PARTAI LOKAL DALAM PEMILU 1955 (GERINDA DALAM PEMILIHAN UMUM 1955 DI YOGYAKARTA) Sawitri Pri Prabawati1 Abstract Indonesian People Movement (Gerinda) was a metamorphose from Pakempalan Kawula Ngayogyakarta (PKN) established by BPH Suryadiningrat which supported by princes and blessed by Sri Sultan Hamengku Buwana VIII. Furthermore, Gerinda became one of 1955 General Election’s contestant from local party. As a local mass party of DIY and small part area of Central Java, Gerinda’s election result was definitely quite succesfull though it only gained 1 position in DPR and 2 positions in Konstituante. Kata kunci: partai, lokal, pemilu, Gerinda
A. Pendahuluan Partai-partai politik di Indonesia sebelum kemerdekaan, baik yang bersifat nasionalistis, sosialistis maupun keagamaan semua satu tujuan yaitu merebut kekuasaan politik dari Pemerintah Kolonial Belanda untuk menjalankan pemerintahan sendiri dan kalau mungkin menuju Indonesia merdeka. Mereka tidak mempunyai kebijaksanaan lain kecuali menentang kebijaksanaan Belanda, yang dengan segala cara berusaha mempertahankan supremasi politik dan ekonomi serta jangan sampai partai-partai itu memperoleh banyak pengikut. Walaupun pemerintah militer Jepang menjalankan kebijaksanaan kerjasama dengan tokoh-tokoh nasionalis dan agama di Indonesia, partai-partai politik dilarang berdiri. Penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun ditandai dengan kesulitan ekonomi serta ketakutan terhadap kekuasaan militer yang kejam, terlalu singkat untuk mendirikan partai politik di kalangan penduduk kota dan pedesaan, walaupun secara sembunyi-sembunyi memang ada. Revolusi nasional merubah secara radikal sikap warga masyarakat Yogyakarta terhadap partai politik. Mereka menyaksikan para pemimpin politik naik ke jenjang kekuasaan dan ke tingkat sosial atas. Dengan serius mereka mengikuti perjuangan politik Republik Indonesia melawan penjajahan. Akhirnya mereka didorong oleh pemerintah untuk mengorganisasi diri ke dalam partai
1
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Sejarah, FSSR, UNS.
politik untuk menyalurkan idiologi politik mereka secara wajar ke dalam perwakilan rakyat yang demokratis. Peristiwa tersebut membangun kesadaran rakyat akan pentingnya politik serta partai bagi negara ini. Partai-partai politik melancarkan berbagai usaha untuk bisa mencapai daerah-daerah pedesaan. Gerakan ini dimulai di Yogyakarta. Tatkala pemerintah pusat pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada Januari 1946, segenap badan-badan pusat partai politik turut pindah. Mereka bertemu dengan para pimpinan cabang partai, yang baru saja didirikan atau dihidupkan kembali setelah adanya Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang anjuran dibentuknya partai-partai politik. Pemimpin-pemimpin partai adalah orang-orang yang sudah aktif selama penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang. Partai-partai yang berdiri di Yogyakarta antara lain Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Katholik Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Sosialis, Masyumi dan Gerakan Rakyat Indonesia yang disingkat Gerinda.2 Thesis Ph.D. dari O’Malley Indonesia in the Great Depression: A Study of East Sumatra and Jogyakarta in The 1930’s, 1977, dalam salah satu bab menjelaskan tentang keberadaan suatu organisasi yang berkembang di Yogyakarta pada masa depresi ekonomi yang berusaha meningkatkan taraf hidup para anggotanya (rakyat Yogyakarta), organisasi tersebut adalah Pakempalan Kawula Ngayogyakarto (PKN) yang merupakan akar dari partai Gerinda. Sedangkan Selo Soemardjan dalam bukunya Social Changes in Jogyakarta, 1962, membahas keberadaan organisasi Gerinda dengan pendekatan sosiologis. Membandingkan dua kekuatan antara partai besar PKI yang tersebar secara nasional dengan Gerinda yang merupakan organisasi bersifat lokal di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Herbert Feith dalam bukunya Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, menyimpulkan bahwa pemilihan umum yang diadakan pada September dan Desember 1955 sangat menarik sebagai suatu ekperimen demokrasi. Kedua pemilu itu adalah yang pertama kali dilaksanakan secara nasional di Indonesia, menyusul sedikit pengalaman dengan pemilihan umum propinsi dan kotapraja. Pemilihan anggota volksraad (Dewan Rakyat) sebelum Perang Dunia II, yang 2
Dalam sumber-sumber lain ada yang menyebut dengan Grinda.
