Pedoman Nasional
Terapi Antiretroviral
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan 2004
2
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Kata Pengantar Direktur Jenderal PPM & PL, Dep Kes RI HIV/AIDS dalam 4 tahun terakhir semakin nyata menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari epidemi rendah menjadi epidemi terkonsentrasi. Hasil survei pada subpopulasi tertentu menunjukkan prevalensi HIV di beberapa propinsi telah melebihi 5% secara konsisten. Berdasarkan hasil estimasi oleh Depkes pada tahun 2002 diperkirakan terdapat 90.000 – 130.000 ODHA di Indonesia. Pada era sebelumnya upaya penanggulangan HIV/AIDS diprioritaskan pada upaya pencegahan. Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS yang memerlukan terapi ARV, maka strategi penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan dengan memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan. Dalam memberikan kontribusi 3 by 5 initiatve global yang dicanangkan oleh WHO di UNAIDS, Indonesia secara nasional telah memulai terapi antiretroviral (ART) pada tahun 2004. Departemen Kesehatan telah menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1190 tahun 2004 tentang Pemberian Obat Gratis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Obat Anti Retroviral (ARV) untuk HIV/AIDS. Untuk merespon situasi tersebut dan menyimak beberapa permasalahan di atas, dipandang perlu segera diterbitkan Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral sebagai penjabaran Keputusan Menteri Kesehatan tersebut di atas yang dapat menjadi acuan bagi semua pihak yang terkait dalam penanggulangan HIV/AIDS khususnya terapi antiretroviral. Buku ini juga melengkapi buku
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
i
Pedoman Nasional Perawatan Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA yang telah ada sebelumnya. Akhirnya kepada semua tim penyusun dan semua pihak yang telah berperan serta dalam pernyusunan dan penyempurnaan buku ini disampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Terima kasih juga ditujukan kepada WHO dan GF-ATM atas bantuan dan kerjasama yang baik. Semoga Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral ini dapat bermanfaat bagi penanggulangan HIV/AIDS khususnya program terapi antiretroviral (ART) di Indonesia.
ii
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Prakata Buku Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral ini merupakan pemutakhiran buku Pedoman Penggunaan Terapi Antiretroviral: Suatu Pendekatan yang Disederhanakan bagi Negara Sumber Daya Terbatas yang merupakan terjemahan dari ”The Use of Antiretroviral Therapy: A simplified Approach for Resource constrained Countries” yang diterjemahkan oleh Dr. Rita Ridwan, MSc (Sub Dit AIDS, Ditjen PPM PL, Depkes RI), dan diedit oleh Chris W. Green (Yayasan Spiritia) pada tahun 2003. Buku tersebut belum sempat secara resmi diterbitkan oleh Depkes RI namun dipercaya telah cukup luas beredar. Berhubung dengan adanya perkembangan baru dalam terapi antiretroviral maka dipandang perlu untuk merevisi buku tersebut dalam pedoman ini. Pemutakhiran dilaksanakan oleh dr Sri Pandam Pulungsih (RSPI Sulianti Saroso, Jakarta) berdasarkan buku pedoman WHO Geneva yang terakhir, yaitu ”Scaling up antiretroviral therapy in resource-limited setting: Treatment guidelines for public health approach (revision-2003)”. Diharapkan buku ini akan bermanfaat sebagai pedoman dalam melaksanakan program pengobatan antiretroviral di Indonesia untuk memberikan kontribusi pada 3 by 5 initiative global dan akan terus diperbaiki sesuai perkembangan IPTEK kedokteran di bidang HIV/AIDS di dunia.
Editor Sri Pandam Pulungsih
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
iii
Daftar Isi KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PPM & PL, DEP KES RI........................................................................................................I PRAKATA ...................................................................................................... III DAFTAR ISI................................................................................................... IV DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ............................................................ VI DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH.................................................VII DAFTAR KONTRIBUTOR ..........................................................................XI I
PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. B. C.
II
ALASAN UMUM PEMBUATAN PEDOMAN ............................................ 5 TUJUAN PEDOMAN ART....................................................................... 6 SASARAN PENGGUNA PEDOMAN ART ................................................ 6 PRINSIP PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL .............................. 6
A. B. III
TUJUAN PENGOBATAN ARV ................................................................ 6 PENGETAHUAN DASAR PENGGUNAAN ART ...................................... 7 MEMULAI ART PADA ODHA DEWASA........................................ 9
A. B.
C. D. IV
PRASYARAT ........................................................................................... 9 PENILAIAN KLINIS............................................................................... 10 Riwayat Penyakit................................................................................. 10 Pemeriksaan fisik meliputi................................................................... 11 Pemeriksaan psikologis: ....................................................................... 12 Pemeriksaan Laboratorium .................................................................. 12 Pemeriksaan tambahan yang diperlukan sesuai riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis......................................................................... 12 PERSYARATAN LAIN ............................................................................ 13 INDIKASI ART ..................................................................................... 13 OBAT ANTIRETROVIRAL................................................................ 16
A. B.
REJIMEN ARV LINI-PERTAMA BAGI ODHA DEWASA ....................... 17 BAHAN PERTIMBANGAN UNTUK MENENTUKAN OBAT LINIPERTAMA PADA PENGOBATAN INFEKSI HIV-2 DAN HIV-1 GRUP O .......... 23 Rejimen yang mengandung PI. ........................................................... 23 Rejimen NRTI kombinasi tiga ............................................................. 24 V
PEMANTAUAN KLINIS DAN LABORATORIUM...................... 27 KEBUTUHAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN LABORATORIUN ...... 29
iv
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
ALASAN MENGGANTI ART PADA ODHA DEWASA............. 31
VI
VII PILIHAN REJIMEN ARV PADA KEGAGALAN TERAPI DARI OBAT LINI-PERTAMA PADA ODHA DEWASA ............ 34 VIII CARA MENGGANTI ATAU MENGHENTIKAN ART............... 37 A. B.
PENGGANTIAN ANTAR NNRTI.......................................................... 40 PENGHENTIAN REJIMEN YANG MENGANDUNG NNRTI DALAM KONDISI TIDAK DARURAT ............................................................................. 41 C. PERUBAHAN ART KARENA KEGAGALAN .......................................... 41 IX
OBAT ARV UNTUK KELOMPOK TERTENTU............................ 42 A. B.
C. D. E.
PEREMPUAN USIA SUBUR ATAU HAMIL .............................................. 42 ANAK - ANAK ..................................................................................... 46 Saat memulai ART pada bayi dan anak .............................................. 46 Rejimen ARV lini-pertama yang direkomendasikan untuk bayi dan anak............................................................................................... 51 Penilaian Klinis bayi dan anak yang mendapat ART ......................... 54 Alasan mengganti ART pada bayi dan anak ....................................... 55 Rekomendasi ART lini-kedua untuk bayi dan anak ............................ 56 PASIEN DEGAN KOINFEKSI TB DAN HIV ........................................... 57 PENGGUNA NAPZA SUNTIK ............................................................. 61 ARV UNTUK PROFILAKSIS PASCAPAJANAN ...................................... 61
X
KEPATUHAN PADA TERAPI ANTIRETROVIRAL.................... 67
XI
SURVEILANS RESISTENSI OBAT ................................................. 70
XII KESIMPULAN ...................................................................................... 71 XIII
DAFTAR ACUAN................................................................ 103
LAMPIRAN A: PANDUAN PENGGUNAAN ARV PADA PMTCT*..................... 73 LAMPIRAN B: KLASIFIKASI IMUNITAS HIV PEDIATRIK BERDASARKAN CD4 SESUAI KELOMPOK UMUR DAN PERSENTASENYA............. 76 LAMPIRAN C: RANGKUMAN FORMULA OBAT PEDIATRIK DAN DOSIS ............ 77 LAMPIRAN D: KOMBINASI-TETAP ARV YANG TERSEDIA DI DUNIA PADA 1 DECEMBER 2003 ........................................................... 83 LAMPIRAN E: EFEK SAMPING OBAT ANTIRETROVIRAL .................................... 84 LAMPIRAN F: TANDA, GEJALA KLINIS, PEMANTAUAN DAN PENATALAKSANAAN TERHADAP GEJALA EFEK SAMPING YANG BERAT DARI ARV YANG MEMBUTUHKAN PENGHENTIAN OBAT.................................................................. 86 LAMPIRAN G: STADIUM KLINIS HIV MENURUT WHO PADA DEWASA .......... 88 LAMPIRAN H: STADIUM KLINIS HIV MENURUT WHO PADA ANAK .............. 89 LAMPIRAN I: CATATAN KUNJUNGAN PASIEN ................................................. 90 DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
v
LAMPIRAN J: JARINGAN INTERNET YANG BERMANFAAT .................................95 LAMPIRAN K: DAFTAR RUJUKAN .....................................................................96
Daftar Tabel dan Gambar TABEL 1. TABEL 2. TABEL 3.
SAAT UNTUK MEMULAI TERAPI PADA ODHA DEWASA DOSIS ANTIRETROVIRAL UNTUK ODHA DEWASA REJIMEN ARV LINI-PERTAMA UNTUK ODHA REMAJA DAN
15 16
DEWASA DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
26
PEMILIHANNYA
TABEL 4. TABEL 5.
TABEL 6.
JENJANG LAYANAN KESEHATAN MENURUT KEMAMPUAN LABORATORIUM UNTUK MEMANTAU ARTA PEMANTAUAN LABORATORIUM DASAR UNTUK REJIMEN ARV LINI-I DI LAYANAN KESEHATAN DASAR, DAN MENENGAH TOKSISITAS UTAMA PADA REJIMEN ARV LINI-PERTAMA DAN ANJURAN OBAT PENGGANTINYA
DEFINISI KEGAGALAN TERAPI SECARA KLINIS DAN KRITERIA CD4 PADA ODHA DEWASA TABEL 8. SAAT UNTUK MEMULAI ART PADA BAYI DAN ANAK TABEL 9. REJIMEN ARV LINI-PERTAMA UNTUK BAYI DAN ANAK TABEL 10. DEFINISI KLINIS DAN KRITERIA CD4 UNTUK KEGAGALAN
30
31 32
TABEL 7.
TERAPI PADA BAYI DAN ANAK
34 50 53 56
TABEL 11. REJIMEN ARV UNTUK KEGAGALAN TERAPI PADA BAYI DAN ANAK
TABEL 12. ART UNTUK PASIEN KOINFEKSI TB-HIV TABEL 13. PENILAIAN PAJANAN UNTUK PROFILAKSIS PASCAPAJANAN HIV TABEL 14. REJIMEN ARV UNTUK PROFILAKSIS PASCAPAJANAN TABEL 15. PEMANTAUAN LABORATORIUM PADA PROFILAKSIS PASCAPAJANAN GAMBAR 1. REJIMEN ARV LINI-KEDUA BAGI ODHA DEWASA BILA DIJUMPAI KEGAGALAN TERAPI PADA REJIMEN LINI-
65 66 67
37
PERTAMA
vi
57 60
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Daftar Singkatan dan Istilah /r ABC ACTG
ritonavir dosis rendah abacavir AIDS Clinical Trials Group (kelompok uji klinis AIDS di AS)
AIDS
acquired immune deficiency syndrome
ALT
alanine aminotransferase
ART
Antiretroviral Therapy = terapi antiretroviral
ARV
obat antiretroviral
ATV
atazanavir
AZT
zidovudine yang sering disingkat pula sebagai ZDV
BB
berat badan
CD4
limfosit-T CD4+
CFR
case fatality rate
d4T
stavudine
DART
development of antiretroviral therapy in Africa (perkembangan ART di Afrika)
ddI DOT
didanosine directly observed therapy (terapi yang diawasi langsung)
EFV ENF (T-20) FDC
efavirenz enfuvirtide fixed-dose combination (kombinasi beberapa obat dalam satu pil)
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
vii
FTC Galur GI HAART
emtricitabine viral strain gastrointestinal (saluran cerna) highly active antiretroviral therapy (ART)
HBV
hepatitis B virus
HCV
hepatitis C virus
HIV
human immunodeficiency virus = virus penyebab AIDS
IDU
injecting drug user (pengguna NAPZA suntik)
IDV
indinavir
IRIS
Immune reconstitution inflamatory syndrome = IRS = Immune reconstitution syndrome (sindrom pemulihan kekebalan)
Kepatuhan
merupakan terjemahan dari adherence, yaitu kepatuhan dan kesinambungan berobat yang melibatkan peran pasien, dokter atau petugas kesehatan, pendamping dan ketersediaan obat
LPV
lopinavir
LSM
Lembaga swadaya masyarakat
MTCT
mother-to-child transmission (of HIV); penularan HIV dari ibu ke anak
NAM
nucleoside analogue mutation (mutasi analog nukleosida)
NAPZA
narkotik, alkohol, psikotropik dan zat adiktiv lain
NFV viii
nelfinavir DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
NNRTI
non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
NsRTI
nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor
NtRTI
nucleotide analogue reverse transcriptase inhibitor
NVP
nevirapine
OAT
obat anti tuberculosis
ODHA PCR PI PMTCT
orang dengan HIV/AIDS polymerase chain reaction (reaksi rantai polimerasi) protease inhibitor prevention of mother-to-child transmission = pencegahan penularan dari ibu ke anak
PPP
profilaksis pascapajanan = post exposure prophylaxis
RT RTI RTV-PI
reverse transcriptase reverse transcriptase inhibitor ritonavir-boosted protease inhibitor (PI yang diperkuat dengan ritonavir)
sgc
soft gel capsule (kapsul gelatin yang lembut)
SGOT
serum glutamic oxaloacetic transaminase
SGPT
serum glutamic pyruvate transaminase
SQV SSP TB
saquinavir susunan saraf pusat Tuberculosis
TDF
tenofovir disoproxil fumarate
TLC
total lymphocyte count (hitung limfosit total)
UNAIDS VCT
Joint United Nations Programme on HIV/AIDS voluntary counseling and testing (tes HIV secara
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
ix
sukarela disertai dengan konseling) WHO ZDV
x
World Health Organization zidovudine (juga dikenal sebagai AZT)
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Daftar Kontributor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43.
Dr. Haikin Rachmat, MSc Prof. Dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI Dr. Amaya Maw Naing Dr. Bing Wibisono,SpKK Dr. Ayie Sri Kartika Dr. Samuel Baso, SpPD Dr. Tuti Parwati, SpPD Dr. Santoso Soeroso, SpA, MARS Dr. Sri Pandam Pulungsih, MSc Dr. Onny Quadriyanto,SpPD Dr. Ida Bagus Putu Widiarsa,SpOG Dr. Janto G Lingga, SpP Ns. Edha Bara Padang, BSc Dr. Nuroyono Wibowo,SpOG Dr. Arwin Akib, SpA (K) Drs. Holid Djauhari Dr. Husniah R.PH.Akib, MS,Mkes,SpF Dr. Zorni Fadia Rustian, Drs, Apt Dr. Ratna Mardiati, SpKJ Drg. Rarit Gempari Dr. Maria Christina, SpKK Dr. Agustina Syamsiah, SpP Dr. Djoko Wibisono, SpPD Dr. Priyanti, SpP Dr. Abdul Rohman, SpP Dr. Noorwati Sutandyo, SpPD Dr. Mulawarman Jayusman, SpP Dr. Rismawaty A Ns. Sulanjani Dr. Sigit Priohutomo, MPH Dr. Fonny J Silfanus, Mkes Dr. Slamet, MHP Dr. Jusni Emelia Dr. Yance W Tatura Dr. IGP Wiadnyana, MPH Dr. Saiful Jazan, MSc Dr. Nyoman Suesen Dr. Jasrizal Ilyas, MPH Dr. Temmy Sunyoto Dr. Hendra Wijaya Andri SR Soetarso Dr. Budiarto
(Dit. P2ML) (Pokdisus) (W H O) (W H O) (RSMM Bogor) (RSU Jayapura) (RS Sanglah) (RSPI-SS) (RSPI-SS) (RSPI-SS) (RSPI-SS) (RSPI-SS) (RSPI-SS) (RSCM) (IKA-FKUI) (Yanfar) (Yanfar) (Yanfar) (Yanfar) (Yanmedik) (Yanmedik) (RS Fatmawati) (RS Duren Sawit) (RSPAD Gatot Soebroto) (RS Persahabatan) (RSAL Mintohardjo) (RS Kanker Dharmais) (RS Kanker Dharmais) (RS Kanker Dharmais) (RS Kanker Dharmais) (Subdit AIDS & PMS) (Subdit AIDS & PMS) (Subdit AIDS & PMS) (Subdit AIDS & PMS) (Subdit AIDS & PMS) (GF-ATM) (GF-ATM) (GF-ATM) (GF-ATM) (MSF-B) (ASA) (ASA) (IHPCP)
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
xi
I
Pendahuluan
Penemuan obat antiretroviral yang kuat pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi dalam perawatan ODHA di negara maju. Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun secara dramatis menunjukkan penurunan angka kematian dan kesakitan, peningkatan kualitas hidup ODHA, dan meningkatkan semangat masyarakat. Lebihlebih, pada saat ini HIV/AIDS telah diterima sebagai penyakit yang terkendali dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan1. Sayangnya, sebagian besar dari 40 juta ODHA tinggal di negara berkembang dan belum menikmati masa depan yang lebih baik sebagaimana negara maju2. Perkiraan konservatif WHO menyebutkan bahwa pada akhir 2003, sekitar 6 juta ODHA di negara berkembang yang sangat membutuhkan terapi antiretroviral untuk mempertahankan hidupnya. Namun, hanya 400.000 yang telah berhasil mendapatkannya dan sepertiganya berada di Brasil. Kira-kira 17% dari seluruh kasus tersebut di atas berada di Asia yang pada umumnya sedang menghadapi masalah politik dan sosial/ekonomi yang serius. Hal ini terjadi karena populasi di negara-negara Asia berjumlah cukup besar dan situasi negara serta penduduknya mengalami banyak faktor yang mempermudah terjadinya penularan HIV/AIDS a.l. rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan, urbanisasi/ mobilisasi penduduk, masih maraknya perilaku berisiko, tingginya prevalensi IMS, dll. Di Indonesia sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada subpopulasi tertentu di beberapa provinsi yang memang mempunyai DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
1
prevalensi HIV cukup tinggi. Peningkatan ini terjadi pada kelompok orang berperilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu para pekerja seks komersial dan penyalah-guna NAPZA suntikan di 6 provinsi: DKI Jakarta, Papua, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur (concentrated level of epidemic). Bila masalah ini tidak ditanggulangi segara, kemungkinan besar epidemi akan bergerak menjadi epidemi yang menyeluruh dan parah (generalized epidemic). Pada tahun 2002 diperkirakan antara 90.000- 130.000 orang di Indonesia hidup dengan HIV/AIDS, dari jumlah tersebut diperkirakan sebanyak 10.000 ODHA yang membutuhkan ART (Antiretroviral Therapy - Terapi Antiretroviral) segera. Pada pertemuan tingkat tinggi PBB (UNGASS) tentang HIV/AIDS 22 September 2003, WHO menyatakan bahwa jangkauan terapi HIV merupakan kedaruratan kesehatan global. WHO menghimbau tindakan segera untuk memastikan bahwa pada akhir tahun 2005 setidaknya 3 juta ODHA yang membutuhkan ART akan mampu menjangkau. Untuk mencapai target tersebut maka WHO akan membangun suatu kerangka kerja yang strategik dengan pilar sebagai berikut: kepemimpinan global, kemitraan dan advokasi yang kuat dukungan kepada negara yang memerlukan kemudahan dan standarisasi aturan pemberian ART ketersediaan terpercaya
obat
dan
diagnostik
yang
efektif
dan
mengidentifikasi keberhasilan dan menerapkan kembali temuan pengetahuan dan teknik baru. Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral ini diadaptasi dari Pedoman WHO yang edisi pertama telah 2
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
diterbitkan pada tahun 2002, dan menggambarkan cara terbaik pada saat itu berdasar bukti ilmiah yang ada. Dalam perkembangan yang pesat maka pedoman juga dimutakhirkan oleh Pedoman WHO tentang terapi yang sudah disederhanakan. Pedoman ini merupakan ujung tombak dari rencana 3 by 5 dan hanya sebagai pedoman garis besar dalam hal obat lini-pertama dan kedua yang tidak mutlak. Pedoman tersebut tidak hanya mengakomodasi bukti ilmiah yang berupa kajian klinik dan penelitian observasional atas efikasi dan efek samping obat, namun juga pengalaman pemakaian ART oleh program di negara yang menghadapi keterbatasan sumberdaya seperti obat dan biaya. Pedoman memuat rekomendasi tentang terapi dan pemantauan antiretroviral (ART) dan dimaksudkan sebagai satu komponen dari paket perawatan komprehensif dan berkesinambungan di Indonesia, termasuk pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, program gizi dan dukungan psikososial kepada ODHA yang membutuhkan. Pengobatan HIV dalam pedoman ini juga meliputi usaha pencegahan bagi orang yang belum terinfeksi. Kemajuan IPTEK kedokteran masa kini dalam bidang ART yang dijadikan pertimbangan WHO dalam menyiapkan revisi ini adalah: data uji klinik, termasuk yang memiliki efikasi virologis rendah seperti kombinasi 3 nukleosida, AZT/3TC/ABC dibanding dengan rejimen kombinasi 4 ARV berbasis efavirenz; ketersediaan analog fumarate (TDF);
nukleotida,
tenofovir
perhatian terhadap toksisitas seperti 2 nukleosida, stavudine (d4T)/didanosine (ddI); DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
disoproxil komponen
3
meningkatkan pemahaman pada perkembangan resistensi silang antar golongan obat dalam kelompok nukleosida and analog nukleotida; disetujuinya beberapa analog nukleosida baru, emtricitabine (FTC), suatu protease inhibitor, atazanavir (ATV), fusion inhibitor, enfuvirtide (ENF, T-20) dan bertambahnya pengalaman klinik dan keterjangkauan dengan adanya ARV generik terutama dalam bentuk kombinasi dan kemasan blister (ENF tidak akan dibahas lebih lanjut dalam dokumen ini oleh karena perlu diberikan dalam bentuk parenteral dengan harga yang mahal, sehingga tidak praktis bagi negara dengan sumberdaya terbatas). Berdasarkan data klinis, baik dari negara maju maupun berkembang, ada bukti bahwa pengobatan AIDS dapat mempertahankan jiwa dan meningkatkan mutu hidup Odha. Pedoman ini harus diperbarui secara berkala seiring dengan perkembangan baru yang bermakna. Pedoman terapi disajikan sebagai suatu kerangka kerja dalam memilih rejimen ARV yang paling poten dan layak untuk diterapkan sebagai salah satu komponen perawatan ODHA secara nasional. Kerangka kerja ini ditujukan untuk membakukan dan menyederhanakan ART, sebagai mana terapi TB dalam program nasional pengendalian tuberkulosis, dengan tidak mengesampingkan rumitnya pemberian terapi HIV. Pemilihan rejimen lini-pertama dan lini-kedua harus diberikan bersamaan dengan upaya memperkuat sistem pelayanan kesehatan guna mencapai kualitas dan hasil akhir yang maksimal dari pengobatan tersebut. Seperti diketahui sistem pelayanan kesehatan seringkali mengalami kekurangan sumberdaya dan lemahnya pemantauan dan evaluasi.
4
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Pedoman ini memberikan informasi tentang 4 S = starting, substituting, switching and stopping, yaitu, saat yang tepat untuk memulai ART (starting), memilih obat yang harus diteruskan bila harus mengganti sebagian rejimen pengobatan (subtituting), alasan untuk mengganti seluruh rejimen (switching) dan saat menghentikan ART (stopping). Pedoman ini juga memuat cara memantau pengobatan, khususnya mengenai efek samping obat dan kepatuhan dan kepatuhan pengobatan (adherence), serta memberikan pedoman ART khusus pada kelompok pasien tertentu, antara lain pasien TB, perempuan, ibu hamil dan anak. A. Alasan Umum Pembuatan Pedoman Pada saat ini, kurang dari 5% ODHA di negara berkembang yang membutuhkan ART dapat terjangkau. WHO memperkirakan bahwa sedikitnya 3 juta orang yang membutuhkannya dapat terjangkau pada tahun 2005. Berarti hampir 10 kali lipat dari kenyataan yang ada sekarang. Pedoman terapi ini dimaksudkan dapat mendukung dan memfasilitasi penatalaksanaan yang lebih baik dan dapat meningkatkan jangkauan ART pada tahun mendatang untuk mencapai tujuan. Secara rinci pendekatan tersebut adalah sebagai berikut: 1
Program upaya peningkatan jangkauan ART dari sudut pandang jangkauan universal: seperti misalnya, semua orang yang memerlukan terapi sesuai dengan kriteria indikasi medis seharusnya dapat menjangkaunya.
2
Standarisasi dan penyerderhanaan rejimen ARV sehingga program pengobatan dapat diterapkan secara efisien di daerah dengan keterbatasan sumberdaya.
3
Memastikan bahwa program ART didasarkan atas dasar ilmiah sehingga terhindar dari penggundaan protokol
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
5
yang tidak standar dan hasil akhir secara individu pasien yang tidak diinginkan serta potensi timbulnya resistensi virus terhadap obat yang ada. Namun demikian dalam membuat pedoman dan rekomedasi perlu pula mempertimbangkan ketersediaan sumber daya manusia yang terampil, sistem infrastruktur kesehatan dan kondisi sosioekonomi setempat. B. Tujuan Pedoman ART 1
Menyediakan standar ART sebagai bagian dari perawatan HIV/AIDS yang paripurna (comprehensive);
2
Menyediakan rujukan bagi para dokter dan pemberi layanan kesehatan lain yang merawat pasien HIV/AIDS, juga bagi pimpinan program AIDS dan perencana kesehatan yang terlibat pada program perawatan dan pengobatan HIV nasional.
C. Sasaran Pengguna Pedoman ART Pedoman penggunaan antiretroviral ditujukan kepada:
II
1
Para dokter dan petugas kesehatan terkait; dan
2
Pimpinan program AIDS nasional dan perencana kesehatan lain yang terlibat dengan program perawatan dan pengobatan HIV nasional sebagai rujukan untuk pedoman pengobatan nasional.
