Resensi Buku Judul : Disturbing Divine Behavior. Troubling Old Testament Images of God Pengarang : Eric A. Seibert Penerbit : Fortress Press, Minneapolis Tahun : 2009 Tebal : xii + 347 Persoalan kekerasan dalam Alkitab merupakan persoalan klasik yang senantiasa mengusik hati beberapa orang tertentu. Sejak Marcion masalah ini tidak berhenti dibicarakan. Hal ini menunjukkan bahwa rupanya, masalah ini memang tidak bisa dipecahkan dengan tuntas. Selalu saja muncul teori atau pembahasan baru dari masalah ini. Adalah Eric A. Seibert, seorang pengajar Perjanjian Lama di Messiah College di Mechanicsburg, yang mengungkit kembali persoalan ini ke permukaan persoalan ini. Sesuai dengan judulnya Disturbing Divine Behavior, Seibert berusaha menelusuri lagi persoalan kuno, yaitu kekerasan yang melibatkan Yang Ilahi. Sub judul yang ada Troubling Old Testament Images of God, mengarahkan pembaca pada topik yang lebih spesifik, yaitu gambaran Allah yang terdapat di dalam Perjanjian Lama. Tak dapat dipungkiri bahwa topik ini adalah topik yang unik. Berbeda dengan topik lain, pembahasan topik ini mau tidak mau merupakan pergulatan pribadi. Orang yang berusaha memahami topik kekerasan dalam Alkitab ini, tidak bisa melakukannya tanpa adanya keterlibatan pribadi. Oleh karena itu, refleksi tentang topik ini sebenarnya merupakan sharing pribadi sang pengarang sendiri. Demikianlah, pada bagian awal bukunya, Seibert merasa perlu menyertakan satu bagian yang diberi judul A Personal Journey yang mengungkapkan siapa dirinya serta apa arti Alkitab bagi yang bersangkutan. Seibert adalah seorang Kristen yang serius. Ia adalah anggota gereja The Brethern in Christ, sebuah denominasi yang berakar pada tradisi Anabaptis, Pietist serta Wesleyan. Bagi Seibert, Alkitab adalah Sabda Allah; Alkitab mempunyai otoritas tertinggi dalam bidang moral dan perilaku (hal. 3). Pada bagian pengantar, Seibert menjelaskan bahwa tujuan utama dari bukunya adalah untuk menolong orang bagaimana menggunakan Alkitab untuk merenungkan Allah setepat mungkin (hal. 5). Mengutip Terence Fretheim seorang ahli Perjanjian Lama, dikatakan bahwa gambaran tentang Allah mempunyai “a powerful impact on the shape of the life of the believer” (hal. 5). Pemahaman yang tidak tepat tentang Allah bisa mengacaukan arah kehidupan orang percaya. Dalam hal ini, gambaran Allah yang penuh kekerasan yang bagaimana pun bisa ditemukan di dalam Alkitab, perlulah dijelaskan supaya orang bisa sampai pada gambaran yang tepat tentang Allah.
