PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BEKASI TENTANG HAK WARIS ANAK NON MUSLIM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: GITA DWI ANNESSA NIM : 1110044100075
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2015 M
ABSTRAK
Gita Dwi Annessa. NIM : 1110044100075, Pandangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Tentang Hak Waris Anak Non Muslim. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah,Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2015. Pandangan hakim pengadilan agama bekasi tentang hak waris anak non muslim dan ketaatan hakim dalam melaksanakan Yurisprudensi MA no 368 K/ AG/ 1995 terhadap hak waris anak non muslim. Dari penelitian ini tujuannya untuk memberi gambaran bahwasanya anak non muslim merupakan penghalang dalam mewarisi. Supaya senantiasa sebagai muslim kita harus menjaga dan memelihara keimanan, mencengah terjadinya penyimpangan aqidah. Untuk meminimalisir kemurtadtan. Karna beda agama merupakan penghalang untuk saling mewarisi. Penelitian ini menggunakan metode empiris, sumber data dari hasil wawancara hakim di pengadilan agama bekasi, Khi,Yurisprudensi MA no 368/ K/AG/1995, pengumpulan data wawancara dengan hakim di pengadilan agama bekasi,dan menganalisis data dengan menggunakan data deskriftif analisis. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan, bahwa hak waris anak non muslim menurut pandangan hakim pengadilan agama bekasi dimana para hakim di pengadilan agama memandang bahwa hak waris anak non muslim ini putusan yang adil ketika diputuskan oleh hakim MA , akan tetapi apabila ada perkara yang sama, para hakim di pengadilan agama bekasi akan menjadikan Yurisprudensi MA ini sebagai rujukan, sebagai acuan, dan bahan pertimbangan dalam memutus perkara yang sama, akan tetapi hakim di pengadilan agama bekasi juga akan melihat dan mempelajari beberapa faktor dan syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam memutus perkara yang sama supaya tidak keluar dari aturan agama Islam dan dapat memberikan putusan yang adil tanpa adanya perbedaan dimuka hukum. Kata Kunci: Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tentang Hak Waris Anak Non Muslim. Pembimbing: Dr. Djawahir Hejjazziey, SH., MA. Daftar Pustaka:Tahun 1967 - 2013
v
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ ا ہﻠﻟ اﻟﺮﺣﻤﻦ ا ﻟﺮﺣﯿﻢ Segala rasa puji dan kesyukuran penulis panjatkan atas kehadiran Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-NYa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad serta kerabat dan para sabatnya. Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ibunda Hj. Damayanti, SE, dan kepada ayahanda H. Sukyan Nasution beserta kanda tersayang Ferdian Eka Sukmana, S.Pd. yang selalu memberi dukungan, kasih sayang, doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa membalas kasih sayang tulus kapada mereka serta diberi umur yang panjang, amin ya Allah. Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan penulis temukan. Syukur Alhamdulillah atas rahmat, inayah,dan izin Allah, serta kesungguhan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dan hambatan yang penulis rasakan dapat diatasi dengan baik, sehingga pada akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Maka dari itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1.
Bapak Dr.Asep Saepudin jahar, MA., Ph. D., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
2.
Bapak Kamarusdiana, S.Ag., MH. dan ibu Sri Hidayati M.Ag. Selaku ketua Program Studi dan Sekretaris Program studi Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Bapak Dr. Djawahir Hejazziey,SH.,MA, Selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4.
Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif
Hidayatullah
Jakarta
yang
telah
memberikan
ilmu
pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. Khususnya
kepada
ibu
Dr.
Hj.
Mesraini,
M.Ag
yang
senantiasa
memperlakukan mahasiswanya selanyaknya anak sendiri, sehingga tanpa kenal lelah dan bosan selalu memberikan motivasi kepada penulis serta memberikan saran ataupun kritikan yang membangun demi kebaikan penulis. 5.
Ibu Hj Maskufa, MA., sebagai dosen penasehat akademi penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya karna beliau sudah banyak membantu dan memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skrifsi ini.
6.
Terima kasih tak terduga penulis sampaikan kepada bapak wakil pengadilan agama bekasi bapak Dr. Drs. H. Sirajuddin Saillellah.SH.,MHI, bapak Drs Amri, SH, Ibu Firris Barlian,S.Ag,MH, dan segenap keluarga besar pengadilan agama bekasi.
7.
Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam mengadakan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
vii
8.
Sahabat-sahabat tersayang dan seperjuangan penulis: Sena Siti Arafiah, Syafaatul Uzma, Soraya Nurjannah, Sainah, Neneng Khosyatillah, Yulianti, Erliyanti Lubis, Desy Nur Fitria, Sahro Batubara, Futichatussami’ah, Abiyati Adnan.
9.
Semua teman-teman Peradilan Agama angkatan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga amal kebaikan mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan
yang berlipat ganda.Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas ketulusan, kebaikan dan kasih sayang yang mereka berikan kepada penulis dengan balasan yang setimpal. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan mamfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membagun senantiasa penulis harapkan untuk memperbaiki skripsi ini.
Ciputat, 16 Maret 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ...................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................
iv
ABSTRAK
.............................................................................................
v
KATA PENGANTAR ...............................................................................
vi
DAFTAR ISI .............................................................................................
x
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .....................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan.................................................
6
C. Tujuan dan Mamfaat Penelitian ...........................................
7
D. Review Study Penelitian .....................................................
8
E. Metode Penelitian ...............................................................
9
F. Sistematika Penelitian ..........................................................
11
HUKUM KEWARISAN A. Pengertian Hukum Kewarisan. ...........................................
15
B. Pembagian Waris Muslim 1. Menurut Fuqaha..............................................................
25
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam ..................................
32
C. Pembagian Waris Non Muslim
ix
BAB III
BAB IV
1. Menurut Fuqaha..............................................................
43
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam.......................................
44
PROFIL PENGADILAN AGAMA BEKASI A. Profil Pengadilan Agama ........................................................
49
B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama ...................................
53
C. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama. ...........................
66
PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA A. Pandangan Hakim TerhadapYurisprudensi MA ...............
67
B. Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Dalam Memutus Perkara Kewarisan Anak Non muslim. ..............
68
C. Faktor-faktor Hakim Pengadilan Agama Bekasi Dalam Memutus
BAB V
Perkara Kewarisan Anak Non Muslim ..............................
70
D. Analisis Tentang Hak Waris Anak Non Muslim ...............
79
PENUTUP A. Kesimpulan .........................................................................
80
B. Saran ...................................................................................
83
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
87
LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Lampiran Hasil Wawancara. .............................................. 2. Lampiran Surat keterangan Pembimbing 3. Lampiran Keterangan Penelitian 4. Lampiran Yurisprudensi MA No 368 K/AG/ 1995
x
98
DAFTAR PUSTAKA Muhammad Abu Zuhrah,IlmuWarisJakarta, PT.LenteraBasritama 2001. RahmanHabibiRekontruksiKewarisan Islam Di Indonesia,Jakarta,PT. Al-Bayan 2011. Dapertemen
Agama
RI,KedudukanWasiatdalam
system
pembagianhartapeninggalan,Jakarta, PT.Kementrian Agama, 2012. A.KarimMunchit.
ProplematikaHukumKewarisan
di
Indonesia,
Jakarta,
PT.Puslitbangkehidupankehidupankeagamaan ,2012. Muhibundan
Wahid
Abdul.HukumKewarisan
Islam,
Jakarta,PT.PerpustakaanNasional, 2009. SunggonoBambang.
MetodelogiPenelitianHukum,
Jakarta,
PT.Raja
GrafindoPersada, 2003. Ali Zainuddin. MetodePenelitianHukum, Jakarta, PT.SinarGrafika, 2009. BadanPembinaanHukumNasionalDapertemenHukumdan RI.TelaahAkademikHukumTentangYurisprudensiPengadilan
Ham Agama
di
bidangwaris, tahun 2003. PurnadiPurbacarakadanSoerjonoSoekanto.
Perundang-
undangandanYurisprudensi,Jakarta, PT.CitraAditya Bakti,1989. Ahmad
KamildanM.Fauzan.Kaidah-kaidahHukumYurisprudensi
,Jakarta,
PT.Prinada Media, 2004. MarzukiMahmud Peter. PenelitianHukum, Jakarta, PT.KencanaPrenada Media Group, 2007.
xi
Syarifuddin Amir, HukumKewarisan Islam, Jakarta,PT.Prenada Media 2004. Rahmanabdurahman, KompilasiHukum Islam, Jakarta, PT. CvAkademika Pressindo,2010. S.SalmanOtjedanHaffas Mustafa, HukumWaris Islam, Jakarta, PT. RefikaAditama 2006. SuparmanEman, HukumWaris Indonesia, Jakarta, PT. RevikaAditama 2007. KomiteFakultasSyari’ahUniversitas AL- azharMesir, HukumWaris, Jakarta, PT.SenayanAbadiPublising 2000. Harahap yahya, Kedudukan Kewenangan dan acara Peradilan Agama, Jakarta,PT.Sinar Grafika, 2009. Bisri Hasan, Peradilan Agama di Indonesia,PT.Raja Grafindo Persada,2003. Muhammad syeikh bin shaleh al- Utsaimin, Ilmu Waris, Ash-shaf media, Tegal jateng.2007. Parman ali, Kewarisan dalam Al-qur’an, Pt.RajaGrafindo Persada, Jakarta. 1995.
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hukum waris islam merupakan ekspresi penting dalam keluarga Islam, ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sejak awal Islam hingga abad pertengahan , zaman modern dan kontemporer serta dimasa yang akan datang. 1 Sejak sejarah awalnya(origini) hingga pembentukan dan pemberharuannya (change and development) dimasa kontemporer hukum waris Islam menunjukkan dinamika dan perkembangannya yang penting untuk dikaji dan diteliti oleh pemerhati hukum Islam. Bukan suatu hal yang kebetulan jika ternyata telah banyak pemerhati yang menulis dan mengkaji perkembangan hukum waris Islam hingga zaman kontemporer juga telah ikut mewarnai hubungan Islam dan non islam. Bahkan juga mewarnai dalam relasinya dengan non muslim, termasuk didalamnya hukum waris Islam 2. Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan kontemporer dalam pemikiran hukum Islam kontemporer. Di sini Al-qur’an tidak menjelaskan tentang bagian ahli waris non muslim, namun di sisi lain tuntunan keadaan dan kondisi menghendaki hal yang sebaliknya, dialektika antara hukum dan tuntunan 1
Muhammad Amin Suma” Keadilan Hukum Waris Islam” Jakarta: Raja Grafindo Persada 2013, h. 14. 2 Fathur Rahman, Ilmu Waris, Bandung, PT Al-ma’arif 1975, H. 95.
1
2
perkembangan zaman tersebut jelas menjadi problem besar bagi hukum waris Islam. 3 Problematika kewarisan beda agama mencuat ketika relasi muslim dan non muslim kembali didiskusikan dan diwacanakan oleh berbagai kalangan, Bahkan hal tersebut telah menjadi perhatian para pemikir Islam sejak awal. 4 Perubahan dan pembaharuan hukum waris Islam telah terjadi secara nyata dalam sejarah pemikiran hukum islam telah terjadi secara nyata dalam sejarah pemikiran hukum Islam, untuk menyebut contoh apa yang terjadi dalam perumusan hukum waris Islam di Indonesia. Sejarah juga menunjukkan bahwa pada sepanjang sejarah hukum islam pemikiran hukum waris Islam tidaklah berhenti, walaupun ada yang beranggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup namun sesungguhnya hukum islam tetap dilakukan setidaknya oleh dua golongan, yaitu: 1. Penegak Syari’at Islam (qadi), Polisi,Jaksa,Para pihak,Pengadilan. 2. Mufti. Hakim melakukan pemikiran hukum Islam dengan jalan melaksanakan hukum melalui putusan pengadilan, sedangkan mufti melalui fatwa-fatwa hukum. Hakim sebagai penegak hukum mempunyai posisi sentral dalam penetapan hukum, hakim tidak dituntut agar dapat berlaku adil tetapi ia juga harus mampu menafsirkan undang-undang secara actual sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat pencari
3
Habiburahman, “Rekonstruksi Hukum kewarisan Islam di Indonesia” Jakarta: Kencana Media Group, 2011 , h,170 4 Kementrian Agama R.I.,” Kedudukan Wasiat dalam sistem pembagian harta peninggalan”, Jakarta : kemenrian agama ,2012, h.44
3
keadialan dengan tetap mempertimbangkan aspek keadilan, kepastian hukum dan nilai kemanfaatannya. 5 Melalui putusan-putusannya hakim tidak hanya menerapkan hukum yang ada dalam teks undang-undang (hakim sebagai corong undang-undang) tetapi sesungguhnya ia juga melakukan pembaharuan-pembaharuan hukum ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang diajukan kepadanya dan belum di atur dalam undang-undang ataupun telah ada aturan tetapi dipandang tidak relevan dengan keadaan dan kondisi yang ada (hakim menciptakan hukum baru/ jedge made law). Perbedaan agama (muslim dan non muslim) merupakan salah satu alasan yang ada dapat menghalangi praktik saling mewarisi di antara kedua belah pihak.Hal ini telah disepakati oleh semua ulama. Kesepakatan para ulama tentang aturan ini dapat terekam pada sebuah redaksi dalam buku fikih fatwa ,”telah sepakat para ulama (fuqoha) bahwa ada tiga hal yang dapat menghalangi untuk mewarisi, yaitu: 1. Perbudakan, 2. Pembunuhan, 3. Dan perbedaan Agama. 6 Namun, meskipun demikian kesepakatan para ulama ternyata hanya pada kasus dimana si pewaris adalah muslim mewarisi non muslim, para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa ahli waris muslim tidak dapat mewarisi pewaris non muslim,atau pewaris non muslim tidak dapat memberikan kewarisannya pada muslim. Pendapat jumhur ini didasarkan juga pada hadist yang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan beberapa ulama lain seperti Muazd ibn Jabal, Muawiyah, maskuk(generasi sahabat) dan ibn Musayyah (generasi tabiin) 5
Basiq Djalil “Peradilan Agama Di Indonesia”Jakarta: Prenada Media Group 2006,h. 4. Munchit A.Karim, Problematika Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,Jakarta, publitbang kehidupan keagamaan,2002 h.263. 6
4
serta kalangan syi’ah imamiyah, mengemukakan bahwa ahli waris muslim dapat mewarisi pewaris non muslim. 7 Sejauh ini ada dua putusan Mahkamah Agung tentang status ahli waris non muslim yaitu putusan Mahkamah Agung nomor : 368k/AG/1995 dan no : 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999. Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris muslim berdasarkan wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris muslim, dalam putusan no 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dinyatakan sebagai ahli waris, dan mendapatkan bagian sama dengan ahli waris muslim. Dalam putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris. Dari dua putusan diatas dapat ditarik satu gambaran bahwa melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung telah melakukan pembaharuan hukum waris Islam dari tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim menuju pemberian harta bagi ahli waris non muslim. Dengan kata lain Mahkamah Agung telah memberikan status ahli waris bagi ahli waris non muslim dan memberikan bagian harta yang setara dengan ahli waris muslim. Satu hal menarik yang perlu dicermati di sini adalah bahwa dalam pertimbangan hukumnya baik dalam perkara No 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 maupun nomor 51 K/ AG/1999 tanggal 29 September 1999 keduanya didasarkan pada wasiat wajibah. 7
H. Moh Muhibbin dan Abdul Wahid” Hukum Kewarisan Islam:, Jakarta: Sinar Grafika Offset. H. 78
5
Dengan munculnya dua putusan tersebut di atas jelas Mahkamah Agung telah menyimpangi ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim 8. Dalam kontek ini perlu disinggung bahwa hakim memiliki kewenangan untuk menyimpangi ketentuanketentuan hukum tertulis yang telah ada yang dianggap telah usang dan ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu menciptakan keadilan di tengahtengah kehidupan masyarakat. Dalam ilmu hukum cara ini disebut dengan istilah contra legem. Dalam menggunakan contra legam hakim harus mencukupkan pertimbangan hukumnya secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek hukum. Putusan hukum oleh hakim yang kemudian dijadikan sebagai dasar sebagaimana dasar putusan yang memiliki kasus serupa disebut hukum yurisprudensi tujuannya adalah untuk menghindari adanya disparatas putusan hakim dalam perkara yang sama. Berdasarkan paparan diatas, peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai sejauh mana ketaatan hakim dalam menggunakan putusan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan warisan bagi anak non muslim,dengan judul” Pandangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Tentang Hak Waris Anak Non Muslim”
8
Abdurrahman” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta: Akademika Pressindo 2010, h.159.
6
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Pembatasan pada penelitian ini hanya pada pandangan hakim pengadilan agama bekasi, terhadap kewarisan anak non muslim. Apakah hakim di bekasi sudah menjalankan putusan Mahkamah Agung atau tidak memberikan warisan kepada anak non muslim karna salah satu penghalang saling mewarisi adalah non muslim. 2. Rumusan Masalah Menurut Hukum Islam dan KHI Anak Non Muslim tidak mendapat warisan, akan tetapi Yurisprudensi MA memberikan kewarisan terhadap anak non muslim. Dari batasan masalah tersebut, maka permasalahannya dirumuskan sebagai berikut: a. Apakah hakim pengadilan agama bekasi sudah melaksanakan Yurisprudensi MA terhadap hak waris anak non muslim? b. Bagaimana Pandangan hakim Pengadilan terhadap kewarisan anak non muslim? c. Bagaimana kajian yuridis tentang kewarisan anak non muslim menurut fuqaha dan perundang-undangan?
C. Tujuan dan Mamfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan beberapa permasalahan sebagai berikut:
7
a.
Untuk mengetahui sikap hakim dalam menjalankan Yurisprudensi MA terhadap hak waris anak non muslim.
b.
Untuk mengetahui pandangan para hakim terhadap kewarisan anak non muslim.
c.
Untuk mengetahui tentang kewarisan anak non muslim menurut fuqaha dan perundang-undangan.
