Pakar Akuntansi Berpulang
Publik
UNAIR NEWS – Suasana duka mengiringi kepergian akademisi sekaligus praktisi akuntansi, Drs. Ec. Edi Subyakto, Ak., M.Si. Salah satu dosen senior Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga tersebut berpulang pada usia ke-69 tahun. Almarhum yang dikenal ramah dan cerdas ini meninggal pada usia ke-69 tahun. Edi, sapaan akrabnya, meninggal dunia pada Senin (15/5) sekitar pukul 23.55 di Rumah Sakit Mitra Keluarga Waru. Saat dijenguk kolega dosen Departemen Akuntansi beberapa hari sebelumnya, kondisi almarhum sudah dibius untuk mengurangi rasa sakit. “Pada hari Minggu, saya menjenguk almarhum. Kondisinya sudah dibius dan tidak menyangka almarhum akan berpulang secepat ini,” kata Drs. Agus Widodo Mardijuwono, M.Si., Ak. Agus mengaku kehilangan sosok teman terbaiknya. Baginya, almarhum adalah teman yang baik, bersahabat, senang menolong, dan tidak pernah marah. Karakter khas mendiang yang mudah berbagi sudah ditanamkan sejak dulu, bahkan sejak masih menjadi mahasiswa. “Sejak kami masih kuliah, kami bersama-sama mengajarkan dan menularkan ilmu kepada adik-adik tingkat yang membutuhkan,” tutur Agus yang juga Ketua Departemen Akuntansi. Semasa hidup, almarhum dikenal sabar dalam membimbing mahasiswa-mahasiswanya. Sekitar tahun 1980, almarhum bersama Agus aktif menjadi tentor. Meskipun harus datang ke rumahrumah dengan mengendarai motor, semangat yang tinggi untuk menyebarkan ilmu pengetahuan tidak menyurutkan niat almarhum untuk mencerdaskan bangsa.
Setelah lulus dari UNAIR dan menjadi dosen, almarhum tidak berhenti untuk mengembangkan potensi diri sebagai seorang akuntan, yaitu dengan menjadi praktisi sebagai akuntan publik. Ikhwal tersebut membuat almarhum dikenal sebagai akuntan yang luar biasa. “Sebagaimana seorang dokter, seorang akuntan akan terasa manfaatnya ketika dapat menjadi praktisi di lapangan,” jelas Agus. Dalam karirnya, Edy menjadi pengajar mata kuliah audit dan akuntansi keuangan sekaligus praktisi. Almarhum juga pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi D-3 Akuntansi dan Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi FEB UNAIR. Di sisi lain, almarhum dikenal sosok ayah tauladan. Almarhum meninggalkan enam putra dan putri yang sebagian besar sudah sukses meniti karirnya. Almarhum kini telah berpulang. Keluarga, sahabat, kolega, dan mahasiswa-mahasiswa terpaku kelu mendengar salah satu putra bangsa mendadak dipanggil-Nya pulang. Selamat jalan Drs. Ec. Edi Subyakto, Ak. Msi, pahala untukmu akan terus mengalir lewat ilmu dan mahasiswa yang senantiasa berguna bagi nusa dan bangsa. Penulis: Siti Nur Umami Editor: Defrina Sukma S
Prof. Coen, Guru Besar FKG yang Kaya Penelitian dan
Prestasi UNAIR NEWS – Prof. R.M Coen Pramono menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga, pada tahun 1978. Pada tahun 1984, Prof. Coen menuntaskan pendidikan magister kesehatan gigi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pendidikan spesialis bedah mulut dan maksilofasial juga ia tuntaskan di UGM. Dia yang kini menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Gigi dan Mulut UNAIR itu memiliki sejumlah penelitian yang terpublikasi pada jurnal internasional bereputasi dan puluhan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal nasional bereputasi. Penelitian yang telah terpublikasikan secara internasional antara lain, “Mandibular reconstruction using non-vascularized autogenous bone graft applied in decorticated cortical bone” pada tahun 2011, “The Osteogenic Capacity of Human Amniotic Membrane Mesenchymal Stem Cell (Hamsc) and Potential for Application in Maxillofacial Bone Regeneration in Vitro Study” pada tahun 2014, dan “Healing Mechanism and Osteogenic Capacity of Bovine Bone Mineral – Human Amniotic Mesenchymal Stem Cell and Autogenous Bone Graft in Critical Size Mandibular Defect” pada tahun 2015. Sedangkan, penelitian yang terpublikasi pada jurnal nasional bereputasi antara lain “Cytotoxicity difference of 316L stainless steel and titanium reconstruction plate” pada tahun 2011, “Effect of soybean extract after tooth extraction on osteoblast numbers” pada tahun 2011, dan “Degrees of chitosan deacetylation from white shrimp biomaterials” pada tahun 2012.
