PEMAHAMAN DAN PELAKSANAAN ZAKAT PERTANIAN PETANI MUSLIM DI DESA PUCANGAN KECAMATAN KARTASURA SUKOHARJO Sulhani Hermawan Abstrak: Zakat pertanian belum pernah ditemukan di desa Pucangan. Penelitian ini mengungkap faktor penyebabnya secara historis. Terungkap bahwa petani Muslim di desa Pucangan belum menunaikan zakat pertanian, disebabkan karena faktor pemahaman yang kurang tentang zakat pertanian, ketiadaan lembaga di dalam komunitas yang mendorong pembayaran zakat pertanian dan semakin memburuknya kerugian dari hasil pertanian di desa Pucangan. IAIN Surakarta sebagai pendidikan tinggi Islam di desa Pucangan belum bisa mendorong petani di Pucangan untuk memiliki pemahaman yang cukup tentang zakat pertanian, dan sekaligus mendorong para petani untuk memiliki pertanian yang numuw serta memunculkan institusi pembayaran zakat pertanian yang memadai di masjid/musholla yang ada. A. Pendahuluan Desa Pucangan, berada di bagian selatan kecamatan Kartasura, sebuah kecamatan yang berada di sisi barat laut wilayah Kabupaten Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah, kota kecamatan yang pernah menjadi lokasi kerajaan Jawa-Islam Pajang dan kerajaan Jawa-Islam Kartasura. Desa Pucangan berbatasan sebelah barat dengan desa Sambon Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali dan desa Kertonanatan kecamatan Kartasura, sebelah utara dengan kelurahan Kartasura, sebelah timur dengan kelurahan Kartasura, desa Ngadirejo dan desa Ngemplak kecamatan Kartasura, sebelah selatan dengan desa Ngemplak kecamatan Kartasura dan desa Wironanggan dan Sraten kecamatan Gatak.1 Pada tahun 1940-an penduduk desa Pucangan disinyalir banyak mengikuti (dikarenakan terpaksa atau tidak tahu) gerakan Barisan Tani Indonesia yang merupakan underbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam sejarahnya, berdirilah markas Angkatan Darat yang dulunya bagian RPKAD atau Kostrad dan kemudian menjadi markas Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di wilayah Kandang Menjangan. Seiring dengan hal tersebut, Ahmad Syaibani Ilham, yang memiliki tugas khusus Misi Islam, menjadikan desa Pucangan sebagai wilayah dakwah dan mencegah tentara untuk ”menghabisi” penduduk desa Pucangan.2
1
Data Profil Desa dan Tingkat Perkembangan Desa Pucangan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo, Tahun 2012. 2 Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Syaibani Ilham, mantan kepala desa Pucangan tahun 1980 – 2007, menjadi guru agama Islam dan anggota misi Islam pada tahun 1960-an dan anggota DPRD Kabupaten Sukoharjo sebelum tahun 1980-an, wawancara di masjid Darussalam Gerjen pada tanggal 25 Agustus 2014.
Dalam perkembangannya, mulailah didirikan beberapa masjid dan musholla tambahan di wilayah desa Pucangan dengan penyebarannya di beberapa wilayah dusun dipelopori oleh Ahmad Syaibani Ilham dan teman-temannya. Sejak tahun 1996 (dan mulai ditempati pada tahun 1997), di wilayah Desa Pucangan berdiri kampus STAIN Surakarta, yang sebelumnya bertempat di kota Surakarta3 dan sejak tahun 2012 berubah menjadi IAIN Surakarta.4 Desa Pucangan memiliki 4 wilayah Kebayanan, 15 Rukun Warga (RW) dan 55 Rukun Tetangga (RT). Saat ini petani pemilik pemilik lahan berjumlah 19 orang dan petani penggarap sawah (penyewa lahan) berjumlah 26 orang. Dari jumlah petani tersebut, hanya 1 orang yang beragama non-Islam, dan sisanya semua beragama Islam.5 Berdasarkan hasil preliminary research, diketahui bahwa di desa Pucangan belum pernah dijumpai adanya zakat pertanian meskipun hampir semua petani beragama Islam dan setiap akhir Ramadan terjadi pembayaran Zakat Fitrah di semua masjid dan musholla di desa Pucangan.6 Kegiatan keagamaan Islam rutin diselenggarakan di masjid dan musholla di desa Pucangan, baik shalat berjamaah setiap hari maupun kegiatan keagamaan pada hari-hari tertentu yang terkait dengan agama dan hari besar Islam.7 Sebagai salah satu wilayah ekskaresidenan Surakarta yang merupakan wilayah pedalaman Jawa, desa Pucangan memiliki kebudayaan santri yang berhadapan dengan kebudayaan kraton Jawa-Islam. Walaupun secara resmi kraton Surakarta memeluk agama Islam, namun dalam gaya kehidupan pengaruh tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol.8 Penelitian ini menggunakan lokasi di wilayah desa Pucangan Kartasura Sukoharjo. Hal ini dilakukan karena wilayah desa ini berada di dekat kampus IAIN Surakarta dan merupakan wilayah pertanian yang pengairan teknisnya cukup bagus, sementara petani, baik pemilik lahan maupun penggarap sawah, hampir semuanya secara resmi beragama Islam. Berdasarkan informasi sementara bahwa zakat pertanian tidak pernah dijumpai di desa ini, maka kenyataan tentang kesadaran hukum, pengetahuan hukum dan penerapan hukum Islam,
3
Ibid. Tim Penyusun, Buku Panduan Akademik IAIN Surakarta 2013-2014 (Sukoharjo: IAIN Surakarta, 2013), hlm. 7. 5 Hasil Wawancara dengan Kepala Desa Pucangan Bapak Budiyono, tanggal 2 September 2014. 6 Ibid. 7 Wawancara dengan Ahmad Mualim, Takmir Musholla An-Ni’mah Jegongan Pucangan pada tanggal 4 September 2014. 8 Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 34 4
khususnya hukum zakat pertanian menjadi menarik untuk diteliti dan dianalisis lebih jauh, terutama tentang faktor-faktor penyebabnya. Penelitian ini menggunakan strategi kualitatif–deskriptif, artinya peneliti akan mencari deskripsi yang menyeluruh, mendalam dan cermat tentang kenyataan tidak adanya zakat pertanian di desa Pucangan Kartasura Sukoharjo dan alur sejarahnya. Demikian pula penelusuran tentang faktor-faktor penyebabnya akan dikaji dan dianalisis, terutama terkait dengan kesadaran hukum, pengetahuan hukum dan penerapan hukum Islam oleh para petani di desa Pucangan. Oleh karenanya, penelitian ini juga bersifat analisis historis untuk menganalisis kesejarahan tentang kenyataan tiadanya pembayaran zakat pertanian di desa Pucangan. B. Kewajiban Zakat Pertanian Secara bahasa (lughat), zakat berarti : an-numuw wa az-ziyadah (tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah)9. Atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan atau berarti pula kesucian, keadilan, dan kejujuran10. Dalam Al-Qur’an, kata zakat dan yang seakar kata dengannya digunakan di beberapa tempat. Kata “zakkaa” yang berarti “bersih” ada di dalam surat An-Nur (24) ayat 21, kata “zakkaahaa” yang berarti “mensucikannya (hati)” ada di dalam surat Asy-Syams (91) ayat 9, kata “tuzakkuu” yang berarti “kamu mengatakan suci’ ada di dalam surat An-Najm (53) ayat 32, kata “tuzakkiihim” yang berarti “zakat mensucikan mereka” ada di dalam surat at-Taubah (9) ayat 103, kata “yuzakkuuna” yang berarti “menganggap bersih” ada di dalam surat anNisa’ (4) ayat 49, kata “yuzakkii” yang berarti “membersihkan” ada di 2 tempat, dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 49 dan surat An-Nur (24) ayat 21, kata “yuzakkiikum” yang artinya “mensucikan kamu” ada di dalam surat al-Baqarah (2) ayat 151, kata “yuzakkiihim” yang artinya “mensucikan (membersihkan jiwa) mereka” ada di 5 tempat, dalam surat al-Baqarah (2) ayat 129, 174, surat Ali Imran (3) ayat 77, 164 dan surat Al-Jumu’ah (62) ayat 2. Kata “tazakkaa” yang artinya “bersih, mensucikan, membersihkan” ada di 4 tempat, dalam surat Taaha (20) ayat 76, surat Fathir (35) ayat 18, surat al-A’la (87) ayat 14, surat anNaazi’aat (79) ayat 18, kata “yatazakkaa” yang artinya “membersihkan” ada di 2 tempat, dalam surat Fathir (35) ayat 18 dan surat al-Lail (92) ayat 18 serta kata “yazakkaa” yang artinya “membersihkan diri” ada di 2 tempat, surat ‘Abasa (80) ayat 3 dan 7. Kata “azkaa” 9
Muhammad Sayyid Thonthowi, Al-Fiqh al-Muyassar (Kairo, Dar as-Sa’adah: 2001), cet. I, hlm.
