Pakar: Ilmu Berkembang Keperilakuan
Akuntansi Ke Arah
UNAIR NEWS – Usai menamatkan studi jenjang S-1 bidang Akuntansi di Universitas Brawijaya, Malang, Prof. Dr. I Made Narsa, SE., M.Si., Ak. CA., lantas melanjutkan studi jenjang magister dan doktor pada bidang yang sama di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia adalah Guru Besar Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Airlangga, yang menaruh minat pada Akuntansi Keperilakuan. Narsa mulai menekuni akuntansi manajemen ketika dirinya menulis tesis saat studi S-2 di UGM. Kemudian, ia memilih subbidang peminatan menjadi akuntansi keperilakuan ketika menempuh studi doktor. “Saya memilih akuntansi manajemen spesialisasi studi pada akuntansi keperilakuan, mengingat saat ini perkembangan akuntansi berjalan sangat dinamis mengikuti perkembangan lingkungan bisnis. Akuntansi manajemen berjalan sangat fleksibel, mengikuti dinamika yang terjadi dalam perusahaan,” ujar Narsa. Ia berangkat dari pengamatan bahwa ada banyak teknik akuntansi manajemen modern yang sekarang sedang muncul dan berkembang. Selain itu, pada bidang ekonomi dan bisnis, perkembangan keilmuan bergeser dari bidang-bidang fungsional ke bidangbidang keperilakuan. Misalnya, ilmu ekonomi telah berkembang behavioral economics. Ilmu keuangan telah berkembang behavioral finance, dan pada bidang akuntansi telah lahir dan berkembang behavioral accounting. “Di masa yang akan datang, domain yang akan berkembang adalah
aspek lingkungan dan sosiologis dari institusi keilmuan tertentu, termasuk akuntansi,” ujar lelaki kelahiran Jembrana, Bali. Narsa mengatakan, pergeseran ke arah sosiologi ini terjadi akibat perkembangan teknologi yang masif. Pada level mikro, telah berkembang teknologi produksi canggih yang mengubah proses produksi suatu perusahaan. Perubahan proses produksi ini, mengharuskan akuntansi manajemen juga berkembang mengikuti arah perubahan. Singkatnya, domain akuntansi adalah mencakup semua pihak yang dipengaruhi oleh output sistem akuntansi dan semua pihak yang memengaruhi sistem akuntansi. “Ke depan bidang ilmu akuntansi yang akan berkembang adalah Akuntansi Keperilakuan. Sebab bukan hanya berbicara tentang laporan dari kegiatan akuntansi, namun merambah pada dampak perilaku para stakeholder akuntansi,” ungkap dosen kelahiran 27 Juni 1965. Saat ini selain sebagai dosen tetap FEB UNAIR, Narsa juga menjabat sebagai Kepala Perpustakaan UNAIR. Pada bidang ini, ia menerapkan akuntansi manajemen untuk mengelola perpustakaan. Ia merencanakan pengelolaan perpustakaan dan mengendalikan kegiatan perpustakaan dengan memanfaatkan keilmuan yang ia miliki. Berbagai penghargaan pernah Narsa terima sejak masih duduk di bangku SMP. Ia tercatat sebagai Siswa Teladan II Tingkat Kabupaten Jembrana Tingkat SMP pada 1982, Siswa Teladan II Tingkat Kabupaten Jembrana Tingkat SMA pada 1985, Peraih Nilai Terbaik Pertama EBTANAS SMTA-Kabupaten Jembrana pada 1986, lulus dengan predikat cumlaude sejak menempuh S-1 hingga S-3, Peserta Terbaik Pertama Bidang Teori Akuntansi bagi Dosen Muda Pusat Antar Universitas (PAU) Universitas Gadjah Mada tahun 1990. Narsa juga memperoleh penghargaan Karya Satya X dari Presiden RI tahun 2005 dan Karya Satya XX dari Presiden RI tahun 2016.
