PEDOMAN PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK BAB 1 PENDAHULUAN
Tujuan umum pemeriksaan fisik adalah untuk memperoleh informasi mengenai status kesehatan pasien. Tujuan definitif pemeriksaan fisik adalah, pertama, untuk mengidentifikasi status “normal” dan kemudian mengetahui adanya variasi dari keadaan normal tersebut dengan cara memvalidasi keluhan-keluhan dan gejala-gejala pasien, penapisan/skrining keadaan well-being pasien, dan pemantauan masalah kesehatan/penyakit pasien saat ini.1
Tidak ada yang absolut mengenai metode yang digunakan dan sistem yang harus dicakup dalam suatu pemeriksaan fisik. Penentuan pilihan dipengaruhi oleh usia pasien, gejala, data fisik dan laboratorium lainnya, serta tujuan pemeriksaan itu sendiri (misalnya, penapisan/screening fisik umum, pemeriksaan fisik spesifik, atau analisis gejala-gejala). Kunjungan berikutnya atau tindak lanjut merupakan kunjungan yang terjadwal untuk mengkaji progresi atau kesembuhan dari suatu masalah atau abnormalitas tertentu).1
Pemeriksaan klinis umum adalah pemeriksaan mengenai tanda-tanda patologis pada tubuh dengan jalan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Keempat cara pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan semua indera dan dibantu oleh alat-alat pemeriksaan yang lazim digunakan dibidang kedokteran.1
Diawal, kita melakukan pemeriksaan-pemeriksaan umum secara berurutan dan sistematis. Untuk pemeriksaan ini perlu dilakukan agar didapat kesan secara umum disamping keluhan yang telah dinyatakan oleh penderita sebelumnya.1,2
Pada pemeriksaan status presens kita lakukan pemeriksaan untuk menetapkan tingkat kesadaran penderita, menetapkan keadaan umum, menetapkan keadaan penyakit, menetapkan keadaan gizi, menetapkan bentuk badan dan habitus, serta menetapkan tanda vital.1,2
BAB 2 TUJUAN
Umum : Tersedianya dukungan sumberdaya kesehatan dan alat kesehatan untuk pemeriksaan fisik diagnostik di puskesmas Khusus : - Tersusunnya pedoman pemeriksaan fisik diagnostik - Memberikan pedoman perencanaan tentang pemeriksaan fisik diagnostik, pengadaan alat kesehatan, dan pengadaan alat pemeriksaan penunjang diagnostik - Dasar pengkajian dalam rencana pengembangan pelayanan puskesmas
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 KESADARAN Kesadaran pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien yang wajar terhadap stimulus visual, auditor maupun taktil. Seorang yang sadar dapat tertidur, tapi segera terbangun bila dirangsang. Bila perlu, tingkat kesadaran dapat diperiksa dengan memberikan rangsang nyeri.2,3
Skala Koma Glasgow Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respons) penderita terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respons tersebut. Tanggapan/respons penderita yang perlu diperhatikan adalah: a. Membuka mata
Nilai
Spontan
4
Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata)
3
Dengan rangsang nyeri (tekan pada saraf supraorbita atau kuku jari)
2
Tidak ada reaksi (dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka mata)
1
b. Respons verbal (bicara) Baik dan tak ada disorientasi (dapat menjawab dengan kalimat yang baik dan tahu 5 dimana ia berada, tahu waktu, hari, bulan) Kacau (“confused”) (dapat berbicara dalam kalimat, namun ada disorientasi waktu 4 dan tempat) Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat dan tidak 3 tepat) Mengerang (tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang)
2
Tidak ada jawaban
1
c. Respons motorik (gerakan) Menurut perintah (misanya disuruh: “angkat tangan!”)
6
Mengetahui lokasi nyeri
5
Reaksi menghindar
4
Reaksi fleksi (dekortikasi)
3
Reaksi ekstensi (deserebrasi)
2
Tidak ada reaksi
1
Bila kita gunakan skala Glasgow sebagai patokan untuk koma, maka koma = tidak didapatkan respons membuka mata, bicara, dan gerakan dengan jumlah nilai = 3.3
Tingkat Kesadaran Kompos mentis, yaitu sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik. Apatis, yaitu keadaan dimana pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya. Delirium, yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-ronta. Somnolen (letargia, obtundasi, hipersomnia), yaitu keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali. Sopor (stupor), yaitu keadaaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal yang baik. Semi-koma (koma ringan), yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respon terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks (kornea, pupil) masih baik. Respon terhadap rangsang nyeri tidak adekuat. Koma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.2,3
3.2 PEMERIKSAAN LEHER Pemeriksaan leher terdiri dari inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Inspeksi: melihat kelainan berupa asimetri, pulsasi-pulsasi, tumor atau pembengkakan dan pembatasan pergerakan. Dengan meregangkan dan pembengkokan leher ke lateral otot-otot sternokleidomastoid menjadi tegang dan membuat batas yang jelas antara triangular anterior dan posterior. Dengan begini pembesaran thyroid, pembesaran kelenjar limfe atau kelainan struktur yang lain menjadi lebih jelas. Leher penderita Turner sindrom dan Klipel sindrom mempunyai karakteristik lipatan-lipatan kulit seperti fan yang terentang ke lateral dari leher ke bahu. Kelainan ini disebut “webbed neck”.1,4 Palpasi: palpasi struktur submandibularis dilakukan dengan meletakkan satu jari didalam mulut. Dasar mulut dan kelenjar ludah submandibular dan kelenjar limfe dapat diraba dengan mudah.
Pada palpasi thyroid yang normal didapatkan satu massa yang licin, keras dan bergerak bila penderita menelan. Pemeriksaan dilakukan dengan cara pemeriksa berdiri dibelakang penderita. Ujung-ujung jari kedua tangan diletakkan pada jaringan thyroid sedangkan trakea memisahkan tangan pemeriksa. Kemudian penderita disuruh menelan dan thyroid menggelincir diantara jarijari tangan pemeriksa memberi kesan tentang besarnya, batasnya dan keras lunaknya thyroid. Pembesaran thyroid dapat disebabkan oleh Graves disease, colloid goiter, cyste thyroid, dll.1,4 Auskultasi: auskultasi thyroid pada Graves disease didapat sistolik bruit. Bruit ini juga didapati pada penyakit jantung dengan cardiac murmur yang dirambatkan melalui a.carotis. sistolik thrill yang synchronous dengan bruit dapat diraba pada beberapa penderita. Thyroid bruit dan thrill hampir pathognomonis Graves disease dan jarang didapati pada colloid goiter dan penyakit thyroid yang lain. Arteri carotis dapat berpulsasi yang disebabkan oleh: -
Aorta insufficiency Anemi Hyperthyroidism Aneurisma a.carotis Kelainan-kelainan jantung seperti: premature contraction dan auricular fibrillation
Pada auskultasi a.carotis bias didapati sistolik bruit yang disebabkan oleh obstruksi karena arterie sclerosis. Tempat auskultasi ini ialah di atas dan di bawah klavikula setentang a.innominate dan subclavicula, kemudian di atas a.carotis dan bifurcation. Kalau didengar desah sistolik harus dibedakan dengan desah aorta.1,2,4
3.3 PEMERIKSAAN THORAX: Sebaiknya pasien diperiksa dalam keadaan duduk. Jika berbaring maka pemeriksaan tidak dapat sempurna dilakukan, sebab paru-paru tidak dapat berkembang dengan sempurna dan bias terjadi asimetris. Selain dari pada itu dengan berbaring maka suara perkusi yang sonor bias menjadi beda.
Inspeksi. Inspeksi adalah pemeriksaan pertama yang dapat dilakukan dengan hanya melihat pasien. Kelainan-kelainan inspeksi toraks dapat berupa:
1 2
Kelainan dinding dada Kelainan bentuk dada
Kelainan dinding dada: Kelainan-kelainan yang bias didapatkan pada dinding dada yaitu parut bekas operasi, pelebaran vena-vena superfisial akibat bendungan vena, spider naevi, ginekomasti tumor, luka operasi, retraksi otot-otot interkostal, dll.
Kelainan bentuk dada: Bentuk toraks dapat normal dan dapat pula tidak normal, yaitu toraks paralitik dan toraks emfisema. Bentuk toraks normal dapat dinilai berupa toraks yang diameter lateral kiri dan kanan lebih besar dari pada diameter antero-posterior dan pergerakan pernafasan iga-iga bagian bawah bergerak ke atas dan lateral.
Dada paralitikum dengan cirri-ciri: - Dada kecil, diameter sagital pendek - Sela iga sempit, iga lebih miring, Angulus costae <90o - Terdapat pada pasien dengan malnutrisi Dada emfisema (Barrel-shape): - Dada mengembung, diameter anteroposterior lebih besar dari diameter latero-lateral - Tulang punggung melengkung (kifosis), Angulus costae>90o - Terdapat pada pasien dengan bronkitis kronis, PPOK Kifosis: kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah anterior. Skoliosis: kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah lateral.
Frekuensi pernapasan: Frekuensi pernafasan normal 14-20x/menit. Pernafasan kurang dari 14x/menit disebut bradipnea, misalnya akibat pemakaian obat-obat narkotik, kelainan serebral. Pernafasan lebih dari 20x/menit disebut takipnea, misalnya pada pneumonia, anksietas, asidosis.
