PEMACUAN KEAKTIFAN BERAHI MENGGUNAKAN HORMON OKSITOSIN PADA KAMBING DARA ESTRUS ACTIVITY INDUCTION OF YOUNG GOAT BY OXYTOCIN Oleh: Taswin Rahman Tagama Fakultas Peternakan Unsoed, Purwokerto (Diterima: 2 Oktober 2004, disetujui: 10 Nopember 2004) ABSTRAK Tujuan penelitian untuk meningkatkan efisiensi reproduksi ternak kambing yang mengalami keterlambatan pubertas pada kelompok tani, dengan pengimbasan keaktifan berahi. Penelitian dilaksanakan dari tanggal 5 Juli sampai dengan 6 Oktober 1998, di Desa Sikapat, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Metode penelitian adalah eksperimen lapangan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Kambing dara yang mengalami delay puberty dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, masingmasing sebanyak tujuh ekor ternak yang mendapat perlakuan sebagai berikut: kelompok A diimbas hormon oksitosin dosis 30 i.u. per ekor; kelompok B dosis 40 i.u. per ekor; dan kelompok C dosis 50 i.u. per ekor. Peubah yang diamati adalah (1) tenggang timbulnya berahi, (2) persentase berahi, (3) angka intensitas berahi, dan (4) angka kebuntingan. Data penelitian dianalisis variansi, dan yang menunjukkan perbedaan pengaruh dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan data untuk: (1) tenggang timbulnya berahi untuk kelompok A, B, dan C masing-masing adalah 11,08 ± 2,49 jam; 9 ,87 ± 3,12 jam; dan 10,57 ± 2,20 jam; (2) persentase berahi untuk seluruh perlakuan sebesar 100 persen; (3) angka intensitas berahi untuk kelompok A, B, dan C masing-masing sebesar 2,236 ± 0,138; 2,238 ± 0,145; dan 2,503 ± 0,142; (4) angka kebuntingan yang dicapai untuk kelompok A, B, dan C masingmasing sebesar 71,43, 71,43, dan 85,71%. Disimpulkan bahwa hormon oksitosin menyebabkan terjadinya berahi pada seluruh kambing yang diimbas, dengan angka intensitas berahi sangat tinggi. Kata kunci: Keterlambatan pubertas, Efisiensi reproduksi, Intensitas berahi ABSTRACT Aim of the research was to increase the reproductive efficiency of young goats that delay of puberty at farmrer group by induction of estrus activity. The study was carried out at Sikapat village, Sumbang district, Banyumas regency, Central Java, from 5 July until 6 October, 1998. Completely randomized design (CRD) was used in this research. Goats were divided into three groups and each group had seven heads. There were three groups of this study, namely: A = 30 IU oxytocin/goat; B = 40 IU oxytocin/goat; C = 50 IU oxytocin/goat. This research showed that: (1) time of onset estrus for treatment A, B, and C was 11.08 ± 2.49; 9.87 ± 3.12; and 10.57 ± 2.20 hours, respectively; (2) percentage of estrus for all treatment was 100; (3) estrus intensity rate for treatment A, B, and C was 2.236 ± 0; 2.238 ± 0.145; and 2.503 ± 0.142, respectively; and (4) conception rate for treatment A, B, and C was 71.43, 71.43, and 85.71 percent, respectively. It was concluded that oxytocin could cause the estrus on all goat treatment; with its oestrus intensity rate was very high. Pemacuan Keaktifan Berahi ... (Taswin R. Tagama)
213
PENDAHULUAN Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan adalah menggalakkan peternakan kambing lokal atau kambing Kacang. Selain untuk meningkatkan pendapatan petani di pedesaan, upaya penggalakan ternak kambing tersebut adalah untuk penyediaan daging sebagai sumber protein hewani bagi penduduk. Dipilihnya ternak kambing sebagai komoditas yang dikembangkan di pedesaan karena banyak segi positifnya, antara lain secara normal ternak tersebut bersifat prolifik (setiap kelahiran anaknya lebih dari satu ekor), modal awal tidak terlalu besar, pakannya tidak bersaing dengan manusia, masa kebuntingan relatif singkat, dan dapat sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Ditinjau dari aspek sosial dan ekonomi, penduduk pedesaan yang memiliki ternak kambing atau pun ternak lainnya cenderung kondisinya jauh lebih baik dibandingkan dengan penduduk yang tidak memelihara ternak. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penduduk desa yang berprofesi utama sebagai petani, jika mempunyai usaha sampingan beternak kehidupannya relatif lebih baik. Secara umum, rata-rata
