KAJIAN PUSTAKA METODE VALUASI TEKNOLOGI/PATEN Oleh: Mhd Hendra Wibowo1
A. Pendahuluan Ekonomi berbasis pengetahuan adalah perekonomian yang secara langsung didasarkan atas produksi, distribusi serta penggunaan knowledge (pengetahuan), yang diharapkan mampu meningkatan produktivitas, nilai tambah, dan peningkatan keunggulan kompetitif. Kondisi daya saing bangsa Indonesia di tingkat global berdasarkan Global Competitiveness Index Ranking yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF) memperlihatkan penurunan, pada tahun 2015 berada pada peringkat 34 sedangkan pada tahun 2016 mengalami penurunan menjadi peringkat 37, akan tetapi indeks pilar inovasi Indonesia mengalami peningkatan dari peringkat 33 ditahun 2015 menjadi peringkat 30 ditahun 2016. Masih lemahnya kemampuan Indonesia dalam berinovasi juga diperlihatkan oleh data World Intelectual Property Organization (WIPO), dimana indeks inovasi global Indonesia cenderung menurun pada tahun 20132015, yaitu peringkat 85 (2013), peringkat 87 (2014) dan peringkat 97 (2015), namun pada tahun 2016 peringkat Indonseia kembali naik menjadi peringkat 88. Penghasil utama pengetahuan, khususnya teknologi dan inovasi adalah perguruan tinggi serta lembaga riset dan pengembangan (risbang), yang telah menghasilkan cukup banyak kekayaan intelektual (KI), khususnya Paten, namun pemanfaatannya dinilai masih berkontribusi sangat kecil dalam perekonomian negara. Beberapa faktor yang menjadi kendala dan tantangan yang masih dihadapi dalam implementasi paten di Indonesia antara lain terkait dengan kualitas dan kesiapan teknologi yang dihasilkan, unsur kepercayaan antara pebisnis dan inovator, permodalan (investasi) dan lain-lain. Untuk itu, perlu dilakukan suatu proses identifikasi nilai manfaat ekonomi dari teknologi/paten yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga risbang Pemerintah. Penilaian manfaat ekonomi dari suatu teknologi/paten dapat digunakan untuk keperluan alih teknologi, perselisihan atau pelanggaran KI, harga jual, pajak, akuntansi keuangan, manajemen internal, merger & akuisisi, dan agunan untuk pinjaman (jika kebijakan mendukung). Penilaian atau valuasi teknologi/paten sebagai aset tidak berwujud (intangible asset) tentu berbeda dengan aset berwujud yang lebih mudah dinilai menjadi suatu harga atau dalam bentuk nilai uang (rupiah). Sampai saat ini belum ada kebijakan di Indonesia yang mengatur secara detail tentang teknis penilaian teknologi/patenn, metode atau pendekatan yang digunakan, manfaat penilain paten, dan lain-lain. Metode valuasi teknologi/paten telah banyak dikembangkan oleh para ahli ekonomi, finansial, dan ahli lainnya di bidang terkait paten, teknologi, dan KI. Terdapat tiga pendekatan dasar yang banyak digunakan dalam melakukan valuasi teknologi/paten 1
Koordinator HKI dan Inovasi, Direktorat Riset dan Inovasi IPB.
