Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
PEDOMAN STANDAR PENGELOLAAN PENYAKIT BERDASARKAN KEWENANGAN TINGKAT PELAYANAN KESEHATAN
I. PENDAHULUAN Pembangunan Kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi hak dasar rakyat untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 dan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pembangunan kesehatan yang telah dilakukan selama ini bertujuan untuk meningkatkan derajat dan status kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itu pemerintah menetapkan Pembangunan Kesehatan dalam Program Pembangunan Nasional. Pemerintah telah menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan tingkat dasar sampai dengan rujukan yang memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangani masalah kesehatan di masyarakat. Meskipun pendekatan pelayanan kesehatan sama tetapi fokus penekanan pelayanan berbeda sesuai dengan kemampuan yang ada pada tiap fasilitas pelayanan kesehatan. Agar kesinambungan pelayanan kesehatan pada masyarakat dapat terwujud, diperlukan sistem rujukan yang berjenjang dan terstruktur, dimana ada kejelasan peran dan fungsinya sesuai tingkat fasilitas pelayanan kesehatan. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pelayanan medis di pemberi pelayanan kesehatan harus senantiasa dipertahankan bahkan ditingkatkan agar tercapai pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. Demi Tercapainya penyelenggaraan pelayanan medis yang memenuhi standar tersebut perlu pedoman pengelolaan berdasarkan kewenangan di tingkat pelayanan kesehatan. Untuk itu Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat bersama FK UNPAD, RSUP Hasan Sadikin Bandung dan Organisasi Profesi telah menyusun Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Berdasarkan Kewenangan Tingkat Pelayanan Kesehatan. Buku ini menginformasikan bagaimana pengelolaan penyakit mulai dari pelayanan dasar sampai pelayanan rujukan, perlu tidaknya kasus tersebut dirujuk berdasarkan kewenangan tingkat pelayanan kesehatan. Sehingga diharapkan dapat menjadi acuan dalam peningkatan kompetensi tenaga kesehatan di pemberi pelayanan kesehatan.
1
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
II.
2012
DASAR HUKUM 1. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 128/MENKES/SK/II/2004, tentang Kebijakan Dasar Puskesmas. 3. Buku Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Rumah Sakit
III. TUJUAN Umum : Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang optimal berdasarkan kewenangan dan kompetensi di tiap jenjang pelayanan kesehatan. Khusus : - Tersusunnya pedoman pengelolaan penyakit berdasarkan kewenangan Pemberi Pelayanan Kesehatan - Dasar pengkajian untuk rencana pengembangan dan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan
IV. PENYAKIT DAN PENGELOLAANNYA Pengelompokan penyakit dan bagaimana pengelolaannya berdasarkan kewenangan di setiap tingkat pelayanan kesehatan terdiri dari : - Penyakit Anak - Penyakit Dalam - Penyakit Kebidanan dan Kandungan - Penyakit Bedah - Penyakit THT-KL - Penyakit Neurologi (Syaraf) - Penyakit Kulit Kelamin - Penyakit Mata - Penyakit Jiwa (Psikiatri) - Penyakit Gigi dan Mulut
2
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
PENGELOLAAN PENYAKIT ANAK No
DIAGNOSIS
PPK 1
1
TB Paru
Skrining tanda serta gejala klinik
2
Bronko Pneumonia
Penilaian klinis, diagnostik dan terapi (BP ringan) sesuai MTBS
3
Diare
Diagnosis : Diare akut dengan /tanpa dehidrasi, diare dengan dehidrasi ringan-sedang Tatalaksana sesuai protocol
Dehidrasi berat bisa ditangani di Puskesmas DTP 4
Penyakit jantung bawaan (PJB)
PPK 2
PPK 3
Penilaian klinis diagnostik PPD, rontgen thorax)
dan Diagnostik dan (Tes penanganan TB paru disertai komplikasi (empyema, atelektasis, destroyed lung, hemoptysis, TB milier, Multi Drug Resistance TB (MDR-TB) Rujuk balik untuk th/ OAT rujuk balik untuk terapi OAT) Penilaian klinis, diagnostik Penegakan diagnostik dan dgn pemeriksaan penunjang terapi BP berat dengan (lab dan rontgen) ancaman gagal nafas sehingga membutuhkan ventilator, empysema dan sepsis. Penatalaksanaan rujuk balik Bronkhopneumoni Penatalaksanaan diare Diagnosis etiologi dan ringan- sedang yang tidak talaksana diare persisten / dapat direhidrasi per oral, kronis, diare dengan diare berat, diare akut penyakit penyerta seperti dengan dehidrasi berat, HIV, diare yang diare disertai komplikasi membutuhkan seperti sepsis, gangguan pemeriksaan penunjang elektrolit, (membutuhkan kultur feses, dan kultur feses) endoskopi rujuk balik dan penyuluhan
Deteksi dini PJB, Diagnosis PJB melalui tatalaksana penyakit pemeriksaan penunjang penyerta pada PJB. (EKG, rontgen thorax), penatalaksanaan penyakit penyerta PJB
Diagnosis dan tatalaksana PJB dengan pemeriksaan echocardiography dan kateterisasi jantung Tatalaksana PJB Operatif TIDAK RUJUK BALIK Bila tidak dilakukan operatif rujuk balik
5
Cerebal Palsy (CP)
Deteksi dini tumbuh Diagnostik kelaianan kembang (DDTK) perkembangan (Denver, Cat/Clam),
Diagnostik dan skrining CP dgn comorbid (gangguan pendengaran, pengelihatan, RM, 3
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
epilepsi)
Tatalaksana spastisitas, fisioterapi (klinik tumbuh kembang)
6
Gizi buruk
Deteksi Diagnosis dini
Tatalaksana gizi buruk
PMT Rujuk
Penatalaksanaan komplikasi
Tatalaksana dan fisioterapi, penilaian IQ (URM : fisioterapi, terapi bicara, terapi okupasi) Rujuk balik untuk pemantauan tumbuh kembang dan stimulasi di rumah Tatalaksana kegawatan dan tatalaksana kelainan khusus Diagnosis etiologi (HIV/AIDS, kelainan congenital, sindroma malabsorbsi) → Rujuk balik
Bila memerlukan pemeriksaan khusus untuk etiologi (HIV/AIDS, kelainan Kongenital ) → Rujuk Rujuk balik ke PKM untuk pemantauan dan PMT 7
8
ISPA
Thalassemia
Diagnosis dan tatalaksana ISPA Tidak perlu dirujuk
TIDAK PERLU DIRUJUK
Deteksi dini suspek Pemeriksaan penunjang thalassemia (darah rutin) dan pemberian (skrining tanda serta transfusi. gejala klinik: anemia, hepatosplenomegali) kontrol rutin penderita
9
DF/DHF
Skrining tanda serta Penanganan DHF Grade II gejala klinik sampai dengan DSS (DHF Grade III dan IV) Pemeriksaan penunjang Ig M dan Ig G Tatalaksana DF/DHF bila memerlukan perawatan dengan pemeriksaan intensif Rujuk ke PPK 3 darah rutin (Puskesmas DTP)
Penegakan diagnosis melalui Hb elektroforesa, pencegahan dan penanganan komplikasi : hemosiderosis (chelating agent), splenektomi, Rujuk balik untuk transfusi berkala Penegakkan diagnosis, dengan pemeriksaan penunjang (IgG , IgM, NS1), DHF yang memerlukan perawatan intensif Rujuk balik paska perawatan
4
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
10
Sindroma Nefrotik
Diagnosis berdasarkan Penegakan diagnostis pasti gejala klinis dan pemeriksaan urin dipstik. Rujuk untuk diagnosis Rawat inap SN serangan pasti pertama (jika dibutuhkan) rujuk balik untuk melanjutkan pengobatan Jika terjadi SN resisten steroid harus dirujuk
11
Epilepsi
Diagnosis berdasarkan Penanganan status gejala klinis, tatalaksana epileptikus (pemberian serangan kejang akut, fenobarbital, fenitoin) (pemberian diazepam), kontrol rutin penderita
12
13
14
15
Kejang demam
Masalah neonates
Demam Tifoid
Morbili
Rujuk jika terjadi status epileptikus refrakter/ memerlukan perawatan intensif ( PICU)
Tatalaksana kejang Kejang demam kompleks demam (sederhana) dan kejang demam status konvulsivus, Bila perlu perawatan intensif/ status epileptikus refrakter→Rujuk Deteksi kegawatan Tatalaksana (BBLR, Infeksi/sepsis, kegawatdaruratan Ikterus neonatorum, kejang neonatus, Diagnosis etiologi asfiksia) → Rujuk Perawatan Bayi baru lahir level 2 Bila perlu perawatan intensif (Level III) → rujuk PPK 3 Skrining tanda serta gejala klinik Tatalaksana Demam Tifoid Pemeriksaan darah rutin (Puskesmas DTP) Diagnosis Tatalaksana simptopmatis
Penatalaksanaan sampai dengan komplikasi ( Tifoid ensefalopati, perdarahan, perforasi usus) → Rujuk balik
Penegakan diagnosis Tatalaksana komplikasi
2012
Diagnosis lengkap dan tatalaksana SN resisten steroid dengan khemoterapi : siklofosfamid Rujuk balik untuk penanganan lanjutan, follow up remisi atau relaps
Pusat diagnositk epilepsi melalui EEG, CT Scan, MRI. Pengobatan dengan status epileptikus refrakter yang memerlukan PICU Rujuk balik untuk pengobatan jangka panjang Tatalaksana status konsulsivus refrakter/rawat intensif, pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnostik→ rujuk balik Tatalaksana kegawatdaruratan Diagnosis Etiologi Diagnosis etiologi Perawatan Bayi baru lahir level III perawatan intensif → stabil → rujuk balik
Tidak perlu di rujuk di PPK 3
Tidak perlu di rujuk di PPK 3 5
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
16
Meningitis
Deteksi komplikasi Bila ada komplikasi → Rujuk Deteksi dan tatalaksana Penatalaksanaan kegawatan (Kejang) → kegawatan Rujuk Diagnostic etiologi (Lumbal pungsi ) dan perawatan non intensif Bila perlu perawatan intensif → Rujuk ke PPK 3
2012
Penatalaksanaan komplikasi dan perawatan intensif Penegakan diagnosis etiologi dan komplikasi (CT scan, MRI, EEG)
6
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
PENGELOLAAN PENYAKIT DALAM No 1
DIAGNOSIS
PPK 1
PPK 2
PPK 3
DM Tipe 2
Tanpa komplikasi, NIDDM (4) TERKENDALI dengan Standar Kompetensi Dokter KKI 2006 1 obat hipoglikemik oral (OHO)
DM Tipe 2
Tanpa komplikasi, TIDAK TERKENDALI dengan 1 OHO rujuk
DM Tipe 2
Tanpa komplikasi, Tanpa komplikasi, TIDAK Terkendali TIDAK TERKENDALI TERKENDALI dengan 1 dengan 1 OHO OHO → pengelolaan rujuk
Tanpa komplikasi, TIDAK TERKENDALI dengan 1 OHO → pengelolaan Tanpa komplikasi, TERKENDALI dengan 2 OHO rujuk balik
BERKOMPLIKASI TERKENDALI dg 2 OHO
& rujuk balik
TANPA KOMPLIKASI & TERKENDALI dengan Insulin BERKOMPLIKASI & TERKENDALI dg Insulin → dikelola 1 bulan Bila tidak terkendali rujuk ke PPK 3 DM tipe 2
Hipoglikemi 1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS 2. TERAPI PENDAHULUAN 3. RUJUK SEGERA
Terkendali rujuk balik ke PPK 2
HIPOGLIKEMI (3B) Standar Kompetensi Dokter KKI 2006
7
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
DM tipe 2
KOMPLIKASI (KAD)
AKUT Terkendali → pengelolaan
1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS 2. TERAPI PENDAHULUAN 3. RUJUK
DM tipe 2
2
Hipertensi Esensial
rujuk balik
2012
Terkendali rujuk balik
KOMPLIKASI AKUT (KAD) rujuk (TIDAK TERKENDALI DALAM 48 JAM
Terkendali → pengelolaan
Terkendali
1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS
rujuk balik
rujuk balik
2. TERAPI PENDAHULUAN
Tidak terkendali dalam 2 bulan
3. RUJUK
rujuk
Hipertensi esensial
Essential Hypertension (4)
KOMPLIKASI KRONIS
Standar Kompetensi Dokter KKI 2006 Hipertensi Esensial
Hipertensi Sekunder
Pengelolaan Hipertensi krisis
Terkendali → Pengelolaan
rujuk
rujuk balik
1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS
Terkendali →Pengelolaan
Tidak terkendali → pengelolaan dan evaluasi
2. TERAPI PENDAHULUAN
rujuk balik
Terkendali → Rujuk balik
3. RUJUK 3
ASHD (Peny PJK Kronik Stabil Jantung Koroner 1. TEGAKKAN Kronik Stabil) DIAGNOSIS KLINIS 2. TERAPI PENDAHULUAN 3. RUJUK
PJK Kronik Stabil Terkendali → pengelolaan RUJUK BALIK RUJUK KEMBALI SETIAP 3 BULAN
8
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
ASHD (Sindroma Sindroma Koroner Akut) Akut (SKA)
Koroner Terkendali → pengelolaan
1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS
rujuk
2012
Stabil/terkendali (evaluasi tiap 3 bulan) rujuk balik
2. TERAPI PENDAHULUAN 3. RUJUK ASHD (Gagal 1. TEGAKKAN Jantung) DIAGNOSIS KLINIS
rujuk balik
2. TERAPI PENDAHULUAN 3. RUJUK 4
Terkendali → pengelolaan
rujuk setiap 3 bulan
TBP tidak TBP kasus baru berkomplikasi
Uncomplicated Pulmonary Tuberculosis (4)
tidak berkomplikasi
Standar Kompetensi Dokter KKI 2006
TB Paru
TB paru pneumotoraks
dg Terkendali → pengelolaan
(pneumotoraks)
1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS
rujuk balik
2. RUJUK SEGERA TB Paru
1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS
Terkendali → pengelolaan
(pengobatan ulang /berkomplikasi)
2. TERAPI PENDAHULUAN
rujuk balik
3. RUJUK
5
TB Paru
1. TEGAKKAN DIAGNOSIS KLINIS
Terkendali → pengelolaan
(MDR/XDR)
2. RUJUK
rujuk balik
Diare dengan 1. TEGAKKAN Terkendali → pengelolaan dehidrasi ringan DIAGNOSA KLINIS rujuk balik sedang / berat 2. RUJUK jika tidak dengan / tanpa ada fasilitas DTP komplikasi
9
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
6
Goiter
1.Tegakkan diagnosis
2012
Pengelolaan di PPK.2
2.Rujuk 7
8
9
COPD / Asma 1.Tegakkan diagnosis bronkiale 2.Rujuk
Terkendali → pengelolaan
Pneumonia tanpa komplikasi
Terkendali → pengelolaan
1. Tegakkan diagnosis
2. Pengelolaan di PPK rujuk balik 1
Arthritis tanpa 1. Tegakkan diagnosis Dirujuk bila ada komplikasi komplikasi 2. Pengelolaan di PPK atau memerlukan 1 fisioterapi Arthritis dengan 1. Tegakkan diagnosis komplikasi
10
rujuk balik
SLE
N
Pengelolaan di PPK.2
2. Rujuk
Fisioterapi
1.Tegakkan diagnosis
Pengelolaan di PPK.2
2.Rujuk 11
Gastritis
1. Tegakkan diagnosis Dirujuk dengan catatan bila 2. Pengelolaan di PPK obat di PPK.1 tdk tersedia. 1
12
Demam Dengue
1.Tegakkan diagnosis 2.Pengelolaan di PPK 1 dgn DTP
Demam Dengue 1.Tegakkan diagnosis dg komplikasi
Pengelolaan di PPK.2
2.Rujuk DSS
1.Tegakkan diagnosis
Pengelolaan di PPK.2 dgn fasilitas ICU
2.Rujuk 13
Gagal ginjal akut 1.Tegakkan diagnosis 2.Rujuk
14
GGK terminal
1.Tegakkan diagnosis
Pengelolaan di PPK.2 dgn fasilitas HD stabil, rujuk balik Pengelolaan di PPK.2 dg Jika PPK. 2 tidak ada fasilitas HD fasilitas HD
10
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
15
Sindroma Nefrotik
2.Rujuk
atau sesama fasilitas sama
PPK.2
1.Tegakkan diagnosis
Pengelolaan di PPK.2 ( Rujuk balik untuk Tapering off, bisa dilakukan di PPK I)
2012
dg
2.Rujuk 16
Anemia berat
1.Tegakkan diagnosis
Pengelolaan di PPK.2 Stabil rujuk balik
2.Rujuk 17
Leukemia
1.Tegakkan diagnosis 2.Rujuk
Pengelolaan di PPK.2
18
Perdarahan saluran cerna
1.Tegakkan diagnosis 2.Rujuk
Pengelolaan di PPK.2 Jika PPK.2 tidak ada dengan fasilitas endoskopi fasilitas endoskopi
19
HIV
1.Tegakkan diagnosis 2.VCT 3.Rujuk
Pengelolaan di PPK.2 utk Jika ada komplikasi. terapi ARV (ada tim konseling)
20
Hepatitis akut
1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2. 2.Rujuk jika fasilitas Diagnosis tegak, Stabil rujuk balik tdk lengkap
Hepatitis kronis
1.Tegakkan diagnosis 2.Rujuk
21
Pengelolaan di PPK.2
Demam tifoid 1.Tegakkan diagnosis tanpa 2.Pengelolaan di PPK komplikasi 1 dgn DTP Demam tifoid 1.Tegakkan diagnosis dgn komplikasi 2.Rujuk
Pengelolaan di PPK.2. Diagnosis tegak, Stabil rujuk balik
11
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
PENGELOLAAN PENYAKIT KEBIDANAN DAN KANDUNGAN No. 1
DIAGNOSIS
PPK 1
PPK 2
Hipertensi Dalam Kehamilan : Hipertensi Gestasional
Skrining : Test protein urine Therapi oral anti hipertensi dapat diberikan
Penilaian klinis dan diagnosis Tidak ada tanda-tanda preeklamsi →rujuk balik ke PPK I
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Preeklamsi Ringan
Skrining: Test Protein urine
Penilaian klinis dan diagnosis :
Rujuk ke PPK II
Tidak ada tanda-tanda preeklamsi berat rujuk balik ke PPK I untuk oral antihipertensi
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Skrining: Test Protein urine
Penilaian klinis dan diagnosis:
Pemberian MgSO4 Pemberian antihipertensi Rujuk ke PPK II
Perawatan/tindakan terminasi kehamilan
Pemberian MgSO4 Pemberian antihipertensi Rujuk ke PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis:
Preeklamsi Berat
Eklamsi
Tindakan terminasi kehamilan dan rawat bersama dengan bagian lain 2
PPK 3
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi HELLP syndrome atau komplikasi lain Diagnosis dan penatalaksanaan kasus yang Memerlukan perawatan ICU NICU atau dengan komplikasi HELLP syndrome atau komplikasi lain
Perdarahan Trimester 1: Abortus Imminens
Skrining Sarankan untuk pemeriksaan USG ke PPK II
Penilaian Klinis dan Diagnosis USG baik →kembalikan ke PPK I
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
USG tidak baik → terminasi Abortus Insipiens
Skrining: sarankan untuk pemeriksaan USG ke PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis : USG baik → Rujuk balik
