Panelpanel Konferensi dan Dialog Nasional dalam rangka Satu Dasawarsa Amandemen UUD 1945 NEGARA HUKUM INDONESIA KE MANA AKAN MELANGKAH? Hotel Bidakara, 910 Oktober 2012 Panel Panel 1
Panel 2
Pengelola Panel Epistema Institute dan President University ELSAM
Panel 3
ILRC
Panel 4
PUSaKO Fakultas Hukum UNAND
Panel 5 Panel 6
PSHK HuMa
Panel 7
ICEL
Panel 8
Fakultas Hukum UNAIR
Panel 9
KRHN/SAJI
Panel 10
BPHN/SAJI
Tema Panel Pancasila dan Arsitektur Negara Hukum Indonesia Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia Pendidikan Tinggi Hukum Yang Berbasis Pada Keadilan Sosial Refleksi Mekanisme Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Legislasi dan legisprudensi Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Adat/Lokal di Indonesia Peran Hukum dalam Mewujudkan Keadilan Lingkungan Negara Hukum, Kebebasan Informasi dan Media Memastikan Peradilan Berpihak pada Keadilan Bagi Si Miskin dan Termarjinalkan Revitalisasi Hukum dan Peradilan Adat Sebagai Solusi Penguatan Akses Terhadap Keadilan
Page | 1
Panel 1 Judul panel
Pancasila dan Arsitektur Negara Hukum Indonesia
Pengelola
Epistema Institute dan President University
Penanggungjawab Yance Arizona Pengantar Ketika para Pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia mempersiapkan pembentukan suatu negara Indonesia Merdeka yang sudah lama dicita‐citakan dan diperjuangkan, mereka telah bersepakat bahwa negara merdeka yang akan didirikan itu tidak akan dibangun dan diselenggarakan berdasarkan pandangan hidup (Weltanschauung) orang Barat, yakni individualisme, yang pada waktu itu sudah mendominasi cara berpikir di seluruh dunia, melainkan akan dibangun dan diselenggarakan berdasarkan suatu pandangan hidup yang sungguh‐sungguh mengekspresikan jatidiri bangsa Indonesia sendiri (Sidharta, 2012). Sudah sejak dalam persidangan BPUPKI, Soekarno mengajukan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa yang tidak berakar pada dunia barat, melainkan digali dari nilai‐nilai yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Pancasila dihadirkan sebagai cara pandang menghadapi berbagai ideologi yang berkembang pada masa itu. Pada persidangan Konstituante, Pancasila masih menjadi topik perdebatan untuk dijadikan sebagai landasan negara, selain oleh kelompok yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Kemudian atas nama menyelamatkan Pancasila, Orde Baru untuk membangun pemerintahan otoriter, melakukan indoktrinasi, mengabaikan hak asasi manusia dan keberagaman kehidupan berbangsa. Oleh sebab itu, Pancasila pada masa pasca Orde Baru kemudian mengalami dilemma, dikritik sekaligus dirindukan. Pada peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2011, Presiden SBY menyampaikan bahwa kita harus menyudahi perdebatan tentang Pancasila sebagai dasar negara, karena hal itu sudah final. Dikatakan pula bahwa yang kita butuhkan sekarang adalah melakukan revitalisasi Pancasila dalam segala aspek kehidupan. Mantan Presiden BJ Habibie menyampaikan perlunya reaktualisasi nilai‐nilai Pancasila. Sedangkan mantan Presiden Megawati Soekarno Putri menghendaki Pancasila bukan saja menjadi bintang penunjuk,
Page | 2
tetapi harus menjadi kenyataan yang membumi. Pada waktu bersamaan mahasiswa di Page | 3 berbagai daerah mahasiswa melakukan unjuk rasa memperingati hari Pancasila. Pancasila dianggap masih relevan, tetapi bagaimana relevansinya dalam diskursus filosofis tentang negara hukum yang berlandaskan pancasila? Bagaimana pandangan pakar hukum Indonesia terhadap konsep negara hukum Indonesia. Apakah negara hukum yang berlandaskan Pancasila memiliki kesamaan dengan konsepsi negara hukum yang dikembangkan di barat (rule of law/rechtsstaat)? Bagaimana implementasi nilai‐nilai Pancasila dalam perwujudan negara hukum Indonesia dan membangun negara hukum Indonesia. Bagaimana pula tantangan untuk mewujudkan Pancasila dalam mewujudkan negara hukum yang berkeadilan sosial dan ekologis. Itulah sekelumit pertanyaan yang hendak dibahas dalam panel ini. Fokus permasalahan 1. Diskursus filosofis dan relevansi negara hukum yang berlandaskan Pancasila 2. Pandangan pakar hukum Indonesia terhadap konsep negara hukum 3. Impelementasi nilai‐nilai Pancasila dalam perwujudan negara hukum di Indonesia 4. Pancasila, negara hukum serta keadilan sosial dan ekologis
Panel 2 Judul panel
Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia
Pengelola
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Penangungjawab Wahyudi Djafar Pengantar Dalam teori‐teori klasik tentang negara hukum, perlindungan hak asasi manusia ditempatkan menjadi salah satu pilar utama dari negara hukum. Secara umum, sebagaimana telah banyak dikemukakan oleh para sarjana, dalam teori negara hukum, dikenal adanya dua macam konsepsi tentang negara hukum, yakni konsep negara hukum dalam arti rechtsstaat, dan negara hukum dalam pengertian sebagai the rule of law. Istilah rechtsstaat dikenal dalam negara‐negara Eropa Kontinental, paham ini dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, dan Fichte. Sedangkan the rule of law, dikembangkan oleh para penganut common law, yang dipelopori oleh A.V. Dicey di Inggris. Namun demikian, pada dasarnya kedua konsepsi tersebut memiliki satu maksud yang serupa, yaitu kehendak untuk melindungi hak asasi manusia, dan penghormatan atas martabat manusia—the dignity of man. Dalam pengertian rechtsstaat, dengan merujuk pada pemikiran yang dikemukakan oleh Julius Stahl, setidaknya terdapat empat pondasi yang harus dimiliki oleh sebuah negara hukum, yaitu: adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia—grondrechten, adanya pembagian kekuasaan—scheiding van machten, pemerintahan yang berdasarkan undang‐ undang—wetmatigheid van bestuur, dan adanya peradilan tata usaha negara— administratieve rechspraak (Ashiddiqie, 2003: 52). Sementara dalam tradisi Anglo Saxon, seperti diungkapkan oleh A.V. Dicey, suatu negara hukum dalam pengertian the rule of law setidaknya harus memiliki tiga karakteristik, yaitu: tegaknya supremasi hukum— supremacy of law, persamaan di depan hukum—equality before the law, dan adanya jaminan serta mekanisme perlindungan diri atas hak—due process of law. Supremasi hukum berarti warganegara diatur oleh hukum, dan dengan hukum itu sendiri seseorang dapat dihukum karena melanggar hukum, bukan dihukum karena sesuatau alasan yang lain. Tentang persamaan di depan hukum, Dicey menerangkan, semua kelompok masyarakat memiliki ketertundukan yang sama di mata hukum umum negara,
Page | 4