diselenggarakan dengan pemilih yang sangat terbatas, hampir tidak memberikan pengalaman demokrasi. Sekalipun baru pertama kali, dalam pemilihan umum nasional ini hak pilih diberikan kepada seluruh warga Negara Indonesia yang berusia di atas 18 tahun atau sudah kawin. Pengorganisasian pemungutan suara menjadi
tanggungjawab
bersama
pemerintah
dan
panitia-panitia
yang
beranggotakan wakil partai. Di tingkat desa dan yang lebih rendah lagi, pemungutan suara juga melibatkan panitia-panitia setempat yang sebagian anggotanya sering masih buta huruf. Lama ditunggu-tunggu dan ditunda berkali-kali, kedua pemilihan umum ini disiapkan oleh sebuah kabinet, lalu dilaksanakan oleh kabinet lain yang sangat berbeda warna politiknya dan baru saja menduduki kursi kekuasaan. Taruhan politik di sini sangat tinggi, tetapi tidak satu pun kabinet atau partai yang mampu meramalkan hasilnya, sekali pun secara agak kasar. Dilihat dari sisi sosial, terlalu banyak yang tidak dapat diperkirakan. Berdasarkan pemikiran Herbert Feith, menarik untuk dikaji mengenai peranan partai lokal Gerinda di Yogyakarta pada Pemilihan Umum 1955.
B. Pemilihan Umum 1955 Pemilihan umum sebagai salah satu sarana untuk melaksanakan demokrasi guna mengikutsertakan rakyat dalam menentukan wakil dan calon pemimpinnya belum dapat diselenggarakan di tahun awal Indonesia merdeka, karena revolusi pada saat itu diarahkan untuk mempertahankan kemerdekaan serta membendung arus kolonial yang dengan berbagai dalih berusaha kembali ke Indonesia. Ditambah pula dengan pertikaian di dalam lembaga politik dan pemerintahan serta belum adanya undang-undang yang mengatur pelaksanaan pemilihan umum, meskipun ide untuk mengadakan pemilihan umum sudah muncul sejak Indonesia merdeka. Rencana Undang-undang Pemilihan Umum diserahkan kepada parlemen tanggal 25 November 1952, dan dapat disahkan pada tanggal 4 April 1953. Undang-undang ini dirancang dan disahkan pada masa kabinet Wilopo namun
kampanye jatuh pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo tahun 1953 dan pemilihan umum baru dapat terlaksana pada zaman kabinet Burhanuddin tahun 1955.3 Pemilihan umum 1955 di Indonesia dilaksanakan berdasarkan pada Undang-undang Dasar Sementara 1950, Undang-undang No.7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Perwakilan Rakyat dan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1954 tentang Penyelenggaraan Undang-undang Pemilihan Umum No. 7 tahun 1953.4 Untuk menyelenggarakan pemilihan dibentuk badan-badan penyelenggara yang dinamakan Panitia Pemilihan Indonesia di ibukota, Panitia Peralihan di tiap-tiap daerah pemilihan, dan Panitia Pemilihan Kabupaten di tiap-tiap kabupaten. Panitia-panitia itu terdiri dari pejabat-pejabat pemerintah yang dibantu oleh partai-partai politik. Adapun tanggung jawab pelaksanaan ada pada Menteri Dalam Negeri, tetapi kekuasaan yang luas ada pada Panitia Pemilihan Indonesia atau partai-partai. Dalam Undangundang No. 7 tahun 1953 ini tidak ada yang mengatur waktu kampanye, hanya di beberapa daerah dengan alasan keamanan diatur waktu kampanyenya. Jawa Barat, Aceh, Sulawesi SeIatan dan Kalimantan Selatan dilarang mengadakan kampanye dari tanggal 25 sampai dengan 29 September 1955, sedang di lain-lain tempat dilarang kampanye tanggal 28 sampai dengan 29 September. Kampanye berjalan sejak tahun 1953 sampai 1955. Selama Kabinet Ali Sastroamijoyo I, suasana kampanye pemilihan umum sudah mempengaruhi secara luas kehidupan kepartaian maupun masyarakat umum sehingga kegiatan partai-partai pun telah meningkat pada penonjolan idiologi dan terutama berkisar pada masalah dasar negara.5 Pentingnya isi kampanye, termasuk jenis isu atau bukan, hanya dapat diperkirakan jika dihubungkan dengan metode-metode penyampaiannya. Karena itu, tidak banyak gunanya melihatnya dari sisi perbedaan antara kampanye di 3
M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia. Sebuah Potret Pasang Surut (Jakarta: CV Rajawali, 1983), hlm. 118-119. 4
G.S.T. Kansil, Inti Pengetahuan Pemilihan Umum (Djakarta: Pradnya Paramita, 1974), hlm. 58.