123. 10
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic,
yang artinya “lebih suci, lebih bersih dan lebih baik” ada di 4 tempat, dalam surat al-Baqarah (2) ayat 232, surat al-Kahfi (18) ayat 19, surat an-Nur (24) ayat 28 dan 30, kata “zakiyyan” yang artinya “suci” ada di dalam surat Maryam (19) ayat 19, serta kata “zakiyyatan” yang artinya “bersih, suci” ada di dalam surat al-Kahfi (18) ayat 74. Sedangkan kata “zakah” yang artinya “zakat” sebagaimana dimaksudkan dalam arti syara’, muncul di dalam al-Qur’an sebanyak 32 kali, baik diiringi dengan kewajiban shalat atau tidak, yaitu di dalam surat al-Baqarah (2) ayat 43, 83, 110, 177, 277, surat an-Nisa’ (4) ayat 77, 162, surat al-Ma’idah (5) ayat 12, 55, surat al-A’raf (7) ayat 157, surat at-Taubah (9) ayat 5, 11, 18, 71, surat al-Kahfi (18) ayat 81, surat Maryam (19) ayat 13, 31, 55, surat alAnbiya’ (21) ayat 73, surat al-Hajj (22) ayat 41, 78, surat al-Mu’minun (23) ayat 4, surat anNur (24) ayat 37, 56, surat an-Naml (27) ayat 3, surat ar-Rum (30) ayat 39, surat Luqman (31) ayat 4, surat al-Ahzab (33) ayat 33, surat Fushilat (41) ayat 7, surat al-Mujadalah (58) ayat 13, surat al-Muzammil (73) ayat 20 serta surat al-Bayyinah (98) ayat 5. Menurut Hukum Islam, zakat adalah suatu bagian tertentu dari harta yang telah mencapai nishabnya, yang dibayarkan oleh seorang Muslim dengan cara pengalihan kepemilikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya berdasarkan ajaran agama11 Zakat merupakan salah satu rukun Islam dan difardlukan kepada umat Nabi Muhammad saw pertama kali di Mekkah dalam bentuk yang masih mutlak, tanpa batasan jenis dan jumlah harta yang wajib dizakati, sebagai bentuk kebaikan, harga diri dan kedermawanan seorang Muslim. Setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah, tepatnya pada tahun ke-2 Hijriyah, ketentuan tentang jenis dan jumlah harta yang wajib dizakati diatur dengan aturan yang terinci.12 Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, namun sekaligus juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia. Hanafiyah13 memberikan syarat umum zakat Mal berupa: 1.
Kepemilikan sepenuhnya (al-milkut-tam). Harta berada dalam kontrol dan kekuasaan pemiliknya secara penuh, dan dapat diambil manfaatnya secara penuh pula. Harta tersebut didapatkan melalui proses pemilikan yang dibenarkan menurut syariat Islam,
11
Muhammad Sayyid Thonthowi, Al-Fiqh al-Muyassar…, hlm. 123. Muhammad Sayyid Thonthowi, Al-Fiqh al-Muyassar…, hlm. 125-127. Wahbah az-Zuhaily, alFiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz. II, Bab. IV, hlm. 733. 13 Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu…, Juz. II, Bab. IV, hlm. 736. 12
seperti : usaha, warisan, pemberian negara atau orang lain dan cara-cara yang sah. Sedangkan apabila harta tersebut diperoleh dengan cara yang haram, maka zakat atas harta tersebut tidaklah wajib, sebab harta tersebut harus dibebaskan dari tugasnya dengan cara dikembalikan kepada yang berhak atau ahli warisnya. 2.
Berkembang. Harta tersebut dapat bertambah atau berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk berkembang.
3.
Cukup Nishab. Harta tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara'. sedangkan harta yang tidak sampai nishabnya terbebas dari Zakat
4.
Jumlahnya melebihi kebutuhan pokok (al-hajah al-ashliyah). Kebutuhan pokok adalah kebutuhan
minimal
yang diperlukan
seseorang dan
keluarga
yang
menjadi
tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. Artinya apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak. Kebutuhan tersebut seperti kebutuhan primer atau kebutuhan hidup minimum (KHM), misal, belanja sehari-hari, pakaian, rumah, kesehatan, pendidikan, dsb. 5.
Bebas dari hutang. Orang yang mempunyai hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama (dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas dari zakat.
6.
Berlalu satu tahun (al-haul). Maksudnya adalah bahwa pemilikan harta tersebut sudah belalu satu tahun. Persyaratan ini hanya berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan. Sedang hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang temuan) tidak ada syarat haul. Harta yang termasuk dalam kategori pertanian mengikuti Hanafi adalah semua
tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis, seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-sayuran, buah-buahan, rumput-rumputan, dan lain-lain. Dalam Madzhab Syafi’i, yang termasuk dalam golongan hasil pertanian hanyalah terbatas pada hasil pertanian yang dapat digunakan sebagai makanan pokok, seperti padi, gandum, kedelai, jagung, kacang, dan lainlain, serta buah kurma dan anggur. Semua hasil pertanian tersebut harus dikeluarkan segera zakatnya setiap kali musim panen apabila hasil panen sudah mencapai nishab. Namun menurut Madzhab Hanafi berapapun yang dihasilkan dari hasil pertanian tersebut harus dikeluarkan zakatnya 10%, tanpa disyaratkan mencapai jumlah tertentu (nishab). Dalam madzhab Syafi’i, lahan pertanian yang produksi dalam satu tahun, hitungan nishabnya menggunakan cara akumulasi dari beberapa hasil panen dalam satu tahun.
