Dari Redaksi
PR Sebelum Hadapi MEA PENERBIT Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) PELINDUNG Pengurus Pusat Perbanas PEMIMPIN REDAKSI Danny Hartono, Wakil Sekretaris Jenderal Perbanas WAKIL PEMIMPIN REDAKSI Rita Mirasari, Ketua Bidang Humas Perbanas REDAKTUR PELAKSANA Eri Unanto SIRKULASI Wara Sri Indriani Adrian Burhan KONSULTAN Infobank Communication Redaksi menerima tulisan dari pihak luar. Panjang tulisan 3.000– 6.500 karakter. TARIF IKLAN Cover Depan dalam dan belakang dalam/luar berwarna • 1 halaman: Rp5.000.000,00 Isi • 1 halaman: Rp4.000.000,00 • ½ halaman: Rp2.000.000,00 Probank menerima pemasangan iklan dalam bentuk laporan keuangan, display produk, dan suplemen profil perusahaan. ALAMAT REDAKSI/IKLAN Griya Perbanas Lantai 1 Jalan Perbanas, Karet Kuningan Setiabudi, Jakarta 12940 Telepon: (021) 5255731,5223038 Faksimile: (021) 5223037, 5223339 website: www.perbanas.org e-mail:
[email protected] IZIN PENERBITAN KHUSUS MENPEN No. 1882/SK/DITJEN PPG/ STT/1993, 2 September 1993 ISSN: 0854-4174
P
elaku industri keuangan, terutama perbankan, harus mempersiapkan diri menghadapi pasar bebas ASEAN dalam wujud Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diberlakukan pada 2020. Waktu yang tersisa harus dimanfaatkan sebaik mungkin guna meningkatkan daya saing, mengingat perbankan kita cukup tertinggal apabila dibandingkan dengan perbankan negara lain di kawasan ASEAN, terutama Malaysia dan Singapura. Upaya untuk meningkatkan daya saing dan kemampuan juga terkait erat dengan potensi pasar domestik yang masih sangat besar. Tingkat penetrasi perbankan kita masih minim bila dibandingkan dengan populasi Indonesia yang besar. Hal itu bisa dilihat dari masih tingginya masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan. Potensi domestik yang sangat besar tentunya akan mengundang para pelaku usaha asing untuk bermain di negeri ini. Untuk bersaing pada era MEA, kualitas dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) perbankan kita harus ditingkatkan. Memang bankir-bankir kita telah mengalami perkembangan. Jika sebelumnya bank-bank asing masih memakai jasa bankir asing, kini sudah banyak bank asing yang memakai jasa bankir nasional. Namun, untuk level menengah atau manajer jumlahnya masih minim. Karena itu, berbagai pelatihan dan program sertifikasi untuk peningkatan kompetensi SDM perbankan kita harus terus dilakukan dan ditingkatkan. Begitu pun dalam hal teknologi informasi (TI). Perbankan kita dinilai masih minim dalam hal penerapan TI, masih terbatas pada bank-bank besar saja. Upaya peningkatan dan pemutakhiran TI harus terus dilakukan perbankan kita agar bisa bersaing dalam era MEA. Upaya untuk memperkuat perbankan nasional juga dilakukan pihak otoritas terkait, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Terkait dengan kebutuhan modal untuk meng-cover risiko dan ekspansi bisnis perbankan, otoritas terkait dan segenap stakeholders menganggap perlu adanya konsolidasi perbankan nasional. Upaya tersebut dilakukan agar perbankan nasional kuat dan besar. Konsolidasi bisa ditempuh dengan jalan merger maupun akuisisi. Memang langkah ini tidak mudah dijalankan. Buktinya, konsolidasi hingga saat ini tidak berjalan mulus, walaupun idenya sudah lama. Satu hal lagi yang dibutuhkan perbankan nasional agar besar dan kuat ialah adanya payung hukum. Hingga saat ini, undang-undang perbankan, yang rencananya mengalami revisi, belum juga rampung. Padahal, payung hukum tersebut bisa dijadikan acuan bagi pelaku perbankan nasional beserta pemangku kebijakan untuk pengembangan ke depan. Semoga, segala upaya yang tengah dan akan dilakukan pihak terkait bisa mendorong industri perbankan nasional menjadi lebih kuat dan besar. Alhasil, perbankan kita pun bisa menjadi pemain tangguh, setidaknya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. n
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015 l
PROBANK
1
Daftar Isi
Dari Redaksi.......................................................................1
Profil
Perbanas Utama Upaya Bank Hadapi MEA …………..................................3
Meningkatkan Modal dan SDM...............................20
Pelaksanaan MEA bagi sektor perbankan menyisakan sedikit waktu. Dengan berbagai peluang dan tantangan, Indonesia bisa menjadi pemain utama sekaligus pasar utama. Bagaimana kesiapan industri perbankan nasional?
Abdul Salam, Presiden Komisaris Bank Ganesha
Persaingan bisnis menuju dan saat diberlakukannya MEA pada 2020 bakal meningkat tajam. Para pelaku usaha perbankan di Tanah Air harus mempersiapkan diri agar bisa memenangi persaingan.
Kinerja Kredit Melambat, Risiko Meningkat...............…....23 Depresiasi rupiah memicu penurunan permintaan kredit. Sejumlah sektor yang berorientasi ekspor risikonya meningkat. Sektor-sekor mana saja yang patut diwaspadai pada 2015?
Butuh Konsolidasi dan Koordinasi…................…..........6 Menakar Kekuatan Modal dan SDM….............…..........7 Dari Pelayanan hingga SDM….............…....…...….........8 Regulasi Mitigasi Risiko Utang Luar Negeri ...…......................10
Memperoleh pinjaman yang bersumber dari luar negeri untuk mengembangkan bisnis menjadi pilihan banyak perusahaan di Indonesia. Namun, melihat kondisi perekonomian global yang belum stabil dan mengalami guncangan, BI merasa perlu mengatur utang luar negeri korporasi nonkeuangan supaya tidak terjadi masalah.
Aktualita Perbankan Optimistis dan Lebih Siap…………...…….12
Potensi untuk memperluas akses masyarakat melakukan investasi di reksa dana makin besar. Bagaimana respons perbankan terhadap perluasan penjualan produk reksa dana yang sudah bisa dilakukan pelaku industri lainnya?
BI Rate Turun, Angin Segar bagi Dunia Usaha?….......14 Waspada, Bahaya Cyber Crime Mengintai! ……......….16 Batal Sebelum Jalan….………………….…......…….…….18
2
PROBANK
l
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015
Sekilas Berita Bakti Sosial Imlek 2566............................................26 Silaturahmi Anggota Perbanas Sumut...................27 RDPU Perbanas dengan Komite IV DPD..................28
Membangun industri perbankan yang sehat bukan hal mudah. Perlu adanya peraturan perundangan untuk mengatur operasional industri dan pengawasan secara terus-menerus atas implementasi peraturan tersebut.
Suplemen Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih PT Bank Muamalat Indonesia Tbk...............................5 PT Bank Bukopin Tbk……………………...………………11 PT Bank DKI……………………………………......………….13 PT BTPN Syariah……..……………………....……………..17 PT Bank Panin Syariah Tbk ……………...………….….19 PT Bank Syariah Mandiri …………………....…..………25 PT Bank Mestika ……………………………........………….26 PT Bank Woori Indonesia ……………….....……………27
Perbanas Utama
Upaya Bank Hadapi MEA Pelaksanaan MEA bagi sektor perbankan menyisakan sedikit waktu. Dengan berbagai peluang dan tantangan, Indonesia bisa menjadi pemain utama sekaligus pasar utama. Bagaimana kesiapan industri perbankan nasional?
A
SEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah upaya membangun kawasan yang terintegrasi dan unggul dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dalam perjalanannya, kerja sama ekonomi ASEAN diarahkan pada pembentukan AEC yang pelaksanaannya relatif lebih cepat dibandingkan dengan kerja sama di bidang politikkeamanan dan sosial-budaya. Kesepakatan MEA diawali pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-2 pada 15 Desember 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia, dengan disepakatinya Visi ASEAN 2020. Dalam KTT tersebut para kepala negara ASEAN menegaskan beberapa kesepakatan. Yakni, (i) menciptakan kawasan
ekonomi ASEAN yang stabil, makmur, dan memiliki daya saing tinggi—yang ditandai dengan arus lalu lintas barang, jasa-jasa, dan investasi yang bebas; arus lalu lintas modal yang lebih bebas; pembangunan ekonomi yang merata—serta mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi; (ii) mempercepat liberalisasi perdagangan di bidang jasa; dan (iii) meningkatkan pergerakan tenaga profesional dan jasa lainnya secara bebas di kawasan. Menyangkut pelaksanaan MEA, pemerintah Indonesia sejatinya telah mempersiapkan diri. Pada tahap awal, hal itu direspons melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 Tahun 2011 yang mengatur tentang pelaksanaan komitmen cetak biru MEA. Namun, hingga saat ini, rancangan inpres mengenai No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015 l
PROBANK
3
Perbanas Utama
persiapan dan strategi setiap sektor dalam menghadapi perdagangan bebas regional belum juga diterbitkan. Memang, dari segi potensi dan ukuran ekonomi, MEA bisa menjadi peluang bagi Indonesia. Merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6%-8% per tahun, sementara produk domestik bruto (PDB) per kapita diprediksi mencapai US$7.000 pada 2019, ini dapat membuat posisi Indonesia naik menjadi middle income country. PDB Indonesia berkontribusi lebih dari 38% dari total PDB negara ASEAN. Namun, ada hal yang mesti segera diperbaiki negeri ini, terutama menyangkut daya saing. Peringkat daya saing Indonesia yang dirilis World Economic Forum, World Bank, berada di posisi ke-38, di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Sedangkan, peringkat kemudahan berbisnis Indonesia cuma berada di peringkat ke-120, jauh di bawah Vietnam yang berada di peringkat ke-99. Bagi para pelaku usaha di sektor perbankan, pemberlakuan MEA pada 2020 tentu memiliki peluang dan tantangan tersendiri. Mengingat potensi pasar domestik yang sangat besar, sudah sewajarnya perbankan nasional bisa menguasai pasar domestik dengan sangat baik. Hal ini sempat dilontarkan Ryan Kiryanto, ekonom Bank Negara Indonesia (BNI). Menurutnya, kendati MEA untuk sektor keuangan baru berlaku pada 2020, melihat besarnya tantangan pada tahun ini, industri perbankan tetap perlu waspada. Artinya, perbankan nasional harus tetap menjadikan pasar dalam negeri sebagai prioritas utama. Jangan sampai perbankan sibuk mengejar pasar di luar, tapi pasar di dalam negeri dilupakan. Saat ini perbankan asing lebih cenderung mengejar kategori kelompok high-end. Penguasaan bank lokal atas produk highend saat ini sudah tergolong bagus. “Namun, kita juga jangan sampai kecolongan. Prioritas utama (adalah) jaga pasar dalam negeri,” jelas Ryan. Ryan mengatakan, saat ini terdapat dua mazhab. Pertama, mazhab yang menganggap pasar dalam negeri sudah sangat besar sehingga perbankan tak perlu lagi menggarap pasar di luar. Sementara, penganut mazhab kedua berpikir sebaliknya. Jumlah penduduk Indonesia saat ini lebih dari 250 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, jumlah masyarakat kelas menengah negeri ini cukup besar. Artinya, kata Ryan, Indonesia punya pasar yang luar biasa besar. Hampir di sembilan kota besar ekonomi tumbuh dengan baik. “Selain itu, industri kreatif kita sangat bagus, dan kita punya riwayat ekonomi yang baik dan relatif stabil. Sejak 2008 hingga 2015, rata-rata kita tumbuh di atas 5%,” jelasnya.
