(4)
menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunat lainnya. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu atau mengurangi kenyamanan pelaksanaan shalat
Tarawih berjamaah di lingkungannya. paham atau aliran sesat (2) Setiap orang dilarang menyebarkan paham atau aliran sesat Pasal 11 (3) Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari aqidah dan atau menghina atau melecehkan agama Islam. Setiap orang yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ibadah untuk menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan wajib menghormati pengamalan ibadah. Pasal 6 ajaran Islam. 6. Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek Bentuk-bentuk paham dan atau aliran yang sesat di tetapkan melalui kehidupan. BAB V fatwa MPU Ahlussunnah wal 7. Aqidah adalah Aqidah Islamiah menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Jama’ah. PENYELENGGARAAN SYI’AR ISLAM bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe BAB IV 8. Ibadah adalah shalat dan puasa Ramadhan. Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 9. MPU adalah Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe Pasal 12 2001 Nomor 114 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134); PENGAMALAN IBADAH Aceh Darussalam. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH 9. DARUSSALAM 10. Penyidik adalah pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh (1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat NOMOR 11 TAHUN 2002 Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Pasal 7 Darussalam atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang dianjurkan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam. Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun diangkat dan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan yang (2) Setiap Instansimasyarakat Pemerintah/ lembaga swasta, institusi masyarakat 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); TENTANG Pemerintah dan institusi berhubungan dengan pelaksanaan(1)Syariat Islam. Provinsi, Kabupaten/Kota dan perorangan dianjurkan 10. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 berkewajiban menciptakan kondisi dan untuk mempergunakan tulisan Arab 11. Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas menyediakan mengawasi fasilitas danMelayu disamping tulisan Latin. Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja suasana lingkungan yang kondusif untuk pengamalan ibadah. PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM pelaksanaan Syariat Islam. (3) Setiap Instansi Pemerintah / Lembaga Swasta dianjurkan untuk Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah (2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab untuk membimbing mempergunakan penanggalan Hijriah dan penanggalan Masihiah BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’ARIstimewa ISLAM Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota keluarga BAB II dalam surat-surat resmi. Aceh Tahun 2000 Nomor 23), yang telah diubah Peraturan yang berada dibawah tanggung jawabnya. (4) Setiap dokumen resmi yang dibuat di Provinsi Nanggroe Aceh Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 43 Tahun 2001 BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM TUJUAN DAN FUNGSI Darussalam wajib mencantumkan penanggalan Hijriah di samping tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Provinsi Pasal 8 penanggalan Masihiah. DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pasal 2 Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis (1) Setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i wajib Pasal 13 GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh menunaikan Jum’at. Pengaturan pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah,shalat ibadah dan (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2001 (2) Setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha dan atau / syi’ar Islam bertujuan untuk : (1) Setiap orang Islam berbusana Islami. Menimbang : a. bahwa aqidah dan ibadah merupakan bagian Nomor pokok 75); pengamalan institusi masyarakat kegiatan yang wajib dapat a. membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individuwajib dan menghentikan (2) Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha Syariat Islam yang perlu mendapat pembinaan 11.perlindungan Peraturan dan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 melaksanakan shalat masyarakat dari pengaruh ajaran sesat;menghalangi / mengganggu orang Islam dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami sehingga terbina dan terpelihara kehidupan Tahundalam 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Jum’at. b. meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta di lingkungannya. bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Provinsi Daerah Provinsi Nanggroe Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30); penyediaan fasilitasnya; Aceh Darussalam; 9 c. menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatanPasal guna BAB VI b. bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang Islami dan menjunjung menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami. tinggi ajaran Islam merupakan landasan untuk Dengan mewujudkan persetujuan (1) Setiap instansi pemerintah, lembaga pendidikan dan badan usaha PENGAWASAN, PENYIDIKAN kesejahteraan lahir dan batin, baik pribadi, keluarga dan wajib menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat DAN PENUNTUTAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH Pasal 3 masyarakat; berjamaah. Pasal 14 c. bahwa dalam rangka penyelenggaraan keistimewaan dan DARUSSALAM (2) Pimpinan gampong Ketentuan-ketentuan dalam Qanun ini berfungsi sebagai pedomandiwajibkan memakmurkan mesjid dan atau otonomi khusus, perlu penegasan hak-hak khusus tentang meunasah dengan dan menghidupkan pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan Syi’ar Islam. shalat berjamaah (1) Untuk terlaksananya Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud pengajian agama. syi’ar Islam, Pemerintah dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan UndangMEMUTUSKAN : (3) Perusahaan pengangkutan umum wajib memberi kesempatanProvinsi, Kabupaten / Kota membentuk Wilayatul Hisbah yang undang Nomor 18 Tahun 2001 di Provinsi Nanggroe Aceh dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat berwenang melakukan pengawasan BAB III terhadap pelaksanaan Qanun ini. Darussalam; fardhu. Menetapkan: QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG (2) Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, d. bahwa bedasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN AQIDAH PEMELIHARAAN kemukiman, kecamatan atau wilayah / lingkungan lainnya. huruf a, b dan c, perlu ditetapkan dengan suatu Qanun Provinsi Pasal 10 SYI’AR ISLAM. (3) Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Nanggroe Aceh Darussalam. BAB I Pasal 4 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat (1) Setiap orang/ badan usaha dilarangHisbah menyediakan fasilitas/ cukup alasan telah pelanggaran terhadap Qanun ini, Mengingat : 1. Al-Qur’an; kepadamasyarakat orang muslim yang tidak mempunyai uzur terjadinya syar’i KETENTUAN UMUM (1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota peluang dan institusi maka pejabat pengawas (Wilayatul Hisbah) diberi wewenang 2. Al-Hadits; untuk tidak berpuasa berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat pada serta bulan Ramadhan. 3. Pasal 18 b dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; (2) dan Setiap yang tidak mempunyai uzur syar’i dilarang makan Pasal 1 mengawasinya dari pengaruh paham atau muslim aliran sesat. 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan atau minum tempat / di depan umum pada siang hari bulan (2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab di menanamkan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: aqidah kepada anak-anak dan anggotaRamadhan. keluarga yang berada di Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara (3) Selama bulan Ramadhan masyarakat dianjurkan untuk 1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut adalah bawahPemerintah tanggung jawabnya. Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Negara Nomor 1103); Presiden beserta para Menteri. Pasal 5 5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan 2. Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 3. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur perangkat Daerah memelihara aqidah dari pengaruh (1) beserta Setiap orang berkewajiban Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe 6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Aceh Darussalam Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran 4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 70, Tambahan 5. Syi’ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai Lembaran Negara Nomor 3448); 7. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893); 8.
menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunat lainnya. (4) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu atau mengurangi kenyamanan pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di lingkungannya. paham atau aliran sesat (2) Setiap orang dilarang menyebarkan paham atau aliran sesat Pasal 11 (3) Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari aqidah dan atau menghina atau melecehkan agama Islam. Setiap orang yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ibadah untuk menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan wajib menghormati pengamalan ibadah. Pasal 6 ajaran Islam. 6. Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek Bentuk-bentuk paham dan atau aliran yang sesat di tetapkan melalui kehidupan. BAB V fatwa MPU Ahlussunnah wal 7. Aqidah adalah Aqidah Islamiah menurut 8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Jama’ah. PENYELENGGARAAN SYI’AR ISLAM bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe BAB IV 8. Ibadah adalah shalat dan puasa Ramadhan. Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 9. MPU adalah Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe Pasal 12 2001 Nomor 114 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134); PENGAMALAN IBADAH Aceh Darussalam. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH 9. DARUSSALAM 10. Penyidik adalah pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh (1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat NOMOR 11 TAHUN 2002 Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Pasal 7 Darussalam atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang dianjurkan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam. Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun diangkat dan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan yang (2) Setiap Instansimasyarakat Pemerintah/ lembaga swasta, institusi masyarakat 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); TENTANG Pemerintah dan institusi berhubungan dengan pelaksanaan(1)Syariat Islam. Provinsi, Kabupaten/Kota dan perorangan dianjurkan 10. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 berkewajiban menciptakan kondisi dan untuk mempergunakan tulisan Arab 11. Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas menyediakan mengawasi fasilitas danMelayu disamping tulisan Latin. Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja suasana lingkungan yang kondusif untuk pengamalan ibadah. PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM pelaksanaan Syariat Islam. (3) Setiap Instansi Pemerintah / Lembaga Swasta dianjurkan untuk Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah (2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab untuk membimbing mempergunakan penanggalan Hijriah dan penanggalan Masihiah BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’ARIstimewa ISLAM Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota keluarga BAB II dalam surat-surat resmi. Aceh Tahun 2000 Nomor 23), yang telah diubah Peraturan yang berada dibawah tanggung jawabnya. (4) Setiap dokumen resmi yang dibuat di Provinsi Nanggroe Aceh Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 43 Tahun 2001 BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM TUJUAN DAN FUNGSI Darussalam wajib mencantumkan penanggalan Hijriah di samping tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Provinsi Pasal 8 penanggalan Masihiah. DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pasal 2 Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis (1) Setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i wajib Pasal 13 GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh menunaikan shalat Jum’at. Pengaturan pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2001 (2) Setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha dan atau / syi’ar Islam bertujuan untuk : (1) Setiap orang Islam berbusana Islami. Menimbang : a. bahwa aqidah dan ibadah merupakan bagian Nomor pokok 75); pengamalan institusi masyarakat kegiatan yang wajib dapat a. membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individuwajib dan menghentikan (2) Islam Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha Syariat Islam yang perlu mendapat pembinaan 11.perlindungan Peraturan dan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 menghalangi / mengganggu orang melaksanakan shalat masyarakat dari pengaruh ajaran sesat; dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami sehingga terbina dan terpelihara kehidupan Tahundalam 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Jum’at. b. meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta di lingkungannya. bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Provinsi Daerah Provinsi Nanggroe Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30); penyediaan fasilitasnya; Aceh Darussalam; 9 c. menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatanPasal guna BAB VI b. bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang Islami dan menjunjung menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami. tinggi ajaran Islam merupakan landasan untuk Dengan mewujudkan persetujuan (1) Setiap instansi pemerintah, lembaga pendidikan dan badan usaha PENGAWASAN, PENYIDIKAN kesejahteraan lahir dan batin, baik pribadi, keluarga dan wajib menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat DAN PENUNTUTAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH Pasal 3 masyarakat; berjamaah. Pasal 14 c. bahwa dalam rangka penyelenggaraan keistimewaan dan DARUSSALAM (2) Pimpinan gampong Ketentuan-ketentuan dalam Qanun ini berfungsi sebagai pedomandiwajibkan memakmurkan mesjid dan atau otonomi khusus, perlu penegasan hak-hak khusus tentang meunasah dengan dan menghidupkan pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan Syi’ar Islam. shalat berjamaah (1) Untuk terlaksananya Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud pengajian agama. syi’ar Islam, Pemerintah dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan UndangMEMUTUSKAN : (3) Perusahaan pengangkutan umum wajib memberi kesempatanProvinsi, Kabupaten / Kota membentuk Wilayatul Hisbah yang undang Nomor 18 Tahun 2001 di Provinsi Nanggroe Aceh dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat berwenang melakukan pengawasan BAB III terhadap pelaksanaan Qanun ini. Darussalam; fardhu. Menetapkan: QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG (2) Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, d. bahwa bedasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN AQIDAH PEMELIHARAAN kemukiman, kecamatan atau wilayah / lingkungan lainnya. huruf a, b dan c, perlu ditetapkan dengan suatu Qanun Provinsi Pasal 10 SYI’AR ISLAM. (3) Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Nanggroe Aceh Darussalam. BAB I Pasal 4 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat (1) Setiap orang/ badan usaha dilarangHisbah menyediakan fasilitas/ cukup alasan telah pelanggaran terhadap Qanun ini, Mengingat : 1. Al-Qur’an; kepadamasyarakat orang muslim yang tidak mempunyai uzur terjadinya syar’i KETENTUAN UMUM (1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota peluang dan institusi maka pejabat pengawas (Wilayatul Hisbah) diberi wewenang 2. Al-Hadits; untuk tidak berpuasa berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat pada serta bulan Ramadhan. 3. Pasal 18 b dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; (2) dan Setiap yang tidak mempunyai uzur syar’i dilarang makan Pasal 1 mengawasinya dari pengaruh paham atau muslim aliran sesat. 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan atau minum tempat / di depan umum pada siang hari bulan (2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab di menanamkan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Ramadhan. Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara (3) Selama bulan Ramadhan masyarakat dianjurkan untuk 1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut adalah bawahPemerintah tanggung jawabnya. Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Negara Nomor 1103); Presiden beserta para Menteri. Pasal 5 5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan 2. Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 3. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat Daerah memelihara aqidah dari pengaruh (1) Setiap orang berkewajiban Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe 6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Aceh Darussalam Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran 4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 70, Tambahan 5. Syi’ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai Lembaran Negara Nomor 3448); 7. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002 DAN DAMPAKNYA TERHADAP KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI KOTA BANDA ACEH
Juli Ahsani
IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002 dan Dampaknya Terhadap Kerukunan Umat Beragama di Kota Banda Aceh
Penulis Editor Desain Sampul Layout
: Juli Ahsani : Imam Zaki Fuad : Numay : Zahrul A.
ISBN: 978-602-6747-06-8
Penerbit Cinta Buku Media
Redaksi: Alamat : Jl. Musyawarah, Komplek Pratama A1 No.8 Kp. Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan Hotline CBMedia 0858 1413 1928 e_mail:
[email protected]
Cetakan: Ke-1 Juli 2017
All rights reserverd Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Secara special penulis khidmatkan karya sederhana ini untuk kedua orang tua tercinta; Ayahanda Supangat & Ibunda Mukatriyah.
iii
iv
ABSTRAK
O
tonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tertera pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang mengamanatkan pemberlakuan syari’at Islam secara kāffah di wilayah Aceh. Sebagai wujud nyata dari pelaksanaan undangundang tersebut, maka dibuatlah beberapa Qanun tentang pelaksanaan syari’at Islam, di antaranya ialah Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Akidah, Ibadah dan Syi’ar Islam. Lahirnya Qanun ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam upayanya untuk melaksanakan syari’at Islam disetiap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan lahirnya Qanun Nomor 11 Tahun 2002 akan dapat membentuk kebiasan masyarakat (habit) menuju pada perbuatan baik berupa peningkatan aktivitas keberagamaan yang lebih intens yang kemudian membawa dampak terhadap situasi dan kondisi kerukunan hidup umat beragama di Kota Banda Aceh. Dalam pengumpulan data pada penelitian ini, penulis menggunakan dua metode, yakni Kajian Kepustakaan (Library Research) dan Penelitian Lapangan (Field Reaserch). Kajian Kepustakaan (Library Research) dilakukan dengan cara meneliti, mengkaji, dan menelaah literatur-literatur, seperti: naskah UndangUndang Negara Republik Indonesia, naskah Qanun Nomor 11 Tahun 2002 sebagai referensi utama, dan berbagai produk Qanun lainnya yang berhubungan langsung dengan syari’at Islam. Di samping itu juga melakukan kajian terhadap buku, jurnal ilmiah, koran, laporan hasil penelitian, serta sumber kepustakaan lainnya tentang syari’at Islam dan kerukunan umat beragama sebagai data penunjang. v
Penelitian Lapangan (Field Reaserch), dalam hal ini penulis melakukan pengamatan langsung dengan tujuan untuk memperoleh keyakinan terhadap keabsahan data-data yang telah ada serta ingin mendapat pengalaman dengan cara mengalami dan memahami langsung segala peristiwa/situasi yang terjadi di lapangan selama proses penelitian. Selain itu, penulis juga mengadakan kegiatan wawancara kepada para narasumber untuk menggali data.
Key words: Qanun, Kerukunan.
vi
بسم هللا الرمحن الرحيم KATA PENGANTAR
S
egala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan meminta ampunan-Nya. DenganNya kami berlindung dari keburukan jiwa-jiwa kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, niscaya dia takkan tersesat. Dan barangsiapa Dia sesatkan, niscaya takkan ada yang dapat memberi petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Penulis persembahkan syukur yang tak terbilang kepada-Nya. Tuhanku dan Tuhan semesta alam karena kesehatan fisik dan mental yang telah diberikan-Nya, sehingga penulis dapat merampungkan penulisan tesis ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan terlimpah selalu pada Nabi Muhammad saw., beserta sahabat, dan orang-orang yang senantiasa istiqamah di jalan Islam, sebagaimana Nabi dan sahabatnya berjalan di atasnya. Selama proses penelitian dan penulisan tesis ini tidak sedikit kesulitan maupun hambatan yang dihadapi dan dialami, baik yang menyangkut pengaturan waktu, pengumpulan bahan-bahan, maupun pembiayaan dan lain sebagainya. Namun berkat kesungguhan hati dan doa serta kerja keras, dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Sehingga sudah menjadi keharusan dan kewajiban penulis untuk menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggitingginya kepada semua pihak yang telah mendukung dan vii
memberikan kerjasama yang positif. Maka dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada yang lain, perkenankan dalam kesempatan ini penulis secara khusus mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya dan rasa hormat yang mendalam di tujukan kepada: Yang Mulia, Tuan Guru Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA sebagai pembimbing dalam penulisan tesis ini yang di tengah kesibukannya masih berkenan meluangkan waktu dan tenaga serta kesabaran untuk memberikan arahan, masukan, dan bimbingan kepada penulis sehingga membuka cakrawala berfikir dan nuansa keilmuan yang baru. Hanya Allah yang dapat membalas semua kebaikan Bapak, dan semoga Bapak beserta keluarga selalu dikaruniai kesehatan, umur panjang, kelancaran rizki dan bahagia dunia maupun akhirat kelak. Yang Mulia, Tuan Guru Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer yang banyak mendorong dan merekomendasikan penulis untuk kembali melanjutkan studi S2 di Jurusan Perbandingan Agama. Serta Tuan Guru Dr. Media Zainul Bahri, MA dan Ismatu Ropi, Ph.D yang telah membuka cakrawala berfikir bagi penulis untuk terus menemukan gagasan dan ide-ide baru, semoga Tuan Guru lekas menyandang gelar profesor. Demikian pula ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pimpinan Dekan Fakultas Ushuluddin; Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag (Dekan), Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si (Pudek I), Dr. M. Suryadinata, MA (Pudek II), dan Dr. Bustamin, MA (Pudek III). Ketua dan Sekretaris Program Magister; Dr. Atiyatul Ulya, MA dan Drs. Maulana, M.Ag, terimakasih atas motivasi dan dukungannya untuk kelancaran penulisan tesis ini. Pimpinan beserta staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam memenuhi studi pustaka. Secara spesial penulis khidmatkan karya akademik ini kepada kedua orang tua tercinta; Ayahanda Supangat dan Ibunda viii
Mukatriyah yang selalu memberikan doa restu dan dukungan berupa materi, motivasi, nasehat, serta kasih sayang yang tiada hentinya. Munajat doanya disetiap waktu telah memberikan kekuatan lahir batin dalam mengarungi bahtera kehidupan serta kesuksesan studi dan penyelesaian tesis yang melelahkan ini. “Your love make me strong!”. Abang dan Kakak; Bang Deny dan Kak Riska, Bang Ohim dan Kak Ina, terima kasih atas bimbingan dan nasehat-nasehatnya, abang dan kakak panutan yang dibanggakan oleh adek-adeknya, semoga keluarga kecilnya selalu bahagia dan senantiasa dalam ridha Allah. Adek-adekku; Fery Hamzah, semoga lekas wisuda bro, calon cikgu hebat, ntar lanjut S2 ya. Adekku yang paling cantik Vivit Ardiani, semangat dan lancar kuliahnya dek, harus sabar dan prihatin hidup di perantauan ya. Muhammad Irfandi, anak bungsu yang disayangi abang dan kakaknya, lanjut terus sekolahnya ya bro, harus punya cita-cita besar dan kuliah. Kedua keponakanku tersayang; Aulia Fitri Rahmadhani (Dek Aya), dan Adila Nisa Ardani (Dek Ica), nanti sekolah ya sayang, jadi anak pinter, solehah dan berbakti sama Ayah dan Bundanya. Teruntuk Om Muji dan Tante Menik, terima kasih telah menjadi orang tua July di Jakarta, perhatian dan kasih sayangnya telah memberi kekuatan dan kesabaran selama July di Jakarta. Ucapan terima kasih juga amat patut penulis sampaikan kepada seluruh dewan guru selagi penulis menempuh pendidikan di SD (SDN I Laot Tadu - Nagan Raya), tidak mungkin penulis bisa menyelesaikan studi master ini tanpa jasa dari beliau semua. Sangat besar andil mereka dalam mengantarkan penulis memperoleh pendidikan hingga setingkat ini. Kepada seluruh dewan guru pada waktu penulis menempuh pendidikan di SMP (SMPN 4 Kuala Nagan Raya), semoga Bapak/Ibu selalu mendapatkan limpahan rahmat Allah swt,. dan semoga amal ibadah Bapak/Ibu yang telah mendidik penulis akan dibalas oleh Allah swt. Kepada seluruh Bapak/Ibu dewan guru saat penulis menempuh pendidikan di SMA ix
(SMAS Sukma Bangsa - Pidie), rasa syukur, bangga dan menjadi sebuah kehormatan bagi penulis bisa menimba ilmu dan menjadi murid Bapak/Ibu. Semoga Bapak/Ibu selalu dilimpahkan rahmat dan kesehatan oleh Allah swt. Dan juga kepada seluruh Bapak/Ibu dosen Fakultas Ushuluddin terutama Jurusan Perbandingan Agama yang telah mentransfer ilmunya kepada penulis, semoga selalu diberikan kesehatan dan ilmu yang telah diberikan dapat diamalkan serta bermanfaat di masyarakat. Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat khususnya buat penulis dan umumnya bagi para pembaca. Semoga Allah swt., membalas jasa baik yang telah diberikan dari berbagai pihak dalam penyelesaian tesis ini, dan semoga Allah senantiasa memberikan taufik, hidayah dan meridhai upaya yang kita lakukan bersama. Aamiin Terima kasih!
Wallah al muwaffiq ila aqwam al tariq. Jakarta, 20 Juli 2017 Penulis, Juli Ahsani
x
DAFTAR ISI
Persembahan................................................................................. iii Abstrak ......................................................................................... v Kata Pengantar ............................................................................ vii Daftar Isi ..................................................................................... xi BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................. 6 C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ................................... 6 D. Kerangka Teori ................................................................. 7 E. Tinjauan Pustaka ............................................................... 20 F. Metodologi Penelitian ....................................................... 24 BAB II Gambaran Umum Kota Banda Aceh A. Kondisi Sosio-Historis ...................................................... 27 B. Potret Pluralitas Masyarakat ............................................. 30 C. Format Relasi dan Interaksi Sosial .................................... 36 BAB III Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 A. Latar Belakang Pembentukan ........................................... 1. Landasan Filosofis ............................................................ 2. Landasan Konstitusional ................................................... B. Maksud dan Tujuan ........................................................... C. Muatan Aturan ................................................................... xi
41 42 46 51 52
1. 2. 3. D. E.
Pemeliharaan Akidah ......................................................... Pengamalan Ibadah ........................................................... Penyelenggaraan Syi’ar Islam ........................................... Sanksi ................................................................................ Peraturan Daerah Tentang Syari’at Islam dan Kerukunan Umat Beragama .......................................
53 56 60 61 64
BAB IV Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 A. Pemeliharaan Akidah ......................................................... 69 B. Pengamalan Ibadah ............................................................ 78 C. Penyelenggaraan Syi’ar Islam ............................................ 89 BAB V Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama A. Kerukunan Internal Umat Islam ........................................ 99 B. Kerukunan Antarumat Beragama ...................................... 106 C. Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah ............... 127 BAB VI Penutup A. Kesimpulan ........................................................................ 133 B. Saran .................................................................................. 134 Daftar Pustaka .............................................................................. 137 Lampiran-Lampiran .................................................................... 145 Biodata Penulis ............................................................................ 163
xii
BAB I Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah Beberapa abad terakhir timbul dan berkembang dikalangan masyarakat Islam cita-cita mendirikan Negara Islam, yaitu sebuah Negara yang sepenuhnya diberlakukan syari’at Islam secara menyeluruh. Mereka terkenang pada beberapa abad pertama perkembangan Islam yang mencapai puncak keemasannya yang ditandai dengan adanya kota-kota megah seperti yang pernah terjadi di Bagdad, Kairo, Cordova, dan lain sebagainya. Lahirnya peradaban ini pada dasarnya karena dilandasi oleh komitmen mereka terhadap pelaksanaan syari’at secara paripurna. Kota-kota ini dalam catatan sejarah pernah menjadi pusat kemajuan dalam segi perdagangan, pertanian, perkebunan, kebudayaan maupun ilmu pengetahuan. Demikian pula halnya yang terjadi di Indonesia saat ini, muncul gagasan untuk melaksanakan syari’at Islam yang tidak hanya sebatas wacana namun harus menjadi kenyataan yang dipraktikkan oleh sebagian daerah di Nusantara. Hal itu disebabkan karena berbagai daerah di Nusantara telah memiliki kaitan dengan sejarah panjang islamisasi dalam berbagai pranata sosial. Di antara daerah yang berupaya mempraktikkan syari’at Islam tersebut ialah Aceh.1
1 Berdasarkan Pergub Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh, maka sebutan nama untuk Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam lebih disingkat menjadi Aceh dengan menghilangkan dua suku kata Nanggroe dan Darussalam. Dalam Pergub tersebut ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas dilingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan
1
Provinsi Aceh yang secara geografis terletak paling ujung barat di pulau Sumatera ini mempunyai luas wilayah mencapai 55.930 Km². Masyarakat Aceh sejak sebelum Indonesia merdeka juga dikenal sebagai masyarakat yang plural. Keniscayaan itu diperoleh manakala ditinjau dari aspek yang melingkupinya, mulai dari etnis, adat istiadat, bahasa, budaya, dan agama. 2 Ini artinya bahwa pluralitas merupakan sebuah realitas bagi masyarakat Aceh sejak zaman dahulu.3 Secara administratif, wilayah Aceh terdiri dari 18 Kabupaten dan 5 Kota, 280 Kecamatan, 755 Mukim, dan 6.423 Gampong (Desa). Secara lebih rinci kabupaten dan kota yang ada di wilayah Aceh ialah: Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Gayolues, Aceh Tenggara, Bener Meriah, Kota Banda Aceh, Sabang, Langsa, Lhokseumawe, dan Subulussalam. Sementara dari segi etnis dan buadaya, wilayah Aceh dihuni oleh beraneka ragam, antara lain: Etnis Aceh yang mendominasi hampir diseluruh kabupaten/kota di wilayah Aceh; Etnis Alas yang mendiami sebagian daerah Aceh Tenggara; Etnis Aneuk Jamee yang mendiami Aceh Selatan dan sebagian Aceh Barat Daya; Etnis Gayo
diseragamkan dari sebutan/nomenklatur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menjadi sebutan/nomenklatur Aceh. 2
Marzuki, “Kerukunan dan Kebebasan Beragama dalam Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh” (Jakarta: Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 36, 2010), h. 157. 3 Dalam lingkup kehidupan bangsa yang lebih luas, Indonesia memang telah ditakdirkan Tuhan sebagai bangsa yang hidup dalam pluralitas dan multikultural dari segi etnis, agama, bahasa, budaya, dan adat istiadat. Sehingga tidak ada satu bangsa pun di dunia yang mempunyai sifat keragaman seperti bangsa Indonesia yang terdiri lebih tiga ratus suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda. Kondisi ini bisa menjadi kekuatan yang potensial dan disebut sebagai kekuatan pluralisme apabila di dalamnya terkandung nilai-nilai (cultural and religious pluralism as value). Lihat Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama (Jakarta: PT. Saadah Cipta Mandiri, 2012), h. 4.
2 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
yang mendiami Aceh Tengah, Bener Meriah dan sebagian Aceh Tenggara; Etnis Kluet yang mendiami daerah Kluet di Aceh Selatan; Etnis Tamiang yang mendiami Aceh Tamiang dan sebagian Aceh Timur; Etnis Singkil yang mendiami Aceh Singkil; Etnis Simeulue yang mendiami Aceh Simeulue; Etnis Jawa yang mendiami sebagian Kota Langsa, Aceh Tengah dan Nagan Raya; serta Etnis Tapanuli Utara yang mendiami sebagian Kota Langsa.4 Bahasa yang digunakan di Aceh juga beragam, antara lain: Bahasa Aceh yang digunakan hampir diseluruh kabupaten/kota di wilayah Aceh; Bahasa Alas yang digunakan di Aceh Tenggara; Bahasa Aneuk Jamee yang digunakan di Aceh Selatan dan sebagian Aceh Barat Daya; Bahasa Gayo yang digunakan di Aceh Tengah, Bener Meriah dan Aceh Tenggara; Bahasa Kluet yang digunakan di Aceh Selatan; Bahasa Tamiang yang digunakan di Aceh Tamiang dan Aceh Timur; Bahasa Julu yang digunakan di Subulussalam dan Aceh Singkil; Bahasa Haloban, Pakpak, dan Nias juga digunakan di Aceh Singkil; serta Bahasa Lekon, Sigulai, dan Devayan digunakan di Simeulue. 5 Wilayah Aceh juga dihuni oleh enam agama besar yang ada di Indonesia sesuai dengan ketetapan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, namun penganut yang beragama Islam merupakan terbesar oleh karena itu penganut Islam menjadi mayoritas dikalangan masyarakat Aceh. 6 Peta kehidupan umat beragama berdasarkan data Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh tahun 2014, terdiri dari penduduk beragama Islam
4
Humas Provinsi Aceh: http://humas.acehprov.go.id. Diakses tanggal 29 Februari 2016. 5
Dinas Kebubudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh: http://disbudpar .aceh
prov.go.id/. Diakses tanggal 29 Februari 2016. 6 Undang-Undang Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Penjelasan atas Pasal 1: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu ”.
Pendahuluan
3
98,92%; Katolik 0,16%; Protestan 0,79%; Hindu 0,01%; Buddha 0,10%, dan Khonghucu 0,005%.7 Dari penjelasan dan paparan data tersebut terlihat fakta bahwa masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang hidup dalam pluralitas dan multikultural dengan latar belakang dan keanekaragaman yang berbeda-beda.8 Selain itu, wilayah Aceh juga mempunyai kekayaan sumber daya alam, kesuburan tanah serta hasil laut yang melimpah. Selanjutnya, dari 18 Kabupaten dan 5 Kota yang ada di wilayah Aceh tersebut, penulis hanya memfokuskan penelitian ini pada Kota Banda Aceh sebagai ibukota provinsi. Dipilihnya Kota Banda Aceh sebagai tempat penelitian bukan saja karena kota ini merupakan ibu kota provinsi, tetapi atas berbagai pertimbangan lainnya. Salah satu alasan mendasar adalah karena penduduk Kota Banda Aceh sangat majemuk yang dihuni oleh beragam etnis, bahasa, budaya, dan agama tersebut. Selain itu, meski Islam menjadi agama nomor satu yang dipeluk oleh masyarakat, namun kesempatan bagi pemeluk agama lain untuk beribadah dan mengamalkan ajaran agamanya juga terbuka lebar. Penerapan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam di Kota Banda Aceh dianggap telah berjalan baik dan sudah memenuhi harapan masyarakat selama ini. Karena posisinya strategis sebagai pusat pemerintahan, maka setiap kebijakan yang dibuat melalui Qanun dapat langsung diterapkan serta pengawasan terhadap pelaksanaannya pun juga mudah. Di sisi lain, sebagai pusat ibukota provinsi, Kota Banda Aceh dapat dijadikan sebagai acuan dan 7 Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh: http://aceh.bps.go.id. Diakses tanggal 29 Februari 2016. 8
Kehidupan dan budaya suku bangsa Aceh yang terdiri atas berbagai etnik yang sangat majemuk dan plural tersebut membuat masyarakat Aceh sangat terbuka kepada sesama temannya, tetangganya, dan juga kepada tamunya. Lihat Abdul Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisa Interaksionis, Integrasi, dan Konflik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 94.
4 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
representatif dari pelaksanaan syari’at Islam di wilayah Aceh. Selain itu, adanya atmosfir religius dan respon positif di tengah masyarakat atas penerapan syari’at Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa Qanun Nomor 11 Tahun 2002 ini juga dapat diterima dengan baik dan dijalankan oleh masyarakat. Mayoritas masyarakat tidak keberatan dengan penerapan syari’at Islam.9 Namun tentu saja hal ini masih perlu adanya kajian dan pengamatan lebih mendalam. Dengan telah berjalannya pelaksanaan Qanun dan adanya respon positif tersebut berarti telah membawa dampak positif bagi keberagamaan dan kuantitas ibadah masyarakat. Di sisi lain, berbagai anggapan dan pemberitaan kerap muncul bahwa pelaksanaan yang bersifat private seperti ibadah, pelaksanaannya lebih bersifat syari’at Islam di Aceh dianggap melanggar hak asasi manusia karena mengatur bidang-bidang politis serta diskriminatif dan menindas agama minoritas sehingga bertentangan dengan nilainilai kebebasan dan kerukunan umat beragama.10 Maka sehubungan dengan hal itu, menarik untuk dilihat bagaimana pelaksanaan syari’at Islam dan dampaknya terhadap kerukunan hidup umat bergama. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu dilakukan sebuah penelitian mendalam guna mencari data dan fakta secara real dilapangan. Bertitik tolak pada pola pikir di atas, penulis tertarik untuk menggali lebih dalam lagi mengenai pelaksanaan syari’at Islam dan 9
Dara Yusilawati, Penerapan Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam dan Identitas Rakyat Aceh, dalam Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 214. 10
Lihat Taufiq Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), h. 38-41. Lihat Danial, “Syariat Islam dan Pluralitas Sosial: Studi Tentang Minoritas NonMuslim dalam Qanun Syariat Islam di Aceh” (Banda Aceh: Jurnal Analisis, Vol. XII, Nomor 1, 2012), h. 73-74. Lihat juga Marzuki, “Kerukunan dan Kebebasan Beragama dalam Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh” (Jakarta: Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 36, 2010), h. 165. Pendahuluan
5
dampaknya terhadap kerukunan umat beragama di Kota Banda Aceh. Untuk itu penulis mengambil penelitian ini yang terfokus dengan judul: "Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 dan
Dampaknya Terhadap Kerukunan Umat Beragama Di Kota Banda Aceh”. Penulis meyakini bahwa kajian tentang topik ini sangat urgen dan menarik untuk dijadikan bahan kajian akademik dan juga kajian umum serta patut untuk diangkat ke permukaan dalam rangka ikut berkontribusi dalam memberikan sumbangsih berupa pemikiran yang signifikan terhadap pemerhati syari’at Islam terutama oleh instansi pemerintahan dalam upayanya untuk menegakkan syari’at Islam secara kāffah dan menciptakan kerukunan kehidupan beragama di wilayah Kota Banda Aceh. B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, selanjutnya penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini yang dikonstruksikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 pada masyarakat Kota Banda Aceh?. 2.
Apakah implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 berdampak terhadap kondisi kerukunan umat beragama di Kota Banda Aceh?.
C.
Tujuan dan Signifikansi Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian dan penulisan tesis ini ialah: Pertama, mendeskripsikan bagaimana implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 pada masyarakat Kota Banda Aceh. Kedua, mengetahui apakah implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 berdampak terhadap kondisi kerukunan umat beragama di Kota Banda Aceh. Adapun dari sudut kepentingan teoritis akademis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan menambah khazanah keilmuan dalam kajian syari’at Islam dan juga 6 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
kerukunan kehidupan umat beragama. Serta diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi langkah awal yang meningkatkan minat para peneliti selanjutnya untuk menggali lebih dalam lagi terhadap kajian implementasi syari’at Islam yang dituangkan dalam Qanun dan kaitannya dengan kerukunan hidup umat beragama. Sedangkan signifikansi secara praktis yang ingin dicapai dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi sebagai bahan informasi dan masukan pengambilan kebijakan dalam pembangunan kehidupan keagamaan dan peningkatan kerukunan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemerintah Provinsi Aceh dalam rangka penyempurnaan pengaturan dan pelaksanaan syari’at Islam. Selanjutnya juga menjadi dasar kebijakan Pemerintah di Pusat tentang kebijakan implementasi nilai-nilai keagamaan dalam kebangsaan sehingga dua hal tersebut dapat beriringan di dalam kehidupan berdemokrasi. Selain itu, penulis juga berharap semoga dengan tulisan ini dapat menjadi bahan renungan bagi para pengambil kebijakan baik Pemerintah Kota Banda Aceh beserta Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia. Di samping itu, secara umum dapat dijadikan sebagai bahan kajian atau pemikiran lebih lanjut bagi para peneliti untuk mengadakan studistudi lanjutan terhadap berbagai kebijakan publik di dalam implementasi nilai-nilai keberagamaan dalam pembangunan di daerah. D.
Kerangka Teori Dalam tulisan tesis ini penulis menggunakan beberapa istilah dasar yang dijadikan sebagai kerangka teori, yaitu: implementasi, dampak, syari’at Islam, Qanun, dan kerukunan umat beragama. Untuk itu dalam subbab ini akan menjelaskan istilah-istilah yang digunakan tersebut guna mengantarkan pemahaman secara mendalam dan terfokus.
Pendahuluan
7
1.
