Lampiran : Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 7211/Kpts-II/2002 Tanggal : 29 Juli 2002 PEDOMAN PENYUSUNAN MASTER PLAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (MP-RHL) DAERAH I.
PENDAHULUAN
Pedoman Penyusunan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP-RHL) Daerah ini disusun dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom dan memperhatikan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 20/Kpts-II/2001 tahun 2001 tentang Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Pedoman ini menganut prinsip-prinsip pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang telah dimuat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dimaksud, antara lain bahwa RHL harus merupakan kebutuhan masyarakat, pemanfaatan potensi masyarakat lokal, pemahaman struktur penguasaan dan konflik areal, penguatan kelembagaan, cost sharing, daerah aliran sungai (DAS) sebagai unit dasar manajemen, penetapan tujuan sesuai dengan fungsi utama, dukungan informasi, kejelasan wewenang dan tata hubungan kerja, serta meminimumkan kegagalan birokrasi. Dokumen ini disusun berdasarkan karakteristik DAS, dengan memperhatikan kebutuhan daerah dalam era desentralisasi, menjunjung tinggi semangat untuk menuju penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang mengakomodasi partisipasi stakeholder secara berimbang (good governance), dan tanpa meninggalkan kualitas substansi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 20/Kpts-II/2001 telah diuraikan penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dalam pemulihan fungsi ekosistem maupun dampaknya terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Dalam rangka mempercepat pemulihan fungsi ekosistem dan kondisi sosial masyarakat perlu dirumuskan pendekatan yang berbeda dari pendekatan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan pada masa lalu. Pendekatan tersebut disesuaikan dengan semangat penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang mengakomodasi partisipasi stakeholder secara berimbang (good governance) dalam bingkai otonomi daerah. Itu semua menuntut perubahan yang cukup mendasar bagi semua pihak. Oleh karena itu, daerah dituntut untuk lebih siap dalam membangkitkan kapasitas sendiri dalam mengoptimalkan potensi serta menyesuaikan karakteristik wilayah serta kondisi sosiokultural masyarakatnya. Kebijakan otonomi daerah sebagai implementasi UU No. 22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000 memberikan kewenangan luas bagi daerah untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembangunan termasuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Kaitan dengan hal tersebut, perlu diciptakan kesamaan persepsi serta komitmen dari semua pihak terhadap penanganan sumberdaya hutan dan lahan. Salah satu hal mendasar guna menunjang terciptanya kondisi tersebut adalah diketahuinya kondisi dan potensi sumberdaya hutan dan lahan yang tersedia di daerah. Melalui pengenalan kondisi dan potensi wilayah diharapkan terwujud kesamaan persepsi dan visi dari para pihak di daerah terhadap penanganan rehabilitasi hutan dan lahan ke depan. Oleh karena itu, data dan informasi kondisi sumberdaya hutan dan lahan di daerah perlu fasilitasi untuk dilengkapi agar daerah dapat menyusun rencana dengan baik. Penyusunan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP-RHL) Daerah merupakan salah satu cara dalam rangka mewujudkan komitmen bersama tersebut sekaligus mendukung pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang efektif dan efisien (tepat lokasi, tepat sasaran, ekonomis dan bermanfaat) melalui perencanaan yang terintegrasi dan disusun secara partisipatif. Oleh karena itu, MP-RHL Daerah bersifat sangat strategis karena tidak hanya berperan dalam mendukung dan meningkatkan keberhasilan pelaksanaan RHL melalui perencanaan yang terintegrasi, namun juga sebagai salah satu entry point dalam mewujudkan
kesamaan visi dari berbagai pihak di daerah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan ke depan. Pedoman Penyusunan MP-RHL Daerah ini disusun dengan maksud untuk memberikan instrumen bagi daerah guna merealisasikan penyusunan masterplan RHL daerah yang partisipatif, realistik, sesuai dengan kondisi dan karakteristik SDH dan lahan tersedia, serta dapat dilaksanakan secara terkendali. Pedoman ini memuat prinsip dan rambu-rambu umum dalam penyusunan MP-RHL Daerah dan memberikan keleluasaan serta peluang bagi daerah untuk berinisiatif dalam memaksimumkan kekhasan dinamika setempat agar diperoleh hasil guna tertinggi. II.
