The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
PARADIGMA USHUL FIQIH MULTIKULTURAL DI INDONESIA Oleh: Dr. Moh. Dahlan, M.Ag.1 A. PENDAHULUAN Indonesia adalah sebuah bangsa yang komposisinya sangat beragam, baik ras, agama, aliran kepercayaan, bahasa, adat istiadat, orientasi kultur maupun pandangan hidupnya. Keragaman ini (baca: multikultural) memerlukan paradigma berpikir baru. Sebab, keragaman itu, khususnya dalam agama, dapat menimbulkan berbagai konflik.2 Konflik terbuka antar (umat) agama itu muncul lantaran adanya paham keagamaan yang eksklusif walaupun bukan satu-satunya penyebab. Namun, agama telah memberikan kontribusi besar terhadap munculnya konflik di beberapa daerah. 3 Konflik antar agama itu perlu diselesaikan dengan merumuskan paradigma baru yang bisa mengantarkan umat beragama bisa hidup damai, toleran dan saling menghormati, terutama umat Islam sebagai kaum mayoritas. Karena itu, umat Islam perlu merumuskan paradigma ushul fiqih multikultural yang diharapkan mampu untuk menjawab kepentingan kultural kemanusiaan yang beragam tersebut. 4 B. KERANGKA BERPIKIR Istilah multikultural adalah gabungan dari kata multy (banyak) dan cultur (budaya). Multikultural secara singkat, adalah sebuah paradigma tentang kesetaraan semua ekspresi budaya.5 Dalam tradisi keilmuan, multikulturalitas teradapat dua orientasi, yaitu Pertama, multikulturalitas statis yang berarti suatu pandangan mengenai keragaman yang berisfat fragmentatif, keragaman itu menjadi serpihan-serpihan budaya yang berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan spesifikasi masing-masing. Kedua, multikulturalitas dinamis yang berarti bahwa dalam beragam budaya atau tradisi terjadi interkulturalitas. Identitas baru yang dikonstruksi tidak lagi terkungkung pada lokalitas tertentu, tetapi menekankan kolektivitas identitas lokalitas masing-masing kelompok identitas yang telah mengalami kondisi fragmentasi.6 C. PROBLEMATIKA KEMAJEMUKAN MASYARAKAT INDONESIA Secara umum, masyarakat itu merupakan eksistensi yang hidup dan dinamis yang dapat membentuk pranata dan tanggung jawabnya sendiri.7 Dinamika kehidupan ini menjadi tuntutan tersendiri untuk membangun budaya yang berwawasan multikultural di Indonesia. Hal ini didasari beberapa alasan. Pertama, manusia diciptakan dalam keanekaragaman budaya. Kedua, dalam banyak kasus konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) pada dasawarsa terakhir ditengarai berkaitan erat dengan masalah kebudayaan (lihat: AlQadrie, 2005 dan Rahman, 2005). Ketiga, pemahaman terhadap multikulturalisme merupakan kebutuhan bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi tantangan global (baca: Samuel P. Huntington, 1993).8 Dalam hal konflik agama, para peneliti termasuk Thomas Santoso menyebutkan bahwa terjadinya pengrusakan rumah ibadah disebabkan adanya pemahaman keagamaan yang dangkal walaupun agama bukan satu-satunya penyebab konflik dan kekerasan, sebagaimana temuan Riza Sihbudi. Di atas semua itu, 1
Penulis adalah Dosen Universitas Darul ‘Ulum Jombang Jawa Timur, HP 08179403094
2
M. Amin Abdullah, Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996), hlm. 5; Achmad Syahid, “Peta Kerukunan Umat
3
Syamsul Arifin, Silang Sengkarut Agama di Ranah Sosial Tentang Konflik, Kekerasan Agama dan Nalar Multikulturalisme,
Beragama Propinsi Bengkulu” (Seri II), dalam Riuh Di Beranda Satu, (Jakarta: Depag RI, 2003), hlm. 1-2. (Malang: UMM Press, 2009), hlm. 13; Hendrizal, Keragaman dan Pendidikan Multikultural, www.analisadaily.com/index. diakses 01-06-2009. 4
Akh. Minhaji, Hukum Islam: Antara Profanitas dan Sakralitas, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fak. Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004, hlm. 33-34; Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 334; Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan”, dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal, terj. Bahrul Ulum (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 485.