206 —
Orientasi Baru, Vol. 22, No. 2, Oktober 2013
Buku Seibert ini terdiri dari 12 bab yang terbagi menjadi 3 bagian, masingmasing terdiri dari 4 bab dengan sebuah introduksi, prolog serta epilog. Alur keseluruhan dari gagasan Seibert ini rasanya cukup jelas dan mudah diikuti: Bagian Pertama diberi judul Examining the Problem of Disturbing Divine Behavior (15-88). Bagian ini terdiri dari empat bab. Bagian ini praktis merupakan tinjauan tentang masalah serta bagaimana selama ini orang berhadapan dengan masalah tersebut. Pertama-tama ditampilkan teks-teks Perjanjian Lama yang dianggap menampilkan kekerasan yang melibatkan Allah (Bab 1). Kemudian dirinci juga, siapa persisnya orang atau kelompok yang terusik dengan keberadaan teks-teks tersebut (Bab 2). Dalam Bab 3 Seibert menguraikan bagaimana sepanjang sejarah orang menghadapi persoalan tersebut. Dilukiskan secara singkat mulai dari peranan para editor Kitab Tawarikh yang mengubah 2Sam 24,21 dalam 1Taw 21,1, kemudian model-model penafsiran tipologi dan alegoris, sampai dengan Marcion dan para ‘Marcionist modern’ seperti Frederich Delitzch, Adolf von Harnack dan Hector Avalos. Setelah menguraikan bagaimana generasi terdahulu menghadapi persoalan tersebut, Seibert melanjutkan dengan memaparkan pandangan yang lebih modern dalam bab berikutnya (Bab 4). Sesuai dengan judul bab ini, Defending God’s Behavior in the Old Testament, bagian ini berusaha memahami Allah dengan segala kekerasan yang Ia lakukan sebagaimana terungkap di dalam Alkitab. Bagian kedua yang berjudul Understanding the Nature of Old Testament Narratives (91-168), maju selangkah dengan menganalisis secara lebih detil teks-teks yang problematik itu. Ada empat bab dalam bagian ini. Pertanyaan pertama yang muncul dalam rangka analisis ini adalah apakah kisah-kisah kekerasan dalam Perjanjian Lama itu memang sungguh-sungguh terjadi seperti digambarkan (Bab 5). Tentu saja pertanyaan seperti ini tergantung pada paham pembaca tentang Alkitab secara umum dan Perjanjian Lama secara khusus. Setelah meneliti dengan cermat, Seibert berpendapat bahwa teks-teks naratif yang mengeksploitasi kekerasan tidak bisa dipandang sebagai sebuah laporan historis dari peristiwa tertentu, tetapi perlu dipahami sebagai sebuah jenis sastra tertentu. Tentu saja pendapat yang menolak historisitas narasi Perjanjian Lama tidak diterima begitu saja oleh banyak orang terutama karena paham mereka tentang Alkitab. Oleh karena itu, dalam Bab 6 Seibert memaparkan beberapa pendapat yang berkeberatan bahwa narasi Perjanjian Lama bukan sesuatu yang historis. Selanjutnya Seibert berusaha menguraikan pemahaman-pemahaman mengapa narasi-narasi yang problematik itu toh tetap masuk menjadi bagian dari Alkitab (Bab 7). Bab 8 memaparkan beberapa pengandaian teologis yang ada di balik Perjanjian Lama. Beberapa pengandaian itu misalnya: Allah adalah penguasa sejarah, Allah itu penyebab segala sesuatu; Allah mengganjar yang benar dan menghukum yang jahat. Pengandaian-pengandaian seperti ini perlu diperhitungkan kalau kita berhadapan dengan tema kekerasan dalam Alkitab.
Resensi Buku
— 207