Jenis pernafasan:
Torakal, misalnya pada pasien sakit tumor abdomen, peritonitis umum. Abdominal, misalnya pasien PPOK lanjut. Kombinasi (paling banyak). Pada perempuan sehat umumnya pernapasan torakal lebih dominan dan disebut torako-abdominal. Sedangkan pada laki-laki sehat pernapasan abdominal lebih dominan dan disebut abdomino-torakal. Keadaan ini disebabkan bentuk anatomi dada dan perut perempuan berbeda dari laki-laki. Perhatikan juga apakah
terdapat pemakaian otot-otot bantu pernapasan misalnya pada pasien tuberkulosis paru lanjut atau PPOK. Disamping itu adakah terlihat bagian dada yang tertinggal dalam permapasan, dan bila ada keadaan ini menunjukkan adanya gangguan pada daerah
tersebut. Jenis pernapasan lain yaitu pursed lips breathing (pernapasan seperti menghembus sesuatu melalui mulut, didapatkan pada pasien PPOK) dan pernapasan cuping hidung, misalnya pada pasien pneumonia.
Pola pernapasan:
Pernapasan normal: irama pernapasan yang berlangsung secara teratur ditandai dengan
adanya fase-fase inspirasi dan ekspirasi yang silih berganti. Takipnea: napas cepat dan dangkal. Hiperpnea/hiperventilasi: napas cepat dan dalam. Bradipnea: napas yang lambat. Pernapasan Cheyne Stokes: irama pernapasan yang ditandai dengan adanya periode apnea (berhantinya gerakan pernapasan) kemudian disusul periode hiperpnea (pernapasan mulamula kecil amplitudonya kemudian cepat membesar dan kemudian mengecil lagi). Siklus ini terjadi berulang-ulang. Terdapat pada pasien dengan kerusakan otak, hipoksia kronik. Hal ini terjadi karena terlambatnya respon reseptor klinis medulla otak terhadap
pertukaran gas. Pernapasan Biot (Ataxic breathing): jenis pernapasan ini tidak teratur, baik dalam hal frekuensi maupun amplitudonya. Terdapat pada cedera otak. Bentuk kelainan irama pernapasan tersebut, kadang-kadang dapat ditemukan pada orang normal tapi gemuk
(obesitas) atau pada waktu tidur. Sighing respiration: pola pernapasan normal yang diselingi oleh tarikan napas yang dalam.4,5
Palpasi. Palpasi dinding dada dapat dilakukan pada keadaan statis dan dinamis. 1
Palpasi dalam keadaan statis. Pemeriksaan kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening yang membesar di daerah supraklavikula dapat memberikan petunjuk adanya proses di daerah paru seperti kanker paru.
Pemeriksaan untuk menentukan posisi mediastinum. Posisi mediastinum dapat ditentukan dengan melakukan pemeriksaan trakea dan apeks jantung. Pergeseran mediastinum bagian atas dapat menyebabkan deviasi trakea. Deviasi pulsasi apeks jantung menunjukkan adanya pergeseran mediastinum bagian bawah. Perpindahan pulsasi apeks
2
jantung tanpa disertai deviasi trakea biasanya disebabkan oleh pembesaran ventrikel kiri. Palpasi dalam keadaan dinamis. Pemeriksaan ekspansi paru. Dalam keadaan normal kedua sisi dada harus sama-sama mengembang selama inspirasi biasa maupun inspirasi maksimal. Pengembangan paru
bagian atas dilakukan dengan mengamati pergerakan kedua klavikula. Pemeriksaan vocal fremitus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meletakkan kedua telapak tangan pada permukaan dinding dada, kemudian pasien diminta menyebutkan angka “77” atau “99”, sehingga getaran suara yang ditimbulkan akan lebih jelas.
Pada pemeriksaan kedua telapak tangan harus selalu disilang secara bergantian. Hasil pemeriksaan fremitus ini dilaporkan sebagai normal, melemah, atau mengeras. Fremitus yang melemah didapatkan pada penyakit empiema, hidrotoraks, atelektasis. Fremitus yang mengeras terjadi karena adanya infiltrate pada parenkim paru (misalnya pada pneumonia, tuberculosis paru aktif).4,5
Perkusi. Berdasarkan patogenesisnya, bunyi ketukan yang terdengar dapat bermacam-macam, yaitu: a
Sonor (resonant): terjadi bila udara dalam paru (alveoli) cukup banyak, terdapat paru
b
yang normal; Hipersonor (Hiperresonant): terjadi bila udara didalam paru/dada menjadi jauh lebih banyak, misalnya pada emfisema paru, kavitas besar yang letaknya superficial,
c
pneumotoraks dan bula yang besar; Redup (dull): bila bagian yang padat lebih banyak dari pada udara, misalnya: adanya
d
infiltrate/konsolidasi akibat pneumonia, efusi pleura yang sedang; Pekak (flat/stony dull): terdapat pada jaringan yang tidak mengandung udara didalamnya,
e
misalnya pada tumor paru, efusi pleura massif; Bunyi timpani terdengar pada perkusi lambung akibat getaran udara di dalam lambung.
Pada paru bagian depan dilakukan pemeriksaan perkusi perbandingan secara bergantian kiri dan kanan (zigzag). Dalam keadaan normal didapatkan hasil perkusi yang sonor pada kedua paru. Pemeriksaan lain yang dilakukan pada paru depan adalah perkusi untuk menentukan batas paru hati dan paru lambung.4,5
Batas Paru-Hati Untuk menentukan batas paru hati dilakukan perkusi sepanjang garis midklavikula kanan sampai didapatkan adanya perubahan bunyi dari sonor menjadi redup. Perubahan ini menunjukkan batas antara paru dan hati. Tentukan batas tersebut dengan menghitung mulai dari sela iga ke 2 kanan, dan umumnya didapatkan setinggi sela iga ke 6. Setelah batas paru hati diketahui, selanjutnya dilakukan tes peranjakan antara inspirasi dan ekspirasi. Pertama-tama pasien dijelaskan mengenai apa yang akan dilakukan, kemudian letakkan 2 jari tangan kiri tepat di bawah batas tersebut. Pasien diminta untuk menarik napas dalam dan kemudian ditahan, sementara itu dilakukan perkusi pada 2 jari tersebut. Dalam keadaan normal akan terjadi perubahan bunyi yaitu dari yang tadinya redup kemudian sonor kembali. Dalam keadaan normal didapatkan peranjakan sebesar 2 jari.
Untuk menentukan batas paru lambung dilakukan perkusi sepanjang garis aksilaris anterior kiri sampai didapatkan perubahan bunyi dari sonor ke timpani. Biasanya didapatkan setinggi sela iga ke 8. Batas ini sangat dipengaruhi oleh isi lambung.5
Pada paru belakang dilakukan pemeriksaan perkusi perbandingan secara zigzag. Selanjutnya untuk menentukan batas paru belakang bawah kanan dan kiri dilakukan dengan pemeriksaan perkusi sepanjang garis skapularis kanan dan kiri. Dalam keadaan normal didapatkan hasil perkusi yang sonor pada kesua paru. Scapula sebaiknya dikesampingkan dengan cara meminta pasien menyilang kedua lengannya di dada. Biasanya batasnya adalah setinggi vertebra torakalis 10 untuk paru kiri sedangkan paru kanan 1 jari lebih tinggi.5
Auskultasi. Auskultasi merupakan pemeriksaan yang paling penting dalam menilai aliran udara melalui system trakeobronkial. Pemeriksaan auskultasi ini meliputi pemeriksaan suara napas pokok, pemeriksaan suara napas tambahan, dan jika didapatkan adanya kelainan dilakukan pemeriksaan untuk mendengarkan suara ucapan atau bisikan pasien yang dihantarkan melalui dinding dada. Pola suara napas diuraikan berdasarkan intensitas, frekuensi serta lamanya fase inspirasi dan ekspirasi.
Suara napas pokok yang normal terdiri dari:
Vesikular: suara napas pokok yang lembut dengan frekuensi rendah dimana fase inspirasi langsung diikuti dengan fase ekspirasi tanpa diselingi jeda, dengan perbandingan 3:1. Dapat
didengarkan pada hampir kedua lapangan paru. Bronkovesikular: suara napas pokok dengan intensitas dan frekuensi yang sedang, dimana fase ekspirasi menjadi lebih panjang sehingga hamper menyamai fase inspirasi dan diantaranya kadang-kadang dapat diselingi jeda. Dalam keadaan normal bias didapatkan pada
dinding anterior setinggi sela iga 1 dan 2 serta daerah interskapula. Bronkial: suara napas pokok yang keras dan berfrekuensi tinggi, dimana fase ekspirasi menjadi lebih panjang dari fase inspirasi dan diantaranya diselingi jeda. Terjadi perubahan kualitas suara sehingga terdengar seperti tiupan dalam tabung. Dalam keadaan normal dapat
didengar pada daerah manubrium sterni. Trakeal: suara napas yang sangat keras dan kasar, dapat didengarkan pada daerah trakea. Amforik: suara napas yang didapatkan bila terdapat kavitas besar yang letaknya perifer dan berhubungan dengan bronkus, terdengar seperti tiupan dalam botol kosong.4,5
Suara napas tambahan terdiri dari:
Ronki basah (crackles atau rales): suara napas yang terputus-putus, bersifat nonmusical, dan biasanya terdengar pada saat inspirasi akibat udara yang melewati cairan dalam saluran napas. Ronki basah lebih lanjut dibagi menjadi ronki basah halus dan kasar tergantung besarnya bronkus yang terkena. Ronki basah halus terjadi karena adanya cairan pada bronkiolus, sedangkan yang lebih halus lagi berasal dari alveoli yang sering disebut krepitasi, akibat terbukanya alveoli pada akhir inspirasi. Krepitasi terutama dapat didengar fibrosis paru. Sifat ronki basah ini dapat bersifat nyaring (bila ada infiltrat misalnya pada pneumonia)
ataupun tidak nyaring (pada edema paru). Ronki kering: suara napas kontinyu, yang bersifat musical, dengan frekuensi yang relatif rendah, terjadi karena udara mengalir melalui saluran napas yang menyempit, misalnya akibat adanya secret yang kental. Wheezing adalah ronki kering yang frekuensinya tinggi dan panjang yang biasanya terdengar pada serangan asma.