1
dan menjadi dasar dalam pengembangan berbagai teknik valuasi teknologi/paten, yaitu valuasi berbasis biaya (cost based approach), valuasi berbasis pasar (market based approach), dan valuasi berbasis pendapatan (income based approach). Masing-masing metode tersebut mempunyai kelebihan muapun keunggulan dalam menilai suatu teknologi/paten. Pada kajian ini, dibahas lebih detail tentang valuasi teknologi/paten dengan pendekatan pendapatan (Income based Method), khususnya analisis Discounted Future Economic Benefits (DFEB) dan metode Relief-from-Royalty. B. Paten sebagai Aset Tidak Berwujud dan Kebijakannya di Indonesia Paten merupakan salah satu jenis Kekayaan Intelektual (KI) untuk perlindungan hukum di bidang teknologi (proses atau metode, formula atau komposisi, produk atau alat) yang digunakan untuk kepentingan bisnis. Pasal 1 UU No 13 tahun 2016 tentang Paten menyatakan “Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya”. Waktu perlindungan paten yang diatur dalam UU No 13 tahun 2016 adalah selama 20 tahun dan paten sederhana selama 10 tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Dilihat sebagai modal atau kekayaan, paten atau teknologi dikelompokkan sebagai suatu aset yang tidak berwujud (intangible asset) yang mempunyai nilai (value). Di dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 19 (revisi 2009), disebutkan bahwa paten merupakan salah satu aset tidak berwujud dalam bentuk dokumen legal. Lebih lanjut PSAK 19 menyatakan bahwa produk yang dihasilkan dari teknologi yang dipatenkan diharapkan menjadi sebuah sumber aliran masuk kas bersih bagi entitas (institus) paling tidak selama waktu perlindungannya. Nilai paten juga harus ditelaah selama masa perlindungannya untuk melihat adanya kemungkinan penurunan nilai aset. Pengelolaan aset tidak berwujud juga diatur dalam Peraturan Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengelolaan Aset Tak Berwujud Hasil Kegiatan Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional (SINas) di Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Menurut Permenristek No 2/2014, aset tidak berwujud adalah aset non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik dan bukan merupakan kas atau setara kas atau aset yang akan diterima dalam bentuk kas yang jumlahnya pasti atau dapat ditentukan. Berdasarkan ketentuan tersebut Menristek telah membentuk tim yang bertugas untuk melakukan identifikasi dan penilaian aset tak berwujud. Kriteria aset tidak berwujud hasil kegiatan Insentif Riset SINas menurut Permenrisetk tersebut meliputi: (1) hasil penelitian dan pengembangan yang sudah memperoleh Hak Kekayaan Intelektual; (2) mempunyai nilai ekonomis; dan (3) sepenuhnya dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kemenristek. Meskipun paten telah ditetapkan sebagai suatu aset tidak berwujud yang perlu diketahui nilai ekonomisnya, namun sampai saat ini belum ada kebijakan di Indonesia yang mengatur secara detail bagaimana teknis penilaian tersebut dilakukan, metode atau
2
pendekatan yang digunakan, manfaat penilain paten, dan lain-lain. Kemenristekdikti diharapkan dapat meneruskan pekerjaan tim identifikasi dan penilaian kekayaan intelektual, khususnya teknologi atau paten sehingga dihasilkan suatu kebijakan atau pedoman standardisasi valuasi teknologi/paten, yang tidak hanya berlaku di lingkungan Kemenristekdikti tetapi berlaku secara nasional. Sebagai pembanding dan rujukan, beberapa standardisasi terkait valuasi teknologi/paten yang telah disusun dan dikembangkan di beberapa Negara dapat digunakan, antara lain: DIN 77100, Patent valuation standard in Germany - General Principles for Monetary Patent Valuation ÖNORM A6801, patent valuation standard in Austria AICPA, statement on standard for valuation services, Jan 2008 American Institute of Certified Public Accountants C. Metode Valuasi Teknologi/Paten Nilai suatu barang atau jasa adalah manfaat bersih (net benefit) yang berasal dari barang atau jasa sebagai suatu asset. Dari sudut pandang finansial, nilai atau value merupakan keuntungan dimasa yang akan datang atau cash flow dari suatu aset (Orcutt, 2015). Dengan demikan, valuasi teknologi (technology valuation) dapat diartikan sebagai suatu proses identifikasi dan mengukur manfaat (benefit) serta risiko finansial dari teknologi saat ini dan akan datang yang umumnya dikonversi menjadi nilai uang. Metode valuasi teknologi telah banyak dikembangkan oleh para ahli ekonomi, finansial, dan ahli lainnya di bidang terkait paten, teknologi, dan kekayaan intelektual. Terdapat tiga pendekatan dasar yang banyak digunakan dalam melakukan valuasi teknologi/paten dan menjadi dasar dalam pengembangan berbagai teknik valuasi teknologi/paten, yaitu valuasi berbasis biaya (cost based approach), valuasi berbasis pasar (market based approach), dan valuasi berbasis pendapatan (income based approach). Cost based approach Perhitungan nilai teknologi/paten menggunakan pendekatan biaya dapat dilakukan dengan menghitung biaya historis (historical cost) yang telah dikeluarkan dalam membuat dan mengembangkan suatu KI, atau biaya untuk memproduksi ulang suatu KI (reproduction cost), atau biaya pengganti untuk mengembangkan suatu KI lainnya yang sejenis (replacement cost). Menurut Kaldos (2014), dalam penilaian berbasis biaya, biaya pengembangan aset KI dianggap setara dengan nilai aset tersebut. Biaya historis yang dikeluarkan oleh pemilik KI untuk mengembangkan aset IP sama dengan harga aset saat ini. Hal senada diungkapkan oleh Turner (2000), perhitungan dengan pendekatan biaya historis merupakan biaya aktual yang terjadi dalam membuat dan mengembangkan suatu KI, yang mudah digunakan untuk menghitung aset KI pada tahap penelitian dan pengembangan.