yang dijalankan oleh peradilan umum. The Rule of law tidak mengenal adanya pengecualian Page | 5 bagi pejabat pemerintah atau orang‐orang tertentu terhadap hukum yang mengatur warganegara secara keseluruhan, seperti halnya pada pengadilan administratif (droit administratif). Kaitannya dengan due process of law, Dicey menjelaskan bahwa jaminan atas hak‐hak pribadi adalah hasil dari keputusan pengadilan, dan parlemen—sebagai simbolisasi raja dan demos—warga, khusus mengenai mekanisme pelaksanaan kekuasaan. Jadi konstitusi yang berisikan jaminan hak‐hak pribadi warganegara merupakan hasil dari hukum umum negara (Dicey, 2008: 262‐265). Dalam pandangan Zippelius, seperti dikemukakan oleh Hamid S. Attamimi, menyebutkan bahwa prinsip negara hukum adalah untuk membatasi perluasan dan penggunaan kekuasaan secara totaliter dan sewenang‐wenang. Prinsip‐prinsip yang harus ditegakkan meliputi jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan secara pasti dan jelas, penyelenggaraan pemerintahan yang berdasar pada undang‐undang, dan adanya pengawasan judicial terhadap penyelenggaraan pemerintahan (Attamimi, 1990: 213). UUD 1945 pra‐amandemen menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara yang berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Hal ini seperti ditulisakan dalam penjelasan umum UUD 1945, pada bagian system pemerintah, “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum.” Mengenai konsep negara hukum Indonesia, Muhammad Yamin (Yamin, 1959: 75) memberikan penjelasan, sebagai berikut: “Kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Iitu hanya berdasarkan dan berasal dari pada undang‐undang dan sekali‐kali tidak berdasarkan kekuasaan senjata., kekuasaan sewenang‐wenang atau kepercayaan, bahwa kekuatan badanlah yang boleh memutuskan segala pertiakain dalam negara. Republik Indonesia ialah suatau negara hukum (rechtsstaat government of laws) tempat keadilan yang tertulis berlaku; bukanlah negara polisi atau negara militer, … bukanlah pula negara kekuasaan (machtsstaat)… . Republik Indonesia ialah negara yang melaksanakan keadilan yang dituliskan dalam undang‐undang… . …warganegara diperintah dan diperlakukan oleh undang‐undang keadilan yang dibuat oleh rakyat sendiri,… .”
Dari penjelasan tersebut Simorangkir memberi komentar bahwa Yamin sangat Page | 6 menekankan pengertian istilah negara hukum dalam ruang lingkup yang formal. Hal itu dapat dilihat dari persyaratan‐persyaratan formal yang diajukan oleh Yamin untuk terbentuknya suatu negara hukum. Selain memberikan komentar terhadap Yamin, Simorangkir juga memberikan catatan, bahwa pengertian negara hukum Indonesia yang berdasar pada UUD 1945 dan Pancasila, adalah berbeda dengan pengertian negara hukum dalam kerangka rechtsstaat, seperti yang ada di Belanda (Simorangkir, 1983: 156‐170). Pemahaman ini juga diperkuat oleh Mahfud MD, penggunaan istilah rechtsstaat dalam UUD 1945 sangat berorientasi pada konsepsi negara hukum Eropa Kontinental, namun demikian bilamana melihat materi muatan UUD 1945, justru yang terlihat kental adalah meteri‐materi yang bernuansakan anglo saxon, khususnya ketentuan yang mengatur tentang jaminan perlindungan hak asasi manusia (Mahfud, 1999: 134). Tentang konsep negara hukum Indonesia, Simorangkir memberikan pengertian, bahwa negara, termasuk pemerintah dan lembaga‐lembaga negara yang lain, dalam menjalankan segala aktivitasnya harus dilandasi oleh hukum, atau dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Hukum di sini adalah hukum dalam arti luas, tidak semata‐mata undang‐undang, termasuk di dalamnya hukum tidak tertulis. Negara hukum Indonesia bukanlah konsep negara hukum dalam pengertian formal, melainkan negara hukum dalam arti materil, yang di dalamnya tercakup pengertian bahwa negara tidak hanya melindungi segenap bangsa Indonesia, tetapi juga memiliki kewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Simorangkir, 1983: 185‐189). Kusumadi Pudjoseewojo berkomentar, dikarenakan Indonesia adalah negara hukum maka segala kewenangan dan tindakan alat‐alat perlengkapan negara harus pula berdasarkan dan diatur oleh hukum. Penguasa bukanlah pembentuk hukum, melainkan pembentuk aturan‐aturan hukum, oleh sebab itu hukum berlaku bukan karena ditetapkan oleh penguasa, akan tetapi karena hukum itu sendiri. Hal ini membawa konsekuensi, bahwa penguasa pun dapat dimintai pertanggungjawaban jika dalam menjalankan kekuasaannya melampaui batas‐batas yang telah diatur oleh hukum, atau melakukan perbuatan melawan hukum. Kewenangan penguasa dan organ‐organ negara sangat dibatasi kewenangan perseorangan dalam negara, yang berupa hak asasi manusia
(Pudjosewojo, 1993: 150). Pendapat tersebut menegaskan bahwa hak asasi manusia Page | 7 merupakan unsur penting dalam sebuah negara hukum. Amandemen ketiga UUD 1945 pada 2001, kembali menyantumkan secara tegas konsepsi tentang negara hukum Indonesia dalam materi muatan undang‐undang dasar. Penegasan tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Menurut Jimly Ashiddiqie dalam naskah tersebut setidaknya mengandung pengertian sebagai berikut: Adanya pengakuan terhadap supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang‐Undang Dasar, adanya jaminan hak asasi manusia dalam Undang‐ Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warganegara dalam hukum, setrta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalah gunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Paparan dari sejumlah sarjana di atas memberikan pengetahuan dan pemahaman bagi kita semua tentang beberapa prinsip yang harus dianut di dalam suatu negara negara hukum. Namun demikian, seperti telah ditegaskan di awal, pada dasarnya keseluruhannya memiliki tujuan yang serupa, yaitu maksud untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Selain itu keseluruhan elemen di dalam negara hukum haruslah terakomodasi secara proporsional atau berimbang, jangan sampai salah satu unsurnya tidak terakomodasi, di dalam hukum, baik undang‐undang maupun putusan hakim, atau di dalam suatu negara yang menganut prinsip negara hukum. Fokus Pembahasan Perjalanan setelah satu dekade reformasi telah mengantarkan Indonesia dalam kemajuan di dalam penerapan prinsip‐prinsip negara hukum, khususnya yang terkait dengan perlindungan hak asasi manusia dengan adopsi sejumlah instrumen internasional HAM ke dalam perundang‐undangan nasional. Namun demikian, catatan negatif banyak ditemukan di dalam praktik perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia pada periode tersebut. Beberapa catatan negatif antara lain tergambar dalam sejumlah hal berikut ini: munculnya peraturan perundang‐undangan yang tidak ramah dan tidak sejalan hak asasi manusia;
pengadilan yang belum mampu menjadi benteng perlindungan hak asasi manusia, Page | 8 khususnya untuk kasus‐kasus yang berhubungan dengan kelompok rentan, minoritas dan marginal; ketiadaan akuntabilitas hukum bagi penyelesaian kasus‐kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang berakibat pada kemandegan transisi keadilan, serta ketidakterpenuhan hak‐hak korban. Untuk memapar dan mendiskusikan beberapa masalah di atas, dalam panel ini fokus pembahasan akan diarahkan untuk membahas sejumlah topik berikut ini:
Komitmen HAM produk legislasi dalam mendukung perlindungan hak asasi
Independesi peradilan sebagai kunci dalam perlindungan hak asasi
Kemandegan akuntabilitas hukum pelanggaran HAM masa lalu
Topik‐topik di atas sekaligus menjadi tema paper [tulisan] bagi para partisipan yang hendak ikut serta dalam panel negara hukum dan hak asasi manusia pada konferensi ini.
