Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 175-185 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan PAULUS CATUR WIBAWA A l u m n u s F a k u l t a s Te o l o g i U n i v e r s i t a s S a n a t a D h a r m a , Yo g y a k a r t a Surel:
[email protected] Diterima: 6 Januari 2015 Disetujui: 9 Maret 2015
ABSTRACT Since Youth Pledge on October 28, 1928, Bahasa Indonesia has officially been acknowledged as a national language. In fact, Bahasa Indonesia is not a homogeneous language. There are numerous variety of vocabularies and concepts borrowed from various cultures in Indonesia and from other nations. This fact confirms what Edward Said stated in his Culture and Imperialism that no culture is single and pure. Considering the variety of Bahasa Indonesia, there is a series of long history on how the national identity has been constructed and denied. Pengakuan Pariyem (The Confession of Pariyem) is a good example on this issue. This lyrical prose by Linus Suryadi shows a complex that infects most of the Javanese in practising Indonesian. Until now, Pariyem’s syndrome can be still found. For example, the idiom of “Aku Rapopo” always appears in TV and printing news in Indonesian language. In other word, Pariyem has acknowledged the identity issue as an identity that has been mess-mixed up by hybridity and cultural heritage value. Keywords: bahasa Indonesia, identity, hybridity, postcolonial, neologism, The Confession of Pariyem.
kompas.com dan tribunnews.com pada 1 “Mau nyerang silakan, mau ngejek silakan. hari Senin, 24 Maret 2014 . Ungkapan aku Toh, masyarakat sudah bisa menyaring rapopo tiba-tiba begitu populer belakangan mana yang benar dan mana yang tidak ini. Joko Widodo, mantan Walikota Solo benar. Mau dukung silakan, mau tidak yang kemudian menjadi gubernur DKI dukung silakan. Aku rapopo, aku rapopo, he- (dan terakhir, menjadi Presiden terpilih Inhe-he,” kata Jokowi, di Balaikota Jakarta, donesia, periode 2014 - 2019) ini memang sungguh orang Jawa. Caranya bertutur daSenin (24/3/2014). Kutipan di atas diambil dari berita lam bahasa Indonesia sangat dipengaruhi yang ditayangkan oleh media berita daring oleh cara bertutur masyarakat Jawa. Tidak Pendahuluan
1
04-paulus.indd 175
“Jokowi: Diserang, Aku Rapopo...” dalam http://megapolitan.kompas.com/read/2014/03/24/1737543/Jokowi.Diserang.Aku.Rapopo. Penulis: Alsadad Rudi, Editor: Hindra Liauw; “Jokowi: Mau Nyerang, Meledek, Silakan, Aku Rapopo,” Senin, 24 Maret 2014 21:18 WIB dalam http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/03/24/jokowi-maunyerang-meledek-silakan-aku-rapopo; Penulis: Imanuel Nicolas Manafe, Editor: Hendra Gunawan.
4/16/2015 6:19:46 AM
176
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
hanya menggunakan banyak kosakata dan konsep-konsep Jawa dalam berbahasa Indonesia, Joko Widodo dengan jelas berbahasa Indonesia dengan gaya Jawa. Tidak heran, Joko Widodo berulangkali menggunakan ungkapan aku rapopo dalam wawancara dengan awak media. Bahkan dalam ajang pemilihan Presiden tahun 2014 yang lalu, ungkapan aku rapopo menjadi ungkapan yang secara politis identik dengan diri Joko Widodo, yang dipergunakan sebagai kosa kata kampanye, baik oleh para pendukung maupun lawannya. Meskipun menarik—dan karena itu perlu dicatat— ungkapan aku rapopo diperlawankan dengan aku raiso popo. Ironi Bahasa Per-satu-an Joko Widodo dengan aku rapopo-nya bukanlah fenomena baru. Pada 1981, di ranah sastra, terbit sebuah prosa liris karya Linus Suryadi berjudul “Pengakuan Pariyem; Dunia Batin Seorang Wanita Jawa”. Karya ini sempat membuat beberapa pembaca dan pengamat ragu mengenai identitas karya ini. Banyaknya kosakata dan konsep berbahasa Jawa dalam karya ini membuat tidak sedikit orang bertanya-tanya apakah Pengakuan Pariyem harus disebut sebagai sastra Indonesia atau sastra Jawa yang meminjam bahasa Indonesia sebagai mediumnya. Lepas dari perdebatan tersebut, Bakdi Sumanto dalam kajiannya terhadap Pengakuan Pariyem, mengatakan bahwa fenomena Pariyem adalah kompleks psikologis yang menghinggapi sebagian besar orang Jawa dalam kancah bertutur di Indonesia (Sumanto, 1999:xii). Kita bisa melihat bahwa sampai sekarang, kompleks semacam itu tidak pernah dapat disembuhkan. Di samping aku rapopo (dan raisopopo), muncul pula istilah legowo yang diselewengkan sebagai let it go, Wo dan juga ungkapan “Piye, isih penak jamanku
04-paulus.indd 176
Vol II, 2014
