ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN KEUNGGULAN BERSAING SERTA KINERJA USAHA MIKRO
OLEH: DR. NURDASILA DARSONO,SE.,MM.
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM BANDA ACEH
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur ke hadirat Allah atas semua karunia
dan
limpahan rahmatNya yang senantiasa memberikan kemudahan dalam segala urusan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini penulis persembahkan sebagai bentuk pengembangan kemampuan dan kepedulian penulis terhadap usaha mikro dan diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak pihak yang berkepentingan terhadap pengembangan usaha mikro. Pengembangan dan pemberdayaan usaha mikro
dalam konstek menciptakan
lapangan kerja sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan distribusi pembangunan ekonomi di daerah. Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam dalamnya atas bantuan semua pihak yang telah membantu dengan tulus dan ikhlas sehingga penulis menyelesaikan buku ini. Tak ada gading yang tak retak, demikian pula buku ini tidak lepas kekurangan di sana sini. Untuk itu Penulis mengharapkan segala kritik dan saran pembaca untuk penyempurnaan buku ini . Selamat membaca.
Banda Aceh, Oktober 2013
Penulis
BAB I
1.1.
PENDAHULUAN
Keberadaan industri mikro, kecil, dan menengah sangat penting bagi stabilitas ekonomi suatu negara (Lennox, 2013: 84). Industri ini memiliki peranan dalam memfasilitasi perkembangan ekonomi global. Hal ini dikarenakan sektor ini dipandang sebagai kontributor penting dalam transisi ke ekonomi pasar, melalui proses kreativitas, mendorong kemajuan teknologi, inovasi organisasi dan perubahan, penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, daya saing ekonomi, dan aspek lain dari perkembangan sosial pada umumnya, dan ekspansi industrial, pada khususnya (Zamberi, 2012: 217-218). Industri mikro terdiri dari usaha mikro (Kelliher, 2009: 521). Menurut Devins et. al, (2005), Green Bank (2000), dan Robert and Wood (2001) belum ada definisi universal atau umum mengenai industri mikro, There is no universal definition of a micro firm, with many writers offering various criteria including size, number and financial turn over per annum. Industri ini biasanya juga disebut Small Medium Enterprises (SMEs). Dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Industri Mikro, Kecil dan Menengah disebutkan bahwa industri mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria industri mikro.
Industri mikro adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Industri kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Industri Mikro Kecil. Bidang usaha industri yang memiliki skala usaha mikro dan kecil (IMK), disebutkan sebagai perusahaan atau industri yang memiliki tenaga kerja 1 – 4 orang dikelompokkan dalam industri mikro. Industri mikro kecil di Indonesia memberikan kontribusi sebanyak 53% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tahun 2009, dari sekitar 51,26 juta unit usaha atau 99% dari unit usaha yang ada di Indonesia (Jurnal UKM, 15 September 2010) dengan bidang usaha yang sangat beragam seperti makanan dan minuman, jasa, pertanian, perikanan, kerajinan, retail dan lain sebagainya. Industri mikro kecil juga memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan PDB (Product Domestic Bruto). Pada 2009, berdasarkan Neraca Produksi Badan Pusat Statistik (BPS, 2010), disebutkan bahwa industri mikro kecil memberikan sumbangan terhadap PDB sebesar 53,32%, Usaha Besar 41,00% dan sektor Pemerintah 5,6%. Peningkatan kontribusi PDB inilah yang mampu menggerakkan dan memacu percepatan pertumbuhan perekonomian dalam negeri. Sedangkan survei yang dilakukan oleh Citibank (2009) mendapatkan angka kontribusi industri mikro kecil terhadap PDB sebesar 55,56%. Riset Citibank selama periode 2005-2008 juga menunjukkan jumlah unit industri mikro kecil mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 8,16% pertahun.
Jumlah industri mikro kecil pada 2009 mencapai 52.764.603 unit dan usaha besar hanya 4.677 unit (BPS, 2010); dan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 92.211.332 dan Usaha Besar hanya dapat menyerap 2.674.671, serta dapat memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atas harga yang berlaku untuk industri mikro kecil sebesar 58,17% dan Usaha Besar 43,17%, sedangkan kontribusi industri mikro kecil terhadap PDB atas dasar harga konstan 58,17% dan Usaha Besar 41,83%. Pada 2009, berdasarkan Neraca Produksi Badan Pusat Statistik (BPS, 2010), disebutkan bahwa industri mikro kecil memberikan sumbangan terhadap PDB sebesar 53,32%, Usaha Besar 41,00% dan sektor Pemerintah 5,6%. Peningkatan kontribusi PDB inilah yang mampu menggerakkan dan memacu percepatan pertumbuhan perekonomian dalam negeri. Perkembangan jumlah usaha mikro di Indonesia dari tahun 2005 – 2012 dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini:
Tabel 1.1 Jumlah Usaha Mikro di Indonesia Tahun 2005 – 2012 No
Tahun
Jumlah Usaha Mikro (unit)
Kenaikan (%)
1
2005
45.217.567
2
2006
48.512.436
7,29
3
2007
49.608.953
2,26
4
2008
50.487.771
1,77
5
2009
52.176.795
3,35
6
2010
53.207.500
1,98
7
2011
54.599.969
2,62
8
2012
55.856.969
2,30
Sumber: Statistik UMKM 2013
Dari data diatas dapat dikemukakan bahwa jumlah usaha mikro mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa
unit usaha mikro
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun (dari tahun 2005 sampai tahun 2012) dengan kenaikan rata rata sebesar 3,08%. Kenaikan terbesar terjadi dari tahun 2005 ke tahun 2006 (7,29%), sedangkan kenaikan terendah pada tahun 2007 ke tahun 2008 hanya 1,77%.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengusaha besar hanya 0,2% sedangkan Pengusaha Kecil, menegah dan koperasi mencapai 99,8%. Ini berarti jumlah usaha kecil, menegah dan koperasi mencapai hampir 500 kali lipat dari jumlah
usaha besar. Persoalannya kontribusi UKMK terhadap PDRB, hanya 39,8%, sedangkan usaha besar mencapai 60,2%.