PENGERTIAN
1. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) 1.1. Rehabilitasi hutan dan lahan adalah segala upaya yang dimaksudkan untuk memulihkan dan mempertahankan fungsi sumber daya hutan dan lahan agar daya dukung dan produktivitas hutan dan lahan serta peranannya sebagai sistem penyangga kehidupan meningkat. 1.2. Tujuan rehabilitasi hutan dan lahan adalah terpulihnya sumberdaya hutan dan lahan yang rusak sehingga berfungsi optimal, memberikan manfaat kepada seluruh stakeholders, menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air Daerah Aliran Sungai (DAS), dan mendukung kelangsungan pembangunan kehutanan. 1.3. Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan pada semua kawasan hutan dan lahan yang kritis dan tidak produktif kecuali pada kawasan cagar alam dan zona inti taman nasional. 1.4. Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik biofisik dan potensi masyarakat. 1.5. Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan dengan pendekatan partisipatif dalam kerangka pengembangan kapasitas masyarakat. 2. Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah 2.1. Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP-RHL) Daerah dalam hal ini adalah rencana makro tingkat Propinsi atau Kabupaten/Kota berjangka lima tahun yang berisi tentang arah, kebijakan dan strategi penanganan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) berdasarkan prinsip-prinsip dan kriteria RHL dan penerapannya dalam wilayah administratif dengan tetap memperhatikan rencana RHL berbasis DAS. 2.2. Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP-RHL) merupakan bagian dari sistem perencanaan kehutanan. 2.3
MP-RHL Daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas, keterpaduan dan keberhasilan RHL di daerah melalui perencanaan RHL yang terintegrasi dengan memperhatikan karakteristik kondisi sumberdaya hutan dan lahan serta prioritas penanganan berdasarkan kriteria yang ditetapkan.
2.4. Secara spesifik MP-RHL Daerah bertujuan menghasilkan arahan makro penyelenggaraan RHL guna memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan produktifitas hutan dan lahan melalui perencanaan dan pelaksanaan RHL yang efektif dan efisien (tepat lokasi, tepat sasaran dan merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat) serta menunjang terwujudnya komitmen dan visi bersama terhadap penanganan sumberdaya hutan dan
lahan. 2.5. Sasaran strategis penyusunan MP-RHL Daerah adalah : a. terciptanya transparasi dan keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan RHL; b. terwujudnya komitmen bersama dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan di daerah; c. terwujudnya kesamaan persepsi, strategi, kelembagaan dan peran parapihak dalam penanganan RHL; d. terwujudnya pelaksanaan RHL yang efektif dan efisien; e. diketahuinya kondisi riil sumberdaya hutan dan lahan daerah; f. tersedianya data dan informasi sumberdaya hutan dan lahan bagi parapihak/investor; g. berkembangnya partisipatif aktif masyarakat. 2.6. Manfaat MP-RHL Daerah : a. sebagai acuan untuk perencanaan lebih detail, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan kegiatan RHL; b. sebagai dasar dalam komitmen bersama penanganan rehabili-tasi hutan dan lahan; c. sebagai acuan dalam perencanaan dan pengalokasian pendanaan RHL; d. sebagai sumber data dan informasi bagi para pihak/investor. 2.7. Meskipun rencana-rencana yang dihasilkan dari MP-RHL Daerah berlaku untuk propinsi atau kabupaten, hal itu tidak boleh mengurangi pertimbangan karakteristik yang dipunyai oleh DAS atau Sub DAS yang bersangkutan. 