Panel 3 Judul panel
Pendidikan Tinggi Hukum Yang Berbasis Pada Keadilan Sosial
Pengelola
The Indonesian Legal Resource Center (ILRC)
Penanggungjawab Uli Parulian Sihombing Pengantar Dalam perkembangannya pendidikan tinggi hukum mempunyai dua model yaitu pertama, model pendidikan tinggi hukum yang berlandaskan metode pengajaran yang bersifat doktrinal, dan model pendidikan tinggi hukum yang berlandaskan metode pengajaran yang practical use. Model pertama, lebih menekankan mahasiswa/si untuk menghafal undang‐undang, dan penerapan hukumnya. Sementara model yang kedua, lebih menekankan mahasiswa/si untuk memperlajari kasus‐kasus hukum/putusan‐putusan pengadilan. 1 Dua model tersebut juga mempunyai sisi positif dan negatif, sisi positif model practical use adalah mahasiswa/si bersikap kritis dan analitis terhadap aturan hukum dan penerapannya, tetapi sisi negatifnya mahasiswa/wi tidak melihat proses legislasi sebagai sesuatu yang penting. Model pendidikan tinggi hukum yang doktriner mengakibatkan mahasiswa/wi kaku mengikuti peraturan perundang‐undangan, dan daya nalarnya berkurang, tetapi sisi positifnya adalah mahasiswa/wi memahami substasi peraturan hukum dan mempunyai kemampuan menerapkannya. Pendidikan hukum klinik yang memadukan antara pengetahuan praktis (practical knowledge), nilai‐nilai (values) dan penajaman keahlian (skill), yang mengasumsikan ada persamaan antara pendidikan tinggi hukum dengan pendidikan tinggi kedokteran. Dua cabang pendidikan tinggi tersebut mempunyai kesamaan khususnya ketika mahasiswa/wi tidak hanya dibekali dengan teori‐teori saja, tetapi juga perlu menguasai keahlian‐keahlian teknis dengan tetap menghormati nilai‐nilai. Di dalam pendidikan tinggi hukum, nilai‐nilai yang harus dihormati adalah keadilan sosial, sehingga mahasiswa/wi mempunyai kepekaan terhadap nilai‐nilai keadilan sosial. Atau apa yang disebut oleh Satjipto Raharjo, pendidikan tinggi hukum yang berorientasi pada kemanusiaan. 1
Bismar Nasution, Mengajaran Hukum Yang Berkeadilan : Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial, 6‐7 (2009)
Page | 9
Berdasarkan hal tersebut, maka kita perlu untuk menggali dan sharing model‐model Page | 10 pendidikan tinggi hukum yang berbasis keadilan sosial, sehingga diharapkan mampu memperkaya perkembangan pendidikan tinggi hukum di tanah air.
Panel 4 Judul panel
Page | 11
Refleksi Mekanisme Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pengelola
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Penangungjawab Feri Amsari, SH, MH Pengantar Salah satu unsur penting dalam konsep Negara Hukum adalah gagasan pembagian/pemisahan kekuasaan negara (division/separation of powers). Dari Immanuel Kant hingga J. Stahl sepakat menyatakan unsur tersebut sebagai unsur penting sebuah negara dapat disebut sebagai negara hukum. Keberadaan unsur pemisahan kekuasaan negara penting untuk menjauhkan menumpuknya kekuasaan negara pada lembaga negara tertentu. Melalui pemisahan kekuasaan direncanakan agar penyimpangan penyelenggaraan negara dapat diminimalisir sedemikian rupa. Namun pemisahan kekuasaan tidak akan mencapai harapan apabila gagasan checks and balances tidak diterapkan. Gagasan checks and balances memang dibangun sebagai sebuah mekanisme yang menciptakan keseimbangan di antara cabang kekuasaan
negara.
Sehingga
kegagalan/penyimpangan
yang
terjadi
dalam
penyelenggaraan negara bisa saja diakibatkan tidak bekerjanya mekanisme checks and balances. Tidak bekerjanya mekanisme checks and balances bisa disebabkan konstitusi memang tidak dibangun dengan pondasi yang utuh untuk menegakan sistem separation of powers yang ber‐checks and balances. Sebut saja misalnya, kekuasaan kehakiman yang tidak bisa diawasi dikarenakan Komisi Yudisial yang dimandulkan. Contoh lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dirancang khusus memiliki ketergantungan luar biasa kepada lembaga yang terindikasi korup. Kondisi‐kondisi tersebut menybabkan mekanisme checks and balances berjalan “hambar”. Pembicaraan untuk merefleksi 10 Tahun jalannya reformasi konstitusi bisa dimulai dari mendiskusikan kelemahan “pondasi” separation of powers dan mekanisme checs and balances antar lembaga negara.
