88
STAIN Palangka Raya
Relativisme Budaya Bagi Masyarakat Multikultural Indonesia Oleh: Dr. Yuyun Nurulaen, M.Si1* Abstract: Cultural relativism occurred in response to the flow of ethnocentrism, which holds that measure and assess the culture of others from their own cultural context, so it tends to look down on cultures outside the scope of culture. The basic concept of cultural relativism is not there a culture that has advantages compared with other cultures. Its means that there is no a community of people who are entitled to claim that their culture is superior to other cultures. Important cultural relativism learned by anyone who has a 'concern' to the development of culture, both for development theory or to solve the problems that exist in the community, Indonesian society, especially the type of multicultural culture. Indonesia has a cultural diversity should be preserved and cultivated especially in the younger generation. to understand and be aware of the differences in terms of both religious cultures and races, Indonesian society should be able to live in diversity because it becomes a necessity.
Key Words: Cultural relativism, ethnocentrism, multicultural, methodological tools.
Dosen pada Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
89
STAIN Palangka Raya
1. Pendahuluan Masyarakat Indonesia, yang bertipe budaya multikultural, tiap daerahnya memiliki aneka ragam pola budaya dan ciri khas tersendiri yang berbeda dengan daerah lainnya. Pola-pola budaya yang terbentuk bergerak dan berkembang secara sendiri-sendiri dan alami sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Mereka memiliki kebanggaan terhadap daerahnya sangat tinggi. Jika salah satu budaya daerah yang menjurus pada suatu etnis tertentu mau diangkat sebagai ‘budaya nasional’ maka daerah lain yang berbeda etnisnya akan menolak. Karena suatu budaya etnis tertentu tidak dapat mewakili daerah lain yang memiliki corak budaya khas yang sangat berbeda. Hanya ada dua jenis budaya yang sudah jelas diterima oleh seluruh masyarakat di Indonesia, yaitu Bahasa Indonesia dan Pancasila, sebagai hasil kesepakatan dari para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kelompok masyarakat ini memiliki ego-budaya yang sangat tinggi, sehingga adakalanya mereka merasa lebih unggul budayanya dibandingkan dengan masyarakat di luar wilayahnya. Dalam menghadapi kondisi seperti ini apa yang seharusnya dilakukan? Jawaban terhadap persoalan tersebut tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Secara teoritis, ada baiknya mengkaji konsep budaya yang dikembangkan oleh Frans Boas, seorang antropolog budaya berkebangsaan Amerika yang mengembangkan konsep relativisme budaya. Kajian pemikiran relativisme budaya banyak dibahas oleh pemerhati kebudayaan dan sosial yang merasa jenuh (kecewa) terhadap mereka yang berperilaku cenderung under estimate pada budaya yang berbeda dari budayanya. Relativisme budaya begitu menarik perhatian banyak kalangan pemikir, salah satu sebabnya adalah bahwa pemikiran tersebut, ketika kemunculannya, berani menolak kemapanan dan menisbikan budaya yang sudah establish, yaitu faham Etnosentrisme, terutama pada masyarakat Eropa, yang berpandangan bahwa budaya yang ada pada masyarakat lain dinilai dari konteks budayanya sendiri, sehingga cenderung memandang rendah masyarakat lain yang berbeda dari budayanya. Relativisme budaya menilai tidak ada suatu komunitas masyarakat yang berhak mengklaim budayanya lebih unggul dibanding yang lain. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
90
STAIN Palangka Raya
Keunggulan suatu budaya sangat relatif, karenanya tidak ada produk budaya yang mesti dianggap sebagai budaya unggulan, apalagi diyakini memiliki nilai yang bersifat universal. Sehingga setiap orang harus menghargai budaya yang berbeda dengan budaya leluhurnya atau dengan budaya dari daerah lain yang berbeda. Abdala (2008) menyatakan,
relativisme budaya adalah paham bahwa semua
budaya baik, tidak ada budaya yang dianggap superior sementara yang lain inferior. Budaya adalah hasil dari kesepakatan sosial (social construction). Budaya tidak mengandung esensi tertentu yang membuatnya “baik” atau “buruk”. Mungkin saja sebuah perilaku budaya dinilai baik pada suatu komunitas masyarakat tertentu, tetapi sebaliknya ia dinilai aneh, ganjil, atau bahkan lucu oleh komunitas masyarakat yang lain. Jadi, kalaupun mungkin
ada keunggulan