2.8. DAS merupakan unit analisis dalam penyelenggaraan RHL. DAS adalah daerah tangkapan air yang melayani sistem kehidupan dari berbagai fungsi ekosistem yang terdapat di dalamnya. Sedangkan karakteristik DAS adalah kekhasan suatu daerah tangkapan air berdasarkan bentuk dan sistem lahannya, biofisiknya, maupun kepentingan sosial, budaya, dan ekonomi di dalamnya yang membedakannya dengan DAS yang lain. 2.9. Yang dimaksud dengan daerah dalam pedoman ini adalah propinsi dan atau kabupaten/kota. Sedangkan stakeholder merupakan masyarakat atau kelompok masyarakat, lembaga dan badan hukum baik milik pemerintah maupun masyarakat (swasta) yang berkepentingan baik dalam konteks kepedulian, tanggung jawab, maupun kepatutan dalam menerima manfaat hasil RHL. 2.10. Forum multistakeholder merupakan wadah untuk membangun proses partisipasi dalam pembangunan daerah termasuk penyusunan MP-RHL Daerah. 2.11. Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan dan sasaran penyelenggaraan kehutanan dan disusun berdasarkan aspirasi masyarakat dan parapihak terkait dalam pembangunan kehutanan. 3. Tujuan Pedoman ini disusun agar daerah dapat merealisasikan penyusunan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP-RHL) daerah yang partisipatif, realistik, sesuai dengan karakteristik wilayah, dan dapat dilaksanakan secara terkendali. 4. Penggunaan Pedoman 4.1. Pedoman ini digunakan sebagai perangkat bantu bagi penyelenggara RHL di Propinsi
maupun Kabupaten/Kota agar kepentingan pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan publik dapat ditampung secara sinergis dan harmonis. 4.2. Pedoman ini digunakan sebagai bahan monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyusunan MP-RHL Daerah sehingga tingkat akuntabilitas penyelenggara dan pelaksana rehabilitasi hutan dan lahan tetap terjaga. 4.3
Pedoman ini memuat prinsip-prinsip dan rambu-rambu umum, untuk memberi keleluasaan bagi daerah untuk berinisiatif dalam memaksimumkan kekhasan dinamika setempat agar diperoleh hasil guna tertinggi. III.
DASAR-DASAR PERENCANAAN
1. Komponen Perencanaan 1.1. Dipandang sebagai suatu sistem, perencanaan mempunyai lima komponen yang saling berinteraksi, yakni (1) Kondisi obyek perencanaan yang dihadapi, (2) kondisi yang diharapkan pada akhir periode perencanaan, (3) tingkat pengetahuan dan analisis obyektif yang dikuasai, (4) lembaga perencana, dan (5) rumusan rencana. 1.2. Kondisi obyek perencanaan yang dihadapi diperoleh dari catatan masa lampau (historical record) dan inventarisasi keadaan terkini. Kondisi ini ditetapkan sebagai tolok ukur awal bagi hasil pelaksanaan rencana di akhir periode perencanaan. 1.3
Kondisi yang diharapkan disarikan dari aspirasi dan kebutuhan stakeholders serta dipilih menurut prioritas dan keterlaksanaannya. Kesenjangan antara kondisi sekarang dengan kondisi yang diharapkan digunakan sebagai landasan penetapan tujuan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan di suatu daerah. Dengan kata lain setiap daerah dapat mempunyai rumusan tujuan rehabilitasi hutan dan lahan dengan konteks yang lebih spesifik.
1.4. Tingkat pengetahuan diidentifikasi dari tingkat obyektivitas dan akurasi analisis pada stakeholders. Setiap daerah mempunyai tingkat penguasaan perencanaan masingmasing, sehingga tidak perlu dipaksakan untuk penyusunan masterplan yang rumit. 1.5. Pada proses perencanaan yang partisipatif, lembaga perencana disepakati bersama oleh stakeholders. 1.6. Rumusan rencana merupakan arah, jenis, dan jadwal tindakan yang diperlukan untuk mendekati tujuan. 2. Master Plan Master Plan merepresentasikan rencana makro (mempertimbangkan aspek biofisik, sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan dan sumberdaya manusia, serta sumberdaya pendanaan) pada lingkup RHL, bersifat strategis, dan menjadi acuan bagi rencana-rencana operasional atau rencana tindakan yang disusun berkenaan dengan obyek RHL yang bersangkutan. 3. Model Pendekatan Perencanaan 3.1. Model perencanaan adalah pilihan lembaga perencanaan dalam mengekspresikan pendekatannya terhadap kondisi yang dihadapi, kondisi yang diharapkan, dan penguasaan pengetahuan yang dimiliki stakeholders. Model perencanaan ditengarai dari tiga modus: (1) modus blueprint-process (cetak biru), (2) modus comprehensivenessincremental (menyeluruh vs bertahap), dan (3) modus birokrat-fungsional.
