Pasang dan Kepemimpinan Ammatoa: Memahami Kembali Sistem Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Kajang Sulawesi Selatan1 Pawennari Hijjang (Universitas Hasanuddin)
Abstract This article analyses forest resources management in Tana Toa, South Sulawesi, headed by Ammatoa. Keammatoan membership is divided into Ilalang embaya or adat area and Ipantarang embaya or outside adat area. The adat allows possibility of empowering local institutions to manage forest resources in the context of regional autonomy. This paper discusses to what extent Ammatoa leadership and adat have been used for managing forest resources through reflective mutual understanding process which lead to the transformation to an open community. Key words: ‘pasang’; ‘ammatoa’; ‘kamase-masea’; traditional leadership.
Pendahuluan Daerah Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki fenomena sosial dan kebudayaan yang khas dan beraneka ragam. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini bahwa di daerah ini terdapat empat suku bangsa yang utama (Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar) dengan lima kelompok bahasa yakni, bahasa Bugis, bahasa 1
Tulisan ini adalah makalah yang disajikan dalam panel “ Reconfiguring the Environment in Decentralizing Indonesia: Towards Multi-layered Resource Management in a Multi-cultural Nation-state” pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke3: “ Rebuilding Indonesia, a Nation of ‘Unity in Diversity’: Towards a Multicultural Society”, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.
Hijjang, Pasang dan Kepemimpinan Ammatoa
Makassar, bahasa Toraja, bahasa Mandar dan bahasa Massenrempulu, serta dua puluh empat (24) sub kelompok bahasa daerah (Palengkahu dkk, 1971) yang masing-masing memiliki dialek tersendiri. Kebudayaan fisik dari daerah ini juga menunjukkan adanya keanekaragaman. Beberapa di antaranya sudah dikenal secara luas oleh masyarakat luar, antara lain seperti Arsitektur Vernakular Toraja, Arsitektur BugisMakassar dan Perahu Phinisi. Di antara keanekaragaman tersebut, terdapat sebuah fenomena sosial yang juga khas dan unik, yang sejauh ini belum dikenal oleh masyarakat luas sebagaimana masyarakat atau kebudayaan lainnya. Fenomena sosial
255
yang dimaksud adalah kehidupan sosial dan budaya masyarakat Ammatoa, yang dalam tulisan ini, selanjutnya diidentifikasi sebagai Masyarakat Ammatoa. Masyarakat ini hidup dan bermukim secara eksklusif di wilayah kecamatan Kajang, kabupaten Bulukumba, dan dikenal sebagai Kawasan Adat Ammatoa. Sejak berabad-abad yang lampau hingga sekarang ini, mereka tetap hidup dan bertahan dengan cara hidup yang tradisional dan bersahaja (Kajang: Kamase-masea). Sebagaimana mereka yakini, bahwa cara hidup seperti itulah yang pernah dilakukan dan dipesankan oleh leluhur mereka (Kajang: Boheta) untuk dilaksanakan oleh generasi penerusnya, sehingga mentradisi secara turun-temurun seperti yang dapat disaksikan di dalam Kawasan Adat Ammatoa pada saat ini. Masyarakat luar yang mengenal masyarakat Ammatoa cenderung menganggap mereka sebagai sebuah fenomena sosial yang misterius, konservatif dan mistis. Anggapan tersebut didasarkan pada kenyataan dalam hal perilaku yang eksklusif dan sikap menutup diri terhadap hal-hal yang berbau luar. Meskipun demikian, sesungguhnya masyarakat Ammatoa, bukan termasuk dalam kategori kelompok masyarakat suku terasing, sebagaimana yang didefinisikan oleh Departemen Sosial. Menurut definisi Depsos, kelompok masyarakat suku terasing adalah kelompok masyarakat yang lokalitasnya terpencil dan terisolasi, mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi dengan masyarakat lain, dan keterbatasan pelayanan pemerintah, sehingga mengalami keterbelakangan dalam kehidupan dan ketertinggalan dalam proses perkembangan kehidupan di bidang agama, ideologi, politik, ekonomi dan sosialbudaya (Sukman 1993). Sejarah menunjukkan bahwa sejak beberapa abad yang lalu masyarakat Ammatoa telah menjalin hubungan dengan masyarakat luar,
256
khususnya dengan masyarakat dan pemimpinpemimpin kerajaan dari beberapa kerajaan besar yang pernah ada di daerah Sulawesi Selatan seperti kerajaan Luwu, Gowa dan Bone. Komunikasi dan interaksi dengan masyarakat luar, dewasa ini kenyataannya semakin meluas dan mendalam, terutama karena telah diperkenalkannya berbagai program pembangunan oleh pemerintah, misalnya melalui penyuluhanpenyuluhan di bidang kesehatan, agama, pendidikan, tata permukiman dan kepariwisataan. Sikap hidup yang konsisten terhadap nilainilai masa lalu menimbulkan berbagai pertanyaan, yang salah satu di antaranya akan diungkapkan dalam tulisan ini yaitu bagaimana sistim kepemimpinan tradisional masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya hutan? Sesungguhnya beberapa penulis telah mencoba melakukan penelitian terhadap masyarakat Ammatoa: A.A.Cense (dalam Sukman 1993) dalam sebuah laporan berjudul “The Patoentoengs In Het Bergland Van Kajang.” Beberapa penulis daerah dan departemen terkait juga pernah melakukan penelitian di kawasan adat ini seperti Mattulada (1964), Sallatang (1987), Palengkahu dkk (1971), Usop (1978), Aminah (1989), Ahmad (1991), Salle (1999), dan Sakka (1994).