4
PROBANK
l
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015
Penguasaan pasar domestik memang menjadi salah satu target utama para pelaku usaha di sektor perbankan. Pasalnya, jumlah penduduk Indonesia merupakan yang terbesar di antara negara-negara ASEAN. Selain itu, potensi pasar perbankan Indonesia masih sangat besar, mengingat penetrasi perbankan nasional masih sangat minim jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Hal itu tampak dari masih tingginya jumlah masyarakat yang belum tersentuh jasa perbankan. Sementara itu, menurut Komisaris Independen Bank Central Asia (BCA), Cyrillus Harinowo, kita bisa mengukur kekuatan ekonomi kita dibandingkan dengan negara ASEAN. Indonesia menopang 50% perekonomian ASEAN. Pada akhirnya, itu membawa implikasi bagaimana posisi perbankan kita—artinya, pasar yang terbesar. Akibatnya, konsentrasi perbankan Indonesia lebih banyak di lokal. Selanjutnya, Cyrillus menjelaskan, menjelang dan ketika diberlakukannya MEA, akan berkembang beberapa model bisnis, seperti regional banking dan strategic alliances. Untuk regional banking, contohnya bisa dilihat di Bank CIMB. Bank tersebut punya bank di Indonesia (Bank CIMB Niaga) dan di negara lainnya. “Mengapa mereka melakukan sekuat tenaga? Karena, pasar di Malaysia itu hanya sepertiga pasar di Indonesia. Buntutnya, jika tidak diambil jalan itu, pasar CIMB hanya seperenam untuk kawasan ASEAN,” jelas Cyrillus. Sementara, untuk model bisnis strategic alliances, contohnya dapat dilihat dari kerja sama BCA dengan Public Bank negara lainnya. Jadi, tak perlu membuka cabang. Nasabah BCA di luar negeri bisa ditangani bank tersebut, sebaliknya nasabah bank negara lain itu yang ada di Indonesia bisa ditangani BCA. Jika BCA harus membuka cabang, katakanlah di Thailand, kemungkinan hanya bisa membuka beberapa cabang, padahal Thailand juga sangat luas. Begitu pun sebaliknya. Menurut Cyrillus, jika tidak ada MEA pun, secara de facto sebetulnya sudah terjadi pasar bebas. Faktanya, kita masih bertahan, bahkan berkembang. Selain itu, kemampuan sumber daya manusia (SDM) sudah cukup baik. “Kesiapan SDM, jika dulu bank lokal banyak yang membajak bankir asing eks Citibank dan lain-lain, kini bank asing banyak juga yang membajak bankir lokal. Dan, ternyata kemampuannya tidak kalah, bahkan ada yang di atas. Contohnya, saya pernah mendengar ada bankir-bankir Indonesia yang mendidik bankirbankir di Malaysia,” jelas Cyrillus. Produk-produk yang berkembang di negara lain belum tentu cocok dengan pasar di Indonesia. Perbankan Indonesia masih berada dalam konsep basic banking, yakni deposit dan kredit. Alhasil, net interest margin (NIM) perbankan nasional
pun masih besar. Sementara, perbankan negara lain begitu tajam persaingannya yang notabene NIM-nya harus rendah. Untuk itu, perbankan negara lain mencari pendapatan melalui produk lain, misalnya derivatif. Konsolidasi Bank Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono, menilai, Malaysia jauh lebih siap dalam menghadapi MEA ketimbang Indonesia. Hal itu sejalan dengan aksi merger yang dilakukan tiga bank asal Malaysia, yakni CIMB Group, RHB Capital, dan Malaysia Building Society, dengan total aset 614 miliar ringgit atau setara dengan Rp2.300 triliun. Malaysia dinilai lebih agresif dalam konsolidasi antarbank ketimbang Indonesia yang dianggap masih berlarut-larut dalam konsolidasi perbankan. Padahal, industri perbankan nasional harus siap bersaing dalam menghadapi MEA. Menurutnya, dengan aksi konsolidasi antarbank yang dilakukan tiga bank Malaysia itu, maka bank tersebut akan menjadi bank terbesar di Malaysia. “Padahal, kita sama-sama menghadapi MEA. Namun, Malaysia jauh lebih siap ketimbang kita. Mereka dua langkah lebih maju daripada kita dalam konsolidasi perbankan,” ujar Sigit di Financial Club Graha CIMB Niaga, Jakarta, beberapa waktu lalu. Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D. Hadad, mengaku, sejauh ini pihaknya tengah menyusun roadmap konsolidasi perbankan. Roadmap tersebut diprediksi selesai pada pertengahan 2015. “Roadmap selesai pertengahan 2015.
Roadmap formal ‘kan antara Juni-Juli 2015 ini,” ujarnya di Jakarta, akhir Januari lalu. Roadmap konsolidasi tersebut tak hanya dilakukan antarbank, tapi juga dapat dilakukan bank dengan perusahaan asuransi ataupun dengan perusahaan pembiayaan (multifinance). “Kami (OJK) ingin konsolidasi diartikan dengan makna yang lebih luas. Karena, bank sekarang sudah ada yang punya asuransi, punya anak perusahaan lainnya,” tukasnya. Dengan demikian, lanjut Muliaman, konsolidasi dalam konsep OJK yang baru ini bertujuan untuk mencapai industri keuangan yang lebih kompetitif dan memiliki daya tahan yang kuat, sejalan dengan pemberlakuan pasar bebas ASEAN (MEA). “Ini ‘kan salah satu alatnya, yakni dengan konsolidasi, untuk dapat berdaya saing,” ucapnya. Muliaman mengaku, sejauh ini roadmap konsolidasi tersebut masih dibahas dan belum rampung. Namun, OJK akan mengutamakan hal tersebut dan akan dirampungkan pada pertengahan 2015. “Roadmap-nya masih belum selesai, tapi intinya konsolidasi penting dalam rangka mewujudkan persaingan di MEA ini,” tegas Muliaman. Para pelaku usaha di sektor perbankan mendesak agar roadmap konsolidasi perbankan bisa segera rampung. Pasalnya, roadmap tersebut secara terperinci akan memberikan arah yang lebih jelas dalam hal konsolidasi perbankan di dalam negeri. Konsolidasi juga dapat membesarkan size suatu bank, baik secara alami maupun market driven. Konsolidasi perbankan bisa menggunakan cara merger atau akuisisi. n
PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH PT BANK MUAMALAT INDONESIA Tbk. Sesuai Pasal 6 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dengan ini PT Bank Muamalat Indonesia Tbk, NPWP : 01.567.489.8-073.000 Mengumumkan Piutang Yang Nyata-NyataTidak Dapat Ditagih sebagai berikut : Tahun 2014: Rp615.985.116.130,Rincian Daftar Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih adalah sebagaimana tercatat di Bank dan akan diserahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Madya Jakarta Pusat bersamaan dengan SPT Tahunan PPh Badan 2014 sebagai lampiran.
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015 l
PROBANK
5
Perbanas Utama
Butuh Konsolidasi dan Koordinasi Dilihat dari posisi aset, perbankan nasional masih kalah dibandingkan dengan bank-bank besar di negara ASEAN lainnya. Dengan konsolidasi sektor perbankan dan koordinasi antarsektor, kesiapan Indonesia menghadapi pasar bebas ASEAN dapat lebih ditingkatkan.
T
ak dimungkiri aset dan modal yang besar menjadi syarat bagi sebuah unit bisnis bila ingin melakukan ekspansi usaha. Demikian pula bagi bisnis perbankan di Indonesia. Supaya menang dalam persaingan di pasar ASEAN, perbankan nasional harus memiliki aset dan modal yang kuat. Biro Riset Infobank (birI) mencatat, pada September 2014 bank di Indonesia yang memiliki aset terbesar masih berada di urutan ke-11 di antara 20 bank besar di kawasan Asia Tenggara. Menghadapi diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015, bank-bank di negara lain sudah mempersiapkannya lima tahun lalu, meski untuk sektor perbankan dan jasa keuangan lainnya baru diberlakukan pada 2020. Salah satu cara mereka menyikapi diberlakukannya MEA ialah dengan mekanisme konsolidasi. Melihat posisi aset perbankan nasional yang masih kalah dibandingkan dengan aset perbankan negara-negara ASEAN lainya, menurut Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, bank-bank negara ASEAN lainnya pun akan menyerbu Indonesia dan kita hanya akan menjadi pasar bila kondisi ini dibiarkan. Menyikapi kondisi yang seperti itu, mekanisme konsolidasi tak bisa dihindari lagi. Dengan mekanisme, masih menurut Sigit, Indonesia akan memiliki bank dengan komposisi aset dan modal yang lebih besar. Bila mereka ingin melakukan ekspansi bisnis pun tidak akan mengalami kesulitan. Selain aspek aset dan permodalan, menghadapi MEA, perbankan di Tanah Air harus jeli melihat sektor potensial yang layak dibiayai. Dapat dibayangkan, pemberlakuan pasar bebas ASEAN akan membuat perdagangan antarnegara makin dinamis. Nah, di sinilah dibutuhkannya peran regulator supaya terbangun koordinasi yang lebih kuat lintas sektor. Yang menjadi perhatian bukan hanya perbankan, melainkan bagaimana kaitannya dengan industri keuangan lainnya dan sektor riil. “Indonesia memerlukan framework yang mengatur hubungan antarlintas sektor tersebut,” tambah Sigit.
6
PROBANK
l
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015
Untuk meningkatkan kegiatan bisnis, perbankan nasional sepertinya tak akan pernah kehabisan pasar. Selain pasar dalam negeri yang masih potensial, pasar di negara-negara ASEAN lainnya masih layak disasar. Beberapa negara ASEAN dengan rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) yang masih rendah seperti Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, dan Filipina adalah lahan empuk yang bisa dijadikan lahan bisnis oleh perbankan nasional. Dengan kondisi seperti itu, sekali lagi, dibutuhkan peran regulator sehingga asas resiprokal dapat diberlakukan secara fair di kawasan ASEAN. Bila bank dari negara ASEAN lainnya bisa memeroleh kemudahan berekspansi di Indonesia, seharusnya bank-bank asal Indonesia pun bisa memeroleh hal yang sama di negara ASEAN lainnya. “Secara umum, regulator dan pelaku perbankan perlu membangun strategi “quick-win”dalam menghadapi MEA,” pungkas Sigit. n
Menakar Kekuatan Modal dan SDM Kinerja kuantitatif biasanya menjadi tolok ukur sebuah bank untuk memenangkan persaingan. Pengembangan SDM menjadi investasi yang harus diperhatikan juga.
B
ank nasional belum ada yang berskala ASEAN. Demikian pendapat yang disampaikan seorang pengamat perbankan. Pendapat itu seharusnya melecut pelaku perbankan dan regulator untuk memperkuat industri perbankan nasional dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Tak dimungkiri, dalam skala nasional beberapa bank menunjukkan kinerja yang menggeliat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, apalah artinya bila mereka hanya bermain di kandang sendiri alias tak berani bertarung di kancah regional sekelas ASEAN. Untuk bersaing di kancah regional maupun global, pelaku perbankan dan regulator tentu harus memiliki persiapan dan fundamental yang mumpuni. Mengingat, para pesaing sudah lebih siap dalam berbagai hal. Salah satu persyaratan atau fundamental yang penting dan strategis ialah besaran aset atau modal bank. Menurut Krisna Wijaya, pengamat perbankan, makin besar aset dan modal sebuah bank, makin meningkat pula posisi tawar (bargaining position)-nya dalam konteks bisnis secara luas. Misalnya, dalam hal perolehan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri, subdebt, dan berbagai aktivitas jasa perbankan lainnya. Dengan aset dan modal yang besar, bank
akan memeroleh tingkat suku bunga yang kompetitif. Memang, dalam menghadapi MEA, masih banyak yang harus dibenahi pelaku industri perbankan nasional. Selain mesti menakar besaran aset dan modalnya, perbankan nasional harus berani mengoreksi tingkat efisiensi, yang tercermin dari rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO). Efisiensi menjadi hal penting lainnya untuk memenangi persaingan. Menurut Paul Sutaryono, pengamat perbankan, bank pelat merah pada Oktober 2014 memiliki rasio BO/PO 70,05%. Dengan rasio ini, bank pelat merah tercatat paling efisien dibandingkan dengan kelompok bank lainnya. Namun, menurut Paul, angka itu masih terlalu tinggi ketimbang rasio BO/PO bank-bank di negara ASEAN lainnya yang hanya sebesar 40%-60%. Menyikapi kondisi tersebut, Paul berharap, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan rasio BO/PO ideal lebih rendah daripada rasio yang ditetapkan saat ini (70%-80%), yakni menjadi 40%-60% secara bertahap. Menghadapi pasar bebas ASEAN, industri perbankan nasional juga tak bisa mengabaikan faktor sumber daya manusia (SDM). Saat ini masih sedikit perusahaan di Indonesia yang menempatkan karyawan di posisi utama. Yang mereka kejar pada umumnya hanya keuntungan. Padahal, pengembangan SDM yang andal secara otomatis akan berdampak pula pada peningkatan profit. Investasi pengembangan SDM tak bisa lepas dari peran chief executive officer (CEO). Awaldi, pengamat SDM bank, menyoroti program pengembangan SDM di institusi perbankan. Masa tugas CEO yang relatif pendek menyulitkan mereka untuk fokus pada investasi dan pengembangan SDM di institusi tempatnya bertugas. Menurut Awaldi, bagaimana CEO mau berpikir panjang— memberikan perhatian serius terhadap pengembangan SDM— sementara masa tugas mereka pendek, bahkan banyak yang berkisar pada angka lima tahun untuk perusahaan lokal. Agar pengembangan SDM berjalan efektif, Awaldi merekomendasikan, CEO dan BOD diberi waktu berkuasa yang cukup untuk mengurus bank. Beranjak dari hal itu, SDM akan menjadi ujung tombak dalam memenangkan MEA. n
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015 l
PROBANK
7
Perbanas Utama
Dari Pelayanan hingga SDM Pemberlakuan pasar bebas ASEAN atau MEA bagi industri perbankan tinggal menunggu waktu. Perbankan nasional harus mempersiapkan diri dengan baik agar bisa berkompetisi.
D
aya saing akan menentukan keberhasilan bank dalam era pasar bebas, yaitu diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) untuk perbankan pada 2020. Masalah daya saing ini tentunya merupakan pekerjaan rumah bagi para pelaku bisnis perbankan di negeri ini mengingat tenggat pemberlakuan pasar bebas tersebut sudah dekat. Seperti apa persiapan para pelaku bisnis perbankan menghadapi era MEA? Berikut pendapat beberapa bankir.