shell
waste
as
dental
Prof. Coen memiliki dua paten alat operasi rahang. Yaitu, plat rekonstruksi rahang yang pemotongannya tanpa melibatkan sendi mandibula, dan plat rekonstruksi rahang yang pemotongannya melibatkan sendi mandibula.
Guru Besar Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial FKG itu sudah menerbitkan empat buku yaitu “Kista Odontogen dan Non Odontogen” pada tahun 2006, “Odontektomi dengan Metode Split Technique” pada tahun 2006, “Penuntun Praktik Kerja Profesi Dokter Gigi” pada tahun 2014, dan “Penuntun Kepaniteraan Klinik Pendidikan Profesi” pada tahun 2015. (*) Editor: Nuri Hermawan
Dokter Lukman Hakim dan Semangat Mengembangkan Teknologi “Stem Cell” UNAIR NEWS – Universitas Airlangga (UNAIR) tidak pernah miskin inovasi. Para peneliti dari kampus ini pun terus bermunculan. Regenerasi berjalan dengan baik dan melahirkan peneliti yang berkompetensi. Salah satunya, dokter Lukman Hakim, MD, MHA, Ph.D (Urol). Dosen dan peneliti di bidang stem cell ini telah banyak berkiprah di level global. Selain pernah mengenyam pendidikan maupun pelatihan di luar negeri, tak sedikit karya ilmiahnya yang menghiasi jurnal internasional. Tak hanya itu, pria yang aktif di sejumlah asosiasi tingtkat Asia Pasific ini juga tercatat sebagai reviewer di sejumlah jurnal. Baik terbitan Indonesia, maupun negara lain. Antara lain, di British Journal of Urology International (BJUI), Urologia Internasionalis Journal (Swiss), SQU Med Oman Journal (Oman), BMC Journal (Inggris), dan seterusnya.
Disinggung soal peranan stem cell bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia kedokteran dan kesehatan, Lukman menyatakan, metode dan teknologi ini tidak hanya buat pengobatan. Lebih dari itu, stem cell bisa dipakai untuk pencegahan. Misalnya, untuk mencegah terjadinya efek negatif yang menjalar dan lebih besar dalam fase pengobatan atau perawatan pasien. Indonesia, dan UNAIR, memiliki sumber daya untuk terus mengembangkan stem cell. Fasilitas yang ada sudah mencukupi. Kalau pun ada yang belum komplit, akses untuk melengkapinya cenderung gampang. “Kalau sumber daya manusia, saya yakin sudah punya,” papar dia. Apalagi, permintaan terhadap teknologi ini juga selalu ada. Jumlah pasien yang membutuhkannya tak pernah habis. Saat ini pemerintah Indonesia mendukung terbentuknya Komite Sel Punca Nasional. Sel punca, adalah nama lain dari stem cell. Komite Sel Punca Nasional telah membuat kebijakan bahwa Indonesia terbuka terhadap aplikasi stem cells sebagai bagian help tourism. Komite Sel Punca Nasional memberi kesempatan untuk pengaplikasian stem cells di klinik-klinik yang sudah mengantongi izin. Stem cells memunyai karakter “magic”. Ia belum berdiferensiasi (undifferentiated), mampu memerbanyak diri sendiri (Self Renewal), dapat berdiferensiasi menjadi lebih dari satu jenis sel (Multipoten/Pluripoten). Karakteristik dan kemampuan itu membuatnya unggul. “Proses penyembuhan terjadi karena sel-sel normal membelah diri yang dikenal dengan istilah healing process. Proses penyembuhan ini dapat dipercepat oleh stem cells,” ujar Lukman. (*) Editor: Nuri Hermawan