Panel 5 Judul Panel
Legislasi dan Legisprudensi
Pengelola Panel
Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK)
Penanggung jawab Panel Rival Ahmad dan Farid Hanggawan Pengantar Legislasi kerap dimaknai sebagai sebuah proses politik. Sehingga, tak heran jika permainan kekuasaan diyakini sebagai yang menentukan dalam legislasi. Adanya permainan kekuasaan itu meneguhkan asumsi tentang ketakmungkinan pendekatan teoritis atas pembuatan peraturan. Akibatnya, teori hukum menjadi sesuatu yang asing untuk masuk ke dalam jantung proses legislasi. Teori hukum seakan hanya menjadi basis pada hal ihwal penegakan atau pelaksanaan suatu hukum semata. Akar dari paradigma itu tak lain adalah tradisi teori hukum klasik yang lebih menitikberatkan pada struktur dan fungsi dari sebuah peraturan, bukan substansi dari sebuah peraturan. Berangkat dari persoalan tersebut, legisprudensi menawarkan suatu paradigma berpikir yang berbeda. Legisprudensi beranjak dari sudut teori hukum dalam menyelidiki persoalan‐persoalan legislasi. Masuknya teori hukum dalam proses pembuatan hukum tentunya akan menebar jala‐jala interdisipliner, sehingga kualitas dari sebuah peraturan jadi lebih baik. Dalam bahasa Luc J Wintgens, sementara dalam tradisi teori hukum klasik berkutat pada pertanyaan tentang penerapan peraturan oleh hakim, legisprudensi memperluas lapangan studi dengan memasukkan persoalan pembuatan peraturan oleh legislator. Perluasan tersebut juga membawa pada konsekuensi pertanyaan mengenai posisi legislator. Ada semacam kedaulatan inheren yang ada dalam legislator ketika membuat peraturan. Dengan demikian, menjadi tantangan bagi legisprudensi untuk membuka tabir yang menyelubungi kedaulatan itu. Hal ini lebih jauh juga akan menyoal pada persoalan representasi dan legitimasi. Dalam tradisi legalisme yang kuat, representasionalisme merupakan sandaran yang kokoh. Di sisi lain, legisprudensi berpihak pada versi legalisme yang lemah, yakni menempatkan subjek secara lebih emansipatoris ketimbang terlarut dalam dogma‐dogma hukum.
Page | 12
Fokus Pembahasan
Page | 13
Dalam panel ini, yang menjadi fokus pembahasan antara lain: 1. Legislasi dan perubahan sosial 2. Legislasi dalam perspektif sosiologis
7. Legisprudensi dan prinsip‐prinsip legislasi
3. Kuantitas dan kualitas legislasi
8. Legislasi dan teknologi informasi
4. Pluralisme dan legitimasi
9. Legislasi dalam perspektif global
5. Legislasi dan institusi negara
10. Legislasi antara wacana dan teks
6. Legislasi antara politik dan hukum
hukum
Panel 6 Judul Panel
Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Adat/Lokal
Pengelola
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa)
Penanggungjawab Tandiono Bawor Purbaya Pengantar Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD NRI 1945 adalah prinsip negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum' . Secara historis, negara hukum ( Rechtsstaat ) adalah konsepsi negara yang ideal di mata para pendiri bangsa kita sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) , tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat)”.2 Dengan demikian, “negara hukum” menjadi pilihan ketika dipertentangkan dengan kondisi negara tanpa hukum yang cenderung sewenang‐wenang memanfaatkan kekuasaan aparatur negara. Harapannya, hukum memberikan batasan dan petunjuk tata perilaku. Petunjuk tersebut dikonkritkan dalam bentuk konstitusi, baik dalam bentuk naskah (written constitution), maupun yang tidak dalam bentuk naskah (unwritten constitution). Undang‐undang‐dasar itu menjamin hak‐hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga‐lembaga hukum3. Dalam beberapa literatur diungkapkan bahwa sebuah negara disebut negara hukum apabila memenuhi beberapa unsur. Menurut Stahl, terdapat empat unsur negara hukum, pertama adanya perlindungan terhadap hak‐hak asasi manusia; kedua, adanya pemisahan kekuasaan; ketiga, pemerintah haruslah berdasarkan peraturan‐peraturan hukum; dan keempat, adanya peradilan administrasi dalam perselisihan4. A.V.Dicey5 dalam 2Drs.
Sunarso, M.Si. Pelajaran PKN 5, Pendidikan Kewarganegaraan Kelas 5 SD, Bogor, Yudistira, 2009 halaman 22 3 Seperti yang disebut Miriam Budiardjo, Dasardasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1972) hal. 57. 4 Ibid., hal. 57‐58. 5 Miriam Budiardjo membubuhkan komentarnya terhadap perumusan Dicey bersifat sangat normatif dan hanya menyangkut bidang hukum saja. Menurutnya, hal ini tidak mengherankan sebab suasana pemikiran
Page | 14
Introduction to the Law of the Constitution berpendapat bahwa Negara hukum harus Page | 15 mempunyai 3 unsur pokok, yakni, pertama, supremasi aturan‐aturan hukum (supremacy Of law). Dalam hal ini, kedudukan hukum merupakan posisi tertinggi, kekuasaan harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk pada kekuasaan. Dengan kata lain, hukum harus menjadi tujuan untuk melindungi kepentingan rakyat. Kedua, kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Dalam negara hukum, kedudukan penguasa dengan rakyat di mata hukum adalah sama (sederajat). Yang akhirnya membedakan hanyalah fungsinya: pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat sebagai yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur pedomannya satu, yaitu undang‐undang. Ketiga, terjaminnya hak‐hak manusia oleh undang‐undang serta keputusan‐keputusan pengadilan. Unsur tersebut lebih menekankan pada seorang warga negara untuk dapat melakukan kebebasan atau kemerdekaan dalam menjalani kehidupannya6. Nyatanya, kompleksitas masyarakat Indonesia membuka ruang rentan bagi dilanggarnya hak‐hak konstitusional kelompok tertentu. Salah satu kelompok yang rentan terhadap pengabaian dan pelanggaran hak‐haknya sebagai warga negara adalah kelompok masyarakat (hukum) adat. Jaminan perlindungan terhadap keduanya sebetulnya sudah ada. Konstitusi kita, sebagai bentuk konkrit pengejawantahan negara hukum, menuangkan perlindungan normatif terhadap masyarakat adat/lokal. Eksistensi masyarakat hukum adat/lokal diakui dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi ”Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undangundang”. Pasal 28I ayat (3) juga memberikan perlindungan dengan menetapkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Secara sederhana, beberapa pemahaman tentang negara hukum yang dikemukakan di atas, maupun berbagai macam pemikiran para ahli seharusnya dapat digunakan untuk menilai keberadaan Indonesia sebagai negara hukum seperti yang dikemukakan oleh
saat itu dikuasai oleh gagasan bahwa negara dan pemerintahannya hendaknya tidak campur tangan dalam urusan warga negaranya. Aliran fikiran ini disebut liberalisme dan dirumuskan dalam dalil “The least government is the best government.” 6 Ibid., hal. 58.
