PATOGENITAS CENDAWAN BEAWERL4 & 4 S S m A TERHADAP LARYA NYAMUK AEDES A E m T I DAN CULEX PIPZENS QUINQUEFASCL4TUS DI LABORATORIUM*
Amrul Munii* dan Mardianae* ABSTRACT The capability of Beauveria bassiana fiutgus to kill mosquito larvae war challenged with Aedes aegypti and Culex pipiens quinquefasciatus in a study conducted at the entomology laboratory of the Health Ecology Research Centre. Cx p. quinquefeasciatus was more sensitive compand to Ae. aegypti to the B. bassiana sbain from Sukamandi (West lava), which isprobably due to the mosquitoes behaviour and c o n i d i o s p larvacidal effect. Conidia dust application, with a dosage of 2.2 mglliter; to water su$ace, within 48 hours was able to kill almost all the Cx p. quinquefasciatus. However a dosage of 4 mglliter was required to kill all the Ae.aegypti And a dosage of 1.3 mg conidiosporelliter is able to kill 50% Cx p. quinquefasciatus. It seems that B. bassiana has greater capability to eradicate Cx p. quinquefasciatus compared to Ae. aegypti
PENDAHULUAN
Pengendalian serangan vektor secara biotik, yang d i k e d sebagai pengendali hayati atau "biological control", adalah suatu upaya dengan manfaatkan penggunaan agen biotik diantaranya musuh alam sepertiparasit patogen dan predator. Mekanisme ini merupakan suatu pengaturan keseimbangan alam terhadap populasi serangga vektor di alam. Konsep mengenai pengendalian biotik sudah dikenal sejak dahulu dan pada tahun 1762 di Afrika telah tercatat dengan ditemukannya predator burung sebagai pemakan belalang. Tahun 1889 merupakan tonggak sejarah keberhasilan pengendalian biotik yaitu ditemukannya predator Icemya purchasi, yang dibawa dari Australia ke californial. Sejak
tahun 1940sampai dewasa ini telah berkembang secara luas usaha pengendalian hayati seperti yang telah banyak dikerjakan di Canada dan California. Dari berbagai usaha pengendalian vektor secara biotik dengan memanfaatkan musuh dam dari parasit salah satu di antaranya adalah penggunaan cendawan patogen terhadap larva nyamuk. Agostine Basi adalah orang yang pertama kali mempelajari tentang penyakit cendawan yang menyerang ulat sutera pa& tahun 1835. Sejak itu maka lahirlah pemikiran pemakaian cendawan dalam pengendalian biotik, suatu usaha yang telah diriitis 50 tahun sebelumnya. Metschnikoff pada tahun 1879 dan Krassilschik tahun 1888 merupakan ahli-ahli yang pertama kali berhasil mengisolasi dan
Makalah ini telah disajikan dalarn pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia di Bogor, Tgl. 2-3 Des. 1991.