Gagas Metode Penentuan Jenis Kelamin Burung UNAIR NEWS – Eduardus Bimo Aksono H. (Dr., M.Kes., drh.) adalah dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) yang selama ini menjadi peneliti di Tropical Disease Diagnostic Center (TDDC). Dia bersama tim peneliti di TDDC, yang merupakan bagian dari Institute of Tropical Disease (ITD) UNAIR, tak pernah henti membuat terobosan yang aplikatif di masyarakat. Mereka selalu menyerap persoalan di akar rumput dalam segala bidang, lantas menciptakan solusi kongkret. Salah satu karya Bimo dan kawan-kawan adalah pencetusan metode untuk melihat jenis kelamin pada unggas monomorfik (hewan yang sulit dibedakan hanya dari struktur anatomi dan morfologi). Setelah melakukan riset di rentang 2012-2014, TDDC sanggup memastikan, apakah seekor unggas berjenis betina atau jantan, hanya dengan mengamati sampel bulu. Bimo menjelaskan, riset tersebut berawal dari diskusinya dengan seorang peternak burung Cucak Rawa asal Wisma Mukti Sukolilo bernama Gunawan. Waktu itu, Gunawan mengeluhkan soal sulitnya mengetahui jenis kelamin burung. Kendala itu berimbas pada kesukaran mengawinkan pasangan. Yang kemudian berimplikasi pada kerumitan dalam upaya pengembangbiakan. Problem ini, kata Gunawan, tidak hanya menjadi masalah dirinya sendiri. Namun juga, menjadi persoalan bagi seluruh peternak Cucak Rawa. Dari hasil obrolan itu, kata Bimo, tim TDDC UNAIR bergerak untuk melakukan penelitian. Selain pengamatan lapangan, dibutuhkan pula pencarian sampel dari burung sebagai bahan untuk diamati di laboratorium. Awalnya, sempat terpikir untuk
mengambil sampel DNA dari darah. Namun, burung Cucak Rawa rentan stress. Pengambilan darah bisa menyebabkan mereka tertekan bahkan tak mustahil lekas mati. Akhirnya, diputuskan untuk mengambil sampel berupa bulu. Dengan pertimbangan, gampang didapatkan dan relatif tidak mengganggu burung. Karena, bisa diperoleh dari jatuhan bulu di sekitar burung. Yang terpenting, di ujung bulu terdapat Kalamus yang mengandung kromosom pembawa jenis kelamin. Sampel itu kemudian dibawa ke laboratorium untuk diamati dengan metode PCR (kependekan dari istilah bahasa Inggris polymerase chain reaction), yang merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme. Dari sejumlah tahap pengamatan sampel kromosom yang dilakukan di TDDC bakal tampak jenis kelamin burung. Tak hanya Cucak Rawa, metode ini juga bisa melihat jenis kelamin pada unggas monomorfik (hewan yang sulit dibedakan hanya dari struktur anatomi dan morfologi) lainnya. “Dari bulu itu, kami akan melihat kromosom. Kalau kromosomnya heterozigot berarti betina. Jika kromosomnya homozigot berarti jantan,” kata pria yang juga menjabat sebagai Sekretars Pusat Informasi dan Humas UNAIR tersebut. Pengembangan teknologi yang diinisiasi oleh UNAIR itu sudah sukses menerobos banyak mitos. Selama ini, penentuan jenis kelamin Cucak Rawa sekadar mengacu pada kebiasaan. Misalnya, ada yang bilang kalau kepala burung besar, maka ia jantan. Atau, jika buntutnya pendek, ia betina. Perspektif itu nyaris seratus persen salah. Mungkin, kata Gunawan, yang paling mendekati benar hanya soal suara. Ada perbedaan suara antara burung jantan dan betina. Persoalannya, suara itu hanya dapat dideteksi oleh orang yang sudah lama bergelut di bidang ini. Problem kembali bertambah karena suara tersebut hanya terdengar saat burung birahi. Yang jadi masalah, ada burung jantan yang suka ikut-ikut suara
