PANDUAN PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS DI UPT PEMASYARAKATAN
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Bekerjasama dengan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
2015
The Global Health Bureau, Office of Health, Infectious Disease and Nutrition (HIDN), US Agency for International Development, memberikan dukungan pendanaan perbanyakan buku ini melalui Challenge TB berdasarkan perjanjian kerjasama No. AIDOAA-A-14-00029 . Buku ini diperbanyak berkat dukungan yang baik dari rakyat Amerika melalui United States Agency for International Development (USAID). Isi menjadi tanggung jawab Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dan tidak mencerminkan visi USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL PEMASYARAKATAN Puji syukur ke hadirat Tuhan YME atas rahmat dan hidayahnya sehingga revisi buku “Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan” dapat diselesaikan tepat waktu. Revisi buku ini disusun sebagai bagian program penanggulangan TB di UPT Pemasyarakatan yang telah berjalan sejak 2004 dan telah dikuatkan oleh sebuah “Nota Kesepahaman Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan Direktur P2M&PL Kementerian Kesehatan nomor : E.36.UM.06.07 tahun 2004 tentang Peningkatan Upaya Penanggulangan TB di Lapas , Rutan dan Cabang Rutan di seluruh Wilayah Indonesia”. Buku Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara telah disusun pada tahun 2008. Revisi panduan ini diperlukan mengingat perubahanperubahan yang terjadi dalam hal definisi, terminologi, sistematika dan kebijakan di Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut tercakup dalam Strategi Nasional Tuberkulosis 2015-2019 dengan tetap mempertimbangkan situasi spesifik program TB di Indonesia, antara lain perubahan pada teknis tata laksana pasien TB dan mengakomodasi kewaspadaan terhadap terjadinya TB Resistan Obat (TB RO), Koinfeksi TB-HIV (Tuberkulosis – Human Immunodeficiency Virus – Acquired Immunodeficiency Syndrome), Upaya Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB (PPI TB) yang bertujuan mencegah terjadinya penularan penyakit TB pada petugas kesehatan, petugas UPT Pemasyarakatan, antara WBP dan tahanan di UPT Pemasyarakatan seluruh Indonesia. Perluasan strategi penemuan kasus TB di UPT Pemasyarakatan bukan hanya bertumpu pada penemuan secara pasif tetapi juga secara aktif dan peningkatan angka kesembuhan pasien TB. Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak terkait yang telah berkontribusi dalam menyelesaikan buku “Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan” cetakan tahun 2015. Diharapkan buku ini dapat menjadi panduan dalam pelaksanaan program TB, terutama bagi pelaksana program dan pendukung program penanggulangan TB di UPT Pemasyarakatan se-Indonesia. Jakarta, 29 Agustus 2015 Direktur Jenderal Pemasyarakatan Ttd Ma’mun, Bc.IP, SH, MH NIP. 19571212 198101 1001
iii
KATA PENGANTAR Tuberkulosis (TB) di Lapas/Rutan merupakan tantangan global kesehatan masyarakat, terutama di negara dengan angka kejadian TB yang tinggi. Berdasarkan data yang masuk ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tahun 2014, TB menjadi penyakit nomor empat dan penyebab kematian terbanyak kedua di kalangan Warga Binaan Pemasyarakatan. Penyebab masalah TB di Lapas/Rutan di Indonesia meliputi kepadatan penghuni yang melebihi kapasitas, minimnya jumlah dan distribusi tenaga kesehatan, belum optimalnya tata ruangan dan sirkulasi udara ruangan yang sesuai dengan kaidah Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB, masih terbatasnya ruang khusus bagi terduga TB dan perawatan pasien TB Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjen Pas Kemenkumham) bermitra dengan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Ditjen P2PL Kemenkes) mulai tahun 2008 secara bertahap melaksanakan dan menerapkan Strategi DOTS di seluruh UPT Pemasyarakatan di Indonesia. Buku ini merupakan revisi dari Panduan Teknis Penanggulangan Tuberkulosis di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara yang disusun pada tahun 2008. Buku Petunjuk Penanggulangan TB di UPT Pemasyarakatan ini disusun sebagai juga menjadi penting karena akan dapat menjadi pedoman dalam upaya peningkatan akses layanan kesehatan dalam hal menata, menyelenggarakan dan meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien tuberkulosis. Demikian semoga Allah SWT memberkati segala usaha kita, Amien.
M
NUS
SI
N
PENGAY
KU
MA
ODrs. MAN Nugroho, Bc.IP, MSi SA M NIP. 19610505 198403 1 003 A DAN HAK A A U
H
PE
N KE M E N T E RIA
IA RI
DI
AL ER
Jakarta, 29 Agustus 2015 Direktur Bina Kesehatan dan Perawatan Narapidana dan Tahanan TORAT JEND K RE
SY T ARAKA
v
TIM PENYUSUN Agustiany Ahmad Radian Amelia Vanda Siagian Asep Syarifuddin Astia Murni Betty W Yolanda Nababan Chawalit Natpratan
Miladi Kurniasari Nini Adriani Novayanti R Tangirerung Nugroho Nurjannah Nurlita Triani
Christina Widaningrum
Riezky Febiola
Dikki Pramulya Nuredi
Rini Palupy
Endang Budi Hastuti Fina Tams Hetty Widiastuti Indri Rizkiyani Lusi Utari Maria Regina Loprang
vi
Merry Samsuri
Siti Nadia Tarmizi Ummu Salamah Wahiddin Yakub Gunawan Yulius Sumarli Yuniarti
Daftar Isi, Daftar Tabel, Daftar Gambar dan Daftar Singkatan
DAFTAR ISI iii
SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL PEMASYARAKATAN
v
KATA PENGANTAR
vi
TIM PENYUSUN
vii
DAFTAR ISI
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR SINGKATAN
1 1 3 3 3 5
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Sasaran Landasan Hukum Pengertian
7 BAB II KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TB DI UPT PEMASYARAKATAN 7 Kebijakan 8 Tujuan 8 Strategi 9 Organisasi Pelaksana 10 Kegiatan 13 BAB III TATALAKSANA TUBERKULOSIS DI UPT PEMASYARAKATAN 13 Penemuan Kasus TB 13 Patogenesis dan Penularan TB 16 Intensifikasi Penemuan Kasus TB di UPT Pemasyarakatan 20 Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa 20 Gejala Tuberkulosis 20 Pemeriksaan Dahak 22 Diagnosis TB 25 Klasifikasi dan Tipe Pasien TB
vii
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
28 Pengobatan Pasien TB 28 Tujuan Pengobatan TB 28 Prinsip Pengobatan TB 29 Tahapan Pengobatan TB 29 Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 33 Pemantauan Pasien oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) di UPT Pemasyarakatan 34 Pemantauan Kemajuan dan Hasil Pengobatan TB 42 Hasil Pengobatan Pasien TB 42 Pengobatan TB pada Keadaan Khusus 46 Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya 48 MTPTRO (Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat)
viii
49 51 58 61 63 66 69 70
BAB IV KOLABORASI TB-HIV Diagnosis TB pada ODHA Diagnosis HIV pada pasien TB Pengobatan Koinfeksi TB-HIV Prinsip pengobatan pasien Koinfeksi TB-HIV Efek samping dan interaksi obat (OAT dan ARV) Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksasol (PPK) Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP INH)
75 75 75 76 77 77 77
BAB V JEJARING DAN RUJUKAN Pengertian Tujuan Jenis Jejaring Jejaring Kerja Jejaring Kerja Laboratorium TB Mekanisme Pre dan Post Release : Pemantauan Pengobatan Warga Binaan Pemasyarakatan dengan TB yang Pindah Berobat
85 86 88 89 89 92
BAB VI PENGELOLAAN LOGISTIK Logistik OAT Logistik Non OAT Logistik Terkait Kolaborasi TB-HIV Sumber logistik TB dari Kementerian Kesehatan Sumber logistik TB dari Kementerian Hukum dan HAM
Daftar Isi, Daftar Tabel, Daftar Gambar dan Daftar Singkatan
93 94 94 94 94 95 99 101
BAB VII PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI(PPI) TB Definisi PPI TB Tujuan PPI TB Komponen PPI TB 1. Pengendalian Manajerial 2. Pengendalian Administratif 3. Pengendalian Lingkungan 4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
103 103 103 104 105 105 107 109
BAB VIII MONITORING DAN EVALUASI TB Definisi Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Supervisi Pencatatan dan Pelaporan TB Pencatatan Pelaporan Indikator
119 LAMPIRAN 119 Lampiran 1. Form Berita Acara Pemeriksaan 120 Lampiran 2. Form Skrining TB-HIV 121 Lampiran 3. Form Skrining IMS 122 Lampiran 4. Formulir Skrining Narkoba 125 Lampiran 5. Pelaporan Survei Batuk 126 Lampiran 6. Formulir BAP Kesehatan WBP menjelang bebas 127 Lampiran 7. Panduan dan Daftar Tilik Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB di Lapas dan Rutan 139 Lampiran 8. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat 140 Lampiran 9. Formulir Permintaan Obat MDR 141 Lampiran10. Formulir Permintaan Logistik Non OAT MDR 142 Lampiran 11. Laporan Semester Sarana Kesehatan dan Peraatan (sesuai Standar Kesehatan) 145 Lampiran 12. Laporan Triwulan Sarana Obat-Obatan dan Alat Habis Pakai 147 Lampiran 13. Formulir Pencatatan dan Pelaporan TB 169 Lampiran 14. Standar Pengemasan Dahak 171
DAFTAR PUSTAKA
ix
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
DAFTAR GAMBAR 9 Gambar 1. Skema Pelaksana Penanggulangan TB di UPT Pemasyarakatan 17 Gambar 2. Alur Skrining WBP dan tahanan baru di Lapas dan Rutan 21 Gambar 3. Sputum Booth (tempat membuang dahak) di Rutan Cipinang. 23 Gambar 4. Alur diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa (tanpa kecurigaan/bukti:hasil tes HIV(+) terduga TB Resistan Obat) 52 Gambar 5. Alur diagnosis TB Paru pada ODHA di fasyankes dengan akses tes cepat Xpert MTB/RIF 60 Gambar 6. Alur diagnosis HIV pada anak >18 bulan, remaja dan dewasa 71 Gambar 7. Alur tata laksana TB pada HIV dan PP INH 79 Gambar 8. Kemungkinan WBP dengan TB pindah dan pengobatannya 80 Gambar 9. Alur Rujukan Pasien TB dari UPT Pemasyarakatan ke fasyankes/ UPT Pemasyarakatan lain dalam satu kabupaten/kota 81 Gambar 10. Alur Rujukan Pasien TB antar Lapas/Rutan dengan Faskes/UPT Pemasyarakatan lain di kabupaten/kota berbeda dalam satu provinsi 82 Gambar 11. Alur rujukan pengobatan pasien TB dari satu UPT Pemasyarakatan ke UPT Pemasyarakatan atau fasyankes lain di propinsi yang berbeda 90 Gambar 12. Jejaring pengelolaan logisitk TB di Klinik Lapas/Rutan dan RS Pengayoman 90 Gambar 13. Jejaring pengelolaan logistik TB resistan Obat di faskes, untuk OAT dan non OAT 95 Gambar 14. Logo TemPO 96 Gambar 15. Ilustrasi Transmisi Kuman TB 97 Gambar 16. Alur Penerapan TemPO di Blok Hunian 98 Gambar 17. Alur Penerapan TemPO di Klinik UPT Pemasyarakatan 99 Gambar 18. Model dan layout denah ruang pemisahan pada blok 102 Gambar 19. Jenis respirator untuk petugas kesehatan 108 Gambar 20. Alur pelaporan Triwulan Program Pengendalian TB di Lapas/ Rutan 108 Gambar 21. Alur data penemuan dan pengobatan kasus TB melalui SITT
x
Daftar Isi, Daftar Tabel, Daftar Gambar dan Daftar Singkatan
DAFTAR TABEL 15 Tabel 1. Perjalanan alamiah TB 29 Tabel 2. OAT Lini Pertama 30 Tabel 3. Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa 31 Tabel 4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 32 Tabel 5. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3 32 Tabel 6. Dosis Paduan OAT KDT Kat 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3 33 Tabel 7. Dosis Paduan OAT Kombipak Kat 2:2HRZES/HRZE/5H3R3E3 38 Tabel 8. Pemeriksaan dahak ulang untuk pemantauan hasil pengobatan 40 Tabel 9. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur 46 Tabel 10. Efek samping ringan OAT 47 Tabel 11. Efek samping berat OAT 54 Tabel 12. Ringkasan petunjuk untuk terduga TB ekstraparu dan tanda utama TB ekstraparu untuk membantu diagnosis 55 Tabel 13. Diagnosis terduga TB Ekstraparu 61 Tabel 14. Interpretasi Hasil pemeriksaan anti HIV 64 Tabel 15. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB 66 Tabel 16. Tatalaksana Efek Samping Obat pada Pasien dengan Pengobatan Ko-Infeksi TB-HIV 69 Tabel 17. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol 72 Tabel 18. Penanganan Efek Samping PP INH 73 Tabel 19. Tatalaksana Lost to follow up PP INH 87 Tabel 20. Sediaan OAT untuk paduan OAT Resistan Obat 88 Tabel 21. Logistik non OAT : bahan dan alat kesehatan 105 Tabel 22. Jenis formulir TB dan penggunaannya 107 Tabel 23. Jenis formulir terkait koinfeksi TB-HIV dan penggunaannya 109 Tabel 24. Daftar indikator Program TB
xi
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
DAFTAR SINGKATAN 3TC : Lamivudine ACH : Air Change per Hour AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome ART : Antiretroviral Therapy ARV : Antiretroviral AZT : Zidovudine (sering disingkat pula sebagai ZDV) BAP : Berita Acara Pemeriksaan Bapas : Balai Pemasyarakatan BTA : Basil Tahan Asam Cabrut : Cabang Rutan CB : Cuti Bersyarat CD4 : limfosit-T CD4+ CMB : Cuti Menjelang Bebas CNR : Case Notification Rate (Angka Notifikasi Kasus) D4T : Stavudine Dinkes : Dinas Kesehatan Ditjen : Direktorat Jenderal Ditjenpas : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan DM : Diabetes Mellitus DOTS : Directly Observed Treatment Shortcourse E : Etambutol EFV : Efavirenz Fasyankes : Fasilitas Layanan Kesehatan FK-RM : Fasilitas Kesehatan Rujukan Mikroskopis FKTP : Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama FKRTL : Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut FTC : Emtricitabine G6PD : Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency H : Isoniazid HAM : Hak Asasi Manusia HIV : Human Immunodeficiency Virus IMS : Infeksi Menular Seksual
xii
Daftar Isi, Daftar Tabel, Daftar Gambar dan Daftar Singkatan
INH : Isoniazid IO : Infeksi Oportunistik IRIS : Immune Response Inflammatory Syndrome ISTC : International Standards for Tuberculosis Care KIE : Komunikasi Informasi dan Edukasi Kanwil : Kantor Wilayah KDT : Kombinasi Dosis Tetap (dalam Bahasa inggris disebut Fix Dose Combination yang disingkat FDC) Kemenkes : Kementerian Kesehatan Kemenkumham : Kementerian Hukum dan HAM KPLP : Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan KTIP : Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan KTS : Konseling dan Tes HIV Sukarela Lapas : Lembaga Pemasyarakatan LED : Laju Endap Darah LFT : Liver Function Test LPKA : Lembaga Pembinaan Khusus Anak LPLPO : Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat LPV/r : Lopinavir-ritonavir LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat Mapenaling : Masa Pengenalan Lingkungan MDR : Multidrug-resistance (kebal obat ganda) Monev : Monitoring dan Evaluasi MTPTRO : Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat NNRTI : Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor NRTI : Nucleoside reverse transcriptase inhibitor NVP : Nevirapine OAT : Obat Anti TB ODHA : Orang dengan HIV/AIDS PB : Pembebasan Bersyarat PCR : Polymerase Chain Reaction PGL : Persistence Generalized Lymphadenopathy PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
xiii
PK : Pembimbing Kemasyarakatan PMDT : Programmatic Management of Drug Resistant TB PMO : Pengawas Menelan Obat PPK : Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksasol PP INH : Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid Pokja : Kelompok Kerja PPI TB : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat R : Rifampisin RAN : Rencana Aksi Nasional Rutan : Rumah Tahanan RR : Resistan Rifampisin RS : Rumah Sakit RUS : Rujukan Uji Silang S : Streptomisin SDM : Sumber Daya Manusia SIHA : Sistem Informasi HIV-AIDS SITT : Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu SPI : Sindroma Pulih Imun SPS : Sewaktu-Pagi-Sewaktu TB : Tuberkulosis TDF : Tenofovir TemPO : Temukan Pasien Secepatnya, Pisahkan secara Aman, dan Obati secara Tepat Total DR : Total Drug Resistance UPT : Unit Pelaksana Teknis WBP : Warga Binaan Pemasyarakatan WHO : World Health Organization XDR : Extensively Drug Resistance Z : Pirasinamid ZDV : Zidovudine
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG Situasi TB di Indonesia
T
uberkulosis sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) ini menyerang sebagian besar kelompok usia produktif dan kelompok ekonomi lemah. Jumlah kasus TB di Indonesia sekitar 5% dari total seluruh pasien TB di dunia. Menurut laporan WHO tahun 2013, di Indonesia diperkirakan 460.000 kasus TB baru (185 per 100.000 penduduk) dengan 67.000 kematian (27 per 100.000 penduduk). Angka Penemuan Kasus (CNR) dilaporkan 328.824 kasus TB (322.882 adalah kasus baru). Diperkirakan 7.500 kasus TB (3,1 per 100.000 penduduk) dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus) positif. Dari kasus baru diperkirakan ada 1,9% kasus TB RO (Resistan Obat) sedangkan dari pengobatan ulang diperkirakan ada 12% kasus TB RO.
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Dalam perkembangan Global menuju The Three Zeroes (Zero new infection, zero deaths, zero stigma discrimination) maka Kementerian Kesehatan RI menyusun strategi melalui Permenkes No.21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV-AIDS dimana pada pasal 24 disebutkan bahwa setiap orang dewasa, remaja dan anak-anak yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan tanda, gejala, atau kondisi medis yang mengindikasikan atau patut diduga telah terjadi infeksi HIV terutama pasien dengan riwayat penyakit tuberkulosis dan IMS (Infeksi menular Seksual) ditawarkan untuk pemeriksaan HIV melalui KTS (Konseling dan Tes HIV Sukarela) atau KTIP (Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan). Sesuai Laporan Triwulanan AIDS 2014, jumlah kumulatif pengidap HIV sebanyak 160,138 dan penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) sebanyak 65,790 sampai dengan Desember 2014.
Kondisi TB di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan di Indonesia UPT Pemasyarakatan sebagian besar jumlah penghuninya melebihi kapasitas dan tidak memiliki ruang perawatan khusus penyakit menular. Hal ini mengakibatkan ketidaknyamanan, sanitasi lingkungan yang kurang memadai, meningkatnya kerentanan WBP dan Tahanan terhadap penularan berbagai penyakit khususnya TB. Penyakit Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan menjadi penyakit nomor empat dan penyebab kematian terbanyak kedua berdasarkan data yang masuk ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tahun 2014. Jumlah lapas, rutan dan cabang rutan sampai tahun 2014 adalah 463, yang sudah melaksanakan strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) sebanyak 299 (64%), dan sebanyak 121 (61%) yang sudah melakukan skrining TB pada WBP baru. Ada satu Rumah Sakit yaitu RS Pengayoman yang sudah melaksanakan strategi DOTS. Data triwulanan UPT Pemasyarakatan tahun 2014 menunjukkan 3,623 jumlah terduga TB dan 734 pasien TB. Angka kesembuhan di antara pasien TB Baru BTA positif ialah 41% di tahun 2012 dan 38% serta 48% di tahun 2013 dan 2014. Pada tahun 2014, terdapat 21 lapas narkotika dan 5 lapas umum yang difungsikan sebagai lapas rehabilitasi untuk kasus narkotika dengan 1,073 penderita HIV UPT Pemasyarakatan di Indonesia (Sistem Database Pemasyarakatan 2014). Tingginya jumlah WBP dan tahanan pengguna napza suntik dan meningkatnya pengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV) di sejumlah UPT Pemasyarakatan akan menambah jumlah kesakitan dan kematian akibat TB. TB merupakan infeksi oportunistik utama pada pasien AIDS. Oleh karena itu, penemuan dan penyembuhan pasien TB diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB, serta menghambat penularan TB pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) di UPT Pemasyarakatan. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
2
Bab I: Pendahuluan
Manusia (Ditjen Pas Kemenkumham) bermitra dengan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Ditjen P2PL Kemenkes) mulai tahun 2008 secara bertahap melaksanakan dan menerapkan Strategi DOTS di seluruh UPT Pemasyarakatan di Indonesia.
TUJUAN Buku ini sebagai Panduan Pelaksanaan Penanggulangan TB di UPT Pemasyarakatan.
SASARAN Buku Panduan Pelaksanaan Penanggulangan TB di UPT Pemasyarakatan digunakan oleh: 1. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM 2. Direktorat Jenderal PP&PL Kementerian Kesehatan 3. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM 4. Petugas UPT Pemasyarakatan 5. Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota 6. Fasilitas Pelayanan Kesehatan
LANDASAN HUKUM 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
8.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1995 tentang Kesehatan; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4431) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3495); Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 3437, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447); Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan WBP dan tahanan/Tahanan Pemasyarakatan;
3
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tatacara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan; 10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1999 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan; 11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan, Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan; 12. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan; 13. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional; 14. Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2013 Nomor 29); 15. Peraturan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Napza; 16. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 56/HUK/2009 Tentang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya; 17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 18. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Metadon; 19. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1400); 20. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional; 21. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 tentang Surveilans Kesehatan; 22. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV; 23. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Nomor 82 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Penyakit Menular; 24. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan Anti Retroviral; 25. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Laboratorium HIV dan Infeksi Oportunistik; 26. Peraturan bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Meneteri Hukum dan HAM RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian RI serta Kepala Badan Narkotika Nasional RI tanggal 11 Maret 2014 tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi;
4
Bab I: Pendahuluan
27. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : E.40- PR.05.03 tahun 1987 tentang Petunjuk Teknis Bimbingan Klien Pemasyarakatan; 28. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 382/Menke/SK/III/2007 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di RS dan Fasyankes lainnya; 29. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 350/Menkes/SK/IV/2008 tentang Penetapan Rumah Sakit Pengampu dan Satelit Program Terapi Rumatan Metadon serta Pedoman Program Terapi Rumatan; 30. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tanggal 13 Mei 2009 tentang Pedoman Nasional Penanggulangan TB; 31. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1185/Menkes/SK/XII/2009 tanggal 4 Desember 2009 tentang Peningkatan Kepesertaan Jamkesmas bagi Panti Sosial, Penghuni Lapas dan Rutan; 32. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK. 02.02/Menkes/305/2014 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis; 33. Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.
PENGERTIAN 1. Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, selanjutnya disebut UPT Pemasyarakatan terdiri dari Rumah Tahanan Negara, Lembaga Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakan, dan Rumah Sakit Pengayoman. 2. Rumah Tahanan Negara, selanjutnya disebut RUTAN adalah unit pelaksana teknis tempat tersangka dan terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan. 3. Lembaga Pemasyarakatan, selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan WBP dan anak didik pemasyarakatan. 4. Balai Pemasyarakatan, selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan. 5. Tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang ditempatkan di rutan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan. 6. Warga Binaan Pemasyarakatan, selanjutnya disebut WBP adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan. 7. Ruang Perawatan Khusus Penyakit Menular adalah ruang pemisahan sementara bagi terduga dan pasien TB sesuai dengan standar pencegahan dan pengendalian infeksi TB. 8. Fasilitas Kesehatan (Faskes) adalah sarana dan prasarana kesehatan.
5
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
9. Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) adalah unit layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. 10. Organisasi kemasyarakatan adalah organisasi berupa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik lokal, nasional, internasional, organisasi berbasis komunitas, organisasi berbasis agama, organisasi pasien dan mantan pasien, organisasi profesi dan lain-lain
6
BAB II KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TB DI UPT PEMASYARAKATAN
KEBIJAKAN
K
ebijakan penanggulangan TB di UPT Pemasyarakatan merujuk kepada Kebijakan Penanggulangan TB Nasional tahun 2014: • Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS sebagai kerangka dasar dan memperhatikan strategi global untuk menanggulangi TB (Global Stop TB Strategy) • Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen pemangku kepentingan dan pelaksana terhadap program penanggulangan TB. • Penguatan penanggulangan TB dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB Resistan Obat. • Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh UPT Pemasyarakatan. • Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di UPT Pemasyarakatan. Pengobatan TB dengan tingkat kesulitan yang tidak dapat ditatalaksana di
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
•
• • • •
UPT Pemasyarakatan akan dilakukan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor penyulit telah dapat ditangani. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara Ditjenpas, Kanwil Kemenhukham, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota, organisasi kemasyarakatan, lembaga non pemerintah, swasta dan masyarakat. Memperkuat sistem laboratorium di UPT Pemasyarakatan yang bertujuan untuk peningkatan mutu dan akses layanan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikan secara cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistik yang efektif demi menjamin ketersediaannya. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi penanggulangan TB global dan nasional
TUJUAN a. Melindungi kesehatan WBP, tahanan, dan petugas UPT Pemasyarakatan dari penularan TB agar tidak terjadi kesakitan, kematian dan kecacatan. b. Menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat TB; c. Mencegah terjadinya TB resistan obat;
STRATEGI Sesuai dengan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan TB dan Pengendalian HIV-AIDS bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) 2015-2019, strategi penanggulangan TB dijabarkan dalam strategi TB dan strategi TB-HIV yang meliputi: Strategi TB : a. b. c. d.