Prinsip Pengobatan Antiretroviral
Prinsip pengobatan antiretroviral atau antiretroviral therapy secara umum disingkat sebagai ART adalah sebagai berikut. A. Tujuan Pengobatan ARV 1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat 6
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
2. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV 3. Memperbaiki kualitas hidup ODHA 4. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi kekebalan tubuh 5. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus B. Pengetahuan Dasar Penggunaan ART • Replikasi HIV sangat cepat dan terus menerus sejak awal
infeksi, sedikitnya terbentuk sepuluh miliar virus setiap hari, namun karena waktu paruh (half-life) virus bebas (virion) sangat singkat maka sebagian besar virus akan mati. Walaupun ada replikasi yang cepat sebagian pasien merasa tetap sehat tanpa ART selama sistem kekebalan tubuhnya masih berfungsi baik. • Replikasi HIV yang terus-menerus mengakibatkan kerusakan
sistem kekebalan tubuh semakin berat, sehingga semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO), kanker, penyakit saraf, kehilangan berat badan secara nyata (wasting) dan berakhir dengan kematian. • Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV, sedangkan
penurunan CD4 menunjukkan tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. • Nilai viral load menggambarkan progresivitas penyakit dan
risiko kematian. Pemeriksaan secara berkala jumlah CD4 dan viral load (jika memungkinkan) dapat menentukan progresivitas penyakit dan mengetahui saat yang tepat untuk memulai atau mengubah rejimen ART. • Tingkat progresivitas penyakit pada ODHA dapat berbeda-
beda.
Keputusan
pengobatan
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
harus
berdasarkan 7
pertimbangan individual dengan memperhatikan gejala klinis, hitung limfosit total dan bila memungkinkan jumlah CD4. • Terapi kombinasi ART dapat menekan replikasi HIV hingga
di bawah tingkat yang tidak dapat dideteksi oleh pemeriksaan yang peka (PCR). Penekanan virus secara efektif ini mencegah timbulnya virus yang resistan terhadap obat dan memperlambat progresivitas penyakit. Jadi tujuan terapi adalah menekan perkembangan virus secara maksimal. • Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV secara terus-
menerus adalah memulai pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat yang bersamaan pada pasien baru. Pada pasien yang pernah diterapi tidak boleh menggunakan obat yang memiliki resistensi silang (cross resistant) dengan obat yang pernah dipakai. • Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal
yang tepat. Sampai saat ini pengetahuan tentang mekanisme kerja dan jenis ARV masih terbatas dan ada laporan resistansi silang pada obat-obat tertentu. • ODHA perempuan baik yang sedang hamil ataupun tidak
seharusnya menerima ART yang optimal. • Prinsip pemberian ART diperlakukan sama pada anak
maupun dewasa, walaupun pengobatan pada anak perlu mendapat pertimbangan khusus. • Walaupun viral load tidak terdeteksi, ODHA yang mendapat
ART harus tetap dianggap menular. Mereka harus diberi konseling agar menghindari hubungan seks yang tidak aman atau penggunaan NAPZA suntikan yang dapat menularkan HIV atau patogen menular lain3.
8
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
• Untuk menghindari timbulnya resistensi ART harus dipakai
terus-menerus dengan kepatuhan (adherence) yang sangat tinggi, walaupun sering dijumpai efek samping ringan. Keterlibatan pasien dan pendampingnya (keluarga, pasangan, teman) sangat penting dalam semua pertimbangan dan keputusan untuk memulai ART. Hubungan baik antara pasien dengan dokternya sangat diperlukan. • Pemberian ART harus dipersiapkan secara baik dan matang
dan harus digunakan seumur hidup • Disamping ART maka infeksi oportunistik harus pula
mendapat perhatian dan harus segera diobati bila ditemukan
III Memulai ART pada ODHA dewasa A. Prasyarat Sebelum memulai ART, sebaiknya tersedia layanan dan fasilitas khusus, karena terapi yang rumit dan biaya tinggi, perlu pemantauan yang intensif: Layanan tersebut terdiri dari : 1
Layanan konseling dan pemeriksaan sukarela (voluntary counseling and testing/VCT) untuk menemukan kasus yang memerlukan pengobatan dan layanan konseling tindak-lanjut untuk memberikan dukungan psikososial berkelanjutan
2
Layanan konseling kepatuhan untuk memastikan kesiapan pasien menerima pengobatan oleh konselor terlatih dan meneruskan pengobatan (dapat diberikan melalui pendampingan atau dukungan sebaya).
3
Layanan medis yang mampu mendiagnosis dan mengobati penyakit yang sering berkaitan dengan HIV serta infeksi oportunistik.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
9
B.
4
Layanan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan laboratorium rutin seperti pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah. Akses ke laboratorium rujukan yang mampu melakukan pemeriksaan CD4 bermanfaat untuk memantau pengobatan.
5
Ketersediaan ARV dan obat infeksi oportunistik serta penyakit terkait lain, yang efektif, bermutu, terjangkau dan berkesinambungan. Penilaian Klinis
Sebelum memulai terapi perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: •
Penggalian riwayat penyakit secara lengkap
•
Pemeriksaan fisik lengkap
•
Pemeriksaan laboratorium rutin
•
Hitung limfosit total (total lymphocyte count/TLC) dan bila mungkin pemeriksaan jumlah CD4
Perlu penilaian klinis yang rinci sbb: •
Menilai stadium klinis infeksi HIV
•
Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu
•
Mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan
•
Mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi
Riwayat Penyakit Pertanyaan mengenai riwayat penyakit meliputi:
10
•
Kapan dan di mana diagnosis HIV ditegakkan
•
Kemungkinan sumber infeksi HIV DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
•
Gejala dan keluhan pasien saat ini
•
Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk infeksi oportunistik
•
Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB) termasuk kemungkinan kontak dengan TB sebelumnya
•
Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
•
Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
•
Riwayat penggunaan ART termasuk riwayat rejimen untuk PMTCT sebelumnya
•
Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
•
Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
•
Riwayat penggunaan NAPZA suntik
Pemeriksaan fisik meliputi •
Berat badan, tanda vital
•
Kulit: herpes zoster, sarkoma Kaposi, dermatitis HIV, pruritic papular eruption (PPE), dermatitis seboroik berat, jejas suntikan (needle track) atau jejas sayatan
•
Limfadenopati
•
Selaput lendir orofaringeal: Kaposi, hairy leukoplakia, HSV
•
Pemeriksaan jantung, paru dan abdomen
•
Pemeriksaan sistem saraf dan otot rangka: kedaan kejiwaan, berkurangnya fungsi motoris dan sensoris
•
Pemeriksaan fundus mata: retinitis dan papil-edema
•
Pemeriksaan saluran kelamin/alat kandungan
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
kandidiasis,
sarkoma
11
Pemeriksaan psikologis: •
Untuk mengetahui status mental
•
Menilai kesiapan menerima pengobatan jangka panjang atau seumur hidup
Pemeriksaan Laboratorium •
Pemeriksaan serologi untuk HIV dengan menggunakan strategi 2 atau strategi 3 sesuai pedoman
•
Limfosit total atau CD4 (jika tersedia)
•
Pemeriksaan darah lengkap (terutama HB) dan kimia darah (terutama fungsi hati) dan fungsi ginjal
•
Pemeriksaan kehamilan
Pemeriksaan tambahan yang diperlukan sesuai riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis •
Foto toraks
•
Pemeriksaan urin rutin dan mikroskopik
•
Serologi virus hepatitis C (HCV) dan virus hepatitis B (HBV) (tergantung pada adanya pemeriksaan dan sumber daya)
Pemeriksaan HIV harus dilakukan oleh teknisi yang terlatih di laboratorium yang menjalankan program jaga mutu. Hasil pemeriksaan sebaiknya juga menyebutkan jenis pemeriksaan yang dipakai untuk menegakkan diagnosis berdasarkan pedoman WHO. Bila timbul keraguan, pemeriksaan harus diulang di laboratorium rujukan. Jika memungkinkan, profil kimia darah diperiksa yang meliputi:
12
•
kreatinin serum dan/atau ureum darah untuk menilai fungsi ginjal pada awal,
•
glukosa darah, DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
•
SGOT/SGPT untuk mengetahui kemungkinan adanya hepatitis serta memantau adanya keracunan obat.
•
pemeriksaan lain bila perlu seperti: bilirubin serum, lipid serum dan amilase serum.
C. Persyaratan lain •
Sebelum mendapat ART pasien harus dipersiapkan secara matang dengan konseling kepatuhan yang telah baku, sehingga pasien faham benar akan manfaat, cara penggunaan, efek samping obat, tanda-tanda bahaya dan lain sebagainya yang terkait dengan ART
•
Pasien yang mendapat ART harus menjalani pemeriksaan untuk pemantauan secara klinis dengan teratur
D. Indikasi ART Sesuai rekomendasi WHO untuk daerah dengan keterbatasan sumberdaya, maka ODHA dewasa seharusnya segera mulai ART manakala infeksi HIV telah ditegakkan secara laboratoris disertai salah satu kondisi di bawah ini. •
•
Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV: o
Infeksi HIV Stadium IV menurut kriteria WHO, tanpa memandang jumlah CD4
o
Infeksi HIV Stadium III menurut kriteria WHO dengan jumlah CD4 <350/mm3
Infeksi HIV Stadium I atau II menurut kriteria WHO dengan jumlah CD4 <200/mm3 (Tabel 1)
Artinya bahwa ART untuk penyakit Stadium IV (kriteria WHO disebut AIDS klinis) tidak seharusnya tergantung pada jumlah CD4. Untuk Stadium III, bila tersedia sarana pemeriksaan CD4 akan membantu untuk menentukan saat DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
13
pemberian terapi yang lebih tepat. Tuberkulosis paru dapat timbul pada tahapan dengan jumlah CD4 berapapun, bila jumlah CD4 tersebut dapat terjaga dengan baik (misalnya >350/mm3), maka terapi dapat ditunda dengan meneruskan pemantauan pasien secara klinis. Untuk kondisi Stadium III terpilih nilai ambang 350/mm3 karena pada nilai di bawahnya biasanya kondisi pasien mulai menunjukkan perkembangan penyakit yang cepat memburuk dan sesuai dengan pedoman yang ada4,5. Bagi pasien dalam stadium I atau II, maka jumlah CD4 <200/mm3 merupakan indikasi pemberian terapi. Apabila tidak ada sarana pemeriksaan CD4, maka yang digunakan sebagai indikator pemberian terapi pada infeksi HIV simtomatik adalah jumlah limfosit total 1200/mm3 atau kurang (misalnya pada Stadium II WHO). Sedangkan pada pasien asimtomatik jumlah limfosit total kurang berkorelasi dengan jumlah CD4. Namun bila dalam stadium simtomatik baru akan bermanfaat sebagai petanda prognosis dan harapan hidup6,7,8,9,10,11. Pemeriksaan viral load (misalnya dengan menggunakan kadar RNA HIV-1 dalam plasma) tidak dianggap perlu sebelum dimulainya ART dan tidak direkomendasikan oleh WHO sebagai tindakan rutin untuk memandu pengambilan keputusan terapi, oleh karena harganya yang mahal dan pemeriksaannya rumit. Diharapkan di masa mendatang dapat terkembang cara pemeriksaan viral load yang lebih terjangkau sehingga cara memantau pengobatan tersebut dapat diterapkan secara luas. Perlu diperhatikan bahwa sistem pentahapan infeksi HIV menurut WHO bagi ODHA dewasa tersebut dikembangkan pada beberapa tahun yang lalu dan memiliki keterbatasan, namun demikian, tetap masih bermanfaat untuk membantu menetapkan indikator saat memulai terapi. 14
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Tabel 1. Saat untuk memulai terapi pada ODHA dewasa Bila tersedia pemeriksaan CD4 •
Stadium IV WHO, tanpa memandang jumlah CD4
•
Stadium III WHO, dengan jumlah CD4 <350/mm3 sebagai petunjuk dalam mengambil keputusana
•
Stadium I atau II WHO dengan jumlah CD4 <200/mm3b
Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4 •
Stadium IV WHO, tanpa memandang jumlah limfosit total
•
Stadium III WHO, tanpa memandang jumlah limfosit total
•
Stadium II WHO dengan jumlah limfosit total <1200/mm3c
Keterangan: (lihat lampiran F) a
b c
CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan). Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana ART harus dimulai belum dapat ditentukan. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I WHO) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumberdaya terbatas.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
15
IV Obat Antiretroviral Tabel 2. Dosis Antiretroviral untuk ODHA Dewasa Golongan/ Nama Obat
Dosis a
Nucleoside RTI Abacavir (ABC)
300 mg setiap 12 jam
Didanosine (ddI)
400 mg sekali sehari (250 mg sekali sehari if <60 kg) (250 mg sekali sehari bila diberikan bersama TDF)
Lamivudine (3TC)
150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari
Stavudine (d4T)
40 mg setiap 12 jam (30 mg setiap 12 jam bila BB<60 kg)
Zidovudine (ZDV atau AZT)
300 mg setiap 12 jam
Nucleotide RTI Tenofovir (TDF)
300 mg sekali sehari, (Catatan: interaksi obat dengan ddI perlu mengurangi dosis ddI)
Non-nucleoside RTIs b
Efavirenz (EFV)
600 mg sekali sehari
Nevirapine (NVP)
200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap 12 jam
Protease inhibitors c, d
Indinavir/ritonavir (IDV/r)
800 mg/100 mg setiap 12 jam
Lopinavir/ritonavir (LPV/r)
400 mg/100 mg setiap 12 jam, (533 mg/133 mg setiap 12 jam bila dikombinasi dengan EFV atau NVP)
Nelfinavir (NFV)
1250 mg setiap 12 jam
Saquinavir/ ritonavir (SQV/r)
1000 mg/100 mg setiap 12 jam atau 1600 mg/200 mg sekali seharid,e
Ritonavir (RTV, r)f Keterangan:
Capsule 100 mg, larutan oral 400 mg/5 ml
a
b c d
e f
16
Dosis yang terpapar pada tabel di atas dipilih berdasarkan bukti klinis terbaik yang ada. Dosis yang dapat diberikan sekali atau setiap 12 jam akan lebih meningkatkan kepatuhan pada terapi. Dosis di dalam daftar tersebut dimaksudkan untuk pasien dengan fungsi ginjal dan hati yang normal. Informasi produk harus dikonsulkan untuk menyesuaikan dosis yang mungkin diperlukan bagi pasien dengan fungsi hati dan ginjal yang tidak normal atau berpotensi untuk terjadi interaksi obat HIV atau non-HIV lainnya. Lihat Bab TB untuk dosis khusus TB. Dosis rejimen sering digunakan secara klinis. Dosi lain dari rejimen IDV/r yang bekisar antara 800 mg/200 mg setiap 12 jam hingga 400 mg/100 mg setiap 12 jam juga dalam penggunaan klinis. Ada indikasi penyesuaian dosis ketika dikombinasikan dengan NNRTI, namun pada saat in belum dapat dibuat rekomendasi tertulis. Salah satu pertimbangan adalah menaikkan dosis komponen RTV menjadi 200 mg setiap 12 jam bila digunakan EFV atau NVP secara bersamaan. Diperlukan data interaksi obat lebih lanjut. Kedua kemasan baik kapsul hard-gel dan soft-gel dapat digunakan bila akan mengkombinasikan SQV dengan RTV. Ritonavir hanya digunakan dalam kombinasi dengan indinavir, lopinavir dan saquinavir sebagai booster (penguat) dan tidak sebagai obat tersendiri.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
A. Rejimen ARV Lini-pertama bagi ODHA dewasa Untuk mendorong peningkatan jangkauan ART dilaksanakan program ART melalui pendekatan kesehatan masyarakat seperti yang digariskan oleh WHO dalam rencana 3 by 5 yang dikembangkan untuk dapat menjangkau lebih banyak ODHA yang memerlukan terapi dan memerlukan pembakuan ART. Disarankan penyediaan rejimen lini-pertama dalam jumlah yang cukup. Obat lini-kedua hanya disediakan dalam jumlah terbatas di sarana rujukan dengan dokter spesialis terlatih, mengingat beberapa ODHA mungkin tidak dapat mentoleransi atau gagal pada pengobatan lini-pertama tersebut. Penggunaan rejimen baku merupakan komponen terpenting untuk mencapai tujuan 3 by 5. Faktor yang harus diperhatikan dalam memilih rejimen ART baik di tingkat program ataupun di tingkat individual adalah: efikasi obat; profil efek-samping obat; persyaratan pemantauan laboratorium; kemungkinan kesinambungannya sebagai pilihan obat di masa depan; antisipasi kepatuhan oleh pasien; kondisi penyakit penyerta (contoh, koinfeksi, kelainan metabolik); kehamilan dan risikonya; penggunaan obat lain secara bersamaan (potensi terjadinya interaksi obat); infeksi galur (strain) virus lain yang potensial meningkatkan resistensi terhadap satu atau lebih ARV, termasuk ARV lain yang diberikan sebelumnya sebagai profilaksis atau terapi; ketersediaan dan harga ARV. DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
17
Perlu pula mempertimbangkan penggunaan ARV dalam bentuk kombinasi tetap yang terjamin mutunyaa (kombinasi tetap atau fixed-dose combination = FDC)b atau kemasan blisterc karena hal tersebut sangat berpengaruh baik pada kepatuhan dan akan menekan munculnya resistensi obat, juga akan mempermudah penyimpanan atau distribusinya. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah keterbatasan jangkauan pada beberapa jenis ARV, keterbatasan infrastruktur sarana layanan kesehatan (termasuk sumberdaya manusia), pengiriman ke daerah pedesaan yang jauh dari kota, tingginya insiden TB dan hepatitis B dan/atau C di masyarakat dan terdapatnya lebih dari satu tipe, grup, dan subtipe HIV. Pada pedoman WHO terdahulu (April 2002) direkomendasikan bahwa rejimen lini-pertama terdiri atas dua NRTI ditambah salah satu NNRTI atau abacavir, atau protease inhibitor. Sejak pedoman tersebut diterbitkan kebanyakan negara berkembang memilih komposisi rejimen lini-pertama yang terdiri atas dua NRTI dan satu NNRTI. Tiga rejimen NRTI termasuk abacavir hampir tidak pernah dipilih oleh karena harganya terlalu mahal dan adanya reaksi hipersensitif. Rejimen yang mengandung satu protease inhibitor menjadi pilihan kedua, terutama oleh karena harganya yang mahal. Perlu pula dipertimbangkankan jumlah tablet yang harus diminum, profil efek samping obat dan kesulitan logistik (beberapa perlu cold-chain).
a
b
c
Dosis kombinasi-tetap (fixed-dose combinations (FDCs)),yang bermutu yang dimaksud dalam dokumen ini adalah termasuk produk individual yang dianggap memenuhi kualitas standar internasional, keamanan dan efikasinya. Dalam hal, obat kombinasi yang komponennya berasal dari pabrik yang berbeda dengan yang telah diakui secara internasional, perlu mencantumkan hasil penelitian clinical bioequivalence untuk menentukan therapeutic interchangeability dari tiap komponennya. Untuk prakualifikasi WHOuntuk ARV lihat: http://www.who.int/medicines/organization/qsm/activities/pilotproc/proc.shtml Dosis kombinasi-tetap adalah menyatukan 2 atau lebih produk farmakologi aktif dalam satu pil, kapsul, tablet atau larutan. Suatu kemasan blister adalah kemasan dalam plastik atau blister aluminum yang mengandung dua atau lebih pil, kapsul atau tablet.
18
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Setelah melakukan kajian atas rejimen berbasis NNRTI dengan memperhatikan efikasi dan toksisitas baik komponen NRTI dan NNRTI-nya, ketersediaan koformula tetap (Lampiran D), tidak adanya persyaratan cold-chain, ketersediaan dan harga obat maka disimpulkan bahwa keempat obat dalam rejimen ARV lini-pertama yang tercantum dalam Tabel 3 adalah cocok untuk ODHA dewasa. Rejimen tersebut terdiri atas suatu analog timidin dari NRTI, contoh, stavudin (d4T) atau zidovudin (AZT), suatu tiasitidin dari NRTI (contoh, lamivudin [3TC] ), dan suatu NNRTI (contoh, nevirapine [NVP] atau efavirenz [EFV] ). Pada awalnya d4T lebih mudah ditoleransi daripada AZT dan tidak memerlukan pemantauan haemoglobin. Namun, di antara sekian anggota NRTI, d4T seringkali menimbulkan lipoatrofi dan kelainan metabolisme lain di negara maju, termasuk adanya asidosis laktat, terutama bila dikombinasikan dengan didanosin (ddI). Dapat pula menyebabkan neuropati perifer dan pankreatitis. AZT juga dapat berdampak pada komplikasi metabolik tetapi dalam derajat yang lebih rendah dibanding d4T. Efek samping awal (sakit kepala, mual) lebih sering dijumpai pada pemberian AZT. Obat tersebut dapat menimbulkan anemia berat dan neutropenia, sehingga, memerlukan pemantauan Hb sebelum dan selama pengobatan. Kedua obat ini (AZT dan d4T) dapat saling menggantikan bila tidak dapat ditoleransi atau muncul komplikasi (kecuali pada munculnya asidosis laktat, di mana kedua obat tersebut tidak boleh dipakai). Bila tidak tersedia pemantauan laboratorium untuk Hb maka pilihan jatuh pada d4T dari NRTI. Lamivudin (3TC) adalah suatu NRTI yang kuat dengan riwayat efikasi yang baik, aman, dan dapat diterima. Dapat diberikan satu atau dua kali perhari dan telah dimasukkan dalam sejumlah tablet kombinasi. Emtricitabine (fluorinated DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
19
cytidine analogue = FTC) adalah suatu jenis analog nukleosida yang baru disetujui, secara struktur kimiawi dan profil resistensinya mirip dengan 3TC, dapat diberikan sekali sehari12. Saat ini bentuk kombinasi bersama tenofovir disoproxil fumarate (TDF) masih dalam penelitian. Oleh karena FTC masih relatif baru dan baru disetujui di beberapa negara saja maka tidak dimasukkan dalam rekomendasi WHO sebagai obat linipertama, namun tidak menutup kemungkinan di masa depan akan berubah seiring dengan bertambahnya pengalaman dan ketersediaan atas obat tersebut yang semakin luas dan harga yang semakin murah. Dua komponen NRTI yang terdiri atas d4T/ddI tidak lagi direkomendasikan sebagai rejimen lini-pertama karena alasan profil toksisitasnya, terutama pada kehamilan13. Juga perlu ditekankan bahwa AZT dan d4T bekerja secara antagonistik sehingga tidak boleh digunakan secara bersamaan14. TDF memiliki waktu paruh intraseluler yang panjang, maka dapat dipakai sebagai anggota rejimen tripel sekali sehari. Telah terbukti bahwa TDF merupakan komponen dari rejimen lini-pertama yang efektif bila dikombinasikan dengan 3TC dan efavirenz (EFV)15,16. Biasanya dapat ditoleransi dengan baik meskipun ada laporan tentang timbulnya insufisiensi fungsi ginjal pada pasien yang menerima TDF17,18,19. Pengalaman dengan obat ini secara global masih relatif sedikit, lagi pula ketersediaannya masih sangat terbatas dan relatif mahal bagi negara berkembang. Dalam pedoman ini TDF digunakan dalam rejimen lini-kedua. Secara global, rejimen berbasis NNRTI saat ini merupakan rejimen kombinasi yang paling banyak dipakai untuk terapi awal. Obat golongan tersebut relatif cukup kuat dan sederhana tetapi tidak efektif bila berhadapan dengan HIV-2 dan HIV-1 grup O. EFV dan NVP keduanya merupakan NNRTI yang kuat 20
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
secara klinis bila diberikan dalam bentuk kombinasi yang sesuai. Namun oleh karena adanya perbedaan mengenai profil toksisitas, potensi untuk berinteraksi dengan obat lain dan harga, penggunaan kombinasi mereka masih menjadi kontroversi14,20,21,22,23,24,25,26. NVP dapat menimbulkan ruam kulit maupun hepatotoksisitas masing-masing dengan insidens yang tinggi, yang dapat berat dan fatal. Hal tersebut membuat NVP kurang sesuai untuk terapi ODHA yang telah mendapat obat lain yang juga hepatotoksik ataupun ruam kulit, atau keduanya, seperti halnya rifampisin. Toksisitas terbanyak pada EFV adalah berhubungan dengan sistem susunan saraf pusat (SSP), teratogenisitas dan ruam kulit (ruam kulit lebih sering timbul pada anak daripada dewasa, yang biasanya ringan dan tidak perlu sampai menghentikan pengobatan). Pada umumnya gejala pada SSP mereda setelah 10 – 14 hari, meskipun tidak semuanya demikian. EFV tidak boleh diberikan kepada ODHA dengan riwayat gangguan psikiatrik berat, atau hamil. EFV dapat dipakai sebagai NNRTI pilihan untuk pasien dengan koinfeksi TB-HIV, sedangkan NVP merupakan pilihan terbaik bagi perempuan usia subur atau hamil. EFV tidak boleh diberikan kepada ODHA perempuan usia subur kecuali bila dapat dipastikan memakai kontrasepsi yang terpercaya. Perlu sekali ditekankan di sini bahwa EFV dan NVP dapat berinteraksi dengan pil kontrasepsi yang mengandung estrogen dengan menurunkan efek kontrasepsinya. NVP dapat disediakan dalam kemasan koformula-tetap 3 obat asal ada jaminan mutu bioequivalence -nya. Penggunaan kombinasi dari 5 jenis obat (d4T atau AZT) + 3TC + (NVP atau EFV) dalam 4 kemungkinan rejimen kombinasi-tetap (Tabel 3) menyediakan pilihan pengganti bila ada reaksi toksik (Tabel 6). Oleh karena masing-masing DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
21
dianggap efikasinya cukup kuat sebagai rejimen baku, perlu pertimbangan faktor lain dalam pemilihan rejimen utama. Tabel 3 memuat daftar faktor tersebut. ARV dalam kemasan blister ataupun kombinasi-tetap memiliki keunggulan dibandingkan dengan pengemasan obat secara konvensional yaitu membantu menyederhanakan pengobatan dan meningkatkan kepatuhan dan kesinambungan berobat (adherence), serta mengurangi kesalahan penulisan resep, meningkatkan kepatuhan pada pedoman pengobatan baku bagi petugas kesehatan, mengurangi kesalahan minum obat, mempermudah pengelolaan logistik obat (dengan tanggal kedaluwarsa tunggal), menyederhanakan penghitungan kebutuhan, pembelian, distribusi dan penyimpanan, dan mengurangi risiko kesalahan pemakaian obat tunggal. Kombinasi-tetap juga memberikan tantangan bila diperlukan penyesuaian dosis masing-masing komponen untuk individu tertentu, seperti anak, dan adanya perbedaan waktu paruh dari obat pada waktu obat terputus. Syarat pemantauan laboratorium juga perlu diperhitungkan (lihat Bab V). Bila pada rejimen lini-pertama dipilih d4T/3TC/NVP atau AZT/3TC/NVP maka diperlukan persediaan kombinasi-tetap 2 obat (d4T/3TC atau AZT/3TC) untuk menerapkan dosis awal NVP selama 2 minggu pertama pengobatan sebagai antisipasi serta menanggulangi reaksi toksik dari NVP (Lampiran D). Obat tambahan tersebut juga perlu tersedia di layanan kesehatan tingkat menengah seperti di daerah tingkat II atau rumah sakit rujukan. Pendekatan pada ketersediaan rejimen tetap ini harus seiring dengan strategi pemantauannya pada sistem pelayanan kesehatan (lihat Bab VII).
