PABBERE ORANG TUA KEPADA ANAKNYA MENURUT HUKUM ADAT BUGIS DALAM PRAKTIKNYA DI MASYARAKAT KABUPATEN SOPPENG
THE PRACTICE OF PARENT’S PABBERE TO THEIR CHILDREN ACCORDING TO BUGINESE CUSTOMARY LAW IN SOPPENG REGENCY SOCIETY
Mahyuddin,1 A. Suriyaman Mustari Pide,2 Sri Susyanti Nur2
1
Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, 2 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat Korespondensi: Mahyuddin, SH Alamat Jalan Sahabat I No.39, Tamalanrea, Makassar Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, 90125 HP: 085230817123 Email:
[email protected]
1
Abstrak Hukum waris Indonesia masih pluralistik dan sering tumpang-tindih dalam keberlakuannya. Masyarakat Kabupaten Soppeng mengenal bentuk adat Bugis pabbere yang terkait pewarisan yang sering dibenturkan dengan Hukum Waris Islam dalam penerapannya. Penelitian ini bertujuan mengetahui pemaknaan dan keberlakuan adat Bugis pabbere dalam praktik peralihan harta dari orang tua kepada anak di Kabupaten Soppeng, dan mengetahui kedudukan adat Bugis pabbere dalam hal terjadinya sengketa dari sudut pandang badan peradilan di Kabupaten Soppeng. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Soppeng yang diwakili oleh dua kecamatan dan dua badan peradilan (Pengadilan Negeri Watansoppeng dan Pengadilan Agama Watansoppeng). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara langsung. Data diolah dengan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk adat Bugis pabbere kepada anak, pemaknaan awalnya hanya sebagai pemberian biasa bukan warisan, tetapi tidak boleh berlebihan sehingga tetap menyisakan bagian warisan yang patut diterima ahli waris lain. Seiring perkembangannya dan pengaruh hukum Islam, pabbere juga dimaknai sebagai awal pewarisan yang menyebabkan lahirnya dua pemaknaan yang berbeda dalam masyarakat. Praktiknya, pemaknaan berbeda ini bukanlah sumber utama sengketa, tetapi proses dan sikap para pihak dalam keluarga terhadap pabbere-lah yang kerap melahirkan sengketa. Di badan peradilan, untuk pengadilan agama, pabbere dikenal sebagai al urf (hukum adat) dan dipadankan dengan hibah atau wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam. Sementara bagi pengadilan negeri, pabbere dimungkinkan berdiri sendiri sebagai hukum adat Bugis terpisah dari kewarisan. Sayangnya, dalam penerapan, belum ada kasus pabbere yang masuk pengadilan negeri karena umumnya disatukan dengan penetapan kewarisan yang kebanyakan dibawah ke lingkup pengadilan agama. Kata Kunci: Pabbere, Hukum Adat Bugis, Kabupaten Soppeng
Abstract Indonesian inheritance law is pluralistic and often overlap in the implementation. The society in Soppeng has practiced pabbere, which is often conflicted with the Islamic Inheritance Law. The research aims to find out the meaning and implementation of pabbere in the practice of transferring property from parents to their children in Soppeng regency, and the position of Buginese custom pabbere when there is dispute from the judiciary point of view in Soppeng regency. This research was carried out in Soppeng regency represented by 2 districts and 2 judiciaries (Watansoppeng State Court and Watansoppeng Religion Court). Data were collected using direct interview technique and the collected data were processed using qualitative descriptive analysis. The research result indicates that Buginese pabbere custom was initially only as regular provision to the children and not a inheritance, but it can not be ini excessive amount, so there is adequate amount left for the appropriate inheritance for the other heirs. Along with its development and the influence of Islamic law, pabbere is also considered as the beginning of inheritance that to 2 different meanings in the society. Practically, this different meaning is not the source of the dispute, but the process and the attitude of the family members towards pabbere that usually triggerthe dispute. In the religion court, pabbere is known as al urf and considered the same as grant (hibah) or last will (wasiat) in the Islamic law compilation. Whereas, in the state court, there is possibility that pabbereas Buginese customary law is separated from inheritance matter. Unfortunately, there has not been any pabbere case taken the state court yet., because pabbere dispute is generally combined with last determination that usually under the religion court scope. Keywords: Pabbere, Buginese Customary Law, Soppeng Regency
2