Pasang ri Kajang Pengertian dan fungsi Pasang Secara harfiah, Pasang berarti “pesan”. Akan tetapi, dalam pengertian masyarakat Ammatoa, Pasang mengandung makna yang lebih dari sekedar sebuah pesan. Ia lebih merupakan sebuah amanah yang sifatnya sakral. Terbukti bahwa Pasang merupakan sesuatu yang wajib hukumnya untuk dituruti, dipatuhi dan dilaksanakan, yang bila tidak dilaksanakan, akan berakibat munculnya halhal yang tidak diinginkan, seperti rusaknya keseimbangan sistem sosial dan ekologis,
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
(Kajang: Ba’bara ) antara lain berwujud penyakit tertentu (Kajang: Natabai Passau) pada yang bersangkutan maupun terhadap keseluruhan warga. Keberadaan Pasang yang bersifat wajib untuk dituruti, menjadikan nilainya sama dengan wahyu dan atau sunnah dalam agama-agama samawi. Setiap pelanggaran terhadap Pasang akan berakibat buruk kepada yang bersangkutan. Tidak hanya di dunia berupa pengucilan dan atau terkena penyakit tertentu, tetapi juga akan menerima “sanksi” di akhirat nanti berupa hilangnya kesempatan untuk berkumpul bersama leluhur dalam suasana yang damai dan sejahtera. Bahkan dalam hal-hal tertentu, roh yang bersangkutan tidak diterima oleh Tuhan dan harus menjelma menjadi makhluk/hewan tertentu yang perilakunya sama dengan perilaku yang bersangkutan ketika masih hidup di dunia (Usop 1978). Pasang sebagai informasi dari leluhur, yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi (oral tradition), memberi pengetahuan kepada masyarakat mengenai hakekat dari hidup dan kehidupan, baik di dunia maupun di hari kemudian. Oleh karena itu, Pasang mencakup hal-hal mengenai cara mereka hidup dalam bermasyarakat dan berkebudayaan. Pasang mengandung makna: amanah, fatwa, nasihat, tuntunan, p eringatan dan p engingat bagi masyarakat. Pasang ri Kajang merupakan keseluruhan pengetahuan mengenai aspekaspek kehidupan, baik yang bersifat kepentingan duniawi, maupun yang bersifat ukhrawi, termasuk juga di dalamnya mengenai mitos, legenda dan silsilah. Bagi masyarakat Ammatoa, Pasang adalah sistem pengetahuan yang tidak hanya mendapat pengakuan dari masyarakatnya, tetapi juga dari masyarakat luar. Dalam beberapa Pasang, terutama yang menyangkut sejarah, terlihat adanya persesuaian dengan informasi yang berkembang di luar kawasan seperti yang terdapat dalam Lontara’ di Gowa,
Hijjang, Pasang dan Kepemimpinan Ammatoa
dan Kitta’ di Luwu pada jaman kerajaan. Peristiwa sejarah yang terjadi di Kajang menjadi bagian dari perbendaharaan catatan sejarah di kerajaan-kerajaan tersebut di atas, sehingga lahir suatu ungkapan bahwa “Lontara’ ri Gawa, Kitta’ ri Luhu, na Pasang ri Kajang, arennaji nattuanna hata’bage, naiya pada tujuanna, se’re tujuang” (Lontarak di Gowa, Kitab di Luwu dan Pasang di Kajang, namanya saja yang berbeda tetapi sama dan satu tujuannya). Dalam pengertian ini, dan dalam batas-batas tertentu, Pasang merupakan suatu sistem pengetahuan yang meskipun sifatnya statis, juga mengandung hal-hal yang bersifat dinamis. Isi Pasang, yang bersifat statis terlihat dalam Pasang yang berbunyi: Pasangnga ri Kajang anre nakulle nitambai, anre nakulle ni kurangi (Pasang di Kajang tidak boleh ditambah atau dikurangi), sementara kesan dinamis dalam Pasang terlihat dalam Pasang yang berbunyi: Manna kodi Pasang tonji, punna baji’ la’bi-la’bi baji’na, mingka nukodia nipa’Pasangngi jako gaukangi (Meskipun buruk ia tetap Pasang, dan bila baik lebih-lebihkanlah kebaikannya, tetapi bila buruk, dipesankan jangan dikerjakan). Dalam hubungan ini, Ammatoa membenarkan bahwa bila seseorang perbuatannya “baik” (sesuai format adat istiadat Ammatoa) dari pendahulunya, maka perbuatan itu menjadi Pasang dan termasuk Pasang yang harus diteruskan. Pasang ri Kajang , dalam wujud yang bersifat ideal dari kebudayaan Ammatoa, antara lain terlihat dalam beberapa Pasang berikut ini: Kewajiban untuk percaya dan berserah diri, semata-mata hanya kepada Tuhan (Kajang: Tau Rie’ A’ra’na, disingkat TRA): TRA, ammantangngi ri pa’ngarakanna, Anre’ nisei rie’ne anre’na TRA nakiappala doang, Padato’ji pole nitarimana pangnrota iya toje’na, Gitte makianjo punna nigaukangi passuroanna, Nanililiang pappisangkana.
257
Artinya: Tuhan akan berbuat dan melakukan sesuatu atas kehendaknya. Tidak diketahui di mana adanya dan tidak adanya, kita hanya bisa berdoa, tapi TRA yang menentukan diterimanya, kita akan “bertemu” bila melaksanakan perintah-Nya (Ammatoa dalam Usop 1978:44). “Anne linoa pamari-marianji, Allo riboko pa’mantangang kara’kang” Artinya: hidup di dunia sifatnya sementara saja, hidup yang kekal ada di hari kemudian).
Oleh karena itu setiap orang berusaha untuk menyerahkan diri kepada kehendak TRA (A’manyu-manyuki mange ri TRA) guna mempersiapkan hidupnya yang akan kekal di hari kemudian. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa: Appa’ battu ri amma: rara, assi, gaha-gaha na ota’, Appa’ battu ri anrong: bulu-bulu, bukule, kanuku, buku, Lima battu ri TRA: mata, toli, ka’murung, baba’, nyaha. Artinya: ada empat dari Ibu: darah, daging, urat dan otak, empat dari Ayah: bulu, kulit, kuku dan tulang, dan dari TRA ada lima: mata, telinga, hidung, mulut dan nyawa.
Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia dituntut untuk senantiasa berbuat baik. Konsep “baik” itu mereka namakan “lima ampangngissengi ilalang batangkale” yaitu: Lima ampangissengi ilalang batangkale: Ri ngitetta baji’, ri mallangiretta baji’, Ri mangaratta baji’, ri pautta haji’, ripappisa’rinta haji’. Artinya: Lima indra dalam badan yang harus digunakan dengan baik: melihat yang baik, mendengar yang baik, mencium yang baik, berbicara yang baik dan merasa baik.