22
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
B. Bahan pertimbangan untuk menentukan obat linipertama pada pengobatan infeksi HIV-2 dan HIV-1 grup O Rejimen yang mengandung PI. Meskipun rejimen yang mengandung PI tetap diterima sebagai sebagai rejimen baku untuk mengawali terapi, namun oleh karena relatif jauh lebih mahal dibanding dengan rejimen yang mengandung NNRTI, maka hal tersebut menjadi masalah rumit di negara miskin yang ingin meningkatkan jangkauan ART. Keunggulan dari rejimen yang mengandung PI (seperti PI + 2 NNRTI), adalah memiliki efikasi yang telah terbukti secara klinis dan diketahui jelas toksisitasnya. Kelemahannya adalah banyaknya jumlah tablet yang harus diminum, perlunya makanan tertentu dan banyak minum pada beberapa kasus, interaksi dengan obat lain sehingga tidak memungkinkan atau memperumit pengobatan TB yang menggunakan rifampisin, kelainan metabolik yang diakibatkannya serta memerlukan cold-chain bagi rejimen ritonavir-boosted. Oleh karena itu, dalam pedoman ini mereka dimasukkan dalam obat lini-kedua (Bab VII). Dalam keadaan tertentu bila dikhawatirkan adanya resistensi dari NNRTI (misalnya prevalensi di masyarakat lebih dari 5 - 10%)27, terdapat banyak jenis virus yang telah diketahui resisten terhadap NNRTI (contohnya, HIV-2 atau HIV-1 grup O) atau adanya intoleransi terhadap NNRTI, maka rejimen yang mengandung PI harus dipakai sebagai obat lini-pertama. Pilihan meliputi (d4T atau AZT) + 3TC dikombinasikan dengan salah satu lopinavir/ritonavir (LPV/r), saquinavir/ ritonavir (SQV/r), indinavir/ritonavir (IDV/r), atau nelfinavir (NFV), pilihan tersebut tergantung pada prioritas program setempat. PI yang diperkuat ritonavir (ritonavir-boosted PI) disukai oleh karena sangat kuat28 dan jumlah pil yang tidak terlalu banyak, tetapi keperluan cold-chain serta kekerapan pemantauan laboratorium yang diperlukan membawa masalah tersendiri DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
23
bagi negara miskin. Dosis LPV/r adalah dua-kali perhari dan relatif dapat ditoleransi dengan baik, namun sering menimbulkan peningkatan kadar lipid plasma. Dosis SQV/r dapat diberikan sekali sehari dan dapat mencapai kadar terapetik yang adekuat dalam darah pada kehamilan dan kompatibel bila diberikan bersama-sama dengan rifampisin. Formulasi SQV/r yang tesedia saat ini terdiri dari banyak pil dan sering menimbulkan efek samping pada saluran cerna. NFV, meskipun dianggap kurang kuat dibanding LPV/r, dapat diterima sebagai alternatif, telah dipakai secara luas pada kehamilan dan tidak memerlukan sarana cold-chain. Tetapi, kurang efektif terhadap infeksi HIV-2 dibandingkan PI lain29,30,31. IDV/r dapat pula dipakai sebagai suatu alternatif tetapi kadang menimbulkan efek samping pada ginjal, terutama nefrolitiasis, sehingga perlu banyak minum. Peran PI baru, atazanavir (ATV) di negara miskin masih belum jelas. Obat ini punya kelebihan bahwa dapat diberikan dengan dosis sekali sehari, dan tidak menimbulkan hiperlipidemi meski tanpa pemberian booster ritonavir. Dapat pula diberikan dengan ritonavir dosis-rendah untuk meningkatkan potensinya32,33,34. ATV merupakan alternatif yang layak tetapi pengalaman dari PI lain jauh lebih banyak, sehingga baru akan direkomendasikan bila harga, ketersediaan, serta pengalaman akan pemakaian obat ATV semakin baik. Rejimen NRTI kombinasi tiga Dalam pedoman edisi 2002 rejimen yang terdiri atas AZT/3TC/abacavir (ABC) dianggap paling mudah penggunaannya, baik bagi pasien maupun bagi pengelola program (dua tablet perhari dan tidak ada interaksi antar obat yang berat). Kelemahan utamanya adalah bahwa pada viral load yang tinggi atau pada pasien dengan penyakit tahap lanjut potensinya tidak pasti, harga relatif mahal terutama ABC, dan 24
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
kemungkinan adanya reaksi hipersensitifitas ABC yang fatal. Data mutakhir dari penelitian ACTG A5095 menunjukkan bahwa AZT/3TC/ABC memiliki kegagalan virologis lebih tinggi dari pada kombinasi (AZT/3TC/EFV atau AZT/3TC/ABC/EFV), yaitu masing-masing 21% dan 10%, dengan median lama pemantauan 32 minggu35,36,37. Oleh karena kelemahan virologis tersebut maka rejimen yang mengandung NRTI diletakkan dalam peringkat yang lebih rendah dibandingkan dengan rejimen yang berbasis EFV, meskipun tidak boleh diabaikan. Rejimen NRTI ganda tiga mungkin akan berguna apabila ada intoleransi atau resistensi obat terhadap NNRTI sedangkan PI tidak tersedia. Rejimen tersebut menjadi salah satu pilihan alternatif pada koinfeksi-TB yang memerlukan ART. Dalam pedoman ini rejimen NRTI ganda tiga hanya menjadi alternatif kedua untuk mengawali terapi pada situasi tertentu (contoh, ko-infeksi TB aktif, infeksi HIV-2). Perlu diketahu bahwa saat ini sedang berlangsung penelitian DART yang akan memberikan informasi penting tentang efikasi AZT/3TC/ABC dibandingkan dengan AZT/3TC/TDF dan AZT/3TC/NVP pada pengobatan 3000 ODHA yang belum pernah mendapat ARV di Afrika38. Tidak boleh diasumsikan bahwa setiap kombinasi 3 NRTI itu sama, setiap kombinasi 3 NRTI harus dievaluasi sendirisendiri. Sebagai gambaran, pada penelitian baru-baru ini ditunjukkan bahwa kombinasi TDF/3TC/ABC yang diberikan sekali sehari mengalami kegagalan virologi yang tinggi (49%) dan menimbulkan tingginya mutasi K65R, sehingga dikawatirkan terjadi resistensi silang terhadap NRTI non-AZT39, maka kombinasi tersebut perlu dihindari. Hal yang sama, dalam suatu studi pendahuluan pada 24 pasien dengan dosis TDF/ddI/3TC sekali sehari menunjukkan kegagalan virologis 91% dan laju mutasi K65R yang tinggi40. Penelitian lain tentang DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
25
penggunaan d4T/ddI/ABC menunjukkan efikasi yang rendah dan frekuensi efek samping yang tinggi41, maka kombinasi tersebut perlu pula dihindari. Tabel 3. Rejimen ARV Lini-pertama untuk ODHA remaja dan dewasa dan faktor yang mempengaruhi pemilihannya Rejimen ARV
AZT + 3TC + NVP
d4T + 3TC + NVP
Toksisitas Utama
Intoleransi gastrointestinal dari AZT, anemia, dan netropenia; Hepatotoksisitas NVP dan ruam kulit berat
Neuropati yang terkait d4T, pankreatitis dan lipoatropi; Hepatotoksisitas NVP dan ruam kulit berat
Koinfeksi a TB
Kemasan kombinasitetap 3 obat
Ya
Ya, dalam terapi TB lanjutan tanpa b rifampisin . Hati-hati pada penggunakan rejimen yang mengandung a rifampisin
Ya
Ya
Ya, dalam terapi TB lanjutan tanpa b rifampisin . Hati-hati untuk rejimen yang berbasis a rifampisin
Ya
Perempuan (usia subur atau hamil)
d
Perlu pemantauan lab.
Ya
Tidak
Tabel 3. Rejimen ARV Lini-pertama untuk ODHA remaja dan dewasa dan faktor yang mempengaruhi pemilihannya (lanjutan). Rejimen ARV
Toksisitas Utama
AZT + 3TC + EFV
Intoleransi gastrointestinal dari AZT, anemia, dan netropenia; Toksisitas pada SSP yang terkait EFV dan potensial teratogenik
26
Perempuan (usia subur atau hamil)
Koinfeksi TBa
Kemasan kombinasitetap 3 obat
Perlu pemantauan lab.
Ya, tetapi Tidak. EFV EFV tidak tidak boleh tersedia diberikan dalam kepada kombinasiperempuan c Tidak tetap; Ya hamil atau namun perempuan tersedia usia subur, kombinasikecuali tetap dari dipastikan menggunakan AZT/3TC kontrasepsi DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
yang efektif
d4T + 3TC + EFV
Neuropati yang terkait d4T, pankreatitis dan lipoatropi; Toksisitas pada CNS yang terkait EFV dan potensial teratogenik
Tidak
c
Ya, tetapi EFV tidak boleh diberikan kepada perempuan hamil atau perempuan usia subur, kecuali dipastikan menggunakan kontrasepsi yang efektif
Tidak. EFV tidak tersedia dalam kombinasitetap; namun tersedia kombinasitetap dari d d4T/3TC
Tidak
Keterangan: a b c d
V
Lihat Bab VIII.C (Pasien dengan koinfeksi TB dan HIV). Rejimen ini tidak baku di Indonesia Lihat Bab VIII.A (Perempuan usia subur atau hamil). Kombinasi ini belum mendapat prakualifikasi WHO tetapi dapat digunakan bila ada bukti jaga mutu bioequivalence.
Pemantauan Klinis dan Laboratorium
Dalam pedoman WHO direkomendasikan bahwa penilaian klinis sebelum memulai ART harus meliputi riwayat penyakit, identifikasi penyakit yang terkait dengan infeksi HIV pada saat sekarang atau sebelumnya, identifikasi kondisi medis lain yang dapat mempengaruhi saat memulai dan pilihan ART (seperti TB, kehamilan dan kondisi lain seperti anemia), dan gejala atau tanda fisik yang ada saat sekarang. Kasus TB aktif harus di tatalaksana sesuai Program Pengendalian TB nasional. Untuk memfasilitasi program peningkatan jangkauan ARV di negara berkembang, telah disusun rekomendasi pemantauan untuk di tingkat Puskesmas (sarana layanan kesehatan dasar), di RS kabupaten (menengah) dan RS rujukan (Tabel 4). WHO memandang pentingnya pemantauan laboratorium untuk memantau efikasi dan menjamin keamanan terapi, namun bukan berarti bahwa keterbatasan dan ketiadaan infrastruktur menjadi kendala dalam melaksanakan upaya peningkatan jangkauan ARV tersebut. DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
27
Bab ini menitik-beratkan pada pemantauan klinis dan laboratorium baku yang diperlukan sesuai rejimen baku linipertama yang rekomendasikan WHO dalam Tabel 3. Rekomendasi ini dirancang untuk dapat diterapkan oleh layanan kesehatan masyarakat dan/atau rumah sakit kabupaten untuk bekerja dalam jejaring, didukung oleh rumah sakit rujukan di tingkat pusat. Perlu dikembangkan sistem kerja sama atau rujukan antar layanan kesehatan di semua tingkat untuk memaksimalkan efikasi dan keamanan ART. Penilaian klinis dan laboratorium diperlukan sebagai data dasar sebelum memberikan terapi dan selama pengobatan ARV. Banyak penelitian di negara berkembang dan negara maju yang menunjukkan adanya korelasi antara jumlah limfosit total dengan CD4 pada pasien yang simtomatik5-10, berarti bila tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan Hb dan hitung limfosit total dapat digunakan sebagai petanda laboratorium untuk memulai ART. Penilaian klinis dasar sama saja untuk keempat rejimen lini-pertama yang direkomendasikan. Hal tersebut harus meliputi: • •
•
• •
stadium penyakit HIV; menemukan adanya kondisi medis penyerta (misalnya TB, kehamilan, penyakit jiwa yang berat); pengobatan penyakit penyerta secara rinci, termasuk pengobatan tradisional; berat badan; penilaian kesiapan pasien untuk menjalani terapi.
Setelah terapi dimulai, penilaian klinis yang dilakukan harus meliputi; • tanda/gejala toksisitas obat yang mungkin timbul (lihat Tabel 6); • kepatuhan; 28
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
• • •
respon terhadap terapi; berat badan; pemantauan laboratorium dasar (lihat Tabel 5)
Kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan laboratoriun Telah diketahui adanya keterbatasan kemampuan laboratorium pada saat ini. Rencana 3 by 5 dirancang agar dapat dilaksanakan dalam kondisi dan situasi yang ada. Kemampuan atau kapasitas infrastruktur laboratorium perlu ditingkatkan seperti ketersediaan pemeriksaan CD4 secara seragam, ketersediaan secara luas pemeriksaan hematologi dan kimia darah otomatis, serta ketersediaan pemeriksaan viral load di tingkat rujukan regional. Perlu dipikirkan pemilihan cara yang seragam dan hemat biaya serta jaminan pasokan reagen dan pemeliharaan peralatan.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
29
Tabel 4. Jenjang Layanan Kesehatan menurut kemampuan laboratorium untuk memantau ARTa Layanan Kesehatan Dasar (setingkat Puskesmas)
Layanan Kesehatan Menengah (RS Kabupaten/ Kota)
Layanan Kesehatan Rujukan (Provinsi atau Nasional)
• Pemerikasaan antibodi HIV dengan tes cepat (rapid test) sesuai prosedur yang berlaku (strategi II dan III) • Pemeriksaan Hb (bila b akan digunakan AZT) d • Tes kehamilan • Rujukan untuk pemeriksaan sediaan apus dahak untuk TB bila tidak ada mikroskop
• Pemerikasaan antibodi HIV dengan tes cepat (rapid test) sesuai prosedur yang berlaku (strategi II dan III) • Kemampuan untuk melakukan pemeriksaan serologi HIV dengan cara berbeda apabila pada tes cepat antibodi HIV menghasilkan indeterminate • Sarana pemerikasaan darah lengkap dan hitung jenis, c pemeriksaan CD4 • SGPT (pemeriksaan fungsi hati) • Pemeriksaan d kehamilan • Pemeriksaan dahak untuk TB
• Pemerikasaan antibodi HIV dengan pemeriksaan cepat (rapid test) sesuai prosedur yang berlaku (strategi II dan III) • Sarana pemerikasaan darah lengkap dan hitung jenis, pemeriksaan c CD4 • Kimia darah lengkap (termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati/ enzim, lipid) • Pemeriksaan d kehamilan • Pemeriksaan dahak untuk TB • Pemeriksaan viral e load
Keterangan: a
b
c d e
30
Tabel di atas hanya memuat pemeriksaan laboratorium minimal yang diperlukan guna melaksanakan pemantauan toksisitas, efikasi dan dua kondisi penting (kehamilan dan TB) ARV dengan baik. Bukan laboratorium lengkap untuk memberikan perawatan komprehensif kepada ODHA. Sarana laboratorium di Puskesmas biasanya terbatas atau tidak ada, maka dapat digunakan pemeriksaan Hb dengan skala warna bersama-sama dengan pemeriksaan fisik untuk menilai anemia (untuk penjelasan lebih lengkap lihat www.who.int/bct/). Pemeriksaan CD4 tidak harus tersedia di setiap titik layanan tapi dapat dengan cara rujukan. EFV tidak boleh diberikan kepada perempuan usia subur, kecuali memakai kontrasepsi yang efektif, juga tidak boleh untuk perempuan hamil trimestrer pertama. Sehubungan dengan masalah teknis dan biaya maka pemeriksaan viral load pada saat ini tidak direkomendasikan sebagai bagian dalam pedoman terapi. Namun, diharapkan tersedia teknologi yang lebih hemat biaya di tingkat rujukan mengingat pentingnya pemeriksaan ini dalam menilai kegagalan terapi.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Tabel 5. Pemantauan laboratorium dasar untuk rejimen ARV lini-I di Layanan Kesehatan Dasar, dan Menengah Rejimen
Penilaian laboratorium dasar (pra-terapi)
Penilaian laboratorium selama terapi
AZT + 3TC + NVP
Diharuskan: Hb Perlu tapi tidak diharuskan: darah lengkap (DL), CD4
Pemeriksaan Hb, Lekosit, fungsi hali (ALT/SGPT) tergantung gejala untuk memantau toksisitas CD4 setiap 6 -12 bulan, bila tersedia, untuk memantau efikasi
AZT + 3TC + EFV
Diharuskan: Pemeriksaan kehamilan, Hb Perlu tapi tidak diharuskan: CD4, darah lengkap (DL)
Pemeriksaan Hb, Lekosit untuk memantau toksisitas bila ada gejala CD4 setiap 6 -12 bulan, bila tersedia, untuk memantau efikasi
D4T + 3TC + NVP
Perlu tapi tidak diharuskan: CD4
Pemeriksaan fungsi hati (ALT/SGPT) bila ada gejala untuk memantau toksisitas CD4 setiap 6 -12 bulan, bila tersedia, untuk memantau efikasi
d4T + 3TC + EFV
Diharuskan: Pemeriksaan kehamilan Perlu tapi tidak diharuskan: CD4
Pemeriksaan untuk memantau toksisitas tergantung gejala (tidak rutin) CD4 setiap 6 -12 bulan, bila tersedia, untuk memantau efikasi
VI Alasan mengganti ART pada ODHA dewasa Ada kemungkinan perlu mengganti ART baik oleh karena toksisitas atau kegagalan terapi. Toksisitas. Toksisitas terkait dengan ketidak mampuan untuk menahan efek samping dari obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat dipantau secara klinis baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari macam kombinasi obat yang dipakai dan sarana pelayanan kesehatan yang ada. Bila toksisitas terkait dengan obat atau rejimen yang dapat diidentifikasi dengan jelas, maka diganti dengan obat yang tidak memiliki efek samping serupa, misalnya, mengganti AZT dengan d4T (untuk anemia), atau EFV diganti NVP bila ada toksisitas susunan saraf pusat atau kehamilan. DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
31
Dengan terbatasnya pilihan kombinasi ARV, maka penggantian obat hanya bila sangat diperlukan, tidak dianjurkan mengganti obat yang terlalu dini. Tabel 6 memuat daftar toksisitas dan pilihan pengganti dari keempat rejimen lini-pertama. Untuk keadaan yang mengancam jiwa, atau situasi klinis yang kompleks, dianjurkan untuk dirujuk ke rumah sakit rujukan. Tabel 6. Toksisitas utama pada rejimen ARV lini-pertama dan anjuran obat penggantinya Rejimen
Toksisitas
Ganti AZT dengan d4T
Hepatotoksis berat oleh karena NVP
Ganti NVP dengan EFV (kalau hamil ganti dengan NFV, LPV/r atau ABC)
Ruam kulit berat karena NVP (tetapi tidak mengancam jiwa yaitu tanpa pustula dan tidak mengenai mukosa)
Ganti NVP dengan EFV
Ruam kulit berat yang mengancam jiwa (Stevens-Johnson syndrome) oleh karena NVP
Ganti NVP dengan PI
Intoleransi GI yang persisten oleh karena AZT atau toksisitas hematologis yang berat
Ganti AZT dengan d4T
Toksisitas susunan saraf pusat menetap oleh karena EFV
Ganti EFV dengan NVP
Neuropati oleh karena d4T atau pankreatitis
Ganti d4T dengan AZT
Lipoatrofi oleh karena d4T
Ganti d4T dengan TDF a atau ABC
Hepatotoksik berat oleh karena NVP
Ganti NVP dengan EFV (kalau hamil ganti dengan NFV, LPV/r atau ABC)
Ruam kulit berat oleh karena NVP (tetapi tidak mengancam jiwa)
Ganti NVP dengan EFV
Ruam kulit berat yang mengancam jiwa oleh karena NVP (Stevens-Johnson syndrome)
Ganti NVP dengan PI
AZT/3TC/NVP
AZT/3TC/EFV
d4T/3TC/NVP
32
Obat Pengganti
Intoleransi GI yang persisten oleh karena AZT atau toksisitas hematologis yang berat
b
b
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Rejimen
d4T/3TC/EFV
Toksisitas
Obat Pengganti
Neuropati oleh karena d4T atau pankreatitis
Ganti d4T dengan AZT
Lipoatrofi oleh karena d4T
Ganti d4T dengan TDF a atau ABC
Toksisitas susunan saraf pusat menetap oleh karena EFV
Ganti EFV dengan NVP
Keterangan: a
b
Penghentian pemakaian d4T tidak akan menyembuhkan lipoatrofi yang sudah teradi tetapi menghambat progresivitasnya. TDF dan ABC dapat dipertimbangkan sebagai alternatif namun harganya sangat mahal. Bila tidak tersedia TDF atau ABC atau karena tidak terjangkau, maka dapat dipertimbangkan ddI atau AZT sebagai alternatif. Sebagai PI dapat dipilih LPV/r atau SQV/r. IDV/r atau NFV dapat pula dipertimbangkan sebagai alternatif (lihat teks).
Kegagalan Terapi. Kegagalan terapi dapat didefinisikan secara klinis dengan menilai perkembangan penyakit, secara imunologis dengan penghitungan CD4, dan/atau secara virologis dengan mengukur viral-load. Penilaian klinis perkembangan penyakit harus dibedakan dengan sindrom pemulihan kekebalan tubuh atau immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS), yaitu keadaan yang dapat muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik beberapa minggu setelah ART dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengan gangguan kekebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik. Definisi kegagalan terapi secara klinis dan kaitannya dengan CD4 dapat dilihat pada Tabel 7. Berhubung viral load tidak selalu tersedia, maka dalam membuat batasan kegagalan terapi dianjurkan menggunakan definisi klinis, apabila memungkinkan gunakan kriteria jumlah CD4. Demikian pula, pemeriksaan resistensi obat tidak dapat dikerjakan secara rutin pada pelayanan klinik, maka tidak dibahas dalam pedoman ini. Oleh karena kegagalan terapi di DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
33
negara berkembang hanya dapat dikenali secara klinis dan/atau menggunakan kriteria jumlah CD4 saja, maka kemungkinan besar telah terjadi mutasi yang resisten sebelumnya, dan menutup kemungkinan penggunaan komponen NRTI dari rejimen alternatif, karena ada resistensi silang dalam satu golongan obat (drug class cross-resistance) (Lihat Bab VII). Tabel 7. Definisi Kegagalan Terapi secara Klinis dan Kriteria CD4 pada ODHA Dewasa Tanda Klinis
Kriteria CD4
• Timbulnya infeksi oportunistik baru atau keganasan yang memperjelas perkembangan penyakit yang memburuk. Hal tersebut harus dibedakan dengan IRIS yang dapat saja timbul pada 3 bulan pertama a setelah ART dimulai . IRIS bukan merupakan tanda kegagalan terapi dan infeksi oportunistik harus diterapi seperti biasa, tanpa mengganti rejimen ARV b • Kambuhnya IO yang pernah diderita • Munculnya atau kambuhnya penyakitpenyakit pada Stadium III WHO (termasuk HIV wasting, diare kronik yang tidak jelas penyebabnya, terulangnya infeksi bakterial invasif, atau kandidiasis mukosa yang kambuh atau menetap)
• CD4 kembali ke jumlah sebelum terapi atau bahkan di bawahnya tanpa adanya infeksi penyerta lain yang dapat menjelaskan terjadinya penurunan CD4 c sementara • Penurunan jumlah CD4 >50% dari jumlah tertinggi yang pernah dicapai selama terapi tanpa infeksi penyerta lain yang dapat menjelaskan terjadinya c penurunan CD4 sementara
Keterangan: a
b c
Immune reconstitution syndrome (IRS) ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik beberapa minggu setelah ART dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengan gangguan kekebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik . Kambuhnya TB tidak selalu menandakan perkembangan penyakit HIV yang buruk, karena dapat terjadi reinifeksi. Perlu dilakukan evaluasi klinis. Pada pasien asimtomatik dan kegagalan terapi didefinisikan dengan kriteria jumlah CD4 saja, maka perlu dilakukan konfirmasi pemeriksaan CD4 kembali bila memungkinkan.
VII Pilihan rejimen ARV pada kegagalan terapi dari obat lini-pertama pada ODHA dewasa Pada kegagalan terapi dianjurkan untuk mengganti semua rejimen lini-pertama dengan rejimen lini-kedua. Rejimen linikedua pengganti harus terdiri dari obat yang kuat untuk 34
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
melawan galur (strain) virus dan sebaiknya paling sedikit mengandung 3 obat baru, satu atau dua di antaranya dari golongan yang baru, agar keberhasilan terapi meningkat dan risiko terjadinya resistensi silang dapat ditekan serendah mungkin. Gambar 1 memuat daftar rejimen lini-kedua yang dapat digunakan untuk mengganti obat lini-pertama bagi ODHA dewasa seperti yang tercantum pada Tabel 3. Bila dipakai (d4T atau AZT) + 3TC sebagai rejimen lini-pertama, resistensi silang nukleosida akan membahayakan potensi dua komponen nukleosida dari rejimen lini-kedua, terutama pada kegagalan virologis yang telah lama. Pada situasi demikian perlu membuat pilihan alternatif secara empiris dengan pertimbangan untuk mendapatkan daya antiviral yang sekuat mungkin. Dengan adanya resistensi silang dari d4T dan AZT, maka rejimen lini-kedua yang cukup kuat adalah TDF/ddI atau ABC/ddI. Namun ABC dapat memberi risiko terjadi hipersensitifitas dan harganya mahal. Lagi pula, koresistensi tinggi pada AZT/3TC dapat juga terjadi resistensi terhadap ABC. TDF dapat diperlemah oleh adanya mutasi multipel dari analog nukleosida (NAM) tetapi sering masih memiliki daya antiviral melawan galur virus yang resisten terhadap nukleosida. Seperti halnya ddI, TDF dapat diberikan dengan dosis sekali sehari. TDF dapat meningkatkan kadar ddI dan oleh karenanya dosis ddI harus dikurangi bila kedua obat tersebut diberikan bersamaan, agar peluang terjadinya toksisitas akibat ddI dapat dikurangi, misalnya neuropati dan pankreatitis. Oleh karena potensi yang menurun dari hampir semua jenis nukleosida lini-kedua, maka di dalam rejimen lini-kedua lebih baik menggunakan suatu jenis PI yang akan diperkuat oleh ritonavir (ritonavir-enhanced PI atau RTV-PI), seperti DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
35
lopinavir (LPV)/r, saquinavir (SQV)/r atau indinavir (IDV)/r. PI yang diperkuat dengan ritonavir lebih kuat daripada nelfinavir (NFV) saja27. NFV dapat dipertimbangkan sebagai alternatif untuk komponen PI, bila tidak tersedia ritonavirenhanced PI, cold-chain tidak dapat dijamin, atau bila ada kontraindikasi klinis bagi penggunaan PI lain. IDV/r memiliki efek samping yang berat pada ginjal tetapi tetap perlu dipertimbangkan sebagai suatu alternatif karena potensinya. Seperti dipaparkan di atas, peran dan ketersediaan ATV/r di negara berkembang saat ini belum dapat dipastikan. Pada kegagalan terapi rejimen yang mengandung PI, pilihan alternatif penggantinya tergantung dari alasan awal memilih rejimen PI tersebut, dibandingkan memilih rejimen yang mengandung NNRTI. Bila diduga ada resistensi NNRTI atau infeksi HIV-2, maka pilihan rejimen menjadi sulit karena tergantung dari kendala yang dihadapi oleh masing-masing individu ODHA, kemampuan melaksanakan pemeriksaan resistensi obat secara individual, dan ketersediaan obat ARV. Kegagalan terapi atas rejimen tiga NRTI lebih mudah diatasi karena dua golongan obat terpenting (NNRTI dan PI) masih dapat digunakan. Suatu alternatif RTV-PI + NNRTI dengan/tanpa NRTI, misalnya ddI dan/atau TDF dapat dipertimbangkan bila tersedia.