betina. Jadi, telaah melalui aspek suara ini cukup rumit. Nah, ketidaksanggupan untuk menentukan jenis kelamin burung ini memiliki imbas turunan yang beragam. Mitos-mitos yang tak dapat dipertanggungjawabkan pun makin mengemuka. Contohnya, ada yang mengatakan kalau burung Cucak Rawa sulit diternak, gampang stress dan lain sebagainya. Padahal, kunci sukses ternak Cucak Rawa itu adalah mengetahui jenis kelamin. Kalau sudah dapat jenis kelamin, akan lebih mudah menjodohkan. Keuntungan ekonomisnya jadi jelas dan bisa diukur. Nah, di luar sana banyak yang masih pakai pendekatan tebak-tebakan. Jadi, satu kandang itu bisa diisi burung-burung homo atau lesbi. Otomatis tidak bisa bertelur dan berkembang biak. Bimo mengungkapkan, metode ini sudah terbukti bermanfaat di masyarakat. Dari segi ekonomi, sudah mampu menaikkan nilai jual burung. Dengan demikian, sumbangsih kongkretnya dapat dirasakan langsung bagi peternak atau penghobi burung. Tak hanya di Surabaya, hasil penelitian ini juga sudah dirasakan masyarakat di daerah lain. Misalnya, Blitar, Jakarta, Semarang, dan lain sebagainya. (*) Editor: Nuri Hermawan
Diah Arimbi Ph.D, Konsisten Lakukan Perjuangan Gender
Melalui Kajian Sastra UNAIR NEWS – Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, peran perempuan begitu sentral. Sayangnya, sejarah tidak mencatat itu dengan apik. Lihatlah deretan nama pahlawan nasional. Dominasi laki-laki begitu kentara. Padahal, tidak mungkin mereka bisa mencapai cita-cita bangsa tanpa dukungan aktif dan totalitas Kaum Hawa. Apa yang disampaikan di atas sekadar salah satu potret dari banyak gambaran lain tentang belum tercapainya kesetaraan gender di negeri ini. Mungkin, secara regulasi, gagasan ini telah diakomodasi. Namun, pada aplikasi di lapangan, perempuan masih termarginalkan. “Saya pikir, perjuangan untuk equality and justice masih konsisten dijalankan. Melalui kajian sastra, saya menjalankan gender jihad ini,” ungkap Diah Ariani Arimbi MA., Ph.D., dekan Fakultas Ilmu Budaya yang merupakan satu pakar kajian budaya dan sastra UNAIR.
harus ingin S.S., salah
Perjuangan perempuan melalui sastra bukanlah hal baru. Bahkan, langkah ini sudah teruji waktu dan tergolong efektif. Lihatlah RA Kartini yang menyuarakan aspirasinya melalui kata-kata. Bertolak dari fakta itulah, Diah yakin kalau “Gender Jihad” yang diserukannya bakal membuahkan hasil. Meski memang, butuh proses yang panjang. Peraih gelar doktor dari University of New South Wales ini mengatakan, negara sekelas Amerika yang disebut-sebut mendewakan kesetaraan saja tampaknya belum bisa menerima pemimpin perempuan. Salah satu indikasinya, orang lebih banyak memilih Donald Trump daripada Hillary Clinton. Sedangkan bila ingin berkaca dari luar negeri, agaknya negeri-negeri Skandinavia bisa menjadi contoh kongkret aplikasi kesetaraan gender. Misalnya, di Swedia dan Finlandia. “Di sana, cuti hamil dan melahirkan tidak hanya untuk