Ukuran 5 ausuq bila dicari padanannya dalam ukuran yang biasa berlaku di Indonesia dengan memakai ukuran gram, maka akan terjadi banyak perbedaan, karena nisahob yang asli (ausuq) adalah berbentuk takaran, sementara nishab dalam bentuk satuan gram hanyalah ukuran yang mendekati (kira-kira). Jadi bila ada perbedaan (khilaf) dalam batasan nishab hendaklah mengambil yang lebih berat. Berikut nishab dari berbagai macam hasil pertanian: 1. Gabah, nishabnya adalah 1323,132 Kg. 2. Beras, nishabnya 815,758 Kg. 3. Kacang Tunggak, nishabnya 756,697 kg. 4. Kacang Hijau, nishabnya 780,036 Kg. 5. Jagung kuning, nishabnya adalah 720 Kg. 6. Jagung putih, nishabnya 714 Kg.14 Nishab hasil pertanian adalah 5 wasq atau setara dengan 750 kg. Apabila hasil pertanian termasuk makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum, kurma, dll, maka nishabnya adalah 750 kg dari hasil pertanian tersebut. Pendapat lain menyatakan 815 kg untuk beras dan 1481 kg untuk yang masih dalam bentuk gabah.15 Tetapi jika hasil pertanian itu selain makanan pokok, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daun, bunga, dll, maka nishabnya disetarakan dengan harga nishab dari makanan pokok yang paling umum di daerah (negeri) tersebut. Kadar zakat untuk hasil pertanian, apabila diairi dengan air hujan, atau sungai/mata/air, maka 10%, apabila diairi dengan cara disiram / irigasi (ada biaya tambahan) maka zakatnya 5%. Dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa pada tanaman yang disirami zakatnya 5%. Artinya 5% yang lainnya didistribusikan untuk biaya pengairan. Imam AzZarqoni berpendapat bahwa apabila pengolahan lahan pertanian diairi dengan air hujan (sungai) dan disirami (irigasi) dengan perbandingan 50;50, maka kadar zakatnya 7,5% (3/4 dari 1/10).16 Pada sistem pertanian saat ini, biaya tidak sekedar air, akan tetapi ada biaya lain seperti pupuk, insektisida, dll. Maka untuk mempermudah perhitungan zakatnya, biaya pupuk, intektisida dan sebagainya diambil dari hasil panen, kemudian sisanya (apabila lebih dari nishab) dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% (tergantung sistem pengairannya).17
14
http://langitan.net/?p=211 http://baz.kabmalang.go.id/zakat3.htm dan http://www.pkpu.or.id/panduan.php?id=4 16 http://pusat.baznas.go.id/zakat-pertanian/ 17 Hasan Rifa'i Al Faridy, Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republika, 1996 dan http://www.dompetdhuafa.or.id/zakat serta http://zakat.al-islam.com/Loader.aspx?pageid=962& BookID= 698&TOCID=121 15
Menurut Imam Maliki dan As Syafi’i, yang wajib dizakati adalah setiap hasil pertanian yang berupa makanan pokok, dapat disimpan dan sudah mencapai satu nishab. Imam Hanafi berpendapat, yang wajib dizakati adalah setiap hasil pertanian baik biji-bijian ataupun buah-buahan yang yang biasa ditanam dan diharapkan panenannya. Sementara Imam Ahmad berpendapat bahwa yang wajib dizakati adalah setiap tanaman, baik berupa biji-bijian atau buah-buahan yang biasa di timbang (ditakar) dan disimpan, baik menjadi makanan pokok ataupun tidak.18 Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa hasil pertanian yang wajib dizakati menurut madzhab Syafi’i adalah setiap bahan makanan pokok yang biasa dimakan dalam keadaan normal, seperti beras, gandum dan jagung. Oleh karenanya tanaman obat-obatan, bumbu-bumbuan atau makanan pokok yang dimakan hanya dalam keadaan darurat tidaklah wajib zakat.19. Sedangkan untuk buah-buahan yang wajib dizakati agaknya terbatas pada kurma dan anggur, atau buah lain seperti jeruk misalnya, tapi diniati sebagai harta tijaroh (perdagangan), sehingga zakatnya juga menggunakan zakat tijaroh.20 C. Desa Pucangan dan Perkembangan Islam di Dalamnya Sejak tahun 2007, Desa Pucangan terbagi ke dalam 4 wilayah Kebayanan yang masing-masing dipimpin oleh seorang Bayan.21 Masing-masing wilayah kebayanan terdiri atas beberapa Rukun Warga (RW) dan masing-masing RW terdiri atas beberapa Rukun Tetangga (RT). Wilayah desa Pucangan juga terdiri dari beberapa kampung (dusun) yang berada di bawah wilayah kebayanan. Desa Pucangan dibelah menjadi 2 bagian oleh Jalan Raya Solo – Yogyakarta, 2 kebayanan di sebelah timur Jalan Raya Solo – Yogyakarta, 2 kebayanan berikutnya berada di sebelah barat Jalan Raya Solo – Yogyakarta.22 Wilayah kebayanan 1 terdiri atas RW 1 (4 RT), RW 2 (4 RT) dan RW 3 (3 RT). Dusun yang berada di wilayah kebayanan 1 adalah Pucangan, Sanggrahan, Bakalan, Gowongan, Alun-Alun Kidul, Gerjen, dan Pedusan. Wilayah kebayanan terdiri 2 atas RW 4
18
Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Marom Juz II, hlm. 237 serta Muhammad Sayyid Thonthowi, Al-Fiqh al-Muyassar…, hlm. 136. 19 I’anah ath-Tholibin, Juz II, hlm. 160 20 http://langitan.net/?p=211 21 Sebelum tahun 2007, desa Pucangan memiliki 3 wilayah kebayanan, dan semenjak tahun 2007 di bawah kepemimpinan Kepala Desa Budiyono, karena pertimbangan untuk lebih memudahkan urusan administrasi dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka jumlah kebayanan bertambah 1 buah sehingga menjadi 4 kebayanan, hasil wawancara dengan Kepala Desa Budiyono, S.H., di rumah dinas kepala desa Pucangan tanggal 5 September 2014. 22 Wawancara dengan Kepala Desa Budiyono, S.H., di rumah dinas kepala desa Pucangan tanggal 5 September 2014