Undang‐undang Dasar. Di dalam praktek, masyarakat adat atau lokal masih jauh dari Page | 16 perlindungan sebagaimana dijanjikan. Pun jika hak tersebut diakui lewat instrumen internasional yang diratifikasi negara, pemenuhan hak mereka tak serta merta terjadi. Misalnya bagi masyarakat adat, pengakuan mereka secara tersurat dalam konstitusi tidak disertai dengan pengakuan penuh dan pemenuhan hak‐hak mereka dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber‐sumber kehidupan lainnya. Padahal sebetulnya masyarakat adat/lokal telah ada sebelum negara sebagai fiksi hukum diciptakan/dibentuk. Noer Fauzi Rachman mengungkapkan bahwa tidak sedikit rute transformasi masyarakat dari kedudukannya sebagai penduduk (sekelompok orang yang hidup di suatu wilayah di dalam Negara) menjadi warga negara (yang memiliki hak‐hak konstitusional yang harus dipenuhi oleh Negara) dihambat oleh cara pemerintah memasukan tanah‐air masyarakat adat itu ke dalam konsesi‐konsesi usaha‐usaha ekstraksi sumber daya alam, dan produksi komoditas global7. Dalam kasus‐kasus tertentu, hukum di negara hukum ini tidak lagi dibuat untuk memberi batasan bagi pelaksanaan kekuasaan yang sewenang‐wenang. Sebaliknya, kontestasi kepentingan politik, sosial, dan ekonomi menjadikan hukum sebagai ajang permainan, yang jika dimenangkan, dapat melanggengkan kekuasaan. Fokus pembahasan Fokus pembahasan dalam panel ini adalah Indonesia sebagai negara hukum dalam relasinya dengan Masyarakat Adat/Lokal: antara idealita dan kenyataan. Topik yang ditawarkan dalam abstrak antara lain: 1. Diskursus pemikiran tentang Masyarakat Adat/Lokal di Indonesia dan bagaimana hukum mengaturnya 2. Jaminan
hukum
keberadaan
Masyarakat
Adat/Lokal
di
indonesia
serta
implementasinya 3. Realitas keberadaan Masyarakat Adat/Lokal dan bagaimana hukum memandangnya
7 Noer Fauzi Rachman, Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah Airnya, (Jakarta: April 2012), hal. 5.
Panel 7 Judul panel
Peran Hukum dalam Mewujudkan Keadilan Lingkungan
Pengelola
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
Penangungjawab Yustisia Rachman Pengantar Kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi, salus populi suprema est lex. Ungkapan yang dipopulerkan oleh Cicero ini tentu bukan sekedar “mantra” kosong, ia berisi pesan bagaimana seharusnya mendudukan hukum dalam kaitannya dengan kepentingan publik. Pesan tersebut juga tercantum dengan jelas dalam Preambule konstitusi kita: “…memajukan kesejahteraan umum…”, yang menjadi salah satu cita‐cita tertinggi yang ingin diraih dari berdirinya Republik ini. Kesejahteraan sendiri memiliki banyak dimensi dan tak dapat dipungkiri jika dimensi ekonomi menjadi yang paling dominan dinatara semuanya. Sehingga ketika berbicara kesejahteraan rakyat mau tidak mau kita akan berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi. Sudah jelas, Indonesia sebagai Negara yang dianugrahi kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah, akan memacu pertumbuhan ekonominya dengan melakukan pemanfaatan atas sumber daya alam tersebut. Para pendiri bangsa bahkan telah memberikan panduan bahwa kekayaan sumber daya alam itu hendaknya dikuasai oleh Negara untuk digunakan bagi sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat. Problem yang muncul kemudian adalah bagaimana seharusnya Negara ini mengelolaan sumber daya alamnya itu? Praktek pengelolaan sumber daya alam pada masa Orde Baru (1966‐1998) menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi kita sekarang ini. Watak pembangunan masa itu yang eksploitatif disertai dengan praktek “bad governance” yang terindikasi dari lumrahnya praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, menimbulkan kesengsaraan tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi lingkungan hidup. Konsesi pertambangan dalam skala besar dengan mudah diberikan kepada korporasi multinasional raksasa tanpa adanya pengawasan dan penegakan hukum yang memadai, sehingga memberikan beban yang tidak kecil bagi ekologi dan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi konsesi. Di sektor kehutanan, pemberiaan HPH kental dengan aroma KKN, hal ini turut memberikan andil pada deforestasi dan degradasi hutan Indonesia. Selain itu
Page | 17
kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk penyediaan lahan pertanian juga dilakukan Page | 18 tanpa mempertimbangkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dampak dari proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar misalnya, proyek raksasa yang merubah bentang alam kawasan gambut menjadi lahan pertanian ini menuimbulkan kerugian ekologs yang signifikan. Penegakan hukum yang lemah turut melengkapi buruknya kebijakan‐kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup tersebut. Berbagai pelanggaran aktivitas usaha yang memberikan dampak merusak dan mencemari lingkungan seolah tidak tesentuh jika dilakukan oleh kroni yang dekat dengan lingkar kekuasaan di masa itu. Setelah tumbangnya Orde Baru yang menandai lahirnya era reformasi, muncul harapan pada pembaruan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih desentralitis sehingga diharapkan dapat memberikan keuntungan yang lebih nyata bagi daerah dan masyarakatnya. Sayangnya desentralisasi pengelolaan sumber daya alam justru menjadi bumerang bagi kelestarian lingkungan hidup itu sendiri. Desentralisasi di sektor kehutanan misalnya, sejak daerah diberikan kewenangan untuk memberikan izin pengelolaan