perempuan. Tapi juga buat suami. Karena, peran menjaga bayi juga mesti dilakukan utuh oleh laki-laki,” terangnya. Meskipun belum sepenuhnya tercapai, cita-cita kesetaraan gender di Indonesia relatif menunjukkan tren positif. Betapa tidak, di usianya yang masih 72 tahun, negara ini sudah pernah memiliki presiden perempuan. Pemilihan umum juga sudah melibatkan perempuan secara aktif dengan nilai suara yang sama dengan laki-laki (one man one vote). Sementara di beberapa negara Eropa, untuk mencapai kesamaan ini, butuh waktu yang jauh lebih panjang. Tapi, “gender jihad” tetap mesti dikobarkan. Betapa tidak, masih ada banyak kekerasan rumah tangga yang korbannya mayoritas perempuan dan anak. Mereka termarginalkan dengan alasan-alasan kultural patriarkis. Yang dalam perjalanannya, justru lebih parah karena perempuan makin jadi korban kapitalisme atau jadi komoditas. Dalam hal ini, sejumlah perspektif mesti dibenahi. Tidak hanya sudut pandang yang berasal dari laki-laki dan lingkungan. Perempuan sendiri mesti bisa melihat dirinya dengan adil dan tidak termakan mitos kultural. (*) Editor: Nuri Hermawan
Dr Ernie Maduratna, Dosen FKG yang Tekun Menorehkan Paten UNAIR NEWS – Kepakaran Dr. Ernie Maduratna Setiawatie, drg., M.Kes., Sp.Perio di bidang periodontal tak perlu diragukan lagi. Bagaimana tidak, perempuan kelahiran Malang yang biasa disapa Erni ini telah menghasilkan tujuh produk yang
dipatenkan. Produk yang telah dipatenkan itu adalah Antimicrobial Topical: Tetracycline Gel (gel tetrasiklin dari antimikroba lokal), Minocycline Mouth Wash (obat kumur untuk mencegah periodontitis), dan Periobrush (sikat gigi untuk mendeteksi dini radang gusi). Ada pula Nigela Sativa Mouth Wash (obat kumur antibakteri, antiinflamasi, dan antioksidan), Photosensitizer Ekstrak Moringa (sensitizer untuk terapi fotodinamik pada kasus radang gusi), Hyaluronic Acid Gel (terapi pascaoperasi pemasangan implan dan pencegahan resesi gusi), dan Periodontal Tissue Engineering (terapi gigi goyang dan dental implant). Seluruh produk paten itu berawal dari penelitian yang dilakukan Ernie sejak dia menggarap tesis dan disertasi. Ketekunan itu berlanjut pasca perempuan kelahiran Malang ini rampung menyelesaikan program doktor. Kini, ia memiliki tim peneliti lintas fakultas untuk menyelesaikan riset-riset yang akan datang. Salah satu hal yang mendasarinya untuk terus melakukan riset dan berproduksi adalah demi kemandirian bangsa. Ernie mengatakan, selama ini produk yang digunakan untuk mengobati penyakit radang gusi dan jaringan pembentuk gigi masih diimpor dari luar negeri. Akibatnya, pasien harus merogoh kocek terlalu dalam untuk membayar biaya kesehatan. Produk-produk yang ia hasilkan, bila diproduksi massal dan dijual, dihargai cukup terjangkau. Di klinik-klinik atau rumah sakit, harga laser versi impor bisa mencapai Rp 15 juta. Sedangkan, miliknya berada di kisaran Rp 5 juta. Untuk klorofil daun kelor (moringa oleifera) yang digunakan sebagai photosensitizer organik/alam pada fotodinamik dengan activator dento laser biru 405 nm, harga per 10 mili sekadar Rp 50 ribu. Sedangkan versi impor, dengan ukuran serupa dan bahan yang berbeda meski berfungsi sama, dibanderol Rp 400 ribu. Padahal, kualitas keduanya bisa diadu.
