat menimbulkan pengaruh pada badan, hati atau akal orang yang terkena sihir tanpa menyentuhnya.24 Terkabulnya sihir dilandasi dengan adanya kesepakatan antara tukang sihir dengan syaitan, yakni tukang sihir harus melakukan perbuatan yang berbentuk syirik sebagai imbalan dari bantuan dan kepatuhan setan kepadanya. Selanjutnya, Dari berbagai macam bentuk kepecayaan masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dianalisis bahwa, kondisi keberagamaan pra-Islam diwarnai dengan kepercayaan animisme 21
seperti: a. Pacci (Daun pacar) yang telah ditumbuk dibungkus dengan daun lontar merupakan simbol persatuan dua hati yang sulit untuk dipisahkan, b. Angkulung (Bantal) bermakna penghormatan atau martabat seseorang, c. Pusyu Utti (Pucuk daun pisang) merupakan simbol kehidupan yang sambung menyambung, d. Lilin/sulo Bermakna suluh penerang, e. Berre (beras), bermakna harapan agar kedua mempelai dapat berkembang dengan baik. 2 Mattampung adalah acara yang digelar untuk mempermanenkan kuburan dengan jalan menyiapkan semen, pasir dan batu 2
kemudian dibeton. Acara ini hanya dilakukan oleh pihak laki-laki dengan cara gotong -royong. Sementara perempuannya sibuk mempersiapkan makanan untuk dimakan secara bersama-sama dalam ikatan kekeluargaan di kuburan tersebut. 2 Parakang merupakan manusia yang berubah wujud apabila sedang beroperasi untuk mendapatkan mangsanya, dengan jalan 3
menyedot organ tubuh bagian dalam seperti jantung, hati, dan usus. Wujud manusia dapat berupa kerbau, anjing, kambing, cecak, keranjang dan bahkan dalam wujud lain. Peppo, merupakan manusia yang berubah wujud yang menyerupai burung yang terbang. Sementara tujua adalah manusia yang tidak berubah wujud akan tetapi dalamprakteknya mereka memerintahkan makhluk halus untuk mengganggu orang yang akan dimantrai sehingga menyebabkan gila karena kena penyakit guna-guna.
2 4
Ibnu Qudamah al-Maqdis, Al-Mughni, (Beirut:Dar al-Fikr,tth), h.104.
Kelengkapan acara mappaccing pada perkawinan adat masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng memiliki simbol tertentu
Abdillah, Pemaknaan Agama terhadap Sistem Kepercayaan Masyarakat
53
sebagaimana telah diungkapkan oleh Taylor. Manurut Tailor, animisme merupakan kepercayaan tentang realitas jiwa yang bukan hanya terdapat pada makhluk hidup tetapi juga terdapat pada benda-benda mati.25 Masyarakat Bilipu di Desa Abbumpunngeng percaya bahwa, orang yang telah meninggal dunia rohnya akan menempati makhluk-makhluk hidup atau benda yang bersifat materil. Menurut Taylor bahwa agar roh yang meninggal tidak mengganggu, maka perlu dilakukan pemujaan pada arwah leluhur atau benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan magis.26 Tingkat kepercayaan masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng terhadap animisme mempunyai struktur sosial sebagaimana halnya manusia biasa. Dalam artian, leluhur yang dijadikan obyek penyembahan mempunyai kedudukan yang berstruktur, menyebabkan bentuk upacara pemujaan dilakukan secara berstarata juga. Konsekwensi logisnya terlihat keragaman bentuk pemujaan sebagai religiusitas masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng sampai sekarang. Manusia pada dasarnya mempunyai fithrah untuk beragama sebagai konsep pemaknaan agama. Dalam bentuk masyarakat primitif pun senantiasa cenderung menjadi nilai-nilai kesakralan yang tidak terdapat pada manusia. Untuk mengarahkan potensi beragama pada masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng yang belum tersentuh dengan dakwah secara maksimal, dapat diekspresikan melalui penyembahan terhadap totem-totem yang menurut keyakinannya dapat membawa ketentraman batin pada dirinya. Bentuk keyakinan inilah menyebabkan munculnya berbagai pemahaman tentang banyaknya