budaya, ia hanya sebatas unggul pada konteks masyarakatnya, bukan karena dibandingkan dengan budaya-budaya lainnya2. Relativisme budaya menawarkan sebuah pemikiran bahwa sesederhana apapun bentuk atau wujud produk budaya, ia harus dihargai. Sebab secara substantif tidak ada suatu produk budaya yang dapat dinilai baik, buruk, lebih baik, atau lebih buruk dibanding budaya-budaya lainnya. Ia patut dihargai bukan dilihat dari sisi penilaian kualitas yang didasarkan pada budaya yang berebeda, tetapi karena ia memiliki arti (meaningful) pada konteks masyarakat yang melahirkannya, sekalipun mungkin hal itu dalam pandangan komunitas masyarakat lain dianggap sangat tidak berarti (meaningless). Masalah utama yang ingin dipecahkan dalam mengkaji aliran pemikiran relativisme budaya adalah bahwa masih terdapat komunitas masyarakat yang merasa diri unggul dan berhak memegang hegemoni, mengukur budaya orang lain berdasarkan budayanya (etnosentris). Karenanya beragam stereotip pun muncul: tradisional-modern, desa-kota, masyarakat maju dan masyarakat terbelakang, suku pedalaman, suku terasing, dan lain-lain. Pandangan-pandangan yang bersifat klise ini tentu saja menjadi ironi ketika muncul sebuah pemikiran bahwa tidak ada
2
Abdala, Ulil. (2008) http://ulil.net/2008/01/06/karate-keluarga-dan-relativisme-budaya /#comment.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
91
STAIN Palangka Raya
seorangpun yang berhak melakukan pengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan kepada penilaian kualitas produk budayanya yang didasarkan pada budaya yang berbeda. Selain itu, dalam kehidupan nyata, di satu sisi semua orang meyakini bahwa budaya lain perlu dihargai dan dihormati, tetapi di sisi lain masih sering terjadi benturan antarbudaya bahkan benturan antarperadaban (Clash of Civilizations) seperti yang diramalkan Huntington (1996) akan terjadi benturan antarperadaban secara dahsyat yang pada akhirnya akan menghancurkan seluruh peradaban manusia3. 2. Kajian Literatur dan Pembahasan 2.1 Latar Historis Lahirnya Relativisme Budaya Istilah relativisme budaya dapat dilihat dari ragamnya. Relativisme terbagi ke dalam relativisme individual, disebut subjektivisme dan relativisme sosial, disebut konvensionalisme (Pojman:1990)4. Relativisme individual adalah bahwa setiap individu menentukan kaidah moralnya sendiri. Subjektivisme (istitilah lain dari relativisme individual) memandang bahwa pilihan-pilihan individu menentukan validitas sebuah prinsip moral (Shomali, 2005)5. Relativisme sosial adalah sebuah teori yang menyatakan bahwa setiap masyarakat berhak menentukan normanorma moralnya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran moral hanyalah kesepakatan budaya di masyarakat. Konvensionalisme (istilah lain dari relativisme sosial) memandang bahwa prinsip-prinsip moral secara relatif benar, sesuai dengan kesepakatan budaya atau masyarakat tertentu. Penamaan relativisme sosial bergeser menjadi Relativisme budaya. Relativisme budaya, secara Epistemologi, berasal dari Jerman, sebagai tanggapan terhadap adanya etnosentrisme, yang jika dibiarkan berkembang akan melahirkan rasisme, yaitu adanya kebencian dari suku bangsa terhadap suku
3
Samuel P. Huntngton, The Clash of Civilizations abd the Remaking of World Order (Remarking of World Order), (New York: Simon & Schuster, 1996), h. 18-19. 4 Louis P. Pojman, Gilbert Harman’s Internalist Moral Realitivism, dalam The Modern Schoolman, LXVIII, (Saint Louis University., 2003), h. 80-81. 5 Mohammad A. Shomali, Realitivisme Etika Menyisir Perdebatan Hangat dan Memetik Wawasan Baru Tentang Dasar-dasar Baru, terj. Zaimul Am, (Jakarta: Serambi, 2005), h. 30.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
92
STAIN Palangka Raya
bangsa yang lain, atau etnosentrisme adalah akar rasisme (Mulyana 1996)6. Kita bisa melihat pengaruh dari rasisme di Jerman, terutama di bawah kekuasaan Hitler, yang menghasilkan kebencian dari Ras Jerman terhadap Ras Yahudi yang menimbulkan pembantaian jutaan manusia yang tidak berdosa. Secara teoritis, relativisme budaya didasarkan pada pemikiran bahwa perkembangan budaya tidak sama dari setiap wilayah di belahan bumi. Ada batas relatif antara budaya yang satu dengan yang lain. Jika suatu budaya tidak sama, berarti ada perbedaan secara relatif antara budaya yang satu dengan lainnya, tergantung pada kondisi lingkungan sosial, perilaku dari manusianya, dan kondisi lingkungan fisik. Jika perkembangan budaya antara satu wilayah budaya dengan wilayah budaya lainnya berbeda, maka standar kebenaran dan kebaikan yang ada tiap kelompok budaya akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah terbentuk nilai-nilai budaya yang sifatnya relatif. Meskipun demikian, adanya relativitas budaya secara konseptual dan sistematis dipopulerkan oleh Frans Boas. Ia berpendapat bahwa evolusi suatu masyarakat (atau budaya) mestilah dilihat dalam konteks dinamik masyarakat itu sendiri. Boas adalah orang yang pertama kali menyusun formula untuk relativisme budaya. Boas berpendapat bahawa antropologi sepatutnya juga bertindak bagi membela masyarakat peribumi yang diancam oleh perubahan budaya. Relativisme budaya memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik dari budaya lainya. Karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat universal. Ia menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran yang bersifat universal dari budaya-budaya tertentu. Relativisme budaya adalah suatu prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus dipahami berdasarkan kebudayaannya. Prinsip ini didasarkan pada hasil penelitian Frans Boas dalam dekade awal abad ke 20 dan kemudian dipopulerkan oleh murid-muridnya. Boas sendiri tidak menggunakan istilah itu, tetapi istilah tersebut menjadi umum antar