Melakukan Intensifikasi Penemuan Kasus TB Perluasan UPT Pemasyarakatan sebagai satelit TB MDR Mengembangkan pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB (PPI TB) Mengembangkan Sistem Surveilans di Lapas dan Rutan
Strategi TB dan HIV a. Memperkuat komitmen politik TB dan HIV di tingkat pusat, kantor wilayah Kemenkumham dan UPT Pemasyarakatan
8
Bab II: Kebijakan Penanggulangan TB di UPT Pemasyarakatan
b. Memperkuat manajemen program TB dan HIV di tingkat pusat, kantor wilayah Kemenkumham dan UPT Pemasyarakatan c. Menurunkan beban TB pada HIV d. Menurunkan beban HIV pada pasien TB e. Mengembangkan inovasi dan penelitian TB-HIV
ORGANISASI PELAKSANA Program Penanggulangan TB di UPT Pemasyarakatan merupakan bagian dari Program Nasional Penanggulangan TB yang terintegrasi dengan pelayanan kesehatan di UPT Pemasyarakatan. Program Penanggulangan TB di UPT Pemasyarakatan dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan HAM bersama dengan Kementerian Kesehatan serta mitra kerja lainnya pada tingkat pusat, provinsi (kantor wilayah), kabupaten/kota (dinas), serta di tingkat UPT Pemasyarakatan itu sendiri. Skema Pelaksana Program TB tersebut bisa dilihat di Gambar 1.
Gambar 1. Skema Pelaksana Penanggulangan TB di UPT Pemasyarakatan
9
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
KEGIATAN Kondisi spesifik di UPT Pemasyarakatan, berbeda dari pelaksanaan Program TB di Puskesmas dan fasyankes lain, dalam hal adanya penemuan kasus secara aktif melalui proses skrining TB. Secara umum, kegiatan penanggulangan TB di UPT Pemasyarakatan harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: Penanggulangan TB diselenggarakan melalui kegiatan: 1. Promosi dilakukan dengan metode KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi )melalui: b. Advokasi c. Sosialisasi d. Penyuluhan e. Konsultasi f. Bimbingan dan konseling g. Intervensi perubahan perilaku h. Pemberdayaan masyarakat i. Pemanfaatan media informasi dan komunikasi 2. Surveilans TB: a. Surveilans TB berbasis indikator program ditujukan untuk mendukung perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian program penanggulangan TB b. Surveilans TB berbasis kejadian ditujukan untuk meningkatkan kewaspadaan dini dan tindakan respon terhadap terjadinya peningkatan TB resistan obat c. Tindakan respon meliputi pelacakan kontak, pemeriksaan kontak, pemberian alat pelindungan diri terhadap pasien TB resistan obat, dan penanganan pasien 3. Pengendalian faktor risiko: a. Pengendalian faktor risiko TB ditujukan untuk mengupayakan tidak terjadi penularan dan memutus rantai penularan b. Upaya agar tidak terjadi penularan sebagaimana dilakukan dengan cara: • Menjalani PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) • Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan lingkunganya meliputi sarana ventilasi dan sarana pencahayaan sinar matahari • peningkatan daya tahan tubuh melalui perbaikan gizi masyarakat c. Upaya pemutusan mata rantai penularan dilakukan dengan cara penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB di fasilitas pelayanan kesehatan, dan di luar fasyankes d. Pencegahan dan pengendalian infeksi TB ditujukan bagi petugas, masyarakat, dan pasien dengan paling sedikit menggunakan alat pelindung diri dan etika batuk
10
Bab II: Kebijakan Penanggulangan TB di UPT Pemasyarakatan
4. Penemuan kasus TB di UPT Pemasyarakatn dilakukan dengan cara: a. Menemukan sedini mungkin terduga TB melalui skrining warga binaan pemasyarakatan b. Menegakkan diagnosis c. Penetapan klasifikasi dan tipe pasien TB 5. Penanganan kasus: a. Penanganan pasien TB dilakukan dengan kegiatan pengobatan, perawatan, pemulihan dan/atau rehabilitasi medik b. Pengobatan pasien TB harus dilakukan pengawasan oleh petugas kesehatan atau kader kesehatan terlatih c. Kegiatan penanganan pasien TB dilaksanakan sesuai pedoman nasional pelayanan kedokteran tatalaksana TB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 6. Pemberian obat pencegahan TB: Pemberian obat pencegahan diberikan pada ODHA yang belum terdeteksi menderita TB dan dilakukan selama 6 (enam) bulan
11
BAB III TATALAKSANA TUBERKULOSIS DI UPT PEMASYARAKATAN
U
paya penanggulangan TB termasuk TB Resistan Obat (TB RO) dan TB-HIV merupakan rangkaian kegiatan dimulai dari penemuan kasus, diagnosis, pengobatan dan pemantauan pasien sampai pengobatan selesai. Upaya ini dilaksanakan sejak WBP dan tahanan baru masuk, selama berada di dalam UPT Pemasyarakatan, menjelang bebas hingga setelah bebas (pre dan post release).
PENEMUAN KASUS TB Patogenesis dan Penularan TB Kuman Penyebab TB Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. leprae dsb. yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
bakteri Mycobacterium selain M. tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB. Untuk itu pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan identifikasi terhadap Mycobacterium tuberculosis menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB. Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain adalah sebagai berikut : • Berbentuk batang dengan panjang 1 – 10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron. • Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen. • Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa. • Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop. • Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C . • Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet. • Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit. • Dalam dahak pada suhu antara 30-37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu. • Kuman dapat bersifat dormant (”tidur”/tidak berkembang) Cara Penularan TB a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%. c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut. d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
14
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Perjalanan alamiah TB a. Paparan Peluang peningkatan paparan terkait dengan:
Jumlah kasus menular di masyarakat Peluang kontak dengan kasus menular Tingkat daya tular dahak sumber penularan Intensitas batuk sumber penularan Kedekatan kontak dengan sumber penularan Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara (ventilasi, sinar ultra violet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan konsentrasi)
Catatan: Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk terinfeksi. Setelah terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan seseorang akan terinfeksi saja, menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB. b. Infeksi Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6-14 minggu setelah infeksi Reaksi immunologi (lokal) Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian berlangsung reaksi antigen-antibody. Reaksi immunologi (umum) Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif) Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali. Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi c. Sakit TB Faktor risiko untuk menjadi Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup sakit TB adalah tergantung Lamanya waktu sejak terinfeksi dari : Usia seseorang yang terinfeksi Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/ AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
15
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Catatan: Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun bila seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui proses reaktifasi. TB umumnya terjadi pada paru (TB Paru). Namun, penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB Ekstra Paru). Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ tubuh terkena (TB milier). d. Meninggal dunia Faktor risiko kematian karena TB:
Akibat dari keterlambatan diagnosis Pengobatan tidak adekuat Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit penyerta
Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV positif.
Intensifikasi Penemuan Kasus TB di UPT Pemasyarakatan Intensifikasi penemuan pasien TB merupakan langkah pertama dalam kegiatan program pengendalian TB di UPT Pemasyarakatan. Kegiatan dalam penemuan kasus TB di UPT Pemasyarakatan dilakukan secara aktif dan pasif sebagai berikut: 1. Aktif; dilakukan melalui skrining WBP dan tahanan baru, survey batuk, pelacakan kontak, skrining menjelang bebas, dan skrining masal berkala 2. Pasif; melalui kunjungan ke poliklinik (WBP dan tahanan serta petugas UPT Pemasyarakatan) Penemuan kasus secara aktif meliputi: 1. Skrining gejala TB pada WBP dan tahanan baru Skrining gejala TB pada WBP dan tahanan baru bertujuan untuk menemukan terduga TB, termasuk TB RO dan TB-HIV, pada saat masuk UPT Pemasyarakatan sehingga dapat segera didiagnosis dan diobati untuk mencegah penularan TB. Oleh sebab itu skrining ini harus dilakukan oleh seluruh Lapas dan Rutan. Skrining ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi pasien TB yang dalam pengobatan agar dapat memastikan pasien melanjutkan pengobatan sampai selesai. Merujuk pada program Ditjenpas Kemenkumham tentang pengendalian HIV-AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di UPT Pemasyarakatan, dan sesuai Permenkes No 21 Tahun 2013, WBP dan tahanan merupakan populasi yang dianjurkan tes HIV selain ibu hamil di daerah dengan prevalensi HIV tinggi, pasien Infeksi Menular Seksual, Pasangan ODHA, Pasien TB dan Hepatitis. Maka saat skrining WBP dan tahanan baru, HIV dan IMS termasuk di dalamnya mengikuti alur skrining WBP dan tahanan baru di Lapas dan Rutan.
16
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
BAP wajib dilaksanakan oleh petugas kesehatan di UPT pemasyarakatan. Apabila tidak ada petugas kesehatan maka bisa dilakukan oleh petugas non kesehatan di UPT Pemasyarakatan dan/atau kader kesehatan terlatih, namun yang menyimpulkan ialah petugas medis dari Puskesmas terdekat dengan jejaring.
Gambar 2. Alur Skrining WBP dan tahanan baru di Lapas dan Rutan Keterangan alur : a. Penawaran Tes HIV wajib dilaksanakan secara sistematis tanpa memandang faktor risiko. Lapas dan Rutan yang memiliki sarana pemeriksaan HIV dan petugas terlatih, maka pemeriksaan HIV dilakukan di Lapas/Rutan tersebut sedangkan bagi yang belum memiliki sarana pemeriksaan atau petugas belum terlatih, maka pemeriksaan HIV dilakukan di fasyankes setempat yang memiliki sarana pemeriksaan HIV dengan mengirim sampel darah atau merujuk pasien. Pemeriksaan HIV juga dapat dilakukan melalui kegiatan mobile counselling oleh fasyankes terdekat. b. Bagi yang menolak ataupun belum tes HIV dilakukan edukasi dan ditawarkan kembali untuk tes saat masa pengenalan lingkungan (mapenaling). Bila masih menolak tes HIV maka perlu pernyataan secara tertulis atau dirujuk ke konselor. c. Bagi lapas/rutan satelit ARV atau yang sudah mampu menginisiasi ARV maka untuk penatalaksanaannya mengacu pada Permenkes RI No 87 tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan ARV.
17
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
d. Pemeriksaan tes cepat dilakukan dengan mengirim sampel dahak ke laboratorium rujukan TB MDR setempat. Tatalaksana diagnosis TB RO merujuk ke Petunjuk Penatalaksanaan TB Resistan Obat di Lapas dan Rutan. Form Berita Acara Pemeriksaan ada di lampiran 1, disertai Form Skrining TB-HIV di lampiran 2, Formulir Skrining IMS di lampiran 3 dan Form Skrining Narkoba di lampiran 4. 2. Skrining melalui petugas batuk (Survei batuk) Tujuan survei batuk adalah untuk menemukan dan mengobati kasus TB secara aktif dan sedini mungkin. Survei batuk dilakukan secara berkesinambungan oleh petugas batuk (kader kesehatan) terlatih dengan menjaring WBP dan tahanan di blok hunian yang batuk untuk diberikan masker dan edukasi mengenai TB. WBP dan tahanan dengan batuk 2 minggu atau lebih akan didampingi oleh kader kesehatan ke poliklinik untuk tata laksana lebih lanjut oleh petugas kesehatan. Pencatatan dan pelaporan kegiatan survei batuk dilakukan per triwulanan oleh kader. 3. Pelacakan kontak Di lapas dan rutan, kontak TB adalah orang yang berbagi udara yang sama dalam periode waktu yang lama dengan WBP dan tahanan yang sakit TB. Termasuk di dalamnya adalah: a. WBP dan tahanan yang tidur dalam satu sel yang sama dengan penderita sakit TB b. WBP dan tahanan yang menghabiskan waktu yang lama dengan pasien TB di ruangan yang ventilasinya kurang baik c. Petugas lapas dan rutan yang berinteraksi dalam waktu lama dengan pasien TB Pelacakan kontak TB wajib dilakukan. Pelacakan kontak dilakukan oleh petugas kesehatan dibantu oleh kader kesehatan. Bila tidak ada petugas kesehatan, dapat dibantu oleh petugas kesehatan dari puskesmas/fasyankes rujukan setempat berkoordinasi dengan pihak keamanan UPT Pemasyarakatan. 4. Skrining menjelang bebas Skrining gejala TB dan penawaran tes HIV dilakukan 3 bulan menjelang bebas. Kegiatan ini dilakukan di lapas bekerja sama dengan petugas registrasi Lapas dan petugas PK (Pembimbing Kemasyarakatan) Bapas. Hal ini bertujuan agar ketika bebas pasien sudah tidak menularkan TB ke masyarakat umum, dan dapat dirujuk ke fasiltas kesehatan terdekat untuk memastikan pasien berobat sampai tuntas. Formulir BAP Kesehatan WBP menjelang bebas ada di lampiran 6.
18
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
5. Skrining masal berkala Skrining masal secara berkala bertujuan untuk menemukan secara dini kasus TB yang belum terdiagnosa dengan metode lain. Ada 3 prinsip mendasar yang harus diperhatikan pada skrining masal: 1. menjangkau seluruh WBP/tahanan dan petugas UPT Pemasyarakatan 2. waktu antara penemuan terduga TB hingga penegakkan diagnosis sesingkat mungkin 3. Pada tahap awal implementasi TB, skrining massal dilakukan rutin selama 3 tahun berturut-turut. Setelah itu dilanjutkan penemuan kasus TB secara aktif melalui skrining pada WBP baru dan survei batuk. Bila memungkinkan, skrining masal berkala dianjurkan menggunakan pemeriksaan radiologis (rontgen dada). 6. Skrining TB Resistan Obat Semua WBP dan tahanan yang diduga TB Resistan Obat wajib dirujuk ke fasyankes yang memiliki fasilitas tes cepat dan uji kepekaan obat untuk penegakan diagnosis lebih lanjut. Terduga TB RO adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan satu atau lebih kriteria di bawah ini yaitu: 1. Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2 2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan 3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan 4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal 5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi 6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2 7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default) 8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR 9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara klinis maupun bakteriologis terhadap pemberian OAT (bila penegakan diagnosis awal tidak menggunakan GeneXpert) Pelaksanaan intensifikasi penemuan kasus TB, termasuk TB RO dan TB-HIV, memerlukan koordinasi staf kesehatan, kepala dan pihak keamanan dalam UPT Pemasyarakatan dan harus terencana dengan baik.
19
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PADA ORANG DEWASA Gejala Tuberkulosis Terduga TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung TB, sebagai berikut: gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Terduga TB ditempatkan di ruang Perawatan khusus penyakit menular dan menggunakan masker bedah sesuai kaidah PPI TB Pemeriksaan Dahak a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS): • S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga TB datang berkunjung pertama kali ke klinik. Pada saat kembali ke ruang isolasi, terduga pasien TB membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua. • P (Pagi): dahak ditampung lagi pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas kesehatan. • S (sewaktu): dahak ditampung lagi pada hari yang sama saat menyerahkan dahak pagi. Teknik mengeluarkan dahak : • Pengeluaran dahak dilakukan di sputum booth (tempat berdahak khusus) atau di ruang terbuka yang terpapar sinar matahari dan jauh dari keramaian. • Persiapan pasien - KIE tentang pentingnya mendapatkan dahak yang berkualitas - berdahak dalam keadaan perut kosong dan berkumur dengan air bersih - Setelah selesai, pasien mencuci tangan dengan sabun - Petugas harus mendampingi pasien dengan memperhatikan arah angin sedemikian rupa agar arah angin tidak mengarah kepada petugas
20
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Gambar 3. Sputum Booth (tempat mengeluarkan dahak) di Rutan Cipinang. Sumber foto: Dr Julius Sumarli / Rutan Cipinang
- Apabila ternyata dahak tidak memenuhi syarat pemeriksaan (berupa air liur atau volumenya kurang), pasien harus diminta berdahak lagi. Apabila kesulitan mengeluarkan dahak: • Berikan obat batuk yang mengandung glyserol guayacolas sehari sebelum pengumpulan dahak, atau • Pasien dianjurkan berolah raga ringan, berlari-lari kecil, atau • Petugas melakukan tepukan-tepukan ringan dengan kedua telapak tangan pada punggung pasien, selama kurang lebih 3-5 menit • Selanjutnya pasien berdahak seperti pada butir 4 di atas - Standar pengemasan dahak ada di lampiran 14 Cara menilai kualitas dahak secara makroskopis: • Lakukan penilaian terhadap dahak pasien tanpa membuka tutup pot melalui dinding pot yang transparan • Hal-hal yang harus diamati adalah volume 3-5 ml, dahak kental berwarna hijau kekuningan (mukopurulen) • Setelah memeriksa kualitas dahak, petugas harus mencuci tangan dengan air dan sabun b. Pemeriksaan Biakan Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberculosis (M.tb) dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada: • Pasien TB ekstra paru • Pasien TB anak • Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif Pemeriksaan tersebut dilakukan di sarana laboratorium yang terpantau mutunya.
21
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
c. Pemeriksaan uji kepekaan obat Saat ini uji kepekaan obat terhadap M. tuberculosis dapat dilakukan dengan cara konvensional dan tes cepat. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resistan obat. Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi.
Diagnosis TB Diagnosis TB adalah upaya untwuk menegakkan atau menetapkan seseorang sebagai pasien TB sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Diagnosis TB Paru • Dalam upaya pengendalian TB secara nasional, maka diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat. • Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB. • Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) yang tidak memberikan perbaikan klinis. • Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis atau hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks atau pemeriksaan uji tuberculin saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung: • Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS (Sewaktu – Pagi – Sewaktu): • Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif.
22
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Gambar 4. Alur diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa (tanpa kecurigaan/bukti : hasil tes HIV(+) terduga TB Resistan Obat) (dimodifikasi dari : Treatment of Tuberculosis, Guidelines for National Programme, WHO, 2010)
23
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Keterangan : 1. Pemeriksaan klinis secara cermat dan hasilnya dicatat sebagai data dasar kondisi pasien dalam rekam medis. 2. Untuk UPT Pemasyarakatan yang memiliki alat tes cepat, pemeriksaan mikroskopis langsung tetap dilakukan untuk terduga TB tanpa kecurigaan/bukti HIV maupun resistensi OAT. 3. Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak menyingkirkan diagnosis TB. Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan tes cepat dan biakan. Untuk pemeriksaan tes cepat dapat dilakukan hanya dengan mengirimkan contoh uji. 4. Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi. 5. Pemberian AB (antibiotika) non OAT yang tidak memberikan efek pengobatan TB termasuk golongan Kuinolon. 6. Untuk memastikan diagnosis TB 7. Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan asesment lanjutan oleh dokter untuk faktor2 yg bisa mengarah ke TB 8. Dilakukan KTIP (Konseling dan Testing HIV atas Inisiasi Pemberi Pelayanan Kesehatan) Catatan : 1. Agar tidak terjadi over diagnosis atau under diagnosis yang dapat merugikan pasien serta gugatan hukum yang tidak perlu, pertimbangan dokter untuk menetapkan dan memberikan pengobatan didasarkan pada : b. Keluhan, gejala dan kondisi klinis yang sangat kuat mendukung TB c. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan, misal: pada Meningitis TB, TB milier, pasien ko-infeksi TB/HIV, dsb d. Sebaiknya tindakan medis yang diberikan dikukuhkan dengan persetujuan tertulis pasien atau pihak yang diberikan kuasa (informed consent). 2. Semua terduga pasien TB dengan gejala batuk harus diberikan edukasi tentang PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) untuk menurunkan risiko penularan
Diagnosis TB ekstra paru • Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lainlainnya.
24
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
• Tuberkulosis ekstraparu yang sering ditemukan pada ODHA adalah TB Kelenjar limfe, TB Susunan saraf pusat, TB Abdomen, TB Pleura dan TB Perikard. • Penegakan diagnosis TB ekstraparu pada ODHA sama dengan TB ekstraparu pada non ODHA. • Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena. Hasil biakan spesimen yang diperoleh dari TB ekstraparu jarang memberikan hasil positif. Untuk kasus yang hasil biakannya negatif atau kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diagnosis TB ekstraparu hanya dilakukan secara presumtif berdasarkan bukti klinis yang kuat atau dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Untuk pasien yang dicurigai TB ekstraparu yang pengobatan TB-nya sudah dimulai tanpa konfirmasi bakteriologi atau histopatologi (diagnosis secara presumtif), respons klinis dari pengobatan tersebut dinilai setelah 1 bulan. Jika tidak terjadi perbaikan maka dilakukan penilaian klinis ulang dan harus dipikirkan alternatif diagnosis lainnya. • Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan gejala yang sesuai, untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru. Klasifikasi dan Tipe Pasien TB Definisi Pasien TB Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis: Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji biologisnya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert). Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah: a. Pasien TB paru BTA positif b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena. e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis. (Merujuk pada Petunjuk Teknis Manajement TB Anak) Pasien TB terdiagnosis secara Klinis: Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.
25
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah: a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB. b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis. c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring. Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis. Klasifikasi pasien TB Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga diklasifikasikan menurut lokasi anatomi dari penyakit, riwayat pengobatan sebelumnya, hasil pemeriksaan uji kepekaan obat dan status HIV 1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit: a. Tuberkulosis paru: Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru. b. Tuberkulosis ekstra paru: Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat. 2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya: a. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis).
26
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
b. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu: • Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi). • Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. • Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default). • Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui. c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. 3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa : • Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja • Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan • Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan • Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin) • Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional). 4. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB-HIV): adalah pasien TB dengan: • Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART atau • Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB
27
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
b. Pasien TB dengan HIV negatif adalah pasien TB dengan: • Hasil tes HIV negatif sebelumnya atau • Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif. c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosisTB ditetapkan.
PENGOBATAN PASIEN TB Tujuan Pengobatan TB a. b. c. d. e.
Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya Mencegah terjadinya kekambuhan TB Menurunkan penularan TB Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat
Prinsip Pengobatan TB Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip: a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi b. Diberikan dalam dosis yang tepat c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan
28
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Tahapan Pengobatan TB Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan dengan maksud: a. Tahap Awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu. b. Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Tabel 2. OAT Lini Pertama
Jenis
Sifat
Efek samping
Isoniazid (H)
bakterisidal
Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan fungsi hati, kejang
Rifampisin (R)
bakterisidal
Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urine berwarna merah, gangguan fungsi hati, trombositopeni, demam, skin rash, sesak nafas, anemia hemolitik
Pirazinamid (Z)
bakterisidal
Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout artritis
Streptomisin (S)
bakterisidal
Nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan dan pendengaran, renjatan anafilaktik, anemia, agranulositosis, trombositopeni
Etambutol (E)
bakteriostatik
Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis perifer
29
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Tabel 3. Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa Dosis OAT
Harian
3 x / minggu
Kisaran dosis
Maksimum
Kisaran dosis
Maksimum/hari
(mg/kg BB)
( mg )
(mg/kg BB)
(mg)
5(4–6)
300
10 ( 8 – 12 )
900
Rifampisin
10 ( 8 – 12 )
600
10 ( 8 – 12 )
600
Pirazinamid
25 ( 20 – 30 )
-
35 ( 30 – 40 )
-
Etambutol
15 ( 15 – 20 )
-
30 ( 25 – 35 )
-
Streptomisin
15 ( 12 – 18 )
-
15 ( 12 – 18 )
1000
Isoniazid
Catatan: Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien dengan berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis >500mg/hari. Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi 10 mg/kg/BB/hari. OAT yang digunakan dalam pengobatan TB MDR bisa dilihat di Juklak TB Resistan Obat di Lapas/Rutan. 1. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah: • Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. • Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. • Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR • Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol
30
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya. Paduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu: • Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. • Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep • Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien 2. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya. a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: • Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis. • Pasien TB paru terdiagnosis klinis • Pasien TB ekstra paru Tabel 4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 Tahap Intensif
Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari
3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30 – 37 kg
2 tablet 4KDT
2 tablet 2KDT
38 – 54 kg
3 tablet 4KDT
3 tablet 2KDT
55 – 70 kg
4 tablet 4KDT
4 tablet 2KDT
≥ 71 kg
5 tablet 4KDT
5 tablet 2KDT
Berat Badan
31
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Tabel 5. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3 Tahap Pengobatan
Dosis per hari / kali Lama PengoTablet batan Isoniasid @ 300 mgr
Kaplet Rifampisin @ 450 mgr
Tablet PiTablet razinamid Etambutol @ 500 mgr @ 250 mgr
Jumlah hari/kali menelan obat
Intensif
2 Bulan
1
1
3
3
56
Lanjutan
4 Bulan
2
1
-
-
48
b. Kategori -2 { 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3) } Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang): • Pasien kambuh • Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya • Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up) Tabel 6. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3
Berat Badan
32
Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hari
Selama 28 hari
selama 20 minggu
30-37 kg
2 tab 4KDT + 500 mg Streptomisin inj.