3.2. Modus blueprint-process (cetak biru) merupakan pilihan apakah lembaga perencanaan akan menetapkan rencana yang kaku atau bahkan menetapkan rencana yang setiap saat bisa berubah ketika keadaan atau aspirasi stakeholder berganti. 3.3
Modus comprehensiveness-incremental (menyeluruh vs bertahap) merupakan pilihan apakah lembaga perencana menghendaki semua komponen rehabilitasi hutan dan lahan bergerak bersama untuk memaksimumkan fungsi produksi, sosial dan perlindungan DAS, atau menghendaki sebatas peningkatan pada komponen yang paling prioritas.
3.4. Modus birokrat-fungsional merupakan pilihan apakah lembaga perencanaan menggunakan mekanisme pengambilan keputusan komando atau mekanisme menurut fungsi yang paling prioritas pada kasus RHL yang dihadapi. 4. Perencanaan Partisipatif 4.1. Master plan rehabilitasi hutan dan lahan menerapkan proses perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif yang lengkap merupakan penerapan model perencanaan yang bermodus proses, incremental, dan fungsional. 4.2. Partisipasi dapat diartikan sebagai sikap untuk bekerja bersama dan berperan setara. Perencanaan partisipatif yang lengkap hanya dapat dilakukan ketika tingkat pengetahuan dan komunikasi stakeholders setara. Ini memerlukan sikap stakeholder yang mau menyesuaikan tingkat pengetahuan dan komunikasi terhadap stakeholder lain. 4.3. Tingkat partisipatif terendah adalah diakomodasi-kannya aspirasi stakeholders dalam rehabilitasi hutan dan lahan. 4.4. Lembaga perencana merumuskan tingkat dan proses perencanaan partisipatif di dalam dokumen rencana makro. 5. Efektifitas dan Efisiensi 5.1. Sebagai suatu komponen sistem perencanaan, MP-RHL diharapkan mempunyai tingkat penerimaan dan penerapan yang tinggi. Hal ini ditentukan oleh beberapa faktor kunci, yakni: (1). Rasa memiliki atau sense of belonging dari stakeholders; (2). Sumberdaya perencanaan yang memadai; (3). Realistik. 5.2. Rasa memiliki atau sense of belonging dari stakeholder akan terbentuk apabila MP-RHL berdampak secara nyata terhadap stakeholders. Dampak dimaksud tidak sekedar dalam bentuk fisik saja namun meliputi dampak yang lebih multi dimensional. Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan di daerah akan dapat merasakan dampak dimaksud apabila mempunyai persepsi yang sama mengenai MP-RHL. 5.3. Persamaan persepsi dibangun dengan menjalin suatu ketertautan (institutional crafting) dan kerja bersama (networking) dalam pelaksanaan RHL. Ketertautan yang paling rendah dicerminkan oleh adanya konsultasi melalui contact person yang mewakili stakeholder bersangkutan (communication). 5.4. Sumberdaya perencanaan yang memadai meliputi beberapa jenis sumberdaya, yakni: (1). sumberdaya bio-fisik; (2). sumberdaya manusia; (3). sumberdaya sosial budaya; (4). sumberdaya finansial; (5). sarana-prasarana. 5.5. Perencanaan yang realistik didasarkan pada data dan informasi tentang kondisi aktual di lapangan. Data yang dimaksud meliputi data bio-fisik, data sosial ekonomi,
kelembagaan, dan data pengalaman RHL di masa lampau. 5.6. Perencanaan realistik akan lebih mudah memperoleh dukungan dari stakeholders. MPRHL Daerah akan dirasakan sebagai keputusan dan tanggung jawab bersama para stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan di daerah. 5.7. Sebagai sebuah komponen dari sistem perencanaan kehutanan, MP-RHL diharapkan dapat dijabarkan ke dalam rencana yang lebih teknis dalam penanganan rehabilitasi hutan dan lahan. Rencana teknis tersebut diharapkan sesuai dengan arah pembangunan daerah sehingga potensi setempat dapat dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal. Data dan informasi yang telah tersedia digunakan dalam pengembangan potensi setempat dimaksud. 6. Sumberdaya Perencanaan 6.1. Sumberdaya bio-fisik Sumberdaya bio-fisik meliputi satuan ekosistem daerah aliran sungai (DAS). Perencanaan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan di suatu lokasi harus mempertimbangkan karakteristik DAS sebagai kesatuan ekosistem. 