Vera Eve Lim, Chief Financial Officer Bank Danamon
Lakukan Benchmarking
Chief Financial Officer Bank Danamon, Vera Eve Lim, mengatakan, bank-bank di Indonesia harus segera meningkatkan standar pelayanannya setara dengan bankbank di negara lain di ASEAN. “Kita bicara transaction banking, seperti apa di Thailand, seperti apa di Malaysia, di Singapura. Minimal kita naikkan standar kita sama dengan mereka, baru bisa bersaing,” ujar Vera beberapa waktu lalu. Menurutnya, untuk bisa meningkatkan standar pelayanan, bank-bank di Indonesia harus mulai melakukan benchmarking dengan perbankan di ASEAN. Selain itu, tambah Vera, benchmarking diperlukan untuk mengetahui produk-produk apa saja yang telah dimiliki bankbank di negara-negara lain di ASEAN, yang belum ada di Indonesia. Ini dilakukan agar bank di Indonesia bisa mempersiapkan diri. “Jadi, bank mulai ambil layanan jasa-jasa tertentu, yang begitu pasar ini mulai terbuka, jasa pelayanan inilah yang akan dibawa oleh bank-bank asing. Dibandingkan dengan mereka, kita masih di bawah,” jelas Vera. Dari segi produk perbankan, sumber daya manusia (SDM), dan sistem, Vera menilai, ketiga hal tersebut juga harus mulai ditingkatkan. Tantangan terbesar ialah meningkatkan kapasitas SDM. Menurutnya, SDM menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing. “Sistem gampang dibeli, tapi yang butuh waktu ialah SDM karena SDM di Singapura, Malaysia, sudah sangat kompetitif,” kata Vera.
8
PROBANK
l
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015
Maryono, Direktur Utama BTN
Tingkatkan Layanan agar Nasabah Setia “Kita tidak tinggal diam. BTN juga melakukan berbagai perbaikan, yaitu dengan melakukan transformasi,” ujar Maryono, Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) menanggapi pemberlakuan MEA pada 2020 untuk sektor perbankan beberapa waktu lalu. Transformasi yang BTN lakukan ialah meningkatkan bisnis dengan memperluas pasar, meningkatkan kapasitas sistem teknologi informasi (TI), dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Menurut Maryono, ketika standar pelayanan banknya setara dengan bank-bank dari negara lain di ASEAN, dia yakin, apa pun produk yang ditawarkan, nasabah akan lebih memilih bank lokal ketimbang bank asing ketika pasar bebas keuangan ASEAN dimulai pada 2020 nanti. “Dalam menghadapi MEA, kalau ada bank asing yang masuk dengan model properti atau perumahan seperti BTN, bagaimana kita menyamakan pelayanan seperti mereka. Kalau bisa lebih baik lagi, saya rasa masyarakat akan memilih bank lokal,” ujarnya. Maryono mengatakan, bank yang dia pimpin saat ini memiliki visi baru, yakni bagaimana BTN menjadi leading housing financing bank dengan pelayanan kelas dunia. Jadi, banknya tidak hanya siap menghadapi persaingan dari dalam negeri, tapi juga persaingan secara internasional.
Budi G. Sadikin, Direktur Utama Bank Mandiri
Rama Pranata Kusumaputra, Direktur Bank OCBC NISP
Menjelang diberlakukannya MEA, bank terbesar di Indonesia, Bank Mandiri, memiliki target menjadi penguasa di pasar Indonesia. Menurut Direktur Utama Bank Mandiri, Budi Gunadi Sadikin, siapa pun yang menguasai pasar Indonesia akan tampil menjadi bank terbaik di Asia Tenggara. Pasar bebas ASEAN untuk perbankan akan diberlakukan pada 2020. Budi mewantiwanti para pemimpin bank umum nasional agar tidak salah strategi dalam menghadapinya. “Kalau mau jadi bank hebat, harus menguasai Indonesia. Indonesia peluangnya besar, makanya banyak (bank asing) mau masuk ke Indonesia,” ujar Budi selepas rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) Bank Mandiri, pertengahan Maret lalu. Indonesia merupakan pasar terbesar ASEAN, dengan populasi mencapai 40% dari total populasi ASEAN dan 38% produk domestik bruto (PDB) ASEAN berasal dari Indonesia. Karena itu, Budi berpandangan, dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN, Indonesia memiliki pasar yang lebih menggiurkan dan menjadi kunci untuk menjadi bank terbaik di ASEAN. “ASEAN itu penduduk terbesarnya ada di Indonesia. Kalau mau menjadi yang terbaik, harus menguasai Indonesia,” ujar Budi. Budi pun optimistis bank yang dipimpinnya saat ini mampu menjadi yang terbaik di Indonesia dan di ASEAN. Terbaik yang dimaksud ialah terbaik dari sisi kapitalisasi pasar pada 2020 nanti. Untuk meningkatkan kapitalisasi pasarnya, Bank Mandiri membutuhkan pertumbuhan return on equity (ROE) sebesar 22% sampai dengan 23% tiap tahunnya. Mulai 2014, Bank Mandiri juga menurunkan rasio pembayaran dividen menjadi 25%, dari 30% pada 2013. Budi menyatakan, pengurangan dividen ini menjadi keputusan bersama RUPST untuk menunjang rencana kerja Bank Mandiri ke depan, yakni menjadi bank terbesar di ASEAN. Untuk mencapainya, strategi Bank Mandiri ialah melakukan transformasi dalam pengembangan bisnis dengan menekankan pada integrasi seluruh potensi yang dimiliki, termasuk dengan anak perusahaan. Bank Mandiri didukung oleh orang-orang yang berpengalaman, baik dari ritel maupun wholesale, serta memiliki sistem pengelolaan organisasi yang baik. Dengan modal tersebut, Bank Mandiri bisa segera menguasai pasar Indonesia. “Kita tidak mau kecurian oleh asing yang secara modal lebih kuat,” kata Budi.
MEA, menurut Direktur Bank OCBC NISP, Rama Pranata Kusumaputra, akan menjadi tantangan berat bagi perekonomian dan perbankan nasional. “Tantangan terberatnya ialah bagaimana kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” ujarnya. Rama menambahkan, karena pasar Indonesia besar, MEA akan membuka akses bagi pelaku ekonomi dan perbankan dari negara tetangga Indonesia di ASEAN. Dengan demikian, semua akan masuk ke Indonesia untuk memperebutkan pasar Indonesia. Sebelum diberlakukan MEA saja, Indonesia sudah banyak diserbu produk-produk dari negara-negara tetangga di ASEAN, terutama produk perbankan. Bank asal Malaysia, Singapura, dan Thailand sudah memiliki jaringan yang cukup luas di Indonesia. Sebaliknya, bank nasional tidak memiliki akses yang serupa di negaranegara tersebut. Bank OCBC NISP sendiri 85% sahamnya dikuasai oleh OCBC Bank asal Singapura. OCBC Bank Singapura merupakan bank lokal tertua di Singapura. Jaringan, kantor perwakilan, serta perusahaan afiliasinya tersebar di lebih dari 18 negara dan teritorial, termasuk Singapura, Malaysia, Indonesia, Tiongkok, Hong Kong, Brunei, Jepang, Australia, Inggris, dan Amerika. OCBC Bank Singapura menjadi pemegang saham pengendali Bank OCBC NISP sejak 2004 melalui serangkaian akuisisi dan penawaran tender. Kendati demikian, Rama mengatakan perbankan nasional tidak perlu berkecil hati. Sebagai tuan rumah, bank nasional tentunya memiliki pengetahuan tentang pasar Indonesia yang bisa menjadi kekuatan untuk menghadapi persaingan pada era MEA. “Perbankan, kita yang paling tahu. Kita sudah ada di sini puluhan tahun. Kita yang paling tahu nasabah. Kita yang paling tahu semuanya. Jadi, kita yakin kita akan bisa menghadapi MEA 2020,” ujar Rama. Karena itu, Rama mengimbau pelaku bisnis perbankan nasional mempersiapkan diri mulai dari sekarang agar pada saat pemberlakuan MEA, bank-bank nasional tidak menjadi penonton di negerinya sendiri, sementara bank-bank asal negara lain di ASEAN menikmati kemolekan pasar Indonesia. “Siapkan semua dasar-dasarnya, untuk bisa bersaing dengan bank-bank dari negara (lain di) ASEAN,” pungkas Rama. n
Harus Kuasai Pasar Indonesia
Mulai Siapkan Diri
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015 l
PROBANK
9
Regulasi
Mitigasi Risiko Utang Luar Negeri Memperoleh pinjaman yang bersumber dari luar negeri untuk mengembangkan bisnis menjadi pilihan banyak perusahaan di Indonesia. Namun, melihat kondisi perekonomian global yang belum stabil dan mengalami guncangan, BI merasa perlu mengatur utang luar negeri korporasi nonkeuangan supaya tidak terjadi masalah.
M
encari pinjaman pada pihak lain sudah menjadi hal yang lumrah bagi sebuah entitas bisnis bila mereka ingin mengembangkan usahanya. Demikian pula yang dilakukan beberapa perusahaan di Indonesia. Memperoleh pinjaman dari institusi negara lain saat ini banyak dilakukan beberapa perusahaan Indonesia. Trennya malah makin meningkat. Pada September 2014 Bank Indonesia (BI) mencatat posisi utang luar negeri Indonesia sebesar US$292,3 miliar, meningkat jika dibandingkan dengan posisi Juni 2014 yang nilainya sebesar US$286,2 miliar. Utang sebesar itu terdiri atas utang luar negeri sektor publik sebesar US$132,9 miliar dan utang luar negeri sektor swasta sebesar US$159,3 miliar. Apabila dibandingkan dengan periode Juni 2014 nilai utang keduanya meningkat dari US$131,7 miliar untuk utang sektor publik dan US$154,5 miliar untuk sektor swasta. Pinjaman luar negeri yang makin meningkat dikhawatirkan menjadi bumerang bagi pengusaha. Pasalnya, kondisi perekonomian dalam negeri dan perekonomian global yang belum stabil menjadikan pinjaman luar negeri yang berbentuk
10
PROBANK
l
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015
valuta asing (valas) akan membebani perusahaan. Melihat kondisi seperti itu, pada pengujung 2014 BI mengatur pengelolaan utang luar negeri (ULN) korporasi nonbank yang dituangkan dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 16/2/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank. Dalam peraturan baru dikatakan, sebuah korporasi disebut telah memegang prinsip kehatihatian bila telah memiliki rasio lindung nilai, rasio likuiditas, dan peringkat utang (credit rating) sesuai dengan ketentuan BI. PBI yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2015 ini bertujuan untuk memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh utang luar negeri swasta, khususnya korporasi nonbank yang angkanya terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Risiko yang ditengarai harus dimitigasi terkait dengan utang luar negeri tadi ialah risiko nilai tukar (currency risk), risiko likuiditas (liquidity risk), dan risiko beban utang yang berlebihan (overleverage risk). Pengelolaan ketiga risiko ini dirasakan penting demi terjaminnya kelangsungan usaha dan kegiatan investasi perusahaan debitor. Memang, masih sedikit korporasi yang mengalami default akibat utang luar negeri. Namun, BI perlu mengantisipasi hal itu, mengingat shock negatif dari dalam dan luar negeri seperti pemulihan ekonomi yang masih melambat dapat meningkatkan risiko gagal bayar (default risk). Sudah selayaknya bangsa Indonesia belajar dari krisis ekonomi 1997/1998, ketika itu belum banyak korporasi yang melakukan mitigasi risiko dengan baik. Apabila semua itu tidak diatur, akan berdampak buruk bagi stabilitas keuangan nasional. BI melihat currency mismatch menjadi penyebab default. Menurut Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI, bank sentral ingin melihat sektor korporasi dan ternyata ada risiko mismatchnya. Dari sinilah BI mengeluarkan peraturan terkait dengan utang luar negeri untuk menghindari default. “Jika sektor korporasi diberitakan default, pasti akan berpengaruh bila ingin berutang dengan institusi di luar negeri,” ungkap Halim.
