PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENGIKUTI PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI DESA SIDOHARJO, KECAMATAN POLANHARJO, KABUPATEN KLATEN TAHUN 2010
Oleh:
Fitria Kusuma Wardani K8406023
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
i
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENGIKUTI PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI DESA SIDOHARJO, KECAMATAN POLANHARJO, KABUPATEN KLATEN TAHUN 2010
Oleh:
FITRIA KUSUMA WARDANI K8406023
SKRIPSI Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi - Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
ii
PERSETUJUAN Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Persetujuan Pembimbing,
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Basuki Haryono, M. Pd
Dra. Hj. Siti Rochani, M. Pd
NIP. 19500225 197501 1 002
NIP. 19540213 198003 2 001
iii
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Hari
:
Tanggal
:
Tim Penguji Skripsi Nama Terang
Tanda Tangan
Ketua
: Drs. H. MH. Sukarno, M. Pd
Sekretaris
: Drs. H. M. Haryono, M. Si
Anggota I
: Drs. H. Basuki Haryono, M. Pd
Anggota II
: Dra. Hj. Siti Rochani, M. Pd
Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd NIP. 19600727 198702 1 001
iv
___________ ___________ ___________ ___________
ABSTRAK
Fitria Kusuma Wardani, K8406023. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENGIKUTI PROGRAM KELUARGA BERENCANA (KB) DI DESA SIDOHARJO, KECAMATAN POLANHARJO, KABUPATEN KLATEN TAHUN 2010. SKRIPSI, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2010. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui persepsi masyarakat mengenai program KB di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. (2) Mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi masyarakat dalam mengikuti program KB di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. (3) Mengetahui jenis-jenis alat kontrasepsi yang digunakan oleh masyarakat Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan studi kasus tunggal terpancang. Sumber data dari informan, tempat, serta dokumen dan arsip. Teknik cuplikan menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi langsung dan dokumentasi. Untuk mencari validitas data menggunakan trianggulasi sumber (data). Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan (1) Persepsi masyarakat mengenai program KB adalah pertama KB merupakan kewajiban perempuan, selama kondisi perempuan memungkinkan untuk ber-KB, maka perempuanlah yang harus ber-KB. Kedua, KB hanya dapat dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi yang dipilih dan digunakan sesuai kecocokan terhadap diri akseptor. Ketiga, beberapa alat kontrasepsi menakutkan bagi akseptor, seperti IUD, implan, dan sterilisasi. (2) Latar belakang masyarakat mengikuti program KB ada dua alasan. Pertama alasan ekonomi, masyarakat mengikuti KB karena tidak ingin mempunyai banyak anak, jika punya banyak anak maka biaya untuk mencukupi kebutuhan hidup akan semakin banyak. Kedua alasan kesehatan, setelah melahirkan ibu perlu menjaga jarak kelahiran berikutnya untuk memulihkan kesehatan diri dan merawat bayinya. (3) Alat kontrasepsi yang digunakan masyarakat ada tiga, pertama adalah suntik, metode suntik mudah diperoleh dengan mendatangi tempat praktek swasta bidan, dengan biaya relatif terjangkau, serta resiko yang tidak terlalu besar. Kedua, implan, kontrasepsi ini dipilih karena diperoleh dengan biaya sebesar Rp 25.000,- melalui penyelenggaraan safari KB pemerintah yang biayanya jauh lebih murah dibanding KB mandiri. Ketiga adalah kondom, dipilih karena alasan praktis dan tidak mengakibatkan kegemukan tubuh akseptor.
v
MOTTO
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. Ar-R’ad: 11).
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
1. Ibunda terkasih, Wiwik Suwarti, serta Ayahanda di Surga, Alm. Suwoto, terima kasih. 2. Kakak-kakakku, Gugus Subiyantoro dan Dyah Purniawati, adikku Satria Adi Purnama, ponakanku Roihan Rexy Subiyanto, dan kakak iparku Titik Setiawati. 3. Teman-teman Sos-Ant’ 06. 4. Almamater.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penliti panjatkan ke hadirat Allah SWT yang memberi kenikmatan dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi sebagian persyaratan mendapat gelar Sarjana Pendidikan. Selama pembuatan skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu peneliti ucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H.M. Furqon Hidayatullah, M. Pd, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret; 2. Drs. H. Saiful Bachri, M. Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial; 3. Drs. H.MH. Sukarno, M. Pd, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi- Antropologi; 4. Drs. H. Basuki Haryono, M. Pd, selaku Pembimbing I dan Dra. Hj. Siti Rochani, M. Pd, selaku Pembimbing II yang telah menyediakan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat peneliti selesaikan; 5. Yosafat Hermawan T, S.Sos, selaku Pembimbing Akademik, yang telah memberikan arahan dan nasehat selama menjadi mahasiswa di Program Studi Pendidikan Sosiologi-Antropologi FKIP UNS; 6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi-Antropologi, yang telah memberikan ilmu dan masukan-masukan kepada peneliti; 7. Hermawan Sri Widodo, selaku Kepala Desa Sidoharjo, yang telah mengijinkan peneliti untuk melakukan penelitian; 8. Semua pihak yang telah membantu peneliti dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat peneliti harapkan. Akhirnya peneliti
viii
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca.
Surakarta, Juli 2010
Peneliti
ix
DAFTAR ISI
JUDUL
……………………………………………………………
PENGAJUAN SKRIPSI
i
……………………………………………
ii
PERSETUJUAN
……………………………………………………
iii
PENGESAHAN
……………………………………………………
iv
ABSTRAK
…………………………………………………………… v
MOTTO
…………………………………………………………… vi
PERSEMBAHAN
……………………………………………………
KATA PENGANTAR
……………………………………………
vii viii
DAFTAR ISI
…………………………………………………… x
DAFTAR TABEL
…………………………………………………… xii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… xiii DAFTAR LAMPIRAN
……………………………………………
xiv
BAB I PENDAHULUAN
……………………………………………
1
A. Latar Belakang Masalah
……………………………………
1
B. Rumusan Masalah
……………………………………………
5
C. Tujuan Penelitian
……………………………………………
5
D. Manfaat Penelitian
……………………………………………
6
……………………………………
7
……………………………………………
7
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka
B. Penelitian yang Relevan C. Kerangka Berpikir
……………………………………
42
……………………………………………
44
BAB III METODE PENELITIAN
……………………………………
46
A. Tempat dan Waktu Penelitian
…………………………....
46
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
……………………………
47
C. Sumber Data
……………………………………………
48
D. Teknik Sampling
……………………………………………
50
E. Teknik Pengumpulan Data
……………………………………
50
F. Validitas Data
……………………………………………
54
G. Analisis Data
……………………………………………
55
x
H. Prosedur Penelitian
……………………………………………
57
BAB IV SAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA PENELITIAN ……
59
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ……………………………………
59
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian
66
……………………………
C. Temuan Studi yang Dihubungkan dengan Kajian Teori
……
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ……………………
90 102
A. Simpulan
……………………………………………………
102
B. Implikasi
…………………………………………………… 103
C. Saran …………………………………………………………… 104 DAFTAR PUSTAKA
……………………………………………
105
LAMPIRAN …………………………………………………………… 108
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Waktu dan Kegiatan Penelitian
……………………………
xii
47
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Berpikir
……………………………………
Gambar 2. Model Interaktif Analisis Data
xiii
……………………………
45 57
DAFTAR LAMPIRAN
1. Fieldnote ……………………………………………………... …… 2. Peta Desa Sidoharjo
……………………………………………. 150
3. Monografi Desa Sidoharjo 4. Foto-foto penelitian
108
……………………………………. 151
……………………………………………. 167
5. Surat Permohonan Ijin Research kepada Pembantu Dekan III ……. 170 6. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi
……………………. 171
7. Surat Permohonan ijin Menyusun Skripsi kepada Pembantu Dekan I . 172 8. Surat Permohonan Ijin Research Kepada Kepala Desa Sidoharjo….
173
9. Surat Pemberian Ijin Research oleh Kepala Desa Sidoharjo………
174
10. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ……………………
175
11. Riwayat Hidup
………
12. ……………………………………………
xiv
176
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang besar dan berkualitas tinggi merupakan salah satu modal atau aset dalam pembangunan sebuah negara. Penduduk sebagai aset apabila penduduk memberikan kontribusi dari segi fisik maupun mental dalam pembangunan. Sebaliknya, jumlah penduduk yang besar berusia muda, berkualitas rendah akan menjadi beban suatu negara, karena menghambat laju pembangunan dan menimbulkan berbagai masalah sosial. Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai jumlah penduduk yang besar,
yakni
238.452.952
jiwa
http://id.wikipedia.org/wiki/penduduk.
(terbesar 30
Januari
nomor 2010:
4
di
dunia),
13.08.
Masalah
kependudukan merupakan masalah yang dialami oleh semua negara tak terkecuali Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia menghadapi masalah jumlah penduduk yang besar, tingkat kemiskinan yang tinggi, terbatasnya lapangan pekerjaan, minimnya fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta rendahnya tingkat pengetahuan penduduk. Jumlah penduduk yang besar adalah akibat dari tingkat fertilitas yang tinggi, karena tingkat usia subur atau jumlah wanita usia suburnya tinggi, sehingga pertumbuhan penduduk menjadi tinggi. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah sebesar 1,3% atau bertambah sekitar 3-4 juta orang per tahun. Konsekuensi dari besarnya jumlah penduduk, maka praktis kebutuhan akan berbagai fasilitas seperti lapangan pekerjaan, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan rekreasi juga meninggi, dan harus disediakan oleh pemerintah. Jika tidak, maka sangat bisa dipastikan bahwa penduduk negara tersebut akan memiliki kualitas sumber daya manusia yang rendah. Akibatnya akan banyak timbul masalah sosial di masyarakat, seperti pengangguran, kriminalitas, gelandangan, rendahnya kualitas kesehatan, minimnya akses pendidikan, serta kekurangan bahan pangan atau gizi buruk.
1xv
Hal tersebut membutuhkan perhatian yang serius untuk dicari bagaimana solusinya agar pertumbuhan penduduk mampu dikendalikan. Pengendalian jumlah penduduk tentu akan berpengaruh positif terhadap kualitas hidup manusia. Atas dasar pemikiran tersebut, pada tahun 1960-an mulai timbul dan berkembang suatu rasa keprihatinan yang mendalam terhadap masalah kependudukan dunia. Pemerintah Indonesia mengambil suatu kebijakan kependudukan melalui program keluarga berencana. Keseriusan pemerintah dalam menggalakkan program ini dimulai dengan mendirikan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Melalui program KB pemerintah mengharapkan terciptanya Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejatera (NKKBS), yaitu keluarga dengan dua anak sebagai tujuan utamanya. Sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, dapat disimpulkan bahwa Keluarga Berencana adalah upaya yang dilakukan untuk mengatur kelahiran anak, jarak, dan usia ideal melahirkan, serta mengatur kehamilan. Upaya-upaya ini dilakukan melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Sebagai langkah awal dalam menanggulangi laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dilakukan dengan jalan memperkenalkan cara-cara kontrasepsi yang diharapkan akan dijalankan oleh masyarakat. Keluarga
dikatakan
berkualitas
apabila
kehidupan
setiap
anggota
keluarganya terjamin hidupnya dan dalam keadaan yang sejahtera. Keluarga yang sejahtera tentu akan mampu memenuhi setiap kebutuhan hidup mendasar dari para anggota keluarganya. Jenis kebutuhan hidup keluarga yakni: makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, melaksanakan kehidupan beragama, dan lain-lain. Makin banyak anggota keluarga akan semakin banyak diperlukan kebutuhan hidup keluarga. Oleh karena itu kesulitan hidup akan bertambah apabila bertambahnya jumlah anggota keluarga. Apabila keluarga tak mampu mencukupi kebutuhan akan biaya hidup tersebut, maka dapat dipastikan bahwa seluruh anggota keluarga tidak hidup dalam keadaan sejahtera. Program Keluarga Berencana (KB) mempunyai kontribusi yang penting dalam upaya meningkatkan
xvi
kualitas penduduk, dan merupakan sebuah program yang melekat pada upaya pembangunan. KB merupakan upaya pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar dan utama. Program KB adalah sarana untuk mencapai penurunan tingkat kelahiran. Salah satu tujuan program Keluarga Berencana adalah meningkatkan kesejahteraan. Diharapkan dengan adanya program KB, para orang tua akan mampu membatasi jumlah kelahiran dan mengatur jarak kelahiran agar mampu merawat dan memelihara keturunan dengan sebaik-baiknya sehingga nanti anakanak yang dilahirkan akan menjadi manusia berkualitas. Dengan adanya program KB diharapkan petumbuhan penduduk yang tinggi akan dapat ditekan sehingga mampu mengurangi dampak negatif yang timbul sebagai akibat dari tidak terkendalinya
jumlah
pertumbuhan
penduduk.
Usaha
pemerintah
untuk
memasyarakatkan program KB ini tidaklah mudah, oleh karena itu pemerintah melakukan berbagai cara sebagai upaya memasyarakatkan program KB kepada khalayak, diantaranya adalah memberikan pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) yang dilakukan oleh petugas medis (seperti bidan dan dokter). Sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, dapat disimpulkan bahwa Keluarga Berencana adalah upaya yang dilakukan untuk mengatur kelahiran anak, jarak, dan usia ideal melahirkan, serta mengatur kehamilan. Pemerintah terus memotivasi, mengimbau, dan menekankan pada masyarakat agar memiliki keluarga kecil dengan slogan program KB, “Dua Anak Cukup”. Keseriusan pemerintah dalam mensukseskan program KB dibuktikan dengan kinerja petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) yang rutin mendatangi rumah-rumah warga yang baru saja melahirkan, para petugas lapangan KB menghimbau agar masyarakat melakukan KB. Pemerintah juga memberikan alat kontrasepi kepada masyarakat secara cuma-cuma, serta meminimalisasi biaya pemasangan alat kontrasepsi di tempat pelayanan kesehatan milik pemerintah seperti Puskesmas dan rumah sakit. KIE merupakan salah satu kegiatan pokok dalam gerakan KB nasional yang berupaya untuk mendorong terjadinya proses
xvii
perubahan pengetahuan, sikap dan praktek masyarakat tentang KB secara mantap. Usaha tersebut terlihat mendapat respon yang positif dari masyarakat, sebagian masyarakat telah menyadari bahwa KB merupakan suatu kebutuhan. Namun, setelah masa Orde Baru berakhir, perhatian pemerintah terhadap program KB melemah. KIE tak lagi dilakukan segencar dulu, kini petugas lapangan KB tidak mendatangi rumah-rumah penduduk seperti dulu. Informasi dari kegiatan KIE ini sangat berperan dalam mempengaruhi pandangan dan partisipasi masyarakat untuk mengikuti program KB. Pemilihan dan pemakaian alat kontrasepsi, serta keikutsertaan masyarakat dalam program KB sangat ditentukan oleh pengetahuan akseptor mengenai kontrasepsi. Kini penyediaan alat dan obat kontrasepsi, dana operasional, serta sarana prasarana kesehatan dan KB yang difasilitasi oleh pemerintah mulai dikurangi, sehingga untuk ber-KB para akseptor harus mengeluarkan biaya sendiri. Pelayanan KB dilakukan oleh sarana kesehatan yang dimiliki oleh pemerintah maupun pihak swasta. Di pihak swasta seluruh biaya ditanggung oleh akseptor. Sedangkan pada jalur pemerintah, beberapa daerah memberikan alat kontrasepsi gratis tetapi dengan biaya operasional ditanggung akseptor, namun hal ini pun jarang dilakukan. Bagi mereka yang mempunyai taraf ekonomi tinggi maka tak ada masalah untuk membeli alat kontrasepsi di pasaran. Tapi tidak begitu dengan mereka yanga tingkat ekonominya menengah ke bawah, mereka harus berpikir ulang dalam mengeluarkan uang untuk membeli alat kontrasepsi. Kondisi seperti ini sedikit banyak berpengaruh dalam penggunaan jenis alat kontrasepsi dan cara KB yang ada bagi masyarakat. Masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah tidak mampu membeli alat-alat kontrasepsi yang ada di pasaran, sehingga ketidakmampuan seperti ini akan berdampak langsung pada pertumbuhan penduduk yang tetap tinggi, dan akan mempengaruhi efektivitas serta partisipasi masyarakat dalam ber-KB. KB telah berhasil menurunkan angka kelahiran total (Total Fertility Rate/ TFR) dari 2,4 (SDKI 2002/2003) menjadi 2,3 anak per perempuan usia reproduksi pada tahun 2007 (SDKI tahun 2007 terkoreksi). Sementara itu, rata-rata jumlah anak yang dilahirkan pada kelompok miskin adalah 4,2
xviii
anak, lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang lebih mampu (3,0). Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh perempuan yang berpendidikan rendah (4,1) lebih banyak dibandingkan dengan kelompok berpendidikan
tinggi
(2,7).
(http://antaranews.com/berita/1265880800/bkkbn-pkk-tingkatankeberhasilan-program-KB, 22 Februari 2010: 15.44). Meskipun demikian, angka kelahiran atau laju pertumbuhan penduduk Indonesia relatif masih tinggi. Adapun keikutsertaan masyarakat dalam program KB di Kabupaten Klaten pada tahun 2008, dengan jumlah PUS 201.203 dan peserta KB 157.224 orang atau sebesar 78,14% dari jumlah total PUS. Sedangkan data partisipasi masyarakat dalam program KB di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten hingga bulan September 2009 adalah sebagai berikut, jumlah PUS 518, dengan peserta KB aktif sebanyak 333 orang atau 64,29% dari jumlah PUS, dan peserta KB mandiri sebanyak 262 atau 78,68% dari peserta KB aktif. Dari uraian di atas mendorong penulis untuk meneliti kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam mengikuti program KB di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten Tahun 2010.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan dari uraian latar belakang masalah di atas maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimana persepsi masyarakat mengenai program KB di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten? 2. Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi masyarakat dalam mengikuti program KB di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten? 3. Alat kontrasepsi apa saja yang digunakan oleh masyarakat di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten?
C. Tujuan Penelitian
xix
Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai program KB di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. 2. Untuk mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi masyarakat dalam mengikuti program KB di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. 3. Untuk mengetahui jenis-jenis alat kontrasepsi yang digunakan oleh masyarakat Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis a. Dapat memberi kontribusi terhadap berkembangnya ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial. b. Dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian-penelitian sejenis untuk tahap selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan deskripsi tentang partisipasi masyarakat mengenai program KB di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. b. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya mendukung dan mengembangkan program KB Nasional. c. Bisa digunakan sebagai masukan dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan partisipasi aktif warga masyarakat dalam program KB Nasional.
xx
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan tentang Partisipasi a. Pengertian Partisipasi Partisipasi merupakan suatu wujud keikutsertaan seseorang atau sekelompok orang di dalam kegiatan untuk mencapai tujuan dari kegiatan tersebut. Partisipasi juga berarti sebagai "kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri” (Mubyarto dalam Taliziduhu Ndraha, 1990: 102). Pendapat ini senada dengan definisi yang dikemukakan oleh K. Davis (dalam Khairuddin, 1992: 12) yang memberikan pengertian partisipasi: " as mental and emotional involvement of person in a group situation which encourages him to contribute to group goals and share responsibility in them". Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 ciri utama, yaitu: 1) Partisipasi merupakan suatu bentuk keterlibatan seseorang secara mental dan emosional. Jadi bukan hanya sekedar berupa aktivitas fisik saja. Disini partisipasi yang dilakukan berkenaan dengan kesadaran dari diri pribadi atau dengan kesukarelaan. Semakin tinggi tingkat kesadaran diri dan kesukarelaan, maka akan semakin besar pula keterlibatan mental dan emosi diantara anggota. 2) Partisipasi menghendaki adanya kontribusi dari para partisipan terhadap kepentingan dan tujuan masyarakat umum. Kontribusi dari para partisipan tidak melulu berupa materi atau uang, tapi lebih dari itu, yang diperlukan adalah ide-ide yang inisiatif dan kreatif dari seluruh anggota kelompok sehingga pencapaian tujuan akan lebih mudah. 3) Partisipasi erat kaitannya dengan tanggung jawab terhadap kelompok. Dengan berpartisipasi, seseorang akan terdorong untuk bertanggung jawab
xxi
secara sosial yang tercipta dari adanya komunikasi yang baik diantara para anggota, rasa kebersamaan akan jelas terlihat. Kemajuan kelompok merupakan tanggung jawab dari orang-orang yang ada di dalam kelompok tersebut. Dengan adanya tanggung jawab sosial tersebut, bukan berarti anggota kelompok harus mengorbankan kepentingan pribadinya.
Istilah
partisipasi
sering diartikan
dalam
kaitannya
dengan
pembangunan. Umumnya definisi partisipasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu definisi yang bersifat umum dan khusus. Definisi partisipasi yang bersifat umum tidak mengacu pada kajian atau suatu ilmu tertentu, disini partisipasi digunakan secara luas. Sedangkan dalam definisi yang khusus, "misalnya dalam bidang politik, ekonomi, atau sosial, sehingga melahirkan istilah-istilah partisipasi politik, partisipasi ekonomi, partisipasi sosial” (Y. Slamet: 1994: 1-2). Rakyat
memegang
peranan
yang
sangat
penting
dalam
pembangunan, yaitu sebagai objek sekaligus sebagai subjek. Untuk itu perlu ditumbuhkan partisipasi aktif dari masyarakat dengan cara menumbuhkan rasa kesadaran dan tanggungjawab yang tercermin dalam perubahan sikap mental, pandangan hidup, cara berpikir dan cara bekerja. Kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya kemampuan awal masyarakat untuk berkembang secara mandiri. Masyarakat tidak akan merasa memiliki apabila sebuah pembangunan tidak mengikutsertakan mereka. Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan, karena itu masyarakatlah yang akan melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan.
Partisipasi juga
meningkatkan perasaan ikut memiliki (sense of belonging).
b. Tahapan Partisipasi Partisipasi
merupakan
suatu
kegiatan
yang
terjadi
melalui
serangkaian proses dan tahapan yang satu sama lain saling berkaitan dan mempengaruhi. Setiap tahapan merupakan bagian yang penting dan
xxii
mempunyai dampak langsung terhadap berjalannya suatu kegiatan serta menentukan keberhasilannya. Berikut ini tahapan-tahapan partisipasi: Hoofsteede (1971: 25) dalam Khairuddin (1992: 125), membagi partisipasi menjadi tiga tingkatan: 1) Partisipasi Inisiasi (Inisiation Participation) adalah partisipasi yang mengundang inisiatif dari pemimpin desa, baik formal maupun informal, ataupun dari anggota masyarakat mengenai suatu proyek, yang nantinya proyek tersebut merupakan kebutuhan bagi masyarakat. 2) Partisiapsi Legitimasi (Legitimation Participation) adalah partisipasi pada tingkat pembicaraan atau pembuatan keputusan tentang proyek tersebut. 3) Partisipasi Eksekusi (Execution Participation) adalah partisipasi pada tingkat pelaksanaan. Selain ketiga tahapan yang dikemukakan oleh Hoofsteede tersebut ahli lain membagi partisipasi ke dalam 4 tahapan, yaitu: 1) Partisipasi dalam pengambilan keputusan, 2) Partisipasi dalam pelaksanaan program dan proyek-proyek pembangunan, 3) Partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi program dan proyekproyek pembangunan, serta, 4) Partisipasi dalam berbagai manfaat pembangunan ( Yadav dalam Totok Mardikanto, 1994: 317-318) Dari kedua pendapat ahli di atas dapat penulis simpulkan bahwa: 1) Tahap pertama dalam sebuah partisipasi adalah tahap perencanaan (inisiation). Di dalam tahap ini wujud partisipasi dari masyarakat dapat berupa kehadiran dalam diskusi atau rapat dan sumbangan pikiran/ gagasan. Partisipasi pada tahap ini mempunyai kadar yang lebih tinggi dari pada yang lainnya karena masyarakat tidak hanya diperlakukan sebagai objek saja, tetapi juga mempunyai hak untuk menentukan dan mengusulkan arah pembangunan, sehingga mereka pun akan merasa dihargai. Selama ini pembangunan yang ada, masyarakat hanya berperan sebagai tenaga kerja dan belum sebagai penentu arah pembangunan, akibatnya pembangunan yang dilakukan pun belum mencerminkan kepentingan masyarakat. Pada hakekatnya pelibatan masyarakat adalah
xxiii
bagian dari proses perencanaan yang dimaksudkan untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi dari masyarakat. Keikutsertaan masyarakat ini akan membawa pengaruh yang positif dan meminimalisir kemungkinan terjadinya dampak negatif. Banyaknya hasil pembangunan yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat dikarenakan hasilnya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan minimnya partisipasi masyarakat dari tahap perencanaan hingga tahap pelaksanaan. 2) Tahap kedua yaitu pelaksanaan, tahap ini merupakan kelanjutan dari rencana yang sudah disepakati sebelumnya. Masyarakat akan saling bahumembahu bersama-sama melaksanakan kegiatan yang diselenggarakan. Keterlibatan dari segenap anggota masyarakat sangat dibutuhkan. Dengan ikut melaksanakan suatu proyek kegiatan atau pembangunan, masyarakat akan ikut pula bertanggung jawab terhadap hasil akhir dari pembangunan tersebut. 3) Yang ketiga tahap pemantauan dan evaluasi, hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelaksanaan kegiatan telah sesuai dengan apa yang direncanakan ataukah terjadi penyimpangan atau tidak, dan sampai sejauh mana hasilnya mampu memenuhi kebutuhan serta harapan masyarakat. 4) Tahap pemanfaatan hasil, dalam hal ini partisipasi masyarakat tercermin dalam fase pennggunaan atau pemanfaatan hasil-hasil pembangunan. Keberhasilan kegiatan akan tampak pada apresiasi masyarakat dalam memanfaatkannya. Setelah masyarakat berpartisipasi dari tahap pertama hingga ketiga, diharapkan kegiatan pembangunan dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat sehingga tidak sia-sia.