hutan
dalam
skala
kecil,
yang
awalnya
diperuntukan
bagi
masyarakat/koperasi ternyata diberikan secara sporadis dan justru disiasati oleh perusahaan besar untuk memperoleh kayu dari operasi pengelolaan kayu yang dilakukan oleh masyarakat/koperasi tersebut. Desentralisasi kehutanan yang diberlakukan pada tahun 1999‐2002 tersebut tak pelak justru menjadi faktor pendorong deforestasi dan degradasi hutan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari paradigma otonomi daerah yang keliru yang menyebabkan daerah berpacu untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pelaksanaan desentralisasi yang keliru juga menyebabkan paradigma pengelolaan lingkungan hidup tidak memperhatikan kenyataan bahwa lingkungan hidup merupakan satu kesatuan ekosistem yang tidak dapat dipisahkan oleh batas‐batas wilayah administratif. Era reformasi juga ditandai dengan penyusunan regulasi dan kebijakan yang tidak dapat dilepaskan dari konstelasi ekonomi‐politik global. Berbagai regulasi dan kebijakan berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam yang dihasilkan psaca reformasi banyak didorong oleh kepentingan lembaga‐lembaga keuangan internasional dalam rangka program penyesuaian structural (structural adjustment program) seperti Undang‐undang Kehutanan, Migas, and Ketenagalistrikan (berdasarkan LoI pemerintah dengan IMF),
Undang‐undang Pendayagunaan Sumber Daya Air (dalam rangka Proyek WATSAL, Bank Page | 19 Dunia).8 Semakin meningkatnya perhatian dunia internasional terhadap persoalan perubahan iklim juga turut mempangaruhi arah kebijakan pengelolaan lingkungan hidup nasional. Komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca khususnya dari pencegahan deforestasi dan degradasi hutan sebesar 26 % atau 41 % dengan bantuan dunia internasional mendorong lahirnya insiaitif REDD+, sebuah proyek konservasi yang mencoba memvaluasi penyerapan karbon dan fungsi ekologi lainnya yang diberikan oleh hutan sebagai alternatif pemanfaatan hutan konvensional. Dalam rangka target penurunan emisi GRK itu pul pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN GRK) yang menmberikan arahan kebijakan pembangunan sektoral agar tetap sesuai dengan kerangka komitmen penurunan emisi GRK. Peran lembaga‐lembaga internasional dan pengaruh konstelasi ekonomi‐politik global tak dapat disangkal telah mendorong pengelolaan lingkungan hidup yang lebih memperhatikan praktek tata kelola yang baik (good governance) serta berwawasan lingkungan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ini yang benar‐benar kita butuhkan? Dengan kondisi demografi kita saat ini, tak dapat dipungkiri jika Indonsia masih membutuhkan “ruang” untuk mendayagunakan sumber daya alam yang dimiliki. Regulasi dan kebijakan yang pro environment hendaknya tidak menegasikan regulasi dan kebijakan yang pro growth, begitu pula sebaliknya. Kelestarian ekologi hendaknya tidak selalu dipertentangkan secara diamtral dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks inilah maka peran hukum menjadi penting dalam mewujudkan keadilan ekologis yang menjaga keseimbangan antara kebutuhan pertumbuhan ekonomi dengan keharusan menjaga kelestarian alam. Dalam rangka mengkaji lebih dalam mengenai peran hukum dalam mewujudkan keadilan lingkungan tersebut, Indonesian Center for Environmental Law sebagai lembaga pengakjian hukum lingkungan di Indonesia akan menyelenggarakan diskusi panel mengenai “Peran Hukum dalam Mewujudkan Keadilan Lingkungan di Indonesia”. Diskusi panel ini merupakan bagian dari kegiatan Konferensi dan Dialog Nasional “Negara Hukum
8 Hariadi Kartodihardjo dan Hira Jhamtani (et. al)., Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, (Equinox
Publishing: Jakarta, 2006), Hal. 27‐38.
Indonesia Kemana Akan Melangkah” yang diselenggarakan oleh Epistema Institute dalam Page | 20 rangka satu dasawarsa amandemen UUD 1945. Fokus pembahasan Diskusi panel ini akan dibagi dalam dua sesi yang setiap sesi‐nya akan mengelaborasi permasalahan sebagai berikut: 1. Politik Hukum Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Pasca Amandemen UUD 1945. Sesi ini beretujuan untuk : a. Untuk mengetahui sejauhmana visi perlindungan lingkungan hidup telah terakomodir dalam konstitusi. b. Untuk mengetahui sejauhmana konsistensi perundang‐undangan dan kebijakan pemanfaatan sumber daya alam telah sesuai dengan visi perlindungan lingkungan hidup dan upaya mewujudkan keadilan lingkungan. c. Untuk merumuskan strategi pembaruan hukum dan kebijakan dalam rangka mewujudkan keadilan lingkungan di Indonesia 2. Penegakan hukum sebagai instrument mewujudkan keadilan lingkungan. Sesi ini bertujuan untuk: a. Untuk mengetahui kondisi penegakan hukum lingkungan di Indonesia saat ini (aspek kelembagaan, kapasitas dan integritas aparatus, peran serta masyarakat) b. Untuk mengetahui sejauhmana dampak penegakan hukum lingkungan terhadap kelestarian lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat. c. Untuk merumuskan strategi membangun mekanisme dan system penegakan hukum lingkungan yang dapat mendorong terwujudnya keadilan lingkungan di Indonesia.