tho?” yang ditampilkan secara masif dalam satu paket bersama gambar mantan Presiden RI ke-2, Soeharto. Bisa jadi, Ben Anderson agak terburu-buru ketika meramalkan bahwa poliglotisme periode kolonial dan pascarevolusi di Indonesia akan berangsur-angsur hilang, sementara bahasa Indonesia akan semakin menjadi satu-satunya bahasa yang dipakai oleh generasi muda Indonesia (Anderson, 1966: 89). Meskipun demikian, dalam tulisan pendek tersebut, Anderson memberi sumbangan yang berharga dalam memetakan unsur dominan yang membentuk bahasa Indonesia. Menurutnya, jiwa bahasa Indonesia dibangun dalam kungkungan pengaruh tiga bahasa dominan dan dua tradisi yang mengakar. Ketiga bahasa itu adalah bahasa Belanda, bahasa Jawa dan “Bahasa Melayu Revolusioner,” sedangkan dua tradisi yang dimaksud adalah tradisi Belanda (Barat) dan Jawa. Perlu diingat bahwa nasionalisme di Indonesia dimulai dari para mahasiswa yang memperoleh ilmunya dari bahasa yang bukan Indonesia. Sekolah-sekolah pertama— yang terbatas, eksklusif dan elitis—diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Fasih berbahasa Belanda adalah salah satu tanda orang termasuk dalam golongan elite, terpelajar dan atau aristokrat. Artinya, dari segi jumlah, tidak sangat banyak orang pribumi yang fasih berbahasa Belanda. Penyebab utamanya adalah karena orang Belanda sama sekali tidak berusaha menyebarluaskan bahasa mereka, bahkan mereka berusaha membuat penyebaran bahasanya terjadi selambat mungkin, seperti dianalisis Lombard berikut ini: ...bahkan ketika pada abad ke-19 bahasa Belanda telah menggantikan kedudukan bahasa Portugis dan Melayu dalam percakapan sehari-hari, bahasa Belanda itu hanya digunakan dalam lingkungan “intern.” Baru kemudian,
4/16/2015 6:19:47 AM
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
ketika sudah sangat terlambat dan agaknya terdesak oleh kebutuhan akan pegawai administrasi “pribumi”, pemerintah kolonial memutuskan untuk mendirikan beberapa sekolah. Itupun hanya terbatas bagi putra para pembesar, segelintir minoritas yang disaring dengan sangat teliti, yang diperkenankan masuk ke kuil untuk mengenal rahasia kekuatan Barat. (Lombard, 2008:94)
Tidak hanya membatasi penyebaran bahasanya pada segelintir orang pribumi yang diseleksi dengan ketat, juga tidak melupakan motif investasinya bahwa kelak pribumi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pegawai pemerintah kolonial, pemerintah Belanda menunjukkan pula sikap tidak suka atau terkesan merasa terhina jika ada orang pribumi yang berbicara kepada me reka dengan bahasa Belanda. Bagi pemerintah Belanda, berbicara bahasa Belanda tidak membuat seorang pribumi menjadi Belanda. Karena itu, “balas budi” pemerintah kolonial terhadap bangsa pribumi— yang mendapatkan inspirasinya dari tulisan Conrad Theodore Van Deventer (1857 – 1915) berjudul Een Eereschuld atau “Hutang Kehormatan” yang dimuat dalam majalah De Gids (Panduan) pada 1899—dengan cara memperkenalkan bangsa pribumi kepada ilmu pengetahuan telah dijalankan dengan motivasi yang ketulusannya sungguh meragukan. Foulcher membandingkannya dengan Notulen untuk Parlemen karya Thomas Babington Macaulay, Anggota Dewan Hukum India, pada 2 Februari 1835, yang membayangkan diciptakannya “satu kelas orang yang darah dan warnanya India, tapi selera, pendapat, moral dan inteleknya Inggris” dan melihat bahwa keduanya telah gagal. “Seperti ke-Inggris-an kawula kolonial itu kelak akan terbukti menjadi sekutu yang sama sekali tidak bisa dipercayai oleh negara kolonial, demikian juga otoritas di Hindia Belanda dengan cepat sekali menyadari bahwa “rasa terima kasih” para kawula yang baru direkon-
04-paulus.indd 177
paulus catur wibawa 177
struksi itu bukan sesuatu yang dapat diandalkan. Mimikri loyal dari pegawai negeri kolonial yang meniru selera,, pendapat dan intelek bangsa kolonial membuat mereka menjadi hampir serupa tapi tidak sama…dalam kacamata kolonial, peniruan budaya kolonial oleh pihak terjajah harus dikendalikan dengan ketat agar tidak melampaui batas-batas ‘rasa terima kasih dan mulai menuntut mendapatkan otoritas yang tidak pernah dimaksudkan untuk si terjajah’” (Foulcher dan Day, 2008: 106)
Meskipun demikian, penyebaran bahasa Belanda telah memberikan peran yang cukup signifikan bagi tumbuhnya kesadaran bangsa pribumi. Para tokoh pergerakan nasional—yang sebagian besar memang berasal dari kalangan priyayi— banyak memublikasikan ide nasionalisnya dalam artikel berbahasa Belanda, di surat kabar berbahasa Belanda. Kenyataan tersebut bukan hanya menunjukkan bahwa pengaruh bahasa Belanda dalam pembentukan bahasa Indonesia tidak mungkin diabaikan, tetapi lebih-lebih menegaskan betapa kolonialisme Belanda selama beratus-ratus di Indonesia telah menorehkan jejak yang dalam dan tidak mungkin dapat dihapuskan. Tidak terhapusnya jejak-jejak kolonial tersebut sekaligus juga mengasumsikan bahwa ketika para cendekiawan muda Indonesia menemukan rasa kebangsaannya, di dalam diri mereka telah menyusup nilainilai dan kesadaran baru yang sebelumnya adalah milik bangsa yang menjajahnya. Para cendekiawan yang memulai gerakannya sejak awal abad ke-19 adalah generasi yang karena pengaruh kolonialisme sudah terhibridisasi. Pemberontakan mereka terhadap kolonial sekaligus juga pemanfaatan mereka atas warisan kolonial. Seperti dilihat dengan jernih oleh Edward Said, fenomena ini terjadi di semua tempat jajahan. Dalam bukunya, Culture and Imperialism, Said mengatakan “Partly because of empire, all cultures are involved in one another; none is single and pure, all are hy-