2. Manfaat Penelitian Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapkan mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi pelaksana hukum baik secara teoritis dan praktis, maka sekiranya penelitian ini bermamfaat diantaranya: a. Bagi Ilmu Pengetahuan Dengan adanya penulisan ini mengharapkan dapat bermamfaat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya dalam bidang hukum keluarga Islam. b. Bagi Instansi Pengadilan Informasi bagi Masyarakat mengenai kewarisan bagi anak non muslim dalam kejelasan dan ketetapan hukum yang seadil-adilnya.
D. Review studi Terdahulu Review kepustakaan berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan diteliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau belum sama sekali. Oleh karena itu, untuk menjaga kebenaran dari penelitian ini, penulis telah melakukan
8
review kepustakaan terlebih dahulu.Adapun review kepustakaan yang telah dilakukan oleh penulis antara lain: 1. Warisan beda agama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Oleh: Abdurahman, Konsentrasi Peradilan Agama, skripsi ini membahas analisis penetapan perkara no.158/Pdt.p/2009/pajs. Penelitian lebih fokus tentang hak waris beda agama berdasarkan dua penetapan majlis hakim pengadilan agama jakarta selatan yang telah mengabulkan dan menetapkan non muslim menjadi ahli waris yang mustahik dan sah secara Islam. 2. Wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim (study analisa penetapan perkara no.176/pdt.p/P.A.JP). Oleh Muhammad Syafrudin Bahri, skripsi ini membahas mengenai penelitian wasiat wajibah kepada ahli waris yang beda agama, penetapan perkara no.01/76/pdt.P/2012/P.A.JP Dari dua study review terdahulu, Peneliti berbeda dengan Peneltian Sebelumnya, dimana peneliti lebih menekankan kepada beberapa rumusan masalah yaitu: Bagaimana pandangan hakim pengadilan tentang hak waris anak non muslim, bagaimana kajian yuridis tentang kewarisan anak non muslim menurut fuqaha dan perundang-undangan, apakah hakim pengadilan agama sudah melaksanakan Yurisprudensi MA, apa dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara hak waris anak non muslim, fator-faktor hakim dalam memutus perkara anak non muslim.
9
E. Metode Penelitian Dalam pengumpulan bahan/data penyusunan skripsi ini agar mengandung suatu kebenaran yang objektif, penulisan menggunakan metode penelitian ilmiah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum Empiris atau sering disebut penelitian hukum non doktrinal merupakan penelitian yang bertitik tolak pada data primer penelitian. 9
yakni data yang diperoleh langsung dari objek
Penelitian hukum Empiris umumnya mencari jawaban
terhadap kesenjangan (gap) natara hukum yang seharusnya (das sollen) dengan hukum senyatanya (das sein) didalam masyarakat.Dengan kata lain penelitian ini menekankan kepada pencarian jawaban terhadap fenomena sosial yang terjadi terhadap pemberlakuan hukum, sehingga akan menjawab pernyataan signifikansi sosial-hukum dan/atau efektifitas hukum. Dengan jenis penelitian kualitatif, yang difokuskan kepada pemahaman hakim pengadilan agama bekasi terhadap Yurisprudensi MA tentang kewarisan anak non muslim. 2. Sumber Data a.
Data Primer: yakni data-data yang diperoleh dari hasil wawancara kepada hakim di Pengadilan Agama Bekasi, KHI (Kompilasi Hukum Islam),Yurisprudensi MA. NO perkara: 368 K/AG/1995, dan NO perkara: 51 K/AG/1999.
9
Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta, :Uin Press,2010,h.32
10
b.
Data Sekunder: Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa buku-buku yang terkait dengan bahasan, artikel yang terkait dengan tema penelitian.
3. Pengumpulan data Wawancara Yaitu dialog 10 yang dilakukan dengan semua hakim di
a.
Pengadilan Agama Bekasi tentang kewarisan anak non muslim. b.
Dukumentasi yaitu: Data-data yang terkait dengan penelitian dalam bentuk Perundang-undangan, Laporan, Putusan Hakim, Yurisprudensi MA, Khi.
4. Analisis Data Dalam penganalisisan data, menggunakan data deskriptif analisis 11 yaitu teknik analisa untuk menjabarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara di lapangan, kemudian menganalisa dengan berpedoman pada sumber data tertulis yang di dapat dari kepustakaan. Sedang dalam penyusunan tulisan berpedoman pada prinsip-prinsip yang diatur dalam buku pedoman karya Ilmiah skripsi, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta. F. Sistematika Penulisan Agar Penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan skrifsi ini disusun dalam lima bab terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut:
10
Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003, h.45 11
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, : Sinar Grafika, 2009, h.175.
11
BAB I
Pendahuluan,Yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
Hukum Kewarisan A. Pengertian hukum tentang kewarisan B. Pembagian Waris Muslim C. Pembagian Waris Non Muslim
BAB III
Profil Pengadilan Agama Bekasi A. Profil Pengadilan Agama B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama C. Tugas dan Kewenamgan Pengadilan Agama
BAB IV
Pandangan Hakim Pengadilan Agama A. Pandangan Hakim Terhadap Yurisprudensi MA B. Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam Memutus Perkara Kewarisan Anak Non Muslim C. Faktor-faktor
Hakim
Pengadilan
Agama
Memutus Perkara Kewarisan Anak non muslim D. Analisis Penulis BAB V
Penutup A. Kesimpulan B. Saran
Bekasi
Dalam
BAB II HUKUM KEWARISAN
A. Pengertian Hukum Kewarisan Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebut dengan berbagai nama 12. Dalam literatur hukum islam ditemui istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam: Faraid, Fikih Mawaris dan Hukum al- waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Kata yang lazim dipakai adalah faraid. Kata ini digunakan oleh an-nawawi dalam kitab fikih Minhaj al- Thalibin. Oleh al- Mahalliy dalam komentarnya atas matan Minhaj, disebutkan alasan penggunaan kata tersebut: “Lafazh Faraid merupakan jama’ (bentuk plural) dari lafazh faridhah yang mengandung arti mafrudhah, yang sama artinya dengan muqaddarah yaitu: suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Di dalam ketentuan kewarisan Islam terdapat bagian yang ditentukan dibandingkan bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan faraid”. 13
Dengan demikian penyebutan Faraid didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli waris. Adapun penggunaan kata mawaris lebih melihat kepada yang menjadi objek dari hukum ini yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup. 12
Muhammad Amin Suma” Keadilan Hukum Waris Islam “ Jakarta: Raja Grafindo Persada 2013, h. 12. 13 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:, Prenada 2004 h.5.
12
13
Sebab, kata mawaris merupakan bentuk plural dari kata miwrats yang berarti mauruts, harta yang diwarisi. Dengan demikian maka arti kata yang diperlukan dalam beberapa kitab merujuk kepada orang yang menerima harta warisan itu, karena kata warist artinya adalah orang pewaris. 14 Dalam literature hukum di Indonesia, digunakan pula beberapa nama yang keseluruhannya mengambil dari bahasa arab, yaitu: waris, warisan, pusaka dan hukum kewarisan,Yang menggunakan nama hukum “waris”, memandang kepada orang yang berhak menerima harta warisan, yaitu yang menjadi subjek dari hukum ini. Sedangkan yang menggunakan nama warisan memandang kepada harta warisan yang menjadi objek dari hukum ini. Untuk maksud terakhir ini ada yang member nama dengan “Pusaka” yaitu nama lain dari harta yang dijadikan objek warisan, terutama yang berlaku di lingkungan adat Minangkabau. Dalam istilah hukum yang baku digunakan kata kewarisan , dengan mengambil kata asal “waris” dengan tambahan awal “ke” dan akhiran “an”. Kata waris itu sendiri dapat berarti oleh pewaris sebagai subjek dan dapat berarti pula proses. Dalam arti pertama mengandung makna “hal ihwal peralihan harta dari yang mati kepada yang masih hidup”. Arti yang terakhir ini yang digunakan dalam istilah hukum. 15 Penggunaan kata”hukum” diawalnya mengandung arti seperangkat aturan yang mengikat dan penggunaan kata Islam di belakang mengandung arti” dasar yang menjadi rujukan”. Dengan demikian dengan segala titik lemahnya, hukum Kewarisan Islam itu dapat di artikan dengan: “Seperangkat peraturan tertulis 14
15
Amir Syarifuddin” Hukum Kewarisan Islam” h. 8 Hasby ash- Shiddieqy” Fiqhul Mawaris” Jakarta: Bulan Bintang 1967. H. 43
14
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berujud harta dari yang mati kepada yang hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam. 16 1. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Islam Dasar dan sumber
utama dari hukum Islam, sebagai hukum
agama ( Islam) adalah nash atau teks yang terdapat dalam al-qur’an dan sunnah Nabi. 17 Ayat-ayat al- qur’an dan sunnah Nabi yang
secara
langsung mengatur kewarisan itu adalah sebagai berikut: a. Ayat-ayat Al-qur’an: QS.An-nisa (4) : 7
(٧/٤/)اﻟﻨﺴﺎء Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapak dan karib kerabat, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,baik sedikit atau banyak menurut bagian yang ditetapkan.”( QS.An-nisa(4) : 7) QS.An-nisa (4) : 8
(٨/٤/ا)اﻟﻨﺴﺎء
Artinya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin,maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada perkataan yang baik.”( QS.Annisa(4): 8)
16
KH Asyhari Abta dan Drs Djunaidi Abd Syakur” Ilmu Waris Al-faraid: Jakarta, Pustaka Hikmah Perdana 2005 h.7 17 Sayuti Thalib” Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h. 69
15
QS.An-nisa (4) : 9
(٩/٤/)اﻟﻨﺴﺎء
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”( QS.An-nisa(4) : 9)
B. Pembagian Waris Muslim 1. Menurut Fuqaha Harta warisan menurut Hukum Islam ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan adalah semua yang ditinggalkan oleh si mayit atau dalam arti apa-apa yang ada pada seseorang saat kematiannya, sedangkan harta warisan ialah harta peninggalan yang secara hukum syara’ berhak diterima oleh ahli warisnya. 18 Kalau diperhatikan ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan hukum kewarisan, terlihat bahwa untuk harta warisan Allah SWT. Menggunakan kata” apa-apa yang ditinggalkan” oleh si meninggal. Kata-kata seperti ini didapat 11 kali disebutkan dalam hubungan kewarisan, yaitu dua kali dalam surah al-Nisa” ayat 7, dua kali dalam ayat 11, empat kali dalam ayat 12, satu kali pada ayat 33 dan dua kali pada ayat 176. 18
Asyhari abta dan djunaidi abd syakur” Ilmu Faraid “ Jakarta: Bulan Bintang, h. 206
16
Setiap kata-kata “ ditinggalkan” dalam ayat-ayat tersebut di atas didahului oleh kata “ apa-apa”. Dalam Bahasa Arab kata “maa” itu disebut al-mawshul yang hubungannya dengan maknanya mengandung pengertian ini kata “ apa-apa yang ditinggalkan” itu adalah umum. Keutamaan itu lebih jelas disebutkan pada akhir ayat 7 surah al-Nisa” yang terjemahannya ialah”….. baik apa yang ditinggalkan itu sedikit atau banyak….”. 19 Bahwa tidak keseluruhan dari “ apa-apa yang ditinggalkan” pewaris itu menjadi hak ahli waris dapat dipahami dari kaitannya pelaksanaan pembagian warisan itu kepada beberapa tindakan yang mendahuluinya, yang dalam ayat tersebut disebutkan dua hal yaitu membayarkan segala wasiat yang dikeluarkannya dan membayarkan segala utang yang dibuat sebelum ia meninggal, sebagaimana disebutkan Allah dalam ayat 11 sebanyak satu kali dan pada ayat 12 sebanyak tiga kali. 20 Bila diperhatikan bahwa utang si pewaris adalah hak penuh dari orang yang berpiutang dan wasiat secara hukum telah menjadi hak bagi yang diberi wasiat, sedangkan keduanya itu merupakan persyaratan untuk dilaksanakannya pembagian warisan, maka tindakan pertama terhadap harta peninggalan pewaris itu memurnikan untuk membebaskannya dari keterkaitannya kepada hak orang lain didalamnya. 21
19 20
Ali Hasan” Hukum Kewarisan Dalam Islam” Jakarta: Bulan Bintang 1996, h. 12. Moh Muhibbun dan Abdul Wahid” Hukum Waris Islam” jakarta: Sinar Grafika 2011,
h. 23. 21
Ali Parman” Kewarisan Dalam Al-Qur’an”Jakarta: Raja Grafindo Persada 1995, h. 30.
17
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harta warisan ialah apa yang ditinggalkan oleh pewaris, dan terlepas dari segala macam hak orang lain didalamnya. Pengertian harta warisan dalam rumusan seperti ini berlaku dalam kalangan ulama Hanafi. Ulama Fikih lainnya mengemukakan rumusan yang berbeda dengan yang dirumuskan di atas. Bagi mereka warisan itu ialah segala apa yang ditinggalkannya pada waktu meninggalnya, baik dalam bentuk harta atau hak-hak. 22 Bila diperhatikan rumusan yang dikemukakan ulama selain Hanafi sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa menurut mereka tidak berbeda antara harta warisan dengan harta peninggalan. 23 Namun kalau diperhatikan dalam pelaksanaannya selanjutnya, bahwa sebelum harta peninggalan itu dibagikan kepada ahli waris harus dikeluarkan dulu wasiat dan utangnya, sebagaimana dituntut Allah dalam ayat 11 dan 12 surah al-Nisa”. Dengan demikian maka jelaslah bahwa kedua kelompok ulama tersebut hanya berbeda dalam perumusan, sedangkan yang menyangkut substansinya sama saja. 24 Dalam pembahasan di atas telah dinyatakan bahwa harta yang menjadi harta warisan itu harus murni dari hak orang lain. Di antara usaha memurnikan hak orang lain itu ialah dengan mengeluarkan utang pemilik harta. Hukum yang mengenai pembayaran utang dan wasiat itu 22
Ali Hasan” Hukum Kewarisan Dalam Islam” Jakarta: Bulan Bintang, h. 14. Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-azhar “ Hukum Waris “ Jakarta: Senayan Abadi Publising 2004, h. 30. 24 Sajuti Thalib” Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Sinar Grafika 2008,h. 92. 23
18
dapat dikembangkan kepada hal dan kejadian lain sejauh di dalamnya terdapat hak-hak orang lain yang harus dimurnikan dari harta peninggalan orang yang meninggal, diantaranya ongkos penyelenggaraan jenazah sampai dikuburkan, termasuk biaya pengobatan waktu sakit yang membawa kepada kematian. 25 Pewaris adalah suatu kejadian hukum yang mengalihkan hak milik dari pewaris kepada ahli waris. Peralihan hak milik hanya dapat berlaku menurut harta itu dimiliki bendanya dan miliknya pula jasa atau mamfaatnya. 26 Bila seseorang hanya memiliki mamfaat dari harta yang ada ditangannya dan tidak memiliki benda atau zat harta itu maka harus itu tidak dinamakan hak milik pribadinya. Dalam hal ini barang yang disewa, barang yang dipinjam,barang titipan dan lain-lain yang bendanya masih merupakan hak milik asal, bukan milik penuh dari yang menyewa, atau yang meminjam atau yang menerima titipan. Termasuk ke dalam hal ini harta pusaka yang terdapat di lingkungan adat Minangkabau.Harta pusaka dalam pengertian adat Minangkabau adalah harta kaum yang digarap oleh anggota kaum sebagai hak pakai dan bukan hak milik. Sebagai bukti bukan hak milik dari anggota kaum yang menggarap ialah si penggarap tidak dapat menjual harta yang ada ditangannya itu. Si penggarap hanya berhak memamfaatkan hasil dari tanah pusaka yang
25 26
92.
Muhammad Abu Zuhrah” Hukum Waris” Jakarta: Lentera Basriutama 2001, h. 42. Sayuti Thalib, “ Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Sinar Grafika 2008, h.
19
digarapnya tetapi tidak berwenang untuk mengalihkan kepada orang lain, termasuk diwariskan kepada anaknya. 27 Begitu pula sebaliknya, bila seseorang hanya memiliki zat atau bendanya saja dan tidak memiliki mamfaatnya seperti harta yang masih dalam konrak sewa atau menjadi jaminan suatu utang. Harta itu baru dapat menjadi harta miliknya secara penuh untuk dapat diwariskan bila telah berakhir kontrak atas mamfaat harta tersebut.Bila harta tersebut bukan hak milik secara penuh bagi seseorang, maka harta itu tidak memenuhi syarat untuk menjadi harta warisan. 28 Harta yang tercampur di dalamnya hak orang lain, baik sedikit atau banyak, menjadikan harta itu tidak sepenuhnya menjadi milik seseorang.Harta itu belum semuanya dapat dikatakan harta warisan sebelum dibesihkan dari campuran hak orang lain itu. Dalam hal ini hukum Islam menentukan milik pribadi supaya jangan sampai seseorang muslim memakan hak orang lain secara tidak sah, sesuai dengan firman Allah dalam Q.S.al-Baqarah (2): 188 yang artinya:”Janganlah kamu memakan harta diantaramu secara tidak sah”. Ahli waris terdiri dari 5 (lima) pihak, yaitu janda, ibu, bapak, anak laki-laki, dan ana perempuan. Keberdaan salah satu pihak tidak menjadi penghalang bagi pihak untuk menerima waris.Dengan kata lain,
27
Muhibbun dan Abdul Wahid “ Hukum Kewarisan Islam” Jakarta: Sinar Grafika 2011, h. 24. 28 Otje Salaman dan Mustafa haffas, Hukum Waris Islam, Jakarta,: Refika Aditama 2006 ,h.50.