Artinya, produk dari peneliti UNAIR mampu bersaing di kancah internasional. Mutu terjamin dengan harga yang kompetitif. “Tujuan utama saya dan kawan-kawan bukanlah komersial semata. Tapi lebih pada pengabdian ke masyarakat. Dengan harga yang murah, kualitas yang bagus, puskesmas-puskesmas atau klinik di semua daerah di Indonesia dapat menjangkaunya,” papar dosen Fakultas Kedokteran Gigi yang melakukan riset Klorofil Daun Kelor serta Aktivator Dento-Laser Biru 405 nm bersama Dr Suryani Dyah Astuti, M.Si, tersebut. (*)
Prof. Nasronudin dan Optimisme Membangun Keunggulan Riset UNAIR NEWS – Prof. Dr. Nasronudin, dr., Sp.PD, K-PTI, FINASIM lahir di Ponorogo dan menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah di kota reog tersebut. Selama ini, Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR) ini selama ini bergiat di spesialisisasi penyakit dalam dengan sub spesialis penyakit infeksi. Sosoknya menjadi rujukan dari banyak pertanyaan seputar penyakit populer belakangan ini antara lain Zika, demam berdarah dengue, HIV/AIDS, kaki gajah, malaria, tifoid, toksoplasma, dan lain sebagainya. Sejak dulu, tamatan pendidikan dokter Universitas Brawijaya pada 1983 ini sudah moncer. Seusai resmi menjadi dokter, dia langsung mendaftar CPNS dan diterima di Departemen Kesehatan. Dia ditempatkan di Rumah Sakit Umum Provinsi Riau, Pekanbaru, hingga 1984. Setahun kemudian, dia diangkat sebagai PNS Pusat dan mengabdi di RSU Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Enam bulan kemudian, dia didaulat menjadi kepala Puskesmas
Sedanau Kecamatan Bunguran Barat. Lantas, pada 1987, dipindahkan ke Puskesmas Dabosingkep yang memiliki fasilitas rawat inap. Melihat perjalanan di awal pengabdiannya, bisa menjadi cermin betapa pengalaman pemilik 22 penghargaan ini tidak perlu diragukan. Bahkan, sejak usianya masih tergolong muda. Pada 1991, Nasronudin melanjutkan pendidikan dokter spesialis di bagian ilmu penyakit dalam RSUD Dr. Soetomo – FK UNAIR dan lulus pada 1996. Pada 1997, dokter teladan provinisi Riau pada 1987 ini menjalankan tugas wajib kerja sarjana kedua di RSU Pembalah Batung Amuntai, Kalimantan Selatan. Pada 1999, bertolak ke Surabaya sebagai staf di Bagian-SMF Imu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo – FK UNAIR dan berlangsung hingga saat ini. Saat masih menjadi staf, Nasronudin menyempatkan diri untuk melanjutkan studi di program doktor di Pascasarjana UNAIR periode September tahun 2002. Dua tahun tujuh bulan setelahnya, dia dinyatakan lulus sebagai wisudawan terbaik dengan predikat cumlaude. Sementara gelar konsultan penyakit tropik dan infeksi diperoleh pada 2003. Pada tahun 2004, Nasronudin memenangkan Young Investigator Award di Kyoto Jepang. Nasronudin
memrakarsai
dan
menjadi
kepala
UPIPI
(Unit
Perawatan Intermediet dan Penyakit Infeksi) RSUD Dr. Soetomo – FK UNAIR pada periode 2004-2009. Penulis belasan buku di bidang penyakit dalam dan infeksi yang banyak dijadikan rujukan dunia kedokteran/kesehatan ini menjabat Ketua Institute Of Tropical Disease (ITD) pada 2008-2015. Saat ini, dia dipercaya sebagai Direktur RS Universitas Airlangga sekaligus Direktur Utama Institut Ilmu Kesehatan (Airlangga Health Science Institute). “Indonesia memiliki kekayaan mikroorganisme, flora, fauna, dan aspek-aspek lain yang dapat menjadi modal pengembangan ilmu kedokteran. Semua itu merupakan media yang representatif untuk
penelitian di bidang pencegahan penyakit, diagnosis penyakit, pengujian obat, pembuatan obat, dan sebagainya. Negeri ini harus optimistis kalau bisa unggul di level dunia,” ujar dia. Pada beberapa tahun yang lalu, Nasronudin bersama dengan tim peneliti dari berbagai universitas di Indonesia dan Australia berkolaborasi untuk membuat obat herbal antidengue. Pada tahun 2013, UNAIR meluncurkan informasi resmi mengenai hasil metode dan uji klinis fase III. Sampai awal tahun 2016, tim peneliti sudah mengajukan ijin edar terhadap obat tersebut ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). (*) Editor: Defrina Sukma Satiti
Langganan Juara Mawapres, Yusuf Azmi Lulus Terbaik FK UNAIR UNAIR NEWS – Modal penting menjadi dokter yang ideal, ternyata tak cukup hanya dengan mengandalkan kepandaian. Pemahaman ini selaras dengan apa yang menjadi keyakinan Yusuf Azmi, wisudawan terbaik S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Sebagai calon dokter, ia tidak melulu mengejar kualitas nilai IPK. Disela-sela kesibukan belajar, ia masih menyempatkan diri untuk kembangkan soft skill. “Target saya selama kuliah tidak hanya terfokus pada IPK. Ada beberapa hal lain seperti kompetisi ilmiah, organisasi dan soft skills lain yang ingin saya kembangkan,” ungkap laki-laki kelahiran Sragen, Agustus 1994 yang lulus dengan IPK sebesar 3.64.
