PARADIGMA HUBUNGAN ANTAR AGAMA: STUDI KERJASAMA PENGANUT AGAMA ISLAM DAN HINDU PADA MASYARAKAT DESA KILUAN KECAMATAN KELUMBAYAN KABUPATEN TANGGAMUS
LAPORAN HASIL PENELITIAN KELOMPOK
Oleh : Ahmad Zarkasi, M.Sos.I Dr. Idrus Ruslan, M.Ag. Ellya Rosana, S.Sos., MH
PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT IAIN RADEN INTAN LAMPUNG 2015
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan / atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta), atau pidana penjara paling lama 7 (Tujuh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan , atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). © Hak cipta pada pengarang Dilarang mengutip sebagian atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun tanpa seizin penerbit, kecuali untuk kepentingan penulisan artikel atau karangan ilmiah. Judul Buku
: PARADIGMA HUBUNGAN ANTAR AGAMA: STUDI KERJASAMA PENGANUT AGAMA ISLAM DAN HINDU PADA MASYARAKAT DESA KILUAN KECAMATAN KELUMBAYAN KABUPATEN TANGGAMUS : Ahmad Zarkasi, M.Sos.I, DKK : 2015
Penulis Cetakan Pertama Desain Cover Layout oleh
: Permatanet : Permatanet
Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Raden Intan Lampung Jl. Letkol H. Endro Suratmin Kampus Sukarame Telp. (0721) 780887 Bandar Lampung 35131
ISBN
:
ii
Abstrak Mengaktualisasikan paradigma kerjasama umat beragama tentu berada digaris paling depan karena semua agama tidak ada yang mengajarkan untuk saling membenci. Desa Kiluan merupakan salah satu desa yang ada pada Kecamatan Kelumbayan Kabupaten Tanggamus, memiliki komunitas agama Islam, Hindu dan Katolik, sedangkan masyarakatnya beretnis Lampung, Jawa dan Bali. Namun, kehidupan dan pergaulan umat beragama disana tampil secara rukun dan tidak pernah terjadi konflik atau pertikaian yang berlatar belakang agama dan budaya. Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang mengangkat data dan permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif, yaitu berusaha menjelaskan berbagai masalah secara cermat dan detail dengan menghubungkan berbagai data, sehingga diperoleh suatu gambaran yang jelas dari fokus penelitian. Adapun sumber data memiliki dua jenis yaitu sumber data yang bersifat primer dan sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa paradigma hubungan antar agama di desa Kiluan bersifat asosiatif, yaitu bentuk hubungan yang mengarah pada kerjasama dalam berbagai bentuk kehidupan sosial kemasyarakatan dan toleransi antar umat beragama yang mereka lakukan secara sadar tanpa adanya tekanan atau pun paksaan dari pihak manapun. Adapun Faktor yang menjadi pendukungan terjadinya hubungan antar agama yang baik yaitu adanya kebiasaaan dan kesadaran masyarakat untuk memikul beban yang ditanggung oleh anggota atau warga lainnya dengan cara mengadakan gotong royong, arisan atau jimpitan. Selain itu, yang menjadi pendukung terjadinya hubungan antar umat beragama di desa Kiluan adalah adanya dukungan dari tokoh-tokoh agama dan juga aparat desa baik secara formal ataupun non formal.
iii
iv
SAMBUTAN KETUA
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, kegiatan penelitian di lingkungan IAIN Raden Intan Lampung Tahun 2015, yang dilaksanakan di bawah koordinasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Raden Intan Lampung dapat terlaksana dengan baik. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini dibiayai berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) IAIN Raden Intan Lampung Tahun 2015. Kami menyambut baik hasil Penelitian Kelompok yang dilaksanakan oleh saudara Ahmad Zarkasi, M.Sos.I, dkk dengan judul : PARADIGMA HUBUNGAN ANTAR AGAMA: STUDI KERJASAMA PENGANUT AGAMA ISLAM DAN HINDU PADA MASYARAKAT DESA KILUAN KECAMATAN KELUMBAYAN KABUPATEN TANGGAMUS yang dilakukan berdasarkan SK Rektor Nomor 72.b Tahun 2015 tanggal 18 Mei 2015 Tentang Penetapan Judul Penelitian, Nama Peneliti, Pada Penelitian Kelompok Dosen IAIN Raden Intan Lampung Tahun 2015. Kami berharap, semoga hasil penelitian ini dap at meningkatkan mutu hasil penelitian, menambah khazanah ilmu keislaman, dan berguna serta bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan yang berbasis iman, ilmu, dan akhlak mulia. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Bandar Lampung, Desember 2015 Ketua Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat,
Prof. Dr. H. M. Nasor, M.Si. NIP. 195707151987031003
v
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya kepada peneliti, sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat beriring salam semoga tetap tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, semoga kita sebagai umatnya dapat mengamalkan ajaran Islam yang telah beliau risalahkan. Penelitian ini berjudul “Paradigma Hubungan Antar Agama: Studi Kerjasama Penganut Agama Islam dan Hindu Pada Masyarakat Desa Kiluan Kecamatan Kelumbayan Kabupaten Tanggamus”, menyajikan tentang adanya kebiasaaan dan kesadaran masyarakat Desa Kiluan untuk memikul beban yang ditanggung oleh warga lainnya dengan cara mengadakan gotong royong, arisan atau jimpitan, meskipun mereka menganut agama yang berbeda. Dalam kesempatan ini, tim peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Rektor IAIN Raden Intan Lampung yang telah memberikan kepercayaan kepada peneliti untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan ilmu ke-Ushuluddin-an. 2. Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IAIN Raden Intan beserta staf yang telah memberikan bantuan teknis serta finansial yang sangat berarti. 3. Para Informan; Kepala Desa, Perangkat Desa serta masyarakat Desa Kelumbayan yang telah berkenan memberikan informasi terkait dengan tema penelitian ini. 4. Teman-teman seprofesi yang banyak melakukan sharing pemikiran dan masukan bagi penelitian ini. Semoga niat baik dan ikhtiar yang telah dilakukan mendapat ridho dari Allah SWT, amin. Bandar Lampung, Oktober 2015 Peneliti,
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL SAMBUTAN KETUA LP2M LAMPUNG KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................ 8 C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 8 D. Kegunaan Penelitian ....................................................................... 9 E. Kajian Pustaka .................................................................................. 13 F. Landasan Teori/ Kerangka Berpikir......................................... 13 G. Sistematika Penulisan .................................................................... 14 BAB II. PEMBAHASAN UMUM TENTANG LEMBAGALEMBAGA KEAGAMAAN DAN SIKAP KEBERAGAMAAN A. Terminologi Hubungan Antar Agama...................................... 17 B. Hubungan Antar Agama dalam Perspektif Islam................ 18 C. Hubungan Antar Agama dalam Perspektif Hindu............... 29 D. Signifikansi dan Prinsip-Prinsip Hubungan Antar Agama serta Kontribusinya Bagi Pembangunan ........................................... 36 BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sifat Penelitian............................................................... 55 B. Sumber Data ...................................................................................... 57 C. Tekhnik Pengumpulan Data ........................................................ 59 D. Analisis Data ....................................................................................... 64 E. Pemeriksaan Keabsahan Data..................................................... 66 BAB IV. LEMBAGA-LEMBAGA KEAGAMAAN PROVINSI LAMPUNG DAN INKLUSIFISME UMAT BERAGAMA A. Gambaran Umum Desa Kiluan.................................................... 69
vii
B. Paradigma Hubungan Antar Agama Islam Dan Hindu di Desa Kiluan. ................................................................................................... 74 C. Faktor Pendukung Terjadinya Kerjasama Antar Pemeluk Agama dan Etnis Yang Berbeda di Desa Kiluan. ................. 85 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................ 97 B. Saran ..................................................................................................... 98 Daftar pustaka........................................................................................101
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengaktualisasikan paradigma kerjasama umat beragama tentu berada digaris paling depan karena semua agama tidak ada yang mengajarkan untuk saling membenci. Kerjasama antar agama, memiliki arti penting dalam peningkatan harmoni antar umat beragama. Dalam hubungan ini, antar umat beragama perlu mendapatkan nama, isi, substansi dan konsep baru yang bersifat keluar, dinamis, dan melihat kedepan dengan bersama-sama menghadapi masa depan kemanusiaan. Indonesia merupakan negara majemuk, dan menjamin kebebasan beragama bagi seluruh penduduk Indonesia, tanpa kecuali. Tidak ada yang keliru dan tidak ada kelompok yang patut dipersalahkan dalam hal ini. “Monopoli” kebenaran sebuah agama (truth claim)1 hendaknya tidak menutup pintu bagi perdamaian dan
1
Menurut Arthur J.D’Adamo dalam bukunya “Without Bounds : a synthesis of science, religion and Mysticism”, Truth claim akan membawa kepada konflik antar umat beragama terjadi karena “krisis epistimologi” dalam agama. Krisis tersebut berakar pada apa yang disebut “religion’s way of knowing” (cara pandang agama). Cara pandang ini sebagai akar dari konflikkonflik antar umat beragama, yang berawal dari standar tentang agamanya sendiri-dan kitab sucinya yang merupakan sumber kebenaran-yang sepenuhnya diyakini: pertama, bersifat konsisten dan berisi kebenaran-kebenaran yang tanpa
1
2 toleransi untuk bersemayam dalam hati umat beragama. Setiap umat beragama memiliki pendirian masing-masing dengan keunikan dan dasar agamanya yang spesifik, mutlak, dan tidak dapat diganggu-gugat oleh keyakinan apapun. Sebenarnya secara tekstual dan kajian pustaka dalam setiap ajaran agama, tidak ada suatu teks dalam sumber agama manapun yang mempreskripsikan perintah untuk merusak dan berbuat kekerasan terhadap apapun di sekelilingnya. Di dalam alQur’an disebutkan, tidak ada paksaan untuk memeluk agama tertentu.2 Artinya semua orang bebas untuk memeluk agama Islam atau tidak, bebas untuk meyakini Islam atau tidak. Dalam agama Hindu-pun terdapat pada Attharwa Weda XIII.I : 45, ”Suatu harapan dari Sang Hyang Widhi Washa, agar manusia yang hidup dimuka bumi ini senantiasa hidup rukun damai walaupun manusia itu hidup dengan aturan yang berbeda, berbicara dengan bahasa yang tidak sama, mendiami tempat tinggal yang berlainan, akan kesalahan sama sekali. Kedua, bersifat lengkap dan final, oleh karenanya tidak diperlukan kebenaran dari agama lain. Ketiga, kebenaran agamanya sendiri dianggap merupakan satu-satunya jalan menuju keselamatan, pencerahan ataupun pembebasan. Keempat, seluruh kebenaran itu diyakini original dari Tuhan, tidak ada konstruk manusia. Oleh karenanya cara pandang ini akan memunculkan banyak masalah ketika berhadapan dengan agama lain. Lihat; Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralisme: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), h.x. 2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1997), h. 63.
3 tetapi dalam hidup bersama harus rukun dan saling mengasihi sebagaimana kehidupan lembu yang menyusui anaknya dengan penuh cinta kasih”.3 Bahkan di bumi Pancasila ini, semua warga negara Indonesia berhak dan selalu berhak untuk memeluk agama tertentu atau mendirikan agama baru yang sesuai dengan pendirian dan keyakinannya. Kembali ke bilik nusantara, kita mengetahui terlebih dahulu bahwa di negara kita terdapat 6 agama yang diakui secara resmi: Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan terakhir adalah Konghucu. Penganut keenam agama ini tersebar di seluruh pelosok negeri dengan mayoritas penganut Islam. Kemajemukan dan pluralitas dalam berbagai hal: suku, budaya dan agama, hingga saat ini masih tetap mampu terjaga, tersatukan dengan baik di bawah simbol Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu. Walau kita juga tak dapat menafikan bahwa berbagai perbedaan dan kemajemukan tersebut menjadi salah satu faktor munculnya sejumlah konflik horizontal di negeri ini. Kemajemukan yang tumbuh subur di negeri ini, termasuk di dalamnya pluralitas agama, adalah sebuah realitas sosial yang harus kita terima. Berbagai perbedaan ini bila disikapi secara bijak dan penuh toleransi, maka ia bukan faktor yang melemahkan pilar kesatuan bangsa. Tapi kemajemukan tersebut justru menjadi pilar 3
Budiono HD, Membina Kerukunan Hidup antar Umat Beragama, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 285.
4 penguat yang seharusnya mampu menyatukan berbagai elemen, dan merekatkan berbagai perbedaan menjadi sesuatu yang indah untuk
dinikmati
bersama. Piagam 4
mengakomodir pluralitas agama.
Madinah
dengan jelas
Kalaupun akhirnya muncul
konflik, bukan hanya perbedaan dan kemajemukan itu yang menjadi biang kerok. Tetapi ada variabel lain yang terlibat di dalamnya: ekonomi, pendidikan, kesenjangan sosial dan adanya orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari konflik yang tercipta. Perdamaian dan kerukunan dalam kemajemukan yang di dambakan Islam juga Hindu atau agama lainnya bukanlah sesuatu yang bersifat semu, tetapi yang memberi rasa aman pada jiwa setiap manusia. Karena itu langkah pertama yang dilakukan adalah mewujudkannya dalam jiwa setiap pribadi. Setelah itu melangkah kepada unit terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga. Kemudian beralih ke masyarakat luas, seterusnya kepada seluruh bangsa dipermukaan bumi ini dan dengan demikian dapat tercipta perdamaian dunia dan dapat terwujud hubungan antar umat beragama secara harmonis serta toleransi dengan semua pihak, sebagaimana juga terciptanya kerjasama penganut agama islam
4
Lihat A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia, (Yogyakarta: IAIN SUKA Press, 1986), h. 159-160.
5 dan hindu terhadap keanekaragaman agama dan budaya
pada
masyarakat desa Kiluan. Desa Kiluan merupakan salah satu desa yang ada pada kecamatan Kelumbayan Kabupaten Tanggamus berbatasan dengan Desa Bawang Kabupaten Pesawaran, memiliki komunitas agama Islam, Hindu dan Katolik; pemeluk agama Islam 324 KK; yang terdiri dari suku Lampung 70% dan suku Jawa 30%, pemeluk Hindu 44 KK keseluruhannya suku Bali serta pemeluk agama Katolik 3 KK.5 Kedua agama ini jika dilihat berdasarkan kategori agama, Agama Islam da Katolik termasuk dalam kategori agama missi (missionary religions), sedangkan agama Hindu termasuk dalam kategori agama bukan missi (non missionary religions).6 Sudah barang tentu dalam doktrin agama Islam terdapat perintah akan kewajiban untuk menyebarluaskan keseluruh ummat yang ada dimuka bumi ini dan dalam agama Hindu sendiri hanya untuk golongan mereka. Dan apabila umat Islam yang ada di desa Kiluan melaksanakan perintah agama tersebut, maka dapat diperkirakan 5
Wawancara dengan Bapak Kadek Sukrasena, Kepala Desa Kiluan, tanggal 27 Maret 2015. 6 Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh missionary religions ; pertama, Universality (keumuman), tidak terbatas untuk satu bangsa saja seperti Yahudi atau berkasta seperti Hindu. Kedua, Continuity (keberlangsungan) dalam penyebaran dan penyiaran. Ketiga, Adaptability, kesanggupan dari agama itu untuk menyesuaikan diri sesuai dengan ajarannya sendiri dengan kondisi dan situasi lingkungan dan zamannya. Lihat; Hasbullah Bakry, Suatu Perbandingan Mengenai Penyiaran Kristen dan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 17.
6 akan terjadi benturan sehingga konflik atas nama agama akan terjadi. Namun, kehidupan umat beragama di desa Kiluan yang dihuni oleh pemeluk Islam dan Hindu serta berlainan etnis, yakni etnis Lampung, Jawa dan Bali, dalam kehidupan dan pergaulan umat beragama disana tampil secara rukun dan tidak pernah terjadi konflik atau pertikaian yang berlatar belakang agama dan budaya. Sebagaimana dikemukakan oleh seorang tokoh agama Islam yang bersuku Lampung bapak Abdul Manaf “kehidupan masyarakat desa Kiluan tidak pernah terjadi konflik yang bermotifkan agama ataupun suku, bahkan dalam kehidupan politik yang telah dibuktikan pada pemilihan Kepala Desa tahun 2012 yang terpilih dari suku Bali yang beragama Hindu”.7 Hal ini menarik untuk diketahui, orang yang bersuku Lampung terkenal dengan wataknya yang keras namun di desa ini masyarakat etnis Lampung telah sadar akan adanya kemajemukan baik agama maupun budaya. Mereka sadar akan adanya falsafah hidup piil pesenggighi yang sebenarnya adalah siap menerima keanekaragaman yang ada dimuka bumi ini. Selain itu menurut salah seorang masyarakat mengatakan “kami saling bahu membahu secara bersama-sama dalam membangun desa ini, sebagai contoh; kami mengelola dana 7
Wawancara dengan bapak Abdul Manaf, Tokoh Masyarakat Islam, tanggal 27 Maret 2015.