Implementasi dan Dampak Untuk memberikan gambaran kepada para pembaca mengenai penggunaan kata yang digunakan dalam judul tesis ini, penulis memberikan definisi sederhana tentang implementasi dan dampak sebagai berikut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata implementasi dapat diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan. Mengimplementasikan berarti melaksanakan; menerapkan. Pengimplementasi ialah orang yang mengimplementasi. Pengimplementasian berarti proses, cara, atau perbuatan mengimplementasikan. Sedangkan terimplementasi berarti 11 terlaksana atau terterapkan. Sementara kata dampak dapat diartikan sebagai benturan atau pengaruh kuat yang dapat mendatangkan akibat (baik negatif maupun positif). Dalam ilmu fisika, kata dampak diartikan sebagai benturan yang cukup hebat antara dua benda sehingga menyebabkan perubahan yang berarti dalam momentum (pusa) sistem yang mengalami benturan itu. 12 Dari pengertian kedua kata tersebut, selanjutnya penulis menggunakan kata implementasi dan dampak dalam konteks kajian sosiologis yang digunakan untuk menganalisa apakah terdapat dampak dari implementasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 terhadap kerukunan hidup umat beragama di Kota Banda Aceh. 2.
Syari’at dan Qanun Kata syari’at merupakan istilah yang telah lazim didengar dan diucapkan oleh umat Islam. Secara etimologi syari’at berasal dari kata syara’a syai yang bermakna menjelaskan dan menyatakan sesuatu, atau asy-syiratu dan asy-syari’atu yang artinya suatu tempat yang dapat menghubungkan sesuatu untuk sampai pada sumber air yang tidak ada habis-habisnya, sehingga orang yang 11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012) Edisi Keempat, h. 529. 12
Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 488.
8 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
membutuhkannya tidak lagi butuh alat untuk mengambilnya. Dalam kata lain, syari’at juga dimaknai sebagai jalan atau cara untuk menuju Allah melalui jalur ibadah, muamalah, dan etika. Syari’at juga berarti peraturan atau ketetapan yang Allah perintahkan kepada hamba-hamba-Nya, seperti puasa, shalat, haji, zakat dan seluruh kebajikan. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari kata syari’at sering dipahami sebagai hukum atau ketentuan yang berasal dari Tuhan sehingga dibutuhkan aktualisasi dalam kehidupan seharihari.13 Sementara kata yang sudah baku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata syari’at diartikan sebagai hukum agama atau yang bertalian dengan agama Islam.14 Menurut Yusuf Al Qardhawi, antara syari’at dengan Qanun terdapat perbedaan yang mendasar, yaitu: Pertama, dilihat dari aspek pembuatannya, Qanun merupakan produk manusia sedangkan syari’at produk yang langsung berasal dari Allah. Untuk itu masingmasing mencerminkan sifat pembuatannya. Di dalam syari’at yang berasal dari Allah, maka ia mewakili sifat-sifat Allah berupa kekuasaan, kesempurnaan, dan keagungan-Nya. Jangkauan Allah meliputi apa yang telah terjadi, sedang, dan akan terjadi. Allah menurunkan syari’at Islam sebagai syari’at yang tidak menerima perubahan dan pergantian. Sedangkan di dalam Qanun terdapat kekurangan, karena ia mencerminkan sifat kurang, lemah, dan keterbatasan manusia. Oleh karena itu Qanun menerima adanya perubahan, pergantian, dan perkembangan sesuai dengan dinamismenya masyarakat. Jadi, Qanun sangat rawan dengan kekurangan dan kelemahan. Ia tidak mungkin mencapai derajat kesempurnaan. Hukum syari’at dasarnya berasal dari wahyu Allah,
13
Yusuf Al Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam (Penerjemah Muhammad Zakki dan Yasir Tajid) (Surabaya: Dunia Ilmu Offset, 1996), h. 1. 14
Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 488. Pendahuluan
9
sedangkan Qanun merupakan rakyu atau dasarnya bersumber dari produk manusia.15 Kedua, syari’at mempunyai kaidah-kaidah yang diproduk oleh Allah untuk selamanya guna mengatur permasalahan manusia. Kaidah-kaidah dalam syari’at dan nash-nya bersifat umum dan sangat lentur, artinya ia dapat merespon kebutuhan masyarakat, meski kondisi, kebutuhan, dan zamannya berkembang. Selain itu, kaidah dan nash dalam syari’at bernilai tinggi dan modern, artinya ia tidak ketinggalan zaman. Syari’at Islam merupakan syari’at yang ajarannya tidak hanya berlaku dan diperuntukkan pada masyarakat tertentu, akan tetapi untuk seluruh umat manusia, baik orang Arab maupun non-Arab, orang Timur maupun non-Timur, meskipun adat dan tradisi mereka berbeda. Sedangkan Qanun mempunyai kaidah yang bersifat temporer yang diproduk oleh sekelompok manusia untuk mengatur setiap perkara dan memenuhi kebutuhannya. Kaidahnya muncul setelah adanya masyarakat. Dengan kata lain Qanun bersifat dinamis, ia akan relevan dengan kondisi masyarakat sekarang, akan tetapi belum tentu relevan untuk masa mendatang.16 Berkaitan dengan penjelasan tersebut, secara spesifik kata Qanun dalam tata hukum Pemerintahan Aceh dipahami sebagai Peraturan Daerah yang digunakan untuk pelaksanaan syari’at Islam. Lebih jauh Qanun Aceh merupakan seperangkat aturan sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Aceh yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia, baik sebagai penyelenggaraan otonomi khusus maupun pelaksanaan syari’at Islam dalam sejumlah aspek kehidupan. Hal ini sebagaimana yang diterangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang berbunyi: “Qanun
Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah 15
Yusuf Al Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam (Penerjemah Muhammad Zakki dan Yasir Tajid) (Surabaya: Dunia Ilmu Offset, 1996), h. 1. 16
Yusuf Al Qardhawi, Membumikan Syari’at, h. 1.
10 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintah dan kehidupan masyarakat Aceh”.17 3.
Kerukunan Umat Beragama Agama Islam telah menggariskan dua pola dasar hubungan yang harus dijalin oleh setiap pemeluknya, yaitu hubungan kepada Allah (hablum minallah), dan hubungan kepada sesama manusia (hablum minannas). Pertama, hubungan vertikal yang terjadi antara pribadi dengan Khaliknya yang direalisasikan dalam bentuk ibadat sebagaimana yang telah digariskan oleh setiap agama. Hubungan ini dilaksanakan secara individu, tetapi lebih diutamakan secara kolektif atau berjamaah (contohnya shalat berjamaah). Pada hubungan ini berlaku toleransi agama yang hanya terbatas dalam lingkungan atau intern satu agama saja. Kedua, hubungan yang terjalin antara manusia dengan manusia. Pada hubungan ini tidak terbatas pada lingkungan suatu agama saja, melainkan juga berlaku kepada semua orang yang tidak seagama, dalam bentuk kerjasama dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umat. Dalam hal seperti inilah berlaku kerukunan dan toleransi dalam pergaulan hidup antarumat beragama.18 Kerukunan merupakan sebuah term yang digunakan untuk menggambarkan suatu kondisi hidup dan kehidupan yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai dengan ajaran agama dan kepribadian Pancasila. 19 Dalam
17
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh, BAB I, Pasal 1. 18
Said Agil Al Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 14 19
Departemen Agama Republik Indonesia, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama, 1997), h. 8-20. Pendahuluan
11
bahasa Arab, kerukunan berasal dari kata ruknun, jamaknya adalah arkan yang berarti asas, dasar atau pondasi (arti generiknya). Sedangkan dalam kaidah bahasa Indonesia, kata rukun dapat diartikan dalam beberapa pengertian: Pertama, secara nominal, kata rukun dapat diartikan sebagai sesuatu yang harus di penuhi untuk sahnya dalam melakukan pekerjaan. Contohnya tidak sah seseorang melakukan shalat apabila tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Kedua, secara adjektif, kata rukun dimaknai sebagai sesuatu yang baik, damai dan tidak bertentangan. Hendaknya kita hidup rukun dengan tetangga, bersatu dan sepakat. Merukunkan berarti mendamaikan atau menjadikan bersatu hati. Sedangkan kerukunan menyangkut perihal hidup rukun, rasa rukun, kesepakatan dan kerukunan hidup bersama.20 Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat mengartikan kerukunan umat beragama sebagai keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraaan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.21 Dalam definisi yang lain, kata kerukunan dapat diartikan sebagai sebuah kesepakatan dalam perbedaan-perbedaan yang ada dan menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai titik tolak untuk 20 Imam Syaukani, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan PerundangUndangan Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan, 2008), h. 5. 21
PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1.
12 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
membina kehidupan sosial yang saling pengertian serta menerima dengan ketulusan hati yang penuh keikhlasan. Kerukunan juga berarti kondisi dan proses tercipta dan terpeliharannya pola-pola interaksi yang beragam diantara unit-unit, unsur atau sub-sistem yang otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai, saling menghormati dan menghargai, serta sikap saling memaknai kebersamaan. 22 Megutip pendapat Franz Magnis Suseno, mengatakan bahwa kata kerukunan yang berasal dari kata rukun dapat diartikan berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan, dan bersatu dalam maksud untuk saling membantu. Dapat dipahami juga bahwa pengertian keadaan rukun merupakan suatu keberadaan semua pihak berada dalam suatu keadaan damai satu sama lain, suka bekerjasama, saling menerima dalam suasana tenang dan sepakat.23 Dalam kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundangundangan Kerukunan Umat Beragama dijelaskan bahwa sebuah kerukunan harus mengandung tiga unsur penting, yaitu: Pertama, kesediaan untuk menerima adanya perbedaaan keyakinan dengan orang atau kelompok lain. Kedua, kesediaan membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakininya. Ketiga, kemampuan untuk menerima perbedaaan dan selanjutnya berusaha menikmati kesyahduan yang dirasakan orang lain sewaktu mereka mengamalkan ajaran agamanya. 24 Selanjutnya untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama, maka dibentuk dalam konsep
22 M. Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2005), h. 7-8. 23
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 39. 24
Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Peraturan Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 2009), h. 6. Pendahuluan
13
Trilogi Kerukunan, yaitu kerukunan internal umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah. 25 a. Kerukunan Internal Umat Beragama Konsep kerukunan ini mencakup pada internal masing-masing umat dalam satu agama, seperti halnya kerukunan di antara aliranaliran, paham-paham atau mazhab-mazhab yang ada dalam suatu umat atau komunitas agama tertentu. Dalam konsep Islam, kerukunan ini biasa diistilahkan dengan ukhuwwah islamiyah, yaitu persaudaraan di antara sesama umat Islam berdasarkan nilai-nilai islami. Dalam mewujudkan suasana damai tersebut tidak hanya sebatas dalam tataran normatif namun juga harus teraktualisasi dalam kehidupan keseharian. Ukhuwwah islamiyah sebagai persaudaraan antara sesama umat Islam berdasarkan nilai-nilai islami harus didasari atas kesadaran untuk saling menghargai dan menjunjung tinggi adanya perbedaan, baik perbedaan dalam segi suku, ras, bahasa, maupun dalam tingkatan yang lebih besar, yakni perbedaan negara. Selain itu, setiap umat Islam juga harus mempunyai kesadaran dalam dirinya bahwa dengan adanya latar belakang perbedaan suku, ras, bahasa, maupun negara tersebut, tentunya juga akan menimbulkan adanya perbedaan dalam segi pemikiran. Oleh sebab itu, setiap Muslim dituntut untuk selalu mengedepankan sikap keterbukaan terhadap Muslim yang lain. 26 Dalam Al Qur’an juga sudah jelas diterangkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dari seorang lakilaki dan perempuan dan menjadikannya bersuku-suku dan berbangsa agar saling mengenal satu sama lain. Sehingga adanya perbedaan bukan sebagai penghalang untuk saling mengenal, dan tolong 25 Syamsul Rijal (Penyunting), Kerukunan Umat Beragama: Substansi dan Realitas Nilai-Nilai Universal Keagamaan (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2003), h. 28. 26
Syamsul Rijal (Penyunting), Kerukunan Umat, h. 30.
14 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
menolong antara sesama Muslim. Hal ini sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an Surah Al Hujurat ayat 13: “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling kenal mengenal (berinteraksi), sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa”. Dalam konsep persaudaraan ukhuwwah islamiyah ini, Allah juga telah menegaskan bahwa sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara. Firman Allah dalam Surah Al Hujurat ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. Kemudian dalam Surah Ali Imran ayat 103 Allah juga menegaskan bahwa di antara sesama umat Islam dilarang saling bercerai berai: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai...”. Selain itu, akan pentingnya agar umat Islam selalu menjaga persaudaraan di antara sesamanya, Rasulullah SAW juga bersabda dalam beberapa hadis sebagai berikut. Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Rasulullah bersabda: “Seorang Muslim adalah
saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh tidak menzaliminya, merendahkannya dan tidak pula meremehkannya. Takwa adalah di sini. Beliau menunjuk dadanya sampai tiga kali - Kemudian beliau bersabda lagi – Cukuplah seseorang dikatakan buruk bila meremehkan saudaranya sesama Muslim. Seorang Muslim terhadap Muslim lain; haram darahnya, kehormatannya dan hartanya”. Hadis berikutnya yang juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang berbunyi: “Perumpamaan kaum mukminin satu dengan yang lainnya
dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah lembut di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga Pendahuluan
15
merasa demam dan tidak bisa tidur”. Selanjutnya hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, bahwa Rasulullah bersabda: “Orang Muslim itu adalah orang yang dapat menyelamatkan (menjaga) Muslim yang lain dari gangguan tangannya dan lidahnya”. b.
Kerukunan Antarumat Beragama
Dalam konsep ini diwujudkan dalam bentuk kerukunan di antara umat atau komunitas agama yang berbeda-beda, seperti kerukunan antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan lain sebagainya. Jika melihat dalam lintas sejarah, relasi antarumat beragama pada dasarnya sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Saat itu, umat Islam dikenal sangat menjunjung tinggi perdamaian dan bersikap toleran terhadap orang-orang nonMuslim.27 Sikap toleran masyarakat Muslim merujuk pada sikap dan perilaku kaum Muslim terhadap non-Muslim yang mengacu pada hubungan antara kaum Muslim dan para pengikut agama Semitis lainnya, yakni Yahudi dan Nasrani. Nabi Muhammad dan para sahabatnya ketika berada di Madinah telah menunjukkan sikap toleransi dan penghargaan yang tinggi terhadap kaum mereka. Nabi Muhammad selalu mengajarkan agar para penduduk Madinah baik Islam, Nasrani dan Yahudi agar selalu bersikap santun, toleran, pemaaf, menghormati, dan tidak pernah menghianati perjanjian
27
Sejatinya makna perdamaian adalah ketika setiap umat beragama memahami bahwa tujuan tertinggi dari agama yaitu ketika setiap orang memandang saudaranya yang lain sebagai sahabat seperjalanan (fellow travel). Karena semua agama pada dasarnya menyerukan perdamaian, persatuan dan persaudaraan serta keselamatan. Sedangkan tujuan dari perdamaian adalah agar setiap orang atau kelompok memiliki pandangan positif ( positive thinking) kepada orang lain sehingga esensi keberagamaan adalah pendalaman dan penghayatan terhadap ajaran agamanya yang tidak ada habis-habisnya. Dikutip dari pertemuan kelas bersama Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA pada Mata Kuliah Studi Konflik dan Perdamaian. Program Magister Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 25 April 2015.
16 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
yang sudah disepakati. Selain itu, Nabi Muhammad juga mengajarkan kepada kaum Nasrani dan Yahudi agar dapat menjaga kehormatan, harta benda, dan keluarga mereka yang hidup damai dengan umat Islam.28 Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat sekaligus pemimpin Negara telah meletakkan dasar-dasar pemerintahan dan menetapkan regulasi hubungan antarumat beragama yang dibentuk dalam sebuah monumen perdamaian melalui traktat Mu’ahadah Madinah atau Piagam Madinah yang menjadi dasar kerjasama antara penghuni Madinah yang terdiri dari Islam, Kristen, dan Yahudi. Isi Piagam Madinah secara umum mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas-komunitas yang merupakan komponen masyarakat majemuk di Madinah. Selain itu, Piagam Madinah juga menjamin hak politik, budaya, dan rasa aman penduduk, mengatur kebebasan beragama, tata cara membangun aliansi politik, mekanisme penyelesaian konflik, dan sistem perpajakan untuk keberlangsungan masyarakat terutama ketika terjadi konflik. Demikian sifat mulia yang telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad dalam menjaga hubungan baik dengan sesama umat manusia yang berbeda keyakinan, dengan tetap mengedepankan kerukunan serta toleransi hidup antarumat beragama.29 Agama Islam mengajarkan agar pemeluknya dapat menghormati dan menghargai penganut agama yang berbeda dan mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar; mengarahkan supaya hidup rukun, hidup sejahtera baik materil maupun spiritual. Mengembangkan sikap hormat menghormati, berkerjasama antar 28 Demikian seperti diungkap oleh sejarawan Muslim, ‘Auf Ibn Burhanuddin al-Halaby al-Syafi’i dalam bukunya al-Sirah. Lihat Abu Bakar Aceh, Toleransi Nabi Muhammad dan Sahabat-Sahabatnya (Jakarta: Yayasan Pengetahuan Islam, 1966), h. 28-30. 29
Dikutip dari pertemuan kelas bersama Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA pada Mata Kuliah Studi Konflik dan Perdamaian. Program Magister Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 25 April 2015. Pendahuluan
17
pemeluk agama sehingga terbina kerukunan, memberi kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Islam juga mengajarkan agar pemeluknya berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi dan memusuhi. Prinsip inilah yang diajarkan oleh Islam melalui firman Allah dalam Surah Al Mumtahanah ayat 8 dan 9. Ayat 8: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. Ayat 9: “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orangorang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. Dari kedua ayat tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Allah hanya melarang umat Islam berteman dengan orang-orang yang memusuhi dan mengusir umat Islam dari negerinya. Untuk itu, terhadap orang-orang yang memusuhi umat Islam, Allah mengingatkan agar bertindak waspada dan hati-hati. Karena mereka senantiasa mengintai orang-orang Islam untuk satu saat menjatuhkannya. Namun Allah sama sekali tidak menyebutkan agama sebagai faktor yang menyebabkan mereka memusuhi orang Islam itu.30 Dalam kehidupan sehari-hari, Islam mengajarkan agar umat Muslim menjaga hubungan yang harmonis dengan non-Muslim dan dapat menciptakan kerukunan antar pemeluk agama. Hubungan tersebut dapat juga dibentuk dengan adanya sikap toleransi (tasamuh) yakni kesediaan menerima kenyataan pendapat yang berbeda-beda tentang kebenaran yang dianut. Dapat menghargai keyakinan orang lain terhadap agama yang dianut serta memberikan 30
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan; Tafsir Al-Ayat AlTarbawiy (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), Cet V, h. 218.
18 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
kebebasan untuk menjalankan apa yang dianut dengan tidak bersikap mencela atau memusuhinya. 31 Menurut Said Agil Al Munawar, kerukunan antarumat beragama ini bukan berarti merelatifir agama-agama yang ada dan melebur kepada satu totalitas (sinkretisme agama) dengan menjadikan agama-agama yang ada itu sebagai mazhab dari agama totalitas itu, melainkan sebagai cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antara golongan umat beragama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.32 Mengutip pendapat Abuddin Nata, dalam rangka membangun kerukunan antarumat beragama ini, umat Islam harus melihat pula adanya persamaan-persamaan di antara umat beragama tersebut. Dari segi agama mungkin berbeda. Namun sebagai manusia mereka memiliki persamaan. Sederhananya mereka sama-sama keturunan Nabi Adam, diciptakan dari bahan dan struktur tubuh yang sama, hidup di bumi yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama, menghirup udara yang sama, dibatasi oleh kematian yang sama, memiliki potensi rohaniah yang sama (yakni akal, hati, jiwa, dan perasaan), kecendrungan psikologis yang sama (merasa ingin berTuhan, ingin dihargai, ingin dihormati, ingin disayangi dan seterusnya). Dengan adanya banyak sekali unsur persaman ini maka tidaklah beralasan jika perbedaan agama membawa kepada perpecahan. Secara keyakinan berbeda tetapi secara manusiawi adalah sama. Untuk itu jika suatu ketika ada orang yang terkena musibah, maka harus segera dibantu, tanpa mempertanyakan agama yang dianutnya. Hal yang demikian karena musibah yang terjadi seperti kecelakaan adalah bukan persoalan agama, tetapi persoalan kemanusiaan. Dalam Al Qur’an persoalan kemanusiaan ini termasuk
31
Thoyib I. M dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 42-182. 32
Said Agil Al Munawar, Fikih Hubungan, h. 4-5. Pendahuluan
19
hal yang harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Dengan cara demikian itulah kerukunan antarumat beragama dapat diciptakan.33 c.
Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah
Kerukunan antarumat atau komunitas agama dengan Pemerintah yaitu adanya keserasian dan keselarasan di antara para pemeluk atau pejabat agama dengan para pejabat pemerintah dengan saling memahami dan menghargai tugas masing-masing dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang beragama. 34 Seluruh komponen bangsa yang meliputi pemerintah, masyarakat, dan organisasi sosial-politik sama-sama memiliki rasa tanggung jawab demi terwujudnya persatuan dan kesatuan nasional. Jalinan hubungan antara pemerintah dan rakyat seharusnya terwujud dalam bentuk tanggung jawab di mana peran dan fungsi pemerintah ialah menjamin kesejahteraan, mewujudkan keadilan sosial, perlindungan atas kehidupan, dan kepastian hukum. Demikian juga dengan rakyat, memiliki tanggung jawab untuk mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku sehingga melalui kesadaran dan tanggung jawab antar komponen tersebut, maka akan terwujud integritas nasional yang dinamis dan berkesinambungan. E.
Tinjauan Pustaka Banyak para pemerhati yang telah melakukan penelitian terkait isu-isu syari’at Islam dan kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal itu setidaknya dengan telah banyaknya dipublikasikan melalui seminar, lokakarya, press release di media massa, menerbitkan buku, makalah/jurnal ilmiah dengan isu syari’at Islam maupun kerukunan umat beragama sebagai temanya. Maka guna untuk lebih menelaah, mendalami dan menghindari terjadinya
33
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat, h. 228-229.
34
Departemen Agama, Bingkai Teologi Kerukunan, h. 8-10.
20 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
plagiasi serta memperkuat dan memperkaya kajian pustaka, penulis melakukan beberapa tinjauan pustaka sebagai berikut. Ada tiga penelitian tentang syari’at Islam di Indonesia yang cukup orisinil, yakni: Pertama, dalam bentuk Tesis (2003) karya Busman Edyar, mahasiswa S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia Pasca Orde Baru”. Dalam penelitiannya, ia berbicara tentang perjuangan umat Islam dalam memformalkan syari’at Islam di Indonesia pasca Orde Baru. Oleh karena itu pembahasannya hanya satu aspek saja, yaitu aspek formalistik, belum mengupas aspek-aspek lain. Kedua, hasil penelitian berbahasa Inggris yang dilakukan oleh Azyumardi Azra dan Arskal Salim, dengan judul “The State and Shari’a in the Perspectif of Indonesian Legal Politics” (Negara dan Syariat dalam Perspektif Politik Hukum di Indonesia). Dalam penelitiannya, peneliti mencoba mendeskripsikan fenomena ekspresi Islam formalistik pasca Orde Baru dalam konteks relasi agama dan Negara di Indonesia. Penelitian ini sekedar berusaha memaparkan tentang peranan Negara dalam merespon isu syari’at Islam bagi penduduk Muslim dalam background masyarakat Indonesia yang pluralistik. Ketiga, penelitian Tesis (2011) yang dilakukan oleh Muhammad Yani mahasiswa S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Pelaksanaan Hukum Jinayat Di Aceh dalam
Perspektif Fiqh dan HAM (Studi Peraturan Daerah Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2013)”. Dalam penelitiannya ia berbicara tentang pemberlakuan hukum jinayat di Aceh yang secara spesifik dilihat dari cara pandang ilmu fiqh dan perspektif HAM. Sehingga pembahasannya hanya sebatas perspektif ilmu-ilmu hukum saja secara formalistik, tetapi belum menyentuh masalah lain semisal bagaimana kondisi kerukunan umat beragama di Aceh setelah berlakunya syari’at Islam. Dalam bentuk buku banyak ditemukan tulisan tentang syari’at Islam, di antaranya: “Menegakkan Syariat Islam dalam
Pendahuluan
21
Konteks ke Indonesiaan, Prospek Penerapan Nilai-Nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik dan Lembaga Negara”, yang disusun oleh H. Hartono Mardjono, SH. Dalam buku ini ada tiga pokok pembahasan yang diketengahkan oleh penulis. Pertama, penulis menguraikan penerapan nilai Islam dalam aspek hukum. Kedua, dalam bagian buku ini penulis menguraikan tentang penerapan nilai Islam dalam aspek politik. Ketiga, dalam bagian buku ini penulis menguraikan tentang penerapan nilai Islam dalam kinerja lembaga Negara. Buku selanjutnya adalah “Syari’at Islam, Pandangan Muslim Liberal”, buku ini diedit oleh Burhanuddin. Secara umum dalam pembahasannya buku ini berusaha menyuguhkan sederetan fakta pengalaman Negara-negara Islam dalam berdialektika dengan syariat Islam dan isu-isu kontemporer soal demokrasi, Hak Asasi Manusia, Civil Society, dan lain-lain. Secara khusus dalam pembahasannya buku ini berusaha mengetengahkan dua bagian. Pertama, terdiri dari “Syari’at Islam, Konstitusionalisme dan Demokrasi”, pembahasaan ini ditulis oleh Saiful Mujani. Kedua, mengenai “Negara dan Syariat Islam dalam Perspektif Hukum Indonesia”, pembahasaan ini diketengahkan oleh Arskal Salim dan Azyumardi Azra. Ketiga, memberikan gambaran tentang “Syariat Islam di Aceh”, yang ditulis oleh Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean. Keempat, berbicara mengenai “Simbolisasi, Politisasi dan Kontrol terhadap Perempuan, study kasus di Aceh” yang ditulis oleh Lili Z, Munir. Selanjutnya adalah buku “Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Syari’at Islam dalam Wacana dan Agenda” yang ditulis oleh Topo Santoso, SH, MH. Secara umum dalam buku ini penulis ingin menepis image negatif masyarakat muslim dan dunia luar bahwa Hukum Pidana Islam sebagai hukum yang sadis, kejam, melanggar HAM dan telah kadaluarsa. Penulis buku ini berusaha untuk menggambarkan Hukum Pidana Islam secara utuh.Gambaran tentang administrasi Peradilan Pidana Islam, Perlindungan HAM 22 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
dalam Hukum Pidana Islam, efektifitas penerapan syariat Islam untuk membentuk “Non criminal society” (masyarakat anti kriminal) dan agenda serta tantangan untuk membumikan Hukum Pidana Islam. Buku terakhir karya Haedar Nashir dengan judul Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, dalam buku ini penulis banyak menyoroti ideologi Islam sebagai dasar gerakan umat dan bagaimana bentuk syariat Islam dapat diterapkan di daerah-daerah khususnya Indonesia. Dan tentunya masih banyak buku lain yang berbicara seputar syari’at Islam dan tidak semua penulis cantumkan. Dalam bentuk jurnal yang terkait dengan syari’at Islam dan kerukunan di Aceh terdapat beberapa tulisan yang relevan, di antaranya: Pertama, Danial, Syariat Islam dan Pluralitas Sosial:
Studi Tentang Minoritas Non-Muslim dalam Qanun Syariat Islam di Aceh (Banda Aceh: Jurnal Analisis, Vol. XII, Nomor 1, Juni 2012). Kedua, Syamsul Bahri, Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Banda Aceh: Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12, Nomor 2, Mei 2012). Ketiga, Muhammad Sahlan, Pola Interaksi Interkomunal Umat Beragama Di Kota Banda Aceh (Banda Aceh: Jurnal Substantia, Vol. 16, Nomor 1, April 2014). Keempat, Marzuki,
Kerukunan dan Kebebasan Beragama dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (Jakarta: Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 36, Oktober-Desember 2010). Menurut penulis, penelitian-penelitian di atas cakupannya masih sangat luas, yakni masyarakat Indonesia secara umum, bukan fokus pada satu daerah, meski ada juga penelitian yang di lakukan di Aceh namun pembahasannya masih dalam lingkup teori subjektif. Selain itu, pembahasannya juga masih dalam tataran kajian hukum Islam, sedikit yang menyinggung tentang kerukunan. Sedangkan penelitian yang ingin penulis lakukan dalam tesis ini terfokus pada satu daerah, yakni Kota Banda Aceh yang majemuk karena dihuni
Pendahuluan
23
oleh beragam etnis, bahasa, budaya, dan agama. Di samping itu, Kota Banda Aceh juga dianggap sebagai representatif dari pelaksanaan syari’at Islam di wilayah Aceh. Dari segi kerukunan juga sangat memadai, karena wilayah Kota Banda Aceh juga dihuni oleh penduduk dengan latar belakang agama yang berbeda-beda. Karena memenuhi kriteria-kriteria tersebut, sehingga penelitian ini ingin mengangkat tentang implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 dan dampaknya terhadap kerukunan umat beragama di Kota Banda Aceh. F.
Metodologi Penelitian Dalam subbab ini penulis membahas mengenai langkahlangkah yang dilakukan dalam melakukan penelitian, yaitu meliputi pendekatan penelitian, teknik pengumpulan data, dan metode analisa data. 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini meneliti tentang implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 dan dampaknya terhadap kerukunan umat beragama di Kota Banda Aceh. Berdasarkan paradigma yang muncul, maka pendekatan yang penulis gunakan dalam menulis tesis ini ialah sosiologis. Pendekatan sosiologis terhadap agama bermaksud untuk mencari relevansi dan pengaruh agama terhadap fenomena sosial. Michael S. Northcott menjelaskan bahwa pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan lainnya karena fokusnya pada interaksi agama dan masyarakat. Praanggapan dasar perspektif sosiologis adalah perhatiannya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia dan kebudayaan termasuk agama. Obyek-obyek, pengetahuan, praktik-praktik dan institusi-institusi dalam dunia sosial, oleh para sosiolog dipandang sebagai produk interaksi manusia dan konstruksi sosial. Bagi para sosiolog, agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hirarki keyakinan-keyakinan, dan perilaku religius, menurut sosiolog adalah 24 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
untuk memperoleh kekuatan kreatif atau menjadi subyek dari kekuatan lain yang lebih hebat dalam dunia sosial. Dalam definisi yang singkat, penggunaan pendekatan sosiologis terhadap agama bertujuan untuk mencari hubungan sejauhmana agama berpengaruh terhadap struktur-struktur sosial dalam memainkan perannya.35 2.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan cara yang penulis gunakan untuk mengumpulkan berbagai keterangan data sebagai sumber utama dalam penelitian ini. Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan dua metode, yaitu: a. Data Kepustakaan (Library Research) Kajian kepustakaan dilakukan dengan cara meneliti, mengkaji, dan menelaah literatur-literatur, seperti: naskah UndangUndang Negara Republik Indonesia, naskah Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 sebagai referensi utama, dan berbagai produk Qanun lainnya yang berhubungan langsung dengan syari’at Islam. Di samping itu juga melakukan kajian terhadap buku, jurnal ilmiah, koran, laporan hasil penelitian, serta sumber kepustakaan lainnya tentang syari’at Islam dan kerukunan sebagai data penunjang. b. Data Lapangan (Field Research) Untuk mendapatkan data lapangan, penulis memakai teknik pengamatan langsung dan wawancara. Teknik pengamatan langsung penulis gunakan dengan tujuan untuk memperoleh keyakinan terhadap keabsahan data-data yang telah ada, serta ingin mendapat pengalaman dengan cara mengalami dan memahami langsung segala
35
Kautsar Azhari Noer dan Media Zainul Bahri, Laporan Penelitian Kolektif Buku Ajar Pengantar Studi Perbandingan Agama (Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2008), h. 84. Pendahuluan
25
peristiwa/situasi yang terjadi di lapangan selama proses penelitian.36 Dalam pengamatan ini penulis berusaha untuk mencatat dan mendokumentasikan segala peristiwa yang terjadi terhadap objek yang diteliti. Sedangkan teknik wawancara dilakukan kepada beberapa tokoh yang berkompeten dan dianggap cakap serta kepada beberapa warga masyarakat biasa sebagai narasumber untuk memperkuat data. c. Metode Analisa Data Setelah data kepustakaan dan lapangan diperoleh lengkap, selanjutnya penulis menganalisa kedua data tersebut. Analisa dilakukan secara deduktif (deductive approach) sekaligus mencoba untuk memahami dengan mengkaitkan antara aspek yang satu dengan aspek lainnya guna mempertajam pembahasan. Cara ini digunakan untuk memperoleh pemahaman (insight) yang menyeluruh (whole) dan tuntas (exhaustive) tentang aspek-aspek yang relevan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Pendekatan deduktif juga sering digambarkan sebagai pengambilan kesimpulan atau mencari kebenaran yang berangkat dari hal-hal bersifat umum ke hal yang bersifat khusus (going from the general to the specific).
36
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007. Cet. 23), h. 174.
26 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
BAB II Gambaran Umum Kota Banda Aceh
A.
Kondisi Sosio-Historis Sejarah Kota Banda Aceh diawali dari berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Johan Syah pada tahun 601 H/1205 M. Keterangan ini didapat berdasarkan naskah tua dari hasil penemuan batu-batu nisan yang berada di Kampung Pande. Dari salah satu batu nisan tersebut terdapat batu nisan salah seorang sultan Aceh, yakni Sultan Firman Syah yang merupakan salah seorang cucu dari Sultan Johan Syah. Kerajaan Aceh Darussalam dibangun diatas puing-puing kerajaan Hindu dan Buddha yang pernah ada sebelumnya setelah berhasil ditaklukkan oleh Sultan Johan Syah. Beberapa kerajaan tersebut antara lain Kerajaan Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indra Pura. Kerajaan Aceh Darussalam beribukotakan Banda Aceh Darussalam yang kemudian menjadi cikal bakal Kota Banda Aceh saat ini. Tercatat bahwa Banda Aceh Darussalam hingga saat ini telah berusia 811 tahun dan menjadi salah satu Kota Islam tertua di Asia Tenggara.1 Keberadaan Kerajaan Aceh Darussalam saat itu tidak lepas dari eksistensi Kerajaan Islam yang berada di Lamuri. Hingga pada akhir abad 15 terjalinlah hubungan baik antar kedua kerajaan tersebut, dan akhirnya Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Meukuta Alam yang berada diwilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut catatan sejarah, ada yang mengatakan bahwa Lamuri merupakan suatu daerah yang terletak di Aceh Besar, yaitu Lam Urik 1
Web Pemko Banda Aceh: http://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html. Diakses tanggal 20 Agustus 2016.
27
(sekarang). Hal ini juga ditegaskan oleh N.A. Baloch dan Lance Castle, menurut mereka yang dimaksud dengan Lamuri adalah Lamreh yang berada di Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya (sekarang). Sedangkan istana pada masa itu dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande, yang saat ini dikenal dengan nama Kandang Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia yang sekarang ini berada dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur. Selain itu, pada tahun 691 H, Sultan Alaidin Mahmud Syah juga mendirikan Masjid Djamil Baiturrahman.2 Pada saat Belanda menjajah wilayah Aceh, terjadi perlawanan sengit yang dilakukan oleh Sultan dan seluruh rakyat yang berlangsung selama 70 tahun. Kekuatan dan ekspansi tentara Belanda yang begitu besar dalam usahanya untuk menaklukkan Aceh, membuat wilayah Kerajaan Aceh Darussalam mengalami kehancuran. Akhirnya tentara Belanda berhasil menduduki istana kerajaan pada saat agresi militer kedua, peristiwa ini terjadi tanggal 24 Januari 1874. Sehingga di bawah kepemimpinan Gubernur Van Swieten, nama Kota Banda Aceh Darussalam diganti menjadi Kutaraja. Perubahan nama ini disetujui langsung oleh Gubernur Jenderal Belanda di Batavia pada tangal 16 Maret 1874. Maka semenjak saat itu, nama Banda Aceh Darussalam telah resmi menjadi Kutaraja sebagai lambang dari kolonialisme. 3 Namun dikalangan tentara Belanda yang pernah bertugas di Aceh menentang atas pergantian nama kota ini, mereka menganggap 2
Web Pemko Banda Aceh: http://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html. Diakses tanggal 20 Agustus 2016. 3
Nama kuta raja sebenarnya berasal dari nama sebuah tempat pertahanan atau benteng Sultan atau Raja yang terdapat dalam istana bagian dari Kota Banda Aceh Darussalam.