36
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Gambar 1.
Rejimen ARV lini-kedua bagi ODHA dewasa bila dijumpai kegagalan terapi pada rejimen lini-pertama
Kegagalan atas:
Diganti dengan:
d4T atau AZT
TDF atau ABC
+
+
3TC
ddIa
+
+
NVP atau EFV
LPV/r atau SQV/rb
Keterangan: a Dosis ddI harus dikurangi dari 400 mg menjadi 250 mg bila diberikan bersamaan dengan TDF. b LPV/r dan SQV/r memerlukan cold chain. NFV dapat dipertimbangkan sebagai suatu alternatif di negara berkembang.
VIII Cara Mengganti atau Menghentikan ART Seperti telah dibahas dalam bab sebelumnya, terkadang ART perlu diganti atau dihentikan, baik karena toksisitas maupun kegagalan terapi. Bab ini merupakan penjelasan singkat tentang cara melakukannya, mempertimbangkan sisi praktis dan dampaknya di masa depan. Rekomendasi dibuat berdasarkan pengetahuan terbaru, tetapi mengingat cepatnya perkembangan pengetahuan di bidang HIV/AIDS, informasi baru yang akan datang mungkin akan mengubah pilihan dan rekomendasi terapi saat ini. Oleh karena itu, pedoman ini memerlukan perbaikan secara terus menerus seiring dengan tersedianya bukti ilmiah baru. Keputusan untuk mengganti atau menghentikan ART harus dipertimbangkan secara hati-hati, dengan perhatian utama kepada kepentingan pasien. Dalam beberapa keadaan sering dibutuhkan pengambilan keputusan secara cepat, misalnya jika terjadi toksisitas yang serius atau fatal. Dalam kondisi ini semua ART perlu dihentikan. Sementara pada kasus kegagalan terapi, jika tidak tersedia rejimen lain, perlu mencari DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
37
keseimbangan terbaik antara meneruskan rejimen yang telah gagal, atau menghentikan terapi, terutama jika tidak ada bukti yang cukup jelas untuk memastikan kegagalan tersebut. Jika kemungkinan terapi di masa depan akan kurang optimal untuk menekan replikasi virus, maka terapi dapat dilanjutkan jika risiko kematiannya rendah. Faktor yang harus dipertimbangkan untuk mengganti atau menghentikan ART, adalah: •
pilihan terapi yang masih ada,
•
kemungkinan akses terhadap terapi tersebut,
•
harga,
•
kondisi klinis pasien,
•
kapan waktu terbaik untuk mulai ART kembali,
•
derajat gangguan sistem kekebalan tubuh (CD4 awal),
•
tingkat kegagalan terapi–misalnya dengan menilai viral load dan jumlah CD4,
•
tolerabilitas dan efek samping,
•
kepatuhan, serta riwayat ART sebelumnya.
Sebelum mengubah terapi, penilaian terhadap kondisi klinis, kepatuhan, dan riwayat pengobatan pasien sangat menentukan. Karena kepatuhan merupakan faktor terpenting dalam mencapai keberhasilan terapi, kepatuhan perlu dinilai dengan sangat teliti. Tingkat kepatuhan yang tinggi merupakan syarat untuk mencapai respon virologis dan imunologis yang diharapkan, sedangkan tingkat kepatuhan yang rendah meningkatkan risiko kegagalan terapi dan progresivitas penyakit, serta ikut berperan dalam timbulnya resistensi. Dalam kenyataan, sebagian besar kegagalan terapi disebabkan kurangnya kepatuhan, sehingga sebelum mengambil keputusan 38
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
apapun yang menyangkut terapi, masalah ini perlu dikaji dan diberi perhatian lebih banyak. Dalam kasus toksisitas yang parah dan tidak diketahui penyebabnya, semua obat perlu segera dihentikan, jika memungkinkan ganti dengan obat yang diketahui tidak atau kurang menimbulkan toksisitas, dan tetap melakukan pemantauan klinis dengan seksama. Pedoman penggantian ART karena toksisitas dapat dilihat pada Tabel 6. Jika sudah terbukti ada kegagalan, idealnya harus segera mengganti terapi. Pada keadaan sumber daya terbatas, bukti kegagalan secara dini seringkali tidak mudah didapat. Penilaian kegagalan terapi harus meliputi seluruh faktor yang mungkin berperan dalam terjadinya kegagalan, karena masing-masing faktor memerlukan pendekatan korektif yang berbeda. Harus dihindari mengganti terapi tanpa bukti kegagalan yang jelas. Bukti kegagalan ini, dapat dinilai dari respon virologis dan imunologis, atau secara klinis, seperti termuat dalam Tabel 7. Perubahan terapi karena kegagalan tidak boleh dilakukan dengan hanya menambahkan satu obat aktif (obat baru yang masih dianggap poten) saja, akan tetapi lebih dianjurkan untuk mengganti semua obat dengan yang baru. Jika tersedia pemeriksaan resistensi, obat yang telah terbukti resisten saja yang diganti. Menghentikan terapi mungkin mengurangi efek samping, menghemat biaya bagi pasien, tetapi perlu diingat bahwa mungkin akan terjadi penurunan jumlah CD4. Kebutuhan akan profilaksis tidak boleh dilupakan, pemantauan teratur, dan mulai lagi ART saat diperlukan, tetapi jangan menggunakan rejimen yang dicurigai telah gagal, karena dapat menimbulkan resistensi lebih lanjut sehingga menutup kemungkinan penggunaan obat dari golongan yang sama. DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
39
A. Penggantian antar NNRTI Cara mengganti obat dari golongan NNRTI tergantung dari alasan menghentikannya, misalnya dalam kasus toksisitas berat atau fatal, maka seluruh obat dihentikan secara bersamaan. Seorang pasien yang mengalami ruam basah (berat) akibat NVP perlu segera menghentikan obat tersebut dan tidak boleh diganti dengan EFV. Pasien yang pernah mengalami ruam ringan akibat NVP dapat diganti dengan EFV, tetapi tetap berisiko untuk mengalami ruam yang sama. Untuk mengganti EFV dengan NVP masih diperlukan studi berskala besar. Sementara ini penggantian EFV dengan NVP berdasarkan pada penelitian Winston A yaitu dilakukan secara langsung dengan dosis 200 mg setiap 12 jam tanpa lead-in dose selama 2 minggu seperti jika NVP digunakan pada terapi awal. Dosis tersebut diperlukan untuk segera mencapai kadar terapeutik yang optimal, karena EFV menginduksi sitokrom P450, yang meningkatkan metabolisme NVP42. Dengan dasar data yang ada pada saat sekarang, untuk mengganti dari EFV ke NVP, dalam kasus intoleransi, toksisitas atau untuk pasien perempuan usia subur, direkomendasikan untuk mulai langsung dengan dosis penuh NVP. Dalam kasus kegagalan rejimen lini pertama yang mengandung NNRTI (NVP atau EFV), penggantian antara kedua obat ini tidak dianjurkan mengingat tingginya resistensi silang antar NNRTI. Virus pada pasien yang gagal dalam terapi yang mengandung EFV terbukti 100% resisten terhadap EFV dan NVP sekaligus. Beberapa studi observasional lain juga menunjukkan tidak adanya respon terapi terhadap EFV setelah kegagalan NVP.
40
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
B.
Penghentian rejimen yang mengandung NNRTI dalam kondisi tidak darurat
NVP dan EFV memiliki waktu paruh yang jauh lebih lama dibandingkan dengan obat-obat NRTI. Jika rejimen yang mengandung 2 NRTI dan salah satu dari NVP atau EFV dihentikan bersamaan, kadar NRTI akan turun jauh lebih cepat dibanding NNRTI, berarti dalam darah tetap ada kadar NNRTI sebagai terapi tunggal yang akan meningkatkan risiko resistensi obat. Dalam pedoman British HIV Association tahun 2003 direkomendasikan untuk melanjutkan kedua NRTI selama 7 hari setelah menghentikan NNRTI. C. Perubahan ART karena kegagalan Definisi kegagalan terapi (sebuah istilah yang meliputi aspek virologis, imunologis dan klinis) bergantung pada situasi klinis dan tujuan yang ingin dicapai dengan terapi yang sekarang. Mengubah berarti mengganti atau menghentikan terapi. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan terapi, misalnya masalah kepatuhan, tolerabilitas, farmakokinetik yang kurang, potensi obat yang suboptimal, resistensi obat, ataupun transmisi virus yang telah resisten. Sedapat mungkin gunakan seluruh informasi yang didapat dari pasien, bila kegagalan ada kaitannya dengan kepatuhan, segera diskusikan dengan pasien tentang pentingnya hal tersebut. Jika kepatuhan pasien baik, maka penyebab kegagalan kemungkinan karena resistensi. Ganti dengan rejimen lini kedua sesegera mungkin, jika tersedia, untuk mencegah berkembangnya resistensi lebih lanjut. Dalam kasus kegagalan terapi pada rejimen yang mengandung NNRTI, usahakan untuk mengganti ke rejimen yang mengandung PI. Jika PI tidak tersedia , dan harus DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
41
menghentikan terapi, maka dapat dilakukan secara bersamaan, mengingat pasien telah resisten terhadap NNRTI dan pajanan obat tunggal NNRTI tidak perlu dikhawatirkan. Dalam kasus kegagalan terapi pada rejimen yang mengandung PI, pertimbangkan untuk mengganti ke PI yang diperkuat (boosted PI) atau ke golongan NNRTI jika pasien belum pernah menggunakan NNRTI sebelumnya. Kalau rejimen PI ataupun NNRTI telah gagal, pertimbangkan golongan yang sama sekali baru seperti Fusion Inhibitor. Hindari penggunaan obat dari rejimen sebelumnya, terutama golongan yang menunjukkan profil resistensi silang yang cukup tinggi. Tingkat resistensi silang ini bervariasi antar sesama NRTI. Sebagai contoh, antara d4T dan AZT, yang dapat saling menggantikan jika terjadi efek samping (sebagai alternatif lini pertama) tetapi hal ini tidak dapat dilakukan jika terjadi kegagalan terapi, maka gantilah dengan obat baru, misalnya TDF. Secara umum prinsip mengganti obat dalam hal kegagalan terapi adalah menggunakan rejimen lini kedua.
IX
Obat ARV untuk kelompok tertentu
A. Perempuan usia subur atau hamil Prinsip pengobatan ARV bagi perempuan usia subur atau hamil harus didasarkan atas kebutuhan mereka dan persyaratan ART seperti telah digariskan pada Bab III. Kehamilan dan menyusui memberikan masalah tambahan dalam hal toksisitas obat terhadap ibu maupun anak, pemilihan obat ARV dan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayinya. Masalah tersebut perlu mendapat perhatian khusus untuk memberikan hasil pengobatan yang optimal. Rejimen lini-pertama kelompok ini adalah: 42
yang
direkomendasikan
untuk
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
(d4T atau AZT) + 3TC + NVP Pilihan ART bagi ODHA yang masih mungkin hamil, atau adanya kehamilan yang belum dapat dipastikan atau kehamilan muda, maka obat ARV yang diberikan harus aman untuk kehamilan trimester I. EFV harus dihindari pada kelompok perempuan tersebut di atas oleh karena sifatnya yang teratogenik. Perempuan yang menerima obat ARV dan tidak ingin hamil harus menggunakan metode kontrasepsi yang efektif dan sesuai guna mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki. Untuk kelompok tersebut EFV dapat tetap menjadi NNRTI pilihan dalam rejimennya. Perempuan yang telah menggunakan ART dan kemudian hamil harus tetap meneruskan ART-nya kecuali bila memakai EFV maka EFV harus dihentikan dan diganti dengan NVP. Pada umumnya bagi ODHA hamil lebih dianjurkan untuk memulai ART setelah trimester pertama dilalui, akan tetapi bagi mereka yang berada pada AIDS tahap lanjut, pemberian terapi dengan segera akan lebih baik dibandingkan dengan risiko apapun pada janinnya. Lebih lanjut, terapi dengan dua NRTI seperti d4T/ddI tidak diperbolehkan pada kehamilan dan hanya digunakan bila tidak ada pilihan lain, oleh karena kombinasi tersebut akan memberikan risiko tinggi terjadinya asidosis laktat pada perempuan hamil. Hepatotoksisitas dengan gejala yang berhubungan dengan NVP atau ruam kulit yang berat jarang terjadi, kalau ada lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki, dan cenderung terjadi pada perempuan dengan CD4 tinggi (>250/mm3)43,44,45,46. Toksisitas tersebut pernah dilaporkan dari kelompok perempuan hamil akan tetapi tidak diketahui mengapa kehamilan merupakan predisposisi toksisitas tersebut47,48. Isu penting dalam PMTCT adalah dampak pemberian NVP jangka pendek pada ibu dan bayinya. Pertanyaan ini telah DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
43
muncul dalam 2 tahun terakhir oleh karena suatu single point mutation berhubungan dengan resistensi terhadap NVP. Mutasi virus resisten terhadap obat dari NNRTI telah terdeteksi 6 minggu pasca persalinan pada kira-kira 20% perempuan yang pernah mendapat NVP dosis tunggal pada PMTCT; laju mutasi virus ditemukan lebih tinggi (67%) pada 6 minggu pasca persalinan apabila ibu mendapatkan 2 dosis NVP pada PMTCT49,50. Perlu diketahui bahwa resistensi terhadap NVP dapat terjadi pula pada perempuan yang telah mendapatkan obat ARV lainnya yang sudah dijumpai replikasi virus resisten pada saat pemberian NVP dosis tunggal. Genotipe virus yang resisten terhadap NVP dapat ditemukan 6 minggu pasca persalinan pada 15% perempuan yang mendapat NVP dosis tunggal dan yang mendapat AZT saja atau sebagai kombinasi selama kehamilan dan selama persalinan (intrapartum)51,52. Resistesi terhadap 3TC juga berkaitan dengan mutasi tunggal. Dalam penelitian yang menambahkan 3TC pada pengobatan AZT perempuan Perancis sejak kehamilan 32 minggu, mutasi resisten 3TC M184V pada 6 minggu pasca persalinan ditemukan pada 39% populasi yang diteliti53. Resistensi terhadap 3TC juga ditemukan satu minggu pasca persalinan pada 12% ibu yang mendapat AZT/3TC selama 4 minggu untuk PMTCT (penelitian PETRA)54. Pada penelitian SAINT di Afrika Selatan tidak ditemukan virus resisten pada pemberian AZT/ 3TC selama persalinan/satu minggu pasca persalinan48-52. Belum ada informasi yang jelas tentang konsekuensi klinis dari mutasi resisten tersebut di atas pada penggunaan ART pada ODHA perempuan atau anak di masa depan. Mutasi tersebut mungkin menurun bersamaan dengan waktu namun dikhawatirkan akan tetap ada dalam sub-populasi virus yang sedikit dan berpotensi untuk muncul banyak kembali bila diberikan lagi rejimen jangka pendek yang mengandung 44
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
NNRTI atau 3TC. Penelitian sedang berlangsung untuk menilai apakah NVP profilaksis dosis tunggal membahayakan ART dengan rejimen yang mengandung NNRTI. Hal tersebut merupakan pertanyaan penelitian operasional yang paling dibutuhkan di lapangan. ODHA perempuan yang pernah mendapat profilaksis NVP atau 3TC dosis tunggal untuk PMTCT harus dianggap memenuhi kriteria untuk mendapatkan rejimen yang mengandung NNRTI dan harus mendapat akses ART seumur hidup hingga tersedia data pasti pada masalah ini. Banyak negara telah mempertimbangkan penggunaan terapi kombinasi tiga obat jangka pendek untuk PMTCT pada ODHA perempuan yang belum membutuhkan ART bagi dirinya sendiri, dan terapi pasca persalinan dihentikan bila belum memenuhi kriteria klinik pemberian ART bagi dirinya. Penggunaan kombinasi yang sangat aktif tersebut diharapkan akan mencegah munculnya resistensi terhadap obat dan sangat efektif untuk mencegah penularan perinatal kepada bayi. Namun demikian, intervensi ini juga memberikan risiko toksisitas obat kepada ibu dan bayinya dalam keadaan ibu masih cukup sehat dan belum memerlukan ART. Penelitian sedang berlangsung untuk menentukan keamanan dan efikasi pendekatan seperti di atas bagi ibu dan bayinya, terutama pada PMTCT ibu yang memberikan ASI. Pada kondisi yang mengharuskan memilih suatu PI selama kehamilan, maka SQV/r atau NFV merupakan pilihan terbaik karena cukup aman untuk ibu hamil. Perlu diingat bahwa setiap obat ARV memiliki potensi untuk menaikkan atau menurunkan bioavailabilitas hormon steroid dan kontrasepsi hormonal. Dari data yang terbatas menunjukkan adanya interaksi antara beberapa obat ARV (terutama beberapa NNRTI dan PI) dengan hormon kontrasepsi DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
45
dan dapat mengubah keamanan atau efikasi baik hormon kontrasepsi itu sendiri ataupun ARVnya. Belum diketahui pasti apakah kontrasepsi yang hanya mengandung progesteron suntikan (seperti depo medroxyprogesterone acetat dan norethisterone enantate) juga terancam efikasinya, karena metode ini memberikan kadar hormon yang tinggi dalam darah dibanding kontrasepsi progesteron lain, atau dibanding dengan kontrasepsi oral kombinasi. Penelitian sedang dilaksanakan untuk menilai interaksi antara depo medroxyprogesteron acetate dengan obat PI dan NNRTI tertentu. Oleh karena itu, apabila seorang perempuan yang mendapat ART akan mulai atau meneruskan penggunaan kontrasepsi hormonal, tetap dianjurkan juga selalu menggunakan kondom untuk mencegah penularan HIV dan menjaga kemungkinan adanya penurunan efektivitas kontrasepsi hormonal yang ia pakai. Ringkasan panduan penggunaan ARV untuk profilaksis penularan HIV dari ibu ke anak dapat dilihat pada Lampiran A. B.
Anak - Anak
Saat memulai ART pada bayi dan anak Pemeriksaan laboratorium untuk memastikan adanya infeksi HIV pada bayi usia kurang dari 18 bulan adalah sulit, oleh karena adanya antibodi ibu yang diturunkan ke anak. Untuk menegakkan diagnosis pasti adanya infeksi HIV pada kelompok umur ini diperlukan pemeriksaan virologis. Oleh karena itu maka rekomendasi WHO tentang pemberian ART pada anak terbagi dalam kategori umur dan ketersediaan sarana pemeriksaan diagnostik virologis (Tabel 8). Apabila tersedia sarana pemeriksaan CD4 maka dianjurkan lebih baik menggunakan persentase CD4 (terhadap limfosit total) dalam memutuskan pemberian obat ARV daripada menggunakan jumlah mutlak CD4, karena variasi persentase CD4 lebih kecil 46
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
untuk setiap umur dibandingkan dengan CD4 total (lihat Lampiran B)55,56,57. WHO sangat mendukung setiap pengembangan pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan di negara berkembang yang memungkinkan diagnosis infeksi HIV pada bayi secara dini. Ketersediaan pemeriksaan semacam itu sangat dibutuhkan untuk memperbaiki rekomendasi memulai ART bayi berumur kurang dari 18 bulan. • Bagi bayi yang berumur kurang dari 18 bulan dengan HIV
seropositif, WHO menganjurkan untuk memulai ART pada keadaan seperti berikut: Bayi yang telah terbukti secara virologis terinfeksi HIV (dengan menggunakan salah satu dari pemeriksaan PCR HIV DNA, atau pemeriksan HIV RNA, atau disosiasi imun kompleks antigen p24) dan menunjukkan: - Penyakit HIV Stadium pediatrik III menurut WHO
(yaitu AIDS klinis) (Lampiran H), tanpa memandang CD4%; atau - Penyakit HIV Stadium pediatrik II menurut WHO
(Lampiran H), CD4 <20%; atau - Penyakit HIV Stadium pediatrik I menurut WHO
(yaitu asimtomatik) (Lampiran H) dengan CD4 <20% (Pasien anak asimtomatik, yaitu stadium I WHO, hanya diterapi bila ada pemeriksaan CD4). Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan virologis untuk konfirmasi adanya infeksi HIV tetapi tersedia sarana pemeriksaan CD4, maka WHO menganjurkan untuk memulai ART pada anak dengan Penyakit HIV Stadium pediatrik II atau III menurut WHO dan CD4<20%. Pada kasus seperti tersebut, pemeriksaan antibodi HIV harus diulang pada umur 18 bulan untuk memastikan bahwa DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
47
anak tersebut benar terinfeksi HIV; ART diteruskan hanya pada anak yang terkonfirmasi infeksinya saja. • Bagi anak HIV (+) yang berusia 18 bulan atau lebih, WHO
merekomendasikan pemberian ART pada keadaan berikut: Penyakit HIV Stadium pediatrik III menurut WHO (yaitu AIDS klinis) (Lampiran H), tanpa memandang persentase CD4; atau Penyakit HIV Stadium pediatrik II menurut WHO (Lampiran H) dengan didukung pemeriksaan CD4 <15% dalam mengambil keputusan; atau Penyakit HIV Stadium pediatrik I menurut WHO (yaitu asimtomatik) (Lampiran H) dengan CD4 <15% Perlu diingat bahwa bayi yang mendapat ASI dari ibu HIV (+) memiliki risiko tertular HIV selama masa menyusu, dan pemeriksaan virologis atau antibodi dengan hasil negatif tidak dapat menyingkirkan kemungkinan terinfeksi kelak di kemudian hari bila ASI tetap diberikan. Seperti halnya pada ODHA dewasa, jumlah limfosit total berhubungan bermakna dengan mortalitas pada anak HIV (+)58,59. Risiko mortalitas selama 12 bulan pada anak umur kurang dari 18 bulan adalah >20% bila limfosit totalnya <2500/mm3 dan untuk anak berumur 18 bulan atau lebih bila limfosit total <1500/mm3. Pada keadaan dimana CD4 tidak dapat diperiksa, maka limfosit total dapat pula dipakai sebagai indikator pengganti untuk memulai terapi pada bayi atau anak HIV (+) simtomatik (Stadium Pediatrik II atau III menurut WHO). Sebelum memutuskan untuk mulai memberikan ART lebih baik pemeriksaan limfosit total atau persentase CD4 yang abnormal dikonfirmasi dengan pemeriksaan ulangan, namun disadari bahwa ini tidak selalu mungkin.
48
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Disadari bahwa beberapa gejala klinis pada Stadium Pediatrik II dan III klasifikasi WHO tentang infeksi HIV anak tidak spesifik untuk infeksi HIV, mungkin juga sering dijumpai pada anak yang tidak terinfeksi HIV di negara berkembang. Dengan adanya keterbatasan tersebut, maka pada tahun 2004 telah direncanakan suatu pertemuan konsultasi dengan para ahli anak untuk merevisi sistem klasifikasi tersebut. Sebelum dihasilkan suatu klasifikasi yang baru maka, sistem klasifikasi yang lama masih tetap bermanfaat untuk memandu dalam menentukan saat memulai terapi. Penetrasi ARV ke dalam ASI pada umumnya belum pernah diukur. Meskipun untuk beberapa ARV seperti NVP, diketahui ada dalam ASI, konsentrasi dan jumlah obat yang diterima bayi melalui ASI mungkin kurang memadai untuk dosis terapetik. Oleh karena itu apabila penyakit bayi cukup berat dan perlu ART (Tabel 8), perlu diberikan dosis ARV baku tanpa memandang apakah ibunya telah mendapat ART atau belum. Bayi HIV (+) yang mendapatkan ASI dari ibu yang mendapatkan ART mungkin menerima beberapa ARV di bawah dosis terapetik, hal tersebut dapat memicu terjadinya resistensi obat pada virus si bayi. Belum diketahui apakah perlu memberikan ARV selama masa menyusu kepada bayi HIV (+) yang belum memerlukan terapi tetapi ibunya minum ARV, untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
49
Tabel 8. Saat untuk memulai ART pada bayi dan anak CD4
Umur
Diagnostik HIV Tidak tersedia pemeriksaan virologis HIV tetapi antibodi HIV-positif (catatan: pemeriksaan antibodi HIV harus diulang pada umur 18 bulan untuk memastikan diagnosis infeksi HIV)
Bila tersedia sarana pemerik saan CD4
<18 bulan Pemeriksaan Virologis HIVb positif HIV
>18 bulan
Bila tidak tersedia sarana pemerik saan CD4
<18 bulan
>18 bulan
Pemeriksaan antibodi HIVpositif
Rekomendasi Terapi
Stadium Pediatrik II dan III WHO a dengan CD4 <20%
Stadium Pediatrik III WHO (AIDS) (Lampiran H) tanpa memandang % CD4 Stadium Pediatrik II WHO (Lampiran H), didukung oleh a,c pemeriksaan CD4 <20% sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan Stadium Pediatrik I WHO (asimtomatik) (Lampiran H), CD4 a, d <20% Stadium Pediatrik III WHO tanpa memandang % CD4 Stadium Pediatrik II WHO, a, c dengan CD4 <15% Stadium Pediatrik I WHO dengan a, d CD4 <15%
Tidak tersedia pemeriksaan virologis HIV tetapi antibodi HIV bayi positif
Tidak direkomendasikan terapi
Pemeriksaan virologis HIVpositif
Stadium Pediatrik III WHO, tanpa memandang limfosit total Stadium Pediatrik II WHO, 3f dengan limfosit total <2500/mm
Anti bodi HIV-positif
e
Stadium Pediatrik III WHO tanpa memandang limfosit total Stadium Pediatrik II WHO, 3f dengan limfosit <1500/mm
Keterangan: a b c d e
f
Persentase CD4 <20% setara dengan CD4 mutlak sekitar <1000/mm3 untuk anak usia <12 bulan dan <750mm3 untuk anak 12-18 bulan; CD4 <15% setara dengan <500/mm3 pada anak usia 1-5 tahun dan <200/mm3 untuk anak usia >6 tahun Pemeriksaan PCR HIV-DNA atau HIV-RNA atau disosiasi imun kompleks antigen p24. Persentase CD4 dianjurkan untuk membantu menentukan kebutuhan ART segera. Bila seorang anak asimtomatik dan terapi dimulai berdasarkan kriteria CD4, maka bila sarana memungkinkan perlu dilakukan pemeriksaan ulang CD4. Beberapa gejala klinis dalam stadium pediatrik II dan III WHO tidak spesifik untuk anak HIV (+) yang ditemukan juga pada anak dengan HIV (-) di negara berkembang; maka bila tersedia pemeriksaan virologi HIV dan CD4, anak usia <18 bulan HIV (+) simtomatik hanya diterapi ARV pada keadaan khusus (contoh, anak dengan infeksi oportunistik klasik untuk AIDS seperti sarkoma Kaposi, PCP atau meningitis kriptokokal). Bila ART diberikan kepada bayi dengan antibodi HIV(+) simtomatik tanpa diagnosis pemeriksaan virologi, maka pemeriksaan antibodi harus diulang pada usia 18 bulan untuk konfirmasi; ARV hanya diteruskan bila infeksi HIV terkonfirmasi. Limfosit total <2500/mm3 pada anak usia <18 months atau <1500/mm3 pada anak usia >18 bulan dapat menggantikan CD4% bila tidak ada sarana pemeriksaan CD4 dan terdapat gejala terkait HIV. Belum diketahui kegunaan pemeriksaan limfosit pada anak HIV(+) asimtomatik (Stadium Pediatrik I WHO), maka tidak boleh diberi terapi karena saat ini belum ada petanda lain yang dapat dipercaya di negara berkembang.