Potensi Hedging Berbagai respons muncul atas diterbitkannya peraturan tentang utang luar negeri korporasi nonbank itu. Peraturan tersebut dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan kinerja perusahaan debitor. Kekhawatiran ini tentu hal yang wajar. Kendati demikian, Juda Agung, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, meluruskan bahwa langkah tersebut untuk mengerem kinerja perusahaan. Hal itu dirasa penting karena, menurut Juda, debt to service ratio (DSR) utang swasta sudah di atas 50%. Padahal, angka idealnya di kisaran 30%. Diharapkan, dengan peraturan tersebut, dalam tiga sampai dengan empat tahun mendatang DSR akan kembali normal dan berada di bawah 30%. Di lain sisi, hadirnya PBI tersebut memberikan berkah bagi industri perbankan. Diberlakukannya ketentuan lindung nilai (hedging) akan banyak permintaan tersebut kepada bank. Dalam Pasal 3, Ayat 1, PBI Nomor 16/21/PBI/2014 disebutkan bahwa korporasi nonbank yang memiliki utang luar negeri dalam valas wajib memenuhi rasio hedging minimum tertentu dalam melakukan transaksi hedging valas terhadap rupiah. Transaksi hedging ini harus dilakukan dengan perbankan Indonesia. Meski ketentuan mengenai transaksi hedging dengan perbankan
Indonesia baru akan diberlakukan pada 1 Januari 2017, seluruh sektor, terutama perbankan, harus siap. Sayangnya, transaksi hedging ini belum dipahami masyarakat secara luas. Bimo Notowidigdo, Head of Treasury BNI, menggambarkan hedging seperti asuransi yang wajib dimiliki seseorang. Di luar negeri hedging sudah umum dilakukan. Hedging sendiri adalah cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang akan timbul akibat fluktuasi harga di pasar keuangan. Dalam praktiknya, hedging sering disalahartikan menjadi tindakan yang bersifat spekulatif. Padahal, tujuannya bersifat antisipatif. Menanggapi peraturan yang dikeluarkan BI, sektor riil menyambut baik dan siap menjalankan apa yang digariskan pemerintah. Salah satu pejabat badan usaha milik negara (BUMN) mengaku perusahaannya siap melakukan hedging untuk utang luar negerinya. Bila selama ini perusahaannya belum melakukan hedging, hal itu disebabkan masih terganjal aturan. Hal-hal yang dituangkan dalam peraturan ini bukan bermaksud mempersulit perusahaan mengembangkan bisnisnya. Pemerintah, dalam hal ini BI, hanya memagari supaya bisnis yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan dengan baik dan tidak menimbulkan gejolak ekonomi seperti krisis 1997/1998. n
PT BANK BUKOPIN Tbk. PIUTANG YANG NYATA–NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH PT BANK BUKOPIN Tbk. Sesuai Pasal 6 ayat 1 huruf h Undang Undang Pajak Penghasilan Tahun 2008 dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-238/PJ./2001, dengan ini, PT Bank Bukopin Tbk. (Bank), mengumumkan Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih pada tahun 2014 : Rp 95,094,362,838.Rincian Daftar Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak dapat Ditagih adalah sebagaimana tercatat di Bank dan diserahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar 1, Direktorat Jenderal Pajak, bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan sebagai lampiran.
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015 l
PROBANK
11
Aktualita
Perbankan Optimistis dan Lebih Siap Potensi untuk memperluas akses masyarakat melakukan investasi di reksa dana makin besar. Bagaimana respons perbankan terhadap perluasan penjualan produk reksa dana yang sudah bisa dilakukan pelaku industri lainnya?
P
erluasan pasar reksa dana di Tanah Air makin mudah dilakukan saat ini. Hal itu salah satunya berkat dukungan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan OJK (POJK) Nomor 39/POJK/04/2014 tentang Agen Penjual Efek Reksa Dana. Dampak dari diberlakukannya peraturan tersebut, agen penjual reksa dana (Aperd) makin luas, terbuka dari berbagai lini usaha. Selama ini penjualan reksa dana hanya dilakukan melalui pihak perbankan dan manajer investasi itu sendiri. Nantinya industri keuangan nonbank lainnya juga bisa menjual reksa dana. Sesuai dengan POJK tersebut, perusahaan-perusahaan yang akan menjadi penjual reksa dana ialah perusahaan pegadaian, perusahaan asuransi, perusahaan pembiayaan (multifinance), perusahaan dana pensiun, dan perusahaan penjaminan. Nantinya, setiap Aperd harus memiliki lisensi dari OJK. Tenaga pemasaran yang berasal dari setiap Aperd wajib memegang lisensi perseorangan wakil Aperd (Waperd) yang juga diterbitkan oleh OJK. Kepala Departemen Pengawas Pasar Modal IIA OJK, Fakhri Hilmi, mengatakan, Aperd juga bisa melakukan kerja sama dengan jaringan distribusi lainnya untuk penetrasi yang lebih luas. “Di samping lembaga itu, ada namanya gerai. Gerai yang bekerja sama dengan Aperd adalah minimarket, kantor pos, tempat penjualan properti, dan penyedia jasa telekomunikasi. Mereka bukan agen penjual, melainkan gerai
12
PROBANK
l
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015
yang bekerja sama dengan Aperd. Mereka jadi point of salenya agen penjual,” jelas Fakhri kepada wartawan. Meski penjualan reksa dana dilakukan melalui gerai-gerai tersebut, POJK tadi juga mewajibkan ada Waperd yang juga bertanggung jawab di sana. Hal ini dilakukan agar transaksi berjalan sesuai dengan prosedur dan ketentuan undang-undang yang berlaku. Fakhri optimistis, peraturan baru tersebut akan banyak mendapat sambutan baik dari masyarakat dan para pelaku industri. Dia berharap, perluasan distribusi reksa dana ini akan lebih mudah dilakukan. “Saat ini investor reksa dana 300.000 sampai dengan 400.000. Kami harap semakin banyak yang menjual semakin banyak yang bisa invest,” paparnya. Sebelumnya, Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) pernah menargetkan investor reksa dana mencapai 5 juta investor dengan dana kelolaan mencapai Rp1.000 triliun dan akan dicapai pada 2017. Diberlakukannya POJK yang baru tersebut semakin membuat APRDI yakin bahwa targetnya akan bisa dipenuhi. Ketua APRDI, Denny R. Taher, mengatakan, target yang diincarnya memang menantang. Tidak hanya dalam memenuhi target tersebut, tantangan lainnya juga datang dari tenaga pemasar yang masih sedikit. “Kita asumsikan satu agen penjual melayani 200 orang investor ritel, dibagi 5 juta, berarti ‘kan 250.000. Jadi, kalau kita bicara target 5 juta, ya kita butuh agen minimal 250.000 orang,” jelasnya. Diterbitkannya peraturan baru tersebut juga mendapatkan tanggapan yang beragam dari para pelaku industri, tidak terkecuali industri perbankan. Sebagai lembaga keuangan yang sudah mendapatkan hak istimewa terlebih dahulu dengan penjualan reksa dana, beberapa pihak perbankan ternyata tidak keberatan dengan diberlakukannya peraturan tersebut. Salah satunya diungkapkan Liliana Tanadi, Direktur Corporate Banking & FI Bank CTBC Indonesia. Menurutnya, peraturan OJK yang baru memang memudahkan siapa saja untuk bisa menjual produk reksa dana. Namun, dia optimistis, perbankan masih lebih baik dalam segi pelayanan produk jasa keuangan. Hal ini yang membuat perbankan tetap dicari dalam penjualan produk tersebut. Dia yakin, penetrasi perbankan yang lebih baik daripada industri jasa keuangan lainnya membuat perbankan lebih siap
dalam melakukan penjualan produk reksa dana. Ketakutan pelaku industri terhadap persaingan yang terjadi di pasar masih bisa ditekan mengingat jangkuan pihak perbankan masih lebih baik daripada industri keuangan nonbank. Salah satu alasan yang membuat Liliana optimistis terhadap kesiapan perbankan dalam persaingan penjualan reksa dana, industri perbankan lebih mature dibandingkan dengan industri lainnya. Kematangan industri perbankan inilah yang memaksa industri lainnya harus catch up untuk bisa melakukan persaingan yang kompetitif. “Terus terang, kami memang sedang menyiapkan untuk bisa masuk ke sana. Perbankan di bawah OJK memiliki penetrasi yang lebih dari sebelumnya. Saat ini kami sudah menjual unit link dan sedang mengajukan lisensi untuk agen penjual reksa dana. Syaratsyarat sedang kami lengkapi. Penghapusan syarat memiliki kantor cabang di wilayah Indonesia Timur yang dihapuskan membuat kami pede untuk maju lagi,” terangnya. Sementara itu, Director Compliance and Risk Management Bank Muamalat Indonesia, Evi Afiatin, mengatakan hal yang sama bahwa perbankan memiliki keunggulan dengan penyebaran yang lebih merata dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Ini juga yang membuat pihak regulator memutuskan
tenaga pemasar pertama untuk produk manajer investasi adalah pihak perbankan. “Reksa dana bukanlah produk perbankan, melainkan produk capital market. Bank hanya menjadi distribution channel. Tentu aturan tersebut menjadi pendorong dan sesuatu yang bagus karena penetrasi pasar modal masih sangat rendah sehingga membutuhkan pihak perbankan untuk membantu memasarkan produk-produknya,” jelasnya. Menurutnya, dengan bantuan distribusi yang dimiliki perbankan, penjualan produk reksa dana dan penetrasi produk pasar modal akan lebih baik lagi. Apalagi masih ditambah dengan banyaknya lembaga keuangan nonbank lainnya seperti yang sudah tertuang dalam POJK yang baru. Dia melanjutkan, kesiapan sumber daya manusia (SDM) juga harus diperhatikan semua pihak. Tenaga pemasar, baik dari perbankan maupun lembaga keuangan lainnya, harus mengerti produk yang dipasarkannya karena ini merupakan bentuk edukasi kepada masyarakat. “Distribusi bank bisa lebih baik karena sudah banyak (cabangnya). Bank Muamalat saja sudah punya 500 cabang di seluruh Indonesia. Saat ini kami memang hanya menjual unit link dan ini bentuk kesiapan kami. Kami harus siap di segala hal karena kami juga harus berkompetisi dengan lembaga keuangan lainnya,” ujarnya. n
PENGUMUMAN No. 02/PGM/Corsec/I/2015 DAFTAR DEBITUR PIUTANG TAK TERTAGIH JUNI 2014 PT. BANK DKI DEBITUR HAPUS BUKU TAHUN 2014 No Nama Debitur NPWP
Baki Debet
1 PT. Semesta Citra Dana 01.357.066.8011.000 34.317.252.395
Alamat Jl. Warung Buncit Raya No.8 Jakarta Selatan
www.bankdki.co.id www.bankdkisyariah.co.id
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015 l
PROBANK
13
Aktualita
BI Rate Turun, Angin Segar bagi Dunia Usaha? Langkah BI menurunkan BI Rate sebesar 25 bps dinilai akan menggairahkan ekonomi. Namun, kebijakan ini pun tak sepenuhnya berdampak positif. Apakah kebijakan ini ampuh untuk menggerakkan roda ekonomi?
A
da angin segar dari Thamrin. Februari lalu Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis point (bps) menjadi 7,5%. Tak hanya menurunkan suku bunga acuan, BI juga menurunkan suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 5,5%. Meski banyak kalangan telah memprediksi hal tersebut, langkah yang diambil BI itu cukup mengejutkan pasar. Kendati demikian, turunnya BI Rate tetap menjadi kabar gembira dan diharapkan akan menggairahkan perekonomian nasional. Kebijakan tersebut diambil BI dengan
14
PROBANK
l
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015
beberapa pertimbangan. Salah satunya, untuk mengarahkan angka inflasi sesuai dengan target yang diharapkan, yakni di kisaran 4% plus minus 1% pada periode 2015 dan 2016. BI juga melihat, di tengah kondisi ekonomi global yang tak menentu, kondisi perekonomian di dalam negeri masih tergolong stabil. Itu artinya, penurunan BI Rate dilandasi keyakinan bahwa fundamental perekonomian nasional sudah lebih kuat.