(2 RT), RW 5 (5 RT) dan RW 6 (3 RT). Dusun yang berada di wilayah kebayanan 2 adalah dusun Tojayan, Gandikan, Grogolan, Gumuksari, Jegongan, Perumahan Kencana Asri, Tanggul dan Papungan. Kebayanan 1 dan 2 tersebut berada di sebelah timur Jalan Raya Solo – Yogyakarta. Lahan pertanian desa Pucangan, mayoritas berada di 2 wilayah kebayanan tersebut.23 Wilayah kebayanan 2 terdiri atas RW 7 (5 RT), RW 8 (4 RT), RW 9 (4 RT) dan RW 10 (3 RT). Dusun yang berada di wilayah kebayan 3 adalah Krapyak, Perumahan Pucangan Baru II, Widorosari, Kebonbaru 24 dan Jaganharjo. Sedangkan kebayanan 4 terdiri dari RW 11 (3 RT), RW 12 (3 RT), RW 13 (3 RT), RW 14 (6 RT) dan RW 15 (3 RT berada di kompleks Markas Kopassus). Dusun yang berada di kebayanan 4 adalah dusun Gunung, Citran, Betangsari, Sraten, Perumahan Pucangan Baru I, Kandang Menjangan dan Kragilan. Selain wilayah Kandang Menjangan, kebayanan 3 dan 4 berada di sebalah barat Jalan Raya Solo – Yogyakarta. Tanah pertanian yang ada di wilayah ini jumlahnya hanya sedikit dan berada pada perbatasan desa Pucangan dengan desa Sambon, kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali.25 Berdasarkan data pada tahun 2012, desa Pucangan memiliki lahan pertanian berupa sawah yang diairi dengan irigasi teknis seluas 61 ha/m2 serta lahan sawah yang diairi dengan irigasi setengah teknis seluas 15 ha/m2.26 Lahan pertanian sawah tersebut ditanami dengan tanaman padi sepanjang musim 2-3 kali setiap tahun.27 Seiring dengan perkembangan kampus IAIN Surakarta dengan peningkatan jumlah mahasiswa dari tahun 2012-2014, beberapa tanah persawahan semakin berkurang dan beralih fungsi menjadi perluasan kampus IAIN Surakarta dan tempat tinggal yang disewakan oleh para pemiliknya. Selain itu,
23
Ibid. Dusun Kebonbaru adalah pada awalnya adalah dusun relokasi warga yang pernah tinggal di daerah Kandang Menjangan (sekarang komplek Markas Komando Pasukan Khusus (Kopassus)). Relokasi warga Kandang Menjangan ke daerah Kebonbaru ini disinyalir terjadi pada tahun 1960-an, mengiringi peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S-PKI). Keberadaan Markas Kopassus yang dulunya adalah RPKAD merupakan bentuk intervensi negara untuk menghilangkan PKI dengan semua organisasi underbow dan paham komunisme di wilayah Solo Raya, hasil wawancara dengan Ahmad Syaibani Ilham, Kepala Desa Pucangan tahun 1980-2007 dan pernah menjadi anggota misi Islam tahun 1960-an Kementerian Agama RI, wawancara pada tanggal 25 Agustus 2014 di Masjid Darussalam Gerjen Pucangan dan Kepala Desa Budiyono, S.H., di rumah dinas kepala desa Pucangan tanggal 5 September 2014. 25 Wawancara dengan Kepala Desa Budiyono, S.H., di rumah dinas kepala desa Pucangan tanggal 5 September 2014 26 Data Profil Desa dan Tingkat Perkembangan Desa Pucangan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Tahun 2012. 27 Ibid. 24
pengembangan SMAIT Nur-Hidayah juga menjadi penyumbang berkurangnya lahan sawah pertanian di desa Pucangan.28 Berdasarkan data tahun 2012, penduduk desa Pucangan berjumlah 13.489 orang yang terdiri dari 6610 laki-laki dan 6879 perempuan. Dari jumlah tersebut, penduduk Muslim sebanyak 12.144 yang terdiri dari 5972 laki-laki dan 6172 perempuan.29 Kalau dibuat prosentase, maka penduduk Muslim di desa Pucangan berjumlah lebih dari 90 %. Dalam perkembangannya sampai tahun 2014, di desa Pucangan terdapat 17 Masjid dan 33 Musholla yang tersebar di berbagai dusun/dukuh dan kebayanan yang ada. Di Dusun Pucangan terdapat 4 Masjid serta 1 buah Musholla di Kantor Desa Pucangan. Di Dusun Sanggrahan terdapat 1 buah masjid dan 2 buah Musholla. Di Dusun Bakalan terdapat 1 buah Masjid dan 1 buah Musholla. Di Dusun Gowongan terdapat 1 buah Musholla. Di Dusun Alun-Alun Kidul terdapat 1 buah Musholla. Di Dusun Gerjen terdapat 1 buah Masjid (yang merupakan Masjid tertua di desa Pucangan) dan 1 buah Musholla. Di Dusun Pedusan terdapat 1 buah Musholla.30 Berdasarkan data ini, di wilayah Kebayanan 1 (dusun Pucangan, Sanggrahan, Bakalan, Gowongan, Alun-Alun Kidul, Gerjen dan Pedusan) terdapat 7 buah masjid dan 8 Musholla dan sebagian kecil dari wilayah kebayanan 1 adalah areal persawahan. Di Dusun Gandikan terdapat 1 buah Masjid dan 1 buah Musholla. Di Dusun Tojayan terdapat 1 buah Musholla. Di Dusun Jegongan terdapat 1 buah Musholla. Di Dusun Gumuksari terdapat 1 buah Musholla. Di Dusun Grogolan terdapat 1 buah Musholla. Di Dusun Tanggul terdapat 1 buah Musholla. Di Dusun Papungan terdapat 2 buah Musholla.31 Sebagian besar wilayah di Kebayanan 2 merupakan areal persawahan. Berdasarkan data tersebut, di Kebayanan 2 terdapat 1 buah masjid dan 8 Musholla. Di Dusun Krapyak terdapat 1 buah masjid dan 2 buah Musholla. Di Dusun Widorosari terdapat 2 buah masjid serta 2 buah Musholla. Di Dusun Kebonbaru terdapat 1 buah masjid serta 7 buah Musholla. Di Dusun Jaganharjo terdapat 2 buah Musholla.32 Sebagian kecil di sebelah barat kebayanan 3 merupakan areal persawahan yang berbatasan
28
IAIN Surakarta (ketika itu bernama STAIN Surakarta) mulai bertempat di desa Pucangan sejak tahun 1996, dan lahan yang digunakan sebagai tempat pembangunan kampus IAIN Surakarta adalah lahan persawahan desa Pucangan. 29 Data Profil Desa dan Tingkat Perkembangan Desa Pucangan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Tahun 2012 30 Daftar Masjid dan Musholla Desa Pucangan Kecamatan Kartasura tahun 2014. 31 Ibid. 32 Ibid.