Tidak usah dirujuk ke PPK III
12
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
USG tidak baik → terminasi Abortus Inkomplitus
Abortus Komplitus
Skrining : Pemeriksaan awal
Penilaian klinis dan diagnosis :
KU baik → rujuk ke PPK II KU tidak baik →Perbaiki KU sambil di rujuk ke PPK II (boleh dilakukan kuret tumpul di PONED)
Terminasi
Skrining: Rujuk ke PPK II untuk pemeriksaan lanjut
Penilaian klinis dan diagnosis
Mola Hidatidosa
Skrining : Rujuk ke PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis : Terminasi
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
Skrining : KU baik → Rujuk ke PPK II KU buruk → Perbaiki KU → Rujuk PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis: Laparatomi Operatif
Skrining : Rujuk ke PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis: Perawatan atau tindakan → setelah baik Rujuk balik ke PPK I
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain (seperti kelainan darah dan penyakit sistemik lainnya)
Skrining : KU baik → rujuk ke PPK II KU buruk → perbaiki KU sambil rujuk ke PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis: Perawatan/tindakan terminasi setelah baik → rujuk balik ke PPK I
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain seperti kelainan darah dan penyakit sistemik lainnya )
Skrining :
Penilaian klinis dan diagnosis:
Trimester 2: Perdarahan Midtrimester
Trimester 3: Perdarahan Antepartum Plasenta previa
Solusio Plasenta
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain seperti tirotoksikosis Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain atau dengan riwayat infertilitas yang memerlukan keahlian subspesialis
13
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
KU baik → rujuk ke PPK II KU buruk → perbaiki KU sambil di rujuk ke PPK II Post Partum: Perdarahan Post Partum Dini: Atonia Uteri
Luka jalan lahir
Retensio plasenta
Sisa plasenta
Perdarahan post partum lambat:
Skrining: Resusitasi cairan, pemberian O2 → Rujuk ke PPK II sambil lakukan dekompresi manual Skrining: KU baik → Rujuk ke PPK II KU buruk → rujuk sambil resusitasi cairan dan pemberian O2 Skrining: KU baik → Rujuk ke PPK II KU buruk → rujuk sambil resusitasi cairan dan pemberian O2 Skrining: KU baik → Rujuk ke PPK II KU buruk → rujuk sambil resusitasi cairan dan pemberian O2 Skrining:
KU baik → Rujuk ke PPK II KU buruk → rujuk sambil resusitasi cairan dan pemberian O2
2012
Tindakan terminasi
Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Penilaian klinis dan diagnosis :
Diagnosis dan Penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis Penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis Penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis
Penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
14
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
3
Kelainan Letak
Skrining: Rujuk ke PPK II (PONED apabila letak sungsang dan pembukaan lengkap)
Penilaian klinis dan diagnosis: Dalam kehamilan : Versi luar apabila berhasil menjadi letak kepala → Rujuk balik ke PPK I
2012
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Persalinan : terminasi 4
Kehamilan Multiple
5
Ketuban Pecah Dini
6
Kelainan Janin: IUGR
Skrining:
Penilaian klinis dan diagnosis:
Rujuk ke PPK II untuk persalinan (pemeriksaan USG)
Persalinan: terminasi
Skrining: Rujuk ke PPK II (skrening : sediakan lakmus test)
Penilaian klinis dan diagnosis: konservatif atau terminasi
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Skrining:
Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Rujuk ke PPK II IUFD
Prematur
Gawat Janin
7
Persalinan tidak maju/Distosia
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Dan memerlukan perawatan NICU
Skrining:
Penilaian klinis dan diagnosis:
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Rujuk ke PPK II
Terminasi kehamilan
Skrining:
Penilaian klinis dan diagnosis:
Rujuk ke PPK II
Perawatan konservatif atau terminasi
Dan memerlukan perawatan NICU
Skrining:
Penilaian klinis dan diagnosis:
Rujuk ke PPK II
Terminasi kehamilan
Skrining:
Penilaian klinis dan diagnosis:
Rujuk ke PPK II (dilakukan vakum di PONED)
Terminasi
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain dan memerlukan perawatan NICU Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
15
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
8
9
10
11
12
13
Panggul Sempit
2012
Skrining:
Penilaian klinis dan diagnosis:
Rujuk ke PPK II
Terminasi
Skrining:
Penilaian klinis dan diagnosis:
Rujuk ke PPK II
Terminasi
Skrining:
Penilaian klinis dan diagnosis:
Perbaiki KU sambil rujuk ke PPK II
Laparotomi eksploratif
Penyakit Jantung: Decompensatio Cordis FC I – II
Skrining: Rujuk ke PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis: Perawatan konservatif atau terminasi kehamilan
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
Decompensatio Cordis FC III-IV
Skrining: Rujuk ke PPK II
Penilaian klinis dan diagnosis: Terminasi kehamilan (dokter IPD harus ada di PPK II bila ingin di rawat)
Memerlukan perawatan ICU/CICU NICU. Perlu pemeriksaan lanjutan ECHO
Kehamilan dengan Komplikasi lain
Skrining:
Penilaian klinis dan diagnosis
Memerlukan perawatan ICU/CICU
Infeksi
Skrining: Tanda-tanda infeksi
Bekas Seksio sesarea
Ruptura Uteri
Rujuk ke PPK II
Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain Diagnosis dan penatalaksanaan kasus dengan komplikasi penyakit lain
NICU Spesialis lain yang tidak ada di PPK II Penilaian klinis dan diagnosis.
Diagnosis dan penanganan sepsis dan memerlukan tindakan diagnosis lanjut atau perawatan ICU
16
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
PENGELOLAAN PENYAKIT BEDAH No 1
DIAGNOSIS Appendicitis Acute
PPK 1 Skrining tanda serta gejala klinik Edukasi Rujuk ke PPK 2
2
3
Hemorhoid interna
Fistula ani simple
PPK 2 Appendectomy
PPK 3 Appendectomy laparoskopiDiver
Kontrol Luka
Jika yakin pasien akan ke RS, beri therapi pendahuluan (Antibiotik dan analgetik) Penilaian klinis, Diagnostik dan terapi (Haemmorrhoid Gr I dan II)
setelah stabil→ Rujuk balik
Rujuk ke PPK 2 (Haemorrhoid Gr III dan IV)
Setelah stabil rujuk balik
Penegakan Diagnosis
Fistulectomy
Therapi pendahuluan
Setelah stabil rujuk ke PPK 1
Haemorroidectomy Kontrol luka
Rujuk ke PPK 2 4
5
6
Fissura ani
Cholelithiasis
Hernia inguinalis lateralis reponibilis
Penegakkan Diagnosis
Therapi dan tindak lanjutan
Therapi Pendahuluan
Setelah stabil rujuk kembali ke PPK 1
Rujuk ke PPK 2 Deteksi gejala klinik
Penegakkan Diagnosis
Penanganan oleh Subspesialis
Therapi Simptomatis
melalui Pemeriksaan Penunjang
Bila telah stabi → rujuk kembali ke PPK 2
Rujuk ke PPK 2
Therapi Pendahuluan
Edukasi
Tindakan operasi Bila dg penyulit rujuk ke PPK 3 Hernioraphy
17
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
Simptomatis
7
8
9
10
Fibro Adenoma Mammae (FAM) Lipoma
Ateroma
Struma Nodosa
Rujuk ke PPK 2 Deteksi dini Simptomatis Rujuk Ke PPK 2
Setelah stabil rujuk kembali ke PPK 1 Ekstirpasi dan PA Jaringan
Simptomatis
Ekstirpasi dlm narkose umum
Ekstirpasi dan perawatan luka post eksisi
Rujuk kembali ke PPK I untuk perawatan luka
Rujuk ke PPK 2 bila : Multiple Lipoma, Tanda2 keganasan Simptomatis
2012
Ekstirpasi dlm narkose umum
Ekstirpasi dan perawatan luka post eksisi Rujuk ke PPK 2 bila : Giant Ateroma
Rujuk kembali ke PPK I untuk perawatan luka
Deteksi gejala dan Pemeriksaan Fisik
Penanganan lebih lanjut (eksisi)
Penanganan Subspesialistik
Rujuk ke PPK 3 jika memerlukan penegakkan diagnostic dan penanganan subspelialistik
Jika terkontrol, rujuk kembali ke PPK 2
Edukasi Simptomatik Rujuk
18
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
PENGELOLAAN PENYAKIT THT-KL NO 1
2
3
DIAGNOSIS Otitis Media Supuratif Kronik dengan penyulit
PPK 1
PPK 2
PPK 3
skrining tanda dan gejala klinik
- Penilaian klinis
- Penilaian Klinis
Rujuk ke PPK 2
- Foto Rontgen ( Schuller dan Stenver ) - Kultur resistensi - Operasi
- Foto Rontgen schuller dan Stenver - CT Scan telinga - Kultur resistensi - Pemeriksaan OtoMikroskopi - Tindakan : bedah mikro telinga
Tumor Kepala Leher a. Karsinoma Nasofaring b. Karsinoma Sinonasal c. Karsinoma Laring d. Tumor di leher
Skrining tanda dan gejala klinis
Rinosinusitis dengan/tanpa polip disertai
- Skrining tanda dan gejala klinik - Terapi sesuai
- Rujuk ke PPK 3 bila : 1. Komplikasi intrakranial 2. Komplikasi intratemporal 3. Otorea menetap setelah terapi Maksimal - Skrining tanda dan gejala klinis - Nasofaringoskopi
- Skrining tanda dan gejala klinis - Nasofaringoskopi
- Biopsi, FNAB - Menerima rujukan balik dari PPK 3 untuk perbaikan Keadaan Umum
- FNAB
- Skrining tanda dan gejala klinis - Pemeriksaan THT-KL
- Nasoendoskopi
- Biopsi dengan endoskopi (lokal anestesi) - Operasi dengan endoskopi - Operasi kasus dengan penyulit - Radiotherapi - Kemoiradiasi - Kontrol setelah tindakan 6 bulan Pertama - Rujuk balik ke PPK 2 untuk perbaikan Keadaan umum
- Kultur resistensi 19
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
penyulit
Pedoman Tatalaksana
2012
lengkap - Nasoendoskopi - Kultur resistensi - Rontgen sinus ( waters, Caldwelluck) - Tindakan bedah hidung sinus konvensional Skrining tanda dan gejala klinis
- CT Scan Sinus Paranasal - Tindakan bedah sinus endoskopi tingkat lanjut
4
Rhinitis Alergi
Skrining tanda dan gejala klinis
5
Epistaksis
Skrining tanda dan gejala klinis
- Skrining tanda dan gejala klinis - Tampon hidung anterior - Bila perdarahan tetap tidak dapat teratasi → Rujuk ke PPK III
- Nasoendoskopi → mencari sumber Perdarahan - Tampon hidung anterior dan posterior - Ligasi
6
Benda Asing di esophagus
- Skrining tanda dan gejala klinis - Foto rontgen soft tissue leher AP dan Lateral
Ekstraksi benda asing dengan esofagoskopi kaku dalan narkose umum
7
Benda asing di Bronkus
- Skrining tanda dan gejala klinis - Foto rontgen soft Tissues leher AP dan lateral - Skrining tanda dan gejala klinis
- Skrining tanda dan gejala klinis
- Foto Thoraks
- Foto thoraks
Skrining tanda dan gejala klinis
- Skrining tanda dan gejala klinis
Ekstraksi benda asing dengan bronkoskopi kaku dan atau bronkoskopi lentur dalam narkose umum - Pemeriksaan Brain Evoked Respon Audiometri ( BERA ) - Pemeriksaan Auditory Steady State Respon - Terapi Wicara
8
Speech delayed (Terlambat bicara)
- Pemeriksaan Emisi Otoakustik
- Skrining tanda dan gejala klinis - Nasoendoskopi - Pemeriksaan tes alergi (Skin Prick Test) - Immunoterapi
20
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
PENGELOLAAN PENYAKIT SYARAF (NEUROLOGI) NO 1
DIAGNOSIS PPK 1 (RAWAT INAP) STROKE Skrining tanda serta Perdarahan gejala klinik Intra Serebral
PPK 2
PPK 3
Diagnostik dan penanganan stroke PIS
Diagnostik dan penanganan stroke PIS disertai komplikasi inrakranial (TTIK) dan ekstrakanial (emboli paru, respiratory failure)
Penanganan sesuai guideline stroke → Rujuk ke PPK 1
Manitol 20% (antiedema), penanganan factor resiko, rehabilitasi (sesuai guideline stroke)
CT Scan kepala Terapi : antiedem, operatif atas indikasi, rehabilitasi
Pemeriksaan penunjang (EKG, Foto Thorax, profil lipid, pemeriksaan darah perifer lengkap)
Setelah lewat fase akut → rujuk balik
Setelah lewat fase akut → rujuk balik Bila disertai tanda-tanda TTIK→ rujuk PPK 3 2
STROKE INFARK
Skrining tanda serta gejala klinik
Diagnostik dan penanganan stroke infark dengan komplikasi Pemeriksaan penunjang : EKG, Ro-Thorax, pemeriksaan darah perifer lengkap, faktor resiko (gula darah, profil lipid,asam urat)
Diagnostik dan penanganan stroke infark dengan komplikasi
neuroprotektan, antiplatelet agregasi, penanganan faktor resiko (sesuai guideline stroke)
Terapi: manitol 20%, anti platelet agregasi, antikoagulan atas indikasi, penanganan factor resiko dan komplikasi
Pemeriksaan penunjang (EKG, ,CT-scan kepala atas indikasi, USG karotis,Transcranial Doppler,Echocardiografi)
21
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
Bila ada komplikasi (sesuai guideline stroke) akut (intra dan ekstrakranial) atau ada tanda-tanda TTIK → Rujuk ke PPK 2
2012
Terapi : manitol 20%, anti agregasi platelet, antikoagula atas indikasi, fisioterapi (sesuai guideline stroke) Perbaikan→ rujuk balik
FISIOTERAPI Setelah lewat fase akut → rujuk balik Bila komplikasi berat dan tidak tertangani → rujuk ke PPK 3
3
Meningitis serosa
Skrining tanda serta gejala klinik
Diagnostik dan penanganan Pemeriksaan Penunjang : LP, pemeriksaan darah rutin, kimia, elektrolit, sputum BTA, foto thorax
Diagnostik dan penanganan komplikasi meningitis
Rujuk ke PPK 2
Terapi (kortikosteroid, obat anti tuberkulosa)
Pemeriksaan penunjang : CT scan bila ada tandatanda TTIK, LP dengan pemeriksaan kultur Terapi sesuai diagnostik, dexamethason, operatif bila tanda-tanda TTIK akut
Setelah stabil rujuk ke PPK 1 untuk lanjutan OAT
Perbaikan→rujuk balik PPK 2
bila ada tanda-tanda TTIK atau perburukan klinis → rujuk ke PPK 3
4
Tetanus
Skrining tanda serta gejala klinik
Therapi dan tindak lanjutan Tetanus grade II :
Tindakan lanjutan : tracheostomi Penanganan komplikasi tetanus (kejang tidak teratasi, disotonomi, pneumonia aspirasi , respiratory failure hebat, kardiomipati, fraktur kompresi)
22
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
Terapi Pendahuluan : debridement luka, ATS 10.000 u, TT 0,5 cc, Oksigen, diazepam injeksi, metronidazole 3x500mg antibiotic (tetrasiklin 4x500mg)→ Tetanus grade I Tetanus grade II -V → Rujuk ke PPK 2
ATS/HTIG injeksi, TT (bila belum diberikan di PPK 1), EKG, Foto thorax
2012
Perbaikan → rujuk balik
Terapi : metronidazole 3x500mg (14 hari), tetrasiklin 4x500 mg (10 hari), debidrement, diazepam injeksi) Setelah perbaikan rujuk kembali ke PPK 1
Tetanus grade III-V → rujuk ke PPK 3 5
ENSEFALITIS
Skrining tanda serta gejala klinik
Penegakkan Diagnosis : LP
Penanganan komplikasi pada ensefalitis (status epileptikus), perlu perawatan ruang intensif
Penanganan kejang : diazepam injeksi
Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan darah, foto thorax, EEG,
Pemeriksaan penunjang : LP, EEG, CT Scan, pemeriksaan antigen antibodi spesifik untuk virus
Antiviral (acyclovir)
Therapi pemberian obat anti kejang, antiviral, antipiretik,
Perbaikan→rujuk balik
Therapi Simptomatis : untuk demam (parasetamol)
Kejang berulang sampai status → rujuk ke PPK 3
Rujuk ke PPK 2
23
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
6
7
8
MYELORADIKU LOPATI
MYELOPATI
RADIKULOPATI
2012
Skrining tanda serta gejala klinik
Penegakkan Diagnosis dan penatalaksanaan
Penegakan diagnostik dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang : Foto polos vertebra (bila belum dilakukan), MRI (atas indikasi), bone scanning (bila ada kecurigaan Ca metastasis)
Simptomatis : anti nyeri (Na diklofenak) dan tirah baring
Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan darah, foto thorax, foto vertebra, myelografi
Terapi : operatif, analgetik, fisioterapi
Rujuk ke PPK 2
Terapi : anti nyeri (Na diklofenak)
Rujuk ke PPK 3
Rujuk balik bila tidak mau operasi atau penanganan khusus
Skrining tanda serta gejala klinik
Penegakkan Diagnosis dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang: foto polos vertebra, pemeriksaan darah, myelografi
Penegakan diagnostik dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang : Foto polos vertebra, MRI
Rujuk Ke PPK 2
Bila terdapat progresivitas → Rujuk Ke PPK 3
Terapi : operatif (sesuai indikasi)
Skrining tanda serta gejala klinik
Penegakkan Diagnosis dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang: foto polos vertebra, pemeriksaan darah, EMG
Penegakan diagnostik dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang : Foto vertebra, EMG,MRI bila ada indikasi
Simptomatis : anti nyeri (Na diklofenak)
Terapi : operatif sesuai indikasi
24
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
9
STATUS EPILEPTIKUS
Bila tidak ada perbaikan Rujuk ke PPK 1
Bila gejala defisit neurologis berat atau terapi simptomatis tidak ada perbaikan →rujuk ke PPK 3
Diagnosa berdasarkan gejala klinis, tatalaksana serangan kejang akut (pemberian diazepam dan loading dose OAE) segera rujuk PPK 1
Penanganan status epileptikus, mencari etiologi.