Untuk dapat melaksanakan yang baik itu, manusia diberi hati, karena asal yang manis dan pahit adalah hati dan kebaikan juga berasal dari hati. Dari beberapa Pasang yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa mereka mengenal konsep ketuhanan yang bersifat monoteistis, dan manusia akan “dekat” dengan
258
TRA bila yang bersangkutan berakhlak mulia yakni dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Salah satu dari perintah-Nya yang menjadi tujuan hidup manusia Kajang adalah menjadi manusia yang “Patuntung dan Manuntungi” (orang yang “shaleh” karena telah menguasai, menghayati dan mengamalkan Pasang dalam hidupnya). Setiap anggota masyarakat Ammatoa berlomba untuk mencapai derajat Manuntungi, yang tidak lain adalah kualitas tertentu dari hidup manusia yang tercermin dari sikap dan perilaku hidupnya yang jujur, tegas, sabar, dan pasrah untuk hidup secara kamase-masea. Dalam hal ini Pasang mengajarkan: Patuntung manuntungi, Manuntungi kalambusanna na kamase-maseanna. Lambusu’, Gattang, Sa’bara nappiso’na (sumber: Ammatoa Puto Nyonyok, Benteng 1978) Maksudnya: manusia yang telah menghayati dan melaksanakan apa yang dituntutnya di kawasan adat, yakni yang menuntut kejujurannya dan kebersahajaannya, jujur, tegas, sabar dan pasrah dalam hidupnya.
Beragama adalah identik dengan berbuat baik, yakni memelihara dan menggunakan “panca indera” pada hal-hal yang baik dalam bingkai empat sikap dasar (jujur, tegas, sabar dan pasrah). Syarat utama untuk mencapai kehidupan yang bahagia di hari kemudian adalah tidak melakukan sifat-sifat yang buruk terhadap sesama manusia. Menurut Ammatoa, di Tana kamase-masea hidup semata untuk menuntut kehidupan yang bahagia di hari kemudian. Hidup yang lebih dari sekedar cukup (Kajang: Kalumanynyang kalupepeang) atau kemakmuran duniawi, tersedia dan tesebar di luar kawasan adat. “Anre kalumanynyang kalupepeang, Rie’ Kamase-masea” (di tempat ini tidak ada kemakmuran, yang ada hanya kebersahajaan). Kehidupan jasmaniah dan rohaniah yang kamase-masea adalah bentuk kehidupan yang
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
ideal dan “cukup” (Kajang: Ganna’). Mereka ikhlas dan pasrah hidup secara demikian sebagai hidup yang telah ditakdirkan Tuhan. Mereka senantiasa bermohon agar hidup seperti ini akan dilakukan juga oleh keturunan mereka, sebab dalam Pasang disebutkan bahwa hanya dengan hidup seperti itu, di hari kemudian mereka akan berkumpul bersama leluhur dalam suasana yang penuh kebahagiaan. Wujud konkrit dari hidup kamase-masea, secara lahiriah disebutkan dalam Pasang yakni: Angnganre na rie’, care-care na rie, Pammalli juku na rie’, tan koko na galung rie, Balla situju-tuju. Artinya: hidup yang cukup itu adalah bila makanan ada, pakaian ada, pembeli lauk ada, sawah dan ladang ada dan rumah yang sederhana saja.
Dalam kehidupan sehari-hari, konsep kesederhanaan juga diwujudkan dalam pakaian adat dan pakaian sehari-hari yang berwarna hitam. Adalah kepercayaan masyarakat Ammatoa bahwa sesungguhnya dunia ini “berwarna-warni” sebagai pencerminan dari dinamika kehidupan masyarakat dalam berbudaya. Akan tetapi dalam wilayah Tana kamase-masea , kehidupan bertentangan dengan Pasang. Mereka hanya memilih satu warna yaitu hitam sebagai perlambang kesederhanaan dan kejujuran. Warna hitam, bagi masyarakat Bugis sebagaimana terdapat dalam Lontarak, Zainal Abidin (Guru Besar sejarah di Unhas dan salah seorang keturunan Raja Wajo) mengatakan bahwa warna hitam adalah simbolisasi dari tanah. Tanah dianggap sebagai komponen alam yang memiliki sifatsifat kesederhanaan dan kejujuran, api (warna merah) adalah simbolisasi dari sifat manusia yang temperamental, angin (warna kuning) adalah perlambang sikap manusia yang tidak mempunyai pendirian, dan air (warna biru) adalah simbolisasi dari sikap yang lihai dan penjilat.