Selain keempat tahapan di atas, partisipasi juga dapat terjadi melalui 3 tahapan, yaitu tahap dipersuasi, diperintah, dan dipaksa. Pada tahap awal, masyarakat diajak dan dipengaruhi untuk turut dalam suatu kegiatan atau proyek. Dalam tahap ini diperlukan adanya informasi-informasi mengenai proyek, dengan upaya persuasif yang dilakukan diharapkan akan segera timbul kesadaran dan kerelaan masyarakat untuk berpartisipasi. Umumnya himbauan
xxiv
datang dari pemerintah secara langsung atau lewat media massa. Pada tahap kedua atau tahap diperintah, umumnya masyarakat kurang menyadari apa sebenarnya
kebutuhan
mereka
dan
apakah
mereka
benar-benar
membutuhkannya atau tidak. Maka dari itu masyarakat diperintahkan tanpa adanya pembicaraan-pembicaraan terlebih dahulu untuk melaksanakan atau berpartisipasi. Perintah dalam partisipasi ini biasanya datang dari pihak atasan, dan partisipasi yang dilakukan pun tidak datang dengan kesadaran penuh sehingga yang terjadi adalah sikap "Asal Bapak Senang", yaitu sekedar untuk menyenangkan pihak atasan. Yang terakhir adalah tahap dipaksa, masyarakat tidak tahu apa kebutuhan mereka, apa manfaat dan dampak pembangunan yang mereka jalankan. Yang mereka tahu adalah mau tidak mau harus berpartisipasi meski mereka tidak rela namun partisipasi harus tetap dilakukan. Pada tahap paksaan umumnya akan ada hukuman atau ganjaran bagi mereka yang membangkang dan menolak untuk berpartisipasi.
c. Jenis dan Bentuk Partisipasi Partisipasi masyarakat memiliki banyak macam atau bentuk, jenis partisipasi yang dilakukan tergantung dari kegiatan yang dilakukan dan apa yang dibutuhkan demi terselenggaranya kegiatan untuk mencapai tujuan yang maksimal. Bentuk partisipasi ini berkaitan dengan sejauh mana masyarakat telah memberikan sumbangan dalam hubungannya dengan kegiatan yang sedang dijalankan. Menurut Y. Slamet (1994: 109), " Sumbangan-sumbangan [partisipasi] itu dapat berujud (sic) uang, barang, dan dapat pula berujud (sic) tenaga". Namun perlu ditambahkan bahwa partisipasi ini dapat pula berupa sumbangan pikiran. Partisipasi berupa uang umumnya dilakukan oleh mereka masyarakat yang termasuk dalam golongan ekonomi atas. Tapi tidak menutup kemungkinan sumbangan berupa uang tersebut didapat dari mereka yang termasuk dalam golongan ekonomi rendah. Sumbangan berupa barang tidak terbatas pada golongan masyarakat tertentu, tapi lebih kepada barang apa yang dibutuhkan dan siapa yang memilikinya. Misalnya dalam proyek mendirikan sebuah bangunan atau sarana umum, membutuhkan bambu, maka tidak terikat
xxv
yang harus memberikan apakah orang kaya atau miskin, tetapi adalah siapa saja yang mempunyai bambu dan secara sukarela mau menyumbangkannya dalam pelaksanaan kegiatan. Sedangkan sumbangan tenaga biasanya berasal dari masyarakat golongan ekonomi rendah karena tak banyak uang atau barang yang mampu mereka sumbangkan sehingga mereka memilih untuk memberikan tenaga mereka. Masyarakat dari golongan ekonomi tinggi biasanya bekerja secara teratur dan terikat oleh jadwal kerja yang ketat sehingga sulit untuk berpartisipasi menyumbangkan tenaga mereka secara aktif. Adapun partisipasi dalam bentuk pikiran didapat dari seluruh anggota masyarakat pada saat berlangsung proses perencanaan dan pengambilan keputusan, dimana mereka memberi sumbangan pikiran atau gagasan untuk menentukan arah pembangunan dan melakukan musyawarah. Namun sumbangan pikiran dapat pula diberikan oleh segelintir ahli, misalnya ide konstruksi bangunan, dan sebagainya. Setiap anggota masyarakat memiliki kewajiban moril untuk menyumbangkan sesuatu, dan besar kecilnya sumbangan itu disesuaikan dengan kondisi (kemampuan) dan kebutuhan kegiatan pembangunan. Betapapun kecilnya suatu sumbangan dalam partisipasi, jika dilakukan dengan kesadaran dan kerelaan hati yang penuh tentu akan memberi manfaat bagi keberhasilan kegiatan. Secara terperinci tipe partisipasi dapat diidentifikasikan ke dalam 9 golongan, yaitu: (1) Penggolongan Partisipasi Berdasarkan pada Derajat Kesukarelaan. (2) Penggolongan Partisipasi berdasarkan pada Cara Keterlibatan. (3) Penggolongan Partisipasi Berdasarkan pada Keterlibatan di dalam berbagai tahap dalam Proses Pembangunan Terencana. (4) Penggolongan Partisipasi Berdasarkan pada Tingkatan Organisas. (5) Penggolongan partisipasi Berdasarkan pada Intensitas dan Frekuensi Kegiatan. (6) Penggolongan Partisipasi Berdasarkan pada Lingkup Liputan Kegiatan. (7) Penggolongan Partisipasi Berdasarkan pasa Efektivitas. (8) Penggolongan Partisipasi berdasarkan pada Siapa yang Terlibat. (9) Pengelompokkan Berdasarkan pada Gaya Partisipasi (Dusseldorp dalam Y. Slamet, 1994: 11-21).
xxvi
Dari 9 tipe penggolongan partisipasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Berdasarkan Derajat Kesukarelaan Ada 2 bentuk partisipasi berdasarkan derajat kesukarelaannya, yaitu partisipasi bebas dan terpaksa. Partisipasi bebas terjadi apabila seorang individu melibatkan dirinya dalam suatu kegiatan secara sukarela dan penuh dengan kesadaran. Namun partisipasi jenis ini masih dapat dibedakan menjadi partisipasi bebas spontan dan partisipasi dibujuk. Partisipasi yang spontan jelas terjadi karena timbul keinginan dari hati nurani tanpa pengaruh dari orang lain. Sedangkan partisipasi karena dibujuk, terjadi setelah seseorang itu mendapat bujukan dan rayuan dari pihak lain. Partisipasi terpaksa terjadi karena seseorang merasa bahwa tidak ada pilihan lain selain melakukan partisipasi. Partisipasi ini dapat terjadi karena paksaan dari pihak atasan yang akan memberikan suatu sanksi bila bawahannya tidak mau berpartisipasi, atau dapat terjadi karena alasan tekanan kondisi sosial ekonomi. 2) Berdasarkan Cara Keterlibatan Pada tipe ini partisipasi dapat dijadikan menjadi dua, yakni partisipasi langsung dan tidak langsung. Partisipasi langsung terjadi bila seseorang berkaitan dan terjun langsung turut serta dalam suatu kegiatan pembangunan. Namun pengertian ini tidak berarti bahwa seseorang itu harus langsung menyumbangkan tenaganya, tapi juga dapat berupa sumbangan pikiran ataupun materi. Sedangkan dalam partisipasi tidak langsung, terjadi bila seseorang mewakilkan kewajibannya untuk berpartisipasi kepada orang lain. 3) Berdasarkan
Keterlibatan
dalam
Berbagai
Tahap
dalam
Proses
Pembangunan Terencana Dalam proses pembangunan terdapat enam langkah, yaitu perumusan tujuan, penelitian, persiapan rencana, penerimaan rencana, pelaksanaan, dan penilaian. Keenam langkah tersebut merupakan suatu kesatuan rangkaian yang berkesinambungan. "Partisipasi yang dilakukan
xxvii
sepanjang proses tersebut dinamakan partisipasi prosesional, sedangkan partisipasi yang hanya dilakukan pada satu atau beberapa fase saja, dinamakan partisipasi parsial", (Taliziduhu Ndraha, 1990: 108). Bila partisipasi dilakukan secara prosesional maka rasa tanggung jawab masyarakat terhadap pembangunan akan semakin besar, begitupun sebaliknya. 4) Berdasarkan Tingkatan Organisasi Menurut klasifikasi ini, partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu "partisipasi yang terorganisasi dan partisipasi yang tidak terorganisasi", (Dusseldorp dalam Y. Slamet, 1994: 13). Partisipasi yang terorganisasi adalah suatu kegiatan partisipatif yang mempunyai struktur organisasi dan seperangkat tata kerja bagi anggota. Dalam partisipasi jenis ini, masingmasing pengurus yang telah ditunjuk akan memikul tanggung jawab yang berkenaan dengan proses pelaksanaan kegiatan hingga pemanfaatan hasilnya. Yang kedua adalah partisipasi tidak terorganisasi, apabila seseorang atau masyarakat itu berpartisipasi dalam waktu dan keadaan tertentu saja, biasanya terjadi di saat keadaan yang mendesak atau genting. 5) Berdasarkan pada Intensitas dan Frekuensi kegiatan Menurut frekuensi kegiatannya, partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi yang intensif dan ekstensif. Partisipasi intensif adalah partisipasi yang dilakukan atau terjadi secara terus-menerus (sering) dalam kurun waktu yang panjang. Sedangkan partisipasi ekstensif hanya terjadi apabila kegiatan atau pertemuan diselenggarakan secara tidak teratur dengan jarak kegiatan satu dengan kegiatan selanjutnya cukup lama. 6) Berdasarkan pada Lingkup Liputan Kegiatan Pada partisipasi jenis ini terbagi menjadi dua, yaitu partisipasi terbatas dan partisipasi tidak terbatas. Partisipasi terbatas hanya terjadi jika kegiatan partisipatif dilakukan dalam bidang-bidang tertentu seperti sosial, politik, dan sebagainya. Sedangkan partisipasi tidak terbatas terjadi dalam masyarakat yang terisolasi, dimana kekuatan seluruh kegiatan yang ada hanya akan berjalan atas partisipasi anggota komunitas itu sendiri.
xxviii
7) Berdasarkan Tingkat Efektivitas Partisipasi jenis ini dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi yang efektif dan partisipasi yang tidak efektif. Partisipasi yang efektif tentu kita tahu bahwa setiap bentuk kegiatan partisipasi sekecil apapun adalah bermanfaat dalam pencapaian tujuan dan keberhasilan program, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sedangkan partisipasi yang tidak efektif artinya bahwa hanya dalam jumlah kecil dari sebagian tujuan kegiatan yang tercapai. Partisipasi yang tidak efektif bersifat tidak tepat guna sehingga masyarakat pun tidak dapat memanfaatkan hasil pembangunan yang tidak maksimal. 8) Berdasarkan pada Siapa yang Terlibat Dalam partisipasi ini keterlibatan dibedakan menjadi empat, yaitu: a) Anggota masyarakat itu sendiri. b) Pegawai
pemerintah,
yang
lebih
berperan
sebagai
mediator
pembangunan. c) Orang-orang luar di luar masyarakat sasaran pembangunan. d) Wakil-wakil rakyat yang terpilih, seperti anggota DPR. 9) Berdasarkan pada Gaya Berpartisipasi. Dalam praktek organisasi masyarakat terdapat 3 model, dan setiap model mempunyai tujuan yang diraih dalam masing-masing gaya, yaitu: a) Pembangunan lokalitas, disini partisipasi dilakukan dengan melibatkan orang-orang di dalam pembangunan bagi mereka sendiri. Model ini mencoba mengintegrasikan seluruh anggota masyarakat. b) Perencanaan
sosial,
disini
pemerintah
telah
menetapkan
dan
merumuskan tujuan yang berkenaan dengan suatu pembangunan yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat agar program yang berjalan menjadi lebih efektif.
xxix
c) Aksi sosial, tujuan utama dari tipe ini adalah untuk memindahkan hubungan-hubungan kekuasaan dan pencapaian terhadap sumbersumber daya pembangunan. Koentjaraningrat berpendapat berbeda dengan Dusseldorp, menurut Koentjaraningrat (1990: 79), partisipasi rakyat terutama rakyat pedesaan terbagi menjadi 2 tipe, “(1) Partisipasi dalam aktivitas-aktivitas bersama dalam proyek-proyek pembangunan yang khusus; (2) Partisipasi sebagai individu di luar aktivitas-aktivitas bersama dalam pembangunan”. Secara umum dalam tipe yang pertama, rakyat diajak, dipersuasi, dan diperintahkan atau dipaksa oleh wakil dari departemen atau pamong desa untuk berpartisipasi dan menyumbang secara materiil maupun nonmateriil pada proyek pembangunan yang khusus, yang biasanya bersifat fisik. Proyek ini membutuhkan aktivitas bersama dari segenap masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan atau program yang menyangkut kemaslahatan orang banyak. Sedangkan pada tipe yang kedua, tidak ada proyek aktivitas bersama yang khusus, biasanya tidak bersifat fisik dan tidak memerlukan partisipasi secara paksaan dari atasan. Partisipasi ini tergantung pada kesadaran masing-masing individu karena partisipasi ini dilakukan secara individual dan manfaatnya hanya akan dapat dirasakan secara langsung oleh partisipan.
d. Cara Menumbuhkan dan Meningkatkan Partisipasi Menggerakkan partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai usaha untuk menggali dan mengerahkan daya masyarakat dalam rangka mensukseskan kegiatan atau proyek yang akan dilakukan. Partisipasi dapat terjadi karena berbagai alasan. Khairuddin (1992: 126) mengemukakan “ditinjau dari segi motivasinya, partisipasi anggota masyarakat terjadi karena: takut/ terpaksa; ikut-ikutan; dan kesadaran”. Partisipasi yang terjadi karena terpaksa, biasanya timbul karena rasa takut dengan atasan, sehingga mau tidak mau masyarakat harus melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diperintahkan. Akibat dari paksaan atau perintah yang kaku tersebut maka bisa dipastikan seseorang akan bekerja dengan tidak ikhlas dan tentu hasilnya
xxx
tidak akan baik. Dalam partisipasi ini masyarakat akan bekerja dengan semangat kerja rodi sehingga dapat menimbulkan trauma. Sedangkan partisipasi karena ikut-ikutan umumnya hanya terdorong oleh rasa solidaritas terhadap sesama, terlebih jika yang memulai adalah atasan, dorongan untuk berpartisipasi tidak datang dari hati melainkan atas dasar kebersamaan saja. Partisipasi karena ikut-ikutan menyebabkan kinerja seseorang akan asalasalan karena tidak tahu secara pasti tujuan dari kegiatan yang dilakukan. Yang terakhir adalah partisipasi yang timbul karena kesadaran, motivasi dari partisipasi ini timbul atas kehendak pribadi hati nurani. Partisipasi atas kesadaran diharapkan terjadi di kalangan masyarakat karena hanya partisipasi inilah yang akan membuahkan hasil baik. Dalam partisipasi jenis ini masyarakat sadar bahwa suatu pembangunan atau kebijakan yang dibuat adalah benar-benar memberi kemanfaatan kepada mereka. Sebelum seseorang atau masyarakat akan melibatkan diri di dalam partisipasi, maka ia harus sadar bahwa: 1) Situasi sekarang ini tidak memuaskan dan dapat atau harus diperbaiki. 2) Situasi sekarang dapat dirubah dan diperbaiki melalui kegiatan manusia. 3) Dia merasa dapat dan harus berpartisipasi dalam kegiatan yang demikian itu. 4) Dia dapat memberi sumbangan yang bermanfaat, ada rasa percaya diri (Dusseldorp, 1981 dalam Y. Slamet, 1994: 55-56). Apabila keempat hal tersebut telah disadari dan dipahami oleh seseorang maka akan timbul suatu keyakinan dari hati nuraninya bahwa partisipasi yang akan dilakukan adalah benar-benar penting sehingga nantinya masyarakat akan dapat berpartisipasi secara penuh tanggung jawab dan semangat yang tinggi. Pada tahap awal masyarakat harus memahami terlebih dahulu apa sebenarnya yang ia butuhkan. Masyarakat yang mampu berpartisipasi secara sadar dan aktif akan mempunyai kepercayaan diri bahwa keadaan yang saat ini dirasakan tidak dilihat sebagai sesuatu yang wajar tapi dapat diubah dan diperbaiki agar tercipta kehidupan yang lebih baik. Kemandirian masyarakat akan tumbuh dan meningkat jika lingkungannya
xxxi
mampu mendukung tumbuhnya kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan yang tengah dilakukan. Dengan kata lain, terwujudnya partisipasi masyarakat merupakan sebuah kata kunci bagi kemandirian masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya pembangunan yang menuju kemandirian masyarakat adalah pembangunan yang partisipatoris. Pembangunan yang partisipatoris tidak sekedar bertujuan untuk mencapai perbaikan yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, tapi juga harus mampu menjadikan masyarakat agar lebih kreatif dan inovatif. Namun pada kenyataannya tidak semua anggota masyarakat mau berpartisipasi dengan alasan yang macam-macam. Hal tersebut dapat disadari bahwa terdapat beberapa hal atau faktor yang mendorong seseorang untuk berpartisipasi. Masyarakat akan tergerak untuk berpartisipasi jika: 1) Partisipasi itu dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat yang bersangkutan. 2) Partisipasi itu memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan. 3) Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat. 4) Dalam proses partisipasi itu terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat ternyata berkurang jika mereka tidak atau kurang berperanan dalam pengambilan keputusan (Goldsmith dan Blustain dalam Taliziduhu Ndraha, 1990: 105). Selanjutnya setelah masyarakat terdorong untuk berpartisipasi maka perlu dipertahankan kadar partisipasi tersebut agar tidak berkurang dan cenderung untuk terus meningkat. Berikut beberapa cara untuk meningkatkan partisipasi: 1) Mengikutsertakan mereka secara langsung dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan; 2) Menjelaskan tentang maksud tujuan keputusan dan perencanaan yang dikeluarkan; 3) Meminta tanggapan dan saran tentang keputusan dan perencanaan yang akan dikeluarkan; 4) Meminta informasi tentang segala sesuatu dari mereka dalam usaha membuat keputusan dan perencanaan; 5) Memberikan kesempatan untuk memiliki saham; 6) Meningkatkan pendelegasian wewenang ( Alex S. Nitisemito, 1982:263)
xxxii
Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat akan tergerak dan terus meningkatkan partisipasinya apabila organisasi atau perkumpulan yang telah dikenal baik oleh masyarakat mampu mempersuasi mereka agar turut serta aktif dalam kegiatan partisipatif. Umumnya masyarakat sudah mengetahui seluk-beluk dan sisi positif-negatif dari sebuah organisasi yang mereka kenal sehingga ini akan mampu mengajak masyarakat untuk memberikan sumbangan secara sukarela. Berawal dari hal tersebut rasa saling percaya dan keterbukaan dapat tumbuh diantara kedua belah pihak. Setelah masyarakat terdorong untuk berpartisipasi perlu dikemukakan apa manfaat dari kegiatan yang akan dijalankan, disini masyarakat akan mampu mengidentifikasikan apakah proyek tersebut benar-benar memberi manfaat secara langsung dan nyata kepada masyarakat ataukah tidak. Semakin besar manfaat yang akan diperoleh, maka akan semakin besar pula keterlibatan dan partisipasi yang dilakukan. Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan hingga tahap pelaksanaan tak dapat diabaikan. Disini masyarakatlah yang bertindak sebagai pelaksana dan pengambil manfaat dari hasil pembangunan
sehingga
merupakan
tindakan
yang
bijak
untuk
mengikutsertakan masyarakat pada tahap ini. Hal tersebut akan menjamin keputusan yang diambil tidak akan keliru dan merugikan karena telah disesuaikan dengan harapan dan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Baik atau sesuai tidaknya hasil yang dicapai tergantung dari partisipasi masyarakat sejak tahap perencanaan hingga evaluasi, jika ingin hasil yang maksimal tentu saja partisipasi yang dilakukan harus dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab. e. Faktor Penghambat Partisipasi Dengan sejumlah cara untuk menggerakkan dan menumbuhkan partisipasi, tidak berarti tak ada hal yang menjadi penghambat partisipasi. Keberhasilan atau kegagalan dalam partisipasi masyarakat akan berpengaruh
xxxiii
terhadap keberhasilan program atau kebijakan yang bersangkutan. Minimnya partisipasi publik setidaknya disebabkan oleh dua faktor : 1) Seseorang atau masyarakat tidak akan antusias berpartisipasi jika partisipasi yang dilakukannya tidak banyak berpengaruh tarhadap keputusan akhir yang diambil. Hal ini terbukti dengan banyaknya orang yang tidak mau diajak berbicara atau diskusi karena mereka sudah bisa memastikan bahwa keputusan akhir tidak ada di tangan mereka tetapi pada orang-orang tertentu saja yang memiliki kekuasaan. 2) Masyarakat tidak mempunyai kepentingan khusus terhadap proyek. Masyarakat akan ikut serta pada kegiatan yang manfaatnya dapat langsung mereka rasakan. Selanjutnya Sudharto P. Hadi (1997: 101) mengungkapkan, “Setidaknya ada dua faktor penghambat untuk meningkatkan partisipasi publik Indonesia, yakni faktor sosial dan budaya”. Secara sosiologis, rendahnya tingkat pendidikan dan terbatasnya akses terhadap informasi akan mempengaruhi tingkat partisipasi. Minimnya informasi yang berkenaan dengan suatu proyek akan mempersulit masyarakat untuk membayangkan dampak positif dan negatif dari proyek tersebut. Sedangkan dari aspek budaya, walaupun tidak semuanya, tapi masih ada konsep yang dominan dari masyarakat Indonesia, yakni orientasi ke atas, baik pada pimpinan formal maupun informal. Hal ini mendorong seseorang untuk mengindari perbedaan dengan atasan dan melakukan setiap apa yang diperintahkan. Y. Slamet (1994:
176)
menambahkan,
“…kemiskinan
merupakan
hambatan
berpartisipasi. Perlu dipikirkan program-program pembangunan bagi merka yang miskin, terlantar dan tuna pendidikan”. Apabila partisipasi yang dibutuhkan berkenaan dengan kepemilikan materi, otomatis kemiskinan yang mendera seseorang atau masyarakat akan membuatnya tidak mampu ambil bagian dalam suatu kegiatan partisipatif.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah wujud keterlibatan baik secara fisik maupun psikis yang berkaitan dengan rasa tanggung
xxxiv
jawab dan kesadaran dalam suatu kegiatan pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemanfaatan hasil dan evaluasi demi mencapai kebaikan dan kesejahteraan bersama.
2. Tinjauan tentang Masyarakat a) Pengertian Masyarakat Manusia tak dapat hidup tanpa orang lain, manusia selalu terikat oleh rasa kebersamaan dengan sesamanya hingga terciptalah istilah masyarakat. “Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata latin socious, yang berarti ‘kawan’. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti ‘ikut serta, berpartisipasi” (Koentjaraningrat, 1990: 143-144). Masyarakat bukan hanya karena ada orang-orang saja, melainkan harus ada sebuah pertalian di antara orang-orang tersebut. “Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruhmempengaruhi satu sama lain”. (Hasan Shadily, 1984: 47). Perlu diperhatikan, bahwa tidak semua manusia yang bertalian atau berinteraksi dapat dikatakan sebagai masyarakat. Yang membuat suatu kesatuan manusiamanusia dapat disebut sebagai masyarakat adalah pola tingkah laku mereka yang khas, mencerminkan adat kebiasaan hidup yang mereka jalankan setiap harinya. Di dalam masyarakat, manusia yang ada di dalamnya hidup dan melakukan aktivitas mereka dalam kebersamaan dalam waktu yang relatif lama, seperti dikatakan Linton (1936: 91), “A society is any group of people who have lived and worked together long enough to get themselves organized and to think of themselves as a social unit with well-defined limits”. Masyarakat adalah setiap kelompok manusia
yang hidup dan bekerja
bersama dalam waktu yang cukup lama, sehingga mereka dapat mengorganisir diri dan sadar bahwa mereka merupakan kesatuan sosial dengan batas-batas yang jelas. Masyarakat
terbentuk
karena
naluri
manusia
yang
saling
membutuhkan. Karena dorongan itulah manusia selalu berusaha untuk
xxxv
menjalin hubungan yang baik dan bersama-sama mencapai tujuan serta memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun demikian masyarakat tidak tercipta secara mendadak dan cepat, dibutuhkan waktu yang relatif lama dengan proses yang panjang. Terbentuknya masyarakat terbagi menjadi dua proses yang fundamental, yakni: “(1) the adaptation and organization of the behavior of the component individuals and (2) the development of a group consciousness, a feelling of unity which, for lack of a better term, we will call ‘esprit de corps’ ”. (Linton, 1936: 92). Dari pendapat Linton tersebut dapat kita ketahui bahwa masyarakat terbentuk melalui adaptasi dan organisasi tingkah laku dari individu-individu yang menyatukan diri sebagai anggota masyarakat, dan berkembangnya suatu sikap kesadaran kelompok atau kesatuan perasaan emosi . Proses untuk menjadi masyarakat sangat kompleks, masing-masing individu harus mampu menyesuaikan diri serta berperilaku sesuai harapan dan ketentuan dari masyarakat. Agar mampu bertahan hidup dalam suatu masyarakat mau tidak mau individu-individu yang ada harus menekan sikap-sikap egois dan mengedepankan sikap sosial demi kepentingan umum. Walau tak dapat dipungkiri bahwa kemampuan adaptasi individu itu berbeda-beda. Saat individu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, maka saat itulah ia akan memiliki rasa kesadaran berkelompok yang memunculkan ikatan emosi diantara mereka dan akan menjadi sebuah perekat sosial.
b) Ciri-ciri Masyarakat Masyarakat memang sekumpulan manusia yang saling bergaul, namun tidak semua pergaulan atau kumpulan mansuia dapat disebut sebagai masyarakat. Masyarakat memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan kumpulan manusia lainnya. Ciri-ciri pokok masyarakat yaitu: 1) Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi, secara teoretis, angka minimumnya ada dua orang yang hidup bersama. 2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati, seperti kursi, xxxvi
meja, dan sebagainya, karena berkumpulnya manusia akan timbul manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti; mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan timbullah peraturanperaturan yang mengatur hubungan antarmanusia dalam kelompok tersebut. 3) Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan. 4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena itu setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya (Soerjono Soekanto, 2007: 22). Terciptanya masyarakat adalah ditandai dengan kehidupan bersama bagi manusia, namun idealnya yang disebut bersama adalah lebih dari satu orang. Satu orang saja akan kesulitan dalam melakukan aktivitas-aktivitas dalam memenuhi kebutuhan hidup. Manusia sebagai makhluk sosial mutlak memerlukan keberadaan orang lain demi menjamin kelangsungan hidupnya. Kebersamaan hidup beberapa manusia ini membutuhkan proses dalam perkembangannya sehingga manusia-manusia yang ada sebagai anggota masyarakat ini merupakan manusia yang telah bercampur dan hidup bersama untuk waktu yang cukup lama. Hal tersebut terdorong pula oleh adanya rasa kesalingtergantungan diantara anggota masyarakat. Selama masih ada rasa ketergantungan itu, masyarakat akan berada dalam keadaan yang stabil. Oleh karena itu ketergantungan antaranggota masyarakat perlu dijaga, dan selama itulah masyarakat akan hidup. Sebagaimana yang dikatakan ahli, “masyarakat tidak pernah ada sebagai seesuatu benda objektif terlepas dari anggotaanggotanya. Kenyataan itu terdiri dari kenyataan proses interaksi timbal balik” (Doyle Paul Johnson, 1988: 257). Dalam proses interaksi, manusia akan saling memberi dan menerima dari sesama anggota masyarakat. Manusia hanya akan menjadi sempurna bila ia berada dalam suatu kelompok atau masyarakat. Dalam masyarakat manusia dapat berkomunikasi menggunakan bahasa, menciptakan adat-adat hidup bersama dan hidup sebagai makhluk sosial yang seutuhnya. Masyarakat beserta kebudayaannya yang dihasilkan dan dimiliki membedakannya dengan makhluk lain seperti hewan. Manusia dan
xxxvii
masyarakat itu saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan, sebagaimana yang dikatakan ahli, “…di mana ada manusia di sana ada masyarakat sebaliknya” (Hassan Shadily: 1984: 59).
c) Unsur-unsur Masyarakat Masyarakat memiliki kriteria-kriteria tertentu sebagai pembeda dengan kesatuan manusia lainnya. “Masyarakat ialah suatu sistem swasembada (self-subsistent), melebihi masa hidup individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya” (Parsons dalam Kamanto Sunarto, 2004: 54). Keberlangsungan hidup suatu masyarakat sangat tergantung oleh individuindividu yang ada di dalamnya, segala dinamika kehidupan dalam masyarakat timbul dari dalam masyarakat dan hanya dapat diselesaikan oleh masyarakat itu sendiri, tergantung bagaimana anggota masyarakat yang ada menyikapi dan mengambil tindakan atas suatu permasalahan yang muncul. Masyarakat akan tetap ada selama ada manusia, masyarakat adalah abadi. Saat individuindividu dalam masyarakat itu mati, masyarakat tidak akan ikut mati karena akan muncul dan lahirlah manusia-manusia baru dari hasil interaksi manusia sebelumnya. Agar masyarakat dapat terus hidup dan berjalan diperlukan adanya sosialisasi nilai-nilai, norma, dan adat budaya terhadap anggota masyarakat yang baru, namun dalam perjalanannya masyarakat tidak akan terhindar dari perubahan-perubahan sosial karena itu merupakan suatu keniscayaan. Masyarakat muncul karena terdapat beberapa dasar yang menjadi landasannya, yaitu karena terwujudnya kombinasi dari unsur-unsur yang berbeda. Unsur-unsur itu adalah, “an aggregate of individuals, an organized system of patterns by which the interrelations and activities of these individuals are controlled, and the ’esprit de corps’ which provides ‘motive power’ for the expression of these patterns”. (Linton, 1936: 107). Jadi masyarakat terbentuk dari : 1) Kelompok (kumpulan) individu-individu yang hidup bersama.