7 PNPM untuk pembangunan yang diberikan pemerintah secara bersama-sama, yang anggotanya ada yang beragama Islam dan Hindu, bahkan dalam pengelolaan Wisata pantai dan laut kami bentuk kepengurusannya yang terdiri dari pemeluk Islam dan Hindu”.8 Sedangkan menurut Made Sarjio, “di desa ini kami memiliki rasa persatuan dan penghormatan yang tinggi, ketika memperingati hari raya besar agama, kami memiliki kebiasaan untuk memberikan selamat dengan cara saling berkunjung kerumah
warga
yang
sedangkan
merayakan
hari
besar
9
keagamaan”.
Berdasarkan keterangan hasil wawancara dengan warga desa Kiluan tersebut, dapat diketahui bahwa di desa Kiluan telah terlaksana kerjasama yang baik antar pemeluk agama yang berbeda, bahkan dapat dikatakan telah terwujud dalam bentuk dialog kekaryaan. Oleh karena itulah penelitian ini dilakukan dalam
rangka
untuk
mengetahui
lebih
dalam
bagaimana
masyarakat yang berbeda agama dan berlainan etnis dapat hidup berdampingan secara harmonis, juga untuk mengetahui masyarakat desa kiluan dapat mengaktualisasikan nilai-nilai pada ajaran agama dan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya mereka masing8
Wawancara dengan Sarmin (agama Islam), warga desa Kiluan, tanggal 28 Maret 2015 9 Wawancara dengan Made Sarjio (agama Hindu), warga desa Kiluan, tanggal 28 Maret 2015
8 masing. Konsep paradigma kerjasama antar pemeluk agama adalah gagasan yang menyajikan nilai saling membutuhkan antar umat beragama
untuk
mewujudkan
perdamaian
kemanusiaan.
Rekontruksi dan dekontruksi paradigma kerjasama penganut agama mesti menjadi perhatian utama agar dapat menjadi alat pemersatu yang dapat terejawantahkan dengan baik di nusantara ini. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah
pola
paradigma
hubungan
kerjasama
penganut agama Islam dan Hindu di desa Kiluan ? 2. Faktor apa yang mendukung terjadinya kerjasama antar pemeluk agama dan etnis yang berbeda di desa Kiluan ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Mengetahui pola paradigma Kerjasama penganut agama Islam dan Hindu terhadap keanekaragaman agama dan budaya di desa Kiluan. b. Mengetahui
Faktor
yang
mendukung
terjadinya
kerjasama antar pemeluk agama dan etnis yang berbeda di desa Kiluan.
9 2. Kegunaan Penelitian a.
Penelitian yang terkait dengan kerjasama antar pemeluk agama dan etnis yang berbeda di desa Kiluan dapat dijadikan laboratorium Sosial Keagamaan.
b.
Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh berbagai
pihak
yang
berkepentingan
termasuk
pemerintah, untuk mengambil sikap yang paling tepat dalam rangka menciptakan harmonisasi masyarakat yang berbeda agama dan budayanya. c.
Penelitian ini juga diharapkan dapat membuka wawasan
umat
beragama
mengaktualisasikan nilai-nilai
akan
pentingnya
ajaran agama
dan
budaya. D. Kajian Pustaka Kajian
pustaka
dilakukan
bertujuan
agar
peneliti
mengetahui hal-hal yang telah diteliti tentang tentang tema atau objek yang serupa atau sama sehingga tidak terjadi duplikasi penelitian. Terdapat beberapa hasil penelitian yang ditemukan terkait dengan penelitian ini, diantaranya sebagai berikut : 1. Idrus Ruslan, Dialektika Agama Missi di Kalangan Pemeluk Agama Islam, Katolik dan Budha : Studi Kasus di Desa
10 Margorejo Tegineneng Lampung Selatan, Lembaga Penelitian IAIN Raden Intan Lampung tahun 2011. Penelitian ini mengkaji tentang interaksi sosial dan mengkaji media yang digunakan bagi terjalinnya harmonisasi umat beragama pada Agama Islam, Kristen dan Budha yang etnisya sama yakni etnis Jawa. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti saat ini mengkaji pola hubungan kerjasama dalam rangka membangun desa baik dari segi Agama maupun dalam bentuk fisik pada Agama Islam dan Hindu yang etnisnya berbeda yakni etnis Lampung, Jawa dan Bali. 2. Junainah, Interaksi Sosial Masyarakat Hindu dan Islam di desa Pasar Sukadana Kabupaten Lampung Tengah, Fakulatas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung tahun 1998. Penelitian ini hanya membahas mengenai bentuk-bentuk interaksi Sosial masyarakat Hindu dan Islam. 3. Aminuddin, Interaksi Sosial Masyarakat Hindu dan Islam pasca Konflik; Studi Kasus di Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji Lampung Selatan, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung tahun 2014. Penelitian ini membahas tentang bentukbentuk interaksi sosial dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi pada daerah yang pernah mengalami konflik.
11 Berdasarkan tinjauan pustaka yang peneliti temukan dapat dijelaskan bahwa terdapat beberapa peneliti yang melakukan penelitian tentang Dialog keagamaan dan interaksi sosial. Namun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang lain (sebelumnya) adalah disamping objek penelitiannya berbeda juga pembahasan dalam penelitian ini mengenai hubungan antar agama berupa dialog dan interaksi yang diwujudkan dalam bentuk kerjasama. Penelitian ini juga menarik, karena objek yang diteliti terdiri dari suku Lampung dan Jawa yang beragama Islam serta suku Bali yang beragama Hindu, dilihat dari jumlah penduduk berdasarkan etnis mayoritas etnis Lampung dan berdasarkan agama mayoritas beragama Islam, namun roda pemerintahannya dipimpin dari etnis Bali beragama Hindu dan selama ini tidak pernah terjadi konflik. Oleh karenanya penelitian di desa Kiluan ini nantinya dapat dijadikan sebuah referensi yang dapat mewujudkan desa Kiluan sebagai Laboratorium sosial keagamaan. Penelitian ini juga membahas tentang faktor-faktor yang mendukung terjadinya kerjasama antar pemeluk agama dan etnis yang berbeda di desa Kiluan.
12 E. Landasan Teori/ Kerangka Pikir Agama membuktikan
sebagai bahwa
Weltanschauung
dirinya
masih
ditantang
aktual,
untuk
olehkarenanya
paradigma kerjasama penganut agama tidak hanya diarahkan untuk menghindari konflik, melainkan juga untuk membicarakan partisipasi agama dalam proses perubahan masyarakat lewat modernisasi. Dalam rangka mencapai kondisi masyarakat yang rukun dan harmonis selama ini telah diupayakan oleh berbagai pihak dengan cara kerjasama dari para tokoh agama, pemerintah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang respek terhadap problem kerukunan antar umat beragama. Akan tetapi dialogdialog tersebut belum berjalan secara efektif. Ketidakefektifan dialog tersebut dapat dibuktikan dengan kurang adanya tindak lanjut gagasan dialog dari tingkat elit dan tingkat gagasan ke arah kerjasama praksis pada tingkat bawah. Kemudian adanya hambatan intern dari dialog yaitu masih tingginya sikap eksklusivisme, fanatisme dan militanisme dalam beragama.10 Oleh karena itu untuk mewujudkan dialog kearah kerjasama praksis, peneliti akan menggunakan teori dialektical
10
Kautsar Azhari Noer, “Passing Over: Memperkaya Pengalaman Keagamaan” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (ed), Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta: Gramedia, 1998) h. 263
13 pluralism11 dari Anselm Kyongsuk Min, yang memiliki empat karakteristik; pertama, sifat konfensionalis yang menekankan pentingnya komitmen dalam beragama, penegasan keimanan baik secara teologis dan praktis termasuk klaim finalitas, klaim kebenaran harus ditempatkan dalam konteks dialektika dan tantangan situasi pluralistik. Kedua, sifat pluralis dalam pengertian masing-masing agama harus dipandang sebagai totalitas konkrit dan dibiarkan mendefinisikan dirinya sendiri tanpa reduksi dan subordinasi. Ketiga, historis dialektis dalam pengertian agamaagama memiliki hubungan yang konkrit dalam proses sejarahnya dalam bentuk deferensiasi, kontradiksi dan rekonsiliasi terhadap perubahan perspektif dan wawasan manusia. Keempat, solidaritas kemanusiaan menjadi agenda penting ditengah perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Disamping teori dialektical pluralism tersebut, peneliti juga menggunakan teori interaksi simbolik dari Mead dan teori komunikasi antar budaya dari Gudykunst.12 Adapun yang akan diteliti adalah pola hubungan kerjasama antar pemeluk Islam dan
11
Dian Nur Anna, “Peran Agama dalam Pembentukan Civil Society di Indonesia” dalam Rahmat Fajri dan Khairullah Zikri (ed.), Ontologi Studi Agama, (Yogyakarta: Belukar,2012), h. 190. 12 A. Rani Usman, Etnis Cina Perantauan Aceh, (Jakarta: Yayasan Obor, 2009), h. 10-20.
14 Hindu serta aktualisasi nilai-nilai budaya yang ada pada desa Kiluan Kecamatan Kelumbayan Kabupaten Tanggamus. F. Sistematika Pembahasan Penulisan hasil penelitian ini terdiri dari lima bab, dimana antara bab tersebut adalah saling terkait.
Adapun penjelasan
masing-masing bab tersebut adalah : Bab I. Pendahuluan, yaitu bab yang menghantarkan kepada pokok permasalahan yang akan diteliti. Pada bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka, landasan teori dan kerangka berpikir serta sistematika pembahasan. Bab II. Kajian Teoritis atau pembahasan umum tentang hubungan antar agama dan kerjasama dalam perspektif Islam dan Hindu, meliputi pembahasan tentang terminologi hubungan antar agama, bentuk-bentuk kerjasama dalam hubungan antar agama. Selanjutnya disajikan pula tentang kajian hubungan antar agama baik dalam perspektif Islam maupun Hindu. Bab III Metode Penelitian, meliputi jenis dan sifat penelitian, sumber data, tekhnik pengumpulan data, analisis data, serta pemeriksaan keabsahan data. Bab IV merupakan analisis dari penelitian ini yaitu paradigma hubungan antar agama ; studi kerjasama pemeluk
15 agama Islam dan Hindu di Desa Kiluan. Pada bab ini diawali dengan memaparkan gambaran umum desa Kiluan, kemudian paradigma hubungan kerjasama penganut agama Islam dan Hindu serta faktor pendukung terjadinya kerjasama antar pemeluk agama dan etnis yang berbeda di desa Kiluan. Bab V adalah penutup, berupa penarikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data secara logis dan faktual berdasarkan data-data yang ditemukan di lapangan. Pada bab ini pula akan diuraikan beberapa saran.
16
BAB II HUBUNGAN ANTAR AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HINDU
A. Terminologi Hubungan Antar Agama Terminologi hubungan antar agama dapat dipahami sebagai hubungan atau interaksi atau kerjasama dari suatu agama dengan agama lainnya, dan tentu saja yang dimaksud disini adalah kerjasama yang mengarah atau menuju suatu kerjasama yang berkualitas. Artinya kerjasama yang dimaksudkan adalah guna dan untuk kebaikan umat beragama itu sendiri, bukan sebaliknya. Hubungan antar agama dapat diartikan pula sebagai hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengalaman ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hubungan antar agama akan menjadi berkualitas, manakala masing-masing umat beragama dapat saling bersikap terbuka dan saling menghargai akan adanya perbedaan-perbedaan baik dari segi doktrin maupun praktek pengamalan ibadah yang ada pada masing-masing agama. Akan tetapi dalam prakteknya tindakan kerjasama atau hubungan antar agama tidak jarang terjadi
17
18 ketersinggungan-ketersinggungan
sehingga
mengakibatkan
rusaknya jalinan kerjasama yang diharapkan. Pelaksanaan hubungan antar agama secara baik menjadi sangat prinsip dan urgen bagi pembangunan suatu bangsa, hal tersebut dikarenakan pembangunan bangsa baik secara fisik maupun non fisik akan dapat berjalan secara maksimal manakala umat beragama dalam keadaan baik, damai serta memiliki hubungan yang baik pula. Tentu saja statemen diatas berdasarkan fakta bahwa ketika umat beragama terjadi konflik, maka tidak sedikit hasil dari pembangunan bangsa secara fisik turut pula menjadi korban, sedangkan secara non fisik; bahwa ikata-ikatan kebersamaan yang telah digalakkan selama ini, seakan-akan kehilangan orientasi dan hakikatnya. B. Hubungan Antar Agama dalam Perspektif Islam Setiap agama pasti mengandung nilai-nilai yang mampu memberi motivasi bagi umatnya untuk hidup bermanfaat bagi dirinya dan bagi masyarakat pada umumnya.
Dari nilai-nilai
seperti itulah diharapkan hadir potensi pembangunan yang dahsyat, tentunya
dengan
mempersatukan
syarat umatnya
sepanjang dengan
nilai-nilai
itu
saudara-saudaranya
mampu yang
beragama lain. Dalam perspektif Islam tentu tidak berlebihan jika
19 ditegaskan bahwa inilah sesungguhnya hikmah yang ingin kita wujudkan dari ajaran Islam yang menyebutkan bahwa Islam diturukan ke muka bumi ini semata-mata untuk kesejahteraan serta rahmat bagikehidupan alam semesta (Rahmatan lil ‘alamien).13 Dalam persektif Islam anjuran tentang pelaksanaan hubungan antar agama yang baik, setidaknya dapat dilihat dalam surat al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut14 dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. Uraian ayat tersebut diatas mengajarkan bahwa dalam hal memilih agama, manusia diberi kebebasan untuk memahami dan mempertimbangkannya sendiri.
Dalam memahami hal ini,
Thabathaba’i berpendapat bahwa karena agama merupakan rangkaian ilmiyah yang diikuti amaliah (perwujudan perilaku) menjadi satu kesatuan i’tiqadiyah (keyakinan) yang merupakan 13
Departemen Agama RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Balitbang Kerukunan, 1997), h. 16. 14 Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
20 persoalan hati, maka bagaimana pun agama tidak bisa dipaksakan oleh siapa pun.15 Dalam menafsirkan ayat diatas, Ibnu Katsir berpendapat bahwa jangan kalian memaksa seseorang untuk masuk Islam, sebab agama ini cukup jelas gamblang semua ajaran dan bukti kebenarannya, sehingga seorang pun tidak dipaksa untuk masuk kedalamnya, sebaliknya siapa mendapat hidayah, terbuka (lapang) dadanya dan terang mata hatinya pasti ia akan masuk Islam dengan bukti yang kuat, sebaliknya juga siapa yang buta mata hatinya dan tertutup pendengarannya, maka tak berguna baginya masuk agama dengan paksaan.16 Pada bagian lain, Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa pada dasarnya ajaran seperti ini (tidak ada pemaksaan dalam beragama) merupakan pemenuhan alam manusia yang secara pasti telah diberi kebebasan oleh Allah; sehingga pertumbuhan perwujudannya selalu bersifat dari dalam, tidak tumbuh – apalagi dipaksakan – dari luar. Sikap keagamaan hasil paksaan dari luar tidak otentik karena kehilangan dimensinya yang paling mendasar
15
Muhammad Hasan Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz II (Qum al muqaddas Iran : Jama’at al-Mudarrisin fi Huzati al-Ilmiyah, 1300 H), h. 342. 16 Ibnu Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Jilid I (Surabaya : Bina Ilmu, 1993), h. 463.
21 dan mendalam, yaitu kemurnian dan keikhlasan.17 Keistimewaan manusia dengan diberi kebebasan tersebut karena manusia memiliki sesuatu yang istimewa pula, yaitu “sesuatu dari Ruh Tuhan”, sehingga manusia mempunyai kesadaran penuh dan kemampuan untuk memilih.18 Jadi, kebebasan memilih – termasuk memilih agama – inilah hakikat identitas manusia yang tak bisa diganggu oleh siapa pun. Sedang menurut Quraish Shihab, bahwa manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk memilih dan menetapkan jalan hidupnya, serta agama yang dianutnya.
Karena Tuhan tidak
menurunkan suatu agama untuk dibahas oleh manusia dalam rangka memilih yang dianggapnya sesuai dan menolak yang tidak sesuai. Agama pilihan adalah satu paket, penolakan terhadap satu bagian mengakibatkan penolakan terhadap keseluruhan paket tersebut.19 Khusus tentang perbedaan agama, al-Qur’an memberikan garis yang amat jelas bahwa dalam hal pengalaman masing-masing ajaran agama, sepenuhnya harus diarahkan kepada penganut
17
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Keindonesiaan (Jakarta : Paramadina, 1992), h. 427-428. 18 Ibid., h. 432. 19 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1996), h. 368.
22 masing-masing agama itu sendiri. Hal ini dapat dilihat di dalam alQur’an: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." Sepintas ayat tersebut seakan menunjukkan sikap yang tidak peduli atau berpendirian masa bodoh terhadap penganut agama lain. Padahal menurut Nurcholish Madjid, ungkapan yang terdapat pada ayat tersebut bukanlah pernyataan tanpa peduli terhadap agama lain, apalagi rasa putus asa, melainkan karena terdorong oleh kesadaran bahwa agama memang tidak dapat dipaksakan, dan bahwa setiap orang, lepas dari soal apa agamanya, tetap harus dihargai sebagai manusia sesame makhluk Allah Yang Maha Esa. Sebab Allah sendiri pun menghormati manusia, anak cucu Ada di mana saja ia berada, dengan segala potensi dan perbedaannya.