2012
Diagnostik status epileptikus (EEG, CT scan, MRI) Penanganan di ruang intensif Bila perbaikan dan kejang terkontrol → Rujuk balik PPK 2
Rujuk ke PPK 3 jika terjadi status epileptikus refrakter/yang memerlukan perawatan intensif (ICU), pemberian OAE 10
SOL ( Tumor Intrakranial dan infeksi intrakranial )
Diagnosa berdasarkan gejala klinis
Diagnostik dan penanganan lebih lanjut TTIK (gejala berupa penurunan kesadaran, muntah, nyeri kepala, papiledema)
Penanganan Subspesialistik (operatif, kemoterapi, radioterapi)
Penatalaksanaan : dexamethason dan ranitidine injeksi → Rujuk PPK 2
Pemeriksaan penunjang : foto polos tengkorak, CT Scan kepala dengan kontras
Pemeriksaan penunjang : PA
Jika perbaikan, rujuk kembali ke PPK 2
Rujuk ke PPK 3 jika memerlukan penegakkan diagnostic dan penanganan subspesialistik
25
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
NO 1
DIAGNOSIS (RAWAT JALAN) Sequele Stroke
PPK 1 Skrining tanda dan gejala klinis dan faktor resiko
PPK 2 Penanganan faktor resiko dan kecacatan (rehabilitasi)
2012
PPK 3 -
Penanganan preventif Bila ada perbaikan fungsi stroke sekunder, → rujuk balik PPK 1 faktor resiko, fisioterapi Sesuai guideline stroke Bila deficit neurologis berat → rujuk ke PPK 2
2
3
Radikulopati
CTS
Skrining tanda dan gejala klinis
Penegakkan Diagnosis dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang: foto polos vertebra,EMG bila alat tersedia, CT myelo sesuai indikasi, pemeriksaan darah
Penegakan diagnostik dan penatalaksanaan Pemeriksaan penunjang : Foto vertebra, EMG,MRI bila ada indikasi
Simptomatis : anti nyeri (Na diklofenak), bila tdk ada perubahan rujuk ke PPK 2
Bila gejala defisit neurologis berat atau terapi simptomatis tidak ada perbaikan →rujuk ke PPK 3
Terapi : simptomatis dan causal, operatif sesuai indikasi
Bila ada red flag rujuk ke PPK 2
Bila ada gejala dan tanda red flag rujuk ke PPRK 3
Skrining tanda dan gejala klinis
Diagnosa dan penanganan
Penanganan dan diagnostic
Penanganan simptomatik analgetik, dan posisioning
EMG bila alat tersedia, USG carpal tunnel, mencari factor resiko
EMG
26
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
bila ada deficit neurologi → rujuk ke PPK 2
2012
penanganan analgetik deksamethason injeksi fisioterapi
terapi medikamentosa operatif bila ada indikasi
bila nyeri teratasi → rujuk balik PPK 1
bila nyeri teratasi → rujuk balik PPK 2
bila deficit neurologi berat (atrofi) → rujuk ke PPK 3
4
Parkinson
Skrining tanda dan gejala klinis
Diagnosa dan penanganan, mencari factor resiko
Diagnosa dan penanganan Parkinson
Rujuk ke PPK 2
Obat antiparkinson Pemeriksaan darah untuk mencari faktor resiko
Pemeriksaan CT Scan Bila gejala terkontrol → rujuk balik ke PPK 2
Bila gejala tidak teratasi atau efek samping obat → rujuk ke PPK 3
Parkinson sekunder → rujuk ke PPK 3 Bila ada perbaikan rujuk ke PPK 1 5
Nyeri kepala
Skrining tanda dan gejala klinis, penegakkan diagnose berdasarkan guideline nyeri kepala perdossi
Diagnosa dan penanganan nyeri kepala primer
Diagnosa dan penanganan nyeri kepala
Bila nyeri kepala teratasi → rujuk balik PPK 1
Pemeriksaan CT Scan, MRI sesuai indikasi
27
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
Bila nyeri kepala tidak terkontrol, ada nyeri kepala sekunder dan terdapat tanda-tanda bahaya nyeri kepala (red flag) → rujuk ke PPK 2
2012
Nyeri kepala dengan red flag → rujuk ke PPK 3
Penanganan nyeri kepala sekunder, operatif bila ada indikasi
Nyeri kepala sekunder periksa → konsul mata, THT, gigi dll sesuai kausal
Bila sudah tertangani → rujuk balik ke PPK 2
Bila teratasi → rujuk balik PPK 1
6
7
Epilepsi
Vertigo
Skrining tanda dan Diagnosa dan penanganan gejala klinis, kejang pada epilepsi dan penegakkan diagnosa mencari etiologi berdasarkan bangkitan
Diagnosa dan penanganan kejang
terapi sesuai guideline epilepsy perdossi
Pemeriksaan penunjang : EEG, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, SGOT, SGPT
EEG, MRI
Bila kejang tidak terkontrol dengan 2 jenis obat antiepilepsi lini pertama → rujuk ke PPK 2
Terapi sesuai guideline epilepsy dengan kombinasi obat
Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, SGOT, SGPT
Setelah kejang terkontrol → rujuk balik ke PPK 1
Terapi kombinasi obat lini pertama dan lini kedua sesuai guideline epilepsy
Bila kejang tidak terkontrol → rujuk ke 3
Bila kejang terkontrol → rujuk balik Ke PPK 2
Diagnosa dan penanganan, mencari etiologi
Diagnosa dan penanganan
Skrining tanda dan gejala klinis
28
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
8
Nyeri (termasuk nyeri punggung bawah)
2012
terapi simptomatik
pemeriksaan factor resiko, CT Scan kepala bila alat tersedia,
MRI sesuai indikasi
Bila ada deficit neurologi dan progresif → Rujuk PPK 2 untuk mencari etiologi dan penanganan
konsul THT
Tindakan operatif sesuai indikasi
Terapi simptomatik, fisioterapi
Terapi simptomatik, fisioterapi
Bila gejala tidak teratasi → rujuk ke PPK 3
bila gejala teratasi → rujuk balik ke PPK 2
Skrining tanda dan gejala klinis
Diagnosa dan penanganan serta mencari etiologi
Diagnosa dan penanganan
terapi simptomatik
Penanganan nyeri : analgetik, fisioterapi
EMG, MRI sesuai indikasi
Bila ada tanda-tanda red flag LBP dan tanda radikuler → rujuk ke PPK 2
Pemeriksaan foto polos vertebra, EMG sesuai indikasi dan bila tersedia alatnya
Tindakan operatif sesuai indikasi
Analgetik, fisioterapi
9
Neuropati/ Polineuropati
Bila nyeri progresif dan belum teratasi dan terdapat tanda red flag → Rujuk ke PPK 3
Bila nyeri teratasi → rujuk balik ke PPK 2
Skrining tanda dan gejala klinis
Diagnosa dan penanganan, serta mencari etiologi
Penanganan dan diagnostic
terapi siimptomatik, mencari factor resiko
EMG bila alat tersedia
EMG
terapi simptomatik dan penanganan factor resiko
terapi medikamentosa dan penanganan factor resiko
29
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
10
Meningitis (post perawatan)
2012
Bila gejala tidak teratasi, progresif → Rujuk ke PPK 2
Bila terdapat deficit neurologi atau gejala tidak teratasi → rujuk ke PPK 3
bila gejala teratasi → rujuk balik PPK 2
Skrining tanda dan gejala klinis Lanjutkan terapi OAT
Diagnostik dan penanganan Pemeriksaan Penunjang : LP, pemeriksaan darah rutin, kimia, elektrolit, sputum BTA, foto thorax
Diagnostik dan penanganan komplikasi meningitis
Bila gejala klinis memburuk → Rujuk ke PPK 2
Terapi (kortikosteroid, obat anti tuberkulosa)
Pemeriksaan penunjang : CT scan bila ada tandatanda TTIK, LP dengan pemeriksaan kultur Terapi sesuai diagnostik, dexamethason, operatif bila tanda-tanda TTIK akut
Setelah stabil rujuk ke PPK 1 untuk lanjutan OAT
Perbaikan→rujuk balik PPK 2
bila ada tanda-tanda TTIK atau perburukan klinis → rujuk ke PPK 3
30
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
PENGELOLAAN PENYAKIT KULIT KELAMIN No
DIAGNOSIS
PPK 1
PPK 2
PPK 3
1
Vitiligo
Terapi topikal untuk tipe lokalisata Bila tidak responsif atau generalisata rujuk PPK 1
Terapi topikal Bila tidak responsif rujuk PPK 3
Terapi topical Fototerapi
2
Liken Simpleks Kronikus
Terapi topical
Sama dengan PPK 1
Konsul ke psikiater apabila faktor psikis dinyatakan sebagai penyebab
3.
Psoriasis vulgaris
Umum: hindari faktor pencetus Khusus: Terapi topikal bila luas lesi < 5% Bila tidak responsif atau luas lesi > 5% rujuk PPK 2
Umum: hindari faktor pencetus Khusus: Terapi topikal Terapi sistemik
Sama dengan PPK 2 ditambah fototerapi, biologic agents
Terapi topical Terapi sistemik
Terapi topikal Terapi sistemik Bila tidak responsif rujuk PPK 3
Sama dengan PPK 2 ditambah penanganan komplikasi
Sama dengan PPK 1
Sama dengan PPK 2
4.
Dermatitis Seboroik
Bila terdapat komplikasi eritroderma Rujuk PPK 2 5.
Dermatitis Numularis
Terapi topical Terapi sistemik
Konsul ke bagian Gigi dan Mulut, THT-KL untuk penatalaksanaan faktor pencetus Bila terdapat komplikasi artritis konsul IPD Bila terdapat komplikasi eritroderma, psoriasis pustulosa rujuk PPK 3
Konsul ke bagian Gimul, THT-KL untuk penatalaksanaan infeksi fokal 6.
Skabies
Penyuluhan Terapi topikal Terapi sistemik
Sama dengan PPK 1
Sama dengan PPK 1
7.
Tinea Kruris
Menghilangkan faktor
Terapi topikal
Sama dengan PPK 2 31
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
predisposisi Terapi topikal Terapi sistemik Bila luas rujuk PPK 2
Terapi sistemik untuk lesi yang luas
2012
8.
Keloid
Terapi topical Bila tidak responsif rujuk PPK 2
Terapi topikal Tindakan: injeksi kortikosteroid inralesi Bila tidak responsif rujuk PPK 3
Terapi topikal Tindakan injeksi kortikosteroid inralesi dapat dikombinasikan dengan bedah beku Eksisi dengan radioterapi
9.
Xerosis Cutis
Menghindari faktorfaktor yang menambah kekeringan kulit Terapi topikal: pelembab
Sama dengan PPK 1
Sama dengan PPK 1
10.
Dermatitis Kontak Iritan
Menyarankan kepada penderita untuk menghindari bahan penyebab Menyarankan penderita untuk menggunakan pelindung seperti sarung tangan jika terpaksa harus kontak dengan bahan penyebab Terapi topikal Terapi sistemik Bila tidak responsif rujuk PPK 2
Sama dengan PPK 1 Bila tidak resposif rujuk PPK 3
Sama dengan PPK 1 Melakukan pemeriksaan untuk mengetahui bahan penyebab
32
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
PENGELOLAAN PENYAKIT MATA
NO 1.
DIAGNOSIS KONJUNGTIVITIS
PPK 1
PPK 2
PPK 3
EVALUASI Riwayat trauma/kelilipan, kontak dengan penderita mata merah, riwayat iritasi dan alergi/hipersensitiv itas (udara, debu, obat, makanan dll) Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan koreksi terbaik menggunakan pinhole. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat, konjungtivabulbi dan tarsal, dan memastikan pada kornea tidak ditemukan kelainan akibat perdagangan konjungtiva. Konjungtivitas bakteri bila ditemukan konjungtiva hiperemis, secret mukopurulen atau purulen, dapat disertai membrane atau pseudomembran pada konjungtiva tarsalis. Konjungtivitis virus bila ditemukan konjungtiva hiperemis, secret
Sama dengan fasilitas Pemeriksaan kultur primer swab secret konjungtiva Pemeriksaan komposisi pada agar darah domba, air mata dengan agar tioglikolat, dan uji melakukan pemeriksaan resistensi anti mikroba. Schirmer, BUT dan Ferning, uji anel melalui pungtum lakrimalis untuk menilai ada atau tidaknya sumbatan. Pemeriksaan dengan slitlamp untuk menilai keadaan konjungtiva bulbi, tarsal, forniks dan kornea. Melihat gambaran secret (mukoserosa, mukopurulen, purulen). Melihat gambaran folikel, papil, membrane pada konjungtivitis tarsal superior dan inferior dan konjungtiva forniks Melihat gambaran injeksi dan nodul pada konjungtivitis bulbi. Memastikan tidak ditemukan kelainan pada kornea. Melihat kelainan pada komposisi air mata, obstruksi kelenjar meibom. Pemeriksaan swab secret dengan penawaran gram bila dicurangi infeksi bakteri, Giemsa bila dicurigai virus 33
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
umumnya mukoserosa dan pembesaran kelenjar limfe preaurikuler. Konjungtivitis alergi bila mempunyai riwayat alergi atau atopi dan ditemukan keluhan gatal, dan hiperemis konjungtiva. Curigai Steven Johnson syndrome jika terjadi konjungtivitis pada kedua mata yang timbul seteleh minum atau mendapatkan terapi obatobatan. Curigai kojungtivitis gonore, terutama pada bayi baru lahir, jika ditemukan konjungtivitas pada dua mata dengan secret purulen yang sangat banyak. PENATALAKSANAAN Berikan tetes mata kloramfenikol Berikan obat tetes (0,5% -1 %)6 kali mata antibiotik sehari atau salep sprektum luas 6 kali mata 3x sehari sehari dan/atau salep selama minimal 3 mata 3 kali setiap bila hari bila dicurigai dicurigai infeksi bakteri infeksi bakteri. Berikan salep mata Berikan salep anti antivirus asiklovir 5 kali virus jka sicurigai sehari bila dicurigai infeksi virus infeksi virus. Berikan tetes mata Berikan tetes mata anti buatan 6 kali alergi (kromolin glikat)
Berikan tetes antibiotika sesuai hasil gram atau kultur, 6 kali sehari atau salep mata 3 kali sehari bila infeksi bakteri Berikan tetes antivirus sdoksuridin atau asiklovir bila infeksi virus. Berikan tetes/salep mata antihistamin atau kortikosteroid bila 34
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
sehari bila dan/atau anti inflamasi dicurigai iritasi. bila dicurigai reaksi Pada steven alergi/hipersensitivitas Jhonson Berikan tetes /gel syndrome, lubrikan atau air mata diberikan tetes buatan bila ditemukan mata antiinlamasi iritasi (sterioid) dan air Dicari factor mata predisposisi penyakit buatan/lubrikan yaitu sistemik (diabetes kemudian rujuk ke mellitus, TBC, kondisi fasilitas sekunder imunitas yang rendah, untuk cacingan, kondisi mendapatkan immunocompromised). penanganan lanjut Keadaan konjungtiva dari bagian diperiksa 3 hari hingga spesialis kulit. sidapatkan perbaikan Pada Konjungtivitis klinis, Bila tidak ada gonoro, pada bayi perbaikan, memburuk diberikan injeksi atau terjasi kompliksi penilisin procain dalam 1 bulan, dirujuk 50.000 IU/Kg ke dokter mata bb/hari dan konsultan Infeksi dan kloramfenikol Imunologi atau fasilitas tetes mata (0,5% mata tersier. 1,0%) tiap jam.Bila tidak tidak ada perbaikan dan atau terjadi komplikasi pada kornea, segera rujuk ke fasilitas sekunder dan tersier. Bila tidak ada perbaikan dengan terapi dalam 1 minggu pada konjungtivitis bakteri, 2 minggu pada konjungtivitis virus dan alergi, segera rujuk ke fasilitas sekundrt atau tersier.