Terhadap pertumbuhan ekonomi, usaha kecil, menengah dan koperasi hanya memberikan kontribusi sebesar 16,4% sedangkan usaha besar 83,6%. Berdasarkan penguasaan pangsa pasar, usaha kecil, menengah dan koperasi hanya menguasai pangsa pasar sebesar 20% (80% oleh usaha besar). Hal tersebut menunjukkan dua sekaligus, yaitu super kuatnya sektor usaha besar dan teramat lemahnya sektor UKMK. Keberadaan UKMK sebagai tulang punggung perekonomian kota menjadi perhatian khusus, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, untuk kemajuan dan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat . Pertumbuhan jumlah industri tidak diiringi dengan peningkatan daya saing. Hal ini dapat dilihat pada posisi peringkat daya saing produk Indonesia yang terus mengalami penurunan dari peringkat 44 pada tahun 2010, menjadi peringkat 46 untuk tahun 2011 dan menjadi peringkat 50 untuk tahun 2012, seperti pada tabel berikut:
Tabel 1.2 Peringkat Daya Saing Indonesia Tahun 2010 - 2012
No 1 . 2 . 3 . 4 . 5 . 6 .
Peringkat 2010
Peringkat 2011
Peringkat 2012
Singapura
3
2
2
Malaysia
26
21
Thailand
38
39
Indonesia
44
46
Vietnam
59
65
Philipina
85
75
Neraca
25 38 50 65 75
Sumber: Laporan World Economic Forum 2013.
Berdasarkan Tabel 1.2 terlihat untuk negara negara Asean, Singapura, Vietnam dan Philipina memperoleh peringkat yang sama , Malaysia turun 4 peringkat, Thailand 1 peringkat dan Indonesia turun 4 peringkat. Penilaian peringkat daya saing ini dibagi atas 3 (tiga) kelompok dengan 12 pilar, yaitu Kelompok Persyaratan Dasar dengan 4 indikator (institusi, infrastruktur, makro ekonomi dan kesehatan & pendidikan dasar), Kelompok Penompang Efisiensi (pendidikan tinggi, efisiensi pasar barang, efisiensi tenaga kerja, pasar keuangan, kesiapan teknologi dan besaran pasar), Kelompok Inovasi dan Kecanggihan Bisnis (kecanggihan bisnis dan inovasi). Indeks daya saing Indonesia berdasarkan masing masing pilar dapat dilihat pada Tabel 1.3, berikut ini:
Tabel 1.3 Indeks Daya Saing Indonesia menurut Pilar Daya Saing, 2011-2012 N No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pilar
2011
2012
Perubahan
1 Kesiapan teknologi
94
85
9
2 Efisiensi pasar barang
67
63
4
3 Kecanggihan bisnis
45
42
3
4 Kelembagaan
71
72
-1
5 Kemajuan pasar uang
69
70
-1
6 Besar pasar
15
16
-1
7 Infrastruktur
76
78
-2
8 Lingkungan ekonomi makro
23
25
-2
9 Inovasi
36
39
-3
1 Pendidikan tinggi dan pelatihan
69
73
-4
1 Kesehatan dan pendidikan dasar
64
1 Efisiensi pasar tenaga kerja
94
7 0 1 20
-6 -26
Sumber: Laporan World Economic Forum atau WEF (2013)
Berdasarkan Tabel 1.3 terlihat bahwa semua pilar yang ada menunjukkan penurunan peringkat (negatif), kecuali kesiapan teknologi, efisiensi pasar barang dan
kecanggihan bisnis yang menunjukakan perubahan positif. Penurunan terbesar adalah pada indikator efisiensi pasar tenaga kerja (-26) , inovasi mengalami penurunan (-3). Hal ini mengidenfikasikan bahwa saat kecanggihan bisnis mengalami peningkatan justru inovasi mengalami penurunan Fenomena ini menunjukkan bahwa sekalipun pelaku usaha telah ,menjalankan bisnisnya dengan cangggih tetapi
tidak diiringi
dengan inovasi tidak dapat meningkatkan daya saing. Pengembangan daya saing UKMK, secara langsung merupakan upaya dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat banyak, sekaligus mempersempit kesenjangan social ekonomi masyarakat.
Tantangan kedepan usaha mikro kecil adalah untuk mampu bersaing di era perdagangan bebas baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor yang sangat ditentukan oleh dua kondisi utama, yaitu lingkungan internal dan lingkungan eksternal.
Lingkungan internal harus diperbaiki berkaitan dengan yang mencakup orientasi kewirausahaan, kepemilikan dan akses sumber daya, penguasaaan dan pemanfaatan teknologi informasi, sistem
manajemen , kultur budaya, kekuatan modal , kemitraan
dan dan jaringan bisnis dengan pihak di luar usaha .
Lingkungan eksternal yang harus juga kondusif antara lain yang terkait dengan kebijakan pemerintah , aspek hukum, kemasyarakatan,
kondisi persaingan pasar , kondisi sosial
kondisi infrastruktur dan bagaimana
memberdayakan kondisi
infrastruktur, tingkat pendidikan masyarakat, serta perubahan ekonomi global. Pilihan strategi dan kebijakan untuk memberdayakan usaha mikro kecil dalam memasuki era pasar global menjadi sangat penting bagi terjamin kelangsungan hidup dan
perkembangan usaha mikro kecil , sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pertumbuhan dan pemerataan pendapatan.
Pada umumnya usaha mikro kecil memiliki kualitas sumber daya manusia yang rendah dikarenakan terbatasnya tingkat pendidikannya. Hal tersebut menyebabkan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki juga rendah termasuk dalam menumbuhkan semangat berwirausaha. Sebagai contoh pengetahuan dan ketrampilan pelaku usaha dalam bidang manajemen keuangan, usaha mikro kecil yang telah memiliki laporan keuangan hanya sebesar 28,81% sedangkan selebihnya sebanyak 71,19% belum memiliki laporan keuangan(data BPS, 2009).
Demikian juga dalam hal pemanfaatan teknologi, ummumnya usaha mikro kecil masih menggunakan peralatan manual ataupun teknologi yang masih sederhana atau bahkan sangat sederhana. Akhirnya menyebabkan produk yang dihasilkan usaha mikro kecil kurang berkualitas, tidak memiliki standarisasi baik dari segi ukuran maupun tampilan produk.
Dalam hal pemasaran
jumlah
usaha kecil yang pemasarannya berorientasi
ekspor sebesar sanagt kecil . Data tahun 2009 hanya 0,18%, sedangkan usaha mikro dan kecil dengan pemasaran regional sebesar 1,2% dan untuk pemasaran berorientasi lokal sebesar 97,85%. Dalam bidang permodalan, usaha mikro kecil juga mengalami kesulitan
permodalan
sebanyak
51,37%.
Kondisi
diperlukannya dukungan perkuatan permodalan bagi
ini
mencerminkan
masih
usaha mikro kecil. Untuk
kelembagaan umumnya usaha mikro masalah kelembagaan belum tertata secara maksimal.