Bahkan potensi dan perbedaan itu dibuat-Nya
menjadi semenarik mungkin sehingga selalu dirasakan indah, baikbaik saja, oleh masing-masing penganut agama, meskipun sesungguhnya salah.
Maka ajakan kepada kebenaran, jika kita
merasa yakin memiliki kebenaran itu, haruslah dilakukan hanya
23 dengan cara-cara yang penuh kearifan, kesopanan, tutur kata yang baik dan argumentasi yang masuk akal.20 Ayat tersebut merupakan bukti yang amat kuat yang tidak membenarkan siapa pun memaksa orang lain untuk menganut agama Islam. Setiap orang diberi hak kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih agama sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Sedangkan pada sisi lain, Nurcholish melontarkan gagasan tentang hubungan antar umat beragama, meskipun sering menggunakan idiom-idiom keislaman. Hal ini dapat dipahami, karena Nurcholish menyadari bahwa bangsa Indonesia yang terkenal dengan pluralisme dalam segala dimensinya terutama pluralisme agama, dimana Islamlah merupakan agama yang paling banyak secara kwantitas.
Oleh karenanya sasaran utama dari
gagasan-gagasannya adalah umat Islam itu sendiri, karena baginya umat Islam harus memainkan peranan yang penting dalam koridor hubungan umat antar agama, meskipun itu tidak berarti mengenyampingkan peran umat yang lain. Secara teologis-normatif dalam kerangka apa
yang
seharusnya – tataran ideal – Nurcholish memberikan beberapa
20
Nurcholish Madjid, “Etika Beragama; dari Perbedaan Menuju Persamaan (Kata Pengantar)”, dalam Nur Achmad (ed.), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta : Kompas, 2001), h. 3.
24 nuktah ajaran agama Islam yang merupakan landasan bagi terciptanya hubungan antar agama21 secara baik : Pertama, Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia; “Sungguh Kami (Tuhan) telah mengutus untuk setiap umat seorang Rasul (yang menyerukan): Sembahlah olehmu sekalian akan Allah saja, dan jauhilah kekuatan jahat”.22 Kedua, Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan : “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para Rasul), umat yang satu.
Dan Aku adalah Tuhanmu sekalian, maka
sembah-lah akan Daku saja”.23 Ketiga, agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya, khususnya yang secara “genealogis”paling dekat ialah agama Semitik-Abrahamik : “Kepunyaan Allah-lah segala sesuatu yang ada di seluruh langit, dan segala sesuatu yang ada di bumi. Dan sungguh telah Kami pesankan kepada mereka yang telah menerima Kitab Suci sebelaum kamu serta kepadamu juga, hendaknya kamu semua bertakwa kepada Allah. Jika kamu ingkar, maka (ketahuilah) 21
Nurcholish Madjid, “Hubungan Antar Beragama : Antara Ajaran dan Kenyataan”, dalam W.A.L. Stokhof (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan) (Jakarta : INIS, 1990), h. 108. 22 Al-Nahl : 36. 23 Al-Anbiya’ : 92.
25 bahwa sesungguhnya kepunyaan Allah-lah segala sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu yang ada di bumi. Allah itu Maha Kaya dan Maha Terpuji”.24 “Dia (Allah) menetapkan bagi kamu agama sebagaimana yang telah Dia pesankan kepada Nuh, dan sebagaimana yang Kami (Allah) wahyukan engkau (Muhammad), serta bagaimana yang Kami pesankan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu hendaknya kamu sekalian tegakkan agama itu, dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Terasa berat bagi orang-orang musyrik apa yang kau serukan kepada mereka ini. Allah memilih siapa saja yang di kehendaki-Nya, dan Dia memberi petunjuk siapa saja yang kembali kepada-Nya.”25 Keempat, karena itu umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (ahl al-Kitab) : “Dan janganlah kamu berbantahan dengan ahl al-Kitab melainkan dengan sesuatu yang lebih baik, kecuali terhadap yang zalim dari mereka. Dan katakanlah olehmu semua, Kami beriman dengan apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu, lagi pula Tuhanku dan Tuhan kamu adalah Satu, dan kami (kita) semua pasrah kepada-Nya”.26 Kelima, prinsip-prinsip di atas itu semua membawa akibat yang sangat logis, yaitu tidak boleh ada paksaan dalam agama :
24
Al-Nisa’ : 131. Al-Syura : 13. 26 Al-Ankabut : 46. 25
26 Telah jelas “Tidak boleh ada paksaan dalam beragama. 27 kebenaran itu berbeda dari kepalsuan.” , serta “Dan jika seandainya Tuhanmu menghendaki, maka pastilah beriman semua orang di bumi, tanpa kecuali. Apakah engkau (Muhammad) akan memaksa umat manusia sehingga mereka beriman semua?”.28 Dari kelima nuktah yang dikemukakan oleh Nurcholish tersebut, kiranya dapat dijadikan sebagai landasan bahwa secara teologis-normatif sesungguhnya pelaksanaan hubungan antar agama yang baik sangatlah didukung dan dilegitimasi oleh nashnash al-Qur’an. Disamping
hal
tersebut
diatas,
patut
pula
untuk
dikemukakan disini bahwa hubungan antar agama dalam perspektif Islam masuk dalam kategori atau aspek muamalah yaitu salah satunya berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia. Dalam konteks ini ajaran agama Islam mendasarkan pada konsep persamaan, dan dari konsep persamaan akan melahirkan persaudaraan. Penegasan al-Qur’an dalam hal tersebut diantaranya dapat dilihat pada surat al-Baqarah ayat 213.
27
Al-Baqarah : 256. Yunus : 99.
28
27 manusia itu adalah perselisihan)…29
umat
yang
satu.
(setelah
timbul
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Berdasarkan
penjelasan
diatas
nampak
bahwa
sesungguhnya umat manusia itu adalah satu (meskipun secara lahirnya atau fisik berbeda). Pengertian satu disini dapat dipahami berarti satu dalam silsilah keturunan yakni berasal dari keturunan Nabi Adam, dan oleh karenanya harus salig menjaga kehormatan, menghargai, menghormati
perbedaan dan lain sebagainya.
Disamping itu, tidak boleh diantara manusia untuk saling merasa yang terbaik, sehingga memiliki keinginan untuk “memberikan petunjukan” kepada orang lain yang kadangkala cara yang digunakan justru dapat menyakiti dan melukai perasaan orang lain, karena yang demikian itu adalah merupakan hak prerogatif Allah swt. 29
Al-Baqarah : 213.
28 Selain itu pelaksanaan hubungan antar agama dapat dibagi menjadi dua bagian : a. yang bersifat ritual b. yang bersifat seremonial.30 Adapun hubungan antar agama yang bersifat ritual adalah menyangkut soal aqidah atau keimanan. Atau dalam agamaIslam disebut ibadah Mahdah, yang bersifat ritual ini hanya dilakukan oleh masing-masing penganut agama yang bersangkutan saja, (Islam, Kriten, Hindu, Budha, Katolik, Kong Hu Cu) tidak diperkenankan bagi penganuat agama lain karena akan merusak aqidah. Hal ritual dalam agama Islam misalnya shalat, syahadat, puasa, zakat, haji, munakahat, mengurus kematian, sumpah dan lain-lain. Hal tersebut apabila dilakukan oleh umat non Islam, maka perbuatanya tidak sah. Sedangkan yang bersifat seremonial adalah suasana hubungan antar agama dalam rangka melakukan kegiatan yang bersifat seremonial antara sesama pemeluk agama yang berbeda, yang tidak merusak aqidah keimanan seorang muslim antara lain; bersama-sama menengakan kerja bakti, menengok orang sakit, datang saat meninggal, sama-sama membela negara dan falsafah 30
Departemen Agama RI, Bingkai Teologi Kerukunan ….., h. 36.
29 negara, datang saat perkawinan, ulang tahun, acara peresmian, menolong ketika dapat bencana musibah, pesta oleh raga, perdagangan dan lain-lain. C. Hubungan Antar Agama dalam Perspektif Hindu Hubungan antar agama di Indonesia telah mempunyai sejarah budaya yang akarnya jauh ke masa lampau. Bahkan tanpa diatur dengan peraturan, hubungan berlangsung dilandasi sistem nilai yang membudaya. Nilai kemanusiaan yang mewujud dalam bentuk saling menghargai dan saling menghormati menjadi landasan pergaulan antar manusia dalam budaya bangsa Indonesia. Dalam konteks pergaulan antar umat beragama perlu dicari dasar yang lebih tulus dan jujur dari pada imbal balik. Bukan datang dari pikiran melainkan dari hati ke hati yaitu rasa saling menghargai dan menghormati yang lazim kita kenal sebagai apresiasi.
Bila setiap insan beragama sudah sampai pada rasa
kasih, maka fanatisme akan meluntur, maka sebagai insane Tuhan setiap orang akan sadar bahkan kita sama-sama tanggung jawab untuk memelihara kerukunan.
Dari suasana kerukunan dapat
diharapkan tercipta suasana aman dan damai bebas dari ancaman ketakutan walaupun kita berada dalam masyarakat yang plural. Perspektif agama Hindu tentang hubungan antar agama, setidaknya dapat dilihat dari Regveda yang menegaskan Ekam Sat
30 Vipra Bahuda Vadanti. Kutipan tersebut mempunyai pengertian “disebut dengan ribuan nama yang berbeda, namun satu adanya”.31 Sejak zaman Regveda sudah ditekankan bahwa nama dan cara mencapai ketuhanan bisa berbeda amun yang dituju adalah satu. Disinilah menjadi valid pengertian dan pemahaman tentang Vydia32 dan Avydia.33 Dalam pandangan Hindu, materi ditempatkan sebagai sarana dan duniawi adalah lahan yang dilewati dalam perjalanan spiritual.
Sehingga tidaklah patut untuk menggantungkan diri
kepada materi dan hidup dalam keterikatan duniawi. Tujuan utama bagi umat Hindu adalah mencari kebenaran dibalik semua yang bersifat duniawi dan harafiah. Adapun yang dimaksud dengan Vydia dalam ajaran Hindu adalah pencapaian kesadaran Ketuhanan, yang mempunyai nilai
31
Ibid., h. 132. Vydia adalah pemahaman dan kesadaran bahwa kebenaran ada dibalik semua yang bersifat materi. Menggantungkan diri kepada semuayang bersifat materi atau berada dalam keterikatan duniawi, sama dengan menempuh kehidupan yang bersifat illusive atau maya. Kebenaran yang mutlak dan abadi berada dibalik semua yang bersifat materi dan duniawi. Ajaran Hindu mengajak umatnya untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi dari nilai materi dan duniawi sehingga mengantarkan kepada kebahagiaan abadi. 33 Avydia adalah kebodohan atau ketidak tahuan, bahwa setiap manusia yang terlahir kebumi apabila hanya menggunakan indra dan pikiran dalam menjalani kehidupan, dan sepenuhnya menggantungkan diri pada keberadaan duniawi, maka dia tergolong avydya atau diliputi kebodohan atau ketidak tahuan. 32
31 universal dan langgeng, dengan jalan membebaskan diri dari keterikatan duniawi dan ketergantungan pada materi. Di dalam diri manusia, badan, energi, mental, emosional dan pikiran berada pada tataran yang digolongkan bersifat materi dan berkualitas duniawi. Kesadaran yang lebih tinggi dimulai dari Budhi. Jadi umat Hindu dituntut untuk mengawali dengan Budhi. Terlahir sebagai manusia, baru memenuhi kualitas manusia apabila Budhi sudah mekar dan tumbuh dalam dirinya.
Dengan
bermodalkan Budhi, seseorang sudah bisa memasuki tahap pergaulan antar manusia dengan sikap saling menghormati dan saling menyayangi. Dengan
demikian
ajaran
Hindu
mendahulukan
pembentukan kualitas manusia melalui peningkatan kesadaran yang lebih tinggi. Dalam diri manusia yang berbudi, dia bisa menggunakan kebijaksanaannya untuk membedakan antara cara dan tujuan. Kembali kepada kutipan Regveda tersebut diatas, bahwa apapun nama yang dilekatkan kepada Substansi Tertinggi, adalah lebih penting pencapaiannya. Dengan demikian umat diharapkan untuk tidak fanataik dalam cara dan nama yang dilekatkan pada kebenaran mutlak. Hal ini mengandung makna untuk tidak fanatik pada nama dan cara pencapaiannya. Walaupun orang lain memilih
32 cara yang berbeda, yang penting adalah tujuan akhirnya sama yaitu mencapai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan dasar teologis ini bisa mengelaborasi sketsa kehidupan sosiologis – dimana kalau di Indonesia yang merupakan “negeri” umat Hindu yaitu Bali – dapat memberikan penilaian yang positif terhadap untuk hubungan umat beragama yang harmonis. Hal ini disebabkan adanya pertautan yang mutualistik antara berbagai antara berbagai agama yang berbasis dari pandangan teologisnya. Umat dari berbagai agama dapat hidup berdampingan di satu desa, malah di beberapa desa tertentu mereka betul-betul membaur satu sama lainnya.34
Karena baiknya
kekerabatan antar umat beragama di Bali salah satunya seperti sistem pembagian pengairan sawah atau yang disebut Subak.35 Tidak jarang pula umat Islam bersedia ikut bergotong royong membantu tetangganya yang beragama Hindu dalam membuat tempat persembahyangan dan demikian pula sebaliknya.
34
I Ketut Nehen, “Kerukunan Umat Beragama di Daerah Bali”, dalam antologi makalah dari Seminar Nasional Cendekiawan Antaragama yang mengambil tema “Anatomi Kerukunan Umat Beragama”, yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat Beragama, Yogyakarta, 16 Januari 1996, hlm. 5. Lihat juga I Made Titib, “Agama dan Budaya Perdamaian Dalam Masyarakat Hindu” dalam Muhaimin AG (ed.), Damai di Dunia Damai Untuk Semua; Perspektif Agama-Agama (Jakarta: Balitbang Keagamaan, 2004), h. 40. 35 Lihat Sudjangi (peny.), Profil Kerukunan Hidup Beragama….., hlm. 58.
33 Konsep yang dijelaskan diatas dilandasi oleh sebuah Sloka dalam Bhavad Gita yang berbunyi : Ye yatha mam prapadyante tanis tathai va bhajamy aham mama vartma nuvartante manusya partha, sarvasah. Terjemahannya : Dengan jalan bagaimana pun orang-orang memujaku dengan jalan yang sama itu juga Aku memenuhi keinginan mereka.
Melalui banyak jalan manusia mengkuti
jalanku, oh Partha. Sloka tersebut merupakan konfirmasi bahwa banyak jalan yang bisa ditempuh menuju Ketuhanan, dan akan diperlakukan sama, walaupun menempuh jalan yang berbeda. Dengan landasan filsafat seperti itu, ajaran Hindu meletakkan dasar untuk saling menghormati kepada siapapun yang menempuh jalan yang berbeda. Sehingga semua penganut agama yang berbeda patut untuk saling menghargai dan menghormati, dan tidak saling memperdebatkan cara dan jalan apalagi meremehkan sesama insan Tuhan. Selain itu penganut Hindu memiliki ajaran Atmanastuti yang merupakan salah satu pilar ajaran yang melahirkan sikap hidup rukun. Ajaran ini mengajarkan penyelesaian beda pendapat melalui jalan musyawarah. Serta ajaran kerukunan yang disebut dengan Tat Wam Asi.
Tat artinya ia atau saya, Wam artinya
34 Kamu, Asi artinya adalah. Jadi Tat Wam Asi berarti saya adalah kamu dan segala makhluk adalah sama, berasal dari satu sumber yaitu Tuhan Yang Maha Esa.36 Ajaran demikian menunjukkan implikasi moral, etik dan akhluk berbangsa bagi umat Hindu. Ajaran ini diinterpretasikan antara lain dengan pemahaman bahwa menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri. Berkaitan dengan sikap arif yang harus dibangun terhadap umat beragama lain, seorang tokoh yang berasal dari dataran Hindustan yang sangat melawan kekerasan dengan tindakan yang baik dan bukan kekerasan yang sama. Mohandas K. Gandhi dari India misalnya memperkenalkan konsepnya tentang tindakan yang tepat untuk melawan kekerasan tanpa kekerasan, konsep Gandhi tersebut di berni nama Ahimsa. Secara etimologis Ahimsa berasal dari a yang berarti tidak dan himsa yang mempunyai arti melukai, merusak, membunuh, mengganggu, meretakkan, dan sebagainya. Jadi Ahimsa berarti tidak membunuh, tidak melakukan kekerasan. Kata ahimsa mempunyai dua makna, pertama berarti penghindaran diri dari tindakan-tindakan seperti membunuh, melukai ataupun merusak. Kedua, merupakan ekspresi hati seseorang, yaitu cinta 36
Mursyid Ali, “Pluralitas Sosial dan Upaya Membina Kerukunan Hidup Beragama” dalam Mursyid Ali (ed.), Problema Komunikasi Antar Umat Beragama (Jakarta : Balitbang, 2000), hlm. 43.
