PEDANG DARAH BIRU Karya : Bastian Tito Cetakan pertama : 1992 Hak cipta dan Copy right pada pengarang di bawah lindungan undang-undang.
Pembuat Ebook : Scan buku ke djvu : Abu Keisel Convert : Abu Keisel Editor : Fujidenkikagawa Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
MEMECAH BATU DENGAN BATU Kindo dan Tasaki sampai di satu tempat ketinggian dan berbatu-batu. Tasaki berada di sebelah atas, Kindo tertinggal jauh di sebel ah bawah. Keletihan dan kes akitan anak ini letakkan bungkus an berisi batu besar di tanah. Lalu duduk terhenyak dengan nafas kembang kempis di bawah sebat ang pohon. Tangan kanannya yang cidera tampak merah membengkak. Sakitnya bukan kepalang. Sekitar tempat dia duduk ditumbuhi pohonpohon liar berbentuk aneh. "Kindo!" Dari puncak pedataran tinggi terdengar Tasaki berteriak memanggilnya. "Enak sekali kau duduk-duduk di situ! Ayo naik ke atas sini!" "Sekujur tubuhku sakit, Tasaki. Aku mohon bisa istirahat barang s ebentar lagi!" Kindo balas berteriak dari bawah. "Anak kurang ajar! Aku yang memerintah kau atau kau yang memerintah aku?!" Mendengar ucapan itu Kindo jadi kecut juga. Dia berdiri. Bungkusan batu ditentengnya kembali. Sekujur lengannya yang cidera memang masih sakit tetapi saat itu terasa agak mendingan. "Aneh, kok sakitnya berkurang...?" Tertatih-tatih Kindo mendaki pedataran tinggi berbatu-batu itu. Akhirnya kepayahan dia sampai juga di puncak pedat aran tinggi. Langsung saja anak ini jatuhkan diri menjelepok di tanah. Angin bertiup kencang sekali. Memandang berkeliling Kindo baru menyadari bahwa di sekelilingnya terdapat jurang batu yang dalam. Di s ebelah kanan ada satu dataran tinggi terpisah oleh s ebuah celah berj arak hampir lima depa. "Huh... huh... huh! Mengapa kau menyiksaku Tasaki?" tanya Kindo dengan nafas megap-megap. "Menyiksamu? Siapa yang menyiksamu?" tanya Tasaki dengan mata melotot. "Kau tahu keadaanku babak belur begini. Bahkan hampir mati kalau tidak kau tolong. Tangan kananku cidera berat. Lalu kau suruh mengangkat batu besar dengan t angan kanan. Tak boleh dipanggul! Harus ditenteng! Berjalan sejauh ini! Hampir setengah hari perjal anan! Perutku lapar dan...." "Sudah! Jangan banyak mulut anak kecil! Coba kau perhatikan t anganmu! Lihat bagaimana sekarang keadaannya?!" potong Tasaki. "Kau lihat sendiri. Merah bengkak! Tulangnya mungkin ada yang patah!" "Anak tolol. Tanganmu memang kelihatan bengkak! Tapi coba kau ras a-rasakan. Sakitnya pasti sudah jauh berkurang dari sebelumnya! Diberi obat malah mengumpat tak karuan!" "Obat? Siapa yang memberi obat? Obat apa?!" tanya Kindo heran dan kesal. Tasaki tertawa lebar. "Tanganmu memang cidera berat. Tapi tidak patah. Hanya terkilir. Pindah urat pindah otot! Dengan mengangkat batu berat itu otot serta uratmu menjadi lurus kembali. Ruas-ruasnya kembali ke kedudukan semula. Termasuk sikumu yang bergeser!" Kindo jadi menganga mendengar kata-kata Tasaki itu. Perlahan-l ahan tangan kanannya diangkat. Digerak-gerakkan l alu dilipat. Memang masih teras a sakit. Tapi sangat jauh berkurang. Sebelumnya j angankan dilipat, digerakkan saja tangan itu sakitnya setengah mati. Kindo cepat-cepat berdiri dan membungkuk di hadapan Tasaki. "Terima kasih Tasaki. Aku tidak menyangka kalau begitu cara pengobatanmu! Kenapa sih kau tidak bilang sebelumnya?" "Bukankah waktu di Puri Elang aku pernah mengatakan padamu. Apa yang terlihat dengan mata nyata belum tentu sama dengan keadaan sebenarnya?" "Ya... ya aku ingat. Maafkan aku Tasaki. Sekarang katakan mengapa kau m embawa aku ke tempat ini?" "Hai, kau ambil dulu bajuku itu. Setengah harian aku setengah telanjang...." Kindo segera membuka baju yang dipakai untuk membungkus batu besar lalu menyerahkannya pada Tasaki. Setelah mengenakan pakai annya kembali Tasaki memandang berkeliling.
"Ini tempat latihan kita," kata Bujal a Tasaki sambil mengeluarkan kipas lalu mulai berkipas-kipas. Pakaian dan juga wajahnya yang gemuk tampak basah oleh keringat. "Tasaki, aku heran. Aku merasa kedinginan. Sebaliknya, kau keringatan seperti orang kepanasan. Malah berkipas-kipas. Ada kelainan apa dalam dirimu?" "Aku biasa hidup di alam serba dingin Kindo. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu." "Ah, kau pasti merahasiakan sesuatu tentang dirimu. Berarti kau tidak mempercayaiku." "Sebaiknya kita mulai dengan latihan. Ada tiga macam latihan atau ujian yang harus kau lakukan Kindo. Pertama latihan kekuatan luar. Ini untuk membentuk agar tubuhmu seolah berotot baja berurat kawat dan bertulang besi. Bersamaan dengan latihan kekuatan luar itu kekuatan batinmu akan ikut ditempa. Setelah itu kau akan dilatih ilmu meringankan tubuh. Ini agar gerakanmu ringan dan cepat. Juga agar kau mampu berlari kencang hingga set an sekalipun tak bisa mengejarmu. Bagian t erakhir dari l atihan dan ujian adalah bagaimana menghimpun tenaga dalam yang ada dalam tubuhmu dan mempergunakannya sebagai satu kekuatan sakti." "Wah, banyak sekali yang harus kulatih dan pelajari. Berapa lama latihan itu Tasaki?" "Bisa berbulan-bulan. Bisa tahunan...." "Waw, lama sekali!" "Semua tergantung padamu sendiri," kata si gemuk pula. "Makin rajin dan sungguh-sungguh kau melakukannya, makin cepat kau berhasil. Dan ingat, sebelum kau menguasai semua itu, sabuk rotan yang ada di pinggangmu sama sekali tidak boleh kau pergunakan. Sekali kau melanggar pant angan, senjat a itu akan hilang dan kembali ke alamnya semula!" Kindo memegang pinggangnya. "Ah, masih ada," kata anak ini ketika tangannya menyentuh sabuk rotan yang melingkar di pinggangnya. "Tasaki, aku ingin menanyakan sesuatu tentang dirimu." "Ingat Kindo. Saat ini tak s atu hal pun boleh kau t anyakan tentang diriku. Bila tiba saatnya akan kukatakan padamu. Sekarang coba perlihatkan ilmu silat apa saja yang telah kau punya." "Pamanku...." "Perlihatkan ilmu silat yang kau pelajari dari pamanmu," potong Bujala Tasaki. Kindo bersurut mundur. Kedua kakinya dikembangkan. Anak ini mulai mem asang kuda-kuda. Kedua telapak tangannya dirapatkan satu sama lain seperti orang menghatur sembah. Lalu, "Betttt... bettt...! Settttt... setttt! Wuutttt! Braaakk!" Kindo mulai mainkan ilmu silat yang dipelajarinya dari almarhum pamannya. Sambil berkipas-kipas Tasaki perhatikan gerakan-gerakan kedua t angan dan kaki Kindo. "Hemm.... Sama sekali tak ada apa-apanya." Setelah memainkan habis dua belas jurus Kindo berhenti menutup permainan silatnya dengan sikap waktu pembukaan tadi yaitu merapatkan kedua telapak tangan di depan kepalanya sambil mengatur jalan nafas. "Hanya itu yang aku punya. Bagaimana menurutmu Tasaki?" "Ilmu silatmu tak ada apa-apanya,..." "Hah?!" Kindo tampak kecewa. Padahal tadi dia m emperagakan kepandaiannya dengan sungguhsungguh.
"Yang kau punya cuma semangat "Lalu ilmu silatku sendiri? "
Kindo…"
"Tidak ada apa-apanya. Gerakan tangan dan kakimu kelihatan bagus. Tapi jika menghadapi musuh, semua itu bisa dimentahkan lawan dengan mudah." "Lalu aku harus bagaimana?" tanya Kindo. "Pertama, setiap pukul an atau tendangan yang kau lancarkan harus disert ai kekuatan mendasar. Kal au tidak dirimu sendiri yang akan cidera sedang lawan tidak merasakan apa-apa!" Tasaki melangkah m endekati serumpun pohon bambu liar. Dengan tangan kirinya dia mencabut sebatang bambu sebesar pergelangan kaki. Mudah saja seolah dia mencabut rumput. Selagi Kindo melongo kagum si gendut tancapkan batang bambu itu ke tanah. "Serang batang bambu ini. Pergunakan tangan, kaki atau apa saj a. Kepalamu juga boleh! Kita akan lihat hasilnya!" "Ah, hanya sebatang bambu, apa sus ahnya untuk diserang?" pikir Kindo. Lalu seperti tadi anak ini memasang kuda-kuda. Didahului dengan teriakan. "Ciaaatttt!" Kindo lancarkan serangan. Tangan dan kakinya berkel ebat. Pukulan dan tendangan bertubitubi menghantam batang bambu itu. Namun batang bambu hanya bergoyang-goyang, s edikitpun tidak mengalami kerusakan. Sebaliknya kaki dan tangan Kindo tampak merah lecet. Rasa sakit mencucuk terl ebih ketika luka lecet itu terkena keringat. "Berhenti!" seru Tasaki. "Ah, untung dia menyuruh berhenti. Tangan dan kakiku sudah babak belur. Sakit bukan main!" kata Kindo dalam hati lalu hentikan permainan silatnya. Nafasnya ngos-ngosan. "Perhatikan tanganmu Kindo. Apa yang kau alami?!" tanya Bujala Tasaki. "Lecet, ada darah. Sakit...." jawab Kindo. "Perhatikan batang bambu itu! Apa yang kau lihat?" tanya Tasaki lagi. "Pohon itu.... Biasa-biasa saja. Tidak rusak, apalagi patah...." "Kau lihat sekarang keampuhan ilmu silatmu. Keampuhan pukulan dan tendanganmu. Tak ada apaapanya...." Kindo terdiam. "Kenapa itu terjadi Kindo? Karena kau ti dak memiliki pukulan atau tendangan menentukan. Kau cuma punya semangat ! Tapi tak punya kekuatan yang keluar dari dalam tubuh yang bisa dipancarkan pada setiap pukulan atau tendangan.... Kau cuma punya semangat. Dalam dunia silat, semangat saja tidak cukup. Seseorang harus punya kekuatan yang menentukan. Aku akan perlihatkan padamu!" Tasaki bergerak lalu berhenti sejarak lima langkah dari batang bambu. Hampir tak kelihatan, tangan kirinya yang besar itu bergerak mel ancarkan satu pukulan. Sementara tangan kanannya masih saja berkipaskipas. "Shhhuuuut!" "Prakkkk!" Batang bambu patah dan pecah berkeping-keping. "Ah, bagaimana dia bisa memukul sehebat itu!" kata Kindo dalam hati. "Kau ingin mempunyai kemampuan sepertiku bukan?" Kindo mengangguk. "Sebelum kuajarkan padamu bagaimana memiliki kekuatan itu ada s atu latihan bagus untukmu. Lihat sekelilingmu!" Kindo memandang berkeliling. "Tempat ini penuh dengan batu-batu gunung. Ada yang besar ada yang kecil. Ratusan banyaknya. Ambil batu-batu besar. Tumbukkan ke batu-batu yang lebih kecil. Sampai akhirnya hanya ada satu batu besar di tempat ini. Selebihnya batu-batu kecil sebesar ujung jempol kaki!" Kindo terkesiap. "Menghancurkan batu dengan mempergunakan batu! Batu begini banyaknya? Tobat... remuk tanganku!" "Lakukan apa yang aku katakan Kindo. Kau hanya bol eh berhenti kalau perutmu lapar atau haus. Makan minum kau cari sendiri...." Habis berkata begitu Bujala Tasaki melangkah pergi. "Tasaki, kau mau pergi ke mana?" tanya Kindo. "Aku mencari tempat yang teduh. Aku mau tidur! Dan ingat! Kau baru berhenti memecah batu dengan batu setelah aku bangun dari tidur!" "Ba... baik Tasaki," jawab Kindo dan menyangka si gendut itu tidak akan tidur lama.