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang luas dan kaya akan sumber-sumber hukum. Di bidang kewarisan dalam praktiknya terdapat tiga sistem hukum yang mengatur tentang hukum waris yaitu pertama hukum waris perdata barat (berdasarkan BW/boergerlijk wetboek), kedua hukum waris Islam, dan ketiga hukum waris adat (tutik, 2009). Khusus di kabupaten Soppeng hukum waris adat dan hukum waris Islam masih digunakan masyarakat. Berkaitan dengan kewarisan ini, masyarakat Soppeng juga mengenal istilah pabbere sebagai bentuk pemberian harta dari orang tua kepada anaknya. Berkenaan dengan hubungan hukum adat dengan hukum Islam di atas oleh beberapa pakar dianggap berjalan dengan harmonis dan tidak harus dipertentangkan. Keharmonisan ini dapat dilihat dalam pepatah Minang yang berbunyi “adat dan syara’ sanda menyanda, syara’ mengato adat memakai” atau dengan pepatah lain yang bermakna sama “adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah”. Menurut Hamka, makna pepatah ini adalah hubungan (hukum) adat dengan hukum Islam (syara’) erat sekali, saling topang-menopang, karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri (Daud, 2000). Ternyata dalam kenyataannya ada beberapa kebiasaan masyarakat tidak diatur atau bahkan tidak seharmonis dengan ketentuan yang ditetapkan dalam hukum Islam. Kebiasaan masyarakat yang sering bertentangan atau tidak sejalan dengan hukum Islam dalam praktiknya terletak dalam bidang kewarisan dan perkawinan. Menurut pandangan Snouck Hurgorenje dan Van Vollenhoven yang menyatakan tidak semua bagian hukum agama diterima, diresepsi dalam hukum adat, hanya beberapa bagian tertentu saja dari hukum adat yang dipengaruhi oleh hukum agama (Islam) yaitu terutama bagian yang berkaitan erat dengan kepercayaan dan hidup batin sedang hukum keluarga dan hukum waris masih kental dengan unsur adat masyarakat (Muhammad, 2006). Ketidakharmonisan tersebut dapat dilihat dari pabbere orang tua kepada anaknya di Kabupaten Soppeng ini, dimana pemaknaan umumnya secara adat dianggap sebagai pemberian biasa walau ditujukan kepada anak. Pabbere ini merupakan pemberian dari seseorang kepada orang lain atau dapat juga pada keluarganya sendiri sebagai bentuk hadiah kepada orang yang menerimanya tersebut. Dalam perkembangan keberlakuannya, pabbere juga dianggap sebagai awal dari pewarisan. dimana pabbere yang diberikan pewaris semasa hidupnya atas hartanya kepada ahli warisnya dimaksudkan sebagai manaa (warisan). Pabbere sebagai sarana pewarisan inilah yang sering menjadi pemicu gejala konflik dalam masyarakat terutama pabbere dari orang tua kepada anaknya ini. Perlu ditekankan bahwa 3
pabbere biasapun dapat diberikan orang tua kepada anaknya, begitupun dengan pabbere sebagai sarana pewarisan. Sehingga dalam praktiknya hal ini kerap menimbulkan kerancuan makna bagi pihak yang menerima pabbere tersebut. Potensi konflik dari pabbere ini makin diperuncing karena perkembangan kesadaran masyarakat yang mulai menerapkan secara murni aturan hukum kewarisan Islam dalam kehidupannya dimana dalam aturan tersebut pabbere seperti ini tidak diakui dan walau dikenal hanya sebagai al urf (hukum adat) yang hanya menjadi pelengkap dari hukum Islam, sedang di satu sisi masih ada juga kalangan masyarakat yang lakukan kegiatannya yang bersumber pada aturan adat Bugis. Pabbere dari orang tua kepada anaknya menimbulkan potensi sengketa biasanya setelah meninggalnya si orang tua yang melakukan pabbere tersebut. Contoh sengketa pabbere ini dapat dilihat dari putusan Pengadilan Agama Watansoppeng Nomor: 443/Pdt. G/2008/PA Wsp dan putusan Nomor: 65/Pdt. G/2008/PA Wsp. Dua contoh sengketa ini terjadi karena adanya perbedaan penafsiran mengenai pemaknaan dan sumber hukum yang digunakan dari pabbere tersebut. Ketika konflik ini dibawah ke wilayah lembaga peradilan maka bagi penduduk Soppeng yang memeluk agama Islam akan membawa sengketa kewarisannya ke pengadilan agama. Tentu saja penyelesaiannya akan didasarkan pada aturan Hukum Islam yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), padahal pangkal dari hal yang disengketakan tersebut menggunakan sistem hukum adat Bugis. Berdasarkan deskripsi permasalahan dalam penerapan hukum waris adat dalam masyarakat Kabupaten soppeng di atas, maka penulis merasa penting untuk melakukan Penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui pemaknaan dan keberlakuan adat Bugis pabbere dalam praktik peralihan harta dari orang tua kepada anaknya di Kabupaten Soppeng, serta untuk mengetahui kedudukan adat Bugis pabbere dalam hal terjadinya sengketa dari sudut pandang badan peradilan di Kabupaten Soppeng. Dari penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan pemecahan atas sengketa yang terjadi di bidang kewarisan dan dapat menambah wawasan yang berkaitan dengan hukum adat.