2012
ditemukan reaksi alergi atau hipersesitivitas. Bila ditemukan kompliksi pada kornea, penatalaksanaan sesuai dengan penatalaksanaan keratitis/ulkus kornea Pada Steven Jhonson syndrome, berikan terapi anti inflamasi (steroid) tropical dan lubrikan/air mata buatan, disertai terapi dari bagian spesialis kulit. Pada konjungtivitis gonore, diberikan gentamisin/ciprofloxaci n salep mata, injeksi ceftriaxon 1 gr single dose intravena, jika ada ulkus berikan ceftriaxon 1 gr intravena tiap 12 jam selama 3 hari.Bila alergi diberikan ciprofloxacin 500 mg oral 2 kali selama 5 hari. Pada bayi berikan gentamisin/ciprofloxaci n salep mata injeksi ceftriaxon 25-50 mg/kg bb atau cefotaxim 100mg/kg bb interavena atau intramuskular. Berikan tetes/ gel mata lubrikan dan air mata buatan bila ditemukan iritasi Pemeriksaan klinis factor predisposisi local (dry eye, obstruksi duktus nasolakrimalis dll), dilanjutkan pentalaksanaan terhadap kelainan tersebut pemeriksaan laboraturium lengkap darah, urin, feses bila dicurigai predisposisi 35
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
penyakit sistemik. Berikan terapi oral/parenteral sistemik bila ditemukan factor predisposisi sistemik sesuai hasil konsultsi bagian yang bersangkutan. Keadaan konjungtiva di periksa tiap 3 hari hingga didapatkan perbaikan klinis dan evaluasi pengobatan terhadap factor predisposisi sistemik dan local 2
EVALUASI KERATITIS DAN ULKUS Riwayat KORNEA
trauma (kelilipan, benda asing di kornea, khusus riwayat trauma tumbuhtumbuhan atau pengunaan obat tetes mata tradisional yang berasal dari tumbuhtumbuhan dapat dicurigai disebabkan oleh jamur, penggunaan lensa kontak), pemakaian kortikosteroid topical. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu Snellen dan koreksi terbaik menggunakan pinhole. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat keadaan kornea
Riwayat trauma (kelilipan, Riwayat trauma (kelilipan, benda asing di kornea, benda asing di kornea, khusus riwayat trauma khusus riwayat trauma tumbuh-tumbuhan atau tumbuh-tumbuhan atau pengunaan obat tetes pengunaan obat tetes mata tradisional yang mata tradisional yang berasal dari tumbuhberasal dari tumbuhtumbuhan dapat dicurigai tumbuhan dapat dicurigai disebabkan oleh jamur, disebabkan oleh jamur, penggunaan lensa penggunaan lensa kontak), pemakaian kontak), pemakaian kortikosteroid topical. kortikosteroid topical. Pemeriksaan tajam Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu penglihatan dengan kartu Snellen dan koreksi Snellen dan koreksi terbaik menggunakan pinterbaik menggunakan pinhole. hole. Tekanan intraocular (TIO) Tekanan intraocular (TIO) diukur dengan cara palpasi diukur dengan cara palpasi Pemeriksaan dengan slit Pemeriksaan dengan slit lamp untuk menilai lamp untuk menilai keadaan kornea dan keadaan kornea dan segmen anterior lainnya : segmenn anterior lainnya : Melihat gambaran Melihat gambaran secret (serosa, secret (serosa, mukopurulen, mukopurulen, purulen). purulen). Bentuk ulkus Bentuk ulkus (pungtata, filament, (pungtata, filament, dendritik, geografik, dendritik, geografik, oval, intersisial,dll) oval, intersisial,dll) Kedalaman ulkus Kedalaman ulkus (superficial, dalam, (superficial, dalam, apakah ada apakah ada kecenderuangan untuk kecenderuangan untuk
36
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
perforasi (impending perforasi (impending perforation) dan perforation) dan perforasi. perforasi. Pemeriksaan kerokan Hipopion dapat ada korea dengan penawaran atau tidak ada. Gram dan pemeriksaan Lakukan foto keadan langsung dengan KOH 10% kornea dan segmen anterior lainnya. Pemeriksaan kerokan kornea dengan pewarnaan Gram, Giemsa dan pemeriksaan langsung dengan KOH 10% Pemeriksaan kultur kerokan kornea dengan agar darah domba, tioglikolat dan agar sabouraud dekstrosa. Bila segmen posterior sulit dinilai, lakukan pemeriksaan ultrasonografi. Bila didapatkan adanya kekeruhan vitreus dan tanda-tanda endoftalmitis, lakukan prosedur endoftalmitis. PENATALAKSANAAN Berikan tetes. Salep mata kloramfenikol (0,5-1%) enam kali sehari, atau salep mata tetrasiklin 3 kali sehari sekurangkurangnya untuk 3 hari. Jangan diberikan kombinasi antibiotika dengan obat yang mengandung kortikosteroid Jang menggunakan obat-obat tradisional. Segera rujuk ke spesialis mata apabila : Tajam penglihatan awal buruk atau menurun setelah 3 hari pengobatan Tampak lesi
Pasien sebaiknya dirawat Pasien sebaiknya dirawat apabila : apabila: Lesi ulkus kornea Lesi ulkus kornea mengancam mengancam penglihatan, penglihatan, mengancam mengancam perforasi. perforasi. Pasien dianggap Pasien dianggap kurang patuh utnuk kurang patuh utnuk pemberian obat tiap pemberian obat tiap jam jam Diperlukan follow up Diperlukan follow up untuk menilai untuk menilai kebersihan terapi. kebersihan terapi. Apabila ditemukan Apabila ditemukan gambaran ulkus kornea gambaran ulkus kornea dendritik, geogradik atau dendritik, geogradik atau stroma, dapat diberikan stroma, dapat diberikan salep mata asiklovir 5 kali salep mata asiklovir 5 kali sehari atau tetes mata sehari atau tetes mata idoksuridin tiap jam. idoksuridin tiap jam. Bila pada pemeriksaan Bila pada pemeriksaan kerokan kornea kerokan kornea didapatkan hasil gram didapatkan hasil gram positif atau negative positif atau negative diberikan antibiotika tetes diberikan antibiotika tetes mata golongan mata golongan
37
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat putih di kornea Tetap berikan kloramfenikol tetes mata saat merujuk ke spesialis mata di fasilitasi sekunder dan tertier.
aminoglikosida (gentamisin ,dibekasin, tobramisin) dengan konsentrasi yang ditingkatkan (fortified)tiap jam atau golongan quinolone (sprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin) tiap 5 menit pada 1 jam pertama dilanjutkan tiap jam. Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frakuensi pemberian dapat dikurangi hingga 2 minggu. Bila kerokan kornea didapatka hifa jamur (KOH positif), berikan tetes mata Natamisin 5 % tiap jam tiga kali sekali. Keadaan Korea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frekuensi pemberian dapat dikurangi hingga 3-5 minggu. Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah tetes mata sikloplegik dan anti –glaukoma apabila didapatkan peningkatan TIO. Pemberian analgetik apabila diperlukan. Lakukan pemeriksaan gula darah puasa dan 2 jam setelah makan sebagai salah satu factor risiko ulkus kornea. Rujuk ke spesialis mata konsultan infeksi dan imunologi mata atau klinik mata tersier apabila didapatkan : Ulkus kornea yang terjadi pada pasien yang hanya mempunyai satu mata Ulkus kornea pada anak-anak Adanya
2012
aminoglikosida (gentamisin ,dibekasin, tobramisin) dengan konsentrasi yang ditingkatkan (fortified)tiap jam atau golongan quinolone (sprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin) tiap 5 menit pada 1 jam pertama dilanjutkan tiap jam. Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frakuensi pemberian dapat dikurangi hingga 2 minggu. Bila kerokan kornea didapatkan hifa jamur, diberikan tetes mata Natamisin 5% tiap jam dan salep mata Natamisin 5 % tiga kali sehari atau bila pasien mampu, berikan tetes mata amfoterisin B 0,15% tiap jam (tetes mata amfoterisin B 0,15% dapat dibuat dengan modifikasi sediaan bubuk untuk pemberian intravena). Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan yang kemusian frekuensi pemberian dapat dikurangi hingga 3-5 minggu. Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah tetes mata sikloplegik dan anti –glaukoma apabila didapatkan peningkatan TIO. Pemberian analgetik apabila diperlukan. Lakukan pemeriksaan gula darah puasa dan 2 jam setelah makan sebagai salah satu factor risiko ulkus kornea. Tidakan Bedah: Keratektomi superfinansial tanpa membuat perlukaan
38
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
kecenderungan untuk perforasi atau perforasi. Kedurigaan ulkus kornea jamur, tetapi tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan langsung KOH 10% atau pewarnaan jamur lainnya. Tidak didapatnya kemajuan terapi setelah 3 hari pengobatan (ulkus kornea bakteri) atau 7 pengobatan (ulkus kornea jamur).
-
2012
pada membrane Bowman dengan indikasi : Keratitis virus epitelial Erosi kornea rekuren Keratektomi superfinansial hingga membran Bowman atau stroma anterior, dengan indikasi : Untuk menegakkan diagnosis, terutama pada ulkus kornea jamur. Menghilangkan materi infeksi, terutama jamur Tarsorafi lateral atau medial , dengan indikasi : Keratitis terpapar Keratitis neuroparalitik Tissue adhesive atau graft amnion multilayer, dengan indikasi : Ulkus korena dengan tissue loss berukuran kecil Perforasi kornea perifer berukuran kecil Flap konjungtiva, dengan indikasi : Kecenderungan perforasi/descem atocele Perforasi kornea di perifer Patch graft dengan flap konjungtiva, dengan indikasi : Kecenderungan perforasi/descemato cele Perforasi kornea di perifer Keratoplasi tembus, dengan indikasi : Mempertahankan
39
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
integritas bola mata - Mengganti jaringan kornea yang terinfeksi dengan donor kornea. Fascia lata graft, dengan indikasi : - Mempertahankan integritas bola mata, dimana sulit untuk mendapatkan donor kornea
3
GLAUKOMA KRONIS
EVALUASI Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu Snellen dengan koreksi terbaik dan pin-hole: biasanya tajam penglihatan masih baik.Pada stadium lanjut didapatkan koreksi tajam penglihtan tidak penuh dengan pupil melebar dan berwarna hitam. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup: gambaran bola mata tidak berbeda dengan gambaran mata normal. Pupil dapat terlihat midriasis dan reflex cahaya yang lambat. Pemeriksaan funduskopi – rasio CD (Perbandingan antara lebar cekungan papil terhadap lebar papil N.II) sebesar 0,6 atau lebih. Pemeriksaan tekanan intraocular dengan tonometer Schiotz : TIO 28 mm Hg (4,5/7,5) atau lebih. Pemeriksaan lapang pandang dengan tes konfrontasi : menyempit.
Klafisikasi glaucoma berdasarkan pemeriksaan sudut bilik mata depan (gonioskopi) dibagi ke dalam glaucoma sudut terbuka dan glaucoma sudut tertutup. Berdasarkan etiologinya dibagi kedalam glaucoma sekunder. Glaucoma primer adalah glaucoma yang timbul dengan sendirinya pada orang yang mempunyai bakat bawaan glaucoma, sedangkan glaucoma sekunder adalah glaucoma yang timbul sebagai penyulit penyakit mata lain baik yang sedang maupun yang pernah diderita serta penyakit sistemik. Glaukoma sudut terbuka primer (glaucoma kronis) Glaukoma sudut terbuka primer adalah glaucoma primer yang ditandai sudut bilik mata depan yang terbuka, atrifi dan ekskavasi papil N.II serta lapang pandang karakteristik, yang bersifat progessif lambat, disebabkan oleh berbagai factor risiko, terutama TIO yang terlalu tinggi untuk kelangsungan
Klasifikasi glaucoma mirip dengan klasifikasi pada fasilitas sekunder. Pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan kartu Snellen atau chart projector dengan koreksi dan pin-hole. Tajam penglihatan sentral sering masih baik walaupun penyakit sudah stadium lanjut. Pemeriksaan dengan biomikroskopi : Gambaran bola mata tidak berbeda dengan gambaran mata normal. Pupil dapat terlihat midriasis dan reflex cahaya yang lambat. Bilik mata depan dalam dengan sudut bilik mata depan yang terbuka lebar pada glaucoma sudut terbuka primer. Bilik mata depan dangkal dan sudut bilik mata dengan sempit pada glaucoma sudut tertutup primer. Kelainan glaucoma jenis ini bersifat bilateral walaupun tidak selalu simetris pada kedua mata. Pada glaucoma sudut terbuka sekunder harus dicari factor penyebab. Pemeriksaan sudut bilik mata depan dengan gonioskopi. Pemeriksaan funduskopi : Gambar dan uruaikan papil
40
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
kesehatan mata. saraf optik. Glaukoma sudut terbuka Pemeriksaan tekanan sekunder intraocular dengan tonometer Schiotz, Gambaran klinis yang tonometri aplanasi, tonomirip dengan pen dan bila ada dengan glaucoma sudut tonometer non kontak. terbuka primer antara lapang lain adalah glaucoma Pemeriksaan pandang dengan alat pigmenter, glaucoma perimeter kinetic dan kortikosteroid, static baik manual maupun glaucoma computer:bila pseudoeksfoliasi, memungkinkan dengan glaucoma angle recess Octopus atau Humphrey. setelah trauma tumpul Bila memungkinkan dan lain-lain. evaluasi papil saraf optic Glaukoma kronis sudut dan serabut saraf retina tertutup primer dengan alat diagnostic Glaukoma jenis ini imaging seperti OCT adalah glaucoma (optical coherence primer yang ditandai tomography)dan HRT dengan tertutupnya (Heidelberg retinal trabekulum oleh iris topography). perifer secara perlahan.Bentuk primer berkembang pada mereka yang memiliki factor predisposisi anatomi berupa sudut bilik mata depan tergolong sempit. Selain sudut bilik mata depan yang tertutup, gambaran klinisnya asimptomatis mirip glaucoma sudut terbuka primer. Glaukoma tersebut dapat pula berkembang dari bentuk intermiten,subakut atau merambat (creeping). Glaukoma jenis ini juga merupakan kelanjutan glaucoma akut sudut tertutup primer yang tidak mendapat pengobatan atau setelah mendapat pengobatan yang tidak sempurna atau setelah terapi iridektomi perifer/trabekulektomi (glaucoma residual).
41
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
Pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan kartu Snellen dengan koreksi dan pin-hole. Tajam penglihatan sentral sering masih baik walaupun penyakit sudah stadium lanjut. Pemeriksaan dengan biomiksokopi : Gambaran bola mata tidak berbeda dengan gambaran mata normal. Pupil dapat terlihat midriasis dan reflex cahaya yang lambat.Bilik mata depan dalam dengan sudut bilik mata depan yang terbuka lebar pada glaucoma sudut terbuka primer. Bilik mata depan dangkal dan sudut bilik mata depan sempit pada glaucoma sudut tertutup primer. Kelainan glaucoma jenis ini bersifat bilateral walaupun tidak selalu simetris pada kedua mata. Pada glaucoma sudut terbuka sekunder harus dicari factor penyebab. Pemeriksaan sudut bilik mata depan menggunakan teknik Van Herrick dan sebaliknya menggunakan gonioskopi. Pemeriksaan funduskopi : terlihat atrofi papil glaukomatosa. Pemeriksaan tekanan intraocular dengan tonometer Schiotz : TIO umumnya lebih dari 21 mm Hg. Pemeriksaan lapang pandang dengan alat perimeter sederhana atau perimeter Goldmann : cacat lapang pandang galukomatosa.
PENATALAKSANAAN Tekanan intra ocular diturunkan dengan
1. GLAUKOMA TERBUKA PRIMER
SUDUT
1. GLAUKOMA TERBUKA PRIMER
42
SUDUT
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat obat-obatan secara bertahap berupa : - Timolol 0,25% - 0,5% 2x 1 tetes/hari (bila tidak ada kontra indikasi) - Pilokarpin 2% 4 x 1 tetes/hari - Asetazolamind 3-4 x 125 – 250 mg/hari - KCI 2-3 x 0,25 – 0,5 gr/hari Obat-obatan prinsipnya dibeirkan secara sendirisendiri, tetapi dapat dikombinasikan tergantung dari sasaran TIO. Umumnya TIO diharapkan lebih rendah dari 21 mm Hg. Oleh karena obatobatan dibeirkan untuk jangka lama dan terus menerus. Sangat penting diperhatikan kepatuhan penderita dalam melaksanakan pengobatannya. Penerita dirujuk ke dokter spesialis mata, pelayanan tingkat sekunder atau tersier bila TIO tetap diatas 21mmHg, penderita tidak patuh, tidak tahan terhadap obat-obatan, dalam stadium lanjut glaucoma dan/atau utnuk menilai progresifitas penyakitnya. Upaya pencegahan kebutaan akibat glaucoma memerlukan penyuluhan dan penjaringan glaucoma secara aktif di masyarakat, baik untuk
Tujuan pengobatan pada penderita yang terbukti menderita glaucoma sudut terbuka primer adalah mencegah berlanjutnya kerusakan papil saraf optic. Sampai saat ini belum ada criteria yang memuaskan untuk menetapkan tingkat TIO yang dapat diterapkan aman untuk mempertahankan keadaan lapang pandang bagi semua penderita. Ada yang menurukan 30% lebih rendah dari TIO awal. Adapula yang menetapkan target pressure dengan perhitungan khusus yang bersifat individual/mata. a. Medikamentosa - Pemilihan obat untuk pengobatan awal didasarkan pada penilaian mata penderita dan status kesehatan umum. Bila cacat lapang pandang belum lanjut atau TIO tidak terlalu tinggi maka terapi dapat dicoba pada satu mata lebih dahulu untuk menilai manfaat dan efek samping. - Terapi medikamentosa bersifat monoterapi dimulai dengan timolol maleat (C.Timol) 0,25% 0,5% satu sampai 2x sehari bila tidak ada kontraindikasi atau obat-obat baru yang lain (seperti glaupen,
2012
Medika mentosa - Prinsip terapi mirip dengan penanganan pada fasilitas sekunder, namun dapat pula menggunakan obatobatan jenis terbaru, seperti : Prostaglandin analog (Glaupen, Glauplus, Xalatan, Travatan) Penghambat karbonik anhidrase topical (Dorzol, Azopt) Alpha 2 agonist adrenergic Terapi laser beurpa trabekuloplasti argon laser, trabekuloplasti laser selektif Terapi bedah berupa trabekulektomi tanpa/atau dengan Mitomisin C/5Fluorourasil, non penetrating filtering surgery, operasi drainase implant, siklodiatermi dan operasi kombinasi katarak dan glaukoma. 2. GLAUKOMA SUDUT TERBUKA SEKUNDER Cari faktor penyebab Medikamentosa Prostaglandin analog (Glaupen, Glauplus, Xalatan, Travatan) Penghambat karbonik anhidrase topical (Dorzol, Azopt).