Bunyi gesekan pleura (Pleural friction rub): terjadi karena pleura parietal dan visceral yang meradang saling bergesekan satu dengan yang lainnya. Pleura yang meradang akan menebal
atau menjadi kasar. Bunyi gesekan ini terdengar pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi. Hippocrates succussion: suara cairan pada rongga dada yang terdengar bila pasien digoyang-
goyangkan. Biasanya didapatkan pada pasien dengan hidropneumotoraks. Pneumotohorax click: bunyi yang bersifat ritmik dan sinkron dengan saat kontraksi jantung, terjadi bila didapatkan adanya udara diantara kedua lapisan pleura yang menyelimuti jantung.5
Teknik Pemeriksaan
Kemungkinan Temuan
Inspeksi toraks dan gerakan napas Frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya Takipnea, bernapas Stokes
hiperpnea,
pernapasan
Cheyne-
Retraksi inspirasi pada area supraklavikular
Terjadi pada penyakit paru obstruktif menahun (PPOM), asma, obstruksi jalan napas atas
Kontraksi inspirasi sternomastoideus
Menandakan kesulitan pernapasan yang berat
Dengarkan pernapasan pasien untuk mengetahui Frekuensi dan irama pernapasan
14-16x/menit pada dewasa
Stridor
Stridor pada obstruksi jalan napas atas akibat benda asing atau epiglotis
Mengi
Mengi ekspirasi pada asma dan PPOM
DADA POSTERIOR4 Teknik Pemeriksaan
Kemungkinan Temuan
Inspeksi dada untuk mengetahui Deformitas atau asimetris
Kifoskoliosis
Retraksi inspirasi abnormal dan interkostal
Retraksi pada obstruksi jalan napas
Gangguan atau kelambanan pernapasan unilateral
gerakan Penyakit yang penyebab dasarnya di paru atau pleura, paralisis nervus frenikus
Palpasi dada untuk mengtahui Area nyeri tekan
Fraktur iga
Abnormalitas yang terlihat
Massa, saluran sinus
Ekspansi dada
Gangguan, kedua sisi pada PPOM dan penyakit paru restriktif
Fremitus taktil ketika pasien mengatakan “aa” Peningkatan atau penurunan local atau umum atau “uu” Perkusi dada pada area yang digambarkan, dengan membandingkan satu sisi dengan sisi yang lain pada tinggi yang sama, dengan menggunakan “pola berjenjang” sisi ke sisi
Bunyi pekak terjadi bila cairan atau jaringan padat menggantikan bagian paru yang normalnya terisi udara; bunyi hiperresonan pada emfisema atau pneumotoraks
Identifikasi tingkat kepekaan diafragmatik Efusi pleura atau paralisis diafragma pada setiap sisi dan perkirakan penurunan meningkatkan tingkat kepekakan bunyi yang diafragmatik ditimbulkan Dengarkan dada menggunakan stetoskop dengan pola berjenjang dari sisi ke sisi Evaluasi bunyi napas
Bunyi napas vesikular, bronkovesikular, atau bronchial; penurunan bunyi napas akibat berkurangnya aliran udara
Perhatikan setiap bunyi tambahan (adventisius)
Crackles (halus dan kasar) dan bunyi yang kontinu (mengi dan ronki)
Intensitas Relatif, Nada, dan Durasi
Tinggi Contoh
Datar
Halus/tinggi/pendek
Efusi pleura yang luas
Pekak
Sedang/sedang/sedang
Pneumonia lobaris
Resonan
Keras/rendah/panjang
Paru normal, bronchitis kronis yang sederhana
Hiperesonan
Lebih keras/lebih lebih panjang
Timpani
Keras/tinggi
Temuan Fisik pada Gangguan Dada Tertentu4,5
rendah/ Emfisema, pneumotoraks Pneumotoraks yang luas
Trakea
Bunyi Napas
Bunyi Suara Bunyi Tambahan yang Ditransmisikan
Di garis Resonansi tengah
Normal
Normal
Tidak ada, atau mengi, ronki, crackles
Di garis Resonansi Kiri tengah
Normal
Normal
Crackles pada inspirasi akhir di paru bagian bawah, kemungkinan mengi Crackles pada akhir inspirasi
Bronkitis Kronis Gagal Jantung (dini)
Nada Perkusi
Konsolidasi
Di garis Pekak tengah
Bronkial
Meningkat
Atelektasis (lobaris)
Mungkin Pekak bergesar ke depan (tertarik)
Biasanya tidak ada
Biasanya tidak Tidak ada ada
Efusi pleura Mungkin (luas) bergeser menjauh
Pekak
Menurun Menurun Biasanya tidak sampai tidak sampai tidak ada; terdengar terdengar kemungkinan gesekan pleura
Pneumotorak s
Mungkin bergeser menjauh
Hiperesonansi atau timpani
Menurun Menurun Kemungkinan sampai tidak sampai tidak gesekan pleura terdengar terdengar
PPOM
Di garis Hiperesonansi tengah
Menurun Menurun sampai tidak terdengar
Tidak ada kecuali juga ada bronchitis
Asma
Di garis Resonansi tengah sampai hiperesonansi
Mungkin Menurun tersamar oleh bunyi mengi
Mengi, mungkin crackles
3.4 PEMERIKSAAN FISIK JANTUNG Letak topografi jantung adalah 2/3 bagian jantung terletak di rongga dada kiri dan 1/3 sisanya terletak disebelah kanan. Di bagian bawah berbatas langsung dengan diafragma. Dalam melakukan pemeriksaan fisis jantung diperlukan patokan berupa garis-garis dan titik-titik tertentu.
Garis-garis Patokan adalah sebagai berikut:
Garis mid sterna, yaitu garis tengah yang ditarik mulai dari manubrium sterni sampai
processus xyphoideus. Garis sterna adalah garis yang melalui titik-titik batas antara sternum dengan tulang rawan
iga, dari atas ke bawah dan didapatkan kiri dan kanan. Garis midclavicular didapatkan kiri dan kanan. Mula-mula diraba keseluruhan tulang klavikula. Kemudian ditentukan titik tengahnya. Dari titik tengah ini ditarik garis lurus ke
caudal. Biasanya pada pria normal garis midclavicula ini melewati papilla mammae. Garis parasternal adalah garis paralel dengan garis midclavicula yang ditarik dari titik tengah
jarak antara garis midclavicula dengan garis sternal. Garis aksila anterior adalah garis yang ditarik melalui tepi lipat ketiak anterior, kearah
kaudal. Garis aksila posterior adalah garis yang ditarik melalui tepi ketiak posterior kearah kaudal. Garis mid aksila adalah garis di tengah antara garis aksila anterior dan garis aksila posterior.6
Titik-titik Patokan:
Angulus Ludovici adalah perbatasan antara manubrium sterni dan korpus sterni, yang bila diraba terasa menonjol. Titik ini merupakan perlengketan antara tulang iga II dengan sternum. Titik ini dipakai juga sebagai patokan dalam mengukur tekanan vena jugularis
eksterna. Area apeks: terletak di sela iga V sekitar 2 jari medial dari garis midklavikula kiri. Titik ini merupakan titik lokasi untuk auskultasi katup mitral, karena bunyi jantung dari katup mitral
paling optimal terdengar di titik tersebut. Area trikuspidal: terletak di sela iga IV-V sterna kiri dan di sela iga IV-V sterna kanan. Titik
ini merupakan titik lokasi untuk auskultasi katup trikuspidal. Area septal terletak di sela iga III sterna kiri merupakan titik auskultasi optimal untuk mendengarkan bising akibat aliran shunt di septum karena terdapat defek, yaitu pada ASD
dan VSD. Area pulmonal terletak di sela iga II garis sterna kiri merupakan titik auskultasi optimal
untuk bunyi jantung katup pulmonal. Area aorta terletak di sela iga II garis sterna kanan merupakan titik auskultasi optimal untuk bunyi jantung aorta.
Titik carotis setinggi processus thyroideus kiri dan kanan untuk mendengarkan bila ada bising yang menjalar dari katup aorta.