Tak kurang dari 20 kali ia menjadi pembicara dalam seminar dan lokakarya, terhitung sejak tahun 1995 hingga sekarang, dan telah melakukan publikasi dalam jurnal ilmiah lebih dari 30 artikel. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor: Defrina Sukma S
Diah Ayu Puspitarini, Juara Pencak Silat yang Jadi Wisudawan Terbaik UNAIR NEWS – Awalnya, Diah Ayu Puspitarini belum pernah mengetahui ada program studi Budidaya Perairan di Fakultas Perikanan dan Kelautan UNAIR. Meski demikian, ketidaktahuan itu tak menyurutkan niatnya untuk mengukir prestasi. Gadis kelahiran Lamongan 29 April 1994 ini berhasil menjadi wisudawan terbaik S-1 FPK dengan IPK 3,69. Skripsinya berjudul “Identifikasi dan Prevalensi Cacing Endoparasit pada Saluran Pencernaan Ikan Kakap Merah (Lutjanus argentimaculatus) di Keramba Jaring Apung Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung” berhasil mengantarkannya pada gerbang wisuda terbaik ini. Selain aktif menjalani perkuliahan, Diah juga aktif berorganisasi di Unit Kegiatan Mahasiswa Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) UNAIR. Ketekunannya sebagai atlet karate pernah membawanya menjadi juara II Seni Regu Putri pada The 2nd Sebelas Maret International Pencak Silat Persaudaraan SH Terate Championship 2014, serta juara I Seni Regu Putri pada
kejuaraan UNEJ Cup II PSHT 2013. “Pagi sampai sore kuliah, malamnya latihan di UKM. Ibaratnya pagi sampai sore otak bekerja dan malamnya fisik yang bekerja. Benar-benar membutuhkan tekad yang kuat. Apalagi kalau musim kejuaraan pencak silat bareng musim ujian praktikum atau UAS,” kenangnya. Sejak 2012-2016, Diah tercatat sebagai penerima Beasiswa Unggulan CIMB NIAGA dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Itu sebabnya, setelah lulus ia sudah harus menjalani pekerjaan baru di Jakarta. Tak lupa, kepada UNAIR NEWS, Diah membagi tipsnya untuk mahasiswa yang sedang menjalani studi jenjang S1. “Intinya dari semua adalah apa yang kita lakukan harus seimbang, sesuai porsinya. Kita harus tau kapan waktunya belajar, kapan beribadah, kapan waktunya bermain, dan kapan waktu lainnya. Manfaatkan waktu semaksimal mungkin dengan kegiatan sebaik mungkin,” pungkas alumni SMAN I Bluluk, Lamongan ini. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor: Defrina Sukma S.
Berjuang Ekstra Selesaikan Penelitian, Roisah Lulus Terbaik S2 Farmasi UNAIR NEWS – “Saya butuh perjuangan yang benar-benar sangat ekstra untuk menyelesaikan penelitian yang akan saya gunakan untuk tesis ini, karena saat itu saya sedang hamil,” tutur Roisah Nawatila, ketika ditemui UNAIR NEWS terkait tentang
perjuangannya dalam menyelesaikan tesis studinya pada jenjang S-2 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Dengan perjuangannya itu, Roisah akhirnya meraih reward maksimal dan dinyatakan sebagai wisudawan terbaik S-2 Fakultas Farmasi. Padahal, ia mengaku pikirannya sempat terbebani ketika menyelesaikan tesis dalam kondisi hamil besar. Menjelang seminar terbuka dan sidang akhir tesis, kandungannya bahkan mengalami kontraksi. Akibatnya, terpaksa ia memundurkan jadwal sidang demi kelahiran buah hatinya. Perjuangannya pun tak berhenti sampai disitu. Usai melahirkan, Roisah membawa serta bayinya yang baru berumur dua minggu itu untuk mengurus keperluan sidang akhir tesisnya. Baginya, ujian tak berhenti disitu. Pada saat penelitian pun, di tengah-tengah ia melakukan uji disolusi terhadap sampel, listrik laboratorium juga sempat padam. “Karena lampunya padam, ya akhirnya saya harus mengulang lagi uji disolusi itu dari awal. Beruntungnya pula, ada sisa sampel yang bisa saya gunakan,” tandasnya dengan nada lega. Perjuangannya yang maha berat tersebut akhirnya berhasil ia tuntaskan. Tesisnya yang berjudul “Pembentukan Kokristal Asikovir Menggunakan Koformen Nikotinamida yang dibuat dengan Metode Penguapan Pelarut dengan Variasi Pelarut” berhasil dirampungkan dan memperoleh hasil maksimal, yakni Indeks Prestasi Kumulatif hampir sempurnya, yaitu 3,93. Roisah mengaku tak ada kiat-kiat secara khusus untuk menjadi lulusan yang terbaik ini. “Yang terpenting adalah pantang menyerah, selalu berpikir positif, dan percaya bahwa nothing is impossible. Yang penting aku percaya bahwa aku bisa,” kisah Roisah Nawatila, bangga. (*) Penulis: Akhmad Janni Editor: Defrina Sukma S.