langsung dengan desa Sambon, Kecamatan Banyudono kabupaten Boyolali. Berdasarkan data tersebut, di kebayanan 3 terdapat 4 buah masjid dan 13 Musholla. Di Dusun Citran terdapat 1 buah masjid dan 1 buah Musholla. Di dusun Betengsari terdapat 1 buah masjid dan 1 buah Musholla. Di dusun Sraten terdapat 1 buah Masjid yang sekaligus menjadi masjid bagi warga perumahan Pucangan Baru 1. Di Dusun Kragilan terdapat 1 buah Masjid. Di dusun Gunung terdapat 1 buah Musholla. Dan di markas Kopassus terdapat 1 buah masjid yaitu masjid Al-Ikhya.33 Berdasarkan data tersebut, di kebayanan 4 terdapat 5 buah masjid dan 4 buah Musholla. Tempat ibadah Islam yang terhitung paling awal di desa Pucangan, yang keberadaannya sudah ada sebelum tahun 1960-an adalah Masjid Darussalam Gerjen (kebayanan 1) dan Masjid al-Munajad Citran (kebayanan 4). Sementara itu, masjid-masjid dan musholla-musholla berikutnya mulai muncul pada masa setelah tahun 1965-an (pasca G30SPKI) sampai sekarang. Sedangkan pendidikan Islam yang pertama muncul di desa Pucangan adalah Yayasan Pendidikan Darussalam (memiliki beberapa TK dan MI, pernah mendirikan SMP yaang kemudian bubar dan juga Pesantren Mahasiswa Darussalam), kemudian diikuti oleh beberapa sekolah TK Muhammadiyah, TK Al-Hilal, IAIN Surakarta dan SMAIT Nur-Hidayah.34 Masyarakat Muslim di desa Pucangan belajar dan memahami agama Islam melalui masjid/musholla, tempat pendidikan dan pengajian Islam yang ada di masyarakat. Terkait dengan zakat, masyarakat desa Pucangan lebih mudah memahami dan melaksanakan pembayaran zakat yang diselenggarakan setiap setahun sekali di Masjid atau Musholla tempat mereka tinggal. Keberadaan amil zakat Fitrah dan Mal di akhir Ramadlan yang diangkat dari takmir masjid/musholla membuat masyarakat menjadi mudah untuk membayarkan zakatnya. Oleh karenanya, di setiap akhir Ramadlan, masjid dan musholla di desa Pucangan selalu menjadi tempat pengumpulan dan pembagian zakat dengan amil dari takmir dan jamaah masjid/musholla. Masyarakat petani di desa Pucangan, tidak mengenal dengan baik Badan Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh (BAZIS) atau Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh (LAZIS), mengingat keberadaannya di ibukota kabupaten/kota dan tidak pernah ada sosialiasi tentang
33
Ibid. Wawancara dengan Ahmad Syaibani Ilham, Kepala Desa Pucangan tahun 1980-2007 pada tanggal 25 Agustus 2014 di Masjid Darussalam Gerjen Pucangan 34
keberadaannya pada masyarakat desa Pucangan. Pembayaran zakat pada badan dan lembaga ini menjadi sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh petani Muslim di desa Pucangan.35 Dosen-dosen IAIN Surakarta yang tinggal di desa Pucangan memiliki peran di lingkungannya sebagai pimpinan wilayah (ketua RT, pengurus RT. Pengurus RW, anggota BPD) dan sekaligus sebagai pimpinan agama (takmir Masjid/Musholla). Karena perannya sebagai takmir masjid/musholla, maka dosen-dosen IAIN Surakarta memiliki peran penentu dan berpengaruh terhadap penyelenggaraan ibadah sehari-hari dan sekaligus pemeliharaan masjid/musholla yang menjadi tempat khidmatnya. Penentuan imam sholat, penyelenggaraan materi kajian dan pengajian, penentuan mubaligh, pembelajaran al-Qur’an dan pembelajaran agama, pengisi khiutbah Jumat serta penyelenggaraan acara keagamaan di rumah-rumah jamaah masjid dan musholla juga menjadi peran yang diambil oleh dosen-dosen IAIN Surakarta. Oleh karenanya, dosen-dosen IAIN Surakarta menjadi salah satu aktor dalam mengembangkan agama Islam (termasuk ajaran tentang zakat pertanian) di desa Pucangan. Tentu saja, hal ini dimulai ketika IAIN Surakarta benar-benar sudah berada desa Pucangan, sejak tahun 1997.36 Pada era sebelum tahun 1990-an, profesi petani, apalagi petani dengan kepemilikan sawah lebih dari 2 ha, merupakan profesi yang bisa menunjang kebutuhan hidup dan bahkan berlebih. Petani adalah orang yang bisa memberikan bantuan makanan atau kebutuhan hidup kepada orang lain yang membutuhkan, dan andil dalam pemenuhan kebutuhan bersama baik sosial kemasyarakatan maupun keagamaan.37 Pada saat itu, pertanian menjadi mata pencaharian yang relatif membutuhkan beaya produksi yang kecil dan memberikan hasil yang relatif besar. Beberapa hitungan beaya produksi pertanian di desa Pucangan menjadi relatif kecil karena ditunjang oleh beberapa hal, antara lain38 yaitu: 35
Wawancara dengan Kepala Desa Budiyono, S.H., di rumah dinas kepala desa Pucangan tanggal 5 September 2014 36 Wawancara dengan Ahmad Syaibani Ilham, Kepala Desa Pucangan tahun 1980-2007 pada tanggal 25 Agustus 2014 di Masjid Darussalam Gerjen Pucangan. 37 Wawancara dengan Parto Sirep, Petani pemilik lahan di dusun Jegongan Pucangan, dengan kepemilikan lahan lebih dari 2 ha yang merupakan warisan dari orang tuanya. Parto Sirep memiliki mata pencaharian satu-satunya sebagai petani sampai sekarang, meski anaknya tidak tertarik mengikuti jejaknya tersebut. Parto Sirep adalah jamaah Musholla an-Ni’mah Jegongan dengan intensitas keterlibatan yang cukup kecil pada ibadah harian di Musholla, namun sering memberikan kontribusi berupa uang atau material kebutuhan Musholla dan Jamaah. Wawancara dilakukan di rumah Parto Sirep, Jegongan RT 4 RW 5 pada tanggal 9 September 2014. 38 Wawancara dengan Suyoto, Sarjana Pertanian yang menjadi petani pemilik lahan dan pegawai di kementerian pertanian Sukoharjo, sejak tahun 2013 menjadi ketua Takmir Musholla an-Ni’mah Jegongan Pucangan, wawancara dilakukan di rumah Suyoto, Jegongan RT 4 RW 5 pada tanggal 7 September 2014.
1. Keberadaan sawah di desa Pucangan dengan irigasi teknis yang lancar 2. Kondisi tanah yang relatif masih subur dengan pengolahan tradisional dan bahkan dikerjakan secara kolektif dengan gotong royong bergantian 3. Penggunaan pupuk dan obat yang belum terlalu banyak dan tidak mahal, dan ditunjang dengan penggunaan pupuk organik hasil kotoran ternak. Sementara itu, hama tanaman jarang sekali muncul dan bisa diselesaikan dengan cara-cara tradisional yang tidak berbiaya mahal 4. Penggunaan bibit padi yang diseleksi sendiri oleh petani dari hasil panen, meskipun sudah mulai menggunakan bibit padi yang harus beli tidak bisa diambil dari seleksi hasil panen 5. Pengerjaan pemanenan banyak dilakukan secara gotong royong bergantian, sehingga tidak membutuhkan beaya sewa tenaga. Kondisi tersebut kemudian mengalami perubahan pada era sesudah 1990-an. Terungkap fakta bahwa kegiatan pertanian di sawah yang berjalan selama setelah tahun 1990 ternyata semakin hari semakin berbiaya besar. Hal ini terjadi karena beberapa hal, yang antara lain adalah naiknya komponen beaya sewa lahan pertanian, semakin jarangnya tenaga kerja pertanian, naiknya harga benih padi, naiknya upah tenaga kerja pertanian, bertambahnya kebutuhan pupuk kimia dan naiknya harga pupuk kimia, serta bertambahnya kebutuhan obat hama dan naiknya harga obat hama.39 Di sisi lain, meningkatnya beaya pertanian tersebut justru tidak diimbangi dengan kenaikan hasil pertanian. Harga gabah tidak semakin membaik, meski harga beras terus beranjak naik. Penyerapan pasar terhadap gabah petani juga semakin lemah dengan banyaknya beras impor ke Indonesia. Konsumsi sehari-hari petani seringkali didapatkan dengan membeli beras, karena gabah harus segera dijual untuk menutup beaya pertanian yang semakin mahal dan penyiapan musim tanam berikutnya. Petani di desa Pucangan biasanya menjual hasil gabahnya, baik dijual langsung di sawah, maupun setelah dikeringkan di rumah.40 Dalam kasus tersebut, profesi petani baik di lahan sendiri maupun lahan sewa, semakin berkurang. Banyak generasi muda tidak lagi mau mengerjakan pertanian, karena 39
Hasil Focus Grup Discussion pada tanggal 8 September 2014 di rumah Sarjono, Jegongan RT 4 RW 5 Pucangan, dengan petani Muslim, takmir dan jamaah Musholla an-Ni’mah di Dukuh Jegongan desa Pucangan, yang merupakan wilayah desa Pucangan dengan jumlah petani terbanyak, baik petani pemilik lahan, maupun petani penggarap atau buruh tani. 40 Ibid.