Pada area-area apeks, tricuspidal, pulmonal, dan aorta dapat dilihat pulsasi yang berlebihan, getaran (thrill), gerakan-gerakan dinding jantung abnormal yang teraba.4,6
Inspeksi Secara umum hal-hal yang berkaitan dengan akibat penyakit jantung harus diamati, missal tampak capai, kelelahan akibat cardiac output rendah, frekuensi napas meningkat, sesak yang menunjukkan adanya bendungan paru atau edema paru. Sianosis sentral dengan clubbing finger dan kaki berkaitan dengan adanya aliran shunt kanan ke kiri. Begitu juga dengan ada tidaknya edem. Khusus inspeksi pada organ jantung adalah dengan melihat pulsasi di area apeks, trikuspidal, pulmonal, aorta. Palpasi Dengan mempergunakan ujung-ujung jari atau telapak tangan, tergnatung rasa sensitivitasnya, meraba area-area apeks, trikuspidal, septal, pulmonal, dan aorta. Yang diperiksa adalah:
Pulsasi. Thrill yaitu getaran yang terasa pada tangan pemeriksa. Hal ini dapat teraba karena adanya bising yang minimal derajat 3. Dibedakan thrill sistolik atau thrill diastolic tergantung di fase
mana berada. Heaving yaitu rasa gelombang yang kita rasakan di tangan kita. Hal ini karena overload
ventrikel kiri, misal pada insufisiensi mitral. Lift yaitu rasa dorongan terhadap tangan pemeriksa. Hal ini karena adanya peningkatan
tekanan di ventrikel, misal pada stenosis mitral. Ictus cordis yaitu pulsasi di apeks. Diukur berapa cm diameter, dimana normalnya adalah 2 cm dan ditentukan lokasinya yang biasanya terletak pada 2 jari medial dari garis midclavicula kiri.6
Perkusi Dengan perkusi dapat ditentukan batas-batas jantung, pinggang jantung dan contour jantung.
Batas Jantung Kanan
Mula-mula ditentukan lebih dahulu titik tengah garis midclavicula kanan. Jari-jari tangan kanan diletakkan sejajar dengan iga. Kemudian dilakukan perkusi mulai dari titik tengah tadi, dari cranial kearah caudal. Suara normal yang didapat adalah bunyi sonor yang berasal dari paru. Perkusi diteruskan sampai timbul suara redup, biasanya pada sela iga VI kanan. Bunyi redup ini adalah berasal dari batas antara paru dan puncak hati. Puncak hati ini ditutupi oleh diafragma dan masih ada jaringan paru di atas jaringan puncak hati itu, sehingga terdapat gabungan antara massa padat dan sedikit udara dari paru. Setelah didapat titik batas sonor redup, diukur 2 jari kearah cranial. Pada titik yang baru ini diletakkan kembali telapak tangan dan jari-jarinya diposisikan dengan arah jari tegak lurus terhadap iga. Kemudian dilakukan perkusi kearah medial untuk mencari perubahan suara dari sonor ke redup yang merupakan batas relative kanan jantung dan normal adalah pada garis sterna kanan. Dari titik batas ini selanjutnya dilakukan perkusi sampai mendapat suara pekak, yang merupakan batas absolute jantung kanan, biasanya pada garis midsternal.6 Batas Jantung Kiri Mula-mula ditentukan garis aksila anterior kiri. Bila terdapat pembesaran jantung ke kiri, perkusi dapat dimulai dari garis aksila medial. Kemudian jari tengah kiri diletakkan pada titik teratas garis aksila anterior dengan arah jari sejajar dengan iga. Perkusi dari kranial ke kaudal untuk mencari perubahan bunyi dari sonor ke tympani yang merupakan batas paru-lambung, biasanya pada sela iga VIII kiri. Dari titik ini diukur 2 jari ke arah cranial. Dari titik yang baru ini, dilakukan perkusi lagi ke arah medial dengan posisi jari kiri tegak lurus terhadap iga, sampai timbul perubahan suara dari sonor ke redup, yang merupakan batas relative jantung kiri dan biasanya terletak pada 2 jari medial garis mid klavikula kiri. Perkusi diteruskan ke medial, sampai terjadi perubahan suara dari redup ke pekak yang merupakan batas absolute jantung kiri. Pada keadaan emfisema paru, batas-batas jantung absolut akan mengecil.6
Batas Jantung Atas Tentukan garis sterna kiri lebih dulu. Dari titik teratas dilakukan perkusi dengan arah sejajar iga kearah kaudal, sampai terjadi perubahan suara dari sonor ke redup. Normal adalah sela iga II kiri.
Pinggang Jantung Ditentukan lebih dulu garis parasternal kiri. Kemudian dilakukan perkusi kearah kaudal mulai dari titik teratas garis tersebut, dengan posisi jari tengah sejajar iga. Yang dicari adalah perubahan bunyi sonor-redup. Batas ini normal terletak pada sela iga III kiri.
Auskultasi: Lokasi titik pemeriksaan auskultasi adalah:
Apeks untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup mitral Sela iga IV-V sterna kiri dan sela iga IV-V kanan untuk mendengarkan bunyi jantung yang
berasal dari katup trikuspidal Sela iga III kiri untuk mendengarkan bunyi patologis yang berasal dari septal bila ada
kelainan yaitu ASD atau VSD. Sela iga II kiri untuk mendengarkan bunyi jantung yang berasal dari katup pulmonal. Sela iga II kanan untuk mendengarkan bunyi jantung yang berasal dari katup aorta. Arteri karotis kanan dan kiri untuk mendengarkan bila ada penjalaran bising dari katup aorta ataupun kalau ada stenosis di arteri karotis sendiri.4,6
Bunyi jantung (BJ) normal terdiri atas bunyi jantung I dan II. Di area apeks dan trikuspidal BJ I lebih keras daripada BJ II. Sedangkan di area basal yaitu pulmonal dan aorta, BJ I lebih lemah daripada BJ II. BJ I merupakan suara yang dihasilkan dari penutupan katup-katup mitral dan trikuspidal, sedangkan BJ II adalah karena menutupnya katup-katup aorta dan pulmonal. Untuk menentukan yang mana BJ I adalah dengan meraba arteri radialis atau arteri karotis atau iktus kordis, dimana BJ I sinkron dengan denyut nadi arteri-arteri tersebut atau dengan denyut iktus kordis. Fase antara BJ I dan BJ II disebut fase sistolik, sedangkan fase antara BJ II dan BJ I disebut fase diastolik. Fase sistolik lebih pendek daripada fase diastolik.
Bunyi Jantung Tambahan
Bunyi jantung III yaitu jantung yang terdengar tidak lama sesudah BJ II, 0.14-0.16 sek dan didengar pada area apeks. BJ III ini berintensitas rendah, merupakan bunyi yang dihasilkan karena aliran darah yang mendadak dengan jumlah banyak dari atrium kiri ke ventrikel kiri,
pada permulaan fase diastolik. Biasanya terdapat pada kasus insufisiensi mitral. Bunyi jantung IV yaitu bunyi jantung yang terdengar sesaat sebelum BJ I, yang juga dapat didengar di apeks, merupakan bunyi akibat kontraksi atrium yang kuat dalam memompakan darah ke ventrikel. Hal ini terjadi karena terdapat bendungan di ventrikel sehingga atrium harus memompa lebih kuat untuk mengosongkan atrium. Biasanya didapat pada kasus gagal
jantung. Split BJ II yaitu BJ II terpecah dengan intensitas yang sama dan jarak keduanya dekat. Hal ini terjadi karena penutupan katup-katup pulmonal dan aorta tidak jatuh bersamaan sehingga tidak sinkron. Perbedaan ini terjadi karena ventrikel kanan misal lebih besar sehingga katup pulmonal menutup lebih lambat. Misal terjadi pada kasus ASD.