35 kasih, menunjukkan rasa sayang terhadap pelaku kejahatan, namun tetap membenci perilaku kejahatan itu sendiri. Dalam hal ini yang ditekankan adalah berusaha mendekati pelaku kejahatan dengan cara yang baik, menumbuhkan kecintaan dan diajak dia untuk meninggalkan kejahatan itu.37 Dari penjelasan tersebut jelaslah bahwa ajaran Hindu memberikan landasan untuk struktur sosial yang menampung perbedaan agama atas dasar rasa saling menghargai dan menghormati. Atas dasar tersebut juga dapat disusun kebersamaan hidup bernegara dalam suasana rukun. Agama Hindu memberikan pedoman kepada umatnya untuk menempuh jalan bhakti sebagai jalan paling tinggi, jalan awal dan akhir.
Bhakti mempunyai
makna bahwa dalam berketuhanan tidak ada lain kecuali penyerahan total. Jalan bhakti disebut sebagai jalan awal dan akhir mempunyai pengertian bahwa rasa penyerahan diri secara total merupakan benang merah yang berkesinambungan sepanjang kehidupan. Rasa bhakti tersebut membangkitkan keyakinan dan kepercayaan kepada hukum semesta yang mengatur tatanan, mikro kosmos maupun makro kosmos yang dalam ajaran Hindu disebut
37
Lihat Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern; Teori, Fakta dan Aksi Sosial, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 269-270.
36 Rta. Sebagai perwujudan dari rasa bhakti, manusia memberikan yadnya atau pengorbanan. D. Signifikansi dan Prinsip-Prinsip Hubungan Antar Agama serta Kontribusinya Bagi Pembangunan Agama merupakan sumber motivasi sosial yang menempati posisi penting dalam proses pembangunan.
Ini berarti bahwa
agama tidak hanya memahami tentang sesuatudari segi baik dan buruk saja, namun lebih jauh dari itu agama merupakan sebuah system total yang melingkupi seluruh dimensi kehidupan. Bagi bangsa Indonesia, totalis agama sebagai suatu system bisa menjadi faktor pendorong proses pembangunan dan integrasi bangsa.
Akan tetapi disisi lain agama berpotensi menciptakan
konflik sosial.
Menurut Elizabeth K. Nothingham, agama
mempunyai kekuatan untuk mempersatukan, mengikat dan melestarikan, namuna ia pun mempunyai fungsi lain yang dapat mengarah pada sesuatu yang bersifat destruktif.
Agama bisa
berfungsi mempersatukan kelompok penganutnya begitu kuat, sehingga apabila tidak dianut oleh seluruh atau sebagian anggota masyarakat, agama dapat menjadi sesuatu kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah belah dan bahkan menghancurkan.38 38
Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, terj. Abdul Muis Naharong (Jakarta : Rajawali Pers, 1993), h. 42.
37 Sebagaimana diungkapkan pada bagian sebelumnya, bahwa hubungan umat antar agama akan menjadi tidak harmonis bahkan sering terjadi konflik fisik apabila terjadi kesalahan dalam memahami dan mengimplementasikan atau memahami secara parsial pesan-pesan Tuhan yang terdapat dalam Kitab Suci agama masing-masing. Kesalahan dalam memahami pesan-pesan Tuhan ini, akan berakibat fatal lagi ketika umat beragama yang mengalami konflik (dalam hal ini konflik yang berlatarbelakang agama) sering berorientasi untuk menjadi seorang “martir” atau “syuhada”. Walaupun secara doktrin, adanya seorang martir atau syuhada memang dilegitimisai oleh kitab suci, akan tetapi kadangkala penempatan hakikat kedua term tersebut sama sekali tidak proporsional. Menurut
M.
Amin
Abdullah,
lantaran
pengaruh
pemahaman ajaran kegamaan (Islam) yang parsial, yang kemudian, bentuk pemahaman keagamaan yang parsial tersebut menggumpal dalam lapisan geologi pemikiran keagamaan, maka moral kenabian Islam yang aturannya bersifat universal, inklusif, hanif, tereduksi sedemikian rupa sehingga seoalh-olah menjadi semata-mata eksklusif, partikularistik, legalistik-formalistik, dan a-historis. Sehingga untuk wilayah dan era tertentu dalam sejarah peradaban Islam dan menjadikannya begitu sempit menjerat.
Bukan lagi
38 proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai yang fundamental yang berjalan secara gradual yang dipentingkan, tetapi yang terjadi adalah proses pemilahan yang bersifat dikhotomis-antagonistik. Kategori dan klasifikasi identitas-sosiologis yang lebih bersifat dikhotomis-antagonistik lebih dipentingkan daripada mencari titik temu berbagai fundamental values yang menganyam berbagai kelompok agama yang pluralistik.39 Apa yang dikemukakan oleh M. Amin Abdullah tersebut, sesungguhnya bukan hanya berlaku dikalangan umat Islam saja, akan tetapi berlaku juga bagi semua kalangan penganut agama. Dalam hal ini, agama yang seharusnya menjadikan umatnya untuk bersikap ramah, sopan, lemah lembut dan sama sekali tidak menganjurkan dan mentolerir untuk bertindak arogansi dan eksklusif terhadap penganut agama lain, akan tetapi seakan-akan telah
berwajah
ganda
sehingga
menjadikan
penganutnya
“beringas”. Dalam menjawab fenomena pemahaman kitab suci (alQur’an)
yang
seringkali
secara
parsial,
Fazlur
Rahman
menyarankan jalan keluar melalui dua gerakan dalam penafsiran al-Qur’an yaitu : Pertama, pahami arti atau makna suatu 39
M. Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama”, dalam Th. Sumartana dkk (ed.), Dialog : Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta : Dian/Interfidei, 1994), h. 94.
39 pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Menurut Rahman, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi-situasi spesifik, suatu kajian mengenai situasi makro, mengenai konteks sosial masyarakat saat itu – maksudnya suatu alQur’an diturunkan – harus dilakukan.
Kedua, menggeneralisir
jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio historis dan ratio legis yang sering dinyatakan.40 Selanjutnya dalam proses pelaksanaan interaksi atau hubungan antar agama yang baik, tentu saja tidak dapat dilakukan secara sembarangan.
Karena hal tersebut sangat sensitif dan
apabila umat beragama itu sendiri tidak atau belum memahami pilar-pilar dari suatu proses hubungan dalam masyarakat. Hubungan umat antar agama hendaknya tidak disalah artikan dengan berasumsi bahwan akan menjadikan seseorang yang tadinya taat dalam beragama, menjadi tidak lagi taat terhadap ajaran agamanya, atau akan pula menjadikan seseorang terjebak dan mengakibatkan sinkretisme agama.
40
Lihat Nurcholish Madjid, Islam; Kemodernan dan Keindonesiaan (Jakarta : Mizan, 1987), h. 174-175.
40 Menurut Syahrin Harahap, bahwa dalam menciptakan hubungan antar umat agama secara harmonis baik dalam skalam internasional, regional, maupun dalam skala nasional selalu terjadi dua bentuk sikap: Pertama, saling menghargai dan menghormati yang
berjalan
secara
‘tidak
sadar’.
Artinya
seseorang
menghormati orang yang beragama lain itu hanya karena kepentingan politik. Misalnya karena sama-sama mendiami dunia yang satu manusia tidak pantas jika saling membunuh, saling menindas, saling mengusir atau karena sama-sama satu bangsa dan negara sepantasnyalah umat beagama saling rukun demi cita-cita bersama. Kedua, penghormatan terhadap orang yang menganut agama lain itu muncul bukan hanya karena kepentingan politik, tetapi lebih dari itu adanya kesadaran bahwa agama-agama yang dianut manusia di bumi ini memiliki titik temu yang sangat mendasar.41 Bentuk sikap pertama di atas seringkali dibina secara dialog dan mengusahakan saling tenggang rasa serta menabukan masalah sara. Akan tetapi perlu disadari bahwa sikap seperti ini seringkali lebih dangkal dan rapuh, mudah terpancing jika terusik emosi keagamaannya, bahkan seringkali mengorbankan cita-cita bersama 41
Syahrin Harahap, Islam Dinamis; Menegakkan Nilai-nilai Ajaran alQur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997), h. 266.
41 hanya karena ketersinggungan emosi keagamaan. Pada sisi lain, sikap semacam ini lebih memungkinkan untuk tidak jujur dalam kesepakatan keragaman. Misalnya umat yang lebih kuat dalam bidang politik dan ekonomi melakukan penindasan terhadap yang lebih lemah meskipun dengan kedok kemanusiaan, perdamaian dunia dan lain-lain. Sedangkan bentuk sikap kedua yang dilatarbelakangi oleh kesadaran akan adanya titik temu yang mendasar di antara agamaagama dikembangkan dengan penggalian titik temu tersebut dengan mempelajari secara mendalam agama dan mengenal agama lain secara objektif.
Sikap seperti itu biasanya tidak munafik,
selalu jujur dan tidak mengorbankan kerukunan hanya karena riakriak kecil yang mengganggu hubungan umat antar agama. Agaknya sikap kedua ini lebih prospektif bagi masa depan umat manusia di dunia ini. Dalam konteks negara Indonesia yang pluralitas agamanya tidak dapat dipungkiri lagi, maka prinsip sikap yang paling baik adalah sikap toleran, terbuka dan lapanga dalam mencari dan menghadapi kebenaran. Sikap ini yang oleh Nurcholish Madjid disebut dengan al-hanifiyat al-samhah yaitu semangat mencaria kebenaran yang akan membawa pada sikap toleran, tidak sempit, tanpa kafanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.
42 Pengertian al-hanifiyat al-samhah sendiri dapat dilihat dari penjelas Hadits Nabi Muhammad saw, yang artinya: “Dari Abu Umamah, dia bercerita, ‘Kami keluar bersama Rasulullah saw, dalam salah satu ekspedisi belaiau, kemudian seorang melewati sebuah gua yang disitu ada air. Orang itu berkata kepada dirinya sendiri untuk tinggal dalam gua itu dengan jaminan hidup dari air yang ada dan memakan tetumbuhan disekitarnya kemudian melepaskan diri dari dunia. Lalu orang itu berkata, kalau nanti aku bertemu Nabi Allah saw akan aku ceritakan perkataan itu kepada beliau. Kalau beliau izinkan, aku akan lakukan, kalau tidak, tidak. Makan datanglah ia menemui beliau (Nabi), lalu berkata wahai Nabi Allah, akau melewati sebuah gua yang disitu ada air dan tetumbuhan yang menjamin hidupku. Maka akupun berkata kepada diriku sendiri untuk tinggal di gua itu dan melepaskan diri dari dunia. Orang itu menuturkan bahwa Nabi saw menjawab, Aku tidak diutus dengan ke-Yahudian juga tidak dengan ke-Nasranian. Akan tetapi aku diutus dengan kehanifan yang lapangan (al-hanifiyat al-samhah). Demi Dia yang jiw Muhammad ada di tangan-Nya, pergi padi dan pulang petang di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya. Pastilah berdiri tegaknya seseorang di antara kamu (dalam barisan perjuangan) adalah lebih baik dari pada sembahyangnya selama enam puluh tahun. (Hadits riwayat Imam Ahmad). Selain itu, Hadits yang menjelaskan tentan alhanifiyat alsamhah misalnya : (1) Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Nabi saw ditanya, “Agama mana yang paling dicintai Allah?”
Nabi
menjawab, “Semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyat alsamhah). (Hadits riwayat Imam Ahmad). (2) ‘Aisyah menuturkan
43 bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku diutus dengan semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyat alsamhah)”. (Hadits Riwayat Imam Ahmad). Al-Hanifiyat
al-samhah
juga
merupakan
pangkal
menumbuhkan keberagamaan yang terbuka, yang secara diametral bertentangan
dengan
semangat
komunal
dan
sektarian.42
Keterbukaan itu, adalah kerendahan hati untuk tidak selalu merasa benar, kemudian bersedia untuk mendengarkan pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Sebab, ketika umat beragama berinteraksi dengan yang lain adalah dalam konteks interaksi pemahaman yang membutuhkan kreativitas, inovasi dan sumbangsaran. Keterbukaan ini juga sebagai bagian dari bukti adanya hidayah Allah, dan membuat yang bersangkutan tergolong dari kelompok orang-orang yang berpikiran mendalam (ulul albab) yang sangat beruntung. Selanjutnya secara tegas Nurcholish mengemukakan keharusan untuk bersikap keberagamaan yang terbuka dan lapang. Adalah pencarian akan kebenarn secara tulus dan murni ini yang dimaksud al-Qur’an sebagai sikap alami manusia yang memihak kepada yang benar dan yang baik, sebagai pencaran dari fitrahnya 42
Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolomkolom di Tabloid Tekad (Jakarta : Paramadina, 1999), h. 44.
44 yang suci bersih. Itu sebabnya pada dasarnya kelapangan dalam beragama akan member makna hidup, karena kita tidak lagi terbelenggu oleh kepentingan tertanam (vested interested, Arab : hafa’ al-nafs) yang bisa termuat dalam keberagamaan kita yang menjadikan kita tertutup, dan hanya mau mencari jalan pintas yang mudah.43 Dengan semangat terbuka, semoga kita bisa mengakhiri mentalitas isolative, dan membuka diri untuk bekerjasama dengan semua pihak manapun dari kalangan umat manusia, dalam semangat perlombaan penuh persaudaraan, guna meruntuhkan system-sistem totaliter. Sikap al-hanifiyat al-samhah inilah yang menjadi prinsip dan pegangan bagi umat beragama di Indonesia, sebab hanya dengan sikap terbuka dan toleran maka hubungan umat antar agama di negara ini akan berjalan dengan baik tanpa harus mengklaim kebenaran dan keselamatan dimiliki oleh kelompok tertentu. Dengan prinsip ini pula interaksi umat beragama akan lebih bermakna dan tanpa ada yang harus disembunyikan, sehingga pembangunan ataupun berbagai macam krisis yang dihadapi oleh bangsa ini, akan dapat diatasi secara bersama-sama oleh berbagai macam kelompok agama yang ada. 43
Ibid.
45 Diantara bentuk-bentuk kerjasama dalam hubungan antar agama dapat diwujudkan dengan; 1. Saling tenggang rasa, saling menghargai, dan toleransi antar umat beragama. 2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu. 3. Memetahi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan negara atau pemerintah. Menurut
Said
Aqil
Husin
al-Munawwar,
untuk
menciptakan suasana hubungan antar agama yang baik, dapat ditempuh strategi sebagai berikut: a. Membimbing umat beragama agar semakin meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam suasana rukun, baik intern maupun antar umat beragama. Dalam hal ini kesadaran umat beragama akan didorong untuk lebih menghayati esensi ajaran setiap agama; yakni, pertama, agama tidak diturunkan untuk menganjurkan kekerasan bagi pemeluk agama lainnya; kedua, esensi setiap agama diturunkan kedunia adalah untuk memberi manfaat dan kebaikan sebesar-besarnya bagi kehidupan sosial bersama umat manusia.
46 b. Melayani dan menyediakan kemudahan bagi penganut agama. c. Tidak mencampuri urusan akidah/dogma dan ibadah sesuatu agama. d. Negara dan pemerintah membantu/membimbing penunaian ajaran agama. e. Melindungi agama dari penyalahgunaan dan penodaan kesucian agama. f. Pemerintah komponen kerjasama
mendorong
dan
masyarakat
untuk
dan
kemitraan
mengarahkan lebih
dalam
segenap
meningkatkan
seluruh
lapangan
kehidupan masyarakat, bukan bentuk hegemoni dan penindasan oleh suatu kelompok kepada kelompok lainnya. g. Mendorong umat beragama agar mampu mempraktikkan hidup rukun dalam bingkai Pancasila, konstitusi dan dalam tertib hukum bersama. h. Mengembangkan wawasan mulikultural bagi segenap lapisan dan unsur masyarakat melalui jalur pendidikan, penyuluhan dan riset. i. Meningkatkan pemberdayaan sumberdaya manusia untuk ketahanan dan kerukunan masyarakat bawah.
47 j. Fungsionalisasi pranata lokal, seperti adat istiadat, tradisi dan
norma-norma
sosial
yang
mendukung
upaya
kerukunan. k. Mengundang partisipasi semua kelompok dan lapisan masyarakat sesuai dengan potensi yang dimiliki masingmasing melalui kegiatan-kegiatan dialog, musyawarah, tatap muka, kerjasama sosial dan sebagainya.44 Semua usaha yang dilakukan dalam membangun hubungan antar agama yang baik itu lanjut Agil Husin, akan terwujud bila masing-masing penganut agama membangun harmoni sosial dan kebersamaan sesuai dengan hakekat setiap agama. Jalan terbaik itu adalah
menumbuhkembangkan
agamanya
dengan
kesadaran
memperdalam
nilai-nilai
implementif bagi kemanusiaan.
terhadap spiritual
ajaran yang
Karena itu diperlukan re-
interpretasi (ijtihad) baru, terutama dalam menemukan ijtihad dalam hubungan antar agama. Dalam konteks ini, diharapkan lahir para fuqaha (mujtahid) yang mengkonsentrasikan pikirannya untuk melahirkan etika hubungan antar agama yang menghargai nilainilai
persatuan,
kebersamaan,
keadilan,
kedamaian
dan
penghargaan terhadap kemanusiaan.45 44
Said Agil Husin Al Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. xv-xvi. 45 Ibid., h. xvii.
48 Dengan demikian, maka akan dapat tercipta keamanan dan ketertiban antar umat beragama, ketentraman dan kenyamanan dilingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara. Elizabeth K. Nothingham menjelaskan terdapat tige tipe masyarakat yaitu : Pertama, masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakralnya.