konsumsi protein hewani per kapita per hari penduduk Indonesia sudah berubah ke arah sedikit lebih baik, meskipun masih di bawah rataan negara ASEAN. Pemenuhan kebutuhan protein hewani masih banyak kendala yang dihadapi, apalagi jika tujuan akhirnya untuk ekspor ternak. Salah satu kendala yang dihadapi pemerintah adalah pertambahan populasi ternak masih jauh dari yang diharapkan, salah satunya adalah sebagai akibat dari keaktifan reproduksi yang masih rendah. Hal tersebut sebagai manifestasi dari kondisi malnutrisi baik dari aspek kualitas maupun kuantitas yang terjadi secara berkepanjangan, menyebab-kan keaktifan berahi kurang sehingga perkawinan tertunda, dan akibatnya adalah peningkatan populasi ternak akan terganggu. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi ternak kambing yang mengalami keterlambatan tibanya pubertas, yang dipelihara peternak di pedesaan Sikapat. Rendahnya produk-tivitas ternak kambing yang dipelihara peternak, akibat pengelolaan pemeliharaan yang tidak mengikuti anjuran peternakan. Sebagai salah satu pemecahan yang relatif mudah adalah pemanfaatan bioteknologi reproduksi sederhana yang mudah dikerjakan. Bioteknologi tersebut adalah pengimbasan hormon pemacu berahi yang harganya
Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. IV No. 3 Desember 2004: ISSN. 212-219 1411-9250
214
METODE PENELITIAN Percobaan yang dilakukan adalah memanfaatkan bioteknologi reproduksi sederhana, yaitu pengimbasan berahi menggunakan hormon oksitosin dengan dosis yang berbeda pada kambing Kacang dara, yang mengalami keterlambatan pubertas (gangguan berahi). Jumlah ternak yang digunakan sebagai sampel penelitian sebanyak 21 ekor kambing Kacang yang diseleksi berdasarkan bobot badan dan umur, serta kondisi keaktifan reproduksinya (difokuskan pada gangguan berahi). Ternak sampel dibagi dalam tiga kelompok perlakuan, sehingga masing-masing kelompok sebanyak tujuh ekor kambing. Sediaan pengimbas yang digunakan adalah hormon oksitosin sebanyak 10 vial, setiap vial mengandung hormon oksitosin 10 yang setara dengan 100 IU. Perlakuan yang diuji adalah dosis hormon oksitosin dengan tataran yang berbeda, yaitu perlakuan A sebanyak 30 IU per ekor; perlakuan B sebanyak 40 IU per ekor; dan perlakuan C sebanyak 50 IU per ekor. Metode penelitian adalah eksperimen lapangan dengan rancangan acak lengkap (RAL). Kambing sampel yang menunjukkan gejala berahi pasca-imbas hormon oksitosin dikawinkan secara alam dengan pejantan yang telah diseleksi berdasarkan kemampuan kawin (libido) dan kualitas spermatozoanya. Peubah yang diamati adalah: 1. Tenggang Timbulnya Berahi (TTB), data TTB diperoleh dari
hasil pengamatan yang dihitung sejak saat injeksi oksitosin sampai timbulnya berahi dalam satuan jam (Toelihere, 1985). 2. P e r s e n t a s e B e r a h i , d a t a persentase berahi diperoleh dari hasil pengamatan berahi, menggunakan rumus: Jumlah kambing yang berahi —————————————— x 100% Jumlah kambing yang diimbas 3. Angka Intensitas Berahi (AIB), data AIB diperoleh dari pengamatan yang intensif terhadap gejala berahi yang timbul akibat imbas oksitosin, kemudian gejala yang tampak dibuat skor (Toelihere, 1985). Adapun gejala berahi yang diamati adalah perubahan pada vulva, lendir, dan tingkah laku berahi. 4. Angka Kebuntingan, pengamatan angka kebuntingan pada kambing penelitian berdasarkan pada tidak munculnya berahi kembali pascakawin atau non return rate (NR) dalam kurun waktu 0 - 30 hari. Analisis data untuk TTB dan AIB menggunakan analisis variansi, dan jika menunjukkan perbedaan pengaruh nyata hingga sangat nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (BNJ). Perbedaan data persentase berahi dan angka kebuntingan diketahui lebih jauh dengan uji lanjut Chi-kuadrat. HASIL DAN PEMBAHASAN Tenggang Timbulnya Berahi (TTB) Hasil pengamatan terhadap
Pemacuan Keaktifan Berahi ... (Taswin R. Tagama)
215 Tabel 1. Tenggang Timbulnya Berahi Pascaimbas dengan Hormon Oksitosin Perlakuan A B C
Rataan (jam) 11,08 a 9,87 a 10,57 a
Simpang Baku 2,49 3,12 2,20
Keterangan: Angka dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan pengaruh antar-perlakuan.