4/16/2015 6:19:47 AM
178
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
brid, heterogenous, extraordinarily differentiated and unmonolithic” (Said, 1993: xxv). Dari kutipan ini, Edward Said menunjukkan bagaimana imperialisme bangsa-bangsa Eropa ke tanah jajahan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kebudayaan di tanah jajahan. Konsep-konsep budaya baru, gaya hidup, cara berpikir penjajah dicangkokkan ke dalam kebudayaan tanah jajahan. Pemikiran Edward Said ini menjadi salah satu simpulan yang sering ditemukan dalam kajian pascakolonial. Maka, dalam terang ini, praktik penggunaan bahasa Indonesia bisa ditelusuri taut kelindannya dengan kebudayaan bangsa kolonial yang telah datang ke Indonesia sejak abad ke-17. Senada dengan Said, tetapi dengan titik perhatian yang lebih spesifik, Denys Lombard memberi catatan bahwa “kehadiran penjajah telah memasukkan sejumlah besar barang, lembaga, konsep dan kata-kata baru, maka bahasa Melayu— yang sedikit demi sedikit mengambil nama “bahasa Indonesia”—dibebani sejumlah besar neologisme.” (Lombard, 2008:162) Ketika membahas masalah pembaratan bahasa Indonesia, Lombard menunjukkan ketercengangannya melihat berkembangbiaknya neologisme. Ia mengutip penghitungan yang dilakukan oleh SOAS London (1978) yang menemukan bahwa jumlah istilah yang ditemukan berasal dari bahasa Belanda atau bahasa Inggris ada sekitar 4800. Angka ini, menurut Lombard sendiri, sangat nisbi karena teramat sulit memperkirakan kelangsungan hidup neologisme yang baru dipinjam. Namun, angka tersebut dapat memberi gambaran mengenai besarnya gejala tersebut. Kita tidak tahu bagaimana nasib 4800 neologisme yang mengganggu Lombard itu sekarang. Pada 2003, JS Badudu menerbitkan Kamus KataKata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Kamus tersebut berisi 8.615 lema. Pada kurun yang sama, Kamus Besar Bahasa Indone-
04-paulus.indd 178
Vol II, 2014
sia edisi Ketiga (2005) berisi 78.000 lema. Secara kasar dapat dikatakan bahwa hampir 10% kosakata bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa asing. Meskipun angka ini masih sama nisbinya dengan data yang disajikan Lombard, gambaran tentang besarnya gejala impor bahasa asing masih terlihat sampai sekarang. Statusnya sebagai bahasa penghubung menjadikan bahasa Indonesia sangat terbuka terhadap kata pinjaman. Karena itu, penerimaan neologisme asing secara besar-besaran bukan hal yang mustahil. Kendati jumlah neologisme yang dipinjam dari Barat cukup banyak, tidak sedikit pula didapati istilah yang dipinjam dari bahasa daerah. Suatu kajian mengenai bahasa Indonesia tahun 1955-1975 menunjukkan bahwa separuh dari istilah baru yang diterima selama masa itu berasal dari bahasa Sunda dan terutama dari bahasa Jawa, sehingga jelas sekali peranan besar yang dimainkan oleh cadangan kosakata asli (Lombard, 2008:163) Terlemparnya bahasa Melayu ke dalam heterogenitas masyarakat di kepulauan Indonesia merupakan sesuatu yang istimewa untuk perkembangan bahasa itu sendiri. Bahasa Melayu yang sejak semula sudah heterogen—sebagai lingua franca sudah dengan sendirinya ia memunyai banyak dialek—dinaikkan derajatnya sebagai bahasa nasional, dipertemukan dengan ambisi politik kebangsaan dan hasrat kolonial yang tengah (dan terus?) berlangsung. Tidak pelak lagi, benih-benih bahasa Indonesia ini berkembang dengan heterogenitas yang menjadi-jadi. Walaupun demikian, seperti dinyatakan Henk Maier, …ketika varian penting bahasa melayu yang dikenal sebagai “bahasa melayu rendah” mengkristal sebagai medium yang dominan untuk komunikasi sehari-hari dan untuk tulisan sastra di Batavia akhir abad ke-19, maka perkembangan mendatang tak pelak lagi ditan-
4/16/2015 6:19:47 AM
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
dai oleh ciri-ciri “longgar” dan “heterogen” yang selama berabad-abad telah membuatnya dapat dipakai sebagai bahasa komunikasi di antara kelas-kelas sosial dan lintas budaya untuk seluruh kepulauan Indonesia. (Maier dalam Foulcher dan Day, 2008: 7)
Di kemudian hari, demi alasan politis, bahasa melayu rendah dengan sistematis mengalami netralisasi dan kanonisasi yang lalu menghasilkan satu macam bahasa Indonesia yaitu bahasa Indonesia yang Baik dan Benar. Tugas politis tersebut dilakukan di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nasionalitas Bahasa Indonesia sebagai Proyek Politik Dalam rangka 69 tahun kemerdekaan Indonesia, majalah TEMPO menghadirkan tokoh Muhammad Yamin. Yamin memang diketahui banyak menulis tentang bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan sejak 1920, sejak ia aktif di jong Sumatranen Bond. Dalam Lustrum pertama perkumpulan pemuda Sumatra itu, Yamin berpidato selama dua setengah jam tentang pentingnya bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, meskipun pidatonya waktu itu ia sampaikan dalam bahasa Belanda. Ide itu kembali didesakkan oleh Yamin pada Kongres Pemuda I dan mengundang diskusi yang tidak selesai. Artinya, tidak semua peserta Kongres Pemuda setuju bahwa bahasa persatuan itu perlu. Kubu yang tidak setuju menunjukkan beberapa konter argumen. Pertama, bahasa persatuan tidak mutlak perlu. Mereka memberi contoh Swiss yang rakyatnya menggunakan tiga bahasa yaitu Jerman, Perancis dan Italia. Kedua, Negaranegara seperti Amerika Serikat, Kanada 2