43
2012
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat penemuan kasus maupun deteksi dini.
glauplus, xalatan, travatan, dorzol, azopt). Bila dengan obat pertama keadaan TIO yang diharapkan belum tercapai tetapi obat tersebut dianggap berespon baik (mencapai nilai efektif farmakologis) dapat ditambahkan obat tetes lainnya, tetapi bila bila dianggap tidak efektif maka obat pertama diganti dengan obat lain, lalu penilaian diulang lagi. Bila dengan monoterapi atau kombinasi ternyata belum mencapai sasaran beurpa penurunan TIO yang tidak memuaskan atau tetap berlanjutnya kerusakan atau sejak awal tekanan lebih dari 30 mmHg maka dapat diberikan terapi sistematik dengan penghambat karbonik anhidrase. Obat ini biasanya dimulai dengan dosis 125 mg, 3 – 4 kali per hari. Bila efektivitas yang diharapkan belum tercapai, maka dosis ditingkatkan menjadi 250 mg tiap 6 jam atau 500 mg setiap 12 jam. Pada setiap pemberian obat asetazolamide harus disertakan pemberian obat preparat kalium
-
Alpha 2 agonist adrenergic Terapi laser berupa trabekuloplasti argon laser, trabekuloplasti laser selektif. Terapi bedah berupa trabekulektomi tanpa/ atau dengan mitomisin C/5Fluorourasil, non penetrating filtering surgery, operasi drainase impant, siklodiatermi dan operasi kombinasi katarak dan glaukoma.
3. GLAUKOMA KRONIS SUDUT TERTUTUP PRIMER Terapi medikamentosa diberikan baik sebelum terapi definitive iridektomi perifer maupun setelahnya. Tindakan bedah trabekulektomi bila TIO diatas 21 mmHg setelah tindakan iridektomi perifer dan medikamentosa Tindakan bedah kombinasi trabekulektomi dan katarak bila ada indikasi keduanya. Tindakan iridektomi perifer laser atau trabekuloplasti Pra dan setelah tindakan diberikan alpha 2 agonis Pemberian anti inflamaasi topical setelah tindakan selama 2-3 hari Follow up tindakan laser setelah 1 hari, 1 minggu selanjutnya 4-8 minggu minggu setelah tindakan IP/trabekuloplasti laser. Bila TIO naik pertimbangan pemberian medikamentosa atau tindakan trabekulektomi. Minggu ke 8 lakukan
44
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat (KCL 0,5 gr) 2 -3 x, 0,25 – 0,5 gr per hari. b. Tindakan bedah : - Bila dengan pengobatan medikamentosa diatas belum memuaskan sebaiknya penerita dipertimbangkan untk dilakukan terapi bedah (trabekulektomi atau non penetrating filtering surgery) atau dikonfirmasikan untuk kemungkinan tindakan lain ke pelayanan tingkat tersier. Instruksi bagi penderita : Dalam pengobatan glaukoma penting sekali untuk memberikan instruksi pada penderita mengenai waktu dan pemakaian obat termasuk cara menekan daerah kantus internus untuk mencegah absorpsi sistemik obat tetes.Dokter harus merencanakan dan membicarakan saat dan jenis pengobatan dan meyakini bahwa nama obat dan jam pemberiannya ada tertulis di label botol. Tambahan pula pasien harus diberitahu dengan kata-kata yang sederhana mengenai mekanisme terjasinya glaukoma, alasan dan tujuan pengobatan, cara berbagai obat bekerja dan efek samping yang mungkin terjadi, Hal ini perlu dalam upaya menjaga kepatuhan penderita dalam berobat. Pasien harus diyakinkan perlunya pemeriksaan kontrol berkala seumur hidup mengenai TIO,
2012
gonioskopi dan cek TIO. Perawatan setelah tindakan trabekulektomi Berikan kombinasi antibiotic dan anti inflamasi topical serta antibiotic sistemik Kontrol 1 hari pasca bedah Kontrol 7-10 hari pasca bedah Kontrol setiap minggu sampai 1 bulan Kontrol tiap 4-6 bulan bila keadaan baik Evaluasi dan follow up pasien glaukoma kronis Perhatikan ada tidaknya progresfitas papil atrofi glaukomatosa Fundudkopo,OCT,HRT : Evaluasi setiap 6- 12 bulan. Perhatikan ada tidaknya pertambahan skotoma/kelainan lapang pandang dengan automatic perimeter setiap 6-12 bulan: Octopus,Humphrey Lakukan Gonioskopi minimal setiap 3 bulan
45
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
penilaian papil N.II dan lapang pandang, serta penggunaan obat tetes yang benar/patuh seperti yang diinstruksikan kepadanya. Penderita sebaiknya mengetahui nama dan konsentrasi obat yang sedang digunakan.Kartu pengenal tanda penderita glaukoma yang harus dibawa penderita mungkin ada manfaatnya.Penting pula pasien dan dokter lain yang merawatnya mengetahui efek samping, alergi dan kemungkinan keracunan obat glaukoma. Bila dengan penatalaksanaan diatas masih juga menunjukkan kemunduran maka dirujuk ke tingkat tersier untuk dipelajari lebih lanjut. Keluarga langsung perlu diikutsertakan dalam penatalaksanaan penderita 2. GLAUKOMA SUDUT TERBUKA SEKUNDER Cari factor penyebab seperti yang tertulis di atas, kemudian tentukan : Medikamentosa Tindakan bedah : - Iridektomi perifer - Trabekulektomi - Bedah katarak/ekstraksi lensa. 3. GLAUKOMA KRONIS SUDUT TERTUTUP PRIMER Tindakan bedah iridektomi perifer pada kedua mata Medikamentosa obatobat glaucoma untuk menurunkan tekanan intraokular - Pilokarpin 2% 4 x perhari. - Timolol 0,5 % 2 x sehari. - Asetazolamid 2-3 x
46
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
250 mg sehari disertai dengan KCI 2-3 x 500mg - Obat-obat baru seperti : Glaupen, Glauplus, Xalatan, Travatan, Dorzol, Azopt. Tindakan bedah trabekulektomi, bila dengan tindakan iridektomi perifer dan obat-obatan tekanan intraocular masih diatas 21 mmHg. 4
KATARAK PADA PENDERITA DEWASA
EVALUASI Pemeriksaan visus dengan kartu Snellen dengan koreksi terbaik serta menggunakan pinhole Pemeriksaandengan lampu senter dan lup untuk segmen anterior dimana tidak ditemukan kekeruhan kornea dan tampak refleks pupil yang masih baik. Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer Schiotz. Jika TIO dalalm batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan tetes mata tropicamide 0.5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat adanya kekeruhan lensa. Pemeriksaan funduskopi dengan oftalmoskop langsung untuk melihat segmen posterior jika katarak masih tidak terlalu
Pemeriksaan visus dengan kartu snellen dengan koreksi terbaik serta mengunakan pin-hole. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior. Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer Schiotz. Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan tetes mata tropicamide 0.5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan dengan slit lamp melihat derajat kekeruhan lensa apakah sesuai dengan tajam penglihatan pasien. Dilakukan pemeriksaan fundus dengan oftalmoskopi langsung atau pun tidak langsung.
Pemeriksaan visus dengan kartu Snellen atau chart projector dengan koreksi terbaik serta menggunakan pin-hole. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior. Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer non-contact, aplanasi atau Schiotz Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan tetes mata tropicamide 0.5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan dengan slit lamp melihat derajat kekeruhan lensa apakah sesuai dengan tajam penglihatan pasien. Derajat katarak ditentukan sebagai berikut : a. Derajat 1 : Nukleus lunak, biasanya visus masih lebih baik dari 6/12, tampak sedikit keruh dengan warna agak keputihan. Refleks fundus juga masih dengan mudah diperoleh dan usia pendirita juga biasanya kurang dari 50 tahun.
47
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat keruh
2012
b.
Derajat 2 : Nukleus dengan kekerasan ringan, tampak nukleus mulai sedikit berwarna kekuningan, visus biasanya antara 6/12 sampai 6/30. Refleks fundus juga masih mudah diperoleh dan katarak jenis ini paling sering memberikan gambaran seperti katarak subkapsularis posterior. c. Derajat 3 : Nukleus dengan kekerasan medium, dimana nukleus tampak berwarna kuning disertai dengan kekeruhan korteks yang berwarna keabu-abuan. Visus biasanya antara 3/60 sampai 6/30. d. Derajat 4 : Nukleus keras, dimana nukleus sudah berwarna kuning kecoklatan dan visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60, dimana refleks fundus maupun keadaan fundus sudah sulit dinilai. e. Derajat 5 : Nukleus sangat keras, nukleus sudah berwarna kecoklatan bahkan ada yang sampai berwarna agak kehitaman. Visus biasanya hanya 1/60 atau lebih jelek dan usia penderita sudah diatas 65 tahun. Katarak ini sangat keras dan disebut juga brunescent cataract atau black cataract. Dilakukan pemeriksaan
48
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
fundus dengan oftalmoskopi langsung ataupun tidak langsung. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan bersifat non bedah, dimana pasien dengan virus > 6/12 diberikan kacamata dengan koreksi terbaik. Jika visus <6/12 atau sudah mengganggu untuk melakukan kegiatan sehari-hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk opersai, pasien dirujuk ke dokter spesialis mata pada fasilitas sekunder atau tersier.
Penatalaksanaan bersifat non bedah, dimana pasien dengan virus > 6/12 diberikan kacamata dengan koreksi terbaik. Jika visus <6/12 atau sudah mengganggu untuk melakukan kegiatan sehari-hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk opersi, dapat dilakukan operasi ECCE (Extra capsular cataract extraction) Operasi katarak dilakukan menggunakan mikroskop operasi dan peralatan bedah mikro, dimana pasien dipersiapkan untuk implantasi lensa tanam (IOL : Intraocular lens) Ukuran lensa tanam dihitung berdasarkan data keratometri serta menggunakan biometri Ascan, tetapi bisa juga berdasarkan anamnesis menggunakan IOL standar (power +20.00) dikurangi ukuran kacamta yang selama ini digunakan pasien.Misalnya jika pasien menggunakan kacamata S-6.00 dapat diberikan IOL power +14.00 Perhatikan juga rekomendasi tindakan bedah katarak.
Penatalaksanaan bersifat bedah, jika visus sudah mengganggu untuk melakukan kegiatan sehari-hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk operasi. Operasi katarak dilakukan menggunakan mikroskop operasi dan peralatan bedah mikro, pasien dipersiapkan untuk implantsi lensa tanam (I)L: intraocular lens) Ukuran lensa tanam dihitung berdasarkan data keratometri serta menggunakan biometri Ascan. Teknik bedah katarak menggunakan teknik manual ECCE atau pun fakoemulsifikasi dengan mempertimbangkan derajat katarak serta tingkat kemampuan ahli bedah Operasi katarak hanya dilakukan jika visus sudah mengganggu kegiatan sehari-hari pasien dimana pasien berkesempatan melakukann diskusi dengan dokter mengenai alternative lain selain operasi,risiko operasi, serta perawatan pasca operasi. Pasien mengisi surat izin tindakan medis (informed consent). Setiap kali melakukan pemeriksaan pre –operasi mencakup hal-hal berikut : Anamnesis riwayat penyakit mata, penyakit lain ataupun alergi.
49
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat -
-
-
2012 Visus tanpa koreksi dengan Snellen serta refraksi terbaik. Pengukuran tekanan intraocular Penilaian fungsi pupil (reflex pupil). Pemeriksaan mata luar (external examination) dengan senter dan lup atau slit lamp bergantung fasilitas. Pemeriksaan fundus dengan dilatasi pupil
Dokter spesialis mata yang akan melalukan operasi katarak sebaiknya memperhatikan persiapan preoperasi sebagai berikut : Memeriksa pasien sebelum operasi. Memberikan infomasi kepada pasien mengenai resiko, keuntungan dan kerugian operasi serta harapan yang sewajarnya dari hasil operasi. Memperoleh surat izin tindakan medis (informed consent) Memastikan bahwa hasil keratometri dan biometri A Scan sesuai dengan mata yang akan dioperasi, jika pasien tersebut direncanakan implantasi lensa tanam. Menentukan kekuatan lensa tanam yang sesuai, jika pasien tersebut direncanakan untuk implantasi lensa tanam. Membuat rencana pembedahan (jenis anesthesia, penempatan sayatan dan konstruksi luka,
50
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
refraksi pasca operasi yang direncanakan serta jadwal pemeriksaan pasca bedah). Melakukan evalusi pre operasi diatas termsuk pemeriksaan laboraturium serta berdiskusi dengan pasien ataupun keluarga pasien yang dianggap lebih mengerti dan dapat bertindak atas nama pasien. Operasi katarak bilateral ( operasi dilakukan pada kedua mata sekaligus secara beruntun) sangat tidak dianjurkan berkaitan dengan risiko pasca operasi (endoftalmitis) yang bisa berdampak kebutaan.Tetapi ada beberapa keadaan khusus yang bisa dijadikan alasan pembenaran dan keputusan tindakan operasi katarak bilateral ini harus dipikirkan sebaik-baiknya. Operasi tidak boleh dilakukan pada keadaan sebagai berikut : Pasien menolak tindakan operasi Pemberian kacamata ataupun alat bantu penglihatan lainnya masih cukup memuaskan bagi pasien. Ada dugaan bahwa operasi tidak dapat meningkatkan penglihatan pasien pasca operasi. Kualitas hidup pasien belum terganggu dengan gangguan penglihatan yang dialaminya. Pasien tidak dapat menjalani operasi
51
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
-
-
2012 katarak berkaitan dengan penyakit mata lain ataupun keadaan kesehatan akibat penyakit lainnya. Pasien tidak dapat memberikan surat izin tindakan medis yang sah secara hukum karena kurang pengertian ataupun kurang informasi. Pasien tidak dapat mengikuti petunjuk pengobatan pasca operasi.
Dokter spesialis mata yang melakukan operasi ataupun staf dokter tersebut, berkewajiban mendidik, menjelaskan dan member instruksi kepada pasien mengenai gejala ataupun tandatanda mengenai kemungkinan terjadinya komplikasi pasca operasi, penggunaan proteksi mata, adanya pembatas kegiatan, pengobatan, jadwal kunjungan lanjutan (follow up) dan petunjuk dimana harus mendapatkan perawatan darurat jika diperlukan. Dokter spesialis mata/staf juga menerangkan mengenai tanggung jwab pasien untuk mengikuti petunjuk yang harus dilakukan selama perawatan pasca operasi dan pasien harus segera menghubungi dokter tersebut jika mengalami masalah. Pemriksaan lanjutan pasca operasi (follow up) : Frekuensi pemerksaan pasca bedah ditentukan berdasarkan tingkat pencapaian visus
52
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
-
-
2012 optimal yang diharapkan. Pada pasien dengan risiko tinggi, seperti pada pasien dengan satu mata, mengalami komplikasi intra – operasi atau ada riwayat penyakit mata lain sebelumnya seperti uveitis, glaukoma dan lain-lain, maka pemeriksaan harus dilakukan harus satu hari setelah operasi. Pada pasien yang dianggap tidak bermasalah baik keadaan pre-operasi maupun intra operasi serta diduga tidak akan mengalami komplikasi lainnya maka dapat mengikuti petunjuk pemeriksaan lanjutan (follow up) sebagai berikut: Kunjungan pertama: dijadwalkan dalam waktu 48 jam setelah operasi (untuk mendeteksi dan mengatasi komplikasi dini seperti kebocoran luka yang menyebabkan bilik mata dangkal,hipotonu s, peningkatan tekanan intraocular, edema kornea ataupun tandatanda peradangan. Kunjungan kedua : dijadwalwak
53
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012 pada hari ke 4-7 setelah operasi jika tidak dijumpai masalah pada kunjungan pertama, yaitu untuk mendeteksi dan mengatasi kemungkinan endoftalmitis yang paling sering terjadi pada minggu pertama pasca operasi.
-
Kunjungan ketiga: dijadwalkan sesuai dengan kebutuhan pasien dimana bertujuan untuk memberikan kacamata sesuai dengan refraksi terbaik yang diharapkan. Obat-obat yang digunakan pasien pasca operasi bergantng dari keadaan mata serta disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing pasien (misalnya analgetika, antibiotika oral, anti glaukoma atau edema kornea, dan lain-lain). Tetapi penggunaan tetes mata kombinasi antibiotika dan steroid harus diberikan kepada pasien untuk digunakan setiap hari selama minimal 2 minggu pasca operasi.
54
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat 5
PTERYGIUM
2012
EVALUASI Pemeriksaan cukup dengan lup dan lampu senter, diperiksa segmen anterior serta ditentukan derajat pertumbuhan pterygium Tajam penglihatan penderita diperiksa dengan Snellen Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer Schiotz untuk memastikan tidak ada penyakit penyerta lainnya (glaukoma). Pada pterygium derajat 4 yang tidak dapat diukur dengan tonometer Schiotz, perkiraan TIO diperiksa dengan cara palpasi digital (dengan jari tangan).