Opening snap yaitu terbukanya katup mitral yang kaku dengan mendadak, sehingga terdengar bunyi dengan intensitas tinggi sesudah BJ II. Didapat pada kasus stenosis mitral. Makin dekat jarak opening snap dengan BJ II, makin berat derajat MS, berkisar antara 0.04-
0.12 s. Aortic click adalah bunyi yang dihasilkan karena katup aorta yang membuka secara cepat dan
didapat pada kelainan stenosis aorta. Pericardial rub didapat pada kasus perikarditis konstrktiva, terjadi gesekan antara perikard lapis visceral dan lapis parietal. Bunyi ini tidak dipengaruhi oleh pernapasan. Bunyinya kasar dan dapat didengar di area trikuspidal dan apikal dan bias terdengar pada fase sistolik atau diastolik atau keduanya.6
Irama Jantung
Normal adalah regular, dengan denyut jantung berkisar antara 60-100 per menit. Irregular: terdengar ekstra sistol, yaitu irama dasarnya regular tetap diselingi oleh denyut jantung ekstra. Irama dasarnya memang sudah tidak teratur, yaitu pada kelainan aritmia
fibrilasi atrial. Irama gallop (derap kuda). Irama jantungnya cepat dan bunyi-bunyi jantungnya terdiri atas 3 atau 4 komponen, yaitu terdiri dari BJ I – BJ II dan BJ III atau terdiri atas BJ IV – BJ I – BJ II atau keduanya yaitu BJ IV – BJ I – BJ II – BJ III. Biasanya dapat didengar di apeks dan terdapat pada kasus gagal jantung.4,6
Bising Jantung Pada tiap kali melakukan auskultasi pada titik-titik area harus diperhatikan apakah ada bising jantung. Bila ada bising, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Terletak di fase manakah bising tersebut, yaitu dengan menentukan terlebih dahulu yang
mana BJ I dan setelah itu ditentukan letak bising tersebut. Bagaimana kualitas bising tersebut, yaitu apakah: Kasar seperti ada gesekan yang sering disebut rumble dan biasanya didapat pada kasus stenosis mitral sebagai bisisng diastolik. Sekaligus ditentukan posisi bising diastolik tersebut, apakah: early-, mid diastolik atau pra sistolik. Dicari juga bunyi jantung tambahan opening snap dan biasanya BJ I mengeras. Kelainan ini didapat pada stenosis mitral. Halus seperti angin bertiup dan biasanya mengisi fase sistolik. Tentukan posisi letak bising, yaitu early-, late sistolik ataupun pan (holo)
sistolik. Pan sistolik bising sering didapat pada kelainan insufisiensi mitral, disini juga BJ I melemah dan cari juga apakah ada BJ III. Type ejection yaitu bising dengan nada keras, karena dipompakan melalui celah yang sempit. Didapat pada kasus stenosis aorta. Continous murmur yaitu bising yang terdengar terus menerus di fase sistolik dan fase diastolik,
didapatkan pada kasus PDA (Patent Ductus Arterious). Punctum maksimum bising jantung harus ditentukan, missal pada apeks, trikuspidal, ataupun lainya. Bila pada apeks kurang keras, missal karena obesitas, pasien dapat dimiringkan ke kiri, sehingga bising jantung dapat terdengar lebih jelas. Untuk trikuspidal, supaya lebih jelas, pasien disuruh bernapas dalam (inspirasi) kemudian tahan. Bising jantung akan terdengar lebih keras pada inspirasi dan pada ekspirasi bising akan melemah. Untuk mendengar bising di katup aorta dan pulmonal, pasien disuruh duduk dengan stetoskop tetap
di lokasi. Penjalaran harus diperhatikan. Misal pada kasus insufisiensi mitral akan terjadi penjalaran ke lateral dan aksila. Sedangkan pada kasus Mitral valve prolapse (MVP) tidak terjadi penjalaran bising. Pada kasus dengan kelainan katup aorta akan menjalar ke arteri carotis,
sehingga perlu dilakukan auskultasi pada karotis. Derajat intensitas bising terdapat 6 tingkat, yaitu: Derajat 1 terdengar samar-samar. Derajat 2 terdengar halus. Derajat 3 terdengar jelas dan agak keras. Derajat 4 terdengar keras. Dapat juga dengan cara telapak tangan pemeriksa diletakkan missal di apeks kemudian dapat didengar dengan stetoskop yang diletakkan pada punggung telapak tangan tersebut. Derajat 5 terdengar sangat keras. Dpat dilakukan dengan cara telapak tangan pemeriksa diletakkan di apeks, kemudian stetoskop diletakkan di lengan bagian bawah dan bising jantung masih terdengar. Derajat 6 sudah terdengar meskipun stetoskop tidak diletakkan di dinding dada.4,6
Khusus untuk bising sistolik perlu diperhatikan bahwa tidak semuanya akibat dari kelainan organik katup jantung. Ada kemungkinan karena over volume misal pada anemia berat, perempuan hamil. Biasanya bising sistolik ini halus dan terdengar pada semua ostia. Pembesaran ventrikel, biasanya pada ventrikel kanan terjadi dilatasi sekunder karena stenosis mitral, terjadi pelebaran annulus trikuspidal sehingga akan terdengar arus regurgitasi pada katup trikuspidal. Pada tumor miksoma yang menutupi katup mitral akan menyebabkan bising diastolik.6
Teknik-teknik Pemeriksaan4 Vena Jugularis Identifikasi pulsasi vena jugularis dan titik tertingginya di leher. Kepala tempat tidur harus mulai ditinggikan dengan sudut 300, sesuaikan sudut tempat tidur dengan kebutuhan. Pelajari gelombang denyut vena. Perhatikan Tidak adanya gelombang a pada fibrilasi adanya gelombang a pada kontraksi atrium dan atrium; gelombang v menonjol pada regurgitasi gelombang v pada pengisian vena. trikuspidal. Ukur tekanan vena jugularis jarak vertical Peninggian JVP pada gagal jantung kanan, antara titik tertinggi dan sudut sternal, penurunan JVP pada hipovolemia karena dehidrasi atau perdarahan gastrointestinal. normalnya kurang dari 3-4 cm.
Inspeksi dan Palpasi dada interior untuk adanya susah mengembangkan dada, henti gerakan, atau thrill.4 Identifikasi impuls apical. Miringkan pasien ke kiri. Catat: Letak impuls
Bergeser ke kiri pada wanita hamil.
Diameter
Peningkatan diameter, amplitude, dan durasi pada dilatasi ventrikel kiri karena gagal jantung kongestif atau kardiomiopati iskemik.
Amplitudo
biasanya seperti ketukan.
Terus-menerus pada hipertrofi ventrikel kiri; menyebar pada gagal jantung kongestif.
Durasi Raba impuls ventrikel kanan pada parasternum Kuatnya impuls diduga pembesaran ventrikel kiri dan area epigastrik. kanan. Palpasi interkostal kanan dan kiri dekat dengan Pulsasi pembuluh darah besar, S2 yang sternum. Catat adanya thrill pada area ini. menonjol; thrill pada stenosis aorta atau pulmonal.
Auskultasi Bunyi Jantung4 Temuan
Kemungkinan Penyebab
Peningkatan bunyi S1
Takikardia, keadaaan curah jantung yang tinggi; stenosis mitral
Penurunan bunyi S1
Blok jantung derajat satu, penurunan kontraktilitas ventrikel kiri; katup mitral imobil, seperti pada regurgitasi mitral
Klik sistolik
Prolaps katup mitral
Peningkatan bunyi S2 pada antar iga ke- Hipertensi sistemik, dilatasi radiks aortic 2 kanan Bunyi S2 menurun atau tidak terdengar Katup mitral imobil, seperti pada stenosis aortic pada antar iga ke-2 kanan kalsifik Peningkatan P1
Hipertensi pulmonal, arteri pulmonal dilatasi, defek septum atrium
Peningkatan P2 menurun atau tidak Proses penuaan, stenosis pulmonal terdengar Opening snap
Stenosis mitral
Bunyi S3
Fisiologis (biasanya pada anak-anak dan dewasa muda); gagal miokardial patologis, beban volume ventrikel, seperti pada regurgitasi mitral
Bunyi S4
Pengondisian fisik yang sangat baik (atlet yang terlatih); tahanan terhadap pengisian ventrikel karena menurunnya komplian paru, seperti pada penyakit jantung hipertensif atau hipertrofi ventrikel kiri
Gradasi Bunyi Murmur4,6 Derajat
Deskripsi
Derajat 1
Sangat redup, terdengar hanya bila pendengar “mendengarkan dengan cermat”; mungkin tidak terdengar pada semua posisi
Derajat 2
Tidak terdengar, tetapi segera terdengar setelah meletakka stetoskop di dada
Derajat 3
Keras sedang
Derajat 4
Keras, dengan thrill teraba
Derajat 5
Sangat keras, disertai thrill. Mungkin terdengar ketika stetoskop sebagian menempel di dada
Derajat 6
Sangat keras, disertai thrill. Mungkin terdengar dengan stetoskop tidak menempel di dada
Pulsus Alternans4 Raba nadi untuk adanya perubahan amplitude. Turunkan manset tekanan darah perlahan sampai ke tingkat sistolik sambil mendengarkan dengan stetoskop si atas arteri brakialis.
Perubahan amplitude nadi atau bunyi Korotkoff ganda yang tiba-tiba menandakan pulsus alternans yakni suatu tanda gagal ventrikel kiri.
Denyut Paradoksikal4 Kurangi tekanan manset tekanan darah secara Nilai yang menurun tajam, yang lebih besar 10 perlahan dan perhatikan dua tingkat tekanan: mmHg selama inspirasi, merupakan tanda denytu paradoksikal. Pertimbangkan adanya (1) di mana bunyi Korotkoff tedengar pertama penyakit paru obstruktif, tamponade kali, dan (2) kapan bunyi tersebut terdengar pericardial, atau perikarditis konstriktif. menetap pertama kali sepanjang siklus pernapasan. Perbedaan tingkat ini normalnya tidak lebih dari 3-4 mmHg.