Hijjang, Pasang dan Kepemimpinan Ammatoa
Untuk menjamin agar isi Pasang tetap utuh dan lestari, maka secara periodik (tiga dan tujuh tahun) diadakan “evaluasi” terhadap beberapa anggota masyarakat, dalam hal penguasaan dan pengamalan Pasang. Upacara pengukuhan/ wisuda, dalam bahasa Kajang disebut mange ri tausalama (yang dilakukan di dalam hutan adat) dinamakan juga sebagai upacara “nai haji” yang ditafsirkan oleh sebagian masyarakat Kajang sebagai pergi ke tanah suci (naik Haji). Upacara ini dipimpin langsung oleh Ammatoa selaku pemimpin adat dan utusan TRA di bumi. Mereka yang lolos dalam proses evaluasi akan mendapat gelar Puto’ untuk kaum pria dan Jaja’ untuk wanita. Dalam pelaksanaan upacara pengukuhan, Ammatoa akan melakukan “komunikasi” dengan TRA, memohon petunjukNya. Oleh karena itu, fungsi dan peran seorang Ammatoa sangat menentukan dalam masyarakat Ammatoa sebagai utusan-Nya dalam rangka pelestarian dan pelaksanaan Pasang di kawasan adat Ammatoa. Pasang dan kepemimpinan Ammatoa Kedudukan Ammatoa yang sangat penting dalam menjaga kelestarian dan pelaksanaan Pasang, dan sebagai jabatan yang lebih dari sekedar sebuah jabatan yang bersifat duniawi, dapat dipahami dengan melihat sejarah keberadaan Ammatoa dan proses pemilihan Ammatoa. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa Ammatoa yang pertama yaitu TauManurung (orang yang “turun” dari langit), diutus oleh TRA ke bumi pada suatu tempat tertentu di dalam hutan adat Tupalo. Oleh karena itu, hingga saat ini, hutan tersebut merupakan tempat yang paling sakral dan keramat di Kajang, karena merupakan tempat awal berpijaknya leluhur mereka yang pertama. Tempat ini juga dipandang sebagai awal penciptaan bumi, oleh karena itu diberi nama Tana Toa (tanah tua). Tau-Manurung inilah yang menjadi pemula silsilah Tu-Kentarang di
259
Kajang, termasuk Ammatoa sekarang yakni Puto Nyonyok (73 tahun) yang merupakan Ammatoa XX. Jabatan Ammatoa merupakan jabatan seumur hidup, dan bila seorang Ammatoa meninggal akan digantikan oleh salah seorang yang bergelar “Puto” (orang yang “shaleh”). Puto adalah anggota masyarakat yang dalam hidupnya tiada cacat-cela dan hanya mengabdikan hidupnya semata pada kebijakan dan kepentingan masyarakat. Sebelum meninggal, Ammatoa akan menunjuk seorang Puto’ yang dipandang paling memenuhi syarat untuk menggantikannya, dan mendapat gelar AmmaLolo (pejabat Ammatoa sementara). Sejak itu, yang bersangkutan akan menjalani beberapa tahap proses evaluasi, sebelum resmi dikukuhkan menjadi Ammatoa. Tahap ini memakan waktu 3 tahun. Selama itu Amma-Lolo tidak boleh ke luar dari kawasan adat, dan senantiasa harus mempermahir penguasaannya tentang Pasang, di bawah bimbingan Amma’ Galla’ atau Galla’ Puto’. Dalam kurun waktu ini dapat terlihat tanda-tanda alam berupa: Napparanakkang juku, Napaloloiko ruang Kaju, Nahambangiko Allo, Nabattuiko ere’ Bosi, Napalo’lorang ere tua’, Nakajariangko tinanang. artinya: tumbuh-tumbuhan dan ikan berkembang baik, air tuak tetap menetes, musim kemarau dan penghujan seimbang, dan semua tanaman pokok menjadi.
Bila tanda-tanda tersebut terjamin selama tahap pertama, maka hal itu menunjukkan bahwa calon adalah orang yang shaleh dan bersih (Kajang: Manuntungi) sehingga berhak mengikuti proses berikutnya berupa persiapan upacara dan kelengkapan upacara pengukuhan yang waktunya lima minggu. Pada tahap ini, Amma-Lolo mulai melakukan berbagai kegiatan ritual tertentu, demikian pula warga Ammatoa, semuanya ikut mempersiapkan berbagai hal
260
yang berkenaan dengan pelaksanaan upacara pengukuhan. Pada tahap ketiga yang berlangsung tiga hari, keseluruhan acara berlangsung di dalam hutan adat Tupalo. Sebuah panggung upacara (Kajang: Barung-barung ) menjadi pusat kegiatan yang diikuti oleh para pemuka adat dan para Puto’ (orang shaleh). Pada hari ketiga yang merupakan puncak acara, Amma-Lolo bersama empat puluh (40) orang berkumpul pada sebuah lapangan (diyakini sebagai tempat pertama kali leluhur mereka menginjakkan kaki di bumi), duduk dalam sikap berdoa tanpa bersuara sedikit pun guna menantikan turunnya “suara” dari TRA. Apabila “suara” yang dimaksud telah hadir, berarti Amma-Lolo telah mendapat restu-Nya. Beberapa saat kemudian, seekor ayam hitam dan kerbau hitam yang telah dipersiapkan sebelumnya akan segera mendekati Amma-Lolo sambil melakukan gerakangerakan khusus berupa “isyarat” kepada peserta upacara tentang keabsahan AmmaLolo untuk diresmikan menjadi Ammatoa. Pada saat yang sama, cahaya bulan purnama akan menyoroti wajah Ammatoa melalui celah-celah rimbunnya pepohonan, yang merupakan tanda persetujuan yang terakhir dari TRA. Saat ini sekaligus merupakan puncak acara pengukuhan Ammatoa yang segera dengan doa dan syukuran kepada TRA atas persetujuan dan restu-Nya. Oleh karena itu, keberadaan Ammatoa sangat dihormati oleh masyarakat, karena ia bukan sekedar sebuah jabatan yang bersifat keduniaan, melainkan sebuah jabatan yang harus melalui proses panjang, dan yang paling penting adalah seorang Ammatoa harus memperoleh “persetujuan” secara langsung dari TRA. Dalam kehidupan sehari-hari, keberadaan Ammatoa tidak hanya disegani dan dihormati oleh masyarakat Ammatoa saja, tetapi juga oleh masyarakat luar, terutama pada jaman kerajaan. Hal ini terlihat dari sering berkunjungnya para
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
pejabat tingkat daerah dan propinsi untuk memohon restu Ammatoa, baik pada saat memangku jabatan baru, maupun pada saat meninggalkan sebuah jabatan. Dalam salah satu Pasang juga dikatakan: Ammatoa iyamintu tau Kaminang riolo, bakka abbali tana Gowa, Bone na Luhu. Apa-apa mamo nakasimpuang tallu Boccoa, riemo surona mange ri Ammatoa. artinya: Ammatoa adalah orang yang didahulukan, besar berdampingan dengan tanah Gowa, Bone dan Luwu. Apa saja yang sedang dimurungkan ketiga kerajaan tersebut, akan datang utusannya ke Tana-Toa (wawancara mendalam, Galla’ Puto 24 April 1993).
Bahkan dalam Pasang yang lain dikatakan bahwa pengaruh Ammatoa sampai ke beberapa daerah di luar pulau Sulawesi seperti Sape dan Salaparang di Pulau Lombok, Tambelu dan Tambora di Pulau Sumbawa dan beberapa daerah lainnya di Ambon dan Ternate. Pasang dan Ammatoa adalah dua hal yang sangat penting dan menentukan dalam kehidupan masyarakat Ammatoa. Keberadaannya sesungguhnya dapat dianalogikan dengan kitab suci dan rasul para agama-agama samawi. Oleh karena itu, untuk memahami keberadaan masyarakat dan kebudayaan Ammatoa, perlu pemahaman memadai tentang konsepsi masyarakat mengenai keberadaan Pasang dan Ammatoa.