5
H. Imam Suhadi, Pemilihan Umum 1955, 1971, 1977. Cita-cita dan Kenyataan Demokrasi (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1981), hlm. 22-23.
tingkat Jakarta dan kampanye di tingkat desa. Alasannya, sepanjang menyangkut upaya menarik suara pemilih sebanyak-banyaknya, kegiatan partai elite di Jakarta tidak penting artinya, kecuali jika kegiatan itu dapat menjadi pedoman dan sumber kekuatan bagi kampanye partai bersangkutan di tingkat yang lebih rendah. Sangat beragam metode dan teknik kampanye yang digunakan, dan ramuannya berbeda-beda dari partai ke partai dan dari daerah ke daerah. Pertemuan-pertemuan diselenggarakan di semua tingkat, di alun-alun kota atau di balai desa, dengan para pembicara dari Jakarta atau tokoh partai setempat, rapat umum atau rapat anggota, pertemuan perempuan atau pertemuan pemuda, ceramah umum, pemutaran film, perayaan ulang tahun, perayaan hari besar agama, dan pertemuan yang diramaikan dengan pertunjukan teater rakyat. Demikianlah, maka dimana-mana terdapat peragaan lambang atau tanda gambar partai. Tanda-tanda gambar ini, yang sebagian disertai semboyan partai di bagian atasnya, sebagian hanya mencantumkan nama partai, sebagian lagi tanpa keduanya, dipasang di jalan-jalan kota dan desa, pada rumah-rumah pribadi, dan bangunan-bangunan umum, pada bus-bus dan pohon-pohon, iklan-iklan di bioskop, kalender, dan lampu-lampu desa. Selain itu para aktivis partai membagibagikan kartu-kartu kecil berisi tanda gambar partai kepada masyarakat luas. Bagi sebagian besar partai, semua ini merupakan upaya untuk menambah jumlah anggota. Bagi sebagian yang lain, kegiatan sambil lalu dengan menyebarkan surat kabar dan pamflet partai. Ada pula partai yang mencoba menarik anggota baru dengan menyelenggarakan kegiatan sosial. Pada tahaptahap akhir masa kampanye, partai-partai pada umumnya menyelenggarakan pelatihan tentang cara-cara memberikan suara dan menemukan tanda gambar partai di kertas suara. Akhirnya, ketika hari pemungutan suara sudah dekat, di berbagai tempat ada kecenderungan partai-partai memusatkan kegiatan masingmasing pada kampanye dari rumah ke rumah. Beberapa dari metode-metode ini digunakan dengan intensitas yang sama oleh semua partai, terutama partai-partai besar. Demikianlah maka rapat umum tampak diselenggarakan semua partai besar di ibukota propinsi, di kota karesidenan dan kota kabupaten. Metode tersebut paling banyak digunakan oleh Masyumi di sebagian besar daerah. Masyumi paling menonjol dalam jumlah dana
yang dikeluarkan untuk membeli unit-unit film, pengeras suara, dan tape recorder, serta untuk membuat film pemilu. Partai komunis juga banyak mengadakan rapat umum besar-besaran di tingkat propinsi dan kabupaten. Tetapi, sama dengan PNI dan khususnya Nahdatul Ulama, yang diutamakan adalah kampanye di tingkat kawedanan, kecamatan, dan tingkat yang lebih rendah. Satu lagi metode kampanye, yang dipakai oleh PKI dengan berhasil jauh melampaui partai-partai lain, adalah kegiatan kesejahteraan sosial. Bagi Partai Komunis, kegiatan semacam itu dimaksudkan tidak hanya untuk menang dalam pemilihan umum, tetapi juga untuk membangun basis massa yang lebih permanen. Sifat jangka panjang kegiatan kesejahteraan sosial ini, membedakan PKI dari partai-partai lain, yang umumnya mencontoh PKI. Dengan slogan “kegiatan kecil tapi bermanfaat”, aktivis PKI di desa-desa, secara terang-terangan maupun tersamar, tidak hanya memimpin dalam tuntutan-tuntutan politik lokal seperti menurunkan sewa tanah dan suku bunga utang, serta memperbaiki pembagian air desa, tetapi juga dalam kegiatan nonpolitik, seperti mengorganisir pemakaian alatalat pertanian secara bersama, gotong-royong untuk pesta, pembanguan saluran air, dan membantu korban banjir atau kebakaran. Di pihak lain, berbeda dengan partai-partai lain, aktivis PKI tidak dianjurkan untuk aktif dalam kegiatan koperasi. Sulit memperkirakan sejauh mana partai-partai lain memperkuat kampanye mereka dengan kegiatan kesejahteraan sosial, karena tokoh-tokoh partai ini di desa biasanya pemimpin desa, sehingga mereka memang wajib memajukan kegiatan kesejahteraan sosial. Yang pasti, kegiatan kesejahteraan sosial yang bersifat mendadak oleh sejumlah partai kecil pada minggu-minggu terakhir kampanye sama sekali tidak efektif, seperti membangun jembatan dan membersihkan kampung pinggir kota yang dilakukan oleh Partai Sosialis. Terjadi perubahan penting dalam metode kampanye, antara pemilihan umum anggota parlemen pada September 1955 dengan kampanye pemilihan umum anggota Kontituante pada Desember. Perubahan itu menyangkut merosotnya jumlah rapat umum ditingkat kabupaten dan di tingkat yang lebih tinggi, sehingga timbul kesan yang berlebihan di Jakarta bahwa semangat berkampanye untuk pemilihan umum anggota Konstituante sudah kendur. Bahkan