Mereka beranggapan bahwa agama memasukkan
pengaruhnya yang sacral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak.
Nilai-nilai
keagamaan
sering
meningkatkan
konservatisme dan menghalang-halangi perubahan, ini merupakan sebab yang penting sehingga kekuasaan tradisi sangat kuat dalam masyarakat. Kedua, masyarakat pra-industri yang sedang berkembang. Pada masyarakat ini memungkinkan akan timbulnya ketegangan antara sistem nilai-nilai keagamaan dengan masyarakat secara keseluruhan,
meskipun
kecenderungan
bagi
agama
untuk
tenggelam dalam tradisi tetap ada. Dalam masyarakat ini agama bisa merupakan fokus potensial bagi munculnya pembaharuan yang kreatif dan juga chaos sosial. Ketiga, masyarakat industri sekuler. Pada masyarakat jenis ini pengaruh iptek terhadap agama mempunyai konsekwensi signifikan bagi agama, yaitu timbulnya sekularisme yang
49 mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dalam pengalaman-pengalaman keagamaan terbatas pada aspek-aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya. Dengan aspek ini fungsi agama menjadi lemah sebagai pemersatu dan bahkan kekuatannya sebagai faktor disintegrasi agak berkurang.
Toleransi terhadap differensiasi
agama antara lain merupakan akibat dari ketidakacuhan dalam menghadapi pengaruh sistem nilai sekuler yang semakin berkembang.46 Jika merujuk pendapat Nothingham tersebut, maka Indonesia setidaknya masuk kategori kelompok kedua, yaitu masyarakat para industri yang sedang berkembang. Pada jenis ini jika tidak hati-hati memang agak menimbulkan kerawanan, dimana ditengah kesibukan masyarakat yang berkembang dan menuju industrialisasi, maka urgensitas agama seringkali terlupakan. Berbicara tentang pembangunan di Indonesia, pada dasarnya adalah pembangunan manusia seutuhnya bagi seluruh masyarakat Indonesia. Menurut Musa Asy’ari pembangunan pada dasarnya bukan terletak pada perwujudan fisik tekhnologi dan ekonomi semata dan bukan pula perwujudan segi rohani dan mental spiritual saja, melainkan dalam pengembangan seluruh 46
Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat….., h. 51-59.
50 dimensi serta segi yang dibutuhkan dalam keserasian dan keselarasan, demi terwujudnya manusia yang dewasa dan berkepribadian.47 Secara umum, pembangunan dapat pula diartikan sebagai upaya
fungsionalisasi
misi
kekhalifahan
manusia,
dalam
mengupayakan kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia di dunia.
Atau dalam terminologi bangsa kita, berarti upaya
pencapaian masyarakat yang adil dan makmur, material maupun spiritual.
Secara dialektik pembangunan berarti pula upaya
pemilihan jawaban terhadap berbagai masalah atau tantangan kehidupan masyarakat untuk menghasilkan perubahan menuju suatu keadaan yang lebih baik.48 Dalam pembangunan, terminologi perubahan merupakan sesuatu yang esensial.
Kata perubahan disini, hendaknya
ditafsirkan lebih mendalam seraya mengaitkannya dengan tujuan perubahan itu sendiri. Dalam hal ini, jelas bahwa yang dimaksud bukanlah sekedar perubahan fisik dan struktural semata, melainkan lebih pada perubahan kultural yang menyangkut “tata nilai” sebagai
sentralnya.
Pembangunan
memang
menyangkut
perubahan dan pengembangan tata nilai, apakah nilai keadilan, 47
Musa Asy’ari, Agama, Kebudayaan dan Pembangunan (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1997), h. 17. 48 M. Amin Rais, Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri (Jakarta : Rajawali Pers, 1986), h. 19.
51 pemerataan,
kemakmuran,
kesejahteraan,
kebahagiaan
dan
sebagainya. Hal ini dapat dipahami mengingat tujuah akhir dari pembangunan adalah faktor manusianya sendiri.49 Oleh karena itu, haruslah dipahami bahwa yang dimaksud dengan pembangunan adalah bukan sekedar pembangunan yang bersifat fisik material semata, akan tetapi juga yang tak kalah pentingya adalah pembangunan mental spiritual. Kedua agenda pembangunan ini harus menjadi fokus dari sebagian tugas kekhalifahan umat manusia di dalam menjaga dan memelihara keutuhan suatu bangsa. Dalam
konteks
Indonesia
yang
termasuk
negara
berkembang dan kini berhadapan dengan era modernisasi dan globalisasi, maka pembangunan manusia Indonesia secara utuh (mental-spiritual dan fisik material) haruslah mendapat dukungan dari manusia-manusia Indonesia yang notabene adalah manusia yang beragama. Tanpa dukungan dari berbagai kalangan umat beragama, maka tentu saja pembangunan di Indonesia tidak akan berjalan secara maksimal. Dukungan konkret umat beragama di Indonesia dalam proses pembangunan adalah dengan cara – paling tidak – menciptakan kerukunan umat beragama yang harmonis dalam arti 49
Ibid., h. 20.
52 yang sesungguhnya.
Artinya, penciptaan kerukunan umat
beragama atau hubungan umat antar agama yang baik bukan hanya menjadi tugas dan tanggungjawab kalangan akademisi dan cendekiawan agama yang sering melaksanakan seminar dan dialog, akan tetapi semua lapisan masyarakat agama harus terlibat dan atau melibatkan diri secara aktif, positif dan kreatif dalam usaha menciptakan harmonisasi hubungan umat antar agama. Semua ini adalah dalam rangka upaya pembangunan bangsa Indonesia yang sedang dan akan dilakukan dapat berjalan dengan baik. Karena tentu saja, sebagai bangsa yang bermartabat, Indonesia tidak mau selalu ketinggalan dari negara lain, sebab kadangkala akibat ketertinggalan dan keterbelakangan apalagi ketergantungan yang dimiliki bangsa ini dengan negara lain mengakibatkan negara lain bertindak semau-mau terhadap bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya hutang bangsa Indonesia, akibat semua ini, bangsa lain tidak segan-segan untuk melakukan intervensi terhadap kebijakan politik kita. Dengan demikian, jika negara ini tidak mau di pecundangi oleh
negara
lain,
sebaiknya
kita
melepaskan
diri
dari
ketergantungan terhadap negara lain, yang hal itu dapat dilakukan apabila bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dan keterpurukan
dengan
jalan
pembangunan
disegala
bidang.
53 Pembangunan ini – lagi-lagi diungkapkan – memerlukan dukungan dari komunitas umat beragama.
Tanpa dukungan dari umat
beragama dalam arti menciptakan hubungan umat beragama yang baik dan toleran, maka tentu saja mustahil bangsa ini dapat menata ulang segala macam bentuk ketertinggalan. Jadi, hubungan umat antar beragama yang harmonis tentu saja memiliki peran bagi pembangunan dan keutuhan bangsa.
54
BAB III METODE PENELITIAN
Setiap kegiatan ilmiah, agar lebih terarah dan rasional diperlukan suatu metode yang sesuai dengan objek yang diteliti, karena metode sendiri berfungsi sebagai cara mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.
Disamping itu,
metode juga merupakan cara bertindak dalam upaya agar kegiatan penelitian dapat terlaksana secara rasioanl dan terarah supaya mencapai hasil yang maksimal. Menurut Sturisno Hadi, metodologi merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, karena benar salahnya suatu kesimpulan yang diambil sangat ditentukan oleh metode penelitian yang dipakai.
Kesalahan dalam menentukan merode akan
mengakibatkan kesalahan dalam mengambil data serta di dalam mengambil keputusan, sebaliknya semakin tepat metode yang digunakan,
diharapkan
semakin
baik
pula
hasil
yang
diperolehnya.50 A. Jenis dan Sifat Penelitian 1. Jenis Penelitian 50
Sutrisno Hadi, Metode Riset (Yogyakarta :UGM Press, 1996), h. 23.
55
56 Dilihat dari jenis penelitian, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang mengangkat data dan permasalahan yang ada di dalam masyarakat. 51
Penelitian lapangan juga bisa diartikan sebagai meneliti fakta-
fakta yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara di lapangan, sedangkan literatur yang berkaitan dengan penelitian ini hanya merupakan pelengkap dari data yang sudah ada.52 Data yang ada di masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aktivitas atau hubungan yang terjadi pada masyarakat desa Kiluan yang terdiri dari masyarakat Lampung, Jawa dan Bali, sedangkan agama yang dianut adalah Islam, Hindu, dan Katolik. 2. Sifat Penelitian Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif, yaitu berusaha menjelaskan berbagai masalah secara cermat dan detail dengan menghubungkan berbagai data, sehingga diperoleh suatu gambaran
yang
jelas
dari
fokus
penelitian.
Menurut
Koentjaraningrat, penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secermat mungkin
51
Cholid Abu Ahmadi, Metode Penelitian (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), hlm. 41. 52 Ibid., h. 46.
57 mengenai
individu,
gejala,
atau
kelompok
tertentu
dan
mengungkapkan apa adanya.53 Sedangkan menurut
Eva Rufaida
bahwa
penelitian
deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu,
keadaan,
gejala
atau
kelompok
tertentu
untuk
menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat.54 Dengan kata lain, penelitian ini akan menggambarkan dan mengemukakan kenyataan sebenarnya berdasarkan data yang diperoleh secara kontekstual. Peggunaan metode ini dimaksudkan untuk membuat suatu gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai kerjasama penganut agama Islam dan Hindu pada masyarakat Desa Kiluan Kecamatan Kelumbayan Kabupaten Tanggamus. B. Sumber Data Sumber data adalah subjek darimana data dapat diperoleh. Adapun sumber data memiliki dua jenis yaitu sumber data yang bersifat primer dan sekunder. 1. Sumber Data Primer
53
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 30. 54 Eva Rufaida, Model Penelitian Agama dan Dinamika Sosial (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), h. 35.
58 Menurut Lofland yang dikutip oleh Moloeng, sumber data primer adalah kata-kata atau tindakan orang yang diamati atau diwawancarai yang dicatat melalui catatan tertulis atau rekaman.55 Oleh karena itu, sumber data primer adalah yang berupa penggalian secara mendalam melalui wawancara langsung terhadap para responden atau informan masyarakat desa Kiluan, para tokoh agama dan tokoh masyarakat, serta pihak pemerintahan Desa Kiluan. Penggalian data dalam hal ini menggunakan mekanisme snow ball, dengan cara menghubungi informan yang diharapkan dapat memberikan, melengkapi dan memperkaya sumber data primer dalam penelitian ini, artinya tidak tertutup kemungkinan para informan akan bertambah sesuai dengan kebutuhan penggalian data yang diperlukan. 2. Sumber data Sekunder Sedangkan sumber data sekunder adalah pelacakan berbagai informasi maupun teori-teori tentang hubungan antar dan kerjasama agama secara umum yang terkait dengan tema besar penelitian baik yang berasal dari buku literatur, hasil penelitian, jurnal ilmiah, surat kabar, maupun internet. Dengan demikian, sumber data dalam penelitian ini berasal dari hasil wawancara
55
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010), h. 157.
59 terhadap informan ataupun responden juga berasal dari hasil bacaan terhadap literatur dan dokumen lainnya. C. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Observasi yaitu cara pengumpulan data dengan jalan melakukan pengamatan secara langsung dan pencatatan dengan sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai observer dan mengamati tentang kerjasama yang pernah dan dilakukan oleh masyarakat desa Kiluan yang terdiri dari masyarakat penganut agama Islam dan Hindu. Tekhnik
ini
digunakan
karena
pengamatan
selalu
mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku
tak
sadar,
kebiasaan
dan
sebagainya;
pengamatan memungkinkan pengamat untuk melihat dunia sebagaimana dilihat oleh subjek penelitian, hidup pada saat itu, menangkap arti fenomena dari segi subjek, menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan dan anutan para subjek pada keadaan waktu; pengamatan juga memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek sehingga memungkinkan pula peneliti menjadi sumber data; selain itu pengamatan memungkinkan
pembentukan
pengetahuan
yang
diketahui
bersama, baik dari pihak peneliti maupun dari pihak objek
60 penelitian.56
Adapun yang dimaksud dengan observasi disini
adalah peneliti melakukan pengamatan secara langsung terhadap praktik kerjasama dalam berbagai macam bentuknya. b. Wawancara Wawancara merupakan metode penggalian data yang paling banyak dilakukan, baik untuk tujuan praktis maupun ilmiah, terutama penelitian yang bersifat kualitatif. Maksud mengadakan wawancara secara umum adalah untuk menggali struktur kognitif dan dunia makna dari perilaku subjek yang diteliti.
Menurut
Dadang Kahmad, yang dimaksud dengan wawancara ialah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya (pewawancara) dengan
si
penjawab
(responden
atau
informan)
dengan
menggunakan alat yang dinamakan pedoman wawancara.57 Sedangkan menurut Koentjaraningrat wawancara yaitu cara pengumpulan data dengan tanya jawab, dikerjakan dengan sistematis berdasarkan pada tujuan penelitian.58 Dalam penelitian ini digunakan wawancara bebas terpimpin, yaitu mengadakan wawancara secara bebas, namun tidak terlepas dari masalah yang diteliti. Metode ini digunakan karena objek penelitian menyangkut 56
Moleong, Metodologi....., h. 175. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama; Perspektif Perbandingan Agama (Bandung : Pustaka Setia, 2000), h. 89. 58 Koentjaraningrat, Metode Penelitian......, h. 174. 57
Ilmu
61 masyarakat umum, oleh karena itu pendapat mereka harus dilibatkan dan dijadikan sumber informasi utama. Selain itu, untuk melengkapi data yang diperoleh dari wawancara, peneliti akan melakukan konfirmasi dengan informan59.
Adapun yang akan
dijadikan informan adalah tokoh agama, pihak pemerintahan Desa, tokoh masyarakat serta tokoh adat masyarakat desa Kiluan Kecamatan Kelumbayan Kabupaten Tanggamus. Jika informasi yang diperoleh dari hasil wawancara, peneliti anggap belum lengkap atau masih memerlukan tambahan, maka peneliti menghubungi kembali responden atau informan untuk melakukan wawancara ulang. Terdapat tiga macam wawancara, yaitu 1) wawancara terstruktur, 2) wawancara semiterstruktur, 3) wawancara tidak terstruktur.60 Adapun yang peneliti gunakan dalam maksud ini adalah wawancara semiterstruktur; karena jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori indepth interview, di mana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur.
Tujuan wawancara jenis adalah untuk menemukan
permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak 59
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Lihat Kahmad, Metode Penelitian ....., h. 89. 60 Lihat Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan KuantitatifKualitatif, dan R&D (Bandung : Alfabeta, 2009), h. 319-320.
62 wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya.61 Agar informasi dapat diperoleh secara utuh dan tidak ada yang tertinggal, penulis melakukan pencatatan secara cermat serta menggunakan alat perekam suara. Sesuai dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini, maka wawancara akan dikonsentrasikan pada kisaran pola paradigma hubungan kerjasama penganut agama Islam dan Hindu di desa Kiluan. Selain itu akan dilacak juga tentang faktor apa sesungguhnya yang menjadi pendukung terjadinya kerjasama antar pemeluk agama dan etnis yang berbeda di desa Kiluan. c. Sumber Tertulis (Dokumentasi) Sumber tertulis (Dokumentasi) bisa berupa buku, jurnal ilmiah, hasil penelitian seperti Tesis dan Disertasi, surat kabar, juga foto, yang akan dijadikan sebagai tujuan mencari dan menggali informasi.
Sumber tertulis lainnya adalah dokumen
pribadi.
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah
berlalu.
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-
karya momumental dari seseorang.
Dokumen yang berbentuk
tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan. Sedangkan dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain61
Ibid.
63 lain. Kemudian dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, dan lain-lain. Studi dokumen ini menurut Dadang Kahmad, merupakan pelengkap dari metode wawancara dalam penelitian kualitatif.62 Selain itu, ada juga dokumen yang bersifat resmi, seperti dokumen-dokumen pada instansi pemerintah, sekolah, lembaga dan organisasi keagamaan dan lain-lain. Dokumen jenis ini bisa berupa keputusan hasil pertemuan atau rapat, laporan kemajuan tahunan atau juga profil dari suatu wilayah. Dengan demikian, dokumentasi dalam teknik pengumpulan data pada penelitian ini ialah, melakukan penelaahan secara kritis dengan cara membaca sebanyak-banyaknya buku literatur, jurnal, hasil penelitian, surat kabar juga penelaahan terhadap dokumentasi yang berupa arsip dari pelaksanaan kerjasama masyarakat desa Kiluan. Dengan cara ini, diharapkan peneliti mendapatkan wawasan yang lebih komprehensif sehingga mampu melakukan analisis secara kritis dan analisis komparatif terhadap berbagai pendapat yang di temukan dalam berbagai dokumentasi tersebut.
62
Kahmad, Metode Penelitian ....., h. 329.