xxxviii
2) Suatu sistem pola yang terorganisir dan mengatur berjalannya hubungan dan aktivitas dari individu-individu tersebut. 3) Kesatuan emosi (psikologis) yang memberikan motif-motif dalam usaha mewujudkan dan melaksanakan pola-pola tersebut. Modal utama masyarakat adalah adanya individu, dimana individuindividu itu selanjutnya secara naluriah mengadakan hubungan komunikasi sehingga menjadi atau timbullah kelompok-kelompok sosial. Sebagaimana yang dikatakan ahli, “Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut”. (Horton dan Hunt, 1999: 59). Kemudian dalam perkembangannya kelompok-kelompok manusia akan berhubungan dengan kelompok lainnya, inilah awal mula terciptanya masyarakat yang pada dasarnya terdiri dari dari berbagai kelompok sosial. Masyarakat merupakan suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Salah satu hal penting bagi berjalannya kehidupan masyarakat yang selaras adalah bahwa kepentingan-kepentingan perorangan/ individu itu mampu diorganisir dan mengatur sikap-sikap sosial terhadap orang lain. Setidaknya tiap anggota masyarakat itu sadar bahwa ada anggota masyarakat yang lain sehingga mau tidak mau ia harus memperhatikan keberadaan orang lain itu. Dari sini akan muncul kebudayaan yang mengandung sistem nilai dan norma yang terorganisasi dan kemudian dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat tersebut dan generasi berikutnya. Namun untuk menciptakan masyarakat yang sadar akan dirinya, dibutuhkan kemampuan suatu kerjasama para anggotannya. Dalam kerjasama terjadilah kesatuan emosional dan psikis anggota masyarakat yang selanjutnya akan membangkitkan reaksi-reaksi emosional dari individu lain dan pada akhirnya membuat individu-individu tersebut rela mengorbankan kepentingannya demi kepentingan umum.
xxxix
d) Penggolongan Masyarakat Pembagian
masyarakat terdapat banyak macam/ bentuknya,
beberapa di antaranya yaitu pembagian masyarakat berdasarkan cara terbentuknya, yaitu: “ masyarakat paksaan dan masyarakat merdeka” (Hassan Shadilly, 1984: 50). Masyarakat paksaan merupakan masyarakat yang terbentuk karena keadaan yang memaksa atau mendesak, bukan karena keinginan dan kesadaran anggota masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, masyarakat tawanan atau masyarakat pelarian. Sedangkan masyarakat merdeka terjadi dengan sendirinya secara bebas tanpa tekanan dan paksaan. Masyarakat merdeka terbagi menjadi dua, yaitu masyarakat alam dan masyarakat budidaya. Masyarakat alam adalah masyarakat yang terjadi dengan sendirinya, umumnya memiliki kebudayaan yang masih sederhana sekali. Contohnya suku-suku atau masyarakat yang bertalian karena hubungan darah/ keturunan. Yang kedua adalah masyarakat budidaya, yaitu masyarakat yang sengaja dibentuk karena kepentingan-kepentingan keduniawian atau kepercayaan, contohnya persekutuan bidang ekonomi, politik, perkumpulan gereja, dsb. Selain itu masyarakat juga dapat dibagi berdasarkan sifatnya, yaitu “ gemeinschaft dan gesselschaft ” (Hassan Shadily, 1984: 17). Yang pertama adalah gemeinschaft (paguyuban), ciri utamanya adalah hubungan di antara anggotanya yang erat. Model masyarakat ini dapat kita jumpai pada masyarakat desa yang mempunyai ikatan darah dan persaudaraan yang kuat, dimana anggota-anggotanya lebih saling mengenal, kerjasamanya didasarkan pada semangat gotong royong (tanpa mengharapkan upah). Pertalian yang erat dan kekal tersebut menimbulkan adanya perasaan satu yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan bersama dan apabila dipelihara dalam waktu yang lama akan menjadi adat budaya. Sedangkan gesselschaft adalah kebalikannya. Anggota-anggota masyarakatnya bersifat sebagai orang luar (individualistis). Masing-masing anggota bekerja dan bertingkah laku atas dasar dan untuk kepentingan diri pribadi. Kerjasama yang dilakukan lebih didasarkan pada keuntungan yang diperoleh.
xl
Namun ada pula yang membagi masyarakat menurut wilayahnya, yaitu masyarakat desa dan kota. Berikut penjelasannya: 1) Masyarakat Desa Desa merupakan
suatu
kesatuan
hukum
dimana disana
menetaplah suatu masyarakat kecil yang mempunyai pemerintahan sendiri, biasanya terdiri dari pedukuhan. Masyarakat yang mendiami wilayah desa disebut sebagai masyarakat desa. Masyarakat desa memiliki ciri-ciri yang khas, yaitu: a) Jumlahnya kecil, dengan tempat tinggal yang terpencil, jauh dari keramaian kota. b) Relatif bersifat homogen dengan rasa persatuan yang kuat. c) Memiliki sistem sosial yang teratur dengan perilaku tradisionalnya. d) Rasa persaudaraan yang sangat kuat. e) Taat pada ajaran-ajaran agama dan menurut kepada pemuka masyarakat.(Darsono Wisadirana, 2004: 49). Wilayah pedesaan umumnya terpisah dari wilayah perkotaan dengan adanya masyarakat semi pinggiran diantara keduanya. Wilayah suatu pedesaan, lebih besar dari jumlah warga yang menempatinya, hal ini dapat kita lihat di desa masih banyak lahan, tanah kosong atau pekarangan rumah yang luas. Masyarakat desa dalam hal mata pencaharian, nilai-nilai kebudayaan serta sikap dan tingkah lakunya cenderung bersifat homogen, sehingga hubungan antaranggota masyarakat terjalin dengan kuat, sebagaimana yang dikatakan ahli, “warga pedesaan, suatu masyarakat mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya” (Soerjono Soekanto, 2007: 136). Di pedesaan, jarang ditemukan keluarga inti, yaitu keluarga dengan suami, istri dan anak-anak mereka. Pada umumnya di dalam suatu rumah atau keluarga, didiami oleh suami, istri dan anak-anak mereka, ditambah beberapa saudara seperti orang tua (kakek-nenek), adik, atau keponakan. ”Keluarga yang sering diketemukan di pedesaan terutama di Jawa adalah keluarga luas atau Extended family...”.(Darsono Wisadirana, 2004: 55). Kehidupan masyarakat desa umumnya ditandai
xli
oleh derajat pergaulan dengan intensitas tinggi. Tradisi dan adat-istiadat pada masyarakat dilestarikan secara turun temurun. Melalui tradisi dan adat ini pulalah yang menjadi perekat sosial, karena tradisi masyarakat desa selalu dilakukan secara kolektif dengan semangat kebersamaan yang tinggi. Hal tersebut terlihat dalam kegiatan gotong royong, yaitu “aktivitas bekerja
sama
antara
sejumlah
besar
warga-warga
desa
untuk
menyelesaikan suatu proyek tertentu yang dianggap berguna bagi kepentingan umum”.(Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo, 1992: 34). Kegiatan gotong royong dilakukan dalam kegiatan yang berasal dari inisiatif warga sendiri ataupun kegiatan yang diinstruksikan dari atas. Masyarakat pedesaan mempunyai rasa hormat dan menghargai lingkungan alam sekitar, dimana mereka hidup dan tinggal. Hal inilah yang membuat masyarakat desa sangat dekat dengan alam dan lingkungannya. Tradisi masyarakat desa masih berhubungan erat dengan kepercayaan pada hal-hal mistis yang menguasai alam, seperti adanya rohroh nenek moyang yang menjadi penunggu sebuah pohon, batu besar, dan ataupun sungai-sungai dan gunung. Selain itu, penduduk masyarakat desa pada umumnya bekerja di bidang pertanian, baik sebagai petani pemilik, petani penggarap, maupun sebagai buruh tani dengan usaha sampingan memelihara ternak, namun demikian, beberapa ada yang bekerja di luar bidang tersebut. Hampir di seluruh aspek kehidupan masyarakat desa terdapat sistem adat-istiadat yang dijadikan pedoman. Di samping kuat dalam memegang norma dan adat-istiadat, penduduk desa mempunyai psikologi pemikiran yang cukup konservatif, sehingga terkadang hal tersebut justru membuat perkembangan kesejahteraan dan pembangunan (modernisasi) berjalan lambat karena adanya sifat prasangka. Segala sesuatu yang akan dilakukan oleh masyarakat desa akan selalu dimintakan nasehat dari orang tua. Orang-orang tua memegang peranan yang penting, semua itu berprinsip pada adat-istiadat pula. Masyarakat desa beranggapan bahwa golongan orang-orang tua akan mempunyai solusi atau pemecahan masalah yang bercermin pada tradisi. Pelapisan sosial yang ada pada
xlii
masyarakat desa umumnya ditentukan oleh ekonomi (kepemilikan tanah), kesolehan dalam agama, dan keturunan. 2) Masyarakat Kota Kota seringkali dijadikan sebagai pembanding atau antonim dari desa, namun keduanya saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain dalam menjamin kelangsungan kehidupan di bidang sosial ataupun ekonomi. “Kota merupakan tempat yang relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya”. (Jefta Leibo, 1990: 13). Kota memang lebih padat daripada desa, keadaan geografis (teritorialnya) sangat terbatas untuk ukuran banyaknya penduduk yang menempatinya, hal ini disebabkan kota merupakan tempat tujuan urbanisasi bagi mereka penduduk dari desa yang tertarik dengan kehidupan kota yang disebut sebagai pusat peradaban. Maka dari itu kota merupakan wilayah yang heterogen dalam banyak hal, mulai dari aspek sosial, ekonomi, budaya hingga agamanya. Kenyataan itu justru membuat hubungan-hubungan sosial di antara warga kota menjadi longgar, acuh, dan impersonal. Masyarakat yang mendiami wilayah kota disebut sebagai masyarakat kota. Para warganya menempati sebuah lingkungan buatan, di mana sistem teknologi membantu segala segi kehidupan di kota, sehingga perubahan sosial di kota lebih cepat terjadi daripada di desa. “Kelestarian kota antara lain bergantung pada transportasi intra urbannya”. (N. Daldjoeni, 1997: 25). Sistem teknologi (termasuk komunikasi) dan transportasi yang mengkonstruksi kota merupakan hal yang pokok dalam menunjang kehidupan di kota, yang berfungsi untuk melayani kebutuhan penduduknya. Dapat dipastikan, apabila teknologi dan transportasi tersebut mengalami kemacetan, maka kehidupan kota akan ikut macet pula. Kehidupan kota berjalan atas adanya dua hal tersebut, karenanya tingkat mobilitas di kota sangat tinggi, baik mobilitas status sosial ataupun mobilitas demografi.
xliii
Kehidupan kota terlihat menyenangkan karena tersedianya seluruh fasilitas, mulai dari fasilitas pendidikan, hiburan, kesehatan, hingga pekerjaan, namun demikian, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan
kecanggihan
teknologi,
membuat
masyarakat
kota
dilanda
sekularisasi, yaitu “suatu proses di mana bidang-bidang hidup dan berfikir (sic) tercabut dari pengawasan agama dan filsafat”. (N. Daldjoeni, 1997: 20). Agama memainkan peranan yang sangat penting pada masyarakat tradisional, tapi tidak begitu dengan masyarakat kota yang mempunyai pola pikir rasional, yang didasarkan pada penghitungan eksak, yang dihubungkan dengan realita kehidupan. Sehingga ada kecenderungan pada masyarakat kota untuk melepaskan unsur emosional religiusnya. “Dalam masyarakat kota kebutuhan primer dihubungkan dengan status sosial dan gaya hidup masa kini sebagai manusia modern” (Munandar Soelaeman, 2006: 132). Kehidupan masyarakat kota selalu berorientasi pada rasio dan hal-hal yang bersifat meterialis, yang memandang pemenuhan kebutuhan hidup berdasarkan atas pandangan masyarakat atau orang lain di sekitarnya atau “…sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan sosial”, (Soerjono Soekanto, 2007: 138). Masyarakat kota memiliki sistem pelapisan sosial yang lebih kompleks dibandingkan masyarakat desa. Kesenjangan sosial antarkelas di masyarakat kota terlihat sangat ekstrim.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang mendiami suatu wilayah tertentu, dimana setiap anggotanya melakukan interaksi yang timbal balik dan memiliki nilai, norma dan adat istiadat yang dipatuhi bersama dan kemudian dijadikan sebagai pedoman hidup.
3. Tinjauan tentang Persepsi a. Pengertian Persepsi Persepsi adalah “bagaimana kita melihat dunia di sekitar kita”. Persepsi timbul setelah seseorang melihat, mendengar, mengalami, atau
xliv
merasakan sesuatu. “ Persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses, dengan
mana
seseorang
menyeleksi,
mengorganisasikan,
dan
menginterpretasi stimuli ke dalam suatu gambaran dunia yang berarti dan menyeluruh” (Bilson Simamora, 2004: 102). Stimuli yang dimaksud adalah setiap input yang dapat ditangkap oleh indera. Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Pendapat senada dikemukakan oleh Miftah Thoha (1994: 138), ” persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman”. Kunci utama dalam memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukan suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Oleh karenanya setiap orang mempunyai penilaian dan persepsi yang berbeda-beda. Berdasarkan pendapat di atas, dapat kita pahami bahwa persepsi setiap orang itu berbeda untuk objek yang sama. Dua orang dalam kondisi motivasi dan tujuan situasi yang sama mungkin akan bertindak berbeda karena persepsi mereka terhadap situasi yang ada berbeda. Perbedaan tersebut dipengaruhi
oleh
informasi
yang
ditangkap,
diperhatikan,
diingat,
diinterpretasikan, dan tergantung pada kebutuhan, nilai-nilai, harapan, dan keyakinan pada masing-masing orang. Perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh persepsi terhadap suatu situasi. Sebagaimana yang dikatakan ahli, “persepsi melandasi sikap dan perilaku” (Monty P. Satiadarma, 2001: 49). Bila kita mempersepsikan bahwa seseorang itu baik, maka kita akan bersikap baik kepada orang itu, selanjutnya perilaku kita terhadap orang tersebut akan baik pula, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu bagaimana persepsi kita terhadap suatu objek akan berpengaruh secara langsung terhadap cara kita memandang dan menilai objek tersebut. Dalam hal persepsi mengenai seseorang atau orang lain dan untuk memahami orang lain, persepsi itu dinamakan persepsi sosial. Persepsi sosial sangat tergantung pada komunikasi. Bagaimana persepsi kita tentang orang
xlv
lain sangat tergantung pada komunikasi yang terjadi diantara keduanya. Komunikasi disini mencakup komunikasi verbal maupun nonverbal. Selain itu persepsi sifatnya sangat tergantung pada subjek yang melakukan persepsi tersebut. Persepsi menghasilkan suatu gambaran tentang kenyataan dan tak jarang persepsi tersebut sangat jauh berbeda dari kenyataan yang sebenarnya.
b. Syarat Persepsi Seorang individu tidak begitu saja dapat mempersepsikan segala sesuatu yang ditangkap oleh indera mereka. Persepsi merupakan sebuah “proses dimana individu memilih, merumuskan, menafsirkan masukan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang berarti mengenai dunia” (Kotler dan Amstrong dalam Bilson Simamora, 2003: 10). Banyak sekali stimulus yang dapat merangsang kita untuk melakukan persepsi, namun tidak semua dapat kita persepsikan, stimulus-stimulus tersebut masih harus melalui proses pemilihan di dalam peta kognisi kita kemudian terciptalah suatu persepsi mengenai suatu hal. Agar individu dapat menyadari dan melakukan persepsi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, Bimo Walgito (1997: 54) mengemukakan adanya tiga syarat, yaitu “(1) Objek yang dipersepsi (2) Alat indera/ reseptor (3) Adanya perhatian”. Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Adanya Objek yang Dipersepsi Objek merupakan modal utama dalam melakukan persepsi, orang tidak akan dapat mempersepsikan sesuatu tanpa ada objek yang akan dipersepsi. Objek yang dimaksud disini adalah segala sesuatu yang mampu ditangkap oleh panca indera kita. Objek akan menimbulkan stimulus bagi alat indera atau reseptor, stimulus dapat berasal dari luar yang langsung mengenai alat indera, atau juga berasal dari dalam yang langsung mengenai syaraf penerima. 2) Adanya Alat Indera/ Reseptor Alat indera atau reseptor ini merupaka alat yang berfungsi untuk menerima stimulus yang datang dari luar. Di samping itu diperlukan pula
xlvi
syaraf sensoris yang selanjutnya berfungsi sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima oleh reseptor menuju ke pusat susunan syaraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Dan sebagai alat untuk mengadakan respons atas stimulus yang diperoleh diperlukan adanya syaraf motoris. 3) Adanya Perhatian Perhatian ini dipelukan untuk mengadakan persepsi yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan. Tanpa perhatian tidak akan terjadi persepsi. Dari sekian banyak hal yang ada di sekitar kita, perhatian kita hanya akan tertuju pada hal-hal yang menarik saja, dan itulah yang akan kita persepsikan. Bila kita tidak memperhatikan apapun, maka kita tidak akan melakukan persepsi terhadap apapun juga. Ketiga hal tersebut merupakan syarat utama dan ketiganya harus ada bila kita hendak melakukan persepsi, persepsi tidak dapat terjadi dengan meninggalkan salah satunya, keberadaan alat indera dan perhatian tak ada gunanya tanpa ada objek, dan begitu seterusnya.
c. Proses Persepsi Orang dapat memberikan persepsi yang berbeda terhadap realitas yang sama. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya proses dalam persepsi, yaitu “perhatian yang selektif, gangguan yang selektif, dan mengingat yang selektif”, (Bilson Simamora, 2003: 10). Umumnya orang dihadapkan pada rangsangan (stimulus) yang banyak setiap harinya, hal ini tentu saja membuat tidak semua rangsangan dapat diterima. Hanya rangsangan yang bersifat unik dan menonjollah yang menjadi pusat perhatian seseorang. Selanjutnya rangsangan yang diperhatikan pun terkadang tidak seperti yang diharapkan. Setiap orang berusaha untuk menyesuaikan informasi atau rangsangan yang masuk dengan pandangan pribadinya. Dalam gangguan yang selektif, orang mempunyai kecenderungan menafsirkan informasi yang lebih mendukung daripada menentang konsepsi yang telah dimilikinya. Selain itu persepsi orang berbeda untuk realitas yang sama juga dipengaruhi
oleh
tiga
hal,
yaitu
xlvii
“perceptual
selection,
perceptual
organization, dan perceptual interpretation” (Bilson Simamora, 2004: 105). Pendapat tersebut dapat dijabarkan sebagai berkut: 1) Perceptual Selection Kapasitas otak kita terbatas, sehingga tidak mungkin semua stimulus dapat tertampung. Secara alamiah, otak kita menggerakkan pancaindera agar menyeleksi stimulus untuk diperhatikan. Maka dari itu, kita sering 'mendengar tetapi tidak memperhatikan'. Stimuli yang terpilih tergantung pada dua faktor, yaitu faktor personal dan faktor stimuli itu sendiri. Faktor personal adalah faktor yang berkaitan dengan kondisi individu pelaku persepsi, yaitu berupa pengalaman dan kebutuhan. Sedangkan faktor stimulus, orang akan memberi perhatian yang lebih pada stimulus yang lain dari pada lainnya. 2) Perceptual Organization Manusia cenderung membuat keteraturan untuk hal-hal yang tidak teratur. Stumulus yang banyak yang datang dari lingkungan tidak diserap begitu saja. Setiap orang melakukan pengorganisasian terhadap stimulus tersebut. “Adapun pengorganisasian stimulus dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu hubungan figur dan latar belakang (figure and background relationship), pengelompokkan (grouping), dan penyelesaian (closure)” ( Bilson Simamora, 2004: 108). 3) Perceptual Interpretation Interpretasi adalah proses memberikan arti kepada stimulus sensoris. Interpretasi tergantung pada harapan bagaimana seharusnya stimulus itu. Pada saat stimulus membingungkan, cara seseorang dalam menginterpretasikannya adalah cenderung disesuaikan dengan kebutuhan, keinginan, minat, dan lain-lain.
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Persepsi timbul karena dipengaruhi oleh beberapa hal, sebagaimana yang dikatakan ahli, “persepsi timbul karena adanya dua faktor, baik internal maupun eksternal” (Miftah Thoha, 1994: 135). Faktor internal merupakan
xlviii
segala sesuatu yang ada pada diri seseorang yang dapat mempengaruhi persepsinya, diantaranya tergantung pada proses pemahaman sesuatu termasuk di dalamnya sistem nilai, tujuan, dan kepercayaan. Faktor internal yang berinteraksi dengan stimulus dan lingkungan akan membentuk suatu persepsi. Misalnya seorang guru vokal dengan seorang pelajar yang samasama sedang menonton pertunjukan menyanyi. Menurut si pelajar suara penyanyi tersebut sangat bagus, sedangkan si guru vokal menganggap suara si penyanyi biasa saja, tidak ada yang istimewa. Perbedaan persepsi seperti ini sangat wajar dan merupakan persepsi yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan yang dimiliki orang yang melakukan persepsi. Sedangkan faktor eksternal berupa stimulus dan lingkungan. Persepsi itu tidak datang dengan tiba-tiba tanpa adanya sesuatu yang merangsangnya. Kondisi lingkungan seseoranglah yang memunculkan stimulus atau rangsangan dan kemudian menimbulkan persepsi. Kondisi internal seseorang dapat diperoleh melalui proses belajar, pengalaman, informasi, perasaan dan pemikiran. Perbedaana persepsi antara seseorang dengan orang lain mengenai objek yang sama lebih dikarenakan oleh faktor internal.
Jadi persepsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebuah gambaran seseorang mengenai suatu objek yang ditangkap oleh indera melalui proses pemilihan dan penafsiran informasi atau stimulus, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam maupun dari luar diri pelaku persepsi.
4. Tinjauan tentang Keluarga Berencana a. Pengertian Keluarga Berencana Program Keluarga Berencana merupakan suatu program kebijakan pemerintah yang dilakukan dalam rangka menyikapi perkembangan pertambahan penduduk yang tidak terkendali. Program KB ini adalah program yang dijalankan dengan harapan akan mampu mengendalikan angka kelahiran dan mengatur jarak kehamilan seorang ibu yang nantinya akan berpengaruh positif terhadap masalah-masalah sosial yang dapat timbul
xlix
karena banyaknya jumlah penduduk dengan kualitas yang rendah. “Keluarga berencana (KB) artinya mengatur jumlah anak sesuai kehendak, dan menentukan
sendiri
kapan
ingin
hamil”
(http://situs.kesrepro.info/kb?referensi.htm, 30 Januari 2010: 12.48). Seperti terdapat dalam UU RI No 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, secara umum KB adalah upaya untuk mengatur kelahiran anak, jarak kelahiran, usia ideal melahirkan serta mengatur kehamilan. KB ini dilakukan melalui kegiatan promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi pasangan usia subur untuk dapat mewujudkan keluarga yang berkualitas. KB adalah daya dan upaya manusia untuk mengatur atau membatasi kelahiran, baik untuk sementara atau untuk selamanya. Upaya-upaya dalam KB ini dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan jumlah anak yang tidak banyak serta jarak kelahiran yang ideal tentu akan membuat kehidupan keluarga mampu menciptakan manusiamanusia yang berkualitas. Usia ideal untuk perkawinan yang diharapkan dilakukan oleh masyarakat bertujuan agar masyarakat mempunyai cukup kesadaran dan kesiapan yang matang dalam perilalkunya sehingga akan mampu pula berpikir secara tepat mengenai masa depan keluarga yang dibangun, meliputi jumlah anak dan jarak kelahiran yang ideal.
b. Tujuan KB Program KB mempunyai maksud dan tujuan, yang secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan program KB adalah untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, bangsa dan negara dengan cara menurunkan angka kelahiran. Dalam dalam UU No. 52 Tahun 2009 pasal 21 ayat 2 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, disebutkan bahwa kebijakan program KB bertujuan untuk: 1) Mengatur kehamilan yang diinginkan. 2) Menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak.
l
3) Meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. 4) Meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktek KB, dan 5) Mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan kehamilan (http://www.scribd.com/doc/22637790/UU-No-52-Tahun2009-Perkembangan-Kependudukan-dan-Pembangunan-Keluarga, 30 Januari 2010, 12:28). Melalui KB seorang ibu akan mampu mengatur waktu yang tepat kapan ingin hamil, dengan begitu akan dapat mengurus anaknya dengan baik. Selain itu antara kehamilan pertama dengan kehamilan selanjutnya, ibu akan dapat memulihkan kondisi pascamelahirkan dan memberikan ASI yang merupakan makanan pertama dan utama bagi bayi yang baru dilahirkan, dan diharapkan kondisi kesehatan ibu dan bayi akan meningkat sehingga dimungkinkan dapat menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Dengan menjarangkan kehamilan seorang ibu perlu didukung pula oleh partisipasi pria dalam ber-KB, tidak hanya terkonsentrasi pada perempuan. Oleh karena itu diperlukan adanya kemudahan akses informasi dan pelayanan KB ke seluruh warga masyarakat agar pengetahuan masyarakat mengenai KB meningkat dan akhirnya keikutsertaan masyarakat meningkat pula. Misi
program
KB
sangat
menghormati
hak-hak
reproduksi,
menekankan sebagai
pentingnya
upaya
integral
upaya dalam
meningkatkan kualitas keluarga. Hal tersebut dijabarkan ke dalam misi program KB, yaitu: 1) Memberdayakan masyarakat untuk membangun keluarga kecil berkualitas. 2) Menggalang kemitraan dalam meningkatkan kesejahteraan, kemandirian, dan ketahanan keluarga. 3) Meningkatkan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. 4) Meningkatkan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hakhak reproduksi. 5) Meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan jender melalui program KB, dan 6) Mempersiapkan Sumber Daya Manusia berkualitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai dengan lanjut usia (Abdul Bari Saifuddin,, 2003: v).
li
Secara umum misi program KB adalah mengupayakan agar masyarakat secara sadar membentuk keluarga kecil yang berkualitas, bahagia, dan sejahtera yang akan menjadi penentu masa depan kehidupan masyarakat melalui anak-anak yang dilahirkannya. Dalam pelaksanaannya, program KB nasional mempunyai target tiga dimensi, yaitu “perluasan jangkauan… , pembinaan… , dan pelembagaan-pembudayaan”. (BKKBN,1985: 3). Ketiga hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Perluasan jangkauan, yang meliputi usaha untuk mengajak para peserta KB baru sebanyak-banyaknya sehingga akan mempunyai arti positif dalam pengendalian kelahiran. Pada dimensi ini dikembangkan pula institusiinstitusi baru, atau meningkatkan yang telah ada, dan mengajaknya untuk ikut serta menjadi penanggung jawab program KB sebaik-baiknya. Sehingga dengan demikian akan dapat segera dicapai pemerataan program secara memadai. 2) Pembinaan, yang meliputi usaha untuk membangun kesadaran masyarakat agar lebih memantapkan penerimaan ide KB maupun keikutsertaan dalam pengelolaan program Keluarga Berencana. 3) Pelembagaan-pembudayaan, yang meliputi usaha untuk meningkatkan diterimanya Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera secara membudaya. Disini termasuk pula usaha untuk meningkatkan peranan masyarakat dan petugas pemerintah dalam ikut serta menggarap program KB dan kependudukan serta pembangunan lainnya yang mendukung diterimanya Melalui program KB diharapkan masyarakat dapat lebih terjamin dan sejahtera kehidupannya. Hal ini akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan oleh keluarga tersebut. Orang tua akan lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, tempat tinggal dan terutama pendidikan jika anaknya tidak terlalu banyak. Thomas Robert Malthus mengemukakan
pendapatnya
tentang
hubungan
antara
pertambahan
penduduk dengan persediaan pangan. “Malthus berpendapat bahwa jika tidak ada pengekangan, kecenderungan pertambahan jumlah manusia akan lebih
lii
cepat dari pertambahan pangan” (Said Rusli, 1994: 4).