Dari Tabel 1, data TTB untuk perlakuan A, B, dan C, masingmasing adalah 11,08 ± 2,49; 9,87 ± 3,12; dan 10,57 ± 2,20 jam pascaimbas hormon oksitosin. Berdasarkan hasil analisis variansi terhadap TTB, ternyata imbas hormon oksitosin untuk ketiga perlakuan memberikan pengaruh yang sama. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ketiga dosis hormon oksitosin dalam merangsang uterus untuk mensekresi prostglandin F2a (PGF2a) mempunyai kemampuan yang sama. Dikemukakan oleh Hafez dan Hafez (2000) bahwa PGF2a yang disekresikan dari uterus akan bekerja langsung pada ovaria (indung telur) untuk meluluhkan corpus luteum (CL) fungsional, dengan aksi counter current mechanism mengakibatkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah yang menuju ovaria, sehingga ovaria mengalami kekurangan pasokan zat makanan dan akhirnya CL fungsi akan mengalami peluluhan. Peneliti lain, Inskeep (1973) serta Bearden dan Fuquay (2000), membuktikan bahwa terjadinya peluluhan pada CL fungsi
berdampak langsung pada penurunan hormon progesteron secara drastis. Kondisi tersebut akan diikuti dengan disekresikannya FSH, sehingga terjadi pertumbuhan folikel hingga tahap de Graaf, yang akan diikuti dengan disekresikannya hormon estrogen dari liquor foliculi. Membanjirnya hormon estrogen akan dimanifestasikan dengan terjadinya berahi. Kondisi ini diperkuat oleh Kindhal et al. (1981) bahwa hormon oksitosin mempunyai pengaruh positif terhadap hormon estrogen sebagai hormon pemicu berahi. Mengamati hasil penelitian ini, maka dengan ketiga tataran dosis hormon oksitosin yang diimbaskan mampu untuk merangsang disekresikannya PGF 2 a uterus. Ternyata PGF 2 a uterus yang sekresinya dirangsang dapat mempercepat timbulnya berahi dengan mekanisme tidak langsung. Persentase Berahi Data persentase berahi diperoleh dari hasil pengamatan pada kambing yang diimbas dengan hormon oksitosin, tertera pada Tabel 2. Data yang tersaji pada Tabel
Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. IV No. 3 Desember 2004: ISSN. 212-219 1411-9250
216 Tabel 2. Persentase Berahi Kambing yang Diimbas Hormon Oksitosin Perlakuan A B C
Jumlah ternak (ekor) Jumlah berahi (ekor) 7 7 7 7 7 7
terhadap angka persentase berahi, yaitu masing-masing sebesar 100 persen. Kenyataan tersebut memperkuat berbagai laporan dari beberapa peneliti, seperti Robert (1976), Donaldson et al. (1985), dan Partodihardjo (1985) bahwa hormon oksitosin sangat efektif dalam menimbulkan berahi dengan mekanisme kerja yang tidak langsung. Dijelaskan bahwa imbas hormon oksitosin dengan dosis tertentu mampu untuk merangsang disekresikannya PGF 2 a, yang kerjanya meluluhkan korpus luteum fungsi, sehingga konsentrasi hormon progesteron menurun. Penurunan konsentrasi hormon progesteron tersebut akan diikuti dengan meningkatnya konsentrasi hormon estrogen, sehingga akibat lanjutnya adalah timbulnya berahi. Besarnya angka persentase berahi pada kambing yang diimbas hormon oksitosin memperkuat laporan Hafez (1993), bahwa imbas hormon oksitosin dapat menimbulkan berahi dan memperpendek daur birahi. Dilaporkan lebih lanjut bahwa pengimbasan hormon oksitosin mulai hari kedua hingga hari keenam dari daur birahi dapat memperpendek daur birahi menjadi
Persentase 100 100 100