Sempat Tak Direstui Kuliah, Zumrotus Sholikhah Wisudawan Terbaik Psikologi UNAIR NEWS – Karakter seseorang sudah terbentuk sejak usia dini. Salah satu pembentukan karakter itu ada pada iklim sekolah. Topik inilah yang kemudian diteliti oleh Zumrotus Sholikhah, yang kemudian terpilih sebagai wisudawan terbaik tingkat sarjana Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, periode wisuda Desember 2016. Penelitian untuk skripsi itu untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap iklim sekolah dengan kecenderungan perilaku antisosial pada anak-anak. Persepsi terhadap iklim sekolah yang dimaksud adalah pandangan atau penilaian siswa terhadap kondisi atau budaya di sekolah yang dapat mempengaruhi perilaku siswa. “Kecenderungan perilaku antisosial yang saya maksud adalah potensi seseorang melakukan perilaku yang melanggar norma sosial, baik yang terbuka, yang sembunyi-sembunyi, maupun ketidaktaatan anak terhadap figur otoritas, yaitu orang tua atau guru,” jelas wisudawan peraih IPK 3,62 ini. Menurut cewek yang akrab disapa Ika ini, dari 94 anak usia 9-12 tahun yang ia teliti, menunjukkan secara signifikan terdapat hubungan antara persepsi terhadap iklim sekolah dengan kecenderungan perilaku antisosial pada anak. ”Arah hubungan kedua variabel adalah negatif. Semakin negatif persepsi terhadap iklim sekolah, semakin tinggi kecenderungan perilaku antisosial anak,” kata mahasiswa asal Gresik ini, seraya mengakui bahwa memilih anak-anak sebagai subjek
penelitian bukanlah mudah. Banyak anak-anak yang masih kebingungan mengisi kuesioner saat proses pengambilan data itu. Sebelum mengisi kuesioner itu, siswa harus mengisi identitas diri. Ternyata, kata Ika, banyak siswa yang mengalami kebingungan dan tidak tahu mengenai pekerjaan orang tuanya. Terkait prestasinya sebagai wisudawan terbaik, Ika mengaku tak ada kiat secara khusus. Ia hanya berusaha semaksimal mungkin dengan iringan doa dari orang tuanya. “Selain itu, saya juga sering bertanya kepada teman dan searching di internet terkait mata kuliah yang belum saya pahami. Lalu berusaha melibatkan Allah di setiap urusan,” katanya. Sempat Tak Direstui Ika menyatakan rasa syukurnya bisa menyelesaikan studinya ini. Ini tak lain karena memori sebelumnya bahwa ia sempat tidak mendapatkan restu dari orang tuanya saat hendak kuliah dulu. Kendalanya karena faktor ekonomi. Selain itu, bekerja setelah lulus SLTA sudah menjadi kebiasaan di keluarganya, sehingga ambisinya untuk bisa kuliah saat itu meredup. Namun, pada saat pendaftaran terakhir masuk perguruan tinggi, anak kedua dari tiga bersaudara ini dipanggil sekolahnya untuk dimintai keterangan soal kondisi keluarganya. Akhirnya sekolah mendaftarkan Ika melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan pengajuan beasiswa Bidikmisi. ”Karena keterbatasan waktu dan tidak ada ambisi untuk kuliah, jujur saat itu saya memilih jurusan agak asal-asalan, dan ternyata saya diterima. Setelah itu saya meyakinkan orang tua dan alhamdulillah pelan-pelan orang tua memperbolehkan saya untuk kuliah,” tutur mahasiswi kelahiran 6 September 1993 ini. Setelah resmi wisuda ini, Ika berharap ilmunya dapat bermanfaat bagi orang lain, serta memperoleh pekerjaan yang