harus berhadapan dengan kenyataan berupa hasil pertanian yang tidak lagi menguntungkan dan bisa menjadi satu-satunya mata pencaharian. Anak-anak petani lebih banyak memilih menjadi buruh pabrik, pekerja dan buruh bangunan serta pekerjaan lainnya yang dirasa mendapatkan hasil secara rutin. Kalaupun masih mengerjakan sawah dan bertani, anak-anak petani kemudian disibukkan dengan pekerjaan lainnya di luar pertanian, untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.41 Beberapa petani pemilik sawah bahkan ada yang menjual sawahnya yang dinilai merugi ketika memiliki kebutuhan mendadak, seperti beaya sekolah anak, beaya perawatan sakit dan sebagainya.42 Terkait dengan kondisi tersebut, ada analisis makro nasional yang bisa digunakan untuk membaca situasi ini.43 Di Indonesia, jumlah orang miskin tahun 2005 sebesar 35,1 juta (di perkotaan 22,7 juta di pedesaaan 12,4 juta), tahun 2006 sebesar 39,3 juta (di perkotaan 24,8 juta di pedesaaan 14,5 juta), tahun 2007 sebesar 37,2 juta (di perkotaan 23,6 juta dan di pedesaan 13,6 juta) dan tahun 2008 sebesar 34,96 juta.44 Kemiskinan di Indonesia merupakan fenomena yang erat kaitannya dengan kondisi sosial-ekonomi di pedesaan pada umumnya dan di sektor pertanian pada khususnya.45 Ilustrasinya dengan angka dari Susenas 2004, dari setiap 100 orang penduduk Indonesia, 57 tinggal di pedesaan, dan dari setiap 100 orang miskin, 69 tinggal di pedesaan. Selanjutnya, dari setiap 100 orang miskin, 64 kerja di sektor pertanian.46 Beberapa penyebab kondisi powerless petani yang memiliki keterkaitan erat dengan aturan hukum tentang pangan dan pertanian, antara lain adalah pertama, transformasi 41
Sarjono, seorang Petani Muslim di dusun Jegongan jamaah Musholla an-Ni’mah Jegongan dan Masjid Darussalam Gerjen sebelum tahun 2013, masih menjadikan pertanian (sawah, peternakan dan kolam ikan) sebagai satu-satunya mata pencaharian. Namun, setelah harus menanggung berbagai macam hutang untuk memenuhi beaya pertanian, sejak tahun 2013, Sarjono mulai mengambil pekerjaan sebagai buruh bangunan di IAIN Surakarta, dalam Hasil Focus Grup Discussion pada tanggal 8 September 2014 di rumah Sarjono, Jegongan RT 4 RW 5 Pucangan, dengan petani Muslim, takmir dan jamaah Musholla anNi’mah di Dukuh Jegongan desa Pucangan 42 Wagiyo adalah salah satu petani pemilik lahan sawah di depan kampus IAIN Surakarta yang menjual lahan sawahnya yang dinilainya tidak lagi menguntungkan, ketika akan membiayai sekolah anaknya untuk menempuh pendidikan di Tentara dan Kepolisian. Setelah tidak lagi menjadi petani, Wagiyo bekerja sebagai buruh bangunan, menyertai istrinya yang menjadi buruh pabrik, dalam Hasil Focus Grup Discussion pada tanggal 8 September 2014 di rumah Sarjono, Jegongan RT 4 RW 5 Pucangan, dengan petani Muslim, takmir dan jamaah Musholla an-Ni’mah di Dukuh Jegongan desa Pucangan. 43 Sulhani Hermawan, “Tinjauan Keadilan Sosial Terhadap Hukum Tata Pangan Indonesia” dalam Mimbar Hukum, Jurnal Berkala Fakultas Hukum UGM, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM), Vol. 24, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 489-503. 44 Data Kemiskinan Indonesia Badan Pusat Statisktik (BPS) tahun 1976-2006 dengan perkiraan pada bulan Maret dan angka dibulatkan, dan dikutip oleh Tulus Tambunan, Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan, (Jakarta: UI-Press, 2010), hlm. 172. 45 Tulus Tambunan, Ibid., hlm. 179. 46 Ibid., hlm. 183-184.
struktural yang massive pada perekonomian Indonesia sejak awal periode orde baru, dari sebuah ekonomi dengan peran dominan pertanian ke sebuah ekonomi yang peran pertanian semakin melemah47. Penyebab kedua, yang dinilai sebagai penyebab terbesar adalah ketimpangan dalam distribusi lahan. Petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0.5 ha semakin tahun semakin naik jumlahnya, dan bahkan menjadi petani tanpa lahan (buruh tani). Areal pertanian semakin banyak yang berubah menjadi areal non-pertanian, akses sumberdaya air dan tanah bagi petani semakin sulit48. Konferensi Internasional tentang Pembaruan Agraria dan Pembangunan Pedesaan (International Conference on Agraria Reform and Rural Developmnet/ICARRD) tahun 2006 di Porto Alegre, Brasil mengeluarkan kesepakatan semua negara peserta yang menegaskan bahwa hanya dengan pengaturan kembali struktur agraria atau penguasaan tanah, kemiskinan bisa diberantas dan sekaligus kedaulatan dan kepastian pangan bisa tercapai.49 Penyebab ketiga, adalah kurangnya perhatian serius dari pemerintah terhadap kesejahteraan petani. Selama ini, pemerintah lebih terfokus kepada prosedur dan hasil pertanian serta penyediaan pangan, tetapi kurang serius dalam upaya peningkatan pendapatan petani.50 Penyebab keempat, adalah yang disebut Subandriyo sebagai “paradoks produktivitas”. Sistem agribisnis di Indonesia menempatkan petani pada posisi terjepit di antara dua kekuatan eksploitasi ekonomi. Pada saat produksi, petani menghadapi kekuatan monopolistis, dan pada saat menjual hasil produksi, petani menghadapi kekuatan monopsonistis. Tingginya beaya produksi, mulai dari pengolahan lahan, penggunaan alat dan mesin,
pembelian
benih,
pupuk
dan
obat-obatan
kimiawi
dan
disertai
oleh
pengurangan/penghapusan subsidi pertanian, yang dilegalkan oleh peraturan perundangundangan, dan rendahnya harga jual yang diterima petani, seiring kebijakan impor pangan pada saat panen, tidak adanya proteksi terhadap produk pertanian impor, dan sebagainya, menjadi faktor semakin tingginya angka kemiskinan petani.51 D. Faktor-Faktor Penyebab Belum Terbayarkannya Zakat Pertanian di Desa Pucangan 47
Ibid., hlm. 189. Ibid., hlm. 189-195. 49 Soediono MP Tjondronegoro, “Kemiskinan dan Pembaruan Agraria”, Kompas, Opini, Jumat, 17 Maret 2006, hlm. 6, dan dikutip dalam Tulus Tambunan, Ibid., hlm. 195-196. 50 Andreas Maryoto, “Produksi Padi 2007, Upaya di Tengah Kecemasan”, Kompas, Bisnis dan Keuangan, Sabtu, 13 Februari 2007, hlm. 7 dan dikutip dalam Tulus Tambunan, Ibid., hlm. 196. 51 Toto Subandriyo, “Saatnya Berpihak kepada Petani”, Kompas, Opini, Jumat, 17 Maret 2006, hlm. 6 dan dikutip dalam Tulus Tambunan, Ibid., hlm. 197-208. 48
Belum adanya pembayaran zakat pertanian di desa Pucangan menjadi sebuah realitas yang tidak terbantahkan.52 Sampai saat ini, belum dijumpai, baik melalui masjid/musholla yang ada di desa Pucangan, apalagi melalui badan/lembaga zakat resmi, yang memang berlokasi jauh dari desa Pucangan, adanya zakat pertanian di desa Pucangan. Hal ini adalah sebuah realitas perilaku hukum yang merupakan reacting to something, going on in the legal system. 53 Secara ideal, mengingat bahwa mayoritas petani di desa Pucangan beragama Islam, pembayaran zakat pertanian mestinya menjadi sesuatu yang lazim adanya, karena setiap orang Islam akan dengan serta merta mentaati ajaran agamanya, berdasarkan teori ketaatan hukum Islam.