Perkembangan
penduduk akan mengikuti deret ukur sedangkan perkembangan pangan mengikuti deret hitung. Teori dari Malthus ini memberi gambaran betapa menderitanya kehidupan manusia di dunia ini jika jumlah manusia tak terkendali. Untuk itu diperlukan adanya program KB sebagai pengendali kelahiran yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan keluarga, bangsa dan negara dengan menurunkan angka kelahiran.
c. Metode Kontrasepsi Pelaksanaan program KB diperlukan kesadaran dan kemauan dari masyarakat. Dan tugas pemerintah adalah mendorong serta mensosialisasikan semua hal mengenai KB. KB sendiri dilakukan dengan metode kontrasepsi, yakni metode yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pembuahan yang akan menyebabkan terjadinya sebuah kehidupan baru (kehamilan). Metode kontrasepsi terbagi menjadi metode ”mekanik dan kimiawi...juga meliputi cara-cara alami dan sterilisasi”. (Lucas, McDonald, Young & Young, 1984: 62). 1) Cara alamiah a) Senggama terputus, metode ini merupakan metode KB tradisional, dimana pria mengeluarkan alat kelaminnya dari vagina sebelum pria ejakulasi sehingga sperma tidak masuk ke dalam vagina dan kehamilan dapat dicegah. b) Pantang berkala, metode ini dilakukan dengan cara menghindari hubungan suami-istri selama masa subur si istri. Hal ini berangkat dari pengetahuan siklus masa haid istri. c) Puasa penuh (Abstinence), hal ini adalah tidak sama sekali melakukan hubungan suami-istri. Metode ini 100% efektif mencegah kehamilan. 2) Mengunakan alat bantu a) Pil, merupakan kombinasi dari hormon-hormon sintetis. Pil mencegah indung telur untuk melapas sel-sel telur. Pil diminum oleh perempuan satu kali sehari selama 21 hari berturut-turut setiap bulan, dimulai lima
liii
hari setelah masa haid. Keragaman dari 21 pil akan menyebabkan bahaya bila diminum saat hamil. b) Suntik, cara suntik merupakan penyuntikan kombinasi beberapa ramuan komposisi obat-obatan yang dilakukan oleh petugas medis kepada perempuan. Jarak antara suntikan pertama dengan suntikan berikutnya biasanya 12 minggu. c) Kondom, alat ini merupakan sebuah kantong yang terbuat dari karet tipis, vinil atau bahan alami (produksi hewani) yang penggunaannya dipasang pada alat kelamin pria sebelum melakukan hubungan suamiistri. Kondom mencegah sperma masuk ke dalam vagina. Kondom hanya bisa dipakai satu kali lalu dibuang. d) Intra Uterine Device (IUD) atau spiral, alat ini kecil dan terbuat dari plastik stainless steel. Alat ini dimasukkan ke dalam rahim wanita oleh seorang dokter yang terlatih dan meninggalkannya di sana tanpa batas waktu tertentu. Umumnya alat ini mampu mencegah kehamilan hingga 5 tahun. e) Implan, dalam metode ini dilakukan penanaman suatu batang / silinder yang panjangnya tak lebih dari 4 cm dan berdiameter 2 mm. Susuk terbuat sari silastik atau batang putih lentur yang diisi dengan obatobatan yang mencegah kehamilan. Alat ini ditanam di lengan bagian dalam dan dapat bekerja hingga 5 tahun. f) Diafragma, adalah kap berbentuk bulat cembung seperti mangkuk kecil, terbuat dari lateks (karet) yang diinsersikan ke dalam vagina sebelum berhubungan suami-istri dan menutup serviks. Alat ini mencegah sperma agar tidak dapat mencapai saluran alat reproduksi bagian atas. g) Penyemprotan, dilakukan dengan menyemprot vagina dengan suatu larutan kimia langsung, gunanya adalah untuk membunuh atau menghanyutkan sperma. h) Spermisida, spermisida adalah bahan kimia (biasanya non oksinol-9), digunakan untuk menonaktifkan atau membunuh sperma. Spermisida dikemas dalam bentuk aerosol (busa); tablet vaginal, suppositoria, atau
liv
dissolvable film; dan krim. Spermisida ini menyebabkan sel membran sperma terpecah, memperlambat pergerakan sperma, dan menurunkan kemampuan pembuahan sel telur. i) Sterilisasi, sterilisasi adalah suatu bentuk pencegahan kehamilan dengan cara operasi yang dilakukan oleh dokter dengan cara mengikat saluran indung telur agar pertemuan antara sel telur dengan sperma tidak membuahkan kehamilan. Sterilisasi pada wanita dinamakan tubektomi. Sedangkan sterilisasi bagi pria dinamakan vasektomi, yaitu dengan cara pengikatan saluran air mani, sehingga air mani yang keluar itu tidak mengandung sperma.
Jadi dapat disimpulkan bahwa KB adalah upaya yang dilakukan oleh masyarakat secara sadar dalam mengurangi angka kelahiran dengan tindakantindakan pencegahan dan pembatasan kehamilan, serta pengaturan jarak melahirkan.
5. Tinjauan Tentang Partisipasi Masyarakat dalam Mengikuti Program Keluarga Berencana Program kebijakan KB dicetuskan oleh pemerintah atas keprihatinan yang timbul karena laju pertumbuhan dan jumlah penduduk yang terus meningkat. Jika jumlah penduduk terus bertambah tak terkendali, maka hal tersebut akan mengancam kualitas kehidupan dan kesejahteraan manusia di dunia ini. KB dilakukan dengan cara-cara kontrasepsi yang bertujuan untuk mengatur kehamilan. Dengan kontrasepsi masyarakat akan dapat mengatur jumlah anak dan jarak anak yang akan dilahirkan. Program KB diikuti oleh masyarakat khususnya mereka yang termasuk dalam kategori pasangan usia subur (PUS), yaitu pasangan suami istri dimana keduanya masih memiliki kemungkinan untuk menghamili dan hamil. Oleh karena KB akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat, maka masyarakat pulalah yang harus berpartisipasi yang tercermin dalam perilaku ber-KB. Partisipasi dalam program KB merupakan partisipasi pada tahap eksekusi (pelaksanaan) terhadap rencana yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
lv
Dalam program KB, partisipasi yang diharapkan dari masyarakat ialah partisipasi aktif yakni berupa aktivitas penggunaan alat atau metode kontrasepsi untuk mengatur dan membatasi kelahiran. “Keputusan seorang warga desa untuk menjadi akseptor dalam Keluarga Berencana misalnya, tidak bisa hanya berdasarkan atas perintah lurah atau camat…” (Koentjaraningrat, 1990: 81). Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat tersebut bahwa partisipasi masyarakat dalam mengikuti program KB tidak akan dapat berjalan atas perintah atau paksaan dari pihak-pihak lain, tetapi merupakan suatu bentuk kesadaran dan kemauan dari dalam diri mereka sendiri. Keputusan seseorang untuk menjadi akseptor dalam KB didasari atas suatu keyakinan yang mendalam bahwa partisipasi yang dilakukannya sungguh-sungguh bermanfaat dan berdampak positif, yang pertama bagi diri dan keluarganya dan yang kedua bagi masyarakat, bangsa, dan negaranya. Namun kesadaran itu juga tidak timbul secara otomatis dalam waktu sekejap, melainkan membutuhkan suatu aktivitas yang bersifat persuasif dengan penjelasan-penjelasan dan dorongan yang dilakukan secara intensif dalam waktu yang lama oleh petugas medis, PLKB, tokoh-tokoh masyarakat ataupun media masa. Jadi partisipasi masyarakat dalam mengikuti program KB adalah suatu bentuk kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam menurunkan dan pembatasan angka kelahiran yang dilakukan dengan cara-cara menggunakan alat kontrasepsi.
B. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Yohanes Setiyawan, yang berjudul: “Pelaksanaan Program Keluarga Berencana pada Penduduk Miskin di Daerah Permukiman Liar (Studi Kasus di Permukiman Sepanjang Rel Kereta Api Joglo Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta Tahun 2007)”. Hasil penelitian menunjukkan 1) Terdapat sembilan responden atau 30% dari tiga puluh responden penduduk termasuk dalam kategori rumah tangga miskin. 2) Pelaksanaan program KB di sepanjang rel kereta api Joglo
lvi
tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya tujuh responden (77,77%) yang mengikuti KB. Sembilan responden (100%) tahu akan pentingnya KB dan manfaat dalam mengikuti KB. Penduduk sadar akan pentingnya KB bagi kesejahteraan mereka. Responden yang berhenti KB hanya dikarenakan ingin punya anak lagi. Sebanyak 44,44% responden menggunakan alat kontrasepsi berupa suntik dan pil. Sebanyak 66,66% responden pernah menggunakan alat kontrasepsi lain. Sebanyak 66,66% responden memiliki anak dengan jarak kelahiran 2-3 tahun. Terdapat 33,33% responden yang menggunakan jasa bidan swasta (KB mandiri). Hanya ada 11,11% responden yang merasa keberatan dengan biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan alat kontrasepsi. Terdapat 22,22% responden yang menggunakan alat kontrasepsi yang sekarang dipakai lebih dari 11 tahun. Dari hasil penelitian diketahui bahwa responden tidak pernah berhenti ber-KB karena alasan ekonomi. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Dono Susilo pada tahun 2004, yang berjudul: “ Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) dan Program Keluarga Berencana (KB) Mandiri (Studi tentang Efektivitas KIE Untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Program KB Mandiri di Desa Trosemi, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo)”. Penelitian yang dilakukan oleh Dono menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara KIE dengan partisipasi masyarakat dalam mengikuti KB. Hal tersebut dapat diketahui dari seringnya petugas PLKB melakukan KIE, yaitu sebanyak 37 responden (84,09%) yang mengaku PLKB melakukan penyuluhan KIE sebanyak 4-5 kali dalam sebulan. 100% responden menjawab bahasa yang digunakan oleh PLKB sangat mudah dimengerti. Sebanyak 86,36% respponden menjawab bahwa PLKB sering menyampaikan materi tentang KB mandiri. Terdapat 81,82% responden yang menjawab materi yang disampaikan sangat jelas, dan 100% responden mengaku PLKB memiliki kredibilitas yang tinggi. Mengenai partisipasi masyarakat dalam ber-KB, sebanyak 75% responden menghadiri penyuluhan sebanyak 4-5 kali dalam sebulan. 95, 45% responden memahami program KB, bahwa hal itu merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. 95,
lvii
45% responden memahami bahwa Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (KKBS) akan terwujud bila KB berhasil. Sebanyak 72, 73% responden tidak setuju bila masyarakat golongan ekonomi mampu tidak perlu ber-KB dengan alasan mampu mencukupi seluruh kebutuhan. Terdapat 77,27% responden yang setuju bahwa mendukung program KB tidak harus menjadi program KB. Sebanyak 79,55% responden menjadi peserta KB, dan 77,14% dari peserta KB mendapatkan pelayanan KB di bidan swasta atau KB secara mandiri.
C. Kerangka Berpikir Jumlah penduduk dunia khususnya Indonesia yang begitu besar membutuhkan suatu perhatian khusus dan langkah nyata dalam upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Untuk menyikapi hal tersebut pemerintah mencanangkan suatu kebijakan Program Nasional
Keluarga
Berencana. Program ini merupakan program yang paling efektif dalam penekanan laju pertumbuhan penduduk dalam hal ini adalah angka kelahiran. Langkah pemerintah dalam mensosialisasikan dan mengusahakan agar program KB diketahui, dipahami, dan diikuti oleh masyarakat luas tidaklah mudah. Diperlukan pendekatan dan cara khusus untuk mencapai keberhasilan program. Hal tersebut kemungkinan berkaitan erat dengan partisipasi dan perilaku masyarakat dalam menyikapi program KB. Persepsi masyarakat mengenai program KB tentu sangat dipengaruhi oleh stimulus-stimulus yang berupa informasi mengenai program atau kebijakan, serta faktor internal dari masyarakat itu sendiri seperti latar belakang pendidikan, tingkat ekonomi ataupun agama yang dianut oleh masyarakat. Semakin sering informasi yang diterima masyarakat kemungkinan akan membuat persepsi menjadi positif, selanjutnya akan tercermin dalam sikap dan perilakunya. Untuk memperjelas keterangan di atas, berikut ini skema kerangka berpikir yang akan mempermudah dalam memahaminya.
lviii
Informasi
Masyarakat
Sikap
Persepsi
Partisipasi
Program KB
Latar belakang sosial, budaya dan agama
Gambar 1. Kerangka Berpikir
lix
BAB III METODE PENELITIAN
Metodologi merupakan bagian yang penting dalam suatu penelitian, dan berhubungan erat dengan hasil penelitian yang dilakukan. Sebagaimana yang dikatakan ahli,”Metodologi berarti proses, prinsip-prinsip dan prosedur yang kita pakai
dalam
mendekati
persoalan-persoalan
dan
usaha
mencari
jawabannya”.(Bogdan dan Taylor, 1993: 25). Oleh karenanya ketepatan pemilihan metode yang sesuai dengan permasalahan penelitian sangat diperlukan. Sedangkan penelitian merupakan usaha yang dilakukan untuk mencari, mengumpulkan, dan melakukan analisis terhadap data-data yang diperoleh mengenai suatu permasalahan, yang dilakukan secara sistematis mengikuti aturanaturan metodologi. Jadi, metodologi penelitian adalah usaha yang dilakukan untuk mengetahui dan menguji kebenaran suatu masalah, yang dilakukan melalui serangkaian proses, prosedur, dan prinsip-psinsip secara sistematis.
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. Adapun alasan yang menjadi pertimbangan pemilihan lokasi karena di desa tersebut masih banyak dijumpai keluarga yang memiliki banyak anak, dan rata-rata lebih dari dua. Selain itu pemilihan lokasi juga menggunakan pertimbangan praktis, yaitu Desa Sidoharjo merupakan desa tempat tinggal peneliti sehingga memudahkan dalam proses pengumpulan data karena menghemat waktu dan tenaga.
2. Waktu Penelitian Waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah tujuh bulan dimulai dari proses pengajuan judul sampai penulisan laporan. Berikut tabel waktu penelitian.
46 lx
Tabel 1. Waktu dan Kegiatan Penelitian Tahun 2010 Keterangan Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
1. Pengajuan Judul 2. Penyusunan Proposal 3. Perijinan 4. Pengumpulan Data 5. Analisis Data 6. Penyusunan Laporan B. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Berdasarkan masalah yang diajukan, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. “Jenis penelitian ini akan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi teliti dan penuh nuansa, yang lebih berharga daripada sekedar pernyataan jumlah atau pun frekuensi dalam bentuk angka”. (HB. Sutopo, 2002: 183). Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran yang jelas tentang situasi-situasi sosial tertentu. Fokusnya mengarah pada pendeskripsian secara terperinci dan eksplorasi mendalam mengenai potret kondisi atau fakta yang terjadi sebagaimana adanya yang terjadi di lapangan, serta memusatkan perhatian pada saat penelitian (masalah yang aktual).
2. Strategi Penelitian Strategi yang dipilih dalam suatu penelitian diharapkan bisa menjawab pertanyaan penelitian. Strategi meliputi metode yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi studi kasus. Robert K. Yin (2006: 18) menjelaskan bahwa,
lxi
“Studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang: menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan dimana multisumber bukti dapat dimanfaatkan”. Oleh karenanya studi kasus merupakan strategi yang cocok apabila pertanyaan dalam suatu penelitian berkenaan dengan “how” atau “why”, dimana fokus penelitiannya terletak pada fenomena masa kini dalam konteks kehidupan nyata. Dalam studi kasus dimungkinkan dapat menyelidiki setiap aspek kehidupan sosial dengan berbagai sumber bukti pendukung hasil penelitiannya. Studi kasus juga mengharuskan peneliti langsung terlibat dalam pengumpulan data dengan melakukan wawancara secara pribadi serta menggunakan metode-metode lain yang akan mempermudah proses pengumpulan data. Permasalahan dan fokus penelitian telah ditentukan dalam proposal sebelum peneliti terjun dan menggali permasalahan di lapangan, maka strategi yang digunakan dikhususkan pada studi kasus terpancang tunggal yang berusaha mengeksplorasi partisipasi masyarakat dalam mengikuti program KB, dimana obyek atau lokasi penelitian ini difokuskan di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten.
C. Sumber Data Data tidak akan dapat diperoleh tanpa adanya sumber data. Data atau informasi yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini sebagian besar berupa data kualitatif. Sumber data utama dalam suatu penelitian kualitatif adalah “katakata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lainlain”. (Lexy J. Moleong, 1990: 112). Ketepatan pemilihan dan penentuan jenis sumber data akan sangat menentukan kekayaan dan ketepatan data atau informasi yang diperoleh. Adapun sumber data yang akan dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Informan Informan merupakan sumber data berupa manusia yang dapat memberikan informasi mengenai permasalahan penelitian. Perlu diperhatikan bahwa informan adalah seseorang yang sehat jasmani dan rohani, menguasai atau
lxii
mengerti akan permasalahan penelitian, mudah dihubungi, serta mempunyai waktu yang cukup untuk memberikan informasi dalam wawancara. Kesalahan dalam pemilihan informan akan membuat kurang mantapnya data yang diperoleh. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah beberapa penduduk Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten yaitu akseptor (Wanita Usia Subur), Petugas Pembantu Pembina KB Desa (PPKBD), bidan, kader Posyandu, dan Staf pemerintah desa. 2. Tempat dan Aktivitas Data atau informasi juga dapat dikumpulkan dari aktivitas atau perilaku sebagai sumber data yang berkaitan dengan sasaran penelitian yang sedang berlangsung saat penelitian yang kemudian dikaji. Dari pengamatan terhadap aktivitas, peneliti dapat mengetahui proses terjadinya suatu hal karena menyaksikan sendiri secara langsung, yaitu aktivitas kehidupan sehari-hari dari para warga desa. Sedangkan tempat yang menjadi sasaran penelitian adalah Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, hal ini ditujukan agar mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya lokasi penelitian secara umum. 3. Dokumen dan Arsip “Dokumen dan Arsip merupakan bahan tertulis yang bergayutan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu”.(HB. Sutopo, 2002: 54). Keduanya merupakan suatu rekaman tertulis, namun bisa juga berupa gambar ataupun benda peninggalan.
Dokumen
dan
arsip
yang
digunakan
harus
dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa catatan mengenai pelaksanaan program KB
dan buku-buku atau
literatur, tujuannya guna mengetahui data-data keikutsertaan penduduk desa yang bersangkutan dalam program KB. Sedangkan arsip yang digunakan berupa monografi desa tempat penelitian untuk mengkaji keadaan sosial dan geografis Desa Sidoharjo. Dokumen dan arsip diperoleh dari Kantor Desa (Kelurahan) ataupun dari Puskesmas Desa.
lxiii
D. Teknik Sampling ( Cuplikan) Sampel yang diambil dimaksudkan untuk menggali serta menemukan informasi yang penting bagi penelitian, sehingga sampel atau informan diambil untuk mewakili informasinya bukan populasinya. Maka dari itu peneliti harus memutuskan siapa dan berapa jumlah informan yang dibutuhkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh ahli, “ Teknik cuplikan merupakan suatu bentuk khusus atau proses bagi pemusatan atau pemilihan dalam penelitian yang mengarah pada seleksi”. (HB. Sutopo, 2002: 55). Keputusan pengambilan sampel didasarkan pada teknik cuplikan yang digunakan, yang dipandang cukup sahih dan dapat dijangkau berdasarkan kemampuannya. Kelengkapan dan kedalaman data tidak selalu ditentukan oleh jumlah informan yang banyak, terkadang informan yang sedikit sudah mampu menjelaskan informasi tertentu secara lengkap dan mendalam. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik sampling yang bersifat purposive sampling atau “memilih sampel dengan dasar tujuan” (Sukardi, 2005: 64). Untuk menentukan seseorang menjadi sampel atau tidak didasarkan pada tujuan tertentu, misalnya dengan pertimbangan profesional yang dimiliki peneliti dan kecenderungan bahwa informan yang dipilih dianggap mengetahui informasi dan masalah secara mendalam, serta dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dalam usaha memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian. Dalam pelaksanaan pengumpulan data, pemilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data. Sampel atau informan yang dijadikan sebagai sumber data adalah beberapa penduduk Desa Sidoharjo, yaitu akseptor, PPKBD, bidan, kader Posyandu, dan staf pemerintah desa.
E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa: 1. Wawancara Wawancara merupakan cara untuk mendapatkan data dari sumber data yang berupa informan dengan melakukan percakapan-percakapan. Sebagaimana
lxiv
dikatakan ahli, “Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu”. (Lexy J. Moleong, 2006: 186). Percakapan dilakukan untuk memperoleh kelengkapan dan kedalaman data yang dibutuhkan dalam penelitian, yang dilakukan oleh dua orang, yaitu pewawancara dan terwawancara. Wawancara juga dilakukan dengan cara langsung bertatap muka dengan informan dimana kegiatannya berupa tanya jawab searah. “Dalam interviu diperlukan kemampuan mengajukan pertanyaan yang dirumuskan secara tajam, halus dan tepat, dan kemampuan untuk menangkap buah pikiran orang lain dengan cepat”. (S. Nasution, 2003: 114). Oleh karena itu hendaknya pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan yang lugas dan tidak berbelit-belit. Jika pertanyaan salah ditafsirkan, pewawancara harus bisa merumuskan atau mengganti pertanyaan dengan kata-kata lain agar dapat dipahami oleh informan. Melalui tanya jawab kita akan dapat memasuki alam pikiran orang lain. Secara umum teknik wawancara dibagi menjadi 2, yaitu, “wawancaea terstruktur dan wawancara tidak terstruktur yang disebut wawancara mendalam (in-depth interviewing)”. (HB. Sutopo, 2002: 58). Dalam wawancara terstruktur, semua pertanyaan telah dirumuskan sebelumnya dengan cermat, bahkan jawabannya pun terkadang juga telah ditentukan. Semua informan dipandang mempunyai kesempatan sama untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Wawancara terstruktur dapat dilakukan dalam waktu yang relatif cepat. Yang kedua adalah wawancara tidak terstruktur, di sini sebelumnya tidak disiapkan daftar pertanyaan. Pelaksanaan wawancara berlangsung mengalir seperti percakapan sehari-hari. Informan dapat menjawab pertanyaan secara bebas menurut isi hati dan pikirannya. Wawancara tak berstruktur umumnya dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang lebih lama dibanding wawancara terstruktur. Wawancara dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur atau yang juga dikenal sebagai wawancara mendalam. Teknik wawancara mendalam tidak dilakukan secara ketat dan formal, tapi lebih menekankan pada suasana akrab. Kelonggaran dan kelenturan teknik ini akan mampu membuat informan secara spontan mengeluarkan segala sesuatu yang
lxv
ingin dikemukakannya sehingga didapat kejujuran dari para informan. Oleh karenanya, wawancara umumnya dilakukan secara berulang sesuai dengan kemantapan dan kejelasan informasi. Wawancara dilakukan kepada informan untuk mendapatkan data atau informasi mengenai permasalahan penelitian persepsi tentang KB, hal yang melatarbelakangi keikutsertaan ber-KB dan alat kontrasepsi yang digunakan.
2. Observasi Observasi dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perilaku manusia dalam kehidupan nyata. Dengan observasi akan diperoleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial, yang sukar diperoleh dengan metode lain. Dalam melakukan observasi, diusahakan untuk mengamati keadaan sebagaimana adanya tanpa usaha yang disengaja untuk mempengaruhi, mengatur atau mamanipulasinya. Observasi dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak. “Dalam garis besarnya observasi dapat dilakukan (1) dengan partisipasi pengamat jadi sebagai (sic) partisipan atau (2) tanpa partisipasi pengamat jadi sebagai (sic) non-partisipan”. (Nasution, 2003: 107). Kedua macam observasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Observasi dengan partisipasi ( berperan) Pada observasi berperan, peneliti mendatangi atau berada di lokasi yang dijadikan objek observasi dan menjadi bagian dari kelompok yang ditelitinya. Observasi berperan dapat dibagi menjadi observasi berperan pasif, berperan aktif, dan berperan penuh. 1) Observasi berperan pasif Dalam observasi ini, peneliti hanya mendatangi lokasi penelitian tapi sama sekali tidak berperan sebagai apapun selain sebagai pengamat yang pasif. Observasi ini sering disebut observasi langsung, yang dapat dilakukan secara formal ataupun nonformal. 2) Observasi berperan aktif Berbeda dengan observasi berperan pasif, dalam observasi berperan aktif, peneliti tidak bersikap pasif sebagai pengamat, namun
lxvi
memainkan berbagai peran yang dimungkinkan dalam situasi yang berkaitan dengan penelitiannya. Peneliti tidak hanya dapat berdialog dengan objek penelitiannya, tapi juga bisa mengarahkan peristiwa yang sedang dipelajari demi kemantapan datanya. Observasi berperan aktif cenderung dilakukan dalam penelitian pada lokasi yanga sing bagi peneliti. Teknik observasi berperan aktif membuka kesempatan pada peneliti untuk mengambil bagian secara nyata dalam kegiatan kelompok atau bahkan mengikuti peristiwa yang tidak dapat dilakukan oleh teknik penelitian lainnya. 3) Observasi berperan penuh Di sini peniliti memang memiliki peran dalam lokasi penelitiannya, sehingga benar-benar terlibat dalam suatu kegiatan yang sedang ditelitinya. Peran peniliti tidak hanya bersifat sementara seperti dalam observasi partisipasi aktif, bahkan peneliti dapat berbuat sesuatu dan menyuarakan pendapatnya. Dengan demikian ia dapat memperoleh informasi apa saja yang dibutuhkannya, termasuk yang dirahasiakan sekalipun. b. Observasi tanpa partisipasi (tak berperan) Di dalam observasi tak berperan, kehadiran peneliti dalam melakukan pengamatan atau observasi tidak diketahui oleh subjek yang diamati, sehingga apapun yang dilakukan oleh peneliti sebagai pengamat, tidak akan mempengaruhi hal yang terjadi pada subjek yang sedang diamati.
Penelitian ini menggunakan teknik observasi berperan pasif atau observasi langsung dengan melakukan kunjungan ke tempat yang menjadi objek penelitian di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, yang bertujuan untuk mengetahui berbagai kegiatan pokok sehari-hari dari para warga di lingkungan rumah tangganya.
lxvii
3. Mengkaji Dokumen dan Arsip Dokumen dapat berupa tulisan yang sederhana hingga yang lebih lengkap, atau bahkan dapat berupa benda peninggalan masa lalu. “ Untuk studi kasus, penggunaan dokumen yang paling penting adalah untuk mendukung dan menambah bukti dari sumber-sumber lain”. (Robert K. Yin, 2006: 104). Di sini peneliti tidak hanya mencatat isi penting dari dokumen atau arsip, tapi juga menggali makna yang tersirat di dalamnya. Oleh karena itu, dalam menggunakan arsip dan dokumen diperlukan sikap kritis dan teliti. Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan adalah mengkaji atau menganalisis dokumen dan arsip mengenai program KB ataupun data monografi Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, yang diperoleh dari Kantor Desa (Kelurahan) ataupun dari Puskesmas Desa.