3
Market based approach Asumsi yang digunakan dalam pendekatan berbasis pasar adalah pasar menentukan harga yang akurat yang menunjukkan nilai dari suatu KI. Market based approach dilakukan dengan cara mengamati harga aset KI yang sama yang dibeli dan dijual antara pihak independen, atau membandingkan besaran royalti dari lisensi aset KI sejenis untuk memberikan nilai suatu aset KI (Kaldos, 2014). Market based approach dapat terjadi jika harga pasar aset KI sejenis dapat diperoleh secara langsung dari pasar aktif. Pada kebanyakan kasus, pasar aktif untuk aset tidak berwujud tidak cukup transparan dan data harga yang dibayarkan tidak tersedia (Menninger et al, 2011). Menurut Bader dan Rüether (2009), pasar dikatakan aktif jika memenuhi tiga kondisi berikut: 1) barang-barang dalam pasar homogen, 2) pembeli dan penjual bersedia untuk masuk ke dalam perjanjian yang umumnya dapat ditemukan setiap saat; dan 3) harga dapat diketahui oleh publik. Income based approach Income based approach didasarkan pada asumsi bahwa nilai suatu aset tidak berwujud dilihat dari keberhasilan masa depan aset tersebut dalam bentuk arus kas (Bader dan Rüether, 2009). Menurut Kaldos (2014), sebagai bagian dari penilaian, seorang ahli akan perlu untuk memperkirakan arus manfaat ekonomi dari KI yang dinilai, durasi masa manfaat KI, dan pemahaman tentang faktor-faktor risiko yang terkait dengan penggunaan aset KI. Nilai suatu aset KI ditentukan sebagai nilai saat ini (present value) dari potensi arus kas masa depan yang dasar perhitungannya adalah rencana bisnis (business plan) (Menninger et al, 2011). Penentuan nilai sekarang secara teknis dilakukan dengan menerapkan risiko disesuaikan tingkat diskonto (discount rate) dari suatu aset tidak berwujud selama masa manfaat ekonomi yang tersisa. Berdasarkan income based approach kemudian berkembang berbagai metode penilaian teknologi/paten berbasis arus kas dan tingkat diskonto, antara lain Discount Cash Flow (DCF), Discounted Future Economic Benefits (DFEB), Relief-from-Royalty Method, dan lain-lain. Pendekatan DCF dan DFEB berupaya untuk menentukan nilai KI dengan menghitung nilai sekarang dari arus kas masa depan suatu KI selama masa manfaatnya. Dua faktor utama yang harus diperhitungkan dalam perhitungan DCF dan DFEB adalah nilai waktu dari uang (time value of money) dan tingkat risiko arus kas yang diperkirakan. Relief-from-royalty method digunakan untuk menentukan besaran royalti yang umumnya dalam bentuk persentase yang harus dibayarkan pihak lain untuk melisensi suatu KI. Setiap metode yang telah dikembangkan di atas (cost/market/income based approach) mempunyai kelebihan muapun keunggulan dalam menilai suatu teknologi/paten. Cost based approach dapat dengan mudah, cepat dan akurat dilakukan namun tidak menggambarkan nilai riil suatu teknologi/paten. Market based approach termasuk pendekatan praktis yang tidak perlu menghitung secara khusus, nilai teknologi/paten dapat diketahui dengan hanya membandingkan harga dari transaksi terhadap teknologi/paten sejenis, kesulitannya adalah menemukan transaksi jual/beli
4
suatu teknologi/paten sejenis mengingat antar paten mempunyai keunikan tersendiri sehingga kredibilitas datanya terkadang masih diragukan. Income based approach dikembangkan untuk menilai manfaat ekonomi dari teknologi/paten di masa yang akan datang sesuai dengan umur manfaat paten tersebut. Income based approach dinilai lebih sesuai untuk menggambarkan nilai suatu teknologi/paten, hanya saja kelemahannya adalah perlu seseorang dengan keahlian khusus untuk mengerjakannya, lebih bersifat subyektif, dan mengandalkan asumsi-asumsi dan beberapa alternatif skenario. Secara singkat, perbedaan, kelebihan, dan kelemahan cost/market/income based approach dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Perbandingan metode dasar valuasi teknologi/paten Ketiga metode di atas (cost/market/income based approach) telah digunakan secara luas untuk berbagai keperluan dalam penilaian teknologi/paten. Penilaian teknologi/paten antara lain digunakan untuk keperluan alih teknologi, perselisihan atau pelanggaran KI, harga jual, pajak, akuntansi keuangan, manajemen internal, merger & akuisisi, dan agunan untuk pinjaman (Bader dan Rüether, 2009; Kaldos, 2009). Penggunaan nilai teknologi/paten untuk berbagai keperluan dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 4.