“BI meyakini bahwa pengendalian Samuel Sekuritas Indonesia. inflasi terjaga dan stabil serta cukup Menurut Lana, agar rupiah terlihat mengarah pada inflasi berada di bawah lebih menarik, rupiah harus diupayakan angka 4%. Ini suatu kondisi yang akan kembali stabil. Pemerintah dan BI harus terus dijaga dengan adanya upaya dari mengantisipasinya. pemerintah pusat dan pemerintah Terlepas dari kedua efek tersebut, daerah,” ujar Gubernur BI, Agus D.W. kebijakan BI menurunkan BI Rate Martowardojo, di Gedung BI, Jakarta. sejatinya ditujukan untuk mendorong Turunnya suku bunga acuan ke angka perekonomian nasional. Ketika BI Rate 7,5% mendapat sambutan positif dari turun, suku bunga kredit perbankan juga pasar. Hal itu tampak dari pergerakan diharapkan ikut turun sehingga dapat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menstimulus investasi dan yang terus menunjukkan penguatan. pembangunan. Bahkan, IHSG langsung menguat “Dengan suku bunga yang lebih beberapa saat setelah penurunan BI Rate rendah, ekonomi akan berjalan. diumumkan. Itu menandakan adanya Sehingga, perekonomian Indonesia lebih kepercayaan dari para investor bahwa baik. Liquidity di pasar juga akan perekonomian Indonesia akan makin berjalan,” ujar Nurhaida, Kepala membaik. Eksekutif Pengawasan Bidang Pasar “Penurunan BI Rate akan berdampak Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), baik bagi kinerja perusahaan. kepada wartawan. Apalagi, ada kemungkinan bahwa Kendati demikian, bank tak BI Rate akan kembali turun pada serta-merta memangkas suku Pelemahan rupiah menjadi hal yang bunga kredit mereka ketika BI waktu mendatang,” ujar Haryajid Ramelan, analis Recapital Rate turun. Banyak bank yang mengkhawatirkan, mengingat Securities. masih harus melakukan kalkulasi rupiah tak hanya melemah Jika pasar saham bergerak positif untuk menurunkan suku bunga sebagai dampak penurunan BI Rate, kreditnya. Bahkan, mungkin ada terhadap dolar AS. Rupiah juga tidak demikian dengan nilai tukar bank yang sama sekali tak melemah terhadap mata uang rupiah. Rupiah justru makin tak memilih opsi menurunkan suku lainnya. Bahkan, rupiah menjadi berotot dan terus melemah terhadap bunga kredit. Alasannya, suku dolar Amerika Serikat (AS). Apalagi, bunga bukanlah satu-satunya mata uang yang mengalami pemerintah dan BI seolah tak terlalu jalan untuk meningkatkan porsi pelemahan paling dalam khawatir dengan kondisi rupiah yang kredit. Sebab, meningkatnya telah melewati angka Rp13.000 per dibandingkan dengan negarakredit bisa jadi tak hanya soal US$1. Hal itu bahkan dianggap baik bunga yang rendah, tapi juga negara lain di kawasan Asia. untuk kinerja ekspor-impor Indonesia. lantaran melihat prospek bisnis Meski baik untuk kinerja ekspor, tak ke depan. Dan, terkait dengan sedikit kalangan yang menilai bahwa persaingan dalam hal kredit, pemerintah tidak benar-benar memanfaatkan momentum tersebut. perang suku bunga pun dinilai bukanlah satu-satunya Jika melemahnya rupiah tak dimanfaatkan dengan baik oleh jalan. pemerintah, rupiah berpotensi terus terdepresiasi. Apalagi, Meski telah dipangkas, suku bunga acuan yang berada di beberapa negara kemudian membuat kebijakan yang membuat level 7,5% boleh dibilang masih terlalu tinggi dibandingkan dolar AS kian bertaji. Belum lagi, ada rencana dari bank sentral dengan suku bunga acuan negara-negara lain yang hanya 1% AS atau The Federal Reserve (The Fed) untuk mengerek suku sampai dengan 3%. Kalangan pengusaha melalui Asosiasi bunga mereka. Tentu saja, itu bisa memberi efek tak baik bagi Pengusaha Indonesia (Apindo) berharap, suku bunga acuan negara-negara seperti Indonesia lantaran modal asing bisa ditekan hingga di bawah angka 7%. Apalagi jika kemungkinan kembali terbang ke AS. kemudian penurunan BI Rate ini diikuti dengan realisasi Pelemahan rupiah menjadi hal yang mengkhawatirkan, penurunan suku bunga kredit perbankan. Sebab, suku bunga mengingat rupiah tak hanya melemah terhadap dolar AS. Rupiah yang makin rendah akan membuat dunia usaha kian juga melemah terhadap mata uang lainnya. Bahkan, rupiah bergairah. menjadi mata uang yang mengalami pelemahan paling dalam Upaya BI menurunkan suku bunga acuan patut diapresiasi. dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia. Apalagi jika penurunan BI Rate kemudian diikuti dengan “Rupiah melemah paling dalam—tanda petik, tidak sengaja upaya BI untuk menjaga stabilitas makro-ekonomi. Hal itu dilemahkan. Kita malah melemah lebih dalam dari yen yang tak hanya akan memacu pertumbuhan kredit di dalam negeri, sengaja dilemahkan, lebih melemah juga dari dolar tapi juga akan mendorong investasi dan pembangunan Singapura,” jelas Lana Soelistianingsih, Chief Economist nasional. n No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015 l
PROBANK
15
Aktualita
Waspada, Bahaya Cyber Crime Mengintai! Kejahatan dunia maya atau cyber crime tak hanya mengintai para nasabah individual, tapi juga bank sebagai institusi. Untuk itu, dibutuhkan kehati-hatian dalam setiap aktivitas maupun transaksi di dunia maya. Dibutuhkan juga sekuritisasi yang andal.
S
eiring dengan meningkatnya kemajuan teknologi informasi (TI), tingkat kejahatan menggunakan kecanggihan TI pun makin marak dan beragam serta memiliki jejaring dan operasional lintas batas regional. Bahkan, uang yang menjadi incaran dari kejahatan tersebut berjumlah miliaran dolar Amerika Serikat (AS). Beberapa waktu lalu dilaporkan mengenai kejahatan dunia maya (cyber crime) terhadap sejumlah bank dan lembaga keuangan lainnya. Dalam kejahatan yang dilakukan sepanjang dua tahun tersebut disinyalemen bahwa uang sebanyak US$1 miliar lenyap. Menurut laporan para ahli, yang bertanggung jawab atas perampokan tersebut ialah geng kriminal dunia maya multinasional dari Rusia, Ukraina, dan negara lain di Eropa serta Tiongkok. Kini Interpol, Europol, dan otoritas dari berbagai negara bekerja sama untuk mengungkap tindak kriminal di balik perampokan dunia maya yang belum pernah terjadi sebelumnya. Laporan Kaspersky Lab, yang dilansir pada Februari 2015, menyatakan, geng kriminal, Carbanak, yang bertanggung jawab atas perampokan dunia maya tersebut. Kejahatan tersebut menggunakan teknik yang berasal dari gudang penyimpanan serangan yang ditargetkan. Tindak kejahatan ini merupakan awal dari tahap baru dalam evolusi aktivitas
16
PROBANK
l
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015
kejahatan dunia maya, dalam hal ini pengguna yang jahat mencuri uang langsung dari bank dan menghindari untuk menargetkan pengguna akhir. Dalam laporan tersebut diinformasikan bahwa sejak 2013 para penjahat cyber berusaha untuk menyerang hingga 100 bank, sistem e-payment, dan lembaga keuangan lainnya di sekitar 30 negara. Serangan tersebut masih tetap aktif. Menurut data Kaspersky Lab, target Carbanak termasuk organisasi keuangan di Rusia, AS, Jerman, Tiongkok, Ukraina, Kanada, Hong Kong, Taiwan, Rumania, Prancis, Spanyol, Norwegia, India, Inggris, Polandia, Pakistan, Nepal, Maroko, Islandia, Irlandia, Republik Cheska, Swiss, Brasil, Bulgaria, dan Australia. Uang yang sudah dibobol atas aksi kejahatan yang dilakukan terhadap institusi keuangan dan bank tersebut (dalam setiap serangan ke setiap perusahaan) diperkirakan sebesar US$10 juta. Waktu yang dibutuhkan untuk membobol uang dalam setiap perampokan bank diperkirakan rata-rata dua hingga empat bulan. Mulai dari menginfeksi komputer pertama di jaringan perusahaan bank hingga membawa lari uang yang dicuri. Tentu saja ini merupakan kejahatan yang memiliki organisasi dan kemampuan yang mumpuni. Pada tahap awal, para penjahat cyber memulai dengan mendapatkan cara untuk masuk ke komputer karyawan melalui spear phishing, menginfeksi korban dengan malware Carbanak. Selanjutnya, mereka dapat melompat ke jaringan internal dan melacak komputer administrator untuk melakukan pengamatan video. Hal tersebut memungkinkan mereka bisa melihat dan merekam segala sesuatu yang terjadi pada layar komputer staf yang melayani sistem transfer tunai. Dengan cara ini, para penjahat harus tahu setiap detail pekerjaan pegawai bank dan mampu meniru aktivitas staf untuk mentransfer uang dan mencairkan uang. Dari hasil survei yang dilakukan Kaspersky Lab dan B2B
Internasional, seperti dilansir dalam siaran pers pada Desember 2014, diinformasikan bahwa hampir sepertiga dari pengguna masih ceroboh saat melakukan transaksi secara online. Tentu saja hal ini menempatkan transaksi keuangan mereka dalam risiko. Hal itu juga menimbulkan masalah bagi bank dan sistem pembayaran elektronik jika mereka ingin mengembalikan kerugian yang dialami oleh klien mereka. Untuk meminimalisasi bahaya, semua pihak yang terlibat dalam transaksi secara online harus mengambil langkahlangkah keamanan yang memadai. Menurut kepala global dari divisi pencegahan penipuan di Kaspersky Lab, Ross Hogan, penjahat dunia maya tidak hanya tertarik pada nomor kartu bank: kredensial login untuk perbankan online. Rekening e-payment juga menarik perhatian mereka. Akan tetapi, sebanyak 31% responden mengakui bahwa mereka tidak terlalu memerhatikan tingkat keamanan situs tempat mereka memasukkan data pribadi atau keuangan mereka. “Satu dari lima pengguna tidak mengambil langkah-langkah untuk melindungi kata sandi yang digunakan untuk mengakses situs yang sensitif ini. Sebanyak 16% responden dengan percaya diri menyatakan bahwa ‘kejahatan cyber di mana uang dicuri adalah kejadian langka dan hal tersebut tidak mungkin terjadi padaku,” ujar Ross dalam rilis tersebut. Ross juga menambahkan, 30% responden menyimpan data keuangan pada perangkat dengan akses internet. Ini mungkin tidak begitu berisiko jika mereka memberi perhatian pada
penggunaan program khusus untuk mengamankan penyimpanan data. Namun, sayang, hal ini tidak dilakukan. Hanya sebanyak 58% smartphone Android yang memiliki solusi keamanan yang terpasang. Satu dari 10 pengguna Android OS menjaga kode PIN dan kata sandi mereka pada perangkat mobile yang tidak dilindungi oleh solusi keamanan apa pun. “Parahnya, sebanyak 31% smartphone dan 41% tablet Android bahkan tidak memiliki perlindungan dasar sebagai pengaturan kata sandi untuk membuka blokir perangkat sebelum digunakan,” jelas Ross. Diinformasikan juga, masih banyak pengguna yang mengalami secara langsung bahwa penjahat dunia maya masih mengincar informasi keuangan. Dari data yang dikumpulkan melalui survei tersebut, selama 12 bulan terakhir 33% dari responden melaporkan bahwa mereka telah menerima email yang mencurigakan yang mengaku dari bank dan meminta password atau informasi lainnya. Lalu, sebanyak 14% dari pengguna diarahkan ke halaman web yang meminta kredensial untuk masuk ke rekening e-payment mereka. “Ketika pengguna tidak menghiraukan tindakan keamanan ini, mereka dapat menjadi korban penipuan. Namun, pada akhirnya pihak bank yang harus membayar semua kerugian atas kelalaian tersebut. Dengan begitu banyak pengguna yang ceroboh, bank dan operator sistem e-payment harus memastikan diri mereka dari risiko atas keuangan dan reputasi dengan menggunakan solusi keamanan khusus yang dapat mencegah penjahat cyber,” terang Ross. n
EUANGAN
unan Nasional Syariah
sampai dengan tanggal 21 Mei 2014 14 dan 2013 Rupiah)
KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN INFORMASI LAINN
N LABA RUGI DAN SALDO LABA
Tanggal 30 September 2014 dan 2013
hir pada tanggal 30 September 2014 dan 2013 Dalam Jutaan Rupiah)
(Dalam Jutaan Rupiah) Piutang Yang Nyata-Nyata 30 Sep 2014 30 Sep 2013* Pos - Pos Ditagih 30 September 2014 Tidak Dapat L DPK KL D 270,204 1,989 PIHAK TERKAIT PT263,460 Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah - A I. AKTIVA PRODUKTIF
Pos IONAL
ah aralel Paralel
arabah arakah
arabah
rabah Antar Bank
252,723 -
1. 2. 3. 4.
Penempatan pada Bank Lain Penempatan pada Bank Indonesia Surat-surat Berharga Syariah Piutang a. KUK b. Non-KUK b.1.Properti i. Direstrukturisasi ii. Tidak Direstrukturisasi b.2.Non Properti i. Direstrukturisasi ii. Tidak Direstrukturisasi Pembiayaan a. KUK b. Non-KUK b.1.Properti i. Direstrukturisasi ii. Tidak Direstrukturisasi b.2 Non Properti i. Direstrukturisasi ii. Tidak Direstrukturisasi Kredit Yang Diberikan** Penyertaan pada Pihak Ketiga a. Pada perusahaan keuangan Non-Bank b. Dalam rangka restrukturisasi Pembiayaan (Lainnya) Ijarah Tagihan Lain kepada pihak ketiga Komitmen dan Kontinjensi kepada pihak No.ketiga 116 Tahun
7,031 -
-
-
Sesuai Pasal 6 Ayat 1 huruf h UU PPh No. 36 tahun 2008, dengan ini PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah mengumumkan Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih sebagai- berikut:-
-
607 3,699
-
Tahun 2014 : Rp 15.994.795.579
ah Muqayyadah)
n Transaksi Rekening Administratif
6,744 9 5,380 1,355 45,359
1,989 474 1,515 -
6. 7. 8. 9. 10.
B. PIHAK TIDAK TERKAIT
XXXII
M
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
5. Rincian Daftar Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih adalah sebagaimana tercatat di Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah dan akan diserahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Madya Semarang bersama dengan SPT Tahunan PPh Badan sebagai lampiran. 6,431 -
a Asing
asi Tidak Terikat -/-
-
KUALITAS AKTIV
478 -
-
-
-
-
Januari-Februari
2015- l
-
-
-
PROBANK
17
Aktualita
Batal Sebelum Jalan Ditjen Pajak mengeluarkan peraturan baru dalam rangka meningkatkan pendapatan negara melalui pajak. Namun, peraturan tersebut ditentang pelaku usaha perbankan yang merasa dirugikan. Peraturan itu juga diindikasikan melanggar UU perbankan.