PEDANG DARAH BIRU Di sebuah lembah, sungai besar itu membentuk sebuah jeram. Jeram membentuk air terjun yang mengeluarkan suara menderu deras menggidikkan. Di balik curahan air terjun, dua orang duduk di atas batu hitam, saling berhadap-hadapan. Orang pertama s eorang nenek bermuka cekung duduk pejamkan mat a. Kedua telapak tangan dirapatkan, diluruskan dan diletakkan di atas kepala. Di depan si nenek duduk seorang gadis berparas ayu. "Sudah tiga hari aku duduk di sini, menunggu sampai dia menyelesaikan samadinya. Berapa lama l agi aku harus menunggu. Tubuhku terasa pegal, dingin dan lapar.....Kapan dia akan mendapat petunjuk. SemogaTuhan cepat menolongnya agar dia dan aku tidak menderita lebih lama." Pagi hari keempat sepasang mata si nenek kelihatan bergerak-gerak. Si gadis menunggu. Tapi mata itu tak kunjung terbuka. Tiba-tiba justru mulut si nenek yang terbuka. "Kintani, kau masih ada di depanku?" "Aku masih di hadapanmu Guru...." "Aku sudah mendapat petunjuk. Orang yang harus kau cari berada di salah satu puncak menara Puri Elang. Pergi ke sana, bawa Pedang Darah Biru. Bunuh dia!" "Aku siap melakukan perintahmu Guru!" "Kau murid yang berbakti!" kata si nenek. Lalu kedua t angannya perlahan-lahan diturunkan. Tiba-tiba yang kanan dihantamkan ke atas. "Wuuuttt!" Satu gelombang angin sekeras batu karang meles at, melabrak bagian atas goa batu bes ar di mana guru dan murid itu berada. Terdengar suara berderak. Si gadis mendongak tegang. Batu goa s ecara aneh berges er ke samping kiri dan kanan hingga di antaranya kini kelihat an sebuah celah. Dari celah itu melayang turun sebuah pedang bergagang dan bersarung putih, terbuat dari perak. Perlahan-lahan pedang itu melayang ke bawah hingga akhirnya jatuh di pangkuan si nenek. Masih tanpa membuka kedua mat anya nenek itu mengusap seluruh pedang mulai dari gagang sampai ke ujung sarung lalu mendekatkannya ke wajahnya dan menciumnya beberapa kali. Dengan satu gerakan sangat sakral nenek ini mengeluarkan pedang dari sarungnya. "Srettt!" Begitu pedang tercabut membersitlah sinar biru yang angker dari badan pedang. Gadis bernama Kintani di hadapan si nenek sampai tersurut dalam duduknya saking terkesiap. Wajah si nenek menyeringai. "Pedang Darah Biru! Darah biru di badanmu masih belum pupus. Sudah berapa puluh manusia berdarah biru yang jadi korbanmu. Dalam waktu dekat kau akan mereguk darah biru lagi. Tidak percuma empat puluh tahun aku mencarimu. Pedang sakti, pergilah bersama muridku. Kau boleh kembali ke asalmu jika tugasmu sudah selesai." "Srettt! Cleeeppp!" Sinar biru angker lenyap. Pedang itu masuk kembali ke dalam sarungnya. Si nenek meletakkannya di atas pangkuan. "Muridku, ambil Pedang Darah Biru ini. Aku percaya kau akan mampu menjalankan tugas mu. Kau pergi bersama doaku. Jika kau tidak kembali dalam waktu tujuh hari, berarti aku tidak akan mengharapkan kau akan kembali untuk selama-lamanya!"
Dengan tangan agak gemetar gadis ayu bernama Kintani itu meng dari pangkuan gurunya. Senjata ini dengan hati-hati disisipkan di pinggang, arah belakang punggung. "Guru, sebelum aku pergi, aku ingin petunjuk atas ciri-ciri orang itu. Aku tak ingin kesalahan tangan." Si nenek angguk-anggukkan kepalanya. "Dia seorang kakek tua bangka. Rambut, jangut dan kumisnya putih. Panjang menjela kaki. Dia berada di salah satu puncak menara Puri Elang. Kau tak bakal keliru, Muridku!" "Terima kasih atas petunjuk Guru. Murid pergi sekarang," kata si gadis. Dia membungkuk dalam-dalam hingga kepalanya di atas pangkuan si nenek. Orang tua ini usap kepala muridnya sambil mendongak agar air mata tidak menggelinding jatuh ke pipinya yang keriput. "Kintani, kau menjalankan perintah dengan sem angat tinggi serta ikhlas. Apakah tidak ada pert anyaan di lubuk hatimu mengapa aku meminta kau membunuh orang itu?" Pertanyaan si nenek membuat kedua mata Kintani sesaat membes ar. Dengan kepala masih di pangkuan sang guru gadis ini kemudian menjawab. "Aku hanya seorang murid yang menjal ankan tugas. Apapun yang terjadi antara guru dengan orang itu tidak layak bagiku untuk mengetahuinya." "Kau murid yang baik. Kau murid yang baik..." ucap si nenek. Air matanya makin banyak membas ahi kelopak matanya. Perlahan-l ahan Kintani angkat kepal anya dari pangkuan si nenek lalu berdiri. Saat itulah dia melihat air mata membasahi mata sang guru. Hatinya tercekat tapi dia tak berani bertanya. "Aku pergi Guru...." Kintani balikkan badan dan berkel ebat pergi. Dia menerobos curahan ai r terjun, melompat dari satu puing batu ke lamping batu lainnya. Di dalam goa di balik air terjun si nenek menghel a nafas panjang. "Tidak percuma aku menunggu dan mencari s elama empat puluh tahun. Pedang Darah Biru itu akhirnya kudapat juga. Hanya senjat a sakti itu yang mampu membunuh manusia berdarah biru itu!"
PERTEMUAN DENGAN KANTI DAN KINTANI Sampai matahari tenggelam dan malam tiba Bujala Tasaki masih tidur ngorok di bawah lamping sebuah batu besar. "Aku haus dan perutku keroncongan. Kalau aku turun dari tempat ketinggian ini bisa-bisa kes asar dalam gelap. Belum lagi kalau sampai Tasaki bangun dan dilihatnya aku tak ada di sini. Bisa-bisa aku didampratnya! Uh...!" Dengan tubuh basah kuyup oleh keringat sem entara udara terasa s emakin dingin, perut lapar dan tenggorokan kering sedang dua tangannya mulai sakit-s akit karena sejak siang tadi dipakai m emecah batu-batu gunung, setelah istirahat sebentar akhirnya Kindo kem bali melanjutkan tugas yang diberikan sang guru. Batu demi batu dipecahkannya. Menjelang tengah malam anak ini tak sanggup lagi. Tubuhnya tergolek di tanah. Sinar matahari pagi jatuh tepat di wajah Kindo. "Eh, tertidur aku rupanya..." kata anak ini seraya duduk. "Sekujur tubuhku sakit.
Perutku lapar. Tenggorokanku serasa api. Haus sekali...." Kindo memandang berkeliling. Di kejauhan dilihatnya Bujala Tasaki masih enak-enakan tidur. Kedua tangannya dipakai bersitekan ke tanah. "Uh! Sakittt!" Baru Kindo menyadari kalau kedua tangannya penuh lecet bahkan luka akibat menumbuk batu-batu gunung. "Tanganku... tanganku..." desis anak ini lalu berdiri dengan susah payah. "Aku ingat, dalam perjalanan ke sini ada sebuah huma. Mungkin di situ aku bisa mendapatkan makanan. Apa saja asal bisa mengganjal perut. Juga air buat minum...." Kindo cepat melangkah pergi. Tapi ketika melewati Tasaki anak ini berhenti sejenak. "Bagaimana kalau dia bangun. Lalu aku tak ada di sini.... Dia bisa marah. Tapi bukankah dia mengatakan aku harus mencari makan dan minum sendiri?" Sesaat hati Kindo menjadi bimbang. "Ah gampang. Bilang saja aku pergi buang air. Hik... hik... hik!" Memikir seperti itu Kindo segera berl alu. Di belakangnya suara ngorok Tasaki tidak putusputus. Tak lama kemudian Kindo sudah berada lagi di pedataran tinggi itu. Dia membawa lima buah ketimun hutan besar-besar serta air dalam sebatang bambu. Dua buah ketimun diletakkannya di dekat Tasaki. Lalu Kindo mulai melanjutkan lagi tugas yang diberikan sang guru. Dengan dua tangan penuh luka dia memecah batu-batu gunung yang kecil-kecil dengan batu-batu besar. "Ini pagi hari kedua," kata Kindo begitu bangun dan memandang berkeliling. Lebih dari setengah batu-batu kecil yang ada di pedataran tinggi itu telah dipecahkannya. Dan di sebelah s ana Tasaki masih saja tidur pulas. "Aneh si gentong itu. Kerbau pun tidak tidur s ampai dua hari dua malam. Aku akan turun mencari ketimun lagi." Siang hari ketiga. "Syukur.... Seluruh batu-batu kecil akhirnya bisa kupecah!" Kindo mengengah-engah. Di sekelilingnya dataran tinggi itu kini tertutup oleh pecahan batu-batu kecil sebesar ujung ibu jari kaki. Di dekat kaki Kindo menggeletak satu-satunya batu besar yang masih tertinggal. "Ya ampun. Kedua tanganku!" ujar Kindo ketika melihat tangannya kiri kanan. Tidak seperti tangan lagi. Luka. Darah.... Beberapa kukuku hancur. Kulit telapak tangan terkelupas! Uh.... Jangankan memegang sesuatu, menggerakkan jari-jari saja rasanya seperti disengat bara panas!" Kindo berpaling ke arah batu besar. "Si gendut itu masih juga tidur! Kalau tidak terdengar ngoroknya pasti kusangka dia sudah mati. Tiga hari tidur terus. Bagaimana ya kalau aku bangunkan?!" Kindo bimbang. " Lebih baik jangan. Aku mau turun saja ke huma lagi. Mencuci tangan. Membersihkan diriku. Makan ketimun dan minum se-puas-puasnya. Kalau aku balik nanti siapa tahu Tasaki sudah bangun!" Walaupun sekujur tubuhnya sakit dan kedua tangannya luka-luka namun Kindo turun dari pedataran tinggi kali ini dengan hati gembira. "Tugas yang diberikan Tasaki sudah kuselesaikan. Kini aku bisa berleha-leha sedikit!" Hampir mencapai kaki pedataran tinggi Kindo melihat sesuatu menyelinap di balik semak-semak. "Eh, kelinci hutan! Dagingnya pasti lezat. Kalau bisa kutangkap akan kupanggang!" Kindo segera mengej ar binatang itu. Kelinci yang dikejar jinak-jinak liar. Jika Kindo berhenti mengejar karena hampir kehabisan nafas binatang ini berhenti pula. Kalau dikejar kembali dia pun lari dengan gesitnya.
Di satu tempat akhirnya Kindo menghentikan us ahanya m enangkap kelinci hutan itu. Dia tegak di atas sebatang pohon tumbang. Memandang ke bawah dia melihat sebuah jalan berbelok-belok. "Eh, bukankah itu jalan menuju Puri Elang?" kata Kindo pada dirinya sendiri. "Berarti aku sudah sangat jauh meninggalkan Tasaki. Aku harus segera kembali." Baru saja Kindo hendak bergerak pergi, tiba-tiba matanya melihat dua orang berjalan di kejauhan. "Arah yang mereka ambil sepertinya menuju Puri Elang," kata Kindo memperhatikan. "Siapa mereka. Satu anak perempuan kecil. Satunya lagi seorang gadis.... Sebaiknya aku intip siapa kedua orang ini." Kindo melompat turun dari batang pohon. Dia menyelinap di antara semaksemak sampai akhirnya tiba di sisi jalan yang mendaki. Di sini dia mendekam. Menunggu.
Dua orang yang tadi berada di kejauhan makin lama makin dekat. Dua mata Kindo membesar. "Astaga! Anak kecil itu sih si Kanti!" Kindo melompat ke luar dari tempat pers embunyiannya di t epi jalan seraya berteri ak. "Kanti! Kanti!" Anak perempuan kecil yang rambutnya dikuncir terkejut. Gadis berpakaian putih-putih di sebelahnya juga tampak terkejut tapi membuat gerakan waspada dan setiap kejap bisa meledak menjadi satu serangan. Sambil memegang tangan Kanti, gadis itu bertanya. "Siapa anak itu Kanti?" "Dia teman yang kuceritakan. Dia Kindo!" jawab Kanti seraya berl ari ke arah Kindo lalu memegang tangan anak lelaki itu. "Aduh!" Kindo menjerit kesakitan ketika tangannya dipegang kuat-kuat oleh Kanti. "Eh, kenapa kedua tanganmu Kindo?" Kanti terbelalak. "Tidak apa-apa. Aku jatuh di gunung..." jawab Kindo berdusta. "Eh, kau ini mau ke mana?" "Mencarimu ke Puri Elang. Aku risau. Kutunggu berhari-hari kau tidak kembali.... Tak tahunya bertemu di sini. Kau sudah ke Puri Elang?" Entah mengapa kali ini Kindo tidak mau berdusta. Dia mengangguk. "Kita sudah bertemu di sini. Berarti kau tidak perlu meneruskan perjal anan ke Puri Elang...." "Tidak begitu Kindo. Aku harus mengantarkan kakak ini ke sana...." Kindo berpaling pada gadis yang ditunjuk Kanti itu. Lalu bertanya. "Siapa gadis cantik yang kau katakan kakak itu?" tanya Kindo sementara Kintani melangkah mendekat. "Namaku Kintani. Aku teman Kanti. Kalau Kanti sahabatmu berarti aku juga sahabatmu." Kindo terpana mem andang kecantikan gadis di hadapannya itu. "Nam anya Kintani. Aku Kindo. Kenapa bisa sama-sama Kin ya?" ujar Kindo dalam hati. Lalu dia berpaling pada Kanti. Anak perempuan ini yang mengerti arti pandangan Kindo itu menerangkan. "Dal am perjalanan ke Puri Elang aku bertemu dengan kakak ini. Karena kami setujuan, lagi pula aku lebih tahu jalan ke Puri itu, kakak ini meminta aku jalan bersama-sama.... Kindo.... Apakah... kau sudah bertemu dengan orang yang katamu memberikan kepandaian itu...?" Kindo melirik sekilas pada Kintani. Gadis ini tersenyum. "Ya.... Aku sudah ke sana..." kata Kindo. "Bertemu dengan orang yang katanya akan memberikan ilmu kepandaian itu?" "Ya..." jawab Kindo perlahan. "Kalau kau sudah ke sana, berarti kau lebih tahu jalan. Bisakah kau mengantarkan kami berdua ke sana Kindo?" tanya Kintani seraya memegang bahu anak lelaki itu. "Betul Kindo. Antarkan kami ke sana. Kalau cepat sampai di sana berarti cepat pula kita kembali." Kindo berpikir-pikir sebentar. Dia ingat pada Tasaki. Kembali Kintani m emegang bahu Kindo lalu mengusap kepal a anak l elaki ini. Dari balik pakaian putihnya dia mengeluarkan sebuah kantong kain kecil. "Kulihat tanganmu terluka. Kalau tidak diobati darah dalam tubuhmu bisa keracunan. Ulurkan kedua tanganmu. Biar kusiram dengan bubuk ini." "Apa itu?" tanya Kindo. "Tak perlu curiga. Ini obat yang bisa menyembuhkan lukamu dengan cepat," jawab Kintani. Kindo ulurkan kedua tangannya. Dari dalam kantong kecil itu Kintani keluarkan obat berbentuk bubuk berwarna hitam lalu disiramkannya di atas kedua tangan Kindo. Anak ini hampir berteriak. Ternyata bubuk obat ini menimbulkan rasa perih begitu bersentuhan dengan lukanya. "Memang perih. Tapi tidak seberapa. Masakan kau tidak tahan..." kata Kintani pula. Kindo berusaha menahan sakit walau mulutnya jadi termonyong-monyong. Seperti kata Kintani rasa sakit itu hanya sebentar lalu hilang, berganti dengan rasa sejuk. "Bagaimana sekarang?" tanya Kintani sambil menyimpan kembali obat bubuknya. "Lumayan, malah sejuk!" jawab Kindo. "Nah, sekarang aku dan Kanti akan melanjutkan perj alanan ke Puri Elang. Kau ikut?"