5
Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, dikutip dari Mustato’, “Pendidikan Agama Islam
6
Tadjoer Ridjal Baidoeri, “Ragam Reaksi Akulturatif Masuknya Ide-ide Baru dalam Dunia Pesantren” dalam Makalah
Berbasis Multikultural”, Agustus 2008, dalam Arsip Blog. Lokakarya Nasional Pengasuh Pondok Pesantren se-Jawa Timur, diselenggarakan oleh FAI Univ Darul ’Ulum Jombang Kerjasama dengan Puslitbang & Diklat Depag RI, 12-13 Agustus 2009, hlm. 13-15. 7
Muhaemin el-Ma'hady, “Multikulturalisme dan Pendidikan Multicultural”, Homepage Pendidikan Network, http://re-
8
Agus Rifai, ”Perpustakaan dan Pendidikan Multikulturalisme” dalam Artikel Peserta Lomba Penulisan Karya Ilmiah bagi
searchengines.com/muhaemin6-04.html. diakses 01-06-2009. Pustakawan Tahun 2006. diakses 01-06-2009. Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
beragam konflik yang tumbuh subur pada dasawarsa terakhir ini lantaran pada zaman Orde Baru, dengan jargon “persatuan” dan “kesatuan” yang dikawal serdadu berusaha untuk menghapus segala potensi benturan atas dasar suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).9 Untuk menjawab hal tersebut adalah dengan merumuskan paradigma berpikir multikulural, yakni paradigma berpikir yang bisa menghormati, tulus dan toleran terhadap keanekaragaman budaya, bukan paradigma monokultural yang mengabaikan keragaman10 dan telah mendorong munculnya pola pikir radikal, ekstrim, dan berlebihan.11 Salah satu persoalan krusial dalam kehidupan religius bangsa Indonesia adalah pemikiran mayoritas bangsa Indonesia yang beragama Islam, yakni pemikiran ushul fiqih yang perlu untuk selalu diperbarui agar terbangun pola hidup dan amalan praktis fiqih kaum Muslim yang bisa menghormati, tulus dan toleran terhadap keragaman budaya, agama, dan hal lain. C. DESKRIPSI TENTANG SYARΑAH, FIQH DAN USHUL FIQIH Pertama, secara etimologis, syara‘a berarti “menggambar jalan yang jelas menuju ke sumber air”,12 sedang secara terminologis, syarî‘ah memiliki arti sebagai ketentuan hukum yang ditetapkan Allah yang diperuntukkan bagi hamba-Nya untuk diikuti.13 Dalam arti ini juga tercakup aturan hukum yang diwahyukan dalam al-Qur’an; lalu aturan yang terkandung dalam al-Hadîts (verbal traditions), dan selanjutnya tafsir, pendapat-pendapat, ijtihad (personal opinion), fatwa (religious opinion) ulama, dan keputusan-keputusan hakim.14 Kedua, secara harfiah, fiqh berarti “pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan”.15 Secara istilah, fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara‘ yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili melalui penalaran.16 Ketiga, ushul fiqih adalah ilmu yang membahas tentang sumber-sumber pokok dan metode-metode pengambilan kesimpulan atau istimbat hukum Islam. Para fuqaha’ melakukan usahanya untuk menemukan pemecahan di bidang hukum dari sumber-sumber dan dalildalil al-Qur’an dan Sunnah.17 Menurut Syekh Kamaluddin Ibn Himam, ushul fiqih adalah ilmu tentang kaidahkaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum fiqih. Atau dengan kata lain disebutkan bahwa kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara pengambilan hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’ î.18 D. Pergeseran Paradigma Ushul Fiqih: Dari Ushul Fiqih Monokultural ke Ushul Fiqih Multikultural 1. Sumber Fiqh Monokultural dan Multikultural ‘Abd al-Wahhâb Khallâf mengatakan bahwa teks (nashsh) al-Qur’an keseluruhannya adalah qath‘î19 baik dari sisi turunnya, ketetapannya maupun penukilannya dari Nabi Muhammad saw. pada umatnya. Teks al9
Arifin,Silang Sengkarut...., hlm.13-14; http://www.shaleholic.com.diakses 01-06-2009.