28 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
bahwa Van Swieten hanya mencari muka dihadapan pejabat tinggi Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan kesultanan dan para pejuang Aceh. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1963 nama Kutaraja diganti kembali menjadi Banda Aceh. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor Des 52/1/43-43 tanggal 09 Mei 1963. Atas perubahan nama tersebut, maka secara resmi nama Kutaraja dikembalikan kepada nama aslinya yaitu Banda Aceh dan menjadi ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.4 Seiring dengan perkembangan zaman, Kota Banda Aceh banyak mengalami perubahan dan terus mencatatkan sejarahnya dari waktu ke waktu; dari zaman kerajaan, perlawanan terhadap Belanda, konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia, hingga bencana tsunami. Bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 lalu telah meluluh lantakkan dan menghancurkan sepertiga wilayah Kota Banda Aceh. Merenggut ratusan ribu nyawa, menyebabkan rusaknya berbagai infrastruktur, menghilangkan tempat tinggal, harta benda, dan mengakibatkan kehidupan sosial masyarakat menjadi terganggu. Bencana gempa dan tsunami dengan kekuatan 8,9 Skala Richer dalam dua abad terakhir ini juga tercatat sebagai bencana terdahsyat dan terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah dunia. Dengan bencana ini menjadikan Kota Banda Aceh sebagai pusat perhatian masyarakat dunia nasional maupun internasional; baik lembaga Pemerintah, Non Goverment Organization (NGO), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta berbagai kalangan ikut serta berpartisipasi dalam memulihkan dan membangun kembali wilayah Kota Banda Aceh. Setahun pasca bencana gempa dan tsunami tersebut, Aceh kembali mencatatkan sejarah dengan ditandatanganinya perjanjian 4
Web Pemko Banda Aceh: http://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html. Diakses tanggal 20 Agustus 2016. Gambaran Umum Kota Banda Aceh 29
damai antara GAM dengan Pemerintah RI yang dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Konflik Aceh yang berkepanjangan menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa dan orang hilang serta menghambat stabilitas politik dan keamanan yang pada dasarnya menjadi modal dasar bagi pembangunan Provinsi Aceh, khusunya Kota Banda Aceh. Sehingga kesepakatan damai yang ditandatangani tanggal 15 Agustus 2005 ini menjadi tahapan penting bagi masyarakat Aceh dalam memasuki kehidupan damai yang telah didamba-dambakan selama ini. Secara astronomis, Kota Banda Aceh terletak antara 05º 16’ 15” – 05º 36’ 16” Lintang Utara dan 95º 16’ 15” – 95º 22’ 35” Bujur Timur atau berada di belahan bumi bagian utara dengan ketinggian rata-rata 0.80 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan posisi geografisnya, Kota Banda Aceh memiliki batas-batas yakni sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar, sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar.5 B.
Potret Pluralitas Masyarakat Berdasarkan letak geografisnya, Kota Banda Aceh berada di ujung utara Pulau Sumatera sekaligus menjadi wilayah paling barat dari Pulau Sumatera. Luas daerah Kota Banda Aceh berkisar 61.36 Km² yang terbagi dalam 9 kecamatan, 17 kemukiman dan 90 gampong. Adapun kecamatan yang berada di Kota Banda Aceh ialah Kecamatan Meuraxa, Jaya Baru, Banda Raya, Baiturrahman, Lueng Bata, Kuta Alam, Kuta Raja, Syiah Kuala, dan Ulee Kareng. Banda Aceh dengan statusnya sebagai sebuah Wilayah Administratif Kota dipimpin oleh seorang Walikota dengan membawahi Pemerintah Daerah yaitu Camat sebagai pemimpin Kecamatan. Sementara
5
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banda Aceh Tahun 2015.
30 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Camat membawahi Kepala Gampong yang berada di dalam wilayahnya. Setiap kepala pemerintahan tersebut memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur roda administrasi wilayahnya masing-masing.6 Gambar 2.1 Peta Administratif Kota Banda Aceh
Pasca gempa dan tsunami 2004 lalu, Kota Banda telah berbenah diri dan selalu siap untuk menjadi salah satu tujuan wisata di wilayah Aceh. Hal ini terbukti dengan banyaknya event yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah guna menggaet wisatawan lokal maupun wisatawan asing agar berkunjung ke tempat wisata yang berada di wilayah ini. Objek wisata yang sudah diperbaiki dan diperindah merupakan salah satu omset daerah di sektor jasa hiburan. Sehingga sejak tahun 2009, Pemerintah Kota telah mencanangkan program tahun kunjungan wisata atau “Visit Banda Aceh Year”. Di antara keindahan objek pariwisata di Kota Banda Aceh yang dapat dinikmati oleh wisatawan ialah: Wisata Alam (Pantai Syiah Kuala, Pantai Gampong Jawa, Pantai Alue Naga, dan 6
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banda Aceh Tahun 2015. Gambaran Umum Kota Banda Aceh 31
Pantai Ulee Lheue); Wisata Spiritual (Masjid Raya Baiturrahman, Masjid Baiturrahim, Masjid dan Makam Tgk. Dianjong, Masjid dan Makam Tgk. Dibitai, dan Masjid Omman); Wisata Sejarah (Makam Sultan Iskandar Muda, Makam Kandang XII, Komplek Makam Raja Dinasti Bugis, Makam Kandang Meuh, Komplek Makam Sultan Ibrahim Mansur Syah, Makam Tgk Syiah Kuala, dan lain-lain); dan Wisata Tsunami (PLTD Apung, Kapal di Atas Rumah, Taman Thanks To The World, Kuburan Massal, dan Museum Tsunami Aceh).7 Sementara secara demografis, berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, jumlah penduduk Kota Banda Aceh yang tersebar di 9 kecamatan pada pertengahan tahun 2014 sebanyak 249.282 jiwa yang terdiri dari 128.333 penduduk laki-laki dan 120.949 penduduk perempuan dengan sex ratio sebesar 106,11. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan penduduk Kota Banda Aceh adalah semua orang yang berdomisili di wilayah Kota Banda Aceh selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap.8 Sebagai ibu kota provinsi dan pusat pemerintahan, Kota Banda Aceh menjadi pusat kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya; sehingga kota ini menjadi sangat heterogen. Hal ini dapat ditandai dengan adanya berbagai macam latar belakang penduduk baik dari segi suku, bahasa, ras, agama maupun pekerjaan. Suku asli yang mendiami wilayah ini merupakan suku Aceh, sedangkan sukusuku yang lain kebanyakan dari mereka merupakan pendatang yang merantau, kuliah, dan menetap di Banda Aceh. Mayoritas penduduk Kota Banda Aceh merupakan penganut agama Islam, yakni sekitar 98 persen penduduk memeluk agama Islam dan dua persen pemeluk
7
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh Tahun 2015.
8
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banda Aceh Tahun 2015.
32 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
agama lainnya. Secara rinci jumlah penganut agama di Kota Banda Aceh tercatat 264.015 Muslim, 383 Protestan, 600 Katolik, Hindu 150, dan Buddha 3.075. Sedangkan menurut penyebarannya di masing-masing kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut:9 Tabel 2.1 Jumlah Penganut Agama menurut Kecamatan No
Kecamatan
Islam
Protestan
Katolik
Hindu
Buddha
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Meuraxa Jaya Baru Banda Raya Baiturrahman Lueng Bata KutaAlam Kuta Raja Syiah Kuala Ulee Kareng
21.026 26.525 26.640 36.834 26.037 48.745 12.977 38.188 27.043
8 12 71 78 125 68 21 -
18 165 28 315 74 -
4 2 6 118 20 -
22 218 266 2.370 199 -
264.015
383
600
150
3.075
Jumlah Total
Sementara dari jumlah sarana peribadatan di Kota Banda Aceh tahun 2014 yang tersebar dimasing-masing kecamatan terdapat 264 tempat ibadah umat Islam (Masjid, Meunasah dan Mushalla), 4 Gereja (Protestan dan Katolik), 1 Kuil dan 1 Klenteng. Untuk penyebarannya perkecamatan dapat dilihat pada tabel berikut:10
9
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Banda Aceh Tahun
2015. 10
Kantor Kementerian Agama Kota Banda Aceh Tahun 2014. Gambaran Umum Kota Banda Aceh 33
Tabel 2.2 Jumlah Tempat Ibadah menurut Kecamatan
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kecamatan Meuraxa Jaya Baru Banda Raya Baiturrahman Lueng Bata KutaAlam Kuta Raja Syiah Kuala Ulee Kareng Jumlah Total
Masjid, Mushalla, dan Meunasah 31 31 21 40 23 45 20 39 14 264
Gereja Protestan
Katolik
3 3
1 1
Kuil
Klenteng
1 1
1 1
Dalam bidang profesi atau pekerjaan, masyarakat Kota Banda Aceh juga sangat beragam, mulai dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) hingga pegawai swasta. Namun yang paling menonjol dari profesi ini dan mudah ditemui ialah berdagang, baik di pusat kota yang mendiami ruko (rumah toko), di pasar, maupun tempat-tempat lain. Dari segi pendidikan, terlihat bahwa adanya kemajuan yang pesat di wilayah ini, hal ini karena didukung dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai yang dimiliki oleh Kota Banda Aceh. Setiap kecamatan telah memiliki fasilitas pendidikan dari tingkat pendidikan kanak-kanak sampai dengan tingkat pendidikan menengah pertama. Kemajuan pendidikan di kota ini juga dapat ditandai dengan adanya keberadaan sekolah-sekolah bertaraf nasional maupun internasional. Selain itu, keberadaan universitasuniversitas ternama seperti Universitas Syiah Kuala, UIN ArRaniry, Politeknik Aceh dan universitas lainnya juga menjadi salah satu tolak ukur kemajuan Kota Banda Aceh dalam bidang 34 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
pendidikan. Dengan keberadaan sekolah-sekolah bertaraf nasional maupun internasional dan juga universitas-universitas tersebut, sehingga Kota Banda Aceh menjadi tujuan utama bagi para siswa dan mahasiswa dari Aceh maupun luar daerah Aceh untuk belajar dan menimba ilmu di tempat ini. Dalam upaya mewujudkan ketentraman dan kenyamanan hidup di tengah masyarakat majemuk, serta untuk mewujudkan harapan dan aspirasi stakeholders dan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam upayanya mendukung pelaksanaan syari’at Islam, maka Kota Banda Aceh di tahun 2012-2017 mempunyai visi, yaitu: “Banda Aceh Model Kota Madani”. Penggunaan istilah madani mengacu pada kehidupan masyarakat Islam di Kota Madinah yang telah dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Kata madani dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu madani yang merujuk pada Kota Madinah, dan madani yang diartikan sebagai peradaban. Model Kota Madani bercirikan sebuah kota yang penduduknya beriman dan berakhlak mulia, menjaga persatuan dan kesatuan, toleran dalam perbedaan, taat hukum, dan memiliki ruang publik yang luas. Di samping itu masyarakatnya ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pembangunan, mampu bekerjasama untuk menggapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Keadaan ini diharapkan melahirkan warga Kota Banda Aceh yang memiliki jati diri yang ramah, taat aturan, damai, sejahtera, harga diri tinggi, berbudaya, dan beradab. 11 Selanjutnya untuk mewujudkan visi tersebut, Kota Banda Aceh menjabarkannya dalam misi-misi sebagai berikut:12 1. Meningkatkan kualitas pengamalan agama menuju pelaksanaan syariat Islam secara kāffah. 11 Web Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh: satpolpp-wh.bandaacehkota.go.id/profil/visi/misi/. Diakses tanggal 20 November 2016. 12
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banda Aceh Tahun 2015. Gambaran Umum Kota Banda Aceh 35
2.
Memperkuat tata kelola pemerintah yang baik.
3.
Memperkuat ekonomi kerakyatan.
4.
Menumbuhkan masyarakat yang berintelektualitas, sehat dan sejahtera.
5.
Melanjutkan pembangunan infrastruktur pariwisata yang islami.
6.
Meningkatkan partisipasi perempuan dalam ranah publik dan perlindungan anak.
7.
Meningkatkan peran generasi muda sebagai kekuatan pembangunan kota.
C.
Format Relasi dan Interaksi Sosial Sebagai makhluk sosial, setiap manusia tidak dapat hidup sendiri maupun terpisah dari lingkungannya, antara manusia satu dengan manusia lainnya saling ketergantungan. Karena hubungan antara sesamanya merupakan suatu keharusan dan kewajaran. Hubungan antara manusia satu dengan lainnya diakibatkan karena adanya keinginan untuk saling membutuhkan. Mengutip pendapat Aristoteles, seorang filsuf besar mengatakan bahwa pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosial selalu mempunyai naluri untuk berkumpul dan bergaul dengan sesamanya melalui proses sosial, yang kemudian ia istilahkan manusia sebagai zoon politicon. 13 Proses sosial tersebut dapat terjadi melalui sebuah interaksi sosial yang merupakan syarat utama terjadinya aktifitas sosial. Interaksi sosial dapat dimaknai sebagai hubungan antara orang perorangan, antara kelompok dengan kelompok yang berlangsung secara dinamis. Sehubungan dengan hal tersebut, Soerjono Soekanto mengatakan bahwa interaksi sosial dapat terjadi apabila adanya hubungan timbal balik antara dua belah pihak, dan dapat dilakukan 13
Syafri Hamid, Azas-Azas Sosiologi: Suatu Bahasan Teoritis dan Sistematis (Jakarta: UI Press, 1999), h. 75.
36 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
melalui cara saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara dan lain sebagainya.14 Dalam kehidupan masyarakat, relasi sosial akan selalu terjadi dengan sendirinya karena adanya desakan kebutuhan batiniah dalam diri setiap orang guna memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, terjadinya interaksi sosial tersebut didasarkan atas saling membutuhkan satu sama lain dan tidak ada unsur keterpaksaan. Interaksi dan relasi sosial telah menjadi kebutuhan yang tidak mungkin untuk dihindari. Berkaitan dengan teori di atas, penulis melihat bahwa relasi dan interaksi sosial warga masyarakat Kota Banda Aceh terjadi dalam dua pola, yakni pola interaksi secara individual dan pola interaksi secara melembaga. Pola interaksi secara individual dalam kehidupan sehari-hari ini biasanya terjadi secara spontan atau tanpa direncanakan oleh warga masyarakat. Namun kadang dalam beberapa kesempatan, pola interaksi ini juga diciptakan oleh warga masyarakat dengan melakukan beberapa kegiatan seperti gotong royong baik ditingkat dusun maupun gampong, festival budaya, kegiatan sosial kemanusiaan seperti bakti sosial, donor darah, dan lain-lain yang memungkinkan untuk berkumpul bersama-sama. Dalam pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, interakasi melalui kegiatan sosial ini berjalan sangat baik, dalam tingkat dusun maupun gampong di lingkungan Kota Banda Aceh. Tradisi mengunjungi salah seorang warga yang tertimpa musibah seperti meninggal dunia atau sakit juga sering dilakukan. Selain itu, interaksi sosial masyarakat juga sering terjadi ditempat-tempat umum yang tersedia sehingga membuka kesempatan bagi warga masyarakat untuk bertemu, seperti halnya di pasar, warung kopi, taman-taman kota atau ruang terbuka hijau, dan lain sebagainya. Pola interaksi kedua yang juga dilakukan oleh warga masyarakat Kota Banda Aceh yaitu melalui kegiatan yang sifatnya 14
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001), Cet. 21, h. 169. Gambaran Umum Kota Banda Aceh 37
formal dan melembaga. Kegiatan ini biasanya difasilitasi langsung oleh Pemko Banda Aceh dengan mempertemukan berbagai tokoh masyarakat dari latar belakang yang berbeda, baik tokoh adat maupun tokoh agama. Dalam kesempatan ini, kegiatan yang dilakukan biasanya berupa dialog dengan tema tertentu yang sedang hangat dan berkembang di masyarakat pada saat itu, seperti dialog lintas agama yang melibatkan Pemko Banda Aceh, Kementerian Agama, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Penulis menilai bahwa dalam upaya untuk membangun, menjaga dan mempertahankan kerukunan umat beragama yang telah ada di Kota Banda Aceh, peran pemuka agama menjadi sangat penting. Sehingga pertemuan tokoh-tokoh lintas agama untuk berdiskusi dan bermusyawarah adalah wahana yang cukup positif untuk membangun kebersamaan dan saling memahami. Dengan seringnya melakukan pertemuan-pertemuan antar tokoh lintas agama, maka nantinya dapat memberikan pengaruh positif kepada umat beragama. Dari semua relasi dan interaksi sosial dalam kehidupan seharihari warga masyarakat Kota Banda Aceh tersebut, yang sering dijumpai dan menjadi fenomena unik ialah pertemuan di warung kopi. Bagi masyarakat Aceh, warung kopi merupakan tempat yang nyaman dan aman untuk bertemu dengan teman, saudara maupun tetangga yang hanya sekedar membicarakan hal-hal ringan hingga yang berat sekalipun. Karena hanya dengan bermodalkan segelas kopi, orang Aceh akan betah duduk berjam-jam di tempat ini. Kebiasaan duduk di warung kopi pada masyarakat Aceh sudah berlangsung cukup lama. Kebiasaan itu dipercaya sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, terutama di kawasan pelabuhan dan pusat perdagangan. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga kini, tidak mengherankan jika di Aceh banyak terdapat warung kopi. Sehingga dapat dikatakan bahwa kebiasaan minum kopi sudah mengakar bagi masyarakat Aceh. 38 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Topik pembicaraan di warung kopi biasanya juga berbedabeda sesuai dengan kondisi saat itu, tergantung musim yang sedang berlagsung. Misalnya saja apabila sedang musim bola (liga champions, piala dunia, dan lain-lain), maka pembicaraannya seputar bola, selain itu tema pilkada juga bisa menjadi bahan diskusi yang menarik, tetapi masalah-masalah lain juga bukan hal yang asing untuk diperbincangkan. Sebagai ulasan singkat, bentuk-bentuk warung kopi di Aceh dapat digambarkan dalam beberapa kategori sebagai berikut: Warung kopi tradisional ialah proses penyajian minuman kopi yang direbus lalu menggunakan saringan saat hendak disajikan. Fasilitasnya tak lebih dari meja dan kursi. Warung kopi ini digolongkan sebagai generasi pertama. Generasi kedua adalah warung kopi yang dikembangkan dengan waralaba. Generasi ketiga adalah warung kopi yang memberi fasilitas tak hanya minuman dan makanan, tetapi juga musik, televisi satelit, dan akses internet yang lebih modern dan mempunyai daya tarik yang tinggi bagi para pecinta kopi.15 Proses interaksi sosial di warung kopi ternyata dapat mengubah fungsi tempat minum kopi, dari sekedar warung kopi menjadi sejenis ruang sosial. Warung kopi menjadi tempat berinteraksi dan berkomunikasi antara semua lapisan masyarakat, masyarakat umum dan pejabat publik dengan beragam topik diskusi baik sosial, budaya, ekonomi, hingga politik. Dapat dikatakan bahwa warung kopi telah menjadi pranata sosial dalam masyarakat Aceh yang sulit dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari, juga tidak berlebihan jika disebut sebagai bagian dari identitas masyarakat Aceh. Keberadaan pranata sosial ini menyebar di seluruh pelosok Aceh, baik di pusat-pusat kota maupun di gampong-gampong serta memiliki fungsi sebagai kegiatan sosialisasi dan interaksi di antara warga masyarakat. Kebiasaan duduk di warung kopi bagi 15
Lihat
https://khairulummami.wordpress.com/2015/06/04/kedai-kopi-
budaya-diskusi-orang-aceh/. Diakses tanggal 21 November 2016.
Gambaran Umum Kota Banda Aceh 39
masyarakat Aceh bukanlah kebiasaan yang lahir begitu saja, tetapi kebiasaan ini telah berlangsung lama dan diwariskan dari generasi ke generasi.16 Penulis menilai bahwa keberadaan warung kopi dan kebiasaan minum kopi bagi masyarakat Aceh ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, keberadaan warung kopi sebagai wahana bertemunya warga masyarakat menjadikan fungsi warung kopi sebagai tempat yang tepat untuk bertemu, berinteraksi dan saling mengenal satu sama lain. Pertemuan yang tidak formal dan berlangsung santai ini dapat menumbuhkan rasa kekeluargaan bagi masyarakat Aceh, sehingga dapat menciptakan kerukunan sosial. Disisi lain, kebiasaan minum kopi bagi masyarakat Aceh ternyata juga berdampak negatif, hal ini karena kebiasaan minum kopi tersebut menyita hampir separuh waktu masyarakat. Karena hanya dengan segelas kopi, orang Aceh akan betah duduk berlama-lama ditempat tersebut. Tentunya banyak waktu yang terbuang dan tidak produktif, yang seharusnya dapat digunakan untuk bekerja dan melakukan kegiatan lainnya yang lebih bermanfaat. Alangkah bijaknya jika kebiasaan ini dapat dimanfaatkan dengan kegiatan-kegiatan positif, sehingga dapat memunculkan ide serta gagasan-gagasan penting dalam rangka membangun opini publik tentang berbagai hal, seperti pembangunan di wilayah Aceh.
16
Lihat
https://khairulummami.wordpress.com/2015/06/04/kedai-kopi-
budaya-diskusi-orang-aceh/. Diakses tanggal 21 November 2016.
40 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
BAB III Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
A.
Latar Belakang Pembentukan Masyarakat Aceh dikenal mempunyai semangat tinggi dan sikap fanatik dalam menjalankan rukun Islam. Akibat kentalnya nuansa keislaman maka daerah ini populer dengan sebutan Serambi Mekkah, sebagai suatu gambaran dari cita-cita kehidupan masyarakat Aceh yang islami.1 Sebutan nama Aceh dengan Serambi Mekkah juga karena dari wilayah inilah kaum Muslimin dari berbagai wilayah di Indonesia berangkat ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. 2 Dari segi politik, Islam menjadi semangat perjuangan masyarakat dalam mempertahankan wilayah dari pendudukan dan penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan, rakyat Aceh sangat anti dengan orang asing (Belanda) dan menganggapnya sebagai kafir, maka dengan semangat Islam tersebut mereka rela mati demi mempertahankan negerinya dengan sebutan Perang Sabil. Sehingga fanatisme Islam telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Aceh. 3 Adanya semangat dan fanatisme kuat terhadap Islam tersebut yang kemudian melahirkan gerakan pemberlakuan syari’at Islam secara formal. Di samping itu, konflik di Aceh dalam rentang sejarah sejak masa penjajahan juga selalu terkait dengan syari’at Islam. Hal ini pula yang kemudian 1 Haedar Nashir, Islam Syari’at: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), h. 334. 2
Lihat Penjelasan Umum Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3
Syamsul Rizal, Perilaku Pacaran Anak Muda Kota Langsa - Aceh Dalam Bayang-Bayang Syariat, dalam Irwan Abdullah, dkk (Editor), Agama dan Kearifan Lokal Dalam Tantangan Global (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 384-385.
41
menjadi landasan dalam memperjuangkan legalitas formal untuk menjalankan syari’at Islam secara paripurna. Namun demikian, fakta yang tidak dapat dihilangkan bahwa pemberlakuan syari’at Islam di Aceh jauh lebih banyak diwarnai oleh dinamika politik tawar menawar antara Aceh dan Pemerintah Pusat. Munculnya gerakan penerapan syari’at Islam tidak sepenuhnya murni tumbuh dari gerakan masyarakat, tetapi lebih karena akomodasi dan kebijakan politik dalam konteks penyelesaian konflik yang berkepanjangan di wilayah ini sejak era Orde Baru. Konflik politik itu bahkan memiliki akar kesejarahan sejak Indonesia merdeka hingga Orde Lama yang melahirkan ketegangan yang berskala luas dan lama. 4 Dengan kata lain, pemberlakuan syari’at Islam secara formal di Aceh tidak dapat dipisahkan dari upaya tawar menawar Negara melalui pendekatan agama untuk menyelesaikan permasalahan Aceh agar tetap berada dalam NKRI, kendati faktor gerakan pun juga ikut mewarnainya. Dengan diberlakukan syari’at Islam di Aceh, menimbulkan persepsi di kalangan rakyat Aceh yang memandang Negara serius menyelesaikan permasalahan konflik. Bersamaan dengan pendekatan militer dan politik yang dilakukan, ternyata pendekatan islamisasi Aceh dipandang terbukti berhasil. 1. Landasan Filosofis Masyarakat Aceh sepanjang sejarah telah menjadikan agama Islam sebagai pedoman hidup dengan segala kelebihan maupun kekurangannya. Penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran Islam dalam rentang sejarah yang cukup panjang itu telah melahirkan suasana masyarakat dan budaya Aceh yang islami, budaya dan adat yang lahir dari renungan para ulama yang kemudian dipraktekkan,
4
Haedar Nashir, Islam Syari’at, h. 333.
42 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
dikembangkan dan dilestarikan. 5 Sejarah mencatat bahwa masyarakat Aceh dikenal sangat tunduk dan taat kepada ajaran Islam. Penghayatan terhadap ajaran Islam itu kemudian melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. 6 Sehingga muncul sebuah hadih maja yang menggambarkan adanya kondisi sosio-kultural masyarakat Aceh yang mengidentikkan antara adat dan budaya selalu searah dan relevan dengan Islam. “Adat bak po
teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak putroe phang, Reusam bak laksamana, Adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut”. Artinya: “Adat budaya diurus oleh raja, hukum syara’ dikelola oleh ulama (Syiah Kuala), kanun diurus oleh permaisuri raja (Puteri Phang), reusam (tata cara kehidupan) dikelola oleh panglima, adat dengan hukum seperti zat dengan sifat”. Pemahaman terhadap hadih maja tersebut mengandung arti adanya konsep pembagian kekuasaan dalam Kesultanan Aceh Darussalam. Kekuasaan politik dan adat berada di tangan Sultan ( Po Teumeureuhom), kekuasaan pelaksanaan hukum berada di tangan ulama (Syiah Kuala), kekuasaan pembuat undang-undang berada di tangan Putroe Phang, dan peraturan protokoler (reusam) berada di tangan Laksamana (Panglima Perang Aceh). Dalam keadaan bagaimana pun, baik adat, Qanun, maupun reusam tidak boleh dipisahkan dari hukum, hal ini dapat diartikan sebagai ajaran Islam. Antara adat dan ajaran Islam merupakan harmonisasi yang tidak 5
Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam. 6 Adat dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan. Selanjutnya adat dalam kehidupan masyarakat Aceh dapat diartikan sebagai suatu tradisi yang secara turun temurun dipraktekkan oleh masyarakat Aceh yang diwarisi oleh para pelaksana hukum, di samping sebagai landasan berprilaku dan tuntutan hidup dari nenek moyang yang diturunkan secara terus menerus kepada generasi penerusnya. Artinya adat di sini merupakan sesuatu yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat Aceh. Lihat Abdul Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisa Interaksionis, Integrasi, dan Konflik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 107.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
43
dapat dipisahkan satu sama lain. Menurut Hosein Djajadiningrat, yang dimaksudkan hukom dalam peribahasa tersebut dalam kehidupan masyarakat Aceh ialah hukum Islam, sedangkan adat bermakna pemerintahan dan segala jenis pajak. Reusam diartikan sebagai tata cara setempat, sedangkan Qanun artinya hukum yang mengatur. Adanya adagium ini pada dasarnya mengungkapkan latar belakang kehidupan keseharian masyarakat Aceh yang sangat dipengaruhi oleh hukum adat dan agama. Bagi masyarakat Aceh, adat merupakan ketentuan hukum yang bertalian dengan kehidupan kemasyarakatan dan ketatanegaraan duniawi yang berada di tangan raja sebagai Khadam Adat. Hukom mengandung arti sebagai ketentuan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan sekitar yang bersumber dari ajaran Islam. Qanun merupakan adat dan budaya wanita dalam berbagai upacara kemasyarakatan. Sedangkan reusam menyangkut aturan tata krama bagi lelaki dalam melaksanakan adat kebiasaan dan budaya dalam kehidupan masyarakat.7 Adat tersebut hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, sehingga jauh sebelum syari’at Islam di formalisasikan dan dituangkan dalam bentuk Qanun, masyarakat Aceh telah dikenal sebagai masyarakat yang taat terhadap hukum agama dan menjadikan Islam sebagai pegangan hidupnya. Lebih jauh, pelaksanaan syariat Islam di Aceh saat ini merupakan sebuah perwujudan dari cita-cita adagium hadi maja tersebut. Sehingga bagi masyarakat Aceh, Islam bukan hanya dipandang sebagai pedoman semata melainkan telah menjadi rutinitas dalam realitas kehidupan. 8 Bagi orang Aceh, mempersepsikan dirinya sebagai orang Islam merupakan bagian dari kehidupan budaya. Ketika hal 7 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), h. 14. 8
Syamsul Bahri, Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), h. 361.
44 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
ini terjadi, seakan diri mereka telah menyatu dengan ajaran Islam, sehingga hampir tidak ada di antara mereka yang menyalahi atau bertentangan dengannya. Penerapan syari’at Islam di Aceh sangat erat kaitannya dengan identitas rakyat Aceh sebagai Muslim yang taat dan mau menjalankan ajaran Islam. Bagi orang Aceh, Islam bukan hanya dianggap sebagai agama; lebih dari itu, Islam dijadikan sebagai pedoman hidup dan bagian dari budaya masyarakat itu sendiri. 9 Selain itu, adanya kenyataan historis tentang kerajaankerajaan Islam yang dulu berjaya di Aceh, dan pernah secara formal menerapkan syariat Islam, selalu menjadi tolak ukur kemajuan masa sekarang bahwa agama dan kemajuan ilmu pengetahuan dapat berjalan seiring.10 Hal ini yang kemudian selalu dijadikan landasan berfikir/filosofis mengapa syari’at Islam perlu diterapkan dan diimplementasikan di tanah rencong tersebut.11 Dan ini sah bahwa penerapan syari’at Islam di Aceh adalah salah satu cara, media dan proses pengembalian identitas rakyat Aceh dan juga kenyataan yang harus diterima. Komitmen rakyat Aceh untuk menjalankan syari’at Islam secara formal pun harus dihormati.12 Secara umum syari’at Islam meliputi aspek akidah, ibadah, muamalah dan akhlak. Setiap orang Muslim dituntut untuk mentaati keseluruhan aspek tersebut. Ketaatan terhadap aspek yang mengatur akidah dan ibadah sangat tergantung pada kualitas iman dan takwa atau hati nurani seseorang. Sedangkan ketaatan kepada aspek muamalah dan akhlak di samping ditentukan pada kualitas iman dan 9
Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan: Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya (Banda Aceh: LKAS dan Pemerintah Aceh, 2009), h. 28-29. 10 Dara Yusilawati, Penerapan Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam dan Identitas Rakyat Aceh, dalam Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas (Jakarta: Renaisan,
2005), h. 211-212. 11
Tanah Rencong merupakan nama lain dari Aceh. Kata ini merujuk pada senjata khas tradisional Aceh yakni rencong. 12
Dara Yusilawati, Penerapan Syariat, h. 215. Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
45
takwa juga disertai adanya sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya. Dalam sistem hukum Islam terdapat dua jenis sanksi, yaitu sanksi yang bersifat ukhrawi yang akan diterima di akhirat kelak, dan sanksi yang diterapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif. Kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum. Dalam banyak hal penegakan hukum menuntut peranan Negara. Hukum tidak mempunyai arti bila tidak ditegakkan oleh Negara. Sebaliknya Negara juga tidak akan tertib bila hukum tidak ditegakkan. 13 Maka secara de facto dan de jure, hukum sangat penting dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.14 2.
Landasan Konstitusional Landasan konstitusional pelaksanaan syari’at Islam di Aceh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, merujuk kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Di samping, didasarkan pada aturan pelaksanaan berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyyah Provinsi Nanggroe Aceh 13
Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam. 14 Dalam bahasa Arab kata hukum berasal dari al-hukm, akar kata hakama yang berarti memerintah, mengatur, dan mengadili. Al-hakim berarti yang memerintah, mahkum alaih berarti yang diperintah (rakyat), dan mahkum bih yang berarti aturan untuk memerintah. Lihat Mutammimul ‘Ula, Perspektif Penerapan Syari’at Islam, dalam Salim Segaf Al-Jufri, dkk, Penerapan Syari’at Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Globalmedia Cipta Publishing, 2004), h. 61.
46 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Darussalam dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: KMA/070/SK/X/2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.15 Dalam penjelasan resmi Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh antara lain dinyatakan: “Isi Keputusan Perdana
Menteri Republik Indonesia Nomor 1/ Missi/1959 tentang Keistimewaan Propinsi Aceh yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan, yang selanjutnya diperkuat dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, bahkan ditambah dengan penambahan peran ulama dalam menentukan kebijakan daerah. Untuk menindak lanjuti ketentuan-ketentuan mengenai Keistimewaan Aceh tersebut dipandang perlu untuk menyusun penyelenggaraan keistimewaan Aceh tersebut dalam suatu undang-undang. Undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh ini dimaksudkan untuk memberikan landasan bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam mengatur urusan-urusan yang telah menjadi keistimewaannya melalui kebijakan daerah. Undang-undang ini mengatur hal-hal pokok untuk selanjutnya memberi kebebasan kepada Daerah dalam mengatur pelaksanaannya sehingga Kebijakan Daerah lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat Aceh”.16 Mengenai pelaksanaan syari’at Islam, dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) dijelaskan: (1) Penyelenggaraan kehidupan beragama di
Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi 15 Danial, “Syari’at Islam dan Pluralitas Sosial: Studi Tentang Minoritas Non-Muslim dalam Qanun Syari’at Islam di Aceh” (Banda Aceh: Jurnal Analisis,
Vol. XII, Nomor 1, 2012), h. 75. 16 Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur dan Surat Edaran Gubernur Berkaitan dengan Pelaksanaan Syari’at Islam (Banda Aceh: Dinas
Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005), h. 9. Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
47
pemeluknya dalam bermasyarakat; dan (2) Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama. 17 Merujuk pada kutipan pasa-pasal tersebut, maka dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, umat Islam diberi izin untuk melaksanakan syari’at Islam di dalam kehidupannya, sebagai bentuk pengakuan atas keistimewaan Aceh. Istilah dalam bermasyarakat yang termaktub dalam pasal 4 ayat 2 di atas menurut tim penyusun rumusan ini adalah untuk menegaskan dan menguatkan bahwa syari’at Islam yang akan dilaksanakan di Aceh bukan hanya aturan dalam bidang ibadah, melainkan mencakup berbagai aturan lainnya dalam kehidupan bermasyarakat. 18 Kedua, pelaksanaan syari’at Islam di Aceh hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam. Sehingga setiap perumusan pasal dan pelaksanaannya harus tetap menjaga kerukunan antarumat beragama, khususnya yang ada di Aceh. Ketiga, daerah diberikan kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama. Salah satu bentuk pengaturannya adalah dengan dibuatnya Qanun pelaksanaan syari’at Islam.19 Dalam rangka menindak lanjuti pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 di atas, maka disahkanlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Konsideran huruf (e) undang-undang ini berbunyi: “Bahwa pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan 17
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, BAB III Penyelenggaraan Keistimewaan. Bagian Kedua, Penyelenggaraan Kehidupan Beragama, Pasal 4. 18 Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Paradigma, Kebijakan, dan Kegiatan (Banda Aceh: Dinas Syari’at
Islam Propinsi NAD, 2005), h. 46. 19
Danial, Syari’at Islam, h. 76.
48 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Propinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Selanjutnya, dalam Pasal 25 ayat (1) (2) dan (3) undang-undang ini menjelaskan: (1)
Peradilan Syari’at Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyyah dan bebas dari pengaruh pihak manapun; (2) Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam; dan (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.20 Setelah keluarnya legalitas formal untuk menjalankan syari’at Islam, kemudian Pemerintah Aceh merespon dengan mengeluarkan beberapa Qanun sebagai hukum dasar dalam menjalankan syari’at Islam secara kāffah. Menurut Al Yasa’ Abubakar, kata kāffah dalam pelaksanaan syari’at Islam di Aceh perlu ditambahkan karena sebagian orang memahami syari’at Islam hanya sebatas ibadah dan sebagian hukum keluarga (perkawinan, pewarisan, dan kematian). Bagi umat Islam melaksanakan syari’at Islam secara kāffah dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi atau dalam kehidupan kemasyarakatan (sosial) adalah perintah Allah SWT dan kewajiban suci yang harus selalu diupayakan dan diperjuangkan. Selain itu, kata ini juga sangat penting secara politik praktis, karena pemberlakuan syari’at Islam di Aceh telah melibatkan Negara, dalam hal ini Pemerintah Aceh yang didukung oleh Pemerintah Pusat dan Undang-Undang.21 Pada tahun 2000, sebagai upaya untuk menjabarkan dari Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut, Pemerintah Aceh 20
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, BAB XI Mahkamah Syar’iyah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pasal 25. 21
Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam, h. 43. Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
49
mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Selanjutnya sebagai kewajiban pengembangan dari pelaksanaan syari’at Islam, dalam Pasal 2 Perda ini menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban untuk mengembangkan dan membimbing serta mengawasi pelaksanaan syari’at Islam dengan sebaik-baiknya. Kemudian secara rinci dalam Pasal 3 ayat (1) (2) dan (3) dijelaskan: (1) Setiap pemeluk agama Islam wajib menaati, mengamalkan/menjalankan Syari’at Islam secara kāffah dalam kehidupan sehari-hari dengan tertib dan sempurna; (2) Kewajiban
menaati dan mengamalkan/menjalankan Syari’at Islam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari melalui diri pribadi, keluarga, masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; dan (3) Setiap warga Negara RI atau siapapun yang bertempat tinggal atau singgah di Daerah Istimewa Aceh, wajib menghormati pelaksanaan Syari’at Islam di daerah.22 Untuk mewujudkan Keistimewaan Aceh dalam bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, setiap orang atau badan hukum yang berdomisili di daerah mempunyai kewajiban agar menjunjung tinggi pelaksanaan syari’at Islam dalam kehidupannya. Selanjutnya dalam Perda Nomor 5 Tahun 2000 ini ditetapkan 13 pokok yang menjadi aspek pelaksanaan syari’at Islam di Aceh, yakni: (1) Akidah, (2) Ibadah, (3) Muamalah, (4) Akhlak, (5) Pendidikan dan dakwah islamiyah/ amar ma’ruf nahi mungkar, (6) Baitul mal, (7) Kemasyarakatan, (8) Syi’ar Islam, (9) Pembelaan Islam, (10) Qadha, (11) Jinayat, (12) Munakahat, dan (13) Mawaris. 23 Di tahun-tahun berikutnya kemudian lahir beberapa 22
Perda Nomor 5 Tahun 2000, BAB III Kewajiban dan Pengembangan, dan
Pelaksanaan Syari’at Islam, Pasal 3 dan 4. 23
Perda Nomor 5 Tahun 2000, BAB IV Aspek Pelaksanaan Syari’at Islam,
Pasal 5.