6.2. Sumberdaya manusia Diperlukan sumberdaya manusia dari berbagai bidang keahlian sehingga perencanaan dilakukan oleh tenaga/ SDM yang kompeten. Bidang-bidang keahlian dimaksud meliputi : kehutanan, hidrologi/ DAS, ekonomi sumberdaya, sosial dan ekologi serta sistem informasi manajemen/ Geografis. 6.3. Sumberdaya sosial budaya Sumberdaya sosial budaya masyarakat akan mempunyai peran yang sangat berarti terhadap keberhasilan RHL. Penyusunan rancangan MP-RHL diharapkan mempertimbangkan pengetahuan dan budaya masyarakat yang ada di daerah yang bersangkutan. 6.4. Sumberdaya finansial Diperlukan sumberdaya finansial yang memadai dan berkesinam-bungan yang terkait dengan sistem perencanaan RHL dan pelaksanaan RHL harus didukung oleh pemberlakuan sistem insentif dan perpajakan lingkungan dengan mekanisme serta distribusi beban dan manfaat yang adil. 6.5. Sarana-prasarana Sarana dan prasarana yang memadai untuk perencanaan diharapkan akan menghasilkan rencana yang mendukung pelaksanaan serta inovasi teknologi RHL yang tumbuh di dalam proses RHL. 7. Pengendalian 7.1. Pengelolaan Informasi Informasi RHL dikelola dengan memanfaatkan perangkat keras dan perangkat lunak yang tersedia. Informasi tentang pelaksanaan RHL dan hasil RHL dapat dipertanggungjawabkan secara publik (public accountability). 7.2. Pencatatan dan Komunikasi Pelaksanaan dan hasil pelaksanaan RHL dicatat dan dilaporkan mengikuti sistem informasi DAS. Data dan informasi ini diharapkan dapat mendukung mekanisme monitoring, evaluasi, dan pengendalian RHL secara partisipatif.
7.3. Monitoring Monitoring RHL dikelola menurut fungsi hutan dan lahan. Stakeholder diharapkan berperan dalam monitoring dan pengawasan pelaksanaan RHL. 7.4. Evaluasi Evaluasi hasil RHL dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan. Evaluasi melibatkan stakeholder melalui forum multistakeholder. 7.5. Pengendalian Forum multistakeholder memberikan kesempatan kepada stakeholder untuk berperan di dalam pengendalian RHL. Pengendalian ini dilaksanakan dengan pembangunan mekanisme internal dalam forum. IV. KELEMBAGAAN Pada perencanaan partisipatif diperlukan peran inisiator, fasilitator, media atau forum multistakeholder, lembaga perencana (pelaksana) serta lembaga penjamin legalitas. 1. Inisiator 1.1. Pada dasarnya setiap pihak (stakeholder) berhak untuk mengajukan inisiatif penyusunan MP-RHL. Misalnya, jika di suatu daerah Gubernur atau Bupati/Walikota sudah membentuk lembaga yang mengurusi rehabilitasi hutan dan lahan (Dinas yang mengurusi kehutanan atau Kelompok Kerja RHL), maka lembaga ini dapat mengajukan inisiatif pertama untuk menyusun MP-RHL Daerah. 1.2. Balai Pemantapan Kawasan Hutan (d/h BIPHUT), merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kehutanan yang bertanggung jawab untuk mendorong terbangunnya inisiatif pertama penyusunan MP-RHL Daerah. 1.3. Jika dalam propinsi tertentu tidak terdapat Balai Pemantapan Kawasan Hutan, maka Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (d/h BRLKT) merupakan UPT Departemen Kehutanan yang mengkoordinasikan pengajuan inisiatif pertama penyusunan MP-RHL Daerah. 1.4. Inisiator bertugas untuk mewujudkan proses partisipatif dalam penyusunan MP-RHL Daerah. 2. Fasilitator 2.1. Pada dasarnya setiap pihak (stakeholder) berhak untuk mengajukan diri sebagai fasilitator penyusunan MP-RHL Daerah. Jika di suatu daerah Gubernur atau Bupati/Walikota sudah membentuk lembaga yang menangani rehabilitasi hutan dan lahan (misalnya Dinas yang mengurusi kehutanan atau Kelompok Kerja RHL), maka lembaga ini berperan sebagai fasilitator untuk menyusun MP-RHL Daerah. 2.2. Balai Pemantapan Kawasan Hutan merupakan UPT Departemen Kehutanan yang bertanggung jawab untuk mewujudkan fungsi fasilitasi dalam penyusunan MP-RHL Daerah. 2.3. Jika dalam propinsi tertentu tidak terdapat Balai Pemantapan Kawasan Hutan, maka Balai Pengelolaan DAS bertanggung jawab untuk mewujudkan fungsi fasilitasi penyusunan MP-RHL Daerah.