10
11
http://www.shaleholic.com. diakses 01-06-2009; M Zainuddin, “Pluralisme dan Dialog Antarumat Beragama”, dalam al‘Adalah, Vol 10 N0 2 (Jember: STAIN Press, 2007), hlm. 208. Hal ini ditandaskan dalam firman Allah surat al-Ma’idah ayat 77 yang berbunyi: ﻗُﻞْ ﯾَﺎ أَھْﻞَ اﻟْﻜِ ﺘَﺎبِ ﻟَﺎ ﺗَﻐْﻠُﻮا ﻓِﻲ دِﯾﻨِﻜُﻢْ ﻏَﯿْﺮَ اﻟْﺤَﻖﱢ وَﻟَﺎ
ﺗَﺘﱠﺒِﻌُﻮا أَھْﻮَاءَ ﻗَﻮْمٍ ﻗَﺪْ ﺿَﻠﱡﻮا ﻣِﻦْ ﻗَ ﺒْﻞُ وَأَﺿَﻠﱡﻮا ﻛَﺜِﯿﺮًا وَ ﺿَﻠﱡﻮا ﻋَﻦْ ﺳَﻮَاءِ اﻟﺴﱠﺒِﯿ ِﻞ Dalam bahasa Arab, al-ghuluw disebutkan dengan kata ”tatharruf” yang berkonotasi makna radikal, ekstrim dan berlebihan (Q.S. al-Ma’idah [5]: 77). Abdullah, Studi Agama..., hlm. 5-8.; Muchlis M Hanafi, ”Konsep al-Wasathiyyah dalam Islam” dalam dalam Makalah Lokakarya Nasional Pengasuh Pondok Pesantren se-Jawa Timur, diselenggarakan oleh FAI Univ Darul ’Ulum Jombang Kerjasama dengan Puslitbang & Diklat Depag RI, 12-13 Agustus 2009, hlm. 3. 12
Fazlur Rahman, Islam (Garden City: Anchor Books, 1968), hlm. 117; Amir Sarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum
13
Mahmûd Syaltût, Al-Islâm: ‘Akîdah wa Syarî‘ah (t.t: Dâr al-Qalam, t. th.), hlm. 21.
Islam”, dalam Ismail Muhammad Syah et al. (peny.), Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 11. 14
Muhammad Sa‘id al-‘Ashmawi, “Syari’ah: Kodifikasi Hukum Islam”, dalam Charles Kursman, (ed.), Wacana
Islam
Liberal…, hlm. 41. 15
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 1; Amir Syarifuddin, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya, 1990), hlm. 15; Al Yûsuf al-Qardlâwî, Madkhal li Dirâsah al-Syarî‘ah alIslâmiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), hlm. 21.
16
Syarifuddin, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam..., hlm. 14-15; Al-Qardlâwî, Madkhal li Dirâsah al-Syarî‘ah.., hlm.
17
Fathurahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Logos, 1997), hlm.14; Subhi Mahmashani, “Penyesuaian Fiqih Islam dengan
21. Kebutuhan Masyarakat Modern”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito (peny.), Islam dan Pembaruan, terj. Machnun Husein (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), hlm. 325. 18 19
Abu Zahrah, Ushul Fiqih..., hlm.3. Muhyar Fanani, “Sejarah Perkembangan Konsep Qat‘i-Zannî: Perdebatan Ulama tentang Anggapan Kepastian dan Ketidakpastian Dalil Syari‘at”, Al-Jâmi‘ah 39:2 (2001), hlm. 441-442; Muhammad bin Idrîs al-Syâfi‘î, Al-Risâlah Ahmad Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Qur’an itu diturunkan Allah pada Nabi untuk disampaikan pada umatnya tanpa ada perubahan dan penggantian sedikit pun.20 Sementara al-Sunnah (al-Hadîts) sebagai sumber kedua juga memiliki nilai qath‘î tetapi berbeda dengan al-Qur’an. Dalam al-Sunnah, ada yang qath‘î al-wurûd (memiliki validitas kuat datangnya dari Nabi; al-Sunnah al-Mutawâtirah) dan zhannî al-wurûd (tidak memiliki validitas kuat datanganya dari Nabi; al-Sunnah al-Ahâd).21 Fuqaha’ monokultural menyatakan bahwa teks al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian: Pertama, qath‘î al-dilâlah adalah teks yang memiliki pengertian yang jelas dan tidak menimbulkan ta’wîl serta tidak ada jalan untuk dipahami selain dari arti yang jelas itu. Kedua, zhannî al-dilâlah adalah teks yang memiliki suatu pengertian, tetapi masih dapat menimbulkan ta’wîl atau dapat diubah dari pengertian aslinya kepada pengertian lain.22 Dalam tradisi fuqaha’ ini, ”budaya teks” masih menjadi satu-satunya ukuran untuk menilai dan menetapkan ketentuan hukum/fiqih.23 Sementara itu, fuqaha’ multikultural mengatakan bahwa teks al-Qur’an adalah firman literal dan final dari Allah, sedang Nabi Muhammad saw selama menyampaikan misinya sering