F. Validitas Data Data yang telah berhasil dikumpulkan dan dicatat melalui penelitian, maka data itu harus memiliki kemantapan atau kebenaran, hal tersebut dapat diusahakan melalui proses uji kebenaran atau kesahihan. Setiap peneliti harus mampu menentukan cara yang tepat untuk melakukan validitas data yang diperolehnya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melakukan validitas data adalah teknik trianggulasi. “Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu”. (Lexy J. Moleong, 2000: 178). Jadi untuk menarik kesimpulan yang mantap diperlukan tidak hanya satu cara pandang saja. Teknik trianggulasi mempunyai empat bentuk, yaitu “(1) trianggulasi data (data triangulation), (2) trianggulasi peneliti (investigator triangulation), (3) trianggulasi metodologis (methodological triangulation), dan (4) trianggulasi teoretis (theoretical triangulation)”. (Patton dalam HB. Sutopo, 2002: 78). Keempat teknik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Trianggulasi Data, di mana pengumpulan data dilakukan dari beberapa sumber data yang berbeda, sehingga kebenarannya akan lebih mantap, karena data
lxviii
yang diperoleh dari sumber yang satu akan dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain. 2. Trianggulasi Peneliti, adalah apabila penelitian atau pengumpulan data dilakukan oleh beberapa peneliti. Pemanfaatan peneliti lain bertujuan untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data. Dari pandangan atau pebafsiran yang dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap suatu data, diharapkan dapat terjadi kesepakatan pendapat yang pada akhirnya akan lebih memantapkan hasil penelitian. 3. Trianggulasi Metodologis, pada teknik ini dilakukan pengumpulan data yang sejenis dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda. 4. Trianggulasi Teoretis, dilakukan dengan cara menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Dari beberapa perspektif teori yang berbeda akan diperoleh pandangan yang lebih kompleks dan tidak sepihak. Penelitian
ini
menggunakan
trianggulasi
data
(sumber),
yakni
pengumpulan data dari sumber data yang berbeda, kemudian membandingkan data yang diperoleh satu dengan yang lainnya.
G. Analisis Data Analisis data merupakan proses memilah dan mengorganisasikan data yang telah terkumpul dari lapangan. Menurut Patton (dalam Lexy J. Moleong, 1990:
103),
“analisis
data
adalah
proses
mengatur
urutan
data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan suatu uraian dasar”. Pengorganisasian dan pengurutan data dilakukan dengan tujuan untuk menemukan hipotesis kerja, serta mengambil kesimpulan. Analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan, yaitu: “reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/ verifikasi”. (Miles dan Huberman, 1992: 16). Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
lxix
1. Reduksi Data Reduksi data merupakan bagian awal dalam kegiatan analisis data yang berupa proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, abstraksi data kasar dari fieldnote. Proses reduksi data berlangsung secara terus menerus sepanjang penelitian hingga akhir penyusunan laporan penelitian. 2. Penyajian Data Sajian data merupakan penyusunan sekumpulan informasi dalam bentuk narasi yang memberi kemungkinan untuk dilakukakn penarikan kesimpulan. Sajian data harus mengacu pada rumusan masalah yang telah dibuat, sehingga data yang disajikan akan merepresentasikan jawaban dari permasalahan yang ada. Namun demikian, sajian data dapat pula berbentuk matriks, gambar/ skema ataupun tabel. 3. Penarikan Simpulan/ Verifikasi Kesimpulan-kesimpulan
akhir
baru
akan
didapat
setelah
pengumpulan data berakhir. Dalam melakukan penyimpulan, hendaknya peneliti bersikap terbuka namun tetap skeptis, demi kemantapan kesimpulan. Selain
itu
kesimpulan
juga
perlu
diverifikasi
agar
dapat
dipertanggungjawabkan.
Untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan model analisis interaktif yang meliputi empat komponen, yaitu pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan atau verivikasi. Keterkaitan tiga proses analisis data dilakukan secara interaktif dengan proses pengumpulan data, sehingga kegiatan yang dilakukan adalah secara terus-menerus atau kontinyu. Model interaktif dalam analisis data dapat digambarkan sebagai berikut
lxx
Pengumpulan data Sajian Data
Reduksi data Penarikan Simpulan
Gambar 2. Model Interaktif Analisis data
Keterangan: Peneliti melakukan pengumpulan data-data yang dianggap relevan dengan permasalahan penelitian, selanjutnya langkah yang harus dilakukan adalah mereduksi data dengan cara penyeleksian, pemfokusan, dan abstraksi data dari fieldnote (catatan lapangan), di mana proses ini akan berlangsung secara terusmenerus sampai akhir penulisan laporan. Setelah data direduksi, peneliti menyajikan data yang disusun secara logis dan sistematis agar mudah dipahami. Kemudian data-data yang terkumpul harus melewati tahap penarikan kesimpulan berdasarkan pada reduksi dan sajian data yang telah dilakukan. Dalam melakukan penarikan kesimpilan, peneliti harus bersikap terbuka namun tetap skeptis. Apabila simpulan dirasa kurang mantap, maka peneliti wajib kembali melakukan kegiatan pengumpulan data untuk mendukung simpulan yang ada, dan bagi pendalaman data.
H. Prosedur Penelitian Kegiatan dalam penelitian ini dari awal kegiatan persiapan hingga tahap penyusunan laporan adalah sebagai berikut: 1. Persiapan a. Mengajukan judul penelitian kepada pembimbing.
lxxi
b. Mengumpulkan bahan/sumber materi atau referensi yang dibutuhkan dalam penelitian. c. Menyusunan proposal penelitian. d. Menyiapkan instrumen penelitian dan alat observasi. 2. Pengumpulan Data a. Pengumpulan data yang dilakukan dengan metode observasi langsung, analisis dokumen, dan wawancara mendalam. b. Melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul dengan melaksanakan refleksinya. c. Membuat field note. d. Mengatur data dengan memperhatikan semua variabel yang tergambar dalam kerangka pikir. 3. Analisis Data a. Menentukan teknik analisis data yang tepat sesuai proposal penelitian. b. Melakukan analisis awal. c. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian dire-check dengan temuan di lapangan. d. Melakukan verifikasi, pengayaan dan pendalaman data e. Merumuskan simpulan akhir sebagai temuan penelitian. 4. Penyusunan Laporan Penelitian a. Penyusunan laporan awal. b. Review laporan yaitu mendiskusikan laporan yang telah disusun dengan orang yang cukup memahami penelitian. c. Melakukan perbaikan laporan. d. Penyusunan laporan akhir.
lxxii
BAB IV SAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA PENELITIAN
A. 1.
Deskripsi Lokasi Penelitian Gambaran Umum Desa Sidoharjo
a. Keadaan Geografis Desa Sidoharjo merupakan salah satu dari 401 desa yang ada di Kabupaten Klaten, masuk ke dalam wilayah Kecamatan Polanharjo. Luas Desa Sidoharjo adalah sebesar 177,5955 Ha, yang secara geografis terletak pada 6º 51’46”- 7º 11’47” LS dan 109º 40’19”- 110º 03’06” BT. Desa Sidoharjo berbatasan dengan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tegalgondo, Kecamatan Wonosari, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sidomulyo, Kecamatan Delanggu, dan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Sidowayah, Kecamatan Polanharjo. Curah hujan Desa Sidoharjo berkisar pada 144,67 mm per tahun, dengan suhu rata-rata harian 35º C. Desa Sidoharjo merupakan tanah dataran dengan ketinggian 155 m di atas permukaan laut. Posisi desa membujur dari barat ke timur, dan merupakan tanah persawahan yang subur dengan pengairan yang cukup. Desa Sidoharjo terbagi menjadi 10 Dukuh, 11 RW, dan 28 RT. Kesepuluh Dukuh tersebut yakni, Dukuh Ploso, Sidoharjo, Kahuman, Krajan, Demangan, Lor Pasar, Kliwonan, Tlobong, Sumberjo, dan Purwogondo. Sepuluh Dukuh tersebut dipimpin oleh tiga Kadus atau Bayan yang meliputi Kebayanan 1, meliputi Dukuh Purwogondo, dan Tlobong, Kebayanan 2 meliputi Dukuh Krajan, Demangan, Lor Pasar, Kliwonan, dan Sumberjo, sedangkan Kebayanan 3, meliputi Dukuh Sidoharjo I dan II, Ploso, dan Kahuman. Desa Sidoharjo dihuni sebanyak 911 kepala keluarga.
lxxiii
b. Keadaan Penduduk 1) Jumlah Penduduk Menurut Umur Jumlah penduduk yang tinggal di Desa Sidoharjo hingga pertengahan tahun 2009 tercatat sebanyak 3376 orang, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1634 orang (48,4%), dan perempuan sebanyak 1742 orang (51,6%).
Menurut umurnya, jumlah penduduk
Sidoharjo dapat dikelompokkan sebagai berikut, umur 0-5 tahun sebanyak 245 orang (7,52%), 6-10 tahun sebanyak 224 orang (6,64%), umur 11-15 tahun sebanyak 255 orang (7,55%), umur 16-20 tahun sebanyak 263 orang (7,20%), umur 21-25 tahun sebanyak 264 orang (7,82%), umur 26-30 tahun sebanyak 244 orang (7,23%), umur 31-35 tahun sebanyak 258 orang (7,64%), umur 36-40 tahun sebanyak 221 orang (6,55%), umur 41-45 tahun sebanyak 245 orang (7,52%), umur 46-50 tahun sebanyak 239 orang (7,08%), umur 51-55 tahun sebanyak 250 orang (7,41%), umur 56-58 tahun sebanyak 152 orang (4,50%), sedangkan umur lebih dari 59 tahun sebanyak 444 orang (13,15%). Jumlah penduduk terbanyak adalah kelompok umur lebih dari 59 tahun yaitu sebanyak 444 orang, peringkat kedua kelompok umur 21-25 tahun sebanyak 264 orang, peringkat ketiga adalah kelompok umur 31-35 tahun sebanyak 258 orang, peringkat keempat kelompok umur 11-15 tahun sebanyak 255 orang, peringkat kelima kelompok umur 51-55 tahun sebanyak 250 orang, peringkat keenam kelompok umur 0-5 tahun dan umur 41-45 tahun yang masing-masing sebanyak 245 orang, peringkat ketujuh kelompok umur 26-30 tahun sebanyak 244 orang, peringkat kedelapan kelompok umur 16-20 tahun sebanyak 243 orang, peringkat kesembilan kelompok umur 46-50 tahun sebanyak 239 orang, peringkat kesepuluh adalah kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 224 orang, peringkat kesebelas adalah kelompok umur 36-40 tahun sebanyak 221 orang, dan terakhir kelompok umur 56-58 tahun sebanyak 152 orang. Jadi disimpulkan bahwa Desa Sidoharjo memiliki penduduk usia produktif tinggi dilihat dari jumlah penduduk umur 16-55 tahun berjumlah
lxxiv
1964 orang (58,18 %), sehingga dibutuhkan lapangan kerja banyak agar dapat menampung angkatan kerja yang ada, dengan begitu diharapkan akan dapat meningkatkan taraf perekonomian masyarakat dan memberikan pengaruh positif terhadap kemajuan Desa Sidoharjo. 2) Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Menurut mata pencahariannya, jumlah penduduk Desa Sidoharjo sebanyak 1346 orang, dikelompokkan sebagai berikut: penduduk sebagai petani sebanyak 325 orang (24,15%), buruh tani sebanyak 365 orang (27,18%), buruh atau swasta sebanyak 349 orang (25,93%), pegawai negeri sebanyak 127 orang (9,44%), pengrajin sebanyak 10 orang (0,74%), pedagang sebanyak 6 orang (0,45 %), peternak sebanyak 121 orang (8,99%), montir sebanyak 6 orang (0,45%), dokter sebanyak 2 orang (0,15%), TNI/ POLRI sebanyak 8 orang (0,6%), pensiunan sebanyak 24 orang (1,78%), dan bidan sebanyak 3 orang (0,22 %). Jadi disimpulkan bahwa masyarakat Desa Sidoharjo merupakan masyarakat pedesaan yang penduduknya mayoritas bekerja pada sektor pertanian sebanyak 690 orang (51,33%), terdiri dari petani pemilik atau pun buruh tani, dimana sikap hidupnya tergantung pada alam. 3) Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Menurut pendidikannya, masyarakat Desa Sidoharjo berjumlah 3231 orang, dikelompokkan sebagai berikut: penduduk belum sekolah sebanyak 305 orang (9,44 %), usia 7- 45 tahun tidak pernah sekolah sebanyak 2 orang (0,06%), tidak tamat SD sebanyak 4 orang (0,12%), tamat SD atau sederajat sebanyak 915 orang (28,32%), masih SLTP/ sederajat sebanyak 757 orang (23,43%), masih SLTA/ sederajat sebanyak 759 orang (23,49%), tamat Diploma I sebanyak 1 orang (0,03%), tamat Diploma II sebanyak 64 orang (1,98%), tamat S1 sebanyak 107 orang (3,31 %), dan tamat S2 sebanyak 3 orang (0,09%). Jadi disimpulkan bahwa lebih dari separuh penduduk Desa Sidoharjo berpendidikan dasar, yaitu sebanyak 1672 orang (51,75%). Berpendidikan menengah sebanyak 759 orang (23,49%). Sedangkan yang
lxxv
berpendidikan tinggi hanya sebagian kecil dari jumlah penduduk, yaitu sebanyak 175 orang (5,42%). 4) Jumlah Penduduk Menurut Agama Menurut agama yang dianut oleh masyarakat Desa Sidoharjo, dikelompokkan sebagai berikut: penduduk beragama Islam sebanyak 3361 orang (99,55%), Katholik sebanyak 15 orang (0,45%), sedangkan penduduk beragama Kristen, Hidhu, Budha, dan Konghuchu tidak ada. Jadi disimpulkan bahwa hampir semua (99,55%) penduduk Desa Sidoharjo beragama Islam. Hal tersebut didukung dengan adanya tempat ibadah sebanyak 5 masjid dan 10 mushola. Hanya ada 0,45% penduduk beragama Katholik.
a. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang ada, dapat menunjukkan tingkat kemajuan desa. Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Sidoharjo dapat dilihat sebagai berikut: 1) Prasarana Transportasi Darat Satu-satunya prasarana transportasi yang ada di Desa Sidoharjo adalah prasarana transportasi darat. Prasarana transportasi darat yang terdapat di Desa Sidoharjo cukup baik, karena sebagian besar jalan telah berupa aspal dan beton sehingga mampu melancarkan mobilitas penduduk. Prasarana transportasi darat terbagi menjadi: b) Jalan desa: jalan beton sepanjang 6 km, jalan aspal sepanjang 4,5 km, jalan rusak sepanjang 0,5 km, dan jalan tanah 2 km. c) Jalan antardesa/ kecamatan: jalan beton sepanjang 1 km dan jalan tanah 1 km. d) Jembatan desa: beton sepanjang 1 km. e) Jembatan antardesa/ kecamatan: jalan beton sepanjang 1 km. 2) Sarana Transportasi Darat Secara umum, sarana transportasi darat yang terdapat di Desa Sidoharjo cukup banyak dan bervariasi jenisnya sehingga dapat
lxxvi
memperlancar mobilitas penduduk dalam melakukan aktivitas, yaitu truk sebanyak 1 buah, delman 1 buah, becak 3 buah, mobil 41 buah, motor 603 buah, dan sepeda sebanyak 414 buah. 3) Prasarana Komunikasi Prasarana komunikasi yang ada di Desa Sidoharjo sangat memadai dan cukup membantu penduduk untuk melakukan komunikasi dan mendapatkan informasi secara luas, yakni radio sebanyak 489 buah, televisi sebanyak 775 buah, parabola sebanyak 1 buah, dan wartel 1 buah. 4) Prasarana Air Bersih Prasarana air bersih di Desa Sidoharjo cukup memadai hal itu dapat dilihat dengan adanya sumber mata air dari sumur gali sebanyak 708 buah yang dapat mencukupi kebutuhan air sebanyak 911 kepala keluarga yang ada di Desa Sidoharjo, serta prasarana MCK sebanyak 8 buah. 5) Prasarana Irigasi Prasarana irigasi di Desa Sidoharjo sepanjang 22.700 m yang digunakan untuk mengairi lahan sawah seluas 132,1101 Ha, terbagi dalam tiga macam saluran, yakni berupa saluran primer, saluran primer merupakan saluran air yang berasal langsung dari sumber mata air Janti sepanjang 200 m, saluran sekunder yaitu percabangan dari saluran primer berupa sungai buatan selebar 1 m dan sepanjang 7.500 m, yang ketiga adalah saluran tersier, yaitu saluran air yang langsung mengalirkan air dari saluran sekunder menuju sawah-sawah sepanjang 15.000 m. Sedangkan jumlah pintu pembagi air sebanyak 2 unit, namun keduanya dalam keadaan rusak. 6) Prasarana Pemerintahan Prasarana pemerintahan di Desa Sidoharjo adalah Balai Desa 1 buah, mesin ketik sebanyak 2 buah, komputer sebanyak 1 buah, meja sebanyak 25 buah, kursi sebanyak 97 buah, almari arsip sebanyak 7 buah, balai dusun sebanyak 2 buah, kantor BPD, dan kendaraan dinas. Secara umum, prasarana pemerintahan di Desa Sidoharjo sudah baik, namun
lxxvii
jumlah komputer yang ada perlu ditambah untuk memperlancar kinerja staf pemerintah desa. 7) Prasarana Peribadatan Prasarana peribadatan yang ada di Desa Sidoharjo hanya menyediakan fasilitas peribadatan bagi pemeluk agama Islam berupa masjid sebanyak 5 buah dan mushola sebanyak 10 buah, sedangkan tempat ibadah agama lain tidak terdapat. 8) Prasarana Olahraga Prasarana olahraga yang ada di Desa Sidoharjo jumlahnya kurang memadai dan sangat minim, serta tidak dapat menampung berbagai aktivitas olahraga penduduk desa. Prasarana olahraga di Desa Sidoharjo yaitu lapangan sepakbola sebanyak 1 buah, lapangan bulutangkis sebanyak 1 buah, lapangan voli sebanyak 2 buah, dan meja tenis sebanyak 1 buah. Jumlah ini terbilang sedikit bila dibandingkan dengan banyaknya jumlah penduduk Sidoharjo, sehingga hendaknya prasarana olahraga yang ada perlu ditambah jumlahnya. 9) Prasarana Kesehatan Prasarana kesehatan yang ada di Desa Sidoharjo adalah Puskesmas Pembantu 1 buah, Posyandu sebanyak 7 pos, dan tempat penyimpanan obat sebanyak 1 buah. Keberadaan Puskesmas Pembantu yang hanya satu dan kecil dirasa kurang dapat memenuhi kebutuhan penduduk akan prasarana kesehatan. 10) Sarana Kesehatan Sarana kesehatan di Desa Sidoharjo yaitu paramedis dengan jumlah bidan 3 orang, 1 orang mantri, dan 1 dokter. Jumlah tersebut sangat minim dan kurang dapat melayani masyarakat yang membutuhkan jasa paramedis. Sehingga perlu ditambah jumlah paramedis yang berdomisili di Sidoharjo. 11) Prasarana Pendidikan Desa Sidoharjo memiliki prasarana pendidikan berupa 3 buah SD/ sederajat, 2 buah TK, 7 buah TPA, 3 perpustakaan, dan 1 PAUD.
lxxviii
Sedangkan SLTP dan SLTA tidak terdapat sehingga penduduk yang bersekolah SLTP/ SLTA harus pergi ke desa lain atau bahkan kabupaten lain yang jaraknya cukup jauh, yaitu sekitar 2 km. 12) Prasarana Penerangan Prasarana penerangan yang ada di Desa Sidoharjo sangat memadai karena seluruh rumah penduduk dan jalan-jalan terdapat penerangan berupa lampu instalasi listrik PLN sebanyak 911 buah, sehingga hal tersebut memudahkan aktivitas masyarakat baik pada siang ataupun malam hari.
2.
Sejarah Desa
Desa Sidoharjo terbentuk pada tahun 1918, merupakan gabungan dari dua desa, yaitu Desa Wongko Etan dan Desa Wongko Kulon. Desa Wongko Kulon terdiri dari Dukuh Sidoharjo dan Ploso, sedangkan Desa Wongko Etan terdiri dari Dukuh Kahuman, Krajan, Demangan, Lor Pasar, Kliwonan, Tlobong, Sumberjo, dan Purwogondo. Pada tahun 1930 muncul sebuah sumur tiban di Dukuh Ploso, kebetulan pada saat itu Pakubuwono X dari Kasunanan Surakarta sedang tedak/ datang ke Pesanggrahan Tegalgondo, kemudian meninjau lokasi sumur tiban. Di Ploso, Pakubuwono X disuguhi hidangan ingkung ayam yang sebelum dimasak terlebih dahulu dicuci di sumur tiban, dan ternyata rasanya enak. Mulai sejak saat itu, setiap Pakubuwono X tedak ke Pesanggrahan Tegalgondo selalu memesan ingkung ayam dari Dukuh Ploso. Sampai sekarang Desa Sidoharjo terkenal dengan masakan opor bebek. Di samping itu, di Dukuh Kahuman terdapat sebuah masjid yang didirikan semasa kekuasaan Pakubuwono X. Di belakang masjid tersebut terdapat makam, di situlah dimakamkan Tejo Wati, salah seorang kerabat Kasunanan Surakarta. Namun semasa kekuasaan Hamengkubuwono VII, makam Tejo Wati dipindahkan ke Imogiri Yogyakarta. Sejak tahun 1918 Desa Sidoharjo telah dipimpin oleh 9 kepala desa, yaitu:
lxxix
a. Tahun 1918- 1929 dipimpin oleh H. Yasin dan Mangun Sudarmo b. Tahun 1930-1946 dipimpin oleh Pito Rejo c. Tahun 1957-1968 dipimpin oleh Joyo Wirono d. Tahun 1969- 1978 dipimpin oleh Hadi Sayoto e. Tahun 1980-1989 dipimpin oleh Samiyono f. Tahun 1990-1998 dipimpin oleh Ismudiyono g. Tahun 1999-2006 dipimpin oleh Agung Subolo h. Tahun 2007- sekarang dipimpin oleh Hermawan Sri Widodo
B.
Deskripsi Permasalahan Penelitian
Dalam penelitian ini, deksripsi permasalahan penelitian dimaksudkan untuk menyajikan data yang ditemukan sesuai dengan pokok permasalahan yang dikaji, yaitu persepsi masyarakat mengenai program KB, yang melatarbelakangi masyarakat mengikuti program KB, dan jenis-jenis alat kontrasepsi yang digunakan oleh masyarakat.
1. Persepsi Masyarakat Mengenai Program KB Masyarakat tercipta karena adanya hubungan atau pertalian di antara individu-individu yang ada di dalamnya, pertalian tersebut membuat individu saling mempunyai rasa kebersamaan dan keterikatan satu sama lain, masyarakat mempunyai ciri-ciri yang membedakan dengan kumpulan manusia lainnya. Ciriciri tersebut yaitu, merupakan kumpulan dari manusia yang hidup bersama, bercampur untuk waktu yang cukup lama, sadar bahwa mereka adalah suatu kesatuan dan suatu sistem hidup bersama. Maka dalam kehidupan masyarakat dibutuhkan suatu aturan dan nilai untuk mengatur kehidupan agar tercipta hidup yang serasi dan selaras. Masyarakat yang mendiami Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten merupakan masyarakat pada umumnya, maksudnya mereka merupakan masyarakat yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu lama, mendiami wilayah tertentu. Kehidupan individu dalam masyarakat mutlak bersifat sosial, artinya di antara individu terdapat suatu perasaan saling ketergantungan satu sama lain agar
lxxx
mampu memenuhi kebutuhan mereka sebagai makhluk sosial maupun makhluk individu. Secara sadar atau tidak, individu dalam masyarakat akan memiliki kecenderungan untuk mempertahankan kelangsungan hidup sebagai suatu masyarakat, oleh karenanya individu-individu tersebut akan selalu mengadakan hubungan dan interaksi dengan sesama, sehingga lahir individu baru sebagai generasi penerus dalam masyarakat. Lahirnya generasi baru sangat diperlukan, namun demikian, jumlah kelahiran yang ada harus dapat dikendalikan dengan cara-cara menurut batas kewajaran tanpa berlebihan, agar tidak terjadi over populasi yang justru akan membuat kehidupan manusia menjadi penuh dengan permasalahan sosial. Cara tersebut adalah dengan melakukan Keluarga Berencana (KB). Oleh karenanya, penyuluhan dan pemberian informasi-informasi mengenai KB perlu dilakukan secara luas kepada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan partsipasi masyarakat dalam ber-KB. Banyak sedikitnya informasi yang ditangkap dan dimiliki oleh seseorang akan sangat mempengaruhi persepsi, dalam hal ini adalah persepsi mengenai KB. Begitu pula dengan masyarakat Desa Sidoharjo yang melaksanakan KB. Secara umum, pengetahuan masyarakat Sidoharjo mengenai KB kurang. Ada tiga persepsi masyarakat mengenai program KB, yakni, yang pertama adalah KB merupakan kewajiban perempuan, yang kedua KB hanya dapat dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi, dan yang ketiga adalah beberapa metode kontrasepsi menakutkan bagi akseptor.
a. KB Merupakan Kewajiban Perempuan Persepsi pertama masyarakat Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten mengenai program Keluarga Berencana adalah KB merupakan kewajiban perempuan. Sebagaimana pernyataan yang diungkapkan oleh salah sata warga, ”ahh nggak, mesakke wong lenang nyambut gawe tanggung jawab kok, kuwi wis kewajibane wong wedhok”. (ah tidak, kasihan laki-laki bekerja tanggung jawab kok, itu sudah kuwajiban perempuan). (W/ES/11&12/6/2010).
lxxxi
KB memang harus dilakukan oleh perempuan, bukan laki-laki. Perempuan lebih memilih dirinya saja yang menjadi akseptor, bukan suaminya. Bu ES merasa kasihan jika suaminya yang menjadi akseptor karena telah bekerja bertanggung jawab untuk menghidupi keluarga. Seperti yang dikatakan oleh salah satu informan, ”lha yo selama kulone tesih saged nggih kulo”.(lha ya selama saya masih bisa, ya saya). (W/YN/4/7/2010). Informan lain juga menuturkan hal serupa, ”yo kan wong wedhok jik isoh KB ra popo, nek sing wedhok ra etuk KB otomatis sing kakung”. (ya selama perempuan masih bisa KB tidak apa-apa, kalau perempuan tidak boleh KB otomatis yang laki-laki). (W/PN/3/7/2010). Pilihan yang pertama dalam menentukan siapa yang menjadi akseptor KB adalah perempuan selama kondisinya masih memungkinkan, jika tidak, maka pria yang menjadi alternatif kedua untuk menjadi akseptor KB. Hal tersebut didasari oleh keyakinan akan berkurangnya tenaga atau kekuatan fisik lakilaki jika menjadi akseptor KB. Sebagaimana yang dikatakan oleh informan, ”nggih mesakke, ngoten niku kan ten daya fisikke anu kan nggih bedho, mbak, tenogone berkurang, misal’e angkat berat kerjo nggon bangunan ngonten mboten saged, mbak, dadine kekuatane kurang ngoten lhe”. (ya kasihan, seperti itu kan daya fisiknya juga berbeda, mbak, tenaganya berkurang, misalnya angkat berat kerja di bangunan seperti itu tidak bisa, mbak, jadinya kekuatannya kurang). (W/YN/4/7/2010). Informan lain juga berpendapat serupa, ”kan engko tenogone yo bedho yen sing lanang KB, tenogone sudho”.(kan nanti tenaganya juga berbeda kalau laki-laki yang KB, tenaganya berkurang). (W/PN/3/7/2010). Laki-laki yang menjadi akseptor KB akan mengalami penurunan tenaga atau kekuatan fisik , sehingga akan berpengaruh langsung terhadap kinerja mereka sebagai kepala keluarga yang bekerja mencari uang untuk menafkahi keluarga.
lxxxii
Sementara itu bu ES mempunyai anggapan lain yang sedikit berbeda dengan pendapat bu YN dan bu PN, ”KB kuwajibane wong wedhok, wong lenang mesakke ra tego aku, mbak, koyo tabu ngono, nek steril jare yo ra isoh nggo nyambut gawe abot-abot kok, mbak”. (KB kewajibannya seorang perempuan, lakilaki kasihan tidak tega saya, mbak, seperti tabu, kalau steril katanya juga tidak bisa untuk bekerja berat-berat, mbak). (W/ES/27/6/2010). Laki-laki yang ber-KB atau menjadi akseptor merupakan suatu hal yang tabu bagi bu ES, ia tidak tega jika suaminya menjadi akseptor KB, dan tidak sepantasnya seorang istri membiarkan atau menyuruh suaminya menjadi akseptor, selain katanya pria yang melakukan tindakan vasektomi tidak akan bisa beraktivitas terlalu berat. Ditambah lagi dengan sikap para suami yang tidak memberi perhatian pada istrinya mengenai metode KB yang dipilih. Sebagaimana diungkapkan oleh bu YN, ”milih alat kontrasepsi kiyambak, mboten taren pak’e, lha wong ditareni nggih ming mendhel mawon kok, terserah kulo”. (milih alat kontrasepsi saya sendiri, tidak minta pertimbangan bapak, lha dimintai pertimbangan juga hanya diam saja , terserah saya). (W/YN/4/7/2010). Hal tersebut juga dikuatkan oleh pernyataan bu ES, ”rak, pakne ra ngurusi, ning nek dijaluki dit nggo KB yo dike’i”. (tidak, bapak tidak ikut campur, tapi kalau dimintai uang untuk KB ya dikasih). (W/ES/27/6/2010). Para lelaki tidak mau tahu dengan segala urusan KB yang dianggap sebagai suatu kewajiban bagi perempuan. Oleh karena itu para suami pun tak perduli dengan cara KB yang dipilih istrinya. Peran pria hanya sebatas memberi uang kepada istrinya untuk melakukan atau mendapatkan layanan kontrasepsi tanpa tahu alat kontrasepsi apa yang digunakan dan dimana layanan KB tersebut diperoleh.