2 tab 4KDT
2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol
38-54 kg
3 tab 4KDT + 750 mg Streptomisin inj.
3 tab 4KDT
3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol
55-70 kg
4 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj.
4 tab 4KDT
4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol
≥71 kg
5 tab 4KDT + 1000mg Streptomisin inj.
5 tab 4KDT ( > do maks )
5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Tabel 7. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Tahap Pengobatan Tahap Awal (dosis harian) Tahap Lanjutan (dosis 3x semggu)
Lama Pengobatan
Tablet Kaplet RiIsonifampisin @ 450 asid @ mgr 300 mgr
Tablet Pirazinamid @ 500 mgr
Etambutol
StrepTablet Tablet tomisin @ 250 @ 400 mgr mgr injeksi
Jumlah hari/kali menelan obat
2 bulan
1
1
3
3
-
0,75 gr
56
1 bulan
1
1
3
3
-
-
28
5 bulan
2
1
-
1
2
-
60
Catatan: • Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus. • Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg). • Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan. • Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua. • OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat. Pemantauan Pasien oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) di UPT Pemasyarakatan Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan menyembuhkan sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat. Untuk tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh seorang PMO (Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi obat. PMO adalah dokter dan petugas kesehatan UPT Pemasyarakatan dibantu oleh kader Kesehatan terlatih. PMO memiliki tugas sebagai berikut : a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
33
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
d. Memberi penyuluhan pada warga binaan yang satu sel (kontak) dan mengawasi warga binaan lain yang memiliki gejala-gejala TB dan melaporkan secepatnya kepada petugas kesehatan di Lapas/Rutan untuk ditindaklanjuti Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya meliputi : a. b. c. d. e. f.
TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan kedokter atau petugas di klinik Lapas/Rutan apabila mengalami efek samping tersebut
PMO harus memastikan pasien menelan obat TB-nya dan mendampingi pasien sampai selesai pengobatan
3. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya: a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan) e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke dokter atau petugas di klinik Lapas/Rutan apabila mengalami efek samping tersebut Pemantauan Kemajuan dan Hasil Pengobatan TB a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB • Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis dengan pemeriksaan dua dahak yaitu sewaktu dan pagi. • Pemeriksaan radiologis, Laju Endap Darah (LED) dan tes cepat tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan.
34
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
• Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dinyatakan positif. • Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). • Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan. • Untuk pasien TB ekstra paru, pemantauan kondisi klinis merupakan cara menilai kemajuan hasil pengobatan. Sebagaimana pada pasien TB BTA negatif, perbaikan kondisi klinis antara lain peningkatan berat badan pasien merupakan indikator yang bermanfaat. • Pemantauan kemajuan pengobatan TB pada ODHA, hasil pengobatan TB termasuk tatalaksana pasien berobat tidak teratur sama dengan pada non ODHA Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan hasil pengobatan :
35
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Hasil Pemeriksaan ulang dahak pada akhir tahap awal : Negatif • Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis pengobatan tahap lanjutan • Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5 dan Akhir Pengobatan)
Positif Pada pasien baru (pengobatan dengan paduan OAT kat 1) : • Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur. • Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan). Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat. • Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ) Pada pasien dengan pengobatan ulang (pengobatan dgn paduan OAT kat 2): • Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur? Apabila tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur. • Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR • Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB RO • Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB RO, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ). • Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).
36
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Hasil Pemeriksaan ulang dahak pada bulan ke 5 atau lebih (akhir pengobatan): Negatif (Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang)
Positif
Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis pengobatan selesai diberikan
Pengobatan dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB Resistan Obat Lakukan rujukan untuk pemeriksaan tes cepat dan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1), pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal. Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa ilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap upaya PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi). Bagaimanapun, harus diupayakan semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR.
Tindak lanjut atas dasar hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah.
37
38
(====)
(====)
(====)
(====)
(X)
(-------)
(====)
apabila hasilnya BTA positif *, lanjutkan pengobatan dan periksa kembali pada bulan ke 5
X
(====)
apabila hasilnya BTA apabila positif *, lanjutkan hasilnya BTA pengobatan dan positif, periksa periksa kembali pada kembali bulan ke 5 pada bulan ke 3
X
(====)
ke 3
(-------)
(-------)
apabila hasilnya BTA positif **, dinyatakan gagal
X
(-------)
apabila hasilnya BTA positif **, dinyatakan gagal
X
(-------)
apabila hasilnya BTA positif **, dinyatakan gagal
X
(-------)
(-------)
(-------) (X)
5
4
3
apabila hasilnya BTA apabila positif*, lanjutkan hasilnya BTA pengobatan dan positif, periksa periksa kembali pada kembali bulan ke 5 pada bulan
X
2
1
BULAN PENGOBATAN
( dimodifikasi dari : Management of Tuberculosis, Training for Health Facility Staf,WHO,2010 )
5(HR)3E3
2(HRZE)S / (HRZE) /
BTA positif
Pasien pengobatan ulang
2(HRZE) / 4(HR)3
BTA negatif
Pasien baru
2(HRZE) / 4(HR)3
BTA positif
Pasien baru
KATEGORI PENGOBATAN
(-------)
apabila hasilnya BTA positif **, dinyatakan gagal
X
(-------)
apabila hasilnya BTA positif **, dinyatakan gagal
X
(-------)
6
Tabel 8. Pemeriksaan dahak ulang untuk pemantauan hasil pengobatan
(-------)
7
apabila hasilnya BTA positif **, dinyatakan gagal
X
(-------)
8
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
(====) : Pengobatan tahap awal (-------) : Pengobatan tahap lanjutan X : Pemeriksaan dahak ulang pada minggu terakhir bulan pengobatan untuk memantau hasil pengobatan ( X ) : Pemeriksaan dahak ulang pada bulan ini dilakukan hanya apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal hasilnya BTA(+) * : Lakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasilnya menunjukkan resistensi Rifampisin, maka dinyatakan gagal pengobatan dan rujuk pasien ke RS Rujukan TB MDR ** : Pasien dinyatakan gagal. Lakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasilnya menunjukkan resistensi, rujuk pasien ke RS Rujukan TB MDR.
Keterangan :
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
39
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
b. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur Tabel 9. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur Tindakan pada pasien yang putus berobat selama kurang dari 1 bulan • Dilakukan pelacakan pasien dengan berkoordinasi dengan petugas registrasi dan KPLP (Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan) • Cari faktor penyebab putus berobat dan Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi * Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1 – 2 bulan Tindakan pertama • Lacak pasien • Diskusi dengan pasien untuk mencari faktor penyebab putus berobat • Periksa dahak SPS dan melanjutkan pengobatan sementara menunggu hasilnya
Apabila hasilnya BTA negatif atau pada awal pengobatan adalah pasien TB ekstra paru
Tindakan kedua Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi * Total dosis pengobatan sebelumnya ≤ 5 bulan
Apabila salah satu atau lebih hasilnya BTA positif
Total dosis pengobatan sebelumnya ≥ 5 bulan
Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi * • Kategori 1 : 1. Lakukan pemeriksaan tes cepat 2. Berikan Kategori 2 mulai dari awal ** • Kategori 2 : Lakukan pemeriksaan tes cepat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR ***
Keterangan : * Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah menyelesaikan dosis pengobatan pada bulan ke 5 dan akhir pengobatan ** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien dapat diberikan pengobatan paduan OAT kategori 2. *** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien tidak diberikan pengobatan paduan OAT.
40
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Tindakan pada pasien yang putus berobat 2 bulan atau lebih (Loss to follow-up) • Lacak pasien • Diskusi dengan pasien untuk mencari faktor penyebab putus berobat
Keputusan pengobatan selanjutnya ditetapkan oleh dokter tergantung pada kondisi klinis pasien, apabila:
Apabila hasilnya BTA negatif atau pada awal pengobatan adalah pasien TB ekstra paru
• Periksa dahak SPS dan atau tes cepat
1. sudah ada perbaikan nyata: hentikan pengobatan dan pasien tetap diobservasi. Apabila kemudian terjadi perburukan kondisi klinis, pasien diminta untuk periksa kembali atau 2. belum ada perbaikan nyata: lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi *
• Hentikan pengobatan sementara menunggu hasilnya
Kategori 1 Dosis pengobatan sebelumnya < 1 bln
Berikan pengobatan Kat. 1 mulai dari awal
Dosis pengobatan sebelApabila salah satu atau umnya > 1 bln lebih hasilnya BTA positif dan tidak ada bukti resistensi Dosis pengobatan sebelumnya < 1 bln
Berikan pengobatan Kat. 2 mulai dari awal
Dosis pengobatan sebelumnya > 1 bln
Dirujuk ke layanan spesialistik untuk pemeriksaan lebih lanjut
Apabila salah satu atau lebih hasilnya BTA positif dan ada bukti resistensi
Kategori 2 Berikan pengobatan Kat. 2 mulai dari awal
Kategori 1 maupun Kategori 2 Dirujuk ke RS pusat rujukan TB MDR
(dimodifikasi dari : Treatment of Tuberculosis, Guidelines for National Programme, WHO,
2010)
41
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Hasil Pengobatan Pasien TB Hasil pengobatan
Sembuh Pengobatan lengkap
Gagal
Meninggal Putus berobat (loss to follow-up)
Tidak dievaluasi
Definisi Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya. Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan. Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau sedang dalam pengobatan. Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih. Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.
Pengobatan TB pada Keadaan Khusus Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barrier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50 mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan pada trimester 3 kehamilan menjelang partus.
42
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya menggunakan kontrasepsi non-hormonal. Pasien TB dengan kelainan hati a. Pasien TB dengan Hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik. b. Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis : • Pembawa virus hepatitis • Riwayat penyakit hepatitis akut • Saat ini masih sebagai pecandu alkohol Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai. c. Hepatitis Kronis Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati yang luas atau tidak stabil, pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan dan perlu dirujuk askes tingkat lanjut. Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB, harus menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik. Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan. Pemantauan klinis dan LFT (Liver Function Test) harus selalu dilakukan dengan seksama
43
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE / 4 HR. H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis pemberian 3 x / minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan : 15 mg/kgBB, 2 atau 3 x / minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau. Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi ginjal sangat diperlukan. UPT Pemasyarakatan wajib merujuk pasien TB dengan gangguan ginjal. Tata laksana sesuai dengan rekomendasi RS Rujukan. Pasien TB dengan Diabetes Mellitus (DM) TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan Diabetes mellitus. Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus: a. Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol b. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan c. Hati-hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata d. Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan e. Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan Pasien TB dengan Rumatan Metadon Pengobatan TB pada pasien dengan Rumatan Metadon yang kemudian mendapatkan Rimfapisin juga perlu diperhatikan interaksi obat dan efek samping yang ditimbulkan. Rifampisin dapat
44
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
menurunkan kadar Metadon dalam darah sehingga dibutuhkan penyesuaian pemberian dosis Metadon sesuai dengan gejala klinis yang ditimbulkan. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti: a. Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis b. TB milier dengan atau tanpa meningitis c. Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial d. Penekanan : Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing (untuk mencegah penyempitan ureter), pembesaran kelenjar getah bening dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah. e. Hipersensitivitas berat terhadap OAT. f. IRIS (Immune Response Inflammatory Syndrome) Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya keluhan serta respon klinis. Prednisolon (per oral): • anak : 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari • dewasa : 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus diturunkan secara bertahap (tappering off). Indikasi operasi Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru), adalah: a. Untuk TB paru: • Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif. • Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif. • Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir. b. Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik.
45
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan TB tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu, pemantuan kemungkinan terjadinya efek-samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Petugas kesehatan dapat mengenal efek samping obat melalui: • Penjelasan kepada pasien gejala efek samping sehingga pasien dapat segera melapor bila terjadi efek samping OAT. • Melihat dan menanyakan terdapatnya tanda dan gejala efek samping pada waktu pasien mengambil OAT. Dua jenis efek samping OAT ialah sebagai berikut: • Efek samping ringan yaitu efek samping yang menyebabkan perasaan tidak nyaman. Gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obat simptomatik atau obat sederhana tetapi kadang menetap untuk beberapa waktu selama pengobatan. Dalam hal ini, pemberian OAT diteruskan. • Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat mengancam jiwa pasien sampai fatal. Pada pasien dengan efek samping berat, pemberian OAT harus dihentikan. Tabel berikut menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan keluhan dan gejala.
Tabel 10. Efek samping ringan OAT Efek Samping
Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut
Penyebab
Penatalaksanaan OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan sedikit makanan
H, R, Z
Apabila keluhan semakin hebat disertai muntah, waspada efek samping berat dan segera rujuk ke dokter.
Nyeri Sendi
Z
Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti radang non steroid
Kesemutan s/d rasa terbakar di telapak kaki atau tangan
H
Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 – 75 mg per hari
46
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Efek Samping
Penyebab
Penatalaksanaan
Warna kemerahan pada air seni (urine)
R
Tidak membahayakan dan tidak perlu diberi obat penawar tapi perlu penjelasan kepada pasien.
Flu sindrom (demam, menggigil, lemas, sakit kepala, nyeri tulang)
R dosis intermiten
Pemberian R dirubah dari intermiten menjadi setiap hari
Tabel 11. Efek samping berat OAT Efek Samping
Penyebab
Bercak kemerahan kulit (rash) dengan atau tanpa rasa gatal
H, R, Z, S
Gangguan pendengaran diketemukan serumen)
(tanpa
Gangguan keseimbangan Ikterus tanpa penyebab lain
Ikuti petunjuk dibawah*
S
S dihentikan
S
S dihentikan
penatalaksanaan
H, R, Z
Semua OAT dihentikan sampai ikterus menghilang.
Semua jenis OAT
Semua OAT dihentikan, segera lakukan pemeriksaan fungsi hati.
Bingung, mual muntah (dicurigai terjadi gangguan fungsi hati apabia disertai ikterus)
Penatalaksanaan
Gangguan penglihatan
E
E dihentikan.
Purpura, renjatan (syok), gagal ginjal akut
R
R dihentikan.
Penurunan produksi urine
S
S dihentikan.
Penatalaksanaan pasien dengan efek samping pada kulit • Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain, dianjurkan untuk memberikan pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta pelembab kulit. Pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat. • Apabila kemudian terjadi rash, semua OAT harus dihentikan dan segera rujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan. Mengingat perlunya melanjutkan pengobatan TB hingga selesai, di faskes rujukan dapat dilakukan upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan terjadinya reaksi dikulit dengan cara ”Drug Challenging ”:
47
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
• Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap satu persatu dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat menimbulkan reaksi ( H atau R ) pada dosis rendah misal 50 mg Isoniazid. • Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari. Apabila tidak timbul reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan menambahkan 1 macam OAT lagi. • Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan bahwa OAT yang diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi pada kulit tersebut. • Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi dikulit tersebut, pengobatan dapat dilanjutkan tanpa OAT penyebab tersebut. Penatalaksanaan pasien dengan ” drugs induced hepatitis ” OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z. Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti gangguan fungsi hati. Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena OAT, pemberian semua OAT harus dihentikan dan dirujuk. Kasus TB yang Harus Dirujuk oleh UPT Pemasyarakatan Kasus TB yang harus dirujuk adalah: - - - - - -
- -
Meningitis TB TB milier, dengan atau tanpa meningitis TB dengan pleuritiseksudatif TB dengan perikarditiskonstriktif TB Resistan Obat Pasien TB memerlukan tindakan operasi reseksi paru: • TB paru yang batukdarah berat atau fistula bronkopleura dan empyema yang tidak dapat diatasi secara konservatif, • Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologis TB Anakusia < 5 tahun Pasien yang mengalami Drug Induced Liver Injury akibat INH dan Rifampisin
MTPTRO (Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat) Untuk alur diagnosis dan Alur Tata Laksana Terduga TB RO di UPT Pemasyarakatan dan penjelasannya merujuk kepada Petunjuk Penatalaksanaan TB Resistan Obat di Lapas Rutan.
48
BAB IV KOLABORASI TB - HIV
K
oinfeksi TB sering terjadi pada ODHA. Orang dengan HIV mempunyai kemungkinan sekitar 30 kali lebih berisiko untuk sakit TB dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Lebih dari 25% kematian pada ODHA disebabkan oleh TB. Estimasi tahun 2013, sekitar 320,000 orang meninggal karena HIV terkait dengan TB. Berdasarkan data rutin Kemenkes, capaian kegiatan kolaborasi TB-HIV pada tahun 2013 tercatat kurang dari 2% pasien TB telah mengetahui status HIV-nya. Diantara pasien TB yang mengetahui status HIVnya tersebut, 40% merupakan pasien koinfeksi TB-HIV. Tingginya angka positif pada pasien TB yang mengetahui status HIVnya tersebut kemungkinan disebabkan belum semua pasien TB dilakukan tes HIV, masih berdasarkan faktor risiko. Pasien koinfeksi TB-HIV yang mendapatkan kotrimoksazol sebanyak 54% dan yang menerima ART sebanyak 49% selama pengobatan TB.
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
A. Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV-AIDS A.1. Penguatan koordinasi bersama program TB dan HIV di semua tingkatan A.2. Melaksanakan surveilans TB-HIV A.3. Melakukan perencanaan bersama TB-HIV untuk integrasi layanan TB-HIV A.4. Monitoring dan evaluasi kegiatan TB-HIV A.5. Mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam kegiatan TB-HIV B. Menurunkan Beban TB pada ODHA dan Inisiasi Pemberian ART Dini B.1 Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi kunci HIV dan memastikan pengobatan TB yang berkualitas B.2 Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid pada ODHA B.3 Penguatan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB di Fasilitas Kesehatan yang memberikan layanan HIV, termasuk tempat orang berkumpul (Lapas/Rutan, Panti Rehabilitasi untuk Pengguna NAPZA) C. Menurunkan Beban HIV pada Pasien TB C.1 Menyediakan tes dan konseling HIV pada pasien TB C.2 Meningkatkan Pencegahan HIV untuk pasien TB C.3 Menyediakan Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksasol untuk pasien TB-HIV C.4 Memastikan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan serta pencegahan HIV pada pasien Ko-infeksi TB-HIV C.5 Menyediakan ART bagi pasien ko-infeksi TB-HIV Kegiatan kolaborasi TB-HIV bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dan HIV, termasuk di unit pelaksana teknis (UPT) pemasyarakatan. Kolaborasi TB-HIV terdiri dari serangkaian kegiatan yang dilaksanakan di semua tingkat manajemen maupun pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebijakan Nasional, sebagai berikut: Di dalam bab ini lebih menekankan pada kegiatan menurunkan beban TB pada ODHA dan menurunkan beban HIV pada pasien TB. Untuk menjamin pelayanan TB-HIV yang berkualitas secepat dan sedekat mungkin, maka terdapat beberapa model layanan TB-HIV yang dapat diterapkan, yaitu : 1. Model layanan terintegrasi Pelayanan TB-HIV yang diharapkan adalah layanan TB dan HIV terintegrasi pada satu fasyankes (one stop service) di lokasi dan waktu yang sama, yaitu pasien TB-HIV mendapatkan akses layanan untuk TB dan HIV sekaligus dalam satu unit dalam satu fasyankes.
50
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
2. Model layanan paralel: a. Layanan TB-HIV dua unit dalam satu fasyankes. b. Layanan TB-HIV berdiri sendiri-sendiri di fasyankes yang berbeda Pemilihan model layanan disesuaikan dengan situasi dan kondisi UPT permasyarakatan. Namun model yang dianjurkan adalah model layanan terintegrasi untuk mencegah hilangnya kesempatan penemuan dan pengobatan pasien TB-HIV.
DIAGNOSIS TB PADA ODHA Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala dan tanda TB pada ODHA adalah batuk, demam yang lama, penurunan berat badan yang signifikan, keringat malam tanpa aktifitas dan gejala ekstra paru. Dikatakan terduga TB, bilamana ditemukan salah satu dari gejala dan tanda tersebut. Yang sering ditemukan pada ODHA adalah demam, penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari 10%) dan gejala ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena misalnya TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB abdomen). Oleh karena itu WHO merekomendasikan bila ODHA datang dengan keluhan batuk berapapun lamanya. Baik deteksi dini TB pada ODHA maupun deteksi dini HIV pada pasien TB keduanya penting untuk meningkatkan penemuan dini koinfeksi TB-HIV, sehingga dapat memulai pengobatan lebih cepat agar keberhasilan pengobatan akan lebih baik. Untuk mengintensifkan penemuan pasien TB pada ODHA dilakukan dengan mengkaji semua ODHA yang berkunjung ke poliklinik menggunakan form skrining TB-HIV di lampiran 2.
51
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Gambar 5. Alur diagnosis TB Paru pada ODHA di fasyankes dengan akses tes cepat Xpert MTB/RIF
52
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Keterangan: 1. Selain melihat gejala-gejala terkait TB perlu dilakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu gejala dari tanda-tanda berikut : frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak dibantu. Apabila telah ada infeksi sekunder berikan antibiotika non fluorokuinolon (untuk infeksi bakteri lain) tanpa mengganggu alur diagnosis, sedangkan bila ditemukan tanda bahaya pasien dirujuk ke fasyankes dengan fasilitas rawat inap. Pada layanan yang memiliki fasilitas pemeriksaan foto toraks, dapat melakukan pemeriksaan foto toraks bersamaan dengan pemeriksaan mikroskopik. 2. Untuk terduga pasien TB Ekstra Paru, rujuk untuk pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya. 3. Pemeriksaan mikroskopis tetap dilakukan bersamaan dengan tes cepat TB dengan tujuan untuk mendapat data dasar pembanding pemeriksaan mikroskopis follow up, namun diagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan tes cepat 4) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB negatif dan foto toraks mendukung TB : - Jika hasil tes cepat ulang MTB positif maka diberikan terapi TB sesuai dengan hasil tes cepat - Jika hasil tes cepat ulang MTB negatif pertimbangan klinis kuat maka diberikan terapi TB - Jika hasil tes cepat ulang MTB negatif pertimbangan klinis meragukan cari penyebab lain 5) Pemberian PPK dapat dimulai sebelum atau bersamaan dengan pemberian OAT dan dilakukan sebelum pemberian ARV. Jika pasien belum mendapat ARV, pemberian ARV dimulai 2-8 minggu setelah mendapatkan OAT. * Pada ODHA dengan klinis sangat mendukung TB dengan hasil MTB negative, maka ulangi pemeriksaan tes cepat sesegera mungkin dengan kualitas sputum yang lebih baik. Bagi fasyankes yang tidak memiliki alat tes cepat dapat mengirimkan spesimen dahak ke layanan yang memiliki alat tes cepat. Mekanisme pengemasan lihat lampiran 14.
53
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Diagnosis TB ekstraparu pada ODHA Tuberkulosis ekstraparu yang sering ditemukan diantaranya adalah TB Kelenjar limfe, TB Susunan saraf pusat, TB Abdomen, TB Pleura dan TB Perikard. Pemeriksaan spesimen untuk penegakan diagnosis TB ekstraparu dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, pemeriksaan biakan maupun histopatologi. Hasil biakan spesimen yang diperoleh dari TB ekstraparu jarang memberikan hasil positif. Untuk kasus yang hasil biakannya negatif atau kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diagnosis TB ekstraparu hanya dilakukan secara presumtif berdasarkan bukti klinis yang kuat atau dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Untuk pasien yang dicurigai TB ekstraparu yang pengobatan TB-nya sudah dimulai tanpa konfirmasi bakteriologi atau histopatologi (diagnosis secara presumtif), respons klinis dari pengobatan tersebut harus dinilai setelah 1 bulan. Jika tidak terjadi perbaikan maka harus dilakukan penilaian klinis ulang dan harus dipikirkan alternatif diagnosis lainnya. Tabel 12. Ringkasan petunjuk untuk terduga TB ekstraparu dan tanda utama TB ekstraparu untuk membantu diagnosis Suspek TB ekstraparu pada pasien-pasien dengan • Pembesaran kelenjar limfe leher / aksila yang terkadang disertai batuk 2 minggu atau lebih atau • Berat badan menurun dengan Berkeringat malam dan Suhu badan > 37,50C atau merasa demam atau • Sesak napas (efusi pleura/ perikar-ditis) • Foto toraks: Bayangan milier atau difus Jantung besar (terutama jika simetris dan bundar) Efusi pleura Pembesaran kelenjar limfe dalam toraks atau • Sakit kepala kronik atau gangguan mental. Curigailah TB desiminata pada semua ODHA yang mengalami penurunan berat badan yang cepat dan nyata, demam dan berkeringat malam.