Pemeriksaan dengan slit lamp, diperiksa segment anterior serta ditentukan derajat pertumbuhan pterygium Tajam penglihatan penderita diperiksa dengan kartu Snellen, lalu dikoreksi dengan menggunakan trial frame. Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer Schiiotz untuk memastikan tidak ada penyakit penyerta lainnya. Pada pterygium derajat 4 yang tidak dapat diukur dengan tonometer Schiotz, perkiraan TIO diperiksa dengan cara palpasi digital (dengan jari tangan).
Pemeriksaan dengan slit lamp, diperiksa segment anterior serta ditentukan derajat pertumbuhan pterygium. Tajam penglihatan penderita diperiksa dengan kartu Snellen, lalu dikoreksi dengan menggunakan trial frame. Astigmatisme kornea diperiksa dengan keratometer baik secara manual maupun menggunakan alat autorefrakto-keratometer Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan cara aplanasi ataupun menggunakan tonometer non kontak.
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan bersifat non bedah, penderita diberi penyuluhan untuk mengurahi iritasi maupun paparan terhadap ultra – violet. Pada pterygium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotic dan steroid seperti CXitrol 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan TIO yang tinggi
Penatalaksanaan bersifatnon bedah pada pterygium derajat 1 dan 2, yaitu edukasi terhadap pasien untuk mengurangi iritasi dan paparan ultra – violet. Jika pterygium mengalami inflamasi, dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotic dan steroid sepertiCXitrol 3 kali selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan TIO yang tinggi ataupun mengalami kelainan kornea. Pada pterygium derajat 3 dan 4, dilakukan tindakan bedah berupa avulsi (pengangkatan)
Penatalaksanaan pada fasilitas tersier bersifat bedah dengan memperhatikan tujuan utama dari pengangkatan dari pterygium, yaitu: Teknik operasi yang dianjurkan adalah dengan avulse pterygium disertai cangkok konjungtiva (conjunctival limbal graft) Penggunaan Mitomycin C sebaiknya hanya pada untuk penanganan kasus pterygium yang rekuren, mengingat komplikasi dari mitomycin C yang cukup berat. Sebagai perbandingan angka kekambuhan pasca pengangkatan pterygium dapat dilihat dari berbagai
55
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat ataupun mengalami kelainan kornea.
pterygium. Sedapat mungkin setelah avulse pterygium maka bagian konjungtiva bekas pterygiumtersebut ditutupi dengan cangkok kongjungtiva yang diambil dari bagian kanjungtiva superior untuk menurunkan angka kekambuhan.
2012
laporan sebagai berikut.
TECHNIQUE RECURENCE RATE Bare 61 % (Tan et al)
Sclera
40% (Figuiredo et al) Conjunctival 18% (Wong et al)
Graft
25,9% (Mabar et al) Conjuctival Limbal 14,6% (Mutlu et al)
Graft
Intra-Operative Mitomycin C 5,8% (Helal et al) Amniotic Membrane 10,9%(Prabhasawat et al) Transplantation 3% (Solomon et al) 6
KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK
EVALUASI Mengenali gejala dan tanda pada masing-masing kelainan refraksi sesuai usia. Usia biasanya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu usia < 2 thn, usia prasekolah (2-5 thn), dan usia sekolah. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan umur (kelompok non verbal dengan pemeriksaan fiksasi, simbol chart, E Chart dan kelompok verbal dengan Snellen chart) Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup
Mengenali gejala dan tanda pada msing-masing kelainan refraksi sesuai dengan umur usia. Usia biasanya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu usia < 2 thn, usia prasekolah (2-5 thn), dan usia sekolah. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata. Pemeriksaan status refraksi dengan pemeriksaan objektif strek retinoskopi pada pupil lebar untuk kelompok usia >2 thn dan kelompok usia prasekolah. Pemeriksaan refraksi subjektif pada kelompok usia prasekolah dan kelompok usia sekolah. Pemeriksaan segmen anterior dengan lup,senter dan slit lamp Pemeriksaan segmen
Mengenali gejala dan tanda pada msing-masing kelainan refraksi sesuai dengan umur usia. Usia biasanya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu usia < 2 thn, usia prasekolah (2-5 thn), dan usia sekolah. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata. Pemeriksaan status refraksi dengan pemeriksaan objektif strek retinoskopi pada pupil lebar untuk kelompok usia >2 thn dan kelompok usia prasekolah. Pemeriksaan refraksi subjektif pada kelompok usia prasekolah dan kelompok usia sekolah. Pemeriksaan segmen anterior dengan lup,senter dan slit lamp Pemeriksaan segmen
56
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat Pemeriksaan funduskopi kedua mata dengan oftalmoskopi direk, dengan sebelumnya dilakukan dilatasi pupil dengan tropicamide 0.5%
posterior dengan oftalmoskop direk. Pemeriksaan kemungkinan ambliopia dan atau mata juling.
PENATALAKSANAAN Koreksi kelainan refraksi pada kelompok usia sekolah bila pada pemeriksaan subjektif virus mencapai 6/6. Rujuk ke fasilitas sekunder bila: Pada kelompok usia sekolah visus dengan koreksi tidak mencapai 6/6 Pada kelompok usia <2tahun dan kelompok usia prasekolah didapatkan tanda dan gejala kelainan refraksi dan kemampuan penglihatan tidak sesuai dengan umur Dijumpai kelainan posisi bola mata (kelainan refraksi + mata juling)
7
STRABISMUS
Koresi kelainan refraksi pada semua kelompok harus berdasarkan pertimbangan : besarnya kelainan rekraksi cukup mengganggu aktivitas: kemampuan akomodasi pasien :. Kebutuhan tajam penlihatan sesuai umur; resiko yang timbul akibat adanya kelainan refraksi. Rujuk ke TEC bila dijumpai ambliopia dan/ atau mata juling.
2012
posterior dengan oftalmoskop direk. Mendeteksi adanya faktor-faktor ambliopia. Koreksi kelainan refraksi pada semua kelompok umur harus berdasarkan pertimbangan : Apakah besarnya kelainan refraksi cukup mengganggu aktifitas Kemampuan akomodasi pasien. Kebutuhan tajam penglihatan sesuai umur Resiko yang timbul akibat adanya kelainan refraksi
Penatalaksanaan amblipio dan akomodatif esotropia Koreksi (tindakan)sisa esotropia pada kasus akomodatif esotropia setelah koreksi kaca mata diberikan
EVALUASI
Pemeriksaan visus dilakukan sesuai
Pemeriksaan dilakukan
visus sesuai
Pemeriksaan dilakukan
visus sesuai
57
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
keadaan. Bila penderita adalah bayi, pemeriksaan visus secara subyektif belum dapat dilakukan, hanya dapat dilakukan dengan memperlihatkan sesuatu yang berwarna-warni di depan wajah bayi tersebut bila penderita anak yang sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan masing-maisng anak, demikian pula yang dewasa. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk segmen anterior, dinilai bagaimana keadaan kornea, iris/pupil termasuk reflek pupil dan lensa. Dilakukan penilaian pergerakan bola mata untuk melihat ada tidaknya hambatan pergerakan bola mata. Penetuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg. Funduskopi dengan oftalmoskop direk.
keadaan. Bila penderita adalah bayi, pemeriksaan visus secara subyektif belum dapat dilakukan, hanya dapat dilakukan dengan memperlihatkan sesuatu yang berwarna-warni di depan wajah bayi tersebut bila penderita anak yang sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan masingmasing anak, demikian pula yang dewasa. Dilakukan refraksi objektif dengan streak retinoskopy dalam sikloplegi Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior, dinilai keadaan kornea, iris pupil termasuk reflek pupil dan lensa. Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskup direk/indirek untuk melihat segmen posterior Dilakukan penilaian pergerakan bola mata. Penetuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg, coveruncover test dan Alternate Cover Test (ACT)
PENATALAKSANAAN Rujuk ke sekunder
fasilitas
Bila terdapat kelainan rekraksi, koreksi dengan kaca mata yang sesuai Bila terdapat ambliopia, lakukan terapi ambliopia dengan patching mata yang dominan dengan terlebih dahulu koreksi
2012
keadaan. Bila penderita adalah bayi, pemeriksaan visus secara subyektif dengan cara Central, Steady, Maintain (CSM), bila penderita anak yang sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan masingmasing anak, demikian pula yang dewasa. Dilakukan refraksi objektif dengan streak retinoskopy dalam sikloplegi Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior, dinilai keadaan kornea, iris pupil dan lensa. Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskup direk/indirek untuk melihat segmen posterior Dilakukan penilaian pergerakan bola mata. Penetuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg, Krimsky, Alternate Cover Test (ACT) / Prism Cover Test (PCT) Ukur deviasi jauh dan dekat serta dinilai ada tidaknya A&V pattern. Demikian pula harus dilakukan pemeriksaan deviasi dengan dan tanpa koreksi kaca mata kalau terdapat kelainan refraksi. Bila dicurigai ada simulated divergence excees perlu dilakukan pemeriksaan sudut deviasi setelah oklusi paling sedikit 1 jam pada salah satu mata. Penilaian status sensoris
58
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
kelainan refraksi. Bila dengan pemberian kaca mata tidak ada perbaikan pada deviasinya maka dirujuk ke fasilitas kesehatan tertier untuk dilakukan penatalaksanaan selanjutnya.
8
TUMOR ORBITA
2012
Bila terdapat kelainan refraksi, berikan koreksi terbaik. Bila ambliopia, lakukan terapi ambliopia dengan patching mata yang dominan. Bila dengan koreksi kelainan refraksi, tetap ekstropia, lakukan operasi. Jenis operasi yang dilakukan disesuaikan dengan diagnosis dan pola deviasi yang ada dan keadaan visus masing-masing mata. Bila tipe Divergence Excess dapat dilakukan reses rektus lateral pada kedua mata. Bila tipe Basik dan bila visus salah satu mata tidak baik, dapat dilakukan reses –resek pada mata yang tidakk dominan atau yang visusnya lebih buruk Bila tipe convergence insufficiency dapat dilakukan resek rektus medieus.
EVALUASI Identitas : umur (anak, dewasa muda, dan tua) Anamnesis (mata menonjol/benjolan atau ulkus dikelopak mata dan putih mata, lama gejala, penglihatan ganda, rasa nyeri, dan penurunan visus). Pemeriksaan mata tanpa slitlamp : Terlihat adanya benjolan/ulkus di palpebrakonjungtiva dengan
Identitas : umur (anak, Identitas : umur (anak, dewasa muda, dan tua) dewasa muda, dan tua) Anamnesis (mata Anamnesis (mata menonjol/benjolan atau menonjol/benjolan atau ulkus dikelopak mata ulkus dikelopak mata dan putih mata, lama dan putih mata, lama gejala, penglihatan gejala, penglihatan ganda, rasa nyeri, dan ganda, rasa nyeri, dan penurunan visus). penurunan visus). Pemeriksaan mata Pemeriksaan mata dengan/ tanpa slitlamp : dengan/ tanpa slitlamp, Terlihat adanya sama dengan pelayanan benjolan/ulkus di kesehatan sekunder atau palpebrapun primer. konjungtiva dengan Pemeriksaan orbita : permukaan Pengukuran berbenjol-benjol besarnya proptosis pada usia tua, tidak dengan alat Hertel.
59
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
-
-
permukaan berbenjolbenjol pada usia tua, tidak menyembuh dengan pengobatan antibiotika, dengan lama gejala yang khronisdiagnosis tumor ganas epitel adneksa (basalioma;kar sinoma sel skuamosa; adenokarsinom a kelenjar Meibom; atau melanoma maligna). Teraba massa di orbita dengan lokasi tertentu, menunjukkan lebar fisura yang melebar, gejala dirasakan lebih dari 1 tahun, dan usia dewasa muda – diagnosis tumor primer orbita jinak. Adanya keluhan rasa nyeri disertai tanda meradang di sekitar massa tumor, gejala dirasakan akut (kurang 1 tahun), dan umur tua – diagnosis tumor primer orbita ganas. Jika gejala diderita oleh semua umur dapat dipikirkan
menyembuh dengan pengobatan antibiotika, dengan lama gejala yang khronis-diagnosis tumor ganas epitel adneksa (basalioma;karsino ma sel skuamosa; adenokarsinoma kelenjar Meibom; atau melanoma maligna). Teraba massa di orbita dengan lokasi tertentu, menunjukkan lebar fisura yang melebar, dengan lama gejala lebih dari 1 tahun, dan usia dewasa muda – diagnosis tumor primer orbita jinak. Adanya keluhan rasa nyeri disertai tanda meradang di sekitar massa tumor, gejala dirasakan akut (kurang 1 tahun), dan umur tua – diagnosis tumor primer orbita ganas. Jika gejala diderita oleh semua umur dapat dipikirkan suatu proses inflamasi. Pemeriksaan orbita : Pengukuran adanya proptosis dengan menggunakan alat Hertel atau penggaris di kantus lateral ke ujung kornea. Pemeriksaan penunjang radiologi : Foto orbita baku – pada tumor primer orbita jinak diharapkan gambaran perselubungan, phlebolith, atau pembesaran rongga
-
-
2012 Arah terdorongnya bola mata : bola mata ke nasal bawah: Massa temporal atas (kelenjar lakrimal) usia muda, pertumbuhan lambat :benign mixed tumor usia muda/tua,pertumb uhan cepat : adenoid kistik karsinoma atau keganasan lain bola mata ke inferior: massa berada di superior – umumnya neurilemmoma atau kista dermoid bola mata terdorong inferotemporal : massa berada di nasal tumor berasal sinus frontal, dapat mukokel atau keganasan dari epitel sinus (karsinoma sel skuamosa) bola mata terdorong aksial : massa berada di konus – umumnya tumor dari saraf optik terutama pada penderita berusia muda, antara lain glioma, meningioma, dan dapat hemangioma kavernosa bola mata terdorong ke superior : massa berasal dari inferior kebanyakan tumor ganas berasal dari sinus maksila atau jaringan penunjang. Kuadran lokasi
60
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat suatu proses inflamasi.
orbita, pada tumor primer orbita ganas dan metastasis/invasi diharapkan gambaran destruksi tulang. Pemeriksaan patologi anatomi : Benjolan/ulkus dipalpebrakonjungtiva yang meragukan keganasan dapat dilakukan biopsi eksisi/insisi untuk spesimen pemeriksaan patologi anatomi. Massa orbita yang mudah teraba dapat dilakukan tindakan biopsi insisi sebagai bahan spesimen pemeriksaan patologi anatomi.
2012
massa berada berlawanan dengan arah terdorongnya bola mata tumor sesuai dengan jaringan/organ yang berada di kuadran tersebut Gangguan gerak bola partial, tempat hambatan menunjukkan lokasi tumor (kuadran lokasi) Pemeriksaan pulsasi : bila posifit tumor dapat berupa neurofibroma atau jika diketahui didahului trauma/hipertensi pada orang tua dapat diferensiasi dengan arteri-vena fistula. Jika tumor dapat diraba, dinilai kekenyalannya. Jika teraba lunak dapat diduga tumor bersifat jinak, tetapi jika keras kenyal dapat dicurigai tumor bersifat ganas. Pemeriksaan penunjang radiologi : Ultrasonografi : pemeriksaan tidak invasif, penilaian lebih dititik beratkan pada ada tidaknya tumor dan refleks tumor. Pemeriksaan USG sukar untuk mendiferensiasika n jenis tumor. CT-scan : pemeriksaan ini cukup untuk mendiagnosis tumor orbita serta membantu untuk
61
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
-
PENATALAKSANAAN Jika dicurigai tumor jinak dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggi 12-16 tablet (2mg perKgBB) setiap hari selama dua minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika tidak berhasil sebaiknya penderita dirujuk. Pada tumor epitel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan ekstripasi dengan meninggalkan jaringan sehat.Pada tumor epitel yang
Jika dicurigai tumor jinak dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggal 12-16 tablet (12mg perKgBB) setiap hari selama dua minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika tidak berhasil sebaiknya dirujuk untuk ekspolari lanjut. Pada tumor epitel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan ekstripasi dengan meninggalkan jaringan sehat.Pada tumor epitel yang dicurigai ganas dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang ditinggalkan. Pemeriksaan dilanjutkan
2012 penentuan penatalaksanaan selanjutnya. Untuk membedakan sifat tumor, jinak atau ganas dengan menilai batas tumor. Pemeriksaan MRI dan arteriografi pada kasus khusus yang mencurigai fistula atau ingin mengetahui tumor berasal dari saraf optik.
Pemeriksaan Laboratorium : Pemeriksaan ini sangat membantu dalam membedakan sifat ganas tumor. Akan tetapi pemeriksaan penanda ganas tidak ada yang spesifik untuk tumor orbita, tetapi dengan penanda ganas asam sialat menunjukkan nilai kadar yang berbeda bermakna. Pemeriksaan fisik : untuk mencari adanya keganasan atau metastasis. Pemeriksaan patologi anatomi : Benjolan/ulkus dipalpebrakomjungtiva yang meragukan keganasan dapat dilakukan biopsi eksisi untuk spesimen pemeriksaan patologi anatomi. Massa orbita yang mudah teraba dapat dilakukan tindakan biopsi
62
dicurigai ganas dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang ditinggalkan.Pemerik saan dilanjutkan dengan pemeriksaan patologi jaringan tumor. Jika diagnosis meragukan, sebaiknya dirujuk. Jika meragukan melakukan tindakan, terutama pada tumor orbita, baik jinak, ganas ataupun metastasis/invasi sebaiknya langsung dirujuk.
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
dengan pemeriksaan patologi jaringan tumor.Jika diagnosis meragukan, sebaiknya dirujuk. Jika meragukan melakukan tindakan, terutama pada tumor orbita, baik jinak, ganas ataupun metastasis/invasi sebaiknya langsung dirujuk. Jika memungkinkan dapat dilakukan tindakan biopsy insisi untuk pemeriksaan patologi. Penatalaksanaan selanjutnya dapat dirujuk untuk tindakan pembedahan, radiasi, ataupun sitostatika.
insisi sebagai bahan spesimen pemeriksaan patologi anatomi, kecuali bila lokasi di daerah kelenjar lakrimal.