54
Zakat pertanian yang merupakan kewajiban bagi petani Muslim mestinya
harus dibayarkan dan ditunaikan setiap selesai memanen ketika hasilnya mencapai nisabnya.55 Dalam cara pandang tentang kesadaran hukum, yang mengacu kepada cara-cara yang digunakan orang untuk memahami hukum dan institusi-institusi hukum, yaitu pemahamanpemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan bagi mereka56, maka realitas tentang belum adanya zakat pertanian di desa Pucangan perlu dilihat dari sisi pemahaman petani Muslim di desa Pucangan tentang zakat pertanian itu sendiri. Terungkap fakta bahwa pada era sebelum 1990-an, mayoritas masyarakat desa Pucangan, belum memiliki pemahaman yang cukup tentang Islam, terutama tentang zakat pertanian. Keberadaan media dan tempat pendidikan Islam pada era tersebut masih belum terlalu banyak, dan masih menitikberatkan pada mengajak masyarakat untuk menunaikan ibadah sholat dan mengaji al-Qur’an serta beberapa pembelajaran akhlaq keseharian. Pembelajaran tentang zakat pertanian dengan seluk-beluk ketentuannya belum bisa menjadi prioritas dalam pembelajaran di masjid/musholla dan lembaga pendidikan Islam yang ada, apalagi mengajak
52
Dalam wawancara pada tanggal 5 September 2014 di rumah dinas Kepala Desa Pucangan, Kepala Desa Budiyono menyatakan, “kulo dereng nate nyumerapi wonten ingkang mbayar zakat pertanian, meskipun wonten pengaosan disinggung tentang zakat pertanian (saya belum pernah ketemu dengan orang yang membayar zakat pertanian, meskipun ada pengajian yang menyinggung tentang zakat pertanian)” 53 Lawrence M. Friedman, American Laws: An Introduction, (New York – London: W. W. Norton & Company, 1998), hlm. 231-236 54 Ichtijanto S.A, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”, dalam Ichtijanto S.A, dkk., Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. 95-149. 55 Muhammad Sayyid Thonthowi, Al-Fiqh al-Muyassar (Kairo, Dar as-Sa’adah: 2001), cet. I, hlm. 136. 56 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 298
petani untuk belajar agama Islam saja masih menjadi persoalan.57 Dan bisa jadi, berdasarkan hal ini, petani Muslim pada era sebelum 1990-an melakukan bentuk-bentuk pengeluaran harta berupa sosial kemasyarakatan dan keagamaan, 58 bukan zakat pertanian dengan semua normatifitasnya. Pada era setelah 1990-an, terutama setelah munculnya kampus IAIN Surakarta, pengembangan dan pengajaran Islam pada masyarakat relatif lebih bervariasi dan meluas kepada banyak ajaran Islam. Oleh karenanya, pengajaran tentang zakat pada masyarakat, termasuk di dalamnya zakat pertanian juga sudah menjadi salah satu materi yang penting, baik melalui pengajian di masjid/musholla maupun di tengah komunitas masyarakat. Namun demikian, berdasarkan teori tentang ketaatan hukum sebagaimana disebutkan Achmad Ali59 berupa compliance (ketaatan karena berharap ganjaran dan takut hukuman), identification (ketaatan karena menjadi identitas di sebuah komunitas tertentu), internalisasi (ketaatan karena merasa sesuai dengan nilai yang diyakini), dan ketaatan hukum karena kepentingan, maka kondisi belum adanya zakat pertanian pasca tahun 1990-an perlu dilihat dari teori ketaatan hukum tersebut. Petani Muslim di desa Pucangan bisa jadi sudah memiliki pengetahuan minimal dari pengajian di Masjid/Musholla yang menyinggung tentang pahala zakat dan ancaman siksa/hukuman dari keengganan membayar zakat, termasuk zakat pertanian. 60 Namun ketika mereka melihat realitas di komunitas masjid/musholla yang jelas mengurusi zakat setiap akhir Ramadlan, berupa zakat fitrah dan zakat mal (terutama selain pertanian), atau kurban di setiap Idul Adha, maka untuk bergerak kepada pembayaran zakat pertanian yang dikeluarkan setelah panen, belum menjadi identitas dalam komunitas tempat mereka berada. Ketaatan akibat identitas kelompok yang muncul di kalangan petani Muslim di desa Pucangan adalah mengeluarkan harta hasil pertanian untuk kepentingan sosial kemasyarakatan dan keagamaan 61
, karena mereka terbiasa dengan suasana gotong royong dalam kegiatan pertanian.
57 Wawancara dengan Ahmad Syaibani Ilham di Masjid Darussalam Gerjen pada tanggal 25 Agustus 2014. 58 Wawancara dengan Parto Sirep di rumahnya, Jegongan RT 4 RW 5 pada tanggal 9 September 2014. 59 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum…, hlm. 347-348. 60 Wawancara dengan Kepala Desa Pucangan Budiyono di rumah dinasnya pada tanggal 5 September 2014. 61 Wawancara dengan Parto Sirep di rumahnya, Jegongan RT 4 RW 5 pada tanggal 9 September 2014.