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa beberapa akseptor KB di Desa Sidoharjo menganggap bahwa KB merupakan suatu kewajiban bagi
lxxxiii
seorang perempuan dan tabu untuk dilakukan oleh laki-laki. Selama kondisi sang istri masih memungkinkan, maka sang istrilah yang wajib menjadi akseptor, selain itu juga adanya kepercayaan bahwa laki-laki akseptor KB akan mengalami penurunan kekuatan dan daya fisik mereka yang ditakutkan akan berpengaruh terhadap kinerja laki-laki yang bekerja untuk menghidupi keluarga, terlebih para suami tidak memberikan perhatian terhadap istri mereka mengenai pemilihan alat kontrasepsi.
b. KB Hanya Dapat Dilakukan Dengan Menggunakan Alat Kontrasepsi Pada dasarnya, KB merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah kehamilan dan menjaga jarak kelahiran. Salah satu cara KB adalah dengan menggunakan alat kontrasepsi. Seperti yang dikemukakan salah satu informan, ”Kontrasepsi itu kan alatnya, yang dipakai untuk menjarangkan atau mengatur jarak kehamilan”. (W/KT/19/6/2010). Kontrasepsi adalah alat yang dipakai untuk membantu mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dan mengatur jarak kelahiran pertama dengan kelahiran berikutnya. Dari berbagai alat kontrasepsi yang ada, akseptor hanya perlu memakai salah satu menurut kecocokan, dan dipakai sebagai pencegah kehamilan dalam rangka melaksanakan program KB. Sebagaimana yang dikatakan oleh bu WS, ”sing jenenge KB kan yo harus pake salah satune kuwi to, opo pil, opo susuk, kondom, pilih yang cocok, berarti kalau nggak pake jenenge ora KB”. (namanya KB kan harus pakai salah satunya itu, pil, atau susuk, kondom, pilih yang cocok, berarti kalau tidak pakai namanya tidak KB). (W/WS/29/6/2010). KB berarti harus memakai salah satu alat kontrasepsi yang tersedia dan cocok bagi diri akseptor. Ia berkeyakinan jika tidak memakai alat kontrasepsi berarti tidak ber-KB. Informan lain juga mengatakan hal serupa,
lxxxiv
”nek KB berarti nganggo alat’e, lha suntik opo pil, opo susuk, garek cong’e, kemantebane”. (kalau KB berarti pakai alatnya, suntik atau pil, susuk, tergantung kecocokan dan kemantapannya). (W/PN/3/7/2010). Upaya pencegahan kehamilan, pembatasan kelahiran, dan pengaturan jarak kelahiran dalam ber-KB hanya akan dapat dilakukan melalui penggunaan alat kontrasepsi yang dipilih sesuai kesenangan dan kecocokan diri akseptor terhadap alat kontrasepsi. Jadi disimpulkan bahwa persepsi masyarakat mengenai program KB adalah bahwa KB hanya dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu alat kontrasepsi dari berbagai macam alat kontrasepsi yang tersedia di pasaran. Tanpa menggunakan alat kontrasepsi berarti tidak melakukan KB.
c. Beberapa Metode Kontrasepsi Menakutkan Bagi Akseptor Sebagai upaya pendukung program KB, berbagai macam alat kontrasepsi diciptakan dan disediakan bagi para calon akseptor yang ingin mencegah kehamilan. Namun, beberapa alat atau metode kontrasepsi yang ada ternyata menakutkan bagi calon akseptor, seperti yang dikatakan oleh ibu ST yang takut terhadap metode IUD, ”yo kan, mosok alat dilebokke neng rahim, yo piye ngono, gek ngko yen terjadi opo-opo neng njero piye, kan medheni”. (ya masa’ alat dimasukkan ke rahim, ya bagaimana seperti itu, apa lagi nanti kalau terjadi apa-apa di dalam, kan menakutkan). (W/ST/6/7/2010). Ketakutan dialami terhadap suatu benda asing yang dimasukkan ke dalam tubuh dan ditinggalkan di sana dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan akseptor tidak dapat berbuat banyak jika terjadi sesuatu dengan alat kontrasepsi yang ditanam dalam tubuh akseptor. Pemasangan atau pelepasan alat kontrasepsi yang dimasukkan dalam tubuh akseptor, hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis yang telah terlatih. Hal senada pun diungkapkan oleh bu EK, ”susuk karo pasang ra wani, steril wedhi aku jare loro kok, kan dioprasi ngono kae to, gek dibius barang, kene ra ngerti opo-opo, yo
lxxxv
pokoke wedhi”. (implan dan IUD tidak berani, steril takut saya katanya sakit, kan dioperasi seperti itu, apalagi dibius, saya tidak tahu apa-apa, ya pokoknya takut). (W/EK/28/6/2010). Ketakutan terhadap metode steril juga diungkapkan oleh bu PN, ”ndkehmben bar Danu let sedhilit ndaftar steril, ndang wis cerak ra sidho, ra wani”. (dulu setelah Danu [anak ketiga] lahir mendaftar steril, kemudian setelah dekat tidak jadi, takut). (W/PN/3/7/2010). Metode implan, IUD dan tubektomi membuat akseptor takut. Ketakutan tersebut cukup beralasan karena cara kontrasepsi implan dan tubektomi memerlukan tindakan pembedahan minor dan pembiusan pada diri calon akseptor oleh tenaga medis. Selain takut pada proses pemasangan alat kontrasepsi, ketakutan terhadap alat kontrasepsi juga terjadi pasca penginsersian, seperti yang diungkapkan bu ES, ”nek susuk kan nggo angkat junjung resiko, jarume kan mlaku ngetutke dalan darah”. (kalau susuk kan untuk angkat berat resiko, jarumnya kan berjalan mengikuti aliran darah). (W/ES/11/6/2010). Jarum implan yang diinsersikan ke dalam lengan kiri bagian dalam, yang akan beresiko jika tangan tersebut dipakai untuk mengangkat benda yang berat, selain itu jarum implan juga ditakutkan akan terlepas dari lengan dan bergerak mengikuti aliran darah, yang dianggap akan membahayakan tubuh akseptor. Sedangkan aktivitas keseharian akseptor untuk mengangkat benda berat tidak dapat dihindari, karena hal tersebut telah menjadi rutinitas sebagai bagian tugas kerumahtanggaan. Bu ES setiap hari harus menggendong ibunya untuk dimandikan karena ia menderita stroke dan susah untuk berjalan kaki sendiri. Hal serupa juga diungkapkan oleh bu KT selaku bidan, ”kalau susuk dipasang di lengan kiri, lengan kanan kan sering dipakai, kalau lengan kiri jarang dipakai, ya awal ya sebaiknya jangan terlalu ini, kalau biasanya seminggu pemasangan itu memang nggak boleh untuk angkat-angkat dulu biar ditempatnya itu dulu tertutup jaringan, tapi sesudah itu biasa. Jarum kadang-kadang bisa lepas kalau ibunya luka ditempatnya bisa keluar sedikit, tapi itu jarang, kadang-kadang
lxxxvi
mungkin karena kurang kebersihan atau apa gatal-gatal dikit terus dipegang-pegang terus”. (W/KT/29/6/2010). Resiko yang terjadi pada tindakan metode implan hanya terjadi dalam beberapa kondisi, yaitu jika dalam waktu seminggu pemasangan tangan digunakan untuk mengangkat benda berat, tempat penginsersian jarum luka atau terjadi infeksi karena kurang kebersihan. Jadi jarum implan yang diinsersikan ke dalam lengan tidak akan beresiko jika akseptor berhati-hati dan menjaga kebersihan daerah sekitar tempat insersi jarum. Kasus terlepasnya jarum implan dari tangan hanya beberapa saja, tidak semua akseptor implan mempunyai resiko yang sama. Jadi dari uraian di atas diambil kesimpulan bahwa berbagai persepsi masyarakat mengenai KB ada tiga, yaitu bahwa KB adalah kewajiban bagi seorang perempuan, yang harus dilakukannya selama dirinya masih memungkinkan untuk menjadi akseptor. Selain itu, pelaksanaan KB dianggap hanya bisa dilakukan dengan menggunakan salah satu dari beberapa alat kontrasepsi yang tersedia di pasaran. Sebagian masyarakat bahkan takut pada beberapa metode kontrasepsi yang pengaplikasiannya dilakukan melalui tindakan pembedahan, pembiusan, dan penginsersian suatu alat ke dalam tubuh.
2. Latar Belakang Masyarakat Mengikuti Program KB Keikutsertaan masyarakat dalam program KB terdorong oleh beberapa hal yang mendasarinya. Hal-hal yang melatarbelakangi masyarakat mengikuti KB cukup beragam, mulai dari alasan ekonomi hingga kesehatan. Berikut uraian dari alasan-alasan tersebut: a. Alasan Ekonomi Partisipasi masyarakat dalam program KB didorong oleh berbagai hal. Tak ada tujuan dalam program KB tanpa suatu motif yang mendasarinya. Motif atau hal yang melatarbelakangi keikutsertaan dalam KB tersebut salah satunya adalah alasan ekonomi. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan berikut,
lxxxvii
”resikone yo hamil terus, anake ra kopen, nek ekonomine pas-pasan kan pendidikan, pengopenane meso bedho to, mbak, nek anake sithik yo to”. (resikonya ya hamil terus, anaknya tidak terurus, kalau perekonomiannya pas-pasan kan pendidikan, perawatan anaknya juga tetap berbeda kan, mbak, kalau anaknya sedikit). (W/ES/11/6/2010). Resiko atau akibat jika tidak ber-KB, yaitu akan hamil terus sementara itu jika anaknya banyak, anak tersebut tidak akan terurus. Ketakutan akan ketidakmampuan menyekolahkan dan merawat anaknyalah yang mendorong bu ES ber-KB. Jumlah anak yang sedikit tentu akan mempermudah orang tua untuk merawat, menyekolahkan dan menghidupi anak-anaknya. Hal senada pun diungkapkan oleh bu EK, ”nek anake okeh kan duwit terus, nek keadaane susah ngene kan yo, arep nguliahke anak we ra ndhuwe duwit”. (kalau anaknya banyak kan uang terus, kalau keadaannya susah seperti ini kan mau menguliahkan anak saja tidak punya uang). (W/EK/12/6/2010). Jika punya banyak anak, uang yang dikeluarkan untuk anak pun semakin banyak, dan dalam keadaan ekonomi yang susah, tentu orang tua mengalami kesulitan biaya untuk menyekolahkan anak ke Perguruan Tinggi. Ungkapan bu ESW juga tak jauh berbeda, ”resikone hamil terus, susah ngopenine, nek anake okeh ko nek ra isoh nyekolahke dhuwur”. (resikonya hamil terus, susah merawatnya, kalau anaknya
banyak
nanti
tidak
bisa
menyekolahkan
tinggi).
(W/ESW/26/6/2010). Jumlah anak banyak tentu membutuhkan biaya hidup yang lebih banyak pula, selain itu, tenaga dan waktu yang dibutuhkan orang tua untuk merawat anak juga banyak. Kesulitan ekonomi membuat seseorang tak berpikir untuk mempunyai anak lagi. Sebagaimana yang dikatakan oleh bu YN, ”nek mboten KB kan mengkih mesthi nde anak melih, sedangkan biaya hidup sekarang kan mboten murah, saiki mikire tambah anak, biar tambah anak tambah rejeki kan sekarang keadaan ekonomi nembe sulit ngenten niki kan mboten boro-boro mikir ngge ajeng nde anak melih,
lxxxviii
ngge mangan men susah”. (kalau tidak KB kan nanti pasti punya anak lagi, sedangkan biaya hidup sekarang kan tidak murah, sekarang mikirnya tambah anak, walaupun tambah anak tambah rejeki kan sekarang keadaan ekonomi sedang sulit seperti ini tidak kepikiran untuk punya anak lagi, untuk makan saja susah). (W/YN/4/7/2010). Apabila seseorang tidak ber-KB sementara dirinya masih dalam kondisi subur (masih memounyai kemungkinan untuk hamil dan melahirkan), pasti akan hamil lagi. Sementara biaya hidup semakin lama semakin mengalami peningkatan. Pedoman banyak anak banyak rejeki tak lagi sesuai jika diterapkan pada kondisi seseorang yang memiliki tingkat perekonomian paspasan. Dalam keadaan seperti itu, tidak terpikir untuk memiliki anak lagi dan sebisa mungkin dicegah agar anak yang dimiliki tidak bertambah. Dari pernyataan tersebut disimpulkan bahwa masyarakat telah mengetahui konsekuensi apabila tidak menjalankan program KB, yakni bertambahnya jumlah anak yang dilahirkan, dan keadaan tersebut terganjal oleh kondisi ekonomi yang tidak terlalu baik, sehingga takut akan mengalami kesulitan untuk menghidupi dan merawat anak-anaknya jika tidak ber-KB.
b. Alasan Kesehatan Selain karena alasan perekonomian, pendorong seseorang untuk berKB juga karena alasan kesehatan, salah satunya adalah kesehatan ibu. Seseorang yang tidak ber-KB dan terlalu sering melahirkan akan mempunyai pengaruh yang kurang baik terhadap kesehatan ibu maupun bayi yang dilahirkan. Seperti yang dikatakan oleh bu ST berikut, ”nek anake okeh cilik-cilik i mesakke anake kuwi lho, mbak, perkembangane ra apik, terhambat, kesehatan ibu’e yo terganggu”. (kalau anaknya banyak kecil-kecil kasihan anaknya itu lho, mbak, perkembangannya tidak bagus, terhambat, kesehatan ibunya juga terganggu). (W/ST/27/6/2010). Seorang ibu yang tidak ber-KB dan sering melahirkan, sehingga mempunyai banyak anak yang masih balita dengan jarak kelahiran terlalu dekat akan
lxxxix
berakibat tidak baik terhadap perkembangan anak yang menjadi terganggu dan terhambat, begitu pula dengan kesehatan ibu karena terlalu sering hamil dan melahirkan. Gangguan kesehatan ibu juga dapat dipengaruhi oleh proses kelahiran yang dijalani. Sebagaimana dikatakan oleh bu ST berikut, ”takut ada masalah karo adah bayek’e. Jadi yo dijaga jarake, wedhi hamil lagi, nek sesar kan duite yo akeh, mbak, opo meneh yen bisa dipastikan yen kelahiran berikutnya yo sesar, kan adah bayek’e nggonaku loro, dadi ra isoh lahir normal. Lagian nek sesar kan jarak’e minimal tiga tahun”. (takut ada masalah dengan rahimnya. Jadi dijaga jaraknya, takut hamil lagi, kalau caesar kan biayanya juga banyak, mbak, apalagi kalau sudah bisa diastikan kelahiran berikutnya juga caesar, kan rahim saya dua, jadi tidak bisa lahir normal. Apalagi kalau caesar jaraknya minimal tiga tahun). (W/ST/15/6/2010). Proses kelahiran secara caesar membutuhkan biaya lebih banyak daripada kelahiran normal, selain itu kelahiran secara caesar membutuhkan waktu lebih lama untuk proses kesembuhan, dan pemulihan kesehatan ibu, serta mempersiapkan kelahiran berikutnya. Sedangkan apabila proses kelahiran pertama secara caesar, maka proses kelahiran berikutnya pun hanya dapat dilakukan secara caesar. Ibu yang melahirkan akan mengeluarkan banyak darah, sehingga jika ia sering melahirkan akan terkena anemia. Seperti yang dikatakan oleh bu KT selaku bidan, ”misalnya ibu nggak pakai KB terus sering hamil, ibu biasanya anemia yang pertama, nggak punya kesempatan untuk memperbaiki kondisi tubuh, kalau orang melahirkan kan darah yang keluar banyak, paling nggak ya dianggap normal itu kalau habis persalinan 150 cc atau 200 cc itu kan sudah banyak, ibu harus memulihkan itu dulu, terus nanti masih menyusui, paling ndak 2 tahun pulih alat-alat kandungannya, kalau terlalu cepat ya kasihan ibunya”. (W/KT/29/6/2010). Kesehatan seorang ibu akan terganggu jika tidak menjaga jarak kelahiran, setelah melahirkan ibu perlu waktu untuk memulihkan kondisi tubuh yang
xc
lelah mengeluarkan tenaga dalam proses melahirkan dan mengembalikan jumlah darah yang keluar seiring kelahiran, serta menyusui bayi, setidaktidaknya dibutuhkan waktu 2 tahun untuk kehamilan berikutnya. Masih pernyataan bu KT, ”kalau ibunya terus hamil, takut menyusui, bayinya kekebalannya berkurang”. (W/KT/29/6/2010). Karena itulah, jarak kehamilan dan kelahiran yang terlalu dekat akan membawa dampak yang kurang baik, bukan hanya pada ibu, tapi juga terhadap bayi yang dilahirkan, bayi tersebut akan mengalami kekebalan tubuh yang rendah karena ibunya sudah hamil lagi dan takut untuk menyusui. Jadi disimpulkan bahwa alasan masyarakat untuk ber-KB selain alasan ekonomi adalah alasan kesehatan. Jika seseorang ibu tidak menjaga jarak kehamilan dan kelahiran, maka ibu akan kehilangan kesempatan untuk memulihkan kondisi tubuh pasca melahirkan serta merawat dan menyusui bayinya agar perkembangan dan pertumbuhan bayi tersebut maksimal. Selain itu, ibu dan bayi akan sama-sama sehat jika ibu tidak cepat hamil lagi serta memberikan ASI sebagai sumber kekebalan tubuh bayi.
3. Jenis-Jenis Alat Kontrasepsi yang Digunakan oleh Masyarakat KB yang dijalankan oleh masyarakat, umumnya dilakukan dengan cara menggunakan salah satu dari beberapa alat kontrasepsi sebagai langkah pencegahan kehamilan. Begitu pula KB yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, yang dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi. a. Metode Suntik Salah satu metode kontrasepsi yang digunakan oleh masyarakat Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten untuk ber-KB adalah metode suntik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh bu PS selaku PPKBD berikut, ”kebanyakan daerah kene ki akeh le suntik, wis saiki racakke kebanyakan ibu-ibu wis ngerti arti KB, dadi aku bar iki aku kudhu KB
xci
aku sesuk ndak cepet nde anak, dadi ra ketang dho suntik wis dho KB, mbok kene ki dho nde anak cilik-cilik telung sasi petang sasi wis dho suntik dhewe-dhewe”. (kebanyakan daerah sini ini banyak yang suntik, sekarang ini rata-rata kebanyakan ibu-ibu sudah tahu arti KB, jadi walau cuma suntik sudah KB, daerah sini ini punya anak kecil-kecil 3 bulan 4 bulan sudah suntik sendiri-sendiri). (W/PS/16/6/2010). Kebanyakan ibu-ibu di Sidoharjo telah mengetahui arti penting KB dan sesegera mungkin setelah melahirkan berusaha untuk mendapatkan layanan KB agar tidak cepat hamil kembali, yaitu dengan cara melakukan suntik KB pada bidan praktek swasta. Begitu pula dengan pernyataan bu ES, ”ikut suntik, yo lebih efisien, 3 bulan, tur neh resikone menurut aku lho, ora terlalu besar, paling yo ngko bulanan, aku ra bulanan blas”. (ikut suntik, ya lebih efisien, 3 bulan, terlebih resikonya menurut saya tidak terlalu besar, paling ya nanti menstruasi, saya tidak menstruasi sama sekali). (W/ES/11/6/2010). Pemilihan pada metode suntik karena dipandang lebih efisien, dilakukan setiap 3 bulan sekali. Resiko sebagai efek samping dari metode suntik tidak menstruasi. Metode suntik dilakukan menurut perhitungan bulan, ada yang setiap 1 bulan sekali atau 3 bulan sekali sesuai dengan jadwal waktu untuk melakukan suntikan berikutnya. Seperti yang dikatakan oleh bu ST berikut, ”suntik yo luwih golek amane wae, yo nek pil kan ndadak nganggo ingat-ingat, nek suntik kan wis jatahe wis enek kuwi catethane”. (suntik lebih cari amannya saja, ya kalau pil kan harus ingat-ingat, kalau suntik kan sudah ada catatan jadwalnya). (W/ST/15/6/2010). Metode suntik dipilih karena dinilai lebih aman daripada metode lainnya, dengan adanya jadwal dilakukan penyuntikan berikutnya dan tidak perlu mengingat-ingat kapan harus kembali ke bidan membuat metode tersebut lebih praktis untuk dilakukan. Selain itu efek yang ditimbulkan tidak terlalu besar. Seperti pernyataan bu ST,
xcii
”efek’e dadi lemu, tidak mens, dalam waktu tiga bulan mundhak limang kilo’e, yo jane emoh lemu. Nek mundhak terus yo emoh, suntik i bengi ngono kae sok ndrodhog kadhemen, ko trus nggo turu yo wis mari dhewe, tapi paling cuma 10 menit uwis”. (efeknya jadi gemuk, tidak menstruasi, dalam waktu tiga bulan naik 5 kilogram, ya sebenarnya tidak ingin gemuk, kalau naik terus ya tidak mau, suntik itu kalau malam terkadang menggigil kedinginan, nanti untuk tidur ya sudah sembuh sendiri, tapi paling hanya 10 menit sudah). (W/ST/15/6/2010). Bu ES juga mengatakan hal serupa, ”suntik sok marakke ndrodhog, aku nek mulih bengi opo bar adus kewengen ngono kae wah ndrodhog, tapi yo ra mbendhino, mbak, gur sok-sok, nek hawane ngene iki yo ora”.(suntik terkadang membuat menggigil, saya kalau pulang malam atau mandi kemalaman seperti itu menggigil, tapi juga tidak setiap hari, mbak, hanya kadang-kadang). (W/ES/27/6/2010). Kenaikan berat badan dianggap sebagai sebuah efek samping atau akibat dari penggunaan metode suntik yang tidak dapat dihindari, tidak keluarnya cairan menstruasi dianggap sebagai penyebab kegemukan karena kotoran dalam tubuh tidak dikeluarkan. Selain itu suntik juga dianggap dapat membuat badan menjadi menggigil tanpa sebab. Namun hal tersebut tidak berlangsung setiap hari, hanya kadang-kadang dan tidak diperlukan pengobatan karena akan hilang dengan sendirinya dalam waktu 10 hingga 15 menit. Bu KT selaku bidan justru berpendapat sedikit berbeda, ”suntik efeknya karena ini isinya kan hormon, kalau misalnya di dalam perjalanan waktu itu dia menderita mioma atau apa itu bisa menambah pembesarannya, jadi setiap kali dia mau disuntik harus diperiksa, kan 3 bulan sekali datang ke bidan atau praktek swasta mana, jadi dia ada kelainan kulit ndak, ada benjolan di payudara ndak, jadi harusnya dikontrol”. (W/KT/19/6/2010). Masih pernyataan bu KT,
xciii
”kalau efek gemuk itu ya tergantung sama nafsu makannya juga, kadang-kadang kalau ibunya nggak haid, nggak keluar itu bisa gemuk, ya itu efek hormonal, tapi biasanya ibu terpengaruh sama hormonnya terus nafsu makannya meningkat, kalau semakin lama semakin gemuk ya tapi tidak semuanya, ada beberapa. Kalau suntik bikin ndrodhog ndak ada, ndak ada pengaruhnya”. (W/KT/29/6/2010). Efek yang dapat ditimbulkan akibat penggunaan metode suntik adalah pembesaran mioma yang diderita akseptor karena suntik KB berisi hormon. Sebelum dilakukan penyuntikan perlu diadakan pemeriksaan terhadap diri akseptor secara berkala untuk mencegah efek yang tidak diinginkan. Sementara itu, bu KT pun membenarkan efek gemuk yang terjadi pada akseptor KB suntik sebagai akibat tidak keluarnya cairan menstruasi dan peningkatan nafsu makan yang terpengaruh oleh hormon dalan zat yang disuntikkan. Namun, bu KT membantah bila dikatakan bahwa suntik KB membuat badan menjadi menggigil kedinginan, menurutnya hal itu tidak berhubungan. Namun demikian metode suntik tetap dipilih karena biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan dirasa lebih terjangkau daripada metode lain. Para akseptor umumnya lebih memilih bidan praktek swasta sebagai tempat untuk mendapatkan pelayanan KB suntik. Seperti yang dikatakan bu ES, ”suntik neng bidan desa, mbak, murah sekali, 12 ribu 3 bulan daripada tidak”. (suntik di bidan desa, mbak, murah sekali, Rp 12.000,- 3 bulan daripada tidak). (W/ES/11/6/2010). Bu ST pun mengungkapkan hal yang tak jauh berbeda, ”neng bidan, 22 ribu 3 bulan, enggak keberatan yo standar sih”. (di bidan Rp 22.000,- 3 bulan, tidak keberatan ya standar sih). (W/ST/15/6/2010). Hal tersebut mendapat dukungan dari bu YN, ”kulo biasane ten bidan, mbak, nek suntik, Puskesmas nggih podho bidan sing nangani, nek Puskesmas lha kan biasane Puskesmas kan bidane kadang enten kadang mboten ngenten lhe, kulo suntik ten bidan
xciv
biayane Rp 20.000,- satu kali 3 bulan”. (saya biasanya di bidan, mbak, kalau suntik, Puskesmas juga sama bidan yang menangani, kalau Puskesmas kan biasanya bidannya akdang ada kadang tidak ada gitu lho, saya suntik di bidan Rp 20.000,- satu kali 3 bulan). (W/YN/4/7/2010). Bidan praktek swasta lebih diplih sebagai tempat untuk mendapatkan pelayanan KB suntik karena alasan bidan lebih sering bisa dipastikan berada di rumah, saat di Puskesmas bidan jarang ada di tempat karena harus menghadiri berbagai pertemuan. Biaya yang dikeluarkan akseptor untuk mendapatkan layanan KB suntik bervariasi, tergantung pada jenis obat dan merek dagang cairan yang disuntikkan pada tubuh akseptor. Dari uraian tersebut, disimpulkan bahwa KB suntik lebih dipilih karena mudah didapatkan, yaitu dengan mendatangi tempat praktek bidaan swasta dengan biaya yang dirasa masih terjangkau. Selain itu efek yang ditimbulkan oleh suntik KB dianggap tidak terlalu menganggu bagi diri akseptor.
b. Metode Implan Meskipun beberapa akseptor takut menggunakan metode implan, namun selain suntik masyarakat Sidoharjo juga ada yang menggunakan metode implan. Sebagaimana yang dinyatakan bu YN, ”KB implan tumut safari bulan April wingi”. (KB implan ikut safari bulan April kemarin). (W/YN/4/7/2010). KB metode implan didapatkan dari penyelenggaraan safari KB pemerintah yang diselenggarakan pada bulan April 2010 di Puskesmas Desa Jimus Kecamatan Polanharjo, dengan biaya yang lebih ringan daripada jalur swasta. Seperti pernyataan bu PN berikut, “melu safari, lha nek KB dhewe mbayar dhewe nggak punya uang, nek safari kan kacek’e okeh, gur mbayar 25, nek dhewe kan nganti 200, iki aku nganggo Jamkesmas, mbak, dadi ra mbayar, nek mandiri kabotan, mbak”. (ikut safari, kalau KB sendiri bayar sendiri tidak punya uang,
xcv
kalau safari kan biayanya terpaut banyak, hanya bayar Rp 25.000,-, kalau mandiri kan sampai Rp 200.000,-, ini saya pakai Jamkesmas, mbak,
jadi
tidak
bayar,
kalau
mandiri
keberatan,
mbak).