Di samping hal tersebut diatas usaha mikro juga masih menghadapi berbagai permasalahan yang terkait dengan iklim usaha seperti: (a) besarnya biaya transaksi, panjangnya proses
perijinan
dan timbulnya berbagai
pungutan; dan (b) praktik
usaha yang tidak sehat. Di samping itu, otonomi daerah yang diharapkan mampu mempercepat tumbuhnya iklim usaha yang kondusif bagiusaha mikro , ternyata belum menunjukkan kemajuan yang merata.
Untuk mampu bersaing di era perdagangan bebas, baik dipasar domestik maupun di pasar ekspor, sangat ditentukan oleh dua kondisi utama. Pertama, lingkungan internal
usaha mikro harus di perbaiki, yang mencakup aspek kualitas
sumber daya menusia, terutama jiwa yang berorientasi kewirausahaan, akses dan kepemilikan sumber daya, penguasaan pemanfaatan teknologi dan informasi, struktur organisasi, sistem manajemen, kultur/budaya bisnis, kekuatan modal dan jaringan bisnis dengan pihak luar. Kedua, lingkungan eksternal harus juga kondusif, yang terkait dengan kebijakan pemehrintah, aspek hukum, kondisi persaingan pasar, kondisi ekonomi-sosial-kemasyarakatan, kondisi infrastruktur, tingkat pendidikan masyarakat, dan perubahan ekonomi global. Pilihan strategi dan kebijakan untuk memberdayakan usaha mikro dalam memasuki era pasar global menjadi sangat penting bagi terjamin kelangsungan hidup dan perkembangan usaha mikro kecil sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pertumbuhan dan pemerataan pendapatan.
Secara umum peningkatan daya saing produk usaha mikro kecil yang dapat dilakukan antara lain ; mewujudkan wirausaha baru berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, memperluas kesempatan berusaha bagi usaha mikro dengan meningkatkan
pengetahuan dan semangat kewirausahaan, memperluas akses kepada sumber permodalan khususnya perbankan- non perbankan, pemanfaatan teknologi dan pemasaran serta promosi produk sera memperbaiki lingkungan usaha melalui penyerderhanaan prosedur perijinan. Ada beberapa alasan mengapa perlunya dikembangkan usaha mikro antara lain; dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja guna mendorong peningkatan pendapatan kelompok masyarakat
berpendapatan rendah,
penyedia barang dan jasa pada pasar lokal dan domestik khususnya untuk memenuhi kebutuhan
masyrakat banyak.
Selain itu usaha mikro dapat menciptakan pondasi
ekonomi yang kuat dan agar hasil pembangunan dapat dinikmati oleh semua komponen bangsa, maka seluruh lapisan masyarakat harus diberdayakan semaksimal mungkin. Pemberdayaan ekonomi rakyat atau pemberdayaan sektor mikro kecil merupakan model pembangunan ekonomi yang menekankan pada kekuatan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Pembangunan ekonomi yang berorientasi kerakyatan merupakan upaya melibatkan rakyat dalam pembangunan ekonomi, meningkatkan produktivitas, daya beli, membuka lapangan kerja, dan menumbuhkan nilai tambah ekonomi pada sektor-sektor ekonomi yang dikelola oleh rakyat. Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa pada saat kondisi perekonomian nasional sedang carut marut, aktivitas sektor usaha mikro dan kecil, sektor usaha informal yang sebelumnya merupakan sektor usaha yang terabaikan dan kurang
mendapat perhatian yang serius dari pemerintah ternyata tetap mampu bertahan bahkan ada yang mampu berkembang ketika menghadapi krisis ekonomi. Dengan alasan tersebut beberapa kalangan menilai bahwa sektor usaha mikro kecil adalah sektor usaha yang mampu menyelamatkan Indonesia dari situasi perekonomian yang semakin parah, bahkan ada yang mengatakan bahwa sektor usaha mikro kecil merupakan tulang punggung perekonomian nasional, sehingga keberadaan usaha mikro kecil dipandang berperan penting dalam struktur ekonomi suatu negara. Usaha mikro kecil merupakan sektor usaha yang bersifat padat karya, sekaligus sebagai sektor yang memberikan solusi terhadap permasalahan realiatas sosial ekonomi, dimana sektor usaha tersebut merupakan sektor usaha yang memiliki nuansa kesederhanaan dan dapat dikerjakan oleh masyarakat yang tidak memiliki keterampilan dan kekurangan modal untuk mengelola lapangan usaha yang bersifat formal dan padat modal Bagi masyarakat yang tidak berdaya dalam menghadapi persaingan dunia usaha yang semakin ketat, maka usaha mikro kecil adalah solusinya. Fakta
secara
empiris
perekonomian nasional,
menunjukan
bahwa,
dalam
tatanan
kehidupan
usaha mikro kecil merupakan sarana dalam pemerataan
kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Ketika terjadi
pemutusan hubungan
kerja besar-besaran pada sektor usaha besar sebagai akibat krisis melanda , usaha mikro kecil sebagai salah satu sektor usaha yang paling banyak menampung tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja tersebut. Usaha mikro kecil
dalam melakukan aktivitasnya selalu dihadapkan pada
permasalahan yang klasik yaitu kesulitan dalam permodalan dan tingkat produktivitas yang rendah, sehingga sulit bersaing dengan perusahaan-perusahaan dari luar negeri
dalam konteks ekonomi global. Hal ini disebabkan karena sistem perekonomian atau kelembagaan yang ada di negara kita lambat atau belum sepenuhnya mengakomodir gerak dan langkah operasional sektor usaha mikro, kecil dan menengah. Dalam perspektif pemberdayaan ekonomi rakyat, sektor usaha kecil dan menengah dengan segala karekteristiknya dituntut untuk menangkap peluang dan bersaing dalam situasi ekonomi yang sangat sulit, oleh karena itu diperlukan fleksibilitas yang tinggi, dan dengan dukungan manajemen yang memadai dalam menghasilkan produk dan jasa.