Bagian ketiga diberi judul Developing Responsible Readings of Troublesome Texts (169-240). Sebagaimana bisa tampak dari judulnya, inti dari buku Seibert terletak di bagian ini. Setelah menguraikan problematik dan solusi yang pernah diusulkan banyak orang pada dua bagian sebelumnya, pada bagian ketiga ini Seibert menyampaikan pandangannya tentang problematik kekerasan Allah dalam Alkitab. Langkah pertama yang diusulkan Seibert adalah membedakan Allah menurut teks (textual God) dari Allah yang sesungguhnya (actual God) (Bab 9). Textual God adalah Allah yang hadir di dalam teks, yang merupakan gambaran dari penulis kitab suci. Sebagai penulis, ia terpengaruh oleh latar belakangnya. Sementara Actual God adalah kenyataan hidup dari Allah yang sesungguhnya. Bab 10 menjadi inti seluruh argumen Seibert. Gambaran Allah dalam Perjanjian Lama itu pada akhirnya mesti dinilai berdasarkan ukuran tertentu. Seibert berargumen bahwa “the God Jesus reveals should be the standard, or measuring rod, by which all Old Testament portrayals of God are evaluated” (hal. 185). Gambaran Allah Perjanjian Lama yang selaras dengan gambaran Allah yang diwahyukan oleh Yesus adalah Allah yang sejati; sementara yang tidak selaras merupakan penyimpangan. Seibert menyebut metode penafsirannya, Christocentric hermeneutic. Beberapa ciri Allah yang diwahyukan Yesus: Allah yang baik kepada orang berdosa, Allah yang non-kekerasan, Allah yang tidak menggunakan bencana alam atau cacad fisik sebagai hukuman, dan terakhir Allah adalah kasih. Dua bab berikutnya (Bab 11 dan 12) lebih bersifat pastoral. Di dalamnya Seibert mengajak pembaca untuk bersikap bijaksana saat berhadapan dengan teks-teks yang penuh kekerasan seperti itu. Kemudian beberapa usulan praktis untuk hidup komunitas disampaikan. Bagi Seibert, persoalan kekerasan dalam Alkitab – entah itu gambaran Allah yang kejam atau kisah-kisah alkitabiah yang keras – terletak pada masalah penafsiran. Tetapi di balik ini, terdapat pengandaian berkaitan dengan paham tentang Alkitab. Pada bagian awal bukunya, Seibert menekankan “the need to take the human origin of the Bible with full seriousness and to distinguish between the Bible’s portrayal of God and God’s true character” (hlm. 5). Ini mengandaikan bahwa pengarang alkitabiah mempunyai peranan cukup besar dalam menuliskan teks-teks Kitab Suci. Dengan ini Seibert masuk dalam sebuah persoalan lain yang sama rumitnya, yaitu soal inspirasi dan wibawa Alkitab. Tidak mengherankan jika ia juga menyelipkan dalam bukunya satu appendiks yang berjudul Inspiration and the Authority of the Scripture (263-280), suatu topik lain yang tidak kunjung ditemukan solusinya. Buku Seibert ini memberi pencerahan terhadap problem kekerasan dalam Alkitab, meskipun tidak lepas dari kekurangan. Yang jelas, pendekatan Christocentric Hermeneutic tidak mungkin bisa diterima oleh kelompok Yahudi yang juga mengakui Perjanjian Lama kita sebagai Kitab Sucinya. Untuk kalangan tertentu buku tulisan Seibert ini termasuk kontroversial karena mengemukakan
208 —
Orientasi Baru, Vol. 22, No. 2, Oktober 2013
gagasan tentang Kitab Suci yang tidak ortodoks. Beberapa komentar di dunia maya cukup keras mengritik Seibert. Tetapi yang jelas, yang dikritik bukan argumennya dalam menghadapi teks-teks bernuansa kekerasan ilahi, tetapi dasarnya yang mengandaikan sebuah paham tentang Kitab Suci yang tertentu. Paham dasar inilah yang dianggap merongrong kewibawaan Kitab Suci. (Indra Tanureja)
Judul : Vatican II – The Battle for Meaning Pengarang : Massimo Faggioli Penerbit : Paulist Press, New York/Mahwah Tahun : 2012 Tebal : viii+199 halaman