50
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Rejimen ARV lini-pertama yang direkomendasikan untuk bayi dan anak Penelitian ART untuk anak juga menunjukkan adanya kemajuan dalam hal morbiditas, mortalitas dan petanda pengganti (surrogate markers) sehubungan dengan berbagai rejimen ARV yang kuat60,61. Dosis obat harus disesuaikan seiring dengan pertumbuhan anak, untuk menghindari dosis yang kurang hingga muncul resistensi; penentuan dosis pada anak didasarkan atas luas permukaan tubuh anak atau berat badan. Perlu dikembangkan tabel dosis obat yang sesuai dengan garis pertumbuhan berat anak sehingga dapat menjadi panduan praktis bagi petugas kesehatan. Untuk meningkatkan kepatuhan, rejimen yang dipilih untuk anak harus mempertimbangkan obat yang dipakai oleh orang tuanya, untuk menghindari ketidak samaan waktu minum, dan, bila mungkin, menggunakan obat yang sama. Beberapa ARV untuk dewasa juga tersedia dalam kemasan untuk anak. Namun demikian, formulasi yang tepat untuk digunakan anak kecil yang belum mampu menelan tablet atau kapsul tidak mudah didapat. Untuk beberapa ARV dalam kemasan kapsul dan tablet tersedia cukup dalam dosis rendah untuk memudahkan membuat dosis yang tepat bagi anak (contoh, kapsul d4T dalam 15, 20, dan 30 mg, atau NFV tablet yang bergaris yang mudah dibelah dan digerus), dan farmakokinetik tablet yang digerus atau kapsul yang dibuka telah dievaluasi. Namun, beberapa obat padat tidak memiliki kemasan dalam dosis yang sesuai untuk pediatri, dan beberapa formula padat tidak memiliki semua komponen rata dalam satu tablet (contohnya, dosis tetap AZT/3TC). Penggunaan tablet yang perlu dipotong, terutama pada tablet yang tidak terbagi, dapat saja di bawah dosis, atau overdosis bagi anak, yang dapat berakibat meningkatkan risiko resistensi atau toksisitas. LebihDEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
51
lebih dosisnya tidak dengan mudah dapat disesuaikan dengan pertumbuhan anak. Disadari bahwa sambil menunggu tersedianya formulasi yang tepat dan terjangkau secara luas, satu-satunya jalan untuk ART bagi anak yang penyakitnya cukup parah, adalah menggunakan tablet dewasa dengan cara menggerus dan membagi, meskipun tidak optimal. Para petugas kesehatan harus menyadari bahwa formulasi kombinasi-tetap yang tersedia saat ini mungkin tidak mengandung dosis yang tepat dari setiap komponen bagi anak berdasarkan beratnya. Masalah ini khususnya pada komponen NVP yang terdapat dalam kombinasi-tetap AZT/3TC/NVP, yang mana diperlukan tambahan NVP pada terapi untuk anak yang lebih muda (Lampiran C). Perlu pengembangan formula yang tepat untuk digunakan pada pasien pediatri. Terutama formula padat untuk pasien anak (contoh, tablet yang dapat digerus, kapsul yang dapat dibuka), karena formulasi cair masa kedaluarsanya lebih terbatas dibanding formula padat, dan mungkin lebih mahal, penyimpanannya lebih sukar, dan mungkin perlu semprit agar dosisnya lebih akurat. Pilihan terapi lini-pertama untuk pasien anak adalah (d4T atau AZT) + 3TC + suatu NNRTI (NVP atau EFV) (Tabel 3), dengan alasan sama seperti telah dibahas pada rejimen awal untuk dewasa. Kelemahannya adalah bahwa EFV tidak dapat digunakan untuk anak berumur kurang dari 3 tahun karena kurang sesuainya formulasi dan informasi dosisnya, masalah tersebut masih dalam penelitian. Konsekuensinya, anak berumur kurang dari 3 tahun atau berat badannya kurang dari 10 kg, pilihan NNRTI jatuh pada NVP. Penggunaan AZT/3TC/ABC sebagai terapi lini-pertama saat ini bergeser sebagai alternatif lini-kedua, karena temuan hasil penelitian dari ACTG A5095 pada dewasa (lihat Bab III), masih ditunggu data lebih lanjut. 52
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Pilihan NNRTI untuk anak yang butuh ART tetapi juga perlu atau sedang mendapat obat anti-TB yang mengandung rifampisin jatuh pada EFV. Untuk anak berumur kurang 3 tahun yang membutuhkan ART dan anti-TB, perlu menggunakan AZT/3TC/ABC, karena SQV/r tidak tersedia formula yang tepat untuk anak dalam kelompok umur ini. Diperlukan pemantauan terhadap hipersensitifitas terhadap ABC. SQV/r terutama untuk anak yang lebih besar yang dapat menerima dosis dewasa (yaitu anak dengan berat badan >25kg). Tabel 9. Rejimen ARV lini-pertama untuk bayi dan anak Rejimen Lini-pertama
d4T atau AZT + 3TC + NVP atau EFV
Catatan Pilihan NNRTI:
•
Bila umur <3 tahun atau BB <10 kg, NVP
•
Bila umur >3 tahun atau BB >10 kg, NVP atau EFV
Bila ibu telah mendapat obat ARV selama hamil, baik untuk PMTCT atau untuk terapi dirinya, ada kemungkinan bayi akan terinfeksi oleh virus yang resisten. Lebih–lebih, resistensi dapat dipicu secara de-novo pada bayi yang pernah mendapatkan obat ARV untuk profilaksis sebelum diketahui status infeksi bayi tersebut. Masalah tersebut muncul terutama bila digunakan NVP atau 3TC, baik sendiri atau bersama sebagai komponen rejimen dua obat untuk PMTCT, karena suatu single point mutition berkaitan dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut47-51. Setelah NVP dosis tunggal, 46% bayi memiliki mutasi yang berhubungan dengan NNRTI (terutama mutasi Y181C, yang tidak selalu terjadi resistensi silang DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
53
terhadap EFV). Seperti yang telah diamati pada ibu, mutasi tersebut kemudian mengurang seiring dengan waktu tetapi mungkin masih tetap ada dalam jumlah yang sedikit47. Belum diketahui pasti apakah pilihan obat ARV harus diubah atau tidak pada bayi yang pernah mendapatkan obat ARV pada PMTCT sebelumnya. Penelitian pada anak masih berlangsung atau direncanakan, seperti halnya pada ibu, untuk mengetahui apakah NVP dosis tunggal membahayakan ART dengan rejimen yang mengandung NNRTI. Penelitian semacam ini dinilai sangat penting. Namun, sambil menunggu jawaban pasti dari pertanyaan tersebut, anak yang membutuhkan ART dan pernah mendapat NVP atau 3TC dosis tunggal sebagai bagian dari PMTCT harus dimasukkan kriteria untuk menerima rejimen yang mengadung NNRTI dan harus tetap mendapatkan akses terapi seumur hidup. Penilaian Klinis bayi dan anak yang mendapat ART Tanda klinis yang penting sebagai respon terhadap pengobatan ARV pada anak adalah: adanya kemajuan tumbuh kembang anak yang pernah mengalami gangguan, perbaikan gejala neurologi dan perkembangan anak yang pernah mengalami keterlambatan perkembangan mental atau ensefalopati, dan/atau menurunnya frekuensi penyakit infeksi yang dialami (seperti infeksi bakterial, kandidiasis oral, dan/atau infeksi oportunistik lain). Pemantauan laboratorium pada anak yang mendapat ART sama dengan yang direkomendasikan pada ODHA dewasa (Tabel 5). Dengan tambahan pada pemantauan klinis terapi ARV pada anak sebaiknya juga dilakukan pemantauan: • • • 54
Gizi dan status gizi; Perkembangan berat badan dan tinggi badan; Tumbuh kembang anak; DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
•
Gejala neurologis.
Alasan mengganti ART pada bayi dan anak Prinsip dasar penggantian terapi pada anak hampir sama dengan yang diterapkan pada ODHA dewasa, demikian juga penatalaksanaan toksisitas obat. Bila dapat teridentifikasi obat dalam rejimen yang berhubungan dengan reaksi toksik, maka obat tersebut dapat diganti dengan obat lain yang tidak memiliki efek samping yang sama. Tanda klinik untuk kegagalan terapi pada anak adalah: lambatnya tumbuh kembang anak, atau kemunduran dalam pertumbuhan anak yang awalnya memberikan respon terhadap terapi; tiadanya perkembangan neurologis anak atau berkembangnya ensefalopati; dan kambuhnya penyakit infeksi, seperti kandidiasis oral, yang tidak mempan oleh pengobatan62,63,64,65 (Tabel 10). Penggantian obat jangan didasarkan atas kriteria klinis semata, seharusnya kesimpulan bahwa ada kegagalan ART diambil setelah anak mendapatkan terapi yang cukup lama (contoh, anak harus telah mendapatkan rejimen ARV tersebut paling sedikit 24 minggu). Oleh karena penurunan jumlah mutlak CD4 sangat tergantung pada umur sampai anak berumur 6 tahun, sangat sulit untuk menilai adanya kegagalan terapi pada anak yang lebih muda. Setelah umur 6 tahun jumlah CD4 hampir mencapai jumlah dewasa dan CD4 dapat dipakai sebagai dasar kriteria (Tabel 5). Untuk memantau respon terhadap terapi dipakai persentase CD4 oleh karena variasinya lebih kecil dan tidak tergantung pada umur. Belum ada data yang pasti tentang penggunaan limfosit total untuk mengevaluasi hasil ART pada anak.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
55
Tabel 10. Definisi klinis dan kriteria CD4 untuk kegagalan terapi pada bayi dan anak Kriteria jumlah CD4 a
Tanda klinis
•
Lambatnya tumbuh kembang anak yang awalnya memperlihatkan respon terhadap pemberian terapi, atau kemunduran dalam pertumbuhan anak yang awalnya memberikan respon terhadap terapi
•
Kembalinya persentase CD4 (atau pada anak umur >6 tahun, jumlah mutlak dari CD4) pada tingkat sebelum terapi atau bahkan di bawahnya, tanpa disertai infeksi lain yang dapat menyebabkan penurunan sementara CD4.
•
Tidak adanya perkembangan neurologi anak atau berkembangnya ensefalopati
•
Persentase CD4 (pada anak umur >6 tahun, jumlah mutlak dari CD4) turun ≥50% dari nilai tertinggi yang pernah dicapai selama terapi tanpa disertai infeksi lain yang dapat menyebabkan penurunan sementara CD4.
•
Munculnya infeksi oportunistik baru atau keganasan yang menandakan perkembangan penyakit yang b memburuk
•
Kambuhnya infeksi oportunistik, seperti kandidiasis oral, yang tidak mempan terhadap pengobatan.
Keterangan a Pada anak yang asimtomatik dan kegagalan terapinya hanya ditentukan berdasarkan kriteria CD4 saja, maka perlu dikonfirmasi dengan melakukan pemeriksaan CD4 ulang bila sarana memungkinkan. b Harus dibedakan dari IRIS, yang dapat saja terjadi pada 3 bulan pertama ART dan bukan tanda kegagalan terapi.
Rekomendasi ART lini-kedua untuk bayi dan anak Terapi lini-kedua sebagai pengganti rejimen lini–pertama untuk anak yang mengalami kegagalan terapi adalah mengganti komponen nukleosida, sesuai dengan prinsip yang sama dengan yang diterapkan pada ODHA dewasa (contoh, dari AZT + 3TC menjadi ABC + ddI), ditambah suatu PI (Tabel 11). Penggunaan PI selain LPV/r dan NFV akan lebih bermasalah pada anak, karena formula atau kemasan obat IDV dan SQV kurang sesuai untuk anak, dan tidak ada informasi untuk membantu menetapkan dosis ritonavir-boosted PI yang sesuai, selain LPV/r. Namun SQV/r dapat digunakan sebagai pilihan alternatif bagi anak yang berat badannya >25 kg, 56
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
mampu menelan kapsul, dan yang telah dapat menerima dosis dewasa. TDF belum dapat direkomendasikan untuk terapi anak karena keterbatasan data mengenai dosisnya, terutama bagi yang berumur kurang dari 8 tahun, dan juga oleh karena adanya toksisitas pada tulang, yang kemungkinan akan lebih berbahaya bagi anak yang sedang dalam pertumbuhan daripada bagi orang dewasa.
Tabel 11. Rejimen ARV untuk kegagalan terapi pada bayi dan anak Rejimen Lini-pertama
Rejimen Lini-kedua
d4T atau AZT + 3TC + NNRTI: NVP atau EFV
ABC + ddI + PI: LPV/r atau NFV, atau SQV/r bila BB ≥25 kg
C. Pasien degan Koinfeksi TB dan HIV ART direkomendasikan untuk semua ODHA yang menderita TB dengan CD4 <200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 <350/mm3. Pada keadaan di mana tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka ART direkomendasikan untuk semua ODHA dengan TB. Tentu disadari bahwa akan terjadi pasien dengan CD4 >350/mm3 ikut terobati, yang sebenarnya belum perlu ART. Namun pengobatan TB tetap memerlukan prioritas utama untuk pasien dan tidak boleh diganggu oleh ART66,67,68,69. ODHA dengan TB harus mendapat perhatian khusus karena penanganan koinfeksi HIV dan TB diperumit oleh DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
57
adanya interaksi antara rifampisin dan NNRTI atau PI, banyaknya pil yang harus diminum, kepatuhan dan toksisitas obat. Data yang mendukung pengobatan spesifik belum lengkap dan perlu penelitian70,71,72,73 lebih lanjut. Dengan memperhatikan data yang ada, rekomendasi untuk terapi TBHIV lini-pertama adalah (AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800 mg/hari). EFV dengan dosis 800-mg akan mencapai kadar darah lebih tinggi bila bersama rifampisin oleh karenanya dapat mengurangi kemungkinan terjadi resistensi obat pada HIV. Namun, dapat pula meningkatkan risiko toksisitas. SQV/RTV 400/400 mg setiap 12 jam, SQV/r 1600/200 mg 1 kali sehari (dalam formula soft gel - sgc) atau LPV/RTV 400/400 mg setiap 12 jam dalam kombinasi dengan NRTI utama merupakan alternatif untuk EFV, meskipun akan menghadapi masalah tolerabilitas, pemantauan klinis dan risiko terjadinya resistensi. Data lebih lanjut masih diperlukan untuk memastikan rejimen yang mengandung PI tersebut. ABC merupakan alternatif lain untuk EFV dengan keuntungan jumlah pilnya sedikit, tidak ada interaksi dengan rifampisin dan cocok untuk pasien anak dengan berat badan 25 kg atau kurang, yang belum ada dosis EFV yang cocok untuk anak. Rejimen tesebut perlu pemantauan untuk sindrom hipersensitivitas dan kekuatan virologisnya. Data tentang penggunaan NVP + rifampisin masih sangat terbatas dan masih diperdebatkan. Kadar NVP dalam darah akan berkurang bila ada rifampisin, dan pemberian NVP dengan dosis lebih tinggi belum pernah ditelaah. Meskipun beberapa penelitian klinik melaporkan respon virologis dan imunologis yang memadai dan toksisitas yang dapat diterima, rejimen ini hanya boleh diberikan bila tidak ada pilihan lain. Untuk perempuan usia subur (tanpa kontrasepsi efektif), ibu hamil, dan anak dengan TB, dianjurkan menggunakan baik SQV/r atau ABC + (d4T atau AZT) + 3TC. Untuk anak dengan 58
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
berat badan <25 kg dianjurkan (d4T atau AZT)/3TC/ABC sebagai alternatif74,75,76,77,78,79,80,81. Saat yang tepat untuk memulai ART pada pasien TB belum diketahui dengan jelas. Laju kematian kasus (CFR) TB selama 2 bulan pertama pengobatan TB masih tinggi, terutama bila bersamaan dengan penyakit HIV yang sudah lanjut. Pemberian ART pada kasus tersebut mungkin sebagai penyelamat jiwa (life- saving). Di samping itu, bila akan memutuskan untuk memberikan terapi pada saatnya perlu juga diingat beban pil yang tinggi, interaksi antar obat, reaksi toksik obat, dan adanyaIRIS68,69,82,83. Tatalaksana kasus HIV-TB menghadapi banyak tantangan, termasuk masalah penerimaan pasien terhadap kedua diagnosis tersebut. Sebelum selesainya penelitian saat ini, rekomendasi WHO menyatakan bahwa ART pada ODHA dengan CD4<200/mm3 dimulai pada antara 2 minggu hingga 2 bulan setelah terapi TB, yaitu ketika ODHA telah stabil dengan terapi TB. Rekomendasi sementara tersebut dimaksudkan untuk memberikan penekanan pemberian terapi kepada kelompok ODHA yang memiliki kemungkinan mortalitas yang tinggi. Namun demikian, masih ada beberapa alasan yang membuat perbedaan waktu memulai ART, yaitu tergantung dari keadaan klinis masing-masing pasien. Sebagai contoh, pemberian ART kepada ODHA dengan CD4 yang lebih tinggi dapat ditunda hingga selesainya fase intensif terapi TB, guna memudahkan pemberian terapi selanjutnya.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
59
Tabel 12.
ART untuk pasien koinfeksi TB-HIV
CD4 CD4 <200/ mm
3
CD4 200-350/ 3 mm
3
Rejimen yang dianjurkan
Keterangan
Mulai terapi TB. Mulai ART segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 a minggu hingga 2 bulan) : Rejimen yang mengandung b, c, d EFV .: (AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800 mg/hari). Setelah OAT selesai maka bila perlu EFV dapat diganti dengan NVP Bila NVP terpaksa harus digunakan disamping OAT, maka dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan fungsi hati (SGOT/SGPT) secara ketat Mulai terapi TB.
Dianjurkan ART. EFV merupakan kontraindikasi untuk ibu hamil atau perempuan usia subur tanpa kontrasepsi efektif EFV dapat diganti dengan: SQV/ RTV 400/400 mg setiap 12 jam, SQV/r 1600/200 mg 1 kali sehari (dalam formula soft gel - sgc) atau LPV/ RTV 400/400 mg setiap 12 jam ABC
CD4 >350/ mm Mulai terapi TB. CD4 tidak Mulai terapi TB. mungkin diperiksa Keterangan:
Pertimbangkan ART Mulai salah satu rejimen di bawah ini setelah selesai fase intensif. (mulai lebih dini bila penyakit berat): Rejimen yang mengandung b EFV : (AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800 mg/hari). atau Rejimen yang mengandng NVP bila rejimen TB fase lanjutan tidak menggunakan rifampisin. (AZT atau d4T) + 3TC + NVP e Tunda ART a, f Pertimbangkan ART
a
Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan dengan adanya tanda lain dari imunodefisiensi (Tabel 1). Untuk TB ekstra paru, ART harus diberikan secepatnya setelah terapi TB dapat ditoleransi, tanpa memandang CD4.
b
Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg setiap 12 jam atau sgc 1600/200 1 kali sehari), LPV/r (400/400 mg setiap 12 jam) dan ABC (300 mg setiap 12 jam).
c
NVP (200 mg sekali sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg setiap 12 jam) sebagai pengganti EFV bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang mengandung NVP adalah: d4T/3TC/NVP atau AZT/3TC/NVP.
d
Rejimen yang mengandung EFVadalah: d4T/3TC/EFV dan AZT/3TC/EFV.
e
Kecuali pada HIV stadium IV (Tabel 1), mulai ART setelah terapi TB selesai.
f
Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan pasien menunjukkan adanya perbaikan setelah pemberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB diselesaikan.
60
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
D. Pengguna NAPZA Suntik Kriteria klinis dan imunologis untuk pemberian ART pada para pasien dengan ketergantungan NAPZA tidak berbeda dengan rekomendasi umum. Para penyalah-guna NAPZA suntik yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan ART harus pula dijamin dapat menjangkau obat. Perhatian khusus untuk populasi tersebut adalah berhubungan dengan gaya hidup yang tidak menentu sepanjang hidupnya, dan menjadi tantangan dalam hal kepatuhan pada pengobatan dan potensial akan terjadi interaksi antara ART dengan zat-zat yang mereka gunakan seperti misalnya metadon. Dianjurkan pengembangan suatu program yang memadukan perawatan ketergantungan obat (termasuk terapi substitusi) dengan HIV. Di tempat seperti tersebut maka terapi dengan pengawasan langsung dapat diterapkan dengan baik. Penggunaan rejimen ARV dengan dosis sekali sehari sedang dalam penelitian untuk diterapkan dengan pendekatan seperti di atas. Penelitian terus meningkat atas sejumlah obat ARV dosis sekali sehari yaitu: 3TC, FTC, ddI, d4T, TDF, ABC, EFV, SQV/r, LPV/r dan ATV. Pemberian metadon bersamaan dengan EFV, NVP atau RTV untuk ODHA dengan riwayat NAPZA suntik berakibat menurunnya kadar metadon dalam darah dan tanda-tanda ketagihan opiat. Pemantauan tanda ketagihan harus dilakukan dan dosis metadon perlu dinaikkan ke tingkat yang sesuai untuk mengurangi gejala ketagihan tersebut. E.
ARV untuk Profilaksis Pascapajanan
Profilaksis pascapajanan (PPP) adalah pengobatan antiretroviral jangka pendek untuk menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi pascapajanan, baik di tempat kerja atau DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
61
melalui hubungan seksual. Dalam lingkup pelayanan kesehatan, PPP merupakan bagian dari pelaksanaan paket Kewaspadaan Universal yang menekan terjadinya pajanan terhadap bahan menular. Penularan HIV dari pasien yang terinfeksi HIV melalui tusukan jarum pada kulit tertusuk alat tajam memiliki risiko kurang dari 1%. Risiko tertular dari pajanan dengan cairan atau jaringan lebih rendah dari pajanan dengan darah yang mengandung HIV. Risiko terpajan oleh karena tertusuk jarum dan cara lainnya dapat terjadi pada lingkungan dengan sarana pencegahan terbatas dan angka pajanan infeksi HIV cukup tinggi pada kelompok tertentu. Ketersediaan PPP dapat mengurangi risiko penularan HIV di tempat kerja pada petugas kesehatan. Selain itu ketersediaan PPP pada petugas kesehatan dapat meningkatkan motivasi petugas kesehatan untuk bekerja dengan orang yang terinfeksi HIV, dan diharapkan dapat membantu pemahaman tentang adanya risiko terpajan dengan HIV di tempat kerja. Pencegahan Pajanan
Pencegahan pajanan tetap merupakan bagian terpenting dan merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan risiko infeksi HIV pada petugas kesehatan di tempat kerja84. Selain HIV pajanan juga memiliki risiko untuk terjadinya infeksi hepatitis B atau C dan kuman yang ditularkan melalui darah lainnya. Oleh sebab itu strategi penting yang perlu diterapkan dalam mencegah terjadinya dan dampak dari pajanan di sarana pelayanan kesehatan adalah •
62
Kepatuhan pada protokol Kewaspadaan Universal
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
•
Imunisasi hepatitis B untuk petugas kesehatan bila sumber daya memungkinkan
•
Tatalaksana pascapajanan untuk HIV, hepatitis B dan C
•
Pemantauan dan pencatatan dari setiap pajanan akibat kecelakaan kerja.
Sebagai prioritas utama adalah pendidikan dan pelatihan bagi petugas kesehatan tentang Kewaspadaan Universal serta menyediakan sarana yang memadai dalam pelaksanaannya. Petugas kesehatan diharapkan meningkatkan pemahaman tentang risiko penularan HIV melalui hubungan seks, dan tahu manfaat dan mudah mendapatkan kondom, serta pelayanan pengobatan IMS yang bersifat rahasia. Pelaksanaan penanganan pajanan HIV di tempat kerja •
Pertolongan pertama diberikan segera setelah cedera: luka dan kulit yang terkena darah atau cairan tubuh dicuci dengan sabun dan air, dan permukaan mukosa dibilas dengan air.
•
Penilaian pajanan tentang potensi penularan infeksi HIV (berdasarkan cairan tubuh dan tingkat berat pajanan).
•
PPP untuk HIV dilakukan pada pajanan bersumber dari ODHA (atau sumber yang kemungkinan terinfeksi dengan HIV).
•
Sumber pajanan perlu dievaluasi tentang kemungkinan adanya infeksi HIV. Pemeriksaan HIV atas sumber pajanan hanya dapat dilaksanakan setelah diberikan konseling prates dan mendapatkan persetujuan (informed consent), dan tersedia rujukan untuk konseling, dukungan selanjutnya serta jaminan untuk menjaga konfidensialitas.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
63
•
Evaluasi klinik dan pemeriksaan terhadap petugas yang terpajan hanya dilaksanakan setelah diberikan konseling dan dengan persetujuan (informed consent).