1.2. Karakteristik Usaha Mikro Kecil Menengah Industri mikro merupakan usaha produktif yang dikelola oleh individual atau group yang bukan merupakan cabang atau anak perusahaan besar lainnya. Usaha mikro kecil menengah atau yang biasa disebut Small Medium Enterprises (SMEs) memiliki definisi dan karakteristik yang berbeda-beda. Seperti yang dikutip oleh Kelliher & Reinl (2009,522) yang menyatakan: ―there is no universal definition of a micro-firm, with many writers offering various criteria including size, number of employees and financial turnover per annum‖ (Devins et. al, 2005, Greenbank, 2000; Roberts and Wood, 2001). Definisi yang diterima secara luas adalah yang dikemukakan oleh Bolton Committee mengutip (Hil et. al, 2001, p. 124 - 125) yang memberikan batasan dan mengidentifikasikan SMEs dengan 3 karakteristik penting; memiliki pangsa pasar yang
relatif kecil, dikelola oleh pemilik atau sekutu pemiliknya, tidak memiliki struktur manajemen yang formal dan memiliki kebebasan. Secara lengkap karakteristik SMEs antara lain, the Bolton Committee (1971), menyimpulkan definisi usaha mikro secara ekonomi dan statistik adalah bahwa perusahaan kecil harus memiliki kriteria sebagai berikut: memiliki pangsa pasar yang kecil; dikelola oleh pemilik atau pemilik paruh waktu secara pribadi dan tidak memiliki struktur manajemen formal, independen dalam hal tidak ada rencana untuk ekspansi perusahaan. Sedangkan Hill (2001) menjelaskan perbedaan antara usaha mikro, kecil dan besar adalah pada inovasi dan evolusi. Di Indonesia kriteria usaha mikro yang termasuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) telah diatur berdasarkan peraturan dan Undang-Undang. Menurut Keputusan Presiden RI No. 99 tahun 1998 pengertian usaha mikro kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafilisasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar. Berdasarkan Undang undang No.9 tahun 1995 disebutkan bahwa: ‖usaha mikro adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil, bersifat tradisional dan informal dalam arti belum tercatat dan belum berbadan hukum, hasil penjualan tahunan bisnis tersebut paling banyak Rp 100 juta dan milik warga negara Indonesia‖. Kwartono Adi (2007, 12).
Selanjutnya kriteria Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UKMK) mengalami perubahan, sesuai dengan Pasal 6, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008, tentang usaha mikro, kecil dan menengah terdapat beberapa perubahan kriteria, yaitu Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) berdasarkan undang-undang ini digolongkan berdasarkan jumlah aset dan omset yang dimiliki oleh sebuah usaha adalah sebagai berikut: Kriteria usaha mikro adalah sebagai berikut: 1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Kriteria usaha kecil adalah sebagai berikut: 1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
Kriteria usaha menengah adalah sebagai berikut: 1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar lima ratus juta rupiah).
Selanjutnya pengertian usaha mikro sebagaimana dimaksud menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003, yaitu usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan per tahun Rp 100.000.000,00 dan dapat mengajukan kredit kepada bank paling banyak Rp 50.000.000,00. Kriteria usaha mikro dalam keputusan ini adalah: 1. Jenis barang atau komoditi usahanya tidak selalu tetap sewaktu-waktu dapat berganti. 2. Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat berpindah tempat. 3. Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun dan tidak memisahkan keuangan pribadi dengan keuangan usaha. 4. Sumber daya manusia (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai. 5. Tingkat pendidikan rata-rata relatif rendah.
6. Belum memiliki akses
perbankan namun sebagian mereka memiliki akses ke
lembaga non bank. 7. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas termasuk NPWP.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003, dari sudut pandang perkembangannya Usaha Mikro Kecil dan Menengah dapat dikelompokkan dalam beberapa kriteria sebagai berikut: 1. Livelihood Activities, merupakan usaha kecil menengah yang digunakan sebagai kesempatan kerja untuk mencari nafkah, yang lebih umum dikenal sebagai sektor informal. Contohnya adalah pedagang kaki lima. 2. Micro Enterprise, merupakan usaha kecil menengah yang memiliki sifat pengrajin tetapi belum memiliki sifat kewirausahaan. 3. Small Dynamic Enterprise, merupakan usaha kecil menengah yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan mampu menerima pekerjaan sub-kontrak dan ekspor. 4. Fast Moving Enterprise, merupakan usaha kecil menengah yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan akan melakukan transformasi menjadi Usaha Besar (UB).
UMKM di Indonesia secara umum dibagi atas 5 (enam) bidang usaha, yaitu: (1) Perdagangan/Jasa yaitu; pedagang, pengempul, rumah makan, warung, cafe, jasa kecantikan, perbengkelan, penjahit dan lainnya; (2) Pertanian antara lain; usaha petani penggarap perorangan, peternakan; (3) Perikanan dan Kelautan yaitu: nelayan, pembudidayaan, benih, petambak; (4) Industri yaitu: industri makanan dan minuman, pengolahan kayu dan rotan, pandai besi; dan (5) Transportasi, yaitu; angkutan roda
tiga, ojek, ataupun roda empat. Untuk bidang usaha industri yang memiliki skala Usaha Mikro dan Kecil (UMK), disebutkan sebagai perusahaan atau industri yang memiliki tenaga kerja 1 - 4 orang dikelompokkan dalam industri mikro, sedangkan jika jumlah tenaga kerja 5 - 19 orang dikategorikan sebagai industri kecil. Kuncoro (2007), menyatakan bahwa: ―Usaha mikro kecil menengah di Indonesia memiliki karakteristik yang hampir seragam dengan empat karakteristik yang dimiliki oleh kebanyakan usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan yang memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Kedua, rendahnya akses terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang, perantara, bahkan rentenir. Ketiga, sebagian besar usaha ini belum memiliki status badan hukum. Keempat, hampir sepertiga usaha mikro kecil menengah bergerak pada kelompok usaha makanan, minuman, dan tembakau (ISIC31), barang galian bukan logam (ISIC36), tekstil (ISIC32), dan industri kayu, bambu, rotan, rumput, dan sejenisnya termasuk perabot rumah tangga (ISIC33)‖.
Sedangkan Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Berdasarkan Lembaga dan Negara Asing mendefinisikan kriteria usaha kecil dan menengah berdasarkan pada beberapa hal yaitu, jumlah tenaga kerja, pendapatan dan jumlah aset. Kriteria usaha kecil
dan
menengah
tersebut
sebagai
berikut:
(Depkop
Website
-
http://infoukm.wordpress.com/). 1. Menurut World Bank, usaha mikro kecil dan menengah dikelompokkan menjadi tiga kelompok:
Tabel 1.4 Kelompok Usaha Mikro Kecil dan Menengah
No
Jumlah Karyawan Maksimal (orang)
Usaha
Pendapatan/tahun (US$)
Jumlah Aset (US$)
1
Mikro
Lebih kecil 10
300 ribu
300 ribu
2
Kecil
30
3 juta
3 juta
3
Menengah
300
15 juta
15 juta
Sumber :Depkop Website - http://infoukm.wordpress.com .