(W/PN/3/6/2010). Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan bu YN, “nek niki ndherek safari kan 25 ribu 3 tahun, copot bayar 25 lagi kan bongkar pasang masing-masing 25 ribu, tumut safari yo biayane kan ringan, luwih ringan nek daripada pribadi. Niki untuk 3 tahun jarume 2, bayare cuman 25 ribu kalau safari, kalau nggak safari itu kan di atas seratus, nek dipikir-pikir karo suntik kan nggih murah niki, pilih safari” (kalau ini ikut safari kan Rp 25.000,- 3 tahun, lepas bayar Rp 25.000,- lagi kan bongkar pasang amsing-masing Rp 25.000,-, ikut safari ya biayanya kan ringan, lebih ringan kalau daripada pribadi. Ini untuk 3 tahun jarumnya 2, bayarnya hanya Rp 25.000,- kalau safari, kalau bukan safari itu kan di atas Rp 100.000,-, kalau dipikir-pikir sama suntik kan juga murah ini, pilih safari).(W/YN/4/7/2010). KB metode implan yang didapat dari penyelenggaraan safari KB hanya dikenakan biaya sebesar Rp 25.000,- untuk pemasangan. Jumlah tersebut dianggap murah bila dibandingkan dengan KB mandiri yang mencapai ratusan ribu rupiah. Sehingga penyelenggaraan safari KB tersebut menjadi pilihan bagi bu PN dan bu YN yang mengaku keberatan bila melakukan KB secara mandiri. Ditambahkan pula oleh bu PS, ”safari alatnya gratis, tapi untuk yang mengerjakan tu nganggo biaya, soale kan nganggo obat barang, pamane pasang susuk safari kuwi biasane nek pasang dhewe kuwi yo larang berapa puluh, ning nek safari kuwi gur mbantu 25 kanggo pengobatan”. (safari alatnya gratis, tapi untuk yang mengerjakan itu ada biayanya, soalnya kan ada obatnya juga, seandainya pasang susuk safari itu biasanya kalau pasang sendiri itu ya mahal berapa puluh, tapi kalau safari itu hanya membantu Rp 25.000,- untuk pengobatan). (W/PS/16/6/2010).
xcvi
Keikutsertaan atau partisipasi dalam menggunakan metode implan mempunyai latar belakang
adanya program safari KB pemerintah yang
memberikan layanan KB dengan biaya ringan. Sejauh ini, keadaan ekonomilah yang mendorong para informan untuk menjalani KB dengan metode implan dari pemerintah. Dari pernyataan tersebut tersirat bahwa masyarakat mengalami kesulitan atau keberatan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan alat atau layanan KB secara mandiri. Namun demikian, program safari tidak dapat melayani akseptor untuk ber-KB setiap waktu, melainkan dalam kurun waktu tertentu yang telah ditentukan. Sebagaimana dinyatakan oleh bu PS selaku PPKBD, ”waktunya ditentukan, terus kita cari sopo sing arep melu ki biayane ringan, biasane setiap 5 bulan atau setengah tahun sekali”. (waktunya ditentukan, lalu kita cari siapa yang akan ikut ini biayanya ringan, biasanya setiap 5 bulan atau enam bulan sekali). (W/PS/23/6/2010). Safari KB diadakan setiap 5 bulan atau 6 bulan sekali, dan sudah menjadi tugas PPKBD untuk mencari dan mengajak akseptor baru untuk mengikuti atau mendapat layanan KB dari program safari dengan biaya ringan. Efek dari penggunaan implan pun dirasa tidak terlalu menganggu. Seperti yang dikatakan oleh bu YN berikut, ”implan biasa mboten enten efek sampinge, kemeng kadang-kadang nek ngangkat abot-abot, nggih nek biasa nggih mboten, kadang pegelpegel koyo cekrik-cekrik ngoten lhe, mbak, paling nek pas kesel thok pegel,
nek
ngge
istirahat
mari,
nopo
dibaluri
remashon”
(implan…biasa tidak ada efek sampingnya, pegal kadang-kadang kalau mengangkat berat, ya kalau biasa juga tidak, kadang pegal-pegal seperti cekrik-cekrik, mbak…paling kalau pas capek saja pegel, kalau untuk istirahat sembuh, atau dibaluri balsem).(W/YN/4/7/2010). Bu PN juga mengatakan hal serupa, ”susuk ra enek efek’e, biasa wae yen aku, bulanane rutin, yen aku yo tak jogo ojo nggo abot-abotan, nek nggo abot-abotan tangane gampang kemeng”. (susuk tidak ada efeknya, biasa saja kalau saya,
xcvii
menstruasinya rutin, kalau saya ya dijaga tidak dipakai untuk beraktivitas berat-berat, kalau untuk berkativitas berat tangannya mudah pegal). (W/PN/3/7/2010). Terkadang implan
dapat
menyebabkan tangan
kiri
sebagai
tempat
penginsersian jarum terasa pegal. Namun rasa pegal tersebut tidak terlalu menganggu karena bisa dengan cepat sembuh kembali, serta dapat dicegah dengan tidak melakukan aktivitas berat atau mengangkat benda yang berat. Selain itu metode implan juga membuat berat badan menjadi naik. Seperti yang dikatak bu YN, ”implan kulo nggih berat badane naik terus, sebulan pertama setelah pasang niku men kulo mundhak 7 kg, nafsu makane nggih biasa”. (implan saya berat badannya juga naik terus, sebulan pertama setelah pasang itu saja naik 7 kg, nafsu makannya ya biasa).(W/YN/4/7/2010). Metode implan yang dilakukan bu YN membuat berat badannya naik secara drastis, yaitu sebanyak 7 kg dalam waktu satu bulan setelah pemasangan, dan tanpa peningkatan nafsu makan. Dari uraian tersebut, disimpulkan bahwa metode KB implan dipilih karena diperoleh dari adanya penyelenggaraan safari KB pemerintah, dimana biaya yang dikeluarkan akseptor hanya sebesar Rp 25.000,- masing-masing untuk pemasangan dan pelepasan jarum implan, biaya tersebut jauh lebih murah daripada jika diperoleh dari KB mandiri yang mencapai ratusan ribu rupiah. Metode implan dari safari KB, berjangka 3 tahun dengan jumlah jarum yang ditanam sebanyak 2 buah.
c. Kondom Jenis alat kontrasepsi yang digunakan oleh masyarakat Sidoharjo, yang ketiga adalah kondom. Kondom digunakan karena alasan alat kontrasepsi lainnya dapat membuat tubuh akseptor perempuan menjadi genuk. Sebagaimana yang dikatakan oleh bu EK berikut, ”aku nganggo kondom i, pokoke aku wegah lemu terus mandheg, pakne tak omongi kon nganggo kondom”. (saya pakai kondom,
xcviii
pokoknya saya tidak mau gemuk lalu berhenti, bapaknya saya beritahu suruh pakai kondom). (W/EK/28/6/2010). Alat kontrasepsi lain selain kondom akan membuat badan akseptor menjadi gemuk, karena itu ia memutuskan agar suaminya saja yang menggunakan alat kontrasepsi kondom. Selain itu, kondom juga dipandang tidak mempunyai efek samping. Seperti yang diungkapkan berikut, ”kondom ra enek efek’e, nek aku lho, ra enek efek’e”. (kondom tidak ada efeknya, kalau saya lho, tidak ada efeknya). (W/EK/28/6/2010). Cara untuk mendapatkan kondom sangat mudah, karena tersedia di apotek-apotek sehingga memudahkan akseptor untuk membeli. Selain itu, PPKBD juga menyediakan secara gratis. Seperti yang diungkapkan oleh bu PS, ”di rumah membagikan kontrasepsi pil, kondom kuwi, memang kulo king mriko angsal jatah. Nek pil, kondom tersedia, tidak bayar, ya kita memberikan ya satu wadah”. (di rumah membagikan kontrasepsi pil, kondom itu, memang saya dari sana [PLKB] mendapat jatah, kalau pil, kondom tersedia tidak bayar, ya kita memberikan ya satu wadah). (W/PS/16/6/2010). Pemerintah memberikan alat kontrasepsi berupa pil dan kondom secara gratis kepada siapa saja yang berminat. Kepraktisan penggunaan kondom dinilai sebagai salah satu alasan mengapa akseptor lebih memilih untuk menggunakan kondom. Seperti yang dikatakan bu EK berikut, ” suntik marakke lemu, nek pil aku mangane ora mbendhino, males aku mangane nek arep campur thok, yo wis nganggo kondom”. (suntik membuat gemuk, kalau pil saya makannya tidak setiap hari, malas saya makannya kalau mau berhubungan saja, ya sudah pakai kondom). (W/EK/12/6/2010). Kondom dipilih karena alasan kepraktisan penggunaannya yang dapat digunakan setiap waktu bila dibutuhkan saja.
xcix
Kesimpulan Hasil Temuan Beberapa kesimpulan hasil temuan adalah sebagai berikut: Pertama, seperti yang dikatakan oleh bu PS bahwa masyarakat Desa Sidoharjo umumnya telah mengetahui arti KB, yaitu upaya atau cara untuk mencegah kehamilan dan menjaga jarak kelahiran, serta manfaat KB, sehingga para ibu cepat tanggap untuk melakukan KB segera setelah melahirkan. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan bu ST yang melakukan KB beberapa saat setelah melahirkan. Persepsi masyarakat Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten mengenai program KB ada tiga. Yang pertama adalah KB merupakan kewajiban perempuan, hal tersebut dibenarkan oleh bu ES yang menganggap bahwa KB adalah tanggung jawabnya sebagai seorang perempuan, karena ia merasa kasihan kepada suaminya yang bekerja sebagai kepala rumah tangga. Hal itu juga mendapat dukungan dari bu PN, yang menyatakan
bahwa
selama
perempuan
masih
bisa
ber-KB,
maka
perempuanlah yang harus menjadi akseptor KB, jika perempuan tak lagi memungkinkan untuk ber-KB, barulah laki-laki yang menjadi akseptor. Sementara itu, bu YN berpendapat bahwa laki-laki yang menajdi akseptor akan mengalami efek samping pada diri laki-laki tersebut, yaitu penurunan daya fisik atau tenaga laki-laki sehingga akan berpengaruh terhadap aktivitasnya dalam bekerja mencari nafkah. Persepsi
kedua
yaitu
KB
hanya
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan alat kontrasepsi. Hal tersebut dinyatakan oleh bu WS, bahwa yang disebut melakukan KB harus memakai salah satu alat kontrasepsi yang ada sesuai kecocokan masing-masing akseptor. Begitu pula dengan bu PN, yang menyatakan bahwa KB itu berarti memakai alat kontrasepsi yang dipilih menurut kesenangan dan kemantapannya. Namun demikian, bu KT justru berpendapat berbeda dengan bu WS dan bu PN, menurutnya KB itu tidak hanya harus memakai alat, tapi juga dapat dilakukan melalui cara-cara pencegahan kehamilan seperti pantang berkala atau sistem kalender, dan koitus interuptus. Upaya-upaya pencegahan
c
kehamilan dapat dilakukan dengan cara sederhana, menggunakan alat, atau mengkonsumsi obat. Selain itu, persepsi mengenai KB ketiga adalah beberapa metode kontrasepsi menakutkan baagi akseptor. Diungkapkan bu ST takut terhadap metode IUD, ia menyatakan takut pada suatu alat yang dimasukkan ke dalam rahim. Hal tersebut juga senada dengan pernyataan bu EK takut pada metode implan, IUD, dan tubektomi. Ia takut akan tindakan operasi atau pembedahan dan pembiusan sebagai langkah awal pemasangan atau penginsersian alat kontrasepsi. Sedikit berbeda dari bu ST dan bu EK, bu ES takut terhadap metode implan yang menurutnya beresiko jika dipakai untuk mengangkat benda berat, karena jarum yang diinsersikan bisa berjalan mengikuti aliran darah. Bu ESW menyatakan hal yang tak jauh berbeda, ia mengkhawatirkan metode implan yang katanya jarumnya bisa terlepas dari tempat insersi. Kesimpulan kedua adalah hal yang melatarbelakangi masyarakat mengikuti program KB. Yang pertama adalah alasan ekonomi, seperti yang diungkapkan oleh bu ES, jika hamil terus dan mempunyai anak banyak, takut anak akan tidak terurus, selain itu juga permasalahan pendidikan dan perawatan anak akan terbengkalai. Hal tersebut juga mendorong bu ESW untuk ber-KB, karena tak ingin punya banyak anak, dan jika punya banyak anak khawatir tidak mampu menyekolahkan anak hingga ke jenjang pendidikan yang tinggi. Bu YN juga menegaskan hal yang sama, jika dirinya tidak KB pasti akan punya banyaka anak, sedangkan biaya hidup sekarang tidak murah, sehingga ia tidak ingin menambah anak lagi dan tidak pernah terpikir untuk punya anak lagi. Hal yang melatarbelakangi keikutsertaan ber-KB yang kedua adalah alasan kesehatan. Sebagaimana pernyataan bu ST, jika punya banyak anak dan masih kecil-kecil akan terganggu perkembangannya. Selain itu bu ST juga menambahkan bahwa ia takut akan ada masalah dengan rahimnya jika tidak menjaga jarak kehamilan. Hal tersebut terkait dengan proses kelahiran anak
ci
pertamanya secara caesar, kelahiran berikutnya pun dipastikan secara caesar. Sedangkan kelahiran caesar membutuhkan jarak 3 tahun dengan kelahiram berikutnya. Ditambahkan pula oleh bu KT, jika seorang ibu tidak ber-KB dan sering melahirkan, ibu tersebut akan mengalami anemia, karena saat melahirkan banyak darah yang dikeluarkan sehingga seorang ibu perlu waktu sebelum hamil kembali untuk memulihkan alat kandungan dan kesehatannya. Selain itu, jika ibu yang mempunyai anak masih bayi kemudian hamil kembali, lalu ia takut menyusui bayinya, kekebalan bayi tersebut akan rendah. Kesimpulan ketiga adalah jenis kontrasepsi yang digunakan oleh masyarakat Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten ada tiga, yaitu suntik, implan dan kondom. Yang pertama adalah suntik, hal tersebut sesuai dengan pernyataan bu PS, bahwa daerah Sidoharjo kebanyakan ibu-ibu cepat tanggap melakukan metode suntik agar tidak cepat hamil lagi. Sekitar 3 atau 4 bulan pascamelahirkan, para ibu telah melakukan suntik KB secara mandiri. Metode suntik dianggap efisien oleh bu ES, karena dilakukan penyuntikan setiap 3 bulan sekali dengan biaya sebesar Rp 12.000,- untuk sekali suntik. Biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan suntik KB bervariasi, bu YN harus mengeluarkan sebesar Rp 20.000,-, sedangkan bu ST mengeluarkan biaya sebesar Rp 22.000,-. Selain itu, menurut bu ST metode suntik lebih aman karena sudah ada catatan jadwal waktu penyuntikan berikutnya sehingga tidak perlu mengingat-ingat seperti mengkonsumsi pil KB. Masih pernyataan bu ST, bahwa metode suntik membuat badan menjadi gemuk, tidak menstruasi, dan terkadang pada malam hari menyebabkan badan menggigil kedinginan. Akan tetapi selaku bidan, bu KT berpendapat sedikit berbeda, bahwa suntik tersebut berisi hormon sehingga jika akseptor menderita mioma, suntikan tersebut dapat menambah pembesarannya, maka setiap akan dilakukan penyuntikan harus diadakan pemeriksaan terhadap diri akseptor terlebih dahulu. Mengenai efek gemuk, bu KT memebenarkan hal tersebut sebagai suatu hormonal yang membuat nafsu makan meningkat dan tidak
cii
menstruasi. Sedangkan pernyataan suntik dapat menyebabkan badan menggigil, bu KT membantahnya dan menyatakan hal tersebut tidak ada pengaruhnya. Untuk layanan KB suntik, para akseptor mendapatkannya dengan mendatangi tempat praktek swasta bidan. Sebagaimana dinyatakan oleh bu YN, bahwa ia memilih untuk mendatangi bidan di rumahnya daripada di Puskesmas karena bidan yang bertugas disana kadang tidak ada di tempat. Metode kontrasepsi yang kedua adalah implan (susuk). Pelayanan KB implan didapat dari mengikuti safari KB yang diadakan oleh pemerintah. Hal tersebut dibenarkan oleh bu YN yang mengikuti safari KB pada bulan April 2010. Biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan layanan KB dari safari lebih ringan dibandingkan KB mandiri, seperti yang dinyatakan bu PN, KB mandiri keberatan dengan biayanya, sedangkan ikut safari hanya membayar Rp 25.000,- untuk pemasangan implan, apabila KB mandiri untuk implan biayanya dapat mencapai ratusan ribu rupiah. Bu PN menggunakan Jamkesmas sehingga tidak mengeluarkan biaya sama sekali atau gratis. Hal senada juga diungkapkan bu YN, bahwa biaya layanan KB safari lebih ringan, hanya dengan mengeluarkan biaya Rp 25.000,- untuk pemasangan implan 2 jarum untuk 3 tahun, dan membayar Rp 25.000,- lagi untuk pelepasan jarum setelah 3 tahun. Menurutnya, metode implan ini lebih murah daripada KB suntik secara mandiri. Program safari tersebut tidak diadakan setiap saat, namun secara berkala yaitu setiap 5 atau 6 bulan sekali bertempat di Puskesmas yang ditunjuk. Hal tersebut dibenarkan oleh bu PS. Penggunaan metode implan berakibat pada kenaikan berat badan, selain itu juga membuat tangan tempat insersi jarum terkadang terasa pegal. Seperti yang diungkap oleh bu YN, bahwa berat badannya naik 7 kg setelah satu bulan pemasangan implan, tangannya pun kadang terasa pegal setelah digunakan untuk mengangkat benda berat, namun hal itu hanya terjadi jika kecapean saja, dan akan sembuh setelah istirahat atau dibaluri dengan balsem. Kontrasepsi yang ketiga adalah kondom. Sebagaimana yang diungkapkan bu EK, bahwa ia menggunakan kondom, hal tersebut dilakukan
ciii
karena dirinya tidak mau gemuk. Alat kontrasepsi lain seperti suntik dan pil membuat tubuh menjadi gemuk. Kondom pun mudah didapatkan di apotek atau dari PPKBD, seperti dikatakan bu PS, bahwa dirinya selaku PPKBD mendapatkan pil dan kondom gratis dari PLKB, dan diberikan secara gratis pada siapa saja yang membutuhkan. Selain itu penggunaan kondom juga sangat praktis sebagaimana dinyatakan oleh bu EK, bahwa ia malas menggunakan suntik atau pil KB karena merasa dirinya jarang berhubungan dengan suaminya sehingga ia lebih memilih kondom.
C.
Temuan Hasil Studi yang Dihubungkan dengan Kajian Teori Manusia merupakan makhluk yang senantiasa membutuhkan kehadiran
manusia lain dalam hidupnya. Manusia selalu melakukan aktivitasnya dalam kebersamaan masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Linton (1936:91), “A society is any group of people who have lived and worked together long enough to get themselves organized and to think of themselves as a social unit with welldefined limits”. Masyarakat Sidoharjo telah memenuhi syarat tersebut. Jumlah penduduk Desa Sidoharjo menurut jenis kelamin sesuai dengan data monografi desa pada tahun 2009 tercatat sebanyak 3376 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1634 jiwa, dan perempuan sebanyak 1742 jiwa, yang menempati wilayah Desa Sidoharjo seluas 177,5955 Ha. Wilayah Desa Sidoharjo terbagi menjadi 10 Dukuh, yaitu Dukuh Ploso, Sidoharjo, Kauman, Krajan, Demangan, Lor Pasar, Kliwonan, Tlobong, Sumberjo, dan Purwogondo. Dengan jumlah RW sebanyak 11, dan 911 kepala keluarga. Desa Sidoharjo mempunyai satu Kalurahan
sebagai
wadah
untuk
menampung
aspirasi
dan
tempat
permusyawaratan masyarakat Desa Sidoharjo. Dari uraian di atas Desa Sidoharjo telah memenuhi kriteria sebagai suatu masyarakat. Jika dilihat dari tempat tinggalnya, masyarakat Sidoharjo merupakan masyarakat pedesaan. Masyarakat desa memiliki ciri-ciri yang khas, yaitu:
civ
a) Jumlahnya kecil, dengan tempat tinggal yang terpencil, jauh dari keramaian kota. b) Relatif bersifat homogen dengan rasa persatuan yang kuat. c) Memiliki sistem sosial yang teratur dengan perilaku tradisionalnya. d) Rasa persaudaraan yang sangat kuat. e) Taat pada ajaran-ajaran agama dan menurut kepada pemuka masyarakat.(Darsono Wisadirana, 2004: 49). Desa Sidoharjo merupakan suatu wilayah dengan kelompok masyarakat yang relatif homogen, misalnya dalam hal kepercayaan (agama) dan pekerjaan, serta menempati suatu wilayah dengan kegiatan utama pada sektor pertanian. Sebagian besar penduduk Desa Sidoharjo memeluk agama Islam, yakni sebanyak 3361 orang, sedangkan sisanya sebanyak 15 orang memeluk agama Katholik. Agama lain seperti Kristen, Budha, dan Hindu tidak ada. Mata pencaharian masyarakat Desa Sidoharjo sebagian besar bekerja di bidang pertanian, baik sebagai petani pemilik sawah maupun buruh tani. Namun demikian ada pula warga yang bekerja sebagai buruh, PNS, pedagang, peternak, Bidan, dan lain-lain. Selain itu, menurut sifatnya, masyarakat Sidoharjo merupakan masyarakat yang bersifat gemeinshcaft (paguyuban), dimana hubungan diantara anggotanya erat. Masyarakat tipe ini mempunyai ikatan darah dan rasa persaudaraan kuat di antara anggotanya, serta saling mengenal.
1. Persepsi Masyarakat Mengenai Program KB Hubungan dan interaksi manusia dengan sesamanya salah satunya berdasar pada kebutuhan biologis, menjadikan lahirnya manusia-manusia baru sebagai suatu hal yang tidak dapat dihindari. Lahirnya manusia baru tersebut semakin lama semakin tak terkendali, oleh karena itu diperlukan adanya suatu tindakan sebagai langkah preventif agar tidak terjadi ledakan penduduk atau over populasi. Tindakan pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan program Keluarga Berencana, yaitu suatu upaya atau langkah yang dilakukan untuk membatasi kelahiran dan menjaga jarak kehamilan. Sebagaimana yang
cv
diungkapkan oleh bu ES, yang mengatakan melakukan KB agar tidak punya banyak anak. (W/ES/12/6/2010). Langkah-langkah pencegahan kehamilan tersebut dilakukan dengan cara sederhana maupun dengan cara modern. Maka dari itu partisipasi dalam mengikuti KB merupakan suatu tindakan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Seperti yang diungkapkan oleh bu ESW, meskipun ia tidak menggunakan alat kontrasepsi, tetapi dirinya tetap melakukan upaya pencegahan kehamilan dengan cara sederhana, yaitu pantang berkala. Sementara itu, bu ES, bu ST, bu PN, dan bu YN memilih menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Tindakan atau upaya yang dilakukan untuk mencegah kehamilan atau ber-KB, ikut didasari pula oleh persepsi yang dimiliki masing-masing individu. Sebagaimana dikatakan ahli, ”persepsi melandasi sikap dan perilaku”. (Monty P. Satiadarma, 2001:49). Maka dari itu, bagaimana partisipasi seseorang dalam berKB tergantung oleh persepsi yang dimiliki, sebagaimana yang dikatakan oleh bu ST, bahwa dirinya tidak pernah mendapat penerangan atau penyuluhan tentang KB dari manapun, sehingga pengetahuannya tentang KB pun terbatas. (W/ST/15/6/2010).
a. KB Merupakan Kewajiban Perempuan Persepsi masyarakat mengenai program KB yang pertama adalah KB merupakan suatu kewajiban seorang perempuan. Dengan adanya persepsi tersebut, membuat sebagian besar akseptor KB adalah perempuan, sementara partisipasi laki-laki sangat kecil. Hal tersebut terkait erat adanya pengaruh faktor sosial dan budaya, sebagaimana diungkapkan oleh ahli, “Setidaknya ada dua faktor penghambat untuk meningkatkan partisipasi publik Indonesia, yakni faktor sosial dan budaya”. (Sudharto P. Hadi, 1997: 101). Secara sosiologis, minimnya akses terhadap informasi mengenai KB serta adanya perilaku turun temurun bahwa yang menjadi akseptor adalah para perempuan membuat persepsi KB merupakan kewajiban perempuan terlanjur melekat dalam pikiran sebagian masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh bu ES,
cvi
yang mengatakan dengan tegas bahwa KB adalah kewajiban perempuan dan merupakan hal yang tabu jika laki-laki yang ber-KB atau menjadi akseptor KB. (W/ES/27/6/2010). Pernyataan bu ES tersebut mendapat dukungan dari bu YN dan bu PN. Selama perempuan masih dapat menjadi akseptor, maka perempuanlah yang KB, jika tidak barulah laki-laki yang terpaksa menggantikan perempuan. Persepsi tersebut juga diperkuat oleh rendahnya perhatian laki-laki terhadap berbagai hal mengenai KB yang dilakukan oleh istri mereka, seperti bu YN yang memilih sendiri alat kontrasepsi yang dipakainya tanpa minta pertimbangan dari seaminya, karena suaminya pun hanya diam saja saat dimintai pertimbangan. (W/YN/4/7/2010).
b. KB Hanya Dapat Dilakukan dengan Menggunakan Alat Kontrasepsi Persepsi masyarakat Sidoharjo yang kedua mengenai KB adalah bahwa KB hanya dapat dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi. KB merupakan tindakan pencegahan kehamilan atau kelahiran, baik untuk sementara atau untuk selamanya. Sebagaimana dinyatakan, ”Keluarga Berencana (KB) artinya mengatur jumlah anak sesuai kehendak, dan menentukan
sendiri
kapan
ingin
hamil”.