METODE PENELITIAN Lokasi dan rancangan penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Soppeng yang diwakili Kecamatan Lilirilau dan Kecamatan Ganra dengan pertimbangan masih adanya kalangan masyarakat Bugis di daerah ini yang tetap menganut sistem hukum adat Bugis dalam kehidupannya khususnya mengenai bentuk adat pabbere. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum (legal research) dengan karakteristik sosiologi hukum. 4
Jenis dan sumber data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer (data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama melalui wawancara langsung dari responden yang terpilih yang berkompeten di lokasi penelitian dan data sekunder (data yang diperoleh dari sumber-sumber yang sudah tersedia, seperti dokumen-dokumen peraturan perundang-undangan dan literatur bacaan yang relevan). Teknik pengumpulan data Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dipergunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara (teknik pengumpulan data secara langsung kepada narasumber melalui tanya jawab secara lisan), dan studi kepustakaan (peraturan perundang-undangan dan literatur bacaan yang relevan). Populasi dan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Kabupaten Soppeng dan lembaga Pengadilan yang berfungsi menyelesaiakan sengketa. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Analis data Keseluruhan data yang diperoleh baik dalam bentuk data primer maupun data sekunder diolah, kemudian dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan dengan bahasa ilmiah yang sederhana dan mudah dipahami dalam bab pembahasan selanjutnya. Penggunaan metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data sedetail mungkin tentang objek yang diteliti.
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pabbere orang tua kepada anaknya masih sering dilakukan oleh masyarakat Bugis Kabupaten Soppeng dalam proses peralihan harta. Pabbere ini diartikan sebagai pemberian kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau balas jasa. Dasar dari pabbere ini dapat dilihat dalam pepatah bugis yang menyatakan luka manaa telluka pabbere. Maknanya manaa (warisan) dapat ditarik kembali sedang pabbere (pemberian) sekali diberikan tidak dapat ditarik kembali. Hal ini juga menunjukkan bahwa pabbere berbeda dengan manaa (warisan). Pabbere orang tua kepada anak ini pemaknaan awalnya walau ditujukan kepada keturunan sendiri tapi sifatnya tetap sebagai pemberian bukan sebagai warisan. Hanya saja pabbere ini tidak boleh terlalu berlebihan dalam hal besaran bagiannya sehingga menghilangkan hak waris bagi ahli waris lainnya. 5
Perkembangannya, pabbere orang tua kepada anaknya ini digunakan juga sebagai sarana pewarisan. Keberlakuan (kondisi kekinian) pranata pabbere orang tua kepada anaknya ini mengalami perluasan makna yaitu di satu sisi tetap dimaknai sebagai pemberian biasa sedang di sisi lainnya dapat dianggap sebagai proses pewarisan. Baik tokoh masyarakat maupun warga masyarakat Soppeng sendiri terpecah dalam dua pandangan mengenai pabbere ini. Dalam praktiknya, umumnya permasalahan dan sengketa mengenai pabbere ini lahir bukan karena perbedaan pandangan itu, tapi disebabkan oleh proses pabbere yang tidak dilakukan dengan baik, sikap atau perlakuan orang tua yang berbeda kepada anak-anaknya, dan sikap anak-anaknya dalam menanggapi keputusan atau ketetapan dari orang tuanya. Faktor ketidaksepahaman hukum juga menjadi alasan lahirnya potensi sengketa yang berkaitan dengan pabbere ini. Makin menguatnya pengaruh dan pemahaman masyarakat akan hukum agama Islam yang dianutnya kerap menimbulkan penafsiran hukum yang berbeda atas dasar hukum