6
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Bebreda Budaya, (Bandung: RemajaRosdakarya, 1998), h. 35.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
93
STAIN Palangka Raya
ahli antropologi setelah kematian Boas tahun 1942. Istilah tersebut pertama kali digunakan dalam jurnal Antropologi Amerika tahun 1948; yang isinya merepresentasikan bagaimana murid-murid Boas meringkas dari berbagai prinsip pemikiran Boas. Franz Boas, awalnya sebagai pengajar dalam ilmu fisika dan ilmu geografi, dan dipengaruhi begitu kuat oleh pemikiran Immanuel Kant (1724-1804) yang berargumentasi bahwa manusia tidak mampu mengarahkan dan memediasi pengetahuan di dunia. Semua pengalaman kita di dunia dimediasi lewat pikiran manusia, yang secara universal persepsi terbentuk berdasarkan pada kondisi wilayah dan waktu tertentu. Suatu budaya dapat menjadi media dalam pemahaman yang terbatas terhadap realitas yang samar. Ia memahami "budaya" termasuk bukan hanya seperti rasa dalam makanan, seni dan musik, atau kepercayaan dalam agama. Ia berasumsi jauh lebih luas dalam mengartikan budaya, yang didefinisikan sebagai:
the totality of the mental and physical
reactions and activities that characterize the behavior of the individuals composing a social group collectively and individually in relation to their natural environment, to other groups, to members of the group itself, and of each individual to himself (Boas:1963)7. Keseluruhan dari reaksi mental, fisik dan aktifitas karakter perilaku dari individu yang menggubah suatu kelompok sosial secara bersama dan secara individu dalam hubungannya terhadap lingkungan alami, kelompok yang lain, kelompoknya, dan tehadap dirinya sendiri. Pengertian budaya ini di hadapan para antropolog
terdapat dua
permasalahan: pertama, bagaimana untuk lepas dari ikatan budayanya yang tidak disadarinya, yang tidak dapat dihindari dari tanggapan bias kita dan berbagai reaksi dunia. Kedua, bagaimana memahami budaya yang tidak familier. Karenanya, prinsip relativitas budaya memaksa ahli antropologi untuk mengembangkan strategi metoda-metoda dan heuristik yang inovatif. 2.2 Relativisme Budaya Sebagai Alat Metodologis
7
Franz Boas, The Mind of Primitive Man, (New York: Collier Books, 1911), h. 41.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
94
STAIN Palangka Raya
Diantara perang dunia I dan perang dunia II, “relatifisme budaya” menjadi alat bagi para antropolog Amerika sebagai penolakan terhadap klaim barat tentang ke- universal-an dan menyelamatkan berbagai kebudayaan non-barat (timur). Hal ini difungsikan untuk mentransfer epistemologi Boas ke dalam pelajaran metodologi. Sebagai contoh dalam persoalan bahasa. Meski bahasa biasanya dibahas sebagai alat komunikasi, Boas memahami bahwa hal itu juga bermakna sebagai kategori pengalaman. Dengan demikian, meski tiap orang merasa melihat pancaran dengan cara yang sama, dari suatu rangkaian pada warna, orang-orang yang berbicara dengan bahasa yang berbeda membagi atas rangkaian ini ke dalam warna-warna terpisah dengan berbagai cara. Beberapa bahasa tidak memiliki kata yang berpasangan dengan orang-orang Inggris, seperti kata "hijau”. Ketika orang-orang yang berbicara bahasa seperti itu ditunjukkan sesuatu yang berwarna hijau, beberapa kelompok masyarakat mengidentifikasi-nya
denga
menggunakan
kata
untuk
biru,
yang
lain
mengidentifikasi nya menggunakan kata mereka untuk kuning. Herskovits (2008), murid Boas, meringkas prinsip relativisme budaya: “Judgements are based on experience, and experience is interpreted by each individual in terms of his own enculturation" tiap pendapat didasarkan pada pengalaman, dan pengalaman ditafsirkan oleh masing-masing individu berdasarkan budayanya sendiri8. Boas dan para siswa-nya menyadari bahwa untuk melakukan penelitian ilmiah terhadap budaya lain, mereka perlu menggunakan metoda yang dapat menolong mereka terlepas dari konsep dasar etnosentris. Metoda tersebut adalah etnografi, yaitu ilmu yang mempelajari sukubangsa beserta kebudayaannya. Pada dasarnya, mereka siap menyesuaikan diri dengan kebudayaan lain untuk satu periode waktu tertentu, sehingga mereka bisa belajar bahasa lokal dan budaya setempat, paling tidak secara parsial, di dalam kebudayaan tersebut. Dalam konteks ini, relativisme budaya menjadi sangat penting sebagai metodologis, karenanya perlu perhatian kita semua bahwa betapa pentingnya memahami budaya lokal berdasarkan keyakinan masyarakat tertentu. Heyer 8
Herskovits (2008) (http://en.wikipedia.org/wiki/Cultural_relativism).