dewa, yang mana dalam melakukan penyembahan senantiasa menampilkan ekspresi yang berbeda. Oleh karenanya, munculnya kepercayaan masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng untuk mensakralkan benda-benda yang bersifat materil dilakukan tiada lain hanya untuk mengekspresikan potensi agama yang dimilikinya. Manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai macam problema hidup, sehingga untuk memberikan ketentraman batin terhadap masalah yang dihadapi disandarkan pada totem-totem yang dianggap mempunyai nilai-nilai kesakralan. Bentuk-bentuk kepercayaan seperti ini masih mewarnai kehidupan masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng sampai sekarang, walaupun mereka telah menerima Islam sebagai agamanya. Fenomena keagamaan pada masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng merupakan kondisi ril salah satu religiusitas masyarakat Islam yang ada Di Indonesia. Kondisi ini memerlukan perhatian khusus dan penanganan yang intens dari pemerintah dan ulama untuk meluruskan pemaknaan agama terhadap ajaran Islam agar bisa tercipta masyarakat yang Islami. Bagi seorang da’i perlu menformat ulang model dakwah termasuk materi, metode, media dan pendekatan dakwah dalam menghadapi masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng. Terciptanya model dakwah yang kontekstual akan melahirkan paradigma baru bagi masyarakat Bilipu yang memandang bahwa Islam adalah agama yang dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulan Setiap agama memiliki sistem kepercayaan. Sebagai agama wahyu memiliki sistem kepercayaan melahirkan berbagai macam pendapat dari para ahli tergantung sudut pandang apa yang mereka gunakan untuk memandang sebuah persoalan agama. Agama dalam aspek teologi membahas tentang kepercayaan terhadap adanya Tuhan dan berusaha melakukan berbagai implikasi dari keyakinan itu terhadap kehidupan manusia. Sementara misalnya dalam aspek antropologi, cenderung mengkaji agama dari sudut amalan-amalan agama dalam bentuk ritual-ritual tertentu yang dilakukan oleh para penganutnya, seperti halnya masyarakat Bilipi Desa Abbumpungeng. Masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng adalah masyarakat pemeluk agama Islam. Namun, sistem kepercayaannya masih melakukan ritual-ritual yang bertentangan dengan ajaran Islam. 2 5 2 6
E.E. Evans Pritchard, Teori....., h.32. Ibid, h. 81.
54
Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 45-54
Untuk mengapresiasikan pengalaman beragamanya acapkali masih menyandarkan diri kepada nilai-nilai yang mereka sakralitakan, yang ada pada tempat tertentu yang dianggap mampu mewujudkan apa yang menjadi harapan dan keinginanya. Implikasi dari perilaku kepercayaan ini, menunjukkan bahwa masyarakat Bilipu di Desa Abbumpungeng belum dapat membedakan antara ajaran agama Islam, yang mereka anut dengan budaya yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Clifford Geertz, Interpretation Of Cultures, New York: Basic Books, 1973. Daniel L,Pas, Seven Theories Of Religion, Terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta:Qalam, 2001. Emile Durkheim, The Elementary Forms Of The Religious Life, Terj. Joseph Ward Swaim, London:George Allen&Unwim, 1976. E.E.Evans Pritchard, Teori-teori tentang Agama Primitif, terj H.A.Ludijito, Yogyakarta:PLP2M,1984. Ibnu Qudamah al-Maqdis, Al-Mughni, Beirut:Dar al-fikr, tth. Joachim Wach, Types Of Religion Experience, Cristian And Non-Christian, Chicago: University Of Chicago, 1952. Koentjaraningrat , Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta:UI Press, 1987. Samsul Munir, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009. Thomas, F.O’deo, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, terj, Yogyakarta: Raja Grafindo persada, 1983.