04-paulus.indd 179
paulus catur wibawa 179
dan Australia sama-sama menggunakan bahasa Inggris, tetapi kenyataannya ketiga negara itu terpisah dan tidak menjadi satu bangsa dengan Inggris. Yamin menjawab bahwa konter argumen itu tidak bisa berlaku di Indonesia. Yamin bersikeras bahwa bahasa Indonesia diperlukan ada karena merupakan salah satu wujud persatuan. Kita hanya melihat akhirnya: Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 meresmikan bahasa Indonesia sebagai satu–satunya bahasa persatuan. Sampai sekarang, kendati mengalami perubahan besar, bahasa Indonesia tidak hanya terlestarikan tetapi telah berkembang sedemikian rupa sehingga kini bukan hanya menjadi satu-satunya bahasa nasional, melainkan juga satu-satunya bahasa pengantar di institusi pendidikan dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, satu-satunya bahasa pers dan radio, dan satu-satunya bahasa penghubung yang diterima dari ujung yang satu ke ujung yang lain di seluruh kepulauan Indonesia, dan bahkan di Jawa, yang bahasa daerahnya masih sangat kuat hingga sekarang. Kata “satu-satunya” di sini selalu harus diberi tanda kutip mengingat bahwa pada satu dasawarsa terakhir ini (2003 – 2013) telah bermunculan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses pengajarannya2. Pada bidang pers, muncul pula siaran berita tentang Indonesia yang berbahasa Inggris; bertahan pula sejumlah majalah, terbitan dan siaran radio berbahasa Inggris. Betapapun kekecualian ini pantas untuk dikaji, bahasa Inggris tidak pernah dapat
Sebelum akhirnya Dasar Hukum dari SBI dan RSBI ini, yaitu UU Sisdiknas pasal 50 ayat 3, dinyatakan “dibatalkan” oleh Mahkamah Konstitusi pada Selasa, 8 Januari 2013, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 31 ayat 1 dan ayat 2 dari UUD 1945.
4/16/2015 6:19:47 AM
180
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
melampaui status bahasa “sekunder,” kendati bergengsi. Mencermati paparan faktual di atas, tampak sekali bahwa bahasa Indonesia tidak lebih dari sebuah proyek politik. Bahasa Indonesia dipakai sebagai alat pemersatu dan sekaligus sebagai alat perlawanan terhadap penjajah. Seperti dirangkum de ngan jitu oleh Shiraishi (2001:133), Sebagai simbol perlawanan anti Belanda dan di tengah kompleksitas etnik, bahasa Indonesia menjadi revolusioner. Pidato-pidato dalam kampanye dibuat dalam bahasa Indonesia. Koran dan pamflet ditulis dalam bahasa Indonesia. Para guru mengajar dengan bahasa Indonesia di sekolah nasionalis. Demikian pula pemogokan organisasi buruh digerakkan dengan bahasa tersebut. Bahkan, revolusi direncanakan dengan bahasa itu pula.
Untuk memantapkan nasionalitas bahasa Indonesia ini, pemerintah mendirikan lembaga yang sekarang disebut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Lembaga yang sejarahnya terentang sejak sebelum kemerdekaan ini (1930) telah berkali-kali berubah nama. Tapi semenjak mendapat mandat resmi dari Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pada 1947, tugas lembaga ini di antaranya adalah menangani masalah pemeliharaan dan pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Sudah barang tentu tugas itu akan berlanjut pada proses kanonisasi yang nantinya akan menghasilkan baik pedoman tertib berbahasa, juga sekaligus upaya mengusir dan memencilkan bahasabahasa yang dalam kanon itu nanti akan dipandang sebagai versi bahasa yang tidak baku. Imperialisme kultur Jawa dalam bahasa Indonesia Bahasa Jawa penting dikarenakan sejumlah alasan, tetapi alasan utamanya adalah
04-paulus.indd 180
Vol II, 2014
kombinasi antara kekuasaan politik, jumlah pengguna, dan kekuatan identitas kultural Jawa yang kesemuanya menjadikan bahasa Jawa kekuatan besar dalam pembangunan (bahasa) Indonesia baru. Ketika bersikeras mendesakkan perlunya bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan untuk Indonesia, Yamin bukannya tidak menyadari “kekuasaan” bahasa Jawa. Sejak dalam Kongres Pemuda itu, sudah muncul bahasa Jawa sebagai opsi untuk bahasa persatuan. Yamin sendiri, meskipun berasal dari Sumatera Barat, merupakan satu dari sedikit cendekiawan yang menguasai bahasa Jawa kuno. Selain itu, Yamin mempunyai ambisi untuk membawa Indonesia kembali ke zaman kejayaan Majapahit yang pernah mempersatukan daerah-daerah di seluruh Nusantara, ambisi yang juga dimiliki oleh Soekarno. Di tangan Soekarnolah, imperialisme