50 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Qanun Aceh lainnya sebagai tindak lanjut dari Perda Nomor 5 Tahun 2000 tersebut, di antaranya ialah: Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam; Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar; Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir; Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat; Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat; dan Qanun Jinayat tahun 2014. Sedangkan mengenai kelembagaannya disahkan Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam; dan Qanun Nomor 11 Tahun 2004 tentang Kepolisian Daerah. Selanjutnya pada tahun 2006, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka penerapan syari’at Islam di Aceh memiliki landasan yuridis yang semakin kokoh.24 B.
Maksud dan Tujuan Secara umum, tujuan utama syari’at Islam ialah untuk menegakkan keadilan di antara seluruh umat manusia dan mewujudkan persaudaraan di antara mereka. Selain itu, diberlakukannya hukum syari’at Islam juga bertujuan untuk melindungi agama, moral, darah, kehormatan, harta benda, dan akal pikiran orang-orang Islam. Dengan demikian tujuan akhirnya ialah akan tercapai kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. 25 Pengaturan tentang akidah yang diatur dalam Qanun ini bertujuan untuk membentengi masyarakat Aceh dari segala ajaran sesat yang dapat merusak keimanan dan ketakwaan. Pengaturan ibadah baik shalat fardu, shalat Jum’at, maupun puasa ramadhan juga dimaksudkan untuk mendorong dan menggalakkan orang Islam untuk melaksanakan dan meningkatkan kualitas serta intensitas ibadah sebagai wujud pengabdiannya yang hanya diperuntukkan
24
Danial, Syari’at Islam, h. 77.
25
Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam, h. 45. Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
51
kepada Allah semata. Upaya tersebut juga perlu didukung oleh kondisi dan situasi syi’ar Islam yang berjalan baik, namun masih dalam lingkup ibadah.26 Selanjutnya secara lebih rinci tujuan dan fungsi pengaturan pelaksanaan syari’at Islam bidang akidah, ibadah, dan syi’ar Islam diterangkan dalam pasal perpasal sebagai berikut.27 Pasal 2 ayat (1) (2) dan (3): (1) Membina dan memelihara keimanan dan ketakwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat; (2)
Meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya; dan (3) Menghidupkan dan menyemarakkan kegiatankegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang islami. Pasal 3: “Ketentuan-ketentuan dalam Qanun ini berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan syari’at Islam bidang akidah, ibadah, dan syi’ar Islam”.28 C.
Muatan Aturan Muatan aturan dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 ini menyangkut tiga aspek penting sebagai pondasi bagi masyarakat dalam menjalankan ajaran Islam, yakni akidah, ibadah, dan syi’ar
26
Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam. 27
Legalisasi pelaksanaan syari’at Islam bidang akidah, ibadah, dan syi’ar Islam bukanlah upaya untuk mengatur substansi dari akidah dan ibadah tersebut. Karena masalah substansi telah di atur oleh nash dan telah dikembangkan oleh para ulama dalam berbagai disiplin ilmu keislaman. Lahirnya Qanun Nomor 11 Tahun 2002 berupaya untuk memelihara tradisi kultural yang telah ada. Selain itu, legislasi pelaksanaan syari’at Islam yang diatur dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 hanyalah sebagai upaya untuk membina, menjaga, memelihara serta melindungi akidah orang Islam di Aceh dari berbagai aliran sesat. Di samping itu, hadirnya Qanun itu juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan intensitas ibadah (ketaatan) sebagai wujud pengabdian kepada Allah. Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam. 28
Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB II Tujuan dan Fungsi, Pasal 2-3.
52 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Islam. Berikut secara rinci penjelasan ketiga aspek dalam Qanun tersebut. 1. Pemeliharaan Akidah Dalam konsep Islam, akidah dikaitkan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti yang tergambar dalam kalimat syahadat “Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah” (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul utusan Allah). Konsep yang demikian dikenal dengan istilah tauhid. Secara etimologi, tauhid berarti mengesakan, yaitu mengesakan Allah. 29 Formulasi paling pendek dari tauhid itu ialah kalimat thayyibah: la ilaha illa Allah, yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah. Iman kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW merupakan asas dalam akidah Islam. Al Qur’an juga telah menetapkan seperangkat iman dasar dan kriteria tentang iman versus kafir yang terangkum dalam Rukun Iman, yakni: Iman kepada Allah, para Malaikat, kitab suci yang diwahyukan, Nabi dan Rasul, hari kebangkitan, dan iman kepada qada baik dan qadar buruk. Hal ini sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an Surah An Nisa ayat 136: “Wahai orang-orang yang
beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauhjauhnya”. Menerima konsep keimanan dasar tersebut memberi hak kepada seseorang untuk disebut Mukmin, sementara jika menolak kriteria tersebut berarti telah menjadi kafir. 30 Iman menempatkan 29
Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 1411.
30
Menurut Harun Nasution, penentuan seseorang kafir atau tidak kafir bukan lagi soal politik, tetapi soal teologi. Kafir ialah orang yang tidak percaya dan lawannya ialah mu’minin, orang yang percaya. Di dalamnya kata kafir dipakai Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
53
seorang Muslim di atas jalan yang lurus, dan dilandasi dengan perbuatan yang menunjukkan komitmen dan kesungguhan terhadap imannya. Karena dalam Islam, tujuan seseorang hidup bukanlah untuk sekedar menyatakan tetapi lebih dari itu ialah berusaha untuk mewujudkan kehendak Tuhan, yaitu untuk menyebarkan risalah dan hukum Islam. Jika beriman saja tanpa perbuatan maka akan hampa dan tidak bermanfaat. 31 Islam adalah iman dan amal. Iman merupakan akidah yang menjadi dasar bagi syari’at Islam. Akidah adalah pokok dan syari’at adalah cabang. Iman dan amal atau akidah dan syari’at saling terkait dan berhubungan, seperti buah dan pohonnya, atau sebab dan akibat, atau seperti konklusi dengan premisnya. Karena itulah Al Qur’an selalu menggandengkan amal saleh kepada iman.32 Dengan demikian kata akidah dapat diartikan sebagai suatu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa dengan keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban untuk bertauhid, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh. Sayid Sabiq dalam salah satu bukunya yang berjudul Akidah Islamiyah menyatakan bahwa sesungguhnya akidah Islam merupakan jiwa bagi setiap individu.
terhadap orang yang tidak percaya pada Nabi Muhammad dan ajaran yang beliau bawa, yaitu orang yang belum menjadi mu’min atau masuk Islam. Dengan kata lain, kata kafir dipakai untuk golongan di luar Islam. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Depok: UI Press, 1985), Jilid II, Cet-V, h. 27. 31
John L. Eposito, Islam Warna-Warni: Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus, (Penerjemah Arif Maftuhin) (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet. I, h. 87. 32 Zainun Kamal, Kontekstualisasi Syari’at Islam: Sebuah Pendekatan Hermeneutik, dalam Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syari’at Islam Di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas (Jakarta: Renaisan, 2005), h.
13.
54 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Akidah menjadikan hidup seseorang akan lebih baik. Bila kehilangan akidah, maka ruhaniyahnya mengalami kematian.33 Pemahaman akidah islamiyah berdasarkan ahlussunnah wal jama’ah yang dimaksudkan dalam Qanun ini sesuai dengan pemahaman umum yang selama ini dipahami, yakni keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah SWT dengan segala pelaksanaan kewajiban; seperti bertauhid, taat kepada-Nya, beriman kepada malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah sahih tentang prinsip-prinsip agama, perkara-perkara yang gaib, serta seluruh berita-berita yang qathi’ (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliah yang telah ditetapkan menurut Al Qur’an dan Sunnah yang sahih. 34 Lebih jauh, dalam memahami paham ahlussunnah wal jama’ah dapat dilihat secara semantis dan historis. Secara semantis, ahlussunnah wal jama’ah identik dengan agama Islam. Munculnya suatu kelompok ahlussunnah wal jama’ah sudah dikenal sejak zaman Rasulullah. Salah satu wujudnya terungkap dalam hadis yang menerangkan bahwa umat Islam kelak akan terpecah menjadi 73 golongan: 72 golongan masuk neraka, sedangkan satu golongan masuk surga. Ketika ditanya siapa golongan yang terakhir tersebut, Rasul menjawab ma ana alaihi wa ashabi (apa yang ada padaku dan sahabatku). 35 Sedangkan secara historis, ahlussunnah wal jama’ah lahir dari sebuah proses politik 33
Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Syari’at Islam untuk Remaja, Pelajar dan Mahasiswa (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh, 2008), Cet-II, h. 17. 34
Lihat artikel Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pengertian Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, dalam almanhaj.or.id. Diakses tanggal 1 September 2016. 35 Hadis yang terkenal dalam meriwayatkan hal ini ialah At-Tabrani dan At-Turmudzy. Ketika ditanya siapa golongan yang masuk surga, dalam At-Tabrani disebutkan Rasul menjawab ahlussunnah wal jama’ah; sedangkan dalam AtTurmudzy disebutkan ana alaihi al-yaum wa ashabi. Lihat Ali Masykur Musa,
Nasionalisme Di Persimpangan: Pergumulan NU dan Paham Kebangsaan Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 30. Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
55
sepeninggal Rasulullah terkait khilafah: siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin umat?. Perbedaan pemahaman keislaman tersebut akhirnya menjadi perbedaan garis politik dengan munculnya paham Syiah, Khawarij, Murjiah, dan Mu’tazilah.36 Upaya pemeliharaan akidah yang diatur dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 dapat dilihat dalam penjelasan pasal perpasal tentang Pemeliharaan Akidah sebagai berikut. “Pasal 4 ayat (1) dan (2): (1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi
masyarakat berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat serta mengawasinya dari pengaruh paham dan atau aliran sesat; dan (2) Setiap keluarga/orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya. Pasal 5 ayat (1) (2) dan (3): (1) Setiap orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh paham atau aliran sesat;37 (2) Setiap orang dilarang menyebarkan paham atau aliran sesat; dan (3) Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari aqidah dan atau menghina atau melecehkan agama Islam. Pasal 6: “Bentuk-bentuk paham dan atau aliran yang sesat di tetapkan melalui fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)”.38 2.
Pengamalan Ibadah Menurut ajaran Islam, manusia diciptakan ke alam dunia ini membawa dua risalah, yaitu: Pertama, risalah ibadah. Hal ini sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an Surah Adz Dzariyat
36
Ali Masykur Musa, Nasionalisme Di Persimpangan, h. 31.
37
Paham sesat yang dimaksud ialah pendapat-pendapat tentang akidah yang tidak berdasarkan kepada Al Qur’an atau Hadis Shahih, atau penafsiran yang tidak memenuhi persyaratan metodologis atas kedua sumber tersebut di bidang akidah. Lihat Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB III Pemeliharaan Aqidah, Pasal 4-6. 38
Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB III Pemeliharaan Aqidah, Pasal 4-6.
56 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. Kedua, risalah khilafah. Al Qur’an Surah Al An’am ayat 165 menjelaskan: “Dan Dialah yang
menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dari kedua risalah itu apabila ada manusia mampu melaksanakan risalah ibadah dengan baik dan mampu melaksanakan risalah khilafah dengan sukses, maka ia pantas disebut sebagai manusia yang paling ideal. Namun di dunia ini hanya ada satu manusia yang mampu melaksanakan keduanya, yakni Nabi Muhammad SAW, sehingga ia diutus oleh Allah untuk menjadi Nabi dan Rasul serta mendapat julukan uswatun hasanah atau manusia teladan. Sebagaimana yang di terangkan dalam Al Qur’an Surah Al Ahzab ayat 21: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Secara etimologi ibadah berarti taat, tunduk, patuh, merendahkan diri dan tunduk. Kesemua pengertian itu mempunyai makna yang berdekatan. Seseorang yang tunduk, patuh merendahkan dan hina diri di hadapan yang disembah disebut abid (yang beribadah).39 Dalam pengertian Islam ibadah dapat diartikan sebagai kepatuhan secara total kepada Allah dengan melaksanakan dan mengikuti segala cara yang diperintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya, baik secara ucapan maupun perbuatan, zahir ataupun batin. 40 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ibadah 39 A Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 1. 40
Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet. V, h. 227. Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
57
diartikan sebagai segala usaha lahir dan batin sesuai dengan perintah Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keseimbangan hidup, baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun terhadap alam semesta.41. Aspek ibadah dalam hukum syari’at merupakan ajaran dan tuntutan mengenai kehidupan praktis bagaimana seorang Muslim menyembah Allah, berinteraksi dengan keluarga, tetangga, masyarakat, bangsa dan Negara. Aspek lainnnya yaitu tentang bagaimana seorang Muslim harus menahan diri untuk tidak berbuat sesuka hatinya sehingga masyarakat aman, tentram serta bagaimana memperlakukan sumber daya alam dengan baik yang dapat memberi manfaat bagi seluruh makhluk. Oleh karenanya, hukum syari’at yang hanya sekedar dimengerti secara aqliyah, dikuasai secara teoritis, dan hanya dipahami secara normatif saja akan memberi sedikit dampak bagi jiwa manusia, sedangkan hukum syari’at yang diterapkan secara amaliyah, dilakukan secara praktis dan dihayati secara operatif akan memberi dampak luar biasa bagi setiap jiwa manusia yang melaksanakannya. Ibadah yang harus dipraktekkan sesuai syari’at Islam ialah ibadah yang sebagaimana telah diajarkan oleh ulama-ulama mazhab ahlussunnah wal jama’ah yang termaktub dalam kitab-kitab fiqih karangan mereka. 42 Ulama yang dianggap representatif dalam mengajarkan ibadah sesuai dengan tuntutan syari’at Islam dan bermazhab Sunni ialah para imam mazhab yang empat, yaitu: Mazhab Malikiyah (Malik Ibn Anas, 713-795); Mazhab Hanafiyah (Abu Hanifah, 699-767); Mazhab Hanbaliyah 41
Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa, h. 515.
42
Pemahaman ahlussunnah wal jama’ah sebagai ajaran yang mengandung segi-segi Islam sesuai dengan ajaran Rasulullah ialah yang bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Dengan demikian ahlussunnah wal jama’ah tidak terbatas pada aspek akidah, akan tetapi juga menyangkut pada ketiga aspek ajaran Islam, yaitu akidah, syariah, dan akhlak. Ketiga ajaran tersebut diamalkan secara serasi, seimbang, dan selaras dalam satu kesatuan. Lihat Ali Masykur Musa, Nasionalisme Di Persimpangan, h. 33.
58 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
(Ahmad Ibn Hanbal, 780-855); dan Mazhab Syafi’iyah (Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i, 767-820).43 Di wilayah Aceh khususnya, ajaran fiqih yang paling banyak diikuti dan dikembangkan oleh para ulama dan masyarakat adalah praktek ibadah yang dikembangkan oleh Imam Syafi’i.44 Upaya pengamalan ibadah yang diatur dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 dapat dilihat dalam penjelasan pasal perpasal tentang Pengamalan Ibadah sebagai berikut. Pasal 7 ayat (1)
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban menyediakan fasilitas dan menciptakan kondisi dan suasana lingkungan yang kondusif untuk pengamalan ibadah; dan ayat (2) Setiap keluarga/orang tua bertanggung jawab untuk membimbing pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya. Pasal 8 ayat (1) Setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i wajib menunaikan shalat Jum’at; dan ayat (2) Setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha dan atau/institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi/ mengganggu orang Islam melaksanakan shalat Jum’at. Pasal 9 ayat (1) Setiap instansi pemerintah, lembaga pendidikan dan badan usaha wajib menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat berjamaah;45 ayat (2) Pimpinan gampong diwajibkan memakmurkan masjid dan atau Meunasah dengan shalat berjamaah dan menghidupkan pengajian agama; dan ayat (3) Perusahaan pengangkutan umum 43
Taufik Adnan dan Samsu Rizal, Politik Syariat, h. 15.
44
Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan, h. 242-243.
45
Diharapkan dengan mendirikan shalat fardhu lima waktu sehari semalam, dan juga shalat-shalat sunat lainnya maka senantiasa kita akan mengingat Allah dan terasa selalu dekat dengan-Nya. Sehingga rasa diawasi akan membuat seseorang jauh dari perbuatan mungkar karena merasa malu untuk melakukan maksiat, dan meyakini meskipun orang tidak melihatnya namun Allah melihatnya, sehingga kita menjadi hamba yang selalu dekat dengan Allah. Lihat Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan, h. 110. Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
59
wajib memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat fardhu. Pasal 10 ayat (1) Setiap orang/badan usaha dilarang menyediakan fasilitas/peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan; ayat (2) Setiap muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i dilarang makan atau minum di tempat/di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan;46 ayat (3) Selama bulan Ramadhan masyarakat dianjurkan untuk menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunat lainnya; dan ayat (4) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu atau mengurangi kenyamanan pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di lingkungannya. Pasal 11: “Setiap orang yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib menghormati pengamalan ibadah”.47 3.
Penyelenggaraan Syi’ar Islam Dalam upaya mengangungkan Islam dalam kehidupan masyarakat, syi’ar Islam menjadi bagian terpenting dan tidak terpisahkan dalam pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Kata syi’ar berasal dari syu’ur yang bermakna rasa, karena syi’ar dibangun agar setiap orang yang melihatnya merasakan keagungan Allah. Selain itu kata syi’ar juga bisa diartikan sebagai tanda atau rambu-rambu yang dipasang untuk mengenali sesuatu atau menyampaikan kabar berita kepada orang-orang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu.
46 Namun meski demikian, dalam Qanun ini juga memberikan kemudahan bagi seseorang yang sedang mengalami uzur syar’i, yaitu keadaan dimana seseorang diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan alasan sakit dan sedang dalam perjalanan (musafir) yang mengharuskan untuk berbuka karena rukhsah (izin pengurangan atau keringanan karena adanya uzur). Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002, Pasal 10. 47
Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB IV Pengamalan Ibadah, Pasal 7-11.
60 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata syi’ar mempunyai arti kemuliaan atau kebesaran.48 Upaya penyelenggaraan syi’ar Islam yang diatur dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 dapat dilihat dalam penjelasan pasal perpasal tentang Penyelenggaraan Syi’ar Islam sebagai berikut. Pasal 12 ayat (1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat dianjurkan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam; ayat (2) Setiap Instansi Pemerintah/lembaga swasta, institusi masyarakat
dan perorangan dianjurkan untuk mempergunakan tulisan Arab Melayu di samping tulisan Latin; ayat (3) Setiap Instansi Pemerintah/Lembaga Swasta dianjurkan untuk mempergunakan penanggalan Hijriah dan penanggalan Masihiah dalam surat-surat resmi; dan ayat (4) Setiap dokumen resmi yang dibuat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib mencantumkan penanggalan Hijriah di samping penanggalan Masihiah. Pasal 13 ayat (1) Setiap orang Islam wajib berbusana Islami; 49 ayat (2) Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di 50 lingkungannya”. D.
Sanksi Pada dasarnya maksud dan tujuan pemberian sanksi bagi para pelanggar ialah sebagai upaya pencegahan (ar-rad’u waz-zajru/
48
Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 1368.
49
Berbusana islami yang dimaksud yaitu pakaian yang menutup aurat, bagi wanita seluruh tubuh kecuali tangan, kaki, dan wajah. Selain itu juga tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Sedangkan bagi laki-laki seperti dilarang mengenakan celana pendek di bawah lutut (celana pongol) di tempattempat umum. Mengenakan celana pendek dianggap menampakkan aurat dan dapat menimbulkan kemaksiatan di lingkungan. Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002, Pasal 13. 50
Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB III Penyelenggaraan Syi’ar Islam, Pasal 12-13. Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
61
preventive) dan pengajaran atau pendidikan (al-islah wat-tahzib). Pencegahan adalah suatu usaha agar seorang pelanggar tidak lagi mengulangi perbuatan dan memberi pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukannya. Diberikannya sanksi atau hukuman juga bertujuan untuk menakut-nakuti, syari’at Islam sangat peduli dan memberi perhatian agar para pelaku kejahatan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Demikian juga dengan masyarakat lainnya yang mempunyai niat untuk melakukan kejahatan, mereka akan pikir-pikir dahulu sebelum melakukannya. Pada dasarnya hukuman cambuk yang diberikan tidak terlalu berat (sesuai pelanggarannya), namun efek lain yang ditimbulkan sesudah dicambuk, yakni pelaku akan menanggung hukuman lain berupa sanksi sosial di lingkungannya karena diberikan hukuman cambuk di depan umum, menanggung malu dan bisa jadi pelaku akan dikucilkan oleh masyarakatnya. Pada akhirnya sanksi yang diberikan nantinya dapat menumbuhkan kesadaran pada diri individu dan masyarakat secara umum. Selain itu, dengan adanya sanksi tersebut secara otomatis akan dapat mengurangi kejahatan serta menumbuhkan rasa aman dan kesejahteraan bagi warga masyarakat.51 Selanjutnya sanksi yang diberikan bagi pelanggaran Qanun Nomor 11 Tahun 2002 ini dijelaskan dalam uraian pasal perpasal tentang Ketentuan Pidana sebagai berikut. 52 Pasal 20 ayat (1)
Barang siapa yang menyebarkan paham atau aliran sesat sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 2 (dua) tahun atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali; 51
Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan, h. 301-303
52
Selain sanksi-sanksi yang telah diatur dalam Qanun ini, bagi pelanggar yang dianggap berat dan menciderai kehidupan adat di Aceh juga dapat dikenakan sanksi lain berupa hukuman Adat yang telah diatur dalam Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.
62 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
dan ayat (2) Barang siapa yang dengan sengaja keluar dari aqidah
Islam dan atau menghina atau melecehkan agama Islam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) akan dihukum dengan hukuman yang akan diatur dalam qanun tersendiri.53 Pasal 21 ayat (1) Barang siapa tidak melaksanakan shalat jum’at tiga kali berturut- turut tanpa uzur syar’i sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 6 (enam) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 3 (tiga) kali; dan ayat (2) Perusahaan pengangkutan umum yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat fardhu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa pencabutan izin usaha.54 Pasal 22 ayat (1) Barang siapa yang menyediakan fasilitas/peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 3 (tiga) juta rupiah atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 6 (enam) kali dan dicabut izin usahanya; dan ayat (2) Barang siapa yang makan atau minum di tempat/di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 4 (empat) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 2 (dua) kali. Pasal 23: “Barang siapa yang tidak berbusana Islami sebagaimana dimaksud
53 Ancaman hukuman bagi setiap orang dengan sengaja keluar dari akidah Islam, menghina, atau melecehkan Islam diatur dalam Qanun tersendiri tentang Hudud. Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002. 54
Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB VIII Ketentuan Pidana, Pasal 20-21. Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
63
dalam pasal 13 ayat (1) dipidana dengan hukuman ta’zir setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah”.55 E.
Peraturan Daerah Tentang Syari’at Islam dan Kerukunan Umat Beragama Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahkan bangsa Indonesia dengan penduduk yang bercorak plural. Pluralitas itu ditandai dengan adanya kesatuan-kesatuan sosial yang beraneka ragam; dari suku, ras, budaya, hingga agama. Dari segi agama khususnya, Indonesia ditempati oleh penduduk dengan latar belakang agama yang berbeda-beda, baik agama mondial maupun agama lokal telah hidup dan tumbuh subur di Indonesia dengan jumlah pemeluk yang bervariasi. Maka dengan adanya pluralitas tersebut, Negara menjamin kemerdekaan dan memberi perlindungan bagi setiap orang untuk memeluk dan menjalankan aktivitas keagamaannya masing-masing. Hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. 56 Pasal 28E ayat (1) dan (2) juga menyebutkan: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; dan (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya. 57 Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 22 ayat (1) dan (2) juga menegaskan: (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu; dan (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap 55
Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB VIII Ketentuan Pidana, Pasal 22-23.
56
Undang-Undang Dasar 1945, BAB XI Agama, Pasal 29.
57
Undang-Undang Dasar 1945, BAB XA Hak Asasi Manusia, Pasal 28E.
64 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.58 Agama mondial seperti Katolik, Kristen, Hindu, Buddha maupun Khonghucu sejak dahulu telah hidup berdampingan dengan masyarakat Aceh yang beragama Islam sehingga telah dianggap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. 59 Agama-agama tersebut berkembang dan tetap eksis di wilayah ini meskipun menjadi agama yang minoritas. 60 Tak ubahnya dalam Negara Indonesia yang secara resmi telah sah melayani keenam agama besar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, keberadaan agama-agama tersebut di wilayah Aceh juga mempunyai hak yang sama, yaitu diakui dan mendapat pelayanan serta perlindungan dari pemerintah. 61 Hal ini sesuai ketetapan dalam Perda Nomor 5 Tahun 2000 yang mengisyaratkan bahwa agama selain Islam juga diakui di Aceh, begitu juga para pemeluknya dihormati dan dilindungi keberadaannya serta diberi kebebasan untuk beribadat sesuai ajaran dan kewajiban agamanya. Sehingga umat non-Muslim tidak perlu resah berada di wilayah ini karena telah mempunyai payung hukum yang pasti. Dalam Pasal 2 ayat (2) 58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, BAB III Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, Bagian Kelima Hak Atas Kebebasan Pribadi, Pasal 22. 59
Pluralitas dalam segi agama meniscayakan dibangunnya kerukunan dan keharmonisan kehidupan umat beragama demi terciptanya kondisi yang ideal bagi pembangunan bangsa di segala bidang. Lihat Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan, h. 7. 60 Minoritas dalam makna kuantitas merujuk pada jumlah yang sedikit, sedangkan dalam arti kualitas akses dan peran yang sedikit. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, minoritas bermakna golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain di suatu masyarakat. Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 917. 61
Keenam agama ini adalah agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan, tetapi mereka juga mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan dari Pemerintah. Lihat Penjelasan atas Pasal 1 Undang-Undang Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
65
ditegaskan: “Keberadaan agama lain di luar agama Islam tetap
diakui di daerah ini, pemeluknya dapat menjalankan ajaran agamanya masing-masing”.62 Hukum syari’at Islam tidak menginginkan adanya aktivitas yang merusak, mengusik dan mengabaikan hak-hak asasi yang menjadi milik semua orang. Dalam hal ini menjaga hubungan kehidupan masyarakat bahwa syari’at Islam mengemban misi menanamkan rasa tanggung jawab sosial sebagai suatu ikatan fungsi kemasyarakatan, menjaga opini umum dan mendukung berjalannya sistem kenegaraan yang sah. 63 Cita-cita tersebut yang kemudian selalu diupayakan dalam mewujudkan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh juga secara tegas mengatakan bahwa syari’at Islam hanya diperuntukkan bagi warga Muslim. Sedangkan bagi warga non-Muslim atau orang yang tinggal di Aceh tidak dituntut untuk mengikuti berbagai produk hukum yang berlaku dalam Qanun. Dalam kata lain hanya sebatas menghormati pelaksanaannya tanpa terikat dan tidak harus ikut menjalankannya. Pasal 126 ayat (1) dan (2) menyebutkan: (1) Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam; dan (2) Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syari’at Islam.64 Dari penjelasan poin pasal 126 tersebut dapat diambil kesimpulan sederhana bahwa sekalipun hukum syari’at Islam berada di bawah hukum positif Negara Indonesia, namun dari segi implementasinya tidak mengganggu komunitas agama lain di Aceh, karena hukum syari’at hanya diberlakukan bagi umat Muslim. Dalam undang-undang ini juga memberi perhatian besar pada 62
Perda Nomor 5 Tahun 2000, BAB II Tujuan dan Fungsi, Pasal 2.
63
Abdul Majid, Syari’at Islam, h. 24.
64
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, BAB XVII Syari’at Islam dan
Pelaksanaannya, Pasal 126.
66 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
toleransi dan kerukunan hidup antrumat beragama, karena kerukunan juga merupakan hal mutlak yang sangat diperlukan di Aceh. Pemerintah beserta segenap masyarakat menjamin kebebasan dan menghormati hak-hak non-Muslim untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan ajaran agama yang dianut, serta bersamasama menjaga dan membina kerukunan hidup antarumat beragama. Pasal 127 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Pemerintah Aceh dan
kabupaten/kota wajib menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya”.65 Dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 secara eksplisit tidak menyebutkan adanya kaitan dengan kerukunan antarumat beragama. Hal ini karena poin tentang kerukunan umat beragama telah disebutkan dalam Perda Nomor 5 Tahun 2000 (Pasal 2) dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 (Pasal 126-127) sebagai landasan konstitusional pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Untuk itu, dalam hal kaitan dengan kerukunan, penulis ingin melihat suasana kesyahduan masyarakat Kota Banda Aceh dalam mengimplementasikan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya dalam mengimplementasikan aturan Qanun tentang akidah, ibadah, dan syi’ar Islam tersebut tidak lepas dari persinggungan baik orang perorang maupun antar kelompok yang berbeda latar belakang suku, ras, dan agama di Kota Banda Aceh. Selanjutnya melalui metode penelitian yang dipakai, penulis berusaha merekam dan menganalisis setiap peristiwa demi peristiwa terhadap segala kegiatan warga masyarakat Kota Banda Aceh dalam mengimplementasikan Qanun tersebut yang kemudian menghubungkannya dengan konsep trilogi kerukunan (kerukunan
65
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, BAB XVII Syari’at Islam dan
Pelaksanaannya, Pasal 127.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
67
intern umat beragama; kerukunan antara umat yang berbeda-beda agama; dan kerukunan antara umat beragama dengan Pemerintah).
68 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
BAB IV Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
B
ab ini membicarakan seputar kegiatan-kegiatan masyarakat Kota Banda Aceh dalam mengimplemen tasikan syari’at Islam secara kāffah yang diatur dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Akidah, Ibadah dan Syi’ar Islam. A.
Pemeliharaan Akidah Umat Islam menjadikan akidah sebagai pegangan utama dalam hidupnya. Bagi seorang Muslim, akidah juga menjadi identitas diri dan pondasi yang akan menopang kehidupan keislamannya. Pondasi itu harus benar-benar kuat dan kokoh karena kalau tidak itu akan mengurangi hakekat keislaman seseorang. Untuk itu bagi umat Islam diwajibkan agar selalu berpegang teguh pada akidah islamiyah yang telah ditetapkan. Maka apabila ada orang yang dengan sengaja keluar atau beralih dari akidah islamiyah tersebut dianggap murtad. Untuk menghindari hal tersebut terjadi pada umat Islam di Aceh, maka diwajibkan agar mengokohkan dan membentengi diri dengan akidah islamiyah berdasarkan ahlussunnah wal jama’ah dalam kehidupannya sehari-hari. Kekhawatiran terkikisnya akidah umat Islam di Aceh pada dasarnya sangat beralasan, hal ini sebagaimana yang pernah terjadi dalam beberapa peristiwa pasca bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Setelah bencana gempa dan tsunami menimpa Aceh, perhatian masyarakat dunia tertuju ke wilayah ini, mereka prihatin terhadap masyarakat yang tertimpa musibah. Sehingga hampir semua orang tergerak hatinya untuk memberi berbagai macam bantuan, seperti mengirimkan relawan, makanan, pakaian, 69
tenda darurat hingga penggalangan dana. Pasca tsunami, daerah Aceh sangat terbuka luas, hal ini memungkinkan kepada siapa saja dengan latar belakang yang berbeda-beda untuk datang ke Aceh dengan sebuah misi kemanusiaan. 1 Namun masalah lain timbul ketika berbagai macam orang dari latar belakang yang berbeda-beda itu datang ke Aceh, yakni muncul isu yang berkembang di masyarakat tentang adanya pengalihan akidah orang-orang Islam di Aceh untuk beralih pada akidah agama lain. Hal ini seiring dengan adanya dugaan upaya kristenisasi yang dilakukan oleh orang-orang asing yang datang ke Aceh.2 Tidak dapat dipungkiri bahwa seminggu setelah bencana itu, sejumlah NGO, LSM dan berbagai kalangan baik luar negeri maupun dalam negeri datang memberi bantuan kepada para korban. Namun bantuan kemanusiaan yang dianggap sebagai tugas dan pekerjaan mulia itu ternyata dibungkus dengan kegiatan lain berupa misi pemurtadan umat Islam di Aceh. Sasaran utama para misionaris ini ialah anak-anak Aceh yang mereka anggap masih belum mempunyai pendirian dan ketaatan beragama yang kuat sehingga dapat dipengaruhi atau dicuci otaknya dengan hal-hal (kepercayaan) baru. Banyak anak-anak yang diambil dari kamp-kamp pengungsian yang selanjutnya mereka dibawa keluar dari wilayah Aceh, seperti ditempatkan di Medan, Jakarta maupun tempat-tempat lainnya. Target utama mereka satu, yakni menjadikan anak-anak tersebut beralih keyakinan dari Islam menjadi keyakinan Kristen. Contoh lain upaya pengkristenisasian kepada anak-anak yakni dengan cara memberikan mainan boneka listrik yang jika dipencet salah satu
1
Dengan bencana ini juga menjadikan Kota Banda Aceh sebagai pusat perhatian masyarakat dunia nasional maupun internasional; baik lembaga Pemerintah, NGO, LSM, serta berbagai kalangan ikut serta berpartisipasi dalam memulihkan dan membangun kembali wilayah Kota Banda Aceh. 2
Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi Syariat Islam Di Aceh (Banda Aceh: Adnin Foundation Publisher dan PeNA Banda Aceh, 2009), h. 110.
70 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
tombolnya dapat mengeluarkan suara-suara doa pengantar tidur dalam bahasa Inggris yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna penyatuan roh manusia dengan roh-roh kudus.3 Adanyan upaya kristenisasi terhadap anak-anak tersebut juga menyita perhatian para tokoh organisasi Islam di Indonesia. Sehingga pada tahun 2005, sejumlah tokoh dan wakil-wakil organisasi Islam seperti Al-Irsyad, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Majelis Mujahidin, Wanita Islam, dan lain-lain melakukan kerjasama guna menunjukkan kepedulian mereka terhadap anak-anak Aceh korban tsunami agar ditangani secara Islam. 4 Kesaksian lain dari upaya kristenisasi di Aceh juga dapat ditelusuri dalam beberapa peristiwa dan laporan yang penulis kutip dari berbagai sumber berikut. Aksi damai mahasiswa Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh pada 12 Juli 2005 lalu di Kantor Gubernur Aceh yang tergabung dalam Koalisi Mahasiswa Anti Pemurtadan (Komandan) meminta agar Gubernur bertindak tegas terhadap sejumlah LSM yang disinyalir telah melakukan kegiatan pemurtadan pada sejumlah lokasi pengungsian. Pada kesempatan aksi tersebut para mahasiswa membawa sejumlah bukti yang ditemukan disejumlah lokasi kamp-kamp pengungsi, seperti buku bacaan berjudul Roh Kudus Pembaruan (Yayasan Kemanusiaan Bersama), buku bacaan siswa SLTA berjudul Desa dalam Kristus Gaya Hidup Kristenan, popok bayi yang di dalamnya ditemukan mainan anak-anak berupa kalung berlambang palang salib, dan terakhir copy buku kumpulan doa-doa Hanan el-Khouri berjudul
3
Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi, h. 111.
4
Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama (Jakarta: PT. Saadah Cipta Mandiri, 2012), h. 42-43. Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
71
Rahasia Doa-Doa yang Dikabulkan, dalam buku tersebut berisikan doa-doa yang dikutip dari Injil dengan tulisan berbahasa Arab.5 Selain itu, pada kesempatan silaturrahmi yang diadakan oleh para tokoh agama dan tokoh masyarakat di Banda Aceh, juga menyampaikan berbagai bukti lain yang terkait dengan upaya kristenisasi di Aceh. Di antaranya ialah ditemukannya Injil berbahasa Aceh, selimut bergambarkan salib, boneka anak-anak bergambar sinterklas, booklet, brosur, pamflet yang berciri Islam tetapi isinya tentang agama Kristen yang diperlihatkan kepada publik di Masjid Raya Baiturrahman. 6 Pasca bencana itu, serbuan misionaris Kristen di Aceh memang bukan lagi isapan mimpi. Faktanya banyak rakyat Aceh yang selamat dalam musibah itu yang kemudian menjadi mangsa pemurtadan dan perdagangan manusia (terutama anak-anak). Kelompok Gospel for Asia (GFA) mencari dan melatih 100.000 misionaris lokal untuk diterjunkan di wilayahwilayah bencana untuk membantu korban dan memberikan bimbingan spiritual atas nama Tuhan Yesus. Relawan FPI juga melihat sejumlah bantuan yang disalurkan melalui PMI bermuatan unsur misi Kristen. Seperti halnya ada ratusan kardus bantuan yang kemasannya bertulis Jesus Love You. Para misionaris Kristen tentu paham bahwa Aceh adalah wilayah Muslim, tetapi mereka memanfaatkan itu kesempatan untuk menyebarkan misi melalui pemberian bantuan kepada para korban tsunami.7 Berbagai bukti yang telah dipaparkan di atas rasanya sudah sangat cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa beberapa NGO dan LSM yang datang ke Aceh pasca tsunami dalam misi kemanusiaannya mempunyai agenda lain yakni pemurtadan. Namun 5 Harian Serambi Indonesia, Mahasiswa Demo Anti Pemurtadan. Senin, 13 Juli 2005. 6
Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi, h. 111.