Teori ketaatan terhadap hukum karena kepentingan tertentu, dengan hitung-hitungan untung rugi62 dalam bentuk yang sebaliknya atau wujud dari kesadaran hukum dalam wujud menentang hukum atau melanggar hukum (legal consciousness as against the law),63 dipakai dalam melihat realitas belum adanya pembayaran zakat pertanian di desa Pucangan. Hal yang perlu dilihat adalah adanya kenyataan kerugian dalam usaha pertanian yang dialami petani desa Pucangan pasca 1990-an, yang terjadi justru ketika pengajaran dan pemahaman Islam di Pucangan semakin bertambah lengkap dan banyak dengan meningkatnya keberadaan masjid/musholla dan tempat pendidikan Islam. Zakat pertanian merupakan salah satu zakat mal yang di dalamnya ada pembahasan tentang syarat an-numuww dalam mewajibkannya.64 Kondisi pertanian pasca 1990-an, menimbulkan kelemahan bagi petani untuk bisa membayarkan zakat pertanian. Beaya pertanian yang tinggi dengan menggunakan uang hasil hutang pada beberapa orang akan dihitung ketika menerima uang hasil penjualan gabah. Hasil penjualan gabah akan dikurangi dengan beaya pertanian dan hutang-hutang. Apalagi sosialiasi tentang zakat juga mengajarkan untuk menghitung
kondisi seseorang yang memiliki hutang65 dan
mempertimbangkan beaya produksi sebelum membayarkan zakat.66 Persoalan lain yang tidak kalah peliknya adalah sangat minimnya hasil pertanian yang bisa diperoleh petani setelah menjual hasil panennya. Konsumsi sehari-hari petani seringkali didapatkan dengan membeli beras, karena gabah hasil pertaniannya harus segera dijual untuk menutup beaya pertanian yang semakin mahal dan penyiapan musim tanam berikutnya. 67 Situasi kesejahteraan petani yang minim terkait dengan hasil pertaniannya menjadi faktor penyebab belum adanya zakat pertanian di desa Pucangan pasca 1990-an. Selain itu, tidak adanya dorongan dalam bentuk lembaga atau tempat pembayaran zakat pertanian yang mapan di tengah komunitas petani Muslim, juga menjadi salah satu faktor penyebab belum adanya zakat pertanian. E. Penutup 62
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum…, hlm. 348. Ibid, hlm. 510 64 Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz. II, Bab. IV, hlm. 736. 65 Orang yang berhutang (gharim) adalah salah satu penerima zakat, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 60. 66 Pertanian dengan air hujan memiliki konsekuensi pembayaran zakat lebih besar daripada pertanian dengan air yang diusahakan, seperti irigasi, berdasarkan hadits riwayat Bukhari dari Ibn Umar, lihat Muhammad Sayyid Thonthowi, Al-Fiqh al-Muyassar …, hlm. 137. 67 Ibid. 63
Dari pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Islam di desa Pucangan mengalami dinamika warna yang cukup mencolok terbagai dalam tiga masa, yaitu era sebelum 1960-an, dengan pengaruh Keraton Jawa Islam yang cukup kental, era 1960an sampai 1990-an yang merupakan masa pelibatan komunisme dan orde baru di Indonesia dengan warna penghilangan komunisme yang cukup kental dan penambahan beberapa masjid dan musholla serta masa pasca 1990-an dengan berkembangnya pendidikan Islam yang pesat di dalamnya, terutama IAIN Surakarta. 2. Petani Muslim di desa Pucangan berusaha melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan perkembangan pemahaman yang mereka dapatkan seiring perkembangan Islam di Pucangan. Zakat dipahami sebagai kewajiban yang ditunaikan setiap akhir Ramadlan di masjid/musholla tempat mereka tinggal, dan disertai dengan keikutsertaan mereka dalam menyumbang kegiatan sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Zakat pertanian belum menjadi sebuah realitas yang terjadi di desa Pucangan. 3. Ketidaktaatan petani Muslim di desa Pucangan terhadap beberapa aturan hukum Islam dengan belum menunaikan zakat pertanian, disebabkan karena faktor pemahaman yang kurang tentang zakat pertanian, ketiadaan lembaga di dalam komunitas tempat tinggal mereka yang mendorong pembayaran zakat pertanian dan semakin memburuknya kerugian dari hasil pertanian di desa Pucangan, sebagaimana yang terjadi secara nasional di Indonesia, terutama petani padi. 4. IAIN Surakarta sebagai pendidikan tinggi Islam di desa Pucangan memiliki peran mencerdaskan para petani di desa Pucangan, sehingga memiliki pemahaman yang cukup tentang zakat pertanian, dan sekaligus mendorong para petani untuk memiliki pertanian yang numuw serta institusi pembayaran zakat pertanian yang memadai di masjid/musholla yang ada. Dalam realitas peran ini belum maksimal.
DAFTAR PUSTAKA Al Faridy, Hasan Rifa'i, Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republika, 1996 Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana, 2009. az-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.. Daftar Masjid dan Musholla Desa Pucangan Kecamatan Kartasura tahun 2014.
Data Profil Desa dan Tingkat Perkembangan Desa Pucangan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo, Tahun 2012. Friedman, Lawrence M., American Laws: An Introduction, New York – London: W. W. Norton & Company, 1998 Hasil Focus Grup Discussion pada tanggal 8 September 2014 di rumah Sarjono, Jegongan RT 4 RW 5 Pucangan, Hermawan, Sulhani, “Tinjauan Keadilan Sosial Terhadap Hukum Tata Pangan Indonesia” dalam Mimbar Hukum, Jurnal Berkala Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, Vol. 24, Nomor 3, Oktober 2012. Ichtijanto S.A, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”, dalam Ichtijanto S.A, dkk., Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991 Maryoto, Andreas, “Produksi Padi 2007, Upaya di Tengah Kecemasan”, Kompas, Bisnis dan Keuangan, Sabtu, 13 Februari 2007 Suseno, Franz Magnis-, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. Thonthowi, Muhammad Sayyid, Al-Fiqh al-Muyassar, Kairo, Dar as-Sa’adah: 2001. Tim Penyusun, Buku Panduan Akademik IAIN Surakarta 2013-2014, Sukoharjo: IAIN Surakarta, 2013. Tjondronegoro, Soediono MP, “Kemiskinan dan Pembaruan Agraria”, Kompas, Opini, Jumat, 17 Maret 2006 Toto Subandriyo, “Saatnya Berpihak kepada Petani”, Kompas, Opini, Jumat, 17 Maret 2006. Tulus Tambunan, Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan, Jakarta: UIPress, 2010. Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic. Wawancara Wawancara dengan Ahmad Mualim, Takmir Musholla An-Ni’mah Pucangan pada tanggal 4 September 2014.
Jegongan
Wawancara dengan Ahmad Syaibani Ilham di Masjid Darussalam Gerjen pada tanggal 25 Agustus 2014. Wawancara dengan Kepala Desa Pucangan Bapak Budiyono, tanggal 2 September 2014. Wawancara dengan Kepala Desa Budiyono, S.H., di rumah dinas kepala desa Pucangan tanggal 5 September 2014 Wawancara dengan Parto Sirep di rumahnya, Jegongan RT 4 RW 5 pada tanggal 9 September 2014. Wawancara dengan Parto Sirep, di rumah Parto Sirep, Jegongan RT 4 RW 5 pada tanggal 9 September 2014.
Wawancara dengan Suyoto di rumah Suyoto, Jegongan RT 4 RW 5 pada tanggal 7 September 2014. Internet http://baz.kabmalang.go.id/zakat3.htm http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat_Hasil_Pertanian http://langitan.net/?p=211 http://pusat.baznas.go.id/zakat-pertanian/ http://www.dompetdhuafa.or.id/zakat http://www.pkpu.or.id/panduan.php?id=4 http://zakat.al-islam.com/Loader.aspx?pageid=962& BookID= 698&TOCID=121