2.4. Lembaga non-pemerintah dapat mengajukan usulan sebagai fasilitator penyusunan MPRHL Daerah. 2.5. Lembaga donor dapat mengajukan usulan sebagai pendamping fasilitator penyusunan MP-RHL Daerah. 2.6. Fasilitator bertugas untuk memotivasi stakeholders, menyiapkan pertemuan, konsinyasi, menjembatani komunikasi, dan membangun mekanisme resolusi konflik. 3. Forum atau Kelompok Kerja Rehabilitasi 3.1. Forum atau kelompok kerja RHL merupakan lembaga multistakeholder yang dibangun menurut kehendak stakeholders. 3.2. Stakeholders tersusun atas representasi pemerintah daerah, representasi pemerintah pusat yang ada di daerah, masyarakat tempatan, dan komponen sukarela lain (masyarakat usaha, masyarakat akademik, lembaga non-pemerintah, dll). 3.3. Forum atau kelompok kerja RHL menyusun visi, misi dan program kerja dengan memperhatikan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 20/Kpts-II/2001. 3.4. Forum atau kelompok kerja RHL memberikan masukan dalam penetapan organisasi dan mekanisme kerja sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan daerah masing-masing. 3.5. Forum atau kelompok kerja RHL termasuk UPT pusat yang ada di daerah bersama-sama menyusun MP-RHL Daerah. 4. Legalitas MP-RHL Daerah disyahkan oleh Gubernur untuk Tingkat Propinsi dan Bupati/Walikota untuk Tingkat Kabupaten/Kotamadya. 5. Mekanisme Kerja 5.1. Inisiator melakukan inisiasi atau menyelenggarakan kerjasama dengan forum/kelompok kerja RHL untuk memulai penyiapan MP-RHL Daerah. 5.2. Jika tingkat kesetaraan partisipasi daerah tertentu belum cukup, maka Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Balai Pengelolaan DAS bertanggung jawab untuk membangun inisiasi dalam penyusun MP-RHL Daerah. 5.3. Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan atau Balai Pengelolaan DAS setempat bertanggung jawab dalam pembangunan sistem pengelolaan dan diseminasi informasi termasuk catatan selama proses penyusunan MP-RHL Daerah, serta menyiapkan laporan ke pusat (Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan). 5.4. Anggaran yang tersedia pada UPT Departemen Kehutanan merupakan starting capital untuk penyusunan MP-RHL Daerah. Forum atau kelompok kerja RHL termasuk UPT pusat yang ada di daerah dapat menggali dana dari sumber lain yang sah. V. 1. Tahap Inisiasi
TAHAPAN PENYUSUNAN MP-RHL DAERAH
1.1. Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Balai Pengelolaan DAS merupakan UPT Departemen Kehutanan yang bertanggung jawab mewujudkan inisiasi proses identifikasi kelembagaan daerah setempat. Hasilnya adalah keberadaan serta potensi forum atau kelompok kerja multistakeholder. 1.2. Identifikasi lembaga penyusun MP-RHL Daerah dan identifikasi tingkat partisipasi yang realistik dapat diwujudkan di daerah yang bersangkutan, termasuk penetapan stakeholders yang committed dan konsisten. 1.3. Bekerja dalam forum multistakeholder. Pertama kali yang dilakukan oleh forum ini adalah penetapan mekanisme pengambilan keputusan. 1.4. Penetapan Model perencanaan berdasarkan kekhasan dan kapasitas stakeholders. 1.5. Penyusunan rancangan MP-RHL Daerah mengikuti kriteria seperti tercantum pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 20/Kpts-II/2001. Termasuk disini penyiapan workplan (rencana kerja) penyusunan MP-RHL Daerah. 2. Tahap Proses Penyiapan Rencana 2.1. Pengumpulan data bio-fisik, sosial ekonomi, lingkungan, kelembagaan, pasar dan bisnis dengan mengacu kepada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 20/Kpts-II/2001. 