sebelum 29 September dan semakin lebih tegas lagi sesudahnya, para pemimpin politik di Jakarta yakin telah menilai berlebihan keampuhan metode rapat umum dalam kampanye. Mereka menyadari kemungkinan terkecoh dengan mudahnya rakyat desa dibujuk berjalan kaki menempuh jarak yang jauh untuk mendengarkan pidato-pidato politik. Banyak contoh, kehadiran orang pada rapat massa bukanlah ukuran bagi kekuatan partai di suatu daerah karena orang datang lebih banyak karena dorongan rasa ingin tahu, untuk ikut menikmati suasana keramaian, atau sekedar karena ada kawan-kawan sekampung di situ dan bukan pula alat yang manjur untuk meningkatkan kekuatan partai. Hingga tahun 1955 penduduk pedesaan di Yogyakarta tidak begitu memperhatikan pentingnya partai politik saat itu. Rakyat hanya tahu partai politik dari namanya saja dan mereka mengindentifikasi tiap-tiap partai dengan orang yang menjadi ketuanya atau para aktifisnya, karena sedikit sekali penduduk yang menyatakan diri sebagai anggota partai. Kegiatan-kegiatan yang dijalankan oleh partai-partai politik besar di tahun 1955 yaitu untuk mendapatkan suara sebanyakbanyaknya semakin memperkuat organisasi partai serta memperbaiki jalur-jalur konranikasi dari pusat ke ranting-ranting di kecamatan dan pedesaan. Ini juga memerlukan kegiatan propaganda mereka ke berbagai daerah dalam lingkungan DIY yang tak pernah dijangkau partai politik sebelumnya dan meningkatkan hubungan antara partai-partai dengan penduduk di wilayah itu. Cara-cara yang digunakan oleh berbagai partai politik dalam kampanye pemilihan umum bisa dikategorikan dalam beberapa bagian, yaitu rapat raksasa yang diadakan di lapangan terbuka yang bisa dikunjungi setiap orang, ceramah di dalam gedung, rapat-rapat kerja dan kunjungan ke rumah-rumah penduduk.6
C. Peranan Gerinda dalam Pemilihan Umum 1955 a) Sejarah Partai Gerinda Gerakan Rakyat Indonesia (Gerinda) adalah penjelmaan dari Pakempalan Kawulan Ngayogyakarta (PKN) yang didirikan oleh BPH Suryadiningrat yang 6
Selo Soemardjan, Social Changes in Jogjakarta (Itachi: Cornel University Press, 1962), hlm. 148-150.
didukung para pangeran dan direstui oleh Sri Sultan Hamengku Buwana ke VIII. PKN merupakan upaya perlindungan bagi rakyat terhadap penjajahan Belanda dan mengembalikan hubungan antara rakyat dengan golongan lapisan atas. Karena situasi kenegaraan Republik Indonesia, pada tanggal 7 Oktober 1951 PKN berubah bentuk menjadi partai politik dengan nama Gerinda. PKN didirikan pada tanggal 29 Juni 1930 berpusat di dalem Suryadiningratan Yogyakarta. Adapun tujuan dari didirikan PKN ialah 1) memperkuat kedudukan pemerintahan dan Kerajaan Yogyakarta agar tercapai pemerintahan
sendiri
yang
sebaik-baiknya
berdasarkan
demokrasi;
2)
mempertinggi derajat dan perekonomian kawula Kasultanan Yogyakarta.7 Kalau kita melihat tujuannya, organisasi tersebut dapat digolongkan sebagai organisasi politik yang sejajar dengan partai lainnya seperti PKI dan PNI yang berdiri pada tahun 1920-1930-an, bertujuan melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan Belanda. Dalam jangka waktu yang singkat partai rakyat Yogyakarta ini telah menjadi organisasi yang paling luas, dengan keanggotaan lebih dari seperempat juta.8 Pada zaman penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1942, PKN namanya diganti menjadi Perkumpulan Rakyat Jogjakarta (PRJ). Walaupun tujuan dan kegiatannya tidak jauh berbeda dengan pada zaman penjajahan Belanda, penggantian nama ini mengandung nafas nasional, karena pergerakan kebangsaan Indonesia semakin merata di seluruh tanah air. Pemerintah Jepang melarang dan membubarkan semua organisasi politik selain yang dibentuk oleh Jepang dan seperti organisasi lain maka PRJ juga dibubarkan. Meskipun PRJ sudah dibubarkan oleh pemerintah Jepang, tetapi masih banyak anggota yang datang untuk minta penjelasan tentang situasi dan keadaan saat itu ataupun minta nasehat kalau ada persoalan-persoalan yang tidak bisa diatasi. Secara organisasi, PRJ memang sudah bubar, tetapi hubungan
7
Buku Pangetan Windon Pakempalan Kawoela Ngajogyakarta (PKN). (Ngajogyakarta, 1939).