2. Kriteria Usaha Kecil dan Menengah Singapura Singapura mendefinisikan usaha kecil dan menengah sebagai usaha yang memiliki minimal 30% pemegang saham lokal serta aset produktif tetap (fixed productive asset) di bawah SG $15 juta (lima belas juta dolar Singapura). 3. Kriteria Usaha Kecil dan Menengah Malaysia Malaysia, menetapkan definisi usaha kecil dan menengah (UKM) sebagai usaha yang memiliki jumlah karyawan yang bekerja penuh (full time worker) kurang dari 75 orang atau yang modal pemegang sahamnya kurang dari RM $2,5 juta (Ringgit Malaysia). Definisi ini dibagi menjadi dua, yaitu: a. Small Industry (SI), dengan kriteria jumlah karyawan 5 - 50 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah RM $ 500 ribu. b. Medium Industry (MI), dengan kriteria jumlah karyawan 50 - 75 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah RM $ 500 ribu - RM $ 2,5 juta.
4. Kriteria Usaha Kecil dan Menengah Jepang Jepang membagi usaha kecil dan menengah sebagai berikut:
Tabel 1.5 Kriteria Usaha Kecil dan Menengah Jepang No
Jenis Usaha
Jumlah Karyawan (orang)
Jumlah Modal Saham (US$)
1.
Mining & Manufacturing
300
2,5 juta
2.
Wholesale
100
840 ribu
3.
Retail
54
280 ribu
4.
Service
100
420 ribu
Sumber:Depkop Website - http://infoukm.wordpress.com. 5. Kriteria Usaha Kecil dan Menengah Korea Selatan Korea Selatan, mendefinisikan UKM sebagai usaha yang jumlahnya di bawah 300 orang dan jumlah asetnya kurang dari US$ 60 juta. 6. European Commission, membagi UMKM ke dalam 3 jenis, seperti pada table berikut:
Tabel 1.6 Kelompok Usaha Mikro Kecil & Menengah European Commission
No
Usaha
Jumlah Karyawan (orang)
Jumlah Aset (US$)
Pendapatan/tahun (US$)
1
Micro Sized
Kurang dari 10
Maks 2 juta
Maks 2 juta
2
Small Size
Kurang dari 50
Maks 10 juta
Maks 10 juta
3
Medium Sized
Kurang dari 250
Maks 50 juta
Maks 50 juta
Sumber: Depkop Website - http://infoukm.wordpress.com
Dari definisi definisi yang tertera di atas dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya pengertian tentang usaha mikro menjelaskan tentang pengelompokkan usaha mikro, kecil dan menengah didasarkan pada; kepemilikan, jumlah kekayaan yang dimiliki, pendapatan tahunan yang diperoleh, jumlah tenaga kerja, pengelolaan usaha (manajemen), badan hukum serta struktur organisasi atau pembagian pekerjaan. Jimmy Hill mengutip pendapat dari beberapa ahli dan peneliti (Guersen, 1995) menyebutkan bahwa usaha kecil adalah ―small firm owner manager‖ dan kata ―wiraswasta‖, secara bergantian, tetapi pada akhirnya para peneliti membedakannya. Mengutip Winardi (2004, 3-4) dalam pandangan Joseph Schumpeter, seorang ahli ekonomi yang banyak melakukan penelitian tentang wiraswasta dan wiraswastaship mengemukakan, bahwa: ―fungsi wiraswasta adalah mengubah dan merevolusionerkan pola produksi dengan jalan memanfaatkan sebuah penemuan baru (invention) atau
secara lebih umum, sebuah kemungkinan teknologikal untuk memproduksi sebuah komoditi baru atau memproduksi komoditi lama dengan cara baru, membuka penyediaan
bahan-bahan
baru
atau
suatu
cara
penyaluran
baru
atau
mengorganisasikan sebuah industri baru. Usaha mikro dibagi dalam beberapa bidang usaha, yaitu: 1. Usaha perdagangan atau jasa (pedagang, pengempul, rumah makan, warung, cafe, jasa kecantikan, perbengkelan, penjahit dan lainnya). 2. Usaha pertanian (usaha petani penggarap perorangan, peternakan). 3. Usaha perikanan dan kelautan (nelayan, pembudidayaan benih, petambak). 4. Usaha industri (industri makanan dan minuman, pengolahan kayu dan rotan, pandai besi). 5. Usaha transportasi (angkutan roda tiga, ojek, ataupun roda empat).
Sesuai
dengan karektiristik perundangan-undangan yang ada maka jumlah
UMKM didominasi oleh usaha mikro dibanding dengan jumlah usaha kecil dan usaha besar.
Dari
enam
bidang
usaha
yang
ada
jumlah
usaha
mikro
bidang
perdagangan/jasa memiliki jumlah yang banyak dibanding dengan bidang usaha industri dan usaha lainnya. Hal ini disebabkan kemudahan dalam memasuki sektor industri perdagangan yang tidak memerlukan sumber daya dan keterampilan khusus untuk memproduksi. Demikian pula jika usaha perdagangan akan mudah mendapatkan kredit dari supplier dalam arti bahwa biasanya distributor akan memberikan barangnya untuk dijual kembali dengan sistem konsinyasi atas dasar kepercayaan.