** Staf Peneliti, Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan Jakarta.
mengembangbiakkan cendawan dari spesies Methahizium anisophilae yang digunakan untuk menanggulangi populasi "Cockchafer" dari s p i e s Anisoplia austiae2. Cendawan jenis ini sebelum Perang Dunia II secara khusus telah digunakan selama 10 sampai 15 tahun dalam pengendalian serangga hama. Penggunaan cendawan maju pesat karena pada saat itu telah diketahui bahwa penanggulangan hama dari vektor dengan pestisida dapat menimbulkan dampak lingkungan yang negatif. Langkah ini merupakan salah satu alternatif mencari cara penanggulangan yang tidak menimbulkan dampak negatif. Beberapa genus cendawan telah clikenal dan dipelajari sejak tahun 1930 yang berperan sebagai agen untuk pengendalian biotik yang potensial terhadap larva nyamuk yang hidup di air tawar maupun payau. Cendawan tersebut di antaranya Beauveria, Culicinomyces, Lagenidium, Metharhizium, Coelomomyces dan Saprolegnales 3. Cendawan Beauveria termasuk kelompok cendawan yang tidak sempurna "fungi imperfect" dari kelas Deutereromycetesyang telah diproduksi secara besar-besaran untuk penanggulangan hama tanaman sayur di Cina dan Rusia2. Cendawan ini banyak ditemukan dari hail isolasi serangga yang telah mati, produksi konidia berjalan dengan baik dan mempunyai daya infeksi tinggi merupakan ciri khas dari Beauveria. Beauveria mempunyai miselium berwarna putih atau terang dengan kondiospora sendiri-sendiri. Percabangan miselium tertumpu pada satu tempat dan secara mikroskopis pada media terlihat butiran tepung Konidiospora dapat hidup pada suhu udara 2 5 ' ~sampai 30°c, dengan pH netral dan selalu ditemukan bersama-sama Penicillium urtucae pada tanah berair5. Penelitian efektivitas B. bassiana terhadap larva nyamuk
spesies Clr tarsalis, Clr p. quinquefarciatus, An. Ae. siemnsis dan An. maculahts, B. bassiana menunjukkan bahwa cendawan ini sangat efektif membunuh larva genus tertentu saja, dengan cara konidiospora yang ditebar pada permukaan air. Konidiospora akan menyerang lubang peris irakel dan bagian sifon dari larva nyamuk< Aplikasi pada berbagai genus serangga hama tanaman telah berhasil menginfeksi dengan baik disertai suatu pertumbuhan yang optimal (94%) pada kelembaban 40% sampai 50%~.Jumlah spora yang biasa digunakan dalam usaha aplikasi terhadap serangga hama tanaman adalah seban ak 1013 sampai 1017 untuk satu hektar lahan . Untuk melihat sejauh mana pengaruh galur B. bmsiana asal Sukamandi (Jawa Barat) terhadap larva nyamuk tertentu kiranya perlu dilakukan suatu pengamatan laboratorium terlebii dahulu. albimanus, Ae. ae&
7
BAHAN DAN CARA Beauveria bassiana yang digunakan berasal dari tubuh hang serangga Physomerus sp. (walang sangit) yang terinfeksi di persawahan Sukamandi. Cendawan diambil dengan alat scalpel yang steril kemudian ditanam pada media agar Sabouraud dekstrosa dan disimpan dalam alat pengeram dengan suhu 25'~. Kemudian dilakukan isolasi cendawan B. bassiana dalam 50 buah cawan petri untuk memperoleh konidiospora. Setelah 2 (dua) minggu, cendawan akan menghasilkan konidiospora. yang selanjutnya dipanen. Konidiospora yang terkumpul disimpan dalam alat pengering pada suhu 8 ' ~sebelum digunakan. Aplikasi konidiospora pada permukaan air dilakukan dengan berbagai dosis yang berbeda, masing-masing 0,s mg, 1 mg, 2 mg, 4 mg dan 8 mg persatu liter air. Dalam
setiap pengujian selain untuk memperoleh angka kematian separuh dari larva uji juga ditentukan persentase keberhasilan hidup larva menjadi nyamuk dewasa. Inang dari serangga percobaan ini digunakan lama instar 1 (satu) dari Ae&s aegypti dan Culex p. quinquefasciatus. Kedua spesies larva ini diperoleh dari hasil pembiakan d i laboratorium Entomologi, Puslit Ekologi Kesehatan. Di laboratorium larva dikontakkan dengan konidiospora yang ditebar pada permukaan air dalam gelas ukur. Setiap gelas ukur berisi 1OOO cc air ditambahkan 25 ekor larva pada setiap perlakuan dosis. Pemberian konidiospora diulang 4 kali untuk setiap konsentrasi konidiospora dan spesies larva nyamuk. Sebelum kontak dengan konidiospora, larva diberi makan pelet yang telah dihaluskan terlebii dulu. .