8
Petrus Y. Th. Blumberger, Politieke Partyen en Stroomingen in Nederlandsch Indie (Leiden S’Gravenhage: NV Leidsche Uirgebersmaatschappij, 1934), hlm. 18.
kekeluargaan masih berlangsung terus sampai Jepang meninggalkan Indonesia karena kalah dengan blok Sekutu pada tahun 1945.9 Pada tanggal 17 Agustus 1945 Negara Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, terbebas dari penjajahan bangsa lain. Setelah proklamasi itu para bekas anggota PKN/PRJ yang datang ke Suryadingratan semakin banyak. Karena tidak ada wadah organisasi, maka pertemuan itu dinamakan kursus umum yang ditangani oleh Pangeran Suryadiningrat. Tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan rakyat pedesaan secara umum dan tetang situasi kenegaraan saat itu. Kegiatan itu berlangsung terus sampai tahun 1951. Dalam masa mempertahankan kemerdekaan itu para pengikut kursus umum memohon kepada Pangeran Suryadiningrat agar organisasinya didirikan kembali. Permohonan itu tidak disetujui Pangeran Suryadiningrat karena keadaan Indonesia sudah berbeda. Dengan adanya maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang pendirikan partai-partai, banyak anggota yang mendesak supaya organisasi itu dijadikan partai politik. Permohonan itu baru disetujui pada tahun 1951 dan diberi nama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerinda), dengan anggota bekas anggota PKN atau PRJ yang masih setia.
b. Peran Gerinda dalam Pemilihan Umum 1955 Partai Gerinda sudah berdiri tanggal 7 Oktober 1951, maka dalam pemilinan umum 1955 Gerinda sudah bisa mengikuti. Seperti partai lainnya Gerinda saat itu mulai mempersiapkan pelaksanaan pemililian umum, mengadakan kampanye untuk mencari masa sebanyak-banyaknya baik dari bekas anggota PKN dulu maupun anggota baru di lingkuugan masyarakat pedesaan lainnya. Bagian penerangan Gerinda dari pusat ke bawah giat bekerja mengadakan rapat-rapat umum di setiap termpat. Cara yang dilaksanakan dalam kampanye tersebut yaitu pengumpulan massa di tiap-tiap kabupaten di DIY, Klaten dan Magelang dengan juru bicara Pangeran Suryadiningrat dan Atmodarminto, bagian penerangan Gerinda. Sedang untuk tiap-tiap Kecamatan dan Kalurahan olen U.J. Katijo Wiropramujo, pembantu bagian penerangan yang baru. Menjelang 9
Buku Peringatan Seperempat Abad GRINDA.
pemilihan umum 1955 U.J. Katijo ditugaskan oleh Pengurus Besar Gerinda untuk membentuk aktivis di daerah-daerah yang diselenggarakan di enam Daerah Tingkat II yaitu Gunung Kidul, Sleman, Kulon Progo, Bantul, Magelang dan Klaten selama 4 bulan, setiap malam secara bergantian untuk mengefektifkan pelaksanaan pemililian umum. Gerinda mencari masaa sebanyak-banyaknya untuk mengimbangi kekuatan partai lain yang akan berusaha mengubah dasar negara. Gerinda sejak konferensi tahun 1952 memutuskan bahwa Pancasila tetap dipertanankan sebagai dasar Negara Republik Indonesia.10 Pemilihan umum yang pertama diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955 atau dalam beberapa hari kemudian. Warga Negara Indonesia yang telah berusia 18 tahun ke atas atau yang kurang dari 18 tahun tetapi sudah menikah bisa melakukan hak pilihnya untuk memilih wakil-wakil mereka di DPR. Jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 257, masing-masing anggota DPR mewakili 300.000 penduduk. Ditambah dengan 3 orang anggota yang mewakili Irian Jaya karena belum memungkinkan diadakannya pemilihan umum, 6 orang mewakili golongan Tionghoa, 3 orang golongan Arab dan 3 orang Eropa, maka jumlah keseluruhannya 272 orang. Pemilihan ini diadakan di lima belas daerah pemilihan dan 179 kursi untuk penduduk Jawa. Masing-masing daerah tidak sama jumlah tanda gambar yang dipilihnya. Jumlah tanda gambar yang paling banyak terdapat di Sumatra dan Jawa Tengah yaitu 48 buah, sedangkan jumlah terkecil di Kalimantan Selatan hanya 12 buah dari 172 macam tanda gambar yang menjadi kontestan. Tiga partai besar PNI, PKI dan Masyumi ditambah PSII dan PSI terdapat di semua daerah pemilihan, sedangkan NU tidak terdapat di Maluku, Parkindo tidak terdapat di Kalimantan Barat dan Partai Katholik tidak terdapat di Sumatra Tengah. Banyak tanda gambar yang hanya di beberapa daerah pemililian tertentu. Disamping itu ada pula yang hanya di satu daerah pemilihan seperti Gerinda di Jawa Tengah, MTKAAM di Sumatra Tengah, La Ode Ida Effeneli di Sulaweai Selatan Tenggara
10
Buku Pengetan Basa Warsa Madegipun Gerakan Rakjat Indonesia (Jogjakarta, 1961), hlm. 12. Wawancara dengan Bapak U.J. Katijo Wiropramujo pada tanggal 9 Pebrnari 1984.