3.5 PEMERIKSAAN ABDOMEN Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kepala rata atau dengan satu bantal, dengan kedua tangan di sisi kanan-kirinya. Sebaiknya kandung kencing dikosongkan dulu sebelum pemeriksaan dilakukan. Pemeriksaan abdomen ini terdiri dari 4 tahap yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan ausklutasi.1,7
Pemeriksaan Inspeksi
Pemeriksaan ini yaitu melihat perut baik bagian depan ataupun belakang (pinggang). Pada pemeriksaan tahap awal ini diperhatikan secara inspeksi kelainan-kelainan yang terlihat pada perut seperti jaringan parut karena pembedahan, asimetri perut yang menunjukkan adanya masa tumor, striae, vena yang berdilatasi. Cari kaput medusa (aliran berjalan keluar dari umbilikus) atau obstruksi vena kava inferior, peristalsis usus, distensi dan hernia. Pada keadaan normal terlentang, dinding perut terlihat simetris. Bial ada tumor atau abses atau pelebaran setempat lumen usus membuat perut terlihat tidak simteris. Bila terlihat gerakan peristaltik usus maka dapat dipastikan adanya hiperperistaltik dan dilatasi sebagai akibat obstruksi lumen usus. Obstruksi lumen usus ini dapat disebabkan macam-macam kelainan antara lain tumor, perlengketan, strangulasi dan skibala. Pada keadaan patologis, perut membuncit disebabkan oleh ileus paralitik, ileus obstruktif, meteorismus, asites, kistoma ovarii, dan kehamilan. Pada kulit perut perlu diperhatikan adanya sikatriks akibat ulserasi pada kulit atau akibat operasi atau luka tusuk. Adanya garis-garis putih sering disebut striae alba yang dapat terjadi setelah kehamilan atau pada pasien yang mulanya gemuk atau bekas asites. Striae kemerahan dapat terlihat padan sindrom Cushing. Pulsasi arteri pada dinding perut terlihat pada pasien aneurisma aorta atau kadang-kadang pada pasien yang kurus, dan dapat terlihat pulsasi pada epigastrium pada pasien insufisiensi katup trikuspidalis. Kulit perut menjadi kuning pada berbagai macam ikterus. Adakala ditemukan garis-garis bekas garukan yang menandakan pruritus karena ikterus atau diabetes mellitus. Pelebaran vena terjadi pada hipertensi portal. Pelebaran di sekitar umbilicus disebut kaput medusa yang terdapat pada sindrom Banti. Pelebaran vena akibat obstruksi vena kava inferior terlihat sebagai pelebaran vena dari daerah inguinal ke umbilicus, sedang akibat obstruksi vena kava superior aliran vena ke distal.7
Pemeriksaan Palpasi Palpasi dilakukan secara sistematis, perhatikan ekspresi wajah pasien selama pemeriksaan palpasi. Cari apakah ada pembesaran masa tumor, apakah hati, limpa dan kandung empedu membesar atau teraba. Periksa apakah ginjal, ballottement positif atau negatif. Palpasi dilakukan dalam 2 tahap, yaitu palpasi permukaan (superficial) dan palpasi dalam (deep palpation). Palpasi dapat dilakukan dengan satu tangan ataupun dua tangan (bimanual), terutama pada pasien gemuk. Palpasi superficial: posisi tangan menempel pada dinding perut. Umumnya penekanan dilakukan oleh ruas terakhir dan ruas tengah jari-jari, bukan dengan ujung jari. Palpasi dalam: palpasi dalam dipakai untuk identifikasi kelainan/rasa nyeri yang tidak didapatkan pada palpasi superficial dan untuk lebih menegaskan kelainan yang didapat pada palpasi superficial, dan yang terpenting yaitu untuk palpasi organ spesifik misalnya palpasi hati, limpa, ginjal.
Perinci nyeri tekan abdomen antara lain berat ringannya, lokasi nyeri yang maksimal, apakah ada tahanan (peritonitis), apakah ada nyeri rebound bila tak ada tahanan. Perinci masa tumor yang ditemukan antara lain lokasi, ukuran (dalam cm), bentuk, permukaan (rata atau ireguler), konsistensi (lunak atau keras), pinggir (halus atau ireguler), nyeri tekan , melekat pada kulit atau tidak, melekat pada jaringan dasar atau tidak, berpulsasi/exponsile (missal aneurisma aorta), lesilesi satelit yang berhubungan (missal metastase), transiluminasi (missal kista), dan adanya bruit. Pada palpasi hati, mulai dari fosa iliaka kanan dan bergerak ke atas pada tiap respirasi, jari-jari harus mengarah pada dada pasien. Pada palpasi kandung empedu, yang teraba biasanya selalu abnormal, pada keadaan ikterus kandung empedu yang teraba berarti bahwa penyebabnya bukan hanya batu kandung empedu tapi juga harus dipikirkan karsinoma pancreas. Pada palpasi limpa, mulai dekat umbilicus, raba limpa pada tiap inspirasi, bergerak secara bertahap ke atas dan ke kiri setelah tiap inspirasi dan jika teraba, baringkan pasien pada posisi left lateral, dengan pinggul kiri dan lutut kiri ditekuk. Usahakan dapat membedakan limpa dengan ginjal. Bila limpa, tak dapat mencapai bagian atasnya, bergerak dengan respirasi, redup-pekak pada perkusi, ada notch atau insisura limpa, negatif pada ballottement. Bila ginjal, dapat mencapai bagian atasnya, tidak dapat digerakkan (atau bergerak lambat), beresonansi pada perkusi, tidak ada notch atau insisura dan positif pada ballottement.7
Pemeriksaan Perkusi Pemeriksaan ini digunakan untuk:
Mendeteksi kandung empedu atau vesika urinaria, dimana suaranya redup/pekak Menentukan ukuran hati dan limpa secara kasar Menentukan penyebab distensi abdomen: penuh gas (timpani), masa tumor (redup-pekak) dan asites 1). Pekak pada pinggir dan timpani resonan pada bagian tengah/sentral, 2). Shifting dullness menentukan letak pekak pada perkusi, miringkan pasien pada sisi kanan/kiri, asites didemonstrasikan dengan adanya timpani pada perkusi setelah dimiringkan kembali, 3). Demonstrasikan thrill cairan atau pemeriksaan gelombang.
Dalam keadaan normal suara perkusi abdomen yaitu timpani, kecuali di daerah hati suara perkusinya adalah pekak. Hilangnya sama sekali daerah pekak hati dan bertambahnya bunyi timpani di seluruh abdomen harus dipikirkan akan kemungkinan adanya udara bebas di dalam rongga perut, missal perforasi usus. Suatu keadaan yang disebut fenomenan papan catur (cheesboard phenomen) dimana pada perkusi dinding perut ditemukan bunyi timpani dan redup yang berpindah-pindah, sering ditemukan pada peritonitis tuberkulosa.7 Beberapa cara pemeriksaan asites:
Cara pemeriksaan gelombang cairan. Cara ini dilakukan pada pasein dengan asites yang cukup banyak dan perut yang agak tegang. Pasien dalam keadaan berbaring terlentang dan tangan pemeriksa diletakkan pada satu sisi sedangkan tangan lainnya mengetuk-ngetuk dinding perut pada sisi lainnya. Sementara itu mencegah gerakan yang diteruskan melalui dinding abdomen sendiri, maka tangan pemeriksa lainnya diletakkan di tengah-tengah perut dengan sedikit tekanan. Pemeriksaan menentukan adanya redup yang berpindah (shifting dullness): Untuk cairan yang lebih sedikit dan meragukan dapat dilakukan pemeriksaan dengan posisi pasien tengkurap dan menungging (knee-chest position). Setelah beberapa saat, pada perkusi daerah perut yang terendah jika terdapat cairan akan didengar bunyi redup. Pemeriksaan Puddle sign. Seperti pada posisi knee-chest dan dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan pada bagian perut terbawah didengar perbedaan suara yang ditimbulkan karena ketukan jari-jari pada sisi perut sedangkan stetoskop digeserkan melalui perut tersebut ke sisi lainnya. Pasien pada posisi tegak maka suara perkusi redup didengar di bagian bawah.7
Pemeriksaan Auskultasi Pemeriksaan ini untuk memeriksa:
Suara/bunyi usus: frekuensi dan pitch meningkat pada obstruksi, menghilang pada ileus
paralitik Succession splash – untuk mendeteksi obstruksi pada tingkat lambung Bruit arterial Venous hum pada kaput medusa
Dalam keadaan normal, suara peristaltik usus kadang-kadang dapat didengar walaupun tanpa menggunakan stetoskop, biasanya setelah makan atau dalam keadaan lapar. Dalam keadaan normal bising usus terdengar lebih kurang 3 kali permenit. Jika terdapat obstruksi usus, suara peristaltik usus ini akan meningkat. Peningkatan suara usus ini disebut borborigmi. Pada ileus onstruksi kadang terdengar suara peristaltik dengan nada yang tinggi dan suara logam (metallic sound). Suara murmur sistolik dan diastolik mungkin dapat didengar pada auskultasi abdomen. Bruit sistolik dapat didengar pada aneurisma aorta atau pada pembesaran hati karena hepatoma. Bising vena (venous hum) yang kadang-kadang disertai dengan terabanya getaran (thrill), dapat didengar diantara umbilikus dan epigastrium. Pada keadaan fistula arteriovenosa intraabdominal kadang-kadang dapat didengar suara murmur.7
Pemeriksaan Organ Abdomen
Pemeriksaan Hati Pada inspeksi harus diperhatikan apakah terdapat penonjolan pada region hipokondrium kanan. Pada keadaan pembesaran hati yang ekstrim (misal pada tumor hati) akan terlihat permukaan abdomen yang asimetris antara daerah hikondrium kanan dan kiri. Untuk memudahkan perabaan hati diperlukan: a). Dinding usus yang lemas dengan cara kaki ditekuk sehingga membentuk sudut 45-600, b). Pasien diminta untuk menarik napas panjang, c). Pada saat ekspirasi maksimal jari ditekan ke bawah, kemudian pada awal inspirasi jari bergerak ke kranial dalam arah parabolik, d). Diharapkan, bila hati membesar akan terjadi sentuhan antara jari pemeriksa dengan hati pada saat inspirasi maksimal.7 Posisi pasien berbaring terlentang dengan kedua tungkai kanan dilipat agar dinding abdomen lebih lentur. Palpasi dikerjakan dengan menggunakan sisi palmar radial jari tangan kanan (bukan ujung jari) dengan posisi ibu jari terlipat di bawah palmar manus. Lebih tegas lagi bila arah jari membentuk sudut 450 dengan garis median. Ujung jari terletak pada bagian lateral muskulus rektus abdominalis dan kemudian pada garis median untuk memeriksa hati lobus kiri. Palpasi dimulai dari region iliaka kanan menuju ke tepi lengkung iga kanan. Dinding abdomen ditekan ke bawah dengan arah dorsal dan kranial sehingga akan dapat menyentuh tepi anterior hati. Gerakan ini dilakukan berulang dan posisinya digeser 1-2 jari ke arah lengkung iga. Penekanan dilakukan pada saat pasien sedang inspirasi. Bila pada palpasi kita dapat meraba adanya pembesaran hati, maka harus dilakukan deskripsi sebagai berikut:
Berapa lebar jari tangan di bawah lengkung iga kanan? Bagaimana keadaan tepi hati. Misalnya tajam pada hepatitis akut atau tumpul pada tumor
hati? Bagaimana konsistensinya? Apakah kenyal (konsistensi normal) atau keras (pada tumor
hati)? Bagaimana permukaannya? Pada tumor hati permukaannya teraba berbenjol. Apakah terdapat nyeri tekan. Hal ini dapat terjadi pada kelainan antara lain abses hati, tumor hati. Selain itu pada abses hati dapat dirasakan adanya fluktuasi.