(http://situs.kesrepro.info/kb?referensi.htm). Dengan KB, seseorang akan lebih mudah untuk mengatur dan merencanakan jumlah anak dan jarak kelahiran yang diinginkan. Menurut bu WS, cara-cara KB yang dilakukan untuk mencegah kehamilan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi
yang
ada
sesuai
dengan
kecocokan
tubuh
akseptor.
(W/WS/29/6/2010). Pernyataan tersebut mendapat dukungan dari bu PN yang mengatakan hal senada. Persepsi ini timbul karena adanya berbagai macam pilihan alat kontrasepsi yang membantu mencegah kehamilan, sehingga muncullah persepsi atau anggapan jika tidak memakai alat kontrasepsi sama dengan tidak ber-KB. Karena tidak digunakannya alat kontrasepsi, jadi tidak ada suatu alat yang mencegah terjadinya pembuahan dan kemungkinan terjadinya kehamilan sangat tinggi.
cvii
Namun pernyataan bu WS dan bu PN tersebut mendapat sanggahan dari bu KT, ia menyatakan bahwa KB tidak hanya memakai alat kontrasepsi, tetapi dapat pula dilakukan dengan cara-cara sederhana seperti pantang berkala/ sistem kalender dan koitus interuptus, meskipun memang cara-cara sederhana tersebut mempunyai resiko kegagalan yang lebih tinggi daripada jika memakai alat kontrasepsi. Bu KT pun menegaskan hal tersebut masih lebih baik daripada tidak ber-KB sama sekali. (W/KT/19/6/2010).
c. Beberapa Metode Kontrasepsi Menakutkan Bagi Akseptor Persepsi yang ketiga mengenai program KB adalah ketakutan terhadap beberapa metode atau alat kontrasepsi menurut akseptor. ”Hal ini tidak hanya karena terbatasnya metode yang tersedia, tetapi juga oleh ketidaktahuan mereka tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut”, (Abdul Bari Saifuddin, 2003: v). Oleh karena itulah, ketakutan para akseptor disebabkan kurangnya informasi dan pengetahuan yang mantap mengenai KB dan alat kontrasepsi yang ada, sehingga ketakutan hanya mereka sendiri yang menciptakannya, sedangkan keamanan alat kontrasepsi yang ada sudah tentu telah teruji. Sebagaimana yang diungkapkan bu ST, bahwa takut dengan metode IUD yang pengaplikasiannya dilakukan dengan cara menanam suatu alat ke dalam rahim dan ditinggalkan di sana dalam jangka waktu tertentu yang cukup lama. (W/ST/6/7/2010). Ketakutan pun dialami oleh bu EK yang takut pada metode implan, IUD dan tubektomi, serta bu PN yang takut pada metode tubektomi. Ketakutan tersebut dikarenakan minimnya pengetahuan cara menggunakan, efek samping, dan cara kerja dari masingmasing alat kontrasepsi. Selain itu, bu ES dan bu ESW mengaku takut pada jarum implan akan terlepas dari tempat penginsersian jika tangannya digunakan untuk mengangkat benda berat. Sedangkan kesehariannya, mereka beraktivitas dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kekuatan kedua tangannya.
cviii
Bu KT berpendapat sedikit berbeda, bahwa ketakutan akan efek atau resiko dari kontrasepsi implan tersebut dapat diminimalisir dengan mencegah menggunakan tangan untuk beraktivitas berat selama seminggi pasca penginsersian jarum, dan selalu menjaga kebersihan tempat insersi jarum. (W/KT/29/6/2010).
2. Latar Belakang Masyarakat Mengikuti Program KB Partisipasi masyarakat dalam mengikuti KB ditentukan sendiri oleh masing-masing keluarga dengan penuh kesadaran. Suatu hal yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab akan membawa hasil yang positif. Demikian pula dengan partisipasi dalam ber-KB, masyarakat telah tahu betul apa manfaat yang akan dapat diambil setelah berpartisipasi. Sebagaimana dikatakan ahli, bahwa masyarakat akan tergerak untuk berpartisipasi jika ”... Partisipasi itu memberikan manfaat langsung kepada masyarakat
yang bersangkutan”.
(Goldsmith dan Blustain dalam Taliziduhu Ndraha, 1990: 105). Masyarakat akan tergerak dan turut berpartisipasi apabila keikutsertaannya dapat memberikan manfaat langsung kepada pihak yang bersangkutan. Sebagaimana dikatakan bu YN, ia merasakan manfaat KB adalah menjarangkan kelahiran dan tidak menambah jumlah anak. (W/YN/4/7/2010). Dengan ber-KB, masyarakat dapat mengambil manfaat dari partisipasi menjadi akseptor tersebut, namun masingmasing keluarga memiliki motif dan tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing.
a. Alasan Ekonomi Alsan pertama mengapa masyarakat mengikuti KB adalah karena faktor ekonomi. Alasan ini sangat relatif dan tergantung pada masing-masing kondisi perekonomian keluarga pelaku KB. Hal inilah yang mendorong bu YN untuk ber-KB dan tidak ingin mempunyai anak lagi, mengingat kondisi ekonominya yang pas-pasan, serta sedikit mengalami kesulitan dalam mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga tak terpikir olehnya untuk menambah jumlah anak. (W/YN/4/7/2010). Logika berpikir para akseptor
cix
cukup sederhana, dengan berpikir bahwa banyak anak semakin membutuhkan biaya hidup banyak pula, berbeda dengan pemikiran orang masa dulu yang berpikir bahwa banyak anak akan banyak rejeki. Konsep pemikiran tersebut tak lagi sesuai jika diterapkan dalam kondisi masyarakat pada masa ini. Anak yang banyak di dalam keluarga dengan perekonomian yang pas-pasan akan beresiko kekurangan perhatian dan perawatan dari orang tua. Hal inilah yang dicemaskan oleh bu ES, seandainya punya banyak anak, ia khawatir anak tidak terurus, perawatan serta pendidikan akan terbengkalai, berbeda jika anak yang dimiliki sedikit. (W/ES/11/6/2010). Sesungguhnya, ” orang tua akan lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, tempat tinggal dan terutama pendidikannya, seandainya jumlah anak tidak terlalu banyak”. (Irma Meliana, 2007: 72 dalam Yohanes Setiyawan, 2008: 67). Hal tersebut pula yang dilakukan bu YN, bu ESW, bu EK dan bu ES, yang melakukan KB dengan tujuan agar tidak mempunyai anak lagi, dan diharapkan dapat merawat dan memenuhi kebutuhan anak-anak dengan sebaik-baiknya sesuai hak mereka sebagai manusia.
b. Alasan Kesehatan Alasan yang kedua adalah alasan kesehatan. Hal tersebut merujuk pada pentingnya menjaga jarak kehamilan dan kelahiran agar ibu dan bayi yang dilahirkan sama-sama sehat sehingga dapat menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 52 Tahun 2009 pasal 21 ayat 2 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, disebutkan bahwa kebijakan program KB bertujuan untuk: 6) Mengatur kehamilan yang diinginkan. 7) Menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak. 8) Meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. 9) Meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktek KB, dan 10) Mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan kehamilan (http://www.scribd.com/doc/22637790/UU-No-52-Tahun2009-Perkembangan-Kependudukan-dan-Pembangunan-Keluarga).
cx
Dari paparan di atas, salah satunya disebutkan bahwa KB bertujuan untuk menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak. Dengan menjaga jarak kelahiran ibu akan mampu mengembalikan atau memulihkan kondisi kesehatan dirinya pasca melahirkan, serta dapat menyusui bayinya agar mendapat kekebalan tubuh dari ASI. Seperti yang dinyatakan oleh bu ST, bahwa banyaknya anak dengan jarak umur yang terlalu dekat akan membuat perkembangannya kurang bagus dan terhambat, begitu pula dengan kesehatan ibunya yang terganggu karena sering hamil dan melahirkan. (W/ST/27/6/2010). Hal tersebut juga dibenarkan oleh bu KT, yang menyatakan bahwa jika seorang ibu tidak KB dan sering melahirkan, ibu akan mengalami anemia karena ia tak punya kesempatan untuk memulihkan kondisi tubuh, sedangkan saat persalinan, ibu mengeluarkan darah yang cukup banyak. (W/KT/29/6/2010). Menurut bu KT, paling tidak dibutuhkan waktu 2 tahun agar pulih kembali alat kandunga ibu dan siap unutk hamil lagi. Dalam kasus proses kelahiran caesar, jarak kelahiran pertama dengan kelahiran berikutnya harus benar-benar diperhatikan agar ibu tidak cepat hamil lagi. Kelahiran secara caesar membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memulihkan kondisi tubuh ibu pascaoperasi. Hal itu pula yang membuat bu ST menjaga jarak untuk kehamilan berikutnya minimal 3 tahun untuk kelahiran secara caesar. Ia takut ada masalah dengan rahimnya jika ia cepat hamil kembali, proses kelahiran anak pertamanya secara caesar dan kelahiran berikutnya pun bisa dipastikan secara caesar, hal itu disebabkan karena rahim bu ST (tempat janin) ada dua sehingga membuatnya tidak dapat melahirkan secara normal. (W/ST/15/6/2010).
3. Alat Kontrasepsi yang Digunakan oleh Masyarakat Dalam menjalankan program KB, umumnya masyarakat menggunakan alat kontrasepsi untuk membantu mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, satu dari lima informan yang ber-KB justru tidak menggunakan alat kontrasepsi dan memilih untuk melakukan cara sederhana. Hal itu didasari pula oleh adanya efek samping yang ditimbulkan oleh penggunaan
cxi
alat kontrasepsi. Sebagaimana dikatakan ahli, ”Kontrasepsi adalah metode mekanik dan kimiawi untuk mencegah kehamilan... .Dalam arti luas, kontrasepsi juga meliputi cara-cara alami dan sterilisasi”. (Lucas, McDonald, Young dan Young, 1984: 62). Meski tidak menggunakan alat kontrasepsi, namun metode pantang berkala tetap disebut sebagai tindakan KB. Sebagaimana yang dinyatakan bu ESW, bahwa ia melakukan pantang berkala karena dulu saat akan menggunakan alat kontrasepsi, suaminya dimintai uang tidak memberi. (W/ESW/26/6/2010). Walau tak memakai alat kontrasepsi, bu ESW tetap berusaha agar tidak hamil lagi.
a. Suntik Metode kontrasepsi suntik dilakukan dengan cara menyuntikkan suatu ramuan kombinasi obat-obatan kepada tubuh akseptor oleh tenaga medis. Metode suntik banyak digunakan oleh ibu-ibu segera setelah melahirkan, seperti pernyataan bu PS, bahwa ibu-ibu di daerah Sidoharjo banyak yang menggunakan metode suntik segera setelah melahirkan dengan mendatangi
tempat
praktek
bidan
agar
tidak
cepat
hamil
lagi.
(W/PS/16/6/2010). Bidan swasta lebih dipilih karena dirasa lebih bisa memberikan kenyamanan dan bisa dipastikan ada di rumah daripada saat di Puskesmas, seperti yang dikatakan bu ES, ia memilih mendatangi tempat praktek bidan swasta karena saat di Puskesmas, bidan jarang ada di tempat, yang ada hanya mantri. (W/ES/12/6/2010). Bu YN dan bu ST pun mendukung pernyataan tersebut. Jarak antara suntikan pertama dengan suntikan berikutnya ada yang berjarak 1 bulan ada pula yang 3 bulan. Seperti yang dikatakan bu ES, dirinya menggunakan metode suntik dengan rentangan waktu 3 bulan, menurutnya resiko suntik KB tidak terlalu besar yaitu tidak mengalami menstruasi sama sekali. (W/ES/11/6/2010). Metode suntik diberikan kepada akseptor sesuai atau menurut perhitungan hari sejak penyuntikan sebelumnya, dan akseptor diberi jadwal kapan harus kembali ke bidan untuk melakukan suntikan selanjutnya. Hal tersebut dianggap lebih bisa menjamin akseptor untuk tidak
cxii
lupa menggunakan kontrasepsi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh bu ST, bahwa suntik KB sudah ada catatan jadwal kapan harus melakukan suntik kembali. Sedangkan alat kontrasepsi lain seperti pil KB mengharuskan akseptor untuk tidak lupa meminum pil seetiap hari yang lebih beresiko jika lupa meminumnya. (W/ST/15/6/2010). Selain itu, metode suntik ternyata membuat tubuh akseptor menjadi gemuk, seperti yang dikatakan oleh bu ES, bu ST dan bu EK. Masing-masing dari mereka mengalami peningkatan berat badan yang cukup banyak dalam waktu yang singkat. Pemakaian metode suntik dalam jangka waktu yang lama dapat menurunkan kesuburan akseptor setelah penghentian penyuntikan. Sebagaimana dikatakan ahli, bahwa salah satu kerugian metode suntik adalah, ”kemungkinan terlambatnya pemulihan kesuburan setelah penghentian pemakaian”. (Abdul Bari Saifuddin, 2003: MK-34). Hal itu pula yang dialami oleh bu YN yang menggunakan metode suntik selama 5 tahun tanpa berganti metode lain, sehingga membuatnya harus menunggu kehamilan kedua selama 2 tahun setelah penghentian pemakaian suntik. (W/YN/4/7/2010). Metode suntik pun dipercaya dapat membuat badan menggigil kedinginan saat malam hari, seperti yang dikatakan oleh bu ES, yang terkadang ia merasakan tubuhnya menggigil kedinginan tanpa sebab, namun hal
itu
tidak
berlangsung setiap
hari,
hanya kadang-kadang
saja.
(W/ES/27/6/2010). Bu ST dan bu YN pun mendukung pernyataan bu ES tersebut. Sementara itu biaya untuk mendapatkan layanan KB suntik dirasa masih terjangkau, bu ES mengaku mengeluarkan biaya sebesar Rp 12.000,untuk satu kali suntikan berjangka 3 bulan, sedangkan bu YN sebesar Rp 20.000,- dan bu ST sebesar Rp 22.000,- untuk jangka waktu yang sama.
b. Implan Selain suntik, metode lain yang digunakan oleh masyarakat Sidoharjo adalah implan atau susuk. Metode ini didapat dari mengikuti program safari KB pemerintah dengan biaya yang ringan daripada KB mandiri. Metode implan dilakukan dengan penginsersian atau penanaman
cxiii
batang silinder dengan panjang tak lebih dari 4 cm, dan berdiameter 2 mm. Batang implan ini diisi dengan obat-obatan pencegah kehamilan. Susuk atau implan diinsersi pada lengan kiri. Sebagaimana yang diungkapkan bu KT, bahwa implan ditanam di lengan kiri karena lengan kiri jarang digunakan untuk beraktivitas, berbeda dengan lengan kanan yang sering dipakai. Seminggu setelah pemasangan, tangan kiri tidak boleh dipakai untuk berkativitas berat agar posisi jarum mantap berada di posisi tersebut. (W/KT/29/6/2010). Biaya pemasangan implan melalui KB mandiri mencapai ratusan ribu rupiah, jika melalui safari KB, akseptor hanya mengeluarkan biaya sebesar Rp 25.000,-. Perbedaan jumlah biaya tersebut yang membuat akseptor memilih menggunakan metode implan dari safari KB, jarum implan yang ditanam berjangka 3 tahun dengan jumlah jarum 2 batang. Pemasangan dan pelepasan jarum masing-masing dengan biaya Rp 25.000,- yang jauh lebih ringan daripada jika mendapat layanan KB secara mandiri. (W/YN/4/7/2010). Metode implan pun memiliki efek samping pada diri akseptor, seperti kegemukan dan tangan yang mudah pegal. Seperti yang dikatakan ahli, ”Tidak ada satu pun metode kontrasepsi yang aman dan efektif bagi semua klien, karena masing-masing mempunyai kesesuaian dan kecocokan individu bagi setiap klien”. (Abdul Bari Saifuddin, 2003: vi). Maka dari itu efek yang dirasakan akseptor satu tidak sama dengan akseptor lain meski menggunakan alat kontrasepsi yang sama. Bu PN mengaku tidak ada efek yang menganggu karena dirinya menjaga tangannya untuk tidak digunakan mengangkat benda berat, selain itu selama menggunakan implan, bu PN juga mengalami menstruasi secara rutin. (W/PN/3/7/2010). Sedangkan bu YN mengaku tidak menstruasi sama sekali. (W/YN/4/7/2010).
c. Kondom Alat kontrasepsi yang ketiga yang digunakan masyarakat adalah kondom. Kondom terbuat dari karet tipis, vinil atau bahan alami hewani, yang digunakan oleh pria sebagai pencegah masuknya sperma ke dalam vagina
cxiv
perempuan. Kondom hanya dapat digunakan satu kali kemudian dibuang. Kondom dapat dijadikan pilihan bagi akseptor yang tidak ingin gemuk seperti jika menggunakan alat kontrasepsi lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh bu EK yang mengatakan bahwa pemilihan menggunakan kondom dilakukan karena ia tidak mau lagi menggunakan alat kontrasepsi lain yang membuat badannya menjadi gemuk seperti pil atau suntik KB, kemudian memutuskan agar suaminya saja yang menggunakan alat kontrasepsi. (W/EK/28/6/2010). Selain itu, kondom sangat praktis penggunaannya karena hanya dipakai saat diperlukan saja dan cukup efektif. Sebagaimana dikatakan ahli, ”kondom cukup efektif bila dipakai secara benar pada setiap kali berhubungan seksual”. (Abdul Bari Saifuddin, 2003: MK-17). Hal itu pula yang mendorong bu EK malas menggunakan kontrasepsi lain karena ia jarang berhubungan dengan suaminya. Maka dari itu, dalam penggunaan kondom diperlukan pengetahuan oleh pengguna tentang bagaimana cara menggunakannya dengan baik dan benar. Pemakaian kondom juga dapat mencegah terjadinya penularan penyakit kelamin dari pasangan. Kontrasepsi kondom meningkatkan partisipasi pria dalam ber-KB Kondom mudah didapat di apotek-apotek dengan harga yang terjangkau yaitu sebesar Rp 5.000,- berisi 12 buah, atau didapat dari PPKBD secara gratis bagi yang membutuhkan. (W/PS/16/6/2010).
cxv
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. SIMPULAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan tentang partisipasi masyarakat dalam mengikuti program Keluarga Berencana (KB) di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi masyarakat mengenai program KB adalah, pertama KB merupakan suatu kewajiban perempuan, sehingga perempuanlah yang seharusnya menjadi akseptor KB, bukan pria. Jika perempuan tidak memungkinkan untuk menjadi akseptor, maka pria yang menjadi akseptor. Kedua, KB hanya dapat dilakukan dengan alat kontrasepsi, jika tidak menggunakan salah satu alat kontrasepsi yang ada, berarti tidak KB. Ketiga, beberapa alat kontrasepsi menakutkan bagi akseptor, seperti IUD, implan dan tubektomi. Para akseptor takut akan cara pengaplikasian alat atau cara kontrasepsi yang dilakukan dengan cara pembedahan dan pembiusan, alat yang dimasukkan ke dalam tubuh dan ditinggalkan dalam jangka waktu tertentu pada metode IUD dan implan. 2. Hal yang melatarbelakangi masyarakat mengikuti program KB, ada dua alasan. Pertama adalah alasan ekonomi, masyarakat ber-KB karena takut akan memiliki banyak anak, berarti biaya hidup yang dibutuhkan untuk menghidupi dan membesarkan anak juga banyak. Masyarakat takut jika punya banyak anak tidak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup dan hak-hak anak yang dilahirkan, sehingga membuat anak terlantar. Alasan kedua yaitu alasan kesehatan. Jika tidak ber-KB dan sering melahirkan, ditakutkan hal tersebut akan menganggu perkembangan anak dan kesehatan ibu. Seorang ibu yang baru saja melahirkan butuh waktu minimal dua tahun untuk memulihkan kesehatan diri dan menyusui anaknya, pada kelahiran secara caesar membutuhkan jarak kelahiran yang lebih lama dibanding kelahiran normal.
cxvi
3. Jenis alat kontrasepsi yang digunakan oleh masyarakat ada tiga. Yang pertama adalah suntik. Suntik KB dipilih karena mudah diperoleh, yaitu dengan mendatangi tempat praktek swasta bidan dengan biaya yang relatif murah. Jarak antarsuntikan dipilih selama 3 bulan disertai dengan catatan jadwal melakukan suntikan kembali, sehingga dianggap memudahkan akseptor. Yang kedua metode implan, implan diperoleh dari mengikuti program safari KB pemerintah. Dalam program safari KB, akseptor hanya dikenai biaya masing-masing sebesar Rp 25.000,- untuk pemasangan dan pelepasan implan dua jarum berjangka tiga tahun. Biaya tersebut lebih murah bila dibandingkan jika melakukan KB mandiri yang mencapai ratusan ribu rupiah. Alat kontrasepsi yang ketiga adalah kondom. Kondom dipilih karena tidak menimbulkan efek samping seperti kegemukan pada diri akseptor, tidak seperti alat kontrasepsi lain berupa pil atau suntik. Penggunaan kondom sangat praktis karena hanya digunakan saat diperlukan saja. Jadi disimpilkan bahwa partisipasi masyarakat Sidoharjo dalam mengikuti program KB adalah tinggi, hal tersebut dapat dilihat dari jumlah peserta KB mandiri, yaitu menjadi akseptor KB atas kesadaran dan suka rela mau mengeluarkan biaya sendiri untuk mendapatkan layanan kontrasepsi yang dianggap paling efektif sebanyak 262 akseptor (78, 68%) dari jumlah peserta KB aktif. Jumlah tersebut lebih banyak dibanding jumlah akseptor yang ber-KB melalui jalur pemerintah yang berjumlah 71 akseptor (21,32%).
B. IMPLIKASI Berdasarkan simpulan hasil penelitian, dapat dikaji implikasi sebagai berikut: 1. Implikasi Teoretis Menambah wawasan mengenai berbagai macam kontrasepsi agar masyarakat dapat menggunakannya secara mantap dalam mengikuti program KB. Dalam program KB, maka partisipasi masyarakat harus didasari oleh kesadaran yang tinggi, bahwa partisipasi yang dilakukan dapat memberi
cxvii
manfaat terhadap dirinya, sehingga partisipasi dengan menjadi akseptor KB dapat dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan sukarela.
2. Implikasi Praktis Dari
penelitian
ini,
implikasi
praktis
adalah
memberikan
pengetahuan kepada masyarakat Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten tentang pentingnya berpartisipasi dalam program KB dengan menjadi akseptor yang menggunakan kontrasepsi secara mantap agar tujuan program KB dapat tercapai dengan baik.
C. SARAN Setelah mengadakan penelitian dan pengkajian tentang partisipasi masyarakat dalam mengikuti program KB di Desa Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi akseptor, hendaknya meningkatkan kesadaran akan pentingnya melakukan KB dengan menggunakan cara-cara kontrasepsi secara mantap. 2. Bagi PLKB dan PPKBD hendaknya memberikan penyuluhan tentang KB kepada seluruh masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengikuti program KB. 3. Bagi Puskesmas Pembantu Desa Sidoharjo, hendaknya meningkatkan pelayanan KB dan kontrasepsi bagi masyarakat untuk memudahkan masyarakat mengakses layanan KB dan berbagai alat kontrasepsi sesuai kebutuhan. 4. Bagi pemerintah Desa Sidoharjo, hendaknya lebih memberikan perhatian dan berperan dalam menggalakkan ataupun pelaksanaan KB di Desa Sidoharjo. 5. Bagi pemerintah pusat, hendaknya lebih menekankan perlunya koordinasi antar departemen dan instansi yang berada di daerah agar program KB tetap dapat berjalan efektif, serta dapat mencapai tujuan dari program KB itu sendiri.
cxviii
cxix
DAFTAR PUSTAKA Abdul Bari Saifuddin (ed). 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjono. Alex S. Nitisemito. 1982. Manajemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Bilson Simamora. 2003. Membongkar Kotak Hitam Konsumen. Jakarta: Gramedia. _________. 2004. Panduan Riset Perilaku Konsumen. Jakarta: Gramedia. Bimo Walgito. 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset. BKKBN. 1985. 25 Tahun Gerakan Keluarga Berencana. Bogdan, Robert & Steven J. Taylor. 1993. Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian. Terjemahan A. Khozin Afandi. Surabaya: Usaha Nasional. Darsono Wisadirana. 2004. Sosiologi Pedesaan. Malang: UMM Press. Dono Susilo. 2004. Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) dan Program Keluarga Berencana (KB) Mandiri: Studi Tentang Efektivitas KIE untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Program KB Mandiri di Desa Trosemi Kecamatan Gatak Kabupaten Sukoharjo. Skripsi: UNS. Hassan Shadily. 1984. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1999. Sosiologi. Jakarta: Erlangga. http://jawatengah.go.id/bkkbn/misi.htm http://scribd.com/doc/22637790/UU-No-52-Tahun-2009-PerkembanganKependudukan-Dan-Pembangunan-Keluarga http://situs.kesrepro.info/kb/referensi.htm Jefta Leibo. 1990. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Andi Offset. Johnson, Doyle Paul. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terjemahan Robert MZ. Lawang. Jakarta: Gramedia. Kamanto Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: FE UI Press. Khairuddin. 1992. Pembangunan Masyarakat Tinjauan Aspek Sosiologis, Ekonomi, dan Perencanaan. Yogyakarta: Liberty.
cxx
Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. _________. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Gramedia. Lexy J. Moleong. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Linton, Ralph. 1936. The Study of Man. New York: Appleton-Century-Crofts, Inc. Lucas, David, Peter McDonald, Elspeth Young & Christabel Young. 1984. Pengantar Kependudukan. Terjemahan Nin Bakdi Sumanto & Riningsih Saladi. Yogyakarta: UGM Press. Miftah Thoha. 1994. Perilaku Organisasi. Jakarta: Raja Grafindo. Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Monty P. Satiadarma. 2001. Persepsi Orang Tua Membentuk Perilaku Anak. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Munandar Soelaeman. 2006. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Refika Aditama. N. Daldjoeni. 1997. Seluk Beluk Masyarakat Kota. Bandung: Alumni. Nasution, S. 2003. Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara. Said Rusli. 1994. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo. 1992. Sosiologi Pedesaan Jilid 1. Yogyakarta: UGM Press. Slamet ,Y. 1994. Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi. Surakarta: UNS Press. Soerjono Soekanto. 2007. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Sudharto P. Hadi. 1997. Aspek Sosial AMDAL: Sejarah, Teori dan Metode. Yogyakarta: UGM Press. Sukardi. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. Taliziduhu Ndraha. 1990. Pembangunan Masyarakat Tinggal . Jakarta: Rineka Cipta.
cxxi
Totok Mardikanto. 1994. Bunga Rampai Pembangunan Pertanian. Surakarta: UNS Press. Yin, Robert K. 2006. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: Raja Grafindo Persada. Yohanes Setiyawan. 2008. Pelaksanaan Program KB pada Penduduk Miskin di Daerah Permukiman Liar (Studi Kasus di Permukiman Sepanjang rel KA Joglo Kelurahan Nusukan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta Tahun 2007. Skripsi: UNS.
cxxii