•
Edukasi tentang cara mengurangi pajanan yang berisiko terkena HIV perlu diberikan oleh konselor yang menilai urutan kejadian pajanan dengan cara yang penuh perhatian dan tidak menghakimi.
•
Harus dibuat laporan pajanan.
Pemberian PPP dengan ARV
PPP harus dimulai sesegera mungkin setelah pajanan, sebaiknya dalam waktu 2-4 jam. Pemberian PPP setelah 72 jam dilaporkan tidak efektif. Direkomendasikan pengobatan kombinasi dua atau tiga jenis obat ARV. Pilihan jenis obat ditetapkan berdasarkan pengobatan ARV pada sumber pajanan sebelumnya dan informasi tentang kemungkinan resistensi dari obat yang pernah digunakan. Pilihan juga berdasarkan tingkat keseriusan pajanan dan ketersediaan ARV. Pemberian ARV tersebut didasarkan pada pedoman yang ada, dan disediakan satu “kit” yang berisi ARV yang direkomendasi, atau berdasarkan konsultasi dengan dengan dokter ahli. Konsultasi dengan dokter ahli sangat penting dalam hal adanya resistensi terhadap ARV. Perlu tersedia jumlah ARV cukup untuk pemberian satu bulan penuh sejak awal pemberian PPP.
64
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Tabel 13. Penilaian Pajanan untuk Profilaksis Pascapajanan HIV Perlukaan kulit Status infeksi sumber pajanan Jenis Pajanan
Kurang f berat
Lebih g berat
HIV positif a,b Tingkat 1
HIV positif a,c Tingkat 2
Dianjurkan Pengobatan dasar
Anjuran pengobatan dengan
2 – obat PPP
3 –obat PPP
Pengobatan dengan
Anjuran pengobatan dengan
3 –obat PPP
Tidak diketahui staus HIVd nya
Tidak diketahui e sumbernya
HIV negatif
Umumnya Tidak perlu h, PPP i
Umumnya Tidak perlu h PPP ,i
Tidak perlu PPP
Umumnya Tidak perlu h,i PPP
Umumnya Tidak perlu h,i PPP
Tidak perlu PPP
3 –obat PPP
Pajanan pada lapisan Mukosa atau pajanan pada luka di kulitj Status infeksi sumber pajanan Pajanan dalam jumlah sedikit
Pertimbangka n Pengobatan dasar
Pajanan dalam jumlah banyak
Dianjurkan Pengobatan dasar
Anjuran pengobatan dengan
2 – obat PPP
3 –obat PPP
(tumpahan banyak darah)
2 – obat PPP
h
Anjuran pengobatan dengan
Umumnya Tidak perlu h,i PPP
Umumnya Tidak perlu h,i PPP
Tidak perlu PPP
Umumnya Tidak perlu h,i PPP
Umumnya Tidak perlu h,i PPP
Tidak perlu PPP
3 –obat PPP
Keterangan: a b c d e f g h
i j
Bila dikhawatirkan adanya resistensi obat, konsultasikan kepada ahlinya. Pemberian PPP tidak boleh ditunda dan perlu tersedia sarana untuk melakukan perawatan lanjutan secepatnya. HIV Asimtomatis atau diketahui viral load rendah (y.i. <1500) HIV Simtomatis, AIDS, serokonversi akut, atau diketahui viral load tinggi contoh, pasien meninggal & tidak dapat dilakukan pemeriksaan darah contoh, jarum dari tempat sampah y.i. jarum buntu, luka di permukaan y.i. jarum besar berlubang, luka tusuk dalam, nampak darah pada alat, atau jarum bekas dipakai pada arteri atau vena Pernyataan “Pertimbangkan PPP” menunjukkan bahwa PPP merupakan pilihan tidak mutlak dan harus diputuskan secara individual tergantung dari orang yang terpajan dan keahlian dokternya. Namun, pertimbangkanlah pengobatan dasar dengan 2-obat PPP bila ditemukan faktor risiko pada sumber pajanan, atau bila terjadi di daerah dengan risiko tinggi HIV. Bila diberikan PPP dan diterima, dan sumber pajanan kemudian diketahui HIV negatif, maka PPP harus dihentikan. Pada pajanan kulit, tindak lanjut hanya diperlukan bila ada tanda-tanda kulit yang tidak utuh (seperti, dermatitis, abrasi atau luka)
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
65
Tabel 14. Rejimen ARV untuk Profilaksis Pascapajanan Tingkat risiko pajanan
Rejimen1
Risiko menengah (Kemungkinan ada risiko terjadi infeksi)
Rejimen kombinasi dua obat dasar, contohnya: AZT 2 x 300 mg + 3TC 2 x 150 mg atau d4T 2 x 40 mg + 3TC atau ddI 1 x 400 mg + d4T
Risiko tinggi
Rejimen kombinasi 3 obat, contohnya:
(Risiko terjadi infeksi yang nyata, misalnya pajanan dengan darah volume banyak, luka tusuk yang dalam)
AZT/ 3TC/ IDR (3 x 800 mg) ataur NFV (3 x 750 mg) AZT/ 3TC/ IDV/r 2
AZT/ 3TC + NNRTI (EFV 1 x 600 mg) Keterangan: 1
Rejimen PPP perlu disesuaikan dengan menggunakan obat yang tidak resisten terhadap sumber pajanan (bila diketahui)
2
Efavirenz lebih baik dari pada NVP tapi tidak dianjurkan untuk perempuan hamil. Telah dilaporkan 2 kematian dari petugas kesehatan dengan toksisitas hati yang terkait dengan PPP yang mengandung NVP, oleh karena itu tidak dianjurkan
Efek Samping
Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian ARV adalah mual dan rasa tidak enak. Pengaruh yang lainnya kemungkinan sakit kepala, lelah, mual dan diare. Efek samping pada pemberian PPP sering terkait dengan ARV di bawah ini •
NVP: pernah dlaporkan hepatotoksisitas berat pada PPP (NVP tidak dianjurkan untuk rejimen kombinasi pada PPP)
•
ddI: pankreatitis yang fatal
•
IDV/NFV: diare, hiperglikemia, lipodistrofi
Pemeriksaan Tindak Lanjut dan Konseling
Orang yang mendapatkan ARV untuk PPP perlu dievaluasi dan ditindak lanjuti dalam 72 jam setelah pajanan serta perlu 66
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
dipantau terhadap timbulnya gejala toksisitas obat untuk sedikitnya selama 2 minggu. Pemeriksaan antibodi HIV sebagai data dasar dapat dilakukan dalam 8 hari pascapajanan dan untuk selanjutnya dievaluasi secara berkala setidaknya selama 6 bulan pascapajanan, misalnya pada minggu ke 6, bulan ke 3 dan bulan ke 6, namun apabila timbul gejala penyakit yang sesuai dengan sindrom retroviral akut maka pemeriksaan antibodi HIV perlu dilakukan segera. Perlu diberikan konseling dukungan dan juga anjuran untuk melakukan pencegahan terhadap penularan sekunder HIV sedapat mungkin selama masa pemantauan. Tabel 15. Pemantauan Laboratorium pada Profilaksis Pascapajanan Waktu
Jika meminum PPP
Tidak meminum PPP
Data Dasar (Dalam waktu 8 hari)
HIV, HCV, HBV DL, Transaminase
HIV, HCV, HBV
Minggu ke 4
Transaminase, DL
Transaminase
Bulan ke 3
HIV, HCV, HBV Transaminase
HIV, HCV, HBV Transaminase
Bulan ke 6
HIV, HCV, HBV Transaminase
HIV, HCV, HBV Transaminase
Keterangan: HIV : pemeriksaan antibodi HIV HCV : pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis C
X
HBV : pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis B DL : Pemeriksaan darah lengkap
Kepatuhan pada terapi antiretroviral
Kepatuhan pada ART telah diketahui sebagai komponen penting untuk mencapai keberhasilan suatu program terapi Penelitian tentang yang optimal11,14,17,23,28,33,47,48,51,56,60,65,85. kepatuhan tersebut di negara maju menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan yang tinggi berkaitan erat dengan perbaikan virologis maupun klinis. Untuk mendapatkan keberhasilan DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
67
terapi ART diperlukan tingkat kepatuhan minimal 95%. Sangat sulit diperoleh angka kepatuhan yang sedemikian tinggi setelah jangka waktu pengobatan yang lama. Berbagai pendekatan telah diteliti guna memperbaiki kepatuhan tersebut di negara maju dan mulai diteliti di negera berkembang. Pemeriksaan viral load tidak akan dikembangkan secara luas di negara berkembang dalam waktu dekat, oleh karena pertimbangan biaya dan rumitnya teknologi. Oleh karena itu, penting sekali untuk mengusahakan kepatuhan secara maksimal guna mencegah terjadinya resistensi obat dan memastikan ketahanan efek rejimen ARV. Untuk keberhasilan strategi kepatuhan maka perlu memberikan edukasi kepada pasien sebelum memulai. Edukasi yang diberikan meliputi informasi tentang HIV dan manifestasinya, khasiat dan efek samping obat ARV, cara minum obat, dan pentingnya untuk tidak pernah lupa makan obat. Proses tersebut dapat dibantu dengan konselor sebaya atau alat bantu visual. Kunci terpenting untuk keberhasilan pengobatan dan kepatuhan adalah sesedikit mungkin jumlah obat yang harus diminum (misalnya penggunaan obat kombinasi-tetap), kemasan obat (kemasan dalam satu blister), frekuensi dosis (jangan lebih dari setiap 12 jam), hindari pembatasan – pembatasan makanan, cocokkan ARV dengan gaya hidup pasien, dan keterlibatan keluarga dekat, teman, dan/atau anggota masyarakat untuk memberikan dukungan secara terus-menerus. Meskipun penggunaan ART di negara berkembang masih terlalu rendah dibandingkan dengan besarnya masalah penyakit yang ada, namun sudah ada pengalaman penting yang dapat ditarik untuk pengembangan program. Pengalaman tersebut terkait dengan beberapa masalah sebagai berikut: 68
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
•
Penyediaan obat gratis melalui subsidi atau strategi pendanaan bagi ODHA yang tidak mampu membiayai pengobatan. Ada kesan bahwa cost-sharing dapat membantu kepatuhan, meskipun dalam perjalanannya nanti akan ada perbedaan antar negara. Data mutakhir dari Senegal dan negara lain di Afrika menunjukkan bahwa cost-sharing merusak kepatuhan dalam jangka panjang. Masalah tersebut perlu ditelaah lebih lanjut 86,87.
•
Melibatkan keluarga atau anggota masyarakat dalam program bimbingan dan pemeliharaan kepatuhan. Kunjungan rumah mungkin juga sangat bermanfaat. Meminimalkan stigma melalui dukungan psikososial merupakan hal yang mendasar.
•
Perawatan dalam keluarga manakala lebih dari satu anggota keluarga yang terinfeksi HIV. Terutama sangat penting bila ibu dan anaknya terinfeksi.
•
Penggunaan kotak obat atau kemasan blister.
•
Terapi dengan pengawasan langsung atau Directly Observed Therapy (DOT) atau modifikasi dari program DOT. Pendekatan ini adalah padat-dana dan sulit dilaksanakan dalam skala besar apalagi pemberian ART seumur hidup. Namun demikian, mungkin akan bermanfaat untuk kelompok tertentu dan sebagai pelatihan awal kepada pasien.
•
Menggunakan mobil keliling, untuk menjangkau masyarakat di pedesaan yang jauh.
•
Di tingkat program, penting sekali manajemen logistik untuk memastikan persediaan dan penyimpanan ARV dengan baik dan penyediaan sumberdaya yang diperlukan untuk progran kepatuhan yang sesuai budaya.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
69
Kepatuhan akan menjadi lebih sulit pada ibu hamil dan saat dekat pasca persalinan dibandingkan dengan ODHA yang tidak hamil. Gejala ngidam yang terkait dengan kehamilan dan sering mual dapat mempersulit ART dan akan diperberat oleh efek samping obat ARV atau kekhawatiran akan kemungkinan efek samping obat pada janin. Pada masa pasca persalinan, perubahan fisik dan keinginan untuk merawat bayi dapat membahayakan kepatuhan ibu pada ART. Sebaiknya dikembangkan dukungan kepatuhan yang sesuai dengan budaya setempat untuk mengatasi masalah khusus yang terkait dengan kehamilan dan persalinan. Kepatuhan pada anak juga merupakan tantangan khusus, terutama karena keluarga harus terganggu oleh beban penyakit atau beban ekonomi. Program perawatan ODHA dalam keluarga merupakan salah satu pendekatan yang terbaik untuk menjamin kesehatan si anak. Ketersediaan formula anak harus terus ditingkatkan. Bila perlu seharusnya disesuaikan dengan rejimen yang digunakan pada ODHA dewasa sehingga perawatan dalam keluarga dapat terlaksana secara efektif dan agar anak mendapat dosis yang benar.
XI Surveilans Resistensi Obat Tantangan lain dalam program ART adalah resistensi obat ARV. Pada saat ini, 10% dari infeksi baru HIV-1 di Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan resistensi sedikitnya terhadap satu obat. Program peningkatan jangkauan ART dapat belajar dari pengalaman negara maju yaitu mengawali terapi dengan rejimen yang kuat disertai penerapan program pelatihan kepatuhan dan kelestarian terapi yang sesuai budaya serta surveilans dan pemantauan resistensi obat. Pemeriksaan genotipe untuk resistensi obat di negara bersumber daya terbatas tidak perlu dilaksanakan pada 70
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
tatalaksana individual pasien, namun diperlukan ditingkat pusat rujukan nasional atau regional. Yang dianjurkan adalah melaksanakan program surveilans dan pemantauan resistensi obat guna membantu perencanaan. Pemeriksaan genotipe tersebut dianggap penting bagi program ART dan kesehatan masyarakat sebagai sumber informasi untuk mengetahui kecenderungan prevalensi resistensi obat sehingga dapat segera diambil tindakan untuk meminimalkan dampak yang diakibatkan. Program ART harus disertai pelaksanaan surveilans resistensi obat HIV dengan sistem sentinel. Dengan demikian memungkinkan pengelola program mendeteksi adanya resistensi obat di tingkat masyarakat dan mengubah rejimen terapi sebagaimana mestinya. Pada awalnya, pasien yang masih naif (pasien yang belum pernah mendapatkan ART) perlu disurvei untuk menentukan laju prevalensi dari resistensi obat pada populasi terinfeksi, dan pasien yang telah lama mendapat obat harus terus dipantau, terutama mereka yang telah terdiagnosis mengalami gagal terapi. Jejaring surveilans resistensi obat Global HIV Drug Resistance Surveillance and Monitoring Network sedang dikembangkan oleh WHO bekerjasama dengan para partner guna membantu negara anggota82.
XII Kesimpulan Negara anggota WHO dihadapkan pada dua hal, yaitu tantangan dan peluang besar. Masyarakat dunia dapat memerangi pandemi AIDS dengan ART, alat yang paling efektif untuk menjaga kelangsungan hidup ODHA. Kesepakatan politik, sumber dana baru, ketersediaan obat ARV dengan harga terjangkau telah menumbuhkan peluang tersebut. WHO telah sepakat untuk membantu negara bersumber daya terbatas DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
71
meningkatkan jangkauan ART melalui Rencana 3 by 5 secara komprehensif. Pedoman ART yang telah di perbaharui dimaksudkan untuk membantu program nasional mewujudkan peningkatan akses ART bagi semua ODHA dewasa dan anak yang membutuhkan pengobatan.
72
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Lampiran A:
Panduan Penggunaan ARV pada PMTCT*
Kondisi Klinis
Rejimen bagi Ibu (dosis sesuai Tabel 2)
Rejimen bagi Bayi
1
ODHA dengan 1 indikasi ART yang mungkin dapat hamil
Pastikan tidak sedang hamil sebelum mulai ARV Jangan menggunakan EFV kecuali dipastikan menggunakan kontrasepsi yang efektif seperti kondom AZT + 3TC + NVP atau d4T + 3TC + NVP
2
ODHA dengan ART yang kemudian hamil
Lanjutkan rejimen ART yang sekarang digunakan kecuali bila mengandung EFV, dalam hal ini diganti dengan NVP atau PI bila dalam kehamilan trimester I Lanjutkan ART yang sama selama persalinan dan pasca persalinan
Berikan AZT (4mg/kgBB - setiap 12 jam) selama 1 minggu atau NVP (2 mg/ kg BB) dosis tunggal atau NVP dosis tunggal ditambah AZT selama 1 minggu
3
ODHA hamil dengan indikasi 1 ART
Tunda ART sampai setelah trimester I Untuk ibu dengan kondisi buruk perlu dipertimbangkan untung-rugi untuk memulai ART lebih dini Berikan ART seperti pada ODHA biasa ARV-lini I: AZT + 3TC + NVP atau d4T + 3TC + NVP EFV tidak boleh diberikan pada kehamilan trimester I
AZT selama 1 minggu atau NVP dosis tunggal atau NVP dosis tunggal ditambah 3 AZT selama 1 minggu
4
ODHA hamil dan belum ada 1 indikasi ART
AZT dimulai pada usia kehamilan 28 minggu atau sesegera mungkin setelah itu; dilanjutkan selama masa persalinan, ditambah NVP dosis tunggal pada awal persalinan
NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama ditambah 3 AZT selama 1 minggu
2
Rejimen alternatif: • AZT dimulai pada usia kehamilan 28 minggu atau sesegera mungkin setelah itu; dilanjutkan selama persalinan,
• AZT selama 1 3 minggu
• AZT + 3TC : sejak kehamilam 36 atau sesegera mungkin setelah itu; dilanjutkan selama masa persalinan hingga 1 minggu pasca persalinan
• AZT ditambah 3TC (2mg/kgBB setiap 12 jam) selama satu minggu
• NVP dosis tunggal intrapartum
• NVP dosis tunggal dalam 72 jam
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
73
Kondisi Klinis
Rejimen bagi Ibu (dosis sesuai Tabel 2)
5
ODHA hamil dengan indikasi 1 ART tetapi tidak mulai ART
Sesuai butir 4, tetapi lebih baik menggunakan rejimen yang paling efektif dari yang ada
6
ODHA hamil dengan TB aktif OAT yang sesuai untuk perempuan hamil tetap diberikan
Bila dipertimbangkan untuk mulai 4 ART, gunakan : AZT + 3TC + SQV/r atau d4T + 3TC + SQV/r Bila pengobatan dimulai pada trimester III, gunakan AZT + 3TC + EFV atau d4T + 3TC + EFV Bila tidak akan menggunakan ART, ikuti butir 4
7
Ibu hamil dalam masa persalinan yang tidak diketahui status HIV atau ODHA yang datang pada saat persalinan tetapi belum pernah mendapatkan ART
Untuk ibu yang belum diketahui status HIV-nya, bila ada waktu, tawarkan pemeriksaan dan konseling, bila tidak, lakukan pemeriksaan dan konseling segera setelah persalinan (dengan persetujuan) dan ikut butir 8
8
Bila positif Berikan NVP dosis tunggal; bila persalinan sudah terjadi jangan berikan tapi ikuti pedoman butir 8 atau AZT + 3TC pada saat persalinan dilanjutkan hingga 1 minggu pasca persalinan
Bayi lahir dari ODHA yang belum pernah mendapat obat ARV
Rejimen bagi Bayi
NVP dosis tunggal dalam 72 jam pertama
AZT + 3TC selama 1 minggu NVP dosis tunggal sesegera mungkin ditambah AZT selama 1 minggu Bila diberikan setelah 2 hari kurang bermanfaat
Keterangan 1. Rekomendasi untuk memulai ART pada ODHA dewasa (lihat
74
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Tabel 1, di halaman 15). 2. Lakukan pemantauan klinis dan laboratorium, (lihat Bab VII) 3. Perlu dipertimbangkan untuk melanjutkan terapi bayi dengan AZT selama 4 – 6 minggu bila Ibu menggunakan ART antepartum kurang dari 4 minggu. 4. ABC dapat digunakan sebagai pengganti SQV/r; namun pengalaman penggunaan ABC selama kehamilan masih sangat terbatas. Pada terapi TB, dapat dimulai rejimen ART yang mengandung NVP namun perlu pemantauan fungsi hati secara ketat (pemeriksaan SGOT/SGPT setiap bulan). *
Disarikan dari : “Recommendations on ARVs and MTCT Prevention 2004”. WHO Juli 2004.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
75
Lampiran B:
Klasifikasi imunitas HIV pediatrik berdasarkan CD4 sesuai kelompok umur dan persentasenya
Modifikasi dari: Centers for Disease Control and Prevention. 1994 revised classification sistem for human immunodeficiency virus infection in children less than 13 years of age. MMWR 1994;43 (No. RR-12):1-10. <12 bulan Kategori
Jumlah/mm3
1–5 tahun %
Imunitas Kategori 1:
Jumlah/
%
mm3
6–12 tahun Jumlah/
%
mm3
≥1500
≥25%
≥1000
≥25%
≥500
≥25%
750–1499
15%– 24%
500–999
15%– 24%
200–499
15%– 24%
<750
<15%
<500
<15%
<200
<15%
Tidak ada supresi Kategori 2: Supresi Sedang Kategori 3: Supresi Berat
76
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Kemasan
Data Farmakokineti k yg ada
Larutan oral: 10 mg/ml Tablet: 150 mg
Tidak ada kemasan dalam bentuk cair Tablet: 300 mg AZT + 150 mg 3TC
Lamivudine (3TC)
Kombinasi-tetap AZT + 3TC
Remaja dan dewasa
Semua umur
Semua Umur
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Sirup: 10 mg/ml Kapsul: 100 mg; 250 mg Tablet: 300 mg
Zidovudine (AZT)
Nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitors
Nama obat
Dosis maksimum: >13 tahun atau >60 kg: 1 tablet/dosis setiap 12 jam (tidak boleh diberikan bila BB <30 kg )
<30 hari: 2 mg/kg/dosis setiap 12 jam >30 hari atau <60 kg: 4 mg/kg/dosis setiap 12 jam Dosis maksimum: >60 kg: 150 mg/dosis setiap 12 jam
<4 minggu: 4 mg/kg/dosis setiap 12 jam 4 minggu - 13 tahun: 180 2 a mg/m /dosis setiap 12 jam Dosis maksimum: >3 tahun: 300 mg/dosis setiap 12 jam
Umur (BB), dosis dan frekuensi
Lampiran C: Rangkuman formula obat pediatrik dan dosis
77
Lebih disukai, tablet tidak boleh dibelah Tablet dapat digerus dan campur dengan air atau makanan sedikit serta diminum segera Pada BB <30 kg, AZT dan 3TC dosis dalam bentuk tablet tidak dapat akurat
Dapat diterima dengan baik Dapat diberikan bersama makanan Larutan disimpan dalam suhu kamar (gunakan dalam sebulan setelah tutup dibuka) Tablet dapat digerus dan dicampur air sedikit atau makanan segera diminum
Sirup dengan volume banyak tidak dapat ditoleransi oleh anak yang lebih besar Sirup perlu disimpan dalam botol gelas dan senstitif terhadap sinar Dapat diberikan bersama makanan 2 Dosis: 600 mg/m /dosis per hari untuk ensefalopati HIV Kapsul dapat dibuka dan isinya atau tablet digerus dan dicampur dengan sedikit air atau makanan dan diminum segera (larutan stabil dalam suhu kamar) Jangan digunakan bersama d4T (efek antagonistik)
Keterangan
Larutan oral: 1 mg/ml Kapsul: 15 mg, 20 mg, 30 mg, 40 mg
Tidak tersedia dalam bentuk cair Tablet: d4T 30 mg + 3TC 150 mg; d4T 40 mg + 3TC 150 mg
Suspensi-oral pediatrik puyer/air: 10 mg/ml; di beberapa negara perlu dicampur dengan antasida Table kunyah: 25 mg; 50 mg; 100 mg; 150 mg; 200 mg Butiran Entericcoated dalam kapsul: 125 mg; 200 mg; 250 mg; 400mg
Stavudine (d4T)
Kombinasi-tetap d4T + 3TC
Didanosine (ddI, dideoxyinosine)
78
Kemasan
Nama obat
Semua umur
Remaja dan dewasa
Semua umur
Data Farmakokineti k yg ada
<3 bulan: 50 mg/m2/dosis a setiap 12 jam 3 bulan hingga <13 tahun: 2 90-120 mg/m / dosis, setiap 12 jam atau 240 mg/m2/dosis sekali sehari Dosis maksimum: >13 tahun atau >60 kg: 200 mg/dosis setiap 12 jam atau 400 mg sekali sehari
Dosis maksimum: 30-60 kg: satu tablet d4T 30-mg, setiap 12 jam >60 kg: satu tablet d4T 40mg, setiap 12 jam
<30 kg: 1 mg/kg/dosis setiap 12 jam 30 - 60 kg: 30 mg/dosis setiap 12 jam Dosis maksimum: >60 kg: 40 mg/dosis setiap 12 jam
Umur (BB), dosis dan frekuensi
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Simpan suspensi dalam lemari es; stabil selama 30 hari; harus dikocok dengan baik Berikan pada saat perut kosong, sedikitnya 30 menit sebelum atau 2 jam sesudah makan Bila melarutkan tablet dengan air, sedikitnya 2 tablet yang kekuatan sesuai harus dilarutkan untuk memperoleh bufer yang adekuat Butiran Enteric-coated dalam kapsul dapat dibuka dan taburkan pada makanan dalam jumlah sedikit
Lebih disukai, tablet tidak boleh dibelah Lihat keterangan di bawah komponen obat individual
Larutan dengan volume besar Simpan larutan dalam lemari es; stabil dalam waktu 30 hari; harus dikocok dengan baik dan simpan dalam botol gelas Kapsul dapat dibuka dan campur dengan air atau makanan sedikit (stabil dalam larutan selama 24 jam bila disimpan dalam lemari es) Jangan gunakan bersama AZT (efek antagonistik)
Keterangan
Tidak tersedia kemasan dalam bentuk cairan Tablet: AZT 300 mg + 3TC 150 mg + ABC 300 mg
Kombinasi-tetap of AZT + 3TC + ABC Remaja dan dewasa
Umur lebih dari 3 bulan
Data Farmakokineti k yg ada
Ssuspensi Oral: 10 mg/ml Tablet: 200 mg
Semua umur
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Nevirapine (NVP)
Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors
Larutan oral: 20 mg/ml Tablet: 300 mg
Kemasan
Abacavir (ABC)
Nama obat
15 hingga 30 hari: 5 mg/kg/ dosis sekali sehari - 2 minggu, kemudian 120mg/m2/dosis setiap 12 jam - 2 minggu, kemudian 200 mg/m2/dosis a setiap 12 jam >30 hari hingga 13 tahun: 120 mg/m2/dosis sekali sehari selama 2 minggu, kemudian 120-200 mg/m2/dosis setiap a 12 jam
Dosis maksimum: >40 kg: 1 tablet/dosis setiap 12 jam
<16 tahun atau <37.5 kg: 8 mg/kg/dosis setiap 12 jam Dosis maksimum: >16 tahun atau >37.5 kg: 300 mg/dosis setiap 12 jam
Umur (BB), dosis dan frekuensi
79
Bila digunakan rifampisin hindari penggunaannya (lihat Bab TB) Simpan larutan dalam suhu kamar; harus dikocok dengan baik Dapat diberikan bersama makanan Tablet bergaris dan dapat dibelah menjadi 4 bagian yang sama dengan dosis @ 100 mg; dapat digerus dan campur dengan air atau makanan sedikit kemudian segera diminum Orang tua harus diingatkan tentang kemungkinan adanya ruam kulit. Jangan naikkan dosis bila terjadi
Lebih disukai, tablet tidak boleh dibelah Bila BB <30 kg, AZT/3TC/ABC dosis tidak dapat dibuat secara akuran dalam bentuk tablet Peringatan bagi orang tua tentang reaksi hipersensitif AZT/3TC/ABC harus dihentikan seterusnya bila ada reaksi hipersensitif
Dapat diberikan bersama makanan Tablet dapat digerus dan campur dengan air atau makanan sedikit dan segera diminum Orang tua harus diingatkan tentang reaksi hipersensitif ABC harus dihentikan untuk eterusnya bila ada reaksi hipersensitif
Keterangan
Sirup: 30 mg/ml (catatan: sirup perlu dosis lebih tinggi dari kapsul; lihat daftar dosis) Kapsul: 50 mg, 100 mg, 200 mg
Tidak tersedia dalam bentuk cair Tablet: 30 mg d4T/150 mg 3TC/200 mg NVP; 40 mg d4T/150 mg 3TC/200 mg NVP
Efavirenz (EFV)
Kombinasi-tetap of d4T + 3TC + NVP
80
Kemasan
Nama obat
Dewasa
Hanya untuk anak umur lebih dari 3 tahun
Data Farmakokineti k yg ada
Dosis maksimum: 30-60 kg: satu tablet d4T 30 mg, setiap 12 jam >60 kg: satu tablet d4T 40 mg setiap 12 jam
Kapsule (cairan) dosis untuk >3 tahun: 10 hingga 15 kg: 200 mg (270 mg = 9 ml) sekali sehari 15 hingga <20 kg: 250 mg (300 mg = 10 ml) sekali sehari 20 hingga <25 kg: 300 mg (360 mg = 12 ml) sekali sehari 25 hingga <33 kg: 350 mg (450 mg = 15 ml) sekali sehari 33 hingga <40 kg: 400 mg (510 mg = 17 ml) sekali sehari Dosis maksimum: >40 kg: 600 mg sekali sehari
Dosis maksimum: >13 yrs: 200 mg/dosis sekali sehari untuk 2 minggu pertama, kemudian 200 mg/dosis setiap 12 jam
Umur (BB), dosis dan frekuensi
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Lebih disukai, tablet tidak boleh dibelah Pada BB <30 kg, d4T/3TC/NVP tidak dapat dibuat dosis yang tepat dalam bentuk tablet; bila tablet dibelah, keperluan dosis NVP tidak terpenuhi secara adekuat untuk anak yang sangat muda dan diperlukan 2 NVP tambahan sehingga total 200 mg/m /dosis, setiap 12 jam Kandungan NVP, oleh karena itu perlu dosis eskalasi
Kapsul dapat dibuka dan campur dengan makanan, tetapi memberi rasa seperti lada; dapat dicampur dengan makanan manis atau selai untuk mengurangi rasa Dapat diberikan bersama makanan (tetapi hindarkan makanan berlemak tinggi sebelumnya, yang dapat meningkatkan absorpsi samapi 50%); terbaik diberikan sebelum tidur, terutama pada 2 minggu pertama untuk mengurangi efek samping di SSP (susunan saraf pusat) Interaksi obat
ruam kulit (bila ruam ringan, tahan obatnya, bila sudah hilang ruamnya, berikan kembali dosis mulai dari awal, bila ruamnya berat, hentikan obatnya) Interaksi obat.