Merasa sudah menerima budi pertolongan orang, Kindo akhirnya anggukkan kepala. Sambil berjalan Kintani bertanya. "Waktu kau berada di Puri Elang, apakah kau bertemu dengan seorang kakek berjanggut dan berambut putih sangat panjang?" "Ya. Dia berada di puncak sebuah m enara berbentuk benteng.... Dia tengah bers amadi. Tapi tidak mudah memasuki Puri itu. Banyak jebakan maut. Aku hampir beberapa kali menemui ajal!" "Coba ceritakan pengalam anmu," kata Kintani. Lalu Kindo menceritakan apa saja yang dialaminya di Puri Elang. Tapi tidak semuanya. Dia merahasiakan ruangan dingin di mana dia mendapatkan s abuk rotan. Juga tidak diceritakannya pertemuan dengan Bujang Gila Tapak Sakti. "Jadi kakek itu tidak memberikan ilmu kepandaian apa-apa padamu?" Kindo menggeleng. "Kau sendiri apa keperluanmu pergi ke sana?" bertanya Kindo. "Aku membawa pesan dari seseorang untuk kakek di Puri Elang itu." "Hemmmm.... Apakah kau seorang dari dunia persilatan?" Kintani tak menj awab. "Agaknya dia tidak punya hubungan apa-apa dengan kakek itu. Tapi anak ini berotak tajam. Aku harus waspada terhadapnya." Begitu si gadis berkat a dalam hati. Lalu dia menjawab pertanyaan Kindo tadi. "Aku orang biasa-biasa saj a." "Dia berdusta," kata hati Kindo. "Hanya orang persilat an yang m embawa obat dalam perjalanan. Aku harus hati-hati padanya."
DARI HUTANG BUDI KE HUTANG NYAWA Puri Elang berdiri angker. Tidak berubah s eperti kali pertama Kindo dat ang ke situ. Kanti mendek ati Kindo dan berbisik. "Aku kok jadi takut Kindo...."
"Kita harus hati-hati," kata Kindo. "Benar. Turut ceritamu jangan berdi ri di depan pintu," kata Kintani. Dia memperhatikan pintu yang tertutup lalu lonceng bes ar di bawah atap menara. "Kita tidak bisa menempuh jalan seperti yang kau ceritakan. Terlalu besar bahayanya." "Lalu mau masuk dari mana?" tanya Kindo. "Pasti ada jalan lain," jawab Kintani. Dia mendongak memperhatikan menara-menara Puri. Pandangannya lama s ekali ditujukan pada menara berbentuk benteng berwarna merah bata. Lalu dia berpaling pada Kindo. "Waktu kau menarik tali lonceng itu, kau langsung kejeblos masuk ke satu ruangan gelap...." "Betul." "Berarti ruangan itu berada tepat di bawah menara terdepan ini. Ikuti aku...." Kindo dan Kanti mengikuti Kintani m enuju bangunan menara kedua di belakang menara pertama. Beberapa lam anya Kintani memperhatikan dengan seks ama. Menara kedua ini t ak ada pintunya tapi m emiliki jendela-jendela besar terbuat dari kaca hias warna-warni. "Aku akan memecahkan kaca jendel a paling bawah lalu melompat masuk. Kau sanggup melompat? Aku akan membantu Kanti." "Aku khawatir akan keselam atan temanku ini. Kanti bagaimana kalau kau menunggu s aja di sini sampai kami kembali?" "Aku takut. Jangan tinggalkan aku sendirian..." kata anak perempuan itu. "Sudah kita masuk sama-sama," kata Kintani. Lalu dia membungkuk mengambil sebuah batu sebesar kepalan. Dengan batu ini dilemparnya kaca jendela menara kedua paling bawah. "Braanggg!" Kaca itu hancur berantakan. Sebuah jalan masuk kini menunggu. Kintani melangkah maju. Kindo dan Kanti mengikuti. "Tunggu, biar aku periksa dulu!" Gadis ini melangkah ke arah jendela. Lalu mengulurkan kepalanya menjenguk ke dalam. Tiba-tiba dua buah tangan aneh melesat. "Tubuhnya ditarik ke dalam!" teriak Kindo ketika melihat tubuh gadis itu lenyap oleh tarikan dua tangan aneh tadi. Lalu di dalam sana terdengar suara orang berkelahi. "Bukkk!" "Praakkk!" "Bukkkk! Bukkkkk!" "Brakkk! Braaakkk!" Kanti berdiri tegang sambil memegangi lengan Kindo. Anak lelaki ini juga ikut tegang. "Apa yang terjadi di dalam sana! Gadis itu berkelahi dengan siapa?!" Tak lama kemudian kepala Kintani muncul di jendela. "Hai! Lekas kemari." Takut-takut Kanti melangkah mengikuti Kindo. Anak lelaki ini menolong Kanti melompati jendela lalu menyusul masuk. Ketika masuk ke dalam menara dilihatnya patahan dan pecahan-pecahan kayu berant akan. Potongan-potongan kayu itu ada berupa tangan dan kaki manusia. Ada seperti kepala dan bagian tubuh orang. "Ada apa tadi...?" tanya Kindo pada Kintani. "Aku menjulurkan kepala di jendela. Lalu ada dua tangan menarikku masuk. Hampir aku celaka kalau tidak lekas berdiri. Aku berhadapan dan diserang orang-orangan kayu. Orang yang membuat merancangnya pasti luar biasa. Boneka kayu itu bisa menyerang seperti manusia sungguhan!" "Sekarang, apakah aman di dalam sini?" tanya Kanti. "Untuk sementara aman..." jawab Kintani. "Ikuti aku... tapi awas. Jangan sentuh apa pun!" Gadis itu melangkah ke arah pintu ber-bentuk bundar. Di kiri kanannya ada sebuah patung batu berupa burung Elang besar sekali. Kindo melangkah sambil memegang tangan Kanti. Anak perempuan kecil ini dalam menekan ras a takutnya tanpa sadar bahunya membentur patung burung Elang sebelah kiri. Saat itu juga terdengar suara berdesir halus. "Lekas masuk ke sini!" teriak Kintani seraya menarik tangan Kanti ke dalam ruangan di belakang pintu bundar. Kindo tak membuang waktu. Cepat pula m elompat. Di belakang m ereka patung burung Elang yang t adi ters entuh tubuh Kanti bergerak. Kedua kepaknya terpentang dan bagian kepalanya meluncur ke depan mematuk. Lalu "Wuuttt!" Patung besar burung Elang itu terbang, melesat ke depan melewati pintu bundar, menderu ke arah Kindo dan Kanti yang tertegun saking kagetnya. "Semua tiarap!" teriak Kintani. Sambil jatuhkan diri dia menarik Kindo dan Kanti ke lantai. Ketiganya terhampar saling tindih.
Patung burung Elang besar lewat hanya sepertiga jengkal dari atas kepala Kindo dan Kanti dengan suara menggemuruh. Lalu menghantam dinding menara di sebelah belakang. "Braaakkk!" Patung burung Elang yang terbuat dari batu itu hancur berantakan. Dinding menara juga kelihatan hancur dan berlobang. Kanti menggigil. Kindo membatin. "Gila! Dinding batu saja sampai hancur. Bagaimana kalau tubuhku atau tubuh Kanti yang dihantam patung Elang itu!" Tengkuk Kindo jadi merinding dingin. Saat jatuh tadi Kindo tergeletak menelentang di lantai. Di sebelahnya Kanti tertelungkup. Sedang Kintani jatuh tepat menindih tubuhnya. Wajah mereka saling bersentuhan. "Wanginya wajah dan tubuh gadis ini..." kata Kindo dalam hati. Dia merasakan suatu keanehan menjalari dirinya. Hal yang sama juga dirasakan oleh Kintani. Gadis cantik ini angkat kepalanya sedikit dan berpaling ke kiri. "Terima kasih Kintani. Kau menyelamatkan nyawaku..." bisik Kindo. "Aku juga," berkata Kanti. Kintani tidak menjawab. Sesaat dia masih menelungkup di atas tubuh Kindo. "Kita harus keluar dari tempat ini secepatnya..." katanya. Perlahan-l ahan dan hati-hati ketiga orang itu bangkit berdiri. Kintani melangkah lebih dahulu mendekati lobang di dinding. Dia melihat ke luar lalu berseru. "Kindo, lihat!" Kindo menarik tangan Kanti. Lari ke arah lobang di dinding dan m elihat ke jurusan yang ditunjuk Kintani. "Itu sungai kecil di bawah Puri yang aku lihat beberapa hari lalu!" ujar Kindo. "Jauh sekali. Bagaimana kita bisa turun ke sana. Tak mungkin lewat lobang ini. Jika kita bisa mencapai sungai itu berarti jalan m enuju menara berbentuk benteng itu tinggal dekat." Kintani memandang berkeliling. "Turut penjelasanmu, aku yakin lantai tempat kita berada ini juga menyembunyikan satu rahasia." Si gadis melangkah mundar-mandir di lantai menara. Lalu dia memeriksa setiap sudut empat dinding ruangan sambil mengetuk-ngetuk. Di salah satu bagi an dinding suara ketukan bergema tanda ada bagian kosong di belakang dinding ini. Kintani memperhatikan dengan mata disipitkan. "Aku sudah menduga..." katanya perlahan pada Kindo. "Ada celah pada sambungan batu di dinding ini. Kintani coba mengorek dengan ujung jarinya. Mengorek s edalam ujung kuku m atanya melihat s ebuah benda bulat berwarna putih. "Kalau aku tekan benda bulat ini aku yakin dinding di depan kita akan t erbuka. Kita akan sampai ke ruangan lain. Yang membawa kita lebih dekat ke menara berbentuk benteng...." "Mungkin kita akan menemui tangga turun menuju sungai kecil seperti yang kualami dulu," kata Kindo. "Aku takut..." bisik Kanti. Tenanglah Kanti. Kita akan segera keluar dari tempat ini," kata Kindo seraya memegang lengan anak perempuan itu erat-erat. Kintani menekan benda putih di celah dinding dengan ujung j ari telunjuk tangan kanan. Benda itu terdorong masuk. Bersamaan dengan itu terdengar suara berdesir, Semua mata memandang ke dinding. Tapi tak ada bagian dinding yang t erbuka seperti mereka harapkan. M alah tiba-tiba lant ai yang mereka pijak terasa bergetar. Sebelum mereka bisa berbuat sesuatu lantai menara itu seolah-olah runtuh! Lalu, tampaklah sebuah sumur gelap. Tak ampun lagi ketiga orang itu terjerumus masuk ke dalam sumur itu. Tiga jeritan menggema sepanjang kedal aman sumur. "Kita akan mati! Kanti ini saat-saat terakhi r aku melihatmu!" teriak Kindo. "Kindo aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!" teriak Kanti. Kintani berusaha membuat jungkiran-jungkiran agar daya berat tubuhnya waktu melayang jatuh dapat diredam s ambil dia coba m enggapai -gapai. Berusaha mencari s esuatu untuk berpegangan. Namun si a-sia s aja. Ketiga orang itu makin jauh jatuh ke dalam sumur yang seolah-olah tidak berdasar.
DISERBU PULUHAN ULAR BERBISA "Byuurr! Byuuur! Byuuur!" Tiga sosok tubuh itu jatuh di atas air. Tiga suara pekikan menggema di dasar sumur yang gelap.