pelaksanaan pabbere ini. Perbedaan penafsiran hukum yang dipakai ketika melakukan pabbere besar kemungkinan melahirkan sengketa yaitu ketika orang tua mendasarkan tindakan pabbere kepada adat yang dipahaminya sedang ahli warisnya melihatnya dari sudut padang agama Islam yang mereka anut. Dalam hal inilah dapat dilihat pentingnya duduk bersama dalam forum musyawarah untuk menyamakan persepsi diantara orang tua dan ahli warisnya mengenai dasar atau alasan dan hukum yang dipakai dalam praktik pabbere ini sehingga potensi konflik yang lahir karena perbedaan persepsi hukum yang dipakai dapat dicegah. Dan jika hal ini tidak dilakukan, maka besar kemungkinan pabbere yang telah dilaksanakan oleh orang tua kepada anaknya akan menjadi sengketa sepeninggal orang tua tersebut. Ketika terjadi sengketa mengenai kedudukan hukum adat Bugis pabbere orang tua kepada anaknya maka biasanya akan dibawa ke lembaga pengadilan. Dilihat dari sudut pandang Pengadilan Agama Watansoppeng kedudukan pabbere ini hanya sebagai pelengkap yaitu diposisikan sebagai al-urf (hukum adat) dan harus disesuaikan dengan hukum Faraid (hukum waris Islam) yang dalam keberlakuannya dipadankan dengan hibah atau wasiat. Sedang dari sudut pandang Pengadilan Negeri Watansoppeng, pabbere ini sebuah bagian hukum adat yang berdiri sendiri dan dapat dijadikan pertimbangan dan dasar hukum bagi hakim untuk memutus suatu perkara yang berkaitan dengan kewarisan adat. Tapi, dalam kenyataan sejak tahun 2000 sengketa tentang pabbere ini tidak pernah disengketakan di pengadilan negeri tapi masuk ke pengadilan agama karena mengikut pada sengketa penetapan harta warisan secara umum.
6
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa pabbere orang tua kepada anaknya masih diakui dan diberlakukan oleh masyarakat Bugis di Kabupaten Soppeng sebagai bagian dari hukum adat Bugis, walau mereka sebagaian besar adalah penganut agama Islam dan tunduk pada ketentuan hukum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat Bugis Soppeng sekarang ini berdasarkan keyataannya berada pada tingkatan masyarakat transisional/madya yang ditandai berlakunya hukum adat dan hukum tertulis (hukum Islam) secara bersamaan. Berbicara masyarakat madya ini, didalamnya dapat dikatakan bahwa baik hukum tertulis maupun hukum adat berlangsung secara berdampingan. Agar hukum tertulis dapat efektif, maka harus diadakan program-program pelembagaan hukum tertulis tersebut, dengan memperhatikan peranan hukum adat. Proses pelembagaan tersebut akan berhasil, apabila dipertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut: efektifitas penanaman unsur-unsur baru, reaksi masyarakat, dan jangka waktu penanaman unsur-unsur baru dalam masyarakat (Mustari, 2012). Sistem hukum pada masyarakat madya/transisional ditandai dengan adanya diferensiasi hukum yang berlaku di masyarakat. Hukum semakin memisahkan diri dari tradisi, adat-istiadat maupun ajaran agama. Posisi hukum adat dalam masyarakat transisional mulai berubah. Dalam masyarakat transisional ini, hukum adat mulai mengalami pergeseran dengan dibuatnya kodifikasi hukum. Karena sistem hukum tidak tertulis berlaku bersamaan dengan hukum kodifikasi, sehingga seringkali terjadi sengketa akibat tumpang tindih dari hukum-hukum yang berlaku (Soekanto, 1985). Bentuk pabbere orang tua kepada anaknya ini juga telah mengalami perkembangan makna seiring dengan perubahan masyarakat. Bentuk pabbere yang awalnya diartikan hanya sebagai pemberian biasa, dalam perkembangannya juga digunakan sebagai sarana pewarisan. Pabbere digunakan sebagai alat bagi orang tua (pewaris) untuk membagi hartanya kepada anak-anaknya (ahli warisnya) sebelum ia meninggal