5
Tabel 1 Penggunaan metode valuasi teknologi/paten dan alasan penggunaannya Alasan menilai Manajemen internal Harga jual Lisensi Merger & akuisisi Jaminan untuk pinjaman Pelanggaran litigasi Akuntansi keuangan Perpajakan, pajak perusahaan
Cost based * (*)
Income based * * (*) * * *
* *
Market based * * (*) * (*)
*
Keterangan: * = used widely (*) = used to some extent Sumber: Watanabe, 2002 dalam Kaldos (2009)
Sumber: Bader dan Rüether, 2009
Gambar 4 Metode valuasi teknologi berdasarkan keperluan, hasil survei terhadap 500 pemohon paten teratas di Kantor Paten Eropa D. Teori Income Based Approach Seperti disampaikan pada bagian lingkup kegiatan (Bab Pendahuluan) valuasi teknologi/paten pada kajian ini akan menggunakan metode income based approach. Pada Bab III akan disampaikan hasil penilaian dari dua alternatif metode yang dikembangkan berdasarkan income based approach, yaitu DFEB analisis dan relief-from-royalty method.
6
Discounted Future Economic Benefits (DFEB) Modul 11 berjudul IP Valuation sebagai salah satu topik dalam IP Panorama yang dikeluarkan oleh WIPO menjelaskan bagaimana cara menentukan pendapatan ekonomi (http://www.wipo.int/export/sites/www/sme/en/documents/pdf/ip_panorama_11_le arning_points.pdf, diakses pada 22 Juni 2016), yaitu: a) Proyeksikan aliran pendapatan (atau penghematan biaya) yang dihasilkan oleh aset KI selama sisa masa manfaat dari aset KI tersebut. b) Imbangi pendapatan/penghematan dengan biaya yang berhubungan secara langsung dengan aset KI, antara lain biaya tenaga kerja, bahan, investasi modal yang dibutuhkan, dan setiap sewa atau biaya modal lainnya. c) Hitung risiko untuk mengurangi jumlah pendapatan dari nilai saat ini (present value) dengan menggunakan tingkat diskonto atau tingkat kapitalisasi. Beberapa perhitungan yang mungkin diperlukan pada metode pendapatan adalah perhitungan pendapatan kotor atau bersih (gross or net revenue), laba kotor (gross profit), pendapatan operasional bersih (net operating income), pendapatan sebelum pajak (pretax income), laba bersih (setelah pajak), arus kas operasi, arus kas bersih, pendapatan tambahan, dan penghematan biaya. Perhitungan-perhitungan tersebut merupakan bagian dari analisis finansial dalam menyusun studi kelayakan bisnis. Oleh karena itu, beberapa asumsi dalam menghitung atau melakukan analisis finansial harus dibuat, antara lain umur teknologi/paten dan tingkat diskonto. Menurut Orcutt (2015), jika menggunakan metode penilaian DFEB, maka penilai perlu berhati-hati untuk menerapkan tingkat diskonto yang sesuai untuk pengukuran pendapatan tertentu. Tingkat diskonto dibutuhkan untuk menjelaskan nilai waktu dari uang (time value of money) dan komponen risiko. Beberapa komponen yang menentukan tingkat diskonto adalah biaya oportunitas, faktor konversi inflasi, ketidakpastian atau risiko, dan penyesuaian likuiditas. Analisis DFEB berusaha untuk menghitung nilai sekarang dari manfaat masa depan yang berasal dari barang atau jasa tertentu. Nilai-nilai ini hanya ditambahkan bersama-sama. Rumus dasar perhitunga DFEB adalah sebagai berikut: 𝑃𝑉 = 𝐸𝐵0 +
𝐸𝐵1 𝐸𝐵2 𝐸𝐵3 𝐸𝐵𝑛 + + + ⋯+ 2 3 1 + 𝑟1 (1 + 𝑟2 ) (1 + 𝑟3 ) (1 + 𝑟𝑛 )𝑛
Dimana: PV = Present value EB = Manfaat ekonomi EB1,2,3,…n = Manfaat ekonomi pada tahun ke-1, ke-2, ke-3, dst sampai batas akhir umur perlindungan paten r1,2,3,…n. = Tingkat diskonto pada tahun ke-1, ke-2, ke-3, dst sampai batas akhir umur perlindungan paten