20
mereka secara bersama akan menerima waris dengan bagian yang telah ditentukan. 29 Janda. ibu, dan anak perempuan menerima waris dengan bagian yang pasti, anak laki-laki menerima waris waris dengan bagian yang tidak pasti (sisa) dan bapak menerima waris dengan bagian yang pasti dan atau tidak pasti (sisa).Oleh sebab itu, jika ada anak laki-laki dan bapak maka dapat dipastikan bahwa tirkah akan habis dibagi di antara para ahli-waris utama dan para ahli-waris pengganti tidak akan menerima bagian sedikit pun (melalui cara waris). Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang jumlah ahli waris yang termasuk dalam dzawil al-arham. Di antara para ulama fikih, ada yang berpendapat bahwa jumlah mereka ada empat. Sementara itu, ada juga yang mengatakan bahwa jumlah mereka ada sepuluh atau sebelas orang. Namun, secara umum mereka termasuk dalam dhawi al- arham. 30 Para Ulama berbeda pendapat tentang warisan dhawi al- arham, karena tidak ada nash qath’i, yang memberikan kepastian, apakah mereka dapat mewarisi atau tidak.Secara umum, ada dua mazhab atau pendapat mengenai hal tersebut. Berikut ini kedua mazhab yang dimaksud. Menurut mazhab ini, dhawi al-arham tidak dapat memperoleh warisan sedikitpun.Ada pun ulama termasuk dalam mazhab ini, yang mengungkapkan hal yang sama, adalah Zaid bin Tsabit,Ibnu Abbas, Said
29
Eman Suparman” Hukum Waris Indonesia” Jakarta: Refika Aditama 2005, h. 20. Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL- azhar Mesir, Hukum Waris, Jakarta, .Senayan Abadi Publising 2000.h. 342. 30
21
bin Musayyab, dan Said bin Jubair. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama Malikiyyah, Syafiiyyah 31.Mereka mendasarkan pendapatnya pada dalil dan argumentasi sebagai berikut ini. a.
‘Atha’ bin Yasir meriwayatkan bahwa pada suatu hari,Rasulullah saw. Menunggang kuda ke Quba. Beliau memohon petunjuk kepada Allah tentang paman dan bibi dari pihak bapak dan ibu. Lalu menurunkan wahyu yang menyatakan bagi mereka berdua tidak bisa mendapatkan warisan.
b.
Persoalan waris-waris tidak boleh ditetapkan oleh seseoran, kecuali ada nash atau ijma’ulama mengenai warisan dhawi al-arham.Allah swt. Telah menjelaskan dalam ayat-ayat waris tentang siapa saja yang termasuk dalam ash-hubul firudh dan ashabah. Apabila dhawil al –arham mendapatkan bagian, tentu nash yang menerangkan hal tersebut.
c.
Persoalan ini dapat juga dilihat dengan qiyas al-jaly, yakni anak perempuan saudara kandung, yang ada bersama anak laki-laki saudara kandung, tidak berhak mendapatkan apa pun, hanya anak laki-laki dari saudara kandung yang mendapatkan warisan. Apabila anak perempuan dari saudara kandung itu tidak bisa mewarisiwalaupun anak laki-laki yang sederajat dan sama kuat dengannyabibi dari pihak bapak, yang ada bersama paman dari pihak bapak,
31
Ali Parman” Kewarisan Dalam Al-Qur’an” Jakarta: Raja Grafindo Persada 1995,h.92.
22
juga tidak dapat menerima warisan. Terlebih lagi jika bibi hanya seorang diri,tidak bersama paman. Mazhab kedua, menurut mazhab ini, dhawil al-arham dapat mewarisi jika tidak ada ash- habul fufudh dan ashabah. 32 Adapun para ulama yang termasuk dalam mazhab ini adalah Umar ibnul Khattab r.a, Abdullah ibnu Abbas r.a, Mu’adz bin Jabal generasi sesudah sahabat, juga mengatakan hal yang sama. Mereka dari kalangan tabiin itu antara lain: Syuraih, Ibnu Sirin,” Atha, Mujahid, Alqamah,an- Naksa”i dan Hasan. 33 Mazhab kedua ini juga didukung oleh kalangan Hanafiyah, Hanabilah, Zaidiyah,Ibnu Abi Laila, dan Ishaq bin Rahawaih.Pendapat ini juga di pegang oleh al-Mazani dan Ibnu Suraij berikutnya juga mengatakan hal ini pada permulaan abad ke-3 H, dan ulama Fikih Syafi’iyyah pun mengatakannya pada akhir abad ke-4 H, ketika kerusakan sudah mengakar di baitulmal Adapun dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama dalam mazhab ini adalah sebagai berikut. a.
Firman Allah swt,,” dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah…”(Al-ahzab(33) : 6). Ayat ini menjadi dalil bahwa Allah swt, memberikan keutamaan untuk mewarisi bagi dhawil al-arham.
32
Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL-Azhar” Hukum Waris” Jakarta: Senayan Abadi Publishing 2004,h. 50. 33 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy: Fiqh Mawaris,Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2001.
23
Mereka adalah kerabat secara umum. Sedangkan orang yang paling dekat hubungannya adalah ash-habul furudh dan “ashabah, dimana bagian untuk mereka masing-masing telah dijelaskan dan ditetapkan oleh nash.Jika salah satu dari kerabat terdeka itu tidak ada, kerabat yang diutamakan adalah kerabat yang masih mempunyai hubungan rahim, sekali pun nasabnya. Sebab, berdasarkan ayat di atas, mereka masih dipandang sebagai kerabat yang berhak mendapatkan warisan, jika tidak ada ahli waris lain. b.
Firman Allah swt…..”bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, bagi wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya….”(an-
Nisa:7) c.
.Tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah kerabat yang berhak mendapatkan warisan berdasarkan lafal umum ayat di atas, sekalipun mereka bukan ash-habul furudh dan ashabah.
d.
Para ulama dalam mazhab ini juga berargumentasi dengan hadist Nabi saw., yang diriwayatkan oleh Miqdam bin Ma’dikarib. Rasulullah saw bersabda,” Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka hartanya itu untuk ahli warisnya. Aku bisa mengikat dan mewarisi. Paman dari pihak ibu adalah ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris. Dia bisa mengikat dan mewarisi. Abu Umamah Ibnu Sahl meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki yang memanah laki-laki yang lain dan menewaskannya. Ia
24
tidak mempunyai ahli waris ataupun paman dari pihak ibu. Oleh karna itu, Abu Ubaidillah bin Jarrah menulis surat kepada Umar r.a. Dalam surat yag tidak balasan itu Umer menuliskan bahwa Nabi saw ,”pernah bersabda,”Allah dan Rasul-Nya adalah ahli waris bagi mereka yang tidak mempunyai ahli waris,” Dalam
riwayat
lain
disebutkan
bahwa
Rasulullah
saw.menjanjikan warisan anak al-mula’anah (anak durhaka) untuk ahli waris ibunya.Mereka itulah yang termasuk dhawil al-arham. Rasulullah saw, juga pernah memberikan warisan tsabit bin Dahdah untuk anak saudara perempuan nya yang bernama Abu Lubabah bin Mundhir. Diriwayatkan bahwa ketika Tsabit bin Dahdah wafat, Nabi saw.bersabda,”Apakah kalian mengetahui bahwa dia mempunyai hubungan nasab atau kerabat?”
Qais bin “Ashim bin “ Ady
berkata,”Dia adalah orang asing dan kami tidak mengenal kerabatnya yang lain, kecuali anak saudara perempuannya yang bernama
Abu
Lubadah
bin
Munzhir.”Rasulullah
saw,
lalu
memanggil Abu Labadah bin Munzhir dan membetikan kepadanya harta warisan dan betermasuk kerabat”.bersabda,”Anak saudara perempuan termasuk kerabat”. e.
Para ulama yang termasuk dalam mazhab kedua ini berdalih dengan logika: Apabila dhawil al-arham tidak mewarisi dar kerabat mereka yang tidak mempunyai ahli waris ash-habul furudh dan ashabah, pastilah seluruh harta si mayit
diserahkan ke baitulmal kaum
25
muslimin Dalam persoalan ini, kita mendapati keduanya - baitulmal dan kerabat dekat- mempunyai ikatan yang sama, yaitu yang ikatan agama.Sementara itu, selain ikatan agama, dhawi al-arham juga mempunyai ikatan lain, yakni hubungan kekerabatan yang harus didahulukan. Oleh karna itu, harta waris diberikan kepada dhawil al–arham, jika tidak ada ahli waris yang lebih utama dari mereka.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam Faraid dan Kompilasi Hukum Kompilasi Hukum Islam ini meskipun oleh banyak pihak tidak diakui sebagai hukum perundang-undangan, namun pelaksana di peradilan-peradilan agama telah bersepakat untuk menjadikannya sebagai pedoman dalam berperkara di pengadilan. Dengan demikian Kompilasi Hukum Islam bidang kewarisan telah menjadi buku hukum lembaga peradilan agama 34. Kalau dulu hukum kewarisan itu berada dalam kitabkitab fiqih yang tersusun dalam bentuk buku ajaran, maka saat ini, kompilasi
tersebut
telah
tertuang
dalam
format
perundangan-
undangan.Hal ini dilakukan untuk mempermudah hakim di Pengadilan Agama dalam merujuknya. 35 Apakah dengan demikian hukum kewarisan dari fikih mawaris atau faraid telah digantikan oleh Kompilasi Hukum Islam? Suatu hal
34
Muhammad Amin Suma” Keadilan Hukum Waris Islam” Jakarta: Raja Grafindo Persada2013, h. 102. 35 Abdurrahman “ Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta: Akademika Pressindo 2010, h. 156.
26
yang dapat dipastikan ialah bahwa hukum kewarisan islam selama ini yang bernama fikih mawaris atau faraid itu dijadikan salah satu bahkan sumber utama dari Kompilasi. Sumber lainnya adalah hukum perundangundangan tentang kewarisan yang terdapat pada BW yang sampai waktu itu masih berlaku, dan kenyataan yang berlaku di tengah masyarakat yang tertuang dalam Yurisprudensi Pengadilan Agama. Kompilasi Hukum Islam yang mengatur kewarisan terdiri dari 23 pasal, dari pasal 171 sampai dengan pasal 193. Sekedar perbandingan antara fikih faraid menurut apa adanya dengan Kompilasi Hukum Islam tersebut dapat dilihat dalam gambaran berikut: Pasal 171 tentang Ketentuan Umum. Anak pasal a). menjelaskan tentang hukum kewarisan sebagaimana juga terdapat dalam kitab-kitab fikih dengan rumusan yang berbeda. Anak
Pasal b). membicarakan
tentang pewaris dengan syarat beragama Islam dan anak pasal c). membicarakan tentang ahli waris yang di samping mensyaratkan adanya hubungan kekerabatan dengan pewaris juga harus beragama Islam 36. Hal ini serupa dengan yang dibicarakan dalam fikih sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Anak pasal d dan e. Juga tidak berbeda dengan fikih.Anak angkat dan baitul mall telah disinggung sebelum ini. Dengan demikian keseluruhan pasal ini sejalan dengan fikih.
36
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, : Akademik Pressindo 2010, h.155.
27
Pasal 172 yang membicarakan identitas ke-Islam-an seseorang hanya hal yang bersifat administratif, walaupun tidak disinggung dalam fikih, dengan rumusan: Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap 37, dihukum karena: a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 ( lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Dinyatakannya pembunuhan sebagai penghalang kewarisan dalam anak pasal a. telah sejalan dengan fikih. Namun dijadikannya percobaan pembunuhan, penganiayaan, apalagi memfitnah sebagai halangan, jelas tidak sejalan dengan fikih mazhab mana pun. Dalam fikih hanya pembunuhan yang menyebabkan kematian yang dijadikan penghalang kewarisan, itu pun pembunuhan sengaja, sedangkan yang tidak disengaja masih merupakan perdebatan yang berujung pada perbedaan pendapat dikalangan ulama. 38 Fikih beranggapan bahwa kewarisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan dalam al-qur’an dan tidak dapat dicabut kecuali ada dalil yang kuat seperti Hadist Nabi. dicabutnya hak seseorang hanya karena percobaan pembunuhan atau penganiayaan, apalagi memfitnah meskipun ini merupakan kejahatan 37
Abdurrahman” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta: Akademika Pressindo 2010.h. 156. 38 Muhammad Abu Zuhrah” Hukum Waris” Jakarta: Lentera Basritama 2001, h. 90.
28
namun tidak dapat menghilangkan hak yang pasti, apalagi bila pewaris sebelum meninggal telah memberikan maaf. Oleh karena itu, pasal ini masih perlu diperkatakan. 39 Pasal 174 tentang ahli waris, baik dalam hubungan darah atau perkawinan, telah sejalan dengan fikih faraid sebagaimana diuraikan dalam Bab IV. 40 Pasal 175 tentang kewajiban ahli waris terhadap harta sebelum dibagikan harta tersebut kepada ahli waris terhadap harta tersebut kepada ahli waris telah sejalan dengan fikih mawaris, sebagaimana diuraikan dalam Bab IV. Pasal 176 tentang bagian anak dalam kewarisan, baik dalam keadaan sendiri atau bersama telah sejalan dengan ayat al-Qur’an dan rumusannya dalam fikih faraid. Pasal 177 tentang bagian ayah dirumuskan sebagai berikut: Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ia meninggalkan anak, ayah mendapat seperenam bagian. Walaupun rumusan pasal ini konon telah mengalami perubahan tetapi tidak mengubah secara substansial. Bahwa ayah menerima seperenam dalam keadaan pewaris ada meninggalkan anak, jelas telah sesuai dengan dengan al- Qur’an, maupun rumusannya dalam fikih. tetapi menetapkan ayah menerima bagian (baca furudh) sepertiga dalam keadaan tidak ada anak, tidak terdapat dalam al- Qur’an, tidak tersebut 39
Habiburrahman” Rekonruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Kementrian Agama RI, h. 85. 40 Abdurrahman “ Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” h.151.
29
dalam kitab fikih mana pun, termasuk Syi’ah. Ayah mungkin mendapat sepertiga tetapi tidak sebagai furudh. Itu dalam kasus tertentu seperti bersama dengan ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima sepertiga harta, sebagaimana yang lazim berlaku dalam mazhab jumhur Ahlu Sunnah. Namun bukan bagian sepertiga untuk ayah yang disebutkan dalam kompilasi. Kalau al-Qur’an dan fikih yang dijadikan ukuran, pasal ini jelas salah secara substansial. Pasal 178 tentang bagian ibu dalam tiga kemungkinannya dan pasal 179-180 tentang tentang bagian duda dan janda dalam dua kemungkinannya telah sesuai dengan al-Qur’an dan rumusannya dalam fikih, sebagaimana dijelaskan sebelum ini. 41 Pasal 181 tentang bagian seibu dan pasal 182 tentang bagian saudara kandung dan seayah dalam segala kemungkinannya telah sejalan dengan al- Qur’an dan rumusannya dalam fikih sebagaimana diuraikan di atas. Pasal 183 tentang usaha perdamaian yang menghasilkan pembagian yang berbeda dari petunjuk namun atas dasar kerelaan bersama, memang dalam
dalam kitab-kitab fikih pada umumnya tidak
dijelaskan dalam waktu membahas kewarisan. Meskipun secara formal menyalahi ketentuan fikih, namun dapat diterima dengan menggunakan pendekatan takharuj yang dibenarkan dalam mazhab Hanafi.
41
Abdurrahman” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta Akademika Persindo 2010, h.158
30
Pasal 184 tentang pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa untuk mengurus hak warisannya. Meskipun tidak dinyatakan dalam kitab-kitab fikih faraid, namun karena telah sejalan dengan kehendak al-Qur’an surah al-Nisa ayat’5, pasal ini dapat diterima: a.
Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut pada pasal 173.
b.
Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Pasal ini memerlukan perhatian: Anak pasal 1) secara tersurat mengakui ahli waris pengganti, yang
merupakan hal baru untuk hukum kewarisan
Islam. Baru karena di
Timur Tengah- pun belum ada Negara yang mengakukan hal seperti itu, sehingga mereka perlu merampungkannya dalam lembaga wasiat wajibah. Ini suatu kemajuan. Adalah bijaksana anak pasal ini menggunakan kata “dapat” yang tidak mengandung maksud imperatif. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu yang kemaslahatan menghendaki keberadaan ahli waris pengganti dapat diakui, namun dalam keadaan tertentu bila keadaan menghendaki, tidak diberlakukan adanya ahli waris pengganti. (penjelasan tentang ini telah diuraikan sebelumnya pada IV-C). 42
42
Abdurrahman” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia”h. 80.
31
Anak pasal secara tersirat mengakui hak kewarisan cucu melalui anak perempuan yang terbaca dari rumusan “ahli waris yang meninggal lebih dahulu” yang digantikan anaknya itu mungkin laki-laki dan mungkin
pula
perempuan.
Ketentuan
ini
menghilangkan
sifat
diskriminatif yang ada pada hukum kewarisan ulama Ahlu Sunnah. Ketentuan ini sesuai dengan budaya Indonesia yang kebanyakan menganut kekeluargaan parental dan lebih cocok lagi dengan Adat Minangkabau yang justru menggunakan nama” cucu"untuk anak dari anak perempuan tersebut. Anak pasal 2) menghilangkan kejanggalan penerima adanya ahl waris pengganti itu menurut asalnya hanya sesuai dengan system Barat yang menempatkan kedudukan anak laki-laki sama dengan anak perempuan. Pasal 186 tentang kewarisan anak yang lahir di luar nikah telah sesuai dengan kewarisan anak zina dalam fikih yang menempatkan hanya menjadi ahli waris bagi ibunya dan orang yang berkerabat dengan ibu itu, sebagaimana diuraikan sebelumnya (IV-C)Pasal 187 tentang pelaksana pembagian warisan, pasal 188 berkenaan dengan pengajuan permintaan untuk pembagian harta warisan dan pasal 189 berkenaan dengan pewaris tanah pertanian, walaupun tidak diatur dalam fikih, namun karena hal-hal ini hanya menyangkut masalah administratif dan sesuai dengan prinsip maslahat, pasal-pasal ini dapat diterima.