dunia. Pengembangan pemaknaan pabbere ini juga digunakan sebagai sarana untuk menerobos ketentuan pewarisan dalam hukum Islam yaitu ketentuan besaran bagian warisan 2 :1 antara laki-laki dan perempuan. Pemberian dalam keluarga ini sering terjadi ketika anak-anak mulai berdiri sendiri, maupun oleh perkawinan atau karena mulai membentuk keluarga sendiri. pemberian ini dilakukan sewaktu pemilik harta benda masih hidup, untuk menghindari percekcokan yang ia khawatirkan akan terjadi di antara anak-anaknya apabila pembagian harta benda diserahkan kepada mereka, bila pemilik harta benda itu telah meninggal dunia (Tamakiran, 2000). Pemberian seperti ini dapat dibedakan atas (1) pemberian sejumlah barang tertentu yang dilakukan oleh seorang ayah atau ibu kepada beberapa orang anaknya, dan (2) pemberian 7
seluruh harta kekayaan oleh seorang ayah/ibu kepada semua orang yang berhak menjadi ahli waris bila ia meninggal dunia. Bentuk pemberian yang mempunyai kaitan dengan kewarisan, sebagai contoh pemberian harta ayah atau ibu kepada anaknya untuk modal dasar dalam berumah tangga. Adapun pemberian yang kedua berarti seseorang ketika hidupnya mebagi semua harta kekayaannya kepada ahli warisnya bila ia meninggal dunia (Ali, 2008). Pabbbere
dalam
keluarga
meski tujuan pelaksanaannya untuk menghindari
percekcokan dalam keluarga, tapi kenyataannya hal inilah yang kerap menimbulkan potensi konflik dalam keberlakuannya. Adanya pengembangan pemaknaan pabbere ini kerap dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai pabbere. Kadang di satu pihak menyikapi dan menafsirkan bahwa pabbere tersebut hanya sekedar pemberian, sedang di pihak lain menyikapi dan menafsirkannya sebagai bagian/awal dari pewarisan ataupun sebagai hibah yang dikenal dalam hukum Islam. Sikap para pihak dalam memaknai pabbere ini tidak terlepas dari sudut pandang hukum yang digunakannya. Di satu pihak orang tua sebagai pemberi melakukan pabbere ini berlandaskan pada anggapan bahwa tindakan yang dilakukannya itu berdasarkan pada ketentuan hukum adat Bugis, begitupun bagi pihak anak yang menerimanya. Sedang di pihak lainnya, anak-anak atau ahli waris yang tidak menerima pabbere menganggap pabbere itu tidak sah karena mereka melihatnya dalam sudut pandang Islam ataupun menganggap pabbere itu sebagai hibah yang diatur dalam hukum Islam yang memiliki batasan besaran yaitu tidak boleh melebihi 1/3 jumlah harta si pemberi. Tentu saja hal itu berbeda dengan pabbere secara adat Bugis yang tidak menentukan khusus mengenai besaran harta pabbere. Potensi ketidakharmonisan dua sistem hukum telah dikaji sejak dulu. Melahirkan teoriteori keberlakuan antara hukum Islam dan hukum adat. Dua teori yang menonjol yaitu teori receptie dan teori receptie exit. Teori receptie oleh Christian Snouck Hurgronje menyatakan bahwa hukum yang hidup dan berlaku bagi rakyat Indonesia terlepas dari agama yang dianutnya adalah hukum adat. Sedangkan hukum Islam meresepsi ke dalam dan berlaku sepanjang dikehendaki oleh hukum adat (Mustari, 2009). Disimpulkan bahwa hukum Islam dapat diterima sebagai hukum apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Sedang teori receptie exit diilhami oleh Hazairin yang menentang teori receptie. Menurut Hazairin teori receptie sebagaimana dikemukakan oleh Christian Snouck hurgronje adalah teori iblis (setan) dan telah “mati” artinya telah dihapus atau harus dinyatakan hapus(keluar) dengan berlakunya UUD 1945. Menurut teori ini, pemberlakuan hukum Islam tidak harus didasarkan atau ada keketergantungan kepada hukum adat (Mustafa, 2009). Hazairin memberikan kesimpulan bahwa: 1. Teori receptie dianggap tidak berlaku dan exit dari tata hukum Negara Indonesia 8