delapan sampai 12 hari. Sapi perah dara yang diimbas hormon oksitosin selama tujuh hari pertama dari daur birahinya, ternyata dapat memperpendek daur birahi menjadi delapan sampai 10 hari, atau kirakira setengah dari daur birahi. Hasil uji Chi-kuadrat terhadap data persentase berahi kambing yang diimbas oksitosin menunjukkan bahwa Chi-kuadrat hitung lebih kecil daripada Chikuadrat Tabel (P > 0,05), sehingga dapat disim-pulkan tidak ada perbedaan antara ketiga dosis perlakuan terhadap persentase berahi kambing Kacang dara. Angka Intensitas Berahi (AIB) Data AIB diperoleh dari hasil pengamatan terhadap gejala berahi yang terwujud akibat pengimbasan hormon oksitosin. Ada pun gejala berahi yang diamati secara khusus untuk mendapatkan data AIB adalah perubahan pada vulva (merah, bengkak, dan hangat); lendir yang keluar dari vulva; dan tingkah laku berahi (gelisah, sering bersuara, berusaha untuk menaiki kambing yang lain, mengangkat ekor; dan sering terkencing). Data AIB hasil skoring setelah ditransformasi ke akar Y tertera pada Tabel 3. Semakin tinggi AIB yang diperoleh,
Pemacuan Keaktifan Berahi ... (Taswin R. Tagama)
217 Tabel 3. Angka Intensitas Berahi Perlakuan A B C
Rataan 2,236 a 2,138 a 2,503 b
Simpang Baku 0,138 0,145 0,142
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata hingga taraf 5 persen.
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa AIB tertinggi dicapai oleh kelompok C yang mendapat dosis perlakuan sebesar 50 IU per ekor, yaitu sebesar 2,503 ± 0,142; sedangkan AIB terendah dicapai oleh kelompok A yang mendapat perlakuan dosis sebesar 30 IU per ekor. Hasil analisis variansi data AIB menunjukkan adanya perbedaan nyata (P < 0,05) antar-perlakuan. Perbedaan antarperlakuan diketahui dengan uji BNJ, dan ternyata antara perlakuan A dengan B, dan antara perlakuan B dengan C tidak menunjukkan perbedaan nyata (P > 0,05). Antara perlakuan A dengan perlakuan C menunjukkan adanya perbedaan nyata (P < 0,05). Kenyataan tersebut memperkuat laporan Tan et al. (1982) bahwa imbas hormon oksitosin mampu merangsang berahi ternak kambing. Ditambahkan oleh Robert (1976) dan Donaldson et al. (1985), bahwa hormon oksitosin yang diimbaskan akan merangsang uterus untuk mensekresikan PGF2a, dan selanjutnya PGF2a tersebut akan meluluhkan CL fungsional, sehingga
hormon progesteron turun secara drastis. Penurunan progesteron tersebut mengakibatkan meningkatnya FSH, yang dalam tahapan selanjutnya akan merangsang pertumbuhan folikel hingga tahap de Graaf. Folikel de Graaf yang memiliki kandungan liquor foliculi terbanyak, dan liquor foliculi tersebut merupakan sumber utama hormon estrogen. Kondisi tersebut membuktikan bahwa semakin tinggi konsentrasi hormon estrogen yang disekresikan, maka semakin tinggi AIB ternak tersebut. Tingginya AIB merupakan perwujudan dari lengkapnya gejala berahi yang muncul atau terlihat pada ternak yang berahinya diimbas. Angka Kebuntingan Data angka kebuntingan yang paling cepat dan mudah didapat berdasarkan pada angka tidak kembali berahi pascakawin dalam kurun waktu tertentu, atau NR. Dasar penggunaan NR tersebut mengacu pada suatu pedoman, bahwa ternak yang tidak menunjukkan berahi kembali pascakawin berarti bunting (Hafez, 1980; Toelihere, 1985;
Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. IV No. 3 Desember 2004: ISSN. 212-219 1411-9250
218 Tabel 4. Angka Kebuntingan Pascakawin Berdasarkan NR 0 - 30 Hari Kondisi ternak Tidak bunting Bunting Jumlah Persentase
A 2 5 7 71,43 a
Perlakuan B 2 5 7 71,43 a
C 1 6 7 85,71 b
Jumlah 5 16 21