kultur Jawa dalam bahasa Indonesia dimulai. Ben Anderson dengan cermat melihat bagaimana Jawanisasi bahasa Indonesia memiliki beberapa wajah. Wajah pertama adalah kramanisasi bahasa Indonesia. Karena munculnya berbagai variasi berupa dialek dalam bahasa Indonesia merupakan kenyataan yang tidak bisa dielakkan, bahasa Indonesia yang baik dan benar dihadir kan sebagai simbol kesantunan politis. Mereka yang berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dianggap lebih halus sehingga, dengan itu, mereka terbedakan dari rakyat yang masih ‘bodoh’. Sebagaimana dalam istilah krama sendiri terkandung unsur yang menghadir kan pemujaan terhadap susastra kuno, kramanisasi bahasa Indonesia pun memiliki cara kerja yang hampir mirip, yakni mengidentifikasi diri dengan kejayaan masa lalu, dengan cara memanggil kembali heroisme dari susastra kuno. Demikianlah, istilah “Pancasila” yang diambil dari kitab Negara kertagama dihadirkan kembali sebagai
4/16/2015 6:19:47 AM
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
dasar untuk kenyataan Indonesia modern. Begitu pula penamaan polisi brigrade mobil, Bhayangkari, diambil dari nama pengawal istana dalam kerajaan Jawa kuno. Modus semacam ini dapat dilihat juga pada istilah-istilah berikut ini: sapta marga, mandala, satya lancana dsb. Wajah kedua adalah muncul dan digunakannya bahasa ngoko baru. Jika bahasa Indonesia disebandingkan dengan bahasa Jawa Krama, maka, di sisi lain—di seberang kesantunan dan kehalusan bahasa Indonesia—muncul pula bahasa ngoko yang baru. Sukarno dan PKI yang sangat Jawa menjadi pelopor pembaruan bahasa politik Indonesia modern sekaligus pelopor lahirnya istilah-istilah ngoko baru sebagai lawan dari bahasa Indonesia “Krama” yaitu ganyang, bobrok, nggrogoti, gontok-gontokan, plinthat plinthut dan banyak istilah lain yang hampir semua dimuati peyorasi. Wajah ketiga adalah netralisasi simbol-simbol revolusioner. Ben Anderson menjelaskannya sebagai proses asimilasi terhadap simbol-simbol anti revolusi, yang dilakukan dengan mengubur kata-kata yang memiliki kekuatan simbolis seperti revolusi, demokrasi dsb, yang kemudian diganti dengan akronim yang kreatif tetapi sekaligus menggelikan seperti RESOPIM (Revolusi, Sosialisme, Pimpinan Nasional), USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia), DJAREK (Djalan Revolusi Kita). Akronim tersebut bisa saja terlihat biasa dan tampak akrab—terutama untuk orang Jawa yang mengenal istilah jarwo dhosok atau kerata basa—tetapi tetap saja istilahistilah ini bukan kata-kata atau bahasa, melainkan mantra, atau semacam ajimat. Wajah ketiga juga ditampilkan dengan cara lain, misalnya dengan memberi tafsir baru atau istilah baru untuk menjelaskan ide-ide besar seperti gotong royong, musyawarah,
04-paulus.indd 181
paulus catur wibawa 181
sama rasa sama rata, untuk menjelaskan demokrasi dan sosialisme. Pariyem : Bahasa Perlawanan Terhadap Kramanisasi Bahasa Indonesia Seperti sudah disinggung di awal, prosa liris karya Linus Suryadi menyajikan kompleks yang menghinggapi sebagian orang Jawa dalam kancah bertutur di Indonesia. Prosa liris ini berkisah tentang Pariyem—seorang perempuan lugu dari pinggiran kota Yogyakarta, yaitu Wonosari—yang ngenger di rumah Kanjeng Raden Tumenggung Cokro Sentono di nDalem Suryomentaraman sebagai babu. Pariyem menapaki nasib hidupnya dengan penghayatan nilai-nilai spiritual dan falsafah Jawa yang penuh dengan rasa lilo, narimo ing pandum dan krasan dengan jagad yang menaunginya. Seperti juga Linus Suryadi, Pariyem menganut aliran kepercayaan kejawen meskipun pada KTPnya tertulis bahwa ia beragama Katolik dan pernah dibaptis oleh Pastor berkebangsaan kolonial bernama Van de Moutten. Dalam kisah hidupnya sebagai babu, ia terlibat affair dengan putera majikannya, yaitu Den Bagus Ario Atmaja. Dari hasil affair itu, ia mengandung. Sikap pasrahnya menghadapi nasib tersebut dengan jelas mewakili keinginan penulisnya untuk menunjukkan bagaimana falsafah Jawa selalu punya kecenderungan untuk menyelaraskan diri dengan alam dan kehidupan. Sebagai karya sastra Indonesia, Peng akuan Pariyem dinilai menarik karena ber taburan kosakata Jawa. Karena ini, sempat ada kebingungan apakah Pengakuan Pariyem harus disebut sebagai sastra Jawa ataukah sastra Indonesia. Ada yang meyakini bahwa Pengakuan Pariyem pada dasarnya merupakan sastra Jawa yang meminjam bahasa Indonesia sebagai media (Mawardi, 2009). Ada pula sastrawan yang nekat berpendapat bahwa Pengakuan Pariyem
4/16/2015 6:19:47 AM
182
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
bagaimanapun harus diperhitungkan sebagai sastra Indonesia, bukan sastra Jawa. Bakdi Sumanto bahkan sampai repot-repot menghitung demikian (Sumanto, 1999:13):
Vol II, 2014
nya tidak mempunyai pilihan lain. Berangkat dari titik pandang ini, bahasa yang digunakan sebagai media ungkap Pengakuan Pariyem da patlah dilihat sebagai “counter culture”.