Pada keadaan normal hati tidak akan teraba pada palpasi kecuali pada beberapa kasus dengan tubuh yang kurus (sekitar 1 jari). Terabanya hati 1-2 jari di bawah lengkung iga harus dikonfirmasi apakah hal tersebut memang suatu pembesaran hati atau karena adanya perubahan bentuk diafragma (misal emfisema paru). Untuk menilai adanya pembesaran lobus kiri hati dapat dilakukan palpasi pada daerah garis tengah abdomen ke arah epigastrium. Batas atas hati sesuai dengan pemeriksaan perkusi batas paru hati (normal pada sela iga 6). Pada beberapa keadaan patologis misal emfisema paru, batas ini akan lebih rendah sehingga besar hati yang normal dapat teraba tepinya pada waktu palpasi. Perkusi batas atas dan bawah hati (perubahan suara dari redup ke timpani) berguna untuk menilai adanya pengecilan hati (misal sirosis hati). Pekak hati menghilang bila terjadi udara bebas di bawah diafragma karena perforasi. Suara bruit dapat terdengar pada pembesaran hati akibat tumor hati yang besar.7
Pemeriksaan Limpa Limpa membesar mulai dari bawah lengkung iga kiri, melewati umbilikus sampai region iliaka kanan. Palpasi dimulai dari region iliaka kanan, melewati umbilikus di garis tengah abdomen, menuju ke lengkung iga kiri. Pembesaran limpa diukur dengan menggunakan garis Schuffner, yaitu garis yang dimulai dari titik di lengkung iga kiri menuju ke umbilikus dan diteruskan sampai di spina iliaka anterior superior (SIAS) kanan. Garis tersebut dibagi menjadi 8 bagian yang sama. Palpasi limpa juga dapat dipermudah dengan memiringkan pasien 45 derajat ke arah kanan (ke arah pemeriksa). Setelah tepi bawah limpa teraba, maka dilakukan deskripsi sbb:
Berapa jauh dari lengkung iga kiri pada garis Schuffner (S-I sampai dengan S-VIII)? Bagaimana konsistensinya? Apakah kenyal (splenomegali karena hipertensi portal) atau keras seperti pada malaria?
Untuk meyakinkan bahwa yang teraba itu adalah limpa, harus diusahakan meraba insisuranya.7
Pemeriksaan Ginjal Ginjal terletak pada daerah retroperitoneal sehingga pemeriksaan harus dengan cara bimanual. Tangan kiri diletakkan pada pinggang bagian belakang dan tangan kanan pada dinding abdomen di ventralnya. Pembesaran ginjal (akibat tumor atau hidronefrosis) akan teraba di antara kedua tangan tersebut, dan bila salah satu tangan digerakkan akan teraba benturannya di tangan lain. Fenomena ini dinamakan ballottement positif. Pada keadaan normal ballottement negatif.7
3.6 PEMERIKSAAN SISTEM SARAF Refleks Tendon (Refleks Fisiologis) 1
Reflex Biseps (n,muskulokutaneua, C5-6) Dalam keadaan duduk: lengan bawah dalam pronasi rileks di atas paha. Dalam keadaan berbaring: lengan ditaruh di atas bantal, lengan bawah dan tangan di atas abdomen. Taruh ibu jari pemeriksa di atas tendon biseps, tekan bila perlu untuk meyakinkan regang otot optimal, sebelum mengetok. Respon normal berupa fleksi dari siku dan tampak kontraksi otot biseps.
2
Reflex Brakioradialis (n.radialis, C5-6)
Posisi sama dengan reflex biseps, kecuali lengan bawah haris berada antara pronasi dan supinasi. Ketok dengan perlahan bagian distal radius kira-kira 5 cm di atas pergelangan
3
tangan sambil mengamati dan merasakan adanya kontraksi. Respon normal berupa fleksi dari siku dan tampak ekstensi lemah jari tangan. Reflex Triseps (n.radialis, C6-8) Posisi hamper sama dengan reflex biseps. Oleh karena tendon pendek kadang-kadang sukar mengetok sejumlah tersebut sekaligus. Sebaiknya pemeriksa melakukan dari arah samping
4
belakang pasien untuk mengamati kontraksi. Ketokan dilakukan kira-kira 5 cm di atas siku. Respon normal berupa ekstensi dari siku dan tampak kontraksi otot triseps. Reflex Lutut/kuadriseps feromis (n.femoralis, L2-4) Dalam posisi duduk: kaki tergantung rileks di tepi tempat tidur. Dalam posisi berbaring: tangan atau lengan bawah pemeriksa ditaruh di bawah lutut pasien fleksi sendi lutut tersebut kira-kira 20 derajat, sedangkan tumit pasien harus tetap berada di atas tempat tidur. Bila perlu tangan pemeriksa dapat diganti bantal supaya kontraksi otot di samping terlihat dapat diraba pula. Palu refleks diketokkan di atas tendon lutut berganti-ganti
5
kanan dan kiri. Respon normal berupa gerakan dari tungkai disertai kontraksi otot kuadriseps. Reflex Tumit/gastroknemius dan soleus (n.tibialis, L5, S1-2) Dalam posisi duduk: sama dengan posisi refleks biseps, kaki dorsofleksi optimal untuk mendapatkan regangan otot cukup. Dalam posisi berbaring: dilakukan fleksi panggul dan lutut sambil sedikit rotasi paha keluar. Ketok tendon tumit dengan palu refleks. Respon normal berupa fleksi plantar dari kaki dan kontraksi otot gastroknemius.
Refleks Patologis 1
Refleks Babinski Dengan sebuah benda yang berujung agak tajam seperti kunci, telapak kaki digores dari arah tumit menyusur bagian lateral menuju pangkal ibu jari. Respon refleks: dikatakan positif bila terjadi dorsofleksi dari ibu jari dan biasanya disertai dengan pemekaran jari-jari lainnya. Tanda babinski ini dapat ditimbulkan juga dengan refleks
2
lain. Refleks Chaddock Tanda babinski akan timbul dengan menggores bagian bawah dari maleolus lateral kaki ke
3
arah depan. Refleks Oppenhelm Dengan mengurut tulang tibia dengan ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah. Positif bila akan timbul tanda babinski.
4 5 6
Refleks Gordon Otot gastroknemius dicubit. Positif akan timbul tanda babinski. Refleks Schaefer Tanda babinski dapat ditimbulkan dengan memijit tendon Achilles. Refleks Rossolimo Refleks patologik ini ditimbulkan dengan mengetok bagian basis telapak jari-jari kaki.
7
Sebagai respons positif akan tampak fleksi dari jari-jari kaki. Refleks Mendel Rechterew Dengan mengetok bagian dorsal basis jari-jari kaki akan disaksikan gerakan fleksi jari-jari
8
kaki. Refleks Hoffman-Tromner Refleks patologik ini positif bila timbul gerakan mencengkram pada petikan kuku jari
9
telunjuk atau jari tengah jari tangan. Refleks Leri Bila pada pergelangan tangan dilakukan hiperfleksi maksimal, maka pada keadaan normal
akan terjadi fleksi dari sendi siku lengan. Keadaan patologik bila fleksi siku lengan ini tidak terjadi (refleks negatif). 10 Refleks Mayor Respon pada refleks Leri akan terjadi pada hiperfleksi basis jari tengah tangan. Penilaian sama seperti refleks Leri. 11 Klonus Bila refleks hiperaktif, refleks ini dapat terjadi berulang terus-menerus bila pemeriksa mempertahankan suatu tegangan tertentu pada otot termaksud. Dalam keadaan utngkai rileks, pemeriksa mendadak melakukan dorsofleksi kaki dan tetap mempertahankan posisi dorsofleksi ini untuk sementara waktu. Klonus merupakan manifestasi refleks regang otot yang hiperaktif.2,3
Tanda-tanda Perangsangan Selaput Otak 1
Tanda Kaku Kuduk Cara pemeriksaan: pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi, ekstensi, dan rotasi kepala. Penilaian: tanda ini positif bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot, dagu tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala. Bila kekakuan otot ekstensor sangat hebat terjadi retraksi leher dan kadang-kadang tulang vertebra, sehingga timbul posisi yang disebut sebagai opistotonus.