Menurutnya, setiap pengalaman selama belajar di FK mempunyai kesan yang berbeda. Seperti pengalaman melihat dan belajar dengan cadaver, memperoleh pengalaman unik menjadi observer di dalam kamar operasi atau asisten sirkumsisi ketika mengikuti bakti sosial. Belum lagi pengalaman menegangkan ketika menghadapi ujian praktikum lab mapun keterampilan medik dengan pasien simulasi. Meskipun disibukkan dengan berbagai tugas, Yusuf masih menyempatkan terjun ke berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan dan mengikuti berbagai kompetisi ilmiah. Ia pernah meraih juara I kompetisi ilmiah tingkat nasional seperti Temilnas (Temu Ilmiah Nasional) 2014, finalis di kompetisi ilmiah tingkat internasional seperti EAMSC (East Asian Medical Students’ Conference) Taiwan 2016, dan beberapa prestasi lainnya. Selama kuliah 3,5 tahun, ia berhasil memperoleh juara I seleksi Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) tingkat FK selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2014 hingga 2016. Pada saat mewakili fakultas ke tingkat universitas, Yusuf berhasil menjadi juara I seleksi mawapres tingkat UNAIR tiga tahun berturut-turut. “Menjuarai seleksi mawapres merupakan salah satu main goal saya dalam menempuh studi di fakultas kedokteran,” ungkap penghobi traveling ini yang berencana melanjutkan studi pendidikan dokter spesialis bidang Ilmu Penyakit Dalam, citacitanya. Inilah alasan mengapa ia meneliti hubungan profil pasien terhadap komplikasi kronik mikrovaskuler pada pasien diabetes melitus tipe 2, yang mempunyai hubungan erat dengan ilmu penyakit dalam sebagai topik pada tugas akhirnya ini. (*) Penulis: Sefya Hayu Isti Editor: Binti Q. Masruroh
Kegigihan Antarkan Intan Vallentien Jadi Wisudawan Berprestasi FKG UNAIR UNAIR NEWS – Intan Vallentien Dwi Hariati yang akrab disapa Vallent, punya segudang pengalaman menarik tentang perjuangannya saat mengikuti lomba. Salah satunya ia harus menghemat biaya. ”Untuk ngakali biaya yang keluar saat lomba, ya harus serba ekstra. Dulu saya pernah tidur di lobi hotel dan restoran cepat saji. Untuk menghemat makan, saya sering beli satu makanan dibagi berdua dengan teman,” tutur Dwi, peraih IPK 3,64 ini. Kegigihan dan usaha ekstra perempuan kelahiran Tuban ini telah mengantarkannya meraih prestasi sebagai wisudawan berprestasi Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Airlangga. Ia punya seabrek prestasi yang pernah diraih saat menjadi mahasiswa. “Prestasi yang saya dapat seluruhnya dari lomba karya tulis ilmiah, seperti juara I Scientific World of Research Dentistry 2015 kategori Research di Bali, juara III Jakarta Islamic Scientific Forum (JISFO) 2014 kategori Literature Review di Jakarta. Kemudian juara Poster Presenter South East Asia Association for Dental Education 2016 di Vietnam,” jelas perempuan kelahiran 11 September 1996 ini. Dari sederet prestasi tersebut, bagi Vallent, kompetisi JISFO tahun 2014 memberikan pengalaman yang paling berkesan. Meski ia tak meraih juara pertama, Vallent menjelaskan bahwa kompetisi tersebut memberikan banyak pelajaran hidup.