Kepercayaan Patuntung terhadap pelestarian hutan Kemampuan masyarakat Ammatoa mempertahankan kelestarian hutannya pada saat terjadinya degradasi kelestarian hutan di berbagai belahan dunia (termasuk Sulawesi Selatan), merupakan ciri khas dan keunikan tersendiri bagi mereka. Kondisi inilah yang sangat menarik untuk menelusuri lebih jauh tentang penyebab kelestarian hutan di kawasan adat Ammatoa hingga dewasa ini (lihat juga Hijjang, 1998; 1999; 2000).
Hijjang, Pasang dan Kepemimpinan Ammatoa
Secara teknis, yang dimaksud hutan adalah suatu areal yang cukup luas yang ditumbuhi pohon-pohonan. Hutan dalam kawasan adat Ammatoa berbeda dengan hutan pada tempat lain, karena hutan dalam kawasan tersebut adalah hasil penetapan secara adat dan bukan penetapan secara formal dari pemerintah. Hutan dalam kawasan adat Ammatoa seluas 110 ha (Sakka 1999), terdapat pada empat lokasi yang di dalamnya mengalir empat buah sungai, yaitu sungai Tuli, sungai Sangkal, sungai Limba dan sungai Doro. Keempat sungai ini merupakan batas alamiah antara wilayah Ilalang Embaya (kawasan adat) dengan wilayah Ipantarang Embaya (di luar kawasan adat). Dalam hutan adat Ammatoa terdapat beberapa jenis kayu antara lain: na’nasa (bitti), kalangngireng ola’ balatung (rambutan), inru’ (nyiur), raukang (rotan) dan sebagainya. Selain kayu, juga terdapat beberapa jenis satwa seperti rusa, kera, kuskus, babi dan berbagai jenis burung. Kayu balangngireng ola’, balatung, dan raukang digunakan untuk bahan baku rumah, sedangkan kayu na’nasa selain untuk bahan baku rumah, juga untuk bahan perahu (khususnya perahu phinisi) oleh nelayan di kawasan Bulukumba. Terpeliharanya kestabilan dan kelestarian hutan di kawasan adat Ammatoa hingga dewasa ini disebabkan karena kepatuhan dan ketaatan setiap warga masyarakat Ammatoa untuk melaksanakan ajaran dasar kepercayaan Patuntung yang dianutnya, khususnya berkenan dengan pemeliharaan dan pelestarian ekosistem hutan. Ajaran dasar kepercayaan tersebut berkenaan dengan pemeliharaan dan pelestarian ekosistem hutan antara lain sebagai berikut: Ajaran kepercayaan “Patuntung” tentang fungsi hutan Masyarakat Ammatoa sebagai penganut kepercayaan Patuntung, mempertahankan
261
kelestarian ekosistem hutannya, karena ekosistem hutan itu diyakini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari struktur kepercayaannya itu. Dengan demikian, kepercayaan Patuntung memegang peranan kunci dalam upaya memelihara dan melestarikan hutan di kawasan adat Ammatoa itu. Seperti diketahui bahwa kepercayaan sebagai bagian dari sistem budaya, merupakan pedoman terpenting yang mengarahkan sekaligus memberi makna kepada tindakan dan perilaku manusia sebagai penganutnya. Karena itu, dalam pendekatan model ekosistem di kawasan adat Ammatoa, kepercayaan Patuntung memegang kunci peraturan (regulatory key) antara populasi masyarakat Ammatoa dengan komponen lingkungannya (khususnya hutan) dalam suatu ekosistem. Ekosistem hutan sebagai bagian dari struktur kepercayaan masyarakat Ammatoa, diyakini sebagai tangga untuk turun naiknya arwah manusia dari langit ke bumi dan dari bumi ke langit. Konsep (keyakinan) ini dikaitkan dengan sejarah keberadaan manusia pertama (Tau Manurung) yang turun dari langit ke bumi melalui hutan dalam kawasan itu, demikian pula ketika dia mengalami ascendensi (naik kembali ke langit/melayang) melalui hutan. Hal lain yang dikaitkan dengan sakralitas hutan adalah bahwa di sanalah bumi pertama kali dibuat oleh TRA. Itulah sebabnya kawasan adat tersebut dinamakan Tana Toa artinya tanah yang tertua. Dalam pada itu, masyarakat Ammatoa memandang bahwa wilayah Ilalang Embaya (kawasan adat) adalah wilayah sacred (sakral)—menyerupai pandangan Islam mengenai sakralnya “tanah haram” di Mekah tempat terdapat Ka’bah sebagai rumah pertama yang dibuat manusia—dan wilayah Ipantarang Embaya sebagai wilayah profanen atau wilayah kotor. Karena itu, beberapa hal khusus dilakukan oleh masyarakat Ammatoa terhadap wilayah yang diyakini sakral itu. Salah satu di
262
antaranya adalah dilarang menebang pohon dalam hutan, berburu satwa, bahkan mencabut rumputnya. Kepercayaan terhadap sakralnya hutan yang ada di dalam kawasan adat itulah yang kemudian berpenetrasi ke dalam sistem sosial mereka. Keyakinan tersebut mengatur pola tindakan dan perlakuan masyarakat terhadap lingkungan hidupnya (khususnya hutan) sebagai suatu norma yang harus mereka taati. Sejauh mana ekosistem hutan di Tana Toa mengalami perubahan, adalah sangat tergantung pada sejauh mana proses perubahan yang terjadi pada kepercayaan masyarakat Ammatoa itu sendiri. Salah satu hal yang menarik dalam kasus ini adalah ketika orang-orang Ammatoa mengalami proses keterbukaan walaupun sangat terbatas. Konsep dasar mereka tentang lingkungan dan ekosistem hutan dikhawatirkan pula mengalami degradasi bersamaan dengan semakin gencarnya pengaruh dari “luar”. Mereka—entah mulai kapan—dapat melakukan reformulasi pandangan yang bukan lagi dikaitkan dengan kepercayaan dasarnya, melainkan mulai dirasionalisasikan sebagaimana fungsi ekosistem hutan yang dikenal dewasa ini. Namun, kekhawatiran tersebut hingga saat ini belum nampak secara nyata. Pada dasarnya kepercayaan Patuntung memandang ekosistem hutan memiliki fungsi yang sejalan dengan fungsi ekosistem hutan yang dikenal dewasa ini, di samping fungsi ritualnya. Hubungan ini diungkapkan dalam sebuah Pasang sebagai berikut: Punna nitabbangngi kayua, nipappirangngangngi angngurangi bosi, appatanre’ tumbusu, napau turiolowa. artinya: Kalau kayu (dalam hutan) ditebang, akan mengurangi hujan, menghilangkan sumber mata air, menurut pesan nenek moyang kita.