menjelaskan dan mengelaborasi arti atau makna teks al-Qur’an, dan menambahkan keputusan-keputusannya melalui perkataan (statemen) dan perbuatan (action) serta persetujuannya pada para pengikutnya (sahabat Nabi) berdasarkan kepentingan kultural (kemaslahatan) umat. Keputusan Nabi ini kemudian dikenal sebagai alSunnah yang dijadikan sumber kedua oleh umat Islam.24 2. Paradigma Ijtihad Fiqih Monokultural dan Multikultural Dalam perspektif historis, sistem kenegaraan yang diterapkan Nabi Muhammad saw dengan Piagam Madinahnya menjadi dasar hukum fiqih bagi legalitas multikulturalisme. Piagam Madinah ini adalah konsesi atas Hijrah Nabi Muhammad saw yang menemukan kondisi sosiologis Madinah berbeda dengan di Makkah.25 Dalam perkembangannya setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, proses pembentukan hukum fiqih mulai mengalami perdebatan seputar peran kultur (yang berasaskan kemaslahatan umat) dan wahyu (yang berasaskan teks/nash) yang telah menimbulkan perdebatan yang hangat antara Umar ibn al-Khattab dengan sahabat Nabi lainnya dalam masalah bagian muallaf dan pembagian harta rampasan perang. Umar berpijak pada kepentingan kultural masyarakat setempat, sementara sahabat lainnya bersikukuh pada tradisi formal-legalistik.26 Perkembangan perdebatan fiqih di dunia Islam, khususnya di Indonesia, juga tidak lepas dari persoalan peran teks dan kultur tersebut. 27 Tarik menarik antara peran teks dan kultur menimbulkan polarisasi paradigmatik dalam pembaruah fiqih, yakni: Pertama, paradigma ushul fiqih multikultural yang berupaya melahirkan kaidah dan rumusan fiqih yang sesuai dengan kepentingan kultural manusia yang berwawasan kemaslahatan. Kedua, paradigma ushul fiqih monokultural yang meletakkan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar pijaknya dalam menjawab masalah-masalah baru, dan akal dianggap tidak mampu menafsirkan nas-nas al-Qur’an dan
Muhammad Sakir (ed.), [Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.], hlm. 56-57; Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law, (Syracuse: Syracuse University Press, 1990)., hlm. 18. 20
‘Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Qalam, 1978), hlm. 34; Moh Dahlan, Epistemologi Hukum Islam: Studi Atas Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im, [Disertasi S-3 : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006]
21 22
Ibid., hlm. 42. Ibid., hlm. 35; Abî Bakar Ahmad al-Râzî al-Jashshâsh, Ahkâm al-Qur’ân Jilid II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993) hlm. 5-6; Wahbah al- Zukhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî Jilid II [Beirut: Dâr al-Fikr, 1986], hlm. 1052-1054; Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, t.th.), hlm. 218 dan 227.
23 24
‘Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1972), hlm. 19 dan 25. Menurut fuqaha’ multikultural, teks yang qath‘î al-dilâlah adalah teks yang universal dan mengandung nilai-nilai kemanusiaan, sedang teks yang zhannî al-dilâlah adalah teks yang memiliki arti jelas dan rinci serta mengancam nilainilai kemanusiaan, ekslusif, dan diskriminatif. Abdullahi Ahmed An-Na‘im, “Human Rights in the Muslim World: SocioPolitical Conditions and Scriptural Imperatives”, Harvard Human Rights Journal 3 (1990), hlm. 17; Abdullahi Ahmed AnNa‘im, “The Contingent Universality of Human Rights: The Case of Freedom of Expression in African and Islamic Contexts”, Emory International Law Review 11 (1997), hlm. 49.
25
Mustato’, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural”, Agustus 2008, dalam Arsip Blog.
26
Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh…, hlm. 98-99.