7
Adian Husaini, Kerukunan Beragama dan Kontroversi Penggunaan Kata Allah dalam Agama Kristen (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 138.
72 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
yang perlu digaris bawahi adalah tidak semua LSM mempunyai misi terselubung dalam memberikan bantuan tsunami ke Aceh, karena faktanya masih banyak LSM dan lembaga kemanusiaan lainnya yang secara suka rela dan ikhlas membantu para korban tsunami.8 Sejak kejadian itu, hingga saat ini masyarakat diminta agar selalu waspada, karena tidak menutup kemungkinan upaya-upaya kristenisasi bisa saja terjadi lagi di Aceh, meski tidak dalam bentuk pemberian bantuan, namun bisa dengan cara-cara lain. Untuk itu, dengan lahirnya Qanun Nomor 11 Tahun 2002 yang dalam salah satu pasalnya mengatur tentang akidah menjadi benteng bagi masyarakat. Guna merespon berbagai isu dan upaya-upaya tentang pemurtadan tersebut, pemerintah dan masyarakat Aceh menjadikan Perda Nomor 5 Tahun 2000 dan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 sebagai payung hukum yang sah untuk menindak berbagai LSM yang mempunyai misi terselubung dalam memberikan bantuan tsunami ke Aceh. Dengan demikian, usaha para misionaris tersebut dapat dicegah dan selanjutnya LSM yang terbukti telah melakukan upaya pengkristenisasian terhadap para korban tsunami kemudian diusir dari wilayah Aceh. Mengenai paham atau aliran sesat sebagaimana yang telah disebutkan dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa bentuk-bentuk paham atau aliran sesat ditetapkan melalui fatwa MPU. Kemudian untuk menindaklanjuti Qanun tersebut, MPU Aceh mengeluarkan Fatwa Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Identifikasi Aliran Sesat. Dalam fatwa ini mendefinisikan aliran sesat sebagai faham atau pemikiran yang dianut atau diamalkan oleh orang Islam yang dinyatakan oleh MPU sebagai faham atau pemikiran yang menyimpang berdasarkan dalil-dalil syara’ yang dapat dipertanggungjawabkan. Kesesatan merupakan kekeliruan pemahaman dalam bidang akidah maupun syari’ah
8
Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi, h. 109. Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
73
berdasarkan dalil syara’ yang sah. Kekeliruan itu diyakini sebagai suatu kebenaran sehingga akibatnya menjadi kufur atau murtad.9 Majelis Ulama Aceh tidak menyebutkan secara langsung aliran-aliran apa saja yang dianggap sesat, namun hanya memberikan kriteria-kriteria khusus terhadap berbagai aliran yang dianggap sesat. Ada 13 (tiga belas) kriteria aliran atau paham keagamaan dapat dinyatakan sesat dan menyimpang dari Islam apabila memenuhi salah satu dari kriteria berikut: Pertama, mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6 (enam), yaitu beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kepada kitab-kitabNya, kepada rasul-rasul-Nya, kepada hari akhirat dan kepada qadha dan qadar dari-Nya. Kedua, mengingkari salah satu dari rukun Islam yang 5 (lima), yaitu mengucap dua kalimat syahadat, menunaikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji. Ketiga, meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan i’tiqad ahlussunnah wal jama’ah. Keempat, meyakini turunnya wahyu setelah Al Qur’an. Kelima, mengingkari kemurnian dan kebenaran Al Qur’an. Keenam, melakukan penafsiran Al Qur’an tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. Ketujuh, mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam. Kedelapan, melakukan pensyarahan terhadap hadis tidak berdasarkan kaidah-kaidah ilmu mushthalah hadis. Kesembilan, menghina dan melecehkan para nabi dan rasul Allah. Kesepuluh, mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir. Kesebelas, menghina dan melecehkan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Keduabelas, merubah, menambah atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syaria’at, seperti berhaji tidak ke baitullah, shalat fardhu tidak 5 waktu dan lain sebagainya. Ketigabelas, mengkafirkan sesama
9
Fatwa MPU Aceh Nomor 4 Tahun 2007, BAB I Ketentuan Umum, Ayat 3
dan 5.
74 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Muslim tanpa dalil syar’i yang sah, seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan anggota kelompoknya.10 Berkaitan dengan paham aliran sesat tersebut, dari hasil penelusuran yang penulis lakukan menemukan dua kasus aliran yang dianggap sesat di Kota Banda Aceh, yakni Aliran Millata Abraham dan Gerakan Fajar Nusantara. Kasus pertama ialah munculnya kelompok aliran sesat pada tahun 2011 yang mengatasnamakan dirinya sebagai Aliran Millata Abraham. Kelompok ini dianggap sesat karena ajaran yang mereka praktikkan sangat jauh dari akidah dan nilai-nilai syari’at Islam.11 Di Aceh, kelompok ini pertama kali berkembang di salah satu wilayah di Kabupaten Bireuen. Atas laporan masyarakat, kelompok ini kemudian ditangkap oleh pihak kepolisian. Di wilayah Kota Banda Aceh, kelompok Millata Abraham ini diketahui berada di Gampong Peurada Kecamatan Syiah Kuala dengan bukti tertangkapnya tiga orang yang dianggap sebagai pembawa dan penyebar ajaran tersebut. Mereka kemudian diamankan oleh pihak kepolisian Polresta Banda Aceh untuk kemudian ditindak sesuai hukum yang berlaku. 12 Di Kota Banda
10
Fatwa MPU Aceh Nomor 4 Tahun 2007, BAB IV Kriteria Aliran Sesat, Ayat 1-13. 11 Beberapa ajaran yang mereka percayai dan dipraktekkan di antaranya: meragukan isi kitab suci Al Qur’an dan menafsirkan Al Qur’an sesuai kehendak hati mereka tanpa mengikuti kaidah tafsir; tidak mengakui hadis sebagai sumber kebenaran; tidak mempercayai Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir; mengubah lafadz kalimat syahadat menjadi “Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna al Masih al Maw’ud Ahmad Mushadeq Rasulullah”; dan tidak melakukan shalat lima waktu sehari semalam sebagaimana yang diajarkan dalam Islam, namun mereka menggantinya dengan melakukan shalat hanya sekali dalam sehari, yakni di tengah malam dengan posisi duduk dan hanya diterangi lilin. 12 Adanya kelompok aliran sesat Millata Abraham ini juga menjadi perhatian Pemprov Aceh, yaitu dengan mengeluarkan Pergub Nomor 9 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Aliran Millata Abraham di Aceh . Dengan diterbitkannya Pergub tersebut, para penganut ajaran Millata Abraham dilarang melakukan aktivitas dan kegiatan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan kegiatan penyebaran, penafsiran, dan aktivitas yang menyimpang dari akidah dan
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
75
Aceh, kelompok ini telah berhasil merekrut beberapa orang dari kalangan mahasiswa dan pelajar. Pihak Pemko Banda Aceh kemudian secara tegas meminta polisi menindak para pelaku yang membawa dan menyebarkan aliran Millata Abraham tersebut. 13 Sementara pihak Dinas Syari’at Islam Kota Banda Aceh juga sangat menyayangkan aliran sesat tersebut bisa berkembang di masyarakat yang membuat risau dengan menistai dan menodai agama Islam, dan merasa prihatin kepada para generasi muda dengan intelektual baik bisa terpengaruh dengan ajaran paham sesat tersebut.14 Kasus kedua mengenai paham sesat yang sempat menyita perhatian publik ialah organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Organisasi ini juga berkembang di Aceh, hal ini terbukti dengan adanya penahanan kepada belasan orang yang dianggap sebagai pengikut Gafatar oleh Polresta Banda Aceh. Selain itu, dengan tertangkapnya mereka, hal itu juga membuktikan bahwa kelompok Gafatar telah hidup dan berkembang lama di wilayah ini dan sudah mendirikan kantor khusus sebagai pusat kegiatan mereka di Gampong Lamgapang, Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten syari’at Islam. Pelarangan aktivitas tersebut meliputi penyebaran Aliran Millata Abraham baik secara lisan, tulisan melalui media cetak atau media elektronik, pemasangan papan nama organisasi di tempat rumah ibadat, lembaga pendidikan atau tempat umum lainnya dengan identitas Aliran Millata, dan penggunaan atribut Aliran Millata Abraham dalam segala bentuk. 13
Sebagai bentuk keseriusan dalam merespon adanya penyebaran aliran sesat tersebut, sehingga masih pada tahun itu, Pemko Banda Aceh secara khusus mengeluarkan Perwal Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pengawasan Aliran Sesat dan Kegiatan Pendangkalan Aqidah dalam Wilayah Kota Banda Aceh . Langkah ini kemudian disusul dengan membentuk Komite Penguatan Akidah dan Peningkatan Amalan Islam pada Mei 2011. Kemudian pada tahun 2012, Pemko Banda Aceh kembali mengeluarkan Perwal Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Akhlak. Semua Perwal tersebut dikeluarkan dengan tujuan untuk membentengi akidah umat Islam di Kota Banda Aceh dan melakukan pembinaan mental spiritual serta memperbaiki akhlak generasi muda agar tidak terjerumus ke dalam berbagai aliran sesat tersebut. 14
Berita Sore Online: beritasore.com/2011/04/04/aliran-sesat-guncangbumi-serambi-mekkah/. Diakses tanggal 7 November 2016.
76 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Aceh Besar. Namun keberadaan mereka di Aceh baru diketahui pada Januari 2015 setelah MUI memfatwakan sesat kelompok tersebut. Pada dasarnya kasus tentang Gafatar ini masih berhubungan dengan kasus sebelumnya tentang paham sesat Millata Abraham. Hal ini karena dalam praktek yang dijalankan oleh kelompok Gafatar merupakan ajaran-ajaran dari Millata Abraham. Sehingga warga masyarakat menganggap bahwa Gafatar membawa ajaran sesat dan berupaya untuk mendangkalkan akidah orang-orang Islam di Aceh karena mereka terbukti telah menyebarkan ajaran Millata Abraham. Menurut Pemko Banda Aceh bahwa Gafatar telah menjalankan misi ajaran Millata Abraham, yakni ajaran sesat yang menyimpang dari Islam. Hal ini terbukti dengan belasan orang yang tertangkap sebagai kelompok Gafatar tersebut merupakan muka-muka lama yang erat kaitannya dengan Millata Abraham yang sempat berkembang di Kota Banda Aceh.15 Dari hasil kajian lapangan dan analisa, penulis menilai bahwa hingga saat ini benteng akidah ahlussunnah wal jama’ah di Aceh masih tetap kokoh, sehingga masyarakat Aceh tidak mudah dipengaruhi oleh aliran-aliran lain yang dianggap melenceng dari ajaran Islam. Kemurnian ajarannya masih tetap dipertahankan dan senantiasa direalisasikan dalam kehidupan seharai-hari masyarakat. Memang jika dilihat dalam perspektif sosiologis, akidah dapat dikatakan bersifat fluktuatif sesuai dengan tantangan dan pengalaman yang dihadapi oleh masyarakat. Selain itu, akidah juga dipengaruhi oleh situasi sosial sehingga dapat berubah seiring dengan kemunculan nilai-nilai baru disebuah masyarakat. Desakan akan nilai-nilai baru yang tidak sejalan dengan paham akidah yang berkembang, akan dapat memicu adanya perlawanan secara sporadis sehingga berdampak pada kemunculan konflik yang dapat
15
Sumatra: sumatra.bisnis.com/m/read/20150108/3/54051/wali-kota-bandaaceh-nyatakan-ormas-gafatar-aliran-sesat. Diakses tanggal 7 November 2016. Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
77
mengganggu ketentraman masyarakat. 16 Sehingga hadirnya Qanun dan peraturan lain tentang akidah menjadi payung hukum yang sah untuk membentengi akidah umat Islam di Aceh. Dengan adanya upaya-upaya pemurtadan pasca tsunami dan juga adanya pahampaham sesat yang sempat berkembang di masyarakat, untuk itu masyarakat dan juga pemerintah dituntut agar selalu waspada, karena tidak menutup kemungkinan kasus-kasus serupa dapat terjadi lagi di Aceh. Untuk itu masyarakat selalu dihimbau agar menjaga kemurnian akidah Islam ahlussunnah wal jama’ah yang telah ada dan berkembang di Aceh selama ini. B.
Pengamalan Ibadah Ibadah merupakan serangkaian kegiatan ritual yang dikerjakan oleh seorang Muslim sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah dengan berbagai cara dan ketentuannya masingmasing. 17 Dalam ajaran Islam terdapat banyak rangkaian ibadah yang dapat dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah tersebut. Sementara aturan yang tertuang dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 yang mengatur tentang pengamalan ibadah ini merincikan kegiatan ibadah yang harus diupayakan agar dikerjakan oleh seluruh umat Islam di Aceh yakni memakmurkan Masjid dengan shalat fardhu berjamaah; mengerjakan shalat Jum’at; menghidupkan pengajian agama; melaksanakan puasa sebulan penuh di bulan ramadhan, dan dianjurkan menegakkan shalat tarawih serta mengerjakan amalan sunah lainnya. 1. Shalat Fardhu Shalat merupakan suatu perkara yang wajib dilaksanakan oleh seluruh umat Islam di dunia baik laki-laki maupun perempuan. Shalat hukumnya fardhu ‘ain dan merupakan hal paling utama yang 16
Pemerintah Aceh, Naskah Akademik Rancangan Qanun Pembinaan dan Perlindungan Akidah (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2012), h. 14. 17
Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi, h. 113.
78 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
akan ditanya oleh Allah di akhirat kelak. 18 Shalat mempunyai kedudukan khusus dan sangat istimewa dalam ajaran Islam. Shalat diibaratkan sebagai tiang agama, mi’raj bagi orang yang beriman, penopang agama Islam dan dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. 19 Di samping itu, amalan shalat menjadi penentu bagi amalan-amalan lainnya. Ibadah shalat menjadi amalan pertama yang akan diperiksa dan dipertanyakan kepada seorang hamba di akhirat kelak. Maka apabila amalan shalat tidak sempurna berakibat pada seluruh amalan yang lain tidak akan sempurna. Sebaliknya, jika amalan shalat sempurna maka amalan lain juga akan ikut sempurna.20 Untuk itu dalam hal ini, Al Qur’an maupun Hadis selalu menegaskan kepada seluruh umat Islam agar tidak melalaikan shalatnya dan mengerjakan dengan baik dan sempurna. Ketaatan masyarakat Kota Banda Aceh dalam melaksanakan ibadah shalat dapat dibilang tinggi, namun hal ini bukan saja di tempat penulis melakukan penelitian, melainkan juga di tempattempat lain di wilayah Aceh. Kegiatan ibadah shalat fardhu lima waktu yang dikerjakan di tempat ibadah seperti Masjid, Mushalla, dan Meunasah secara berjamaah; maupun yang hanya dikerjakan sendiri di rumah. Meski kadang adakalanya dalam melaksanakan kewajiban ini tidak tepat waktu, namun hampir dipastikan warga masyarakat melaksanakannya dengan teratur. Hal-hal yang sering menyebabkan tertundanya shalat atau tidak tepat waktu biasanya karena sedang dalam perjalanan dan terkena macet, sedang sakit, 18
Syahruddin El-Fikri, Sejarah Ibadah (Jakarta: Republika, 2014), h. 29.
19
Lihat hadis Rasulullah yang berbunyi: “Shalat adalah tiang agama. Barang siapa yang menegakkan shalat, maka berarti ia menegakkan agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat, berarti ia merobohkan agama ”. (HR. Bukhari Muslim). Lihat juga Al Qur’an Surah Al Ankabut ayat 45: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar ”. 20
Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Syari’at Islam untuk Remaja, Pelajar dan Mahasiswa (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh, 2008), Cet-II, h. 108. Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
79
sedang sibuk dengan pekerjaannya, dan mungkin ada hal lain yang tidak berhasil penulis dapatkan alasannya. Namun ada kesan dan anggapan dari warga masyarakat bahwa lebih baik melaksanakan shalat dengan tertunda waktunya dari pada tidak melaksanakan sama sekali. Shalat di awal waktu secara psikologis juga dapat berdampak pada jiwa seseorang, yaitu agar terdidik untuk hidup disiplin dalam menjaga waktu-waktu lainnya di semua aspek kehidupan. Untuk itu membiasakan diri mengerjakan shalat tepat waktu dan berjamaah terutama di Masjid merupakan upaya yang harus dilakukan dan dibiasakan oleh warga masyarakat Aceh, karena selain Masjid dapat berfungsi dengan baik, juga berdampak pada disiplin waktu yang digunakan secara efektif dan efesien.21 Dalam kitab fikih diajarkan bahwa shalat fardhu lima waktu sebaiknya dikerjakan secara bersama-sama. Hal ini juga karena pahala yang diberikan lebih besar; shalat berjamaah pahalanya 27 derajat, sedang shalat sendiri hanya 1 derajat.22 Pada dasarnya shalat berjamaah selain dapat dilakukan di Masjid juga dapat dilakukan di rumah dengan keluarga. Namun aturan yang tertuang dalam Qanun ini sangat menganjurkan agar shalat fardhu berjamaah dilakukan di Masjid, Mushalla, atau Meunasah dengan tujuan untuk kemakmuran tempat-tempat ibadah tersebut. Dalam pengamatan penulis, masyarakat Kota Banda Aceh banyak yang melakukan shalat berjamaah di Masjid, khususnya kaum laki-laki. Disetiap waktu shalatnya, jumlah jamaah yang hadir tidak selalu sama, terlebih waktu subuh, zuhur dan ashar; jumlah jamaah tidak sebanyak di 21
Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan, h. 110.
22
Mengenai hal ini, Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi: “Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendiri dengan dua puluh tujuh derajat ”. Dari hadis tersebut dapat diambil beberapa pesan: bahwa shalat berjamaah lebih baik dibanding shalat sendiri; perbandingan keduanya 27:1; dan karena lebih baik maka kepada umat Islam disarankan untuk selalu menjalankan shalat fardhu lima waktu secara berjamaah.
80 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
waktu shalat magrib dan isya. Namun meski demikian, tidak ada satupun Masjid, Mushalla, atau Meunasah di wilayah Kota Banda Aceh yang tidak melaksanakan shalat berjamaah. Biarpun jumlah jamaahnya hanya lima orang, namun shalat berjamaah tersebut tetap dilaksanakan disetiap waktunya.23 Untuk mendukung berjalannya Qanun ini, Pemerintah Aceh juga telah membuat aturan khusus bagi seluruh stasiun televisi maupun radio untuk menyiarkan adzan ketika waktu shalat tiba. Akibat dari aturan ini, maka setiap kali waktu shalat tiba seluruh stasiun televisi menghentikan siaran yang sedang berlangsung saat itu dan menggantinya dengan siaran adzan. Setiap Muslim juga berkewajiban untuk menunda atau menghentikan segala aktivitasnya pada waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah. Selain itu, secara khusus Pemko Banda Aceh juga membuat aturan tentang kewajiban menghentikan berbagai aktivitas jual beli sebelum adzan berkumandang. Setiap toko diharuskan menutup usahanya sejak 10 menit sebelum adzan berkumandang hingga sampai proses pelaksanaan shalat selesai. Aturan tersebut merupakan upaya untuk membangun suasana agama dan menghargai saat-saat pelaksanaan waktu shalat. Di samping itu juga diharapkan agar kesadaran masyarakat dapat tumbuh dengan sendirinya untuk meluangkan waktu sejenak mengerjakan shalat saat waktunya tiba. 24 Pantauan penulis di lapangan selama ini melihat sudah banyak toko dan tempat-tempat usaha lain seperti SPBU yang tutup sementara waktu saat shalat tiba.25 Di samping itu, untuk menjaga kekhusyukan kegiatan ibadah yang dilakukan 23
Pengamatan di Meunasah Nurul Iman Gampong Aso Nanggroe, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh. 24 Harian Serambi Indonesia: http://aceh.tribunnews.com/2015/03/12/ tutup-toko-10-menit-sebelum-adzan. Diakses tanggal 20 Agustus 2016. 25
Biasanya toko ditutup seadanya dengan kayu atau kursi dan meletakkan kertas yang bertuliskan “tutup waktu shalat”. Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
81
oleh umat Islam, kepada umat non-Muslim juga tidak dibenarkan melakukan berbagai kegiatan yang dapat mengganggu ketenangan dan kekhusyukkan selama ibadah berlangsung. Hal ini bukan berarti membatasi aktivitas warga non-Muslim selama shalat berlangsung, kepada mereka tetap diberikan kebebasan untuk beraktivitas seperti biasanya, namun aktivitas yang tidak mengganggu kekhusyukan kegiatan ibadah. Sikap toleransi dan kerukunan antarumat beragama harus tetap ditumbuhkan dan selalu dijaga, dengan cara menghormati kegiatan ibadah orang lain yang sedang dijalankan. 2.
Shalat Jum’at Bagi kaum laki-laki yang tidak mempunyai uzur syar’i diwajibkan untuk mengerjakan shalat Jum’at. Shalat Jum’at sendiri merupakan pengganti shalat zuhur yang dilaksanakan secara berjamaah di Masjid dengan diisi ceramah agama atau khutbah. Sebagaimana pengamatan penulis, kesadaran warga masyarakat Kota Banda Aceh dalam melaksanakan shalat Jum’at juga dapat dikatakan tinggi. Masjid-Masjid besar di pusat kota maupun yang berada di gampong-gampong terlihat selalu penuh dengan jamaahnya. Seluruh aktivitas toko dan warung di wilayah Kota Banda Aceh juga tutup menjelang tengah hari saat shalat Jum’at tiba, dan akan dibuka kembali setelah kegiatan shalat Jum’at selesai. Demikian juga dengan angkutan umum, harus segera menghentikan aktivitasnya mencari penumpang menjelang shalat Jum’at tiba. Bagi orang yang berhalangan karena sedang sakit, Islam telah memberikan kelonggaran untuk melaksanakan shalat menurut kemampuan yang bisa dikerjakan. Bisa dengan cara duduk atau dengan berbaring, karena yang paling terpenting ialah mengerjakan shalat dan tidak boleh ditinggalkan. Hal ini juga berlaku bagi seseorang yang tidak dapat pergi ke Masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at, dengan alasan sakit atau dalam perjalanan tertentu. 82 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Secara tegas dalam Qanun ini juga telah diatur mengenai penyebab seseorang diperbolehkan tidak melaksanakan shalat Jum’at di Masjid dengan beberapa alasan, seperti musafir, sakit, atau melakukan tugas darurat, seperti perawat atau dokter jaga.26 3.
Pengajian Agama Aturan lain yang tertuang dalam Qanun ini yaitu warga masyarakat dianjurkan untuk memakmurkan Masjid dengan menghidupkan pengajian agama. Dalam pengamatan penulis, masyarakat Kota Banda Aceh juga terlihat rutin melakukan kegiatan pengajian agama ini. Pengajian agama yang dilakukan biasanya berbentuk majelis taklim di Masjid-Masjid yang dilakukan setelah selesai shalat magrib dan subuh. Meski jumlah jamaah yang hadir tidak selalu ramai, namun kegiatan semacam ini hampir dipastikan sering dilakukan setiap harinya. 27 Namun ada juga Masjid-Masjid yang menyelenggarakan pengajian agama ini hanya seminggu sekali, yakni pada malam Jum’at saja. Kegiatan pengajian agama ini biasanya diisi dengan ceramah agama oleh seorang teungku, 28 tema yang dibawakan juga selalu berbeda-beda setiap pertemuannya, namun yang paling sering ialah kajian tentang fikih. 4.
Bulan Suci Ramadhan Bulan ramadhan dikenal sebagai bulan suci yang penuh ampunan dan berkah. Di bulan tersebut, Allah mewajibkan kepada
26
Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002, Pasal 8.
27
Pengamatan di Masjid Agung Al-Makmur (Masjid Oman) Gampong Bandar Baru, Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh. 28
Teungku merupakan sebutan untuk ulama dalam masyarakat Aceh yang dianggap cakap dan memahami agama Islam secara sempurna serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
83
orang-orang yang beriman untuk berpuasa selama sebulan penuh.29 Untuk kesempuraan dalam menjalankan ibadah puasa, seorang Muslim harus pula menghindari segala perkataan dan perbuatan tercela, dan menahan diri dari hawa nafsu dengan penuh kesabaran. Banyak hal yang penulis amati dilapangan selama bulan ramadhan di Kota Banda Aceh. Karena selain melakukan pengamatan, lebih jauh penulis juga ikut terlibat langsung dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh warga masyarakat selama bulan ramadhan. Sehingga hal itu yang kemudian menambah pengalaman tersendiri bagi penulis untuk terus menggali, mencatat dan kemudian melaporkannya dalam bentuk tulisan sederhana selama perjalanan penelitian ini. Berikut uraian singkat tentang kegiatan warga Kota Banda Aceh dalam menjalankan ibadah puasa selama bulan ramadhan. Bagi masyarakat Aceh, bulan suci ramadhan dianggap sebagai bulan yang penuh ibadah. Karena dalam bulan ini segala bentuk ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT lebih ditingkatkan kuantitasnya dari biasanya. Kegiatan mencari nafkah yang dapat mengganggu kekhusyukan selama bulan puasa juga dibatasi. Tempat-tempat ibadah seperti Masjid maupun Meunasah juga tampak selalu ramai. Maka untuk menunjang kegiatan ibadah selama bulan ramadhan tersebut, rumah-rumah ibadah dipercantik, dibersihkan, dan diperbaiki. Rumah ibadah ini nantinya selain sebagai tempat untuk menjalankan berbagai macam ibadah selama bulan puasa, juga berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan
29
Lihat Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 182: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orangorang sebelum kamu agar kamu beriman dan bertakwa”. Secara bahasa, puasa berasal dari kata shaum (jamaknya shiyam) yang bermakna al-imsak (menahan). Sedangkan menurut istilah, puasa itu menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual suami istri dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan niat melaksanakan perintah Allah. Lihat Syahruddin El-Fikri, Sejarah Ibadah, h. 45.
84 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
berbuka bersama. 30 Sejak malam pertama masuk bulan ramadhan, suasana tempat-tempat ibadah selalu ramai. Para penduduk, baik pria, wanita maupun anak-anak terlihat berbondong-bondong menuju Masjid untuk mengikuti kegiatan shalat isya dan dilanjutkan dengan shalat tarawih. Kegiatan shalat sunah tarawih berjalan dengan semarak, terlihat hampir seluruh Masjid yang ada di Kota Banda Aceh penuh dengan jamaah yang ingin melakukan shalat tarawih di malam pertama tersebut. Hal ini dapat dikatakan menjadi fenomena unik, karena tidak seperti biasanya ketika bulan ramadhan tiba Masjid-Masjid sangat penuh jamaahnya, sehingga banyak jamaah yang tidak tertampung diruang utama dan harus melangsungkan shalatnya di halaman Masjid.31 Sebelum rangkaian prosesi shalat tarawih berlangsung, atau setelah pelaksanaan shalat isya berjamaah, biasanya para jamaah melakukan shalat sunnah rawatib sebanyak dua rakaat. Selanjutnya, panitia Masjid akan memberikan pengumuman dan ajakan kepada warga untuk mengikuti semua kegiatan yang akan dilangsungkan dalam Masjid tersebut selama bulan ramadhan. Kegiatan itu biasanya berupa pelaksanaan shalat tarawih berjamaah sebulan penuh; tadarus Al Qur’an; menyediakan takjil atau menu berbuka puasa; kuliah tujuh menit (kultum) sebelum waktu berbuka dan setelah shalat subuh; menerima dan menyalurkan zakat; peringatan nuzulul Qur’an; serta kegiatan lain yang sifatnya mendukung kegiatan beribadah selama bulan suci ramadhan. Setelah panitia
30 Setelah ada kepastian dari pemerintah pusat melalui sidang isbat yang disiarkan melalui televisi bahwa ibadah puasa bisa dimulai esok harinya, masyarakat menyambutkan dengan penuh suka cita. 31 Pada dasarnya fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Kota Banda Aceh saja, melainkan hampir diseluruh kota dan tempat-tempat di Indonesia ketika pertama kali memasuki bulan ramadhan dan melaksanakan shalat tarawih semua Masjid akan penuh jamaahnya.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
85
Masjid selesai memberikan pengumuman, kegiatan dilanjutkan dengan ceramah agama.32 Setelah ceramah selesai selanjutnya semua jamaah melaksanakan shalat tarawih. Kegiatan shalat tarawih berlangsung dengan khidmat. Jumlah rakaat shalat tarawih pada umumnya diseluruh Kota Banda Aceh sebanyak 20 rakaat yang terdiri dari bagian-bagian dua rakaat dan ditambah dengan 3 witir. Sesudah setiap bagian, salah seorang bilal membacakan shalawat yang disahuti oleh jamaah lainnya. Setiap sesudah dua rakaat biasanya juga dibacakan doa-doa pendek, namun sesudah rakaat 20 bacaan doanya lebih panjang. Shalat witir dilakukan sebanyak tiga rakaat juga dilakukan secara bersama-sama. Sedikit catatan bahwa dalam penentuan jumlah rakaat ini kebanyakan masyarakat tidak memperdebatkannya, ada yang mengerjakan 23 dan ada yang mengerjakan 11 saja. Hal ini yang semakin menegaskan bahwa kerukunan internal umat Islam di Kota Banda Aceh sangat baik, mereka dapat menerima adanya perbedaan tersebut. Namun ada pemandangan unik yang penulis lihat, yaitu ada Masjid yang jamaahnya terbagi dalam dua kategori. Ada yang mengerjakan shalat tarawih dengan 11 rakaat ada juga yang 23 rakaat. Dalam pelaksanaannya, mereka yang shalat 23 rakat melakukannya secara bersama-sama dengan jamaah yang 11 rakaat. Kemudian tiba dirakaat kedelapan, jamaah yang 23 akan mundur dan memberikan tempat kepada jamaah 11 untuk melanjutkan shalat witirnya. Kemudian setelah jamaah 11 selesai mengerjakan shalat witir tersebut, giliran jamaah 23 melanjutkan shalat tarawih dan witirnya hingga selesai.33
32 Pengamatan di Masjid Raya Baiturrahman, Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh. 33
Pengamatan di Masjid Syuhada Gampong Lamgugob, Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh.
86 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Setelah semua rangkaian kegiatan shalat tarawih selesai, kegiatan lain yang dilakukan oleh para pemuda dan remaja Masjid yaitu melakukan tadarusan. Kegiatan tadarusan ini hampir serempak dilakukan disetiap Masjid di Kota Banda Aceh, sehingga suarasuara dari Masjid yang terdengar hanya bacaan ayat suci Al Qur’an. Kegiatan tadarusan ini dilakukan hingga pagi hari sebelum waktu sahur tiba. Kemudian setibanya waktu sahur, melalui pengeras suara yang ada di Masjid, orang-orang diberitahu saat makan sahur, yang diulangi berkali-kali hingga waktu imsak tiba. 34 Setelah kegiatan makan sahur selesai, banyak warga yang kemudian berbondongbondong ke Masjid untuk menunaikan shalat subuh secara berjamaah. Ketaatan warga Kota Banda Aceh selama menjalankan ibadah puasa dapat dikatakan cukup tinggi. Kegairahan dalam menjalankan ibadah juga semakin meningkat. Orang yang dalam hari-hari biasa tidak pernah ikut shalat di Masjid, sekarang menjadi peserta yang aktif. Baik dalam mengerjakan shalat wajib lima waktu, tarawih, shalat sunah lainnya juga dikerjakan dengan rajin yang utamanya dikerjakan oleh orang-orang tua. Seperti sudah disinggung di atas, pada siang hari, di pusat kota maupun di gampong-gampong tidak ada warung makan maupun warung kopi yang buka. Maka terlihat tidak ada warga yang berani makan, minum atau bahkan merokok secara terbuka di tempat umum, sehingga sangat terasa khidmat selama bulan ramadhan di wilayah ini. Selain takut dengan adanya sanksi pidana tersebut, penulis beranggapan bahwa ada faktor lain yang menyebabkan warga tidak berani makan, minum dan bahkan merokok di tempat umum, yakni adanya perasaan berdosa dan tidak beretika jika harus makan dan minum ataupun merokok di tempat umum tersebut sedangkan warga disekelilingnya sedang berpuasa. Hal ini senada dengan pendapat salah satu warga Kota Banda Aceh 34
Pengamatan di Masjid Raya Baiturrahman, Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh. Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
87
yang mengatakan bahwa jika kita makan dan minum bahkan merokok di tempat umum sedangkan yang lainnya sedang berpuasa, sama artinya kita tidak punya etika. Kita harus menghormati orang yang sedang berpuasa, dengan cara tidak mengganggu kekhusyukan ibadah mereka, tidak makan atau minum di tempat umum. Pelaksanaan ibadah puasa selama ini di Kota Banda Aceh sudah sangat bagus, ia juga sangat mendukung dengan adanya aturan yang dibuat dalam Qanun yang mengatur tentang hal ini. Maka dengan adanya sanksi pidana bagi para pelanggar dalam Qanun ini akan semakin membuat kualitas ibadah di bulan ramadhan di Kota Banda Aceh semakin baik. Pada dasarnya masyarakat Kota Banda Aceh sejak dahulu telah melakukan kegiatan ibadah secara intens; baik shalat fardhu berjamaah, shalat Jum’at, pengajian agama, maupun menyemarakkan kegiatan ibadah puasa di bulan ramadhan. Semua pengamalan ibadah tersebut dapat dikatakan telah menjadi kegiatan rutin masyarakat setiap harinya. Sehingga adanya Qanun ini bukan suatu hal baru, namun sebagai upaya legalitas terhadap kebiasaan yang telah dijalankan oleh orang Aceh selama ini agar terus terjaga dan dilestarikan. Selain itu, tujuan lain yang ingin dicapai ialah untuk mengajak agar warga yang belum melakukan kegiatan ibadah dengan baik agar melakukannya bersama-sama dan meningkatkan ketakwaan serta keimanan kepada Allah SWT. Lahirnya aturan tentang pengamalan ibadah dalam Qanun ini juga telah membawa dampak positif bagi masyarakat, terlihat bahwa intensitas warga Kota Banda Aceh dalam melakukan ibadah semakin meningkat. Masjid-Masjid semakin ramai disetiap shalat lima waktu. Kaum laki-laki juga semakin rajin pergi ke Masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at. Di bulan ramadhan, semarak dan nuansa islami sangat terlihat. Secara umum masyarakat Kota Banda Aceh merespon positif dengan adanya Qanun ini, dan selalu mendukung kebijakan pemerintah kota maupun provinsi untuk melahirkan aturan-aturan 88 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
yang bernuansa islami lainnya sebagai pendukung berjalannya syari’at Islam di Provinsi Aceh secara kāffah. C.