64 D. Analisis Data Analisis data disebut juga pengolahan data dan penafsiran data.
Analisis data adalah rangkaian kegiatan penelahaan,
pengelompokan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena yang ditemukan dapat disarikan. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain seperti literatur dan dokumentasi, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis
data
dilakukan
dengan
mengorganisasikan
data,
menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain. Langkah pertama yang dilakukan dalam analis data adalah melakukan reduksi data baik yang diperoleh hasil wawancara maupun hasil telaah kritis terhadap literatur-literatur ataupun dokumen-dokumen. Setelah data dirasa cukup, lalu data tersebut kemudian dipilah-pilah sesuai dengan pokok tema bahasan. Tujuan reduksi data ini adalah agar dapat memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil wawancara dan penelaahan literatur. Selain itu, reduksi data dapat membantu dalam memberikan kode
65 bagi aspek-aspek yang dibutuhkan.63 data,
berarti
merangkum,
memilih
Dalam melakukan reduksi hal-hal
yang
pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan memisahkan data yang dianggap tidak berhubungan dengan kepentingan fokus penelitian. Kemudian langkah selanjutnya adalah melakukan display data, hal ini dilakukan supaya data yang banyak dan sudah ada dapat dipetakan secara jelas.64 Dalam penelitian kualitatif, display data biasanya dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya.
Dengan
mendisplay data, maka peneliti akan mudah memahami apa yang terjadi.
Tahapan selanjutnya adalah pengkajian secara kritis
kemudian dianalisis secara mendalam dengan menggunakan analisis kualitatif.65 Setelah dianalisis, tahapan selanjutnya adalah mensintesiskan hasil dari kajian analisis-kritis tersebut untuk dijadikan fakta dalam penyusunan penelitian.
Kemudian
melakukan interpretasi terhadap fakta yang sudah diperoleh secara
63
Ibid., h. 159. Ibid. 65 Lihat Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial-Agama (Bandung : Remaja Rosda Karya. 2001), hlm. 9. 64
66 jujur, objektif, serta mengutamakan realitas yang terkait dengan penelitian.66 Kegiatan berikutnya adalah menarik kesimpulan, dimana data yang sudah dipolakan, difokuskan dan disusun secara sistematis sehingga makna yang terkandung dari sebuah analisis dalam penelitian dapat ditemukan.67 Kesimpulan dalam penelitian akan menggunakan metode induktif.68 E. Pemeriksaan Keabsahan Data Menurut (trusthworthiness)
Moleong,
untuk
menetapkan
data
diperlukan
teknik
keabsahan pemeriksaan.
Pelaksanaan pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu.
Ada empat kriteria yang dapat digunakan untuk
melakukan pemeriksaan keabsahan data kualitatif, yaitu : 1. Derajat kepercayaan (credibility); merupakan konsep pengganti dari konsep validitas internal dalam penelitian kualitatif. Pentingnya uji kepercayaan, karena karakteristik informannya yang beragam, serta substansi informasinya yang relatif abstrak. Kredibilitas ini berfungsi untuk melaksanakan penelaahan data secara akurat agar tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai. 66
Beberapa tekhnik yang akan digunakan untuk
Lihat Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta : Bentang. 1997), hlm. 98. 67 Kahmad, Metode Penelitian…., hlm. 159. 68 Suprayogo, Metode Penelitian Sosial....., hlm. 125.
67 menentukan kredibilitas dalam penelitian ini antara lain; wawancara berulang kali, ketekunan, membicarakan (diskusi) dengan orang lain/ sejawat, menganalisis kasus negatif, menggunakan bahan referensi, pengecekan anggota (member check), uraian rinci, dan auditing. 2. Keteralihan (transferability); merupakan validitas eksternal untuk memperoleh generalisasi.
Generalisasi dalam hal ini
tidak bisa dipastikan, karena bergantung pada peneliti apakah akan diaplikasikan lagi atau tidak. Dan sudah pasti tidak akan terjadi dalam situasi yang sama. 3. Kebergantungan (depentability); yang menjadi alat ukur dalam penelitian ini bukanlah benda, melainkan manusia atau peneliti sendiri, sehingga peneliti akan mengumpul-kan data sebanyak mungkin selama penelitian. Konsep kebergantungan lebih luas daripada
reliabilitas.
Hal
tersebut
disebabkan
oleh
peninjauannya dari segi bahwa konsep itu memperhitungkan segala-galanya, yaitu yang ada pada reliabilitas itu sendiri ditambah faktor-faktor lainnya yang tersangkut. 4. Kepastian (confirmatibility). Selama proses penelitian, peneliti mengalami pengalaman yang bersifat subyektif.
Tetapi jika
penglaman tersebut disepakati oleh beberapa orang, maka pengalaman peneliti dapat dianggap menjadi objektif.
Jadi,
68 persoalan objektivitas atau subjektivitas dalam penelitian kualitatif ini sangat ditentukan oleh persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan penemuan seseorang. Selain itu, suatu dianggap objektif, berarti dapat dipercaya, faktual, dan dapat dipercayakan. Sedangkan subjektif berarti tidak dapat dipercaya atau melenceng. Pengertian inilah yang dijadikan
tumpuan
pengalihan
pengertian
objektivitas-
subjektivitas menjadi kepastian (comfirmability). Segala tahapan-tahapan pemeriksaan data dalam penelitian ini, akan dilakukan setepat mungkin, sehingga menghasilan penelitian yang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan.
BAB IV ANALISIS PARADIGMA HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI DESA KILUAN A. Gambaran Umum Desa Kiluan Desa Kiluan merupakan salah satu desa yang terletak dibawah wilayah administrasi Kecamatan Kelumbayan Kabupaten Tanggamus. Sebelum menjadi sebuah desa definitif, Kiluan adalah sebuah Dusun dari desa Negeri Kelumbayan.
Desa Kiluan
memisahkan diri dari desa Negeri Kelumbayan yakni pada tahun 11 April 2007. Jika dilihat dari sejarah perkembangannya, Desa Kiluan pertama kali dibuka yakni pada tahun 1977 oleh masyarakat pendatang dari daerah Bangka Belitung Sumatera Selatan yang pada awalnya kurang lebih dari 10 Kepala Keluarga yang dipimpin oleh Bapak Wayan Mudana. Mereka berasal dari suku Bali dan Bugis.
Pada saat itu, mereka pertama kali menempati dusun
Bandung Jaya, lalu kemudian pada tahun 80-an disusul masyarakat lainnya dari desa Penyandingan. Sedangkan nama Kiluan diambil dari nama sebuah pulau yang berada di daerah tersebut yaitu pulau Kiluan.69
69
Pemerintah Daerah Kabupaten Tanggamus, Profil Desa Kiluan, (Tanggamus, 2011), h. 1.
69
70 Awal perama kali Desa Kiluan dipimpin oleh Pjs. Pekon Kiluan yakni Bapak Kadek Sukrasena. Mereka memisahkan diri dari pekon Negeri Kelumbayan mengingat rentang jarak yang cukup jauh dari desa induknya sehingga menyulitkan dari segi koordinasi juga aspek pembangunan lainnya, dimana akibat jauhnya lokasi rentang kendali dari pusat pemerintahan desa induk, maka dari itu mereka membentuk kepanitiaan, dan setelah kepanitiaan terbentuk lalu ketua panitia yaitu Kadek Sukrasena bersama masyarakat lainnya menghadap kepada Kepala Pekon Negeri Kelumbayan untuk menyampaikan keinginan mereka. Tidak disangka, setelah mendengar aspirasi masyarakat Kiluan, ternyata kepala Pekon Negeri Kelumbayan merespon secara positif bahkan mendukung dibentuknya desa Kiluan. Mereka (masyarakat Kiluan dan Kepala Pekon Negeri Kelumbayan) bermufakat lalu kemudian menghadap Camat Kelumbayan yang ketika itu dijabat oleh Ahyani. Setelah mereka menyampaikan maksud, tujuan dan keinginannya yakni ingin memisahkan diri dari Pekon Negeri Kelumbayan dengan alasanalasan yang rasional dan dapat diterima, camat Kelumbayan bisa memahami dan menyetujui keinginan masyarakat Kiluan, hingga akhirnya pada tanggal 12 April 2008 Desa Kiluan resmi secara
71 definitif menjadi desa Kiluan. Adapun yang memberi nama Desa Kiluan adalah Bapak Rusli Sholeh dan Bapak Indra Bangsawan.70 Luas wilayah desa Kiluan adalah 400,7 Ha yang terdiri dari wilayah pemukiman, pekarangan, perkebunan, pertanian dan prasarana umum lainnya. Saat ini jumlah Kepala Keluarga Desa Kiluan sebanyak 371 KK yang terdiri dari pemeluk agama Islam sebanyak 324 KK, pemeluk agama Hindu 44 KK dan Katolik 3 KK dengan jumlah jiwa sebanyak 1608 jiwa. Desa Kiluan memiliki enam dusun yakni dusun Bandung Jaya dengan kadusnya yaitu Ujang Syarifudin, dusun Kiluan Balak dengan kadusnya yaitu Nasrudin, dusun Sukamahi dengan kadusnya Johan, dusun Teluk Baru dengan kadusnya Arta Wijaya, dusun Teluk Bekhak dengan kadusnya Sunaryo, dan dusun Rawong dengan kadusnya Kasirun. Penduduk desa Kiluan rata-rata menjadi petani, nelayan dan buruh tani khususnya petani perkebunan dan perladangan. Selain itu ada juga yang menjadi Pegawati Negeri Sipil, TNI, POLRI, montir, pedagang, nelayan, serta peternak.
Sedangkan
penduduk desa Kiluan terdiri dari etnis atau suku Lampung sebanyak 70 %, Jawa 25 %, dan Bali 5 %.
70
Wawancara dengan Bapak Kadek Sukrasena (Kepala Desa Kiluan), tanggal 20 September 2015.
72 Berdasarkan data yang diperoleh, dari luas wilayah desa Kiluan yang tersedia banyak yang digunakan oleh masyarakat untuk perkebunan dan pertanian rakyat.
Sedangkan jika dilihat
dari aspek kepercayaan, masyarakat Kiluan beragama Islam, Hindu serta Katolik.71
Adapun untuk pemeluk agama Katolik hanya
sedikit jumlahnya yakni hanya 3 Kepala Keluarga. Desa Kiluan yang dikenal sebagai salah satu tujuan wisata mewujudkan kehidupan hubungan antar agama dengan cara bergotong royong (kerja bakti) dalam menjaga kebersihan pantai yang melibatkan seluruh masyarakat, saling membantu ketika musim tanam, menjaga kenyamanan serta keamanan lingkungan desa dan salah satu usaha bekerja sama yang dilakukan adalah dibentuknya arisan yang diikuti oleh para ibu. Adakalanya juga ketika ada penduduk yang beragama Islam meninggal dunia, maka penduduk yang beragama Hindu ikut membantu menggalikan kubur dan mengantarkan jenazah.72 Adapun kehidupan keagamaan di desa Kiluan secara umum dapat dikatakan berjalan dengan baik, hal ini ditandai dengan tidak pernah terjadi konflik atau pertikaian apalagi yang mengarah pada dis-integrasi antar komunitas umat beragama. Semua penganut 71
Wawancara dengan Bapak Sulaiman (Juru Tulis Desa Kiluan), tanggal 20 September 2015. 72 Wawancara dengan Wayan Mudana, masyarakat desa Kiluan tanggal 20 September 2015.
73 agama baik Islam, Hindu, dan Kristen disana dapat menjalankan ibadah dengan tenang dan baik, tanpa merasa ada gangguan apalagi intimidasi dari penganut agama lain. Menurut Kaur Pemerintahan Desa Kiluan, bahwa meskipun disini terdiri dari berbagai macam penganut agama, akan tetapi tidak pernah terjadi keributan atau pun konflik yang berasal dari agama.
Masyarakat sudah cukup memiliki toleransi terutama
agama, sehingga masing-masing dapat saling menghargai terhadap penganut agama lain.73 Dengan begitu dapat diungkapkan disini, bahwa susana keagamaan yang rukun dan saling toleransi dan juga suasana interaksi sosial kemasyarakatan telah berjalan dengan baik. Satu hal yang cukup menarik, yakni meskipun Desa Kiluan dilihat dari aspek jumlah pemeluk agama Islam adalah minoritas sedangkan Kepala Desa mereka beragama Hindu, akan tetapi umat Islam tidak merasa menjadi komunitas yang dinomor duakan (inferiority complex).
Sebaliknya bagi penganut agama Hindu,
meskipun Kepala Desa beragama Hindu, tetapi mereka juga tidak merasa menjadi superioritas, bahkan sebaliknya diantara mereka terjadi komunikasi serta silaturahmi yang cukup baik dan dalam suasana yang saling memahami. 73
Disarikan hasil wawancara dengan Marsit (Kaur Pemerintahan), tanggal 13 September 2013.
74 B. Paradigma Hubungan Antar Agama Islam Dan Hindu di Desa Kiluan. Bangsa Indonesia disebut sebagai bangsa yang sangat religius.
Kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia seperti
kekayaan alam, suku, bahasa, budaya dan agama merupakan khazanah bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya, semua itu dapat dikatakan karena usaha para pendahulu dan pendiri Republik ini telah merumuskan Pancasila sebagai Ideologi negara Kesatuan Republik Indonesia. Hubungan antar agama di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari doktrin (ajaran) agama masing-masing dan dari segi historis – sosiologis atau empirik dalam realitas kehidupan masing-masing agama yang ada di Indonesia. Pengaruh hubungan antar agama pada dasarnya dapat dipahami dari doktrin masing-masing agama melalui pesa-pesan suci yang berasal/terdapat dalam kitab suci masing-masing tentang hubungan dengan kelompok-kelompok agama lain, jangan dilihat dari sisi ajaran yang bersifat fundamental akidah, ibadah dan ritual, dimana perbedaan dibidang-bidang tersebut sangat sulit disatukan. Ajaran-ajaran agama yang dapat digali dari kitab suci masing-masing agama dalam menopang hubungan antar agama dapat mengandung aspek-aspek sosial kemasyarakatan seperti
75 pesan-pesan agama yang universal, yang melekat pada semua ajaran agama, seperti kewajiban menolong orang miskin, menegakkan keadilan dan kebenaran, menghormati hak-hak asasi manusia, membela mereka yang tertindas. Pesan-pesan tersebut bersifat universal, diajarkan oleh semua agama seperti yang termaktub dalam kitab-kitab suci agama. Pesan kitab-kitab suci tersebut menjadi pesan universal yang menyangkut seluruh umat manusia, tanpa memandang suku, agama, kewarganegara-an dan sebagainya.74 Hubungan antar agama, merupakan suatu proses interaksi sosial, yaitu interaksi antar seorang dengan orang lain, seorang dengan kelompok atau kelompok orang dengan kelompok lainnya. Interaksi sosial dapat berwujud kerjasama, berwujud persaingan dan juga berwujud konflik sosial. sesungguhnya
bukan
memberi
Hubungan antar agama,
keteladanan
mempraktekkan
kerukunan hidup antar kelompok-kelompok agama dengan sebenar-benarnya.
Perbedaan agama pada aras tertentu tidak
pernah menjadi halangan di dalam persaudaraan, persatuan dan kesatuan, namun sering di berbagai daerah, perbedaan agama
74
Lihat M.R. Siahaan, “Pluralitas Sosial, Hubungan Antar Kelompok Agama dan Upaya Mewujudkan Kerukunan”, dalam Mursyid Ali (ed.), Problema Komunikasi Antar Umat Beragama (Jakarta: Balitbang Kerukunan, 2000), h. 78.
76 dijadikan oleh pihak ketiga sebagai alat untuk memecah persatuan, sebagaimana yang baru-baru ini terjadi di Tolikara Papua. Oleh karena itu, sangat beralasan jika banyak pengamat dan intelektual juga akademisi yang menganggap bahwa sumber konflik (agama) sesungguhnya bukan berasal dari doktrin agama semata, melainkan lebih karena faktor politik dan sosial ekonomi. Kesenjangan ekonomi antara penganut agama yang satu dengan penganut agama yang lain, bisa menjadi sumber kecemburuan dan berkembang menjadi konflik antar umat beragama. Demikian pula dengan perlakuan politik yang dianggap kurang adil berdasarkan agama yang dianut, bisa merambah pada terjadinya konflik antar umat beragama.
Apalagi antar umat beragama kurang intens
mengadakan dialog agama, akan membuka peluang terjadinya sikap curiga mencurigai yang akan mempermudah munculnya konflik antar umat beragama. Lebih lagi karena masalah agama adalah yang sangat peka atau sensitif bagi para pemeluknya. Sedikit saja ada gesekan yang bernuansa agama akan dapat membuat emosi penganutnya naik begitu tinggi, ditambah karena alasan fanatisme membuat tindakan mereka sulit dikontrol.75
75
M. Zainuddin Daulay, “Dialog Pemuka Agama dan Masyarakat Tingkat Lokal Menuju Pemberdayaan Masyarakat Plural”, dalam Muhaimin AG, Damai di Dunia-Damai Untuk Semua: Perspektif Berbagai Agama (Jakarta: Balitbang Kerukunan, 2004), h. 228.
77 Sesungguhnya apabila terjadi konflik antar umat beragama, semua pihak ikut mengalami kerugian. Karena selain korban jiwa dan harta yang begitu besar menimpa masyarakat akibat emosi yang tak terkendali, kejadian seperti itu jika berkepanjangan tentu akan dapat menurunkan citra bangsa Indonesia dalam pergaulan Internasional.