Jadi, bahasa Indonesia diakui, diterima dan digunakan seraya diingkari dan dieliminasi sebagian. Tidak seperti Ben Anderson yang melihat bahwa penulis-penulis Jawa yang terbaik tidak menulis dalam bahasa ibu mereka tetapi memilih menulis dalam bahasa Indonesia karena mereka melihat bahasa Indonesia sebagai “bahasa pembebasan” mereka. Umar Kayam (1932 – 2002)---seorang sosiolog dan penulis kenamaan Indonesia kelahiran Ngawi, Jawa Timur---membaca Pengakuan Pariyem seraKenyataan bahwa Pengakuan Pariyem ya mempertanyakan kebenaran pendapat harus menjadi sastra Indonesia karena ra- Ben Anderson. sio penggunaan bahasa Indonesianya yang Penulis ini justru memilih wahana yang ditimlebih banyak, menunjukkan betapa bahasa banya dari sumur-sumur budaya yang tradisIndonesia merupakan unsur penting unional. Gejala apakah ini? Manipulasi bahasa demi untuk pemuasan penciptaan suasana tuk ‘menjadi Indonesia’. Pada simpul inidalam ceritera? Pengakuan akan ketidakmamlah, Pengakuan Pariyem memunyai persopuan bahasa Indonesia menyampaikan artikualan karena alasan berikut ini (Sumanto, lasi yang agak khusus? Pengakuan akan mis1999:xii-xiii): kinnya khazanah kosakata bahasa Indonesia? Pengakuan Pariyem diperkirakan menggunakan 30.000 kata. 2000 di antaranya kosakata Jawa, atau kurang lebih sekitar 6,6 %. Kosakata Inggris, Belanda, dan Latin dalam Pengakuan Pariyem diperkirakan tidak lebih dari 0,3 %... Betapapun jumlah kosakata Jawa cukup ba nyak, namun dengan pertimbangan rasionya, tidak dapat lain harus dikatakan bahwa secara kuantitatif Pengakuan Pariyem adalah sastra Indonesia, atau setidak-tidaknya Pengakuan Pariyem pada dasarnya adalah karya sastra Indonesia.
Namun demikian, munculnya Pengakuan Pariyem yang sudah mulai dibacakan di berbagai tempat sebelum karya itu selesai hingga terbit menjadi buku adalah momen yang menjadikan prosa lirik itu penting. Sebab, pada saat itu, Pusat Bahasa Jakarta dan beberapa cabangnya di beberapa wilayah tengah gencar mensosialisasikan bahasa Indonesia baku, yang dikenal dengan sebutan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar, terutama melalui siaran televisi dan media lainnya. Pada saat itu, cara penyampaian dan komentar pengasuh acara yang disiarkan melalui TVRI pusat, Jakarta, menunjukkan gejala bahwa ahli bahasa yang ada di belakangnya belum menyadari bahwa yang disebut Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar dimaksud sebenarnya, hanyalah salah satu ragam bahasa. Dengan demikian, pandangan tentang bahasa Indoesia baku yang diumumkannya menjadi kebenaran tunggal yang bersifat hegemonik. Lebih-lebih pada waktu itu belum ada stasium teve swasta. TVRI adalah satu-satunya studio yang membuat penonton-
04-paulus.indd 182
Cermin keangkuhan kultural orang Jawa akan kekayaan khazanah kosakata dan kemampuannya bermetafora? (Kayam, 1981)
Mencermati dinamika perdebatan para ahli bahasa dan sastra Indonesia tentang Pengakuan Pariyem di atas, bisa ditarik alur refleksi yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia juga mengalami nasib yang dramatis, mungkin pula ironis. Di satu sisi, bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa Nasional. Namun, di sisi lain, dalam hidup dan pembicaraan sehari-hari, bahasa Indonesia tidak dipakai. Orang Jawa, misalnya, berbicara satu sama lain menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Indonesia—meminjam simpulan dari Sapardi Djoko Damono-sejak semula memang tidak dipersiapkan untuk menghayati hidup, tetapi terutama untuk menyampaikan informasi. (Damono, 2001:
4/16/2015 6:19:47 AM
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
204) Bisa berbahasa Indonesia yang baik memang membuat orang dianggap warga negara yang baik, tetapi bisa berbahasa Jawa yang baik membuat orang dianggap berbudi luhur, tahu tata krama dan unggahungguh. Dalam dirinya sendiri, bahasa Jawa bersifat hirarkis dan disarati anggitan tentang kekuasaan. Hirarki yang diciptakan dan dilanggengkan bahasa Jawa tampak secara lebih jelas dalam Pengakuan Pariyem. Bahasa Jawa secara gamblang menunjukkan hirarki kekuasaan dalam hubungan nDoro – Babu dan Laki-laki – Perempuan, yang di dalamnya yang satu mendominasi yang lain. Dominasi tersebut bahkan melahirkan sikap-sikap yang dipandang luhur. Pariyem selalu berbahasa Jawa krama inggil dengan para nDoronya. Superioritas para nDoro tersebut dibatinkan oleh Pariyem sebagai sikap hormat sedangkan inferioritasnya terbatinkan dalam sikap pasrah, lega lila. Saya sudah terima, kok saya lega lila Kalau memang sudah nasib saya sebagai babu, apa ta repotnya? Gusti Allah Maha Adil, kok saya nerima ing pandum (Suryadi, 1982:29)
Namun, secara serentak Pariyem juga mengelak dari dominasi tersebut ketika dalam pengakuannya, ia selalu berbahasa Jawa ngoko, juga ketika membayangkan dan menggambarkan perilaku para nDoronya. Bahkan ia secara jelas justru menunjukkan kekuasaan ketika menggagahi Den Bagus Ario Atmaja, anak majikannya. “Saya kenal betul hasrat lelaki yang timbul di balik gerak geriknya. Pendeknya dia kasmaran sama saya. Selagi saya membersihkan kamarnya, tiba tiba saya direnggut dari belakang. O Allah saya kaget setengah mati. Sekujur tubuh saya digerayangi. Pipi, bibir, pentil saya dingok pula.