Penyelenggaraan Syi’ar Islam Aturan ketiga yang tertuang dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 yakni tentang Penyelenggaraan Syi’ar Islam. Syi’ar Islam menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam pelaksanaan syari’at Islam di Aceh, karena syi’ar Islam menjadi jalan dalam upayanya mengagungkan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat. 35 Kegiatan penyelenggaraan syi’ar Islam yang dimaksud diantaranya ialah memperingati hari-hari besar Islam; menggunakan tulisan Arab Melayu di samping tulisan Latin dan menggunakan penanggalan Hijriah serta Masehi dalam surat-surat resmi; dan bagi orang Islam diwajibkan berbusana islami baik di lingkungan kantor, sekolah, wisata, pasar, maupun tempat-tempat umum lainnya. 1. Peringatan Hari-Hari Besar Islam Hari-hari besar Islam dalam kalender Hijriah secara resmi diperingati dalam beberapa tanggal dan peristiwa (sesuai urutan penanggalan Hijriah) sebagai berikut. Tanggal 27 Rajab diperingati sebagai Isra Mi’raj; tanggal 17 Ramadhan diperingati sebagai turunnya Al Qur’an (nuzulul Qur’an); tanggal 1 Syawal diperingati sebagai hari raya idul Fitri; tanggal 10 Dzulhijjah diperingati sebagai hari raya idul Adha; tanggal 1 Muharram diperingati sebagai tahun baru Islam (asura); dan tanggal 12 Rabiulawal diperingati sebagai kelahiran Nabi Muhammad SAW (maulid). Kegiatan pertama dalam perayaan hari-hari besar Islam yang dilakukan oleh masyarakat Kota Banda Aceh ialah memperingati peristiwa perjalanan Nabi Muhammad SAW menghadap Allah SWT yang terjadi pada tanggal 27 Rajab, peristiwa ini biasa disebut
35
Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan, h. 250. Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
89
sebagai Isra Mi’raj. Dalam perayaan isra mi’raj, warga Kota Banda Aceh juga sibuk merayakannya, semua kegiatan biasanya berlangsung secara kolektif yang dipusatkan di Masjid, Meunasah, maupun sekolah-sekolah. Rangkaian acaranya berisi pembacaan ayat suci Al Qur’an, ceramah agama yang menceritakan seputar perjalanan nabi ketika isra mi’raj, doa dan diakhiri dengan makan bersama. Kegiatan kedua yang dilakukan oleh masyarakat Kota Banda Aceh dalam peringatan hari besar Islam ialah peringatan nuzulul Qur’an atau turunnya Al Qur’an yang diperingati tanggal 17 Ramadhan. Meski bertepatan dengan bulan ramadhan, namun terlihat kegiatan perayaan nuzulul Qur’an ini juga tidak kalah ramainya. Acara ini juga dilangsungkan secara kolektif, namun hanya dipusatkan di Masjid-Masjid saja. Kegaiatan nuzulul Qur’an biasanya diisi dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an dan ceramah agama seputar turunnya Al Qur’an dan puasa ramadhan. Kemeriahan acara ini dapat terlihat dari banyaknya jamaah yang hadir ketika acara berlangsung. Karena biasanya jamaah lain yang melaksanakan shalatnya di Meunasah, ketika datang malam peringatan nuzulul Qur’an mereka berbondong-bondong mendatangi masji-masjid tersebut.36 Hari besar Islam selanjutnya yang dirayakan oleh masyarakat Kota Banda Aceh yaitu hari raya idul Fitri tanggal 1 Syawal dan hari raya idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah. 37 Kedua hari raya ini
36
Pengamatan di Masjid Syuhada Gampong Lamgugob, Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh. 37 Sedikit catatan bahwa ada perbedaan bagi masyarakat Aceh dalam merayakan kedua hari raya tersebut, yakni hari raya idul adha biasanya lebih ramai dibandingkan hari raya idul fitri. Pada saat hari raya Idul Adha, cara penyembelihan hewan qurban biasanya dilakukan pada hari ketiga lebaran. Hewan yang dijadikan qurban oleh warga Kota Banda Aceh seperti pada umumnya seperti kerbau, sapi, maupun kambing (tergantung kemampuan). Lokasi yang dijadikan tempat
90 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
sepertinya menjadi idaman bagi seluruh masyarakat, karena kedatangannya yang selalu dinanti-nanti. Orang yang merantau jauh dari kampung halamannya, ketika lebaran idul fitri tiba mereka pulang kampung (mudik) untuk dapat berkumpul dengan keluarganya merayakan lebaran bersama-sama. Kemeriahan dalam merayakannya juga terlihat dari persiapan yang dilakukan, seperti menghiasi rumah dengan cat baru, membeli baju-baju baru, serta mempersiapkan makanan sebagai hidangan terlezat yang disantap saat lebaran. Kegiatan lain yang dilakukan sehari menjelang lebaran idul fitri yakni berburu daging (meugang), berziarah kubur kepada orang tua maupun saudara yang telah meninggal, dan melakukan pembayaran zakat fitrah. Pada malam hari raya idul fitri, gema takbir terdengar hampir diseluruh penjuru wilayah Kota Banda Aceh. Acara takbir keliling dilakukan dengan berjalan kaki dengan menggunakan obor yang terbuat dari bambu (pawai obor). Tua muda maupun anak-anak tak ketinggalan terlihat sangat antusias dalam mengikuti takbir keliling tersebut. Setelah takbir keliling selesai, selanjutnya takbiran dipusatkan di Masjid maupun Meunasah, yang juga terlihat ramai sampai esok hari menjelang waktu subuh. Keesokan harinya, warga berbondong-bondong mendatangi Masjid atau lapangan yang telah dipersiapkan untuk melakukan shalat ‘id. Kegiatan shalat ‘id ini di Kota Banda Aceh biasanya dipusatkan di Masjid-Masjid besar yang mampu menampung jamaah dengan jumlah banyak, seperti Masjid Raya Baiturrahman, dan ada juga sebagian warga yang memilih melaksanakan shalat ‘id dilapangan terbuka. Sekembalinya dari tempat shalat ‘id, orang-orang biasanya melakukan kunjungan kepada orang tuanya, kerabat, orang lain yang dituakan, dan tokohtokoh masyarakat yang ada disekitar tempat tinggalnya.
penyembelihan hewan-hewan ini biasanya disekitaran halaman Masjid maupun lapangan terbuka. Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
91
Kegiatan perayaan hari besar Islam berikutnya yang biasa dilakukan oleh masyarakat Kota Banda Aceh yakni tanggal 1 Muharram yang diperingati sebagai tahun baru Islam (asura). Pada malam harinya biasanya warga terutama anak-anak dan remaja melakukan kegiatan pawai obor yang berlangsung di jalan-jalan seputaran gampong. Sepanjang pawai berlangsung, anak-anak dan remaja tersebut mengumandangkan shalawat serta zikir. Kegiatan selanjutnya dalam perayaan hari-hari besar Islam yang selalu dilakukan oleh masyarakat Kota Banda Aceh ialah memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Rabiulawal. Peringatan hari kelahiran nabi dalam masyarakat Aceh biasa disebut maulod atau maulid, asal kata dalam bahasa Arab mawlud yang berarti kelahiran. Bulan ini juga dinamai sebagai bulan maulid, karena dalam banyak tradisi budaya yang telah berkembang di masyarakat Aceh, memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan yang terbesar dan berlangsung lama, yaitu selama tiga bulan. Rangkaian kegiatan maulid tersebut biasanya selalu diisi dengan shalawat, zikir, dan pembacaan syairsyair mengangungkan nama Allah, mendoakan keselamatan Rasulullah beserta keluarganya, para sahabat nabi, ulama dan seluruh umat Islam. Biasanya bacaan shalawat zikir dan syair ini dibawakan para remaja putra maupun putri. Suara-suara itulah yang dirangkum dalam bentuk barzanji yang merupakan salah satu ciri khusus dalam tradisi perayaan maulid di Aceh.38 Ciri khas lain dari perayaan maulid di Aceh yaitu ceramah agama tentang Pang Ulee yang disampaikan oleh teungku yang diundang secara khusus dari daerah lain. Karena pada dasarnya perayaan maulid merupakan peringatan hari kelahiran Pang Ulee (Penghulu Alam) yakni Nabi Muhammad SAW, utusan Allah dan nabi terakhir yang membawa risalah Islam kepada umat manusia. 38
Web Kemdikbud RI: www.kemdikbud.go.id/main/blog/2014/12/ tradisi-
kenduri-aceh-rayakan-maulid-nabi. Diakses tanggal 01 Oktober 2016.
92 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Untuk itu hal-hal yang disampaikan dalam ceramah agamanya tidak lepas dari kehidupan Rasulullah sejak masa kanak-kanak hingga wafatnya beliau. Ceramah Pang Ulee ini juga menjadi puncak acara dari serangkaian kegiatan perayaan maulid yang dilakukan. Ciri khas selanjutnya dalam merayakan maulid di Aceh yakni Kenduri Maulid atau Kanduri Maulod. Acara ini merupakan kegiatan makan bersama yang dilakukan oleh warga dan juga para tamu undangan dari gampong tetangga. Panitia yang menjadi tuan rumah pada kegiatan itu biasanya akan memasak kuah belangong, yakni masakan khas Aceh yang berbahan gulai sapi atau kambing. Sementara para tamu undangan yang datang akan membawa makanan sendiri yang kemudian ditukar dengan makanan yang telah disediakan oleh tuan rumah. Saling tukar menukar makanan menjadi hal yang lumrah dan wajib pada saat itu. Acara kanduri maulod ini biasanya dilaksanakan di Masjid atau Meunasah yang telah dipersiapkan oleh tuan rumah selaku penyelenggara.39 Masyarakat Aceh menganggap bahwa kanduri maulod merupakan sebuah tradisi. Hal itu didasarkan atas pemahaman pada Nabi Muhammad yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan hingga ke alam ilmu pengetahuan yang karenanya manusia menjadi mulia. Seperti telah disinggung di atas, bahwa kegiatan kanduri maulod di Aceh merupakan perayaan terbesar dan terlama, yakni selama tiga bulan, sejak Rabiulawal, Rabiulakhir, hingga Jumadilawal. Pelaksanaan kanduri maulod selama rentang tiga bulan tersebut mempunyai tujuan supaya masyarakat Aceh dapat melaksanakan kenduri secara keseluruhan dan merata. Sehingga apabila pada bulan Rabiulawal belum mampu melaksanakan kenduri, pada bulan Rabiulakhir belum juga mampu,
39
Web Kemdikbud RI: www.kemdikbud.go.id/main/blog/2014/12/ tradisi-
kenduri-aceh-rayakan-maulid-nabi. Diakses tanggal 01 Oktober 2016.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
93
maka masih ada kesempatan pada bulan Jumadilawal. 40 Setiap perayaan yang dilakukan pada ketiga bulan yang berbeda tersebut juga mempunyai julukannya masing-masing. Seperti kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiulawal disebut Maulod Awai (Maulid Awal) yang dimulai dari tanggal 12 Rabiulawal sampai akhir bulan Rabiulawal. Kenduri maulid yang dilaksanakan pada Rabiulakhir disebut Maulod Teungoh (Maulid Tengah) yang dimulai dari tanggal 1 bulan Rabiulakhir sampai berakhirnya bulan Rabiulakhir tersebut. Sedangkan kenduri maulid pada bulan Jumadilawal disebut Maulod Akhee (Maulid Akhir) yang dilaksanakan sepanjang bulan Jumadilawal hingga selesai.41 2.
Tulisan Arab Melayu Penggunaan tulisan Arab Melayu di samping tulisan Latin untuk penulisan nama kantor dan toko belum berjalan maksimal, hal ini dapat terlihat dihampir seluruh wilayah Kota Banda Aceh, tidak semua instansi pemerintahan maupun swasta dan toko-toko yang sudah ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu tersebut. Tentunya dengan berbagai alasan mengapa hal ini belum dijalankan; seperti belum mengetahui adanya aturan ini, tidak adanya sosialisasi dari pihak terkait, dan tidak tahu cara menulisnya karena tidak ada pedoman yang baku. Namun meski belum terlihat seluruhnya menggunakan tulisan Arab Melayu, dari amatan penulis dilapangan melihat telah ada sebagian nama kantor pemerintah dan sebagian nama toko di wilayah ini yang sudah ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu tersebut. Tapi karena kaidah penulisannya belum
40
Perayaan maulid di Aceh dapat dikatakan sebagai pesta rakyat namun dalam nuansa santun dan penuh nilai-nilai islami. Umumnya seluruh masyarakat Aceh mengadakan Kenduri Maulod, hanya waktu pelaksanaannya saja yang berbeda-beda tergantung pada kemampuan masyarakat untuk menyelenggarakan. 41
Web Kemdikbud RI: www.kemdikbud.go.id/main/blog/2014/12/ tradisi-
kenduri-aceh-rayakan-maulid-nabi. Diakses tanggal 01 Oktober 2016.
94 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
ada yang baku, maka sering kali terjadi perbedaan penggunaan huruf antara nama satu instansi dengan instansi lainnya.42 Gambar 4.3 Kantor Satpol PP/WH Kota Banda Aceh yang ditulis dengan huruf Latin dan Arab Melayu
Selain penggunaan tulisan Arab Melayu, aturan lain yakni penggunaan tanggal Hijriah dan Masehi dalam surat-surat resmi juga terlihat belum berjalan maksimal. Instansi pemerintah maupun swasta di Kota Banda Aceh masih belum banyak yang menggunakan penanggalan Hijriah di samping penanggalan Masehi dalam surat-surat resmi yang dikeluarkan. 3.
Berbusana Islami Sebagai salah satu wujud pelaksanaan syari’at Islam yang nyata dan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari di Kota Banda Aceh ialah berbusana islami. Aturan penggunaan busana islami ini tidak hanya berlaku bagi kaum wanita saja tetapi juga berlaku bagi
42 Ahsanul Khalikin, Pelaksanaan Syari’at Islam Di Kota Banda Aceh, dalam Ahmad Syafi’i Mufid (Ed), Kasus-Kasus Aliran/Paham Keagamaan Aktual Di Indonesia (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009), h. 259.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
95
kaum pria. Namun demikian, pada tataran pelaksanaannya, penerapan aturan berbusana islami ini lebih ditekankan pada kaum wanita. Dengan alasan karena wanita memiliki batasan-batasan aurat yang lebih banyak daripada pria, terutama pada bagian kepala. Maka sejak aturan ini diimplementasikan sudah banyak menuai hal positif, kuantitas wanita di Kota Banda Aceh yang memakai busana islami terlihat semakin meningkat meski belum maksimal. Di samping itu, bagi sebagian besar masyarakat telah menganggap bahwa busana islami merupakan sebuah simbol identifikasi diri bahwa ia seorang muslimah. Busana islami juga menunjukkan tentang kesopanan dan keindahan bagi siapa saja yang memakainya. Selain itu, diwajibkan berbusana islami yang diatur dalam Qanun ini pada dasarnya juga untuk mengangkat harkat dan martabat seorang wanita sebagai muslimah dan menjaga serta melindungi kehormatan manusia dari gangguan tangan dan mata jahil. Dikalangan instansi pemerintahan di Aceh, pegawai pemerintahan (PNS) termasuk TNI dan Polri, selain memakai baju dinas juga diwajibkan untuk mengenakan jilbab pada saat jam kerja. Warna jilbab yang dikenakan selalu disesuaikan dengan warna pakaian dinas instansi masing-masing serta harus seragam. Akibat dari aturan ini, dari amatan penulis dilapangan melihat tidak ada satupun pegawai pemerintahan di Kota Banda Aceh yang tidak mengenakan jilbab saat jam kerja. Para anggota TNI wanita (Kowad, Kowal dan Wara) juga terlihat selalu memakai jilbab. Begitu juga Polwan saat bertugas di jalan raya sebagai pengatur lalu-lintas juga terlihat mengenakan jilbab. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa aturan berbusana islami ini tidak hanya berlaku bagi wanita saja, melainkan juga berlaku bagi kaum pria. Maka dengan aturan ini terlihat banyak kaum pria di Kota Banda Aceh yang tidak lagi memakai celana pendek di tempat-tempat umum (kecuali dilapangan bola/futsal), meskipun kadang juga masih ditemukan ada beberapa orang yang tidak mematuhinya. 96 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Sejak mulai diberlakukannya kewajiban berbusana islami dan untuk menegakkan aturan ini, maka secara berkala Satpol PP/WH dengan dibantu oleh aparat Kepolisian setempat telah aktif melakukan berbagai razia. Khusus bagi kaum wanita bila ditemukan tidak menggunakan jilbab dan berpakaian ketat di luar rumah, maka akan dikenakan sanksi secara berjenjang, yaitu: Pertama, teguran lisan, terkadang disertai pemasangan jilbab atau kerudung di tempat terjadinya razia oleh aparat Satpol PP/WH wanita. Kedua, bila pelaku ditemukan lagi melakukan pelanggaran serupa, identitas berserta alamatnya akan dicatat oleh petugas dan kemudian pelaku diwajibkan untuk membuat pernyataan secara tertulis bahwa tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Ketiga, bila masih ditemukan pelaku yang melakukan pelanggaran serupa, maka akan dibawa ke kantor Satpol PP/WH dan akan diberikan pembinaan. Umumnya pelanggaran tentang kewajiban berbusana islami ini banyak dilakukan oleh anak-anak yang masih berusia muda atau remaja. Pada dasarnya, sebelum lahirnya Qanun yang mengatur tentang berbusana islami ini, dalam Perda Nomor 5 Tahun 2000 (Pasal 15) secara khusus juga telah mengatur tentang kewajiban berbusana islami bagi umat Islam di Aceh dan para pelancong/wisatawan yang datang berkunjung ke Aceh. Di katakan bahwa setiap Muslim dan Muslimah wajib berbusana sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam pergaulan masyarakat, setiap pemeluk agama selain agama Islam diharapkan menghormati dan menyesuaikan pakaian/ busananya sehingga tidak melanggar tata krama dan kesopanan dalam masyarakat, dan bagi para pelancong atau wisatawan dari luar Aceh supaya dapat menyesuaikan tindakan, kegiatan dan busananya dengan kehidupan masyarakat Aceh yang islami.43 Hemat penulis, pasal ini bukan bertujuan untuk membatasi umat non-Muslim atau 43
Perda Nomor 5 Tahun 2000 Pasal 15, BAB IV Aspek Pelaksanaan Syari’at Islam. Bagian Ketujuh Pelaksanaan Bidang Kemasyarakatan, Pasal 15. Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
97
wisatawan yang berkunjung ke Aceh, tetapi agar terciptanya masyarakat yang lebih teratur, rapi serta penuh kesopanan sesuai dengan tata krama.
98 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
BAB V Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama
B
ab ini membicarakan tentang dampak implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 terhadap kondisi kerukunan hidup umat beragama di Kota Banda Aceh dari waktu ke waktu hingga yang penulis amati selama penelitian berlangsung. A.
Kerukunan Internal Umat Islam Islam adalah esensi sekaligus nama. Esensinya kepasrahan kepada Tuhan, dan namanya adalah Islam itu sendiri seperti yang dimengerti oleh masyarakat awam. Islam sebagai nama agama merupakan bentuk dari akar yang sama yakni salam yang berarti perdamaian, kata ini kemudian menunjuk pada Islam sebagai agama yang damai. Dalam interaksi dikehidupan masyarakat, maka setiap orang dianjurkan untuk menebarkan kedamaian dengan sesama melalui ucapan salam; “assalammualaikum” (semoga keselamatan, keberkahan, dan kasih sayang dari Allah menyertai Anda sekalian).1 Memberikan ucapan salam kepada orang lain merupakan sebuah perwujudan yang nyata dari sikap seseorang bahwa bersama-sama untuk menjalani kehidupan yang sejahtera dan perdamaian. Oleh karena itu, dengan Islam setiap manusia dapat menjalani kehidupan yang damai, sejahtera dan penuh cinta kasih antarsesama umat manusia. Hal tersebut kemudian mengharuskan setiap umat manusia untuk saling menghargai dan menghormati antarsesama sesuai dengan hak-hak yang terdapat pada diri setiap individu. Bentuk
1
Syamsul Rijal (Penyunting), Kerukunan Umat Beragama: Substansi dan Realitas Nilai-Nilai Universal Keagamaan (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2003), h. 30.
99
penghargaan dan penghormatan itu diwujudkan dalam persaudaraan antarsesama umat Islam berdasarkan nilai-nilai islami (ukhuwwah islamiyah). Berdasarkan uraian di atas, jika dilihat dalam kehidupan masyarakat Aceh pada dasarnya telah menunjukkan adanya kehidupan yang penuh kedamaian dan juga sangat mementingkan hubungan antarsesama manusia. Persaudaraan antara umat Islam telah berjalan baik dan serasi, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman tersebut. Fakta tersebut dapat dilihat apabila ada kemalangan atau hajatan dalam masyarakat, maka tetangga dekat disekelilingnya akan membantu dengan senang hati. Masyarakat Aceh dikenal sangat toleran dan mempunyai sifat gotong royong yang tinggi. Namun sejak terjadi konflik bersenjata tahun 1989 hingga masa damai 2005 lalu, orang asing (non-Aceh) enggan untuk masuk ke Aceh dengan berbagai alasan, salah satunya yaitu karena orang Aceh dianggap tidak mau menerima orang luar dan tertutup. Kenyataan ini pada dasarnya diakibatkan karena adanya konflik yang berlangsung lama, sehingga ketakutan, kecemasan, dan kecurigaan selalu membayangi masyarakat Aceh, sehingga orang luar merasa enggan untuk berkunjung ke Aceh. Setelah terjadi tsunami dan kesepakatan damai melalui MoU Helsinki, kini orang Aceh kembali terbuka dengan dunia luar dan tidak lagi tertutup.2 Amatan penulis melihat bahwa kehidupan organisasi masyarakat Islam seperti NU, Muhammadiyah dan ormas lainnya di Kota Banda Aceh juga terlihat kondusif, sikap gotong royong dan kerjasama telah terlihat tumbuh diantara sesama anggota ormas. 3
2
Abdul Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisa Interaksionis, Integrasi, dan Konflik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 102. 3 Sedikit catatan bahwa dalam kehidupan bangsa saat ini kerukunan internal umat Islam dapat dikatakan berjalan baik, khususnya di antara kelompok-kelompok besar keagamaan.Secara jelas dapat dilihat lompatan yang sangat jauh hubungan NU dengan Muhammadiyah sekarang dibandingkan masa silam. Lihat Bahrul
100 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Hal ini berbeda dengan organisasi partai politik yang terlihat lebih mengedepankan sikap persaingan diantara mereka, sehingga benturan gagasan maupun fisik sering terjadi yang berujung pada pertikaian diantara mereka (terutama pada momen pilkada). Tentunya sikap-sikap seperti itu dilatar belakangi atas berbagai kepentingan dari masing-masing kelompok, baik kepentingan jabatan maupun kekuasaan. Dalam lingkup yang lebih luas, persaingan yang terjadi antar anggota kelompok partai tidak lebih dari perebutan aset dan akses untuk memenuhi anggota kelompoknya masing-masing, baik itu partai lokal maupun nasional di Kota Banda Aceh. Dalam hal toleransi, masyarakat Aceh juga dapat dikatakan memiliki budaya yang penuh dengan toleransi tinggi. Hal ini misalnya ketika dihadapkan dengan berbagai persoalan, termasuk persoalan memberi hak dan penghormatan kepada orang lain. Contoh prinsip sederhana ini dapat dilihat dalam kehidupan seharihari, ketika ada sekelompok orang Aceh sedang berbicara menggunakan bahasa daerah, apabila ada orang lain yang datang bergabung dengan kelompok itu sementara tidak bisa berbahasa Aceh, orang Aceh bisa mengalihkan bahasanya dari bahasa Aceh ke bahasa Indonesia. Di samping memberi toleransi dalam aspek kebahasaan, orang Aceh juga telah memberikan toleransi kepada kaum wanita, yakni dengan memposisikan mereka pada kewanitaannya. Hal ini terlihat dari sejarah beberapa ratus tahun lalu bahwa masyarakat Aceh telah merealisasikan kesetaraan gender. Dalam catatan sejarah, Aceh pernah mempunyai panglima perang wanita yang rela mati dan terjun langsung ke medan pertempuran untuk melawan dan mengusir penjajah, seperti Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, Pocut Baren, dan lain sebagainya. Selain itu, Aceh juga mempunyai laksamana wanita yang memimpin Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama (Jakarta: PT. Saadah Cipta Mandiri, 2012), h. 42. Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 101
armada angkatan laut, yakni Laksamana Keumalahayati, Laksamana Leurah Ganti, Laksamana Muda Cut Meurah Inseuen, dan lain-lain. Sejarah tersebut memberi gambaran bahwa budaya Aceh telah memberi toleransi kepada masyarakat dan menjunjung tinggi persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian budaya toleransi, penghormatan terhadap hak-hak wanita, dan masyarakat asing merupakan karakter budaya Aceh yang sudah tertanam sejak lama.4 Di salah satu Gampong Asoe Nanggroe, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh yang penulis amati, terlihat bahwa kehidupan umat Islam berjalan damai, atmosfir persaudaraan sangat terlihat kental di tempat ini. Budaya gotong royong, saling menghargai, mengormati, dan bekerjasama telah menjadi realitas dalam kehidupan keseharian masyarakat. Hal ini terlihat dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat selalu berlangsung secara kolektif. Selain itu, kegiatan dalam bulan suci ramadhan juga dilakukan secara bersama-sama oleh umat Muslim, baik shalat tarawih, tadarus Al Qur’an, maupun buka puasa bersama. Sikap gotong royong warga masyarakat juga sangat terlihat seperti halnya ketika prosesi pembangunan rumah ibadah. Dalam hal ini setiap warga masyarakat tak terkecuali juga terlihat berperan aktif dalam mengikuti kegiatan gotong royong pembangunan rumah ibadah ini, dari mulai peletakan batu pertama hingga sampai selesai pembangunan. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, umat Muslim juga terlihat sangat kompak, kegiatan bakti sosial sering dilakukan di wilayah Kota Banda Aceh. Seperti halnya donor darah, santunan anak yatim, dan lain sebagainya. Suasana kekeluargaan yang telah terjalin dengan baik di Gampong Aso Nanggroe juga dirasakan oleh warga suku Jawa yang merantau dan tinggal di wilayah tersebut. Ia menuturkan bahwa orang Aceh sangat bersahabat dan bersikap 4
Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan: Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya (Banda Aceh: LKAS dan Pemerintah Aceh, 2009), h. 28-29.
102 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
terbuka kepada dirinya. Setiap kegiatan sosial maupun keagamaan yang diadakan di gampong tersebut selalu ia ikuti tanpa rasa takut, ia menganggap bahwa warga Aceh telah menerimanya dan menganggapnya sebagai saudara. Penghayatan terhadap hukum agama yang diimplementasikan melalui syari’at Islam juga berperan besar dalam membentuk masyarakat Kota Banda Aceh yang lebih santun. Aturan untuk memperbanyak kegiatan ibadah yang diatur dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 ini telah menunjukkan hal positif di masyarakat. Misalnya perintah untuk melakukan shalat berjamaah di Masjid, telah terbukti dapat menyatukan umat Islam dan meredam gejalagejala konflik yang sewaktu-waktu dapat terjadi di Kota Banda Aceh. Selain itu, sejalan dengan visi Kota Banda Aceh sebagai model Kota Madani merupakan sebuah cita-cita terbentuknya masyarakat yang damai, adil, dan beradab. Namun meskipun kehidupan masyarakat Islam terlihat damai, bukan berarti tidak pernah terjadi konflik. Hasil temuan penulis mencatat bahwa konflik berskala lokal (kecil) yang pernah terjadi dalam internal umat Muslim di Kota Banda Aceh yaitu adanya pandangan berbeda dalam hal pengelolaan manajemen pelaksanaan shalat Jum’at Masjid Raya Baiturrahman. Meski peristiwa ini terbilang lokal (tidak menimbulkan korban jiwa, tidak melibatkan banyak pihak dan juga tidak meluas), namun sempat menyita perhatian masyarakat. Peristiwa ini terjadi pada Jum’at 19 Juni 2015 di mana saat itu umat Muslim tengah bersiap-siap untuk melakukan shalat Jum’at di Masjid tersebut. Kejadian ini bermula ketika pemuka agama dari Himpunan Dayah Aceh (HUDA), Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), dan Front Pembela Islam (FPI) mengambil alih manajemen pelaksanaan tata tertib shalat Jum’at di Masjid Raya Baiturrahman. Para pemuka agama yang datang ini memaksa khatib untuk menggunakan tongkat dalam menyampaikan khutbahnya dan Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 103
mengharuskan mengumandangkan azan dua kali, hal ini yang tidak pernah dilakukan dalam ritual shalat Jum’at di Masjid Raya Baiturrahman sebelumnya.Para ulama ini menganggap bahwa pelaksanaan ibadah terutama dalam hal tata tertib shalat Jum’at di Masjid Raya Baiturrahman telah melenceng jauh dari kaidah ahlussunnah wal jama’ah, sehingga harus dikembalikan sesuai kaidahnya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Tgk. Bulqani Tanjongan selaku Sekjen HUDA, mengatakan bahwa pihaknya dan seluruh ulama di Aceh ingin mengembalikan pelaksanaan ibadah di Masjid Raya Baiturrahman sebagaimana kejayaan Aceh di masa Kerajaan Sultan Iskandar Muda dahulu. Menurutnya bahwa masalah ini bukan upaya untuk mengkudeta masjid, bukan juga tentang khilafiah tapi sesuatu yang telah dipolitisir sedemikian rupa oleh kalangan yang telah menguasai manajemen Masjid Raya Baiturrahman. Sehingga ia menginginkan tata cara pelaksanaan shalat Jum’at harus sesuai dengan mazhab Syafi’i dan kaidah ahlussunnah wal jama’ah.5 Dari berbagai kajian referensi yang penulis dapatkan, pada dasarnya benturan atau konflik yang terjadi sesama umat Islam di Kota Banda Aceh tidak terkait dengan politik kekuasaan untuk menguasai manajemen Masjid Raya Baiturrahman. Akan tetapi ada masalah yang dianggap serius oleh para ulama, yakni adanya penetrasi dari aliran Wahabi yang sangat agresif di kalangan masyarakat, sehingga menurut para ulama aliran ini sangat bertentangan dan jauh dari nilai-nilai Islam dalam praktek ibadah masyarakat Aceh yang sesuai dengan ahlussunnah wal jama’ah selama ini.6 Selain itu, konsep akidah dan ibadah yang berdasarkan 5
Harian Serambi Indonesia: aceh.tribunnews.com/2015/06/26/menyoalbenturan-antaramazhab-di-aceh. Diakses tanggal 1 September 2016. 6
Sedikit catatan, sesungguhnya perbedaan-perbedaan mazhab ini telah banyak berkembang di dunia Islam, baik yang menolak maupun yang fanatik terhadap mazhab. Khususnya perbedaan mazhab yang menyangkut tentang akidah
104 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
ahlussunnah wal jama’ah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh telah mendapat legalitas formal melalui Qanun Nomor 11 Tahun 2002 yang wajib untuk dijalankan. Pendapat penulis mengatakan bahwa pada intinya kasus konflik/benturan mazhab yang pernah terjadi di Kota Banda Aceh tersebut seyoginya tetap dilihat sebagai kasus yang dalam kehidupan bermasyarakat juga kerap terjadi (masih dalam tingkat kewajaran), karena kasus seperti itu juga pernah terjadi di wilayah lain di Indonesia maupun dunia Islam lainnya. Jika dicermati bahwa timbulnya kasus di atas memang sempat menodai wajah kerukunan internal umat Islam di Kota Banda Aceh yang selama ini dikenal rukun dan damai, namun dengan adanya kasus itu tidak juga menghancurkan gambaran kehidupan kerukunan umat Muslim di Kota Banda Aceh saat ini. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya umat Muslim di Kota Banda Aceh memiliki daya resistensi yang tinggi dalam memelihara kerukunan dan menjaga persaudaraan ukhuwwah islamiyah. Meminjam istilah dari Adian Husaini bahwa wajah kerukunan umat beragama (Umat Muslim di Kota Banda Aceh) saat ini tetap cantik. Kasus-kasus yang muncul bisa diibaratkan laksana jerawat yang muncul di wajah yang cantik. Pandanglah wajah yang cantik itu secara keseluruhan; jangan hanya memandangi dan membesar-besarkan jerawat yang muncul. Tentu saja jerawat itu mengganggu dan jika tidak diobati bisa menimbulkan infeksi yang dapat merusak wajah cantik secara keseluruhan. Upaya sejumlah pihak untuk menonjol-nonjolkan kasus
(madzahib i’tiqadiyah) telah membawa berbagai tragedi dan musibah di negerinegeri Islam dan memecah belah barisan kaum Muslimin. Perbedaan ini sangat disayangkan dan harus ditiadakan. Umat Islam harus bersatu dalam mazhab ahlussunnah wal jama’ah yang mencerminkan pemikiran Islam yang benar di masa Rasulullah dan Khilafah Rasyidah yang telah diumumkan oleh Nabi Muhammad sebagai kelanjutan dari Sunnahnya. Lihat Yusuf Al Qardhawi, Fiqih Perbedaan Pendapat (Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid) (Jakarta: Robbani Press 2007), Cet. 15, h. 94. Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 105
dengan menutup gambaran besar wajah kerukunan umat Islam yang harmonis, justru bisa menjadi sumber masalah baru.7 Secara keseluruhan kehidupan umat Muslim di Kota Banda Aceh terlihat harmonis. Adanya ikatan kekerabatan dan kekeluargaan dalam kehidupan sosial masyarakat di Kota Banda Aceh juga menjadi faktor penting, ini terlihat dari interaksi dengan adanya kerja sama saling membantu dan tolong menolong satu sama lainnya merupakan hal biasa yang sering dilakukan oleh masyarakat. Timbulnya kasus konflik/benturan mazhab yang sempat terjadi merupakan sebuah dinamika dalam mewarnai kehidupan umat Islam di kota ini. Karena dengan adanya konflik tersebut, saat ini masyarakat terlihat lebih terbuka untuk menerima adanya perbedaan pandangan, pendapat, dan lebih mementingkan persatuan ukuwwah islamiyah antarsesama masyarakat Kota Banda Aceh. Pelaksanaan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam telah memberi dampak positif terhadap persatuan umat Islam di Kota Banda Aceh, karena yang paling ditekankan dalam Qanun tersebut adalah praktek-praktek yang sifatnya kolektif bukan individual, seperti shalat fardhu berjamaah, pengajian agama, dan lain sebagainya yang pada intinya akan membuat umat Islam bersatu dan rukun. B.
Kerukunan Antarumat Beragama Secara keseluruhan, kondisi kerukunan umat beragama di Aceh telah berjalan baik. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Ziauddin dalam focus group discussion yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Kementrian Agama Aceh menyatakan bahwa toleransi dan kerukunan umat beragama di Aceh berjalan dengan baik sehingga
7
Adian Husaini, Kerukunan Beragama dan Kontroversi Penggunaan Kata Allah dalam Agama Kristen (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 20-21.
106 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
perlu terus untuk dipertahankan. 8 Sementara menurut pemuka agama Katolik, Pastor Sebastianus Eka BS menilai bahwa toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Aceh telah terjalin baik dan harmonis selama ini meski non-Muslim menjadi pemeluk agama minoritas. Kerukunan itu tercapai dengan hal yang sederhana, misalnya rela bertegur sapa secara baik dan mengusahakan selalu agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Selain itu juga berusaha selalu ikut menghargai kebiasaan masyarakat Muslim Aceh. Misalnya saat bulan puasa, umat Katolik tidak makan minum atau merokok di tempat umum, pengenaan busana juga disesuaikan dengan penduduk setempat.9 Sementara itu, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah juga mengatakan bahwa pemerintah Aceh menjamin kebebasan dan kerukunan hidup antarumat beragama serta tidak diskriminatif terhadap pemeluk agama minoritas. Pelaksanaan syari’at Islam di wilayah Aceh hanya berlaku bagi umat Muslim saja, sehingga tidak benar jika ada berita yang mengatakan bahwa umat non-Muslim juga harus mengikuti hukum syari’at Islam yang diberlakukan. Isu negatif dan provokatif tentang pelaksanaan syari’at Islam diterapkan bagi non-Muslim di Aceh itu tidak lebih dari konsumsi politik untuk mendiskreditkan masyarakat dan Pemerintah Aceh. Ia juga menegaskan bahwa syari’at Islam yang diberlakukan di Aceh lebih mengedepankan pendekatan pendidikan, adat dan budaya, sehingga hal itu tidak akan mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama yang telah terjalin lama di Aceh.10
8
Antara News: http://www.antaranews.com/berita/528897/fkub-kerukunanumat-beragama-di-aceh-terlaksana-baik. Diakses tanggal 29 Februari 2016. 9 Kabar Gereja: http://www.kabargereja.papua.us/2011/06/mengintiptoleransi-antar-umat-beragama.html. Diakses tanggal 29 Februari 2016. 10
Republika: republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/02/21/gubernuraceh-tegaskan-jamin-kebebasan-beragama. Diakses tanggal 2 Juni 2016. Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 107
Demikian juga dengan Kota Banda Aceh, meskipun secara mayoritas penduduk kota ini adalah Muslim, namun masyarakat non-Muslim tetap nyaman dan aman berada di wilayah ini. Fakta ini terlihat dari hasil kajian-kajian dan amatan dilapangan, penulis melihat bahwa kehidupan warga non-Muslim di Kota Banda Aceh tidak mengalami kendala apapun baik dalam pelaksanaan ibadah maupun dalam aktifitas sehari-hari. Mereka juga tidak merasa keberatan dengan diberlakukannya syari’at Islam. Sikap saling menghormati dan semangat hidup berdampingan telah menjadi warna dalam kehidupan antarumat beragama di Kota Banda Aceh. Sehingga pemberlakuan syari’at Islam secara menyeluruh bukan menjadi sebuah ancaman bagi non-Muslim di kota ini. Kota Banda Aceh telah dikenal dunia nasional maupun internasional sebagai salah satu kota yang sangat toleran dalam kehidupan umat beragama. Sudah dari dulu kota ini dikenal sebagai kota yang sangat toleran terhadap keberagamaan umat beragama, bahkan hingga saat ini Banda Aceh menjadi kota yang kondusif dengan tingkat kerukunan umat beragama yang tinggi. Bagi masyarakat Aceh, hidup bersanding dengan keanekaragaman suku, ras, dan agama merupakan bagian dari warisan endatu.11 Kesetaraan adalah hak setiap orang, dan hal itu terus menerus diwariskan kepada generasi selanjutnya, hingga sampailah pada kearifan lokal yang kemudian membentuk sebuah peradaban bagi masyarakat Kota Banda Aceh. Hal yang sama juga disampaikan oleh Wakil Ketua FKUB Kota Banda Aceh, Eliaudin Gea yang mewakili umat Nasrani juga mengakui bahwa kerukunan antarumat beragama di Banda Aceh telah terjalin sejak lama. Ia menuturkan bahwa sudah 38 tahun
11
Endatu merupakan istilah yang digunakan oleh orang Aceh untuk menyebut leluhur mereka (Nenek Moyang).