Dari Pasang ini diketahui bahwa kepercayaan Patuntung memandang fungsi
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
ekosistem hutan sejalan dengan pandangan moderen, yakni sebagai sumber hujan dan sumber mata air (tumbusu’). Dengan kata lain, hutan merupakan paru-paru dunia. Oleh karena itu, perlakuan warga masyarakat Ammatoa tehadap hutan tidak hanya bertujuan untuk memelihara fungsi ritualnya, melainkan juga bertujuan untuk memelihara fungsi ekologisnya. Dalam hubungan ini wakil Ammatoa (Galla Puto) menyatakan sebagai berikut: Anjo borongnga iya kontaki bosiya, nasaba konre mae anre’ pangairang, iyaminjo borongnga selaku pangairang, nasaba iya nakabattui bosi. artinya: Hutan itulah yang mengontak hujan, sebab di sini tidak ada pengairan (irigasi teknis), maka hutan itulah yang berfungsi sebagai pengairan, karena hutanlah yang menyebabkan turunnya hujan.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa dalam kepercayaan Patuntung terdapat pengetahuan tentang fungsi hidrologis hutan yang justru merupakan indigenous knowledge, yang sangat kondusif dalam pengelolaan lingkungan hidup khususnya hutan. Dalam rangka inilah, maka masyarakat Ammatoa mengaitkan antara pemeliharaan hutan dengan tumbusu’ (mata air), dan ini merupakan suatu kearifan ekologi tersendiri. Tanpa tumbusu’, mereka tidak menggarap lahan sawahnya. Mereka tidak menerima sistem pengairan teknis, karena di samping dianggap kasipalli (tabu), juga karena sulit diadakan di daerah itu, mengingat kondisi alamnya yang belum memungkinkan. Meskipun mereka memiliki pengetahuan tentang manfaat praktis dari hutan, yang dominan peranannya dalam upaya memelihara kelestarian hutan adalah kepercayaan yang kuat tentang sakralnya hutan itu sendiri. Keyakinan tersebut tampak mewarnai perilaku dan tindakan keseharian mereka, baik dalam hubungan dengan Tuhan, hubungan
Hijjang, Pasang dan Kepemimpinan Ammatoa
dengan sesama, maupun dalam hubungan dengan lingkungan (hutan). Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat diketahui bahwa fungsi hutan menurut kepercayaan Patuntung adalah sebagai berikut: a. Fungsi ritual, yaitu salah satu mata rantai dari sistem keparcayaan Patuntung, yang memandang hutan sebagai sesuatu yang sakral. Berbagai upacara dilakukan dalam hutan sebagai konsekuensi dari kepercayaan tersebut, misalnya pelantikan pemimpin adat (Amma-Toa), attunu passau (upacara kutukan bagi pelanggar adat), upacara pelepasan nazar dan upacara angnganro (bermohon kepada TRA untuk suatu hajat, baik individual maupun kolektif). b. Fungsi ekologis, yaitu kepercayaan Patuntung yang memandang hutan sebagai pengatur tata air (appari’e bosi, appari’e tumbusu), menyebabkan turunnya hujan dan timbulnya mata air. Jika dilihat dari fungsi ekologis ini dan cara masyarakat Ammatoa memperlakukannya, maka hutan di kawasan adat Ammatoa lebih berfungsi sebagai perlindungan dibanding fungsi praktis lainnya. Fungsi ritual hutan dalam kawasan adat Ammatoa hingga kini masih tetap berlaku, khususnya bagi generasi tua. Namun, bagi generasi baru (yang akan datang) mulai dihadapkan dengan konsep desakralisasi alam yang diajarkan oleh Islam. Dewasa ini sedang digalakkan pembinaan agama Islam kepada anak-anak mereka melalui pengajian dasar AlQur’an (pendidikan informal) dan sekolah. Jika pembinaan agama Islam ini berhasil, pandangan mereka tentang sakralnya hutan akan mengalami perubahan dan menyesuaikan dengan pandangan Islam. Akibatnya sifat karrasa (keramat/angker) hutan sedikit demi sedikit akan terkikis habis bersamaan dengan lahirnya generasi baru tersebut.
263
Pandangan kepercayaan Patuntung tentang pengelolaan sumberdaya alam (hutan) Secara umum dapat dikatakan bahwa sumberdaya adalah semua yang ditemukan oleh manusia dalam alam guna menunjang hidupnya. Bertolak dari pengertian ini, terdapat beberapa indikator yang mengisyaratkan pemahaman dan keterkaitan masyarakat Ammatoa dengan sumberdaya tertentu. Pemahaman dan keterkaitan tersebut mengacu pada fungsi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan secara langsung atau karena posisi pentingnya dalam ekosistem. Dalam hubungan ini, suatu ungkapan dalam Pasang yang biasa diucapkan dalam sumpah setia terhadap Ammatoa atau pemimpin lainnya, berbunyi: Punna napararakkang juku’, Napaloloiko raung kayu, Napabannangiko riallo, Napaturungiko ere bosi, Napalo’lorang ere tua’, Nakajariangko tinanang. Artinya: (kami akan senantiasa setia padamu), kalau (dalam masa pemerintahanmu) ikan akan tetap berkembangbiak, daun kayu tetap bersemi, matahari bersinar, air hujan turun (cukup), air tuak/aren tetap menetes dan tanaman tumbuh subur.