Keterangan
Larutan oral: 80mg/ml lopinavir + 20 mg/ml ritonavir Kapsul: 133.3 mg lopinavir + 33.3 mg ritonavir
Lopinavir/ ritonavir, (LPV/r) Umur 6 bulan atau lebih
Semua umur Namun, keragaman farmkokinetik yang ekstensif pada bayi, yang memerlukan dosis yang sangat tinggi pada bayi <1 tahun
Data Farmakokineti k yg ada
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Puyer untuk supensi oral (campur dengan cairan): 200 mg setiap sendok the peres (50 mg per 1.25 ml sd): 5 ml Tablet: 250 mg (tablet dapat diparoh dan digerus serta dicampur dengan makanan atau dilarutkan dengan air)
Kemasan
Nelfinavir (NFV)
Protease inhibitors
Nama obat
>6 bulan to 13 tahun: 225 mg/m2 LPV/57.5 mg/m2 a ritonavir setiap 12 jam atau dosis sesuai BB: 7-15 kg: 12mg/kg LPV/3 mg/kg ritonavir/dosis setiap 12 jam 15-40 kg: 10 mg/kg lopinavir/5 mg/kg ritonavir setiap 12 jam
<1 tahun: 50 mg/kg/dosis tiga kali sehari atau 75 mg/kg/dosis setiap 12 jam >1 tahun hingga <13 tahun: 55 hingga 65 mg/kg/ dosis setiap 12 jam Dosis maksimum: >13 tahun: 1250 mg/dosis setiap 12 jam
Umur (BB), dosis dan frekuensi
81
Lebih disukai, larutan oral dan kapsul harus disimpan di lemari es; namun, dapat disimpan di suhu kamar o o hingga 25 C (77 F) selama 2 bulan; pada suhu >25 o o C (77 F) khasiat obat menurun secara cepat Formula cair bervolume sedikit tetapi berrasa pahit Kapsul besar Kapsul tidak boleh digerus atau dibuka tetapi dengan menelannya sekali gus Harus diberikan bersama makanan
Puyer rasanya manis, sedikit pahit, tetapi berpasir dan susah larut; harus di buat segera sebelum diminum dalam campuran dengan air, susu, puding, dsb; jangan menggunakan makanan atau sari buah yang bersifat asam (akan menambah rasa pahit); larutan akan stabil selama 6 jam Oleh karena sulitnya menggunakan puyer, maka lebih disukai tablet yang digerus (untuk bayi sekalipun) Bila sesuai dosisnya dapat diberikan Puyer dan tablet dapat disimpan dalam suhu kamar Makan obat bersama makanan Interaksi obat (kurang dibanding PI yang mengandung ritonavir)
(lihat rekomendasi dosis untuk NVP) Lihat rekomendasi pada masing-masing komponen obat
Keterangan
Kemasan
Data Farmakokineti k yg ada Umur (BB), dosis dan frekuensi Keterangan
82
√(T x BB / 3600)
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Dosis maksimum: >40 kg: 400 Interaksi Obat mg LPV/100 mg ritonavir (3 kapsul atau 5 ml) setiap 12 jam a 2 Meter luas permukaan tubuh dihitung dengan: akar dari (tinggi dalam sentimeter kali berat badan dalam kilogram dibagi dengan 3600).
Nama obat
DEPKES RI – Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral – 2004
Lampiran D:
Kombinasi-tetap ARV yang tersedia di dunia pada 1 December 2003
Kombinasi-tetap tiga obat
d4T (40 mg) + 3TC (150 mg) + NVP (200 mg) d4T (30 mg) + 3TC (150 mg) + NVP (200 mg) AZT (300 mg) + 3TC (150 mg) + ABC (150 mg) AZT (300 mg) + 3TC (150 mg) + NVP (200 mg)
Kombinasi-tetap dua obat
d4T (30 mg) + 3TC (150 mg) d4T (40 mg) + 3TC (150 mg) AZT (300 mg) + 3TC (150 mg)
Catatan: Dianjurkan untuk menggunakan dosis kombinasi-tetap bila kualitas terjamin dan tersedia sarana pemeriksaan bioekivalen untuk memudahkan operasional. Tidak semua obat kombinasi-tetap dalam tabel di atas telah diuji untuk prakualifikasi WHO. WHO melaksanakan sistem prakualifikasi sukarela, di mana hingga 1 Desember 2003, ada tiga perusahaan yang lulus prakualifikasi untuk kombinasi AZT/3TC, dua perusahaan untuk d4T/3TC/NVP, dan satu perusahaan untuk AZT/3TC/ABC. Daftar perusahaan yang lulus prakualifikasi terus menerus diperbaharui dan dapat dilihat di: http://www.who.int/medicines
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
83
Lampiran E: Efek samping obat antiretroviral Golongan Obat/ Nama Obat
Efek Samping
Nucleoside RTI
Abacavir (ABC)
Reaksi hipersensitif (dapat fatal) Demam, ruam, kelelahan, mual, muntah, tidak nafsu makan Gangguan pernafasan (sakit tenggorokan, batuk) asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang)
Didanosine (ddI)
Pankreatitis; Neuropati perifer Mual, diare Asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang)
Lamivudine (3TC)
Toksisitas rendah Asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang)
Stavudine (d4T)
Pankreatitis Neuropati perifer Asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang) Lipoatrofi
Zidovudine (ZDV atau AZT)
Animea, neutropenia, intoleransi gastrointestinal, sakit kepala, sukar tidur, miopati Asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang)
Nucleotide RTI Tenofovir (TDF)
Insufisiensi fungsi ginjal
Non-nucleoside RTIs Efavirenz (EFV)
Gejala SSP: pusing, mengantuk, sukar tidur, bingung, halusinasi, agitasi peningkatan kadar transaminase Ruam kulit
Nevirapine (NVP)
Ruam kulit, sindrom Stevens-jonhson Peningkatan kadar Aminotransferase serum hepatitis, toksisitas hati yang mengancam jiwa
Protease inhibitors Indinavir + ritonavir (IDV/r)
Nefrolitiasis, intoleransi gastrointestinal, hiperglikemia, pemindahan lemak dan abnormalitas lipid, sakit kepala, pusing, ruam kulit, trombositopenia, alopesia, pendarahan pada pasien hemofilia
Lopinavir + ritonavir (LPV/r)
Intoleransi gastrointestinal,mual, muntah, peningkatan enzim transaminase, hiperglikemia, pemindahan lemak dan abnormalitas lipid
Nelfinavir (NFV)
Diare, hiperglikemia, pemindahan lemak dan abnormalitas lipid
Saquinavir + ritonavir (SQV/r)
Intoleransi gastrointestinal,mual, muntah, sakit kepala peningkatan enzim transaminase, hiperglikemia, pemindahan lemak dan abnormalitas lipid
Ritonavir (RTV, r)
Intoleransi gastrointestinal,mual, muntah,semutan, hepatitis
84
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
DEPKES RI – Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral – 2004
dan pankreatitis, hiperglikemia, pemindahan lemak dan abnormalitas lipid
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
85
Lampiran F: Tanda, gejala klinis, pemantauan dan penatalaksanaan terhadap gejala efek samping yang berat dari ARV yang membutuhkan penghentian obat Efek Samping
Kemungkinan obat penyebab
Tanda/ gejala klinis
Penatalaksanaan
Hepatitis akut
NVP;EFV jarang; lebih jarang dengan AZT, ddl, d4T (<1%); dan PI, paling sering dengan RTV
Kuning, pembesaran hati, gejala gastrointestinal, capai, tidak nafsu makan; NVP yang berhubungan dengan hepatitis dapat mempunyai komponen hiperpeka (ruam karena obat, gejala sistematik, eosinofilia)
Jika mungkin pantau transaminase serum, bilirubin. Semua ARV harus dihentikan sampai gejala teratasi. NP harus dihentikan sama sekali selamanya.
Pankreatitis akut
Ddl, d4T; 3TC (jarang)
Mual, muntah dan sakit perut
Jika mungkin pantau amylase dan lipase pancreas serum. Semua ART harus dihentikan sampai gejala teratasi. Mulai kembali ART dengan NsRTI yang lain, lebih disukai yang tidak menyebabkan toksisitas pada pancreas (mis. AZT, ABC
Asidosis laktat
Semua analog nukleosida (NsRTI)
Gejala awal berariasi: sindrom prodromal klinis dapat berupa kelelahan umum, lemah, gejala gastrointestinal ( mual, muntah, pembesaran hati, tidak nafsu makan, dan atau kehilangan berat badan mendadak yang tidak dapat dijelaskan), gejala pernafasan (takipnea dan sesak nafas) atau gejala neurologist (termasuk kelemahan motorik).
Hentikan semua AR; gejala dapat berlanjut atau lebih buruk setelah penghentian ART. Berikan terapi penunjang. Obatobatan yang dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi kembali termasuk kombinasi PI dengan suatu NNRTI dan kemungkinan salah satu ABC atau tenofovir (TDF)
Reaksi hipersensitif
ABC, NVP
ABC: kumpulan gejala Hentikan semua ARV awal termasuk: demam, sampai gejala teratasi. capai, mialgia, Reaksi dapat makin ual/muntah, diare sakit bertambah buruk perut,faringitis, batuk, secara cepat dengan sesak nafas (dengan atau pemberian obat dan tanpa ruam). Walaupun dapat fatal. Berikan gejala bertumpang tindih terapi penunjang. dengan gejala pernafasan Jangan coba lagi dan gastrointestinal yang dengan ABC (atau timbul akut setelah NVP), karena reaksi DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
86
DEPKES RI – Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral – 2004
Efek Samping
Kemungkinan obat penyebab
Tanda/ gejala klinis
Penatalaksanaan
memulai ABC menunjukan khas adanya reaksi hiperpeka. NVP: gejala sistematik seperti demam, mialga, artralgia, hepatitis, eosinofilia dengan atau tanpa ruam.
anafilaktik dan kematian telah pernah dilaporkan. Sekali gejala teratasi, mulai kembali ARV dan menggantinya dengan NsRTI lain jika berhubungan dengan ABC atau dengan obat yang berdasarkan PI atau NsRTI jika berhubungan dengan NVP.
Ruam hebat/ sindroma StevensJohnson
NNRTI: NVP, EFV
Ruam biasanya timbul dalam 2-4 minggu pertama pengobatan. Ruam biasanya eritomatous, makulopapula, bersatu paling banyak ditubuh dan lengan, mungkin gatal dan dapat terjadi dengan atau tanpa demam. Sindrom Stevens- Johnson atau nekrotik epidermal toksik (SSJ/NET) terjasdi pada ~0,3% orang terinfeksi yang menerima NP.
Hentikan semua ARV sampai gejala teratasi. Hentikan sama sekali NVP yang menimbulkan ruam dengan gejala sistematik seperti demam, ruam yang hebat dengan lesi pada mukosa atau gatalgatal, atau SSJ/NET; begitu teratasi, ganti obat ART dengan jenis ARV lainnya (mis. 3 NsRTI atau 2 NsRTI dan PI). Jika ruam tidak begitu hebat tanpa gejala mukosa atau sistematik, ganti NNRTI (missal NVP ganti dengan EFV) dapat dipertimbangkan setelah ruam teratasi.
Neuropati perifer yang hebat
Ddl, d4T
Sakit, semutan, mati rasa pada tangan dan kaki; kehilangan sensori distal, kelemahan otot ringan dan dapat terjadi hilangnya refleks.
Hentikan NsRTI yang dicurigai dengan NsRTI lain yang tidak neurotorik (mis. AZT, ABC), gejala biasanya teratasi dalam 2-3 minggu.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
87
Lampiran G: Stadium klinis HIV menurut WHO pada dewasa Stadium klinis I 1. Asimtomatik generalisata Skala penampilan 1: asimtomatik, aktivitas normal
2. Limfadenopati
Stadium klinis II 1. Berat badan berkurang <10% 2. Manifestasi mukokutaneus ringan (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur di kuku, ulserasi oral berulang, kheilitis angularis)
3. Herpes zoster dalam lima tahun terakhir 4. Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang (seperti sinusitis bakterial)
dan/atau skala penampilan 2: simtomatik, aktivitas normal Stadium klinis III 1. Berat badan berkurang >10%
4. kandidiasis oral (thrush)
2. Diare kronik tanpa penyebab yang jelas, >1 bulan
5. Oral hairy leucoplakia (OHL)
3. Demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas (datang pergi atau menetap), >1 bulan
6. TB paru 7. Infeksi bakterial berat (mis. pnemonia, piomiositis)
Dan/atau skala penampilan 3: <50% dalam masa 1 bulan terakhir terbaring Stadium klinis IV: 1. HIV wasting syndrome
a
8. Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
2. Pneumocystic carinii pneumonia 3. Toksoplasmosis otak
9. Mikosis endemik yang menyebar
4. Diare karena kriptosporidiosis >1 bulan
10. Kandidiasis esofagus, trakea, bronki
5. Kriptokokosis ekstra paru
11. Mikobakteriosis atipik, menyebar atau di paru
6. Penyakit Cytomegalovirus pada satu organ selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening (contoh retinitis) 7. Infeksi virus Herpes simpleks, di mukokutaneus (>1 bulan) atau organ dalam
12. Septikemia salmonela non-tifoid 13. Tuberkulosis ekstra paru 14. Limfoma 15. Sarkoma Kaposi's 16. Ensefalopati HIV
b
Dan/atau skala penampilan 4: terbaring di tempat tidur >50% dalam masa 1 bulan terakhir a
HIV wasting syndrome: berat badan berkurang >10% dari BB semula, disertai salah satu dari diare kronik tanpa penyebab yang jelas (>1 bulan) atau kelemahan kronik dan demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas.
b
Ensefalopati HIV: adanya gangguan dan/atau disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas hidup sehari-hari, berlangsung selam berminggu-minggu atau bulan, tanpa ada penyakit penyerta lain selain infeksi-HIV yang dapat menjelaskan mengapa demikian.
Pentahapan penyakit seperti tersebut di atas akan mengalami perubahan dan masih dalam proses revisi.
88
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
DEPKES RI – Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral – 2004
Lampiran H: Stadium klinis HIV menurut WHO pada anak Stadium klinis I: 1. Asimtomatik 2. Limfadenopati generalisaa Stadium klinis II: 1. Diare kronik >30 hari tanpa etiologi yang jelas 2. Kandidiasis persisten atau berulang di luar masa neonatal 3. Berat badan berkurang atau gagal tumbuh tanpa etiologi yang jelas 4. Demam persisten >30 hari tanpa etiologi jelas 5. Infeksi bakterial berulang yang berat selain septikemia atau meningitis (contoh: osteomielitis, pnemonia bakterial non-TB, abses) Stadium klinis III: 1. Infeksi oportunistik yang termasuk dalam definisi AIDS 2. Gagalan tumbuh yang berat (wasting) tanpa etiologi yang jelas
a
3. Ensefalopati yang progresif 4. Keganasan 5. Septisemia atau meningitis berulang
a
Berat badan berkurang secara persisten >10% dari BB semula atau di bawah garis persentil 5 grafik berat badan dibanding tinggi (BBT) pada pengukuruan 2 kali berturut-turut dengan selang waktu lebih dari 1 bulan tanpa adanya etiologi atau penyakit penyerta lain yang jelas.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
89
90
KARTU PASIEN
□P
Umur: .................. Tahun
Tempat: ……………………
Stad WHO BB
Status fungsional (K,Amb,B) TLC
CD4
CATATAN: 1. Simpanlah kartu ini di rumah dan bawalah bila datang ke Unit Pengobatan 2. Anda dapat membantu mengurangi penyebaran penyakit bila mengikuti aturan pengobatan dengan menelan obat secara teratur
Saat 24 bulan ART
Saat 12 bulan ART
Setelah 6 bulan ART
Saat mulai ART
Memenuhi syarat utk ART
Kunjungan pertama
Tanggal hh/bb/tt
Pemeriksaan Klinis dan Laboratorium
Status pernikahan : □ Menikah □ Tidak menikah □ Bercerai
Pendidikan : □ Tdk Sekolah □ SD □ SMP □ SMU □ Akademi/D3 □ Universitas
Tangal konfirmasi tes + : ………………
No. telepon : ………………………………………………………..
Alamat PMO : ………………………………………………………..
Nama PMO : …………………………………………………………
Jenis kelamin : □ L
No. Register: Nama: ..................................................................................................... Alamat Lengkap: .................................................................................... No. telepon: ....................................................................................
No. Rekam Medis
Lampiran I: Catatan Kunjungan Pasien
Rejimen dan jumlah obat ARV yang sisa
Rencana tgl. kunjungan y.a.d
Bila kartu ini sudah penuh dapat diganti dengan kartu baru
Efek samping ARV/ IO/ profilaksis IO
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Catatan Penting: oleh Dokter atau Perawat ............................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................... ...............................................................................................................................................................
Tanggal kunjungan
Tanggal Perjanjian Mengambil Obat, Konsultasi Dokter, Pemeriksaan lain
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
91
92
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Daftar Tilik Pemeriksaan setiap Kunjungan CD4 <200 Jumlah limfosit total < 1200 Penyakit HIV simptomatik
CD4 >200 Jumlah limfosit total > 1200 Penyakit asimptomatik
Kunjungan pertama
Anamnesis Daftar tilik gejala Pemeriksaan fisik Foto toraks jika terdapat gejala penyakit paru Penilaian perilaku/psikososial Pendidikan, pekerjaan, sumber penghasilan Dukungan sosial, struktur keluarga/rumah tangga Penyingkapan status, siap untuk menyingkapkannya Pengertian HIV/AIDS, transmisi, pengurangan risiko, pilihan pengobatan Penilaian gizi Penilaian keluarga/rumah tangga untuk menentukan apakah ada anggota keluarga yang terinfeksi HIV yang memerlukan perawatan.
Bulan 1
Anamnesis (masalah baru) Daftar tilik gejala Pemeriksaan fisik Profilaksis kotrimoksazol Dukungan psikososial Konseling kepatuhan Pemberian obat untuk 1 bulan
Bulan 2
Anamnesis (masalah baru) Daftar tilik gejala Pemeriksaan fisik Penilaian/dukungan kepatuhan Dukungan psikososial Ulangi pemberian obat untuk 1 bulan
Bulan 3
Anamnesis (masalah baru) Daftar tilik gejala Pemeriksaan fisik Penilaian/dukungan kepatuhan Dukungan psikososial Ulangi pemberian obat untuk 3 bulan Kotrimoksazol
Bulan 6
Anamnesis (masalah baru) Daftar tilik gejala Pemeriksaan fisik Penilaian/dukungan kepatuhan Dukungan psikososial Ulangi pemberian obat untuk 3 bulan Kotrimoksazol
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
Anamnesis (masalah baru) Daftar tilik gejala Pemeriksaan fisik Dukungan psikososial
Anamnesis (masalah baru) Daftar tilik gejala Pemeriksaan fisik Dukungan psikososial
Anamnesis (masalah baru) Daftar tilik gejala Pemeriksaan fisik Dukungan psikososial
93
CD4 <200 Jumlah limfosit total < 1200 Penyakit HIV simptomatik Tindak lanjut
94
KUNJUNGAN SETIAP 3 BULAN dan lebih sering jika diperlukan
CD4 >200 Jumlah limfosit total > 1200 Penyakit asimptomatik KUNJUNGAN SETIAP 3-6 BULAN dan lebih sering jika diperlukan
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
DEPKES RI – Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral – 2004
Lampiran J: Jaringan internet yang bermanfaat •
http://www.who.int/hiv/en/
•
http://www.who.int/medicines/organization/qsm/activiti es/pilotproc/pilotproc.shtml
•
http://www.who.int/medicines/organization/par/edl/exp ertcomm.shtml
•
http://www.unaids.org/publications/documents/index.ht ml
•
http://www.medscape.com/Home/Topics/AIDS/AIDS.ht ml
•
http://www.amfar.org
•
http://www.hivandephepatitis.com
•
http://www.bnf.org/AboutBNFFrameHowtoUse.htm
•
http://www.cdc.gov/hiv/treatment.htm
•
http://www.cdc.gov/oashi/aids/hiv.html
•
http://www.aidsinfo.nih.gov/
•
http://www.hopkinds-aids.edu/
•
http://www.aidsmeds.com
•
http://www.aidsmap.com
•
http://www.aids.org
•
http://www.thebody.com/
•
http://www.hifnat.org
•
http://hivinsite.ucsf.edu/InSite
•
http://www.paho.org/English/HCP/HCA/antiretrovirals_ HP.htm
•
http://www.aegis.org/
•
http://www.natap.org/
•
http://groups.yahho.com/group/wartaaids/files/
Juga dianjurkan untuk membaca situs web perusahaan farmasi pembuat obat Antiretroviral.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
95
Lampiran K:
Daftar Rujukan
Buku dan acuan lain dalam bahasa Indonesia 1.
Penatalaksanaan HIV/AIDS di Pelayanan Kesehatan Dasar, oleh Dr. Samsuridjal Djauzi dan Dr. Zubairi Djoerban. Fakultas Kedokteran Unviversitas Indonesia, 2002 Hubungi Pokdis AIDS FKUI/RSCM, telp: (021) 390-5250 atau E-mail:
[email protected]
2.
3.
Pengobatan untuk AIDS: Ingin Mulai? Oleh Chris W.Green. Yayasan Spiritia,2003 Lembaran Informasi tentang HIV/AIDS untuk orang yang Hidup dengan HIV/AIDS (Odha). Yayasan Spiritia (sering diupdate) Hubungi Yayasan Spiritia, telp: (021) 7279 7007 atau E-mail:
[email protected] Dokumen ini juga tersedia di situs web WartaAIDS: http://groups.yahoo.com/group/wartaaids/files/
Rujukan bahasa Inggris lain yang dapat diakses gratis dari Internet
Catatan; sebagian buku ini tersedia versi cetakan secara gratis atas permintaan pada penerbit 1.
2.
3.
96
The Use Antiretroviral therapy: A Simplified Approach for Resource-Constrained Countries (versi asli buku ini). WHO SEARO Juli 2002 http://w3.whosea.org/hivaids/therapy_cont.htm Fact Sheets on Antiretroviral Drugs. WHO SEARO September 2002 http://w3.whosea.org/hivaids/antiretro_content.htm Scaling up Antiretroviral therapy in resource-limitid settings: Guidelines For a public health approach, WHO http://www.who.int/hiv/pub/prev_care/pub18/en/ DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
DEPKES RI – Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral – 2004
4.
5.
6.