"Uhhh dinginnya!" itu suara Kintani. "Aku tak bisa berenang! Tolong!" ini suara Kanti. "Robek punggungku!" teriak Kindo. Dia bere-nang ke arah suara Kanti tadi. Namun Kintani sudah lebih dulu mendekap anak perempuan itu dengan tangan kirinya. "Di mana kita ini?" tanya Kanti. "Danau? Sungai atau...." Kindo tak mengacuhkan pertanyaan itu. Dia sibuk memperhatikan kedua tangannya yang luka. Sentuhan air menimbulkan rasa perih. "Kalau tidak diberi obat oleh Kintani, pasti sakitnya tidak kepalang tanggung!" pikir Kindo. "Di sebel ah kanan ada cahaya. Cepat berenang ke sana!" bers eru Kintani. Sambil mengempit Kanti dengan tangan kiri gadis itu berenang ke arah cahaya di ujung kanan. "Air semakin menyempit!" teriak Kindo yang mengikuti. ''Juga tambah dangkal. Aku bisa menginjak dasarnya!" balas berteriak Kintani Ketiga orang itu sampai di s ebuah dinding batu yang bagian bawahnya ada cel ah. Cukup besar untuk meloloskan tubuh orang dewasa. Cahaya terang datang dari balik dinding sana. "Celah ini mengingatkan aku pada celah s empit di ujung sungai kecil dulu..." kata Kindo dalam hati. "Hati-hati, tidak mustahil di sekitar sini ada jebakan maut lagi!" katanya pada Kintani. "Kelihatannya aman, tak ada yang membahayakan," berkata Kintani lalu m enurunkan Kanti dari gendongannya. "Wajahmu pucat sekali Kanti. Tenanglah, kita berada di tempat yang aman." Baru saja gadis ini berkata begitu tiba-tiba t erdengar suara mendesis banyak s ekali. Dari arah mereka tadi berenang, di permukaan air kelihatan ada benda-benda panjang meluncur. "Ular! Kakak! Ular...!" teriak Kanti yang pertam a sekali melihat binatangbinatang itu. "Ya Tuhan! Jumlahnya banyak sekali!" teriak Kindo dengan m ata melotot seperti mau keluar dari sarangnya. Dia ingat pada sabuk rot an di pinggangnya. Kedua tangannya bergerak ke pinggang. Lalu dia ingat kata-kata Tasaki. "Kau belum boleh mempergunakannya s ebelum selesai latihan silat luar serta t enaga dalam." Kindo jadi bingung mau berbuat apa. Kanti berteriak lagi lalu melompat dan memagut Kintani. Terpaksa gadis ini kembali mendukungnya. Dia berpaling ke bel akang. "Celah itu! Tak ada waktu. Tak ada kesempatan untuk meloloskan diri. Ular-ular itu datang sangat cepat!" Otaknya bekerj a keras. "Pedang Darah Biru!" kata Kintani dalam hati "Mungkin senjata mustika sakti itu bisa menolong! Tapi... pesan Guru, senjata itu hanya boleh kupergunakan untuk membunuh kakek di puncak menara...." "Kalian dengar semua!" seru Kintani. "Kita tak mungkin melawan binatang itu. Jumlahnya banyak sekali! Sangat berbisa! Buang rasa takut! Diam di tempat. Jangan bergerak, bernafas perlahan dan hati-hati. Buang rasa takut. Pejamkan mata kalau tidak tahan! Tapi yang penting jangan bergerak! Jadikan dirimu seperti batu! Sehening batu!" "Kakak..." bisik Kanti dengan suara bergetar. "Jangan bicara! Jangan bergerak Kanti. Tetap saja dalam dukunganku. Pejamkan matamu. Kal au ularular itu menjalari tubuhmu jadikan dirimu seperti batu! Di am, tidak bergerak tidak bersuara! Binatang-binatang itu tidak akan mengusikmu!" "Menyatu dengan al am! Tidak bergerak tidak bersuara! Rubah dirimu menjadi batu! Menyatu dengan alam! Menyatu dengan alam...." Kata-kata ini menderu di lubuk hati Kindo. Anak laki-laki ini berada paling depan. Dia mulai pejamkan kedua matanya. Tubuhnya tidak bergerak sedikit pun! Di depan s ana puluhan ular berwarna hitam meluncur di atas permukaan air. Ular pertam a menyentuh Kindo. Menyusul kedua, ketiga dan seterusnya. Kindo merasa lututnya seperti mau goyah. "Jangan bergerak! Menyatu dengan alam. Jadikan dirimu batu!" Suara itu menggemuruh dal am dirinya. Ular meluncur di bawah s elangkangannya. Menggelung kedua pahanya. Menjalar di perut dan dada. Melingkar di lehernya lalu ada yang berputar-putar di atas kepalanya. Hal yang sam a dilakukan ol eh Kintani. Sehingga seperti Kindo dirinya tak diserang oleh puluhan ular itu. Sebelum binatang-binatang berbis a ini menyerbu di rinya Kintani merasa khawatir kal au Kanti tak bisa
bertahan. Sekali anak ini menjerit dalam takutnya dan menggerakkan tubuh celakal ah. Maka dengan cepat Kintani menekan punggung Kanti. Sekali lagi dia menekan di pangkal leher. Belasan ular gentayangan di sekujur tubuh Kanti yang berada dalam dukungan Kintani. Anak perempuan ini sam a sekali tidak bergerak. Bersuara pun dia tidak bahkan seperti tidak bernafas.
Belasan ular masih menjalari sekujur tubuh ketiga orang itu. "Aduh! Aku sudah tak tahan..." Kindo berkata dalam hati. "Rasanya s eperti mau kencing. Berapa lama lagi ular-ular ini menjalari tubuhku.... Untung tak ada yang masuk ke dalam celanaku! Uh...! Mungkin ini dosaku meninggalkan Tasaki! Tasaki maafkan aku ya...." Lama kel amaan puluhan ular itu bosan juga berkeliaran dan bergelantungan di tubuh ketiga orang itu. Satu persatu binatang ini meluncur turun ke air. Lalu berenang ke arah tadi mereka datang. Pada saat suara tubuh mereka yang meluncur di air sirna di kejauhan perlahan-lahan Kintani membuka kedua matanya. "Sudah pergi..." desisnya masih dalam hati, tak berani bersuara. Kedua matanya memperhati kan Kindo yang t egak tak bergerak membelakanginya. "Anak itu. Dia mampu bertahan. Merubah dirinya seperti batu.... Jelas dia bukan anak sembarangan. Paling tidak dia telah menguasai s atu dua macam ilmu kepandaian...." Gadis ini memandang ke arah kej auhan. Ular-ular tadi tak kelihatan lagi. Dia menunggu sesaat lagi baru berucap dengan sangat perlahan. "Kindo, putar tubuhmu. Perlahan-lahan. Harus perlahan. Jangan m enimbulkan gelombang di permukaan air. Ikuti aku menerobos celah. Mulailah...." Kindo buka kedua matanya. Lalu perlahan s ekali dia memutar tubuh. Dilihatnya sambil mendukung Kanti, Kintani bergerak perlahan ke arah cel ah. Gadis itu membungkuk. Sesaat kemudian bersama Kanti dia melewati celah batu lalu lenyap di balik dinding. Kindo menyusul. "Syukur. Selamat juga akhirnya..." kata Kindo lalu menarik nafas lega. Anak ini memandang berkeliling. Saat itu mereka berada di sebuah sungai dangkal berair jernih. "Aneh..." kata Kindo. "Apa yang aneh?" tanya Kintani. "Sungai kecil ini sambungan dari aliran sungai di sebelah sana. Tapi mengapa yang ini jernih? Aku ingat! Ini adalah sungai kecil yang pernah kulihat tempo hari. Itu... di sana ada tangga besi menuju ke taman!" "Kalau begitu kita sudah berada dekat menara berbentuk benteng," ujar Kintani. Dia melangkah ke luar dari sungai kecil lalu menurunkan Kanti dari dukungannya dan membaringkannya di tepi sungai. "Astaga! Ada apa dengan tem anku itu?!" tanya Kindo seraya melompat ke luar dari sungai. "Mukanya pucat dan tubuhnya kaku. Dia s ama sekali tidak mengeluarkan suara! Jangan-jangan mati dipatuk ular beracun! Kanti!" teriak Kindo memanggil. "Tenang saja. Sahabatmu ini masih hidup. Tadi aku sengaja menotok punggung dan lehernya agar tidak bisa bergerak dan bersuara...." "Menotok? Aku tidak mengerti. Mengapa kau lakukan itu?" tanya Kindo. "Kalau tidak kul akukan, aku tidak bis a menjamin temanmu ini mampu berdiam diri dan tak bersuara! Kalau dalam takutnya dia sampai menjerit dan meronta-ronta, dirinya akan jadi santapan ular!" Kindo terdiam. "Betul juga apa katanya." Kindo memperhatikan Kanti kembali. "Menotok punggung dan leher. Membuat orang tak bisa bergerak. Tak bisa bersuara. Ilmu apakah itu?" Kindo melihat Kintani membungkuk. Dengan dua ujung jari tangan kanan dia menusuk punggung dan leher Kanti. Anak perempuan ini menggeliat lalu terdengar suaranya. "Ular-ul ar itu...." "Sudah pergi. Kita berada di tempat yang aman..." kata Kindo seraya m embantu Kanti berdiri. Dia berpaling pada Kintani. "Kepandaian menotok itu, kau pelajari di mana? Apa s emua orang bisa mempelajarinya?"
Si gadis menjawab dengan tersenyum. "Kau mengenali tempat ini. Menara ini pasti tidak jauh dari sini. Harap kau berjalan di sebelah depan." Kindo mengangguk. Dia berkata pada Kanti. "Jika nanti sampai di atas menara hati-hatilah. Angin di sana sangat kencang. Kalau tidak berpegangan kau bisa diterbangkan angin." Kindo berjalan di depan sekali. Menyusul Kanti, baru Kintani. Tak selang berapa lama Kindo sampai di bagian bawah menara berbentuk benteng. "Ini jalan masuk menuju ke atas. Awas, tangganya curam." Tiga orang itu segera menaiki tangga batu. Makin tinggi ke atas makin keras terdengar suara tiupan angin. Kindo sampai duluan di puncak menara. Angin kencang meniup rambut dan pakai annya. Tubuhnya bergetar. Dia berpegang erat-erat pada pinggiran tembok. "Kanti, lekas perpegangan pada rantai besi ini!" Kindo mem egang lengan Kanti dan membawanya ke dekat rantai besi yang tertanam di dinding menara. "Ah, kakek itu masih di sana.... Sarang burung itu juga masih di kepalanya. Tapi cuma ada seekor anak burung. Mana satunya?" kata Kindo perlahan begitu dia melihat orang tua berambut, berkumis dan berjanggut putih panjang, menutupi sekujur tubuhnya. Dia berpaling pada Kintani yang sudah sampai pula di puncak menara. Rambutnya yang panjang melambai-lambai ditiup angin. "Apakah ini kakek yang kau cari itu?" bertanya Kindo.
KERAMAHAN YANG BERUBAH JADI KEBENGISAN Kintani tak menjawab pertanyaan Kindo. Saat itu dia tegak lima langkah di hadapan si kakek. Kedua matanya menatap lurus-lurus ke arah orang tua yang duduk tak bergerak di lantai menara dengan mata terpejam.