27
Amin Abdullah, “Telaah Hermeneutis terhadap Masyarakat Muslim Indonesia”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 541; Ahmad Baso, Islam Liberal Sebagai Ideologi, Gerbang, Vol. 06, No.03. 2000,hlm. 125 Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Sunnah yang jelas dan rinci. Demikian juga kultur tidak memiliki peran strategis dalam merumuskan ketentuan fiqih.28 3. Mujtahid Yang Berwawasan Monokultural dan Multikultural Ijtihad merupakan usaha yang sungguh-sungguh dari mujtahid dalam menemukan hukum-hukum syar‘î. Mujtahid harus memenuhi tiga syarat: Pertama, pengerahan segala kemampuan dari mujtahid. Kedua, usaha yang sungguh-sungguh itu adalah untuk mencari hukum-hukum syar‘î yang bersifat zhannî. Ketiga, pencarian hal-hal yang zhannî itu adalah dari teks syar‘î (al-Qur’an dan al-Sunnah).29 Syarat mujtahid meliputi beberapa hal berikut: Pertama, syarat umumnya adalah baligh, berakal, memahami masalah, dan beriman. Kedua, syarat utamanya adalah mengetahui bahasa Arab, ilmu ushul fiqih, ilmu mantiq (logika), dan mengetahui hukum asal. Ketiga, syarat yang pokok adalah mengetahui alQur’an, al-Sunnah, maqâsid al-syar‘î, asrâr al-syar‘î, dan mengetahui qawâid al-fiqhiyyah.30 Adapun mujtahid meliputi tiga tingkatan: Pertama, mujtahid al-madzhab adalah seorang mujtahid yang mengikuti (yuqallidu) teori ijtihad dari salah satu imam madzhab, sedangkan produk hukumnya boleh berbeda. Kedua, mujtahid al-mas’alah adalah seorang mujtahid yang boleh melakukan ijtihad dengan hanya berbekal pengetahuan yang berhubungan dengan satu persoalan yang akan dipecahkan dan produk hukumnya boleh berbeda. Ketiga, mujtahid al-mutlaq adalah seseorang yang memiliki kemampuan mencetuskan teori dan rumusan ketentuan hukum syar‘î. Di luar tiga hal tersebut adalah muqallid, yang tindakannya sering disebut “taqlîd”. 31 Salah satu contoh gagasan ijtihad yang ideal adalah ijtihadnya Umar yang menempatkan gagasan fiqihnya yang berbasis kultural, kepentingan penduduk setempat, dalam masalah harta rampasan perang (baca: al-Qur’an 59: 6-10). Gagasan Umar itu mengakomodasi adanya pluralitas kepentingan masyarakat setempat, sehingga ia dapat mengamalkan pesan living tradition dari Nabi, ia mengikuti Sunnah Nabi dalam wujud tindakan baru yang sudah mengalami the autonomisation of action –meminjam istilah Ricoeur- dari pelaku aslinya, Nabi. 32 Dalam tradisi ijtihad Imam Madzhab, ada apresiasi luar biasa terhadap kepentingan kultural kemanusiaan melalui urf. Misalnya, Imam Hanafi menolak qiyâs demi mempertahankan urf/tradisi yang baik. Demikian juga Imam Malik menempatkan urf sebagai salah satu sumber hukum fiqih yang valid. Sementara Imam Syafi’i yang menggagas qaul qadim dan qaul jadid pada hakikatnya juga memiliki perhatian terhadap aspek kultural/urf. 33 Dalam kehidupan Indonesia, pola pikir Umar dan para imam madzhab memiliki arti penting untuk memberikan sumbangan penting bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam agar mereka memiliki paradigma (fiqih) Islam yang berwawasan multikultural, bukan paradigma (fiqih) Islam yang bertitik tolak pada pemikiran dogmatik-spekulatif, dan bukan pula paradigma berpikir yang hanya berpijak pada akar pemikiran rasional dan empiris.34 Hal ini penting untuk menjawab kelemahan padarigma ushul fiqih di Indonesia yang monolitik (single entities) dan berwawasan taqlid.35 28
Ada dua paradigma interpretasi: Pertama, penafsiran multikultural yang berlandaskan konteks baik konteks kalimat ataupun konteks kultural (konteks turun atau kekiniannya). Kedua, penafsiran monokultural yang berlandaskan nas-nas al-Qur'an yang jelas dan rinci. Jalaluddin Rakhmat, “Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh” dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, t.th.), hlm. 8-10; Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fî Ushul al-Syari’ah Jilid I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997); Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute, 1970), hlm. 180; Akh. Minhaji, “Review Article: Mencari Rumusan Ushul Fiqh untuk Masa Kini”, Al-Jâmi’ah No. 62, Yogyakarta, 2001, hlm. 247; Al-Syafi’i, Al-Risalah..., hlm. 560; Al-Zukhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami.., hlm. 803 dan 821. .
29
Muhâmî Munîr Muhammad Thâhir al-Syawwâf, Tahâfut al-Qirâ’ah al-Mu‘âshirah (Cyprus: Al-Syawwâf li al-Nasyr wa alDirâsât, 1993), hlm. 450; Muhammad Kamâl al-Dîn Imâm, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî (Iskandariyah: Dâr al-Mathbû‘ alJâmi‘iyyah, t.th.), hlm. 309-310.
30
Asjmuni Abdurrahman, “Sorotan terhadap Beberapa Masalah Sekitar ijtihâd” dalam Ahmad Baidowi, M. Affan dan Ach. Baidowi Amiruddin (peny.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, [Yogyakarta: SUKA-Press, 2003], hlm. 2434.