dan Gereja Pentakusta di Sumatra Utara.11 Dari 34 partai atau organisasi ini ada empat partai besar, enam organisasi menengah, dan dua belas kelompok partai kecil yang bercakupan nasional, serta dua belas kelompok kecil yang bercakupan daerah.12 Dalam pemilihan umum 1955 ini Gerinda mencalonkan 58 orang calon untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daeranh Pemilihan Jawa Tengah. Tanda gambar yang dipakai yaitu bunga teratai dalam lingkaran. Teratai adalah sejenis bunga yang bisa hidup pada setiap tempat. Hal ini berhubungan dengan cita-cita Gerinda yang akan tetap hidup walaupun ada tekanan dari pihak manapun. Pemilihan umum 1955 berhasil menempatkan 28 partai politik/organisasi/ perorangan. Kemenangan menyolok diraih oleh PNI 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, PKI 39 kursi, sedang sisanya untuk partai lain. Gerinda dalam pemilihan umum ini mendapat suara 154.791, dan mendapat jatah 1 kursi di DPR. Calon yang terpilih yaitu Atmodarminto.13 Setelah pelantikan anggota DPR, ke 28 partai politik/organisasi/perorangan membentuk fraksi-fraksi, menjadi 19 fraksi. Gerinda bergabung dengan Baperki, Permai, Acoma, PRN, Surba, PIR Wongso dan Soejono Prawirosudarso dalam Fraksi Nasional Progresif.14
11
M. Rusli Karim, Op. cit, hlm. 120.
12
Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (Jakarta: KPG, 1999), hlm. 88-89.
13
Kansil, Op. cit., hlm. 73, Buku Pengetan Dasa Warsa Madegipun GRINDA, Op. cit., hlm. 13, Departemen Penerangan, Tjalon-tjalon Dewan Perwakilan Rakyat untuk Pemilihan Umum I 1955 (Djakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1955).
14
Parlaungan, Hasil Rakjat Memilih Tokoh-tokoh Parlemen di Republik Indonesia (Djakarta: CV Gita, 1956), hlm, 312-325.
Tabel 1. Hasil Pemilihan Umum Parlemen No.
Partai
1 2
PNI (Partai Nasional Indonesia) Masyumi (Majelis Syuro’ Muslimin) Nahdatul Ulama PKI (Partai Komunis Indonesia) PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) Parkindo (Partai Kristen Indonesia) Partai Katolik PSI (Partai Sosialis Indonesia) IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) Perti (Perhimpunan Tarbiyah Islamiyah) PRN( Partai Rakyat Nasional) Partai Buruh GPPS (GerakPembela Panca Sila) PRI (Partai Rakyat Indonesia) PPPRI (Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia) Partai Murba Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) PIR (Partai Indonesia Raya)Wongsonegoro Gerinda Permai (Persatuan Marhean) Partai Persatuan Daya PIR (Partai Indonesia Raya)Hazairin PPTI (Partai Persatuan Tharikah Islam) AKUI PRD (Partai Rakyat Desa) PRIM (Partai Rakyat Indonesia Merdeka) Acoma (Angkatan Comunis Indonesia) R. Soedjono Prawirosoedarso kawan-kawan Partai-partai, organisasiorganisasi, dan calon-calon perorangan Total
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Jumlah suara sah
Jumlah kursi
Jumlah kursi dalam parlemen sementara
8.434.653 7.903.886
Persentase seluruh suara 22,3 20,9
57 57
42 44
6.955.141 6.179.914 1.091.160
18,4 16,4 2,9
45 39 8
8 17 4
1.003.325
2,6
8
5
770.740 753.191 541.306
2.0 2.0 1,4
6 5 4
8 14 -
483.014
1,3
4
1
242.125 224.167 219.985 206.261 200.419
0,6 0.6 0,5 0,5 0,5
2 2 2 2 1
13 4 -
199.588 178.887
0,5 0,4
1 1
1 -
178.481
0,4
1
-
154.792 149.287 146.054 114.644
0,4 0,3 0,2 0,2
1 1 1 1
18 -
85.131
0,2
1
-
81.454 77.919 72.523
0,2 0,2 0,2
1 1 1
-
64.514
0,2
1
-
53.305
0,1
1
-
1.022.433
2,7
-
46
37.785.299
100,0
257
233
Sumber: Herbert Feith Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (Jakarta: KPG, 1999), hlm. 84-85.