108 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
tinggal di Kota Banda Aceh namun tidak pernah terjadi konflik, kehidupan antarumat beragama telah berjalan harmonis di kota ini.12 Selanjutnya dalam kaitan dengan implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 oleh masyarakat Kota Banda Aceh, penulis berusaha melakukan kajian dari berbagai sumber pustaka dan amatan lapangan yang kemudian menganalisis dan mengklasifikasikannya terhadap dampak-dampak apa saja yang ditimbulkan dalam kehidupan sosial yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama. 1. Aktivitas Ekonomi Amatan dan analisa penulis mengungkapkan bahwa kehidupan antarumat beragama di Kota Banda Aceh nampak harmonis, serasi dan saling tolong menolong dengan ikatan persaudaraan. Hal tersebut telah menciptakan institusi atau tradisi yang mampu meredam terjadinya konflik antarumat beragama. Interaksi sosial yang terjalin antara umat Muslim dan non-Muslim telah terjadi begitu lama di wilayah ini, dan tidak hanya sewaktuwaktu saja, sehingga hal tersebut telah melahirkan kerukunan antarumat yang berbeda agama. Semua umat beragama mendapat peluang yang sama dalam menjalani kehidupan dan juga bekerja di Kota Banda Aceh. Dalam sektor perdagangan, dapat dikatakan bahwa hampir setengahnya tokok-toko yang berada di kawasan Kota Banda Aceh pemiliknya adalah non-Muslim. Bahkan dikawasan pasar Peunayong hampir 70 persen dikuasai oleh etnis Tionghoa yang beragama Buddha dan Kristen. Di sini terlihat bahwa status sebagai umat minoritas yang melekat pada mereka tidak menjadi hambatan untuk terus berkembang dan turut andil dalam menyumbang pajak daerah, menciptakan lapangan kerja dan juga turut serta dalam memajukan Kota Banda Aceh dalam sektor perekonomian. Toko-toko yang mereka miliki itu baik karyawan maupun pelanggannya kebanyakan juga dari kalangan Muslim, 12
Web Dinas Syari’at Islam Kota Banda Aceh: syariatislam.bandaaceh. go.id/illiza-masyarakat-madani-sangat-toleran/. Diakses tanggal 20 Oktober 2016. Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 109
sehingga interaksi yang terjalin antara sesama pedagang yang berlatar belakang agama berbeda sering terjadi setiap saat. Dengan demikian terlihat bahwa interaksi yang terjalin antara umat Muslim dan non-Muslim tidak hanya sebatas pada acara-acara formal saja, namun juga dalam kegiatan sehari-hari yang lebih sederhana dan bersahabat. Interaksi antara masyarakat yang berbeda agama tersebut terjadi dalam aktivitas ekonomi. Benteng akidah Islam telah tertanam kuat dalam diri umat Muslim di Kota Banda Aceh. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 telah membawa dampak positif bagi warga Muslim dan non-Muslim, hal ini karena implementasi Qanun tersebut tidak menghambat atau mengganggu segala aktivitas ekonomi warga Kota Banda Aceh yang berbeda keyakinan. 2.
Pendidikan dan Perayaan Hari Besar Keagamaan Disalah satu wilayah Kota Banda Aceh yang penulis amati, yakni dikawasan Peunayong terdapat keanekaragaman yang menarik di mana terdapat Masjid, Gereja Protestan dan Katolik, Kuil Hindu, dan Vihara Buddha berada dalam satu kawasan. Di kawasan ini juga dapat dijumpai masyarakat majemuk yang tidak hanya dalam bidang agama, budaya tetapi juga pendidikan. Seperti halnya terdapat Sekolah Methodist yang didirikan oleh umat Protestan di bawah naungan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), di mana tenaga guru maupun siswa-siswinya tidak hanya dari GPIB Protestan saja, melainkan dari berbagai latar belakang yang berbedabeda. Diantaranya tercatat bahwa terdapat tenaga pengajar yang beragama Islam, siswa beragama Kristen, Katolik, Buddha dan Islam. Pada dasarnya dalam bidang pendidikan, umat non-Muslim juga mendapatkan hak yang sama untuk menerima pendidikan yang baik di sekolah-sekolah negeri maupun swasta. Sehingga terlihat seperti ada pertukaran tempat belajar, misalnya siswa non-Muslim ada yang sekolah di tempat umum yang notabenenya sekolah 110 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Muslim, sebaliknya siswa Muslim ada yang sekolah di tempat nonMuslim, namun jumlahnya sedikit. Untuk kasus seperti ini biasanya siswa non-Muslim tidak mengikuti pelajaran agama Islam yang diberikan di sekolahnya, namun mereka mengambil nilai pelajaran agama dari Gereja atau tempat-tempat ibadah lainnya. Begitu juga bagi siswa Muslim, mereka akan mengambil nilai mata pelajaran agama Islam di tempat ia biasa mengaji, seperti di TPA atau tempat pengajian lainnya. Menurut umat Protestan bahwa ada beberapa aspek yang mempengaruhi kerukunan antarumat beragama di Kota Banda Aceh, diantaranya ialah telah timbul kesadaran beragama dari semua warga untuk saling menghargai, menghormati, dan memberi kebebasan khususnya kepada non-Muslim untuk menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ajaran agamanya. Begitu juga mereka meyakini bahwa setiap agama yang mereka anut mempunyai aturanaturan tersendiri dalam menjalin hubungan dengan Tuhan, alam, maupun dengan sesama manusia. Nilai-nilai inilah yang sepertinya telah tertanam pada masyarakat Kota Banda Aceh. Sehingga seperti terlihat sekarang antara umat Protestan dan Muslim hidup berdampingan dalam keadaan rukun dan damai, tidak pernah terjadi keributan antara kedua agama ini. Umat Protestan dapat bergaul, bekerja dan membaur dengan masyarakat Muslim lainnya. Sementara itu, dikawasan lain tepatnya didekat lapangan Blang Padang, terdapat Yayasan Pendidikan Perguruan Katolik Budi Dharma Banda Aceh. Lembaga sekolah dalam naungan yayasan ini terdiri dari tiga jenjang, yaitu SD, SMP, dan SMA. Dalam ketiga jenjang sekolah ini juga terdapat kemajemukan, di mana tenaga guru dan siswanya juga berasal dari agama yang berbeda. Di tingkatan SD dan SMP hampir setengah dari tenaga gurunya adalah Muslim, dan di SMA lebih meningkat yakni banyak tenaga gurunya yang berasal dari kalangan Muslim. Sedangkan siswa yang sekolah di tempat ini rata-rata berasal dari agama yang berbeda pula, yakni Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 111
Katolik, Protestan, Buddha, dan Islam. Seperti halnya pada kasus sebelumnya, khusus bagi siswa-siswa non-Katolik, mereka akan mengambil nilai mata pelajaran agama di tempat ia biasa belajar agama, seperti gereja, vihara, dan TPA atau tempat pengajian lainnya. Umat Hindu terlihat damai hidup di Kota Banda Aceh, persahabatan dengan umat Muslim sudah terjalin sangat lama. Dalam kehidupan sehari-hari mereka sering berinteraksi dengan umat Muslim. Bentuk interaksi yang sering terjadi biasanya tatap muka langsung melalui aktivitas jual beli, pertemuan-pertemuan antar warga dalam kegiatan sosial, dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya yang sering dilakukan. Misalnya saja ketika umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, umat Hindu selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke tetanggatetangga disekitar rumah mereka yang Muslim. Atas kunjungan itu, umat Muslim yang dikunjungi juga menerima mereka dengan ramah dan penuh persaudaran. Hal yang sama biasanya juga dilakukan oleh umat Muslim, di mana saat umat Hindu sedang merayakan hari-hari keagamaannya, sebagian umat Muslim ada juga yang datang ke Kuil walaupun tujuan mereka hanya sekedar melihat-lihat saja. Umat Hindu biasa melakukan ibadah setiap malam Jum’at, waktunya biasa dimulai dari jam delapan malam hingga selesai. Jamaah yang hadir biasanya selalu ramai, selain jamaah tetap kadang juga jamaah yang berasal dari luar Kota Banda Aceh. Dari segi sarana pendidikan, umat Hindu belum memiliki lembaga pendidikan sendiri, hal ini dikarenakan jumlah umat Hindu sangat sedikit sehingga hal itu belum dapat diwujudkan. Maka untuk sementara siswa-siswa yang beragama Hindu harus belajar di sekolah-sekolah umum yang ada di Kota Banda Aceh. Umat Buddha juga merasa aman dan nyaman berada di wilayah Kota Banda Aceh, karena hukum syari’at Islam yang diberlakukan tidak menghalangi atau mengganggu ibadah dan 112 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
aktivitas keseharian mereka. Justru sikap toleran lebih banyak diajarkan oleh para Bikhu kepada para umatnya, seperti halnya saat bulan puasa dilarang untuk makan dan minum di tempat-tempat umum yang nantinya dapat mengganggu kekhusyukan ibadah umat Muslim. Toleransi dan kerukunan antarumat beragama terjalin sangat baik di Kota Banda Aceh. Untuk menjaga keakraban dengan umat Muslim, biasanya umat Buddha selalu melakukan silaturrahmi ke tempat-tempat orang Muslim, terutama saat Idul Fitri dan Idul Adha. Selama ini belum terlihat ada hal-hal yang mengarah kepada perpecahan dan konflik antara umat Muslim dan umat Buddha. Sehingga persaudaraan yang terjalin antara kedua agama ini sangat harmonis dan rukun. Dalam segi pendidikan, agama Buddha sama halnya dengan agama Hindu, yaitu belum mempunyai lembaga pendidikan khusus bagi mereka dengan alasan jumlah umat Buddha yang masih sedikit. Sehingga mereka juga harus sekolah di tempat lembaga lain, seperti di Sekolah Methodist, Yayasan Katolik, maupun sekolah umum lainnya yang ada di Kota Banda Aceh. 3.
Sosial Budaya dan Kemanusiaan Ada beberapa kegiatan yang biasanya sering dilakukan secara bersama-sama antara warga masyarakat Muslim dan non-Muslim yang bersifat sosial. Seperti halnya gotong royong membersihkan lingkungan gampong sekitar dalam menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia. Semangat gotong royong ini merupakan salah satu elemen yang berkembang di masyarakat yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, hal ini yang menjadi penyebab mereka dapat hidup rukun antar warga yang berbeda keyakinan. Antara warga Muslim dan non-Muslim tidak menaruh curiga dan justru sebaliknya mereka saling mendukung satu sama lain. Amatan penulis kegiatan yang bersifat sosial ini nampak berjalan baik di wilayah Kota Banda Aceh. Kegiatan lain sepertitradisi mengunjungi salah seorang warga yang tertimpa musibah meninggal dunia atau sakit juga masih Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 113
sangat kuat. Bahkan kegiatan saling kunjung mengunjungi ini dilakukan oleh warga tanpa memandang latar belakang etnis, suku, maupun agama. Peran dan partisipasi aktif lain bersifat budaya yang pernah diikuti oleh warga non-Muslim di Kota Banda Aceh yakni keikutsertaannya dalam kegiatan Festival Peunayong dalam rangka Visit Banda Aceh dan memeriahkan Hari Ulang Tahun ke-806 Kota Banda Aceh yang diadakan pada 6 hingga 7 Mei 2011. Bahkan keterlibatan non-Muslim dalam kegiatan ini tidak hanya sebagai peserta festival, namun juga sebagai panitia pelaksana. Dalam kegiatan tersebut, panitia menampilkan pameran budaya dari warga keturunan Tionghoa, membuka stand jajanan khas etnis Tionghoa serta menampilkan atraksi Barongsai. Di stand tersebut masyarakat umum dapat melihat secara langsung berbagai karya seni, kerajinan tangan, foto-foto sejarah dan berbagai foto kegiatan warga Tionghoa di Aceh dari masa ke masa. Dengan adanya stand tersebut, masyarakat umum dapat secara langsung mengetahui dan mempelajari tentang berbagai macam kebudayaan khas etnis Tionghoa. Selain itu, adanya atraksi Barongsai dalam festival tersebut telah menyita perhatian dan antusiasme masyarakat Kota Banda Aceh yang datang menyaksikan langsung. Hal ini menjadi pemandangan luar biasa karena baru pertama kali diadakan atraksi Barongsai di Kota Banda Aceh. Selain atraksi Barongsai, dalam festival tersebut juga menampilkan beberapa tarian khas Aceh, seperti Tari Seudati dan Ranup Lampuan. Uniknya peserta dari dua tarian tersebut tidak hanya berasal dari orang Aceh yang beragama Islam saja, tetapi juga melibatkan orang-orang Tionghoa yang beragama Kristen dan Buddha. Dalam konteks menjaga kerukunan antarumat beragama, kegiatan-kegiatan budaya semacam ini ternyata dapat membantu dalam mengantisipasi timbulnya ketegangan dan konflik di masyarakat yang multikultural. Festival Peunayong tersebut menjadi bukti bahwa masyarakat yang berbeda 114 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
agama di Kota Banda Aceh dapat dipersatukan dan tidak kaku dalam menyikapi adanya perbedaan.13 Dalam kegiatan sosial kemanusiaan, peran dan partisipasi warga etnis Tionghoa di Kota Banda Aceh juga aktif, hal ini terlihat dengan adanya berbagai kegiatan yang pernah dilakukan oleh kominitas Hakka, yaitu organisasi yang menaungi salah satu suku Cina yang ada di Kota Banda Aceh. Seperti halnya donor darah, kegiatan ini merupakan kegiatan rutin tahunan yang selalu dilakukan. Setiap tahun rata-rata 93 kantong darah berhasil dikumpulkan oleh komunitas ini yang kemudian disumbangkan melalui PMI; Aksi penyaluran bantuan beras bagi keluarga miskin yang ada ditiap-tiap gampong di Kota Banda Aceh yang berasal dari sumbangan warga keturunan Tionghoa; Pemberian bantuan untuk korban banjir bandang di daerah Tangse Kabupaten Pidie pada tahun 2010; dan aksi damai turun ke jalan dalam upaya untuk membela etnis Rohingya yang tertindas di Myanmar. Mereka menuntut agar pemerintah Myanmar yang mayoritas beragama Buddha agar menghentikan penindasan terhadap warga Muslim Rohingya. 4.
Rumah Ibadah Berkaitan dengan pendirian rumah ibadah di Indonesia yang masih sering menjadi persoalan dan tak kunjung selesai hingga saat ini, di Aceh khususnya telah berlaku aturan khusus untuk mengatur hal tersebut. 14 Mendirikan rumah ibadat di Aceh tentunya tidak 13
Muhammad Sahlan, “Pola Interaksi Interkomunal Umat Beragama Di Kota Banda Aceh” (Banda Aceh: Jurnal Substantia, Vol. 16, Nomor 1, 2014), h. 124-125. 14
Dalam konteks budaya, rumah ibadat bagi masyarakat Indonesia bukan hanya dimaknai sekedar simbol keagamaan saja, tetapi juga sebagai aktualisasi keyakinan bagi tiap-tiap pemeluk umat beragama. Adanya rumah ibadat juga sebagai sarana regenerasi bagi kelangsungan kehidupan kelompok keagamaan melalui pelestarian sistem keyakinan keagamaan yang dianut kelompok agama. Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 115
semudah mendirikan rumah ibadat di daerah-daerah lain di Indonesia, hal ini dikarenakan Pemerintah Aceh telah membuat regulasi khusus yang diatur dalam Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Hal ini yang membedakan dari daerah-daerah lain di Indonesia yang secara umum masih berpedoman pada PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Secara garis besar pendirian rumah ibadat di Provinsi Aceh harus didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah gampong yang dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum serta mematuhi peraturan perundangundangan.15 Pada dasarnya aturan dalam Pergub ini tidak jauh berbeda dari aturan sebelumnya yang termaktub dalam PBM, yakni untuk mendirikan rumah ibadah setidaknya harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya syarat administratif, persyaratan teknis bangunan gedung serta syarat khusus lainnya. Namun dalam beberapa poin antara Pergub dan PBM terdapat perbedaan. Menurut PBM, selain harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung, pendirian rumah ibadat juga harus memenuhi persyaratan khusus. Syarat khusus itu adalah daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat. Selain itu, ada dukungan dari masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Syarat lainnya, punya rekomendasi tertulis kepala kantor Departemen Agama kabupaten/kota dan rekomendasi tertulis dari FKUB kabupaten/kota. Sementara perbedaan yang sangat Lihat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia (Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 33, 2010), h. 5. 15
Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, BAB II Syarat Pendirian Rumah
Ibadat, Pasal 2.
116 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
fundamental yakni tentang syarat utama pengajuan pembangunan rumah ibadat. Dalam PBM disebutkan bahwa syarat utama yang diajukan untuk membangun rumah ibadat adalah daftar nama dan KTP calon pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang dan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang. 16 Sedangkan dalam Pergub Aceh mengharuskan daftar nama KTP calon pengguna rumah ibadat paling sedikit 150 orang dan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 120 orang.17 Dalam membuat perizinan rumah ibadat di Aceh memang tidaklah mudah. Karena dalam praktiknya, aturan ini terkait dengan banyak pihak, kerukunan hidup bersama, dan sejumlah nilai lokal yang dipegang teguh oleh masyarakat. Apalagi di Aceh yang mayoritas Muslim, perizinan pendirian rumah ibadah non-Muslim menjadi perkara yang sensitif. Selain itu, sejak banyaknya LSM yang masuk ke Aceh setelah tsunami, isu-isu pemurtadan dan penyebaran agama menjadi salah satu isu penting dalam perbincangan dialog antarumat beragama. Karena bagi masyarakat Aceh kedua isu tersebut menjadi masalah yang sangat serius. Memang sudah sepatutnya Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah ketika membuat sebuah kebijakan yang menyangkut tentang urusan umat seperti pembangunan rumah ibadat jangan sampai merugikan satu pihak dan malah menguntungkan pihak lain. Prinsip dasar yang harus kita junjung dalam hal pendirian rumah ibadat selain harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang ada, tetapi pada saat yang sama juga harus tetap menjaga kerukunan antarumat beragama dan menjaga ketentraman serta ketertiban masyarakat.
16
PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, BAB IV Pendirian Rumah Ibadat,
Pasal 14. 17
Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, BAB II Syarat Pendirian Rumah
Ibadat, Pasal 3.
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 117
Secara khusus Pemko Banda Aceh melalui Perwal Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan Umat Beragama, mendefiniskan rumah ibadah sebagai bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadah keluarga. 18 Dari amatan dan penilaian penulis di Kota Banda Aceh bahwa pendirian rumah ibadah khususnya bagi non-Muslim masih stagnan, karena belum terlihat adanya perkembangan/penambahan rumah ibadah baru sejak Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pendirian Rumah Ibadah mulai diberlakukan. Namun meski demikian, fakta yang telah terlihat dilapangan menunjukkan bahwa sudah banyak tempat ibadah umat Muslim dan non-Muslim yang telah berdiri megah dan selalu aktif dalam menjalankan aktifitas ibadahnya sehari-hari di kota ini. Masjid-masjid besar sebagai tempat ibadah umat Islam sangat banyak dijumpai di Kota Banda Aceh dengan berbagai keunikan yang terkandung di dalamnya; mulai ornamen, arsitektur, hingga nilai sejarahnya. Salah satunya yakni Masjid Raya Baiturrahman. Masjid ini terletak di pusat kotayang menjadi kebanggan dan icon masyarakat Aceh serta tercatat sebagai salah satu keajaiban dunia. Selain itu, keberadaan Masjid ini juga menjadi tempat tujuan wisata islami bagi para wisatawan yang datang ke Aceh. Umat Katolik juga mempunyai tempat ibadah yang megah, yakni Gereja Hati Kudus. Bahkan keberadaan gereja ini tidak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman yang hanya dipisahkan oleh sungai Krueng Aceh dan jembatan saja. Gereja yang menjadi kebanggaan bagi umat Katolik ini merupakan gereja tertua di Kota Banda Aceh yang didirikan oleh kolonial Belanda pada tahun 1926 dan telah resmi dipakai sebagai tempat kebaktian sejak 26 September 1962. 18
Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB I Ketentuan Umum,
Pasal 1.
118 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Gereja ini juga merupakan gereja terbesar dan menjadi pusat beribadah bagi umat Katolik di Aceh. Sehingga gereja tersebut mempunyai jumlah jemaat terbesar di wilayah ini khususnya di Kota Banda Aceh. Kemudian sekitar satu kilometer dari Gereja Hati Kudus, juga terdapat gereja megah, yakni Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), dan di sisi kiri GPIB, juga terdapat Gereja Katolik Methodist. Selanjutnya sekitar satu kilometer dari Gereja Katolik Methodist, juga terdapat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Umat Katolik maupun Kristen merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan ibadahnya di tempat gerejanya masing-masing, baik ibadah mingguan maupun perayaan hari besar keagamaan, seperti natal. Selain gereja-gereja tersebut, di Kota Banda Aceh juga terdapat Kuil Palani Andawer yang terletak di Kecamatan Kuta Radja. Kuil ini bernama lengkap Maha Kumbha Abhisegam Palani Andawer yang tercatat telah berdiri sejak tahun 1934 M. Kuil ini merupakan satu-satunya tempat ibadah bagi umat Hindu di Aceh, dan juga sebagai pusat kegiatan keagamaan bagi umat Hindu di Kota Banda Aceh. Umat Buddha juga mempunyai rumah ibadah megah, yakni Vihara Dharma Bhakti. Vihara yang terletak di daerah Peunayong ini merupakan tempat ibadah tertua dan terbesar bagi umat Buddha di Kota Banda Aceh. Vihara ini telah berdiri sejak 1936 M dengan nama Ta Pek Kong, salah satu dewa yang namanya juga tertulis di wadah atau tempat menaruh dupa. Vihara ini merupakan tempat ibadah bagi umat Buddha yang berada di bawah naungan Budhayana. Di Vihara tersebut setiap umat Buddha diberi kebebasan untuk mengerjakan ajaran agamanya, umat Muslim sangat mendukung dan tidak pernah mengusiknya. Namun meski demikian, dari hasil penelusuran penulis menemukan bahwa kasus-kasus kecil seperti penutupan tempat ibadah yang tidak resmi juga pernah terjadi di Kota Banda Aceh pada tahun 2012. Dalam kasus ini, sembilan gereja dan lima vihara Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 119
dipaksa tutup karena dianggap ilegal dan menyalahi fungsi bangunan ruko (rumah toko) sebagai tempat ibadah yang tidak resmi. Pemko Banda Aceh membuat kesepakatan kepada pihak gereja dan vihara untuk menutup kegiatan peribadatan mereka karena tidak memiliki izin sebagai tempat ibadah. Selain itu, dalam kesepakatan itu Pemko Banda Aceh menyarankan agar para jemaat dari sembilan gereja dan lima vihara itu untuk meminjam gedung kepada tempat ibadah yang telah berizin di Kota Banda Aceh.19 Sementara itu, terkait dengan memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah, hal ini sudah berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. FKUB Kota Banda Aceh sering memberikan rekomendasi atas permohonan pendirian rumah ibadah khususnya Masjid. Sedangkan bagi umat agama lain belum pernah ada yang mengajukan surat permohonan tersebut. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi, karena dengan masyoritas Muslim terbanyak di wilayah kota ini, syarat untuk memenuhi pendirian rumah ibadah bagi umat Muslim akan lebih mudah dibandingkan dengan umat agama lain. Dari kasus tersebut penulis juga menilai bahwa hal ini merupakan dampak dari ketatnya syarat yang harus dipenuhi dalam pengajuan pendirian rumah ibadah di Aceh. Karena untuk mendapat 120 persetujuan/dukungan dari warga sekitar bukanlah perkara yang mudah, di tambah lagi beberapa umat minoritas terkadang jumlahnya tidak lebih dari 150 orang sebagai syarat pengajuan calon pengguna rumah ibadah. Maka sejak dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 belum terlihat ada rumah ibadah baru bagi umat non-Muslim di Kota Banda Aceh. 5.
Kegiatan Dialog Antarumat Beragama Kegiatan dialog antarumat beragama juga sering dilakukan oleh Pemerintah Aceh, Kementerian Agama Wilayah Aceh, maupun 19
Kompas:regional.kompas.com2012/10/22.Gereja.di.Banda.Aceh. Kesuli tan. Beribadah. Diakses tanggal 9 Agustus 2016.
120 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
FKUB dengan melibatkan para tokoh dari berbagai lintas agama dan elemen masyarakat di wilayah Kota Banda Aceh. Beberapa dialog yang pernah dilakukan di antaranya ialah sebagai berikut.Acara dialog multikultural dan silaturrahmi antarumat beragama di Banda Aceh tahun 2011 yang dihadiri oleh tokoh-tokoh lintas agama dari sejumlah perwakilan organisasi keagamaan di Jakarta dan Banda Aceh serta perwakilan umat beragama di Banda Aceh, seperti dari MUI, PGI, Walubi, NU, Muhammadiyah, dan FPI. Dalam kesempatan pertemuan tersebut, masing-masing perwakilan menyampaikan kebanggaannya atas terjaganya toleransi antarumat beragama di Aceh walaupun ada penerapan syari’at Islam. Umat minoritas merasa aman dan cukup mendapat kebebasan dalam menjalankan ritual keagamaannya di tengah dominasi mayoritas.20 Kemudian dialog antarumat beragama dan dialog antara umat beragama dengan pemerintah pada tahun 2013 yang mengusung tema Memelihara Kerukunan Umat Beragama Tugas Kita Bersama. Dalam dialog yang dihadiri oleh berbagai unsur pemerintahan dan utusan tokoh dari lintas agama ini menghasilkan beberapa rekomendasi penting, yakni: Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota diminta untuk lebih berkomitmen dalam menjaga dan memelihara kerukunan antarumat beragama, intern umat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah; Dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama di Aceh, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota diminta untuk membentuk FKUB; Dalam setiap penyelenggaraan pemilu diharapkan agar tidak mempolitisasi agama dan umat beragama dalam politik praktis yang dapat merusak kerukunan umat beragama di Provinsi Aceh; dan mendesak Pemerintah Aceh dan DPRA segera
20
Kompas: https://www.google.co.id/amp/nasional.kompas.com/amp/read/ kerukunan-umat-beragama-di-Aceh-terjaga. Diakses 20 November 2016. Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 121
mengesahkan Qanun tentang Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.21 Selanjutnya dialog yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Kementrian Agama (Kanwil Kemenag) Provinsi Aceh di Kota Banda Aceh tahun 2013. Dalam acara dialog tersebut, Pgs Kanwil Kemenag Aceh H. Habib Badaruddin mengatakan bahwa Kemenag Aceh terus berupaya meningkatkan dialog antarumat beragama dalam upaya menjaga kerukunan umat beragama di wilayah Aceh. Salah satunya dialog antarumat beragama melalui FKUB yang merupakan salah satu langkah dalam mengatasi konflik antarumat beragama. Kerukunan umat beragama di Aceh telah berjalan dengan baik dan tidak ada konflik antarumat beragama. Untuk itu kegiatan dialog-dialog antarumat beragama agar dapat terus dilakukan guna menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat bahwa perbedaan suku, bangsa, dan perbedaan keyakinan adalah sebuah realitas dalam kehidupan. Kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat akan terus berkembang jika terciptanya kondisi yang kondusif, damai, dan kerukunan umat beragama yang ada di masyarakat berjalan dengan baik. Kanwil Kemenag Aceh juga terus mengajak para tokoh agama, pemuka agama, pemerintah dan semua komponen masyarakat untuk bekerja sama dan terus berkoordinasi dalam pemberdayaan kerukunan umat beragama yang telah terbina baik selama ini di Provinsi Aceh. Kegiatan dialog ini diikuti oleh 40 peserta yang terdiri dari tokoh lintas agama dan FKUB dari kabupaten/kota di wilayah Aceh.22 Kemudian kegiatan dialog dan workshop evaluasi dan koordinasi tugas dan fungsi kerukunan umat beragama dan 21
Kemenag Aceh: https://aceh.kemenag.go.id/berita/134101/dialog-antarumat-beragama-dan-dialog-antara-umat-beragama-dengan-pemerintah-hasilkanrekomendasi. Diakses 20 November 2016. 22
Berita Sore: beritasore.com/2013/06/07/kemenag-aceh-tingkatkan-dialogantar-umat-beragama. Diakses 20 November 2016.
122 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
pembinaan Khonghucu pusat tahun 2015. Dalam acara tersebut, Kanwil Kemenag Aceh, H.M Daud Pakeh mengatakan bahwa secara umum kondisi kerukunan umat beragama di Aceh berjalan dengan baik dan harmonis dan selama ini tidak pernah ada konflik antara etnik ataupun konflik agama. Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianut. 23 Berikutnya kegiatan dialog dan rapat koordinasi FKUB Provinsi Aceh di Banda Aceh tahun 2016. Dalam kesempatan tersebut Gubernur Aceh meminta agar seluruh Pemerintah Aceh, organisasi masyarakat, pemuka agama, dan pengurus FKUB untuk terus bersatu padu guna mengantisipasi potensi konflik dilingkungan umat beragama. Untuk itu peran aktif dari para tokoh agama, pemuka agama, dan seluruh jajaran pemerintah daerah untuk bersama-sama menjaga situasi kerukunan yang kondusif di Aceh. Peran FKUB juga sangat vital dan selalu dibutuhkan untuk merawat kerukunan antarumat beragama sehingga potensi konflik dapat direda sedini mungkin.Selain itu masyarakat juga diharapkan agar selalu menumbuhkan kesadaran untuk saling menghargai perbedaan dan toleransi antarumat beragama.24 Sejak syari’at Islam secara resmi mulai diimplementasikan, pihak pemerintah lebih intens dalam melakukan kegiatan dialog antarumat beragama tersebut. Karena selain sebagai sarana sosialisasi dalamupaya memberikan pemahaman terhadap berbagai macam kebijakan, baik Perwal maupun Qanun Aceh lainnya, kegiatan dilaog juga bertujuan untuk menampung aspirasi dan masukan dari berbagai pihak, sehingga dalam pelaksanaan syari’at 23 Antara News: aceh.antaranews.com/berita/26338/kemenag-tak-adakonflik-agama-di-aceh. Diakses 20 November 2016. 24
NRM News: https://nrmnes.com/2016/06/17/kerukunan-antar-umatberagama-butuh-peran-aktif-tokoh-agama. Diakses 20 November 2016 Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 123
Islam nantinya tidak mengganggu dan menciderai kerukunan umat beragama yang telah terbina baik di Kota Banda Aceh. Selain itu, kegiatan sosialisasi dan dialog juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas hubungan dan silaturrahmi antara pemerintah dengan para pemeluk umat beragama di Kota Banda Aceh. Dalam upaya mensosialisasikan setiap kebijakan baru, Pemko Banda Aceh berusaha agar sedekat mungkin dengan masyarakat. Untuk itu dalam beberapa kesempatan, Pemko Banda Aceh juga sering mengadakan dialog yang melibatkan para tokoh lintas agama dan elemen masyarakat lainnya yang bertempat di cafe ataupun warung kopi. Diharapkan dengan pertemuan santai di warung kopi tersebut, suasana kekeluargaan yang jauh dari kata formal itu akan lebih mudah bagi masyarakat untuk menerima dan menyerap setiap penjelasan dari maksud dan tujuan setiap kebijakan yang dibuat pemerintah. Selain itu, dalam menjaga kerukunan dan toleransi antarumat beragama, peran FKUB sangat vital, hal ini karena dalam organisasi FKUB telah mewakili dari masing-masing tiap umat beragama. Tentu saja suasana kerukunan yang telah berjalan kondusif selama ini di Kota Banda Aceh tidak lepas dari peran aktif FKUB dalam mensosialisasikan kerukunan di wilayah tersebut. Karena itu dalam beberapa kesempatan, FKUB juga sering mengadakan dialog dengan pemuka agama (Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Buddha) serta tokoh masyarakat lainnya dengan berbagai tema yang sedang hangat dan berkembang pada saat itu. Tema itu tentunya tidak lepas dari koridor kerukunan yang menjadi fokus utama FKUB. Beberapa kegiatan dialog yang pernah dilakukan oleh FKUB di antaranya: Pertama, Dialog Tokoh Lintas Iman pada tahun 2016 yang dihadiri oleh berbagai tokoh dari lintas agama. Suasana dialog berjalan komunikatif. Pertanyaan-pertanyaan sensitif tapi positif juga sering diutarakan oleh peserta dialog, seperti pihak umat Kristen memohon
124 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
pengajuan pendirian rumah ibadah. 25 Selain itu, FKUB juga berupaya untuk menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat yang dianggap penting yang kemudian diteruskan ke Walikota. Selain aktif melakukan pertemuan dalam bentuk dialog, FKUB juga berperan aktif dengan terjun langsung ke masyarakat. Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh FKUB yaitu ikut langsung dalam aksi damai yang dilakukan oleh Pemko Banda Aceh untuk mendukung kemerdekaan Palestina di bulan ramadhan tahun 2014. Sebutan untuk Banda Aceh sebagai Model Kota madani pada dasarnya tidaklah berlebihan, hal ini terlihat dengan adanya keanekaragaman yang hidup di kota ini namun warga masyarakatnya tetap menjaga ketentraman, kerukunan, saling tenggang rasa dengan nilai-nilai perbedaan yang terkandung di dalamnya. Umat Islam sebagai penganut agama nomor satu terbesar tidak pernah berupaya untuk mendiskreditkan atau bahkan mengusik keberadaan kaum minoritas di wilayah ini. Mereka diberi hak untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, dan diberi tanggung jawab serta berkewajiban untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat secara bersama-sama. Namun tentunya untuk mewujudkan cita-cita Kota Madani tentunya tidaklah mudah. Karena Kota Madani merupakan sebuah cerminan kehidupan kota yang telah dibangun oleh Rasulullah ketika membangun Kota Madinah. Ciri khusus kota madani ialah adanya sinergi dan kerjasama antara pemimpin dengan rakyatnya. Kota Madani ditandai dengan kota yang rakyatnya hidup damai, sejahtera, dan penuh toleransi dengan selalu mengedepankan hukum-hukum syari’at Islam. Banda Aceh sebagai kota madani tentunya mengharuskan para warga masyarakatnya paham dengan aturanaturan yang ditetapkan dalam hukum Islam dan menumbuhkan sikap 25
Kemenag Aceh: https://aceh.kemenag.go.id/berita/411026/dialog-tokohlintas-agama. Diakses 20 November 2016. Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 125
toleransi dan kerukunan terhadap umat agama lain yang berada di wilayah kota ini. Dari uraian di atas, hemat penulis bahwa pada dasarnya konsep kebebasan beragama sebagai landasan teologis bagi kerukunan hidup antarumat beragama merupakan pengelaborasian konsep kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat yang kemudian diimplementasikanmelalui interaksi sosial antara umat yang berbeda agama dalam kehidupan sehari-hari. Konsep tersebut yang telah dilakukan oleh warga Muslim dan non-Muslim di Kota Banda Aceh dalam interaksi sehari-hari yang sudah berlangsung lama. Hal itu yang kemudian melahirkan kerukunan dan keharmonisan antarsesama warga, sehingga telah membawa pengaruh yang sangat besar bagi proses kehidupan yang membentuk keakraban dan kebersamaan antarsesama masyarakat. Sebab lain yang menyebabkan terjadinya kerukunan antarumat beragama di Kota Banda Aceh ialah karena masyarakat telah sadar dan dewasa dalam berfikir, dengan adanya perbedaan diantara mereka. Hal tersebut yang kemudian menimbulkan sikap saling menghormati, menghargai, dan menganggap masyarakat yang berbeda keyakinan sebagai saudara. Secara faktual, pelaksanaan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 berdampak positif terhadap kondisi kerukunan antarumat beragama di Kota Banda Aceh, karena pelaksanaan Qanun tersebut tidak mengganggu kehidupan warga non-Muslim, baik kehidupan sosial maupun keagamaannya. Sebagai penduduk dengan jumlah penganut Islam mayoritas, umat Islam di Kota Banda Aceh diharuskan agar senantiasa meneladani akhlak Nabi Muhammad dalam hidup bermasyarakat yang majemuk tersebut. 26 Untuk itu, agar teladan yang telah
26
Nabi Muhammad diutus ke dunia ini sebagai suri tauladan bagi umat manusia. Lihat Al Quran Surah Al Ahzab ayat 21: “Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang
126 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
ditunjukkan oleh Nabi Muhammad dapat berdampak pada kehidupan antarumat beragama (khususnya di Kota Banda Aceh); mengutip pendapat dari Media Zainul Bahri, maka ada dua hal yang bisa menjadi pelajaran dan dapat diterapkan, yaitu: Pertama, kaum Muslim harus mampu mensosialisasikan semangat serta keteladanan Nabi Muhammad. Kerukunan dan toleransi yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad harus selalu menjadi acuan dan pedoman dalam berinteraksi. Kedua, umat Islam harus mampu memahami kepekaan masing-masing terkait kecintaan serta ikatan batin dengan panutannya. Umat Islam, demikian umat agama lain, seyogyanya tidak terpengaruh oleh sejarah konflik yang pernah terjadi.27 C.
Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah Dalam upaya mewujudkan ketentraman dan kenyamanan hidup di tengah masyarakat yang majemuk dengan tujuan menjaga kerukunan hidup antarumat beragama, khususnya dalam bidang kebijakan keagamaan; Pemko Banda Aceh telah merumuskan beberapa peraturan yang masih terkait dengan PBM Nomor 9 dan 8, yakni berupa Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan Umat Beragama. Dalam Perwal ini disebutkan bahwa beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut agamanya. Untuk itu pemerintah berkewajiban melindungi setiap penduduk dalam beribadat dan melaksanakan ajaran agamanya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalah gunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. Dengan mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. 27
Media Zainul Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 223. Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 127
demikian pemerintah Kota Banda Aceh mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar, dan tertib.28 Selanjutnya dalam Perwal ini juga menjelaskan bahwa kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemeliharaan kerukunan umat beragama merupakan upaya bersama umat beragama dan pemerintah dibidang pelayanan, pengaturandan pemberdayaan umat beragama. Kemudian usaha pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama, baik umat beragama dan pemerintah Kota Banda Aceh. 29 Dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, Pemko Banda Aceh mengemban tugas untuk memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di kota, mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di kota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama,menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya diantara umat beragama, membina dan mengkoordinasikan camat/lurah atau geuchik dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama, dan menertibkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah.30 28
Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007.Menimbang, huruf a-d.