Panel 8 Judul panel
Negara Hukum, Kebebadan Informasi dan Media
Pengelola
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Penanggungjawab Herlambang Perdana Wiratraman Pengantar “Dulu kita defisit, tapi sekarang kita surplus freedom of the press…” (Susilo Bambang Yudhoyono, 3 Juni 2010). Pernyataan Presiden ini sesungguhnya bertolak belakang dengan perkembangan kebebasan pers itu sendiri yang kian memburuk. Di tahun yang sama, setidaknya 3 jurnalis terbunuh, sejumlah penyiksaan, teror dan perusakan kantor media, peradilan menjadi alat impunitas sekaligus represi bagi jurnalis dan warga negara dalam berekspresi. Tak mengherankan bila lembaga promosi kebebasan pers yang bermarkas di Paris, Reporters San Frontiers (RSF) menempatkan Indonesia di urutan 117 di tahun 2010 dari seluruh negara dunia. Bahkan, kian memburuk di tahun 2011‐2012, yang posisinya berada di urutan 146. Dengan posisi tersebut, Indonesia di Asia Tenggara, hanya lebih baik dibanding Vietnam dan Myanmar, selebihnya lebih baik posisinya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan soal kebebasan pers di Indonesia? Bukankah Indonesia telah memiliki sejumlah aturan maju soal pers (UU No. 40 Tahun 1999), keterbukaan informasi publik (UU No. 14 Tahun 2008), dan sejumlah ketentuan hak asasi manusia? Pers adalah salah satu pilar utama dalam suatu pemerintahan demokratis, yang pula merupakan bagian dari kebebasan informasi dan media yang harus dilindungi dan diimplementasikan. Dalam konteks situasi yang demikian, perlu ditelusuri lebih jauh, bagaimana sesungguhnya hukum telah dipraktekkan dan/atau bagaimana aparat dan institusi hukum bekerja untuk melindungi dan menjamin kebebasan informasi dan media. Praktek hukum di birokrasi, peradilan dan pembentuk hukum di parlemen serta respons politik dari sejumlah aktor yang mendorong upaya pemajuan kebebasan informasi dan media menjadi berkaitan dalam proses‐proses bekerjanya hukum. Ketidakseriusan pemerintahan SBY dalam menjamin kebebasan pers terlihat dari kesengajaan untuk membatasi kebebasan informasi dan media melalui sejumlah instrumen perundang‐undangan, keterlibatan aparat dalam kekerasan terhadap jurnalis, pemidanaan atau gugatan keperdataan yang masif, serta impunitas atau pembiaran pelaku kekerasan
Page | 21
untuk menyerang pers. Catatan Lembaga Bantuan Hukum Pers dan Dewan Pers, telah Page | 22 terjadi 85 kasus kekerasan terhadap pers (Kompas, 1/3/2012). Apalagi, situasi maraknya kekerasan tersebut diperparah dengan kegagalan negara untuk menyeret pelaku kekerasan dalam mekanime peradilan yang adil dan tak berpihak. Tentunya, impunitas menjadi problem besar penegakan hukum serta mengancam fungsi pers sebagai alat kontrol sosial (pasal 3(1) UU Pers). Militer, polisi, pegawai pemerintahan dan peradilan, ramai‐ramai menggebuk jurnalis di lapangan. Bukan tidak mungkin, Indonesia pasca otoritarian Soeharto akan kembali mengulang segala bentuk represi atas kebebasan warga negaranya untuk mengakses informasi dan mendayagunakan media sebagai sarana pertukaran informasi. Apalagi, di tengah politik hukum negara yang kurang berpihak dalam perlindungan pers bebas, situasi Indonesia justru marak ditekan oleh kekerasan sipil yang digerakkan oleh elit politik atau bisnis tertentu. Sementara sejumlah penguasa media ‘mengakrabi’ kekuasaan politik di berbagai level, yang sarat dengan kepentingan komunal dan semata akumulasi kapital. Titik terpentingnya dari konfigurasi politik yang demikian adalah, sejauh mana kekuatan hukum dan penegakan hukumnya merespons situasi politik yang demikian? Fokus Pembahasan 1. Kebebasan Pers: Hukum, Politik dan Implementasinya 2. Impunitas dan Kekerasan terhadap Pekerja Pers: Tinjauan hak asasi manusia 3. Perlukah penghapusan pidana pers? Tinjauan kritis 'delik pers' di Indonesia 4. Unjustifiable Lawsuit Against Press (ULAP): Teori dan praktek dalam kasus gugatan hukum terhadap pers 5. Hukum Media Baru (New Media), Kebebasan Ekspresi dan Gerakan Sosial 6. Keterbukaan Informasi Publik: Hukum, Politik dan Implementasinya 7. Media, Konglomerasi dan Politik: Dinamika relasi media dan politik di Indonesia
Panel 9 Judul Panel
Page | 23
Memastikan peradilan berpihak pada keadilan bagi si miskin dan termarjinalkan
Pengelola
Konsorsium
Reformasi
Hukum
Nasional
(KRHN)
dan
Sthrengtening Access to Justice Indonesia (SAJI) Penanggungjawab Muji Kartika dan Dera Eharlina Pengantar Persoaaln peradilan telah diatur secara tegas di dalam UUD 1945 yaitu di bab IX yang terdiri dari pasal 24, 24A, 24B, 24C dan 25, yang intinya menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sejak amandemen konstitusi, telah terjadi perubahan yang signifikan yaitu terkait dengan lembaga penyelenggara peradilan (Mahkamah Agung, Mahakamah Konstitusi dan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman) dan terkait dengan upaya menjamin independensi peradilan (melalui pengawasan internal yang dilakukan oleh MA dan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh MA bersama Komisi Yudisial). Reformasi di sektor peradilan dilakukan dengan pembentukan lembaga (Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial) dan revisi UU antara lain UU Mahkamah Konstitusi ‐dari UU Nomor 24 Tahun 2003 menjadi UU Nomor 8 Tahun 2011‐, revisi UU Komisi Yudisial ‐dari UU Nomor 22 Tahun 2004 menjadi UU Nomor 18 Tahun 2011‐, revisi UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA, UU Kejaksaan, UU Kepolisian, dll. Selain itu, reformasi peradilan juga dilakukan melalui program penataan internal kelembagaan, dll. Meski demikian, kita masih menjumpai fakta‐fakta yang menunjukkan bahwa reformsi peradilan belum sepenuhnya sejalan dengan terpenuhinya akses keadilan masyarakat, salah satunya adalah Indeks Rule Of Law yang melaporkan sebagai berikut:
NO 1
FAKTOR Limited
government
2010
2011
0,56
0,66
powers 2
Absence of corruption
0,44
0,46
3
Order and security
0,66
0,73
4
Fundamental rights
0,53
0,65
5
Open Government
0,41
0,52
6
Regulatory enforcement
0,51
0,54
7
Access to civil justice
0,40
0,54
8
Effective criminal justice
0,55
0,60
Sumber: diolah dari www. worldjusticeproject.org Fokus Pembahasan: 1. Arah reformasi peradilan : menuju konstitusi atau kebutuhan pasar global? 2. Gagasan‐gagasan tentang peradilan yang ideal. 3. Gagasan‐gagasan tentang keadilan (retributive, restorative, dll) 4. Penggunaan instrumen internasional dalam penanganan kasus trans‐nasional (HAM, Lingkungan Hidup, Korupsi, dll). 5. Fenomena pengadilan di bidang ekonomi seperti KPPU, Pengadilan Pajak, Arbitrase, dll. 6. Inisiatif masyarakat dalam menyelesaikan sengketa di luar negara. 7. Monitoring terhadap performa lembaga peradilan dan aparat penegak hukum. 8. Peradilan dalam perspektif korban (perempuan, masyarakat miskin dan termarjinalkan)
Page | 24
Panel 10 Judul Panel
Revitalisasi Hukum dan Peradilan Adat Sebagai Solusi Penguatan Akses Terhadap Keadilan
Pengelola