Sources and Prices of Selected Medicines and Diangnostics for People Living with HIV/AIDS. UNICEF,UNAIDS, WHO dan MSF Juni 2003 http://www.who.int/hiv/pub/prev-care/edm/en/ Handbook on Access to HIV?AIDS-Related Treatment; A collection of Information, tools and resources for NGOs, CBOs and PLWHA groups. WHO, Mei 2003 http://www.who.int/hiv/pub/prev_care/pub29/en/ Living Well with HIV/AIDS: A Manual on Nutritional Care and Support For People Living with HIV/AIDS. FAO http://www.fao.org/DOCREP/005/y4168E/Y4168E00.HT
M 7.
Community Home-Based Care in Resource-Limited Setting: A Framework for Action. WHO http://www.who.int/hiv/pub/prev-care/pub14/en/
8.
Improving Access to Care in Developing Countries: Lessons from Practice, Research, Resources and Partnerships. Repaort from a meeting: Advocating for access to care and sharing experiences. WHO Desember 2001 http://www.who.int/hiv/pub/prev_care/care/en/
9.
Aid for AIDS South Africa Clinical Guidelines. http://www.aidforaids.co.za/ClinicalGuidelines/introduct ion.html 2003 Medical Management of HIV Infection;Clinical handbook of HIV/AIDS care oleh Dr.John G. Bartlett dan Joel E. Gallant. Johns Hopkins University Division of Infectious Disease http://www.hopkinsaids.edu/publication/book/book_toc. html
10.
11.
2002 Abbreviated Guide to Medical Management of HIV Ifection; abbreviated clinical handbook of HIV?AIDS care
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
97
12.
oleh Dr. John G. Bartlett. Johns Hopkins University Division of Infectious Diaseases. http://www.hopkins-aids.edu/publications/abbrevgd/ abbrevgd.html Clinical Guide on Supportive and Palliative Care for People with HIV/AIDS. The HIV?AIDS bureau of the Health Resources and Services Administration http://hab.hrsa.gov/tools/palliative/
13.
A Guide to the Clinical Care of Women with HIV, diedit oleh Jean Anderson. The HIV?AIDS Bureau of Health Resources and Services Administration,2001 http://hab.hrsa.gov/publications/womencare.htm
14.
Clinical Management of the HIV-Infected Adult: A Manual For Midlevel Clinicals, oleh Patricia Yeargin, Rosemary Donnelly, dan Dianne Weyer, RN, MN, CFNP. Southeast AETC and MATEC, Maret 2003 http://www.aids-etc.org/pdf/tools/se_midlevel_2003.pdf
15.
Tool to Assess Site Program readiness For Initiating Antiretroviral therapy (ART). John Snow International/Deliver, Mei 2003. http://www.fplm.jsi.com/2002/archives/hivaids/SofR_too l/index.cfm
16.
Introducing Antiretroviral therapy (ART) on aLarge Scale:Hope and Caution; Program Planning Guidance Based on arly Experience from Resource-Limited and MiddleIncome Countries, oleh Dr. Youssef Tawfik, Dr. Stephen Kinoti, and Dr. G. Chand Blain. AED Global Health, Population and Nutrition Group, November 2002. http://www.aed.org/publications/ARTpaper.pdf
17.
Adult HIV/AIDS Treatment Pocket Guide, oleh Dr.John G. Barlett. National Resource Center, Mei 2002.
98
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
DEPKES RI – Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral – 2004
18.
http://www.adisetc.org/pdf/tools/pocketGuide_0502_for_web.pdf Guide to Management of Nucleoside and Nucleotide Toxicities and Side Effects. http://www.hivandhepatitis.com/ email/na_guide/NAGuide.pdf
19.
Guide to Management of nNRTI Toxicities and Side Effects. http://www.hivandhepatitis.com/pdf/nnrti550c820.pdf
20.
A Practical Guide to HIV Drug Side Effects, oleh Lark Lands. CATIE,2002. http://www.catie.ca/sideeffects_e.nsf
21.
APractical Guide to HAART, oleh Lark Lands. CATIE, 2002. http://www.catie.ca/PG_HAART_e.nsf/
22.
Managing Drug Side Effect. The AIDS Community Research Initiative of America (ACRIA). http://www.criany.org/treatment/treament_edu_sideeffect.html Patient Information Booklet Series: adherence; Anti-HIV Drugs; Clinical Trials; Glossary; HIV & Hepatitis; HIV Therapy; Lipodystrophy; Nutrition; Resistance; Viral Load & CD4 Count. National AIDS Manual (UK). http://www.aidsmap.com/publications/infoseries/index.a
23.
sp 24.
Patient booklets: Introduction to combination therapy; Avoiding and managing side effects; Changing treatment. HIV i-Base. http://www.i-base.info/
25.
Recreational Drugs and HIV Antivirals: A Guide to Interactions for Clinicians. NY/NJ AIDS education Training Center, Fall 2002.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
99
http://www.nynjaetc.org/final_verson.pdf Handbook on access to HIV/AIDS-related treatment: A collection of Information, tools and resource for NGOs, CBOs and PLWHA groups. UNAIDS<WHO dan International HIV/AIDS Alliance, Mei 2003. http://www.unaids.org/publications/documents/care/acc_ac cess/cdrom/JC897-HandbookAccess_en.pdf
26.
Newsletter dalam bahasa inggris yang dikirim melalui pos: 1.
2.
HIV treatment Bulletin – penerbitan pengobatan bulanan Inggris. http://www.i-base.info/froms/postsub.html The Hopkins HIV Report-terbitan dua-bulan untuk dokter yang merawat pasien dengan HIV/AIDS. Semua artikel ditulis oleh The Johns Hopkins AIDS Service. http://www.hopkins-aids.edu/publications/report/ report_toc.html
Newsletter dalam bahasa Inggris yang dapat diakses gratis di Internet: 1.
“HIV & AIDS Treatment in practice (HATIP)” is an E-mail newsletter for doctors, nurses, other health care workers and community treatment advocates working in limited-resource setting. The newsletter is published twice a month by NAM. If you have web access, sign up at: http://www.aidsmap.com/comonents/subscribe.asp If you have internet E-mail access only, send an E-mail with your name, E-mail address and the country in which you work to:
[email protected] with the words : “add HATIP list” in the subject line.
100
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
DEPKES RI – Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral – 2004
2.
ACRIA Update is a quarterly treatment education newsletter; eachedition ;covrs a different theme of interest to the people living with HIV/AIDS and HIV healthcare provider communities. The AIDS Community research Initiativ of America http://www.criany.org/treatment/treatment_edu_ACRIA_ update.html
Milis Internet: 1.
2.
3.
4.
Indonesian-FAC (Indonesian Forum on AIDS Care and Treatment): adalah forum untuk mendiskusikan perawatan dan pengobatan HIV/AIDS di Indonesia. Subscribe dengan kirim E-mail kosong ke:
[email protected] WartaAIDS adalah forum diskusi dan Tanya/jawab untuk mereka yang terkait dengan perawatan dan dukungan untuk Odha di Indonesia. Subscribe dengan kirim E-mail kosong ke:
[email protected] ADIS-INA adalah diskusi tentang topic yang berkaitan dengan masalah HIV/AIDS, serta topik lain terkait. Subscribe dengan kirim E-mail kososng ke:
[email protected] ProCAARE-ART aims to develop an information and communication network that supports the rational prescription, appropriate use, and adherence to ART for those infected with HIV. Join ProCAARE-ART for free by sending an E-mail to:
[email protected] with the following in the text of your message: subscribe procaare-art end
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
101
102
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
DEPKES RI – Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral – 2004
XIII Daftar Acuan 1
Palella FJ, Jr., Deloria-Knoll M, Chmiel JS, et al. Survival benefit of initiating antiretroviral therapy in HIV-infected persons in different CD4+ cell strata. Ann Intern Med 2003;138(8):620-626.
2
Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) and World Health Organization (WHO). AIDS epidemic update: 2003. Geneva.UNAIDS. Available from: URL: http://www.who.int/hiv/pub/epidemiology/epi2003/en/
3
Centres for disease Control and Prevention. Report of a pool of competent HIV despite prolonged suppression of plasma viraemia. Science 1997;278:1291-5.
4
Yeni PG, Hammer SM, Carpenter CC, et al. Antiretroviral treatment for adult HIV infection in2002: updated recommendations of the International AIDS Society-USA Panel. JAMA 2002;288(2);222-235.
5
DHHS. Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV1 infected adults and adolescents. Available from: URL: http://AIDSInfo.nih.gov/guidelines
6
Badri M, Wood R. Usefulness of total lymphocyte count in monitoring highly activeantiretroviral therapy in resourcelimited settings. AIDS 2003;17(4):541-545.
7
Kumarasamy N, Mahajan AP, Flanigan TP, et al. Total lymphocyte count (TLC) is a useful tool for the timing of opportunistic infection prophylaxis in India and other resource-constrained countries. J Acquir Immune Defic Syndr 2002;31(4):378-383.
8
van der Ryst E, Kotze M, Joubert G, et al. Correlation among total lymphocyte count, absolute CD4+ count, and CD4+ percentage in a group of HIV-1-infected South African patients. J Acquir Immune Defic Syndr Hum Retrovirol 998;19(3):238-244.
9
Brettle RP. Correlation between total and CD4 lymphocyte counts in HIV infection. Int J STDAIDS. 1997;8(9):597
10
Beck EJ, Kupek EJ, Gompels MM, et al. Correlation between total and CD4 lymphocyte counts in HIV infection:
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
103
not making the good an enemy of the not so perfect. Int J STD AIDS 1996;7(6):422-428 11
Fournier AM, Sosenko JM. The relationship of total lymphocyte count to CD4 lymphocyte count in patients infected with human immunodeficiency virus. Am J Med Sci. 992;304(2):79-82
12
Bang LM, Scott LJ. Emtricitabine: an antiretroviral agent for HIV infection. Drugs 2003; 63(22):2413-2424; discussion 2425-2426
13
Boubaker K, Flepp M, Sudre P, et al. Hyperlactatemia and antiretroviral therapy: the Swiss HIV Cohort Study. Clin Infect Dis 2001;33(11):1931-1937.
14
Pollard RB, Tierney C, Havlir D, et al. A phase II randomized study of the virologic and immunologic effect of zidovudine + stavudine versus stavudine alone and zidovudine + lamivudine in patients with >300 CD4 cells who were antiretroviral naive (ACTG 298). AIDS Res Hum Retroviruses 2002;18(10):699-704
15
Staszewski SGJ, Pozniak AL, Suleiman JMAH, et al. Efficacy and safety of tenofovir DF versus stavudine when used in combination with lamivudine and efavirenz in antiretroviral naïve patients: 96-week preliminary interim results. 10th Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections; 2003 Feb 10.14; Boston, Massachusetts.
16
Gallant JE, Deresinski S. Tenofovir disoproxil fumarate. Clin Infect Dis 2003;37(7):944-950
17
Karras A, Lafaurie M, Furco A, et al. Tenofovir-related nephrotoxicity in human immunodeficiency immunodeficiency virus-infected patients: three cases of renal failure, Fanconi syndrome, and nephrogenic diabetes insipidus. Clin Infect Dis 2003;36(8):1070-1073
18
Schaaf B, Aries SP, Kramme E, et al. Acute renal failure associated with tenofovir treatment in a patient with acquired immunodeficiency syndrome. Clin Infect Dis 2003;37(3):41-43
Verhelst D, Monge M, Meynard JL, et al. Fanconi syndrome and renal failure induced by tenofovir : a first case report. Am J Kidney Dis 2002;40(6):1331-1333 DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 104 19
DEPKES RI – Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral – 2004
20
Ena J, Amador C, Benito C, et al. Risk and determinants of developing severe liver toxicity during therapy with nevirapine- and efavirenz-containing rejimens in HIVinfected patients. Int J STD AIDS 2003;14(11):776-781
21
Keiser P, Nassar N, White C, et al. Comparison of nevirapine- and efavirenz-containing antiretroviral rejimens in antiretroviral-naive patients: a cohort study. HIV Clin Trials 2002;3(4):296-303
22
Keiser P, Nassar N, Yazdani B, et al. Comparison of efficacy of efavirenz and nevirapine: lessons learned for cohort analysis in light of the 2NN Study. HIV Clin Trials 2003;4(5):358- 360.
23
Law WP, Dore GJ, Duncombe CJ, et al. Risk of severe hepatotoxicity associated with antiretroviral therapy in the HIV-NAT Cohort, Thailand, 1996.2001. AIDS 2003;17(15):2191- 2199
24
Martin-Carbonero L, Nunez M, Gonzalez-Lahoz J, et al. Incidence of liver injury after beginning antiretroviral therapy with efavirenz or nevirapine. HIV Clin Trials 2003;4(2):115- 120
25
Moyle GJ. NNRTI choice: has 2NN changed our practice? AIDS Read 2003;13(7):325-328.
26
van Leth FHE, Phanuphak P, Miller S, et al. Results of the 2NN study: a randomized comparative trial of first-line antiretroviral therapy with rejimens containing either nevirapine alone, efavirenz alone, or both drugs combined, together with stavudine and lamivudine. 10th Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections; 2003 Feb 10.14; Boston, Massachusetts
27
Hirsch MS, Brun-Vezinet F, Clotet B, et al. Antiretroviral drug resistance testing in adults infected with human immunodeficiency virus type 1: 2003 recommendations of an International AIDS Society-USA Panel. Clin Infect Dis 2003;37(1):113-128
28
Walmsley S, Bernstein B, King M, et al. Lopinavir-ritonavir versus nelfinavir for the initial treatment of HIV infection. N Engl J Med 2002;346(26):2039-2046.
Adje-Toure CA, Cheingsong R, Garcia-Lerma JG, et al. Antiretroviral therapy in HIV- 2-infected patients: changes DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 105 29
in plasma viral load, CD4+ cell counts, and drug resistance profiles ofpatients treated in Abidjan, Côte d'Ivoire. AIDS 2003; 17(Suppl 3):S49-S54. 30
Van der Ende ME, Prins JM, Brinkman K, et al. Clinical, immunological and virological response to different antiretroviral rejimens in a cohort of HIV-2-infected patients. AIDS 2003;17(Suppl 3):S55-S61
31
Smith NA, Shaw T, Berry N, et al. Antiretroviral therapy for HIV-2-infected patients. J Infect Dis 2001;42:126-133.
32
Sanne I, Piliero P, Squires K, et al. Results of a phase 2 clinical trial at 48 weeks (AI424-007): a dose-ranging, safety, and efficacy comparative trial of atazanavir at three doses in combination with didanosine and stavudine in antiretroviral-naive subjects. J Acquir ImmuneDefic Syndr 2003;32(1):18-29
33
Haas DW, Zala C, Schrader S, et al. Therapy with atazanavir plus saquinavir in patients failing highly active antiretroviral therapy: a randomized comparative pilot trial. AIDS 2003;17(9):1339-1349.
34
Piliero PJ. Atazanavir: a novel HIV-1 protease inhibitor. Expert Opin Investig Drugs 2002;11(9):1295-1301.
35
Gulick RMRH, Shikuma CM, Lustgarten S, et al. ACTG 5095: a comparative study of 3protease inhibitor-sparing antiretroviral rejimens for the initial treatment of HIV infection. 2nd IAS Conference on HIV Pathogenesis and Treatment; 2003 Jul 13.16; Paris .
36
Staszewski S, Keiser P, Montaner J, et al. Abacavirlamivudine-zidovudine vs indinavirlamivudine-zidovudine in antiretroviral-naive HIV-infected adults: A randomized equivalence trial. JAMA. 2001;285 (9):1155-1163.
37
Ibbotson T, Perry CM. Lamivudine/zidovudine/abacavir: triple combination tablet. Drugs 2003; 63(11):1089-1098; discussion 1099-1100.
38
Kityo C. A randomised trial of monitoring practice and structured treatment interruptions in the management of antiretroviral therapy in adults with HIV infection in Africa: The DART trial. 13th International Conference on AIDS and STIs in Africa (ICASA); 2003; Nairobi (Abstract 1098933).
106
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
DEPKES RI – Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral – 2004
39
Gallant JERA, Weinberg W, Young B, et al. Early nonresponse to tenofovir DF and abacavirand lamivudine in a randomized trial compared to efavirenz + ABC and 3TC: ESS30009 unplanned interim analysis. 43rd Interscience Conference on Antimicrobial Agents and Chemotherapy; 2003 Sep 14.17; Chicago, Illinois .
40
Gilead. High rate of virologic failure in patients with HIV infection treated with once daily triple NRTI rejimen containing didanosine, lamivudine, and tenofovir; 2003 (Letter).
41
Gerstoft J, Kirk O, Obel N, et al. Low efficacy and high frequency of adverse events in a randomized trial of the triple nucleoside rejimen abacavir, stavudine and didanosine. AIDS 2003;17(14):2045-2052.
42
Winston A, et al. Dose escalation or immediate full dose when switching from efavirenz-to nevirapine-based highly active antiretroviral therapy in HIV-1 infected individuals. AIDS 2004, 18 (3) : 572
43
Stern JO, Love JT, Robinson, PA, et al. Hepatic safety of nevirapine: Results of the BoehringerIngelheim Viramune Hepatic Safety Project. 14th International Conference on AIDS; 2002 Jul 7.12; Barcelona (Abstract LBOr15).
44
Imperiale SM, Stern JO, Love JT, et al. The VIRAMUNE (nevirapine) hepatic safety project:analysis of symptomatic hepatic events. 4th International Workshop on Adverse Events and Lipodystrophy in HIV; 2002 Sep 22.25; San Diego, California (Abstract 87).
45
Stern JO, Robinson PA, Love JT, et al. A comprehensive hepatic safety analysis of nevirapine in different populations of HIV infected patients. J Acquired Immune Defic Syndr 2003;34, Supll 1:S21-S33.
46
Boehringer-Ingelheim Pharmaceuticals, Inc. Viramune drug label. Revised 20 June 2003.
47
Lyons F, Hopkins S, McGeary A, et al. Nevirapine tolerability in HIV infected women inpregnancy – A word of caution (late breaker). 2nd IAS Conference on HIV Pathogenesis and Treatment; 2003 Jul 13.16; Paris.
Langlet P, Guillaume M-P, Devriendt J, et al. Fatal liver failure associated with nevirapine in a pregnant HIV DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 107 48
patient: the first reported case. Gastroenterol 2000;118(Suppl 2):Abstract 6623 (101st Annual Meeting of the American Gastroenterological Association; 2000 May 21.24; San Diego, California). 49
Eshleman SH, Mracna M, Guay LA, et al. Selection and fading of resistance mutations in women and infants receiving nevirapine to prevent HIV-1 vertical transmission (HIVNET 012). AIDS 2001;184:914-917.
50
Sullivan J. South African Intrapartum Nevirapine Trial: selection of resistance mutations. 14th International Conference on AIDS; 2002 Jul 7.12; Barcelona (Abstract LbPeB9024)48
51
Cunningham CK, Chaix ML, Rackacewicz C, et al. Development of resistance mutations in women receiving standard antiretroviral therapy who received intrapartum nevirapine to prevent perinatal human immunodeficiency virus type 1 transmission: a substudy of Pediatric AIDS Clinical Trials Group protocol 316. J Infect Dis 2002;186:181-18849
52
Chaowanachan T, Chotpitayasunondh T, Vanprapar N, et al. Resistance mutations following a single-dose intrapartum administration of nevirapine to HIV-infected Thai women and their infants receiving short-course zidovudine. 10th Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections; 2003 Feb 10.14; Boston, Massachusetts (Abstract 855).
53
Mandelbrot L, Landreau-Mascaro A, Rekacewicz C, et al. Lamivudine-zidovudine combinatin for prevention of maternal-infant transmission of HIV-1. JAMA 2001;285:2083-2093.
54
Giuliano M, Palmisano L, Galluzzo CM, et al. Selection of resistance mutations in pregnant women receiving zidovudine and lamivudine to prevent HIV perinatal transmission. AIDS 2003;17:1570-1571.
55
Wade AM, Ades AE. Age-related reference ranges: significance tests for models and confidence intervals for centiles. Stat Med 1994;13:2359-2367.
56
Shearer WT, Rosenblatt HM, Gelman RS, et al. Lymphocyte subsets in healthy children from birth through 18 years of
108
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
DEPKES RI – Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral – 2004
age: the Pediatric AIDS Clinical Trials Group P1009 Study. J Allergy Clin Immunol 2003; 112(5):973-980. 57
Embree J, Bwayo J, Nagelkerke N, et al. Lymphocyte subsets in human immunodeficiency virus type 1-infected and uninfected children in Nairobi. Pediatr Infect Dis J 2001;20:397-403.
58
Mofenson LM, Harris DR, Moye J, et al. Alternatives to HIV1 RNA concentration and CD4 count to predict mortality in HIV-1-infected children in resource-poor settings. Lancet 2003; 362 (9396):1625-1627.
59
European Collaborative Study. Gender and race do not alter early-life determinants of clinical disease progression in HIV-1 vertically infected children. AIDS 2004 (in press).
60
Gortmaker SL, Hughes M, Cervia J, et al. Effect of combination therapy including protease inhibitors on mortality among children and adolescents infected with HIV-1. N Engl J Med 2001;345:1522-1528.
61
De Martino M, Tovo P-A, Balducci M, et al. Reduction in mortality with availability of antiretroviral therapy for children with perinatal HIV-1 infection. JAMA 2000;284:190-197.
62
Lindsey JC, Hughes MD, McKinney RE, et al. Treatment mediated changes in human immunonodeficiency virus (HIV) type 1 RNA and CD4 cell counts as predictors of weight growth failure, cognitive decline, and survival in HIV-infected children. J Infect Dis 2000;182:1385-1393.
63
Verweel G, van Rossum AMC, Hartwig NG, et al. Treatment with highly active antiretroviral therapy in human immunodeficiency virus type 1-infected children is associated with a sustained effect on growth. Pediatrics 2002;109(2):E25 Available from: URL: http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/109/2/e25
64
Saulsbury FT. Resolution of organ-specific complications of human immunodeficiency virus infection in children with use of highly active antiretroviral therapy. Clin Infect Dis 2001;32:464- 468.
65
McCoig C, Castrejon MM, Castano E, et al. Effect of combination antiretroviral therapy on cerebrospinal fluid
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
109
HIV RNA, HIV resistance, and clinical manifestations of encephalopathy. J Pediatr 2002;141:36-44. 66
Santoro-Lopes G, de Pinho AM, Harrison LH, et al. Reduced risk of tuberculosis among Brazilian patients with advanced human immunodeficiency virus infection treated with highly active antiretroviral therapy. Clin Infect Dis 2002;34(4):543-546.
67
Giarardi E, Antonucci G, Vanacore P, et al. Impact of combination antireteroviral therapy on the risk of tuberculosis among persons with HIV infection. AIDS 2000;14:1985-1991.
68
Badri M, Wilson D, Wood R. Effect of highly active antiretroviral therapy on incidence of tuberculosis in South Africa: a cohort study. Lancet 2002;359:2059-2064.
69
Harvard University. Consensus statement on antiretroviral treatment for AIDS in poor countries. Boston: Harvard University; 2001.
70
Burman WJ, Jones BE. Treatment of HIV-related tuberculosis in the era of effective antiretroviral therapy. Am J Respir Crit Care Med 2001; 164(1):7-12.
71
Wagner KR, Bishai WR. Issues in the treatment of Mycobacterium tuberculosis in patients with human immunodeficiency virus infection. AIDS 2001;15(Suppl 5):S203.S212.
72
Havlir DV, Barnes PF. Tuberculosis in patients with human immunodeficiency virus infection. N Eng J Med 1999;340(5):367-373.
73
Dean GL, Edwards SG, Ives NJ, et al. Treatment of tuberculosis in HIV-infected persons in the era of highly active antiretroviral therapy. AIDS 2002; 16(1):75-83.
74
Lopez-Cortes L, Ruiz-Valderas R, Viciana P, et al. Pharmacokinetic interactions between efavirenz and rifampin in HIV-infected patients with tuberculosis. Clin Pharmacokinet 2002;41:681-690.
75
Patel A, Patel K, Patel J, et al. To study the safety and antiretroviral efficacy of rifampicin and efavirenz in antiretroviral-naïve tuberculosis co-infected HIV-1 patients in
110
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
DEPKES RI – Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral – 2004
India. X Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections; 2003; Boston, Massachusetts (Abstract 138). 76
Pedral-Samapio D, Alves C, Netto E, et al. Efficacy of efavirenz 600 mg dose in the ARV therapy rejimen for HIV patients receiving rifampicin in the treatment of tuberculosis. 10th Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections; 2003 Feb 10.14; Boston, Massachusetts (Abstract 784).
77
Dean G, Back D, de Ruiter A. Effect of tuberculosis therapy on nevirapine trough plasma concentration. AIDS 1999;13:2489-2490.
78
Ribera E, Pou L, Lopez RM, et al. Pharmacokinetic interaction between nevaripine and rifampicin in HIVinfected patients with tuberculosis. J Acquir Immune Defic Syndr 2001;28:450-453.
79
Olivia J, Moreno S, Sanz J, et al. Co-administration of rifampin and nevirapine in HIVinfected patients with tuberculosis. AIDS 2003;17:637-642.
80
Ribera E, Azuaje C, Montero F. Saquinavir, ritonavir, didanosine, and lamivudine in a oncedaily rejimen for HIV infection in patients with rifampin-containing antituberculosis treatment. 14th International Conference on AIDS; 2002 Jul 7.12; Barcelona (Abstract ThPeB7280).
81
la Porte C, Colbers E, Bertz R, et al. Pharmacokinetics of two adjusted dose rejimens of lopinavir//ritonavir in combination with rifampin in healthy volunteers. 42nd Interscience Conference on Antimicrobial Agents and Chemotherapy; 2002; San Diego, California (Abstract A-1823).
82
Narita M, Ashkin D, Hollander E, et al. Paradoxical worsening of tuberculosis following antiretroviral therapy in patients with AIDS. Am J Respir Crit Care Med 1998;158:157-161.
83
Harries AD, Hargreaves NJ, Kemp J, et al. Deaths from tuberculosis in sub-Saharan African countries with a high prevalence of HIV-1. Lancet 2001;357(9267):1519-1523.
84
Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di Pelayanan Kesehatan. Depkes, Ditjen PPM & PL. 2003
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004
111
85
Havlir D, Vella S, Hammer S. The Global HIV Drug Resistance Surveillance Program: a partnership between WHO and IAS. AIDS 2002;16(10):7-9.
86
Desclaux A, Ciss M, Taverne B, et al. Access to antiretroviral drugs and AIDS management in Senegal. AIDS 2003;17(Suppl 3):S95-S101.
87
Laniece I, Ciss M, Desclaux A, et al.Adherence to HAART and its principal determinat determinants in a cohort of Senegalese adults. AIDS 2003; 17 (Suppl 3): S103-S108.
112
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004