Usaha mikro di Indonesia , umumnya memiliki karakteristik, antara lain; 1. Berbasis sumber daya lokal. 2. Kegiatan usaha berskala kecil. 3. Proses proses produksi tergolong masih tradisonil 4. Dalam proses produksi banyak menyerap tenaga kerja (padat karya) dan tidak selalu mensyaratkan pendidikan formal dan keahlian khusus; 5. Ada kecenderungan tumbuh berkelompok membentuk sentra menurut jenis dan lokasi tertentu; 6. Tumbuh dan berakar dari bakat ketrampilan yang terbentuk berdasarkan pengalaman yang bersifat turun temurun. 7. Tingkat pendidikan pelaku usaha dan tingkat ketrampilan pekerja relatif rendah Dengan karakteristik yang dimiliki tersebut menggambarkan adanya beberapa keterbatasan berupa lemahnya kemampuan mengakses sumber-sumber yang medukung kemajuan usaha. Kendala antara lain terlihat dari rendahnya kemampuan dan akses yang ada pada UKM tersebut terhadap: 1. Rendahnya kemampuan akses pada sumber-sumber input dan sumber informasi. 2. Rendahnya kemampuan untuk meningkatkan akses dan peluang pasar. 3. Rendahnya kemampuan dan akses terhadap sumber-sumber permodalan termasuk perbankan. 4. Rendahnya kemampuan dalam penguasaan dan pemanfaatan teknologi
5. Rendahnya kemampuan dalam mengembangkan organisasi dan manajemen. 6. Lemahnya pembentukan jaringan usaha atau kemitraan Berdasarkan karakteristik dan kendala yang dihadapi usaha mikro maka pengembangan usaha
mikro
diupayakan kepada strategi peningkatan daya saing
melalui berbagai pendekatan , yaitu peningkatan orientasi kewirausahaan, peningkatan akses dan kepemilikan sumber daya yang akan meningkatakan kapabilitas dan akan berimplikasi pada peningkatan kinerja usaha mikro. Dalam konteks pengembangan usaha mikro di beberapa negara, strategy clustering, telah menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan daya saing usaha mikro . Pendekatan pengembangan aktivitas usaha secara berkelompok ini dikenal dengan istilah sentra, dimana beberapa kelompok usaha melakukan kegiatan usaha yang sejenis. Untuk meningkatkan kapasitas serta daya saing usahanya dalam sentra dapat dikembangkan beberapa usaha yang cakupannya berbeda tetapi masih saling terkait menjadi bentuk klaster. Merujuk pada keberhasilan pengalaman pengembangan kluster-kluster mikro di beberapa negara Eropa, khususnya Italia. Di subsektor-subsektor tertentu, seperti sepatu, tas kulit, mebel, makanan dan alat-alat musik, di mana
usaha mikro kecil
dominan, mereka terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu dengan membentuk klusterkluster. Pada dekade 1970-an dan 1980-an, pada saat industri-industri besar di Inggris, Jerman dan Italia mengalami kelesuan dan stagnasi, ternyata usaha mikro kecil yang membuat produk-produk ‖tradisional‖ tersebut justru mengalami pertumbuhan pesat,
dan bahkan mampu mengembangkan pasar ekspor mereka, serta menyerap banyak tenaga kerja (Tambunan, 2002).
BAGIAN KEDUA ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN , KEUNGGULAN BERSAING DAN KINERJA BISNIS KONSEP, SISTEM DAN INDIKATOR
Orientasi Kewirausahaan
Banyak literatur yang berhubungan dengan usaha mikro kecil menengah (UKM) atau yang disebut juga Small Medium Enterprises yang berkaitan dengan dimensi wirausaha (wiraswasta). Istilah wiraswasta sudah dikenal dalam sejarah ekonomi sebagai pengetahuan sejak tahun 1755, dan istilah ini pertama sekali digunakan oleh seorang ahli ekonomi Perancis keturunan Irlandia Richard Cantillon yang menggunakan istilah wiraswasta dan wiraswastaship, yang secara harfiah berarti perantara (between taker atau go between), dimana pada akhir abad 19 dan permulaan abad 20 para wiraswasta tidak lagi dibedakan dengan kelompok manajer, kelompok pengusaha terutama dipandang dari sudut perspektif ekonomi. Hisrich, Peters and Sheperd (2008,10) mengemukakan bahwa: ―kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang baru serta pengambilan risiko dan imbal hasil.‖ Wiraswasta merupakan pengusaha yang ingin mencari dan menerapkan kombinasi-kombinasi baru faktor produksi yang dapat membuahkan: a. Produk baru yang belum pernah ditemukan (invention atau innovation) b. Metode kerja baru yang lebih efisien dan lebih efektif c. Lapangan kerja baru d. Teknologi baru e. Dearah penjualan (pasar) baru.
Mengutip (Fontana, 2011, p,18) definisi inovasi sebagai keberhasilan ekonomi berkat adanya pengenalan cara baru atau kombinasi baru dari cara
lama dalam
mentransformasikan input menjadi output (teknologi) yang menghasilkan perubahan besar atau drastis dalam perbandingan antara nilai guna (benefit) yang dipresepsikan oleh konsumen atas manfaat sutu produk (barang dan/atau jasa) dan harga yang ditetapkan oleh produsen. Jadi, inovasi yang berhasil adalah inovasi yang menciptakan nilai lebih besar untuk konsumen, untuk komunitas lingkungan pada saat yang sama. Winardi, (2004:23-26) menyatakan bahwa: ―para wiraswasta menyatukan sumber daya, dalam wujud aneka kombinasi yang tidak lazim (un-usual combination) guna mencapai laba.‖ Atas dasar definisi tersebut seorang wirausaha menemukan,
mengevaluasi
dan
mengembangkan
sebuah
peluang
harus dengan
mengidentifikasi peluang, mengembangkan rencana bisnis, penetapan sumber daya yang dibutuhkan dan mengelola usahanya. Yuyus & Kartib, 2011:26, menyatakan bahwa: ―wiraswasta merupakan seseorang yang memiliki kreativitas suatu bisnis yang baru dengan berani menanggung risiko dan ketidakpastian yang bertujuan untuk mencapai laba dan pertumbuhan usaha berdasarkan identifikasi peluang dan mampu mendayagunakan sumber sumber serta memodali peluang itu.‖ Lee & Hsieh, (2010), kewirausahaan tidak hanya ditemukan tetapi juga terdapat pada perusahaan besar tetapi juga pada usaha mikro kecil. Drucker (1985) mengatakan bahwa kewirausahaan adalah suatu perilaku atas dasar konsep dan pemikiran. Setiap orang yang mampu membuat keputusan yang berani dan aktif siap menghadapi masalah mampu menjadi seorang wiraswasta.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas tentang wirausaha (entrepereneur), para pelaku usaha yang dapat disebut sebagai wirausaha menggunakan kreativitas serta menangkap peluang yang ada dan mewujudkannya dalam
suatu usaha yang
menghasilkan laba. Seorang wirausaha harus menemukan, mengevaluasi dan mengembangkan sebuah peluang dengan mengidentifikasi peluang, mengembangkan rencana bisnis, penetapan sumber daya yang dibutuhkan dan mengelola usahanya (Hisrich,Peters & Sheperd,2008). Para ahli ilmu jiwa memandang wiraswasta dari sudut behavioral, sebagai individu-individu yang berorientasi pada prestasi (achievement oriented) yang dirangsang untuk mencari tantangan-tantangan dan hasil baru. Para yang efektif biasanya adalah orang yang bekerja menantang standar produk yang ada dengan bertindak seolah-olah standar itu ada. Entrepreneurship (kewirausahaan) dapat diartikan sebagai sebuah proses yang dinamis dimana orang menciptakan kekayaan secara bertahap. Kekayaan tersebut diciptakan oleh individu-individu yang bersedia menanggung risiko,
baik risiko modal,
waktu dan atau komitmen karir dalam hal menyediakan nilai untuk produk atau jasa tertentu. Kewirausahaan sebuah proses dinamis dalam menciptakan tambahan kekayaan-kekayaan (Hisrich, Peters & Sheperd; 2008). Seorang yang memiliki jiwa wiraswasta
adalah seseorang yang mmapu
meindahkan sumber daya dari daerah yang produktivitasnya dan hasilnya rendah ke daerah yang produktivitasnya dan hasilnya tinggi Drucker, 1985; 30). Dan tentunya terdapat kemungkinan tidak berhasil.