04-paulus.indd 183
paulus catur wibawa 183
Paha saya diraba raba. Alangkah bergidik bulu kuduk saya. Tapi saya pasrah saja. Kok saya lega lila. Tanpa berkata barang sekecap, peristiwa itupun terjadilah” (Suryadi, 1982: 39)
Dilihat dari kutipan di atas, Pariyem menjadi sosok orang Jawa yang ingin mempertahankan kejawaannya sekaligus selalu berupaya agar tidak terlepas, tetap diakui, dan termasuk sebagai orang Indonesia. Selain beragama dan berbahasa Indonesia, kita juga bisa menemukan jejakjejak nasionalisme dan Ke-Indonesia-an Pariyem serta tokoh-tokoh lain dalam kisahnya. Pariyem mengagumi Kartini, Putri Indonesia yang harum namanya, pendekar bangsa yang sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia. Ia memuji—atau katakanlah sekedar menyebut dengan hormat—Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa, tokoh pergerakan nasional yang berjuang lewat pendidikan. Bahkan, kejawennya Pariyem (atau Linus Suryadi) banyak dipengaruhi oleh tokoh kebatinan bernama Ki Ageng Suryomentaram, tokoh yang berjuang di samping Ki Hajar Dewantara dalam Pergerakan Nasional lewat wejangan dan saresehan—bukan pendidikan formal. Selain itu, Pengakuan Pariyem menampilkan sebuah keluarga ideal menurut orang Indonesia, sekurang-kurangnya menurut Rezim Orde Baru di bawah Soeharto: Ayah, Ibu, dua orang anak—sesuai program KB—dan satu orang pembantu. Proses mengindonesia bagi Pariyem adalah proses yang tidak mudah. Ia selalu berada dalam ketegangan dan tarik ulur yang barangkali tiada berakhir. Identitasnya terus terbelah antara Jawa-Indonesia, Kebatinan-Katolik, yang akhirnya membuatnya mengalami gegar identitas dengan menempelkan atribut-atribut modern dan nasional yang tidak pernah secara penuh dihayatinya, dan sekaligus “mengganggu” kemurnian tradisional yang dibayangkan masih teguh dipegangnya.
4/16/2015 6:19:47 AM
184
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
Kesimpulan Sebagai penutup wacana, menurut hemat saya, kutipan dari potongan berita tentang aku rapopo yang ada pada awal tulisan ini perlu dilanjutkan, sebagai berikut. “Waktu saya buka Kaskus, banyak banget ‘aku rapopo’-nya. Ya sudah, saya gunakan saja itu buat jawaban,” kata Jokowi saat berbincang santai dalam makan siang seusai melakukan kegiatan blusukan, di kawasan Tebet, Jakarta Selatan
Perkembangan media sosial memang menampilkan sisi lain dari pers Indonesia yang cenderung formal. Berbeda dengan karakteristik berita di surat kabar pada umumnya, media sosial memiliki ciri yang lebih mirip dengan rubrik podjok, dalam surat kabar metropolitan. Gejala ini diamati dengan sangat jeli oleh Ben Anderson: The most interesting external manifestation of this is the metropolitan newspaper, which, for our purposes, can be divided into two quite clearly separable portions. First, the portion in Bahasa Indonesia, which covers all news items, all features and all editorials (about 95% of the Newsprint). Second, the portion in bahasa Djakarta, which covers only the podjok. Though rarely run more than half a column, they are normally the first thing in the paper that the Djakarta reader turns to. The essence of the podjok is biting, anonymous comment on the latest news or the general political or economic situation. Often they will indirectly refer to events which are “opensecrets”, though the censorship will not permit them to be mentioned elsewhere. The podjok frequently take the form of dialogues between two (supposed) proletarians or petty traders: Bang Dul, Pak Otong, etc., etc. The art of podjok-writing is one of allusion, innuendo, sarcasm, mock surprise, poker- faced apophthegms, and dot-dotdot, almost impossible to convey in another language.