K
eluarnya peraturan dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-01/PJ/2015 tentang Pemotongan Pajak Deposito pada 26 Januari 2015 mendapat penolakan dari para pelaku usaha perbankan. Dalam peraturan itu disebutkan, perbankan menyerahkan data bukti potong Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) deposito dan tabungan milik nasabahnya secara rinci. Misalnya, dari 100 deposan, pihak bank harus memberikan laporan dari masing-masing deposan. Sebelum peraturan ini terbit, perbankan hanya memberikan bukti potong PPh deposito dan tabungan secara gelondongan. Tentu saja kewajiban tersebut dianggap pelaku perbankan sangat merugikan dan terindikasi melanggar undang-undang (UU) perbankan yang notabene mengatur kerahasiaan data nasabah bank. Memang, ketatnya pelaporan pajak tersebut mendukung era keterbukaan informasi yang sedang digalakkan saat ini. Namun, dinilai belum siap, baik dari segi infratruktur maupun aturan yang lebih lengkap, serta tidak bertabrakan dengan aturan lainnya yang notabene kedudukannya lebih tinggi. Sebagai salah satu industri keuangan terbesar di Tanah Air, pihak perbankan sedikit banyak mendapat tekanan dengan peraturan baru tersebut. Pemotongan pajak deposito dan pelaporan daftar deposan yang sudah terpotong pajaknya mendapatkan tanggapan yang serius dari para pelaku industri. Adanya peraturan tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya penarikan dana deposito secara besarbesaran di beberapa bank. Selain itu, para nasabah resah akan adanya perubahan SPT pajaknya setiap tahun. Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono, mengatakan, tidak ada woro-woro dari pemerintah ketika ingin melepas kebijakan baru tersebut ke para pelaku usaha. Perbanas meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap peraturan
18
PROBANK
l
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015
tersebut karena memang dirasa bertentangan dengan UU perbankan selain juga memberikan dampak yang buruk terhadap industri perbankan. “Untuk itu, Perbanas menyarankan agar Menteri Keuangan berkoordinasi membahas hal itu bersama OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan BI (Bank Indonesia). Akan ada dampak buruk bagi industri, yakni adanya capital flight. Ini semestinya sudah diperhitungkan masak-masak,” kata Sigit beberapa waktu lalu. Bentuk respons Perbanas terkait dengan dikeluarkannya peraturan tersebut ialah melayangkan surat keberatan ke berbagai pihak terkait, yaitu OJK dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), untuk membatalkan peraturan tersebut. Yang memicu Perbanas melayangkan surat keberatan ialah aturan tersebut dinilai berpotensi melanggar UU perbankan tentang kerahasiaan perbankan. Sebelumnya para pelaku perbankan juga telah menyampaikan keberatan dengan adanya peraturan tersebut. Mereka menilai, peraturan tersebut belum bisa diterapkan di dalam negeri karena masih berbenturan dengan UU yang berlaku. Menurut Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, para pelaku usaha merasa keberatan dengan diterbitkannya peraturan tersebut. Selain merugikan, peraturan tersebut terindikasi melanggar UU perbankan. Memang, pada akhirnya keberatan para pelaku usaha perbankan terhadap peraturan baru tersebut mendapatkan tanggapan positif dari pihak pemangku kebijakan. Menurut informasi yang diterima Jahja, pihak OJK juga sudah menyiapkan surat pembatalan peraturan Ditjen Pajak tersebut kepada Kemenkeu. OJK mengambil langkah tersebut sebagai tindak lanjut atas surat rekomendasi yang diterimanya dari Perbanas. Gayung pun bersambut, usulan-usulan dari para pelaku usaha di industri perbankan dan OJK mendapat respons baik dari Ditjen Pajak dan Kemenkeu. Peraturan yang sedianya diterapkan pada 1 Maret 2015 tersebut akhirnya dicabut
setelah sebelumnya ditunda pemberlakuannya sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Keputusan tersebut disampaikan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, usai rapat koordinasi di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian. “Untuk memberi kepastian aturan Dirjen Pajak, yang tadinya mewajibkan pelaporan pemotongan pajak untuk bunga deposito itu akan dicabut per hari ini,” kata dia di kantor Menko Perekonomian. Namun, Bambang tidak mengungkapkan alasan utama dicabutnya peraturan tersebut. Menurutnya, aturan itu dicabut karena kurang memiliki dasar hukum yang kuat. Dia hanya menginformasikan bahwa setelah dilakukan pengkajian, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mencabut. Sementara itu, Managing Director Corporate Finance Bank CTBC Indonesia, Liliana Tanadi, mengatakan, transparansi yang dilakukan Ditjen Pajak memang langkah yang baik, tapi belum tepat dilakukan di dalam negeri. Menurutnya, hal itu baru bisa dilakukan di negara-negara yang infrastruktur perbankan dan UU yang ada di dalamnya sudah sangat baik.
“Kalau di beberapa negara maju, transparansi tersebut adalah hal yang lumrah. Kalau untuk di Indonesia, untuk menyiapkan itu semua, infrastruktur internal harus ditata dan dibenahi lebih dulu. Kalau sudah baik, peraturan tadi baru bisa diterapkan,” ungkapnya ketika ditemui Probank, beberapa waktu lalu. Menurut Liliana, pada saatnya nanti peraturan Ditjen Pajak tersebut pasti akan kembali diterapkan di Indonesia seiring dengan kesiapan infrastruktur dan aturan pendukung lainnya. Liliana menjelaskan bahwa hal tersebut tidak akan bisa dilakukan sepihak, baik pemerintah maupun pelaku industri harus siap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi ke depannya. Menurutnya, pemberlakuan transparansi mengenai pajak tadi akan mampu mengurangi para pelaku pencucian uang. “Dulu Swiss menjadi salah satu tempat pelarian uang dari seluruh dunia. Money loundry terjadi di sana. Sekarang, sejak transparansi dilakukan, Swiss bukan tempat yang menarik lagi bagi tax heaven. Untuk mencapai transparansi tersebut, masyarakat Indonesia harus sudah siap dan teredukasi sedemikian tinggi,” tutupnya. n
PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH PT BANK PANIN SYARIAH TBK. Sesuai pasal 6 ayat 1 huruf h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 Tentang Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto, maka dengan ini PT Bank Panin Syariah Tbk mengumumkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, sebagai berikut: Tahun 2014 = Rp. 6.141.008.889 Rincian daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana tercatat di Bank, akan diserahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa, sebagai lampiran SPT Tahunan PPh Badan.
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015 l
PROBANK
19
Profil
Abdul Salam, Presiden Komisaris Bank Ganesha
Meningkatkan Modal dan SDM Persaingan bisnis menuju dan saat diberlakukannya MEA pada 2020 bakal meningkat tajam. Para pelaku usaha perbankan di Tanah Air harus mempersiapkan diri agar bisa memenangi persaingan.
M
asyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) untuk sektor perbankan akan diberlakukan pada 2020. Jadi, masih ada waktu lima tahun lagi bagi pelaku usaha di sektor perbankan untuk mempersiapkan diri menghadapi pasar bebas tersebut. “Kendati demikian, perlu disiapkan dari sekarang. Kita masih punya waktu lima tahun. Yang paling utama ialah memperkuat permodalan. Kalau asing masuk dan modal kita tidak kuat, kita tidak akan dapat kue. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah SDM (sumber daya manusia) harus siap berkompetisi dengan negara ASEAN lainnya,” demikian kata Abdul Salam, Presiden Komisaris Bank Ganesha dan Pengurus Perbanas Bidang Organisasi. Menurutnya, kalau MEA diberlakukan sekarang, kita kekurangan tenaga profesional di bidang keuangan perbankan. Berdasarkan data, sektor finansial masih kekurangan tenaga terampil. Khusus untuk tenaga perbankan diperoleh informasi masih diperlukan 10.000 tenaga kerja yang punya keahlian profesi. Nah, seperti apa perkembangan dan tantangan yang akan dihadapi perbankan nasional ke depan? Berikut wawancara Probank dengan Abdul Salam. Petikannya: Bagaimana pandangan Bapak mengenai perbankan nasional? Perbankan nasional secara umum sudah membaik dan makin sehat. Saya melihat, ke depan ada potensi untuk bisa berkembang lagi. Hal ini dapat dilihat dari akses masyarakat ke perbankan yang masih rendah sehingga penetrasi masih cukup luas. Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Ini yang menjadi incaran investor luar negeri. Investor asing melihat perbankan di Tanah Air sebagai surga karena menjanjikan profitabilitas yang baik.
20
PROBANK
l
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015
Perkembangan perbankan nasional seperti apa? Perkembangan industri (perbankan nasional) makin baik dan sehat. Ini bisa dilihat dari beberapa indikator yang diambil dari data tahun lalu, misal CAR (capital adequacy ratio) masih cukup tinggi dengan rata-rata industri mencapai 19,8%. Return on asset (ROA) juga masih cukup tinggi, mencapai 2,87%. Rasio BO/PO (biaya operasional terhadap pendapatan operasional) makin efisien ketika akhir tahun mencapai 76,16%. LDR (loan to deposit ratio) juga mencapai 88,65%, dengan demikian fungsi intermediasi perbankan berjalan baik dan optimal. NPL (non performing loan) kualitasnya juga relatif baik sebesar 2,63%. Namun, perkembangan pada tahun ini akan terpengaruh pelemahan rupiah, antara lain disebabkan kebijakan The Fed. Kemungkinan akan ada peningkatan kredit bermasalah yang diprediksikan oleh beberapa sumber bisa mencapai lebih dari 3%. Ke depan kita perlu struktur pondasi perbankan yang kokoh. Indikator umumnya dapat dilihat dari modal yang kuat dan tumbuh membesar, memiliki manajemen yang andal, earning harus sustainable, likuiditas dijaga dengan baik dan kualitas aktiva yang baik. Bagaimana kesiapan perbankan nasional menghadapi MEA? Sektor perbankan akan memasuki MEA pada 2020. Kendati demikian, perlu disiapkan dari sekarang. Kita masih punya waktu lima tahun. Menurut saya, yang paling utama ialah memperkuat permodalan. Kalau asing masuk dan modal kita tidak kuat, kita tidak akan dapat kue. Selain itu yang tidak kalah penting adalah SDM (sumber daya manusia) harus siap berkompetisi dengan negara ASEAN lainnya. Kalau MEA dilakukan sekarang, kita kekurangan tenaga profesional di bidang keuangan perbankan. Menurut
data yang saya dapatkan, sektor finansial masih kekurangan tenaga terampil. Khusus untuk tenaga perbankan diperoleh informasi masih perlu 10.000 tenaga kerja yang punya keahlian profesi. Jadi, masih banyak minus dari tenaga kerja kita. Ini yang harus ditingkatkan, bagaimana caranya dari minus menjadi plus nanti. Kita masih sangat kurang untuk itu. Tantangan dan peluang apa saja yang akan dihadapi perbankan nasional saat MEA diberlakukan? Kalau kita berpikir positif, tentu ada peluang dengan diberlakukannya MEA. Adanya globalisasi, likuiditas akan meningkat. Aliran uang jadi meningkat karena tidak ada sekatsekat lagi. Akses pembiayaan juga makin besar untuk menumbuhkan dunia usaha di Indonesia. Bank-bank dari luar sudah siap masuk sehingga pembiayaan makin mudah. Diharapkan juga volume transaksi makin besar, perekonomian bergerak maju, dan tata kelola makin baik. Adanya suatu persaingan dan transfer of knowledge dari bankbank luar negeri di sini, persaingan akan lebih ketat nantinya.