layak guna membantu perekonomian keluarga. ”Kalau memungkinkan, saya juga berharap bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain,” pungkasnya. (*) Penulis: Dilan Salsabila Editor: Binti Q. Masruroh
Dr. Prihartini Widiyanti, Mendidik Tak Dapat Dinilai dengan Materi UNAIR NEWS – Citra sebagai seorang dosen dan peneliti senior telah melekat pada sosok Dr. Prihartini Widiyanti, drg., M.Kes. Berbagai prestasi dan jabatan telah disandang perempuan usia 40 tahun ini. Ia adalah seorang dokter gigi, peneliti, pengajar, pendidik. Bukan hanya untuk mahasiswa, tetapi juga untuk keluarga dan putra putrinya. Berbagai kesibukan telah Yanti tekuni. Selain sebagai Ketua Pusat Pengembangan Jurnal dan Publikasi Ilmiah (PPJI) Universitas Airlangga, Yanti merupakan staf pengajar pada program studi Teknobiomedik, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UNAIR. Ia juga merupakan anggota Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Perhimpunan Kesehatan Hiperbarik Indonesia (PKHI), Persatuan Osteoporosis Indonesia (PEROSI), serta International Society of Clinical Densitometry. Yanti merupakan peneliti senior di Institute of Tropical Disease (ITD) UNAIR. Di ITD UNAIR, Yanti mengabdikan dirinya sebagai peneliti senior bidang riset HIV/AIDS.
“Saya melihat pasien HIV/AIDS dengan wasting syndrome, tinggal tulang dan kulit. Tubuhnya dipenuhi penyakit kulit. Keluarga mereka tidak pernah datang. Mereka hanya dirawat orang-orang dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya terketuk. Kondisi pasien yang terminal itulah yang membuat saya ingin mengabdikan diri kepada mereka,” ujar dokter gigi itu. Yanti telah terbiasa multitasking sejak ia menjalani kuliah sarjana. Ketika menjalani studi S-1 pada Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UNAIR, Yanti bersama teman-temannya mendirikan biro penerjemah. Ia biasa membantu dosen-dosen untuk menerjemahkan naskah dengan tema yang beraneka ragam, dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Ketika melanjutkan program magister, Yanti telah menjalani kesibukan sebagai pegawai honorer di Lembaga Kesehatan Kelautan TNI AL (LAKESLA), dan RSAL Dr. Ramelan Surabaya. Di samping itu, ia juga menjabat sebagai pengasuh rubrik kesehatan di salah satu media massa di Surabaya. Ia membantu rekan-rekan jurnalis yang kesulitan dalam mengoreksi berita dengan istilah-istilah kedokteran. Aktualisasi Diakui Yanti, disela-sela kesibukan di dunia akademik ia selalu menyempatkan untuk menghabiskan waktu bersama anak dan keluarga. “Disela-sela waktu saya harus sangat dekat dengan anak-anak. Main monopoli, ke pasar, sambil ngasih nasihat-nasihat. Anakanak tidak lepas dari pengawasan saya,” ujar ibu dua anak itu. Yanti sadar, suatu negara yang besar akan menjadi kuat dari segala terjangan arus ketika para perempuan menempatkan edukasi dan penanaman akhlak yang baik terhadap anak didiknya. Sebagai seorang pendidik, Yanti memiliki mimpi untuk mencetak generasi emas. Mimpi itu yang telah dirintis sejak ia memutuskan menjadi seorang dosen.