Pasang tersebut di atas, menggambarkan bahwa pemahaman masyarakat Ammatoa terhadap sumberdaya alam atau lingkungan fisik meliputi bahan-bahan atau unsur-unsur lingkungan yang secara langsung dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti juku’ (ikan), tinanang (tanaman), mata allo (matahari), ere bosi (air hujan), raung kayu (daun kayu) atau borong (hutan). Unsurunsur tersebut memiliki fungsi yang penting dalam jaringan dan sistem ekologi. Keterkaitan masyarakat Ammatoa dengan sumberdaya alam tersebut merupakan konsekuensi logis dari penghidupan mereka yang bertumpu pada pertanian. Di samping itu, juga merupakan refleksi dari indigenous knowl-
264
edge mereka tentang citra lingkungan dan sistem ekologi secara umum. Pengaitan antara matahari, hutan dan air menunjukkan kearifan lingkungan tersendiri. Menurut ilmu lingkungan, unsur-unsur lingkungan tersebut memang mempunyai hubungan fungsional antara satu dengan yang lainnya. Hal yang amat mendasar dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan Ammatoa adalah pelibatan manusia secara total—sebagai bagian dari unsur-unsur lingkungan fisik dan hayati— dalam ekosistem kamase-masea. Oleh karena itu, hubungan fungsional antara komponen lingkungan fisik, hayati, sosial budaya dan manusia sendiri terjalin sedemikian rupa, sehingga keseimbangan ekologi benar-benar dapat terwujud. Cara pandang masyarakat Ammatoa, yang melihat manusia berada dalam satu sistem atau ekosistem dengan alam—yang secara simbolis diwujudkan melalui juku’ (ikan), tinanang (tanaman), mata allo (matahari), ere bosi (air hujan), raung kayu (daun kayu) atau borong (hutan) dalam Pasang— merupakan cara pandang yang sangat kondusif, bahkan menentukan kelestarian hutan dalam kawasan adat Ammatoa. Kerusakan ekosistem hutan pada masyarakat moderen dewasa ini disebabkan oleh pandangan bahwa alam merupakan obyek belaka dan berada di luar sistem atau tidak berada dalam satu sistem atau ekosistem dengan manusia. Pandangan pertama melahirkan pola hubungan persuasif dan harmonis dengan lingkungan alam, sedangkan pandangan ke dua melahirkan pola hubungan eksploitatif. Dalam rangka memelihara keseimbangan ekologi dan kelestarian hutan, secara konsekuen masyarakat Ammatoa melakukan upaya penghematan energi dan sumberdaya dengan secara sukarela menempuh pola hidup kamase-masea (sederhana/prihatin) dan sufficient. Upaya penghematan ini mutlak mereka
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
lakukan karena telah ditentukan dalam Pasang, seperti disebutkan: “katutui ririe’na rigentengng tabattuna palaraya” (periharalah selagi masih ada, sebelum datang masa krisis/paceklik). Sumberdaya alam, terutama hutan—bagi masyarakat Ammatoa—bukan saja sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan, tetapi juga merupakan satu-satunya barang pusaka yang diwariskan oleh tutuwa mariolo (nenek moyang) kepada keturunannya. Dalam ungkapan Ammatoa dinyatakan: ”iyaminjo boromngnga kinne pusakanayya” (hutan itulah warisan kita di sini). Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam khususnya hutan, masyarakat Ammatoa menerapkanzonasi lahan melalui pembagian wilayah yang dikonsepsikan sebagai rabbang seppang (batas sempit) dan rabbang laura (batas luas). Rabbang seppang diplot sebagai wilayah tertentu, yaitu kawasan adat yang di dalamnya terdapat hutan pusaka (adat) dengan segala isinya yang tidak dapat diganggu guna menjaga kelestariaannya, baik sebagai keharusan dalam Pasang, maupun untuk kepentingan pelestarian sistem hidrologis. Oleh karena itu, rabbang seppang dikategorikan sebagai kawasan lindung. Sementara itu, rabbang laura mencakup wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan/kebutuhan, baik untuk perkampungan, pertanian, maupun sebagai padang pengembalaan. Wilayah ini meliputi semua areal di luar rabbang seppang. Jika dilihat dari segi sistem pengelolaan sumberdaya alam, zonasi lahan tersebut mengisyaratkan kearifan ekologis yang ternyata relevan dengan sistem zonasi lahan yang ideal dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya hutan pada era moderen dewasa ini. Adanya konsep teritorial yang mengacu pada pembatasan yang tegas antara butta kamase-masea (negeri prihatin) dengan butta
Hijjang, Pasang dan Kepemimpinan Ammatoa
kuasaya (negeri/wilayah kuasa) itulah yang memungkinkan warga masyarakat Ammatoa dapat melindungi stabilitas ekosistem hutannya dan dengan mudah dapat mengontrol berbagai gangguan yang terjadi, baik dari dalam maupun dari luar. Kuatnya sistem nilai budaya yang mendukung masyarakat Ammatoa sehingga mampu mempertahankan diri dalam konfigurasi hidup kamase-masea di dalam ada’ butta kamase-masea (wilayah yang relatif tertutup), sementara di luarnya terdapat masyarakat yang tengah berkembang dengan segala dinamikanya, membuat masyarakat Ammatoa menyerupai masyarakat yang oleh Redfield (1973) diidentifikasi sabgai a community within communities. Ciri-ciri masyarakat ini adalah: • mampu hidup dalam pola hidup nenek moyang; • warga masyarakatnya kecil; • masyarakatnya homogen sehingga unit personil dapat menjadi representasi dari keseluruhan warganya, dan; • hidup secara self sufficient. Kerangka hidup secara self sufficient pada wilayah yang “semi tertutup” dan relatif terbatas mengharuskan warga masyarakat Ammatoa melakukan adaptasi yang terjalin antara keharusan hidup kamase-masea (sub sistem), keharusan mempertahankan lingkungan dan ekosistem hutan serta sistem pengelolaan sumberdaya lahan untuk pertanian. Pola hidup, tuntutan akan lahan pertanian dan keseimbangan lingkungan, merupakan masalah klasik yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan di negara-negara berkembang, yang tertumpu pada kehidupan masyarakat agraris. Kasus-kasus saperti perladangan berpindah (shifting cultivation) dan perambah hutan, sering tidak dapat dihindari.