Sebagaimana sudah keyakinan umum,
kewirausahaan menyangkut risiko yang diambil. Namun andaikata berhasil atau sukses dapat dipastikan bahwa hasil yang diperoleh haruslah lebih dari cukup sebagi imbalan
atas risiko yang mungkin terjadi. Kewirausahaan perlu dikelola yang didasarkan pada inovasi dan tujuan yang jelas. Schumpeter juga berpendapat bahwa para wiraswasta tidak sama dengan inventor, karena seorang inventor hanya berusaha menciptakan produk baru, sedangkan wiraswasta menghimpun sumber-sumber dana, mengorganisasikan bakat, menyediakan kepemimpinan agar produk yang dihasilkannya dapat mencapai keberhasilan secara komersil. Kewirausahaan (entrepreneurship) harus memiliki kreativitas untuk memunculkan invensi dan inovasi. Inovasi adalah suatu proses berpikir yang kreatif dalam menciptakan sesuatu yang baru. Winardi (2004, p. 1-3) mengemukakan bahwa :‖ wiraswasta sebagai seorang yang membayar harga tertentu untuk produk tertentu untuk kemudian dijual dengan harga yang tidak pasti (uncertain price) sambil membuat keputusan-keputusan tentang upaya mencapai dan memanfaatkan sumber-sumber daya dan menerima risiko berusaha (the risk of enterprise)‖. Holt, (1993; 660). menyatakan secara singkat bahwa :‖seorang wiraswasta mengorganisasikan, mengoperasikan sebuah perusahaan untuk mencapai keuntungan pribadi‖. Sedangkan dalam pandangan Joseph Schupmpeter, fungsi wiraswasta adalah mengubah atau merevolusionerkan pola produksi dengan jalan memanfaatkan sebuah penemuan baru (invention) atau secara lebih umum, sebuah kemungkinan teknologikal untuk memproduksi sebuah komoditi baru atau memproduksi produk lama dengan cara baru, membuka sebuah sumber penyediaan bahan-bahan baru, atau sesuatu cara penyaluran baru atau mereorganisasi sebuah industri baru, (Winardi, 2001: 4-5).
Wiraswasta
merupakan
pelaku
perubahan
(agent
of
change)
yang
mentransformasikan sumber-sumber daya menjadi barang/jasa yang bermanfaat, dan seringkali
hal
tersebut
menciptakan
keadaan
yang
menyebabkan
timbulnya
pertumbuhan industrial. Munculnya manusia baru atau the rise of the new man yang dinamakan dengan entrepreneurship atau enterprises, mereka memiliki energi baru yang melimpah ruah yang seakan-akan tidak kunjung padam. Banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan kewirausahaan sekalipun memiliki istilah yang beragam tetapi memiliki pengertian yang hampir sama, dimana kewirausahaan (entrepreneurship entrepreneurial
)mencakup Posture,
entrepreneurship
Entrepreneurship
,
Corporate
Strategic Posture),
entrepreneurship Entrepreneurial
Orientation, Entrepreneural Proclivity (Matsuno, Mentzer and Ozsomer, 2002). Lee – Hsieh Jia (2010:110), sekalipun menggunakan istilah yang berbeda tetapi memiliki pengertian yang sama, bahwa kewirausahaan menghasilkan penemuan melalui kombinasi baru sumber daya untuk menciptakan suatu nilai ekonomi yang lebih. Wayne & Moore (2010) menyatakan bahwa: ―theory resources based view (RBV) fokus utama pada keberagaman sumber daya sedangkan kewirausahaan lebih cenderung fokus pada keberagaman keyakinan nilai nilai sumber daya‖. Sehingga dapat dikatakan kewirausahaan merupakan perilaku dinamik, menerima risiko, kreatif serta berorientasi pada pertumbuhan. Entrepreneurship (kewirausahaan), dapat dikatakan sebagai sesuatu kekuatan abstrak yang menentang keteraturan masyarakat melalui perubahan-perubahan kecil marjinal yang dapat merupakan kekuatan dahsyat, sebagai kekuatan destruktif kreatif (a force of creation destructive). Wirausaha merupakan pengusaha yang ingin mencari
dan menerapkan kombinasi-kombinasi baru sumber daya atau faktor produksi yang dapat membuahkan: Produk baru yang belum pernah ditemukan (invention atau innovation); metode kerja baru yang lebih efisien dan lebih efektif; lapangan kerja baru; teknologi baru; dan daerah penjualan (pasar) baru atau keunggulan daya saing. Semua ini memerlukan kreatifitas, inovasi agar dapat menciptakan optinalisasi. Inovasi merupakan suatu proses berpikir yang kreatif dalam menciptakan sesuatu yang baru. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Yuyus & Kartib (2011:213) yang menyatakan bahwa: ―inovasi adalah kreativitas yang diterjemahkan menjadi sesuatu yang dapat diimplementasikan dan memberikan nilai tambah atas sumber daya yang dimiliki.‖ Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa pelaku usaha yang memiliki orientasi kewirausahaan adalah pelaku usaha yang memiliki perilaku dinamis, berani menanggung risiko bisnis , memiliki ide atau gagasan yang kreatif serta berorientasi pada pertumbuhan, dalam
arti selalu memiliki sikap pada
pertumbuhan atau perkembangan usaha yang dijalankan, baik pada pengembangan produk yang inovatif maupun memperluas jangkauan pasar. Definisi inovasi yang dikembangkan oleh Goswarni& Mathew (2008) , Meyer & Grag (2005), Senge, dkk (2008) mengutip Fontana (2011, p 19 - 20) dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1 Definisi Inovasi Item
Deskripsi
Menciptakan sesuatu yang Merujuk pada inovasi yang menciptakan pergeseran baru paradigma dalam ilmu, teknologi, struktur pasar, ketrampilan, pengetahuan dan kapabilitas Menghasilkan hanya ide- Merujuk pada kemampuan untuk menemukan ide baru hubungan -hubungan baru, melihat suatu subjek dengan persfektif baru dan membentuk kombinasikombinasi yang baru dari konsep- konsep lama Menghasilkan metode, alat baru
Memperbaiki yang sudah ada
ide, Merujuk pada tindakan menciptakan produk baru atau proses baru. Tindakan ini mencakup invensi dan pekerjaan yang diperlukan untuk mengubah ide atau konsep menjadi bentuk akhir sesuatu Merujuk pada perbaikan barang atau jasa untuk produksi besar-besaran atau repoduksi komersial atau perbaikan sistem
Menyebarkan ide-ide baru
Menyebarkan dan menggunakan praktik-praktik baru di dunia
Mengadopsi sesuatu yang baru yang sudah dicoba secara sukses di tempat lain
Merujuk pada pengadopsian sesuatu yang baru atau yang secara signifikan diperbaiki, yang dilakukan oleh organisasi untuk menciptakan nilai tambah, baik secara langsung untuk organisasi maupun secara tidak langsung untuk konsumen.