54
Carilah: • Terdapatnya pembengkakan kelenjar limfe pada leher atau aksila Ini kemungkinan TB kelenjar limfe • Tanda terdapatnya cairan di dada Hilangnya suara pernapasan Berkurangnya pergerakan dada Suara pekak pada perkusi Ini kemungkinan TB Pleuritis • Tanda terdapatnya cairan di sekitar jantung Bunyi jantung menjauh Edema kaki dan/atau perut Pelebaran pembuluh darah vena pada leher dan lengan Ini kemungkinan TB Perikarditis • Tanda dari meningitis Kaku kuduk Kesadaran menurun Gerakan mata yang abnormal Ini kemungkinan TB Meningitis
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Tabel 13. Diagnosis terduga TB Ekstraparu TB Kelenjar Limfe
Efusi Pleura
TB Diseminata (TB Milier)
Efusi Perikardium
Pemeriksaan penting
Pemeriksaan penting
Pemeriksaan penting
Pemeriksaan penting
Test HIV (Rapid Test) Periksa dahak jika batuk Aspirasi Jarum Halus (FNAB)
Test HIV (Rapid Test) Foto toraks Periksa dahak jika batuk Lakukan aspirasi, amati sifat cairan aspirat (jernih, keruh, membeku) Hitung jenis sel leukosit dan kandungan protein aspirat tersebut
Test HIV (bila tersedia Rapid Test) Foto toraks Periksa darah malaria Periksa dahak jika batuk Biakan darah, hitung sel darah lengkap, dan tes antigen Cryptococcus
Test HIV (bila tersedia Rapid Test) Foto toraks Periksa dahak jika batuk USG jantung (ideal) EKG jika USG tidak ada.
Sangat curiga TB, jika
Sangat curiga TB, jika
Pembesaran > 2cm Asimetris Tidak nyeri Kenyal/ fluktuasi/ fistula Daerah leher (servikal) BB menurun, keringat malam, demam
Meningitis TB Pemeriksaan penting Test HIV (bila tersedia Rapid Test) Pungsi lumbal Pemeriksaan mikroskopis (pengecatatan Gram dan BTA)/ pemeriksaan protein dan gula pada cairan serebrospinal. Antigen Cryptococcus/ pengecatan Cryptococcus Periksa dahak jika batuk
Sangat curiga TB, Sangat curiga TB, Sangat curiga TB, jika jika jika BB menurun, Efusi unilateral BB menurun, Gambaran paru keringat malam, Cairan aspirat: demam dan bersih (tapi demam - Jernih dan batuk mungkin ada Cairan serebrospinal warna kuning Foto toraks efusi pleura jernih dengan coklat seperti abonormal bilateral) protein tinggi, jerami (straw (termasuk BB menurun, glukosa rendah dan coloured) gambaran keringat limfosit rendah - Membeku jika milier) malam, demam Antigen dibiarkan dalam Pembesaran Terdapatnya TB Cryptococcus tabung tanpa limpa/hati pada organ lain negatif di cairan anti-koagulan Keringat malam serebrospinal BB menurun, Anemia Terdapatnya TB di keringat malam, organ lain demam Terdapatnya TB di organ lain
55
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
TB Kelenjar Limfe
Efusi Pleura
Curiga bukan TB, jika
Curiga bukan TB, jika
Sarkoma Kaposi di kulit atau mulut Simetris (mungkin limfoma atau limfadenitis HIV=PGL) Nyeri, meradang, bernanah (mungkin infeksi bakteri atau jamur) Lokasi selain dari daerah leher
Efusi bilateral (gagal jantung atau pneumonia?) Klinis sarkoma kaposi atau keganasan lain Cairan aspirat: - Keruh/pus (empiema?) - Gagal membeku (tidak menyingkirkan TB tetapi kirim aspirat tersebut utk pemeriksaan protein dan hitung jenis sel leukosit dan pikirkan gagal jantung)
56
TB Diseminata (TB Milier)
Efusi Perikardium
Meningitis TB
Kemungkinan bukan TB
Curiga bukan TB, jika
Curiga bukan TB, jika
Pada HIV positif, pikirkan Salmonela, Pneumokokus, malaria, Cryptococcus kalau terdapat gejala/tanda berikut: Kekakuan Sesak napas (frekuensi > 30 kali per menit) Diare berat Feses berdarah Antigen Cryptococcus positif, malaria Positif / kultur darah positif untuk kuman patogen
Bayangan bercorak (streaky) pada paru dan/atau bentuk jantung tidak simetris (kemungkin-an gagal jantung) Tekanan darah tinggi EKG menunjukkan pembesaran jantung oleh sebab lain (misalnya hipertensi, penyakit katup, kardio-miopati) Bising jantung (kemungkinan penyakit katup) Kekakuan (kemungkinan perikarditis bakteri)
Test HIV positif (lebih mungkin Penyakit Cryptococcus daripada TB) Cairan serebrospinal keruh atau pada pemeriksaan mikroskopisada neutrofil (kemungkinan infeksi bakteri) Tes Cryptococcus positif Mulainya cepat Tekanan cairan serebrospinal sangat tinggi (mungkin infeksi Cryptococcus)
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
TB Kelenjar Limfe
Efusi Pleura
TB Diseminata (TB Milier)
Efusi Perikardium
Tatalaksana segera
Tatalaksana segera
Tatalaksana segera
Tatalaksana segera
Lakukan aspirasi untuk sitologi atau pemeriksaan BTA Lakukan biopsi bila aspirat tidak bernilai diagnostik, kecuali: - HIV positif dengan kemungkinan TB milier, misalnya kli-nis cepat memburuk - Tuberkulosis sangat mungkin secara klinis dan biopsi tidak mungkin didapat dalam 2 minggu
Kalau hanya terdapat gambaran TB -> mulai pengobatan TB Kalau bukan gambaran TB -> Kirim aspirat tersebut utk pemeriksaan protein dan hitung jenis sel leukosit dan bila tersedia lakukan pemerik saan sitologi. Pikirkan TB bila limfosit >50% dan protein >30 g/l Beri pengobatan TB jika aspirat gagal membeku atau diagnosis lain tidak dapat ditegakkan dalam 7 hari
Kalau hanya gambaran TB -> mulai pengobatan TB (tambahkan antibiotik jika sakit berat) Kalau bukan gambaran TB -> Selidiki sebab lain Kalau sakit berat mulai pengobatan ganda (OAT dan antibiotik)
Kalau hanya gambaran TB -> mulai pengobatan TB Rujuk untuk aspirasi segera jika sangat sesak napas. Kalau bukan gambaran TB -> Selidiki sebab lain (periksa urea darah dan USG jantung) Mulai pengobatan TB jika USG menunjukan terda-patnya efusi dan diagnosis lain tidak dapat ditegakkan dalam 7 hari
Meningitis TB Tatalaksana segera Kalau hanya gambaran TB -> mulai pengobatan TB dan rawat inap Kalau bukan gambaran TB -> Jika test Cryptococcus positif atau test HIV positif dan tidak ada diagnosis lain -> obati penyakit Cryptococcus
Dikutip dari buku: “Improving the diagnosis and treatment of smear negative pulmonary and extrapulmonary tuberculosis among adult and adolescents”, WHO, 2007
57
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
DIAGNOSIS HIV PADA PASIEN TB Merujuk pada Permenkes No. 21 tahun 2013 pasal 24 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, semua pasien TB dianjurkan untuk tes HIV. Tujuan utama mengetahui status HIV adalah agar petugas kesehatan dapat membuat keputusan klinis dan/atau menentukan pelayanan medis secara khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang seperti dalam pemberian terapi ARV. Status HIV dapat diketahui melalui pemeriksaan HIV, konseling dan tes HIV baik dengan pendekatan melalui KTS (Konseling dan Tes Sukarela) dan KTIP (Konseling dan Testing HIV atas Inisiasi Pemberi Pelayanan Kesehatan). Konseling dan Tes HIV merupakan pintu masuk utama pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan. Konseling dan Tes HIV mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed consent; confidentiality; counseling; correct test results; connections to care, treatment and prevention services). Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada semua model layanan Konseling dan Tes HIV. 1. Informed Consent, adalah persetujuan akan suatu tindakan pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau wali/pengampu setelah mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan oleh petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien/klien tersebut. 2. Confidentiality/Konfidensialitas, adalah semua isi informasi atau konseling antara klien dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/klien. Konfidensialitas dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang akan menangani pasien untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai indikasi penyakit pasien. 3. Counselling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien, bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien atau pasien. Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan keahliannya, untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan masalah yang dihadapi. Layanan konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV dan AIDS, konseling pra-tes dan konseling pasca-tes yang berkualitas baik. 4. Correct test results. Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien secara pribadi oleh tenaga kesehatan yang memeriksa.
58
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
5. Connections to care, treatment and prevention services. Pasien/klien harus dihubungkan atau dirujuk ke layanan perawatan, dan pengobatan HIV, serta dukungan dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau. Lapas dan Rutan yang memiliki sarana pemeriksaan HIV dan petugas terlatih, maka pemeriksaan HIV dilakukan di Lapas atau Rutan tersebut. Bagi yang belum memiliki sarana pemeriksaan HIV atau petugas belum terlatih, maka pemeriksaan HIV dilakukan di fasyankes setempat yang memiliki sarana pemeriksaan HIV dengan mengirim sampel darah atau merujuk pasien. Pemeriksaan HIV juga dapat dilakukan melalui kegiatan mobile counselling oleh fasyankes terdekat. Layanan Konseling dan Tes HIV di Lapas dan Rutan mengikuti alur layanan yang berlaku di fasilitas pelayanan kesehatan dan ditawarkan pada saat: a. Pemeriksaan kesehatan warga binaan pemasyarakatan (WBP) baru. b. Melakukan edukasi HIV dan AIDS kelompok yang dilakukan secara rutin di dalam Lapas dan Rutan. WBP yang menolak tes HIV dan berisiko dianjurkan untuk konseling di klinik kesehatan Lapas dan Rutan. c. WBP datang ke klinik di lapas/rutan untuk berbagai keluhan medis, termasuk WBP yang terdiagnosis TB. d. 1-3 bulan sebelum WBP bebas. Pada tahap ini konseling untuk WBP adalah prosedur yang wajib dilakukan.
59
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Gambar 6. Alur diagnosis HIV pada anak >18 bulan, remaja dan dewasa
60
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Hasil pemeriksaan anti HIV dapat berupa positif, negatif, dan indeterminate. Berikut adalah interpretasi hasil dan tindak lanjut yang perlu dilakukan: Tabel 14. Interpretasi Hasil pemeriksaan anti HIV Hasil tes
Kriteria
Tindak lanjut
Positif
Bila hasil A1 reaktif, A2 Rujuk ke pengobatan HIV reaktif dan A3 reaktif
Negatif
• Bila hasil A1 non • Bila tidak berisiko, dianjurkan perilaku hidup sehat reaktif • Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non-reaktif
• Bila berisiko, dianjurkan pemeriksaan ulang minimum 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama sampai satu tahun
• Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko Indeterminate • Bila dua reaktif
hasil
• Bila hanya 1 tes reaktif tapi mempunyai risiko atau pasangan berisiko
tes • Tes perlu diulang dengan spesimen baru minimal setelah dua minggu dari pemeriksaan yang pertama. • Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction). • Bila sarana pemeriksaan PCR tidak memungkinkan, rapid tes diulang 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan yang pertama. Bila sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate” dan faktor risiko rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai negatif
PENGOBATAN KOINFEKSI TB-HIV Perawatan bagi pasien dengan HIV bersifat komprehensif berkesinambungan, artinya dilakukan secara menyeluruh dan terus menerus melalui sistem jejaring yang bertujuan memperbaiki dan memelihara kualitas hidup ODHA. Perawatan komprehensif meliputi pelayanan medis, keperawatan dan pelayanan pendukung lainnya seperti aspek promosi kesehatan, pencegahan penyakit, perawatan penyembuhan dan rehabilitasi untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologi, sosial dan kebutuhan spritual individu termasuk perawatan paliatif.
61
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Dukungan bagi pasien dengan HIV meliputi dukungan sosial, dukungan untuk akses layanan, dukungan di masyarakat dan di rumah, dukungan spriritual dan dukungan dari kelompok sebaya. Kelompok sebaya di UPT Pemasyarakatan dilakukan oleh kader kesehatan terlatih. Bila memungkinkan, jejaring dengan organisasi kemasyarakatan dibentuk untuk mendukung kegiatan dukungan sosial bagi ODHA. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengobatan bersama koinfeksi TB-HIV: • Angka kematian pasien TB dengan HIV positif lebih tinggi dibandingkan dengan yang HIV negatif. Angka kematian lebih tinggi pada ODHA yang menderita TB paru dengan BTA negatif dan TB ekstra paru oleh karena pada umumnya pasien tersebut lebih imunosupresi dibandingkan ODHA dengan TB yang BTA positif. • Pengobatan TB pada ODHA perlu mempertimbangkan apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak. Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di lapas dan rutan, rujuk pasien tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV. • Semua pasien koinfeksi TB-HIV di UPT Pemasyarakatan dirujuk ke RS rujukan ARV atau RS Pengayoman untuk lapas dan rutan DKI Jakarta, untuk mempersiapkan dimulainya pengobatan ARV. Sebelum dirujuk petugas kesehatan mempersiapkan pasien agar pasien patuh selama mendapat pengobatan ARV. • Memulai pengobatan ARV harus dimulai di layanan PDP yang mampu memberikan tatalaksana komplikasi yang terkait HIV, yaitu di RS rujukan ARV terdekat. Misalnya RS Pengayoman untuk Lapas dan Rutan di DKI Jakarta. Sedangkan untuk pengobatan TB bisa didapatkan di unit DOTS yang terpisah maupun yang terintegrasi di dalam unit PDP. Ketika pasien telah dalam kondisi stabil, misalnya tidak ada gejala reaksi atau efek samping obat, tidak ada interaksi obat maka pasien dapat melanjutkan pengobatannya di UPT Pemasyarakatan. • Pengobatan TB dengan HIV positif sama seperti pada pasien TB lainnya. Pasien TB dengan HIV positif diberikan OAT dan ARV, dengan mendahulukan pengobatan TB untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian. Pengobatan ARV sebaiknya dimulai segera dalam waktu 2- 8 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan TB dan dapat ditoleransi baik. • Pada ODHA dengan TB ekstra paru, paduan OAT diberikan 6-9 bulan atau lebih (2 bulan RHZE selanjutnya RH sampai pengobatan selesai). TB ekstra paru pada sistem saraf pusat (tuberkuloma atau meningitis) dan TB tulang/sendi, direkomendasikan paling sedikit selama 12 bulan.
62
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
• Pemberian kortikosteroid sebaiknya ditambahkan pada TB meningitis, perikarditis, plueritis dan peritonitis dan diberikan secepatnya. Rekomendasi kortikosteroid yang digunakan adalah deksametason 0,3-0,4 mg/kg di tappering-off selama 6-8 minggu atau prednison 1 mg/kg selama 3 minggu, lalu tappering-off selama 3-5 minggu. • Untuk ODHA dengan TB ekstra paru, pemantauan kondisi klinis merupakan cara menilai kemajuan hasil pengobatan. Sebagaimana pada kasus TB BTA negatif, perbaikan kondisi klinis antara lain peningkatan berat badan ODHA merupakan indikator yang bermanfaat. • Semua pasien TB (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan OAT lini pertama kategori 1 yang disepakati secara internasional, hal ini sesuai ISTC standar 8. Dosis OAT yang diberikan dianjurkan untuk mengikuti anjuran internasional dan sangat dianjurkan dalam kombinasi dosis tetap (KDT). • Pada ISTC dinyatakan apabila jumlah CD4 kurang dari 50 sel/mm3 maka ARV diberikan dalam 2 minggu pertama pengobatan OAT, sedangkan pada TB meningitis pemberian ARV diberikan setelah fase intensif selesai. • Pada pengobatan ODHA dengan TB perlu diperhatikan kemungkinan interaksi antar obat-obat yang digunakan, tumpang tindih (overlap) efek samping obat, sindrom pulih imun atau Immune-Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS), dan masalah kepatuhan pengobatan.
Prinsip pengobatan pasien Koinfeksi TB-HIV 1. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV Pada prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB-HIV harus diberikan segera dan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB ditoleransi tanpa menilai stadium atau nilai CD4, ditandai dengan kondisi klinis dan fungsi hati baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu. 2. Pengobatan TB pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV lini pertama, pengobatan TB dapat langsung diberikan. Jika pasien menggunakan Nevirapin, sebaiknya di substitusi dengan Efavirenz selama pemberian Rifampicin. Jika pasien dalam pengobatan ARV lini kedua sebaiknya dirujuk ke RS Rujukan ARV untuk diatur rencana pengobatan TB bersama dengan pengobatan ARV (pengobatan ko-infeksi TB-HIV).
63
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Tabel 15. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB
Lini ODHA belum ARV
PilihanTerapi ARV
Lini Pertama 2 NRTI + EFV
Diutamakan penggunakan Fixed Dose Combination ARV (TDF+3TC/FTC+EFV) (pilihan) TDF+3TC/FTC+NVP atau AZT+3TC+EFV* atau AZT+3TC+NVP (alternatif).
Lini pertama 2 NRTI + EFV
Teruskan dengan 2 NRTI + EFV
Lini kedua ODHA sudah ARV
Paduan ARV
2 NRTI + NVP*
Ganti dengan EFV atau Teruskan dengan 2 NRTI + NVP.
2 NRTI + PI/r
LPV/r yang digunakan pada paduan ARV lini kedua mempunyai interaksi sangat kuat dengan rifampisin Jika rifampisin tetap akan digunakan bersama LPV/r, terutama pada meningitis TB, maka dianjurkan untuk meningkatkan dosis LPV/r menjadi 2 kali dari dosis normal. Namun karena keduanya bersifat hepatotoksik, maka perlu dipantau fungsi hati dengan lebih intensif. Apabila ODHA mempunyai kelainan hati kronis maka pemberian kombinasi tersebut tidak direkomendasi.
Keterangan: *) Paduan yang mengandung NVP dapat digunakan bersama dengan paduan OAT yang mengandung Rifampisin, bila tidak ada alternatif lain. Pemberian NVP pada ODHA perempuan dengan jumlah CD4 > 250/mm3 harus hati-hati karena dapat menimbulkan gangguan fungsi hati yang lebih berat atau meningkatnya hipersensitifitas. Setelah pengobatan dengan Rifampisin selesai, NVP dapat diberikan kembali. Waktu mengganti kembali (substitusi) dari EFV ke NVP tidak diperlukan lead-in dose (langsung dosis penuh).
64
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Contoh: Mulai pengobatan ARV segera setelah pengobatan TB ditoleransi.
Catatan: * interval waktu pagi dan malam adalah 12 jam.
65
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Efek samping dan interaksi obat (OAT dan ARV) Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan TB tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu, pemantuan kemungkinan terjadinya efek-samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efavirenz (EFV) merupakan golongan NNRTI yang baik digunakan untuk paduan ARV pada ODHA dalam terapi OAT. Efavirenz direkomendasikan karena mempunyai interaksi dengan rifampisin yang lebih ringan dibanding nevirapin. Sedangkan obat LPV/r yang digunakan pada paduan ARV lini kedua mempunyai interaksi sangat kuat dengan rifampisin, karena Rifampisin mengaktifkan enzim yang meningkatkan metabolisme LPV/r sehingga menurunkan kadar plasma LPV/r lebih rendah dari minimum inhibitory concentration (MIC). Pada kondisi seperti ini, pilihannya adalah mengganti rifampisin dengan streptomisin. Jika rifampisin tetap akan digunakan bersama LPV/r, terutama pada meningitis TB, maka dianjurkan untuk meningkatkan dosis LPV/r menjadi 2 kali dari dosis normal. Namun karena keduanya bersifat hepatotoksik, maka perlu dipantau fungsi hati dengan lebih intensif. Apabila ODHA mempunyai kelainan hati kronis maka pemberian kombinasi tersebut tidak direkomendasi. Pasien yang menerima pengobatan ko-infeksi TB-HIV, penanganan efek samping obat dijelaskan pada tabel di bawah ini: Tabel 16. Tatalaksana Efek Samping Obat pada Pasien dengan Pengobatan Ko-Infeksi TB-HIV
Tanda / Gejala
Tatalaksana
Anoreksia, mual dan nyeri perut
Telan obat setelah makan. Jika paduan obat ARV mengandung ZDV, jelaskan kepada pasien bahwa gejala ini akan hilang sendiri. Atasi keluhan secara simptomatis. Tablet INH dapat diberikan malam sebelum tidur. Makanan yang dianjurkan adalah makanan lunak, porsi kecil dan frekuensinya sering.
Nyeri sendi
66
Beri analgetik, misalnya aspirin atau parasetamol.
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Tanda / Gejala
Tatalaksana
Rasa kesemutan pada kaki
Efek ini jeIas dijumpai bila INH diberi bersama ddI / d4T, substitusi ddl / d4T sesuai pedoman. Berikan tambahan tablet vitamin B6 (piridoksin) 100 mg per hari. Jika tidak berhasil, gunakan amitriptilin atau rujuk ke RS spesialistik.
Kencing warna kemerahan/ oranye
Jelaskan pada pasien bahwa itu adalah warna obat, jadi tidak berbahaya.
Sakit kepala
Beri analgetik (misalnya aspirin atau parasetamol). Periksa tandatanda meningitis. Bila dalam pengobatan dengan ZDV atau EFV, jelaskan bahwa ini biasa terjadi dan biasanya hilang sendiri. Berikan EFV pada malam hari. Jika sakit kepala menetap lebih dari 2 minggu atau memburuk, pasien dirujuk.
Diare
Beri oralit atau cairan pengganti dan ikuti petunjuk penanganan diare. Yakinkan pada pasien bahwa kalau disebabkan oleh obat ARV itu akan membaik setelah beberapa minggu. Pantau dalam 2 minggu, kalau belum membaik, pasien dirujuk.
Kelelahan
Pikirkan anemi terutama bila paduan obat mengandung ZDV. Periksa hemoglobin. Kelelahan biasanya berlangsung selama 4– 6 minggu setelah ZDV dimulai. Jika berat atau berlanjut (lebih dari 4-6 minggu), pasien dirujuk.
Tegang, mimpi-buruk
Ini mungkin disebabkan oleh EFV. Lakukan konseling dan dukungan (biasanya efek samping berakhir kurang dari 3 minggu). Rujuk pasien jika depresi berat, usaha bunuh diri atau psikosis. Masa sulit pertama biasanya dapat diatasi dengan amitriptilin pada malam hari.
Kuku kebiruan/ kehitaman
Yakinkan pasien bahwa hal ini biasa terjadi pada pengobatan dengan AZT.
Perubahan dalam distribusi lemak
Diskusikan dengan pasien, apakah dia dapat menerima kenyataan ini, karena hal ini tidak bisa disembuhkan. Ini merupakan salah satu efek samping dari d4T. Oleh sebab itu, jika tidak terjadi efek samping setelah 2 tahun pengobatan d4T, lakukan substitusi d4T dengan TDF
67
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Tanda / Gejala Gatal atau ruam kulit
Tatalaksana Jika menyeluruh atau mengelupas, stop obat TB dan obat ARV dan pasien dirujuk. Jika dalam pengobatan dengan NVP, periksa dengan teliti: apakah lesi nya kering (kemungkinan alergi) atau basah (kemungkinan Steven Johnson Syndrom). Mintalah pendapat ahli.
Gangguan pende-ngaran/ keseimbangan
Hentikan streptomisin, kalau perlu rujuk ke unit DOTS (TB).
Ikterus
Lakukan pemeriksaan fungsi hati, hentikan OAT dan obat ARV. Mintalah pendapat ahli atau pasien dirujuk.
Ikterus dan nyeri perut
Hentikan OAT dan obat ARV dan periksa fungsi hati (bila tersedia sarana). Mintalah pendapat ahli atau pasien dirujuk. Nyeri perut mungkin karena pankreatitis disebabkan oleh ddI atau d4T.
Muntah berulang
Periksa penyebab muntah, lakukan pemeriksaan fungsi hati. Kalau terjadi hepatotoksik, hentikan OAT dan obat ARV, mintalah pendapat ahli atau pasien dirujuk.
Penglihatan berkurang
Hentikan etambutol, mintalah pendapat ahli atau pasien dirujuk.
Demam
Periksa penyebab demam, mungkin karena efek samping obat, IO atau infeksi baru atau IRIS/SPI*. Beri parasetamol dan mintalah pendapat ahli atau pasien dirujuk.
Pucat, anemi
Ukur kadar hemoglobin dan singkirkan IO. Bila pucat sekali atau kadar Hb sangat rendah (< 8 gr/dL; < 7gr/dL pada ibu hamil), pasien dirujuk (dan stop ZDV/diganti d4T).