sejak tahun 1945, melalui kemerdekaan bangsa Indonesia yang memberlakukan UUD 1945 sebagai dasar Negara Indonesia; 2. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29 Ayat 1, maka Negara Republik Indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional yang salah satu sumbernya adalah hukum agama; dan 3. Sumber hukum nasional itu selain agama Islam, juga agama lain bagi pemeluk agamanya masing-masing, baik di bidang hukum perdata maupun hukum pidana sebagai hukum nasional (Rosyadi, 2006). Adanya ketidaksepahaman mengenai pabbere ini biasanya diselesaikan terlebih dahulu dalam lingkup keluarga. Jika tidak dapat diselesaikan maka akan meminta mediasi dari tokoh masyarakat di Kabupaten Soppeng. Tokoh masyarakat ini terlebih dahulu mencoba untuk mendamaikan mereka. Jika terjadi kebuntuan maka tokoh masyarakat akan memberikan saran penetapan pembagian harta. Saran didasarkan pada kebiasaan dan tata cara pembagian harta yang dianggap lumrah dalam masyarakat. Dalam masyarakat Bugis ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan tokoh masyarakat dalam menjatuhkan saran pembagian atas harta yaitu: tutur kedua belah pihak. keterangan saksi-saksi kedua belah pihak, tingkah laku kedua belah pihak, dan keadaan rumah tangga kedua belah pihak (Abidin, 1983). Ketika saran dari tokoh masyarakat juga tidak dapat menyelesaikan ketidaksepahaman, maka hal ini akan dibawa ke pengadilan sebagai suatu sengketa. Setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat. Maka perlu diupayakan untuk dapat diselesaikan sehingga keseimbangan tatanan masyarakat dapat dipulihkan. Dalam setiap masyarakat berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa di tangani. Sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik melalui forum formal maupun melalui forum lain yang tidak resmi yang diakui oleh Negara (Suparman, 2004). Di lingkup forum mediasi dalam masyarakat, peranan tokoh masyarakat sangat penting. Tokoh masyarakat harus jeli dan paham akan masalah pabbere ini. Disinilah Muhammad Yusuf berdasarkan hasil wawancara berpandangan bahwa selain karena pergeseran pemaknaan akibat pengaruh hukum Islam, sengketa yang lahir akibat pabbere ini kebanyakan juga disebabkan dan berpangkal oleh tiga hal yaitu pertama prosesnya yang tidak dilakukan dengan baik, kedua sikap atau perlakuan orang tua kepada anak-anaknya, dan ketiga sikap anak-anaknya sendiri dalam menanggapi ketetapan pabbere dari orang tuanya. Menurutnya disinilah diperlukan kearifan, kelapangan dada, dan menjunjung asas musyawarah mufakat dengan mengedepankan prinsip sipakau sipakalebbi (saling memanusiakan dan memuliakan) dalam melaksanakan pabbere ini (hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2013). Di lingkup pengadilan sebagai lembaga formal, kuatnya pengaruh hukum tertulis yang dianut oleh para penegak hukum seringkali meminggirkan hukum adat yang dianut oleh 9
masyarakat. Begitupun dengan masalah pabbere ini, ketika disengketakan di wilayah hukum formil maka masyarakat Kabupaten Soppeng biasanya akan membawa masalah pabbere ini ke pengadilan agama karena terintegrasi dengan masalah kewarisan dan oleh hakim-hakim pengadilan agama disandarkan pada hukum tertulis yaitu dengan dipadankan dengan hibah yang khususnya bagi masyarakat Islam disandarkan pada hibah dalam Kompilasi Hukum Islam. Pandangan umum sekarang ini yaitu hukum adalah yang tertulis dalam kitab perundang-undangan terlepas dari segala pengaruh sosial. Pandangan inilah yang perlu dikritisi karena kenyataannya ada hukum yang tidak tertulis yang dianut oleh masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan Rosemary hunter et