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
95
STAIN Palangka Raya
(1948: 163) menyatakan: Cultural relativity, to phrase it in starkest abstraction, states the relativity of the part to the whole. The part gains its cultural significance by its place in the whole, and cannot retain its integrity in a different situation;
Relatifitas budaya, untuk mengutarakannya dalam kondisi paling
abstrak, menyatakan bahwa relativitas merupakan bagian dari keseluruhan. Bagian yang diperoleh pada makna budaya berdasarkan wilayah di dalam keseluruhannya dan tidak dapat mempertahankan keutuhannya dalam situasi yang berbeda9. 2.3 Relativisme Budaya dalam Kajian Pemikir Barat a. Gilbert Harman Gilbert Harman merupakah salah satu tokoh yang berpengaruh di era modern dalam memperkokoh eksistensi paham relativisme budaya, khususnya di bidang moral sebagai bagian dari unsur budaya. Dalam pandangan Harman, versi strandar relativisme yang ada selama ini tidak lagi efektif. Oleh karena itu dia mengembangkan bentuk relativisme yang rumit dan moderat untuk menghadapi kelompok-kelompok yang menentang paham ini 10. Harman mengkaji relativisme moral dengan cara yang sangat berbeda dengan absolutisme moral. Namun demikian, dia tetap menganggap absolitisme moral sebagai pendapat tentang alasan moral yang mendasari manusia. Dia mengatakan “Saya akan memahami keyakinan terhadap nilai-nilai mutlak sebagai keyakinan bahwa setiap orang memiliki alasan untuk berharap atau bercita-cita. Mengatakan adanya hukum moral yang berlaku pada setiap orang menurut saya berarti mengatakan setiap orang mempunyai alasan yang memadai untuk mengikuti hukum itu”11. Menurut Harman moral berbeda dengan nihilisme moral. Tidak ada satu pun moralitas yang benar, namun nilihisme moral menjadikan hal ini sebagai alasan untuk menolak sama sekali moralitas, termasuk segala bentuk moral relatif. Bentuk nihilisme yang paling mederat menegaskan bahwa ada fakta-fakta moral,
9
Virginia Heyer, In Reply to Elgin Williams, (New York: ttp, 1948), h. 63. Mohammad A. Shomali, Op.Cit, h. 178. 11 Gilbert harman, Precis of Moral Relativism and Objetivity” – Precis Part of One”, (New York, tnp: 1989), h.370. 10
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
96
STAIN Palangka Raya
namun tidak jalan untuk mengetahuinya12. Pernyataan ini menunjukan bahwa tanggungjawab moral bergantung pada pengetahuan. Di sini, tampak jelas bahwa nihilisme mengabaikan moralitas. Relativisme moral lebih moderat. Menurutnya, moralitas tidak boleh diabaikan dan putusan moral relatif dapat terus memainkan peran yang serius dalam pemikiran moral. Harman berupaya menampilkan relativisme moral sebagai sebuah tesis logika. Dia menyatakan bahwa sebagian moralitas “secara objektif” lebih benar daripada yang lain atau bahwa ada ukuran-ukuran obyektif terhadap moral. Baginya, sesuatu itu besar hanya berarti dalam hubungan dengan perbandingan yang lain. Demikian juga, seseorang bersalah dalam melakukan sesuatu hanya berarti dalam hubungan dengan sebuah kesepakatan atau pemahaman. Tesis logika tersebut menurut Pojman , bagi Harman, internalisme merupakan sebuah tesis logika tentang bentuk sebuah putusan moral. Harman menyatakan bahwa putusan moral mempunyai dua putusan logika atau dua macam implikasi: keduanya mengisyaratkan bahwa sang agen mempunyai