7
Relief-from-Royalty Method Salah satu mekanisme alih teknologi/paten yang banyak digunakan adalah lisensi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan (PP 20/2005) dimana KI milik Negara tidak diperkenankan dialihkan kepada pihak lain, artinya tidak dapat menggunakan mekanisme jual putus. Dalam mekanisme lisensi harus ditentukan besaran royalti yang akan ditawarkan kepada pihak yang akan melisensi teknologi. Metode relief-from-royalty dilakukan untuk menentukan besaran royalti yang akan ditawarkan kepada pihak yang akan melisensi suatu teknologi. Pembayaran royalti merupakan salah satu mekanisme bagi hasil (profit sharing). Metode yang paling umum digunakan untuk mengekspresikan royalti adalah persentase dari pendapatan (a percentage of revenue) (Heberden, 2011). Selain itu, besaran royalti juga dapat dihitung berdasarkan persentase dari keuntungan kotor, persentase dari keuntungan bersih, atau persentase dari unit penjualan. Penentuan besaran dan metode royalti umumnya bersifat negotiable antara pihak pemberi lisensi dengan pihak penerima lisensi. Penentuan besaran royalti menurut Hadjiloucas (2014) dapat dilakukan berdasarkan data pasar atau hasil survei tentang royalti/lisensi sebagai pembanding (benchmarks). Untuk menghitung nilai yang bisa diperoleh dari royalti diperlukan perhitungan nilai teknologi/paten dengan pendekatan pendapatan (income approach). Secara umum Reilly (2008) menjelaskan perhitungan tingkat pasar royalti menggunakan pendekatan pendapatan yang memproyeksikan nilai sekarang (present value / PV). Berdasarkan perhitungan dengan pendekatan pendapatan dapat diketahui prediksi arus kas pendapatan (revenue), keuntungan kotor, keuntungan bersih, dan nilai unit penjualan, yang selanjutnya dapat disimulasikan dan ditentukan beberapa alternatif besaran royalti dan dhitung PV-nya dengan tingkat diskonto tertentu sesuai umur teknologi atau perlindungan patennya. E. Penutup Sampai saat ini belum ada kebijakan di Indonesia yang mengatur secara detail tentang teknis penilaian teknologi/patenn, metode atau pendekatan yang digunakan, manfaat penilain paten, dan lain-lain. Kajian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan gambaran dalam melakukan valuasi teknologi atau paten yang telah banyak dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang. Valuasi teknologi atau paten (technology/patent valuation) merupakan suatu proses identifikasi dan mengukur manfaat (benefit) serta risiko finansial dari teknologi saat ini dan akan datang yang umumnya dikonversi menjadi nilai uang. Penilaian teknologi/paten dapat digunakan untuk keperluan alih teknologi, perselisihan atau pelanggaran KI, penentuan harga jual, perpajakan, akuntansi keuangan, manajemen internal, merger & akuisisi, dan agunan untuk pinjaman (jika kebijakan mendukung). Terdapat tiga pendekatan dasar yang banyak digunakan dalam melakukan valuasi teknologi/paten dan menjadi dasar dalam pengembangan berbagai teknik valuasi
8
teknologi/paten, yaitu valuasi berbasis biaya (cost based approach), valuasi berbasis pasar (market based approach), dan valuasi berbasis pendapatan (income based approach). Masing-masing metode tersebut mempunyai kelebihan muapun keunggulan dalam menilai suatu teknologi/paten.