2.2. Kompilasi data menurut komponen perencanaan : kondisi saat ini, kondisi yang diharapkan/aspirasi, pengetahuan. 2.3. Analisis perencanaan, menggunakan metoda yang dikuasai oleh stakeholders (SWOT, LOGFRAME, Systems Diagram Matrix, dll). Jika terpaksa gunakan delphi yang sederhana (pemilihan rencana berdasar intuisi kelompok). 2.4. Susun draft akademik MP-RHL Daerah. 2.5. Konsultasi publik terhadap draft akademik MP-RHL Daerah. 3. Prinsip Penyusunan 3.1. Penyelenggaraan RHL pada prinsipnya diselenggarakan atas inisiatif bersama para pihak dengan pemerintah hanya sebagai fasilitator, regulator dan supervisor. 3.2. Penyusunan MP-RHL Daerah mempertimbangkan secara menyeluruh aspek politik, ekosistem, sosial ekonomi, budaya dan kelembagaan serta beberapa prinsip : a. DAS sebagai satuan pengelolaan yang merupakan suatu kesatuan ekosistem; b. Berkesinambungan (multi-years activity); c. Kejelasan wewenang dan tata hubungan kerja antar instansi terkait; d. Pemahaman dan penyesuian penguasaan lahan (tenurial) dan konflik penguasaan lahan; e. Cost sharing antar daerah hulu dan hilir; f. RHL merupakan bagian dari kebutuhan masyarakat untuk memperoleh manfaat sosial, dan ekonomi; g. Partisipatif, transparan, meminimumkan birokrasi; h. Pengelolaan RHL secara swakelola oleh masyarakat atau lembaga masyarakat; i. Akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi.
4. Tahap Finalisasi 4.1. Lakukan komunikasi, advokasi, sosialisasi dan negosiasi dengan Gubernur dan Bupati/Walikota. 4.2. Usahakan pengesahan secepatnya. 4.3. Sosialisasi MP-RHL Daerah yang sah kepada publik. 4.4. Komunikasi dengan pemerintah pusat. VI. TATA CARA PENYUSUNAN MP-RHL DAERAH (2002-2007) Pedoman penyusunan MP-RHL Daerah sebagaimana dikemas dalam BAB I sampai BAB V di atas mengasumsikan bahwa daerah mengambil peran seluas-luasnya di dalam kerangka otonomi dan proses partisipatif sudah dipraktekkan secara nyata. Bagaimanapun juga di beberapa daerah kondisi tersebut belum sepenuhnya dapat dipenuhi, di sisi lain terdapat kepentingan yang mendesak untuk segera menyusun MP-RHL Daerah 2002-2007. Oleh karena itu, bab ini menyajikan pedoman yang relatif lebih rinci yang dapat diacu oleh daerah-daerah yang masih memerlukan arahan yang lebih praktis.
1. Langkah-Langkah 1.1. Balai Pemantapan Kawasan Hutan membentuk tim penyusun MP-RHL Daerah melalui konsultasi dengan Dinas Kehutanan Propinsi. Jika di suatu propinsi tidak terdapat Balai Pemantapan Kawasan Hutan, maka Balai Pengelolaan DAS menggantikan fungsi sebagai UPT yang bertanggung jawab atas penyusunan MP-RHL daerah bersangkutan. Anggota tim sekurang-kurangnya terdiri atas representasi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Balai Pengelolaan DAS, UPT Departemen Kehutanan terkait, Dinas Kehutanan Propinsi/Kabupaten, Bappeda, Biro Lingkungan Hidup atau Bappedal Propinsi/Kabupaten, Pemerintah Kabupaten/Kota dari DAS/Sub DAS bersangkutan. Tim dapat dilengkapi wakil dari masyarakat dan akademisi setempat. 1.2. Tim penyusun MP-RHL Daerah menyiapkan rencana kerja penyusunan MP-RHL Daerah (pengaturan personil, jadwal waktu, penyusunan kuesioner, dll). 1.3. Tim mengumpulkan data serta melakukan survey lapangan. Survey lapangan dilakukan ke beberapa lokasi prioritas terpilih berdasarkan analisa dan kesepakatan Tim dengan memperhatikan kriteria yang telah ditetapkan. 1.4. Tim melakukan analisis perencanaan seperti metode SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threat) atau alat analisis lain yang memadai dan dikuasai. 1.5. Analisis dapat dipercepat jika sudah tersedia dokumen Pola dan atau RTL RLKT dari DAS/Sub DAS yang bersangkutan. 1.6. Pelaksanaan penyusunan MP-RHL Daerah memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan
seperti tertuang pada Bab V.3. 1.7. Lembaga pelaksana RHL pada dasarnya adalah kelompok masyarakat yang dibimbing dan dibina oleh Dinas yang mengurusi kehutanan di tingkat kabupaten. 1.8. Jika terjadi perbedaan diantara anggota tim yang tidak dapat diselesaikan, maka pendapat yang berbeda tersebut didokumentasikan sebagai catatan tersendiri. 1.9. Struktur penulisan dokumen MP-RHL daerah disesuaikan karakteristik dan kepentingan daerah, namun secara umum dapat mengacu kepada outline (butir 4 di bawah). 1.10. Konsultasi publik. Draft MP-RHL Daerah disajikan dalam suatu seminar yang dihadiri oleh wakil pemerintah (pusat dan atau yang ada di daerah), pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota), perwakilan masyarakat dari DAS/Sub DAS terkait, perwakilan LSM, akademisi dan mass media. 1.11. Berdasarkan hasil seminar/workshop tim melakukan revisi terhadap draft MP-RHL menjadi dokumen MP-RHL Daerah. 1.12. Dokumen MP-RHL Propinsi disyahkan oleh Gubernur. 2. Data yang Diperlukan 2.1. Data biofisik, antara lain luas kawasan hutan, keadaan penutupan lahan dalam DAS (misal dari hasil penafsiran citra landsat), iklim, tanah, topografi, hidrografi, dll. Data biofisik hendaknya dilengkapi dengan peta-peta. 2.2. Data sosial ekonomi dan budaya antara lain demografi, tenurial, potensi konflik, perekonomian lokal termasuk pengaruh tengkulak dan cukong, dll. 2.3. Data kelembagaan antara lain kelembagaan pemerintah, kelembagaan masyarakat, kelembagaan LSM, perguruan tinggi, kelembagaan ekonomi, dll. 2.4. Data pengalaman RHL di masa lalu seperti pembangunan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan, kredit usaha tani konservasi, persuteraan alam, perlebahan, rehabilitasi mangrove, rehabilitasi hutan, penghijauan, konservasi tanah, perladangan berpindah, dll. 3. Keluaran MP-RHL Daerah Berdasarkan analisis dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosek, budaya, kelembagaan, dana, SDM, dan pengalaman RHL di masa lalu, maka MP-RHL Daerah sekurang-kurangnya memuat : 3.1. Visi dan misi RHL daerah yang bersangkutan. 3.2. Lokasi prioritas penanganan RHL per kabupaten/DAS/Sub DAS dalam kurun waktu 5 (lima) tahun ke depan dikaitkan dengan prediksi sumber-sumber pendanaan. 3.3. Strategi, kebijakan serta kelembagaan penanganan RHL. 3.4. Rencana aksi RHL menurut jadwal waktu dan lokasi. 4. Outline Pokok MP-RHL Daerah
Berikut disampaikan outline pokok MP-RHL Daerah. Penyesuaian lebih lanjut dimungkinkan berdasarkan kondisi dan kebutuhan daerah dalam rangka memperoleh hasil guna optimal. Kata Pengantar Lembar Pengesahan Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran I.
Pendahuluan
II.
Arah Pembangunan Daerah
III.
Kondisi Kawasan Hutan dan Lahan (per kabupaten/kota dan DAS/Sub DAS)
IV.
Kondisi Yang Diinginkan (sesuai aspirasi dan kebutuhan stakeholder)
V.
Perumusan Isu Strategik
VI.
Perumusan Visi dan Misi RHL Daerah
VII. Strategi, Kebijakan dan Kelembagaan RHL VIII. Perumusan Prioritas Lokasi RHL 2002-2007 (per kab./kota dan DAS/Sub DAS) IX.
Rencana aksi RHL 2002-2007 (per kab./kota dan DAS/Sub DAS)
X.
Penutup (catatan akhir untuk pengembangan MP-RHL Daerah)
Daftar Pustaka Lampiran-Lampiran (peta, dll) MENTERI KEHUTANAN, ttd. MUHAMMAD PRAKOSA
Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Organisasi, ttd. SOEPRAYITNO, SH, MM NIP. 080020023