32
Pasal 190 tentang hak istri atas bagian gono-gini secara tidak menyangkut hak kewarisan dan kewarisan dan dalam kedudukan sebagian yang menjadi pewaris, tidak menyalahi ketentuan fikih dan diuraikan terdahulu.(IV-d). Pasal 191 tentang pewaris yang tidak meninggalkan ahli waris atau ahli warisnya tidak diketahui keadaannya diatur dalam fikih faraid. Tentang ahli waris yang tidak memiliki keturunan telah diuraikan sebelumnya pada masalah sisa harta (III-d), sedangkan ahli waris yang tidak diketahui keberadaannya dijelaskan fikih pada kewarisan mafqud yang telah disebutkan sebelum ini.(IV-d). Pasal 192 tentang penyelesaian secara” aul dan pasal 193 tentang penyelesaian secara radd secara panjang lebar dibicarakan dalam fikih dan diuraikan panjang lebar dalam tulisan ini. (III-d dan IV-d). Dari uraian pasal demi pasal yang berkenaan dengan ketentuan kewarisan dapat dikatakan bahwa pada umumnya pasal-pasal kewarisan dari Kompilasi Hukum Islam, kecuali beberapa hal krusial seperti dijelaskan di atas, meskipun mungkin di sana-sini ada perbedaan dengan kitab fikih, dapat ditempatkan sebagai Hukum Kewarisan Islam dalam bentuknya
yang baru.
Sedangkan beberapa poin krusial tetap
dikembangkan dalam wacana. Adapun pasal-pasal berikutnya yaitu 194 sampai dengan pasal 209 tentang wasiat dan pasal-pasal 210 sampai dengan 214 tentang hibah, memang berada di luar wilayah kewarisan. Namun tidak salahnya
33
dianggap menumpang dalam buku II tentang kewarisan, karena adanya titik kesamaan yaitu peralihan hak milik dari seseorang kepada orang lain.
C. Pembagian Waris Non Muslim 1. Menurut Fuqaha Para ahli fiqih telah sepakat bahwasanya, berlainan agama antara orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang mewarisi. Berlainan agama terjadi antara Islam dengan yang selainnya atau terjadi antara satu agama dengan syari’at yang berbeda. 43 Agama ahli waris yang berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi dalam hukum waris. Dengan demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir, 44 sebagaimaa sabda Nabi saw, berrbunyi.
ﻋﻦ ا ﺳﺎ ﻣﮫ ﺑﻦ زٮﺪ ر ﺿﻲ ا ہﻠﻟ ﻋﻨﮫ ﻗﺎ ل ر ﺿﻲ ا ہﻠﻟ ﺻﻠﻲ ا ہﻠﻟ ﻋﻠﯿﮫ و ﻻ ﯾﺮث ا ﻟﻤﺴﻠﻢ اﻛﺎﻓﺮ و ﻻ ا ﻛﺎﻓﺮ اﻟﻤﺴﻠﻢ Artinya: “ Dari Usamah Ibnu Zaid ra, ia berkata,Rasulullah Saw bersabda”Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.” ( HR Jamaah, kecuali An-Nasai”). Hukum ini merupakan ketetapan kebanyakan ahli fiqih sebagai pengamalan dari keutamaan hadist di atas. Bila seseorang meninggalkan anak laki-laki yang kafir dan paman yang muslim, niscaya harta 43
Habiburrahman” Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia: Jakarta:Kemenrian Agama RI 2011,H. 190. 44 Moh Muhibbun dan Abdul Wahid “ Hukum Kewarisan Islam”Jakarta: Sinar Grafika 2011,h. 78.
34
peninggalan si mayit semuanya diberikan untuk paman, sehingga anak laki-laki yang kafir tidak mendapatkan apa-apa dari warisan ayahnya. Contoh lain adalah bila seorang istri kitabiyah (ahli kitab) dan seorang anak laki-laki, semua harta yang ditinggalkan si mayit diberikan untuk anak laki-laki, semua harta yang ditinggalkan si mayit diberikan untuk anak laki-lakiyang muslim dan paman yang kafir, dan anak laki-laki si mayit tidak mendapatkan apa-apa dari harta peninggalan ayahnya karena berlainan agama, antara anak dan orang tua. 45 Namun, sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa orang Islam dapat mewarisi harta peninggalan orang kafir, dan tidak sebaliknya. Berdasarkan pertimbangan itu, jika seorang istri kitabiyah mati meninggalkan suami muslim, niscaya suami tersebut dapat mewarisi harta peninggalan istrinya, tapi suami tersebut dapat mewarisi harta peninggalan istrinya, tapi tidak sebaliknya 46. Beberapa alasan yang dijadikan argumen dalam masalah ini adalah hal-hal berikut. a.
Berdasarkan hadist Nabi saw, ” Islam itu terus bertambah dan tidak berkurang.”
b.
Dalam melihat hadist ini, mereka seolah-olah berpendapat bahwa hak mewarisi seorang muslim dari orang kafir merupakan suatu tambahan, sedangkan tidak adanya hak mewarisi bagi muslim terhadap harta orang kafir merupakan suatu kekurangan. Mereka
45
Komite Fakultas Syari’ah Unuversitas Al- Azhar, mesir, Jakarta, : Senayan Abadi Publishing, h. 47. 46 Chuzaimah T.Yanggo dan H.A. Hafiz Anshary AZ.MA” Problem Hukum Islam Kontemporer” Jakarta: Pustaka Firdaus 2008,h. 39.
35
juga berargumen dengan hadits “Islam itu tinggi, dan ketinggiannya tidak dapat diungguli.” Dengan hadits ini, mereka berpendapat bahwa termasuk dari makna ketinggian adalah seorang muslim dapat mewarisi harta peninggalan orang kafir, tapi orang kafir tidak dapat mewarisi harta seorang muslim. c.
Mereka
juga
berdalih
dengan
menganalogikan
nikah
dan
memperoleh harta harta rampasan perang, yakni ini sebagian orang muslim dapat mewarisi harta orang kafir, sebagai mana kita bisa menikahi wanita-wanita mereka, namun mereka tidak bisa menikahi wanita-wanita muslimah. Kita bisa memperoleh harta rampasan dari perang yang dilakukan bersama mereka, namun tidak sebaliknya. Pendapat
yang
kuat dalam masalah ini ialah pendapat
kebanyakan ulama dibantah dan dijawab ulama mengatakan bahwa seorang muslim dan kafir secara mutlak tidak dapat saling mewarisi, karena kuat dan kelugasan dalil yang disampaikan oleh mereka. Dalil-dalil yang menyimpang dari pendapat kebanyakan ulama dibantah dan dijawab Islam bertambah dengan penaklukan beberapa negeri dan ia tidak berkurang dengan kemurtadan orang-orang muslim, sebenarnya orang yang murtat hanyalah minoritas, sedangkan yang masuk kedalam agama Islam merupakan mayoritas. Pada hadist kedua, maksud dari ketinggian Islam, sesuai dengan hujjah atau sesuai dengan penaklukan, yakni pada akhiran kemenangan bagi orang-orang muslim.
36
Sedangkan dalil analogi (qiyas) yang dikemukakan oleh mereka yang menentang pendapat kebanyakan ulama harus ditolak, karena seorang hamba dapat menikah seorang hurrah “perempuan yang merdeka” dan hamba tidak dapat mewarisi harta peninggalan hurrah. Demikian pula seorang muslim dapat
memperoleh
harta rampasan
perang orang kafir harbiy. Dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan kafir harby. Sebab, nikah dilakukan berdasarkan keinginan untuk terus meneruskan keturunan dan memenuhi kebutuhan biologis, sedangkan waris-mewarisi berdasarkan atas muwalah(memperkuat ikatan perwalian) dan munashara ( saling tolong-menolong). Keduanya ( antara nikah dan waris-mewarisi ) berbeda illat-nya , sehingga analoginya tentu menjadi tidak tepat. 47 Orang-orang kafir yang berlainan Agama atau kepercayaan Para ahli fiqih bersepakat bahwasanya orang-orang kafir dapat saling mewarisi satu sama lain ketika mereka berada pada satu kepercayaan, misalnya mereka sama-sama beragama Nasrani, Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw., Secara implisit, hadist ini memiliki arti bahwa orang-orang kafir dapat saling mewarisi atau satu sama lain. Demikian pula hadist Nabi yang artinya.
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ا ہﻠﻟ ﺑﻦ ﻋﺴﺮو ر ﺿﻲ ا ہﻠﻟ ﻋﻨﮫ ﻗﺎ ل ر ﺳﻮ ل ہﻠﻟ ﺻﻠﻲ ا ہﻠﻟ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﻻ ﯾﺘﻮ ا ر ث ا ھﻞ ﻣﻠﺘﯿﻦ ﺳﺘﻲ
18
Komite fakultas syari’ah Universitas Al-azhar h.49.
37
“ Dari Abdullah bin Amr ra, dia berkata, Rasulullah Saw, bersabda:Tidlak dapat saling mewarisi dua orang pengikut agama yang berbeda-beda.”( HR Ahmad,Abu Daud dan Ibnu Majah).
Hadist tersebut menunjukkan menunjukkan bahwa pemeluk satu kepercayaan dapat mewarisi satu sama lainnya. Para ulama berselisih pendapat dalam hal waris-mewarisi antar sesama nonmuslim manakala terjadi ketidaksamaan agama (Kepercayaan) mereka, seperti Yahudi dengan Nasrani atau Majusi. Perselisihan ini bermuara pada perbedaan mereka dalam memandang. Apakah agama-agama atau kepercayaankepercayaan tersebut dianggap sebagai satu agama atau beberapa agama yang terdiri masing-masing.Dalam masalah ini timbul tiga pendapat, yakni sebagai berikut. 48 Pertama, pendapat kebanyakan ulama ( jumhur ulama’) seluruh agama atau
kepercayaan selain Islam itu dianggap satu. Dengan
pendapat ini, maka orang-orang kafir satu sama lain dapat saling mewarisi, baik satu agama maupun tidak karena seluruh agama selain Islam pada dasarnya dalam kesesatan, dan agama-agama tersebut bagaikan satu agama. Allah swt berfirman,
(۳۲/۱۰/ﯾﻮﻧﺲ
)
“…. Tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan…(Yunus (10): 32) 48
M. Ali Hasan” Hukum Waris Dalam Islam”, Jakarta,PT Bulan Bintang 1996 h.31
38
Hal ini dikarenakan soal warisan antara orang tua dan anak atau sebaliknya, sudah disebutkan di dalam kitab Allah secara umum ( baik Taurat,Injil, maupun Al-Qur’an). Dengan demikian, tidak sesuatu pun yang ditinggalkan, melainkan sesuatu yang dikecualikan oleh syari’at . Adapun sesuatu yang tidak dikecualikan oleh syari’at. Adapun sesuatu yang tidak dikecualikan oleh syari’at, tetap berada pada keumumannya. 49 Kedua, pendapat kalangan Malikiyyah. Menurut kalangan Malikiyyah, golongan lain yang tidak beragama Islam terbagi menjadi tiga, yaitu Yahudi, Nasrani, dan agama-agama yang lainnya, yang dianggap satu agama. Hal tersebdut ditetapkan karena mereka tidak mempunyai satu kata untuk mereka sendiri. Dengan demikian, orang yang beragama Yahudi tidak dapat mewarisi dari orang yang beragama Nasrani, dan salah satu dari mereka tidak dapat mewarisi dari orang yang beragama Majusi dan Watsniy. Ketiga
,
pendapat
kalangan
Hambaliyyah.
Orang
kafir
mempunyai agama yang beraneka ragam, maka pemeluk suatu agama (selain Islam) tidak dapat mewaririsi dari pemeluk agama yang berbeda. Ulama yang memegang pendapat ini, termasuk Dalil hadist yang digunakan oleh penentang pendapat kebanyakan ulama dijawab, bahwa maksud dari hadist: “ Tidak dapat saling mewarisi dua orng pengikut agama yang berbeda-beda.” Salah satunya adalah agama Islam dan yang satunya lagi ialah agama orang-orang kafir. Hadist ini menyerupakan 49
Teungku Muhammad ash shiddieqy, Fiqh Mawaris,( Jakarta, PT: Pustaka Riski putra, 2001), h.44.
39
hadist, “ Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewarisi harta orang Islam.” Kesimpulan dari hal-hal tersebut adalah agama yang berlainan merupakan salah satu penghalang mewarisi bagi kedua belah pihak. 50
D. Pembagian Waris Non Muslim. 1.
Menurut Fuqaha Mazhab Kitab-kitab fiqh memberi judul dengan : Beberapa penghalang Mendapat Warisan, Penghalang yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan.Salah satunya adalah beda agama. Berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan penerima waris merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang mewarisi, orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam. 51 Para ahli fikih telah sepakat dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafirulama fikih berbeda pendapat, yakni ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan.
Dalam hadist Rasulullah SAW dinyatakan:
ﻋﻦ ا ﺳﺎ ﻣﮫ ﺑﻦ زﯾﺪ ر ﺿﻲ ا ہﻠﻟ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل ر ﺳﻮ ل ا ہﻠﻟ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﻻﯾﺮث اﻟﻤﺴﻠﻢ ااﻛﺎﻓﺮ وﻻ ااﻛﺎﻓﺮ اﻟﻤﺴﻠﻢ Dari Usamah bin Zaid ra, ia berkata, bahwa Rasulullah Saw, bersabda: Muslim tidak mempusakai orang kafir dan kafir tidak mempusakai orang muslim.( HR.Jamaah, kecuali An-Nasai).
50
. Drs.Amin Husain Nasution, “Hukum Kewarisan” Jakarta,PT. Raja Grafindo Persada 2012.h. 78. 51 Habiburrahman “ Rekonsruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Kementrian Agama RI 2011,H.190 .
40
Mencermati kesimpulan Ulama fikih dititik dari sudut pandang Grand Theory kedaulatan Tuhan, bahwa kesimpulan tersebut atas dasar hadist yaitu muttafaq’ alaihi, maka dapat diyakini kebenarannya, karena apa yang diucapkan Rasulullah SAW diyakini kebenarannya, sesuai dengan firman Allah Ta’ala. 52 Ulama-ulama Mujtahid sepakat atas dasar nash-nash hadist tersebut, bahwa keluarga dekat (anak kandung sekalipun) yang tidak muslim muslimah bukan ahli waris.Non muslim masuk kategori penghalang untuk mendapatkan warisan, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh al- syathiby dalam teori maqasid al-syari’ah nya, yang artinya: Syari’at dibuat sesungguhnya demi kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akirat. 53 Mengacu kepada teori maslahah dalam pelaksanaan pembagian waris, menolak hadist muttafaq alaih dan memiliki pola pikir hukum Adat, sama saja dengan mengedepankan adat dari pada syari’at.Sehingga pendapat Hazairin yang mengatakan dengan terminologi, apakah sesuatu yang telah menjadi tradisi dalam masyarakat Indonesia dapat dibenarkan bila tujuannya sama dengan mashlahah al-ummah, tidak sepenuhnya bisa diterima jika ia bertrntangan dengan nash. 54 Di sinilah konsep maqasid al-syari’ah yang mempertimbangkan aspek pemeliharaan agama (hifdz al-din) merupakan tujuan utama 52
Habiburrahman ” Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia”h. 19. Muhammad Abu Zuhrah” Hukum Waris” Jakarta: Lentera Baristama 2001,h. 83. 54 Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL- azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta, PT.Senayan Abadi Publising 2000.) h.45. 53
41
syari’atkan hukum kewarisan dalam islam, yakni untuk menguji keimanan umat manusia, khususnya yang menyakinkan al-qur’an sebagai wahyu Allah. Apakah mereka tetap beriman dan mengikuti hukum Allah dengan menyatakan sami’na wa atha’na atau menolaknya dengan menyatakan sami’na wa’ashoina. Menurut Imamiyah Imamiyah
telah
menetapkan
bahwa
perbedaan
agama
menghalangi non- muslim dan orang yang murtad untuk mewarisi dari muslim, namun tidak menghalangi Muslim untuk mewarisi dari nonmuslim dan murtad. Maka, bila seorang non-muslim mempunyai seorang anak
Muslim,
maka
anaknya
mewarisinya,bahkan
anaknya
itu
menghalangi ahli waris lainnya yang non- muslim untuk mendapatkan warisan. Penghalangan ini berlaku bahkan bila si muslim memiliki hubungan kekerabatan yang lebih jauh daripada si non- muslim. Misalnya, bila seseorang mempunyai anak non- muslim dan budak yang telah bebes itu,bila seorang mempunyai ayah non- muslim dan maula muwalat atau, dalam istilah Imamiyah, dhaman al- jarirah yang Muslim 55, maka warisannya untuk dhaman al- jarirah. Oleh karena itu, di dalam al- Qawa’id disebutkan tentang warisan non-muslim, “Bila bersama mereka (para ahli waris non-muslim, maka seluruh warisan diserahkan kepada si muslim, baik dia lebih dekat maupun jauh, termasuk jika dia itu maula ni’mah atau bahkan dhaman al-jarirah.
55
Muhammad Abu Zuhrah “Hukum Waris”(Jakarta, PT: Lentera Basritama 2001),h.82.