alasan yang baik untuk berbuat menurut cara tertentu, dan bahwa sang pembicara menyetujui alasan itu dan mengira si pendengar atau subjek putusan itu juga melakukan hal yang serupa. Dengan demikian, Harman mengatakan bahwa secara logis tidaklah pantas mengatakan, “Hitler tidak boleh berbuat menurut caranya sendiri”, karena dia tidak mempunyai prinsip yang sama dengan kita13. Tesis logika Harman di atas harus dicermati lebih jeli karena ada ruang-ruang logikanya yang cenderung dipaksakan dan ketidakpastian. Di antaranya, adalah benar sulit mendapatkan konsep “besar” tanpa dipersandingan/diperbadingkan dengan konsep “kecil”. Tetapi, hal yang sama tidak terjadi pada moral. Tidaklah sulit bagi seseorang untuk mendefinisikan “benar” tanpa merujuk pada konsep “salah”. Hal lain yang harus dikritisi dalam tesis logika Harman adalah tentang putusan moral dalam kaitan dengan perbuatan seseorang. Sangat diragukan bahwa keputusan moral yang diambil oleh seseorang bersifat linier dengan perbuatan yang dilakukan. 12 13
Ibid, h. 5. Louis P. Pojman, Op.Cit, h. 95.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
97
STAIN Palangka Raya
Selain menggunakan tesis logika, untuk memperkuat argumentasi relativisme moralnya, Harman mencoba membandingkan realitivisme moral dengan relativisme Einstein. Menurut Einstein, sebuah objek dapat memiliki massa yang berbeda terkait dengan bingkai ruang dan waktu dan tidak ada bingkai ruang waktu yang istimewa yang menentukan massa yang sebenarnya. Dalam Moral Relativism and Moral Objectivity, Harman menggunakan logika Einstein tersebut untuk menjabarkan relativisme moral. Kebenaran dan kesalahan moral bersifat relatif terhadap bingkai moral tertentu. Dan tidak ada bingkai moral yang secara objektif istimewa sebagai moralitas yang benar14. Langkah perbandingan Harman di atas menyisakan pertanyaan-pertanyaaan, seperti apakah perbedaan/ perselisihan gerak dan moral disebabkan oleh prinsip yang mendasar atau penilaian yang berbeda terhadap “fakta-fakta kasus yang ada”?. Karena dalam kenyataannya, tidak ada jaminan dua orang yang berada dibingkai moral yang berbeda, ketika dipertemukan, mereka mengakatan bahwa mereka berselisih. Di samping itu, Menurut Shomali15, salah satu sebab timbulnya perselisihan moral adalah kegagalan mengidentifikasi semua faktor yang relevan. Di samping itu, tidak seluruhnya tepat membandingan relafisme fisik Einstein dengan realifisme moral. Berbeda dengan gerak relatif, yang bisa jadi gerak itu sendiri, moral relatif bukan moral itu sendiri, tetapi moral dalam persepsi dan atau moral dalam budaya. Contoh, mencuri itu salah. Itu prinsip moral, tetapi dapat dipersepsi atau dalam kasus budaya, mencuri itu bisa salah juga bisa benar. b. David Wong Teori relativisme etika Wong disadarkan atas pernyataan tidak adanya satu pun moralitas yang benar, dan bahwa moralitas merupakan kreasi sosial yang dirancang untuk mengatasi pertentangan batin dan antrapribadi. Menurutnya, kesulitan utama dalam menjelaskan pengalaman moral adalah mendamaikan ciri pengalaman kita yang menyatakan objektivitas moralitas dengan ciri lain yang menyatakan subjektivitas moralitas. Secara teoritis, Wong menerima konsep “kebenaran”, tetapi membuat “kebenaran” itu menjadi relatif. Secara tegas dia 14
Mohammad A. Shomali, Op.Cit, h. 196. Ibid, h. 186-187.