"Aku bertanya dia tak m enjawab. Pandangannya t erarah pada kakek itu. Air mukanya kulihat berubah bengis. Apa sebenarnya maksud gadis ini datang ke mari?" Selagi Kindo berpikir seperti itu, dalam hatinya Kintani berkata. "Guru, aku telah menemukan orangnya. Perintahmu segera aku laksanakan." Kintani menggerakkan tangan kanannya ke belakang. "Hai! Untuk apa pedang itu! Apa yang hendak kau lakukan?!" seru Kindo ketika dilihatnya Kintani menggenggam sebilah pedang bergagang dan berhulu perak yang berkilau-kilau ditimpa sinar matahari. "Aku rasa pedang itu dibawanya untuk diserahkan pada si kakek," kata Kanti. "Bukankah dia bilang ke sini untuk menyampaikan pesan?" "Aku tidak yakin. Wajahnya berubah. Tidak lagi memancarkan keramahan. Sinar matanya lain." Ketika Kintani maju mendekati si kakek, Kindo segera memotong langkahnya. Belum sempat dia mengatakan sesuatu gadis itu mendorongnya dengan kasar. "M enyingkir! Aku ada urus an yang harus diselesaikan dengan dia! Jangan berani ikut campur!" "Urusan apa?!" tanya Kindo. Tangan kiri Kintani bergerak. "Plaaaakkk!" "Kintani! Kau menampar temanku!" teriak Kanti tidak senang tapi juga heran. "Kindo, kau tak apaapa?" "Uh, lumayan sakitnya," jawab Kindo tersandar ke dinding menara dan usap-us ap pipinya. "Aku hanya bertanya. Tapi dia menamparku. Dia mengeluarkan pedang. Ada sesuatu yang tidak beres!" "Kalian berdua tutup mulut! Diam!" bentak Kintani. Kanti jadi pucat. "Rasa heran dan curigaku s emakin besar!" kata Kindo dal am hati. Dia maju lagi ke arah gadis itu. "Kalau kau bermaksud jahat pada orang tua itu, aku tidak akan tinggal diam. Dia adalah kakek Bujala Tasaki!" "Siapa manusia bernama aneh itu?!" kertak Kintani tanpa mengalihkan pandangan matanya pada kakek di hadapannya. "Dia Guruku!" jawab Kindo. "Bagus kalau begitu! Kalau muridnya seperti kau, Gurunya tentu lebih jelek lagi!" kata Kintani ketus. "Eh, apa maksudmu?!" "Ingat! Kau bukan saja sudah m enerima budi dariku. Kau, juga temanmu ini punya hutang nyawa padaku! Mengerti?!" "Itu memang benar! Tapi bukan berarti kau boleh bertindak sesukamu! Kau hendak mem bunuh orang tua ini!" "Itu urusanku! Apa perdulimu!" "Tentu saja aku perduli!" teriak Kindo. "Kalau begitu terima ini!" Kaki kanan Kintani melesat. "Wuuut!" "Bukkk!" "Aduh!" Kindo terpekik. Tubuhnya terpental dan tersandar ke dinding menara. Dadanya yang kena tendang sakit bukan main. "Kindo!" pekik Kanti lalu memburu. "Kau... kau...." Kanti berbalik. "Kenapa kau jadi s ejahat ini? Kau minta kami mengantarkanmu ke tempat ini. Setelah sampai kau jadi berubah...." "Kanti, kalau kau tak mau tutup mulut, aku akan hajar kau seperti dia," ancam Kintani. Kindo usap-usap dadanya. Nafasnya ses ak. "Dia akan membunuh si kakek. Aku harus bisa mencegahnya!" kata Kindo. Lalu dengan nekad anak ini melompat ke hadapan Kintani. Dia coba m erampas pedang perak itu tapi luput. Sebaliknya dengan tangan kirinya Kintani kirimkan satu jotosan. "Wutttt!" "Waduh! Hampir remuk hidungku!" kata Kindo ketika tinju Kintani lewat hanya seujung jari dari hidungnya. Dia coba menendang kaki si gadis. Tapi gagal. Penasaran dia hantamkan tinjunya. "Bukk!" "Rasakan!" Kintani hanya menyeringai ketika jotosan Kindo mendarat di perutnya. "Tidak begitu sakit, tapi heran. Gerakan anak ini cepat sekali. Tubuhnya seringan layang-layang!" Kindo menghantam lagi. "Aku mau lihat kehebatannya!" kata Kintani lalu gerakkan tangan kirinya menangkis. "Bukk!" Dua lengan s aling beradu. Kindo terpekik dan melompat mundur. "Gila sakitnya! Tanganku seperti dipentung besi!" Kindo kibas-kibaskan lengan kanannya. "Gadis jahat! Sekali pun berhutang budi dan nyawa jangan dikira kau bisa berbuat
leluasa! Lihat seranganku!" Dengan gerakan enteng Kindo mainkan jurus-jurus silat yang dipelajarinya dari Pamannya. "Hemm.... Ilmu silatnya tidak ada apa-apanya. Tapi angin pukulan serta gerakannya perlu kuwaspadai!" kata Kintani. Untuk pertama kalinya gadis ini menggeser kedua kakinya. Pedang di tangan kanan dipindah ke tangan kiri. Ketika Kindo kembali menggempurnya tangan kanannya bergerak. "Auuuuw!" Kindo terpekik. Rambutnya kena dijambak. Anak ini coba memukul dan menendang. Tapi sia-sia. Tak satu pun serangannya berhasil. Tubuhnya diangkat ke atas. Lalu dengan keras dibantingkan ke pojok benteng. "Brukkk!" "Pecah kepal aku!"pekik Kindo. Punggungnya serasa remuk dan bagian belakang kepalanya seperti rengkah. "Huh... huh.... Aku melihat bintang-bintang di depanku! Punggungku... kepalaku! Aku tak bisa bangkit.... Aku tak bisa berdiri...." "Masih untung kau tidak kulempar ke luar menara!" kertak Kintani. "Gadis jahat!" Tiba-tiba t erdengar teriakan Kanti. Anak perempuan ini m erangkul pinggang gadis itu erat-erat lalu menggigit punggungnya. "Anak kurang ajar! Susul temanmul" teriak Kintani kes akitan. Sekali tangannya bergerak rambut kuncir kuda Kanti berhasil dijambaknya. Lalu anak perempuan ini dibantingkannya ke sudut m enara, tak jauh dari Kindo. Kanti menjerit lalu pingsan. "Kanti... huh... hu... huh...!" Kindo berusaha menggeser di rinya agar bisa m endekati Kanti. Tapi sekujur tubuhnya juga dalam keadaan cidera. "Aku tak berdaya. Kanti... pingsan atau matikah dia...? Gadis itu! Benar-benar jahat dan tinggi ilmunya! Menyesal aku membawanya ke mari! Huh... huh... huh...." Kindo megapmegap tak kuasa bergerak.
GAGALNYA DENDAM 40 TAHUN SILAM
Ketika perkelahian terjadi ant ara Kintani dan Kindo yang dibantu Kanti, di puncak menara si kakek berjanggut putih tetap tidak bergerak dari tempatnya. Kedua matanya masih terpejam. Hanya anak burung dalam sarang di atas kepalanya terdengar mencicit tiada henti. Kintani maju satu langkah. "Sreettt!" Kindo terkesiap dan kesilauan oleh cahaya biru yang keluar dari badan pedang. "Kintani menghunus pedang itu. Cahayanya menyilaukan. Pasti senj ata sakti! Pasti dia hendak mem bunuh si kakek dengan pedang itu! Bagaimana aku harus mencegahnya...! Kek.... Kakek! Bangun! Kau hendak dibunuh orang!" teriak Kindo. Si kakek diam saja. "Kakek! Awas! Ada orang hendak membunuhmu!" t eriak Kindo lagi. Tetap saja orang tua itu tidak bergerak. Bahkan dua matanya sama sekali tidak bergeming. Dua langkah dari hadapan si kakek, Kintani berhenti. Sarung pedang disisipkannya di pinggang. Kini dia memegang hulu pedang dengan dua tangan sekaligus. "Orang tua, aku tidak ingin kesalahan tangan! Benar kau orangnya bernama Gilang Sakaro?!" Tak ada jawaban. Mata dan mulut orang tua itu tidak bergerak. "Orang tua harap kau menjawab pert anyaanku!" Kintani membentak. "Orang tuaku memang memberikan nama itu padaku...." Tiba-tiba ada suara jawaban. Tapi mulut si kakek sama sekali tidak bergerak. "Hemmm.... Orang tua ini punya ilmu memindahkan kantong suaranya dari leher ke perut!" kata Kintani dalam hati. "Pasti dia sakti sekali. Tidak salah kalau guru bilang hanya Pedang Darah Biru ini yang sanggup membunuhnya!"
"Terima kasih kau mau menjawab memberitahu. Ketahuilah aku datang untuk membunuhmu!" "Pedang Darah Biru..." terdengar suara dari perut si kakek. "Suratan mengatakan aku hanya akan mati oleh senjata itu. Empat puluh tahun menunggu akhirnya saatnya datang juga. Kalau memang saat ini aku ditakdirkan mati, aku akan menerima dengan segala kepas rahan. Cucuku, lakukanlah...." Kintani jadi tercekat mendengar orang berkata begitu. "Dia tahu senj ata di tanganku Pedang Darah Biru. Mengapa pula dia memanggil diriku cucuku?" "Orang tua, kalau bicara harap kau membuka mat a!" kat a Kintani yang meras a diren-dahkan karena sejak tadi si kakek tidak bergerak dan tidak membuka matanya. "Oohhhh begitu? Kau ingin melihat mataku, Cucu...?" ujar si kakek. Lalu kelopak-kelopak mata itu bergerak. Dua buah mata membuka, makin lebar, makin lebar. "Matanya putih s emua! Kakek itu buta!" seru Kindo dalam kejutnya ketika menyaksikan dua mata si kakek. "Iihhhh!" Kintani sampai terkesiap. "Kau sudah melihat mataku. Sekarang tunggu apa lagi? Ayunkan pedangmu!" Kintani menggigit bibirnya. Genggaman kedua tangannya pada hulu pedang mengencang. Lalu. "Shuuuttt!" Pedang itu menghantam ke arah kepala si kakek. "Jangan!" teriak Kindo. Dia mencoba bangkit tapi jatuh terduduk. "Kek, lakukan sesuatu! Jangan pasrah saja menerima kematian!" Orang tua itu tetap tidak bergerak. "Bukkk!" Mata Pedang Darah Biru membacok tepat di ubun-ubun si kakek. Kepala itu tidak bergerak sedikit pun. Tak ada rambut putih yang putus, tak ada kepala yang t erbel ah dan tak ada darah yang muncrat! Pedang sakti laksana tenggelam dalam suatu benda lembut! "Ahhhh!" Kintani bers eru kaget. Gadis ini sampai menyurut dua l angkah. Matanya dibuka lebar-lebar. "Aku tak percaya!" katanya. "Tidak mempan! Kepalanya seperti kapas!" Rahang Kintani menggembung. Sepasang m atanya berkilat-kilat. Gagang pedang dipegangnya l ebih kencang. Tenaganya dikerahkan. Didahului teriakan keras kembali gadis itu bacokkan senjat anya ke at as kepala si kakek. "Bukkk!" Hal yang sama terjadi.
"Aku tak percaya ada manusia kebal senjata! Akan kutebas batang lehernya!" Pedang di tangan Kintani kembali berkelebat. Kini diarahkan pada leher si kakek yang tertutup rambut kumis dan janggut lebat berwarna putih. "Kali ini nyawanya tak akan tertolong..." kata Kindo tegang. "Kek!" "Bukkkk!" Mata pedang menghantam rambut putih si kakek. Tak sanggup terus, apalagi membabat putus lehernya. "Benar-benar luar biasa!" kata Kindo ber-decak sementara Kintani tegak terperangah. "Tiap kesaktian pasti ada kelemahan! Aku harus m encari tahu di mana kelem ahan manusia ini! Kalau aku sampai tidak dapat membunuhnya hukuman berat pasti akan kuterima dari guru!" Kintani lalu mundur dua langkah. Ujung pedang diarahkannya tepat-tepat ke perut orang tua bernama Gilang Sakaro. "Masakan tidak jebol! Masakan ususnya tidak berojol!" pikir Kintani. Dengan sekuat tenaga dia kirimkan tusukan tepat ke pertengahan perut. "Shuttttt...!" Kintani merasa seperti menusuk sebuah lobang lembut. Pedang Darah Biru ditariknya. Otaknya bekerja keras. "Kelem ahan! Dia pasti punya kelem ahan!" Dipandanginya kakek itu dengan mata berkilat-kilat. Tibatiba! "Mata itu! Matanya! Pasti di situ letak kelemahannya!" Ujung Pedang Darah Biru kembali mengarah lurus ke depan. Kali ini ditujukan pada mata kanan Gilang Sakaro. "Sekarang pasti tembus!" kata Kintani. Didahului suara menggembor pedang ditusukkan ke mata kanan si kakek. "Jangan-jangan sekali ini jebol pert ahanan si kakek," pikir Kindo. Lalu dia berteriak. "Kek! Orang hendak menusuk matamu!" Tiba-tiba sekelompok rambut, janggut dan kumis putih panjang yang menutupi tubuh si kakek bergerak. Melesat ke depan laks ana sebuah tangan gurita lalu melibat badan Pedang Darah Biru yang tengah ditusukkan Kintani. "Ahhhh!" Kintani berteriak kaget. Sebelum dia sempat melakukan sesuatu pedang tersent ak dari genggamannya. "Lepas !" teriak si gadis. Dia coba m enggapai m engambilnya tapi gagal. Senjata itu jatuh berkerontangan di lantai menara, tepat di hadapan Kindo. Anak ini seperti mendapat satu kekuatan cepat mengambil pedang lalu tegak berdiri. "Orang jahat sepertimu layak dihukum!" kata Kindo seraya melangkah mendekati Kintani yang jadi ketakutan. "Cucuku, jangan lukai gadis itu," tiba-tiba terdengar si orang tua berucap. "Dia hanya kepanj angan tangan orang lain. Dia datang ke sini dan melakukan semua ini hanya karena perintah orang lain...." "Kek, bagaimana kau ini! Orang tadi hendak membunuhmu kini malah kau kasihani!" seru Kindo. "Hidup dengan welas asih jauh lebih baik daripada mengikuti angkara murka. Keselamat an dan ketentraman dalam hidup bisa dicapai dengan segala kesabaran dan tawakal, bukan dengan amarah dan nafsu jahat, juga bukan dengan menurut buta segala perintah. Walaupun perintah itu datangnya dari seorang yang kita hormati...." Kata-kata Gilang Sakaro membuat wajah Kintani menjadi merah. Orang tua bermata buta itu palingkan kepalanya pada si gadis. "Cucuku, siapa yang mengirim kau ke mari...." Kintani tak menjawab. Tak berani dia mengatakan siapa yang menyuruhnya. "Kau murid yang baik. Walau kau tidak mau mengatakan, tapi aku sudah maklum. Yang menyuruh adalah gurumu. Seorang nenek bernama Ninji Matani. Betul...?" "Bagaimana... bagaimana kau bisa tahu?" tanya Kintani. "Panjang ceritanya. Tak mungkin kukatakan padamu. Hanya kalau dipikir-pikir sebenarnya akulah yang harus menyuruh bunuh gurumu itu. Tapi apalah artinya hidup jika bertumpu di atas dendam?" "Orang tua, dalam menjalankan perintah guru, aku tidak banyak bertanya. Tapi jika guruku tidak punya dendam kesumat terhadapmu masakan dia menyuruh aku membunuhmu?" "Sudah kubilang, kau murid yang baik. Hanya saja kau melaksanakan tugas dengan mengikuti hati dan peras aan. Bukan dengan akal sehat. Ingat, dalam hidup ini jangan sekali-kali hati sampai mempengaruhi akal atau jalan pikiran. Itu yang terjadi dengan dirimu, Cucuku!" "Kau hendak mengatakan guruku berbuat satu keteledoran?" tanya Kintani.