42
Atas dasar itu, menurut Imamiyah ada tiga masalah: Pertama, non- muslim tidak Mewarisi Muslim. Ini disepakati oleh jumhur Muslimin. Oleh karena itu, terdapat ijmak di kalangan fukaha muslim secara menyeluruh bahwa non-muslim sama sekali tidak mewarisi Muslim. 56 Kedua, Muslim mewarisi non-muslim. Atas dasar ini,Muawiyah bin Abi Sofyan memerintahkan para hakimnya untuk memberikan hak waris bagi Muslim dari non- muslim dan tidak sebaliknya. Syarih adalah seorang tabi’in sekaligus hakimKufah. Ia biasa menyertakan vonisnya dengan kata-kata.” Ini adalah hukum Allah dan Rasul-Nya”. tetapi, dalam masalah ini, dia biasa berkata, “Ini adalah keputusan Amirul Mukminin Muawiyah. Ketiga, bila ada seorang muslim meskipun tingkatan-nya jauh, dia harus didahulukan atas non- muslim meskipun tingkatannya lebih dekat. Dalam masalah ini, kami tak mengetahui ada orang lain yang berpendapat demikian selain Syiah Imamiyah. Imamiyah telah menjelaskan alasan di balik dari muslim. yaitu tidak adanya pewaris non- muslim. Yaitu, warisan itu adalah kekuasaan (wilayah) dan pengalihan (khilafah), dan tidak ada wilayah bagi nonmuslim atas muslim. Tetapi seorang kafir dzimi ketika ahli warisnya terdiri Muslim dan non- muslim.57
56
Habiburrahman” Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Kementrian Agama RI 2011, H. 192. 57 Muhammad Abu Zuhrah “ Hukum Waris “ h.86
43
Setelah mereka sepakat dengan jumhur fukaha dalam hal nonmuslim tidak mewarisi Muslim, Imamiyah berpendapat bila non-muslim masuk Islam sebelum pembagian tirkah maka dia memperoleh warisan bersama-sama ahli waris muslim. Di dalam kitab Tabshirah alMuta’allimin disebutkan, “ Bila non-muslim masuk Islam sebelum pembagian tirkah, maka dia memperoleh warisan bersama-sama ahli waris lain yang Muslim. bila tingkatannya paling tinggi, bila si mayit Muslim ataupun non-Muslim. Bila ahli warisnya cuma seorang, dan si kafir itu masuk Islam, maka dia tetap tidak mewarisi.” Sebagai milik ahli waris sebelum dilakukan pembagian tirkah. Dengan demikian kepemilikan tidak dimulai saat kematian si mayit, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fiqih jumhur fuqaha. Tetapi, kepemilikan itu dihukumi berada pada si mayit sampai pewaris terlaksana dengan dilakukan-nya pembagian dan setiap seorang memperoleh (menguasai) bagiannya. Jika demikian, maka bila nonmuslim masuk Islam, dia mewarisi tirkah kerabatnya yang muslim, karena dengan keislamannya itu dia telah mewujudkan sebab pewarisan dan menghilangkan halangannya sebelum masa kepemilikan tiba, yaitu masa terlaksananya pembagian.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam konteks hukum Islam di Indonesia, keberadaan hadist tersebut telah dimentahkan oleh KHI, yakni jika dalam kitab-kitab fikih
44
diberi judul mawani al- irts, sedangkan dalam KHI tidak diatur jika seseorang terhalang hak waris karena berbeda agama dapat ditentukan menurut putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht). Hal ini terdapat dalam pasal 173 KHI yang menyatakan bahwa: seseorang terhalang menjadi ahli waris, apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, 58 dihukumi karena: a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 ( lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
58
Abdurrahma” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta: Akademika Pressindo 2010, h. 156.
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA BEKASI A. Profil Pengadilan Agama Institusi Pengadilan Agama Bekasi terbentuk pada tahun 1950 yang berkantor di Jl. Is Sirait Kampung Melayu Jatinegara dengan ketua Rd. H. Abu Bakar kemudian terjadi pemekaran yaitu terbentuk Kabupaten Bekasi juga wilayah hukumnya di pindah ke Kabupaten Bekasi. Dan seiring waktu wilayah Walikotamadya Dati II Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 9 tahun 1996 tanggal 19 Desember 1996 yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bekasi, pada tahun 1998 berdasarkan KEPRES No. 145 tahun 1998di bentuk Pengadilan Agama Kabupaten Bekasi yang dikenal Pengadilan Agama Cikarang sebagai konsekuensi atas pembentukan Walikotamadya tersebut, dimana wilayah hukum Pengadilan Agama Bekasi yang semula meliputi Kabupaten dan Kotamadya sejak diresmikannya Pengadilan Agama Cikarang hanya meliputi wilayah Kotamadya Bekasi saja. Gedung Pengadilan Agama Bekasi saat ini terletak di Jl. Ahmad Yani No. 10 Bekasi Telp. (021) 8841880 Kode Pos 17141 dengan Letak Geografis Posisi antara 106°55' - Bujur Timur dan antara 6°7 - 6° 15' Lintang Selatan dengan memiliki markaz Kiblat 64° 51' 29° 87'' dari Utara ke Barat atau 25° 08' 30 13'' dari Barat ke Utara. Kota Bekasi memiliki area seluas ± 16.175.21 HA dengan batas-batas : 1. Sebelah Barat dengan Wilayah DKI Jakarta. 2. Sebelah Utara dengan Kec. Tarumajaya dan Babelan. 3. Sebelah Timur dengan Kec. Tambun dan Setu.
45
46
4. Sebelah Selatan dengan Wilayah Kab. Bogor. Pengadilan Agama Bekasi sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undangundang. 59 Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2004( UU no 3 tahun 2006, UU no 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman( lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 8, tambahan lembaran negara Republik Indonesia no 4338) tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, dalam melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana pengadilan agama bekasi sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang dijabarkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu:”Visi “Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib dan damai di bawah lindungan Allah SWT” dan Misi : “Menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat islam Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan”. 59
. PA Bekasi”sejarah Pengadilan Agama Bekasi”,diakses pada tangga 2 Februari 2015 dari www. Pabekasi.pta-bandung.net.
47
DAFTAR HAKIM PENGADILAN AGAMA BEKASI Nama
: Drs. H.Mamat Ruhimat, SH.MH
Tempat/ tanggal lahir
: Cibaga/ 11 Agustus 1966
Nip
: 196608111992031008
Jabatan
: Ketua
Golongan
: IV/b
TMT
: 12/ 11/2012
Nama
: Dr.Drs.H.Sirajuddin Saillellah, SH,MH
Tempat/ tanggal lahir
: Sungguminasa/ 13 Januari 1968
Nip
: 19680113.199303.1.003
Jabatan
: Wakil
TMT
: 09/09/2013
Nama
: Dr.M.Amin Muslish.Az.SH.MH.
Tempat/ tanggal lahir
: Purwokerto/ 20 Februari 1960
Nip
: 19600220.198203.1.007
Jabatan
: Hakim Madya Muda
Jabatan
: IV/c
TMT
: 01/ 11/ 2010
Nama
: Praptiningsih,SH
Tempat/ tanggal lahir
: Pemalang/ 3 Desember 1975
Nip
: 195712031990032001
Jabatan
: Hakim Madya Muda
Golongan
: IV/ b
TMT
: 26/ 08/ 2013
Nama
: Dra. Hj. Salnah, SH,MH
Tempat/ tanggal lahir
: Jakarta/ 12 Maret 1980
Nip
: 1957806565907007
48
Jabatan
: Hakim Pratama Utama
Golongan
: IV/ b
TMT
: 29/ 06/2012
Nama
: H. M.Arif,SH,MH
Tempat/ tanggal lahir
: Jakarta/ 27 Juni 1964
Nip
: 19640627.199203.1.006
Jabatan
: Hakim Pratama Utama
Golongan
: IV/ a
TMT
: 01/11/ 2011
Nama
: Drs. Amri,SH
Tempat/ tanggal lahir
: Timbang Lawang/ 17 Mei 1968
Nip
: 19680517.199303.1.004
Jabatan
: Hakim Madya Pratama
Golongan
: IV/a
TMT
: 01/ 11/ 2010
Nama
: Dra.Hj.Nadirah,MH
Tempat/ tanggal lahir
: Kota ujung pandang/ 19 Nopember 1966
Nip
: 1966199.199303.2.002
Jabatan
: Hakim Pratama Utama
Golongan
: IV/a
TMT
: 02/ 01/ 2012
Nama
: Firris Barlian, S.Ag.MH.
Tempat/ tanggal lahir
: Bumiayu/ 19 Februari 1974
Nip
: 19740219.200312.2.003
Jabatan
: Hakim Pratama Madya
Golongan
: III/c
TMT
: 26/ 08/ 2013
49
VISI
adalah Berusaha menciptakan dan menghadirkan Pengadilan
Agama Bekasi sebagai salah satu Judicial Power dalam melaksanakan tugas pokok dan kewenangannya sebagai Peradilan lainnnya serta bermartabat dan dihormati demi tegasnya hukum dan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum di tengah masyarakat yang religius menuju terlaksananya syari’at Islam secara efektif. 60 MISI adalah Optimalisasi peran, kedudukan dan kewenangan Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan resmi agar lebih mampu dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan terhadap masyarakat melalui putusan yang mencitrakan asas keadilan, kepastian hukum dan mamfaat.Menghadirkan Pengadilan Agama sebagai institusi Negara yang keberadaannya diterima sebagai milik masyarakat melalui pelayanan hukum aparatur yang berkualitas dalam penyelenggaraan Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan dan Meningkatkan pemahaman kepada masyarakat fungsi dan tugas Pengadilan Agama sebagai salah satunya lembaga resmi dalam penyelenggaraan sengketa antara ummat Islam terutama dalam halkasus rumah tangga sehingga masyarakat terhindar dari upaya proses penyelesaian perceraian secara di bawah tangan. 61
60
Pa Bekasi” Profil Pengadilan Agama Bekasi” diakses pada tanggal 2 Februari 2015, dari www pabekasi-pta-bandung.net. 61 Pa Bekasi” Profil Pengadilan Agama bekasi” Visi Misi Pengadilan Agama” Diakses pada tanggal 2 Februari 2015 dari www.pabekasi.pta-bandung.net.
50
B.STRUKTUR ORGANISASI
51
Menurut Yahya Harahap, gambaran dari susunan organisasi Pengadilan Agama. Pada bagan kiri, yaitu hakim, panitera pengganti, dan juru sita, merupakan suborganisasi fungsional peradilan yang berfungsi dan berwenang melaksanakan peradilan. Sedangkan bagan sebelah kiri juga yang terdapat dalam kotak panitera muda adalah pejabat struktural yang ikut membantu kelancaran tugas pejabat fungsional dalam menjalankan fungsi peradilan. Bagan sebelah kanan yang distrukturkan dibawah wakil sekretaris adalah jabatan struktural pendukung umum seluruh organisasi peradilan. Bagan ini merupakan soborganisasi yang tidak terikat dengan fungsi peradilan atau penegak hukum. Namun demikian, sub bagian ini mempunyai peran yang sangat besar dalam menyokong kelancaran organisasi. 62 Dalam bagan terlihat bahwa, jabatan fungsional peradilan dihubungkan dengan garis putus-putus. Maknanya adalah hubungan antara pejabat fungsional pada dasarnya tidak bersifat struktural, tetapi lebih ditekankan pada hubungan yang bersifat fungsi peradilan. Dalam UU no 7 tahun 1989 pasal 10 ayat (1) ditegaskan bahwa ketua dan wakil ketua hanya mempunyai hubungan struktural dengan panitera/sekretaris, wakil panitera, wakil sekretaris atau eselon yang distrukturkan di bawah wakil panitera atau wakil sekretaris. 63 Sedangkan pasal 11 ayat ( 1) menentukan bahwa hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.Oleh karena itu terhadap hakim, ketua, dan wakil ketua mempunyai hubungan fungsional. UU no 50 tahun 2009. Pasal 53 ayat (1) menegaskan bahwa secara organisatoris, ketua, dan wakil ketua 62
Sulaikin Lubis, Wismar,dkk,” Hukum acara perdata peradilan Agama Di Indonesia”Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2006, h.85 63 Musthotha” Kepaniteraan Peradilan Agama” Jakarta: Prenada Media 2005, h. 22.
52
mempunyai hubungan fungsional. UU no 50 tahun 2009 Pasal 53 ayat (1) menegaskan bahwa secara organisatoris, ketua sebagai unsur pimpinan diberi kewenangan untuk mengadakan pengawasan terhadap hakim.Namun, pasal 53 ayat (4) memperingati bahwa khusus pengawasan yang bersifat fungsional. Artinya, tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. 64 Selanjutnya menurut UU no 7 tahun 1989 Pasal (7) jo. Pasal 44 mengenai struktur kepaniteraan sebagai salah satu sistem pendukung organisasi pengadilan dan sekaligus pula pendukung utama fungsi peradilan, mempunyai tugas ganda. Pada diri dan jabatannya melekat jabatan panitera merangkap sekretaris pengadilan. Untuk melancarkan tugas kepaniteraan dan kesekretariatan yang dijabat panitera/ sekretaris, dia dibantu oleh seorang wakil panitera dan seorang wakil sekretaris. Wakil panitera yang fungsi: (1) memimpin dan membagi hasil semua tugas fungsional peradilan, (2) memimpin dan membawahi petugas fungsional murni terdiri atas para panitera pengganti, serta petugas fungsional yang bersifat struktural yaitu para panitera muda, (3) menyeleksi jumlah panitera pengganti yang berpatokan pada jatah bezetting (pengisian formasi). 65 Dalam UU no 7 tahun 1989 pasal 26 ayat( 2) ditegaskan bahwa mengenai jumlah panitera muda tidak ditentukan secara pasti, hanya disebutkan beberapa panitera muda. Oleh karena itu, tepatlah pendapat yang menyatakan bahwa jumlah panitera muda yang rasional adalah disesuaikan dengan fungsi pendukung suborganisasi peradilan. Sebabnya adalah penstukturan panitera muda dalam 64
Erfaniah Zuhriah “Peradilan Agama Di Indonesia” Jakarta Uin Malang press 2008, h.
65
Aris bintaria” Hukum Acara peradilan Agama” Jakarta: Raja Grafindo 2012,h.3
187.
53
organisasi pengadilan untuk mendukung kelancaran fungsi peradilan. Tugas-tugas unsur pelayanan yang dilaksanakan oleh panitera muda adalah (1) unsur yang menangani registrasi dan penyiapan berkas perkara, (2) unsur yang membantu penyediaan peraturan dan perundang-undangan (3) Unsur yang menangani permintaan banding dan kasasi. Dengan demikian ada panitera muda bidang perkara,panitera muda bidang hukum, termasuk perpustakaan dan dukumentasi, dan panitera muda bidang banding dan kasasi. C. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat petama antara orangorang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. 66 Kewenangan Pengadilan Agama Pada waktu membahas kedudukan lingkungan peradilan Agama, sekaligus sudah dijelaskan bagaimana letak kedudukannya ditengah-tengah lingkungan Peradilan umum.. Peradilan Tata Usaha Negara dan peradilan militer.Dalam pembahasan itu sudah dijelaskan terwujudnya penjelmaan masalah hukum tentang kompetensi absolut diantara masing-masing lingkungan, sebagai rel yang menertibkan jalur batas kewenangan yurisdiksi mengadili. Dengan patokan kompetensi absolut, masing-masing disuruh tahu diri untuk tidak melewati pagar yang membatasi kandang yurisdiksi mengadili mereka. Demikian secara ringkas inti sari uraian yang berkenaan dengan kompetisi absolut pada bagian 66
Basiq djalil” Peradilan Agama Di Indonesia” Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2006, h.137.
54
pembicaraan kedudukan lingkungan peradilan agama. Apa yang dijelaskan pada bagian itu, sudah memadai. Tidak akan diulang lagi persoalannya pada bagian ini. 67 Pada bagian ini analisanya akan lebih dititik beratnya pada pengkajian substnsi bidang hukum perdata yang menjadi yurisdiksi mengadili Peradilan Agama.Sejauh mana jangkauan fungsi kewenangan mengadili Peradilan Agama mengadili perkara-perkara yang termasuk objek perdata yang menjadi kewenangan yurisdiksinya.Kearah itulah uraian kekuasaan mengadili dititik beratkan. Sehubungan dengan itu akan berturut-turut dibahas hal-hal yang berkenaan dengan batas ruang lingkup yuridiksi mengadili, jangkauan kewenangan mengadili perkara-perkara perkawinan, jangkauan mengadili perkara warisan dan hibah. Seperti yang sudah pernah dikemukakan,bertitik tolak dari penjelasan Pasal 10 ayat(I) UU No. 14 tahun 1970, lingkungan Peradilan Agama adalah salah satu di antara lingkungan“Peradilan Khusus”berhadapan dengan lingkungan Peradilan Umum. Masing-masing Lingkungan Peradilan Khusus yang terdiri dari lingkungan Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, hanya melaksanakan fungsi kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama ditentukan dua faktor yang menjadi ciri keberadaannya, Pertama faktor,”perkara tertentu” dan yang kedua faktor golongan “rakyat tertentu”. 68 Tentang siapa yang dimaksud dengan golongan rakyat tertentu yang tunduk sebagai subjek hukum ke dalam UU No. 7 Tahun 1989. Pertama,tercantum 67
Aris Bintaria” Hukum Acara Peradilan Agama dalam rangka qadha”Jakarta,PT.Raja Grafindo Persada 2012, h. 39 68 Sulaikin Lubis, Wismar,dkk,” Hukum Acara Perdata Di Indonesia” h. 86.
fiqh
55
dalam Pasal 2 dan Pasal 49 ayat (I). Kemudian dipertengas lagi dalam penjelasan umum, angka 2 alinia ketiga. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat Pasal 2, yang berbunyi: “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”. Begitu juga yang digariskan dalam pasal 49 ayat (I), berbunyi:”“ Pengadilan
Agama
bertugas
dan
berwenang
memerisa,memutus,dan
menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam...”. 69 Hal yang sama juga telah dicantumkan dalam Penjelasan Umum,angka 2, alinea ketiga yang berbunyi:“ Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa,memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah berdasarkan hukum Islam. Dari bunyi rumusan ketentuan di atas, salah satu asas sentral yang terdapat dalam UU No.7 Tahun 1989 ialah asas “ personalitas ke- Islaman”. Hal itu sudah diuraikan pada bagian yang membahas asas-asas UU No. 7 Tahun 1989. Dan bagaimana acuan menerapkan asas personalitas ke-Islaman. Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam. Atau hubungan hukum yang terjadi dilakukan menurut hukum Islam maka pihak-pihak tetap tunduk kepada kewenangan Peradilan Agama sekalipun pada
69
Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama 2010 h. 42
56
saat terjadi sengketa salah satu pihak beralih agama dari Islam ke agama lain. Dalam kasus yang seperti itu penyelesaian perkara tetap tunduk ke lingkungan Peradilan Agama, lebih lanjut sampai sejauh mana ruang lingkup kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama, Jawabnya, hanya meliputi bidang perkara-perkara perdata”tertentu”. Inilah yang digariskan dalam penjelasan Pasal 10 ayat (I) UU No. 14 Tahun 1970 (UU no 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman (lembaran negara republik Indonesia tahun 2009 nomor 157 tambahan lembaran negara republik Indonesia nomor 5076). Akan, masih mengambang. Bisa menimbulkan keisruhan dalam menentukan batas-batas kompetensi absolut. Oleh karna itu, apa yang dimaksud dengan bidang bidang perkara-perkara perdata“tertentu”sangat memerlukan konkretisasi dan rincian yang tegas dan jelas. Ketidakjelasan bidang perkara tertentu dimasa lalu,merupakan pengalaman pahit dalam menentukan batas menyangkut perkara harta bersama dan warisan.Tentang masalah kekalutan tersebut sudah disinggung pada uraian yang membicarakan kedudukan Pengadlian Agama. Pada bagian itu sudah ditegaskan salah satu misi utama UU No. 7 Tahun 1989, untuk memperjelas batas kewenangan mengadili antara lingkungan Peradilan Agama. Misi penegasan batas kewenangan mengadili yang lebih jernih dari masa yang lalu seperti yang diamanatkan St. 1937-116 maupun PP No.45 Tahun 1957,memang terdapat dalam UU No.7 Tahun 1989. 70 Penegasan tersebut dapat dilihat pada penjelasan umum UU no 3 tahun 2006 angka 2 alinia ketiga yang sama bunyinya dengan apa yang tercantum dalam pasal 49 Ayat (I) dihubungkan dengan penjelasan Uuno 3 tahun 2006 pasal 49 70
Abdul Manan Dan M. Fauzan “ Pokok-Pokok Hukum Perdata: Jakarta: Raja Grafindo Persada 2002,h.105
57
ayat(2) serta penjelasan Umum angka 2 alinia kelima dan keenam dihubungkan dengan ketentuan pasal 49 ayat(3) dan pasal 50 maupun dengan penjelasan pasal 50. 71 Ketentuan-ketentuan dimaksud merupakan landasan pokok menentukan batas- batas yang jernih fungsi ini,tidak timbul lagi kekisruhan yuridiksi mengadili antara lingkungan Peradilan Umum dengan lingkungan Peradilan Agama. Dari berbagai ketentuan pasal dan penjelasan yang dikemukakan, secara umum fungsi kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama telah ditentukan dalam Pasal 49 ayat (I) yang meliputi perkara-perkara di bidang perdata: Perkawinan Kewarisan,wasiat,dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, Wakaf dan shadaqah. 72 Bidang-bidang hukum perdata di ataslah yang menjadi porsi fungsi kewenangan mengadili lingkungan Peradialan Agama. Dengan sendirinya bidangbidang tersebut yang diistilahkan dengan bidang “tertentu”. Berarti juga bidang tertentu yang menjadi kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama dihubungkan dengan asas personalitas ke Islaman sebagai golongan rakyat tertentu,meliputi perkara perdata dalam kasus perkawinan,hibah,wakaf,dan shadaqah.Itulah batas kewenangan mengadili yang diberikan undang-undang
71
Jaenal Arifin” Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia” Jakarta: Kencana Media Group 2008,h. 343. 72 Sulaikin Lubis, dkk “ Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia” , Jakarta:. Kencana Prenada Media Group 2005 H. 103.