15
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
98
STAIN Palangka Raya
menyatakan bahwa tidak ada dasar objektif dan independen bagi moralitas karena moralitas didasarkan atas kepentingan dan keinginan manusia.16 Relativisme moral Wong berpijak pada tiga premis “tidak dapat dibandingkan”
(incommensurable);
pertama,
tidak
dapat
dibandingkan
menyangkut penerjemahan. Menurutnya, ada beberapa istilah dari berbagai bahasa tertentu yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam istilah bahasa kita sendiri; kedua, tidak dapat dibandingkan menyangkut justifikasi. Adanya beberapa teori yang masuk akal yang mempunyai premis yang berbeda mengenai hakekat dunia atau bentuk-bentuk penalaran; ketiga, tidak dapat dibandingkan menyangkut evaluatif. Seseorang tidak dapat mengatakan bahwa teorinya sendiri lebih baik daripada teori orang lain. Bertolak dari ketiga “tidak dapat dibandingkan” di atas, Wong mengatakan kita dapat menjustifikasi premis dan bentuk penalaran kita sendiri yang paling mendasar, sehingga tidak ada cara yang menunjukkan bahwa pendapat orang lain lebih rendah daripada pendapat kita atau sebalinya. Atas dasar tiga dalil tersebut di atas, Wong yakin terdapat berbagai moralitas yang berbeda secara fundamental yang tidak diakibatkan oleh penerapan nilai atau prinsip umum yang berbeda. Menurutnya, contoh terbaik atas adanya perbedaan moralitas tersebut adalah perbedaan moralitas yang berintikan kebaikan dan moralitas yang berintikan hak. Moralitas kebaikan menekankan cita-cita bentuk tertentu kehidupan komunitas di mana indiviu diterima dan mungkin berkembang, sedangkan moralitas yang berintikan hak menekankan hak-hak individu untuk kebebasan atau kebaikan yang lain, yang diperlukan untuk menjamin kesejahteraan seseorang. Moralitas yang berintikan kebaikan bekerja dengan konsep kebaikan umum menuju sebuah komunitas manusia. Sedangkan moralitas yang berintikan hak bekerja dengan beberapa konsep tentang kepentingan pribadi atau terlepas dari partisipasi dalam sebuah komunitas.17 Untuk mengatasi konflik batin dan antarpribadi sebagaiaman tersebut di atas, Wong memandang perlu adanya kaidah yang dilaksanakan oleh masayarakat. 16
Ibid, h. 242.. Ibid, h. 252.
17
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
99
STAIN Palangka Raya
Wong mengakui ada tiga jenis kaidah: seperangkat kaidah yang menunjukkan sarana yang mutlak atau efisien untuk mencapai tujuan tertentu; seperangkat kaidah yang mendefinisikan perilaku sosial atau etiket; dan seperangkat kaidah untuk menangani konflik batin dan antarpribadi. Menurutnya, kaidah ketiga inilah yang melahirkan moralitas. Berbeda dengan teori yang digunakan Harman yang bersifat internalistik, teori Wong membedakan antara menjadi benar dan memberikan alasan bagi tindakan. Wong tidak percaya konvensionalisme moral. Meskipun demikian, dia percaya moralitas merupakan kreasi sosial. Dia seorang realis, menerima faktafakta khas yang bersifat moral. Pernyataan-pernyataan moral menurutnya, benar selama berhubungan dengan fakta-fakta moral. Bagi Wong moralitas berakar pada watak dan kebutuhan nyata manusia. c. George Bernard Shaw George Bernard Shaw lahir Dublin, 26 Juli 1856 – meninggal 2 November 1950 di Hertfordshire adalah novelis, kritikus, esaias, politikus, dan orator Irlandia yang menetap di Inggris. Pada 18 Desember 1926, ia menolak hadiah uang ketika menerima Nobel Kesusasteraan (pada 1925) dan Academy Award for Writing Adapted Screenplay (pada 1938 untuk Pygmalion). Saat menerima penghargaan dalam acara itu, ia mengatakan, "Aku bisa memaafkan Alfred Nobel atas penemuan dinamit, tetapi hanya iblis dalam sosok manusia yang bisa menerima Hadiah Nobel. Pemikiran Shaw tentang relativisme budaya salah satunya terlacak dalam bentuk novel dan kumpulan-kumpulan surat pribadinya. Novel Shaw tersebut berjudul Saint, Major Barbara, Androcles and the Lion. Novel itu banyak membahas dogma kristen dan pribadi Yesus. Di antara sub bahasan novel Shaw yang berkaitan dengan masalah relativisme budaya adalah berkaitan dengan relativitas agama. Jika setuju dengan pendapat E.B. Tylor bahwa agama (kepercayaan) bagian dari budaya, maka konsep relativitasme budaya juga terjadi pada agama. Artinya, bahwa kebenaran yang diusung oleh agama juga bersifat relatif. Relativitasme agama banyak mempengaruhi pengikut aliran ini dalam membangun teologi inklusif dalam agama. Agama berpenampilan ramah terhadap Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
100
STAIN Palangka Raya