”Topik yang saya angkat ini mengharuskan saya dan teman-teman terjun langsung ke Panti Werdha tempat para lanjut usia (lansia). Dari eyang-eyang di sana itu saya banyak sekali mendapatkan pelajaran hidup. Saat melihat fakta kebersihan rongga mulut para lansia, saya tak hanya ingin mencari metode yang tepat atau untuk menang ajang ilmiah, namun benar-benar ingin meningkatkan kualitas hidup mereka,” tutur Vallent mengakhiri percakapan. (*) Penulis: Nuri Hermawan Editor: Defrina
Hobi Bernyanyi, Mahasiswa Komunikasi Torehkan Belasan Prestasi UNAIR NEWS – Fadhilah Intan Pramita Sari, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, berhasil menembus posisi sembilan besar dalam ajang menyanyi bergengsi tingkat nasional, Rising Star, yang digelar salah satu stasiun televisi swasta. Meskipun tak menjadi pemenang, gadis kelahiran 20 April 1998 ini bisa membuktikan bahwa dirinya berani mencoba dan tak takut gagal dalam kompetisi. Mengikuti ajang Rising Star membawa pengalaman tersendiri bagi Fadhilah. Selain dituntut untuk memiliki mental yang kuat dan pantang menyerah, ia mengaku, ajang Rising Star juga mengajarkan para kontestan untuk bersaing secara sehat. Melalui UNAIR News gadis yang pernah tergabung menjadi guru pengajar Alquran Metode Ummi ini bertutur kisah tentang proses karantina di Jakarta.
“Harus menerima tantangan. Harus bisa ‘memakan’ semua lagu, karena tidak semua lagu yang diberikan itu yang kita mau. Saya juga harus bisa kontrol teknik vokal, nggak boleh nervous (gugup), harus jaga sikap juga karena selalu disorot media,” ujar gadis yang ingin berkarir di industri hiburan ini. Saat ini, Fadhilah telah dikontrak oleh salah satu manajemen artis. Untuk itu, ia berusaha membagi waktu kuliah di FISIP UNAIR, dan rutinitasnya yang lain. Di samping itu, ia mengunggah video ke kanal YouTube miliknya saat menyanyikan ulang lagu-lagu musisi lain. Ia juga kerap menerima tawaran bernyanyi di berbagai acara, dan mengikuti beberapa audisi bintang iklan. Selain itu, mahasiswa semester dua ini juga sedang membuat sebuah lagu. Gadis yang menyukai aliran musik pop semi klasik ini berharap, Rising Star dan berbagai kesibukan di bidang tarik suara yang ia tekuni, menjadi pengalaman positif bagi proses perjalanan karirnya. “Ingin bisa terus belajar untuk menjadi lebih baik lagi. Berharap bisa menjadi penyanyi yang one and only dan memorable,” ungkap gadis yang memilih Lea Salonga dan Sarah Brightman sebagai penyanyi favorit. Di luar aktivitas bernyanyi, Fadhillah juga gemar bermain piano, biola, dan menari balet. “Kalau suka nulis puisi enggak. Kalau bikin lagu, iya. Tapi iseng aja, sih,” ucapnya sambil tertawa. Gadis berkerudung ini tak sepi dari prestasi. Alumnus SMA AlHikmah Surabaya ini pernah menang beberapa penghargaan seperti Graduate Beijing Dance Academy tahun 2014, Gold Award Advanced Vocal Performance in Star Quarto Music tahun 2014, juara I Winner Symphony of The World Music Competition tahun 2015, dan juara I Youth Music Competition from London College of Music tahun 2015. Tak berhenti di situ, pada tahun 2016, ia menjadi pemenang favorit Smesco Idol tahun 2016, dan Finalis Top 9
National Singing Competition Catharina W. Leimena (2016). Penulis: Binti Q. Masruroh Editor: Defrina Sukma S