58
kepadanya. Lewat dari itu, dianggap melampaui batas kewenangan yuridiksi,dan batas-batas kewenangan mengadili antar lingkungan peradilan tersebutlah yang dimaksud dengan “kompetensi absolut”. Artinya, apa yang telah ditegaskan menjadi kewenangannya untuk memeriksa dan memutus perkaranya. Lingkungan peradilan lain secara mutlak tidak berwenang untuk mengadilinya. Hal itu sudah dijelaskan pada pembahasan yang menyangkut kompetensi absolut. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Perkawinan Di atas sudah dijelaskan kewenangan umum lingkungan Peradilan Agama secara global, meliputi perkawinan,wasiat,hibah,wakaf,dan shadaqoh.Jadi di antara kewenangan global
tersebut,
yang
pertama
termasuk
bidang
perkara
perdata
perkawinan.Namun, kita ingin mengetahui, sejauh mana jangkauan kewenangan Peradilan Agama mengadili perkara yang berhubungan dengan didang perkawinan , keinginan itu timbul bertitik tolak dari kenyataan di masa yang lalu.Pada masa yang lalu baik sebelum dan sesudah diundangkannya UU No.1 Tahun 1974 sebagai undang-undang dan hukum perkawinan nasional,kewenangan Peradilan Agama mengadili kasus perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, tidak utuh secara menyeluruh. Dari sekian luas jangkauan hukum yang diatur dalam UU No.1 Tahun 1974, tidak secara menyeluruh kewenangan mengadili perkara yang timbul dari padanya menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama. 73 Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis tingkatan dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan 73
M.Fauzan SH, MM,” Pokok-pokok hukum acara perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia”Jakarta:. Kencana Pranada Media Group 2007. H. 190
59
yang sama jenisnya dan sama tingkatan. Misalnya, antara Pengadilan Negeri Subang dengan Pengadilan Negeri Bogor.Pengadilan Agama Muara Enim dan Pengadilan Agama Baturaja. 74 Pengadilan Negeri Bogor dan Subang sama-sama lingkungan Peradilan Umum dan sama-sama Pengadilan Tingkat Pertama, sedangkan Pengadilan Agama Muara Enim dan Pengadilan Agama Baturaja Sama-sama tingkat pertama, dan sama –sama satu tingkat. Mengenai Kekuasaan Absolut, yakni kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan Pengadilan lainnya, sebagai contoh: Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam , sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.Pengadilan Agamalah yang
memeriksa dan mengadili perkara dalam
tingkatan pertama, tidak boleh langsung berperkara ke Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah adalah untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam ekonomi syari’ah. Kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam ekonomi syari’ah bisa dilihat secara komulatif dan bisa juga dilihat secara alternatif.Dalam perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama untuk memeriksanya, maka Pengadilan Agama juga harus menjatuhkan putusan 74
139.
Basiq Djalil “ Peradilan Agama Di Indonesia” Jakarta: Prenada Media Group 2006, h.
60
terhadap yang disengketakan.Ini berarti secara kumulatif Pengadilan Agama lah yang memeriksa dan memutus sengketa dalam ekonomi syar’ah tersebut. Sedangkan untuk menyelesaikan perkara yang diputus Pengadilan Agama tersebut tergugat dapat melaksanakannya secara sukarela tanpa perlu melalui Pengadilan Agama dan dapat pula melalui eksekusi putusan oleh Pengadilan Agama atas permohonan penggugat apabila Tergugat sebagai pihak yang dikalahkan tidak bersedia melaksanakan putusan oleh Pengadilan Agama tersebut secara suka rela. Dengan demkian menyelesaikan perkara, dalam hal ini melalui eksekusi putusan Pengadilan Agama adalah opsional bukan kemestian. 75 Kalau demikian halnya, maka tugas dan kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksa dan memutus perkara ekonomi syari’ah adalah secara kumulatif. Dengan perkataan lain, setiap perkara ekonomi syari’ah yang diajukan kepada Pengadilan Agama, maka Pengadilan Agama harus memeriksa perkara tersebut dan selanjutnya memberikan putusan terhadap apa yang disengketakan oleh para pihak. 1.
Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Perkawinan Di atas telah dijelaskan bahwa kewenangan absolut Peradilan Agama
meliputi
bidang-bidang
perkawinan,
kewarisan,
wasiat,
hibah,wakaf, dan sedekah. Mengenai bidang Perkawinan, pasal 49 ayat( 2) menyatakan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku,
75
Chatib Rasyid dan Syaifuddin” Hukum acara prtdata dalam Teori dan Praktek Pada Peradilan Agama” Jakarta: UII Press Yogyakarta 2009, h.160.
61
pasal 49 (2) ini dalam penjelasannya dirinci lebih lanjut ke dalam 22 butir, yaitu:
76
a.
Izin beristri lebih
b.
Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berumur 21 tahun, dalam hal ini orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat
c.
Dispensasi kawin
d.
Pencengahan Perkawinan
e.
Penolakan perkawinan oleh Pengawai Pencatat Nikah
f.
Pembatalan perkawinan
g.
Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri
h.
Perceraian karena talak
i.
Gugatan perceraian
j.
Penyelesaian harta bersama
k.
Penguasaan anak
l.
Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bila bapak
yang
seharusnya
bertanggung
jawab
tidak
mampu
memenuhinya. m.
Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri.
n.
Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak
o.
Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
76
2002,h. 30.
Roihan A.Rasyid “ Hukum Acara Peradilan Agama” Jakarta: Raja Grafindo Persada
62
p.
Pencabutan kekuasaan wali,
q.
Penunjukan orng lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut.
r.
Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup berumur 18 tahun yang ditinggalkan oleh kedua orng tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya
s.
Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya.
t.
Penetapan asal- usul anak
u.
Putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran
v.
Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan berlaku yang dijalankan menurut peraturan yang lain.
2. Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Kewarisan, Wasiat, dan hibah. Mengenai jangkauan kewenangan mengadili sengketa kewarisan ditinjau dari sudut
Hukum Waris Islam, dapat dilakukan melalui
pendekatan Pasal 49 ayat( 3) jo. Penjelasan Umum angka 2 alinia keenam. Jadi, uraian singkat dari ketentuan Pasal tersebut adalah bahwa
63
pokok-pokok Hukum Waris Islam yang akan ditetapkan pada golongan rakyat yang beragama Islam terdiri atas: 77 a.
Siapa-siapa yang menjadi ahli waris, meliputi penentuan kelompok ahli waris, siapa yang berhak mewarisi, siapa yang terhalang menjadi ahli waris, dan penentuan hak dan kewajiban ahli waris.
b.
Penentuan mengenai harta peninggalan, antara lain tentang penentuan tirkah yang dapat diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan
c.
Penentuan bagian masing-masing ahli waris, hal ini telah diatur dalam Al-Qur’an , as-Sunnah, dan ijtihat ( pendapat prof.Hazairin dan KHI) dan
d.
Melaksanakan pembagian harta peninggalan.
3. Kewenangan mengadili perkara bidang Wakaf, Zakat, Infaq, dan Shadaqah Pasal 1 ayat( 1) PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
menentukan pengerian tentang wakaf. Wakaf adalah perbuatan
hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembangakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam 78. Wakaf ini sangat penting
77
Sulaikin Lubis, Wismar Ain Marzuki, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2006, h.110. 78 Erfaniah Zuhriah” Peradilan Agama Di Indonesia” Jakarta: Uin Malang Press 2008,h. 213.
64
ditinjau dari sudut
pelembagaan keagamaan.PP No. 28 Tahun 1977
merupakan peraturan perwakafan dalam Islam yang telah menjadi hukum positif, dan peraturannya memiliki kelengkapan. Oleh karena itu, jika ada perselisihan tentang perwakafan tanah milik, maka penyelesaiannya dapat diajukan kepada pengadilan agama sesuai dengan ketntuan perundang-undangan yang berlaku. 79 Mengenai
shadaqah,
masih
ada
sementara
orang
yang
berpandangan sempit, yaitu merupakan pemberian sesuatu benda atau sejumlah uang yang bernilai kecil atas dasar karena Allah. Padahal dalam perbendaharaan hukum Islam, shadaqah mempunyai dua makna, yaitu shadaqah biasa seperti diatas, dan shadaqah wajib. Shadaqah wajib ini disebut zakat. Oleh karena itu, Peradilan Agama berwenang pula menyelesaikan masalah yang berkenaan dengan penyelenggaraan zakat yang disebut shadaqah dalam pasal 49 ayat (1) huruf c UU No. 7 Tahun 1989. Dengan diundang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat ( dan mulai berlaku tahun 2001) maka dewasa ini telah bertambah lagi bagian hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis ( sebagai hukum positif). Dalam bab VIII Padal 21 Undang- undang ini ditentukan tentang sanksi pidana bagi setiap pengelola zakat yang melakuakan pelanggaran. Namun, tidak tegas ditentukan pengadilan mana yang
79
h. 112
Sulaikin Lubis, Wismar dkk, “ Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia”
65
berwenang menyelesaikan masalah tersebut. Oleh karena itu banyak usulan disampaikan sehubungan dengan hal ini. 80 4.
Kewenangan Mengadili Bidang Ekonomi Syari’ah Dalam penjelasan Pasal 1 angka 37, mengenai Perubahan Bunyi Pasal 49 UU.No 7 Tahun 1989, pada poin, (i) diatas disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah meliputi: a.
Bank syari’ah
b.
Asuransi Syari’ah
c.
Reasuransi Syari’ah
d.
Reksa dana syari’ah
e.
Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
f.
Sekuritas Syariah
g.
Pembiayaan syari’ah
h.
Pegadaian syari’ah
i.
Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
j.
Bisnis syari’ah
k.
Lembaga keuangan syariah. Dari penjelasan di atas dapat kita lihat ada 11 macam perkara
yang termasuk bidang ekonomi syari’ah ini. Dalam hal ini yang menarik adalah adanya perluasan terhadap pengertian” orang-orang” yang meliputi juga lembaga syari’ah yang berupa bank ataupun perusahaan 80
2002.h. 30.
Roihan A.Rasyid” Hukum Acara Peradilan Agama” Jakarta: Raja Grafindo Persada
66
asuransi yang berbentuk badan hukum.Pada bagian awal dari penjelasan pasal 49 UU ini disebutkan bahwa lembaga keuangan bank sebagai badan hukum disini dimaksudkan
sebagai pihak yang tunduk pada
ketentuan hukum Islam. 81
81
Mom Muhibbun Dan Rasyid Wahid “ Hukum Kewarisan Islam” Jakarta: Sinar Grafika 2011, h. 49.
BAB IV PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BEKASI TENTANG HAK WARIS ANAK NON MUSLIM
A. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Tentang Hak Waris anak non muslim Setelah Peneliti melakukan penelitian ke Pengadilan Agama Bekasi, dimana jumlah hakim di pengadilan agama bekasi 11 orang, dan yang diwawancarai peneliti 9 orang dari 9 orang yang sudah peneliti wawancara semuanya sepakat bahwasanya untuk memberikan hak waris anak non muslim terlebih dahulu untuk melihat kepada beberapa faktor dan syarat-syarat yang terlebih dahulu di lihat dan di telaah, setelah semua faktor dan syarat terpenuhi maka disitulah hakim akan memberikan pertimbangan dengan fakta yang telah terlebih dahulu terpenuhi. Hakim Pengadilan Agama Bekasi memandang hak waris anak non muslim ini sebagai suatu permasalahan yang sangat penting, dimana dalam Yurisprudensi MA ini telah memberikan hak terhadap anak non muslim, sehingga anak non muslim ini tidak merasa adanya ketidak adilan terhadap dirinya karna adanya perbedaan agama, walaupun didalam AL-Qur’an, KHI, Hadist, semuanya tidak adanya yang memberikan hak waris anak non muslim, akan tetapi Yurisprudensi MA berani untuk memberi keputusan untuk memberi kewarisan kepada anak
67
68
non muslim,82 mungkin ketika memutus perkara ini hakim sudah merasa adil untuk anak non muslim tersebut, dari Yurisprudensi MA ini diharapkan bisa menjadi pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara yang sama , secara logika
mungkin hakim MA ketika itu
mengingat terhadap anak angkat saja diberi wasiat wajibah, sedangkan anak kandung yang lebih dekat secara emosional,darah daging sendiri, hanya karna berbeda agama apakah adil dia tidak mendapatkan warisan, dari sini juga lah para hakim bisa untuk mempertimbangkan beberapa hal, yang mana sebisa mungkin untuk bisa memberikan keadilan, supaya tidak adanya rasa perbedaan, karna perbedaan itu bukanlah sebuah muamalah akan tetapi ini adalah masalah keyakinan, dan tidak ada satu orang pun yang bisa untuk memaksakan orang dalam beragama, jadi tujuan dari Yurisprudensi MA ini pun untuk menegakkan keadilan bukan untuk memberikan hukuman, Hakim pun akan melihat bagaimana prilaku anak tersebut kepada kedua orang tuanya, dilihat dari segi ketaatan, kebaktian anak. 83
B.
Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Dalam Memutus Perkara Kewarisan anak Non muslim.
Dasar-dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara ini dilihat dari segi kebaktian anak,ketaatan anak kepada kedua orang tuanya,
82
Wawancara pribadi dengan Wakil Pengadilan Agama Bekasi Bapak Dr. Drs. H.Sirajuddin Sailellah, SH,MHI. Jakarta 13 Februari 2015 83 Wawancara pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama bekasi Bapak Drs. Amri, SH., Jakarta 13 Februari 2015.
69
keshalehan anak, walaupun dia non muslim akan tetapi dia sangat shaleh terhadap orng tuanya, jadi hanya perbedaan agama saja kesalahan dia dalam segala hal dia sangat mementingkan kedua orang tuanya, dia tidak durhaka, dia tidak menyakiti hati orang tuanya, dia selalu merawat kedua orang tuanya, dia memberi yang terbaik,memberi hal-hal yang membahagiakan kedua orang tuanya, dilihat dari pendekatan filosofi hukum, (apakah adil apabila anak karna beda agama tidak mendapat warisa)
keadilan, kedekatan
emosional anak,. 84
C. Faktor-faktor Hakim Pengadilan Agama Bekasi Dalam Memutus Perkara Kewarisan Anak Non Muslim. Faktor-faktor hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam memutus perkara kewarisan anak non muslim lebih melihat kepada faktor-faktor kedekatan emosional anak dengan orang tuanya, kepedulian anak kepada orang tuanya, harapan keadilan dari anak non muslim tersebut, bagaimana hukum yang hidup didalam masyarakat, semua itu dipertimbangkan hakim dalam menyelesaikan hak waris anak non muslim. Diharapkan juga ketika anak non muslim ini mendapatkan warisan dia bisa mendapat hidayah untuk bisa masuk islam lagi karna agama Islam tidak ada membeda-bedakan dalam segala hal,akan tetapi agama islam lebih kepada keadilan tanpa membeda-bedakan satu dan 84
Wawancara pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama bekasi ibu Firris Barlian, S.Ag, MH. Jakarta 20 Februari 2015.