Peringatan 50 tahun Konsili Vatikan II yang diadakan oleh Gereja Katolik di seluruh dunia menantang sebuah selebrasi yang bukan hanya pada tingkat ritualliturgis saja tetapi juga tingkat akademi-ilmiah. Di level para ahli teologi, Konsili Vatikan II ini direfleksikan kembali menurut sudut pandang masing-masing dan ditempatkan dalam perkembangan Gereja pada masa kini dan mendatang. Salah satu kupasan mendalam mengenai Konsili Vatikan II dari sudut sejarah, khususnya mengambil fokus perdebatan arti Vatikan II ini sendiri adalah buku Vatican II – The Battle for Meaning, yang ditulis oleh Asisten-Profesor Massimo Faggioli dari Universitas St. Thomas di St. Paul Minnesota, USA. Penulis yang pernah hadir dan memberikan ceramah dan seminar di Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma – Yogyakarta, bulan Agustus 2012 ini, dipuji sebagai seorang ahli pada bidang Konsili Vatikan II, seperti diungkapkan dalam salah satu komentar dalam cover luar buku ini. Kata-kata judul buku The Battle for Meaning untuk Konsili Vatikan II ini sudah menunjuk dengan jelas dan tepat mengenai isi seluruh buku. Faggioli bukan hanya menjabarkan Vatikan II dari sisi sejarahnya tetapi terutama mau menyampaikan hiruk pikuk diskusi dan bahkan perdebatan dari para Bapa Konsili beserta para teolog ahlinya, serta semua pihak yang terlibat di dalamnya. Penulis sendiri menyebut bahwa buku ini bukan sekedar mengenai konsili tetapi juga mengenai debat-debat yang mengiringi perjalanan Vatikan II itu sendiri (vi), entah saat proses persiapan, sidang, dan terutama juga masa-masa pasca Vatikan II hingga ulang tahunnya yang kelima puluh ini. Dengan demikian buku ini ingin memperkaya diskusi teologis pada zaman ini mengenai pergulatan interpretasi teologis atas Vatikan II dari Gereja Katolik selama pasca Konsili. Pada bab I, penulis langsung menyampaikan sejarah perdebatan yang berlangsung dalam sidang Konsili Vatikan II sendiri, dan kemudian sejarah singkat
Resensi Buku
— 209
tanggapan atas pasca Vatikan II (1-18). Bahwa akhirnya sidang Konsili Vatikan II dapat ditutup dengan meriah pada tahun 1965 bukan berarti bahwa diskusi dan perdebatan mengenai arti ajaran Konsili Vatikan II berakhir. Bahkan ketika para Uskup dan teolog yang dahulu berperan serta secara aktif dalam sidang Konsili Vatikan II telah pergi dan muncul generasi baru, debat-debat teologis mengenai tema-tema sidang Vatikan II ini tetap berlanjut hingga kini. Keistimewaan Konsili Vatikan II yang diumumkna oleh Paus Yohanes XXIII ini adalah peserta sidang Konsili yang mampu menghadirkan Gereja Dunia baik sudut budaya maupun sudut teologis. Menurut Faggioli kehadiran hampir seluruh Uskup di dunia yang jumlahnya sekitar 2.500 orang itu sudah menunjukkan penerimaan awal (the early reception) atas Vatikan II dari Konsili itu sendiri (3). Penulis melihat bahwa Konsili Vatikan II ini diakui, diterima tetapi juga ditolak (periode tahun 19651980), dirayakan dan dilaksanakan (periode tahun 1980-1990), didokumentasikan seperti tampak dalam selesainya proyek tulisan 5 jilid buku History of Vatican II yang diedit oleh Giuseppe Alberigo (periode tahun 1990-2000), dan pada awal abad XXI ini arti dan dampak Konsili Vatikan II kembali direnungkan menurut arah pergulatan baru sebagaimana ditandai dengan terpilihnya Paus Benediktus XVI yang menggantikan Paus Yohanes Paulus II tahun 2005. Bab II mendiskusikan berbagai reaksi dan tanggapan dalam konteks penerimaan (reception) atas Konsili Vatikan II (19-37). Setelah sidang Konsili ini ditutup ternyata muncul banyak sekali reaksi atas hasil dan implementasi Vatikan II. Ada kelompok ekstrim yang sama sekali berlawanan, seperti kelompok liberalprogresif yang justru kecewa dengan implementasi Vatikan II yang dipandangnya terlalu lambat dan bahkan tak terlaksana, dan kelompok Katolik tradisionalis dengan tokohnya yang terkenal Uskup Marcel Lefebvre (1905-1991) yang jelas-jelas menolak hasil sidang Konsili Vatikan II dan memilih untuk berpisah