"Lebih dari itu!" jawab si orang tua. "Seperti aku katakan tadi, seharusnya akulah yang musti membunuh gurumu itu. Bukan sebaliknya. Buka matamu lebar-lebar. Aku akan memperlihatkan sesuatu padamu!" Orang tua bernam a Gilang Sakaro itu goyangkan kepala dan badannya. "Srrrrr.... Sssrrrr...." Rambut, kumis dan janggutnya yang putih panjang, yang membungkus seluruh tubuhnya tersingkap. Walau sangat cepat dan hanya sekilas tapi kelihatan bahwa orang tua ini sama sekali tidak memiliki tangan dan kaki alias buntung! "Astaga! Tidak bertangan dan berkaki!" kata Kintani dengan hati tercekat. "Buntung!" Berucap Kindo dengan suara bergetar dan mata melotot. "Inilah yang telah dilakukan gurumu empat puluh tahun lalu," berkata Gilang Sakaro dengan suara lirih. Sampai saat ini dia masih saja mempergunakan kemampuan bicara dengan perut. Untuk beberapa lamanya Kintani tidak bisa berkata apa-apa lagi. "Cucuku, berikan Pedang Darah Biru itu padanya. Antara kalian tidak boleh terjadi silang sengketa. Gadis ini hanya menjalankan perintah...." Kindo ragu-ragu s esaat. Akhirnya Pedang Darah Biru t elanjang itu diserahkannya pada Kintani. Si gadis menerima dengan hati tak tenang. Perlahan-lahan Pedang Darah Biru dimasukkarmya ke dalam sarungnya kembali. "Cucuku, kau boleh pergi sekarang. Kembalilah pada gurumu..." kata Gilang Sakaro. "Aku... aku tak mungkin kembali padanya. Dia pasti marah. Aku pasti dicapnya gagal! Tidak mampu menjalankan perintah!" "Kau sudah menjalankan perintah. Soal gagal atau bagaimana itu perkara lain. Serahkan Pedang Darah Biru padanya agar dia bisa mengembalikan senjata itu ke tempat asalnya di alam gaib...." "Tidak mungkin.... Tidak mungkin...." "Apa yang tidak mungkin, Cucuku?" "Orang tua, jika saja kau mau menceritakan apa yang terjadi antara dirimu dan guruku pada masa empat puluh tahun yang silam...." "Itu hanya urusan kami berdua. Tak perlu kau ketahui, apalagi mencampuri...." "Bukan maksudku begitu. Aku hanya merasa bersal ah...." "Syukur kalau kau punya perasaan begitu. Ini satu pelajaran berharga dalam hidupmu. Perintah yang tidak dikaji buruk baiknya bisa menjadi pisau makan tuan. Kau boleh pergi sekarang." Kintani memandang ke arah Kanti yang masih menggeletak pingsan. Gilang Sakaro rupanya tahu apa yang ada di benak gadis itu. Dia berkata. "Tak usah pikirkan anak perempuan itu. Aku yang akan mengurusnya." "Kalau begitu aku minta diri. Terima kasih kau sangat berbaik hati...." Si kakek menggel eng. "Aku bukan orang yang baik hati. Memang begitu tata cara kehidupan di al am ini." Kintani memandang pada Kindo. Kindo juga menat ap ke arah gadis ini. Sepasang mata mereka saling beradu. Kindo tenang-tenang saj a. Tapi dalam hati Kintani ada satu getaran halus yang tidak bisa dimengertinya. Mulutnya terbuka hendak m engatakan sesuatu. Namun tak ada suara yang keluar. Akhirnya gadis ini balikkan dirinya. Melangkah cepat menuju tangga menara. "Ah, dia sudah pergi...." Kindo berpaling pada Gilang Sakaro. "Cucuku, apa kau tahu kalau kau sudah membuat kesalahan?" Tiba-tiba orang tua itu ajukan pertanyaan. "Kek... aku tahu dan aku menyesal...." "Kau tahu?! Coba katakan apa kesalahanmu?!" "Semua berpangkal dari perbuat anku meninggalkan tempat l atihan. Meninggalkan Tasaki..., Kek, aku siap menerima hukuman."
"Aku bukan orang yang pantas menjatuhkan hukuman bagimu. Gurumu Bujala Tasaki yang akan melakukannya. Karena itu lekas kau kembali ke pedataran tinggi itu." Kindo membungkuk dalam-dal am. "Terima kasih Kek, aku pergi sekarang...." Lalu Kindo cepat-cepat mendekati Kanti. "Kanti! Hei! Ayo bangun! Jangan pingsan terus! Kita harus pergi dari sini! Kau harus cepat pulang! Bibimu pasti sudah kebingungan mencarimu!" Tinggalkan temanmu itu di sini," satu suara berkata di belakang Kindo. Anak ini berpaling. "Tapi, Kek...." "Tidak ada tapi-tapian. Kau pergi dari sini sendirian. Jangan bawa anak itu. Aku yang akan mengurus dirinya...." "Ah, bagaimana ini...." Kindo jadi bingung. "Kau sudah mendengar kat a-kat aku. Lalu mau tunggu apa lagi?!" Suara si kakek terdengar m engeras. Kindo terpaks a putar tubuh m eninggalkan puncak menara berbentuk benteng itu. *** Kindo sampai di pedataran tinggi tempat dia dilatih memecah batu dengan batu. Dari jauh terdengar suara ngorok Bujala Tasaki. "Ah, syukur si gentong itu masih tidur," kata Kindo gembira. Lalu matanya melirik ke samping. "Tapi dua butir ketimun yang kutinggalkan kok enggak ada lagi! Jangan-jangan dia pernah bangun dan tahu kalau...." Baru saja Kindo berkata begitu tiba-tiba tubuh gendut Tasaki menggeliat. Dia menguap lebar-l ebar lalu mengucak-ucak kedua matanya. "Ahhh... enak betul tidurku. Bagaimana dengan kau. Apakah enak juga perjalananmu...?" "Astaga! Mati aku. Bagaimana ini?!" Kindo bingung sendiri. "Rupanya dia tahu kalau aku pernah kabur dari tempat ini.... Sebelum dia marah lebih baik aku terus t erang saja." Lalu Kindo berkata. "Tasaki, kalau kau m emang sudah tahu, aku tidak akan mencari dalih. Aku mengaku salah. Aku siap menerima hukuman." "Bagus, kau calon murid yang bagus...." "Calon murid katamu? Jadi aku ini baru calon muridmu? Padahal… bukankah kau sudah melatih aku memecah batu dengan batu…?" Tasaki tersenyum lalu ambil kipas kertasnya dan mulai berkipas-kipas. "Tadinya memang aku sudah menganggap kau murid betulan. Tapi setel ah kau berbuat kesalahan, tidak patuh, tingkatmu kuturunkan. Baru jadi calon murid saja. Belum murid sungguhan...." Kindo menarik nafas dalam. "Kalau itu hukuman bagiku, aku menerima pasrah. Apakah masih ada hukuman lainnya, Tasaki?" "Tidak. Kita bisa melanjutkan latihan...." "Terima kasih kalau begitu Tasaki," ujar Kindo. "Apa latihan berikutnya?" Tasaki perhatikan kedua tangan anak itu. "Hemmmm... dua tanganmu kulihat biasa-biasa saja. Berarti kau cukup kuat, bisa bertahan terhadap benda-benda keras. Latihan berikutnya aku akan menyuruhmu memecah batu dengan kepala!" Kindo melengak kaget. "Tobat Tasaki! Memecah batu dengan batu saja sudah hancur tanganku! Apalagi memecah batu dengan kepala!" Bujala Tasaki tertawa perlahan-l ahan. "Masa sih kau begitu khawatir? Kalau kepalamu benjut atau rengkah bukankah ada gadis cantik temanmu itu yang akan memberi obat?" "Ya ampun! Dia t ahu segalanya!" ujar Kindo dalam hati. Sambil menghela nafas panj ang lagi dan garuk-garuk kepal a anak ini berkata. "Kau menyebut itu latihan. Tapi bagiku itu sama saja dengan hukuman. Sebagai orang yang salah hukuman itu aku terima. Asal jangan dihukum mati saja aku ini ya...?" "Tidak, aku tidak akan menghukummu sampai mati. Cukup setengah mati saja!" "Ampun! Setengah mati lebih celaka dari mati benaran!" keluh Kindo. "Tasaki, ada yang hendak kukatakan padamu...." "Apa?" tanya Tasaki sambil terus berkipas-kipas. "Gadis cantik yang kau sebutkan tadi itu...." "Hemmm.... Siapa ya namanya?" "Kintani." "Nama bagus. Orangnya juga cantik. Memangnya dia kenapa?"
"Tadi kau bilang dia temanku. Padahal dia bukan temanku!" "Eh! Bukankah dia mengobati kedua tanganmu yang luka dan lecet. Lalu kau mengantarkannya ke Puri Elang...?" "Itu benar. Tapi dia bukan temanku. Semula kukira dia gadis baikbaik...." "Ah, jadi dia gadis nakal rupanya!" "Bukan! Bukan begitu maksudku. Dia memang menolongku, bahkan menyelamatkan jiwaku dan kawanku Kanti. Tapi kemudian ternyata dia punya maksud jahat terhadap kakek di puncak menara Puri Elang. Dia ke sana untuk membunuh Kakek Gilang Sakaro!" "Ah, begitu rupanya...?" ujar Tasaki tenang saja dan masih berkipas-kipas. "Tasaki, kau kelihatannya tidak kaget mendengar keteranganku...." "Kenapa musti kaget?" "Orang hendak membunuh kakekmu dan kau tidak terkejut. Apalagi marah!" Tasaki tertawa gelak-gelak hingga dadanya yang gembrot dan perutnya yang gendut berguncangguncang. "Dunia persilatan adal ah dunia serba aneh. Silang sengketa, dendam kesumat dan saling bunuh semua terdapat di dalamnya. Tinggal kita manusia-manusia apa mau berpikir waras, apakah mau ikut-ikutan tenggelam dalam keadaan itu...." "Kita mungkin tidak mau. Tapi orang lain m au! Buktinya gadis yang kukira baik itu ternyata hendak membunuh Kakek Gilang Sakaro...." "Mereka tentu punya urusan tert entu. Perlu apa kita mencampuri? Biar mereka menyelesaikan sendiri. Sekarang lebih baik kau mempersiapkan diri untuk latihan memecah batu dengan kepal a. Di sini tak ada lagi batu yang cukup besar. Ikut aku ke Lembah Pinus Biru. Di situ banyak batu-batu bes ar. Keras-keras. Bisa kau jadikan latihan. Terserah kau mau memecahkan dengan kepala, jidatmu, hidung, dagu, pipi atau pun mulutmu...." Kindo tak bisa berkata apa-apa lagi. Dalam hatinya dia membatin. "Ini semua gara-gara Kintani. Kalau tidak ketemu dia tak bakal jadi begini. Lalu Kanti, bagaimana nasib anak itu di puncak menara?"
KAKEK MISTERIUS
Di tepi telaga kecil dan dangkal itu Kintani duduk termenung. Dia sedang bingung. "Aku gagal menjalankan tugas perintah guru. Dia pasti marah besar. Bagaimana sekarang? Kalau aku kem bali dan memberitahu kegagal an ini pasti dia saja.... Tapi kalau aku tidak kembali mungkin keadaan bisa lebih buruk. Lagi pula pedang mustika ini harus kuserahkan kembali padanya. Ah! Aku benar-benar jadi bingung nih!" Setelah duduk termangu-mangu beberapa lamanya sambil memain-mainkan air telaga dengan jari-jari kakinya Kintani akhirnya berdiri juga dan siap tinggalkan tempat itu. "Tak ada jalan lain. Apapun yang akan dilakukan guru padaku, aku harus terima!" Gadis ini rapikan rambut dan pakaiannya lalu memutar tubuh. Begitu tubuhnya berputar langkahnya langsung tertahan. Di hadapannya saat itu berdi ri seorang kakek berjubah dan bersorban merah. Mukanya kelimis tapi pandangannya sedingin salju dan kedua matanya seolah mempunyai kekuatan magis yang angker. "Kek, kau siapa?" tegur Kintani dalam kejutnya. Gadis ini yakin orang tua itu telah sejak l ama berada di tempat itu dap diam-diam memperhatikannya. "Gadis ayu, terima kasih atas pertanyaanmu. Itu pertanda bahwa kau seorang gadis tahu peradatan...." Suara orang tua itu begitu lembut, berlawanan dengan wajah dan sorot matanya yang dingin angker. "Cuma sayangnya saat ini akulah yang layak bertanya tentang dirimu." "A… apa yang kau ingin ketahui?" tanya Kintani. "Namamu Kintani. Betul...?" "Eh, kok tahu...?" Si orang tua bersorban dan berjubah merah ters enyum. "Kau murid nenek bernama Ninji Matani. Betul?" "Kok tahu...?" ujar Kintani lagi. "Dan senjata yang terselip di belakang punggungmu itu adalah Pedang Darah Biru. Benar?" "Eh, kok tahu juga?!" Si orang tua tersenyum. "Terus terang aku sudah menguntitmu sejak ke luar dari Puri Elang." "Mengapa kau menguntitku?" tanya Kintani. Gadis ini kini jadi waspada penuh. "Aku ingin meminjam pedang mustika itu darimu," jawab si orang tua seraya betulkan letak sorban merah di kepalanya. Terkejutlah Kintani mendengar kata-kat a orang tua di hadapannya itu. "Meminjam... meminjam pedang ini?" Si orang tua menganggukkan kepala. "Ah, itu satu hal yang tak mungkin aku penuhi." "Kenapa tak mungkin kau penuhi, Anak gadis?" "Senjata ini bukan milikku...." "Juga bukan milik gurumu. Jadi tak ada yang punya. Lalu mengapa tak bisa aku pinjam darimu?" Sesaat Kintani jadi bingung juga hendak menjawab apa. "Pedang ini aku terima dari guru. Jadi harus kukembalikan pada beliau. Tak bisa kuberikan atau kupinjamkan padamu begitu saja...." "Aku cuma m eminjam barang tujuh hari. Setelah tujuh hari aku akan kembalikan padamu. Apa susahnya?" "Bagimu memang tak ada susahnya. Tapi bagiku ini satu pelanggaran. Guruku akan marah...." "Kalau dia marah biar aku yang tanggung jawab!" Kintani menggeleng. "Jika kau bersikeras mau m eminjam pedang mustika ini, mengapa tidak kau temui saj a guruku Ninji Matani?" "Maksudku memang begitu. Tapi waktuku sempit sekali. Kalau kau mau biar nanti aku antarkan sendiri pedang itu padanya. Sementara itu kau boleh duluan memberitahu." Kintani menggeleng. "Permintaanmu tak bisa kupenuhi. Harap maafkan. Sekarang aku ingin melanjutkan perjalanan." "Ah, Sayang..." kata orang tua di hadapan si gadis seraya menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya satu sama lain. "Aku meminjam secara baik-baik. Tapi kau menolak memberikan...." "Aku juga menolak secara baik-baik...." Kintani memotong ucapan orang tua di hadapannya.