70
yang lainnya.faktanya, hukum waris Islam di Indonesia hidup, berkembang, dan berdampingan dengan sistem hukum waris lain yaitu hukum waris BW. 85 Penemuan hukum yang memberikan wasiat wajibah bagi ahli waris yang terhalang akibat perbedaan agama merupakan upaya mengaktualisasikan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang beragam baik di bidang sosial, budaya, hukum,maupun agama. Upaya ini sekaligus juga untuk memelihara jati diri hukum Islam sebagai rahmatan lil alamin.86 Dengan diberikannya wasiat wajibah kepada ahli waris yang terhalang akibat perbedaan agama sebagai alternatif agar memperoleh haknya, sesungguhnya telah memberikan gambaran positif bahwa hukum hukum Islam tidaklah eksklusif dan diskriminatif yang seolah –olah telah menempatkan warga non muslim sebagai kelas dua didepan hukum. 87 Alasan ini juga dipertegas dengan tujuan hukum Islam yaitu untuk mencengah kemudharatan dalam suatu kondisi permasalahan dalam hak waris anak non muslim, maka putusan yang diambil haruslah mengedepankan kemudharatan yang lebih sedikit akibatnya bagi masyarakat secara umum.
85
Wawancara pribadi dengan bapak Drs.Amri, SH, Jakarta 20 Februari 2015. Wawancara Pribadi dengan hakim pengadilan agama bekasi Ibu Dra.HJ.Salnah,SH,MH, Jakarta 20 Ferruari 2015 87 Wawancara Pribadi dengan hakim di pengadilan agama bekasi H.M.Arif, SH,MH. Jakarta 20 Feb 2015. 86
71
D.
Analisis Penulis Setelah
penulis
melakukan
penelitian
dan
menganalisis
pandangan hakim terhadap hak waris anak non muslim, penulis merujuk kepada hasil wawancara penulis dengan hakim pengadilan agama bekasi yang menghasilkan data deskriftif. Penulis berbeda pendapat dengan pandangan hakim pengadilan agama bekasi yang mana para hakim akan mempertimbangkan dalam memberikan harta warisan setelah faktor-faktor tersebut terpenuhi maka hakim akan memberikan wasiat wajibah kepada anak non muslim, akan tetapi penulis tidak setuju karna perbedaan agama adalah penghalang dalam memberikan wasiat wajibah dan dalam hal saling mewarisi. Yurisprudensi Dalam Kamus Fockema Andrea sebagaimana yang dikitip oleh Lilik Mulyadi,sh,(1998:14) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan Yurisprudensi adalah Pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama. Hakim
tidak
boleh
terikat
pada
putusan
Yurisprudensi
tersebut,sebab Indonesia tidak menganut asas” The Binding force of precedent”, jadi bebas memilih antara meninggalkan Yurisprudensi dengan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya.
72
Hakim Harus berani meninggalkan yurisprudensi kalau sekiranya yurisprudensi itu telah usang dan sudah tidak sesuai dengan keadaan zaman dan sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 88 Faktor Agama sebagai penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan warisan sendiri sudah merupakan kesepakatan sebagian ulama yang menyatakan bahwa ada 3(tiga) hal yang dapat menghalangi untuk mewarisi, yaitu perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama 89. Ketentuan ini dikuatlah melalui salah satu hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh bukhori dan Muslim, dari Usamah bin Zaid yang artinya: Tidak mewarisi seorang muslim terhadap non-muslim” Dari ketentuan tersebut, maka faktor agama merupakan salah satu penghalang bagi seseorang ahli waris untuk mendapatkan bagian warisan. 90 Penerapan faktor penghalang bagi ahli waris
non muslim
diimplementasikan berbeda dalam praktek pengadilan. Dalam salah satu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap 91, Mahkamah Agung memutuskan untuk memberikan warisan melalui wasiat wajibah. Dari putusan ini terlihat bahwa faktor perbedaan agama yang menjadi penghalang untuk mendapatkan bagian waris diabaikan melalui penetapan wasiat wajibah. Ketentuan dalam Al-Qur’an dan 88
Basiq Djalil” Peradilan Agama Di Indonesia” Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2006,h. 156. 89 Munchit A.Karim” Problematika Hukum Waris Islam Di Indonesia”, Jakarta: Publitbang Kehidupan Keagamaan 2002, h. 263. 90 Habiburrahman” Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Kementeran Agama RI 2011, h. 190. 91 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 juli 1998.
73
Hadist sebagai sumber hukum Islam, ketentuan yang menjadi dasar hukum halangan bagi ahli waris non muslim adalah sura at tahrim, yang berbunyi,
(٦/٦٦/)ااﲢﺮﱘ
Artinya” Hai Orang –orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan –NYA kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.( QS.At-tahrim( 66) : 6)
Ayat ini merupakan dasar hukum Islam kewajiban setiap muslim untuk memelihara dan menjaga seluruh anggota keluarga dari hal-hal yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak keimanan terhadap Allah SWT. Dikaitkan dengan aqidah dan keimanan seorang muslim, maka ayat ini memerintahkan agar setiap muslim melakukan seluruh daya upaya untuk menjaga, memelihara, sekaligus juga mencengah terjadinya penyimpangan keimanan baik yang dilakukan oleh dirinya sendiri maupun orang-orang dalam ikatan kekeluargaan lainnya.
74
Al-Qur’an dalam surat al-lukman juga dijadikan dasar penghalang kewarisan bagi non muslum yaitu surat al-lukman ayat: 13
(۱۳/۳۱/ )ﻟﻘﻤﺎن
Yang artinya” Dan ingatlah ketika lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya,” wahai anakku’ janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.”( QS. Al-lukman (31): 13). Dari ayat ini dapat diambil suatu perintah dimana yang pertama kali diajarkan kepada anak kita adalah untuk tidak mempersekutukan Allah, dimana yang pertama sekali diajarkan kepada anak adalah tauhid, memegang teguh agama Islam dan tidak mempersekutukan Allah. Dengan dihapusnya hak seorang ahli waris karena yang bersangkutan meninggalkan aqidah Islam, maka niat untuk murtad akan dapat diminimalisir. Dan Ayat yang dijadikan rujukan adalah, QS.Al- hud( 11): 42) dan QS.Al- hud (11):46.
(٤۲/۱۱/)ھﻮد
Yang artinya: Dan kapal itu berlayar membawa mereka kedalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, “wahai anakku’ Naiklah (kekapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.”
75
(٤٦/١١/ )ﻫﻮد
Yang artinya: Dia (Allah) berkata,” Wahai Nuh’ sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada –Ku sesuatu yang engkau ketahui (hakekatnya). Aku menasehatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh”.( Qs. Hud (11): 46
Dari ayat ini ada gambaran bahwasanya, anak Nabi Nuh yang bernama Kan’an itu tidak mau mengikuti ayahnya(Nabi Nuh) untuk menaiki perahu, akan tetapi Kan’an ini tidak mau mengikuti untuk menaiki perahu, bahkan dia menjawab untuk pergi lari ke gunung guna mendapat keamanan , Nabi Nuh memohon kepada Allah untuk mengampuni anaknya ( Kan’an) akan tetapi Allah berkata dia bukanlah termasuk keluargamu. Karna Kan’an tidak mau mengikuti ajakkan ayahnya untuk mengikuti agama Islam bahkan dia mengikuti orangorang kafir dan yang tidak mau mengikuti orng-orang yang beriman.
92
Dari ketentuan berdasarkan sumber hukum Islam tersebut, maka eksistensi halangan menerima bagian waris terkait perbedaan agama telah memiliki dasar hukum yang kuat. Oleh karna itu, tidak tepat bila halangan tersebut dihapuskan karena akan melanggar sendi-sendi hukum Islam yang telah Diatur melalui Al-qur’an dan Al-hadits.
92
Habiburrahman” Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Kementrian Agama RI 2011, H. 194.
76
Tujuan hukum Islam dalam Al-Maqasid Al-Khamsah Hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia di dunia sekaligus juga akhirat. Tujuan ini kemudian dirumuskan dalam tujuan khusus lainnya yang dikenal dengan istilah al-maqasid al-khamsah. Berdasarkan rumusan al-maqasid al- khamsah, maka ada lima tujuan khusus bagi penerapan hukum Islam, yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Penerapan tujuan tersebut dilakukan dengan skala prioritas, dimana tujuan pertama lebih didahulukan dibanding tujuan kedua, demikian pula terhadap tujuan berikutnya Berdasarkan skala prioritas, maka memelihara agama merupakan tujuan pertama dari penerapan hukum Islam. Pemeliharaan jiwa,akal, keturunan, maupun harta akan dikesampingkan demi untuk memelihara agama.
Bila
kemudian
dikaitkan
dengan
pertimbangan
untuk
memberikan wasiat wajibah bagi mereka yang tidak beragama Islam dalam al-maqasid al-khamsah ini harus menjadi dasar pertimbangan yang utama bagi para hakim. 93 Maka dasar pertimbangan yang digunakan hakim dalam memutuskan wasiat wajibah bagi mereka yang tidak beragama Islam tidak
dapat
diterima.
Hakim
harus
selalu
mengingat
dan
mengimplimentasikan tujuan hukum Islam dan sekaligus mendasarkan pertimbangan pada sumber hukum Islam, baik itu Al-Qur’an dan AlHadits. Pertimbangan untuk mewujudkan asas keadilan dengan 93
Destri, haniahyulkarnain ,dkk,” Pengaturan dan Implementasi wasiat wajibah di Indonesia”( feb 2015) h.327.
77
memberikan harta yang seharusnya bukan merupakan hak seseorang bertentangan dengan tujuan hukum Islam tidak sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
ﻋﻦ ا ﺳﺎ ﻣﮫ ﺑﻦ زﯾﺪ ر ﺿﻲ ا ہﻠﻟ ﻋﻨﮫ ﻗﺎ ل ر ﺳﻮ ل ا ہﻠﻟ ﺻﻠﻲ ا ہﻠﻟ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﻻﯾﺮث اﻟﻤﺴﻠﻢ ا ﻛﺎﻓﺮ وﻻ اﻛﺎﻓﺮ اﻟﻤﺴﻠﻢ Dari Usamah bib Zaid ra, ia berkata:bahwa Rasulullah Saw, bersabda: “ Muslim tidak mempusakai orang kafir dan kafir tidak mempusakai orang muslim”. ( H.R.Jamaah, kecuali Al-Nasa’i) Mencermati kesimpulan ulama fikih dititik dari sudut pandang kekuasaan Allah, bahwa kesimpulan tersebut atas dasar Hadits yang muttafaq’alaih, maka dapat diyakini kebenarannya, karena apa yang diucapkan Rasulullah SAW diyakini kebenarannya, sesuai dengan firman Allah Ta’ala. 94 Adapun menurut sudut pandang hukum,” setiap orang beragama tunduk kepada hukum agama yang dianutnya”, maka sebagai orang Islam yang taat dan patuh kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya tidak boleh mencari-cari pilihan lain apabila Allah dan Rasul –Nya telah memberikan penggarisan yang jelas dan tegas. Mencari haillah atau pembenaran atas hasil pemikiran dengan menyingkirkan tetentuan Allah dan Rasul Nya, telah diperingatkan, ditegur, diancam, dan berbagai titel seperti dhalim,
94
Muhammad Amin Suma “ Keadilan Waris Islam” Jakarta: Raja Grafindo Persada 2013, h. 51.
78
fasiq, kafir, dan sebagainya agar tidak menyimpangi hukum-hukum Allah. 95 Ulama-ulama mujtahid sepakat atas dasar nash-nash Hadis terebut, bahwa keluarga dekat(anak kandung sekali pun) yang tidak muslim/ muslimah bukan ahli waris. Non muslim masuk kategori penghalang untuk mendapatkan warisan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Al-Syathiby dalam teori maqashid al- syari’ah.” Syariat dibuat sesungguhnya demi kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat”. 96 Ketentuan juga diperkuat oleh Surat An-Nisa ayat (13) yang berbunyi:
١٣/٤/) )اﻟﻨﺴﺎء (Hukum-hukum tersebut) itu adalah Ketentuan-ketentuan dari Allah.Barang siapa taat Kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungaisungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar.( QS.An-Nisa’/4/13) Kata-kata”(hukum-hukum tersebut),” merujuk pada ketentuan ayat-ayat yang mengatur tentang warisan.Ayat ini kemudian menguatkan 95
Destri dkk” Pengaturan dan Implementasi wasiat wajibah di Indonesia” H. 329. Habiburrahman” Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam DI Indonesia” Jakarta: Kementrian Agama RI 2011,H. 191. 96
79
kedudukan ahli waris yang tidak beragama Islam sebagai pihak yang terhalang mendapatkan bagian waris karena hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Kesimpulan Penulis dari Pandangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Tentang Hak Waris Anak Non Muslim adalah: 1. Pengadilan Agama bekasi belum pernah memutus perkara anak non muslim, akan tetapi hakim pengadilan agama bekasi akan melihat dan menimbang Yurisprudensi MA tersebut dengan terlebih dahulu,Hakim pun akan menjadikan yurisprudensi MA ini menjadi acuan,dan bahan rujukan dalam memutus perkara kewarisan non muslim dengan melihat dan mempelajari beberapa faktor, dan hakim pun melihat terlebih dahulu hukum yang hidup/ yang biasa digunakan dilingkungan anak non muslim tersebut apabila ada kasus kewarisan anak non muslim disekitar tempat tinggal mereka yang terkait,apabila beberapa faktor terpenuhi disitulah hakim memberikan putusan yang sesuai dengan ketentuan yang adil dan tidak adanya deskriminatif dalam putusan tersebut dengan tidak lepas dari syariat Islam 2.
Pandangan Hakim Pengadilam Agama Bekasi terhadap hak waris anak non muslim, bahwa hakim Pengadilan Agama Bekasi memandang kewarisan anak non muslim ini sangat lah hal yang benar-benar harus dipertimbangkan, hakim memandang kewarisan anak non muslim ini adalah putusan yang diperlukan beberapa faktor pertimbangan dahulu
80
81
apabila terjadi perkara hak waris anak non muslim,dilihat dahulu apakah anak tersebut berbakti kepada orang tuanya, apakah anak ini berbuat baik kepada orang tuanya,diharapkan juga anak ini apabila diberi hak waris dia bisa mendapat hidayah untuk bisa masuk Islam ,hakim pun secara logika
memberi
gambaran,
anak
angkat
saja
diberi
wasiat
wajibah,alangkah tidak adil apabila anak kandung,anak biologis yang lebih dekat dalam emosional orang tua hanya karna berbeda agama anak ini tidak diberi warisan. 3.
Bahwa kajian yuridis tentang kewarisan anak non muslim menurut fuqaha dan per undang-undangan sebagai berikut: Menurut fuqaha Para ahli waris telah sepakat bahwasanya, berlainan agama antara orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang mewarisi. Berlainan agama merupakan penghalang untuk mewarisi dengan hukum waris. Dengan demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam dan deorang Muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir, sebagai mana sabda Nabi saw, berikut. Hadist Nabi saw yang artinya:” Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang islam(H.R. Muttafaq’ alaih). Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam konteks hukum Islam di indonesia, keberadaan hadits tersebut telah dimentahkan oleh KHI,yakni jika dalam kitab-kitab fikih diberi
82
judul mawani al-irts, sedangkan dalam KHI tidak diatur jika seseorang terhalang hak waris karena berbeda agama dapat ditentukan menurut putusan hakim yamg memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht). Hal ini terdapat dalam pasal 173 KHI yang menyatakan bahwa: seseorang terhalang menjadi ahli waris, apabila dengan putusan hakim telah mempunyai hukum tetap, dihukumi karena: a.
Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
b.
Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 ( lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
B. Saran -saran Berdasarkan pemaparan skripsi ini maka penulis memaparkan beberapa saran yang diharapkan dapat bermamfaat bagi semua pihak diantaranya sebagai berikut: 1.
Kepada Pengadilan Agama supaya bisa memberikan putusan yang seadiladilnya untuk para pencari keadilan apalagi bagi ahli waris yang beda agama untuk tidak merasa adanya perbedaan dalam putusan hak waris.
2.
Diharapkan juga dengan adanya putusan yang adil dan tidak ada nya sifat untuk membedakan dari hak-haknya, diharapkan juga pihak yang non muslim bisa kembali untuk masuk Islam karna terharu akan putusan
83
Pengadilan yang adil dan tepat dalam memutus perkara hak waris non muslim, sehingga tergerak hatinya untuk masuk Islam . 3.
Kepada para hakim, untuk lebih bisa mempertimbangkan tentang hak waris anak non muslim supaya bisa menerima hak nya tanpa ada pengecualian.