Batuk atau bernapas Limfadenopati
kesulitan
Mungkin SPI* atau suatu IO. Mintalah pendapat ahli. Mungkin SPI* atau suatu IO. Mintalah pendapat ahli.
Catatan: *) SPI adalah singkatan dari Sindroma Pulih Imun (Immune Reconstitution Inflamatory Syndrom = IRIS) • Contoh tersering dari manifestasi SPI adalah herpes zoster atau TB, yang segera terjadi setelah dimulai obat ARV • Mintalah pendapat ahli atau rujuk pasien untuk penanganannya.
68
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksasol (PPK) Beberapa IO pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Semua pasien TB dengan HIV positif merupakan indikasi untuk diberikan PPK. Selain TB, penyakit oportunistik yang risikonya dapat dicegah dengan PPK antara lain: • Pneumonia Pneumocystis (PCP) dulu disebut Pneumocystis carinii pneumonia sekarang disebut Pneumonia Pneumocystis Jirovecii. • Abses otak toksoplasmosis • Pneumonia yang disebabkan oleh S. pneumoniae. • Isospora belli • Salmonella sp • Malaria Terdapat dua macam pengobatan pencegahan yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder. • Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita. • Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya. Pemberian PPK dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidens infeksi oportunistik. Dosis Kotrimoksasol yang diberikan adalah 1x960mg/hari, diberikan sampai minimal pengobatan TB selesai. Dosis Kotrimoksazol diberikan satu kali 960 mg/hari pada dewasa, sementara pada anak diberikan dengan dosis trimetoprim 4-6 mg/kgBB/hari. Pemantauan dilakukan melalui penilaian klinis setiap 3 bulan. Tabel 17. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol
Usia
Kriteria inisiasi
Kriteria pemberhentiana
Bayi terpajan HIV
Semua bayi, dimulai usia 6 minggu setelah lahir
Sampai risiko transmisi HIV berakhir atau infeksi HIV sudah disingkirkan
Bayi HIV <1 tahun
Semua bayib
Sampai usia 1 tahun tanpa melihat % CD4 atau gejala klinisc
69
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Usia
Kriteria inisiasi
Kriteria pemberhentiana
Stadium klinis WHO 2,3 dan 4 tanpa melihat % CD4 atau Anak HIV 1-5 tahun
Stadium klinis WHO berapapun dan CD4 <25%
Bila CD4 mencapai > 25%
Atau semuanyab
>5 tahun- dewasa
Stadium klinis WHO berapapun dan CD4 <200 sel/mm3 d atau Stadium klinis WHO 3 atau 4
CD4 ≥ 200 sel/mm3 setelah 6 bulan ARV d Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, PPK diberhentikan setelah 2 tahun ART
Atau semuanyab Tuberkulosis aktif, berapapun nilai CD4
Sampai pengobatan TB selesai apabila CD4 > 200 sel/mm3 d
kotrimoksasol diberhentikan juga bila ODHA dengan sindrom Stevens-Johnson, penyakit hati berat, anemia atau pansitopenia berat, atau HIV negatif. Kontraindikasi kotrimoksasol: alergi sulfa, penyakit liver berat, penyakit ginjal berat, dan defisiensi G6PD. b pada semua ODHA tanpa melihat CD4 atau stadium klinis pada pelayanan dengan prevalensi HIV tinggi, kematian bayi tinggi akibat penyakit-penyakit infeksi, atau pelayanan dengan infrastruktur terbatas. c jika inisiasi awal untuk profilaksis Pneumocystis pneumonia atau toksoplasmosis d pada wilayah dengan prevalensi infeksi bakteri tinggi atau endemis malaria, batasan CD4 yang digunakan adalah <350 sel/mm3. a
Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) Pengobatan Pencegahan dengan INH (PP INH) merupakan salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang penting untuk pencegahan TB pada orang dengan HIV, yang bertujuan untuk mencegah TB aktif pada ODHA, sehingga dapat menurunkan beban TB pada ODHA. Jika pada ODHA tidak terbukti TB dan tidak ada kontraindikasi, maka PP INH diberikan yaitu INH diberikan dengan dosis 300 mg/hari dan B6 dengan dosis 25mg/hari sebanyak 180 dosis atau 6 bulan. PP INH diberikan pada: 1. ODHA yang tidak memiliki TB aktif, baik ODHA dengan/tanpa riwayat pemberian OAT sebelumnya 2. ODHA yang baru menyelesaikan pengobatan TB dan dinyatakan sembuh.
70
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
Kontra indikasi PP INH adalah sebagai berikut: 1. TB aktif 2. Klinis yang mengindikasikan adanya gangguan fungsi hati 3. Neuropati perifer berat 4. Riwayat alergi INH 5. Riwayat resistan INH
Gambar 7. Alur tata laksana TB pada HIV dan PP INH
71
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Pemantauan pengobatan PP INH ini dilakukan selama dan setelah pemberian PP INH dengan tujuan untuk memastikan kepatuhan ODHA dan mengetahui efek samping secara dini. Pemantauan dilakukan setiap kunjungan selama 6 bulan pengobatan. Efek proteksi dari pemberian PP INH bertahan sampai dengan 3 tahun, sehingga pemberian PP INH ulang dapat dilakukan setelah 3 tahun. Beberapa kondisi yang perlu dipantau selama pemberian PP INH adalah: - Gejala/keluhan yang mengarah pada sakit TB seperti batuk, demam, keringat malam dan berat badan menurun. - Efek samping INH: • Gatal dan ruam pada kulit • Gejala neuropati perifer antara lain baal dan kesemutan • Gejala hepatotoksik antara lain berupa mual dan muntah - Pemeriksaan klinis: berat badan, suhu tubuh, tanda ikterus dan pembesaran kelenjar getah bening. - Kepatuhan pasien dalam minum INH Selama pemantauan bila ditemukan gejala seperti di atas maka perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan. Tabel 18. Penanganan Efek Samping PP INH
Efek Samping
Penanganan
Gatal, kemerahan kulit Mual, muntah, makan,
tidak
Hentikan INH nafsu
INH diminum malam sebelum tidur
Ikterus tanpa penyebab lain .
Hentikan INH
Baal, kesemutan
Berikan dosis vitamin B6 100mg
Hasil akhir pengobatan PP INH 1. Pengobatan lengkap Pasien yang telah minum PP INH selama 6 bulan dengan total 180 dosis. 2. Loss to follow up ( putus berobat) Putus obat adalah pasien yang tidak minum obat INH selama 1 bulan atau lebih. 3. Gagal selama pemberian PP INH Pasien yang selama waktu pemberian PP INH menjadi sakit TB, dibuktikan dengan hasil pemeriksaan sputum BTA positif atau geneXpert positif atau foto toraks menunjukkan gambaran TB.
72
Bab IV: Kolaborasi TB - HIV
4. Pindah Pasien yang pindah dan melanjutkan pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan lain selama 6 bulan masa pemberian PP INH. 5. Meninggal Pasien yang meninggal sebelum menyelesaikan paduan PP INH selama 6 bulan atau 180 dosis dengan sebab apapun. 6. Efek samping berat Pasien yang tidak dapat melanjutkan PP INH karena mengalami efek samping berat. Pelacakan Pasien Mangkir Pasien mangkir adalah pasien yang tidak datang maksimal 2 hari dari jadwal kunjungan untuk pemantauan. Langkah-langkah yang harus dilakukan jika pasien mangkir pada prinsipnya sama dengan langkah pelacakan pada minum OAT dan ARV. Tatalaksana pada kasus loss to follow up Pada pasien yang memiliki masalah kepatuhan (tidak minum obat lebih dari 1 bulan berturutturut), berikan edukasi dan konseling kepatuhan. Lakukan penilaian ulang terhadap tanda dan gejala TB dilakukan pada semua pasien. Sambil menunggu hasil penilaian ulang, pemberian PP INH tetap diteruskan jika mangkir kurang dari 1 bulan, sedangkan untuk pasien yang mangkir lebih dari 1 bulan pemberian PP INH diulang dari awal dengan tetap memastikan tidak terdapat TB aktif. Tabel 19. Tatalaksana Loss to follow up PP INH
Lama putus berobat < 1 bulan
Tindakan Lakukan skrining gejala TB. Bila ada gejala, rujuk untuk menegakkan diagnosis TB; kalau tidak ada TB aktif lanjutkan pengobatan sampai dosis lengkap (total 180 dosis)
> 1 bulan
Lakukan skrining gejala TB : Bila ada gejala, rujuk untuk menegakkan diagnosis TB; kalau tidak ada TB aktif, mulai PP INH dari awal.
73
BAB V JEJARING DAN RUJUKAN
PENGERTIAN
J
ejaring adalah hubungan kerja timbal balik yang dibangun baik di dalam maupun di luar Faskes dalam Program Pengendalian TB.
TUJUAN 1. WBP dan tahanan mendapatkan akses terhadap pelayanan DOTS yang berkualitas; 2. Pasien TB menelan OAT secara teratur hingga selesai dan mencegah pasien putus berobat; 3. WBP dan tahanan di UPT Pemasyarakatan mendapatkan pelayanan HIV baik berupa Konseling dan Tes HIV serta PDP (Perawatan, Dukungan dan Pengobatan) HIV; 4. WBP dan tahanan yang dipindahkan ke UPT Pemasyarakatan lain atau yang telah selesai masa pidana (bebas dan bebas bersyarat) tetap dapat melanjutkan pengobatan TB dan HIV sesuai pedoman nasional;
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
JENIS JEJARING 1. Jejaring internal a. koordinasi antara klinik pratama dengan bidang registrasi, keamanan maupun pemuka blok serta WBP dan tahanan di UPT Pemasyarakatan. Misalnya koordinasi registrasi dengan poliklinik terkait proses pemindahan pasien b. Koordinasi antar UPT Pemasyarakatan dengan UPT Pemasyarakatan lainnya, Kanwil Kemenkumham RI dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk keberlangsungan pengobatan TB 2. Jejaring eksternal koordinasi yang dibangun antar UPT Pemasyarakatan dengan dinas kesehatan, fasyankes lainnya, organisasi kemasyarakatan dan institusi lainnya untuk keberlangsungan pelayanan TB Jejaring dapat berjalan baik diperlukan: 1. Komitmen dan peran aktif Kepala dan jajarannya di UPT Pemasyarakatan, Kanwil Kemenkumham, Dinas Kesehatan, fasyankes, Public Private Mix (PPM), organisasi kemasyarakatan serta institusi lainnya 2. Mekanisme jejaring yang jelas (adanya perjanjian kerjasama antara UPT Pemasyarakatan dengan faskes/laboratorium) 3. Tersedianya alat dan bahan pendukung, antara lain berupa: • Daftar nama dan alamat lengkap pasien yang dirujuk • Daftar nama dan nomor telepon petugas kesehatan penanggung jawab TB di UPT Pemasyarakatan dan fasyankes • Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB 05), dapat digunakan untuk pemeriksaan terduga TB dan TB RO • Salinan kartu pengobatan pasien TB (TB 01) • Formulir rujukan atau pindah pasien TB (TB 09) • Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB 10) • Formulir KT HIV • Surat pengantar rujukan pasien HIV dan resume medis termasuk salinan formulir ikhtisar keperawatan ART • Sisa obat TB dan atau sisa pengobatan HIV (PPK dan atau ARV) 4. Pertemuan koordinasi dan evaluasi secara berkala setiap 3-6 bulan yang dikoordinasi oleh Kanwil Kemenkumham setempat antara UPT Pemasyarakatan dengan melibatkan Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial.
76
Bab V: Jejaring dan Rujukan
JEJARING KERJA Jejaring Kerja Laboratorium TB Pemeriksaan dahak mikroskopis, sebagai kunci penegakan diagnosis TB paru dan pemantauan kemajuan pengobatan TB, memerlukan sarana/prasarana laboratorium yang memenuhi standar Program Penanggulangan TB Nasional. Hampir semua UPT Pemasyarakatan tidak memiliki laboratorium mikroskopis sehingga peranan jejaring dan rujukan mikroskopis untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan yang sesuai standar. Untuk meningkatkan akses pelayanan laboratorium di UPT Pemasyarakatan, petugas UPT Pemasyarakatan dapat dilatih untuk melakukan fiksasi yang termasuk dalam pelatihan DOTS. Pembinaan petugas di UPT Pemasyarakatan, baik dalam pembuatan fiksasi maupun pembacaan sediaan menjadi tanggung jawab FK-RM (Fasilitas Kesehatan Rujukan Mikroskopis) dan laboratorium kesehatan setempat. UPT Pemasyarakatan dibagi berdasarkan kemampuannya melakukan pemeriksaan mikroskopis TB menjadi : a. UPT Pemasyarakatan Rujukan Mikroskopis TB, adalah UPT Pemasyarakatan dengan laboratorium yang melayani pengumpulan dahak, pembuatan sediaan dahak, pewarnaan dan pembacaan mikroskopis dahak dan dapat menerima rujukan dari UPT Pemasyarakatan Satelit. Lapas Rujukan Mikroskopis TB harus mengikuti pemantapan mutu eksternal melalui uji silang berkala oleh laboratorium RUS-1 (Rujukan Uji Silang 1) di wilayahnya atau lintas kabupaten/kota. b. UPT Pemasyarakatan Satelit, adalah UPT Pemasyarakatan dengan laboratorium yang melayani pengumpulan dahak, pembuatan sediaan dahak dan kemudian merujuk ke FKRM atau UPT Pemasyarakatan Rujukan Mikroskopis TB. c. UPT Pemasyarakatan yang belum dilatih, berkoordinasi dengan FK-RM atau UPT Pemasyarakatan Rujukan Mikroskopis TB. Mekanisme Pre dan Post Release : Pemantauan Pengobatan Warga Binaan Pemasyarakatan Dengan TB Yang Pindah Berobat Prinsip dari rujukan adalah agar WBP dengan TB yang dirujuk (pindah) dapat menyelesaikan pengobatannya di tempat yang baru pada saat pre dan post release. Kegiatan pre-release TB adalah kegiatan pemberian informasi kepada warga binaan minimal tiga bulan sebelum bebas mengenai pengobatan TB dan tempat layanan TB untuk melanjutkan pengobatan. Sedangkan kegiatan post-release TB adalah kegiatan pencarian informasi oleh petugas pemasyarakatan / LSM mengenai kelanjutan pengobatan TB dari warga binaan penderita TB yang telah bebas.
77
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
WBP dengan TB yang dalam masa pengobatan dipindahkan ke UPT Pemasyarakatan lain atau fasyankes lainnya perlu dirujuk dengan surat pengantar atau formulir TB 09, dengan menyertakan TB 01 dan OAT sisanya (bila telah dimulai pengobatan). UPT Pemasyarakatan atau fasyankes yang menerima rujukan harus memberikan informasi tentang pasien yang dirujuk dengan mengirimkan bagian bawah formulir TB 09 ke klinik pratama UPT Pemasyarakatan pengirim (asal) dan menghubungi (melalui telepon atau SMS) Wasor TB Kabupaten/Kota. Peran UPT Pemasyarakatan asal: • Memastikan pasien TB yang dirujuk (pindah) melanjutkan pengobatan di fasyankes atau UPT Pemasyarakatan yang dituju (form TB 09 kembali) • Menerima hasil pengobatan (TB 10 kembali) • Menginformasikan ke Wasor Dinkes Kabupaten/Kota Peran Petugas PK Bapas: • Mengawasi dan membimbing klien Bapas selama menjalani Pembebasan Bersyarat (PB) , Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Bersyarat (CB) • Membantu mengingatkan klien Bapas yang sedang mendapatkan pengobatan TB agar klien tersebut dapat minum obat dengan teratur dan tidak putus obat • Pada saat klien lapor diri menyarankan agar klien dapat berobat ke rumah sakit sesuai rujukan yang pernah di dapat dari UPT Pemasyarakatan selama klien menjalani hukuman. • Pelacakan untuk pasien mangkir yang bebas bersyarat Peran Fasyankes atau UPT Pemasyarakatan penerima rujukan: • Mengirimkan hasil akhir pengobatan (dengan form TB 10) ke klinik UPT Pemasyarakatan asal. • Apabila tidak ada informasi mengenai hasil akhir pengobatan pasien yang dirujuk, Wasor TB Kabupaten/Kota dapat mengecek fasyankes dimaksud dan menyampaikan umpan balik kepada klinik UPT Pemasyarakatan asal. • Jika pasien mangkir, petugas TB Puskesmas melacak sesuai dengan alamat pasien • WBP yang sudah selesai menjalani masa pidana (bebas) pelacakan dilakukan oleh petugas TB di Puskesmas tempat tinggal pasien Peran Wasor TB Kabupaten/Kota: • Memastikan semua pasien yang dirujuk melanjutkan pengobatan di faskes yang dituju dengan konfirmasi langsung melalui telepon atau SMS dan pada saat supervisi. Peran organisasi kemasyarakatan : • Pencegahan TB: Penyuluhan TB, pengembangan KIE, testimoni mantan pasien atau pasien TB • Pelatihan kader kesehatan
78
Bab V: Jejaring dan Rujukan
• Dukungan/motivasi keteraturan berobat pasien TB • Membantu proses rujukan dengan memastikan pasien TB tiba dan menyelesaikan pengobatan di fasyankes rujukan dan form TB 09 dan TB 10 kembali ke UPT Pemasyarakatan asal • Pendamping pasien TB. • Dukungan sosial ekonomi: nutrisi pasien TB, peningkatan ketrampilan pasien TB • Advokasi: Membantu penyusunan bahan advokasi, membantu memberikan masukan kepada pemerintah • Membentuk kelompok pendidik sebaya
Gambar 8. Kemungkinan WBP dengan TB pindah dan pengobatannya
79
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Beberapa mekanisme rujukan atau pindah pasien TB: 1. Mekanisme rujukan atau pindah pasien TB dari UPT Pemasyarakatan ke fasyankes atau UPT Pemasyarakatan lain dalam satu Kabupaten/Kota Secara singkat rujukan pengobatan pasien TB dari satu UPT Pemasyarakatan ke fasyankes lain dalam satu Kabupaten/Kota dan tugas masing-masing fasyankes dapat dilihat pada Gambar 9. Bila ada Organisasi Kemasyarakatan, peran organisasi ini selain membantu proses rujukan juga sebagai pendamping pasien TB.
Gambar 9. Alur Rujukan Pasien TB dari UPT Pemasyarakatan ke fasyankes/UPT Pemasyarakatan lain dalam satu kabupaten/kota 2. Mekanisme rujukan atau pindah pasien TB dari UPT Pemasyarakatan ke UPT Pemasyarakatan lain atau Fasyankes antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi Mekanisme rujukan sama seperti di atas dengan tambahan: Informasi rujukan diteruskan ke Wasor TB Provinsi yang selanjutnya akan menginformasikan ke Wasor TB Provinsi dan Kab/Kota yang menerima rujukan, melalui telepon atau dengan SMS. Wasor TB Provinsi memastikan bahwa pasien yang dirujuk telah melanjutkan pengobatan ke tempat rujukan yang dituju. Bila pasien tidak ditemukan maka Wasor TB Provinsi harus menginformasikan kepada Wasor TB Kab/Kota untuk melakukan pelacakan pasien. Alur rujukan pengobatan pasien TB dari satu UPT Pemasyarakatan ke UPT Pemasyarakatan atau fasyankes lain dalam Kab/Kota yang berbeda dalam satu provinsi dapat dilihat pada Gambar 10.
80
Bab V: Jejaring dan Rujukan
Gambar 10. Alur Rujukan Pasien TB antar Lapas/Rutan dengan Faskes/UPT Pemasyarakatan lain di kabupaten/kota berbeda dalam satu provinsi 3. Mekanisme rujukan atau pindah pasien TB dari UPT Pemasyarakatan ke UPT Pemasyarakatan atau Puskesmas/fasyankes lain antar Provinsi yang berbeda Apabila pasien dipindahkan ke UPT Pemasyarakatan lain atau Puskesmas/fasyankes lain di Provinsi yang berbeda, alur rujukan serupa dengan gambar 10 ditambah dengan Wasor TB dari Provinsi kedua.
81
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Gambar 11. Alur rujukan pengobatan pasien TB dari satu UPT Pemasyarakatan ke UPT Pemasyarakatan atau fasyankes lain di propinsi yang berbeda Alur Pre dan Post Release TB MDR a. Lapas satelit TB MDR memberikan informasi pada Kanwil Kemenkum HAM dan Fasyankes Rujukan TB MDR dengan tembusan kepada Ditjenpas, Dinkes Propinsi dan Kab/Kota setempat tiga bulan sebelum narapidana tersebut bebas murni atau bersyarat. Yang bersangkutan akan meneruskan pengobatan di fasyankes satelit terdekat dengan domisili dan berkoordinasi dengan Bapas untuk pendampingan kelanjutan pengobatan. b. Setelah yang bersangkutan bebas maka kelanjutan pengobatannya mengikuti mekanisme jejaring wilayah setempat. c. Fasyankes Rujukan TB MDR berkoordinasi dengan Wasor Kab/Kotadan Wasor propinsi untuk mengatur proses rujukan:
82
Bab V: Jejaring dan Rujukan
Bila satu Provinsi • Fasyankes Rujukan TB MDR berkoordinasi dengan petugas wasor TB Kab/Kota dan Provinsi untuk menentukan fasyankes satelit TB MDR guna melanjutkan pengobatan.Wasor TB Kab/ Kota dan Provinsi mempersiapkan fasyankes tersebut. • Fasyankes Rujukan TB MDR asal bersurat kepada fasyankes satelit tujuan menyertakan Surat Pengantar Melanjutkan Pengobatan TB MDR dengan tembusan kepada Dinkes Provinsi dan Bapas (bila pasien bebas bersyarat). Lihat Juklak TB Resistan Obat di Lapas dan Rutan. Bila antar Provinsi
Provinsi rujukan memiliki Fasyankes Rujukan TB MDR - Fasyankes Rujukan TB MDR asal bersurat ke Fasyankes Rujukan TB MDR yang ditujudengan Surat Pengantar Melanjutkan Pengobatan TB MDR, dengan tembusan kepada Bapas (bila bebas bersyarat), Dinkes Propinsi asal dan Dinkes Provinsi tujuan. - Fasyankes Rujukan TB MDR yang dituju mempersiapkan penerimaan pasien. Pasien datang ke Fasyankes Rujukan TB MDR untuk tatalaksana selanjutnya.
Provinsi rujukan tidak memiliki Fasyankes Rujukan TB MDR - Fasyankes Rujukan TB MDR asal berkoordinasi dengan wasor TB Propinsi tujuan. Dinkes Propinsi dan Dinkes Kab/Kota tujuan memilih Fasyankes yang akan disiapkan untuk menjadi fasyankes satelit TB MDR dan memfasilitasi serah terima pasien. - Fasyankes Rujukan TB MDR asal bersurat ke Fasyankes Satelit yang TB MDR yang telah ditentukan dengan Surat Pengantar Melanjutkan Pengobatan TB MDR, dengan tembusan kepada Bapas (bila bebas bersyarat), Dinkes Propinsi asal dan Dinkes Provinsi tujuan. - Dinkes Propinsi dan Dinkes Kab/Kota tujuan memfasilitasi proses perpindahan pasien.
Catatan : Hal yang penting diperhatikan oleh fasyankes rujukan / satelit TB MDR yang menerima rujukan pasien adalah : Surat Pengantar Melanjutkan Pengobatan TB MDR bagian bawah harus dikembalikan ke Rumah Sakit Rujukan TB MDR pengirim sebagai bukti bahwa pasien telah diterima dan dilayani oleh Fasyankes tersebut
83
BAB VI PENGELOLAAN LOGISTIK
P
engelolaan logistik program TB di UPT Pemasyarakatan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menjamin agar kebutuhan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Non-OAT tersedia dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik, termasuk didalamnya logisitik yang berhubungan pengendalian koinfeksi TBHIV. Untuk memastikan ketersediaan tersebut di UPT Pemasyarakatan, maka dibutuhkan siklus pengelolaan logistik program TB mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, penggunaan dan sistem manajemen pendukung. UPT Pemasyarakatan mendapatkan kebutuhan logisitik program TB melalui pendanaan APBN, APBD, atau dana hibah di Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Kesehatan. Perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan penggunaan mengikuti pedoman yang telah ditetapkan oleh masing-masing kementerian.