"Terpaksa aku mengambil dengan kekeras an. Jangan salahkan kalau kau sampai cidera..." kata orang tua itu. Lalu t angannya bergerak membuka ikat pinggang kain merah yang melilit di pinggang jubahnya. "Setttttt!" Tiba-tiba tidak terduga ikat pinggang kain itu melesat di udara dan meluncur ke arah pedang di pinggang Kintani membuat si gadis tersentak kaget. Serta merta murid Ninji Matani ini melompat menghindar seraya pukulkan tangan kanannya melancarkan serangan tangan kosong jarak jauh mengandung tenaga dal am. "Wuuutttt!" "Ah, semuda ini dia sudah memiliki kepandaian mengerahkan tenaga dalam..." kata si orang tua berjubah dan bersorban merah dalam hati. Tangan kirinya diangkat. Lengan jubahnya dikebutkan. "Beetttt!" Serangan j arak jauh yang dilepaskan Kintani buyar. Malah kini si gadis meras akan angin yang ke luar dari ujung jubah orang tua itu sebagian menyambar ke arahnya, membuat bahu kirinya terasa seperti kesemutan. "Anak gadis, apa betul kau tak akan menyerahkan pedang itu secara baik-baik? Atau memang agaknya aku harus mempergunakan kekerasan?!" "Terserah padamu! Kalau hatimu memang culas dan jahat apa pun pasti kau lakukan agar maksudmu kesampaian!" ujar Kintani mengejek. Orang tua itu tertawa lebar. "Kau benar!"kat anya. Lengannya yang memegang ikat pinggang kain merah bergerak. "Beettttt... bettt! Beeetttt! Wuttttt! Betttt! Wutttt!" Ikat pinggang panjang itu lenyap. Di udara yang kelihatan hanyalah bayang-bayang merah berkelebat kian kemari. Banyak sekali. Setiap bayangan merah berkelebat seolah ada hamparan angin kencang yang membuat ram but dan pakaian si gadis berkibar-kibar sedang tubuhnya bergeletar. "Lawanku seorang sakti. Tak mungkin aku menghadapinya. Jika aku nekad akan percuma saja! Sebelum dia merampas Pedang Darah Biru ini sebaiknya aku lari saja tinggalkan tempat ini!" Berpikir sampai di situ Kintani segera bergerak dengan cepat. Sambil menghindar serangan ikat pinggang merah dia mencari peluang untuk melarikan diri. "Celaka! Bayangan ikat pinggang seperti membungkusku!" keluh si gadis. Berkali-kali dia mencoba meloloskan diri tapi sia-sia saja. Malah ketika bahu kanannya kena tamparan ujung ikat pinggang kain, dia hampir terbanting roboh. Selagi Kintani sempoyongan ujung ikat pinggang menyambar kembali. "Setttt! Betttt! Betttt! Betttt!" Badan Pedang Darah Biru kena dilibat ikat pinggang kain tanpa Kintani bisa melakukan sesuatu. "Wuuuutttt!" Ikat pinggang merah melesat ke udara. Kintani terpekik. Pedang Darah Biru yang dilibat ikat pinggang itu ikut melayang ke udara!
PEMUDA BERPAKAIAN HITAM
"Tua bangka jahat! Kembalikan pedang mustika itu!" teriak Kintani. Kakek berjubah dan bersorban merah tertawa panjang. "Aku meminjam secara baik-baik. Kau keras kepala tak mau memberikan! Sekarang jangan menyes al! Pedang ini tak cuma kupinjam. Tapi kuambil dan jangan harap akan kukembalikan!" "Pencuri! Rampok!" teriak Kintani Orang tua itu gerakkan pergelangan tangannya. Ikat pinggang yang dipegangnya tertarik ke bawah. Pedang Darah Biru ikut terbetot menukik. Sambil perdengarkan tawanya kembali orang tua itu ulurkan tangan kiri untuk menyambut jatuhnya pedang. Kintani berlaku nekad. Dia melompat ke muka berusaha merebut senjata mustika itu. Tapi begitu si Jubah Merah kebutkan ujung lengan jubahnya dan serangkum angin menerpa ke depan, tak ampun lagi Kintani terdorong keras, jatuh duduk di tanah. "Semakin nekad dirimu, semakin keras hajaranku!" kata orang tua itu. Tangan kirinya siap menangkap badan pedang. Namun alangkah terkejutnya dia ketika tiba-tiba dari s amping berkelebat sebuah benda disert ai deru angin keras. "Wutttt!" Tak mau menanggung akibat si orang tua terpaksa tarik tangan kirinya. Bersam aan dengan itu kaki kanannya menendang ke arah sesosok bayangan hitam yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Yang diserang rupanya cukup cekatan untuk menghindar. Bahkan kemudian sambil melompat dia memukul ke atas. "Traaaangggg!" "Aaaahhhh!" Orang tua berjubah merah mengeluh bukan karena kesakitan tapi kaget ketika melihat Pedang Darah Biru terl epas dari libatan ikat pinggang kain dan mencelat ke atas. Cepat dia melompat ke udara untuk mengambil senjata mustika itu. "Bukkkk!" "Aaauuuu!" Si orang tua berteriak kesakitan. Tubuhnya yang mengapung ke udara sert a merta jatuh kembali ke tanah. Kaki kirinya dikibas-kibaskan. Tulang keringnya sakit bukan main. Terpincang-pincang dia berpaling ke samping. Sementara itu Pedang Darah Biru jatuh ke tanah beberapa langkah di hadapan Kintani. Walau masih kesakitan gadis ini cepat mengambil senjata mustika itu. Orang tua berjubah merah berusaha mendahului namun gerakannya tertahan. Di hadapannya melintang sebuah tongkat yang ujungnya bercabang, siap untuk menghantam mukanya! "Anak muda! Jadi kau yang punya pekerjaan! Besar sekali nyalimu!" bentak si Jubah Merah dengan mata membeliak penuh berang. Begitu berhasil mendapatkan Pedang Darah Biru kembali Kintani cepat berdiri. Seharusnya dia cari selamat dan segera saja meninggalkan tempat itu. Tapi menyaksikan apa yang barus an terjadi dia justru tak beranjak dart tempatnya. "Siapa anak muda berpakaian s erba hitam bersenjata tongkat bercagak yang menolongku ini? Wajahnya tampan. Sikapnya gagah." Berkata si gadis dalam hati. "Orang tua, mengapa kau menginginkan barang yang bukan milikmu?" Pemuda berpakaian dan berikat kepala hitam itu menegur. Tampang orang tua berjubah merah berubah s eperti udang rebus. "Lagakmu bicara seperti tuan besar saja! Berani-beraninya kau mencampuri urusanku! Biar kuberi pelajaran padamu agar kau tahu diri dan kapok!" Orang tua itu gerakkan tangan kanannya. Ikat pinggang kain berkelebat ke udara. Cahaya merah menyambar ke arah pemuda berpakaian hitam. "Wutttt! Betttt! Bettt!" Serta merta pemuda bertongkat terkurung dalam buntalan cahaya merah ikat pinggang kain yang dijadikan senjata oleh si orang tua. "Rasakan olehmu sekarang!" kertak si Jubah Merah. Si pemuda tampaknya tidak menjadi kecut. Tongkat bercagaknya diputar sedemikian rupa hingga membentuk lingkaran ketat. "Werrrrr.......werrrrrrr!"
Merasa s anggup mempert ahankan diri dari serangan senjat a lawan, pemuda ini mulai lepaskan serangan-serangan balasan. Tongkat di tangannya menderu dalam gerakan-gerakan tak terduga. Mula-mula orang tua itu dibuat sibuk juga. Namun beberapa s aat kemudian kelihatan si pemuda mulai tert ekan dan terdesak. Bentakan-bentakan yang ke luar dari mulut lawan sangat mempengaruhi pemuda yang masih hijau pengalaman itu. "Wuuttt! Betttt! Bettttt!" Ikat pinggang merah bergulung-gulung. Serangan si orang tua semakin ganas saat demi saat. "Wutttt!" "Sreettt!" "Akhhhhhh...!" Pemuda berpakai an hitam keluarkan keluhan. Ujung senjata lawan berhasil menghantam keningnya hingga daging di kening itu robek dan mengucurkan darah. Si pemuda pergunakan tangan kirinya untuk menahan kucuran darah dari kening ke mata kirinya. "Wutttt! Betttt!" Ujung senjata lawan kembali menderu. Kali ini menghantam telak bagian dada si pemuda hingga dia terjengkang. Tongkat terlepas dari tangannya. "Bukkkkk!" "Breeeetttt!" "Uhhhhh!" Baju hitam si pemuda robek besar di bagi an dada. Kulit dadanya ikut robek. Darah mengucur lagi. "Ini pelajaran terakhir dariku!" kata orang tua berjubah merah. Kali ini dia tidak menyerang dengan ikat pinggang kainnya tetapi pergunakan kaki untuk menginjak kepala pemuda itu. "Uhhhhh!" Masih mengerang kesakitan pemuda itu gulingkan tubuhnya ke kiri. "Bukkkkk!" Kaki kanan di orang tua menghujam ke tanah. Sebuah lobang muncul di tanah. Amblas akibat hantaman kaki itu. Kintani terbelalak. "Kalau kena kepala pasti tamat riwayat pemuda itu! Orang tua berjubah merah memburu ke arah mana si pemuda berguling. "Teman, lemparkan pedang mustika itu padaku!" Si pemuda tiba-tiba berteriak pada Kintani. Si gadis sesaat jadi bingung. "Aku tak kenal padanya. Dia jelas menolongku. Tapi kalau senjata ini kuserahkan padanya lalu dibawa kabur, mati aku!" "Teman! Lekas...!" teriak si pemuda kembali. Kintani menggigit bibirnya. Saat itu si Jubah Merah hanya tinggal dua langkah saja lagi dari pemuda berpakai an hitam. "Teman!" Kintani akhirnya lemparkan Pedang Darah Biru pada si pemuda. Gadis ini cukup cerdik. Dia sengaja melemparkan pedang di jurus belakang kepal a si pemuda hingga tak mungkin ditangkap oleh lawan. Pemuda berbaju hitam membuat gerakan berjumpalitan. Ketika dia berdiri Pedang Darah Biru sudah berada dalam genggamannya. "Sreeettt!" Sinar biru menyilaukan berkiblat dari badan pedang yang barusan dicabut si pemuda. Si Jubah Merah ses aat t erkesiap. "Tidak kus angka, senj ata mustika ini benar-benar hebat. Cahayanya saja menyilaukan dan angker!" "Anak muda! Nyawamu kuampuni kalau kau segera menyerahkan pedang itu padaku!" Si pemuda tersenyum sinis. "Kalau kau sanggup silahkan ambil sendiri!" Ditantang begitu rupa orang tua itu menjadi marah. Dia lilitkan ikat pinggang kainnya kembali ke pinggang jubahnya. Pelipisnya bergerak-gerak. Rahangnya menggembung. "Huaaaaah!" Didahului suara bentakan keras, orang tua itu melompat ke hadapan si pemuda seraya lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. "Wuuuuttt!" "Siuuuutttt!"