Jika dicurigai tumor jinak dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggal 12-16 tablet (12mg perKgBB) setiap hari selama dua minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika tidak berhasil dapat diberikan sitostatika single agent seperti chlorambucil dengan pengawasan ahli hematologi. Pada tumor epitel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan ekstripasi dengan meninggalkan jaringan sehat.Pada tumor epitel yang dicurigai ganas dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang ditinggalkan. Pada tumor yang lebih luas, eksisi dengan rekonstruksi. Pada tumor yang lanjut dan telah berinvasi ke orbita dilakukan tindakan pembedahan radikal eksenterasi orbita. Pengobatan tambahan radiasi atau sitostatika dapat diberikan. Pada tumor konjungtiva, karsinoma sel skuamosa stadium 1 setelah ektirpasi tumor dapat dilanjutkan dengan pemberian sitostatika local seperti tetes mata mitomycin. Pemeriksaan patologi jaringan tumor
63
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
harus dilakukan. Pada tumor orbita, baik jinak, ganas, ataupun metastasis/invasi sebaiknya dilakukan tindakan biopsy insisi untuk pemeriksaan patologi. Penatalaksanaan sebelumnya dengan melakukan pemeriksaan penunjang, terutama CTscan untuk mengetahui dengan tepat lokasi tumor. Selanjutnya dapat dilakukan pembedahan, jenis pembedahan sesuai dengan lokasi dan jenis tumor. Pemberian terapi tambahan radiasi dan sitostatika dapat diberikan sesuai kebutuhan dan sesuai dengan patogenesa jenis tumor, dengan kerjasama antar disiplin. 9
DIABETIK RETINOPATI
EVALUASI
Anamnesia semua penderita diabetes mengenai keluhan penglihatan. Pemeriksaan visus dengan Snelen chart Pemeriksaan tekanan bola mata dengan tonometer Schiozt Pemeriksaan refleks cahaya pada pupil baik langsung maupun tak langsung Pemeriksaan funduskopi dengan menggunakan ophhalmoscope direk, apakah ada perdarahan, eksudat atau kekeruhan
Pemeriksaan mata dasar yang meliputi visus, tekanan bola mata, kedudukan bola mata, pergerakan bola mata, segmen anterior dan segmen posterior. Pemeriksaan segmen anterior dengan menggunakan slit lamp untuk melihat apakah ada epiteliopati kornea, flare dan sel di BMD, RAPD, neovaskularisasi iris, tingkat kekeruhan lensa, kekeruhan vitreus. Pemeriksaan segmen posterior dengan menggunakan oftalmoskop indirek, untuk melihat kekeruhan vitreus karena perdarahan atau adanya jaringan fibro-vaskular, perdarahan retina, eksudat, pelebaran
Fundus Fluorocence Angiography (FFA), dilakukan apabila ada indikasi. USG, bila terdapat kekeruhan media dan fundus tidak tembus. ERG
64
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat vitreus.
2012
vena, intra-retinal microvascular anomaly (IRMA) dan neovaskularisasi.
PENATALAKSANAAN Seleksi pasien, ada diabetes mellitus atau tidak, Bila ditemukan adanya diabetes mellitus, pasien dikonsulkan ke dokter ahli penyakit dalam untuk mengontrol gula darahnya dan apabila dari anamnesis penyakit diabetes diderita sudah lebih dari 2 tahun, penderita dirujuk ke pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC) untuk evaluasi lebih lanjut. Apabila diabetes diderita kurang dari 2 tahun, pasien dapat dikonsul bilamana keadan keadaan memungkinkan. Apabila dari anamnesis tidak diketahui lamanya diabetes diderita, pasien dapat dirujuk langsung untuk evaluasi segmen posterior. Apabila funduskopi tersedia dan gambaran fundus dapat dinilai, adanya retinopati merupakan indikasi untuk rujukan ke tingkat yang lebih tinggi.
10
RETINA LEPAS (RETINAL DETACHMENT)
Seperti tindakan pada PEC. Pasien dengan diabetic retinopati stadium non proliferative (NPDR) ringan dan sedang, dievaluasi setiap 3 bulan Kontrol gula darah dilakukan oleh dokter penyakit dalam. Pasien dengan NPDR berat, yaitu apabila ditemukan salah satu dibawah ini: Pendarahan intra retina 4 kwadran Pelebaran vena 2 kwadran Intra retina mikrovaskular abnormalism 1 kwadran Pasien dengan Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR), yaitu dengan adanya pendarahan vitreus dan pertumbuhan jaringan fibrovaskular di vitreus, dirujuk ke pelayanan kesehatan mata tersier. Apabila ditemukan katarak yang mempersulit evalusi segmen poeterior, dapat dilakukan operasi, dengan penjelasan akan prognosis penglihatan dan kemungkinan retinopati bertambah berat setelah operasi.
Seperti tindakan pada SEC. Pasien dengan NPDR berat dengan/tanpa CSME, dilakukan terapi fotokoagulasi laser. Operasi vitrektomi dilakukan apabila terdapat pendarahan vitreus, pertumbuhan jaringan fibrovaskular di retina, persistent mascular edema dan ablasio retina traksi.
EVALUASI
Anamnesia
Melakukan
evaluasi
Melakukan
tindakan
65
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat mengenai lama kejadian, dan faktor resiko seperti disebutkan diatas. Kecurigaan akan retinal detachment memerlukan uji konfrontasi. Pemeriksaan dengan funduskopi langsung – apabila tersedia – memberi gambaran retina lepas atau perdarahan retina, fibrosis vitreus dengan perlekatan retina dan tanda lain seperti disebutkan sebelumnya.
2012
seperti pelayanan di PEC, ditambah dengan pemeriksaan fundus untuk evaluasi retina. Pemeriksaan fundus sebaiknya dilakukan dengan funduskopi tidak langsung atau dengan condensed wide angle lens (Mainster Ocular, Super Field Volk, Super Pupil Volk atau Goldmann 3mirror. Seluruh retina lepas harus dianggap sebagai rhegmatogen. Pemeriksaan kampimetri dapat dilakukan sebagai penunjang. Pemeriksaan di SEC sudah dapat menentukan apakah penderita perlu di rujuk atau tidak ke TEC.
seperti di SEC dan memutuskan jenis retina lepas. Pemeriksaan, kampimetri, elektrofisiologi atau ultrasonografi dilakukan bila diperlukan untuk menunjang diagnosis.
Apabila tidak ada kecurigaan tetapi ada keluhan, penderita harus diistirahatkan apabila mengancam macula, hingga tindakan dilakukan. Semua jenis rhegmatogen yang tidak mengancam macula atau jenis traksional yang melibatkan macula harus dirujuk seceoatnya, umumnya dalam beberapa hari. Penderita dirujuk TEC untuk penanganan lebih lanjut dengan penjelasan akan faktor dan keberhasilan.
Melakukan tindakan sesuai dengan jenis retina lepas. Pada rhegmatogen akut dan traksional yang tidak mengancam macula, operasi dilakukan secepatnya, sedangkan yang kronik dapat dioperasi dalam waktu 1 minggu. Jenis operasi (sclera buckling atau vitektomi) tergantung kondisi yang dirtemukan, dan jenis viteus tamponade ditentukan oleh keadaan yang ditemukan pre-operative dan durante operasi, kondisi mata sebelahnya dan mobilitas penderita. Tipe exudative memerlukan pengobatan sesuai dengan penyakit yang mendasari. Keberhasilan pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki retina yang lepas.
PENATALAKSANAAN
Rujuk ke PPK 2
66
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
PENGELOLAAN PENYAKIT JIWA (PSIKIATRI)
No. 1. A
DIAGNOSA
PPK 1
GANGGUAN MENTAL ORGANIK Demensia - Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Terapi pemeliharaan/ lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk dr.SpKJ selama 3 bulan untuk selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3
PPK 2 SpKJ (-)
SpKJ (+)
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Terapi pemeliharaan/ lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk dr.SpKJ selama 3 bulan untuk selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut jika memungkinkan - Jika tidak memungkinkan rujuk ke PPK 3 - Terapi pemeliharaan
PPK 3
- Skrining - Diagnosis Penatalaksanaan Kondisi agresif : Pilihan antipsikotik - Haloperidol 0.252mg/hari (po) - Risperidon 0.252mg/hari (po) - Aripiprazol 515mg/hari (po) Gejala depresi : (pilihan) - Sertralin 25mg/hari (po) - Fluoksetin 10mg/hari (po) Anti demensia : - Donepezil - Rivastigmin
B
Delirium
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2 dg SpKJ/PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut jika memungkinkan - Jika tidak memungkinkan rujuk ke PPK III
Non farmakologik - Terapi perilaku - Terapi stimulasi/aktivitas - Psikoedukasi keluarga - Skrining - Diagnosis Terapi sesuai penyebab Kondisi agitasi/psikotik : Antipsikotik inj - Haloperidol (im) 25mg, bila perlu diulang tiap 1 jam 67
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
atau Olanzapin (im) 5mg - Lorazepam (im, iv) 1-2mg Antipsikotik oral (pilihan) - Haloperidol 2x0.51mg/hari - Risperidon 0.51mg/hari - Olanzapin 510mg/hari - Quetiapin 25150mg/hari Terapi tambahan - Lorazepam 0.52mg/hari
2. A
B
Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Reorientasi lingkungan - Edukasi keluarga GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENYALAHGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF Gangguan - Skrining - Skrining - Skrining - Skrining Mental dan - Kondisi akut : - Kondisi akut : - Diagnosis - Diagnosis Perilaku rujuk ke rujuk ke - Penanganan akibat PPK 2/PPK 3 PPK 2 dg kondisi akut Penatalaksanaan : Penyalahgun SpKJ/PPK 3 jika Antidotum Naloxon aan Opioid memungkinka HCl (intoksikasi) n Naloxone (iv) mulai - Jika tidak dg 0.8mg evaluasi memungkinka tiap 15’, jika tidak n rujuk ke ada respon naikkan PPK 3 dosis menjadi 1.6mg sampai 3.2mg Bila ada respon teruskan pemberian 0.4mg/jam (iv)
Gangguan Mental dan Perilaku akibat
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK II dg
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut
Evaluasi tanda vital Atasi penyulit Intoksikasi berat rawat ICU - Skrining - Diagnosis Penatalaksanaan 68
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
Penyalahgun aan Opioid (putus zat)
- Terapi subtitusi di PPK 1 yg telah mampu laksana
SpKJ/PPK 3 - Terapi subtitusi di PPK 2 yg telah mampu laksana
jika memungkinka n - Jika tidak memungkinka n rujuk ke PPK 3 - Terapi subtitusi di PPK 2 yg telah mampu laksana
2012
Simtomatik sesuai gejala Subtitusi opioid : - Metadon - Bufrenorfin + Nalokson - Kodein Subtitusi non opioid : - Klonidin Pemberian sedatifhipnotik dan antipsikotik diberikan sesuai indikasi
C
Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penyalahgun aan Amfetamin (intoksikasi)
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut jika memungkinka n - Jika tidak memungkinka n rujuk ke PPK 3
Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Edukasi keluarga - Rehabilitasi - Skrining - Diagnosis - Observasi di IGD Penatalaksanaan Terapi simtomatik Rangsang muntah/kuras lambung dg activated charcoal Antipsikotik : - Haloperidol 25mg/kali - Klorpromazin 1mg/kgBB Antihipertensi : Jika TD > 140/100mmHg Gejala ansietas : - Diazepam 3x5mg - Klordiazepoksid 3x25mg Bila kejang : Diazepam 10-30mg 69
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
(parenteral)
D
Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penyalahgun aan Amfetamin (putus zat)
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut jika memungkinka n - Jika tidak memungkinka n rujuk ke PPK 3
Cardiac monitoring Propanolol 2080mg/hari - Skrining - Diagnosis Penatalaksanaan Observasi di IGD Rawat inap jika disertai tanda2 psikotik, depresi berat atau ide bunuh diri Antipsikotik : - Haloperidol 3x1.55mg - Risperidon 2x1.53mg Gejala ansietas : - Alprazolam 2x0.25-0.5mg - Diazepam 3x510mg - Klobazam 2x10mg Gejala depresi : - Fluoksetin 1020mg - Setralin 25-50mg - Amitriptilin 2550mg
E
Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penyalahgun aan Dekstrometo rfan (intoksikasi)
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut jika memungkinka n - Jika tidak memungkinka n rujuk ke
Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Edukasi keluarga - Rehabilitasi - Skrining - Diagnosis - Observasi di IGD Penatalaksanaan Terapi simtomatik Rangsang muntah/kuras lambung dg activated charcoal 70
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
PPK 3 Antipsikotik : - Haloperidol 25mg/kali - Klorpromazin 1mg/kgBB
2.6.
Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penyalahgun aan Alkohol (intoksikasi)
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut jika memungkinka n - Jika tidak memungkinka n rujuk ke PPK 3
Kontraindikasi : - Antidepresan - Golongan Benzodiazepin - Skrining - Diagnosis - Observasi di IGD Penatalaksanaan Terapi simtomatik Rangsang muntah/kuras lambung dg activated charcoal Antipsikotik : - Haloperidol 25mg/kali - Klorpromazin 1mg/kgBB
3. A
Kontraindikasi : - Antidepresan - Golongan Benzodiazepin SKIZOFRENIA, GANGGUAN SKIZOTIPAL, GANGGUAN WAHAM DAN GANGGUAN SKIZOAFEKTIF Skizofrenia, - Skrining - Skrining - Skrining - Skrining Gangguan - Kondisi - Kondisi - Diagnosis - Diagnosis Skizotipal, emergensi : emergensi : Gangguan Klorpromazin Klorpromazin Penatalaksanaa Penatalaksanaan Waham 25-50mg (im) 25-50mg (im) n bila tidak ada bila tidak ada Fase akut hipotensi hipotensi Fase akut atau Lorazepam atau Lorazepam Non farmakologik (im) 1-2mg (im) 1-2mg Non - Hospitalisasi - Rujuk ke PPK 2 - Rujuk ke PPK 2 farmakologik - Seklusi (isolasi) dg SpKJ/PPK 3 dg SpKJ/PPK 3 - Hospitalisasi - Restrain (fiksasi) - Terapi - Terapi - Seklusi pemeliharaan pemeliharaan - Restrain Pilihan antipsikotik /lanjutan setelah /lanjutan setelah injeksi : penanganan dan penanganan dan Pilihan - Klorpromazin 25atas petunjuk atas petunjuk antipsikotik inj : 50mg (im) dr.SpKJ selama 3 dr.SpKJ selama 3 - Klorpromazin - Haloperidol 5mg bulan untuk bulan untuk 25-50mg (im) (im) 71
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3
selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3
2012
- Haloperidol 5mg (im) - Olanzapin 10mg (im) - Aripiprazol 9.75mg (im) - Diazepam 10mg (im/iv)
- Olanzapin 10mg (im) - Aripiprazol 9.75mg (im) - Diazepam 10mg (im/iv)
Antipsikotik oral :
Generasi 1 - Haloperidol 520mg/hari - Trifluoperazin 1550mg/hari - Flufenazin 520mg/hari - Perfenazin 1624mg/hari - Klorpromazin 3001000mg/hari
Generasi 1 - Haloperidol 5-20mg/hari - Trifluoperazin 15-50mg/hari - Flufenazin 520mg/hari - Perfenazin 16-24mg/hari - Klorpromazin 3001000mg/hari Generasi 2 - Risperidon 28mg/hari - Olanzapin 1030mg/hari - Quetiapin 300800mg/hari - Klozapin 150600mg/hari - Aripiprazol 10-30mg/hari - Paliperidon 39mg/hari - Olanzapin sublingual Fase stabil : Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Psikoedukasi keluarga - Intervensi
Antipsikotik oral :
Generasi 2 - Risperidon 28mg/hari - Olanzapin 1030mg/hari - Quetiapin 300800mg/hari - Klozapin 150600mg/hari - Aripiprazol 1030mg/hari - Paliperidon 39mg/hari - Olanzapin sublingual Fase stabil : Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Psikoedukasi keluarga - Intervensi perilaku - Intervensi psikososial Antipsikotik oral Sama dengan di atas
72
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
perilaku - Intervensi psikososial Antipsikotik oral Sama dengan di atas Fase stabilisasi: Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Psikoedukasi keluarga - Intervensi perilaku - Intervensi psikososial - Terapi okupasi/voka sional - Pelatihan ketrampilan social - Rehabilitasi Antipsikotik oral Sama dengan di atas Sediaan antipsikotik lain - Haloperidol dekanoat inj - Flufenazin dekanoat inj - Risperidon oral solution - Risperidon long acting inj Penatalaksanaa n efek samping neurologis (akatisia, distonia, parkinsonism) : - Turunkan/he ntikan obat
2012
Fase stabilisasi: Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Psikoedukasi keluarga - Intervensi perilaku - Intervensi psikososial - Terapi okupasi/vokasiona l - Pelatihan ketrampilan social - Rehabilitasi Antipsikotik oral Sama dengan di atas Sediaan antipsikotik lain - Haloperidol dekanoat inj - Flufenazin dekanoat inj - Risperidon oral solution - Risperidon long acting inj Penatalaksanaan efek samping neurologis (akatisia, distonia, parkinsonism) : - Turunkan/hentika n obat - Difenhidramin inj 1-2cc (im) - Triheksifenidil 112mg/hari - Propanolol 1030mg/hari - Lorazepam 16mg/hari Sindroma Neuroleptik Malignansi (SNM) : - Hentikan obat 73
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
B
4. A
Gangguan Skizoafektif
2012
- Difenhidrami n inj 1-2cc (im) - Triheksifenidil 1-12mg/hr - Propanolol 10-30mg/hr - Lorazepam 16mg/hr
- Terapi suportif - Perhatikan keseimbangan cairan dan observasi tandatanda vital - Rawat di ICU - Bromokriptin 2.5mg, diberikan 2-3kali/hari, maksimal 30mg/hari - Dantrolen 1mg/kgBB/hari, selama 8 hari - Benzodiazepin 12mg (im)
- Skrining - Kondisi emergensi : Klorpromazin 25-50mg (im) bila tidak ada hipotensi atau Lorazepam (im) 1-2mg - Rujuk ke PPK 2 dg SpKJ/PPK 3 - Terapi pemeliharaan /lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk dr.SpKJ selama 3 bulan untuk selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3
- Skrining - Kondisi emergensi : Klorpromazin 25-50mg (im) bila tidak ada hipotensi atau Lorazepam (im) 1-2mg - Rujuk ke PPK 2 dg SpKJ/PPK 3 - Terapi pemeliharaan /lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk dr.SpKJ selama 3 bulan untuk selanjutnya evaluasi ulang ke PPK 2 atau PPK 3
- Skrining - Diagnosis
- Skrining - Diagnosis
Penatalaksanaa n Sama dengan di atas
Penatalaksanaan Sama dengan di atas
Gelisah/insomni a: - Lorazepam 3x1-2mg
Pasien refrakter : - Terapi kejang listrik (ECT) 3x/minggu - Klozapin 300750mg/hari
GANGGUAN SUASANA PERASAAN Episode - Skrining depresif - Kondisi akut/usaha bunuh diri : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan
- Skrining - Kondisi akut/usaha bunuh diri : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut (jika memungkinka n) - Rujuk ke PPK 3
- Skrining - Diagnosis
Mood stabilizer : - Divalproat 23x250mg - Lithium karbonat 2x400mg
Mood stabilizer : - Divalproat 23x250mg - Lithium karbonat 2x400mg Gelisah/insomnia : - Lorazepam 3x12mg
Indikasi rawat jalan : - Gejala depresi ringan - Fungsi diri baik Indikasi rawat inap : 74
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Kondisi tenang/kronis : terapi pemeliharaan
2012
- Gejala depresi berat - Risiko/usaha bunuh diri - Fungsi diri buruk - Dukungan keluarga buruk Tindakan - Hospitalisasi - Seklusi (isolasi) - Restrain (fiksasi) Farmakologik : Pilihan Antidepresan Fase Akut : - Amitriptilin 2575mg/hari - Maproptilin 25100mg/hari - Imipramin 2575mg/hari - Fluoksetin 1040mg/hari - Sertralin 2550/hari - Duloksetin 4060mg/hari - Venlafaksin 75150mg/hari - Escitalopram 1020mg/hari - Agomelatin 2550mg/hari Fase Lanjutan : Terapi dilanjutkan hingga 6-12 bln Dosis diturunkan perlahan 4-12 mg Non farmakologik : - Psikoterapi suportif - Terapi perilaku kognitif - Terapi interpersonal - Terapi keluarga 75
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
B
Episode manik
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut (jika memungkinka n) - Kondisi tenang/kronis : terapi pemeliharaan
2012
- Psikoedukasi keluarga - Skrining - Diagnosis Fase akut : Tindakan - Hospitalisasi - Seklusi (isolasi) - Restrain (fiksasi) Agitasi akut Antipsikotik injeksi : Pilihan Lini 1 - Olanzapin 12x10mg/hr (im), maksimal 3 hari - Aripiprazol 13x9.75mg/hr (im), maksimal 3 hari Pilihan Lini 2 - Klorpromazin 12x25-50mg (im) - Haloperidol 12x5mg (im) - Diazepam 12x10mg (im) Antipsikotik oral : Pilihan Lini 1 : - Lithium - Karbamazepin - Okskarbamazepin - Asam valproat - Natrium divalproat - Risperidon 28mg/hari - Olanzapin 1030mg/hari - Quetiapin 300800mg/hari - Aripiprazol 1030mg/hari - Klozapin 150600mg/hari Pilihan Lini 2 : 76
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
- Haloperidol 520mg/hari - Klorpromazin 100300mg/hari
C
Gangguan afektif bipolar
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut (jika memungkinka n) Kondisi tenang/kronis : terapi pemeliharaan
Non farmakologik : - Psikoterapi suportif - Terapi perilaku kognitif - Terapi interpersonal - Terapi keluarga - Psikoedukasi keluarga - Skrining - Diagnosis Fase akut : Tindakan - Hospitalisasi - Seklusi (isolasi) - Restrain (fiksasi) Antipsikotik injeksi : Pilihan Lini 1 - Olanzapin 12x10mg/hr (im), maksimal 3 hari - Aripiprazol 13x9.75mg/hr (im), maksimal 3 hari Pilihan Lini 2 - Klorpromazin 12x25-50mg (im) - Haloperidol 12x5mg (im) - Diazepam 12x10mg (im) Episode Mania Akut Pilihan Lini 1 : - Lithium - Divalproat - Olanzapin - Risperidon - Quetiapin - Aripiprazol - Lithium / Divalproat + 77
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
Risperidon - Lithium / Divalproat + Quetiapin - Lithium / Divalproat + Olanzapin - Lithium / Divalproat + Aripiprazol Pilihan Lini 2 : - Karbamazepin - Terapi Kejang listrik (ECT) - Lithium + Divalproat - Paliperidon Pilihan Lini 3 : - Haloperidol - Klorpromazin - Lithium / Divalproat + Haloperidol - Klozapin Tidak direkomendasikan : - Gabapentin - Topiramat - Lamotrigin - Risperidon + Karbamazepin - Olanzapin + Karbamazepin Episode Depresi Akut Pilihan Lini 1 : - Lithium - Lamotrigin - Quetiapin - Lithium / Divalproat + SSRI - Olanzapin + SSRI - Lithium +Divalproat Pilihan Lini 2 : - Quetiapin + SSRI - Divalproat - Lithium / Divalproat + Lamotrigin 78
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
Pilihan Lini 3 : - Karbamazepin - Olanzapin - Lithium + Karbamazepin - Lithium / Divalproat + Venlafaksin - Lithium + MAOI - Terapi kejang listrik - Lithium / Divalproat + TCA - Lithium / Divalproat / Karbamazepin + SSRI + Lamotrigin Fase Stabilisasi : Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Psikoedukasi keluarga - Intervensi perilaku - Terapi okupasi - Intervensi psikososial Gangguan Bipolar I Pilihan Lini 1 : - Lithium - Lamotrigin - Divalproat - Olanzapin - Quetiapin - Lithium / Divalproat + Quetiapin - Risperidon depo - Aripiprazol Pilihan Lini 2 : - Karbamazepin - Lithium + Divalproat - Lithium + Karbamazepin - Lithium / Divalproat + Olanzapin 79
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
- Lithium + Risperidon - Lithium + Lamotrigin - Olanzapin + Fluoksetin Pilihan Lini 3 : Penambahan - Fenitoin - Olanzapin - Terapi kejang listrik - Topiramat - Asam lemak omega 3 - Okskarbazepin Gangguan Bipolar II Episode Depresi Akut : Pilihan Lini 1 : - Quetiapin Pilihan Lini 2 : - Lithium - Lamotrigin - Divalproat - Lithium + Divalproat + antidepresan - Lithium + Divalproat - Antipsikotik atipikal + antidepresan Pilihan Lini 3 : - Antidepresan monoterapi Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Psikoedukasi keluarga - Intervensi perilaku - Terapi okupasi - Intervensi psikososial 5. A
GANGGUAN NEUROTIK, GANGGUAN SOMATOFORM DAN GANGGUAN STRES Gangguan - Skrining - Skrining - Skrining - Skrining Panik - Kondisi akut : - Kondisi akut : - Diagnosis - Diagnosis - Gangguan penanganan penanganan - Penanganan - Penanganan 80
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
panik emergensi tanpa - Rujuk ke PPK 2 agorafobia - Kondisi - Gangguan tenang/kronis panik terapi lanjutan dengan setelah agorafobia penanganan dan - Agorafobia atas petunjuk tanpa SpKJ riwayat gangguan panik
emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
kondisi akut - Terapi lanjutan
2012 kondisi akut
Farmakologik Pilihan gol benzodiazepine - Alprazolam 3x0.52mg/hari - Lorazepam 2x 0.52 mg/hari - Diazepam 2-3x5 mg/hari Pilihan Antidepresan - Golongan SSRI Fluoksetin 10-20 mg/hari Sertralin 25-50 mg/hari
Non farmakologik - Terapi perilaku kognitif - Psikoedukasi - Manajemen ansietas B
Gangguan Ansietas Menyeluruh
- Skrining - Kondisi akut : penanganan emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Kondisi akut : penanganan emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut - Terapi lanjutan
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut Farmakologik Pilihan gol benzodiazepine - Alprazolam 3x0.52mg/hari - Lorazepam 2x 0.52 mg/hari - Diazepam 2-3x5 mg/hari Pilihan Antidepresan - Golongan SSRI Fluoksetin 10-20 mg/hari Sertralin 25-50 mg/hari Pilihan lain : - Buspiron 81
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
- Venlafaxine
C
D
Gangguan Obsesif Kompulsif
Gangguan Stres Pasca Trauma
- Skrining - Kondisi akut : penanganan emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Kondisi akut : penanganan emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut - Terapi lanjutan
- Skrining - Kondisi akut : penanganan emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Kondisi akut : penanganan emergensi - Rujuk ke PPK 2 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut - Terapi lanjutan
Non farmakologik - Terapi perilaku kognitif - Psikoedukasi - Manajemen ansietas Non farmakologik - Terapi perilaku kognitif - Psikoterapi berorientasi tilikan - Psikoedukasi Farmakologik (pilihan) : - Klomipramin 25100mg/hari - Fluoksetin 2060mg/hari - Sertralin 50150mg/hari - Fluvoksamin 100200 mg/hari Non farmakologik - Terapi suportif individu - Psikoedukasi - Latihan relaksasi - Terapi perilaku kognitif Farmakologik Sesuai dengan gejala klinis yang menonjol Gejala cemas : - Klobazam 2x510mg - Lorazepam 12x0.5-1mg Gejala depresi : - Fluoksetin 540mg/hari - Sertralin 12.550mg/hari - Fluvoksamin 25100mg/hari 82
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
- Amitriptilin 2x1025mg - Imipramin 1-2x1025mg
6.
SINDROM PERILAKU YANG BERHUBUNG AN DENGAN GANGGUAN FISIOLOGIK DAN FAKTOR FISIK
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut - Terapi lanjutan
Gejala psikotik : - Haloperidol 2x15mg - Risperidon 2x12mg - Olanzapin 1-2x2.510mg - Quetiapin 50100mg Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Psikoedukasi keluarga - Terapi perilaku - Terapi kognitif perilaku Farmakologik Anticemas - Diazepam - Alprazolam - Lorazepam - Klobazam
7.
GANGGUAN KEPRIBADIA N DAN PERILAKU MASA DEWASA
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut - Terapi lanjutan
8.
RETARDASI MENTAL
- Skrining - Diagnosis - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi
- Skrining - Diagnosis - Kondisi akut : rujuk ke PPK 2/PPK 3 - Kondisi
- Skrining - Diagnosis - Penanganan kondisi akut - Terapi lanjutan
Antidepresan - Amitriptilin - Maproptilin HCl - Imipramin - Klomipramin - Fluoksetin - Sertraline Psikoterapi
Non farmakologik - Psikoedukasi keluarga - Pendidikan tingkah laku intensif 83
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
tenang/kronis terapi lanjutan setelah penanganan dan atas petunjuk SpKJ
2012
- Anjuran ke Sekolah berkebutuhan khusus - Pelatihan kemandirian - Pelatihan ketrampilan Farmakologik Bila ditemukan gejala penyerta - Anti depresan - Anti cemas - Anti psikotik
9. A
GANGGUAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGIK Gangguan - Skrining - Skrining autistik - Rujuk ke PPK - Rujuk ke PPK 2/PPK 3 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga
10. A
Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Terapi perilaku - Terapi okupasi - Terapi wicara
Farmakologik Bila ditemukan gejala penyerta - Anti depresan - Anti psikotik : Risperidon 0,1-0,2 mg/kg/hari (2 kali pemberian po) Aripiprazole 0,10,2 mg/kg/hari (1 kali pemberian po) GANGGUAN PERILAKU DAN EMOSIONAL DENGAN ONSET MASA KANAK DAN REMAJA Gangguan - Skrining - Skrining - Skrining Non farmakologik pemusatan - Rujuk ke PPK - Rujuk ke PPK - Diagnosis - Konseling orang perhatian dan 2/PPK 3 2/PPK 3 tua hiperaktivitas Non - Psikoedukasi farmakologik keluarga - Konseling - Intervensi orang tua keluarga - Psikoedukasi - Intervensi keluarga psikososial - Intervensi - Terapi perilaku keluarga - Intervensi Farmakologik 84
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
psikososial
B
C
Gangguan tempertantr um
Gangguan depresi
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Psikoterapi suportif - Hospitalisasi
D
Gangguan cemas
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Psikoterapi suportif
E
Gangguan akibat persaingan antar saudara
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling orang tua
2012
- Metilfenidat Dosis 0.3-1mg/kg BB dalam dosis terbagi - Anti depresan (SSRI) Fluoksetin 1x5 mg/hari Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Parenting’s skills training
Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Psikoterapi suportif - Terapi keluarga - Hospitalisasi Farmakologik - Anti depresan (SSRI) Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Psikoterapi suportif - Terapi keluarga Farmakologik - Anti depresan (SSRI) - Anti insomnia (Difenhidramin) Non farmakologik - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Konseling perkawinan 85
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
F
Gangguan kelekatan reaktif
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Psikoedukasi keluarga
- Parenting’s skills training
- Skrining - Diagnosis
Non farmakologik - Psikoedukasi keluarga - Psikoterapi suportif - Terapi keluarga - Konseling perkawinan - Parenting;s skills training Non farmakologik - Membatasi minum di malam hari - Toilet training - Psikoterapi suportif - Konseling orang tua
Non farmakologik - Psikoedukasi keluarga - Psikoterapi suportif G
H
I
J
Gangguan enuresis
Gangguan enkoperesis
Gangguan makan
Gangguan gagap
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
2012
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Membatasi minum di malam hari - Toilet training - Psikoterapi suportif - Konseling orang tua - Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Toilet training - Psikoterapi suportif - Konseling orang tua - Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Konseling orang tua - Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Psikoterapi suportif
Farmakologik - Anti depresan (Imipramin) Non farmakologik - Toilet training - Psikoterapi suportif - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga - Terapi perilaku Non farmakologik - Konseling orang tua Konsultasi ke Bagian IK. Anak Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga 86
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
- Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga K
Gangguan tidur
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Rujuk ke PPK 2/PPK 3
- Skrining - Diagnosis Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga
2012
- Terapi wicara Farmakologik (jika perlu) - Anti cemas Non farmakologik - Psikoterapi suportif - Konseling orang tua - Psikoedukasi keluarga
87
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
PENGELOLAAN PENYAKIT GIGI DAN MULUT No
TINDAKAN
PPK 1
PPK 2
1
Eksodontia
Pencabutan gigi dengan : Pencabutan gigi dengan - infeksi : -abses jaringan lunak - Kelainan dan jaringan keras pertumbuhan -untuk keperluan (Impaksi dan perawatan malposisi) orthodontia dan prostodontia - kelainan pertumbuhan (supernumerary) - penyebab fokal infeksi - karies besar yang tidak dapat dirawat secara konservasi
2
Bedah Dento alveolar
Alvelektomi
3
Infeksi Daerah Diagnosis Oromaksilofas Rujuk ke PPK 2 ial Trauma - Kontusio jaringan Orofasial lunak fasial - Luka abrasi fasial - Cedera dentoalveolar - Kelainan kelenjar ludah (Xerostomia) -
4
5
Konservasi
- Karies
dini,
PPK 3
Apikoektomi a. Kista Radikuler b. Kista Periodontal c. Abses Dentoalveolar
Penatalaksanaan infeksi -
Fulnus Fasial Fraktur Mandibula Fraktur maksila Kista rongga mulut Kelainan kelenjar ludah (Sialolithiasis, Sialorrhoea, Sjorgen Sindroma , parotitis epidemica, Sealodenitis Bakterial Akut, Makulicz Sindroma, Sarkoidosis) - Kelainan syaraf kranialis - Kelainan sendi temporomandibular - Bedah Orthognati
media, - arrested caries
- Fraktur Mandibula - Fraktur Maksila kompleks - Neoplasma - Kista rongga mulut - Kelainan congenital - Kelainan kelenjar ludah (Sialolithiasis, Sialorrhoea, Sjorgen Sindroma , parotitis epidemica, Sealodenitis Bakterial Akut, Makulicz Sindroma, Sarkoidosis)
88
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
-
2012
profunda - Atrisi, abrasi dan Perubahan warna erosi eksternal/internal - Abses periapikal Dentin hipersensitif akut/kronis Pulpitis reversible - Kelainan jaringan Nekrosis pulpa periodontal - Kista radikuler
6
Prostodontia
- Overdenture - Pembuatan feeding - Gigi tiruan Intermediat, plate pada celah intermediet, lengkap langit pada bayi imediet, lepasan - Obturator untuk imediet, lengkap akrilik) celah langit dewasa - Protesa hidung, telinga, muka, mata, periodontal - Implan dental
7
Pedodontia
-
8
Periodontia
9
Penyakit Gigi dan Mulut
Gingivitis Hiperplasik gingiva Resesi Gusi Periodontitis - Stomatitis Aptosa - Chemical Burn - Ulkus Traumatikus - Ulkus Dekubitalis - Lingua Geografika / Benign Migratory Glossitis - Denture Sore mouth (Chronic Athropic Candidiasis) - Herpes Labialis
Oral hygiene buruk Caries Ginggivitis Persistensi gigi sulung Akar gigi tertinggal Hiperemi pulpa Pulpitis akut/kronis Persistensi gigi sulung
- Karies mencapai pulpa non vital - Abses akut/kronis dento alveolar - Amelogenesis dan dentinogenesis imperfect
Resesi Gusi Periodontitis
Liken Planus Leukoplakia Karsinoma Sel Skuamosa
89
Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Dinkes Provinsi Jawa Barat
2012
90