Emansipasi wanita dimaknai Yanti sebagai sebuah peluang bagi perempuan untuk menunjukkan aktualisasi diri, bahwa perempuan bisa mengubah dunia dengan pemikiran dan tindakannya. Namun walau bagaimanapun, baginya perempuan adalah seorang pendidik bagi anak-anak dan keluarganya. “Ketika perempuan diberi posisi hebat di luar, ketika kembali ke keluarga ia adalah seorang ibu. Yang mendidik anak, yang taat kepada suami,” kata perempuan yang sempat memiliki grup band saat SMA itu. Sebagai peneliti, ia bercita-cita memiliki karya yang memiliki kebermanfaatan sosial yang luas. Bersama Universitas Teknologi Malaysia (UTM), ia telah merintis kerjasama penelitian dan kolaborasi. Yanti menjadi co-researcher tentang penelitian stent pembuluh darah. “Akhirnya saya percaya bahwa pekerjaan kecil tidak akan terus menjadi kecil. Ia akan menggurita, kemudian akan banyak networking. Di situlah saya merasa bahwa saya berhasil memberikan banyak manfaat untuk semua orang. Itulah kebahagiaan buat saya. Tidak harus tentang uang atau reward,” kata Yanti. Yanti,
dengan
segala
kesibukannya,
ialah
pendidik
bagi
mahasiswa dan anak-anaknya. “Menjadi dosen, finansialnya memang tidak banyak. Namun, kebahagiaan yang didapat dari mendidik itu yang tidak bisa dibayar dengan apapun,” kata perempuan yang sedang berproses untuk menghafal Alquran itu. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor : Defrina Sukma S.
Sembuh dari Kanker, Rahma ’Berhadiah’ Lulus Terbaik S-2 FEB UNAIR NEWS – Rahma Nuryanti,S.Si., MA., tidak henti-hentinya mengungkapkan rasa syukur kepada Allah yang Maha Kuasa. Pasalnya, dalam perjalanan menempuh studi magister di UNAIR, wisudawan kelahiran Surabaya 14 Maret 1985 ini harus menjalani perawatan kemoterapi di Graha Amerta RSUD Dr. Soetomo karena kanker yang dideritanya. Tidak ada yang bisa mengalahkan kehendak-NYA, karena itu ia terus berusaha dan rajin kontrol. Tahun 2015 Rahma dinyatakan sembuh, bahkan di semester III itu juga dinyatakan hamil. “Pada masa kehamilan saya mengalami hyperemesis, namun saya bersyukur karena bisa menyelesaikan semester III dengan IPK yang baik pula. Kemudian pada masa kehamilan 8-9 bulan saya menyusun proposal tesis, supaya bisa menyelesaikan studi sesuai waktu yang kami jadwalkan,” jelasnya. Meski sempat divonis kanker, ia tak lantas berdiam diri. Selama kuliah ia aktif menyibukkan diri dengan menjalani tugas di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur. Bungsu dari dua bersaudara ini juga memiliki tips dan trik untuk merampungkan kuliahnya dengan baik. Mulai dari mengatur waktu dan memanfaatkan fasilitas kampus dengan maksimal. ”Jangan pernah membuang waktu dengan percuma,” pesannya. Perihal karya ilmiah, perempuan hobi membaca ini selalu mengutamakan orisinalitas dan keunikan ide. Itulah yang menjadi salah satu alasan tesisnya yang berjudul “Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern: Aspek Formal dan Aspek Informal (Studi Kasus BPS Provinsi Jawa Timur)” yang bisa menunjang menyabet gelar wisudawan terbaik dengan IPK 3.90. Alasan Rahma memilih judul tersebut dilandasi kondisi di
lapangan yang masih sedikit sektor publik penyelenggaraan sistem pengendalian intern.