Perhitungan konidiospora pada setiap dosis dilakukan setelah diaduk dalam satu liter air kemudian diambid dengan pipet. Pipet yang berisi air dan konidiospora diteteskan pada permukaan kaca benda kemudian dilihat dengan mikroskop dan dihitung jumlah sporanya. Untuk memperoleh kepastian jumlah Tabel 1.
spora pada setiap dosis, terlebih dicari nilai multiplication factor yang dikalikan dengan jumlah spora yang terlihat pada kaca benda. Cara mencari nilai multiplication fator adalah sebagai berikut : Multiplication factor
10 18 x 13 -1 1
1
avkw
qol
1
7
7 18 x 18
Multiplication factor
Z
2% 1
)(
- m@b z
20 I416
Jadi hasil jumlah spesimen yang ditemukan di bawah mikroskop dikalikan dengan multiplication factor, misalnya ditemukan 10 konidiospora maka jumlah konidiospora dalam satu liter adalah 253l2,5 spora. HASIL Hasil pengujian konidiospora Beauveria basssiana terhadap larva nyamuk Cx. p. quinq~~ejiucidus disajiian dalam tabel 1.Data
~ersentasekematian larva Qc p. quinquefarciufus dengan berbagai dosis konidiospora B. bczssiana di laboratorium selama 48 jam.
Jumlah konidiospora dalam 1 mgA .= 595 x 1$
34
z
pada dosis paling rendah yaitu 0J @ter air diperoleh angka kematian s e w a kumulatif sebesar 35,7%. Setelah larva kontak dengan konidiospora B. bassima maka larva akan mati separuhnya pada dosis diantara 1,O mgfliter dengan 2 mgfliter air. Analisis secara regresi untuk mematikan separuh larva uji Czp.quinqucfasciutus pada dosis 1,2 mg konidiospordl liter air selanjutnya untuk mematikan seluruh larva uji di perlukan 5 2 @ter air. Secaraumum terlihat B.bassima Tabel 2.
.sangat efektif untuk mtlltkan pop&& Lm nyamuk Cr. p. ~ a s c i a t u hal s ini a m p dengan hasil penelitian Clark et al, 1%8 @
dosis 1,77 X 1d konidiospora/mg m.nrpu membunuh larva 88,3 % Clcp. pada metode spora terapuag. Hasil uji konidiospora B. barsiaaa terhadap larva nyamuk Ae&s aegypti tampaknya kurang efektif dengan cara penaburan di permukaan air yang tatem p d a tabel 2.
w-
Persentase kematian larva nyamuk Ae.e dcngan bubagrri Qfie konidiospora B. bassima di laboratorium selama 48 jam.
Jumlah konidiospora dalam 1 mg/lt = 1,95 x 1$ Dosis terendah B. bassiana terhadap larva Ae. aegepti ternyata tidak memberikan daya bunuh setelah kontak 48 jam. Dosis yang diperlukan untuk mematikan separuh larva uji dari hasil regresi diperoleh 1,3 mg/liter air. Selanjutnya untuk mematikan seluruh larva uji Ae. uegypti diperlukan dosis 4 mg konidiospord liter air. Hasil ini nampahya menunjukkanAe. aegypti lebii tahan dibandingkan larva nyamuk Cr. p. quinquefasciatus terhadap serbuk konidiospora pada keadaan dosis yang sama. Beauveria bassiana terhadap larva nyamuk Ae-aegypti kurang mempunyai pengaruh daya
bunuh, namun pa& dosis pplibe tinggi y d h ~ 4 mg dan 8 mg/liter air tcrlihat cukup toksia Dilihat dari perkembangan keberhadm hum menjadi nyamuk dewasa temyata prplUi dengau besarnya pemberian dasis.Pada do& teruubh persentase yang menjadi nyamuk, seppruh kkda pada Cz p. quinqucficiutus, scbaUnya pa& Ae.aegypti keseluruhannya menjadi dewasa (%be1 3). Dengan penggunaan dosis &yak 2 mglliter air, hanya 3,s % larva nyamuk Czp.quinquefarciianc yang berhasil menjadi bentuk dewasa, tetapi do& ini hanya b e r m menekan separuh dati populasi 1arv.aAMicgWb' untuk berkembang ke bentuk dewasa.
Tabel 3.
Perbeclaan keberhasilan larva nyamuk Clc p. quinquefosccioncs don Ae.aegypti secara kumulatif menjadi nyamuk dewasa setelah kontak dengan berbagai dosis konidiospora B. bossiona.