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata hingga taraf 5 persen. Berdasarkan Tabel 4, terlihat angka kebuntingan tertinggi dicapai pada kelompok yang mendapat perlakuan C, (dosis 50 IU per ekor), sedangkan untuk perlakuan A dan B angka kebuntingan yang dicapai besarnya sama yaitu 71,43%. Tingginya angka kebuntingan yang dicapai pada ternak penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya kambing yang dipelihara peternak di pedesaan mempunyai angka kesuburan yang tinggi, namun karena pengelolaan pemeliharaan yang tidak baik, maka ternak yang subur menjadi taksubur sementara atau infertil temporer (Prabowo, 1993). Hasil uji Chi-kuadrat terhadap data persentase berahi kambing yang diimbas oksitosin menunjukkan bahwa untuk perlakuan A dan B Chi-kuadrat hitung lebih kecil daripada Chikuadrat Tabel (P > 0,05), sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan antara kedua dosis perlakuan terhadap angka
kebuntingan kambing Kacang dara, sedangkan pada dosis 50 i.u. (perlakuan C) terdapat perbedaan yang sangat nyata. Dilaporkan oleh Tagama dan Saleh (1992) dan Prabowo (1993), bahwa kasus infertilitas (ketidaksuburan sementara) yang relatif tinggi terjadi pada ternak di daerah tropis, penyebabnya didominasi oleh kondisi malnutrisi, baik yang bersifat kualitas maupun kuantitas. Hasil pengamatan intensif yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa ketaksuburan banyak terjadi pada musim kemarau saat pakan berkurang, sedangkan di musim hujan saat pakan berlimpah keaktifan kelamin justru meningkat. Kondisi tersebut membuktikan bahwa kondisi malnutrisi berpengaruh langsung pada keaktifan kelamin. KESIMPULAN Kinerja reproduksi yang dimanifestasikan melalui keaktifan kelamin (berahi hingga bunting)
Pemacuan Keaktifan Berahi ... (Taswin R. Tagama)
219
DAFTAR PUSTAKA Bearden, H.J. dan J.W. Fuquay. 1980. Applied Animal Reproduction. 2nd ed., Reston Publishing Company, Inc., Reston. __________. 2000. Applied Animal th Reproduction. 5 ed., Missisipi State University. Prentice-Hall, Upper Saddle River, New Jersey. Donaldson, L.E., S. Hansel, dan L.D. VanVleck. 1985. Luteotropic Properties of Luteinizing Hormone and Nature of Oxytocin Induced Luteal Inhibition in Cattle. J. Dairy Sci. 48:336. Hafez, E.S.E. 1980. Reproduction in Farm Animals. 4th ed., Lea and Febiger, Philadelphia. __________. 1993. Reproduction in th Farm Animals. 6 ed., Lea and Febiger, Philadelphia. Hafez, B. dan E.S.E. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th ed., Liipincott Williams and Wilkins, A Wolter Kluwer Company, Philadelphia. Inskeep, E.K. 1973. Potential uses
of Prostaglandin F2a in control of Reproduction Cycles of Domestic Animals. Journal of Animal Science 36(6): 52 - 56 Kindhal, H., J.O. Lindell, dan L.E. Edqvist. 1981. Release of Prostaglandin F2a during the Oestrus Cycle. Acta Vet. Scand. 27: 69 Partodihardjo, S. 1985. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara, Jakarta. Roberts, S.J. 1976. Veterinary Obstetrics and Genital Diseases. Edwards, Inc. Ann. Arbor, Michigan, USA Tagama, T.R., dan D.M. Saleh. 1992. Pengamatan Keaktifan Kelamin Sapi Potong di Kabupaten Banyumas. Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan UNSOED, Purwokerto. Tan, G.J.S., R. Tweedale, dan J.S.G. Biggs. 1982. Evidence for a Direct Effect of Oxytocin on the Bovine Corpora Lutea Early Pregnancy. J. Reprod. Fert. 66:75-78. Toelihere, M.R. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. IV No. 3 Desember 2004: ISSN. 212-219 1411-9250