265
Namun bagi masyarakat Ammatoa, kasuskasus semacam itu tidak terjadi, selain karena dianggap kasipalli atau tidak dibenarkan oleh Pasang, juga karena pola-pola adaptasi sudah tertanam dalam tradisi pola perladangan menetap. Misalnya, untuk beradaptasi dengan keterbatasan lahan, mereka menerapkan sistem garap bergilir. Dalam hal ini, Galla Puto mengillustrasikan sebagai berikut: Anjo kokoa gilirang, punna lima anakna iyamma nasilibbo’ja kokonna limai gilirang, tasitaungna, taruangtaungna iyareka talimantaungna. Punna anre nakkoko attesangi arengna. artinya: Ladang itu digarap bergiliran, misalnya kalau Amma memiliki lima orang anak sedang kebunnya hanya satu petak, maka mereka menggarap secara bergilir, dalam waktu tahunan, dua tahunan atau lima tahunan. Yang tidak kena giliran (pada musim itu) ia melakukan tesang (menggarap kebun orang dengan bagi hasil).
Berdasarkan konsep teritorial masyarakat Ammatoa, pertanggungjawaban pelestarian lingkungan (hutan) dikoordinir secara efektif oleh otoritas Ammatoa dan didukung sepenuhnya oleh warga masyarakat. Hal ini menghilangkan kemungkinan terganggunya ekosistem hutan sebagai akibat dualisme dalam manajemen. Seperti diketahui, masalah manajemen lingkungan di Indonesia dengan pendekatan holistik sulit terwujudkan akibat institusi sangat bersifat sectoral strategy, sehingga setiap sektor cenderung memaksimalkan pencapaian target programnya masingmasing dalam setiap satuan waktu, misalnya Depatemen Pertanian, Perindustrian dan Kehutanan.
Asas pengelolaan lingkungan hidup yang dianut di Indonesia adalah “pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk meningkatkan kesejahteraan manusia melalui proses pembangunan yang berkesinambungan”. Berdasarkan asas ini sumberdaya hutan perlu dilestarikan, bukan untuk kelestarian itu sendiri, melainkan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dan diabadikan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Dengan demikian, jika dilihat dari asas tersebut, sistem pengelolaan atau pelestarian hutan pada masyarakat Ammatoa kurang tepat, karena mereka melestarikan hutannya semata-mata untuk kepentingan ritualnya saja, dan menganggap kasipalli (terlarang) menurut Pasang untuk dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan hidup warganya. Adanya keyakinan yang kuat bagi masyarakat Ammatoa untuk membiarkan hutannya tetap perawan dengan segala isinya pada saat warganya hidup dalam keprihatinan (kamase-masea) merupakan sesuatu yang amat mahal pada masa pembangunan dewasa ini. Kenyataan ini terjadi disebabkan karena dalam pengelolaan atau pelestarian hutan, mereka lebih menitikberatkan fungsi ritualnya (untuk memenuhi kebutuhan spiritual) dan fungsi perlindungannya (untuk mengatur tata air), tanpa memanfaatkan sumberdaya hutan tersebut secara bijaksana untuk peningkatan kesejahteraam hidup mereka.
Referensi Abady, Y, A.S. Kawu, dan A. Anas 1988 Laporan Hasil Penelitian tentang Agama dan Struktur Kehidupan Sosial Masyarakat Towani Tolotang dan Ammatoa di Sulawesi Selatan. Makassar: Badan Litbang Agama Departemen Agama.
266
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
Ahmad, A.K. 1991 Komunitas Ammatoa di Kajang Bulukumba: Suatu Studi tentang Peran Kepercayaan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup. Makassar: FPS Universitas Hasanuddin. Aminah, S. 1989 Nilai-nilai Luhur Budaya Spiritual Ammatoa Kajang. Makassar: Kanwil Depdikbud Propinsi Sulawesi Selatan. Hijjang, P. 1998 Pengembangan Model Pemukiman Kembali Masyarakat Perambah Hutan di Desa Ilanbatu Sulawesi Selatan. Proyek Penelitian Hibah Bersaing VI/1. Dirbinlitabmas Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional. 1999 Pengembangan Model Pemukiman Kembali Masyarakat Perambah Hutan di Desa Ilanbatu Sulawesi Selatan. Proyek Penelitian Hibah Bersaing VI/2. Dirbinlitabmas Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional. 2000 Pengembangan Model Pemukiman Kembali Masyarakat Perambah Hutan di Desa Ilanbatu Sulawesi Selatan. Proyek Penelitian Hibah Bersaing VI/3. Dirbinlitabmas Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional. Mattulada 1964 Ammato: Salah Satu Manifestasi Kebudayaan di Indonesia. Ujungpandang: FSUniversitas Hasanuddin. Padulungi, B. 1982 Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Palengkahu dkk. 1971 Dialek Konjo di Sulawesi Selatan. Ujungpandang: Lembaga Bahasa Nasional. Redfield, R. 1973 Little Community Peasent Society and Culture. Chicago: The University of Chicago Press. Sakka, A. 1994 Laporan Hasil Penelitian tentang Peranan Kepercayaan Patuntung Terhadap Pelestarian Hutan di Kajang Bulukumba Sulawesi Selatan. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Sallatang, A. 1987 Perubahan Perilaku dan Cara Berpikir. Ujungpandang: LEPHAS Universitas Hasanuddin. Salle, K. 1999
“Keammatoaan Conception of Women”, Buletin Penelitian Edisi Desember Tema Sosial Budaya 15(39).
Hijjang, Pasang dan Kepemimpinan Ammatoa
267
Sukman 1993
Arsitektur Vernakular Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan: Karakteristik dan Beberapa Aspek Simbolik dalam Perwujudan Rumah Tinggal. Tesis Program Pascasarjana. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Usop, KMA, M. 1978 Pasang ri Kajang, Kajian Sistem Nilai di Benteng Hitam Ammatoa. Ujungpandang: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial.
268
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005