Kesulitan dalam pergaulan Internasional bisa
mendatangkan kerugian ekonomi, dan keterpurukan ekonomi yang terus menerus dapat menurunkan kadar nasionalisme masyarakat yang seterusnya akan mengancam integritas kita sebagai bangsa. Kita harus melihat kasus tersebut dengan mata jeli, hati yang bening dan pikiran yang jernih. Dengan demikian, maka akan sampai pada suatu pemahaman bahwa terjadinya konflik antar umat beragama bukan karena faktor doctrinal.
Karena setiap
doktrin sama sekali tidak mengajarkan untuk mengusik dan mengganggu, apalagi merusak kehidupan dan harta benda umat agama lain. Dilihat dari perspektif hubungan antar agama dan integrasi bangsa yang jauh lebih kedepan, setidaknya kasus Ambon, Tolikara
dan
kasus
didaerah
lain
mengandung
hikmah
tersembunyi. Kasus tersebut setidaknya dapat menyadarkan umat beragama agar lebih dewasa, lebih toleran dan lebih arif dalam menjalani hidup berdampingan secara damai antar kelompok-
78 kelompok umat beragama. Kita diajar agar lebih mengerti adanya pluralisme agama di tanah air, yang atas dasar pengertian itu umat beragama dapat saling mengakui dan menghormati hak hidup dan karakteristik kelompok-kelompok umat beragama yang berbeda. Umat beragama pun diajar agar lebih memahami adanya kemajemukan di tanah air, dan kemajemukan itu tidak perlu menjadi penghalang bagi seluruh lapisan bangsa Indonesia untuk membina persatuan, kerukunan dan ketahanan nasionalisme kita. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa dalam paradigma hubungan antar agama yang baik sesungguhnya tidak mengenal adanya istilah superior maupun inferior.
Karena kedua peristilahan tersebut dapat menodai
pelaksanaan hubungan antar agama yang baik dan harmonis. Pelaksanaan hubungan antar agama hanya mungkin dilakukan manakala umat beragama itu sendiri dapat saling menghargai, menghormati, saling toleransi serta tidak merasa paling baik apalagi mau menang sendiri. Sebab segala macam sikap tersebut secara spontan bermakna adanya egoisme yang tidak proporsional sehingga berarti yang lain (the others) menjadi salah. Sikap yang disebut terakhir inilah sesungguhnya yang harus di hindari bahkan dibuang jauh-jauh oleh umat beragama karena dapat menghambat komunikasi umat antar agama.
79 Selain itu, interaksi sosial masyarakat di desa Kiluan dapat berwujud dengan apa yang disebut dengan komunikasi antar budaya.
Komunikasi antar budaya yang dimaksudkan disini
adalah komunikasi yang terjadi antar budaya masyarakat yang berbeda agama dan juga etnis. Menurut teori yang dikemukakan oleh Rani Usman, bahwa agar masyarakat dapat beradaptasi dengan lingkungan sangat dibutuhkan pengetahuan tentang budaya dan lingkungan tersebut.76 Pada masyarakat Kiluan, telah terjadi suatu komunikasi antar budaya yang berasal dari agama dan etnis yang berbeda secara baik. Hal ini terjadi karena masing-masing umat dan etnis disana, secara
diam-diam
mempelajari
kebiasaan-kebiasaan
yang
dilakukan umat dan etnis lain, hingga pada akhirnya dalam batasbatas tertentu (bukan masalah aqidah) mereka dapat menyesuaikan dengan kebiasaan penganut lain tersebut.
Misalnya mereka
memahami waktu-waktu tertentu yang digunakan oleh umat untuk beribadah (kebaktian), sehingga umat yang lain tidak akan berkunjung ke rumah atau mengadakan rapat, pertemuan, termasuk gotong royong pada waktu dimana umat akan atau sedang melaksanakan ibadah.
Begitu juga dengan adat istiadat
perkawinan, dimana etnis lain selain etnis Lampung telah pula 76
A. Rani Usman, Etnis Cina Perantauan Aceh (Jakarta: Yayasan Obor, 2009), h. 35.
80 memahami dengan baik tentang tahapan-tahapan maupun tata cara dan pelaksanaan upacara perkawinan, sehingga secara perlahan pun mereka (etnis lain) telah dapat beradaptasi. Selain itu di Desa Kiluan yang memiliki etnis yang berbeda yakni etnis Lampung, Jawa serta Bali, yang dalam praktek kesehariannya
dapat
saling
memahami
karena
disamping
menggunakan bahasa persatuan, tetapi juga masyarakat pendatang (Jawa dan Bali) sudah dapat beradaptasi dengan cara menggunakan bahasa daerah Lampung. Atas dasar itu pula maka setidaknya terdapat kedekatan hati antar masyarakat desa Kiluan meskipun mereka berbeda etnis atau suku. Pola hubungan antar agama disini terjadi dengan apa yang disebut dengan interaksi simbolik. Teori ini merupakan sisi lain dari pandangan yang melihat individu sebagai produk yang ditentukan oleh masyarakat. Teori ini berkembang pertamakali di Universitas Chicago dan dikenal sebagai aliran Chicago.
Dua
tokoh besarnya adalah John Dewey dan Charles Harton Cooley.77 Menurut Blumer, istilah interaksi simbolik menunjukkan sifat khas dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya, bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan 77
Lihat, Nasrullah Nazir, Teori-Teori Sosiologi (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), h. 31
81 seseorang terhadap orang lain. Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain, tetapi didasarkan atas “makna” yang diberikan terhadap tindakan orang lain itu. Interaksi individu,
diatur oleh penggunaan
simbol-simbol,
interpretasi atau dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing.78 Dalam teori interaksi simbolik, manusia bertindak atas dasar makna yang dimiliki oleh subjek atau benda. Disamping itu makna atau simbol-simbol tersebut merupakan proses dari hasil interaksi yang terjadi pada manusia yang ditafsirkan oleh manusia yang melibatkan individu dalam masyarakat sendiri. George Ritzer, meringkaskan teori interaksi simbolik ke dalam prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berpikir. 2. Kemampuan berpikir itu dibentuk oleh interaksi sosial. 3. Dalam interaksi sosial orang belajar makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia yang berpikir. 4. Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi yang khas manusia. 5. Orang mempu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi.
78
Ibid., h. 32.
82 6. Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena antara lain, kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya. 7. Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin menjalin ini membentuk kelompok dan masyarakat.79 Pada masyarakat Kiluan, pola interaksi dengan cara interaksi simbolik dapat diungkapkan dengan jalan dimana mereka dalam berinteraksi saling memahami dan berusaha untuk menerjemahkan atau menjabarkan apa yang mereka rasakan sewaktu berinteraksi. Perilaku seperti tersebut dapat berupa ketika mereka berinteraksi, merasakan atau melihat sebuah idiom-idiom atau petatah-petitih baik itu berasal dari nenek moyang mereka atau dari kalimat-kalimat bijak, atau juga berasal dari ungkapanungkapan yang bernuansa keagamaan. Mereka berusaha untuk memahami hal-hal tersebut dengan sebaik-baiknya. Di
Desa
Kiluan,
baik
masyarakat
apalagi
aparat
pemerintahan desa telah begitu menyadari bahwa meskipun mereka hidup dalam suasana perbedaan baik itu suku juga agama, akan tetapi nuansa kebersamaan dan kegotong-royongan masih begitu melekat dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut 79
sebagaimana
dikemukakan
Lihat Usman, Etnis Cina….., h. 11-12.
oleh
Kepala
Urusan
83 Kesejahteraan Rakyat yakni Nengah Subrata bahwa di Desa Kiluan banyak sekali bentuk-bentuk kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat meskipun berlatarbelakang agama yang berbeda, seperti gotong royong, arisan dan jimpitan.80 Selain itu, di Desa Kiluan juga telah terbangun suasana saling menghargai dan menghormati akan praktek yang dilakukan oleh kelompok lain. Adapun yang dimaksud disini yaitu dimana ketika orang Islam merayakan ibadah maupun hari raya besar keagamaan, maka orang Hindu pun menghormati dengan cara memberikan peluang bagi orang Islam untuk beribadah dengan leluasa. Begitu juga sebaliknya, ketika orang Hindu beribadah menurut ajaran agama mereka, orang Islam pula menghormati saudaranya tersebut untuk beribadah. Bagi mereka, adanya perbedaan keyakinan atau agama, bukanlah menjadi halangan maupun rintangan untuk saling bekerjasama
dan
bergotong
royong
dalam
bidang
sosial
kemasyarakatan tanpa melihat adanya perbedaan keyakinan. Jika diperhatikan, dapat dikatakan bahwa pada masyarakat Desa Kiluan telah terbangun paradigma hubungan antar agama yang baik. Hal itu semua tidak terlepas dari peran tokoh agama dan aparat pemerintahan desa Kiluan yang selalu menanamkan 80
Wawancara dengan Bapak Nengah Subrata (Kaur Kesra Desa Kiluan), tanggal 21 September 2015.
84 kesadaran kepada masyarakat agar hendaknya dapat menghormati akan adanya perbedaan agama. Sebagaimana yang dikemukakan oleh salah seorang pemuda bahwa para tokoh agama (Islam dan Hindu) juga aparat pemerintahan desa selalu memberikan nasehat ataupun wejangan kepada masyarakat dalam berbagai kesempatan seperti di rumah ibadah masing-masing, pada pelaksaan pesta perkawinan, maupun pada moment-moment musyawarah desa selalu diawali dengan himbauan oleh tokoh masyarakat agar kiranya tidak mudah terpancing
dengan isu-isu yang tidak
bertanggung jawab; (seperti pada kasus konflik yang terjadi di Kalianda antara masyarakat pribumi Lampung dengan masyarakat Hindu). Justru sebaliknya, tokoh agama dan tokoh pemerintahan desa mengajak untuk selalu menggiatkan kegiatan-kegiatan yang sifatnya kebersamaan seperti artisan, jimpitan dan gotong royong desa.81 Berbagai hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap informan desa Kiluan dapat dipahami bahwa masyarakat dan tokoh agama dan pihak pemerintahan desa telah sama-sama menyadari bahwa hidup beragama tidak hanya dijalankan dalam ibadah yang sifatnya ritual saja, tetapi harus diamalkan, dalam hidup dan kehidupan masyarakat baik selaku unsur individu maupun unsur 81
Wawancara dengan Ridwan (Pemuda Desa Kiluan), tanggal 21 September 2015.
85 sosial yang taat dan saleh berbudi luhur. Pengamalan tersebut tercermin baik secara pribadi maupun kelompok atau golongan ditengah-tengah masyarakat. Selain itu dapat pula diuraikan disini bahwa nilai-nilai agama yang bersifat doktrin tidak akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat baik secara pribadi maupun ditengah masyarakat, apabila nilai tersebut tidak diejawantahkan. Maka dari itu nilai doktrin agama tersebut harus diaktualisasikan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat terutama nilai-nilai yang terkait dengan aspek sosial kemasyarakatan. C. Faktor Pendukung Terjadinya Kerjasama Antar Pemeluk Agama dan Etnis Yang Berbeda di Desa Kiluan. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa berhubungan dengan manusia lainnya. Karena sifat manusia yang demikian, maka dalam kehidupan masyarakat terdapat pola hubungan yang bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan kehidupannya. Kebutuhan tersebut bisa berupa material ataupun non material. Menurut Said Agil Husin Al Munawar, bahwa dalam menciptakan hidup bersama secara harmonis dikalangan umat yang berbeda agama selalu terjadi dua bentuk sikap.
86 Pertama, saling menghargai dan menghormati itu berjalan secara ‘tidak sadar’. Artinya seseorang menghormati orang yang beragama lain itu hanya karena kepentingan politik.
Misalnya
karena sama-sama mendiami dunia yang satu manusia tidak pantas jika saling membunuh, saling menindas, saling mengusir atau karena sama-sama satu bangsa dan negara, maka
sepantasnya
umat beragama saling rukun demi cita-cita bersama. Kedua, penghormatan terhadap terhadap orang yang menganut agama lain itu muncul bukan hanya karena kepentingan politik tetapi lebih dari itu, adanya kesadaran bahwa agama-agama yang dianut manusia di bumi ini memiliki titik temu yang sangat mendasar.82 Bentuk sikap pertama di atas seringkali dibina secara dialog dan mengusahakan saling tenggang rasa serta ‘menbukan’ masalah sara. Akan tetapi perlu disadari bahwa sikap seperti ini sering kali lebih dangkal dan rapuh, mudah terpancing jika terusik emosi keagamaannya, bahkan seringkali mengorbankan cita-cita bersama hanya karena ketersinggungan emosi keagamaan. Pada sisi lain sikap semacam ini lebih memungkinkan untuk tidak jujur dalam kesepakatan keragaman. Misalnya umat yang lebih kuat alam bidang politik dan ekonomi melakukan penindasan terhadap 82
Said Agil Husin Al-Munawar, Fiqh Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 59.
87 yang lebih lemah meskipun
dengan kedok kemanusiaan,
perdamaian dunia, dan macam-macam. Sedangkan bentuk sikap kedua dilatarbelakangi oleh kesadaran akan adanya titik temu yang mendasar di antara agamaagama dikembangkan melalui penggalian titik temu tersebut dengan mempelajari secara mendalam, agama sendiri dan mengenali agama lain secara objektif. Sikap seperti ini biasanya selalu memperlihatkan
kejujuran dan
tidak
mengorbankan
kerukunan hanya karena riak-riak kecil yang mengganggu hubungan antar agama. Agaknya sikap kedua ini lebih prosfektif bagi masa depan umat manusia, sebab menemukan aturan yang berasal dari ajaran agama itu lebih bisa meresap dan menyejukkan. Teori tersebut jika dikaitkan dengan kondisi real yang ada dilapangan, maka dapat kemukakan bahwa pelaksanaan hubungan antar agama di Desa Kiluan mengambil bentuk yang pertama. Hal itu semua dikarenakan rata-rata penduduk yang berprofesi sebagai petani juga nelayan, dan memiliki pendidikan yang belum begitu maksimal sehingga mereka belum sampai pada pemahaman kedua dalam teori tersebut. Meskipun begitu, menurut peneliti, segala macam praktek hubungan antar yang telah terbangun hingga saat ini patut dihargai, lalu kemudian selalu diadakan pembinaan untuk menambah kesadaran sehingga semakin kokoh lalu timbul
88 kesadaran akibat terdapat doktrin agama yang mengajarkan untuk hidup secara rukun dan damai. Selain dari itu, agar umat beragama disana tidak mudah rapuh dalam membangun harmonisasi kehidupan beragama. Di Desa Kiluan yang terdapat kelompok agama Islam, Kristen dan Hindu, dimana ketiganya tidak dapat terlepas dari adanya perhubungan sosial.
Hubungan sosial tersebut terjadi
karena terdapat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya interaksi sosial atau hubungan antar agama. Terjadinya hubungan antar umat beragama di desa Kiluan karena adanya kontak dan komunikasi antar pemeluk agama Islam, Kristen, dan Hindu. Kontak tersebut dapat terjadi diantara orang perorang atau perorang dengan kelompok atau antar kelompok dengan kelompok lain dalam masyarakat. Selain itu terjadinya komunikasi yang positif sehingga menimbulkan interaksi yang bermanfaat. Secara teoritis menurut A. Giddens yang dikutip oleh Haryatmoko bahwa terdapat tiga bentuk interaksi sosial yang dominan di dalam masyarakat yaitu komunikasi, kekuasaan dan moralitas. Komunikasi makna di dalam interaksi ditentukan oleh kerangka penafsiran. Maka pemaknaan akan apa yang dilakukan dan dikatakan tidak bisa lepas dari kerangka penafsiran tersebut.
89 Kerangka penafsiran ini tidak lepas dari tatanan pengetahuan kognitif yang menjadi struktur pemaknaan suatu komunitas. Demikian pula sebaliknya, struktur pemaknaan suatu komunitas membentuk tatanan pengetahuan kognitif. Sedangkan hubungan kekuasaan sangat ditentukan oleh fasilitas yang dimiliki. Akumulasi kepemilikan fasilitas ini semakin meningkatkan kemampuan di dalam mempengaruhi perilaku pihak-pihak lain atau kemampuan dominasinya.
Akhirnya, semua tindakan,
termasuk kekuasaan selalu membutuhkan dasar pembenaran. Kerangka ini masuk dalam interaksi moralitas. Dasar pembenaran tindakan atau kekuasaan itu dapat dari norma (hukum, tradisi, agama, aturan, kebiasaan) atau tatanan yang sah. Ketiga interaksi (komunikasi, kekuasaan, dan moralitas) merupakan kesatuan integral, sedangkan pemisahan itu hanya pada tingkat analitis.83 Dalam konteks penelitian ini, sebagaimana yang telah dieksplorasi yang bagian terdahulu, bahwa telah munculnya kesadaran untuk menghargai perbedaan keyakinan masing-masing merupakan faktor yang sangat kuat dalam mendukung pelaksanaan hubungan antar agama di desa Kiluan. Menurut peneliti, faktor ini akan sangat berpengaruh terhadap hubungan antar agama walaupun mereka memiliki perbedaan keyakinan. 83
Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat; Diskriminasi (Jakarta: Gramedia, 2010), h. 91-92.