29
Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB I Ketentuan Umum,
30
Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB II Tugas dan Tanggung
Pasal 1.
Jawab, Pasal 2-4.
128 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Lahirnya Perwal tersebut pada dasarnya merupakan bentuk keseriusan dari Pemko Banda Aceh dalam rangka menjaga hubungan baik dengan umat beragama, serta sebagai upaya pemeliharaan kerukunan antara Pemerintah dengan umat beragama di wilayah Kota Banda Aceh. Hal ini tentunya demi kemajuan kota dalam berbagai bidang pranata sosial, maka kondisi dan situasi yang aman, tentram, dan suasana kerukunan yang baik menjadi faktor utama yang harus di kedepankan oleh seluruh elemen masyarakat. Dalam kata lain, pemerintah dan masyarakat mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memajukan Kota Banda Aceh. Maka dengan lahirnya Perwal Nomor 24 Tahun 2007 itu menegaskan adanya kepedulian Pemko Banda Aceh terhadap kondisi kerukunan di masyarakat yang mencakup pada trilogi kerukunan: 1. Kerukunan internal umat Islam, yakni agar umat Islam saling mengingatkan untuk bersama-sama menjalankan syari’at Islam secara kāffah. Hal ini juga sebagai upaya mewujudkan cita-cita dari visi Kota Banda Aceh sebagai model Kota Madani. 2.
Kerukunan antarumat beragama, yakni agar semua pemeluk umat beragama di Kota Banda Aceh dapat hidup damai, aman, dan nyaman tanpa ada gangguan apapun dalam menjalankan aktifitas keagamaannya;
3.
Kerukunan umat beragama dengan pemerintah, yakni agar umat beragama dan pemerintah saling bersinergi dalam upaya menjaga kesatuan dan persatuan, sehingga dapat memunculkan keseimbangan (equilibrium) dalam kehidupan masyarakat di wilayah Kota Banda Aceh.
Amatan penulis melihat bahwa kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah telah berjalan dengan baik, keduanya terlihat sama-sama saling mendukung. Sebagai kota yang majemuk dan memproklamirkan diri sebagai model Kota Madani, Pemko Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 129
Banda Aceh mempunyai cita-cita agar warganya mempunyai akhlak mulia, dengan selalu menjunjung tinggi toleransi dan memelihara kerukunan yang telah tercipta. Karena itu, Pemko Banda Aceh berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pengalaman agama menuju pelaksanaan syari’at Islam secara kāffah sesuai dengan aturan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 di wilayah ini. Bentuk nyata dari komitmen tersebut yaitu dengan melakukan berbagai terobosan dan mengeluarkan berbagai program baik jangka panjang maupun jangka pendek. Selain itu, Pemko Banda Aceh selalu mengajak warganya untuk berkomitmen agar selalu menjaga nilai-nilai keislaman, mempunyai akhlak mulia, dan juga senantiasa menumbuhkan sikap toleran, karena itu merupakan cita-cita bersama dalam mewujudkan Kota Madani tersebut. Meski cita-cita Kota Madani merujuk pada kehidupan Kota Madinah di zaman Rasulullah, namun Pemko Banda Aceh berusaha untuk menterjemahkan kemadanian itu di era sekarang. Wujud nyatanya yaitu dengan melakukan sejumlah perubahan, seperti memodernisasikan tata kelola pemerintahan, mereformasi birokrasi melalui e-Government untuk menuju smart city, green city, liveable city yang kesemuanya menuju pada upaya pembentukan Kota Madani di era modern saat ini.31 Di samping kebijakan yang telah dikeluarkan, Pemko Banda Aceh bersama-sama masyarakat juga berusaha untuk meningkatkan kualitas pengamalan keagamaan dengan cara melakukan berbagai macam kegiatan keagamaan secara massal dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Seperti halnya zikir akbar, safari subuh di Masjid-Masjid, pengajian agama, dan kegiatan keagamaan lainnya sesuai yang tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002. Sementara itu, berhubungan dengan FKUB yang diatur dalam Perwal ini, menjelaskan bahwa FKUB merupakan forum yang 31
Detik: https://m.detik.com/news/berita/3158090/mengenal-lebih-dekatkota-banda-aceh-dan-visinya-soal-kota-madani#.Diakses tanggal 01 Januari 2017.
130 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memiliki dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. FKUB mempunyai hubungan yang bersifat konsultatif dengan pemerintah. FKUB Kota Banda Aceh memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung dan menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan Walikota, melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat, dan memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah.32 Jumlah keanggotaan FKUB paling banyak tujuh belas orang yang terdiri dari pemuka agama setempat. Hal ini berdasarkan pada perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan minimal satu orang dari setiap agama yang ada di Kota Banda Aceh. Dalam struktur organisasinya, FKUB dipimpin oleh satu orang ketua, dua orang wakil ketua, dan satu orang sekretaris yang dipilih secara musyawarah oleh setiap anggota. Selain itu, dalam pemberdayaan FKUB, maka dibentuk dewan penasehat FKUB tingkat kota. Dewan penasehat ini nantinya mempunyai tugas untuk membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama, dan memfasilitasi hubungan kerja antara FKUB dengan pemerintah daerah dan hubungan antarsesama instansi pemerintah di daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Keanggotaan dewan penasehat FKUB Kota ditetapkan oleh Walikota, yang terdiri dari Ketua (Wakil Walikota Banda Aceh), Wakil Ketua (Kepala Depag
32
Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB III Forum Kerukunan
Umat Beragama, Pasal 6.
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 131
Kota Banda Aceh), Sekretaris (Kepala Linmas dan Kesbang Kota), dan Anggota yang berasal dari tiap-tiap instansi terkait.33
33
Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB III Forum Kerukunan
Umat Beragama, Pasal 5-8.
132 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
BAB VI Penutup
A.
Kesimpulan Setelah melalui tahap-tahap kajian pustaka, pengamatan lapangan dan analisis mendalam terhadap rumusan masalah yang dimunculkan dalam penelitian ini, selanjutnya penulis menyimpulkan bahwa implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Akidah, Ibadah dan Syi’ar Islam di Kota Banda Aceh masih belum berjalan maksimal. Padahal secara hukum, pelaksanaan syari’at Islam telah kuat, baik filosofis maupun konstitusionalnya. Namun disisi lain, implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 secara langsung telah berdampak signifikan dalam membentuk kebiasan masyarakat (habit) menuju pada perbuatan baik berupa peningkatan aktivitas keberagamaan yang lebih intens yang kemudian membawa dampak terhadap situasi dan kondisi kerukunan hidup umat beragama di Kota Banda Aceh. Hal ini dapat ditandai dengan adanya situasi dan kondisi hubungan antarsesama warga Kota Banda Aceh dalam perilaku sosial terlihat selalu harmonis meski berlatar belakang suku, ras, maupun agama yang berbeda-beda. Lebih jauh, dari hasil penelitian tesis ini penulis ingin mengungkapkan bahwa pada dasarnya pelaksanaan syari’at Islam di Aceh tidak berupaya untuk mendiskriminatifkan dan menindas agama minoritas, karena itu pelaksanaan syari’at Islam tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan dan kerukunan umat beragama. Dari segi implementasinya tidak mengganggu komunitas agama lain di Aceh, karena hukum syari’at hanya diberlakukan bagi umat Muslim. Karenanya prinsip utama yang selalu dipegang dalam pelaksanaan syari’at Islam di Aceh ialah bahwa hukum syari’at 133
Islam tidak menginginkan adanya aktivitas yang merusak, mengusik dan mengabaikan hak-hak asasi yang menjadi milik semua orang. B.
Saran Setelah melalui kajian dan analisa mendalam terhadap penelitian ini, berikut penulis memberikan beberapa saran dan rekomendasi yang dapat dipertimbangkan sebagai berikut: 1. Pemerintah Aceh, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dan lembaga lainnya yang terkait, harus intens dan berkesinambungan dalam mensosialisasikan setiap kebijakan daerah; baik itu Qanun, Pergub, Perwal maupun peraturan lainnya tentang syari’at Islam agar masyarakat semakin memahami esensi dari pelaksanaan syari’at Islam, sehingga cita-cita pelaksanaan syari’at Islam secara kāffah dapat terwujud. 2.
Pelaksanaan syari’at Islam secara kāffah di Kota Banda Aceh tidak mengganggu atau bahkan mengusik keberadaan umat non-Muslim. Toleransi dan kerukunan umat beragama tetap terjaga, sehingga dapat dikembangkan dan menjadi sebuah model kerukunan yang dapat diikuti oleh daerah lain di Indonesia yang bercita-cita melaksanakan syari’at Islam.
3.
Dalam upayanya untuk melaksanakan syari’at Islam secara kāffah, diharapkan pemerintah agar memberikan jaminan kebebasan kepada non-Muslim untuk menjalankan keyakinan dan beribadah sesuai ajaran agamanya masing-masing tanpa merasa takut atau terancam. Untuk itu kepada pemerintah agar segera mewujudkan Qanun yang mengatur tentang kerukunan umat beragama dalam rangka memberi kepastian hukum dan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan kearifan lokal dan peraturan perundangundangan negara Republik Indonesia.
134 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
4.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna karena masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu kepada para peneliti agar dapat mengadakan studi-studi lanjutan terhadap berbagai kebijakan publik di dalam implementasi nilai-nilai keberagamaan dalam pembangunan di daerah.
Penutup
135
136 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Daftar Pustaka
A. Buku Abdillah, Masykuri dkk. Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia; Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas. Jakarta: Renaisan, 2005. Abdullah, Irwan, dkk (Ed). Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Abubakar, Al-Yasa’. Tanya Jawab Pelaksanaan Syariat Islam Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Propinsi NAD, 2003.
_______. Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, 2005. ______. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam: Pendukung Qanun Syariat Islam . Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, 2009. Aceh, Abu Bakar. Toleransi Nabi Muhammad dan SahabatSahabatnya. Jakarta: Yayasan Pengetahuan Islam, 1966. Adan, Hasanuddin Yusuf. Refleksi Implementasi Syariat Islam Di Aceh. Banda Aceh: Adnin Foundation Publisher dan PeNA Banda Aceh, 2009. Al-Jufri, Salim Segaf dkk, Penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Globalmedia Cipta Publishing, 2004. Alimron. Toleransi Antarumat Beragama dalam Perspektif Al Quran. Padang: IAIN Imam Bonjol, 1999. Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Panggabean. Politik Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004. Amin, Ma’ruf. Empat Bingkai Kerukunan Nasional. Jakarta: Yayasan An-Nawawi, 2013. 137
Arif, Mahmud. Epistemologi Pendidikan Islam: Kajian Atas Nalar Masa Keemasan Islam dan Implikasinya di Indonesia. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Press, 2006. Aziz, Abdul. Esai-Esai Sosiologi Agama. Jakarta: Diva Pustaka, 2006. Bahri, Media Zainul. Tasawuf Mendamaikan Dunia. Jakarta: Erlangga, 2010. Bisri, Cik Hasan (Editor). Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Logos, 1998. Burhanuddin (Editor). Syariat Islam; Pandangan Muslim Liberal. Jakarta: JIL-TAF, 2003. Departemen Agama Republik Indonesia, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012. Edisi Keempat. Dinas Syari’at Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Himpunan Undang-undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur dan Surat Edaran Gubernur Berkaitan dengan Pelaksanaan Syari’at Islam. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Propinsi NAD, 2005. El-Fikri, Syahruddin. Sejarah Ibadah. Jakarta: Republika, 2014. Eposito, John L. Islam Warna-Warni: Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus, (Penerjemah Arif Maftuhin) (Jakarta: Paramadina, 2004. Harahap, Syahrin. Teologi Kerukunan. Jakarta: Prenada, 2011. Hardi. Daerah Istimewa Aceh; Latar Belakang Politik dan Masa Depannya. Jakarta: Cita Paca Serangkai, 1993. Hasan, Muhammad Tholhah. Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman. Jakarta: Lantabora Press, 2005. 138 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Hayat, Bahrul. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama. Jakarta: PT. Saadah Cipta Mandiri, 2012. Hurgronje, C. Snouck. Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya. (Penerjemah Sutan Maimoen). Jakarta: INIS, 1996. Husaini, Adian. Kerukunan Beragama dan Kontroversi Penggunaan Kata Allah dalam Agama Kristen. Jakarta: Gema Insani, 2015. Ismail, Faisal. Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama; Konflik, Rekonsiliasi, dan Harmoni. Bandung: Rosda, 2014. Johnsons, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (Penerjemah Robert M.Z Lawang). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990. Jilid 1. Khamami. Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan. Pamulang: LSIP, 2014. Kurdi, Muliadi. Aceh Di Mata Sejarawan; Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya. Banda Aceh: LKAS dan Pemerintah Aceh, 2009. Lubis, M. Ridwan. Cetak Biru Peran Agama. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2005. Nashir, Haedar. Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Depok: UI Press, 1985. Nata, Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan; Tafsir Al-Ayat AlTarbawiy. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), Cet V. Majid, Abdul. Syari’at Islam dalam Realitas Sosial: Jawaban Islam Terhadap Masyarakat di Wilayah Syari’at. Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2007. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007. Cet. 23. Muhammad, Rusjdi Ali. Revitalisasi Syariat Islam Di Aceh;
Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan
Daftar Pustaka
139
Hukum Islam di NAD. Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2000. Munawar, Said Agil. Fikih Hubungan Antarumat Beragama. Jakarta: Ciputat Press, 2003. Noer, Kautsar Azhari dan Media Zainul Bahri, Laporan Penelitian
Kolektif Buku Ajar Pengantar Studi Perbandingan Agama. Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
2008. Pemerintah Aceh. Naskah Akademik Rancangan Qanun Pembinaan dan Perlindungan Akidah. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2012. Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008. Qardhawi, Yusuf Al. Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam. (Penerjemah Muhammad Baqir). Bandung: PT Mizan Pustaka, 1985. _______. Membumikan Syariat Islam, (Penerjemah Muhammad Zakki dan Yasir Tajid). Surabaya: Dunia Ilmu Offset, 1996. Rani, Abdul. Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisa Interaksionis, Integrasi, dan Konflik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003. Rijal, Syamsul (Editor). Dinamika Sosial Keagamaan dalam Pelaksanaan Syariat Islam. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2011. Cet. II. Rijal, Syamsul (Penyunting). Kerukunan Umat Beragama: Substansi dan Realitas Nilai-Nilai Universal Keagamaan. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2003. Ritonga, A Rahman dan Zainuddin, Fiqih Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001. Cet. 21.
140 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. Suyanta, Sri dkk. Buku Panduan Pelaksanaan Syariat Islam untuk Remaja, Pelajar dan Mahasiswa. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. Syaukani, Imam. Kompilasi Kebijakan dan Peraturan PerundangUndangan Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2008. Yewangoe, AA. Agama dan Kerukunan. Jakarta: Gunung Mulia, 2009. B. Jurnal Ilmiah Abubakar, Marzuki. “Syariat Islam Di Aceh: Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan Beragama”. Lhokseumawe: Jurnal Media Syariah, Vol. XIII, Nomor 1, 2011. _______, “Tradisi Peusijuek dalam Masyarakat Aceh: Integritas Nilai-Nilai Agama dan Budaya” (Malang: Jurnal Elharakah, Vol. 13, Nomor 2, 2011). Danial. “Syariat Islam dan Pluralitas Sosial: Studi Tentang
Minoritas Non-Muslim dalam Qanun Syariat Islam di Aceh”. Banda Aceh: Jurnal Analisis, Vol. XII, Nomor 1, 2012.
Marzuki. “Kerukunan dan Kebebasan Beragama dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh”. Jakarta: Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 36, 2010. Sahlan, Muhammad. “Pola Interaksi Interkomunal Umat Beragama Di Kota Banda Aceh”. Banda Aceh: Jurnal Substantia, Vol. 16, Nomor 1, 2014. C. Peraturan Perundang-Undangan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Identifikasi Aliran Sesat.
Daftar Pustaka
141
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 9 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Aliran Millata Abraham di Aceh. Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan Umat Beragama. Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 11 Tahun 2011 tentang
Pengawasan Aliran Sesat dan Kegiatan Pendangkalan Aqidah dalam Wilayah Kota Banda Aceh. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah, Ibadah dan Syi’ar Islam. Qanun Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah. Undang-Undang Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalah gunaan dan/atau Penodaan Agama. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. D.
Link Internet
http://humas.acehprov.go.id. http://disbudpar.acehprov.go.id/. http://aceh.bps.go.id. http://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html. http://satpolppwh.acehprov.go.id/index.php/profil.html. http://beritasore.com/2011/04/04/aliran-sesat-guncang-bumiserambi- mekkah/. 142 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
http://mpubandaaceh.wordpress.com/tag/aliran-sesat/. http://regional.kompas.com/read/2012/10/22/14504434/9.Gereja.di. Banda.Aceh.Kesulitan.Beribadah. https://m.detik.com/news/berita/3158090/mengenal-lebih-dekat-
kota-banda-aceh-dan-visinya-soal-kota-madani# http://sumatra.bisnis.com/m/read/20150108/3/54051/wali-kotabanda-aceh-nyatakan-ormas-gafatar-aliran-sesat. http://aceh.tribunnews.com/2015/03/12/tutup-toko-10-menitsebelum-azan. http://aceh.antaranews.com/berita/913/banda-aceh-potretpenerapan-syariat-islam. http://aceh.tribunnews.com/2015/06/26/menyoal-benturanantaramazhab-di-aceh. http://www.antaranews.com/berita/528897/fkub-kerukunan-umatberagama-di-aceh-terlaksana-baik. http://republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/02/21/gubernuraceh-tegaskan-jamin-kebebasan-beragama. http://syariatislam.bandaaceh.go.id/illiza-masyarakat-madanisangat-toleran/.
Daftar Pustaka
143
144 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Lampiran-Lampiran
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang :
a.
b.
c.
d.
Mengingat :
1. 2. 3. 4.
5. 6.
7.
bahwa aqidah dan ibadah merupakan bagian pokok pengamalan Syariat Islam yang perlu mendapat perlindungan dan pembinaan sehingga terbina dan terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang Islami dan menjunjung tinggi ajaran Islam merupakan landasan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin, baik pribadi, keluarga dan masyarakat; bahwa dalam rangka penyelenggaraan keistimewaan dan otonomi khusus, perlu penegasan hak-hak khusus tentang penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undangundang Nomor 18 Tahun 2001 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; bahwa bedasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu ditetapkan dengan suatu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Al-Qur’an; Al-Hadits; Pasal 18 b dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103); Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3448); Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
8.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 10. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 23), yang telah diubah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 43 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2001 Nomor 75); 11. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30); Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM MEMUTUSKAN : Menetapkan:
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri. 2. Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 5. Syi’ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai
6. 7. 8. 9. 10.
11.
ibadah untuk menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam. Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Aqidah adalah Aqidah Islamiah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah. Ibadah adalah shalat dan puasa Ramadhan. MPU adalah Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penyidik adalah pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diangkat dan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan yang berhubungan dengan pelaksanaan Syariat Islam. Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Syariat Islam. BAB II TUJUAN DAN FUNGSI Pasal 2
Pengaturan pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam bertujuan untuk : a. membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat; b. meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya; c. menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami. Pasal 3 Ketentuan-ketentuan dalam Qanun ini berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan Syi’ar Islam. BAB III PEMELIHARAAN AQIDAH Pasal 4 (1) (2)
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat serta mengawasinya dari pengaruh paham dan atau aliran sesat. Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya. Pasal 5
(1)
Setiap orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh
(2) (3)
paham atau aliran sesat Setiap orang dilarang menyebarkan paham atau aliran sesat Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari aqidah dan atau menghina atau melecehkan agama Islam. Pasal 6
Bentuk-bentuk paham dan atau aliran yang sesat di tetapkan melalui fatwa MPU BAB IV PENGAMALAN IBADAH Pasal 7 (1) (2)
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban menyediakan fasilitas dan menciptakan kondisi dan suasana lingkungan yang kondusif untuk pengamalan ibadah. Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab untuk membimbing pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada dibawah tanggung jawabnya. Pasal 8
(1) (2)
Setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i wajib menunaikan shalat Jum’at. Setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha dan atau / institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi / mengganggu orang Islam melaksanakan shalat Jum’at. Pasal 9
(1) (2) (3)
Setiap instansi pemerintah, lembaga pendidikan dan badan usaha wajib menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat berjamaah. Pimpinan gampong diwajibkan memakmurkan mesjid dan atau meunasah dengan shalat berjamaah dan menghidupkan pengajian agama. Perusahaan pengangkutan umum wajib memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat fardhu. Pasal 10
(1) (2) (3)
Setiap orang/ badan usaha dilarang menyediakan fasilitas/ peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Setiap muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i dilarang makan atau minum di tempat / di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan. Selama bulan Ramadhan masyarakat dianjurkan untuk
(4)
menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunat lainnya. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu atau mengurangi kenyamanan pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di lingkungannya. Pasal 11
Setiap orang yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib menghormati pengamalan ibadah. BAB V PENYELENGGARAAN SYI’AR ISLAM Pasal 12 (1) (2) (3) (4)
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat dianjurkan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam. Setiap Instansi Pemerintah/ lembaga swasta, institusi masyarakat dan perorangan dianjurkan untuk mempergunakan tulisan Arab Melayu disamping tulisan Latin. Setiap Instansi Pemerintah / Lembaga Swasta dianjurkan untuk mempergunakan penanggalan Hijriah dan penanggalan Masihiah dalam surat-surat resmi. Setiap dokumen resmi yang dibuat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib mencantumkan penanggalan Hijriah di samping penanggalan Masihiah. Pasal 13
(1) (2)
Setiap orang Islam wajib berbusana Islami. Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya. BAB VI
PENGAWASAN, PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN Pasal 14 (1)
(2) (3)
Untuk terlaksananya Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam, Pemerintah Provinsi, Kabupaten / Kota membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun ini. Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah / lingkungan lainnya. Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukup alasan telah terjadinya pelanggaran terhadap Qanun ini, maka pejabat pengawas (Wilayatul Hisbah) diberi wewenang
(4)
(5)
untuk menegur/menasehati si pelanggar. Setelah upaya menegur / menasehati dilakukan sesuai dengan ayat (3) di atas, ternyata perilaku sipelanggar tidak berubah, maka pejabat pengawas menyerahkan kasus pelanggaran tersebut kepada pejabat penyidik. Susunan organisasi Kewenangan dan tata kerja Wilayatul Hisbah diatur dengan Keputusan Gubernur setelah mendengar pertimbangan MPU. Pasal 15
(1)
(2)
(3)
(4)
Penyidikan terhadap pelanggaran Qanun ini, dilakukan oleh: a. Pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, atau b. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintahan Provinsi, Kabupaten / Kota yang diberi wewenang khusus untuk itu. Syarat pengangkatan, kepangkatan dan kedudukan serta pemberhentian Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) b di atas ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) b pasal ini, berwenang : a. menerima laporan dari Wilayatul Hisbah tingkat gampong atau dari seseorang tentang adanya pelanggaran Qanun ini; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. melakukan penyitaan benda dan atau surat; d. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; e. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; f. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara; g. menghentikan penyidikan bila pelanggaran tersebut tidak cukup alasan untuk diajukan ke Mahkamah Syar’iyah; h. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (3) di atas penyidik wajib menjunjung tinggi Syariat Islam dan hukum yang berlaku. Pasal 16
(1)
(2)
Penuntut umum adalah jaksa atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh Qanun untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan atau penetapan hakim Mahkamah Syar’iyah. Syarat pengangkatan, kepangkatan dan kedudukan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Pasal 17
Penuntut umum berwenang :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik; b. mengadakan pra penuntutan apabila berkas perkara hasil penyidikan terdapat kekurangan disertai petunjuk penyempurnaannya; c. membuat surat dakwaan; d. melimpahkan perkara ke Mahkamah Syar’iyah; e. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada hari sidang yang ditentukan; f. melakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku; g. mengadakan tindakan lain dalam lingkungan tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut peraturan perundangan; h. melaksanakan putusan hakim. Pasal 18 Penuntut umum menuntut perkara pelanggaran Qanun ini yang terjadi dalam wilayah hukumnya. BAB VII PENGADILAN Pasal 19 Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Qanun ini diperiksa dan diputuskan oleh Mahkamah Syar’iyah. BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 20 (1)
(2)
Barang siapa yang menyebarkan paham atau aliran sesat sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 2 (dua) tahun atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali. Barang siapa yang dengan sengaja keluar dari aqidah Islam dan atau menghina atau melecehkan agama Islam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) akan dihukum dengan hukuman yang akan diatur dalam qanun tersendiri. Pasal 21
(1)
Barang siapa tidak melaksanakan shalat jum’at tiga kali berturutturut tanpa uzur syar’i sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat
(2)
(1) dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 6 (enam) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 3 (tiga) kali. Perusahaan pengangkutan umum yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat fardhu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa pencabutan izin usaha. Pasal 22
(1)
(2)
Barang siapa yang menyediakan fasilitas/ peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 3 (tiga) juta rupiah atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 6 (enam) kali dan dicabut izin usahanya. Barang siapa yang makan atau minum di tempat / di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 4 (empat) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 2 (dua) kali. Pasal 23
Barang siapa yang tidak berbusana Islami sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (1) dipidana dengan hukuman ta’zir setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah. BAB IX PEMBIAYAAN Pasal 24 Segala pembiayaan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Qanun ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 25 Semua peraturan perundang-undangan yang ada sepanjang tidak diatur dengan qanun ini dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26 Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang mengenai pedoman, tehnis dan tata cara pelaksanaan akan ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur, setelah mendengar pertimbangan MPU. Pasal 27 Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Disahkan di Banda Aceh pada tanggal 14 Oktober 2002 7 Sya’ban 1423 GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
ABDULLAH PUTEH
Diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 15 Oktober 2002 8 Sya’ban 1423 SEKRETARIS DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
THANTHAWI ISHAK
LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2002 NOMOR 54 SERI E NOMOR 15
PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH, DAN SYIAR ISLAM I. UMUM Sepanjang sejarah, masyarakat Aceh telah menjadikan agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya. Penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam rentang sejarah yang cukup panjang itu telah melahirkan suasana masyarakat dan budaya Aceh yang Islami, budaya dan adat yang lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekan, dikembangkan dan dilestarikannya. Bahkan dalam perjalanan sejarah mulai abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-19, Nanggroe Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, hukum, pertahanan dan ekonomi. Puncak keemasan Nanggroe Aceh Darussalam tersebut tidak dapat dilepaskan dari pemberlakuan Syariat Islam secara kaffah sebagai pedoman hidup rakyat Nanggroe Aceh dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kondisi tersebut tercermin dalam ungkapan bijak “Adat bak Poteumeureuhom, Hukum bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana”. Ungkapan tersebut merupakan pencerminan bahwa Syari’at Islam telah menyatu dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh melalui peranan para ulama sebagai pewaris para rasul. Sementara itu sejak pertengahan abad ke-20, baik karena alasan internal maupun eksternal, Syariat Islam mulai ditinggalkan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Persamaan dengan kondisi demikian, rakyat Nanggroe Aceh menuju masa-masa suram dan sampai sekarang dalam kondisi yang sungguh memprihatinkan. Selama itu pula sebagai rakyat Nanggroe Aceh merindukan berlakunya kembali Syari’at Islam yang dapat mengantarkan Nanggroe ini untuk meraih kejayaannya dan berada pada posisi Baldatun Tayibatun Warabbun Ghafur. Dengan munculnya era reformasi pada tahun 1998, semangat dan peluang yang terpendam untuk memberlakukan Syari’at Islam di beberapa daerah di Indonesia muncul kembali, terutama di Nanggroe Aceh yang telah lama di kenal sebagai Serambi Mekkah. Semangat dan peluang tersebut kemudian terakomodir dalam undangundang nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Peluang tersebut semakin dipertegas dalam undang-undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. Disamping itu pada tingkat Daerah pelaksanaan Syari’at Islam telah dirumuskan secara yuridi melalui Peraturan Daerah nomor 3 tahun 2000 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja MPU Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Peraturan Daerah nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam.
Secara umum Syari’at Islam meliputi aspek, aqidah, ibadah, muamalah dan akh+lah. Setiap orang muslim dituntut untuk mentaati keseluruhan aspek tersebut. Ketaatan terhadap aspek yang mengatur aqidah dan ibadah sangat tergantung pada kualitas iman dan taqwa atau hati nurani seseorang. Sedangkan ketaatan kepada aspek muamalah dan akhlak disamping ditentukan pada kualitas iman dan taqwa atau hati nurani, juga disertai adanya sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya. Dalam sistem hukum Islam terdapat dua jenis sanksi; yaitu sanksi yang bersifat ukhrawi, yang akan diterima di akhirat kelak, dan sanksi yang diterapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislative dan judikatif. Kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum. Dalam banyak hal penegakan hukum menuntut peranan negara. Hukum tidak mempunyai arti bila tidak ditegakkan oleh negara. Disisi lain suatu negara tidak akan tertib bila hukum tidak ditegakkan. Upaya legislasi pelaksanaan Syari’at Islam bidang Aqidah, Ibadah (Shalat dan Puasa Ramadhan) serta Syi’ar Islam bukanlah upaya untuk mengatur substansi dari Aqidah dan Ibadah. Masalah substansi telah di atur oleh nash dan telah dikembangkan para ulama dalam berbagai disiplin ilmu ke Islaman. Dengan demikian upaya legislasi Pelaksanaan Syari’at Islam sebagaimana diatur dalam Qanun ini adalah dalam upaya membina, menjaga, memelihara dan melindungi aqidah orang Islam Nanggroe Aceh Darussalam dari berbagai warna, paham dan atau aliran sesat. Terhadap pelanggaran bidang aqidah di dalam Qanun ini hanya diancam bagi setiap orang yang menyebarkan paham dan atau aliran sesat. Sedangkan ancaman hukuman bagi setiap orang dengan sengaja keluar dari aqidah Islam dan atau menghina atau melecehkan Agama Islam, ancaman hukumannya diatur dalam Qanun tersendiri tentang HUDUD. Demikian pula dengan pengaturan aspek ibadah, baik shalat Fardhu/ Jumat maupun puasa Ramadhan dimaksudkan untuk mendorong, menggalakkan orang Islam melaksanakan dan meningkatkan kualitas iman dan kualitas serta intensitas ibadah sebagai wujud pengabdiannya yang hanya diperuntukkan kepada Allah semata. Upaya tersebut perlu didukung oleh kondisi dan situasi Syi’ar Islam, namun masih dalam lingkup nilai ibadah. Adanya sanksi pidana cambuk di depan umum, disamping sanksi penjara dan atau denda serta sanksi administratif, dimaksudkan sebagai upaya pendidikan dan pembinaan, sehingga sipelaku akan menyadari dan menyesali kesalahan yang dilakukan dan mengantarkannya untuk memprosisikan diri dalam Taubat Nasuha. Pelaksanaan hukuman cambuk di depan umum dimaksudkan sebagai upaya preventif dan pendidikan sehingga orang berupaya menghindari pelanggar hukum lainnya untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap Qanun ini khususnya dan terhadap segala ketentuan Syari’at Islam pada umumnya. Bentuk ancaman hukuman cambuk bagi pelaku tindak pidana, dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana. Hukuman cambuk diharapkan akan lebih efektif karena terpidana merasa malu dan tidak menimbulkan resiko bagi keluarganya. Jenis hukuman cambuk juga menjadikan biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah lebih murah dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya seperti yang dikenal dalam sistem KUHP sekarang ini. Wilayatul Hisbah sebagai lembaga pengawasan, diberi pula peran untuk mengingatkan, membimbing dan menasehati sehingga sehingga pelanggaran yang dilakukan kepada penyidik untuk di usut dan diteruskan ke Pengadilan, adalah pelanggaran yang sudah memperoleh nasehat, bimbingan dan peringatan. Jadi bentuk-bentuk pelanggaran yang tidak bisa di perbaiki dengan bimbingan dan nasehat
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Paham sesat adalah pendapat-pendapat tentang aqidah yang tidak berdasarkan kepada Al-Quran atau Hadits Shahih, atau penafsiran yang tidak memenuhi persyaratan metodologis atas kedua sumber tersebut di bidang aqidah. Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Ketentuan ini tidak untuk menghalangi kebebasan ilmiah, kepentingan penelitian, pengkajian dan pengembangan ajaran Islam itu sendiri di perguruan tinggi atau lembaga ilmiah lainnya. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota, dan atau institusi masyarakat harus aktif dan berinisiatif mendorong serta menyediakan fasilitas sekaligus memotivasi masyarakat, sehingga mudah dan nyaman mengamalkan ibadah. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan uzur Syar’i, adalah keadaan yang menurut fiqih membolehkan seseorang tidak menghadiri Shalat Jum’at, seperti musafir, sakit, atau melakukan tugas ”darurat” seperti perawat atau dokter jaga (dinas). Ayat (2) Instansi Pemerintah adalah Instansi Sipil dan Militer. Kantor pemerintah dan
swasta, serta badan usaha wajib memberi kesempatan kepada karyawannya untuk melaksanakan Shalat Jum’at; lebih dari itu semua kegiatan harus dihentikan, kecuali yang menyangkut kepentingan umum dan “darurat” (emergency). Mesjid-mesjid dianjurkan untuk menyediakan tempat shalat Jum’at bagi orang perempuan. Pasal 9 Ayat (1) Pemimpin kantor, sekolah atau badan usaha wajib berinisiatif sehingga shalat berjamaah dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan di lingkungan masing-masing. Ayat (2) Adanya azan pada setiap awal waktu dan terlaksananya shalat fardhu berjamaah dan pengajian secara berkesinambungan menjadi tanggung jawab pimpinan gampong terutama Tengku Imeum. Pengajian agama meliputi pengajian untuk anak-anak, remaja dan dewasa, baik laki-laki atau perempuan. Ayat (3) Pengemudi angkutan umum harus menghentikan kenderaan untuk memberi kesempatan kepada penumpang melaksanakan shalat fardhu. Setiap kantor perusahaan/perwakilannya harus menyediakan tempat shalat bagi langganan (calon penumpangnya). Kecuali di dekat kantor tersebut ada tempat shalat yang memenuhi syarat dan dapat dipergunakan. Pasal 10 Ayat (1) Menyediakan fasilitas/ peluang, adalah seperti membuka warung dan restoran pada siang hari Ramadhan, atau menjual makanan dan minuman yang patut diduga akan dikomsumsi sebelum waktu berbuka puasa. Uzur syar’i adalah keadaan yang membolehkan seseorang tidak berpuasa. Jadi boleh menjual makanan kepada orang musafir dan orang sakit. Ayat (2) Tempat umum adalah tempat terbuka yang dapat didatangi atau dilihat oleh siapa saja. Sedang di depan umum adalah didepan orang lain, seperti di dalam kenderaan umum, ruang tunggu atau kantor. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Peringatan hari-hari besar Islam tidak boleh dilakukan dengan kegiatan yang tidak sejalan (sesuai) dengan ketentuan ajaran Islam. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan dokumen resmi adalah seperti : Akte Notaris, Ijazah, Akte Kelahiran, dan Sertifikat Tanah. Pasal 13 Ayat (1) Busana Islami adalah pakaian yang menutup aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Ayat (2) Wajib membudayakan busana Islami, maksudnya bertanggung jawab terhadap pemakaian busana Islami oleh pegawai, anak didik atau karyawan (karyawati) di lingkungan masing-masing, termasuk pada saat kegiatan olah raga. Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Pejabat Kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Pejabat Kepolisian yang diberi tugas dibidang penegakan Syariat Islam. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Tata cara pelaksanaan hukum cambuk akan diatur dengan ketentuan tersendiri. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penjatuhan hukuman ini hanya dapat dilakukan setelah melalui proses peringatan oleh Wilayatul Hisbah, dan dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan sosial dari orang yang bersangkutan. Hukuman ta’zir di sini hendaklah diarahkan kepada pendidikan dan pembinaan, bukan untuk semata-mata penghukuman dan atau penjeraan. Pasal 22 Ayat (1) Pembayaran denda disetor langsung ke Badan Baitul Mal. Sementara Badan Baitul Mal belum terbentuk, disetor ke Bazis Kabupaten/Kota setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23
Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 5
Tentang Penulis
Juli Ahsani, pria kelahiran Aceh, 20 Juli 1990 ini merupakan putra ketiga dari Bpk. Supangat dan Ibu Mukatriyah. Pada tahun 2014, ia telah menyelesaikan studi S-1 di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Perbandingan Agama. Kemudian masih ditahun yang sama, melanjutkan ke Program Magister di almamaternya dengan Konsentrasi Kerukunan Umat Beragama, dan lulus tahun 2017. Semasa kuliah, Julay, sapaan akrabnya, aktif di organisasi intra maupun ekstra kampus, seperti: Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ushuluddin, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA Jakarta). Ia bisa dihubungi melalui email:
[email protected].
163
164 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002