Lebih lanjut, Anderson menjelaskan bahwa keduanya sama sekali bertentangan. Berita yang berbahasa Indonesia cenderung serius, menampilkan “jiwa besar” dan tidak
04-paulus.indd 184
Vol II, 2014
jarang menggurui. Isinya biasanya mengulas pidato presiden, sambutan menteri atau tajuk dari redaksi. Tidak dapat disangsikan bahwa berita ini sangat bermanfaat, tetapi juga aspiratif, ideologis dan kerap otoriter. Hampir semua berita utama yang berbahasa Indonesia menampilkan sisi hirarkis sosial politik yaitu informasi (atau meminjam istilah Orde Baru: penerangan) yang diberikan oleh pemimpin kepada rakyat atau orang banyak. Sebaliknya, porsi yang berbahasa Jakarta (podjok) cenderung menyindir, menggigit, demokratis, humoris, dan lebih dari itu, intim. Jejaring Sosial (juga termasuk Kaskus) menampilkan berita dan informasi dengan bahasa pergaulan sehari-hari. Kaskus sendiri berbeda dari media sosial lain karena Kaskus didirikan oleh tiga pemuda Indonesia, yaitu Andrew Darwis, Ronald Stephanus, dan Budi Dharmawan, yang sempat kuliah di Seattle, Amerika Serikat. Kaskus sendiri merupakan kependekan dari Kasak Kusuk (Yuliastuti, Dian, 19 Agustus 2008. “Kaskus Targetkan Pendapatan Iklan Rp 2-3 Miliar” dalam Tempo Interaktif). Mereka yang mengenal jejaring ini (baik sebagai pengguna: kaskuser) maupun sekadar pengamat, akan akrab dengan istilah agan/ aganwati (kependekan dari juragan/juraganwati: sapaan untuk sesama kaskuser), cendol (Good Reputation Point), Bata Merah (Bad Reputation Point), COD (Cash On Delivery), thrit (thread: halaman topik), pejwan (Page One). Terminologi Kaskus ini bisa disejajarkan dengan terminologi Podjok-nya Anderson, seperti contoh berikut ini: masuk kantong (filling one’s pockets), sepak ke atas (kick upstairs), njatut (to chisel), djatuh ke kasur (fall on a mattress - i.e., be removed from office but be given a fat sinecure as consolation prize), main kaju (playing it rough and dirty) and ngakunje (so he claims).The editorial may speak of demokratis (democratic) - the podjok echoes it as dia mau gratis (he wants it for nothing).
4/16/2015 6:19:47 AM
Aku Rapopo: Bahasa dan Imajinasi Identitas Kerakyatan
Tidak ditemukannya hirarki sosial politik dalam wacana di podjok, jejaring sosial maupun Kaskus menciptakan komunikasi yang sejajar antara berita dan pembaca (podjok), atau antara sesama pengguna jejaring sosial. Hal itu berarti komunikasi dari rakyat, untuk rakyat, dan antar rakyat, sebab, dalam komunikasi yang sejajar, jabatan tidak dibutuhkan. Kedua, ungkapan aku rapopo sendiri berarti “aku tidak apa-apa”. Meskipun tidak sangat mirip, ungkapan ini bisa disebandingkan sikap pasrah dan narima ing pandum versi Pariyem ketika ia mengalami ketidakadilan (yaitu ‘ditiduri’ anak majikannya sampai mengandung). Ungkapan Jawa ini aslinya lebih banyak dipakai untuk menguatkan diri daripada mengabarkan keadaannya kepada orang lain. Ironi, harapan, dan kepasrahan seperti terlebur dalam ungkapan aku rapopo. Ungkapan yang di jejaring sosial banyak muncul sebagai meme ini memiliki arti yang hampir mirip dengan meme populer lain yang (juga) beredar di jejaring sosial, seperti: there’s always a little truth behind every “just kidding”; a little knowledge behind every “I don’t know”; a little emotion behind every “I don’t care”; a little pain behind every “It’s Okay”3 Di balik ungkapan berbahasa Jawa ngoko, “aku rapopo”, terbayang suatu identitas kerakyatan sebagaimana bahasa itu sendiri dipergunakan. Akan tetapi, penggunaannya dalam surat kabar nasional, sambutan dan propaganda politis oleh pemimpin kepada rakyat, membuat penghadiran istilah aku rapopo selalu menyimpan anggitan tentang identitas belang-belang atau identitas tambal sulam seperti yang umumnya dialami oleh masyarakat yang punya sejarah panjang kolonialisme.
3
paulus catur wibawa 185
DAFTAR PUSTAKA Anderson, Ben. (1966). “The Languages of Indonesian Politics” dalam Indonesia, Volume I, hlm. 89-116. Damono, Sapardi Djoko. (2001) “Mencoba Menghayati Si Malin Kundang”, dalam Goenawan Mohammad. Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001. Jakarta: Metafor Foulcher, Keith dan Day, Tony (Tim Editor) (2008). Sastra Indonesia Modern: Kritik Poskolonial. Jakarta: Obor dan KILTV Khayam, Umar. (1981). “Multilingualisme dalam Kesusastraan Indonesia Kontemporer,” Makalah disampaikan dalam Ceramah dan Diskusi Peringatan Hari Sumpah Pemuda/Hari Pemuda ke-53, Universitas Sebelas Maret, Solo, 28 Oktober 1981. Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu Bagian I: Batas-Batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Mawardi, Bandung. (2009) “Sastra Jawa Tanpa Bahasa Jawa”, dalam “Jagad Jawa” Solopos, 5 Maret 2009. Shiraishi, Saya Sasaki. (2001). PahlawanPahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik. Jakarta: KPG. Sumanto, Bakdi. (1999). Angan-angan Budaya Jawa: Analisis Semiotik Pengakuan Pariyem. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia,. Suryadi, Linus. (1988), Pengakuan Pariyem; Dunia Batin Seorang Wanita Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, _____ (2014). “Rendang dalam Bahasa Persatuan” dalam Tempo, Vol. 4325 (72-73)
Lih. http://boardofwisdom.com/togo/Quotes/ShowQuote?msgid=243655#.VRP1ueEXW1k atau http://www.
lovequotes.photos/wp-content/uploads/2014/08/quotes-51.jpg
04-paulus.indd 185
4/16/2015 6:19:48 AM