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
LOGISTIK OAT Logistik OAT adalah semua jenis OAT yang digunakan untuk mengobati pasien TB dan TB Resistan Obat. Seluruh jenis OAT ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli (KOMLI) dengan memperhatikan beberapa paduan OAT yang direkomendasikan oleh WHO. Logistik OAT untuk program TB di Lapas dan Rutan disediakan oleh Program Nasional Pengendalian TB Kementerian Kesehatan RI, sehingga alur logistik OAT ini akan mengikuti pedoman yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Jenis-jenis OAT yang digunakan untuk program penanggulangan TB adalah: • Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan Streptomisin (S) • Lini kedua: Kanamycin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx), Moxifloxacin (Mfx), Ethionamide (Eto), Cycloserin (Cs), dan Para Amino Salicylic (PAS). Paduan OAT non resistan berupa bentuk paket individual untuk setiap pasien. Paket OAT ini dikemas dalam dua jenis kemasan dan tabletnya dikemas dalam bentu blister, yaitu: 1. Kemasan Kombinasi Dosis Tetap, disingkat KDT (dalam Bahasa inggris disebut Fix Dose Combination yang disingkat FDC). Paket OAT KDT/FDC adalah paket OAT yang dalam setiap tablet telah ada seluruh/beberapa jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB. Paket KDT yang digunakan di Program TB nasional adalah 4KDT/4FDC dan 2KDT/2FDC 2. kemasan Kombipak adalah paket OAT dimana tablet OAT nya masih lepasan dari setiap jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB.
Paduan paket OAT yang disediakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB Paket KDT OAT kategori 1
2(HRZE)/4(HR)3
Paket KDT OAT kategori 2
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Paket KDT OAT kategori Anak
2(HRZE)/4(HR)
Paket Kombipak kategori 1
2(HRZE)/4(HR)3
Paket Kombipak kategori Anak
2(HRZE)/4(HR)
Paduan OAT resistan digunakan untuk pasien TB Resistan Obat. Paduan OAT resistan disediakan dalam bentuk paduan individual yang terdiri dari beberapa OAT lini kedua ditambah OAT lini pertama yang masih sensitif. Paduan pengobatan pasien TB resistan obat yang digunakan Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah: Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
86
Bab VI: Pengelolaan Logistik
Sediaan dari OAT lini kedua dan lini pertama yang digunakan untuk paduan OAT resistan obat yang disediakan ada di tabel berikut: Tabel 20. Sediaan OAT untuk paduan OAT Resistan Obat
Nama OAT
Dosis
Bentuk
Kanamycin (Km)
1000 mg
Vial
Capreomycin (Cm)
1000 mg
Vial
Levofloxacin (Lfx)
250 mg
Tablet
Moxifloxacin (Mfx)
400 mg
Tablet
Ethionamide (Eto)
400 mg
Tablet
Cycloserin (Cs)
250 mg
Kapsul
2g
Sachet
Pirasinamid (Z)
500 mg
Tablet
Etambutol (E)
400 mg
Tablet
Para Amino Salicylic (PAS)
87
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
LOGISTIK NON OAT Logistik non OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang digunakan untuk mendukung tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat. Sumber penyediaan logistik Non OAT bisa bersumber dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan baik dengan pendaanaan APBN, APBD, atau dana hibah. Alur pendistribusian akan menyesuaikan dengan mekanisme yang berada di masing-masing kementerian atau pemberi dana hibah. Tabel 21. Logistik non OAT : bahan dan alat kesehatan Pengelompokan logistik non OAT Barang pakai
habis
Logistik non OAT non resistan
Seperti: -
- Barang tidak habis pakai
88
Barang laboratorium TB, seperti Reagensia, Pot Dahak, Kaca sediaan, Oli Emersi, Ether Alkohol, Tisu, Sarung tangan, Lysol, Lidi, Kertas saring, kertas lensa, masker bedah, dll
Logistik non OAT resistan obat
Seperti: -
Cartridge GeneXpert
-
Masker bedah
-
Respirator N95
-
Formulir pencatatan dan pelaporan TB MDR
Formulir pencatatan dan pelaporan TB
Seperti: -
Alat-alat laboratorium TB
-
Barang cetakan (buku pedoman, buku panduan, buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dll)
Seperti: -
Alat-alat laboratorium TB resistan obat
-
Barang cetakan (buku pedoman, buku panduan, buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dll)
Bab VI: Pengelolaan Logistik
LOGISTIK TERKAIT KOLABORASI TB-HIV Pengelolaan logistik HIV yang dibutuhkan dalam kolaborasi TB-HIV adalah memastikan ketersediaan alat dan bahan untuk tes HIV dan obat ARV. UPT Pemasyarakatan yang sudah mampu melakukan pemeriksaan dan penegakkan diagnosis HIV berkordinasi dengan Dinas Kesehatan Kab/Kota/Provinsi untuk permintaan reagen tes HIV. UPT pemasyarakatan tersebut wajib melaporkan seluruh kegiatan tes HIV tersebut melalui SIHA atau sistem pelaporan yang berlaku. UPT Pemasyarakatan yang sudah menjadi satelit ARV, berkordinasi dengan RS Rujukan ARV yang ditunjuk sebagai pengampu untuk memastikan ketersediaan obat ARV. UPT tersebut wajib mengikuti tata cara pencatatan dan pelaporan bulanan yang diminta oleh RS tersebut sebagai bahan perencanaan kebutuhan ARV (terlampir). Jejaring Pengelolaan Logistik Program TB Pengelolaan logistik program TB dilakukan di setiap tingkat pelaksana program, termasuk UPT Pemasyarakatan yang melaksanakan program TB.
Sumber logistik TB dari Kementerian Kesehatan UPT Pemasyarakatan berkordinasi untuk permintaan dan pelaporan logistik OAT dan non OAT dengan Puskesmas yang membina wilayah dimana UPT pemasyarakatan berada, atau fasilitas kesehatan yang ditunjuk. Terdapat dua jenis jejaring yang dilakukan oleh UPT Pemasyarakatan terkait dengan pengelolaan logisitk OAT non resistan dan OAT resistan obat
89
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Keterangan : Alur distribusi OAT dan Non OAT Alur permintaan dan pelaporan Non OAT Alur kordinasi untuk distribusi dan permintaan
Gambar 12. Jejaring pengelolaan logisitk TB di Klinik Lapas/Rutan dan RS Pengayoman Keterangan : Alur distribusi OAT dan Non OAT Alur permintaan dan pelaporan Non OAT
Gambar 13. Jejaring pengelolaan logistik TB resistan Obat di faskes, untuk OAT dan non OAT
90
Bab VI: Pengelolaan Logistik
Permintaan logistik OAT lini pertama dari UPT Pemasyarakatan ke Puskesmas atau ke Dinas Kesehatan Kab/Kota menggunakan formulir LPLPO (Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat) di Lampiran 8. Pada saat permintaan logistic tersebut, UPT pemasyarakatan wajib melaporkan pemakaian atau penggunaan dengan formulir yang sama. Permintaan logistik non OAT TB menggunakan formulir yang disesuaikan dengan kebijakan dinas kesehatan setempat. Permintaan logistik OAT lini kedua dari UPT Pemasyarakatan (sebagai fasilitas kesehatan satelit) ke fasilitas kesehatan rujukan menggunakan formulir permintaan obat MDR di Lampiran 9. Permintaan logistik non OAT lini kedua dari UPT Pemasyarakatan (sebagai fasilitas kesehatan satelit) ke fasilitas kesehatan rujukan menggunakan formulir permintaan Non OAT MDR di lampiran 10.
Sumber logistik TB dari Kementerian Hukum dan HAM Di Kementerian Hukum dan HAM, proses perencanaan anggaran kesehatan berada di UPT Pemasyarakatan. Untuk kebutuhan logisitk TB yang belum terpenuhi dari sumber Kementerian Kesehatan, UPT dapat mengajukan anggaran kebutuhan kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Ajuan tersebut diteruskan oleh Kanwil kepada Ditjen PAS. Secara berkala, UPT Pemasyarakatan wajib melaporkan kepada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM, dan ditembuskan ke Ditjenpas, yaitu: 1. Laporan Semester Sarana Kesehatandan Perawatan (Sesuai Standar Kesehatan) di Lampiran 11. 2. Laporan Triwulan Sarana Obat – Obatan dan Alat Habis Pakai di Lampiran 12
91
BAB VII PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI ([PPI) TB
P
enularan TB terjadi melalui udara (airborne) yang menyebar melalui partikel percik renik (droplet nuclei) yang mengandung kuman Mycobacterium tuberculosis saat pasien TB batuk, bersin, berbicara, berteriak atau bernyanyi. Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli. Penerapan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB (PPI TB) di klinik UPT Pemasyarakatan merupakan bagian dari pengendalian faktor risiko TB. Salah satu hasil assesmen PPI TB yang dilaksanakan tahun 2010 dan 2012 oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan Institusi terkait lainnya di 27 Lapas dan Rutan adalah Lapas/Rutan pada umumnya belum menerapkan PPI TB secara maksimal.
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
DEFINISI PPI TB PPI TB adalah upaya pencegahan dan pengendalian infeksi TB yang meliputi 4 pilar, yaitu : manajerial, pengendalian administratif, pengendalian lingkungan dan pengendalian dengan alat perlindungan diri (APD) guna mencegah terjadinya infeksi TB terhadap petugas pelayanan kesehatan, pasien, keluarganya dan pengunjung lainnya.
TUJUAN PPI TB PPI TB di UPT Permasyarakatan bertujuan untuk: 1. mencegah penyebaran infeksi dari komunitas ke Lapas dan Rutan dengan cara melakukan skrining TB pada WBP baru dan mempersiapkan ruang pemisahan sementara (digunakan minimal 2 minggu). 2. Pencegahan transmisi infeksi TB di dalam lapas dan rutan. 3. Pencegahan transmisi infeksi TB kepada anggota keluarga dan komunitas oleh WBP yang sudah keluar atau petugas Lapas dan Rutan.
KOMPONEN PPI TB PPI TB di UPT Pemasyarakatan meliputi 4 pilar sebagai berikut: Pengendalian Manajerial Pilar manajerial adalah upaya untuk meningkatkan komitmen dan dukungan manajerial terutama dari penentu kebijakan dan pengambilan keputusan yang efektif dalam pelaksanaan kegiatan PPI TB di UPT Pemasyarakatan. Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi: a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif d. Memastikan desain dan tata ruang poliklinik dan perawatan serta pemeliharaannya sesuai PPI TB, dengan tidak merubah bentuk bangunan e. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB (tenaga, anggaran, sarana dan prasarana termasuk ruang pemisahan) yang dibutuhkan pasien TB dan terduga TB
94
Bab VII: Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB
f. Monitoring dan Evaluasi g. Melakukan kajian di unit terkait penularan TB h. Melaksanakan PPI TB dengan melibatkan WBP, tahanan, petugas UPT pemasyarakatan dan pengunjung Pengendalian Administratif Adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kuman M. tuberculosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan, mendiseminasikan dan memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan. Upaya ini mencakup: a. Strategi TemPO (TEMukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman, Obati secara tepat) b. Skrining : • Skrining WBP baru • Survei batuk • Skrining masal berkala • Skrining menjelang bebas • Pelacakan kontak dengan pasien TB • Skrining bagi petugas UPT Pemasyarakatan secara berkala c. Penyuluhan pasien mengenai etika batuk. d. Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta pembuangan dahak yang benar. e. Pemasangan poster, spanduk dan bahan untuk KIE. Kunci utama dari strategi TemPO adalah menjaring, mendiagnosis dan mengobati TB dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi penularan TB secara efektif. Penerapannya mudah dan tidak membutuhkan biaya besar, dan ideal untuk diterapkan. Dengan menggunakan strategi TemPO akan mengurangi risiko penularan kasus TB dan TB Resistan Obat yang belum teridentifikasi. Untuk mencegah adanya kasus TB dan TB Resistan Obat yang tidak terdiagnosis, dilaksanakan strategi TemPO dengan skrining bagi semua pasien dengan gejala batuk.
• TEMukan pasien secepatnya • Pisahkan secara aman • Obati secara tepat Gambar 14. Logo TemPO
95
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Langkah- Langkah Strategi TemPO sebagai berikut: a. Temukan pasien secepatnya. Strategi TemPO secara khusus memberdayakan kader kesehatan sebagai petugas surveilans batuk. WBP yang batuk didampingi kader kesehatan ke poliklinik. b. Pisahkan secara aman. WBP yang batuk diarahkan ke ruangan tunggu dengan area ventilasi yang baik terpisah dari pasien lain, didahulukan dalam antrian (prioritas), diberikan masker dan diberikan edukasi etika batuk. WBP terduga TB segera dicatat pada TB 06, TB 05, dirujuk ke laboratorium dan ditempatkan di ruang pemisahan sementara terduga TB oleh petugas kesehatan. c. Obati secara tepat. Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB kepada orang lain. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera diobati sesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi tidak infeksius dan ditempatkan di ruang pemisahan sementara pasien TB.
Gambar 15. Ilustrasi Transmisi Kuman TB
96
Bab VII: Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB
Gambar 16. Alur Penerapan TemPO di Blok Hunian
97
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Gambar 17. Alur Penerapan TemPO di Klinik UPT Pemasyarakatan
98
Bab VII: Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB
Pengendalian Lingkungan Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai germisida. Sistem ventilasi ada 3 jenis, yaitu: a. Ventilasi Alamiah b. Ventilasi Mekanik c. Ventilasi campuran Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat. Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik. Tata Letak Rencana Blok (Block Plan) di Lapas dan Rutan Dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyebaran Kuman TB di Lapas dan Rutan perlu dilakukan pembagian area / zonifikasi (Area Zoning) dimana area untuk perawatan TB di Lapas dan Rutan sebaiknya diletakkan pada suatu area yang tidak dapat secara langsung menularkan kuman TB pada WBP serta petugas maupun pengunjung secara langsung.
99
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Ruang pemisahan direkomendasikan terpisah dari blok WBP yang lain dengan ventilasi maksimal terpisah dari pusat kegiatan, bukaan menghadap keluar dengan tetap memperhatikan faktor keamanan. Gambar dibawah ini adalah contoh model penempatan Ruang Pemisahan atau Perawatan.
100
Bab VII: Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB
Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan. Petugas kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah. Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat (respirator) pada saat melakukan prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum, aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien atau saat menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik. Petugas kesehatan, kader kesehatan dan WBP yang berkunjung perlu mengenakan respirator bila memungkinan jika berada bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau terduga TB tidak perlu menggunakan respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari percik renik.
101
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Gambar 19. Jenis respirator untuk petugas kesehatan Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat. Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3 hari). Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test. Untuk melihat dan menilai sendiri pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi TB, UPT Pemasyarakatan dapat menggunakan daftar tilik PPI TB di lampiran 7.
102
BAB VIII MONITORING DAN EVALUASI TB
DEFINISI MONITORING DAN EVALUASI
M
onitoring dan evaluasi (monev) program TB merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program TB di UPT Pemasyarakatan. Monitoring dilakukan secara berkala sebagai deteksi awal masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera dilakukan tindakan perbaikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan, indikator, dan target yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama, biasanya setiap 6 bulan sampai dengan 1 tahun. Komponen utama untuk melakukan monev adalah: pencatatan pelaporan, analisis indikator dan hasil dari supervisi. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat pelaksana program, mulai dari UPT Pemasyarakatan, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Provinsi, hingga pusat (Ditjen PAS dan Subdit TB). Seluruh kegiatan program harus dimonitor dan dievaluasi dari
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output) dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara ke petugas kesehatan di UPT maupun sasaran. Program TB di Lapas dan Rutan mencakup pengobatan TB, TB resistan, dan koinfeksi TB-HIV. Dalam pelaksanaan program tersebut, banyak ditemukan keberhasilan dan kendala, oleh karena itu diperlukan sebuah wadah pertemuan untuk mengindentifikasi keberhasilan maupun kendala. Pertemuan berupa rapat koordinasi yang dilakukan oleh lapas dan rutan (internal) maupun mengikuti rapat koordinasi di tingkat kabupaten/kota/provinsi yang diadakah oleh Dinas Kesehatan atau Kanwil Kementerian Hukum dan HAM (eksternal). Rapat koordinasi internal, selain melibatkan unit lain di dalam satu UPT seperti keamanan dan regu jaga, bisa melibatkan kanwil kementerian Hukum dan HAM, Dinas Kesehatan, Faskes, LSM sesuai dengan tema rapat. Rapat koordinasi juga bisa dilakukan untuk memperkuat koordinasi dan jejaring, seperti berikut ini: • Ketersediaan logisitik program TB di lapas dan rutan, termasuk di dalamnya berkaitan dengan logisitik yang berhubungan dengan TB-HIV • Rujukan pasien TB, termasuk rujukan lanjutan pengobatan TB bagi WBP yang bebas bersyarat/murni dari lapas rutan ke faskes yang berada dalam satu atau beda kabupaten/ kota • Rujukan WBP terkait dengan diagnosa dan pengobatan TB MDR Rapat koordinasi ini bisa disatukan pada saat kegiatan supervisi dari dinas kesehatan kabupaten/ kota dan kanwil kementerian Hukum dan HAM. Supervisi Supervisi merupakan bagian dari proses monitoring, yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja petugas, melalui suatu proses yang sistematis untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan motivasi petugas. Supervisi dilakukan secara berjenjang oleh Ditjen PAS dan Kanwil Provinsi. Pada saat melakukan supervisi diperlukan pelibatan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan terkait. Setiap institusi dapat menggunakan panduan supervisi sesuai dengan kebutuhan program yang akan dilihat. Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah: • • • • •
Observasi Interview dan diskusi, termasuk mendiskusikan permasalahan yang ditemukan Analisa pencatatan dan pelaporan Manajemen interview Stakeholder interview
104
Bab VIII: Monitoring dan Evaluasi TB
• Bantuan teknis • Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama • Memberikan temuan, rekomendasi dan saran perbaikan Lapas dan Rutan memanfaatkan hasil supervisi sebagai bahan untuk refleksi keberhasilan dan perbaikan program, oleh karena itu seluruh catatan proses supervisi disimpan dengan baik.
PENCATATAN DAN PELAPORAN TB Pencatatan UPT pemasyarakatan yang melaksanakan program TB wajib mencatat dan melapor kegiatan program TB yang dilakukan. Pencatatan dan pelaporan program TB termasuk didalamnya penemuan dan pengobatan kasus TB, TB Resistan Obat (TB RO), dan koinfeksi TB-HIV. Tabel berikut menjelaskan jenis dan penggunaan formulir TB yang ada di UPT. Tabel 22. Jenis formulir TB dan penggunaannya
No 1
Formulir Formulir skrining TB-HIV
Penggunaan Menilai status TB dan HIV saat: - pemeriksaan WBP dan Tahanan baru - skrining kontak TB - pemeriksaan WBP menjelang bebas - skrining massal TB
2
Formulir BAP WBP dan Tahanan Baru
Pemeriksaan kesehatan secara umum, termasuk didalamnya TB dan HIV untuk WBP dan tahanan baru
3
Formulir BAP Kesehatan WBP menjelang bebas
Pemeriksaan kesehatan secara umum, termasuk didalamnya TB dan HIV untuk WBP menjelang bebas
4
Formulir Rujukan Terduga TB RO
Merujuk WBP terduga RO ke Rumah Sakit Rujukan TB RO
5
Buku Bantu rujukan pasien terduga TB RO
Merekapitulasi daftar terduga TB RO yang ditemukan dan dirujuk
105
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
No
Formulir
Penggunaan
6
Daftar terduga TB (TB.06), dibedakan menjadi daftar terduga TB sensitif obat dan daftar terduga TB resistan obat
Mencatat daftar WBP terduga TB. dibedakan menjadi terduga TB sensitif obat dan terduga TB resistan obat
7
Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05
Formulir ke laboratorium untuk meminta pemeriksaan bakteriologis TB. Formulir tersebut digunakan untuk pemeriksaan terduga TB, TB-HIV, TB anak dan TB RO
8
Kartu pengobatan pasien TB (TB.01), dibedakan menjadi kartu pengobatan pasien TB sensitif, dan kartu pengobatan pasien TB resistan
Memonitor pengobatan WBP yang sakit TB baik sakit TB sensitif obat dan TB resistan obat. Kartu pengobatan pasien TB RO hanya digunakan oleh UPT yang menjadi sub rujukan atau satelit TB RO
9
Kartu identitas pasien TB (TB 02)
Berisi informasi dasar identitas pasien TB dan jadwal perjanjian untuk mengambil OAT dan pemeriksaan laboratorium
10
Register TB fasilitas kesehatan (TB.03 faskes)
Rekapitulasi pasien TB yang diobati di Klinik UPT Pemasyarakatan. Terdiri dari 4 lembar : • Lembar 1, warna putih sebagai arsip
faskes.
• Lembar 2, warna kuning sebagai bah-
an laporan penemuan (TB.07)
• Lembar 3, warna merah sebagai bah-
an laporan konversi (TB.11)
• Lembar 4, warna hijau sebagai bahan
laporan hasil pengobatan (TB.08)
11
Formulir rujukan/pindah pasien (TB 09)
Merujuk pasien TB untuk memulai atau melanjutkan pengobatan TB ke fasilitas kesehatan atau UPT lain. Bila pasien dirujuk untuk melanjutkan pengobatan maka salinan TB.01 wajib disertakan. Bagi faskes/UPT yang menerima pasien rujukan wajib mengirimkan bagian bawah TB.09.
106
Bab VIII: Monitoring dan Evaluasi TB
No
Formulir
Penggunaan
12
Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10)
Digunakan oleh UPT/faskes bila menerima rujukan pasien TB yang melanjutkan pengobatan. Formulir ini memberikan informasi hasil pengobatan TB kepada UPT/ faskes asal pasien. Salinan TB.01 yang lengkap terisi wajib disertakan.
13
Register laboratorium TB untuk laboratorium faskes mikroskopis dan tes cepat (TB.04).
Digunakan oleh klinik UPT pemasyarakatan yang melakukan pemeriksaan mikroskopis dan tes cepat
14
Register laboratorium TB untuk rujukan tes cepat, biakan, dan uji kepekaan.
Digunakan oleh klinik UPT Pemasyarakatan yang melakukan pemeriksaan tes cepat, biakan dan uji kepekaan.
Catatan: Petunjuk pengisian formulir no 6 sampai dengan 14 merujuk kepada buku panduan yang berlaku di buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (lampiran 13) Formulir pencatatan terkait dengan koinfeksi TB-HIV dijelaskan dalam tabel berikut. Tabel 23. Jenis formulir terkait koinfeksi TB-HIV dan penggunaannya
No
Formulir
1
Formulir informed consent testing HIV
2
Formulir permintaan pemeriksaan tes HIV
3
Formulir hasil tes HIV
4
Formulir konseling tes HIV
5
Ikhtisar perawatan
6
Register pra ART dan ART
Penggunaan Untuk UPT yang sudah mampu melakukan pemeriksaan tes HIV
Untuk UPT yang sudah mampu menginisiasi ARV
Catatan: Petunjuk pengisian formulir HIV terkait dengan koinfeksi TB-HIV merujuk kepada buku “Petunjuk Teknis Pengisian Formulir Pencatatan dan Pelaporan Program Pengendalian HIV-AIDS dan IMS”, serta buku “Pedoman Penerapan Tes HIV dan Konseling atas Inisiasi Petugas Kesehatan”. Pelaporan Setiap triwulan, UPT Pemasyarakan melaporkan Laporan Triwulan Program Pengendalian TB di Lapas/Rutan kepada Kanwil Provinsi Hukum dan HAM, dan ditembuskan kepada Dinas
107
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Kesehatan Kabupaten/Kota. Laporan tersebut dikirimkan ke Kanwil paling lambat tanggal 5 setiap awal triwulan. Kanwil membuat rekapitulasi laporan tersebut dan melaporkan ke Ditjen PAS paling lambat tanggal 10 setiap awal triwulan dan ditembuskan kepada Dinas Kesehatan Provinsi. Selain itu, UPT Pemasyarakatan juga melaporkan penemuan dan pengobatan kasus TB melalui SITT (Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu), baik dilakukan mandiri atau dibantu oleh Puskesmas dan pengelola program TB kab/kota.
Gambar 20. Alur pelaporan Triwulan Program Pengendalian TB di Lapas/Rutan
Gambar 21. Alur data penemuan dan pengobatan kasus TB melalui SITT
108
Bab VIII: Monitoring dan Evaluasi TB
Hasil testing HIV yang dilakukan oleh UPT Pemasyarakatan dilaporkan melalui laporan bulanan testing HIV melalui SIHA (Sistem Informasi HIV - AIDS). Sedangkan untuk Lapas dan Rutan yang menjadi satelit ARV mengirimkan Laporan Bulanan Perawatan HIV kepada RS pengampu yang ditunjuk.