dari Gereja. Akan tetapi pada umumnya Vatikan II diterima oleh mayoritas Uskup di seluruh dunia sebagai sebuah konsili pembaruan. Pada sepuluh tahun pertama sejak penutupan sidang konsili, para Uskup yang pernah mengikuti sidang Vatikan II itu tidak merasa kesulitan untuk mengimplementasikan hasil-hasil sidang konsili dan mereka juga merasakan perlunya suatu kebersamaan atau kolegialitas dalam gerak pembaruan Gereja ini (21-22). Faggioli mengutip komentar bijak dari Yves Congar pada saat memperingati 10 tahun Konsili itu: “Sangatlah penting untuk (1) memiliki sensibilitas sejarah dan (2) menunggu waktu atau memiliki kesabaran terhadap proses yang diperlukan untuk memahami, mengembangkan, menerapkan, dan mematangkan hal-hal. Sangatlah perlu bagi kita untuk memberi waktu pada diri kita sendiri untuk mencerna Vatikan II – lalu suatu Vatikan III atau Yerusalem II? Tidak secepat itu” (22). Vatikan II juga menandai sebuah zaman baru dari Gereja, yakni Gereja Dunia. Singkatnya, Gereja bukan hanya di Roma. “Vatican II: Beyond Rome” inilah judul bab III (38-65). Dalam bab ini, penulis mengutip kata-kata Karl
210 —
Orientasi Baru, Vol. 22, No. 2, Oktober 2013
Rahner yang tersohor mengenai Konsili Vatikan II sebagai awal dari permulaan (the beginning of the beginning). Pandangan Vatikan II sebagai awal dari permulaan menunjuk pada fase atau zaman baru tersebut, ketika Gereja Katolik tidak identik begitu saja banya sebagai Gereja yang berpusat di Roma atau Eropa, tetapi Gereja Katolik yang juga hadir di berbagai tempat di seluruh penjuru dunia. Penulis juga mencatat apresiasi atau penghargaan atas Vatikan II ini dari Gereja-gereja dan para teolog dari non-Katolik. Dengan demikian iklim ekumenis yang sejak semula dicipta dan didorong oleh Paus Yohanes XXIII dan dilanjutkan oleh Paus Paulus VI terus berlanjut dalam praktek hidup Gereja. Faggioli juga menyebut beberapa aliran teolog besar sebagai penafsir Konsili Vatikan II melalui jurnal internasional yang dipublikasikan, yakni Concilium yang berbahasa Inggris, Spanyol, Jerman, Portugis dan Italia dan yang diterbitkan oleh kelompok mayoritas peserta sidang Konsili seperti M.-D. Chenu, Yves Congar, Hans Küng, Karl Rahner, E. Schillebeeckx, Joseph Ratzinger, dan Henri de Lubac. Selain Concilium, kemudian terbit juga jurnal Communio yang didirikan oleh para teolog seperti Hans Urs von Balthasar, Henry de Lubac, dan Joseph Ratzinger. Di belahan bumi lain, muncul pula aliran teologi sebagai tanggapan atas Vatikan II yang terkenal dengan nama teologi pembebasan seperti di Amerika Latin, dan teologi feminis yang terutama berkembang di Amerika Serikat. Sementara itu, tempat-tempat baru seperti Afrika, Asia dan Australita menjadi saksi sejarah terhadap perkembangan aliran teologi yang lebih menitik beratkan makna Gereja lokal, dialog dengan agamaagama non-kristiani, serta teologi inkulturasi. Ketika menyoroti masa penerimaan Konsili Vatikan II pada masa kepausan Yohanes Paulus II, penulis membicarakan dua arus tendensi teologis yang mencolok yakni arus teologi neo-agustinian dan arus teologi neo-thomisme. Kedua arus teologi ini tampak dalam rangka menjelaskan hubungan antara Gereja dan dunia. Inilah yang dibicarakan penulis dalam bab IV (66-90). Kita tahu bahwa arus teologi neo-agustinian merupakan pemikiran teologis melalui refleksi filosofis yang dekat dengan Platonis, dan arus teologi neo-thomisme yang lebih dekat dengan Aristotelis. Kedua arus teologi ini sebenarnya sudah terasa dan mencuat dalam sidang Konsili Vatikan II sendiri. Arus teologi neoagustinian cenderung melihat posisi Gereja dan dunia sebagai yang berlawanan. Artinya, dunia dilihat secara negatif, penuh dosa dan kejahatan; maka Gereja perlu selalu waspada dan sangsi pada dunia. Sementara itu arus teologi neothomisme menunjuk pada pandangan yang lebih terbuka terhadap dunia dan mengajak dialog dengan dunia. Faggioli menyebut tokoh-tokoh seperti Hans Urs von Balthasar, J. Ratzinger, Henri de Lubac dan Louis Bouyer sebagai pengikut arus neo-agustinian, dan tokoh-tokoh seperti Y. Congar, K. Rahner, M.