Sthrengtening Access to Justice Indonesia (SAJI) dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Penanggungjawab Rasyidi Bakri Pengantar Pemerintah Indonesia, atas dukungan teknis dari UNDP, telah mengembangkan kebijakan Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan. Kebijakan ini telah diluncurkan oleh BAPPENAS pada tahun 2009 dan telah diintegrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan. Dalam konteks Indonesia, Akses terhadap keadilan didefenisikan sebagai “keadaan dan proses dimana Negara menjamin pemenuhan hak‐hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan Deklarasi Umum HAM 1948 dan menjamin bahwa setiap warga Negara (claim holder) dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan menggunakan hak‐hak dasar tersebut melalui lembaga‐lembaga formal maupun informal”. Karena itu, kebijakan ini sangat penting karena berkolerasi secara signifikan dengan stabilitas negara, keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Jika dilaksanakan secara konsisten, penguatan access to justice, dipastikan akan berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat dan penguatan tata kelola pemerintahan yang demokratis (democratic governance). Sebagi contoh, perluasan pemenuhan rasa keadilan rakyat secara konsisten akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap negara dan aturan hukum yang ada. Sehingga, dapat meminimalisir tindakan anarki dan main hakim sendiri, yang tentu saja akan berdampak pada stabilitas sosial politik dan ekonomi yang lebih baik. Fakta menunjukkan bahwa lemahnya akses masyarakat terhadap keadilan, menjadi salah satu penyebab utama terjadainya konflik kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia. Masyarakat yang telah hidup termarjinalkan selama bertahun‐tahun, cenderung dengan gampang memilih jalan kekerasan ‐‐sebagai ‘solusi’ atas problem mereka‐‐, jika mereka dibuat frustasi oleh tersumbatnya saluran keadilan yang disediakan negara melalui
Page | 25
lembaga‐lembaga formal. Kemudian, keengganan untuk menyelesaian persoalan melalui Page | 26 jalur formal, juga seringkali dipicu oleh kekuatiran kaum miskin dan perempuan akan mahalnya biaya untuk itu, terlebih bagi mereka yang hidup di wilayah‐wilayah terpencil. Pada titik inilah, revitalisasi hokum dan peradilan adat sebagai solusi penguatan akses terhadap keadilan menjadi sangat signifikan. Terlebih lagi, pelaksanaan sistem hukum adat di berbagai daerah di Indonesia, terutama di daerah‐daerah terpencil, memang masih menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan, terutama untuk kasus‐ kasus perdata dan pidana ringan. Lagi pula, hal ini adalah bagian dari amanat konstitusi khusunya Pasal 18 B ayat (2) yang secara tegas menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik indonesia, yang diatur dalam undangundang”. Selain itu, berbagai aturan perundangan seperti UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang‐undang No 41 Tahun 1999 tentang Pokok‐pokok Kehutanan, dll, juga telah mengatur secara tegas tentang keharusan untuk menghormati masyarakat dan hukum adat. Bahkan Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang : Peraturan Dasar Pokok‐pokok Agraria secara tegas menyatakan bahwa hukum agraria nasional didasarkan pada hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, walaupun hukum/peradilan adat telah memiliki posisi sosiologis dan juridis yang kuat, Negara dan pemerintah cenderung mengabaikan atau jikapun ada terlalu sedikit memberikan perhatian pada peningkatan pelayanan hukum/peradilan adat. Akibatnya, hukum/peradilan adat belum mampu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat miskin secara paripurna. Selain itu, kritik dari berbagai kalangan mengungkapkan bahwa di banyak tempat, system hukum adat, pada derajat tertentu, belum sejalan dengan prinsip‐ prinsip dasar HAM serta diskriminatif terhadap perempuan. Selanjutnya, belum adanya jurisdiksi yang jelas antara hukum adat dengan hukum formal, mengkibatkan orang yang tidak puas dengan putusan hukum adat, bisa saja membawa lagi perkaranya melalui hukum formal. Hal‐hal tersebut tentunya akan berpengaruh pada kualitas keadilan dan akuntabilitas peradilan adat. Oleh karena itu, SAJI Project bekerja sama BPHN dan EPISTEMA akan mengambil bagian dalam Konferensi dan Dialog Nasional dalam rangka Satu Dasawarsa Amandemen
UUD 1945 yang berthema “Negara Hukum Indonesia Ke Mana Akan Melangkah?”. SAJI dan Page | 27 BPHN akan mengelolah satu Panel diskusi dari kegiatan ini dengan sub thema “Revitalisasi Hukum dan Peradilan Adat Sebagai Solusi Penguatan Akses Terhadap Keadilan” Maksud dan tujuan Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah: a.
Untuk merumusan pemikiran tentang bagaimana revitalisasi hukum/peradilan adat dapat memperkuat akses terhadap keadilan terutama bagi perempuan dan kaum marjinal dengan meninjau keberadaan asas kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum di dalam putusan peradilan adat.
b.
Meningkatkan kesepahaman antara semua stakeholder kunci, mengenai hal‐hal apa saja yang menjadi masalah‐masalah utama terkait sistem hukum adat dan mencari solusi bersama untuk melakukan perbaikan
c.
Mengumpulkan masukan tentang bagaimana hukum/peradilan adat mendapatkan pengakuan dan pendampingan kementerian/lembaga negara untuk meningkatkan perannya menjadi garda depan mekanisme keadilan yang memperkuat akses terhadap keadilan terutama bagi perempuan dan kaum marjinal.
d.
Untuk mengkaji bagaimana kedudukan peradilan adat dalam lingkungan peradilan negara sebagai salah satu solusi bagi masyarakat miskin dalam mencari rasa keadilan
e.
Untuk merumuskan suatu tolak ukur yang komperhensif bagi kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya yang dianggap masih hidup dan sesuain dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mampu memberikan keadilan dan sesuai dengan penghormatan nilai‐nilai hak asasi manusia.
Output yang diharapkan a. Adanya merumusan pemikiran tentang bagaimana revitalisasi hukum/peradilan adat dapat memperkuat akses terhadap keadilan terutama bagi perempuan dan kaum marjinal dengan meninjau keberadaan asas kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum di dalam putusan peradilan adat.
b. Adanya peningkatkan kesepahaman antara semua stakeholder kunci, mengenai hal‐hal Page | 28 apa saja yang menjadi masalah‐masalah utama terkait sistem hukum adat dan mencari solusi bersama untuk melakukan perbaikan c. Terangkumnya masukan tentang bagaimana hukum/peradilan adat mendapatkan pengakuan dan pendampingan kementerian/lembaga negara untuk meningkatkan perannya menjadi garda depan mekanisme keadilan yang memperkuat akses terhadap keadilan terutama bagi perempuan dan kaum marjinal. d. Adanya kajian tentang bagaimana kedudukan peradilan adat dalam lingkungan peradilan negara sebagai salah satu solusi bagi masyarakat miskin dalam mencari rasa keadilan e. Adanya rumusan suatu tolak ukur yang komperhensif bagi kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya yang dianggap masih hidup dan sesuain dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mampu memberikan keadilan dan sesuai dengan penghormatan nilai‐ nilai hak asasi manusia.