DAFTAR PUSTAKA
A.Karim Munchit. Proplematika Hukum Kewarisan di Indonesia,Jakarta:: Puslitbang kehidupan kehidupan keagamaan , 2012. Abta Ashari dan Syakur Abd Djunaidi , Ilmu waris al-faraid,Jakarta: Pustaka Hikmah Persada 2005 Ahmad Kamil dan M.Fauzan. Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi,Jakarta:: Prinada Media, 2004. Ali Zainuddin. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Arifin Jaenal” Peradilan Agama dalam Bingkai Hukum Di Indonesia” Jakarta: Kencana Media Group 2008. Ali Zainuddin.” Hukum Perdata Islam Di Indonesia” Jakarta: Sinar Grafika 2006. Al-Utsaimi bin Saleh Muhammad”Ilmu Waris” Tegal: Ash-Shaf Media 2007. Abta Asyhary dan Syakur Abd Djunaidi “ Ilmu Waris Al-Faraid” Jakarta: Bulan Bintang 2005. Badan Pembinaan Hukum Nasional Dapertemen Hukum dan Ham RI. Telaah Akademik Hukum Tentang Yurisprudensi Pengadilan Agama di bidang waris, tahun 2003. Bekasi PA, Sejarah Pengadilan Agama Bekasi diakses tanggal 2 Februari 2015 dari WWW.pabekasi.pta-bandung.net Bintaria Aris,Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Rangka fiqh Qadha, Jakart:: Raja Grafindo Persada 2012 Bisri Hasan, Peradilan Agama di Indonesia ,Jakarta:Raja Grafindo Persada 2003. Dapertemen Agama RI, Kedudukan Wasiat dalam system pembagian harta peninggalan, Jakarta: Kementrian Agama, 2012. Djalil Basiq” Peradilan Agama Di Indonesia” jakarta: Kencana Prenada Media Group 2006 Fauzan M, Pokok-pokok Hukum Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah,Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2007
84
85
Farman Ali” Kewarisan Dalam Al-Qur’an” Jakarta: Raja Grafindo Persada 1995. Harahap yahya, Kedudukan Kewenangan dan acara Peradilan Agama,Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Hasan Ali, Hukum Waris Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang 1996 Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL- azhar Mesir, Hukum Waris, Jakarta: Senayan Abadi Publising 2000. K Suhrawardi dan Simanjuntak Komis” Hukum Waris Islam”Jakarta: Sinar Grafika 2004. Lubis Sulaikin ,Wismar Ain Marzuki ,dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia,Jakarta:.Kencana Prenada Media Group 2005 Manan Abdul dan Fauzan M, Pokok-pokok Hukum Perdata,Jakarta:Raja Grafindo Persada 2002 Marzuki Mahmud Peter. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Muhammad Abu Zuhrah ,Ilmu Waris Jakarta: Lentera Basritama 2001. Muhibun dan Wahid Abdul. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2009. Mustofa” Kepaniteraan Peradilan Agama” Jakarta: Prenada Media Group 2005 Nasution Husain Amin, Hukum Kewarisan,Jakarta: Raja Grafindo Persada 2012 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. Perundang-undangan dan Yurisprudensi ,Jakarta: Citra Aditya Bakti,1989. Putusan Mahkamah Agung RI No 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 Rahman abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Cv Akademika Pressindo,2010. Rahman Habibi Rekontruksi Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: Al-Bayan 2011. Rasyid Chatib dan Syaifuddin “ Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek Pada Peradilan Agama” Jakarta: UII Press Yogyakarta 2009
86
Rasyid A Roihan” Hukum Acara Peradilan Agama” Jakarta: Raja Grafindo Persada 2002. S.Salman Otje dan Haffas Mustafa, Hukum Waris Islam, Jakarta: Refika Aditama 2006. Suma Muhammad Amin,” Keadilan Waris Islam” Jakarta: Raja Grafindo Persada 2013. Shiddieqy ash Muhammad Hasby, Fiqh Mawaris,Jakarta :Pustaka Putra 2001. Sunggono Bambang. Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2003. Salman Otje Dan Haffas Mustafa” Hukum Waris Islam” Jakarta: Refika Aditama 2002. Suparman Eman, Hukum Waris Indonesia, Jakarta: Revika Aditama 2007. Syarifuddin Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta,:.Prenada Media 2004. Shiddieqy Ash- Hasby “ Fiqhul Mawari” Jakarta: Bulan Bintang 1967. Suparman Eman” Hukum Waris Indonesia” Jakarta: Refika Aditama 2005. Thalib Sajuti, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Wawancara pribadi dengan Drs. Amri , SH
Hakim
Pengadilan
Agama
Bekasi
Bapak
Wawancara Pribadi dengan Wakil Pengadilan Agama Bekasi Bapak. Dr.Drs. H.sirajuddin Saillelah, SH.MHI. Wawancara pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Ibu Firris Barlian,S.Ag,MH. Yanggo T. Chuzaimah dan Anshaey Hafiz” Problematika Hukum Islam Kontemporer” Jakarta: Pustaka Firdaus 2008. Zuhriah Erfaniah” Peradilan Agama Di Indonesia” Jakarta: Uin Malang Press 2008. Zuhrah Abu Muhammad, Hukum Waris,Jakarta:. Lentera Baristama 2001
Hasil Wawancara Nama hakim
: Dr. Drs. H. SIRAJUDDIN SAILELAH,SH. MHI
Jabatan
: Wakil
Golongan
: IV/ b
. P. Bagaimana Pandangan Hakim Terhadap Yurisprudensi MA ? .j. Menurut pandangan beliau, Yurisprudensi MA ini menganut asas keadilan, karna menurut beliau anak angkat saja yang tidak ada hubungan darah mendapatkan bagian dari harta warisan dari orang tua angkatnya, alangkah tidak adil apabila anak kandung yang berbeda agama tidak mendapatkan disebabkan berbeda keyakinan, keyakinan itu bukan muamalah akan tetapi keyakinan itu hak masing-masing orang. .P. Dasar pertimbangan hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus perkara hak waris anak non muslim? .J. Menurut beliau , dasar pertimbangan itu kepada pendekatan filosofi, keadilan. Kalau ditinjau dari hukum normatif, KHI, AL –Qur’an, Hadist itu tidak memberikan hak waris kepada anak non muslim. .P. Faktor-faktor hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus perkara hak waris anak non muslim? .J. Melihat kepada kedekatan emosional anak dengan pewaris, kepedulian anak terhadap orang tuanya, itu menjadi faktor-faktor dalam memutus perkara terhadap anak non muslim. .P. Apakah hakim pengadilan agama sudah melaksanakan Yurisprudensi MA terhadap hak warisa nak non muslim? .J. Sejauh ini perkara dalam kewarisan anak non muslim belum ada di pengadilan agama bekasi maka dari pada itu hakim belum melaksanakan Yurisprudensi MA ini. Akan tetapi apabila ada perkara hak waris non muslim, maka hakim akan
88
89
mempertimbangkan Yurisprudensi MA setelah terlebih dahulu melihat dan memenuhi faktor dan syarat-syarat yang sudah ditentukan.
90
Hasil Wawancara Nama hakim
: Drs. AMRI , SH
Jabatan hakim
: Hakim Pratama Utama
Golongan
: IV/ a
.P. Bagaimana Pandangan Hakim Terhadap Yurisprudensi MA? .J. Menurut pandangan beliau Yurisprudensi MA tersebut sudah memberikan keadilan kepada pencari keadilan, ketika hakim MA memutuskan perkara itu berarti beliau sudah menimbang dan memberikan putusan yang seadil-adilnya. .P. Dasar pertimbangan hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus pekara kewarisan beda agama? .J. Berdasarkan kepada kedekatan anak kepada pewaris, berdasarkan jasa anak kepada pewaris,berdasarkan kepada keadilan. .P. Fakto-faktor hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus perkara hak waris anak non muslim? .J. Jasa dari anak tersebut kepada pewaris, harus dibuktikan , pengharapan kepada keadilan, hukum yang hidup di masyarakat. .P. Apakah hakim pengadilan agama sudah melaksanakan Yurisprudensi MA, terhadap hak waris anak non muslim? .J. Sejauh ini belum ada perkara yang berkaitan dengan kewarisan anak non muslim, jadi hakim di pengadilan agama bekasi belum melaksanakan Yurisprudensi MA ini.
91
Hasil Wawancara Nama hakim
: Firris Barlian, S.Ag, MH.
Jabatan
: Hakim Pratama Madya
Golongan
: III/C
.P. Bagaimana pandangan hakim terhadap Yurisprudensi MA terhadap hak waris anak non muslim? .J. Menurut beliau Yurisprudensi MA ini mencerminkan keadilan,dan menyesuaikan kepada hak yang sudah ditentukan terhadap warisan anak tersebut. .P. Dasar pertimbangan hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus perkara hak waris anak non muslim? .J. Beliau lebih melihat kepada kebaktian anak tersebut, ketaatan anak tersebut kepada orang tuanya, .P. Faktor-faktor hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus perkara hak waris anak non muslim? .J. Hakim pengadilan agama akan menimbang dan lebih memperhatikan kepada ketaatan anak tersebut,keshalehan anak tersebut, walaupun berbeda agama akan tetapi dia berbakti kepada kedua orang tuanya, dia tidak durhaka, dia taat,dari faktor-faktor ini pertimbangan hakim dalam memutus perkara ini. .P. Apakah hakim pengadilan agama bekasi sudah melaksanakan Yurisprudensi MA ini? .J. Sejauh ini, karna belum ada perkara kewarisan anak non muslim,pengadilan agama bekasi belum memutus perkara ini,akan tetapi apabila anak kasus kewarisan anak non muslim, hakim pun akan melaksanakan Yurisprudensi MA, dengan mempertimbangkan dengan beberapa syarat-syarat diatas.
Hasil Wawancara Nama Hakim
: Praptiningsih, SH
Jabatan
: Hakim Madya Muda
Golongan
: IV/b
P.Bagaimana pandangan hakim terhadap Yurisprudensi MA terhadap kewarisan anak non muslim? J. Menurut saya, itu putusan yang memberikan kesamaan di muka hukum, dengan memberikan hak waris terhadap anak non muslim yang mana ditinjau dari agama Islam salah satu penghalang untuk menerima waris. P. Dasar pertimbangan hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus perkara hak waris anak non muslim? J. Beliau berpendapat dilihat dari bagaimana sikap anak kepada ibu bapaknya, apakah dia membangkang atau apa alasan dia untuk murtat ,dan bagaimana hubungan dengan ibu bapaknya. P. Faktor-faktor hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus perkara hak waris anak no muslim? J. Hakim pengadilan agama akan menimbang dan lebih memperhatikan bagaimana kedekatan anak dengan ibu bapaknya, bagaimana hubungan anak dengan ibu bapaknya,apakah ada hal-hal yang disembunyikan dalam hal ini. P. Apakah hakim pengadilan agama bekasi sudah melaksanakan Yurisprudensi MA ini? J. Sejauh ini karna belum ada perkara kewarisan anak non muslim, pengadilan agama
belum memutus perkara ini, akan tetapi, apabila ada kasus kewarisan
anak non muslim, hakim pun akan melaksanakan Yurisprudensi MA dengan mempertimbangkan beberapa syarat-syarat dan faktor-faktor .
92
93
Hasil wawancara Nama hakim
: Dra. Hj. Salnah SH,MH
Jabatan
: Hakim Pratama Utama
Golongan
: IV/b
.P. Bagaimana pandangan Hakim terhadap Yurisprudensi MA terhadap hak waris anak non muslim? J. Menurut beliau, Yurisprudensi MA ini ketika itu memberi keputusan yang ketika memberikan putusan itu adil karna tidak adanya perbedaan hak dalam waris walaupun ahli waris tersebut non muslim, sehingga dia pun mendapatkan haknya. P. Dasar pertimbangan hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus perkara hak waris anak non muslim? J. Kita hakim akan berusaha memberikan keadilan akan tetapi kita juga terlebih dahulu menelaah melihat dan mempelajari bagaimana dengan sikap ahli waris non muslim tersebut, terlebih dahulu mempelajari akan sifat dan kharakter anak tersebut terhadap orang tuanya. P. Faktor-faktor hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus perkara waris anak non muslim? J. Hakim pengadilan agama akan lebih melihat bagaimana faktor kebaikan anak, faktor kedekatan anak, faktor kepedulian anak terhadap orang tuanya. P. Apakah hakim pengadilan agama bekasi sedah melaksanakan Yurisprudensi MA ini? J. Sejauh ini, karna belum ada kasus kewarisan anak non muslim kami belum memutus, akan tetapi apabila ada kasus perkara kewarisan anak non muslim, maka Yurisprudensi MA ini pun akan jadi tolak ukur, akan jadi acuan dan pertimbangan kami, dan akan menimbang syarat-syarat dan beberapa faktor terlebih dahulu.
94
Hasil wawancara Nama hakim
: Dra .Hj.St. Nadirah,MH
Jabatan
: Hakim Pratama Utama
Golongan
: IV/a
P. Bagaimana pandangan hakim terhadap Yurisprudensi MA terhadap hak waris anak non muslim? J. Menurut saya, ini putusan mungkin ketika mempertimbangkan perkara ini para hakim MA pun galau,dan bimbang untuk memutuskan ,akan tetapi karna keadaan dan otomatis semua mengharapkan keadilan tanpa adanya perbedaan, disinilah hakim MA mengambil sikap untuk memberikan hak waris kepada anak non muslim dengan tidak adanya para pihak yang merasa tersisihkan dengan memberikan hak waris tersebut melalui wasiat wajibah. P.Dasar pertimbangan hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus perkara hak waris anak non muslim? J. Beliau melihat kepada bagaimana hubungan anak dan orang tua, kebaktian anak, kepedulian anak, dan kebaikan anak kepada kedua orang tuanya. P. Faktor-faktor hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus perkara hak waris anak non muslim? J. Hakim pengadilan agama akan melihat dari faktor kepedulian anak, faktor kebaktian anak, aktor keshalehan anak, faktor ketaatan anak kepada kedua orang tuanya, P. Apakah hakim pengadilan agama bekasi sudah melaksanakan Yurisprudensi MA ini? J. Sejauh ini, karna belum ada perkara kewarisan anak non muslim, pengadilan agama bekasi belum memutus perkara ini, akan tetapi apabia ada kasus kewarisan anak non muslim ini,hakim pun akan mempertimbangkan Yurisprudensi MA sebagai acuan dalam kasus yang sama, begitu juga dengan beberapa pertimbangan baik dari segi beberapa faktor dan syarat-syarat yang diperhatikan sebagai pertimbangan.
95
Hasil wawancara Nama hakim
: H. M. Arief,SH,MH
Jabatan
: Hakim Pratama Utama
Golongan
: IV/a
.P. Bagaimana pandangan hakim terhadap Yurisprudensi MA tentang hak waris anak non muslim? J. Menurut beliau, mungkin ketika memutus perkara itu hakim ingin memberikan tanggapan yang berbeda menurut non muslim dimana agama Islam itu tidak membedakan agama sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan, dan keadilan itu pun tidak membedakan agama seseorang, kalau benar keputusan beliau itu dapat dua pahala, akan tetapi apabila salah dapat satu, nabi muhammad pun tidak menjadikan perbedaan pendapat itu sebagai kejahatan bahkan sebagai rahmah, jadi boleh saja berbeda pendapat dalam memutuskan dan menafsirkan apabila ada perkara. P.Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam memutus perkara hak waris anak non muslim? J. Dalam hal ini dasar pertimbangan kembali kepada al-qur’an dan hadist, kepala maslahah mursalah, dengan mempelajari juga untuk memberikan keputusan terhadap kewarisan anak non muslim, jadi terlebih dahulu dilihat beberapa faktor dan syarat-syarat yang terlebih dahulu dipertimbangkan. P. Faktor- faktor hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus perkara hak waris anak non muslim? J. Hakim pengadilan agama akan melihat terlebih dahulu bagaimana anak itu sifatnya dalam berbakti kepada orang tuanya, bagaimana kedekatan anak, kepedulian anak terhadap orang tuanya, dari situ dilihat faktor-faktor yang akan jadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara hak waris anak non muslim. P. Apakah hakim pengadilan agama bekasi sudah melaksanakan Yurisprudensi MA ini? J. Sejauh ini, hakim pengadilan agama bekasi belum melaksanakan Yurisprudensi MA karna belum adanya kasus atau perkara waris non muslim yang ada di pengadilan agama bekasi, akan tetapi apabila ada perkara maka akan dilihat
96
Yurisprudensi MA ini, akan jadi rujukan akan tetapi dilihat juga bagaimana dengan faktor dan syarat yang dipelajari terlebih dahulu, supaya putusan tersebut dapat meliputi keadilan, maslahatan , dan baik juga untuk para pihak yang berperkara.
97
Hasil Wawancara Nama Hakim
: Drs.H.Mamat Ruhimat, SH,MH.
Jabatan
: IV/b
Golongan
: Ketua
P. Bagaimana pandangan hakim terhadap Yurisprudensi MA tentang hak waris anak non muslim? J. Menurut beliau, putusan hakim MA ini ketika memutus lebih mengutamakan ham daripada ketentuan yang sudah ada dalam KHI dan Hadist Nabi, tetapi demi membela keadilan para hakim MA ketika itu berani untuk memberikan hak waris terhadap anak non muslim tersebut. P. Dasar pertimbangan hakim pengadilan agama agama bekasi dalam memutus perkara hak waris anak non muslim? J. Beliau sebagai hakim, akan melihat terlebih dahulu bagaimana sifat anak, apakah anak ini durhaka, membangkang, atau justru menjaga hubungan baik dengan kedua orang tuanya. P. Faktor-faktor hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus hak waris anak non muslim? J. Hakim pengadilan agama akan melihat kepada tindakan anak kepada orang tua dan lebih dilihat dari kebaktian anak tersebut dalam keseharian dan pergaulannya kepada kedua orang tuanya. P. Apakah hakim di pengadilan agama sudah melaksanakan Yurisprudensi MA? J. Sejauh ini, di pengadilan agama bekasi belum ada memutus perkara tentang hak waris anak non muslim, akan tetapi apabila ada perkara hak waris non muslim, maka hakim akan mempertimbangkan faktor-faktor yang diteliti terlebih dahulu dari kebaikan anak untuk orang tuanya, dan Yurisprudensi MA tersebut pun akan dijadikan rujukan dan acuan dalam memutus perkara yang sama.
98
Hasil Wawancara Nama Hakim
: Dr. M.Amin Muslish.Az.SH.MH.
Jabatan
: Hakim Madya Muda
Golongan
: IV/c
P. Bagaimana pandangan hakim terhadap Yurisprudensi MA? J. Beliau memandang bahwasanya hakim MA memberikan hukum lebih mengedepankan hak asasi manusia, dimana perbedaan agama tersebut bukanlah hal yang penting untuk dipermasalahkan akan tetapi hakim MA lebih memilih untuk memberikan hak waris berupa wasiat wajibah. P. Dasar pertimbangan hakim pengadilan agama dalam memutus perkara hak waris anak non muslim? J. dilihat dari segi KHI dan Hadist maka itu tidak akan memberikan hak waris anak non muslim, akan tetapi lebih melihat dari segi ketaatan anak kepada orang tuanya, dan anak non muslim tersebut menjaga hubungan yang baik dengan kedua orang tuanya. P. Faktor-faktor hakim pengadilan agama bekasi dalam memutus perkara hak waris anak non muslim? J. Dari segi faktor maka hakim di pengadilan agama bekasi akan melihat dari segi ketaatan anak, kebaikan anak, kebaktian anak kepada kedua orang tuanya. P. Apakah hakim pengadilan agama bekasi sudah melaksanakan Yurisprudensi MA? J. Sejauh ini, di pengadilan agama belum ada perkara hak waris anak non muslim, akan tetapi apabila ada perkara maka hakim akan menelaah dahulu tentang ketaatan anak, kebaktian anak, keshalehan anak, dan hakim akan mempertimbangkan Yurisprudensi MA tersebut dalam perkara yang sama.