dalam
“Penelitian ini saya ambil mengenai sistem pengendalian intern di sektor publik, karena masih sedikit dan hanya membahas mengenai aspek pengendalian formal saja. Tetapi belum menyentuh mengenai peranan manusia sebagai individu yang memiliki peranan penting dalam pelaksanaan SPI,” demikian Rahma. (*) Penulis: Nuri Hermawan Editor: Faridah Hariani
Kaji Sastra Feminis, Alberta Jadi Wisudawan Terbaik FIB UNAIR NEWS – Alberta Natasia Adji rupanya memiliki minat khusus terhadap kajian sastra feminis. Lihat saja skripsinya “The Sensible Sister Goresees Everything: A Hypertextual Study in Grimm Brother’s The Worn-Out Dancing Shoes and Juliet Marillier’s Wildwood Dancing”, ikut menunjang prestasinya meraih predikat wisudawan terbaik dengan IPK 3,84. Penelitian alumni Sastra Inggris ini mengambil kajian perbandingan antara salah satu dongeng Grimm Bersaudara dan novel Juliet Marillier. Sensibilitas perempuan menjadi sorotan utamanya, karena itu terbukti menjadi kualitas yang penting bagi kaum wanita, terutama dalam menghadapi dunia pratriarkal. Sensibilitas atau kebijaksanaan mendorong wanita untuk senantiasa berkepala dingin, rasional, dan kuat dalam menghadapi apapun alih-alih mengandalkan emosi semata.
Lulus lebih cepat dengan waktu 3,5 tahun merupakan prestasi bagi perempuan yang akrab disapa Tasia ini. Saat ini Tasia berstatus sebagai mahasiswa fast track jenjang S2 pada Kajian Sastra dan Budaya, Fakultas Ilmu Budaya UNAIR. Ia mengaku menyelesaikan penelitian skripsinya hanya dalam waktu dua hari, karena sebelumnya bahan-bahan skripsi itu memang telah matang. Selain berprestasi di bidang akademik, Tasia juga punya prestasi pada non-akademik. Dua novelnya telah terbit, yakni Dante dan Youth Adagio. Karir menulisnya dimulai ketika masih di bangku SMA, bahkan pernah dimuat pada Jawa Pos dengan dua cerita pendeknya: Delman Pak Kusno dan Jangan Semudah itu Menyerah. “Saya hobi menulis sejak kecil. Tapi baru serius waktu di SMA,” paparnya. Ia menggemari karya-karya Jonathan Stroud, George R.R. Martin, J.K. Rowling, Ronald Dahl, Leila S. Chudori, Windry Ramadhina, Judy Blume, Simone Elkeles, Shannon Hale, Suzanne Collins, Anthony Doerr, Juliet Marillier, dan C.S. Lewis. Selain cerita-cerita fantasi, Tasia juga senang membaca karya sastra feminis. Kini, perempuan penghoby membaca, browsing, dan nonton film ini, juga disibukkan dengan mengajar les privat TOEFL. “In the end of the day, you will walk and suffer alone for the sake of your dreams. So, make everything count,” pungkas Tasia. (*) Penulis : Lovita Marta Fabella Editor : Binti Quryatul Masruroh
Teliti Rumah Adat di Flores, Konfridus Jadi Wisudawan Terbaik FISIP UNAIR NEWS – Sa’o Ngaza adalah rumah bagi masyarakat adat Wogo, di Ngadha, Flores, Nusa Tenggara Timur. Sa’o ngaza bukan hanya sekadar rumah ataupun shelter bagi masyarakat adat Wogo, melainkan juga rumah yang lengkap dengan atribut simbol serta makna, dan merupakan gambaran dari realitas sosial kultural masyarakat adat Wogo. Namun nilai dan makna rumah adat Sa’o Ngaza ini tereduksi seiring dengan perkembangan zaman. Itulah yang disampaikan oleh Konfridus Roynaldus Buku, wisudawan terbaik S-2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga. Lulus dari prodi S2 Sosiologi ini, Roynaldus meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,76. Realitas sosial kultural Sa’o ngaza ini dibentuk dari pandangan