DAFTAR PUSTAKA [WEF] World Economic Forum. Competitiveness Rankings. [Internet]. [Diacu 2016 Juni 22]. Tersedia dari http://reports.weforum.org/global-competitiveness-report2015-2016/competitiveness-rankings/. Bader MA, Rüether F. 2009. Still A Long Way to Value-Based Patent Valuation: The Patent Valuation Practices of Europe’s Top 500. Patent Valuation: 121-124. Beck JL dan JD Reed. 2007. Tannins : Anti Quality Effect on Forage Protein and Digestion. In K Launchbaugh Ed. Anti Quality Factor in Rangeland and Pastureland Forages. University of Idaho, p. 18-22. Dewan Standar Akuntansi Keuangan. 2010. Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan: Aset Tidak Berwujud (PSAK No. 19 revisi 2009). Ikatan Akuntan Indonesia. Dutta S, Lanvin B, Wunsch-Vincent S. 2014. The Global Innovation Index 2014: The Human Factor in Innovation. Cornell University, INSEAD, dan World Intellectual Property Organization. Dutta S, Lanvin B, Wunsch-Vincent S. 2015. The Global Innovation Index 2015: Effective Innovation Policies for Development. Cornell University, INSEAD, dan World Intellectual Property Organization. Dutta S, Lanvin B, Wunsch-Vincent S. 2016. The Global Innovation Index 2016: Winning with Global Innovation. Cornell University, INSEAD, dan World Intellectual Property Organization. Dutta S, Lanvin B. 2013. The Global Innovation Index 2013: The Local Dynamics of Innovation. Cornell University, INSEAD, dan World Intellectual Property Organization. Hadjiloucas T. 2014. Intangible Asset Valuation. [Internet]. [Diacu 2016 Juni 22]. Tersedia dari http://www.wipo.int/edocs/mdocs/sme/en/wipo_smes_lis_14/wipo_smes_lis_1 4_j_hadjiloucas.pdf. Hassen, A, Rethman NFG, Van Niekerk, & Tjelele TJ. 2007. Influence of season year and species on chemical composition and in vitro digestibility of five Indigofera accessions. J. Animal Feed Sci. Tech. 136:312-322. Heberden T. 2011. Intellectual Property Valuation and Royalty Determination. [Internet]. [Diacu 2016 Juni 22]. Tersedia dari http://brandfinance.com/images/upload/ip_valuation_royalty_rates.pdf.
9
Indonesian Commercial Newsletter. 2008. Perkembangan Industri Pakan Ternak di Indonesia. [Internet]. [Diacu 2016 Agustus 12]. Tersedia dari http://www.datacon.co.id/MakananTernak2008.html. Kaldos P. 2009. The Challenges of IP Valuation. [Internet]. [Diacu 2016 Juni 22]. Tersedia dari https://www.prh.fi/stc/attachments/info/kurssitjaseminaarit/Peter_Kaldos_IP_V aluation_18-5-2009.pdf. Kaldos P. 2014. IP valuation methods in practice. European IPR Helpdesk. European Union. Menninger J, Stuffer W, Casley A. 2011. OECD - WP 6 - Special Session on the Transfer Pricing Aspects of Intangibles. [Internet]. [Diacu 2016 Juni 22]. Tersedia dari http://www.oecd.org/tax/transfer-pricing/47421546.pdf. Orcutt J. 2015. Classic Income Method—Discounted Future Economic Benefits (DFEB) Analysis. [Presentasi]. WIPO National Advanced Training Program on Successful Technology Licensing. Jakarta, Indonesia. Peraturan Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengelolaan Aset Tak Berwujud Hasil Kegiatan Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional di Kementerian Riset dan Teknologi. Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan. Reilly RF. 2008. The Relief from Royalty Method of Intellectual Property Valuation. Insights. Autumn 2008: 20-42. Turner J. 2000. Valuation of Intellectual Property Assets; Valuation Techniques: Parameters, Methodologies, and Limitation. WIPO Asian Regional Forum on the Intellectual Property Strategy for the Promotion of Innovative and Inventive Activities. Taejon, Republic of Korea. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten. Van DTT, NT. Mui, & I. Ledin. 2005. Tropical Foliages: effect of presentation metgod and spesies on intake by goats. J. Animal Feed Sci. Tech. 118: 1-17. World Intellectual Property Organization. IP Panorama: IP Valuation (Module 11). [Internet]. [Diacu 2016 Juni 22]. Tersedia dari http://www.wipo.int/export/sites/www/sme/en/documents/pdf/ip_panorama_ 11_learning_points.pdf.
10