-D. Chenu, Schillebeeckx sebagai yang termasuk pengikut arus neo-thomisme. Cara pendekatan tersebut ternyata juga tetap mewarnai sinode para Uskup tahun 1985 yang diadakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam rangka memperingati 20 tahun penutupan Konsili Vatikan II. Resensi Buku
— 211
Sebenarnya sinode para Uskup tahun 1985 dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai perbedaan penafsiran atas Vatikan II. Namun ternyata pengharapan ini tidak seluruhnya terwujud. Sebab semenjak sinode ini muncul upaya studi untuk menggali kembali makna Konsili Vatikan II melalui studi sejarah terhadap konsili ini. Inilah yang menjadi isi pokok bab V dari buku ini. Menurut Faggioli, studi historis atas Konsili Vatikan ini terjadi pada rentang waktu 20 tahun antara 1985-2005. Tahun 2005 ditandai dengan penerbitan buku komentar teologis atas dokumen Konsili Vatikan II yang diedit oleh Hilberath dan Hünermann dalam lingkup bahasa Jerman, dan terpilihnya Paus Benediktus XVI. Sebagai seorang teolog Paus Benediktus memiliki cara pendekatan yang berbeda dari Paus Yohanes Paulus II dalam menafsirkan Vatikan II. Faggioli melihat bahwa dalam masa kepausan Benediktus itu ada kesan dipinggirkannya historisitas konsili dan sebaliknya ditonjolkannya penafsiran historis atas Konsili Vatikan II (95). Penafsiran historis yang dikembangkan dalam masa Paus Benediktus terutama berfokus dalam materi debat di dalam kehidupan Gereja, khususnya bidang eklesiologi dan liturgi (96). Pada bab VI sebagai bagian terakhir dari buku ini, Faggioli mengupas beberapa permasalahan besar dari keseluruhan sejarah 50 tahun Konsili Vatikan II (118-144). Sekurang-kurangnya disebut 3 persoalan pokok: (1) pemahaman Vatikan II sebagai akhir atau awal dari pembaruan; (2) pemahaman atas dinamika hubungan antar teks dokumen konsili itu sendiri; dan (3) perubahan dan kesejarahan dalam Gereja dan teologi. Pada epilog, penulis menegaskan bahwa Konsili Vatikan II merupakan sebuah peristiwa paradigmatis dari sebuah zaman baru dalam sejarah Gereja Katolik, bukan hanya untuk apa yang terjadi pada Vatikan II tetapi juga untuk apa yang terjadi setelah Vatikan II (139). Setiap bab menyajikan sebuah tahap dalam sejarah perdebatan mengenai Vatikan II. Secara keseluruhan penulis berhasil membaca kembali sidang Konsili Vatikan II dan dokumen-dokumennya menurut pendekatan historis melalui fokus dinamika perdebatan teologis yang mengiringi sidang dan terutama masa penerimaan (reception) terhadap Vatikan II dalam perkembangan sejarah Gereja 50 tahun ini. Dengan literatur bacaan yang luas dan kaya, Faggioli memperkaya kita dengan berbagai diskusi teologis selama 50 tahun pasca Vatikan II ini. Bila beberapa tema sering dibahas terlalu singkat dan kurang mendalam dalam buku ini, kiranya itu tidak mengurangi keunggulan buku ini yang oleh beberapa komentator dikatakan sebagai buku wajib bagi orang-orang yang ingin mendalami Konsili Vatikan II dan pengaruhnya pada Gereja Katolik hari ini. (E.P.D. Martasudjita)
212 —
Orientasi Baru, Vol. 22, No. 2, Oktober 2013