INDIKATOR Indikator menjadi sebagai penanda sejauh mana program TB sudah dilaksanakan oleh lapas dan rutan. Di Nasional, ada 2 indikator yang digunakan untuk menilai kemajuan atau keberhasilan TB nasional, yaitu: 1. Angka notifikasi kasus TB (Case Notification Rate = CNR) 2. Angka keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR) Berikut adalah daftar indikator program TB yang dapat digunakan Tabel 24. Daftar indikator Program TB
No
1
Indikator
Angka keberhasilan pengobatan
Sumber Data
Kartu pengobatan (TB. 01) Register TB Faskes dan Kab/Kota (TB. 03)
Waktu
Triwulan
Pemanfaatan Indikator UPT Pemasy
Kanwil
Ditjenpas
Tahunan
Laporan Hasil Pengobatan (TB. 08) 2
Proporsi Pasien Baru TB Paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB
Daftar terduga TB (TB. 06) Register TB Faskes dan Kab/Kota (TB. 03)
Triwulan
Laporan Penemuan (TB. 07)
109
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
No
3
4
Indikator
Sumber Data
Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua pasien TB paru tercatat/diobati
Kartu pengobatan (TB. 01)
Angka kesembuhan (Cure Rate)
Kartu pengobatan (TB. 01)
Register TB Faskes dan Kab/Kota (TB. 03)
Waktu
Pemanfaatan Indikator UPT Pemasy
Kanwil
Ditjenpas
Triwulan
Triwulan
Triwulan
Triwulan
Laporan Penemuan (TB. 07)
Register TB Faskes dan Kab/Kota (TB. 03) Laporan Hasil Pengobatan (TB. 08)
5
Proporsi Pasien TB yang mengetahui status HIV
Kartu pengobatan (TB. 01) Register TB Faskes dan Kab/Kota (TB. 03) Laporan Penemuan (TB. 07) Laporan Hasil Pengobatan (TB.08)
6
Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tes nya reaktif
Kartu pengobatan (TB. 01) Register TB Faskes dan Kab/Kota (TB. 03) Laporan Penemuan (TB. 07) Laporan Hasil Pengobatan (TB.08)
110
Bab VIII: Monitoring dan Evaluasi TB
No
7
8
9
10
Indikator
Sumber Data
Proporsi Pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK selama pengobatan TB
Kartu pengobatan (TB. 01)
Proporsi Pasien TB dengan HIV positif yang menerima ART selama pengobatan TB
Kartu pengobatan (TB. 01)
Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR ditemukan (MDR TB enrollment rate)
Daftar Terduga TB MDR (TB.06)
Angka keberhasilan rujukan di UPT Pemasyarakatan
Laporan triwulan program TB UPT Pemasyarakatan
Register TB Faskes dan Kab/Kota (TB. 03)
Waktu
Pemanfaatan Indikator UPT Pemasy
Kanwil
Ditjenpas
Triwulan
Triwulan
Tahunan
Laporan Penemuan (TB. 07) Laporan Hasil Pengobatan (TB.08)
Register TB Faskes dan Kab/Kota (TB. 03) Laporan Penemuan (TB. 07) Laporan Hasil Pengobatan (TB.08)
Kartu pengobatan pasien TB MDR dalam satu periode kohort 3 bulan
Triwulan
(RS Pengayoman)
111
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
No
Indikator
Sumber Data
Waktu
Pemanfaatan Indikator UPT Pemasy
Kanwil
Ditjenpas
11
Proporsi UPT Pemasyarakatan melaksanakan DOTS diantara seluruh UPT Pemasyarakatan
Laporan triwulan program TB UPT Pemasyarakatan
Triwulan
-
12
Proporsi UPT Pemasyarakatan DOTS melakukan skrining gejala TB pada WBP/ tahanan baru diantara seluruh UPT Pemasyarakatan DOTS
Laporan triwulan program TB UPT Pemasyarakatan
Triwulan
-
13
Proporsi WBP/ tahanan baru yang diskrining gejala TB
Laporan triwulan program TB UPT Pemasyarakatan
Triwulan
14
Proporsi UPT pemasyarakatan DOTS melakukan Skrining Batuk diantara seluruh UPT pemasyarakatan DOTS
Laporan triwulan program TB UPT Pemasyarakatan
Triwulan
-
112
Bab VIII: Monitoring dan Evaluasi TB
Formula dan analisa indikator 1. Angka keberhasilan pengobatan (Treatment Success Rate = TSR) Angka Keberhasilan Pengobatan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap. Jumlah pasien baru TB Paru terkonfirmasi biologis (sembuh + pengobatan lengkap)
x 100%
Jumlah pasien baru TB Paru terkonfirmasi biologis yang diobati
2. Proporsi Pasien Baru TB Paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB Adalah prosentase pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis (BTA positif dan MTB Positif) yang ditemukan diantara seluruh terduga yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria terduga.
Jumlah pasien Baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis yg ditemukan
x 100%
Jumlah seluruh terduga TB Paru yg diperiksa Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan disebabkan : • Penjaringan terduga TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi kriteria terduga TB, atau • Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu). Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan : • Penjaringan terlalu ketat atau • Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu) 3. Proporsi Pasien TB Paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua pasien TB Paru tercatat/diobati Adalah prosentase pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua pasien Tuberkulosis paru tercatat (bakteriologis dan klinis). Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien TB yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati.
113
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Jumlah pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis Jumlah seluruh pasien TB Paru
x 100%
Angka ini minimal 70%. Bila angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular. 4. Angka Kesembuhan (Cure Rate) Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat. Untuk kepentingan khusus (survailans), angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien Paru Terkonfirmasi Bakteriologis pengobatan ulang (kambuh dan dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan: • Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat. • Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat baris kedua (second-line drugs). • Menunjukkan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi pada pasien dengan HIV. • Untuk perhitungan, digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti sebutan numerator dan denominator dengan jumlah pasien TB paru pengobatan ulang. Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang sembuh Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang diobati
x 100%
Di UPT Pemasyarakatan, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang mulai berobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah selesai pengobatan. Di Kanwil dan Pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan triwulan program TB di bagian IV tentang Hasil Pengobatan Pasien TB. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal, putus berobat (loss to follow-up), dan tidak dievaluasi. • Angka pasien putus berobat (loss to follow-up) tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi kasus pengobatan ulang yang tinggi dimasa yang akan datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan dari pengendalian Tuberkulosis.
114
Bab VIII: Monitoring dan Evaluasi TB
• Menurunnya angka pasien putus berobat (loss to follow-up) karena peningkatan kualitas pengendalian TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 % dalam beberapa tahun. • Sedangkan angka gagal untuk pasien baru TB paru BTA positif tidak boleh lebih dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat. 5. Proporsi pasien TB yang mengetahui status HIV Adalah persentase pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya tercatat di kartu pengobatan TB dibandingkan jumlah pasien TB yang tercatat. Indikator ini menggambarkan kemampuan layanan HIV dan TB untuk memastikan pasien TB mengetahui status HIVnya. Jumlah pasien TB yang dites HIV (sebelum selama pengobatan TB) & hasilnya tercatat di kartu pengobatan pasien
x 100%
Jumlah pasien TB (semua kasus) yang tercatat Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan. 6. Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya reaktif Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes reaktif . Indikator ini menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB. Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai hasil tes HIV reaktif (sebelum dan selama pengobatan TB) Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV (sebelum dan selama pengobatan TB)
x 100%
Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah tertentu. 7. Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK selama pengobatan TB Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK. Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.
115
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK selama pengobatan TB
x 100%
Jumlah pasien TB dengan HIV positif 8. Proporsi Pasien TB dengan HIV positif yang menerima ART selama pengobatan TB Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART. Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV. Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima pengobatan ARV (baru memulai atau melanjutkan pengobatan ARV)
x 100%
Jumlah pasien TB dengan HIV positif 9. Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR ditemukan atau enrollment rate Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang diobati dibandingkan dengan pasien TB RR/ MDR yang ditemukan dalam satu triwulan. Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan
x 100%
Jumlah pasien TB RR/MDR yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada TB.06 MDR dan TB.01 MDR.Angka minimal yang harus dicapai adalah 100%. Indikator ini dihitung setiap triwulan sebagai alat ukur keberhasilan upaya memastikan semua pasien TB RR/ MDR yang ditemukan diobati sehingga rantai penularan bisa diputus. Pencapaian target ini sangat tergantung pada efektifitas kegiatan KIE yang dilakukan di fasyankes maupun masyarakat. 10. Angka keberhasilan rujukan di UPT Pemasyarakatan Adalah prosentase pasien TB yang mendapatkan konfirmasi dari UPT/faskes yang menerima pasien tersebut untuk melanjutkan pengobatan diantara pasien TB yang dirujuk untuk melanjutkan pengobatan TB (karena bebas atau dipindahkan). Jumlah pasien TB yang mendapatkan konfirmasi melanjutkan pengobatan TB di faskes yang ditunjuk
x 100%
Jumlah pasien TB yang dirujuk untuk melanjutkan pengobatan TB 11. Proporsi UPT Pemasyarakatan melaksanakan DOTS diantara seluruh UPT Pemasyarakatan Adalah prosentase UPT Pemasyarakatan melaksanakan DOTS dibandingkan dengan seluruh UPT Pemasyarakatan. Indikator ini menunjukan cakupan UPT yang melaksanakan
116
Bab VIII: Monitoring dan Evaluasi TB
TB DOTS. Indikator ini dihitung berdasarkan laporan triwulan program TB di UPT yang diterima. Jumlah UPT yang melaporkan program TB Jumlah UPT (Lapas, Rutan , dan Cabang Rutan)
x 100%
12. Proporsi UPT Pemasyarakatan DOTS melakukan skrining gejala TB pada WBP/tahanan baru diantara seluruh UPT Pemasyarakatan DOTS Adalah prosentase UPT Pemasyarakatan melaksanakan DOTS melakukan skrining gejala TB pada WBP/tahanan baru dibandingkan dengan seluruh UPT Pemasyarakatan DOTS Jumlah UPT Pemasyarakatan yg melaporkan program TB & melakukan skrining gejala TB pada WBP/tahanan baru
x 100%
Jumlah UPT Pemasyarakatan yg melaporkan program TB 13. Proporsi WBP/tahanan baru yang di skrining gejala TB Adalah WBP/tahanan baru yang diskrining gejala TB dibandingkan dengan seluruh WBP/ tahanan baru Jumlah WBP/tahanan baru yang skrining gejala TB Jumlah seluruh WBP/tahanan baru
x 100%
14. Proporsi UPT Pemasyarakatan DOTS melakukan skrining batuk diantara seluruh UPT pemasyarakatan DOTS. Indikator ini menunjukan cakupan UPT Pemasyarakatan yang melaksanakan DOTS melakukan skrining batuk kepada WBP atau tahanan untuk menemukan dan mengobati TB sedini mungkin. Jumlah UPT Pemasyarakatan yang melaporkan program TB dan melakukan skrining batuk
x 100%
Jumlah UPT Pemasyarakatan yang melaporkan program TB
117
Lampiran 1. Form Berita Acara Pemeriksaan
BERITA ACARA PEMERIKSAAN KESEHATAN TAHANAN Nomor : ……………………………..
Pada hari ini …………. tanggal ………………20.. pkl ………WIB, Kami sebagai Dokter / Paramedis Lapas/Rutan ……………….. telah melakukan pemeriksaan kesehatan seorang Narapidana/Tahanan dengan identitas, sebagai berikut :
1. Nama : 2. TTL / Umur : 3. Jenis Kelamin : 4. Kebangsaan : 5. Agama : 6. Pekerjaan : 7. Alamat : 8. No. Register : 9. Tanggal Mulai Ditahan : 10. Pejabat yang menahan : 11. Perkara/Pasal : (No. 9-10 bila statusnya Tahanan) Anamnesis : Riwayat Penyakit : Pemeriksaan Fisik • KU / TV : TD: • Berat Badan : • Mulut : • Thorax : • Cor : • Pulmo : • Abdomen : • Ekstrimitas : Pemeriksaan Penunjang : Diagnosis : Terapi rutin yang diberikan :
mmHg; Nadi:
x/m; RR:
x/m; Suhu °C
Demikian berita acara ini dibuat sebenar-benarnya dengan mengingat sumpah jabatan. Tanda tangan Yang bersangkutan,
Mengetahui,
Kepala
119
Lampiran 2. Form Skrining TB-HIV
120
Lampiran 3. Form Skrining IMS
FORMULIR SKRINING IMS
A. Identitas WBP/Tahanan Hari/Tanggal : Nama Lengkap : Tempat/Tanggal Lahir : Alamat : Telp./HP : Tanggal Masuk : No. Ruangan (Sel) : B. Skrining IMS Alasan Skrining : [ [ [ [
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
] WBP/Tahanan Baru (BAP) [ ] Alasan lain: ] Skrining Blok ----------------------] Post Tindakan Beresiko IMS ----------------------] Rujukan dari Klinik/Konselor VCT
Gejala:
Ya Tidak (Beri tanda √ atau x)
Keluar nanah Sakit saat kencing Gatal dan panas sekitar kelamin Benjolan, bintil atau luka sekitar kelamin Perdarahan pada alat kelamin Bengkak pada pangkal paha Demam
[ [ [ [ [ [ [
] ] ] ] ] ] ]
[ [ [ [ [ [ [
] ] ] ] ] ] ]
C. Riwayat IMS Pernah menderita salah satu IMS : Ya/Tidak (Lingkari) Kalau jawaban “Ya” : 1. Kapan (diisi tahun): …………………….. 2. Lamanya : …………………….. 3. Berobat : Ya/Tidak (Lingkari) D. Pemeriksaan [ ] Ulkus [ ] Nanah [ ] Jenger Ayam [ ] Piercing [ ] Hagel [ ] Ring Karet/ [ ] Tasbeh [ ] Vesikel, Bulu Babi eritema E. Kesimpulan [ ] Bukan IMS [ ] IMS, Diagnosis : ………………………………………….. WBP, (………………………)
Pemeriksa, (…………………………)
121
Lampiran 4. Formulir Skrining Narkoba ASSIST (Alcohol Smoking and Substance use Involvement Screening & Test) Pendahuluan: (BACAKAN PADA PASIEN ) Terima kasih atas kesediaan anda dalam wawancara singkat ini. Saya akan bertanya kepada anda tentang pengalaman anda dalam menggunakan zat/obat-obatan ini selama anda hidup sampai hari ini dan terutama dalam tiga bulan terakhir. Zat/obat-obatan ini dapat dihirup, ditelan, disedot, disuntik atau ditelan.
a. Produk Tembakau
0
2
3
4
6
b. Minuman beralkohol (bir, anggur, sopi, tomi dll.)
b. Minuman beralkohol
0
2
3
4
6
c. Kanabis (marijuana, ganja, gelek, cimengpot, dll.)
c. Kanabis
0
2
3
4
6
d. Kokain (coke, crack, etc.)
0
2
3
4
6
0
2
3
4
6
f. Inhalansia (lem, bensin, tiner, dll)
d. Kokain e. Stimulan jenis amfetamin (ekstasi, shabu, dll) f. Inhalansia (lem, bensin, tiner, dll)
0
2
3
4
6
g. Sedativa atau obat tidur (Benzodiazepin, Lexotan, Rohypnol, Mogadon, dll.)
g. Sedativa atau obat tidur (Benzodiazepin, Lexotan, Rohypnol, Mogadon, dll.)
0
2
3
4
6
h. Halusinogens(LSD, mushrooms, PCP, dll)
h. Halusinogens(LSD, mushrooms, PCP, dll)
0
2
3
4
6
i. Opioid (heroin, morfin, metadon, kodein, dll)
i. Opioid (heroin, morfin, metadon, kodein, dll)
0
2
3
4
6
j. Zat-lain: jelaskan:
j. Zat-lain: jelaskan:
0
2
3
4
6
Bila “tidak” untuk seluruh item, hentikan wawancara
Bila “tidak pernah” untuk seluruh item dalam pertanyaan 2, loncat ke pertanyaan 6.
Ya
a. Produk tembakau (rokok, cerutu, kretek, dll.)
Tidak
SELALU ATAU
Selama tiga bulan terakhir, seberapa sering anda pernah menggunakan zat seperti yang anda katakan (ZAT PERTAMA, ZAT KEDUA, DLL)?
e. Stimulan jenis amfetamin (ekstasi, shabu, dll)
Tidak pernah
Satu atau dua kali
Tiap bulan
Tiap minggu
Harian atau Hampir tiap hari
a. Produk tembakau
0
3
4
5
6
a. Produk tembakau
0
4
5
6
7
b. Minuman beralkohol
0
3
4
5
6
b. Minuman beralkohol
0
4
5
6
7
c. Kanabis
0
3
4
5
6
c. Kanabis
0
4
5
6
7
d. Kokain
0
3
4
5
6
d. Kokain
0
4
5
6
7
SELALU ATAU HAMPIR SELALU
TIAP BULAN
Pertanyaan 4
TIAP MINGGU
Pertanyaan 3
TIDAK PERNAH
Bila zat/obat-obatan apa saja dalam pertanyaan 2 telah digunakan dalam tiga bulan terakhir, lanjutkan ke pertanyaan 3,4,5 untuk tiap zat/obat-obatan yang digunakan.
SEKALI ATAU DUA KALI
Bila “ya” untuk setiap item, tanyakan pertanyaan 2 untuk tiap zat/obatobatan yang pernah digunakan.
Selama tiga bulan terakhir , seberapa sering anda mempunyai keinginan yang kuat untuk menggunakan (ZAT PERTAMA, ZAT KEDUA, DLL) ?
122
HAMPIR SELALU
Dalam kehidupan anda, zat apa dibawah ini yang pernah digunakan? (di luar penggunaan dengan alasan medis)
TIAP MINGGU
Pertanyaan 2 TIDAK PERNAH
Pertanyaan 1
SEKALI ATAU DUA KALI TIAP BULAN
Beberapa zat dalam daftar adalah resep dokter (seperti amfetamin, sedatif, obat anti nyeri). Untuk wawancara ini kami tidak membahas tentang obat-obatan yang diresepkan, karena kami bertanya tentang zat-zat yang tidak diresepkan. Namun demikian, apabila anda menggunakan obat yang diresepkan dan memakainya di luar anjuran dokter dengan alasan apapun, tolong beritahu kami
Selama tiga bulan terakhir , seberapa sering obat yang anda gunakan dari (ZAT PERTAMA, ZAT KEDUA, DLL) yang menyebabkan timbulnya masalah kesehatan, sosial, hukum dan masalah keuangan?
e. Stimulan jenis amfetamin (ekstasi, shabu, dll)
0
3
4
5
6
e. Stimulan jenis amfetamin (ekstasi, shabu, dll)
0
4
5
6
7
f. Inhalansia
0
3
4
5
6
f. Inhalansia
0
4
5
6
7
g. Sedativa atau obat tidur
0
3
4
5
6
g. Sedativa atau obat tidur
0
4
5
6
7
h. Halusinogen
0
3
4
5
6
h. Halusinogen
0
4
5
6
7
i. Opioid
0
3
4
5
6
i. Opioid
0
4
5
6
7
j. Zat-lain: jelaskan:
0
3
4
5
6
j. Zat-lain: jelaskan:
0
4
5
6
7
Lampiran
Tidak pernah
Satu atau dua kali
Tiap bulan
Tiap minggu
Harian atau Hampir tiap hari
Pertanyaan 5
a. Produk tembakau
0
5
6
7
8
b. Minuman beralkohol
0
5
6
7
8
c. Kanabis
0
5
6
7
8
d. Kokain
0
5
6
7
8
e. Stimulan jenis amfetamin (ekstasi, shabu, dll)
0
5
6
7
8
f. Inhalansia
0
5
6
7
8
g. Sedativa atau obat tidur
0
5
6
7
8
h. Halusinogen
0
5
6
7
8
i. Opioid
0
5
6
7
8
j. Zat-lain: jelaskan:
0
5
6
7
8
Selama tiga bulan terakhir , seberapa sering anda gagal melakukan hal-hal yang biasa anda lakukan disebabkan karena penggunaan dari (ZAT PERTAMA, ZAT KEDUA, DLL )?
Tanyakan Pertanyaan 6 & 7 untuk semua zat yang pernah digunakan (misalnya zat yang didapat pada Pertanyaan 1)
Ya, dalam 3 bulan terakhir
Ya, tapi tidak dalam 3 bulan terakhir
Tidak, tidak pernah
a. Produk tembakau
0
6
3
Ya, dalam 3 bulan terakhir
Ya, tapi tidak dalam 3 bulan terakhir
Pertanyaan 7 Tidak, Tidak pernah
Pertanyaan 6
b. Minuman beralkohol
0
6
3
a. Produk tembakau
0
6
3
c. Kanabis
0
6
3
b. Minuman beralkohol
0
6
3
d. Kokain
0
6
3
c. Kanabis
0
6
3
e. Stimulan jenis amfetamin (ekstasi, shabu, dll)
0
6
3
d. Kokain
0
6
3
f. Inhalansia
0
6
3
e. Stimulan jenis amfetamin (ekstasi, shabu, dll)
0
6
3
g. Sedativa atau obat tidur
0
6
3
f. Inhalansia
0
6
3
h. Halusinogen
0
6
3
g. Sedativa atau obat tidur
0
6
3
Apakah ada teman, keluarga atau seseorang lainnya yang pernah mengungkapkan keprihatinannya tentang penggunaan dari (ZAT PERTAMA, KEDUA, DLL)?
Apakah anda pernah mencoba dan gagal untuk mengontrol, mengurangi, atau menghentikan penggunaan (ZAT PERTAMA, ZAT KEDUA, DLL.)?
i. Opioid
0
6
3
h. Halusinogen
0
6
3
j. Zat-lain: jelaskan:
0
6
3
i. Opioid
0
6
3
j. Zat-lain: jelaskan:
0
6
3
Ya, dalam 3 bulan terakhir
Ya, tapi tidak dalam 3 bulan terakhir
Apakah anda pernah menggunakan zat dengan cara menyuntik? (HANYA PENGGUNAAN NON M EDIS)
Tidak, tidak pernah
Pertanyaan 8
0
2
1
123
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Untuk masing-masing zat (a sampai j) jumlahkan semua skor yang didapat dari pertanyaan 2 sampai 7. Jangan jumlahkan hasil dari masing-masing P1 atau P8 didalam skor ini. Contoh, Skor untuk Kanabis (ganja) dapat dijumlahkan dari pertanyaan: P2c + P3c + P4c + P5c + P6c + P7c Catat bahwa P5 untuk tembakau tidak diberi kode, dan yang dijumlahkan hanya pertanyaan: P2a + P3a + P4a + P6a + P7a
J enis intervensi ditentukan oleh skor penggunaan zat yang digunakan pasien Interve Tidak nsi Catatan ada singkat Skor Zat interven Spesifik si
Pengobatan yang lebih intensif *
a. Tembakau
0-3
b. Minuman beralkohol
0 - 10
11-26
27+
c. Kanabis
0-3
4 - 26
27+
d. Kokain
0-3
4 - 26
27+
e. Stimulan jenis amfetamin
0-3
4 - 26
27+
f. Inhalansia
0-3
4 - 26
27+
g. Sedativa atau obat tidur
0-3
4 - 26
27+
h. Halusinogen
0-3
4 - 26
27+
i. Opioid
0-3
4 - 26
27+
j. Zat-lain:
0-3
4 - 26
27+
4 - 26
CATATAN: *PENILAIAN LEBIH LANJUT DAN PENGOBATAN YANG LEBIH INTENSIF dapat disediakan oleh petugas kesehatan di Institusi Penerima Wajib Lapor Pecandu atau oleh ahli dibidang terapi Napza, jika tersedia.
124
27+
Lampiran 5. Pelaporan Survei Batuk
LAPORAN BULANAN KADER SURVEY BATUK DI LAPAS/RUTAN Nama Kader Bulan Tahun
: : :
Daftar WBP dengan Batuk yang dirujuk oleh kader
No
Nama atau inisial
Edukasi
Pemberian Masker
Hasil Diagnosis
Kontak Sekamar
+/-
TB / TB RO/ Non TB
+/-
Blok/Sel +/-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah WBP yang batuk : Jumlah WBP yang TB : TB RO : Non TB : Mengetahui, _____________________ (Petugas Kesehatan)
125
Lampiran 6. Formulir BAP Kesehatan WBP menjelang bebas BERITA ACARA PEMERIKSAAN KESEHATAN TAHANAN Nomor: w7.Eu.PK.01.07.01-……. Pada hari ini ……………………..tanggal……………………..……..jam………..…WIB, Kami ..... telah memeriksa kesehatan seorang tahanan dengan identitas sebagai berikut : 1. Nama :……………………………………………………………………………. 2. TTL./Umur :……………………………………………………………………………. 3. Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan 4. Kebangsaan : …………………………………………………………………………… 5. Agama :……………………………………………………………………………. 6. Pekerjaan :……………………………………………………………………………. 7. Alamat :……………………………………………………………………………. 8. Mulai Ditahan :……………………………………………………………………………. 9. Pejabat :……………………………………………………………………………. 10. Perkara :……………………………………………………………………………. Dengan hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut Keadaan Umum :……………………………… Tensi :……………………………… COR :……………………………… Pulmo :……………………………… Abdomen :……………………………… Ekstremitas :……………………………… Kesimpulan
: (Keadaan gizi, kulit). (Tekanan darah). (Keadaan jantung & denyutnya). (Keadaan paru-parunya). (Keadaan perutnya). (Keadaan gerak atas & bawah).