31 32
Al-Syawwâf, Tahâfut al-Qirâ’ah., hlm. 453-455 dan 459. An-Na‘im, Toward an Islamic Reformation.., hlm. 28; Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, John B Thompson (terj. & ed.), [Cambridge: Cambridge University Press, 1982], hlm. 206; M. Amin Abdullah, “Kata Pengantar”, dalam Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir (Yogyakarta: Pustaka, 2003), hlm. xii.
33
M Noor Harisuddin, “Madzhab Fiqih Berbasis Lokalitas”, dalam Jurnal al-‘Adalah Vol 9 No 3 (Jember: STAIN Press, 2006),
34
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 29; A. Mukti Ali, “Metodologi
hlm. 123; Nasrun Haroen, Ushul Fiiqh I, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 148. Ilmu Agama Islam”, dalam Taufik Abdullah dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
E. Menuju Paradigma Ushul Fiqih Multikultural Rasulullah SAW mengajarkan prinsip integrasi sosial untuk membangun masyarakat yang beradab. Ia mengatakan bahwa ajaran fiqih Islam harus menjadi rujukan nilai, pengetahuan dan tindakan bagi kaum Muslim untuk berta’aruf dengan keompok-kelompok lain di dalam masyarakat yang berbeda baik dalam hal agama, sosial maupun budaya.36 Untuk itu rumusan paradigma ushul fiqih yang relevan adalah “ushul fiqih multikultural” yang diyakini dapat memproduk hukum-hukum fiqih yang aspiratif dan akomodatif terhadap pluralitas kultural/kepentingan kemanusiaan, sehingga umat manusia mendapatkan posisi yang setara tanpa membedakan ras, agama, jenis kelamin dan keturunan. Paradigma ushul fiqih multikultural itu berdasarkan al-Qur’an: Pertama, surat al-Hujurat yang menempatkan manusia secara setara.37 Kedua, surat ar-Rum yang memberikan keabsahan bahwa perbedaan warna kulit, bahasa, dan budaya harus diterima sebagai sesuatu yang positif dan merupakan tanda-tanda dari kebesaran Allah swt.38 Ketiga, surat al-kafirun yang menetapkan prinsip saling menghargai antar pemeluk agama.39 Keempat, surat Yunus dan al-Nahl yang memberikan ruang yang terbuka bagi pola hubungan di antara sesama manusia, termasuk hubungan antar agama, etnis, suku, bangsa, dan budaya berdasarkan asas kerelaan/kesetaraan kepentingan tanpa ada pemaksaan.40 Dengan demikian, paradigma ushul fiqih multikultural ini berusaha menempatkan nilai-nilai kultural dan memberikan kesempatan kepada setiap generasi untuk memberikan terobosan baru untuk mencapai suatu pengetahuan hukum fiqih yang berbasis keragaman kepentingan kutlural. Pertimbangan kepentingan kultural memperoleh tempat yang layak. Dalam konteks ini, penulis perlu mengemukakan perbedaan ketentuan fiqih monokultural dengan ketentuan fiqih multikultural. Ketentuan fiqih monokultural menandaskan bahwa: Pertama, pembedaan status kewarganegaraan berdasarkan asas agama dan gender. Kedua, pembedaan dejarat saksi berdasarkan jenis kelamin atau agama. Ketiga, pembedaan dalam persoalan pernikahan, perceraian dan dzimmî.41 Sementara itu ketentuan fiqih multikultural menandaskan bahwa persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan harus ditegakkan di depan hukum. Demikian juga persamaan kedudukan non-Muslim, baik dalam persoalan hukum pidana, persaksian maupun perdata.42 