kosmologi masyarakat Wogo, yakni dunia bawah (kekuatan gaib), dunia tengah (kehidupan sehari-hari), dan dunia atas (dunia sakral). Melalui Sa’o Ngaza, masyarakat Wogo menjalin relasi dengan dunia atas yang mereka sebut dewa. Sa’o ngaza juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya ritus-ritus keagamaan dan sebagai gambaran tentang tanggungjawab laki-laki dan perempuan. Dalam konteks perubahan sosiokultural, Roynaldus mencatat ada perubahan tentang makna Sa’o ngaza. Pertama, perubahan ritual keagamaan. Kedua, pergeseran tuntutan atas hak dan kewajiban terutama dalam kaitannya dengan hak atas tanah suku yang akhirnya melahirkan konflik perebutan tanah suku. Ketiga, masuknya prinsip kesetaraan mengakibatkan geseran pada praktik sistem kasta masyarakat adat Wogo. “Umumnya, masyarakat adat Wogo saat ini masih menjaga keaslian bangunan Sa’o ngaza, tetapi realitas sosiokultural telah
berubah dan bergeser. Ini dipengaruhi oleh perjumpaan dan kontaminasi dengan berbagai produk budaya global,” tutur mahasiswa asal Flores ini. (*) Penulis : Defrina Sukma Satiti Editor : Bambang ES
Dodik Harnadi Kolaborasikan Doa dan Usaha UNAIR NEWS – Tinggal dan besar di desa tidak membuat Dodik patah semangat untuk terus menempuh pendidikan. Pria yang sudah menikah dengan Irawati, S.HI., ini merupakan anak desa yang dilahirkan dari keluarga petani di Bondowoso. Sejak menempuh pendidikan tingkat menengah, ia sudah dikenalkan dengan dunia pondok pesantren, tepatnya pada 1999-2005 ketika masih berada di Madrasyah Tsanawiyah (MTs) hingga Madrasyah Aliyah (MA). “Bagi saya pesantren banyak memberikan pelajaran penting, nilai-nilai organisasi, leadership, keilmuan jurnalistik, kemandirian, dan masih banyak lagi,” paparnya. Pemilik nama lengkap Dodik Harnadi ini, menjadi salah satu lulusan wisudawan terbaik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dengan nilai IPK 3,82 dan mendapatkan gelar Master Sosiologi (M.Sosio). Tesis yang menjadi prasyaratnya mendepatkan gelar tersebut berjudul Living Lawdan Mekanisme Resistensi atas UU Perlindungan Anak di Kabupaten Bondowoso “Ketertarikan saya kepada sosiologi hukum semakin memuncak setelah berkenalan dengan beberapa tulisan Prof. Soetadyo dibidang sosiologi hukum,” jelas pria yang masih aktif di
salah satu organisasi masyarakat Islam ini. Lebih jelasnya, Dodik bercerita tentang isi dari tesisnya yang berangkat dari realitas sosial masyarakat Bondowoso. Ketika masyarakat setempat masih meletakkan praktik pemberian sanksi fisik dalam mendidik anak-anak maupun para murid, dari hal tersebut seharusnya pihak yang terlibat harus mampu mendiagnosa hal ini secara tepat agar penegakan hukum tidak semata-mata tekstual. Penyusunan tesis ini tuturnya tidak menemui kendala berarti. “Intinya saya memaknai tesis saya ini sebagai kolaborasi doa dan usaha, tanpa keduanya penelitian ini tidak akan berhasil,” tegas Dodik. Dalam proses penyusunan tesisnya menurut ia sudah mencapai target waktu yang ditargetkan oleh lembaga yang memberikan ia biaya kuliah, yaitu Lembaga Pengelolal Dana Pendidikan (LPDP). Selain itu, dengan dorongan dari ibu dan ayahnya yang ketika itu masuk ICU di RSU Situbondo, Dodik melaksanakan ujian tesis dengan lancar. Ketika ditanya pengalaman lainnya, Dodik bercerita tentang bagaimana perjuangannya sebagai anak kos yang pergi ke kampus harus terbiasa naik angkot dengan keadaan sesak dan