: ...........………………………………………………………………………
Demikian Berita Acara ini dibuat sebenarnya dengan mengingat sumpah jabatan. .......... , ……………… Tanda tangan Cap Jempol Tahanan Ybs
(………………………….)
Dokter / Paramedik,
(..………………………….) Mengetahui, An. Kepala Kasi Pelayanan Tahanan, …………………………………………
126
Lampiran 7. Panduan dan Daftar Tilik Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB di Lapas dan Rutan
Pendahuluan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi khusus TB harus dilakukan di Lapas/Rutan untuk meminimalkan risiko terjadinya penularan TB pada Petugas Kesehatan, Petugas Lapas/Rutan, dan antar WBP/tahanan. Pelaksanaan Pengedalian Infeksi TB merupakan sebuah proses yang membutuhkan komitmen dari seluruh pihak di Lapas dan Rutan. Daftar tilik pencegahan dan pengendalian infeksi khusus TB merupakan alat yang membantu Lapas dan Rutan untuk melihat dan menilai sendiri pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi (kewaspadaan isolasi) khusus TB. Daftar tilik ini berisi pernyataan-pernyataan yang dikelompokkan menjadi 4 bagian yaitu manajerial, administrasi, lingkungan, dan alat perlindungan diri. Tanggungjawab pengisian daftar tilik ini ada di kordinator poliklinik di Lapas dan Rutan. Pada saat pengisian, kordinator poliklinik mengisi bersama dengan seluruh staf di poliklinik. Kemudian secara bersama-sama melihat hasil dan membuat perencanaan perbaikan dapat dapat dilakuan selama 6 bulan. Selain itu hasil dari kegiatan monitoring ini dapat menjadi advokasi ke pihak terkait Monitoring ini dilakukan secara berkala setiap 6 (enam) bulan. Kordinator poliklinik bertanggungjawab untuk mendokumentasikan hasil, dan mendiseminasikan hasil ke Kepala Lapas atau Rutan dan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM. Tujuan Menilai pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi khusus TB sebagai bagian dari kegiatan untuk menurunkan risiko penularan TB di Lapas/Rutan Cara Pengisian Tim dari poliklinik mengisi daftar tilik. Lingkari pilihan yang sudah disediakan disetiap pernyataan. Bila dibutuhkan pejelasan terkait dengan jawaban yang dipilih, maka dapat menggunakan kolom Penjelasan. Setiap bagian terdapat baris Total Nilai, dimana ini merupakan penjumlahan dari jawaban yang telah dilingkari. Angka-angka yang digunakan dalam daftar tilik ini membantu Lapas dan Rutan untuk melihat proses perbaikan yang dilakukan. Setelah daftar tilik diisi, lalu dianalisis dan tuliskan perencanaan perningkatan pelaksanaan pencegahan dan pengendalian Infeksi.
127
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Penjelasan variabel Penilaian Daftar Tilik Manajerial
No
Penilaian
Penjelasan
I.1
UPT memiliki prosedur tertulis tentang Pencegahan dan Pengendalian infeksi TB termasuk strategi TemPO; mencakup upaya mengenali segera terduga TB, triase, prosedur layanan TB, , pemeriksaan kontak penghuni sel dengan pasien TB, serta prosedur rujukan untuk terduga TB atau pasien TB.
Pengertian prosedur PPI TB sudah cukup jelas.
I.2
UPT mempunyai penanggungjawab untuk pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi TB
Penanggungjawab adalah petugas di Lapas dan Rutan yang ditunjuk untuk memastikan pelaksanaan PPI TB berjalan sesuai dengan rencana
I.3
Para pelaksana program TB di UPT sudah disosialisasikan tentang prosedur tertulis tentang pencegahan dan pengendalian infeksi TB (seperti telah dijelaskan di nomor 1.1)
Penilian ini berhubungan dengan no.1.1. Dibagian kolom Penjelasan, tuliskan jumlah petugas yang sudah di sosialisasikan serta jelaskan kedudukan/jabatan petugas tersebut
Prosedur tersebut dalam bentuk tertulis dan bisa diakses oleh setiap orang, baik petugas di poliklinik atau petugas yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan program TB di Lapas dan Rutan.
Pengendalian Administratif
No
Penilaian
Penjelasan
II.1
Seluruh WBP/Tahanan yang baru masuk ke UPT di skrining gejala TB – (TEMUKAN)
Ada dokumentasi berkas yang menunjukkan kegiatan skrining gejala TB pada WBP/ Tahanan yang baru masuk lapas/rutan.
II.2
UPT melakukan skrining massal gejala TB bagi seluruh WBP/tahanan secara berkala minimal 1 kali setahun – (TEMUKAN)
Ada dokumentasi berkas yang menunjukkan kegiatan skrining massal gejala TB pada WBP/Tahanan di lapas dan rutan
II.3
UPT menjalankan monitoring batuk secara kontinu – (TEMUKAN)
Ada petugas monitor batuk di blok, ada dokumentasi mengenai laporan terkait monitoring batuk di blok
II.4
UPT melaksanakan penyuluhan kesehatan tentang TB kepada WBP/ tahanan, salah satunya dilakukan saat melakukan skrining massal gejala TB
Cukup jelas. Biasanya dilakukan bersamaan dengan kegiatan skrining massal gejala TB
128
Lampiran
No
Penilaian
Penjelasan
II.5
Seluruh terduga/pasien TB diberi penyuluhan tentang etika batuk
Bagi Terduga atau Pasien TB diberikan penyuluhan etika batuk agar tidak menularkan ke orang lain
II.6
UPT mempunyai media KIE TB (poster yang dipampang, brosur, dll) yang penempatannya mudah dilihat oleh WBP/tahanan dan Petugas.
Terdapatnya media-media informasi TB yang mudah dilihat dan dibaca oleh semua orang
II.7
UPT menyediakan ruang pemisahan sementara kesehatan dengan ventilasi yang baik bagi terduga TB sambil menunggu proses diagnosis (PISAHKAN)
Ruang pemisahan sementara khusus untuk pemisahan WBP terduga TB. Struktur ruangan dengan ventilasi yang mencukupi dimana pertukaran udara cukup baik
II.8
UPT menyediakan ruang pemisahan sementara kesehatan dengan ventilasi yang baik bagi perawatan pasien TB untuk diisolasi minimal selama 2 minggu pertama pengobatan fase intensif
Ruang pemisahan sementara khusus untuk pengobatan WBP pasien TB selama 2 minggu pertama fase intensif. Struktur ruangan dengan ventilasi yang mencukupi dimana pertukaran udara cukup baik
II.9
Klinik Pratama memiliki ruang tunggu pasien dengan ventilasi yang baik sesuai pedoman PPI TB di lapas dan rutan
Ruang tunggu pasien memiliki ventilasi yang baik atau tidak ruangan tertutup
II.10
Klinik Pratama memprioritaskan pasien yang terduga/sakit TB untuk segera mendapatkan pelayanan kesehatan dengan cepat.
Adanya prosedur mendahulukan terduga/ pasien TB untuk dilayani sehingga tidak kontak lama dengan pasien lainnya
II.11
Setiap pasien TB yang terdiagnosis mendapatkan pengobatan TB sesuai pedoman nasional (OBATI)
Semua pasien TB terdiagnosis mendapatkan pengobatan TB dengan strategi DOTS
II.12
Klinik Pratama memastikan penerapan etika batuk bagi pasien yang batuk saat berada di ruang tunggu.
Salah satunya adalah dengan ketersediaan masker atau alat lain bagi pasien dengan keluhan batuk saat berada diruang tunggu, atau dengan mengingatkan kembali kepada pasien batuk yang berada di ruang tunggu untuk menerapkan etika batuk
129
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
No
Penilaian
II.13
UPT mempunyai akses rujukan ke fasyankes di wilayahnya untuk penanganan TB yang tidak dapat dilakukan di Klinik Pratama. Rujukan dapat dilakukan ke Puskesmas, RS, BP4 dsb.
Penjelasan Akses rujukan tekait dengan penanganan TB, misal: pemeriksaan sputum, penangan pengobatan, dsb
Pengendalian Lingkungan No
Penilaian
Penjelasan
III.1
Posisi pemeriksaan pasien telah menerapkan prinsip PPI TB (terkait arah angin, posisi duduk, letak ventilasi alami dan mekanik)
Posisi pemeriksaan pasien sesuai dengan desain ruangan untuk pemeriksa dan pasien TB di dalam buku pedoman PPI TB untuk Lapas dan Rutan dan Pedoman Teknis Bangunan dan Prasarana FKTP (Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama) untuk mencegah Infeksi yang ditularkan melalui udara (Airborne Infection)
III.2
Ruang periksa memiliki Air Change per Hour (ACH) > 12
Pengukuran ACH berdasarkan luas ruangan dengan besarnya aliran udara di dalam ruangan. Bila belum pernah diukur maka jawabannya belum diukur
III.3
Letak ruang tunggu poliklinik di tempat yang terbuka dan tidak berdesakan
Ruang tunggu yang mempunyai pertukaran udara dan relatif luas sehingga tidak berdesakan
III.4
Pengambilan dahak dilakukan di tempat terbuka atau di tempat khusus (sputum booth)
Pengambilan dahak tidak dilakukan di ruangan tertutup seperti kamar mandi
III.5
Di dalam sel, pasien TB menggunakan tempat yang tertutup untuk membuang dahak, sehingga dahaknya tidak dibuang disembarang tempat
Setiap Pasien TB saat berada di dalam sel tidak membuang dahaknya sembarang tempat.
III.6
Ruangan sel diisi sesuai dengan kapasitas (merujuk kepada tata ruang bangunan untuk lapas dan rutan)
Merujuk kepada tata ruang bangunan untuk lapas dan rutan, jumlah ideal untuk dihuni oleh WBP/tahanan
130
Lampiran
Perlindungan Diri No
Penilaian
Penjelasan
IV.1
Masker Respirator partikulat (cth: N95) tersedia untuk petugas yang berhubungan dengan pasien TB dalam 1 bulan terakhir
Ketersediaan masker respirator partikulat sebaiknya harus selalu tersedia. Bila masker hanya tersedia sewaktu-waktu saja, maka jawaban yang dipilih adalah kadang-kadang
IV.2
Seluruh petugas kesehatan menggunakan masker respirator partikulat pada saat memeriksa terduga/pasien TB dalam 1 bulan terakhir
Petugas kesehatan menggunakan masker respirator partikulat dan sesuai peruntukannya
Penjelasan Catatan Kegiatan Monitoring dan Perencanaan Formulir ini digunakan untuk mencatat hasil yang belum tercapai dan perencanaan perbaikan untuk enam bulan berikutnya. Hasil catatan di formulir ini dapat menjadi data untuk membandingkan dengan hasil monitoring di enam bulan berikutnya.
Kolom
Penjelasan
Tanggal penilaian
Tanggal penilaian PPI-TB dilakukan
Nilai
Tuliskan hasil nilai yang didapat dari formulir daftar tilik berdasarkan komponen manajerial, administratif, pengendalian lingkungan, dan perlindungan diri.
Bagian yang belum tercapai
Tuliskan hal yang masih belum tercapai berdasarkan komponen manajerial, administratif, pengendalian lingkungan, dan perlindungan diri..
Catatan
Menjelaskan tentang hal-hal atau temuan yang perlu di dokumentasikan dari proses monitoring.
Perencanaan dan Tindak lanjut
Menjelaskan tentang rencana dan tindak lanjut terkait kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi.
Dalam 6 bulan kedepan
131
132
UPT mempunyai penanggungjawab untuk pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi TB
Para pelaksana program TB di UPT sudah disosialisasikan tentang prosedur tertulis tentang pencegahan dan pengendalian infeksi TB (seperti telah dijelaskan di nomor 1.1)
I.2
I.3
Total Nilai
UPT memiliki prosedur tertulis tentang Pencegahan dan Pengendalian infeksi TB termasuk strategi TemPO; mencakup upaya mengenali segera terduga TB, triase, prosedur layanan TB, , pemeriksaan kontak penghuni sel dengan pasien TB, serta prosedur rujukan untuk terduga TB atau pasien TB.
Penilaian
I.1
No
Manajerial
Semua
Tidak
Ya
2
Ya Sebagian
1
Tidak
Tidak
0
Nilai maksimum=6
Penjelasan
Lingkari jawaban yang sesuai dengan kondisi di Lapas/Rutan. Setiap jawaban mempunyai nilai, jumlahkan nilai tersebut dan tuliskan di baris total nilai.
Petunjuk pengisian:
Penanggungjawab: _____________________
Lapas/Rutan: ___________________________Kota/kab: ________________________ Provinsi: ___________________Tanggal pengisian: _____________________
Daftar Tilik Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB (PPI) di UPT Lapas/Rutan
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Seluruh WBP/Tahanan yang baru masuk ke UPT di skrining gejala TB – (TEMUKAN)
UPT melakukan skrining massal gejala TB bagi seluruh WBP/tahanan secara berkala minimal 1 kali setahun – (TEMUKAN)
UPT menjalankan monitoring batuk secara kontinu – (TEMUKAN)
II.1
II.2
II.3
Seluruh terduga/pasien TB diberi penyuluhan tentang etika batuk
UPT mempunyai media KIE TB (poster yang dipampang, brosur, dll) yang penempatannya mudah dilihat oleh WBP/tahanan dan Petugas.
UPT menyediakan ruang ruang pemisahan sementara kesehatan dengan ventilasi yang baik bagi terduga TB sambil menunggu proses diagnosis (PISAHKAN)
II.5
II.6
II.7
UPT melaksanakan penyuluhan kesehatan tentang TB kepada WBP/tahanan, salah satunya dilakukan saat melakukan skrining massal gejala TB
II.4
Penilaian
No
Pengendalian Administratif
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
0
Sebagian
Ya
Sebagian
Tidak
1
Ya
Ya
Ya
Ya
2
Penjelasan
Lampiran
133
134
UPT menyediakan ruang ruang pemisahan sementara kesehatan dengan ventilasi yang baik bagi perawatan pasien TB untuk diisolasi minimal selama 2 minggu pertama pengobatan fase intensif (PISAHKAN)
Klinik Pratama memiliki ruang tunggu pasien dengan ventilasi yang baik sesuai pedoman PPI TB di lapas dan rutan dan Pedoman Teknis Bangunan dan Prasarana FKTP untuk mencegah Infeksi yang ditularkan melalui udara (Airborne Infection)
Klinik Pratama memprioritaskan pasien yang terduga/sakit TB untuk segera mendapatkan pelayanan kesehatan dengan cepat
Setiap pasien TB yang terdiagnosis mendapatkan pengobatan TB sesuai pedoman nasional (OBATI)
Klinik Pratama memastikan penerapan etika batuk bagi pasien yang batuk saat berada di ruang tunggu .
UPT mempunyai akses rujukan ke fasyankes di wilayahnya untuk penanganan TB yang tidak dapat dilakukan di Klinik Pratama. Rujukan dapat dilakukan ke Puskesmas, RS, BP4 dsb.
II.8
II.9
II.10
II.11
II.12
II.13
Total Nilai
Penilaian
No
Ya
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
2 Ya
1
Tidak
0
Nilai maksimum=26
Penjelasan
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Posisi pemeriksaan pasien telah menerapkan prinsip PPI TB (terkait arah angin, posisi duduk, letak ventilasi alami dan mekanik)
Ruang periksa memiliki Air Change per Hour (ACH) > 12
Letak ruang tunggu poliklinik di tempat yang terbuka dan tidak berdesakan
Pengambilan dahak dilakukan di tempat terbuka atau di tempat khusus (sputum booth)
Di dalam sel, pasien TB menggunakan tempat yang tertutup untuk membuang dahak, sehingga dahaknya tidak dibuang disembarang tempat
Ruangan sel diisi sesuai dengan kapasitas (merujuk kepada tata ruang bangunan untuk lapas dan rutan)
III.1
III.2
III.3
III.4
III.5
III.6
Total Nilai
Penilaian
No
Pengendalian Lingkungan
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Sebagian
Sebagian
Belum diukur
Sebagian
Tidak
Tidak
1
0
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
2
Nilai maksimum=12
Lihat di Pedoman Teknis Bangunan dan Prasarana FKTP untuk mencegah Infeksi yang ditularkan melalui udara (Airborne Infection)
Penjelasan
Lampiran
135
136
Masker Respirator partikulat (cth: N95) tersedia untuk petugas yang berhubungan dengan pasien TB dalam 1 bulan terakhir
Seluruh petugas kesehatan menggunakan masker respirator partikulat pada saat memeriksa terduga/pasien TB dalam 1 bulan terakhir
IV.1
IV.2
Tanggal Penilaian
Pengendalian Administratif
Manajerial
Nilai
Tidak
Tidak
0
Bagian yang belum tercapai
Catatan Kegiatan Monitoring dan Perencanaan
Total Nilai
Penilian
No
Perlindungan Diri
Ya
Ya
2
Catatan
Sebagian
Kadangkadang
1
Perencanaan dan Tindak lanjut Dalam 6 bulan kedepan
Nilai maksimum=2
Catatan
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Perlindungan Diri
Pengendalian Lingkungan
Lampiran
137
138
Perlindungan Diri
Pengendalian Lingkungan
Pengendalian Administratif
Manajerial
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
Lampiran 11. Laporan Semester Sarana Kesehatan dan Peralatan (sesuai Standar Kesehatan) KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KANTOR WILAYAH . . . . . UPT . . . . . Jl. Raya . . . . . Telepon . . . . .; Fax . . . . .
JUMLAH SARANA FISIK
No.
Surat izin Poliklinik
1
2
Jumlah
Ruang Ruang Ruang Ruang Ruang Ruang Ruang Ruang Ruang Kamar Medis Ruang WC Withd Poli Rawat Poli Gudang Labora Obat Tunggu Isolasi Jenazah /Para Adm. Poliklini rawl Inap Umum Gigi torium Medis
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
ik
FORMULIR KESWAT 11A LAPORAN SEMESTER SARANA KESEHATAN DAN PERAWATAN (SESUAI STANDAR KESEHATAN) SEMESTER :
JUMLAH PERAL Medis WC Ruang Alat Bedah Hunian Emergensy Resusit Minor Bag Set Set asi 16
17
18
19
Termo Palu Infus Stesto Tensi meter Re ex Set skop meter Klinis 20
21
22
23
24
Peneka Alat Partus nan Lampu Timban Kateter Doppler Pembantu Set Set Lidah Senter gan Pernafasan Metal 25
26
27
28
29
30
31
LATAN Non Medis
Peralatan Pewatan Gigi
Kacamata Pelindung
32
33
Lampu Lemari Kompu Tempat Kursi Washt Kursi Lampu Sterilis Exhaust Ultra Pendin Brankar Tandu Tidur Kebidan ter afel Roda Sorot ator Fan gin Violet an Rawat Unit 34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
.................................., tgl................. Kepala
.................................................... NIP. ................................
44
45
Lampiran 12. Laporan Triwulan Sarana Obat-Obatan dan Alat Habis Pakai
Lampiran
Lampiran 13. Formulir Pencatatan dan Pelaporan TB TB.06
: Daftar terduga TB
TB.05
: Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak
TB.01
: Kartu pengobatan pasien TB
TB.02
: Kartu identitas pasien TB
TB.03 faskes
: Register TB fasilitas kesehatan
TB.09
: Formulir rujukan/pindah pasien
TB.10
: Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan
TB.04
: Register laboratorium TB untuk laboratorium faskes mikroskopis dan tes cepat
147
1
4
Tablet
3
5
6
7
8
9
1
2
4
Tablet
3
5
6
7
8
9
aga l
Tidak dievaluasi
Pengobatan Lengkap
Putus Berobat (Lost to follow up)
Sembuh
eningga l
(Tulis tanggal dalam kotak yang sesuai)
Hasil Akhir Pengobatan
Catatan (baca petunjuk pengisian):
Lain-lain …………………
Bayar sendiri
Etambutol ****)
Nama Faskes PDP
umlah BB (kg)
Tgl. Tes
asil Tes* (R/ /NR)
No. Reg. Nasional
PPK ( a/Tidak)
ART ( a/Tidak)
ukungan dan Pengobatan)
Tanggal dianjurkan Tes
La anan Tes dan onseling HI Selama Pengobatan TB
La anan P P Pera atan
Rujukan/ Pindah Pasien TB *Pindah Pengobatan Nama Faskes Tujuan …………………………….. Kab/ Kota ……………………………………………… Provinsi ……………………………………………… *Pindah Register Pasien TB RO No. Register TB RO …………………………………
umlah BB (kg)
mg/hari No. Batch __________________
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
No. Batch ____________________
***) Berilah tanda Berilah tanda "garis lurus putus-putus sesuai tanggal minum obat" jika obat dibawa pulang dan ditelan sendiri di rumah ****) Diisi untuk OAT kategori-2
Bulan
KDT : __________
II. TAHAP LANJUTAN : ***)
Asuransi …………………
Program TB
mg/hari No. Batch __________________
Sumber Obat :
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Streptomisin**)
Kategori anak
No. Batch ____________________
Kombipak/Obat lepas
Kategori-2
*) Berilah tanda Berilah tanda "garis lurus sesuai tanggal minum obat" jika obat dibawa pulang dan ditelan sendiri di rumah **) Diisi untuk OAT kategori-2 dan keadaan khusus
Bulan
KDT : __________
2
KDT
Bentuk OAT:
I. TAHAP AWAL : *)
Kategori-1
Paduan OAT :
Lampiran
Lampiran 14. Standar Pengemasan Dahak
Bahan-bahan yang diperlukan untuk pengemasan rujukan spesimen dahak, antara lain: 1. Pot dahak sesuai standar 2. Label: identitas sputum, pengirim, dan tanda panah 3. Formulir pemeriksaan 4. Absorban: 2-3 lembar tisu 5. Kantung plastik bersegel: untuk satu pot dahak dan 2-3 pot dahak seorang pasien 6. Cool box/kotak plastik/karton: ukuran sesuai jumlah pot dahak yang akan dirujuk 7. Ice pack beku/ice cubes dalam kantung plastik 8. Parafilm 9. Gunting 10. Lakban 11. Karet gelang 12. Spidol permanen 13. Amplop Proses pengemasannya yaitu: -
Petugas memakai APD: sarung tangan dan jas laboratorium
-
Pot dahak diterima dan desinfeksi dengan tisu beralkohol
-
Buka sarung tangan sesuai cara keamanan kerja, buang sarung tangan dan tisu ke dalam wadah limbah infeksius
-
Labelling/penulisan identitas pada dinding pot dahak
-
Lilitkan parafilm sekeliling tutup pot dahak
- Masukkan satu pot dahak S/P dan absorbans/tisu (2-3 lembar) ke dalam kantung plastik kecil -
Kantung plastik kecil tersebut disegel, rapihkan dan ikat dengan karet gelang
- Masukkan 2-3 pot dahak dari seorang pasien kedalam kantung plastik besar, segel, rapihkan, ikat dengan karet gelang -
Icepack beku/icecubes dalam kantung plastik dan diletakan dalam kotak pengiriman
169
Panduan Penanggulangan Tuberkulosis di UPT Pemasyarakatan
-
Letakkan potongan koran diantara kantung es dan pot dahak, sedemikian rupa ehingga pot dahak stabil
-
Tutup kotak dan rekatkan lakban disekeliling tutupnya
-
Tempelkan label tanda panah sesuai arah atas pot
-
Formulir pemeriksaan: isi lengkap, masukkan ke dalam kantung plastik, masukan kedalam amplop bertuliskan alamat laboratorium rujukan+kontak person+no.telepon/hp
-
Tempelkan amplop di bagian atas kotak
-
Tempelkan label: nama dan alamat pengirim (bungkus kotak dengan plastik tembus pandang)
-
Petugas menghubungi nomor kontak lab rujukan yang dituju untuk membuat perjanjian pengiriman contoh uji
-
Kemudian kirimkan ke Laboratorium rujukan
170
DAFTAR PUSTAKA Petunjuk Teknis Pengisian Formulir Pencatatan dan Pelaporan Program Pengendalian HIV AIDS dan IMS, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, 2015. Rencana Aksi Nasional TB-HIV 2015-2019, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2015. Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2015. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011. Petunjuk Teknis Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2014. Petunjuk Penatalaksanaan TB Resistan Obat di Lapas dan Rutan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2014. Pedoman Teknis Bangunan dan Prasarana Fasilitas Pelayanan kesehatan tingkat Pertama Untuk Mencegah Infeksi yang Ditransmisikan Melalui Udara (Airborne Infection), Kementerian Kesehatan, RI, September 2014. Petunjuk Teknis Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB di Lapas dan Rutan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2012. Pedoman Layanan Komprehensif HIV-AIDS & IMS di Lapas, Rutan dan Bapas, Kementerian Hukun dan HAM Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2012. Pedoman Penerapan Tes HIV dan Konseling Atas Inisiasi Petugas Kesehatan, Kementerian Kesehatan, 2011. Panduan Teknis Penanggulangan Tuberkulosis di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia RI bekerjasama dengan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008.
171