Pemilihan anggota Konstituante dilaksanakan tanggal 15 Desember 1955 dengan prosedur seperti pemilillan anggota DPR. Adapun jumlah yang dipilih dua kali dari jumlah anggota DPR. Untuk pemilihan anggota Konstituante ini Gerinda mencalonkan 58 orang. Hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Kemenangan diraih oleh PNI,
PKI, Masyumi dan NU. Gerinda mengumpulkan suara 157.976, dan mendapat jatah 2 kursi dalam Konstituante yaitu Atmodanninto dan Jayeng Sekarso.15 Tanda gambar Gerinda hanya ada di daerah pemililian Jawa Tengah, karena partai Gerinda hanya ada di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Jawa Tengah. Pemilih terbanyak adalah DIY. Di empat kabupaten yaitu Sleman, Kulonprogo, Gunungkidul dan Bantul, Gerinda merupakan empat besar disamping PNI, PKI dan Masyumi. Sedangkan di Kotapraja Yogyakarta, Gerinda hanya mendapat suara sedikit dan tidak termasuk empat besar. Dalam mengikuti pemilihan umum ini, Gerinda cukup berhasil, meskipun hanya mendapat 1 kursi di DPR dan 2 kursi di Konstituante. Garis-garis pokok perjuangan wakil-wakil Gerinda di DPR maupun di Konstituante tidak pernah menyimpang dari program perjuangan Gerinda. Para wakil Gerinda tetap bekerja sampai Konstituante dibubarkan oleh Presiden pada tahun 1959 dan Parlemen pada tahun I960.16 Pemilihan umum 1955 merupakan pemilihan yang paling jujur, meskipun melibatkan puluhan partai politik besar, namun tidak sampai menggoncangkan stabilitas nasional. Memang pada mulanya terjadi kericuhan diantara panitia pemilihan umum berhubung terlalu dominannya partai pemerintah. Kenyataannya di daerah-daerah lebih mencerminkan sebagai perwakilan partai-partai. Kegiatan partai-partai untuk berkampanye dan meluaskan pengaruhnya makin dipusatkan di daerah-daerah pinggiran kota dan pedesaan, terutama partai-partai massa yang besar. Kampanye pemilihan umum 1955 dilihat dari keseluruhan masalah dan temanya yang diungkapkan sesungguhnya merupakan perdebatan antara partai pemerintah dan partai oposisi.17
15
16
17
Departemen Penerangan, Tjalon-tjalon Konstituante Dalam Pemilihan umum 15 Desember 1955 (Djakarta; Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1955). Siaran Kotapradja. N0. 8 Tahun ke VI (Agustus 1956). Buku Pengetan Dasa Warsa Madegipun Gerakan Rakjat Indonesia, Op. cit., hlm. 13. M. Rusli Karim, Op . cit., hlm. 123.
Tabel 2. Hasil Pemilu Parlemen dan Konstituante Propinsi Jawa Tengah Partai
Suara Parlemen
Suara Konstituante
Perbedaan
PNI
3.019.568
3.171.588
+152.020
Masyumi
902.387
892.556
-9.831
NU
1.772.306
1.822.902
+50.596
PKI
2.326.108
2.305.041
-21.067
PSII
62.922
69.355
+6.433
Parkindo
35.652
46.220
+10.568
Katolik
40.738
38.976
-1.762
PSI
30.819
26.685
-4.134
IPKI
21.233
23.248
+2.015
Perti
-
-
-
Partai Buruh
90.994
82.672
Partai Murba
20.827
23.725
PRN
53.285
55.595
PPPRI
47.850
40.823
Permai
27.641
38.021
PIR (W)
60.811
58.747
Baperki
44.743
43.908
Gerinda
154.792
157.967
GP Panca Sila
12.364
10.377
AKUI
-
-
PRI
38.674
21.304
Soedjono Prawirosoedarso
-
-
Koesadi P.M.
-
-
Raja Kaprabon
16.682
12.402
Sarsadi Ariohudojo
15.562
18.375
Tani Makmur
12.404
11.962
KPRSI (Komite Pemilihan
10.286
10.453
Rakyat Seluruh Indonesia) A. Djakatirtana
43.050
38.944
Soeroto
13.115
13.569
PBPNI (Persatuan Bekas
26.612
16.139
Pegawai Negeri Indonesia)
Sumber: Herbert Feith Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (Jakarta: KPG, 1999), hlm. 96.