2
Tanda kaku kuduk ialah khas untuk gejala meningitis, tetanus, dll. Tanda Kernig Cara pemeriksaan: pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pada sendi panggul kemudian ekstensi pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa nyeri. Penilaian: tanda ini positif bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135 0 disertai spasme
3
otot paha, biasanya diikuti rasa nyeri. Tanda Laseque Cara pemeriksaan: pasien dalam rileks berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pada sensi panggul sewaktu tungkai dalam ekstensi. Selama fleksi sendi panggul dilakukan perlahanlahan ditanyakan pada pasien apakah ia merasa nyeri dan dimana rasa nyeri tersebut terjadi. Penilaian: tanda ini ada bila sudah timbul rasa nyeri di lekuk iskiadikus atau adanya tahapan
4
pada waktu dilakukan fleksi kurang dari 600. Tanda Brudzinski-leher (Brudzinski I) Cara pemeriksaan: pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya di bawah kepala dan tangan kanan di atas dada pasien. Kemudian dilakukan fleksi kepala dengan cepat ke arah dada sejauh mungkin. Penilaian: tanda ini positif bila terjadi fleksi involunter pada kedua tungkai. Bila ada
5
hemiplegia maka fleksi hanya tampak pada tungkai yang tidak plegi. Tanda Brudzinski-kontralateral-tungkai (Brudzinski II) Cara pemeriksaan: pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif pada sendi panggul (seperti pada percobaan Kernig). Penilaian: tanda ini positif bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral (lebih jelas terlihat bila sendi lutut sesisi dalam posisi ekstensi).3,4
Pemeriksaan Saraf Kranialis3,4 Teknik Pemeriksaan
Kemungkinan Temuan
N I (Olfaktorius) Uji indra penciuman pada masing-masing sisi.
Hilang pada lesi lobus frontal
N II (Optikus) Kaji ketajaman penglihatan.
Kebutaan
Periksa lapang pandang.
Hemianopsia
Inspeksi diskus optikus.
Papiledema, atrofi optik
N II,III (Optikus dan Okulomotorius)
Uji reaksi pupil terhadap cahaya. Jika hasilnya Kebutaan, paralisis N III, pupil tonik; sindrom abnormal, uji reaksi sampai gerakan terdekat. Horner dapat mempengaruhi reaksi cahaya N III,IV,VI (Okulomotorius, Troklearis, dan Abdusen) Kaji gerakan ekstraokular.
Strabismus karena paralisis N III, IV, atau VI; nistagmus
N V (Trigeminalis) Uji nyeri dan sensasi sentuhan ringan pada Gangguan motorik atau sensori karena lesi wajah di zona oftalmik, maksilaris, dan pada N V atau jaras motorik yang lebih tinggi mandibular. Raba kontraksi otot temporalis dan maseter. Periksa reflex kornea. N VII (Fasialis) Minta pasien mengangkat kedua alis matanya, Kelemahan karena lesi saraf perifer, seperti cemberut, menutup mata dengan rapat, pada paralisis Bell, atau SSP, seperti pada memperlihatkan gigi, tersenyum, stroke menggembungkan pipinya. N VIII (Akustikus) Kaji pendengaran. pendengaran menurun:
Jika
kemampuan Tuli sensorineural menyebabkan lateralisasi menjadi kurang terarah ke telinga yang rusak dan konduksi udara (KU) > konduksi tulang - Uji terhadap lateralisasi (Uji Weber). (KT). Tuli konduksi menyebabkan lateralisasi - bandingkan konduksi udara dan tulang (Uji kea rah telinga yang rusak dan KT > KU Rinne) N IX, X (Glosofaring dan Vagus) Amati setiap kesulitan menelan.
Dengarkan suara pasien. Perhatikan naiknya palatum durum dengan ucapan “ah”. Uji reflex muntah masing-masing sisi.
Kelemahan palatum atau faring mengganggu kemampuan menelan Serak atau suara hidung Paralisis palatum pada cedera serebrovaskular
Tidak ada refleks
N XI (Aksesorius spinal) Muskulus Trapezius. Kaji otot terhadap massa, Atrofi, fasikulasi, kelemahan gerakan involunter dan kekuatan mengangkat
bahu. Muskulus Sternomastoideus. Kaji kekuatan ketika memalingkan kepala melawan tangan Kelemahan otot sternomastoideus ketika anda. kepala berpaling ke sisi yang berlawanan N XII (Hipoglosal) Dengarkan artikulasi pasien.
Disartria karena kerusakan N X atau XII
Inspeksi seluruh lidah.
Atrofi, fasikulasi
Inspkesi lidah yang dijulurkan.
Deviasi ke sisi yang lemah
Sistem Motorik
Peringkat Kekuatan Otot3,4
Tingkat
Deskripsi
0
Tidak terdapat kontraksi muscular yang terlihat
1
Sedikit jejak kontraksi dapat terdeteksi
2
Gerakan aktif dengan penghilangan gravitasi
3
Gerakan aktif terhadap gravitasi
4
Gerakan aktif terhadap gravitasi dan beberapa tahanan
5
Gerakan aktif terhadap tahanan penuh
3.7 PEMERIKSAAN MUSKULOSKELETAL Pada pemeriksaan muskuloskeletal yang penting adalah : 1. Look (inspeksi) 2. Feel (palpasi) 3. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)1,8
Disamping gerak perlu dilakukan pengukuran bagian yang penting untuk membuat kesimpulan kelainan, merupakan pembengkakan atau atrofi serta melihat adanya discrepancy (selisih panjang). 1. Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat:
- Sikatriks (jaringan parut alamiah atau post operasi) - Cafe au lait spot (tanda lahir) - Fistula - Warna kemerahan/kebiruan atau hiperpigmentasi - Benjol/pembengkakan/cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa - Posisi serta bentuk dari ekstremitas (deformitas) - Jalannya (gait waktu pasien masuk kamar periksa)8 2. Feel (palpasi) Pada saat akan meraba posisi pasien perlu diperbaiki dulu agar dimulai dari posisi netral/anatomis. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan dua arah karenanya perlu diperhatikan wajah (mimik kesakitan) atau menanyakan rasa sakit. Yang perlu dicatat adalah : - Perubahan suhu terhadap sekitarnya serta kelembaban kulit - Bila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau hanya edema terutama daerah persendian - Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainannya (1/3 proksimal/tengah/ distal) Otot: Tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi; benjolan yang terdapat di permukaan tulang atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu di diskripsi (tentukan) permukaannya, konsistensinya dan pergerakan terhadap permukaan atau dasar, nyeri atau tidak dan ukurannya.8 3. Move (gerak) Setelah memeriksa feel pemeriksaan diteruskan dengan menggerakkan anggota gerak dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pada anak periksalah bagian yang tidak sakit dulu, selain untuk mendapatkan kooperatif anak pada waktu pemeriksaan, juga untuk mengetahui gerakan normal si penderita. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar kita dapat berkomunikasi dengan sejawat lain dan evaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Apabila terdapat fraktur tentunya akan terdapat gerakan yang abnormal di daerah fraktur (kecuali pada incomplete fracture). Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat gerakan dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dengan ukuran metrik. Pencatatan ini penting untuk mengetahui apakah ada gangguan gerak. Kekakuan sendi disebut ankylosis dan hal ini dapat disebabkan oleh factor intra articuler atau extra articuler
- Intra artikuler: Kelainan/kerusakan dari tulang rawan yang menyebabkan kerusakan tulang subchondral; juga didapat oleh karena kelainan ligament atau kapsul (simpai) sendi - Ekstra artikuler: Oleh karena otot atau kulit Pergerakan yang perlu dilihat adalah gerakan aktif (apabila penderita sendiri disuruh menggerakkan) dan pasif (dilakukan pemeriksa). Selain pencatatan pemeriksaan penting untuk mengetahui gangguan gerak, hal ini juga penting untuk melihat kemajuan/kemunduran pengobatan. Dibedakan istilah contraction & contructure ' - Contraction : apabila perubahan fisiologis - Contructure : apabila sudah ada perubahan anatomis Selain diperiksa pada duduk, berbaring juga perlu dilihat waktu berdiri & jalan. Jalan perlu dinilai untuk mengetahui apakah pincang disebabkan karena: - instability - nyeri - discrepancy - fixed deformity8
DAFTAR PUSTAKA
Raylene,M.R.; terj. D.Lyrawati. 2009. Prinsip dan Metode Pemeriksaan Fisik Dasar. Available from: dasar-pdf-...
ebookbrowse.com/prinsip-dan-metode-pemeriksaan-fisik-
Sudoyo,A.W.,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I: Bab 10 Pemeriksaan Fisis Umum. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Lumbantobing,S.M. 2005. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Bickley,L.S. 2008. Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates Edisi 5. Jakarta: EGC
Sudoyo,A.W.,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I: Bab 11 Pemeriksaan Fisis Dada dan Paru. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Sudoyo,A.W.,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I: Bab 12 Pemeriksaan Fisis Jantung. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Sudoyo,A.W.,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I Bab 13 Pemeriksaan Abdomen, Urogenital, dan Anorektal. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Nurdin. 2010. Pemeriksaan Orthopaedi dan Muskuloskeletal. Available from: http://nurdin.student.umm.ac.id/files/2010/02/PEMERIKSAAN-ORTHOPAEDI-DANMUSKULOSKELETAL.pdf