Sinar biru menebar lebar disertai sambaran hawa dingin sewaktu si pemuda membabatkannya ke depan. Orang berjubah j adi tercekat dan t erpaks a tarik pulang s erangannya. Sekali l agi dia menggembor keras lalu menerjang. Untuk kedua kalinya pula sambaran pedang yang ganas itu membuat mentah serangannya. "Dalam ilmu jelas aku jauh di bawahnya. Tapi agaknya pedang mustika ini membuat lawanku gentar!" Membatin si pemuda. Lalu dia putar senjata sakti itu dalam jurus-jurus ilmu tongkat yang dikuasainya. Hasilnya luar biasa. Sinar biru berbuntal-buntal ke seluruh tubuh lawan. "Pemuda keparat! Makan seranganku!" teriak si Jubah Merah. Ujung lengan jubah sebelah kanan dikebutkan. "Wuuuuttt!" "Sssttt... ssstttt... sssttt!" Tiga buah senjata rahasia berbentuk jarum halus yang sulit dilihat mata menderu ke arah si pemuda. Pemuda ini tak bisa melihat benda apa yang tengah menyerangnya. Namun dia yakin akan kehebatan Pedang Darah Biru yang ada di tangannya. Senjata ini dibabatkannya ke depan dalam gerakan setengah lingkaran. "Tringg… tring… tring!" "Breett!" Tiga buah jarum yang dilepaskan si Jubah Merah mental ke udara. Ujung lengan jubahnya robek besar. Orang tua ini keluarkan keringat dingin. Dia membatin. "Pedang itu benar-benar luar bias a! Bakal an sulit bagiku menembus pertahanannya! Terlalu berbahaya jika kuteruskan. Sebaiknya...." "Anak muda. Kau beruntung! Sayang aku ada urusan lain yang lebih penting. Kalau tidak.... Tapi awas! Aku akan muncul lagi mencarimu dan gadis itu!" "Kalau kau berani muncul lagi, aku atau tem anku itu tidak akan memberi ampun padamu!" kata si pemuda pula. Si orang tua mendengus. "Aku bersumpah akan memecah kepala kalian berdua!" kat anya lalu membuat gerakan memutar yang cepat. Setelah itu dia pun berkelebat lenyap dari tem pat itu. Pemuda berpakai an hitam menarik nafas dalam. Perlahan-lahan dia berpaling ke arah tempat Kintani berdiri. Dia ulurkan t angannya yang memegang pedang, maksudnya untuk mengembalikan senjat a mustika itu. Namun tiba-tiba saja tubuhnya jatuh berlutut di tanah lalu terguling rebah. Kintani cepat memburu. Pertama kali diambilnya Pedang Darah Biru dari genggaman si pemuda. Kemudian dia coba memeriksa keadaannya. Kintani raba urat besar di leher. Terasa ada denyutan. "Hanya pingsan. Mungkin terlalu banyak mengeluarkan darah...." Setelah memeriksa luka di kening dan dada pemuda itu Kintani menotok tubuhnya di dua tempat. Perlahan-l ahan darah berhenti mengucur. Selagi dia tidak tahu mau berbuat apa lagi kedua kaki pemuda itu tampak bergerak. "Dia mulai siuman. Syukurlah..." kata Kintani lalu menyeret pemuda itu dan menyandarkannya pada sebatang pohon. Begitu membuka sepasang matanya si pemuda melihat paras cantik di depannya. Dia memandang berkeliling, meraba keningnya dan memperhatikan dadanya. "Lukamu tidak berbahaya. Cuma kau banyak mengeluarkan darah..." kata Kintani. "Terima kasih, Teman. Kau tentu barusan telah menolongku...." "Bukan aku, tapi kau yang telah menyelam atkan diri s erta pedang mustikaku dari orang tua jahat itu. Kau kenal siapa dia." Si pemuda menggeleng. "Aku Kirin. Kau.... Siapa namamu?" "Aku Kintani...." Pemuda bernama Kirin memperhatikan gagang pedang yang ters embul di balik punggung si gadis. "Pedang itu.... Bukan senjata sembarangan. Kau harus hati-hati. Jangankan orang jahat, orang baik-baik pun akan tergiur ingin memilikinya...."
Kintani jadi ingat bahwa dia harus segera kembali ke tempat kediaman gurunya. Untuk mengembalikan Pedang Darah Biru dan sekaligus menceritakan kegagal annya dalam menjalankan tugas. "Kulihat kau tidak apa-apa. Aku harus segera pergi. Sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu. Aku berhutang budi dan nyawa...." "Jangan ucapkan itu," kata Kirin seraya berdiri. Sesaat dia tegak sambil berpegangan di pohon. Kepalanya terasa pening. "Dengar, kau tak boleh pergi sendirian. Aku khawatir orang tua tadi masih ada di sekitar sini. Menguntit lalu menghadangmu ditengah jalan...." "Apa yang dikatakan pemuda ini bisa jadi benar. Lalu apa yang hendak dilakukannya. Mengantarku ke tempat guru?" "Orang tua jahat itu pasti sudah kabur jauh! Takut padamu. Ilmu tongkatmu luar biasa...." Kirin tersenyum dan gelengkan kepala. "Aku masih harus banyak belajar. Sayang guruku sudah meninggal. Aku terpaksa harus mencari guru lain. Kau sendiri kalau aku boleh bertanya murid siapakah?" Kintani tidak menjawab. "Aku harus pergi sekarang...." "Aku ikut bersamamu. Mengant armu sam pai di tujuan dan harus melihat dirimu benar- benar selamat...." "Ah, bagaimana ini?" pikir Kintani. "Dia pemuda baik hati. Tapi guru pasti marah jika aku kembali bersamanya...."
PEDANG DARAH BIRU LENYAP Di belakang curahan air terjun yang menderu keras menggidikkan Kintani jatuhkan diri di depan Nenek Ninji Matani. "Guru...." "Aku gembira melihat kau kembali Kintani..." kata si nenek berwajah cekung. Tapi dalam hati sambil memandang pada Pedang Darah Biru yang terselip di belakang pinggang muridnya itu si nenek membatin "Suaranya agak tersendat. Wajahnya waktu tadi masuk kulihat muram. Begitu masuk dia langsung menjatuhkan diri. Sesuatu telah terjadi agaknya. Mungkin...." Ninji Matani usap bahu muridnya lalu berkata. "Bangkitlah, Kintani. Duduk dan ceritakan tugas yang telah kau jalankan." "Guru, murid siap menerima hukuman...." "Eh, kau ini bicara apa?" tanya Ninji Matani seraya mem egang bahu muridnya l alu mengangkatnya hingga Kintani terduduk dan berhadap-hadapan dengannya. "Sesuatu telah terj adi.... Aku tahu! Aku dapat melihat dari wajahmu, dari sinar matamu! Katakan! Dan jangan menangisl Aku paling benci melihat perempuan menangis! Itu yang membuat kaum lelaki mencap kita orang-orang perempuan sebagai mahluk lemah!" "Guru...." "Lekas bicara!" bentak Ninji Matani. "Aku... aku gagal menjalankan perintah. Aku minta maaf...." "Kau tak berhasil membunuh lelaki tua bangka itu?!" Kintani menggeleng. Sepasang mata si nenek m embeliak, seolah hendak m elompat ke luar dari rongganya. Mulutnya terkancing rapat -rapat. Wajahnya seangker set an. Gadis yang ada di depannya itu seperti hendak dilumat ditelannya. "Tidakkkkk.....!" Ninji Matani berteriak setinggi langit. "Murid tolol! Goblok! Tugas begitu saja kau tak sanggup melakukannya! Empat puluh tahun aku menunggu! Hasilnya hanya kesi a-siaan belaka!" Si nenek berdiri "Wuuuttt!" Tangan kanannya bergerak menyambar Pedang Darah Biru yang menyembul dari balik pakaian muridnya itu. "Sreeetttt!" Sinar biru menyilaukan dan menggidikkan memenuhi ruangan batu di balik air terjun ketika Pedang Darah Biru dicabut si nenek dari sarungnya. "Memalukan! Memalukan!" teriaknya berulang kali. Lalu "Setttt!" Pedang Darah Biru ditusukkannya ke perutnya. "Guru!" pekik Kintani seraya memburu tapi terlambat! "Wuuuttt!" Satu bayangan hitam berkelebat dan sebuah benda panjang meluncur keras memukul tangan kanan Ninji Matani. "Auuuhhhh!" Si nenek menjerit. Bukan saja karena kesakitan tetapi juga oleh ras a terkejut yang am at sangat. Pedang Darah Biru terlepas dari tangannya lalu jatuh berkerontangan di lantai batu. "Anak kurang ajar! Siapa kau?!" hardik Ninji Matani begitu melihat seorang pemuda berpakai an dan berikat kepala kain hitam tegak di hadapannya sambil menyilangkan sebatang tongkat bercagak di depan dada. "Namaku Kirin. Aku teman muridmu. Harap maafkan kalau aku telah melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hatimu. Tapi bunuh diri bukan satu penyelesaian yang baik...." "Anak bau pesing! Sok tahu! Berani kau mengajariku! Makan lima jariku!" teriak Ninji Matani lalu menyergap ke depan. Tangan kanannya menderu. Lima jari dirapatkan lurus ke depan. "Lima Jari Kematian!" seru Kintani tegang. "Guru! Jangan bunuh dia! Kirin telah menyelamatkan nyawaku dan Pedang Darah Biru...!" "Aku! tidak perduli!" hardik Ninji Matani. "Guru!" kata Kintani seraya melangkah dan tegak di antara kedua orang itu. "Jika kau ingin membunuhnya, bunuh aku sekalian!"
Kintani jatuhkan diri di depan Ninji Matani. Rahang si nenek menggembung. Matanya melotot. "Murid gila! Pemuda setan ini pasti telah mempengaruhi jalan pikiranmu...." "Tidak, Guru! Dia tidak mempengaruhi jalan pikiranku!" "Kalau bukan pikiranmu pasti hatimu!" "Juga tidak, Guru..." sahut Kintani. "Lalu mengapa kau ingin mati bersamanya?!" bentak si nenek. "Aku hanya melihat tak ada jalan lain. Pemuda itu tidak punya salah apa-apa. Dia pula yang menyelamatkan nyawaku dan Pedang Darah Biru itu. Mengapa dia hendak dibunuh?" Si nenek melirik pada Pedang Darah Biru yang tercampak di lantai. Hatinya mendua. Apakah akan diambilnya senjata mustika itu dan kembali bertindak nekad mel akukan bunuh diri atau membiarkan saja Pedang Darah Biru tergelet ak di lantai batu. "Greekkkk!" Rahang si nenek sampai mengeluarkan suara berkeretekan saking beringasnya! "Guru, izinkan aku memberikan keterangan padamu...." "Tidak perlu! Mulai detik ini kau tak layak memangggilku guru dan aku tidak menganggapmu sebagai murid lagi!" "Guru! Kenapa kau berkata begitu?!" jerit Kintani. Nenek Ninji Matani tidak m enjawab. Sarung Pedang Darah Biru dibantingkannya ke lant ai batu. Tubuhnya diputar lalu berkelebat menembus curahan air terjun yang menderu. Kintani memburu. "Guru!" Tapi bayangan si nenek sudah lenyap. Kintani merasakan tubuhnya lemas. Perlahan-lahan dia jatuh terduduk di lantai dan tundukkan kepala menahan isak. Kirin datang mendekat lalu memegang bahu gadis itu. "Teman, aku merasa turut bersalah. Jika aku tidak mengantarmu sampai ke sini. Gurumu pasti tidak akan semarah itu...." Kintani hanya gelengkan kepal a. Wajahnya ditutupi dengan kedua tangannya. "Kesalahanku terhadap guru sangat besar. Aku tidak mampu menjalankan tugas yang diberikan padaku...." "Kalau aku boleh bertanya, apa tugas itu...?" "Aku.... Aku diperintahkan untuk membunuh seorang kakek bernama Gilang Sakaro. Tapi gagal.... Orang tua itu terlalu sakti hingga Pedang Darah Biru tak sanggup melukainya...." "Kau tahu alasan mengapa gurumu menugaskan kau membunuh kakek itu?" tanya Kirin. "Hanya samar-samar. Antara mereka ada dendam sejak empat puluh tahun lalu...." Kirin memungut Pedang Darah Biru dan sarungnya. Lalu dis arungkan. Saat itu tiba-tiba terdengar suara berdesir. "Astaga!" seru Kirin. Kintani berpaling. Gadis ini melihat si pemuda memegangi Pedang Darah Biru seperti orang keberatan. Seolah-olah s enjata mustika itu berubah menjadi sebuah benda yang ratusan kali beratnya. "Pedang ini! Pedang ini mengapa menjadi berat sekali!" seru Kirin. "Aku tak sanggup memegangnya! Aku tak kuat...." Pedang Darah Biru akhirnya lepas dari pegangan Kirin. Namun anehnya senjata mustika ini tidak jatuh ke l antai melainkan malah naik ke at as sampai sebat as kepala Kirin. Di sini Pedang Darah Biru berputar tiga kali. Lalu. "Wuuusss!" Seperti anak panah lepas dari busurnya senj ata mustika itu melesat menembus curahan ai r terjun dan lenyap dari pemandangan. "Aku... aku tak percaya pada apa yang barusan kulihat..." kata Kintani perlahan. "Aku juga..." kata Kirin. Ditatapnya gadis itu dengan perasaan hiba. "Apa yang akan kau lakukan sekarang, Kintani?" "Aku tak tahu. Mungkin... mungkin aku harus mencari guru sampai dapat dan minta maaf padanya...." "Kau murid yang baik. Tapi kurasa kau hanya melakukan pekerjaan sia-sia..." kata Kirin pula. "Gurumu seharusnya menyadari. Mati hidupnya manusi a bukan di tangan manusia. Tapi di tangan Yang Maha Kuasa...." "Selamat tinggal Kirin. Kita berpisah di sini. Kalau umur sama panjang kita tentu akan bertemu lagi...." Kintani memegang tangan pemuda itu sesaat lalu berdiri. Kirin hanya bisa tegak termangu memperhatikan kepergian si gadis. Dia tidak berusaha mengikuti.
"Dalam keadaan kalut seperti itu dia ingin sendirian. Tak mau ditemani, tak mau diganggu," kata Kirin dalam hati. Lalu dia berseru. "Selamat jalan Kintani. Jaga dirimu baik-baik...!" "Kau juga Kirin!" balas Kintani tanpa berpaling pada pemuda itu.
TAMAT
Pembuat Ebook : Scan buku ke djvu : Abu Keisel Convert : Abu Keisel Editor : Fujidenkikagawa Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
IKUTI SERIAL KINDO BERIKUTNYA BERJUDUL
PERSEKUTUAN PEMUJA IBLIS