D. Kesimpulan Pemilu 1955 adalah pemilu paling “luber” dan paling “jurdil” yang pernah dilaksanakan oleh Bangsa Indonesia. Prestasi ini mencengangkan, kalau diingat bahwa Indonesia waktu itu baru saja merdeka, dan banyak anggota Panitia Penyelenggara Pemungutan Suara buta huruf. Dari 34 partai atau organisasi ini
ada empat partai besar, enam organisasi menengah, dan dua belas kelompok partai kecil yang bercakupan nasional, serta dua belas kelompok kecil yang bercakupan daerah. Gerinda termasuk kelompok partai kecil yang bercakupan daerah, khususnya di daerah Yogyakarta. Gerinda adalah suatu partai lokal yang sejak semula keanggotaannya terbatas di daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan sejumlah kecil simpatisan di daerah sekitarnya. Dalam bentuknya semula, yaitu PKN, sudah ada sejak terjadinya depresi ekonomi hebat di tahun 1930-an. Seperti organisasi-organisasi lainnya, secara resmi dibubarkan pada zaman pendudukan Jepang dan muncul kembali di tahun 1951 dalam bentuknya sebagai partai politik. Organisasi ini sangat sentralistis sifatnya. Pangeran Suryodiningrat, pemrakarsa partai dan ketuanya yang setiap tahun terpilih kembali, mempunyai kekuasaan yang nyaris absolut dalam partai tersebut. Tidak ada cabang-cabang partai di daerah. Gerinda hanya mempunyai wakil-wakil untuk penerangan partai di kabupaten yang bertindak sebagai juru bicara Dewan Pimpinan Pusat–yang dikuasai oleh ketuanya –untuk menyalurkan perintah ke wakil-wakilnya di kecamatan dan terus ke pedesaan. Para komisaris daerah serta badan-badan lain hanyalah untuk melaksanakan perintah-perintah dari pusat dan harus melapor kepadanya tentang segala macam kejadian partai di daerahnya. Dalam mengikuti pemilihan umum ini Gerinda cukup berhasil, meskipun hanya mendapat 1 kursi di DPR dan 2 kursi di Konstituante. DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU-BUKU Alfian. Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia, 1981. Blumberger, Petrus Y. Th. Politieke Partyen en Stroomingen in Nederlandsch Indie. Leiden S’Gravenhage: NV Leidsche Uirgebersmaatschappij, 1934. Buku Pengetan Basa Warsa Madegipun Gerakan Rakjat Indonesia. Jogjakarta, 1961. Buku Pengetan Windon Pakempalan Kawoela Ngajogyakarta (PKN). Ngajogyakarta, 1939.
Buku Peringatan Seperempat Abad GRINDA. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertumbuhan Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: DPRD DIY, 1977. Feith, Herbert and Castles, Land (ed), Indonesian Political Thinking. Itachi: Cornel University Press, 1970. Feith, Herbert, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: KPG, 1999. G.S.T. Kansil, Inti Pengetahuan Pemilihan Umum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1974. H. Imam Suhadi, Pemilihan Umum 1955, 1971, 1977. Cita-cita dan Kenyataan Demokrasi. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1981. O’Malley, William J. “Indonesia in the Great Depression. A Study of East Sumatra and Jogjakarta in the 1930’s”, Thesis Phd, Cornel University, Amerika Serikat, 1977. Parlaungan, Hasil Rakyat Memilih Tokoh-tokoh Parlemen di Republik Indonesia. Djakarta: CV. Gita, 1956. Pranatan Ageng lan Pranatan Alit Pakempalan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1977. Rusli Karim. Perjalanan Partai Politik di Indonesia. Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: CV Rajawali, 1983. Sartono Kartodirdjo (ed). Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta: LP3ES, 1984. Selo Sumardjan, Social Changes in Jogjakarta. Itachi : Cornel University Press, 1962. Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : CV. Rajawali, 1982. Tjalon-tjalon Dewan Perwakilan Rakjat untuk Pemilihan Umum I Tahun 1955. Djambatan: Kementrian Penerangan Republik Indonesia, 1955. Tjalon-tjalon Konstituante dalam Pemilihan Umum 15 Desember 1955. Djakarta: Kementrian Penerangan Republik Indonesia, 1955.
II. MAJALAH O’ Malley William J. “Indonesia di Masa Malaise Suatu Studi terhadap Sumatra Timur dan Yogyakarta di Tahun 1930-an”, Prisma, No. 8 Tahun XII (Agustus 1983). _______, “The Pakempalan Kawulo Ngajogjakarta an Official Report on the Jogjakarta People Party of The 1930’s”, Indonesia, Vol. 10 (Oktober 1978).
III. SURAT KABAR Kedaulatan Rakjat, Nopember 1951 Kedaulatan Rakjat Agustus 1953 Kedaulatan Rakjat Oktober 1956 Kedaulatan Rakjat Desember 1956 Kedaulatan Rakjat Oktober 1957 Nasional, Oktober 1955 Nasional, Desember 1955 Nasional, Djanuari 1956 Nasional, Pebruari, 1956 Nasional, Maret, 1956 Nasional, April 1956 Nasional, Juli 1956 Nasional, Oktober 1957