al. (1995) menegaskan bahwa hukum lebih dari sekadar aturan-aturan, toga hakim dan putusan-putusan pengadilan. Lebih dari itu, hukum adalah suatu bagian integral dari praktik-praktik sosial dan kebijakan-kebijakan sosial, yang sama beragam dan kompleksnya dengan masyarakatnya sendiri (Ali, 2009). Hal inilah yang dapat mendasari adanya pemikiran kritis terhadap hokum tertulis. Karena dalam kenyataannya, hukum tertulislah yang diutamakan seperti dicontohkan dengan pabbere ini sebagai bagian hukum adat tapi selalu berada dibawah bayang-bayang hukum tertulis. Hukum adat sebagai nilai yang hidup dalam masyarakat ini perlu diangkat ke permukaan karena merupakan perwujudan jati diri masyarakat. Menurut ajaran historisme, hukum itu merupakan pencerminan dari “jiwa rakyat” atau “volkgiest”. Hukum itu tumbuh bersama dengan kekuatan dari rakyat, dan akhirnya ia mati jika bangsa itu kehilangan kebangsaannya. Jadi hukum yang benar-benar hidup adalah hukum kebiasaan (Ali, 2002). KESIMPULAN DAN SARAN Bentuk pabbere orang tua kepada anaknya dalam masyarakat Bugis Kabupaten Soppeng pemaknaan awalnya hanya sebagai pemberian biasa walau ditujukan kepada anak. Dalam perkembangannya, pabbere ini juga sering dipakai sebagai sarana pewarisan. Keberlakuannya, perkembangan pemaknaan ini bukanlah pangkal konflik dari pabbere ini, melainkan sikap, pandangan dasar hukum yang digunakan, dan praktik dari pelaksanaan pabbere itu sendiri. Ketika disengketakan maka biasanya akan dimasukkan ke pengadilan agama karena diintegrasikan dengan sengketa penetapan warisan. Di pengadilan agama ini pabbere hanya dipandang sebagai al urf (hukum adat) yang melengkapi dan dipadankan dengan hibah atau wasiat yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam, padahal pemaknaan kedua bentuk peralihan ini jauh berbeda. Disinilah saran bagi hakim untuk lebih menggali
10
dan mengakui adat Bugis pabbere sebagai nilai yang hidup dalam masyarakat Bugis Soppeng, serta tidak hanya menjadi corong dari peraturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Andi Zainal. (1983). Persepsi Orang Bugis, Makassar tentang Hukum, Negara dan Dunia Luar. Bandung: Alumni. Ali, Achmad. (2002). Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis. Jakarta: PT Gunung Agung Tbk. __________. (2009), Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicalprudence). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Ali, Zainuddin. (2008). Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Daud Ali, Muhammad. (2000). Hukum Islam: Pengantar Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Garfindo Persada. Muhammad, Bushar. (2006). Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. Mustafa, dan H. Abdul Wahid. (2009). Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika. Mustari Pide, A. Suriyaman. (2012). Hukum Adat: Dulu, Kini, dan Akan Datang. Makassar: Pelita Pustaka. Mustari Pide, A. Suriyaman dan Sri Susyanti Nur. (2009). Dasar-dasar Hukum Adat. Makassar: Pelita Jaya. Rosyadi, Rahmat dan Rais Ahmad. (2006). Formalisasi Syariat Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. Suparman, Eman. (2004). Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa komersial untuk Penegakan Keadilan. Jakarta: Tata Nusa. Soekanto, Soerjono. (1985). Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: CV Rajawali. Tamakiran. (2000). Asas-Asas Hukum Waris: Menurut Tiga Sistem Hukum. Bandung: Pionir Jaya. Tutik, Titik Triwulan. (2008). Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Group.
Hasil Wawancara: Muhammad Yusuf (Sekertaris Camat Ganra/tokoh Masyarakat Kecamatan Ganra, Kabupaten Soppeng), wawancara dilakukan tanggal 29 Agustus 2013.
11