Di lain pihak, tantangan juga akan kita hadapi. Kita harus siap untuk memperkuat permodalan dan SDM yang profesional. Kalau kita tidak siap menghadapi integrasi pasar keuangan dan perbankan tersebut, kita akan jadi korban. Kita punya potensi yang besar, tapi malah dinikmati oleh mereka. Bagaimana kesiapan bank BUKU 1 dan BUKU 2 dalam menghadapi MEA? Bank BUKU 1 dan BUKU 2 ini relatif kecilmenengah dan banyak jumlahnya. Mereka harus antisipasi dengan memperkuat permodalan karena persaingan makin ketat. Jumlah mereka yang besar di lain pihak market sharenya yang kecil, mengakibatkan persaingan yang ketat dengan sesamanya, dan juga dengan bank-bank besar. Untuk menyiasatinya, mereka harus fokus terhadap bisnis yang digarap. Mereka harus punya nieche market masing-masing. Mereka harus punya cerukan khusus yang tidak mudah dimasuki oleh pesaing lainnya, khususnya bank-bank asing. Khusus untuk BUKU 1 dan 2 yang merupakan bagian dari grup besar, mereka perlu memanfaatkan value chain pada perusahaan dari captive market induknya. Harus dibuat suatu sinergi. Kalau strateginya pas, mereka bisa compete ke depan. Jadi, persiapannya harus serius, baik dari sisi penyaluran kredit maupun mendapatkan funding-nya dengan meningkatkan CASA (current account, saving account) agar bisa terus tumbuh. Apa saja yang harus dilakukan stakeholders perbankan nasional? Tentunya ini harus betul-betul kompak dalam kerja sama untuk menghadapi tantangan ke depan. Karena itu, saya kira yang akan dilakukan pemerintah harus tercipta iklim usaha yang kondusif di berbagai bidang. Sekarang sudah ada upaya untuk mengurangi biaya tinggi. Dunia usaha jadi punya daya saing yang lebih efisien yang selanjutnya akan mendorong sektor keuangan ikut berkembang baik. Harus ada sinergi dari pemerintah, BI, dan OJK untuk menciptakan iklim kondusif tersebut dan membangun infrastruktur yang kuat, seperti jalan, telekomunikasi, jalan tol, dan pelabuhan. Sektor keuangan akan mengikuti bisnis, sementara itu bisnis akan mengikuti kesiapan infrastruktur. Dan, bukan hanya itu, stakeholders dalam arti luas, penyiapan SDMnya merupakan bagian dari perguruan tinggi, program studi harus ikut menerapkan prinsip link and match. Apa yang dibutuhkan industri harus disiapkan oleh perguruan tinggi. Pandangan Anda mengenai konsolidasi perbankan? Ini merupakan volume matters. Bank di BUKU 1 dan BUKU 2 volume usaha relatif kecil dibandingkan BUKU 3 dan BUKU 4. Oleh karena itu harus konsentrasi pada penguatan modal, bisa dari internal pemegang saham, strategic partner, atau injeksi modal dari luar, dan bisa merger atau akuisisi. No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015 l
PROBANK
21
Profil
Konsolidasi memang suatu keharusan untuk diupayakan ke depan. Dengan upaya itu, perbankan nasional bisa lebih efisien dengan modal yang kuat dan volume bisnis yang meningkat. Kalau mau merger, harus atas dasar bisnis sukarela dan saling menguntungkan. Dihindari adanya suatu upaya kawin paksa. Ini harus dilihat case by case. Bank kecil yang punya nieche market dan didukung dari captive market grupnya, serta kualitas manajemen dan SDM-nya bagus, mereka akan mempunyai potensi tumbuh. Bank-bank kecil diminta untuk memperkuat permodalannya. Cara apa yang dilakukan untuk mencapainya? Otoritas sudah melakukan pendorongan konsolidasi ini. Bank-bank kecil diberikan jalan supaya difasilitasi untuk memperkuat modal bisa bersumber dari internal pemegang saham, atau dengan merger atau akuisisi, atau dari luar, maupun malah dari dalam grupnya sendiri. Pada dasarnya, makin kecil bank makin besar CAR yang harus dimiliki untuk menyerap risiko. Potensi bisnis yang paling berkembang? Bisnis ritel, salah satunya UMKM, masih potensial untuk berkembang. Dari mereka, yang akses ke perbankan masih sedikit. (Menurut) survei, nasabah dari sektor UMKM baru sekitar 20% akses ke perbankan dan ini merupakan pasar yang masih luas dan bisa digarap, oleh bank-bank kecil. Hanya saja, bagaimana bisa memanfaatkan peluang yang luas ini diperlukan produk-produk yang tepat dengan layanan yang
prima. Jadi, kalau ada nasabah yang mempunyai masalah, bank harus bisa memberikan solusinya. UMKM tidak hanya butuh pendanaan, tapi juga perlu pendampingan. Untuk itu diperlukan persiapan yang tidak sepotong-potong. Kalau mau ke ritel, siapkan semuanya, mulai dari infrastruktur hingga orangnya yang punya kultur komitmen untuk pengembangan UMKM. Bisnis apa yang menjadi andalan Bank Ganesha? Bank Ganesha masuk ke retail banking. Pertama fokus ke segmen UMKM yang ada di sekitar masing-masing kantor, dengan melakukan identifikasi secara intensif usaha mereka, dan melakukan pembinaan dan monitoring secara ketat serta memberikan layanan yang baik, mengenal nasabah satu per satu. Kedua kami masuk ke segmen UMKM di pasar-pasar tradisional dan sentra-sentra industri kecil karena mereka potensial untuk dapat akses fasilitas perbankan baik pinjaman maupun dana simpanan. Ketiga target market tertuju ke para supplier dan distributor dari perusahaan-perusahaan captive market dengan memanfaatkan value chain mereka, sehingga telah diketahui track record dan terjamin pemasarannya. Pemasarannya sudah pasti terjamin dengan sistem value chain ini. Terakhir, kami tidak melupakan sektor konsumer. Sektor ini juga potensial yaitu menjangkau para pekerja, dengan pembiayaan multiguna atas dasar payroll system, dan pembiayaan KKB, mungkin mereka perlu (sepeda) motor serta pembiayaan rumah untuk mereka lewat KPR. n
Ingin Berbagi Ilmu Abdul Salam memulai kariernya di industri perbankan sejak 1975, yaitu di Bank Indonesia (BI). Berbagai jabatan direktur di bank sentral pernah diembannya. Setelah pensiun dari BI, ia pernah bekerja di PT Permodalan Nasional Madani (PNM) sebagai Direktur dan Direktur Utama, setelah itu bergabung dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Di BRI ia menjabat sebagai direktur keuangan dan kepatuhan selama satu periode. Selepas dari BRI, pria yang gemar olahraga (joging dan golf ) ini kemudian bergabung dengan Bank Ganesha dengan menjabat sebagai presiden direktur, hingga akhirnya sekarang dipercaya sebagai presiden komisaris. Sejak menjadi komisaris, kesibukannya mulai berkurang sehingga membuatnya memilih menjadi pengurus dan pengajar di salah satu lembaga pendidikan, yang didirikan yayasan milik BI, yaitu Indonesia Banking School (IBS). “Saya kira, sudah banyak yang saya lalui. Hanya satu yang masih kurang, yaitu dunia pendidikan. Kini saatnya saya berbagi. Jadi, kelebihan waktu saya gunakan di IBS sebagai Direktur Pascasarjana,” ujar pria yang menganut filosofi “asah, asih, dan asuh” ini. Abdul kini tengah berusaha menguatkan Perbanas, tidak hanya di pusat tapi juga di daerah. Di Perbanas Abdul menjabat sebagai pengurus bidang organisasi. Meningkatkan peran Perbanas sebagai organisasi yang bermanfaat menjadi salah tanggung jawabnya. “Kami sedang berusaha agar Perbanas di daerah juga memiliki peran seperti yang di pusat,” jelasnya ketika disambangi di kantornya, di kawasan Kemang, Jakarta.
22
PROBANK
l
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015
Kinerja
Kredit Melambat, Risiko Meningkat Depresiasi rupiah memicu penurunan permintaan kredit. Sejumlah sektor yang berorientasi ekspor risikonya meningkat. Sektor-sekor mana saja yang patut diwaspadai pada 2015?
G
ejolak ekonomi yang masih berlanjut berdampak pada iklim bisnis di Indonesia. Dampak berikutnya, iklim bisnis yang penuh ketidakpastian itu memengaruhi pengucuran kredit perbankan nasional. Sejumlah faktor, mulai dari gejolak ekonomi, melemahnya nilai tukar, dan meningkatnya risiko, telah memicu penurunan permintaan kredit. Memang, di lain sisi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menginginkan kondisi tersebut, yakni kredit tak tumbuh terlalu cepat dan meminta bank lebih fokus menjaga bisnisnya agar lebih hati-hati (prudent). Berdasarkan data OJK, total penyaluran kredit perbankan (kepada pihak ketiga) pada 2014 mencapai Rp3.6743,31 triliun atau tumbuh 11,58% dibandingkan dengan pencapaian 2013 yang hanya Rp3.292,87 triliun. Artinya, telah terjadi perlambatan pertumbuhan kredit jika dibandingkan dengan
pencapaian pada periode sebelumnya yang sebesar 21,60%. Jika dilihat berdasarkan sektor, mayoritas penyaluran kredit pada 2014 disalurkan ke sektor perdagangan dan pengolahan. Porsi kredit ke sektor perdagangan pada periode tersebut mencapai 19,51% dari total kredit, sementara ke sektor pengolahan mencapai 17,98% dari total kredit yang disalurkan perbankan nasional. Masih menurut data OJK, ada tiga sektor yang pertumbuhan kreditnya tercatat signifikan, yakni sektor konstruksi; sektor penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum; serta sektor perikanan dan pertanian. Penyaluran kredit ke sektor konstruksi tercatat tumbuh 26,86% menjadi Rp147,27 triliun dari Rp116,09 triliun pada 2013. Sedangkan, kredit untuk lapangan usaha penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum tumbuh 24,07% menjadi Rp73,58 triliun. Selanjutnya, kucuran kredit ke sektor perikanan dan pertanian masing-masing membukukan pertumbuhan sebesar 20,45% dan 19,88%. Sementara, penyaluran kredit ke sektor pengolahan dan pertambangan masing-masing tumbuh 14,46% dan 11,83%. Melambatnya pertumbuhan kredit pada 2014 dibarengi dengan meningkatnya rasio kredit bermasalah (non performing loan atau NPL). Inilah yang patut diwaspadai para pelaku usaha dan regulator. Sebagai catatan, pada 2014 angka kredit bermasalah membengkak dari Rp58,28 triliun pada 2013 menjadi Rp79,39
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015 l
PROBANK
23
Kinerja
triliun. Rasio NPL pada periode tersebut naik dari 1,77% menjadi 2,16%. Tiga sektor yang mencatatkan NPL tertinggi ialah sektor perdagangan sebesar 4,61%, sektor transportasi 3,21%, serta sektor penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum 3,18%. Sektor-sektor yang NPL-nya mengalami lonjakan ialah sektor energi, penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum, pertambangan, pertanian, konstruksi, dan perdagangan. Dengan kondisi makro yang belum sepenuhnya stabil pada 2015, perbankan tentu akan lebih hati-hati dalam menyalurkan kreditnya. Ekonom OCBC Bank Singapura, Wellian Wiranto, mengatakan, sektor-sektor yang mungkin berisiko mengalami kenaikan NPL adalah sektor-sektor yang terpengaruh gejolak eksternal, seperti sektor komoditas yang harganya masih turun serta sektor minyak dan gas (migas). Pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi akhir-akhir ini juga cukup mencemaskan kalangan perbankan, khususnya bank-bank yang mengucurkan kredit dalam nominal valuta asing (valas). Namun, hal itu belum dirasakan BCA. Jahja Setiaatmadja, Direktur Utama BCA, menilai, pelemahan rupiah saat ini tidak terlalu memengaruhi permintaan kredit. Menurutnya, selama ekonomi domestik berkembang, maka permintaan kredit dari para pelaku usaha akan tetap ada.
Kendati demikian, Jahja tak memungkiri bahwa melemahnya rupiah dapat memengaruhi permintaan kredit. Menguatnya dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah akan memengaruhi harga bahan baku impor sehingga harga pokok penjualan produksi juga akan naik. Kondisi-kondisi tersebut, tambah Jahja, akan memengaruhi permintaan kredit. “Kalau kemampuan masyarakat untuk membeli produk itu berkurang, itu yang menyebabkan kredit bisa melemah. Karena, jika memang kapasitas produksi mereka diturunkan, maka modal kerja juga mengikuti,” imbuhnya. Lalu, seperti apa strategi penyaluran kredit bank-bank ke sektor produktif pada 2015? Untuk menyikapi meningkatnya risiko bisnis, BRI memilih untuk lebih selektif dalam menyalurkan kredit. Direktur BRI, A. Toni Soetirto, mengungkapkan, untuk SEKTOR PERDAGANGAN TERATAS menyalurkan kredit ke Kredit Berdasarkan Sektor Ekonomi 2012 - 2014 (Rp Miliar) segmen korporasi, pihaknya akan P Kredit 2012 2013 s (%) 2014 s (%) mengutamakan 1 Perdagangan Besar dan Eceran 499.567 644.047 28,92 716.733 11,29 penyaluran kredit ke NPL 12.668 15.898 25,50 22.782 43,30 sektor bisnis yang 2 Industri Pengolahan 445.807 577.080 29,45 660.536 14,46 NPL 10.479 10.023 -4,35 12.267 22,39 memiliki trickle down 3 Pertanian, Perburuan, dan Kehutanan 142.451 177.162 24,37 212.386 19,88 business terhadap NPL 2.603 2.553 -1,92 3.827 49,90 bisnis usaha mikro, 4 Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 122.235 163.418 33,69 171.805 5,13 NPL 2.522 3.208 27,20 5.516 71,95 kecil, dan menengah 5 Perantara Keuangan 124.958 151.154 20,96 166.182 9,94 (UMKM) yang NPL 193 427 121,24 1.559 265,11 notabene menjadi 6 Real Estate, Usaha Persewaan, dan Jasa Perdagangan 150.568 193.182 28,30 165.466 -14,35 NPL 2.446 3.477 42,15 3.391 -2,47 bisnis utama bank 7 Konstruksi 95.921 116.090 21,03 147.266 26,86 tersebut. NPL 3.410 4.746 39,18 6.784 42,94 Tahun lalu bank 8 Pertambangan dan Penggalian 104.207 126.826 21,71 141.824 11,83 NPL 1.292 1.920 48,61 3.574 86,15 yang kini dikomandoi 9 Jasa-jasa dan lainnya*) 109.897 75.330 -31,45 105.037 39,44 Asmawi Syam ini NPL 2.483 1.500 -39,59 2.559 70,60 mencatatkan kenaikan 10 Listrik, Gas, dan Air 59.073 79.493 34,57 81.130 2,06 total outstanding kredit NPL 253 587 132,02 1.547 163,54 11 Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan dan Minum 44.640 59.306 32,85 73.583 24,07 sebesar 13,88% atau NPL 443 571 28,89 1.057 85,11 meningkat menjadi 12 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib 2.793 12.475 346,65 11.002 -11,81 Rp490,41 triliun. Untuk NPL 5 4 -20,00 7 75,00 13 Perikanan 5.492 6.391 16,37 7.698 20,45 mendukung penyaluran NPL 197 185 -6,09 195 5,41 kreditnya, tahun ini BRI Total 1.907.609 2.381.954 24,87 2.660.648 11,70 berencana menerbitkan NPL 38.994 45.099 15,66 65.065 44,27 obligasi. Obligasi ini Keterangan: akan diterbitkan secara *) : terdiri atas jasa pendidikan; jasa kesehatan dan kegitan sosial; jasa kemasyarakatan, sosial budaya, hiburan dan perorangan; jasa perorangan yang melayani rumah tangga; berkelanjutan dalam badan internasional dan badan ekstra internasional lainnya; serta kegiatan yang belum jelas batasannya. tiga tahun ke depan - NPL : non performing loan; dengan total nilai Rp12 - s : pertumbuhan; - P : disusun berdasarkan kredit per 2014. triliun. Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, diolah kembali oleh Biro Riset infobank.