Dari uraian tersebut, fiqih yang berwawasan multikultural memiliki arti penting karena masyarakat/bangsa Indonesia terdiri dari berbagai golongan yang berbeda secara etnis, sosial, politis, ekonomis, keagamaan, dan kultural. Masyarakat yang seperti ini memerlukan ketentuan fiqih yang akomodatif dan apresiatif terhadap keragaman tersebut. Karena itu, identitas hukum fiqih dapat diperluas berdasarkan keragaman identitas yang berkembang di masyarakat. Sebab, identitas yang diharapkan bukanlah identitas yang statis tetapi identitas yang dinamis.43 Keragaman yang ada yang berlandaskan identitas keagamaan itu diharapkan oleh paradigma ushul fiqih multikultural ini akan bersinergi, sehingga keberagaman identitas tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi keragaman identitas baik budaya, agama, maupun kultur sama-sama semakin diperluas dan diperkaya. F. Kesimpulan Arti penting paradigma ushul fiqih multikultural adalah sebagai berikut: Pertama, ia menekankan pada pengambilan nilai-nilai dasar kultural kemanusiaan sebagai prinsipnya dalam merumuskan hukum (fiqih) Islam. Kedua, ia mendorong kaum Muslim untuk selalu menangkap realitas aktual kekinian. Konsekuensinya, perlu pergeseran paradigma dari ushul fiqih monokultural ke ushul fiqih multikultural. Ketiga, ia dapat melahirkan produk hukum yang mampu menghargai dan menghormati adanya keragaman gaya hidup bangsa (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm.. 47; Moh Dahlan, “Gagasan Ushul Fiqih Pluralis”, dalam Jurnal Citra Ilmu (Temanggung: STAINU Press, 2008), hlm.21-35. 35
A. Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam”, dalam Taufik Abdullah dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian
36
A Malik Fadjar, “Strategi Pengembangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi” dalam Seminar Internasional di Era
Agama…, hlm.. 47; Dahlan, “Gagasan Ushul Fiqih Pluralis”..., hlm.21-35. Globalisasi: Tantangan dan Upaya Merumuskan Kembali Orientasi Strategi dan Kurikulum. Kerjasama FAI-UMM dengan AIPUM Malaysia, di UMM, tgl 22-23 Juni 2007, hlm. 3.; lihat juga Moh Dahlan, “Gagasan Ushul Fiqih Pluralis”…, hlm.2137
35. Lihat; (al-Hujurat :13) ٌَﯾَﺎ أَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﻨﱠﺎسُ إِﻧﱠﺎ ﺧَﻠَﻘْﻨَﺎ ﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ذَﻛَﺮٍ وَ أُﻧْ ﺜَﻰ وَﺟَﻌَﻠْ ﻨَﺎﻛُﻢْ ﺷُﻌُﻮﺑًﺎ وَﻗَﺒَﺎﺋِﻞ
38Lihat; (ar-Rum:22) َوَﻣِﻦْ آَ ﯾَﺎ ﺗِﮫِ ﺧَﻠْﻖُ اﻟﺴﱠﻤَﺎوَاتِ وَاﻟْﺄَرْضِ وَاﺧْﺘِﻠَﺎفُ أَﻟْﺴِﻨَﺘِ ﻜُﻢْ وَ أَﻟْﻮَاﻧِﻜُﻢْ إِنﱠ ﻓِﻲ ذَﻟِﻚَ ﻟَﺂَﯾَﺎتٍ ﻟِﻠْﻌَﺎﻟِﻤِﯿﻦ 39 Lihat; (al-Kafirun: 6) ِ ﻟَﻜُﻢْ دِﯾﻨُﻜُﻢْ وَﻟِﻲَ دِﯾﻦ. 40 Lihat; (Yunus: 99) َ وَﻟَﻮْ ﺷَﺎءَ رَ ﺑﱡﻚَ ﻟَﺂَﻣَﻦَ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ اﻟْﺄَرْضِ ﻛُﻠﱡﮭُﻢْ ﺟَﻤِﯿﻌًﺎ أَﻓَﺄَ ﻧْﺖَ ﺗُﻜْﺮِهُ اﻟﻨﱠﺎسَ ﺣَﺘﱠﻰ ﯾَﻜُﻮ ﻧُﻮا ﻣُﺆْﻣِﻨِﯿﻦَ ادْعُ إِﻟَﻰ ﺳَﺒِﯿﻞِ رَ ﺑﱢﻚَ ﺑِﺎﻟْﺤِﻜْﻤَﺔِ وَاﻟْﻤَﻮْﻋِﻈَﺔِ اﻟْﺤَﺴَ ﻨَﺔِ وَﺟَﺎدِﻟْﮭُﻢْ ﺑِﺎﻟﱠﺘِﻲ ھِﻲَ أَﺣْﺴَﻦُ إِنﱠ رَﺑﱠﻚَ ھُﻮَ أَﻋْﻠَ ﻢُ ﺑِﻤَﻦْ ﺿَﻞﱠ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﯿﻠِﮫِ وَھُﻮَ أَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﺎﻟْﻤُﮭْﺘَﺪِﯾﻦ(al-Nahl:125) 41
An-Na’im, Toward an Islamic Reformation….., hlm. 89-91.
42
Ibid., hlm. 180-181.