panas. “Maklum tempat kos saya cukup jauh sementara saya tidak membawa alat transportasi roda dua selama kuliah,” ungkapnya. Warna-warni orang-orang Surabaya dimanfaatkannya untuk mengenal lebih banyak karakteristik masing-masing orang yang ia jumpai di angkot, sehingga kemudian pria yang juga hobi menulis ini terbiasa naik angkot dan mendapatkan manfaatnya. “Saya bisa tahu banyak rute angkot Surabaya daripada mereka yang sudah lama di Surabaya,” pungkasnya. (*) Penulis : Achmad Janni Editor : Nuri Hermawan
Unsiyah Anggraeni, Angkat Kasus Prostitusi, Seimbangkan Akademik dan Organisasi UNAIR NEWS – Mengangkat tema penulisan tentang jaringan sosial prostitusi tidaklah gampang, pastinya ada beberapa hal yang harus dilakukan dan juga siap menanggung berbagai bentuk resiko, bahkan bisa-bisa penelitian pada ranah ini akan urung dilanjutkan apabila tidak siap. Menepis berbagai anggapan miring tersebut, perempuan kelahiran Pasuruan, 28 Pebruari 1994 ini mengangkat judul “Jaringan Sosial Prostitusi di Kawasan Tretes Pasuruan” pada skripsinya. Perempuan yang pernah meraih juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Goresan Pena Sosial tingkat mahasiswa se Jawa Timur ini berhasil menyelesaikan penyusunan tentang Jaringan sosial pada kawasan prostitusi dengan tepat. “Penelitian ini saya lakukan sekitar 2 bulan, setiap harinya dimulai dari pukul 8 malam hingga 11 malam,” ungkapnya. Unsiyah bercerita lebih lanjut tentang isi dari skripsinya, yaitu tentang jaringan sosial prostitusi yang melibatkan banyak aktor didalamnya dengan fokus kajian pada latar belakang seseorang menjadi pelacur yang kemudian mempengaruhi pada praktik-praktik prostitusi di Tretes. Anak desa yang juga menyukai pendakian dengan seksama ketika berinteraksi jaringan prostitusi, bahkan berbagai penelitian tersebut membuatnya semakin
gunung ini mendengarkan dengan pemeran utama hal yang ia dapat dari dewasa.
“Curahan hati mereka setidaknya membuat saya harus bersikap lebih bijaksana,” tuturnya.
Skripsi yang mengantarkannya menjadi wisudawan terbaik dengan nilai IPK 3,75, harus ia selesaikan dengan selalu mendapatkan teguran dari kedua orang tuanya, dengan alasan berhubungan dengan persoalan prostitusi. Jerih payahnya akhirnya terbayar, skripsinya dapat terselesaikan dengan baik. “Kalau menginginkan hasil yang bagus wajib membaca berbagai referensi yang sangat berkaitan dan valid,” paparnya ketika sedikit membagikan tips triknya. Ketekunannya memang sudah lumrah, pasalnya selama kuliah ia memiliki keahlian dalam bidang penulisan. Hal tersebut terbukti dengan berbagai prestasi pernah didapatkannya, selain Juara LKTI Jawa Timur, ia juga pernah menjadi Participant of international conference Multidisciplinary Trends In Academic Research (MTAR-2015) di Bangkok Thailand tahun 2015, kemudian juga Finalis LKTI Youth Power Paper UGM 2015 dan juga Juara 3 Pekan Ilmiah Mahasiswa (PIM) PKM GT Se-Universitas Airlangga tahun 2014. Perempuan dengan nama lengkap Unsiyah Anggraeni, juga aktif di organisasi. Beberapa amanah yang sempat ia duduki antara lain staf administrasi Sekretaris Kabinet BEM KM Universitas Airlangga, serta ormawa-ormawa tingakat universitas dan fakultas juga organisasi Ekstra kampus. “Organisasi memberikan saya pengalaman dan ilmu lain namun saya juga mengimbanginya baik,”pungkasnya. (*) Penulis : Achmad Janni Editor : Nuri Hermawan
dengan
akademik
yang