24
PROBANK
l
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015
Senada dengan BRI, infrastruktur Bank Bank Mandiri juga akan Mandiri melalui skema Kredit Berdasarkan Penggunaan 2012-‐2014 menggenjot penyaluran sindikasi antara lain (Rp Miliar) kredit ke sektor korporasi disalurkan ke proyek 1,757,449 2,000,000 untuk mendukung jalan tol, pelabuhan, serta 1,585,659 pertumbuhan kreditnya. pembangkit dan transmisi 1,316,689 1,500,000 Hal itu sejalan dengan listrik. 1,013,666 909,058 7 99,748 komitmen Bank Mandiri Di tengah tren 1,000,000 Modal Kerja untuk mendukung perlambatan yang Investasi 903,194 798,157 500,000 pembangunan infrastrtuktur terjadi, OJK masih 5 91,425 Konsumsi yang dicanangkan optimistis bahwa -‐ pemerintah saat ini. pertumbuhan kredit 2012 2013 2014 Budi G. Sadikin, dapat melampaui angka Tahun Direktur Utama Bank 16% hingga akhir 2015. Mandiri, mengatakan, Target tersebut dapat penyaluran kredit Bank dicapai bila stabilitas Mandiri ke sektor infrastruktur saat ini telah mencapai makro tetap terjaga dan pembangunan infrastruktur Rp47,25 triliun dan US$40 juta. Anggaran tersebut berjalan dengan baik. “Jika pengelolaan makronya stabil dialokasikan untuk pembangunan pelabuhan laut, bandar udara dan belanja infrastruktur berjalan, saya yakin, (bandara), pembangkit listrik, dan jalan tol. (pertumbuhan kredit) bisa lebih dari 16%,” terang Irwan Penyaluran kredit sindikasi Bank Mandiri untuk proyek Lubis, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perbankan infrastruktur pada akhir 2014 telah mencapai Rp15,3 triliun OJK, beberapa waktu lalu. atau meningkat 131% dibandingkan dengan tahun sebelumnya Menurut Irwan, pelemahan nilai tukar yang terjadi sekarang yang hanya Rp6,6 triliun. Realisasi penyaluran tersebut setara ini tak akan berdampak signifikan asalkan stabilitasnya dapat dengan 37% total kredit sindikasi yang dikucurkan hingga dijaga. Dengan begitu, industri dapat merancang perencanaan Desember 2014 yang mencapai Rp41,6 triliun. Kredit bisnis dengan baik dan dengan risiko yang terukur. n
PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH PT BANK SYARIAH MANDIRI Sesuai Pasal 6, ayat (1), Huruf h UU PPh No.36 Tahun 2008, dengan ini PT Bank Syariah Mandiri mengumumkan Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Tahun 2014 sebagai berikut: Tahun 2014: Rp985.358.137.515 Rincian Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih adalah sebagaimana tercatat di Bank dan diserahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Besar Empat, bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh Badan sebagai Lampiran.
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015 l
PROBANK
25
Sekilas Berita
Bakti Sosial Imlek 2566 Dalam rangka merayakan Hari Raya Imlek 2566, pada 4 Februari 2015 Perbanas Sumatera Utara (Sumut) menyelenggarakan kegiatan bakti sosial dengan tema "Berbagi Kasih dalam rangka menyambut Hari Raya Imlek 2566". Kegiatan tersebut diwujudkan dengan pemberian bantuan kebutuhan sehari-hari untuk anggota masyarakat yang kurang mampu. Bantuan diserahkan oleh Nita Ernawati (Ketua Perbanas Sumut) dan pengurus lainnya kepada klinik yang dikelola secara bersama-sama antara Rotary Club Deli Medan dan Yayasan Iskandar Muda yang berlokasi di Sunggal, Medan.
PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH SESUAI PSL 6 AYAT 1 HURUF h UU PPh TAHUN 2008 TAHUN 2014 NAMA NPWP Jumlah SALDO NAMA NPWP HARRY ESTRADA 78.988.260.2-117.000 682.483.099 JENNY CHANDRA 24.144.081.7-047.000 SUGANDI 15.604.907.4-212.000 278.832.640 BESTARI ENTREPRENEUR 03.087.741.9-216.000 AHMAD ALWIN HARAHAP 07.408.564.8-118.000 668.534.081 SUKSES TANGGUH CV FIRMANSYAH FAHLEVI 09.942.795.7-122.000 471.860.700 JONSON 14.266.311.1-216.000 CHAIRULLAH 44.350.350.3-125.000 367.059.821 ISMAIL CHAN 08.202.560.2-215.000 SUKINI 09.877.484.7-121.000 1.823.514.649 ITA CHERVILYA 05.874.944.1-505.000 ZAMRI 34.513.512.3-125.000 771.953.884 DONNI SUTEJA 46.086.717.9-041.000 YONI HENDRI ST 59.294.704.8-121.000 420.773.166 ANTHONY TANILA 09.125.432.6-035.000 SUIJANTO 08.401.154.7-113.000 80.489.046 HENGKI WIJAYA 46.296.584.2-416.000 SUSANTO 59.281.149.1-119.000 1.155.333.264 MAJESTY COATING INDUSTRY PT 02.293.656.1-033.000 ROSNAH SALIM 36.976.806.4-113.000 700.000.000 TEDY CHANDRA 45.956793.9-039.000 PUPUK AGRI MANDIRI CV 02.848.861.7-125.000 3.168.309.601 TAN EK TOO 17.569.727.5-085.000 WINNI WIJAYA 06.826.165.0-121.000 2.555.526.390 HENDRA GUNARTO 25.548.312.5-034.000 A ENG 25.904.569.8-125.000 728.427.062 DEDI MULYADI 07.253.147.8-434.000 BAN KIM 14.002.106.4-119.000 1.353.577.218 WAWAN DARMAWAN 89.986.030.8-404.000 ANGEL 78.841.779.1-122.000 2.000.032.000 RANIA NARANI S.SI.APT 45.744.370.3-403.000 MUHAMMAD YUSUF 07.396.077.5-115.000 800.000.000 HANSHU ROEDY 88.703.293.6-411.000 SAMSUDDIN 24.965.718.0-118.000 1.762.481.682 KWEK WIE SIN 06.831.433.5-041.000 ANTONI GUNAWAN 16.007.507.3-211.000 700.040.000 FERSITA BUNAWAN LIM 59.498.554.1-036.000 KWEK BENG HAI 08.000.982.2-111.000 450.028.000 IR H TEGUH PURNOMO MM 19.429.516.8-609.000 TOTAL
26
PROBANK
l
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015
Jumlah SALDO 1.527.137.669 816.188.247 429.417.492 125.321.888 149.986.333 3.129.041.430 372.158.024 3.177.563.734 8.705.990.113 3.039.500.792 166.670.829 674.786.982 929.097.270 924.593.776 1.323.340.208 1.579.198.387 344.047.311 2.355.142.773 300.012.000 51.008.451.558
Silaturahmi Anggota Perbanas Sumut Sebagai puncak rangkaian kegiatan dalam merayakan Hari Raya Imlek 2566, pada 2 Maret 2015 pengurus Perbanas Sumatera Utara (Sumut) menggelar acara gathering untuk pelaku bisnis perbankan di Sumut. Acara yang diselenggarakan di Taipan Restauran, yang berlokasi di Jalan Putri Hijau, Medan, ini bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi di antara pelaku bisnis perbankan Sumut. Dalam acara tersebut hadir 54 pelaku bisnis perbankan yang banknya menjadi anggota Perbanas Sumut.
PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH PT BANK WOORI INDONESIA Sesuai Pasal 6 ayat 1 huruf h Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009, dengan ini PT Bank Woori Indonesia, mengumumkan Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih sebagai berikut: Tahun 2014
Rp. 53.722.803.124,-
Rincian Daftar Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih adalah sebagaimana tercatat di bank dan diserahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Besar Satu, Direktorat Jenderal Pajak, bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh Badan sebagai lampiran.
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015 l
PROBANK
27
Sekilas Berita
RDPU Perbanas
dengan Komite IV DPD Membangun industri perbankan yang sehat bukan hal mudah. Perlu adanya peraturan perundangan untuk mengatur operasional industri dan pengawasan secara terus-menerus atas implementasi peraturan tersebut.
S
ebagai salah satu pendorong mesin perekonomian bangsa, industri perbankan nasional selalu mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Apalagi, di tengah kondisi perekonomian global yang belum stabil seperti sekarang ini, perhatian makin sering tertuju pada industri perbankan. Hal itu ditanggapi secara positif oleh pelaku industri perbankan. Toh, semua demi kemajuan perekonomian bangsa. Salah satu agenda yang cukup bermanfaat bagi industri perbankan adalah rapat dengar pendapat umum (RDPU) antara Perbanas dan Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia. Rapat tersebut digelar pada 4 Februari 2015, pukul 09.00–12.00 WIB, di ruang rapat Komite IV Gedung B DPD lantai 2, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Dari pihak Perbanas, RDPU tersebut dihadiri Sigit Pramono, Ketua Umum; Farid Rahman, Wakil Ketua Umum; Anika Faisal, Sekretaris Jenderal; Rita Mirasari, Ketua Bidang Hubungan Masyarakat; dan Eri Unanto, Direktur Eksekutif. Sedangkan, dari pihak DPD, hadir H. Cholid Mahmud, Ketua; Ajieb Padindang, Wakil Ketua, dan anggota DPD, di antaranya Haripinto Tanuwidjaja, Ayi Hambali, Bambang Sadono, A.A. NGR Oka Ratmadi, Abd. Jabbar Toba, serta Aji Muhammad Mirza Wardana. Rapat tersebut diselenggarakan untuk mengetahui sejauh mana kondisi perbankan Indonesia saat ini. Dalam kegiatannya, industri perbankan mengacu pada Undang-
28
PROBANK
l
No. 116 Tahun XXXII Januari-Februari 2015
Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Terkait dengan tugasnya, DPD memiliki kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan UU dan Komite IV DPD RI sebagai alat kelengkapan DPD RI yang membidangi beberapa bidang, salah satunya lembaga keuangan. Dalam rapat tersebut Sigit Pramono menjelaskan tentang perkembangan terakhir industri perbankan dari sisi perekonomian global dan industri perbankan di kawasan ASEAN. Saat ini ASEAN berpotensi menjadi tujuan investasi. Diberlakukannya ASEAN Economic Community (AEC ) pada 2015 mendorong pertumbuhan ekonomi dan potensi kompetitif di antara anggota ASEAN. Dan, sektor perbankan di kawasan ASEAN sudah mempersiapkan diri dengan membuat konsep Qualified ASEAN Banks (QABs) untuk menghadapi AEC sektor keuangan yang akan diberlakukan pada 2020. Menghadapi AEC, daya saing perbankan Indonesia tak perlu diragukan lagi. Dari struktur permodalan, perbankan Indonesia tergolong kuat dengan kredit bermasalah cenderung rendah. Sayangnya, penetrasi kreditnya masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya dan perlu digenjot lagi. Prediksi industri perbankan sampai dengan 2040 juga disampaikan Sigit Pramono dalam paparannya. Ke depan, untuk membangun industri perbankan yang kuat, dibutuhkan cetak biru perbankan nasional. n