agama lain. Wujud suatu agama bukan ancaman bagi agama lain. Dalam konteks inilah, agama akan mewujud menjadi doktrin yang toleran. Pluralitas agama dipandang sesuatu yang niscaya bahwa setiap agama mempunyai hak yang sama untuk eksis. Sejalan dengan pemikiran tersebut, dalam Islam diajarkan bahwa “agamamu untukmu dan agamaku untukku. Kamu tidak menyembah yang aku sembah dan aku tidak menyembah yang kamu sembah”. Logika ini akan menjadi rujukan bagi pengikut relativisme agama termasuk Shaw yang kemudian dikenal sebagai tokoh toleran. Toleransi Shaw dapat dapat diperhatikan dari pernyataannya. Menurut Shaw18 bahwa agama yang toleran terhadap minoritas agama pada hakekatnya sama dengan mentoleransi agama itu sendiri. Memang perubahan nama agama dan format agama yang terbentuk telah menimbulkan sedikit perbedaan, tetapi perbedaan itu jangan sampai menghambat sikap terpuji tersebut. Di samping menimbulkan sikap toleran, konsep relativitas budaya juga menimbuhkan cara pandang yang realistis sebagaimana diperlihatkan oleh Harman di atas. Relativitas budaya disamping sebagian didasari oleh nalar realisme juga menghasilkan cara pandang yang realistik. Hal ini juga diperlihatkan oleh Shaw. Misalnya, dia tidak segan-segan mengakui keistimewaan Nabi Muhammad sebagai penyelamat manusia. Katanya "Saya telah mempelajari dia (Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) laki-laki yang luar biasa dan menurut saya, terlepas dari pemikiran anti kristen, dia adalah penyelamat umat manusia." 2.4 Substansi-Substansi Pemikiran dari Para Ahli Diantara tiga tokoh pemikir di atas, meskipun semua sama membahas terkait relativisme budaya tetapi terdapat perbedaan penekanan dari ketiganya. Gilbert Harman membahas relativisme budaya pada aspek moral atau relativisme moral. Inti dari pemikiran Harman adalah bahwa ukuran moral bisa dilihat secara obyektif. Bahwa suatu perbuatan dikatakan bersalah atau tidak bersalah jika hal tersebut sebagai hasil kesepakatan bersama diantara kelompok masyarakat. 18
George Bernard Shaw, Saint Joan Major Barbara Androcles and the Lion, (New York: The Modern Library, 1956), h. 333.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
101
STAIN Palangka Raya
Dengan demikian, di luar kelompok suatu masyarakat tidak bisa menghakimi bahwa suatu perbuatan dikatakan bermoral atau tidak bermoral, kecuali didasarkan pada kelompok masyarakat tersebut.
Pemikiran Harman dapat
diintisarikan bahwa sesuatu itu dapat dinilai baik, buruk atau benar, salah tergantung komunitas masyarakat yang mempraktekkan hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari. David Wong juga membahas aspek moral. Perbedaannya jika Harman ukuran moraliras masyarakat didasarkan pada kesepakatan bersama diantara masyarakat, sedangkan Wong tidak percaya pada konvensional atau kesepakatan masyarakat. Alasannya bahwa tidak ada dasar objektif dan independen bagi moralitas karena moralitas didasarkan atas kepentingan dan keinginan manusia. Moralitas berakar pada watak dan kebutuhan nyata manusia. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa pendapat sendiri tidak dapat dibandingkan dengan pendapat orang lain dalam artian tidak ada dasar yang dapat menunjukkan bahwa pendapat orang lain lebih rendah daripada pendapat sendiri. Pemikiran ini menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh memandang rendah terhadap orang lain, baik dalam hal moralitas ataupun dalam hal lainnya. George Bernard Shaw menjelaskan relativisme budaya dikaitkan dengan agama. Bahwa dalam agama juga terjadi relativisme agama. Lebih lanjut Shaw menjelaskan bahwa wujud suatu agama bukan ancaman bagi agama lain. Dalam pengertian bahwa agama akan mewujud menjadi doktrin yang toleran. Pluralitas agama dipandang sesuatu yang niscaya bahwa setiap agama mempunyai hak yang sama untuk eksis.
Agama yang toleran terhadap minoritas agama pada
hakekatnya sama dengan mentoleransi agama itu sendiri. Dengan demikian, secara sosiologi-budaya, seorang penganut agama tidak dapat menjelaskan kepada yang beragama lain bahwa agamanya lebih unggul dibanding dengan agama yang lain. Pemikiran ini jika dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari akan menghasilkan keharmonisan dalam beragama. 3. Implikasi Relativisme Budaya bagi Masyarakat Indonesia Bicara tentang kebudayaan di Indonesia, jika ditinjau dari perkembangan sejarah, masyarakat Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. Indonesia Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
102
STAIN Palangka Raya