43
Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), hlm. 74. Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
atau masyarakat Indonesia yang mendesak di tengah arus gerakan keagamaan yang sering hanya mengedepankan unsur normatif fiqih tanpa mengikutkan unsur keragaman historis fiqih, tradisi/urf.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Yogyakarta: Pustaka, 2003 Abdullah, M. Amin, Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996. Abdullah, Taufik, dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989. Abû Zahrah, Muhammad, Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, t.th.. , Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. Akh. Minhaji, Hukum Islam: Antara Profanitas dan Sakralitas, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fak. Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004 al- Zukhailî, Wahbah, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî Jilid II, Beirut: Dâr al-Fikr, 1986. Ali, A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1998. al-Jashshâsh, Abî Bakar Ahmad al-Râzî, Ahkâm al-Qur’ân Jilid II, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993. al-Qardlâwî, Yûsuf, Madkhal li Dirâsah al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Kairo: Maktabah Wahbah, 2001. al-Syâfi‘î, Muhammad bin Idrîs, Al-Risâlah Ahmad Muhammad Sakir (ed.), Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fî Ushul al-Syari’ah Jilid I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997) al-Syawwâf, Muhâmî Munîr Muhammad Thâhir, Tahâfut al-Qirâ’ah al-Mu‘âshirah, Cyprus: Al-Syawwâf li alNasyr wa al-Dirâsât, 1993. An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law, Syracuse: Syracuse University Press, 1990. Arifin, Syamsul, Silang Sengkarut Agama di Ranah Sosial Tentang Konflik, Kekerasan Agama dan Nalar Multikulturalisme, Malang: UMM Press, 2009. Baidowi, Ahmad, M. Affan dan Ach. Baidowi Amiruddin (peny.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, Yogyakarta: SUKA-Press, 2003. Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, t.th.) Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal, terj. Bahrul Ulum (Jakarta: Paramadina, 2001). Dahlan, Moh, Epistemologi Hukum Islam: Studi Atas Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im, Disertasi S-3 : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006. Djamil, Fathurahman, Filsafat Hukum Islam, Logos, 1997. Donohue, John J., dan John L. Esposito (peny.), Islam dan Pembaruan, terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Pers, 1995. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999). Haroen, Nasrun, Ushul Fiiqh I, Jakarta: Logos, 1997. Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence, Islamabad: Islamic Research Institute, 1970. Imâm, Muhammad Kamâl al-Dîn, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Iskandariyah: Dâr al-Mathbû‘ al-Jâmi‘iyyah, t.th. Khallâf, ‘Abd al-Wahhâb, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Qalam, 1978. , Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1972. Nafis, Muhammad Wahyun, (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina, 1995. Rahman, Fazlur, Islam, Garden City: Anchor Books, 1968. Ricoeur, Paul, Hermeneutics and the Human Sciences, John B Thompson (terj. & ed.), Cambridge: Cambridge University Press, 1982. Riuh Di Beranda Satu, Jakarta: Depag RI, 2003. Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: Gunung Mulia, 2004. Syah, Ismail Muhammad, et al. (peny.), Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Syaltût, Mahmûd, Al-Islâm: ‘Akîdah wa Syarî‘ah, t.t: Dâr al-Qalam, t. th.. Syarifuddin, Amir, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1990. B. Makalah, Jurnal, Internet, dan lainnya Al-Jâmi’ah No. 62 dan 39:2 Yogyakarta, 2001 al-‘Adalah, Vol 10 N0 2, Jember: STAIN Press, 2007. Artikel Peserta Lomba Penulisan Karya Ilmiah bagi Pustakawan Tahun 2006. diakses 01-06-2009.
Surakarta, 2-5 November 2009
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Baidoeri, Tadjoer Ridjal, “Ragam Reaksi Akulturatif Masuknya Ide-ide Baru dalam Dunia Pesantren” dan Muchlis M Hanafi, ”Konsep al-Wasathiyyah dalam Islam” dalam Makalah Lokakarya Nasional Pengasuh Pondok Pesantren se-Jawa Timur, diselenggarakan oleh FAI Univ Darul ’Ulum Jombang Kerjasama dengan Puslitbang & Diklat Depag RI, 12-13 Agustus 2009. Emory International Law Review 11 (1997) Gerbang, Vol. 06, No.03. 2000 Harvard Human Rights Journal 3 (1990) http://re-searchengines.com/muhaemin6-04.html. diakses 01-06-2009. http://www.shaleholic.com.diakses 01-06-2009. Jurnal al-‘Adalah Vol 9 No 3, Jember: STAIN Press, 2006. Jurnal Citra Ilmu, Temanggung: STAINU Press, 2008. Mustato’, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural”, Agustus 2008, dalam Arsip Blog. Seminar Internasional di Era Globalisasi: Tantangan dan Upaya Merumuskan Kembali Orientasi Strategi dan Kurikulum. Kerjasama FAI-UMM dengan AIPUM Malaysia, di UMM, tgl 22-23 Juni 2007. www.analisadaily.com/index. diakses 01-06-2009.
Surakarta, 2-5 November 2009