PEMBAHASAN
Sebelumnya dilakukan suatu pengamatan pendahuluan tentang konidiospora B.bassiana yang ditebarkan pada permukaan air untuk dapat membunuh larva s e w a efektif. Kepastian larva yang mati akibat pemberian konidiospora pada saat pengujian ternyata terlihat pada bagian lubang perispiracularyang terletak pada sifon mulai adanya cendawan yang tumbuh. Setelah aplikasi 24 jam konidiospora tumbuh dengan baik pada suhu air 2 5 0 ~ .Dua hari kemudian miselium tumbuh memenuhi ruang "germ tube" yang kemudian akan melakukan penetrasi ke lubangperispiracular. Penembusan miselium pada organ tubuh ini juga dapat mengakibatkan kematian larva. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Cole dan Kendrick, 1981. Dalam waktu tiga hari bagian apex dari sifon akan berwarna hitam. Warna hitam ini ternyata disebabkan adanya melanisasi oleh
hipa. Biasanya ukuran sifon yang terkena mencapai l/2 atau V3 bagian dari panjang sifon. Sesudah empat hari seluruh ruangan sifon akan terisi oleh miselium dan badan hipa yang merupakan tanda terserangnya hemosul. Larva akan mengalami kematian setelah pemaparan 2 hari sampai 4 hari. Larva yang berhasil tetap hidup clan berkembang ke bentuk dewasa pada umumnya terlihat setelah pemaparan 4 hari, dalam hal ini larva berubah menjadi pupa dan kemudian bentuk dewasa. Perbedaan s e w a kumulatif keberhasilan dua genus larva kemungkinan disebabkan adanya perilaku larva nyamukAcaegypl dengan Cr.p.quinquefasciams. Cr.p.quinquefosciatus lebih aktif bergerak sehingga peluang untuk memperoleh konidiospora lebih cepat dibandingkan denganAe.aegypfi Tidak tertutup kemungkinan lain disebabkan adanya perbedaan virulensi yang terkandung pada
setiap dosis, sehingga mengakibatkan ada yang sangat toksii8.
1.
Cara pemberian konidiospora cendawan B.bassiana akan mempengaruhi virulensi cendawan terhadap nyamuk.
2.
Larva nyamuk Cxp.quinquefasciatus lebii peka dibandiigkan dengan larva Aedes aegypti terhadap pemaparan dengan serbuk konidiospora pada permukaan air dengan dosis 2,2 mg/liter air.
DAFTAR RUJUKAN 1.
Legner, H. (1986) Impotation of uotik natural enemies. Gustaf Fsher Verlag Stuttgart. New Yo* : 217-231.
2.
Zimmennan (1986) Insect pathogenic fungi as pest control agent In. cd. J. Franz. Biological Plant and Health Protection. Gustaf Fsher Yerlaggstuttgast. New York. 309 hal.
3.
Brown, H. (1973) Mosquito Control Some Perspectives for developing Countries, National Academy of Sciences. Washington. 64 hal.
4.
Barnett, H.L (1960) Illustrated genera of imperfect Fungi. Second Edition. BurgessPublishing Company.
5.
Linng and Donaldson. (1981) Biotik and Abiotik factors affecting stability of Beauveria bassiana conidia in soil. Journal of Invertebrata Fathology. 38; 191-200.
6.
Clark, T. B., W. R Kellan, T. Fukuda and J.E Lindegren. (1968) Field and Laboratory Studies on the Pathogenicity of the Fungus Beaweria bassiana t o three genera of Mosquitoes Journal of Invertebrata Pathology 11; 1-7.
7.
Fenon, P. (1978). Biological control of insect pest by entomologenous fungi. Annv. Rev. Entomology. 23; 409-442.
8.
Cole, T.G. and B. Kendrick, (1981). Biology of Conidial Fungi. Academy Press. New York. Toronto. Sydney San Fransisco. Vol. 2, 201-207.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian d a n Pengembangan Kesehatan dan Kepala Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan atas segala saran dan petunjuk yang diberikan selama dilaksanakannya penelitian ini. Terima kasih disampaikan pula kepada Dr Baehaqi S.E. dan Ir Yulianto di Pusat Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi,Jawa Barat serta Dr. Moh. Sudomo yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini sarnpai dipublikasikannya tulisan ini.
BuL Penelit. Kesehat (3) 1991