yang merdeka pada tahun 1945 berasal dari Negara-negara yang berbentuk kerajaan yang ada di wilayah nusantara. Kesamaan mereka adalah sama-sama wilayah jajahan Belanda. Perbedaannya, mereka memiliki latar belakang budaya yang berbeda, yang sudah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Perbedaan tersebut, baik dari suku bangsa, bahasa, agama, ataupun adat istiadat. Memperhatikan realitas seperti ini, para perintis kemerdekaan merumuskan suatu dasar Negara yang dinamai Pancasila. Kelima dasar konsep dari Pancasila secara utuh dapat diterima oleh seluruh bangsa Indonesia dan sampai sekarang masih dapat bertahan, sekaligus diharapkan dapat bertahan untuk selamanya. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, meskipun dalam kehidupan bermasyarakat didasarkan pada Pancasila, yang di dalamnya terdapat konsep “Bhinneka Tunggal Ika”, yang bertoleransi terhadap perbedaan sangat tinggi, tetapi realitasnya masih sering terjadi konflik horizontal diantara masyarakat. Banyak penyebab konflik tersebut, diantaranya karena dilatarbelakangi oleh perbedaan agama, etnis, adat istiadat, dan lain-lain. Indonesia yang memiliki tipe masyarakat majemuk dan budaya multicultural tentu saja masalah kehidupan social menjadi sangat kompleks dan rentan untuk timbulnya konflik horizontal. Persoalan tersebut harus diselesaikan secara tuntas. Konsep relativisme budaya sebagai sebuah pemikiran ada baiknya dijadikan sebagai alternative jalan keluar dari berbagai masalah yang timbul. Jika memperhatikan konsep dasar dari relativisme budaya yang digagas oleh Boas, yang intinya adalah bahwa di dalam masyarakat tidak ada budaya yang satu lebih unggul dari budaya yang lain. Bahwa jika ingin menilai suatu budaya harus dilihat berdasarkan konteks budaya di tempat masyarakatnya. Kebiasaan-kebiasaan dan pemikiran dalam suatu masyarakat
harus dipandang sehubungan dengan
masyarakat tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, kiranya tepat, jika konsep relativisme budaya yang digagas oleh Boas diterapkan dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia, yang memiliki aneka ragam budaya (multicultural), khususnya terkait budaya. Pengembangan konsep tersebut bisa melalui berbagai penelitian, pengajaran di sekolah-sekolah atau di Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
103
STAIN Palangka Raya
perhuruan tinggi. Juga bisa melalui pemerintah yang memiliki kekuatan “memaksa” kepada masyarakat untuk mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika hal ini dapat dilaksanakan, diharapkan berbagai konflik yang terjadi selama ini dapat diminimalisir dan ketertiban sosial (socoal order) yang diidamkan semua pihak dapat terlaksana. 4. Kesimpulan a. Relativisme budaya muncul sebagai reaksi dari adanya etnosentrisme yang
berkembang di Eropa, yang selalu mengukur baik-buruk dan benar-salah suatu budaya berdasarkan budayanya. Relativitas budaya berprinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus dipahami berdasarkan budaya di wilayahnya masing-masing, sehingga penilaian terhadap budaya sifatnya relatif. Hal ini berarti bahwa tidak ada suatu komunitas masyarakat yang berhak mengklaim budayanya lebih unggul dibanding dengan budaya yang lain.
b. Indonesia,
sebagai
negara
yang
memiliki
karakteristik
masyarakat
multikultural, sudah seharusnya mengembangkan konsep relativisme budaya melalui berbagai bentuk, baik melalui seminar, diskusi-diskusi di perguruan tinggi ataupun melalui pendidikan formal setingkat SLTA. Hal ini dilakukan supaya masyarakatnya dapat lebih memiliki empatik dan menghargai kelompok budaya dari wilayah lain yang berbeda dengan budayanya.
c. Hasil pemikiran dan cara kerja relativisme budaya merupakan hal yang penting untuk dipelajari oleh siapapun yang berminat, baik bagi perkembangan kebudayaan
(ilmu
budaya)
untuk
kepentingan
membangun
dan
mengembangkan teori ataupun untuk kepentingan memecahkan masalahmasalah yang berkembang di masyarakat.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
104
STAIN Palangka Raya
DAFTAR PUSTAKA
Abdala, Ulil. (2008) http://ulil.net/2008/01/06/karate-keluarga-danrelativisme-budaya /#comment. Boas, Franz 1963 [1911] The Mind of Primitive Man New York: Collier Books. Harman, Gilbert, (1989), “Precis of Moral Relativism and Objetivity” – Precis Part of One”, Philosophy and Phen ominolgical Research, Vol. LVIII, No. 1 Maret. Herskovits (2008) (http://en.wikipedia.org/wiki/Cultural_relativism). Heyer, Virginia 1948 "In Reply to Elgin Williams" in American Anthropologist. Huntington, Samuel P. (1996). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (Remaking of World Order), New York, Simon & Schuster. Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat (Ed.). 1998. Komunikasi Antarbudaya: Pandungan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. Pojman, Louis P., (1990), “Gilbert Harman’s Internalist Moral Realtivsm”, dalam The Modern Schoolman, LXVIII. Shaw, George Bernand: “The Genuine of Islam”, volume I no. 81936). (http://www.indonesia.faithfreedom). Shaw, George Bernard (1956): Saint Joan Major Barbara Androcles and the Lion, New York, The Modern Library. Shomali, Mohammad A. (2005), Realtivisme Etika menyisir perdebatan hangat dan memetik wawasan baru tentang dasar-dasar baru, terj. Zaimul Am, Serambi, Jakarta.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012