Akar
Kekerasan
dan
90 Sedangkan faktor lainnya yang menjadi pendukungan terjadinya hubungan antar agama yang baik yaitu adanya kebiasaaan dan kesadaran masyarakat untuk memikul beban yang ditanggung oleh anggota atau warga lainnya dengan cara mengadakan gotong royong, arisan atau jimpitan. Adanya budaya gotong royong sebagai warisan dari para leluhur bangsa Indonesia, ikut pula menyumbangkan pelaksanaan hubungan antar agama yang positif di desa Kiluan. Budaya ini sangat terasa masih kental, karena sudah menjadi kebiasaan dan sesuatu yang sangat sering dilakukan dalam berbagai kesempatan. Kegiatan gotong royong dapat dikatakan telah menjadi kesadaran bagi masyarakat Kiluan.
Sebagai contoh, dapat
disebutkan disini, misalnya ketika ada satu keluarga yang membangun rumah atau panen, maka anggota masyarakat yang lain segera turut ambil bagian dengan cara membantu secara sukarela dalam menyelesaikan pekerjaan dimaksud. adanya
tradisi
gotong
royong
tersebut,
pekerjaan
Dengan dapat
diselesaikan dengan cepat, selain itu, yang memiliki pekerjaan (tuan rumah/hajat) dapat menghemat dana karena tidak perlu dibayar/upah, cukup memberi atau menyajikan santapan atau makan serta minum ala kadarnya.
91 Dikatakan dapat menghemat dana, karena pekerjaan tersebut jika di bayar, maka tentu akan menggunakan biaya yang cukup besar, sehingga bagi anggota masyarakat yang tergolong ekonomi kecil, tentu akan terasa berat untuk mengeluarkan biaya tersebut. Disamping budaya gotong royong, masyarakat disini juga memiliki kebiasaan melakukan arisan bahan material (semen, genteng, batu bata dan lain-lain) yang dapat digunakan untuk membangun rumah.
Selain itu di desa Kiluan ada pula yang
disebut dengan jimpitan yaitu suatu kebiasaan dimana ketika salah seorang mendapat musibah, maka warga yang lainnya secara spontan membawa beras dan bahan-bahan lainnya sebagai laukpauk yang besarnya tidak ditentukan atau seikhlasnya sesuai dengan kemampuan warga masing-masing. Pada bentuk arisan maupun jimpitan ini semuanya dilakukan dengan kesadaran yang tinggi tanpa membedakan latar belakang agama dan suku. Apalagi kegiatan untuk sarana umum seperti membersihkan jalan atau Balai Desa, hal tersebut mereka lakukan dengan semangat kebersamaan yang tinggi. Selain itu, yang menjadi pendukung terjadinya hubungan antar umat beragama di desa Kiluan adalah adanya dukungan dari tokoh-tokoh agama dan juga aparat desa baik secara formal
92 ataupun non formal. Secara formal dukungan berupa ucapan lisan setiap kali mereka melakukan rapat atau pertemuan agar suasana rukun dan damai agar terus dipelihara. Adapun dukungan secara non formal dilakukan setiap ada waktu dan kesempatan tokohtokoh agama dan aparat desa selalu memberikan wejangan ataupun nasehat kepada masyarakatnya akan pentingnya kehidupan yang rukun. Sebab bagaimanapun, hidup dalam suasana yang rukun dan damai adalah lebih baik, ketimbang dalam suasana konflik, karena banyak sekali yang dirugikan. Mereka (tokoh agama dan aparat desa) sering memberikan contoh-contoh konflik antar penganut agama yang terjadi di wilayah lain seperti yang terjadi di Ambon, Papua, Kalimantan atau yang terjadi di luar negeri, sebagaimana yang mereka saksikan di Televisi, sebagai suatu yang tidak perlu untuk di contoh karena akan mengakibat kerugian bahkan kesengsaraan. Adapun cara tokoh agama untuk menekankan akan pentingnya kerukunan adalah melalui ceramah atau khutbah Jumat atau pada waktu umat sedang beribadah di tempat ibadah agama. Sedangkan
cara
tokoh
desa
memberikan
dukungan
akan
pentingnya suasana rukun adalah melalui forum-forum formal, seperti ketika ada rapat atau musyawarah di Balai Desa, selalu di sisipkan waktu untuk mengingatkan warganya agar selalu menjaga
93 kerukunan. Selain itu tokoh desa juga mendukung lewat forum non formal seperti tidak melakukan diskriminasi terhadap umat tertentu. Meskipun Kepala Desa Kiluan beragama Hindu, tetapi Kepala Desa tetap bertindak netral dengan cara sebisa mungkin untuk menghadiri pada acara-acara yang dilakukan oleh umat Kristen dan Islam serta melibatkan penganut kedua agama terakhir dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintahan desa. Dengan demikian umat yang lain tidak merasa di nomor duakan atau dianak tirikan. Setidaknya bahwa inilah yang dimaksud oleh Syarifuddin Jurdi bahwa perlunya komunikasi intensif diantara panutan agama ataupun tokoh etnik/adat disemua level kehidupan masyarakat, mereka harus berani berbicara satu sama lain mengenai apa saja yang terjadi dalam setiap komunitas mereka. Sebab hal ini dapat mencairkan kebekuan yang terjadi yang dirasakan mengganjal, serta berusaha untuk menganalisis secara bersama kontekstualitas yang terjadi di masyarakat sehingga dapat mengurangi amarah dendam masyarakat terhadap berbagai bentuk ketidak adilan yang terjadi selama rentang waktu yang cukup lama.
Dialog yang
dibangun merupakan proses emansipasi antarsuku dan agama yang
94 juga mempunyai makna pada proses demokratisasi antar kelompok di masyarakat.84 Selain itu, faktor kesamaan wilayah atau kesatuan wilayah desa merupakan faktor yang cukup menunjang bagi hubungan antar agama masyarakat Kiluan. Hal tersebut dikarenakan mereka merasa hidup dalam sebuah desa dimana mereka tinggal, hidup dan berkeluarga sehingga perlu untuk dijadikan senyaman mungkin, untuk itulah mereka rela bergotong royong dalam rangka kemajuan desa atau wilayah mereka. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah imitasi. Imitasi terjadi bila seseorang atau sekelompok orang meniru tindakan orang lain atau kelompok lain. Misalnya seseorang atau kelompok meniru keadaan orang atau kelompok lain yang secara ekonomi berhasil, kemudian mereka meniru segiat mungkin dengan melakukan interaksi terhadap seseorang yang dianggap berhasil tadi. M. Husni menginformasikan bahwa mereka sering meniru terutama dalam bidang pengolahan pertanian kepada mereka yang dianggap memiliki keahlian dan kreatifitas dalam mengembangkan
84
Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern; Teori, Fakta dan Aksi Sosial, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 27.
95 tanaman pertanian, sehingga hasil panen lebih bayak.85 Secara umum faktor meniru atau imitasi yang terjadi di desa Kiluan adalah imitasi yang positif, bukan sebaliknya imitasi yang bersifat negatif. Selain faktor imitasi, terdapat pula faktor simpati, yaitu suatu sikap dimana ketika seseorang tertimpa musibah atau kemalangan, lalu anggota masyarakat yang lain ikut serta membantu atau turut berbelasungkawa dengan cara mendatangi rumah yang tertimpa musibah dengan cara memberikan bantuan baik berupa tenaga atau materi sebagai wujud dari rasa simpati. Begitu
pula
jika
anggota
masyarakat
lain
yang
tengah
melaksanakan hajatan, maka anggota masyarakat yang lain turut pula membantu pelaksanaan mulai persiapan hingga selesainya hajatan dimaksud.
Sikap semacam ini dalam ilmu sosiologi
disebut dengan faktor simpati dalam sebuah interaksi.86 Sikap yang telah terbangun tersebut, secara kultural dapat dikatakan adanya kesediaan semua pihak (tokoh agama, tokoh masyarakat, serta umat beragama) untuk tidak menggunakan bahasa-bahasa hasutan, cemoohan dan kata-kata lain yang semakna
85
Wawancara dengan M. Husni, Penganut agama Islam, tanggal 21 September 2015. 86 Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 72.
96 dengan hal tersebut supaya terbangun suasana yang rukun dan damai.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Paradigma hubungan antar agama di desa Kiluan adalah paradigma yang bersifat asosiatif, yaitu bentuk hubungan yang mengarah pada kerjasama dalam berbagai bentuk kehidupan sosial kemasyarakatan dan toleransi antar umat beragama yang mereka lakukan secara sadar tanpa adanya tekanan atau pun paksaan dari pihak manapun. 2. Faktor yang menjadi pendukungan terjadinya hubungan antar agama yang baik yaitu adanya kebiasaaan dan kesadaran masyarakat untuk memikul beban yang ditanggung oleh anggota atau warga lainnya dengan cara mengadakan gotong royong, arisan atau jimpitan.
Selain itu, yang menjadi
pendukung terjadinya hubungan antar umat beragama di desa Kiluan adalah adanya dukungan dari tokoh-tokoh agama dan juga aparat desa baik secara formal ataupun non formal. Secara formal dukungan berupa ucapan lisan setiap kali mereka melakukan rapat atau pertemuan agar suasana rukun dan damai agar terus dipelihara. Adapun dukungan secara non formal
97
98 dilakukan setiap ada waktu dan kesempatan tokoh-tokoh agama dan aparat desa selalu memberikan wejangan ataupun nasehat kepada masyarakatnya akan pentingnya kehidupan yang rukun. Sebab bagaimanapun, hidup dalam suasana yang rukun dan damai adalah lebih baik, ketimbang dalam suasana konflik, karena banyak sekali yang dirugikan. B. Saran-Saran 1. Walaupun di desa Kiluan telah terjadi interaksi positif atau hubungan antar agama yang baik, namun hubungan tersebut harus tetap dipelihara dan lebih ditingkatkan kembali. Agar kemungkinan terjadinya konflik karena perbedaan agama dan etnis dapat dihindari sebagai usaha pencegahan (preventif). 2. Dalam pelaksanaan hubungan antar agama, hendaknya semua pihak
menyadari
akan
batasan-batasan;
baik
yang
diperbolehkan maupun yang tidak diperbolehkan dari masingmasing agama. Pada konteks ini, pemuka agama dan aparat desa Kiluan hendaknya memberikan pengarahan yang jelas tentang arti dari hubungan antar agama yang sebenarnya, sehingga tidak terjadi pencampur adukkan aqidah (sinkretisme) sebagai sesuatu yang dilarang dalam agama, agar supaya menjadikan suatu hubungan antar agama lebih bermakna dan berkualitas.
99 3. Kepada Pemerintah Daerah khususnya Kabupaten Tanggamus dapat menjadikan contoh apa yang telah dilakukan oleh masyarakat agama desa Kiluan bagi warga desa-desa lain yang berada
dibawah
bahwasanya
Pemerintahan
perbedaan
Kabupaten
keyakinan
tidak
Tanggamus harus
berarti
terputusnya komunikasi dan interaksi. Sebab segala macam perbedaan seperti agama dan etnis bukanlah menjadi halangan atau pun hambatan bagi masyarakat untuk saling mengasihi. Demikianlah hasil penelitian ini, seraya mengucap syukur Alhamdulillah atas segala karunia dan petunjuk-Nya jualah penelitian ini dapat dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dengan harapan kiranya dapat bermanfaat bagi tim peneliti khususnya dan umumnya bagi berbagai pihak yang berkepentingan.
Sebagai karya manusia yang penuh dengan
kelemahan, kritik dan saran tentunya sangat diharapkan untuk kebaikan dan kesempurnaan penelitian ini dan dimasa yang akan datang.
100
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani, Sosiologi; Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta: Bumi Aksara. 1994. A. Rani Usman, Etnis Cina Perantauan Aceh, Jakarta: Yayasan Obor, 2009. A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia, Yogyakarta: IAIN SUKA Press, 1986. Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralisme: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2001. Budiono HD, Membina Kerukunan Hidup antar Umat Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1993. C.A.O. Van Nieuwenhuijze, “Islam and National Self-Realization in Indonesia”, Nieuwenhuijze , Cross Cultural Studies, The Hageu: Monton and Co. 1973. Cholid Abu Ahmadi, Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 1997. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama: perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: Pustaka Setia, 2000. ---------, Sosiologi Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1997. ---------, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia, Jakarta: Balitbang Kerukunan, 1997. Dian Nur Anna, “Peran Agama dalam Pembentukan Civil Society di Indonesia” dalam Rahmat Fajri dan Khairullah Zikri (ed.), Ontologi Studi Agama, Yogyakarta: Belukar, 2012. 101
102 Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, terj. Abdul Muis Naharong, Jakarta: Rajawali Pers, 1993. Fazlur Rahman, “Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama”, dalam Richard C. Martin (ed.), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Baidhowy, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2001. Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat; Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Gramedia, 2010. Hasbullah Bakry, Suatu Perbandingan Mengenai Penyiaran Kristen dan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1989. Ibnu Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Jilid I, Surabaya: Bina Ilmu, 1993. I Made Titib, “Agama dan Budaya Perdamaian Dalam Masyarakat Hindu” dalam Muhaimin AG (ed.), Damai di Dunia Damai Untuk Semua; Perspektif Agama-Agama, Jakarta: Balitbang Keagamaan, 2004. Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001. Kautsar Azhari Noer, “Passing Over: Memperkaya Pengalaman Keagamaan” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (ed), Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia, 1998. Koentjaraningrat, Metode Gramedia, 1989.
Penelitian
Masyarakat,
Jakarta:
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang. 1997. Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
103 M. Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama”, dalam Th. Sumartana dkk (ed.), Dialog : Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta : Dian/Interfidei, 1994. M. Amin Rais, Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Jakarta: Rajawali Pers, 1986. Muhammad Hasan Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz II, Qum al muqaddas Iran: Jama’at al-Mudarrisin fi Huzati al-Ilmiyah, 1300 H. Mursyid Ali, “Pluralitas Sosial dan Upaya Membina Kerukunan Hidup Beragama” dalam Mursyid Ali (ed.), Problema Komunikasi Antar Umat Beragama, Jakarta: Balitbang, 2000. Musa
Asy’ari, Agama, Kebudayaan dan Pembangunan, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1997.
Mustoha et. al (peny.), Bingkai Teologi Kerukuanan Hidup Umat Beragama di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI, 1997. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996. M. Zainuddin Daulay, “Dialog Pemuka Agama dan Masyarakat Tingkat Lokal Menuju Pemberdayaan Masyarakat Plural”, dalam Muhaimin AG, Damai di Dunia-Damai Untuk Semua: Perspektif Berbagai Agama, Jakarta: Balitbang Kerukunan, 2004. Nasrullah Nazir, Teori-Teori Padjajaran, 2009.
Sosiologi,
Bandung:
Widya
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Keindonesiaan, Jakarta: Paramadina, 1992.
104 ---------, Islam; Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan, 1987. ---------, “Hak-Asasi Manusia, Pluralisme Agama dan Integrasi Nasional : Antara Konsepsi dan Aktualisasi”, dalam Anshari Thayib dkk., (ed.), HAM dan Pluralisme Agama, Surabaya: PKSK, 1997. ---------, “Etika Beragama; dari Perbedaan Menuju Persamaan (Kata Pengantar)”, dalam Nur Achmad (ed.), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman, Jakarta: Kompas, 2001. ---------, “Hubungan Antar Beragama : Antara Ajaran dan Kenyataan”, dalam W.A.L. Stokhof (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), Jakarta : INIS, 1990. ---------, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-kolom di Tabloid Tekad, Jakarta: Paramadina, 1999. Pemerintah Daerah Kabupaten Tanggamus, Profil Desa Kiluan, Tanggamus, 2011. Said Agil Husin Al Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat Press, 2005. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers. 2006. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan KuantitatifKualitatif, dan R&D, Bandung : Alfabeta, 2009. Sutrisno Hadi, Metode Riset, Yogyakarta: UGM Press, 1986. Syahrin Harahap, Islam Dinamis; Menegakkan Nilai-nilai Ajaran al-Qur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana, .
105 Syamsul Arifin, Studi Agama; Perspektif Sosiologi dan Isu-isu Kontemporer, Malang : UMM Press. 2009. Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern; Teori, Fakta dan Aksi Sosial, Jakarta: Kencana, 2014.
Wawancara dengan Kadek Sukrasena (Kepala Desa Kiluan), tanggal 27 Maret 2015. Wawancara dengan Abdul Manaf, Tokoh Masyarakat Islam, tanggal 27 Maret 2015. Wawancara dengan Sarmin (agama Islam), warga desa Kiluan, tanggal 28 Maret 2015 Wawancara dengan Made Sarjio (agama Hindu), warga desa Kiluan, tanggal 28 Maret 2015 Wawancara dengan Kadek Sukrasena (Kepala Desa Kiluan), tanggal 20 September 2015. Wawancara dengan Sulaiman (Juru Tulis Desa Kiluan), tanggal 20 September 2015. Wawancara dengan Marsit (Kaur Pemerintahan), tanggal 13 September 2013. Wawancara dengan Nengah Subrata (Kaur Kesra Desa Kiluan), tanggal 21 September 2015. Wawancara dengan Ridwan (Pemuda Desa Kiluan), tanggal 21 September 2015. Wawancara dengan M. Husni, Penganut agama Islam, tanggal 21 September 2015.
106
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)