Melakukan sesuatu Melakukan tugas dengan cara yang berbeda secara dengan cara yang baru radikal Melakukan perubahan
Membuat perubahan-perubahan yang memungkinkan
perbaikan yang berkelanjutan Menarik inovatif
orang-orang Menarik/merekrut dan mempertahankan kepemimpinan dan manajemen talenta dan manajeman manusia (people management) untuk memandu jalannya inovasi
Melihat sesuatu dari Melihat pada suatu masalah dari perefektif yang persfektif yang berbeda berbeda Sumber; Goswarni dan Andrew (2005), PDMA (2008), De Meyer dan Greg (2005), Senge (2008)
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya inovasi adalah memperbaiki, mengubah, mengembangkan bahkan menciptakan ide, metode, produk yang baru. Dengan istilah yang sederhana inovasi menyangkut dengan eksplotasi komersil dari ide- ide yang baru. Freeman (1982) menunjukkan bahwa inovasi adalah transaksi komersil yang pertama dalam pengembangan produk baru, proses, sistem atau perlengkapan. Kajian Darmapur (1987) seperti dikutip Kim Man (2010, p , 160 ), spesialisasi dan hambatan organisasi memiliki pengaruh pada teknik inovasi. Yang penting pada inovasi telah diakui secara konseptual tetapi memiliki keterbatasan secara empiris. Adanya dukungan secara empiris untuk hubungan yang positif antara intensitas bersaing dan inovasi (Zajac, Golden and Shortell, 1998). Pelaku usaha yang akan memulai bisnis selain memiliki orientasi kewirausahaan juga perlu memikirkan sumber daya yang dimiliki sebagai dasar untuk berusahaa, sumber daya yang dimaksudkan dapat berupa sumber daya berwujud (lokasi tempat usaha, peralatan yang dimiliki) atau sumber daya yang tidak berwujud (keahlian dan
ketrampilan yang dimiliki ,kemampuan mengelola dan lainnya). Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa orientasi kewirausahaan memiliki hubungan dengan sumber daya, karena orientasi usaha berupaya untuk menggunakan sumber daya yang dimiliki sehingga menghasilkan sesuatu yang baru baik pada produk, proses maupun pelayanan. Drucker (1985,33); mengemukakan bahwa inovasi menciptakan sumber daya. Seorang wiraswatawan seorang yang memiliki jiwa wirausahaan (wiraswastawan) yang berinovasi adalah seorang pelaku usaha yang malakukan tindakan memberikan kekuatan dan kemampuan baru untuk menciptakan kesejahteraan. Tidak ada sesuatupun yang menjadi sumber daya sampai orang menemukan manfaat dari sesuatu yang terdapat di alam sehingga member nilai ekonomis. Sebagai contoh; seorang wiraswastaan dengan inovasi yang dimiliki mengembangan dan menciptakan suatu produk baru , menciptakan pasar yang baru dan menciptakan permintaan yang baru. Hal ini sebagai pendorong meningkatnya daya beli, sehingga Drucker berpendapat bahwa :‖tidak ada sumber daya yang lebih besar dalam perekonomian selain daya beli‖, dan daya beli dapat diciptakan oleh seortang wiraswastawan. Pada usaha mikro pelaku usaha dapat dikatakan memiliki kreatifitas yang tinggi, karena dapat mengenali kesempatan untuk dijadikan peluang. Mereka adalah pelaku usaha yang memilkiki fleksibilitas tinggi bahkan dapat mengubah tantangan menjadi peluang. Contoh; pada saat sebuah bis yang sarat denga penumpang terpaksa harus berhenti dikarenakan ada perbaikan jalan sehingga menimbulkan kemacetan, pada saat ini pelaku usaha yang memiliki orientasi kewirausahaan sudah memikirkan kebutuhan penumpang, supir dan yang lainnya untuk menyediakan kebutuhan makanan, minuman, tissue dan lainnya pada saat itu juga.
Sekalipun motif utama usaha mikro adalah uang, tetapi pada dasranya mereka berusaha menciptakan nilai (creating value) bagi produknya, baik barang atau jasa. Mereka sering tidak puas terhadap apa yang sudah diproduksikan dengan Tidak ada sumber daya yang lebih besar dalam perekonomian selain daya beli, dan daya beli dapat diciptakan oleh seortang wiraswastawan. memodifikasi saja, tetapi mereka berusaha menciptakan sesuatu yang baru.
Indikator Orientasi Wirausaha Orientasi kewirausahaan dapat diukur dari berbagai indikator. Suatu usaha dapat dikatakan memiliki jiwa kewirausahaan jika memiliki tiga karakteristik yang utama yaitu; adanya inovasi baik inovasi pada produk dan inovasi proses maupun inovasi pada pelayanan, memiliki kemampuan mengambil risiko, dan ketiga adalah proactive artinya perusahaan harus mampu menginvestigasi lingkungan yang bervariasi dan mengadopsi strategi untuk meresponnya. Konsep entrepreneurship dengan paradigma baru yang dimulai pada abad 21, ketika perguruan tinggi memulai program Entrepreneurial Orientation (EO) dan menjadi istilah umum pada jurnal manajemen dan manajemen strategi. Orientasi kewirausahaan (entrepreneurial orientation) merupakan konsep perilaku organisasi yang berkaitan dengan innovativeness, proactive dan risk taking (Miller, 1983) ditambah dengan autonomy dan competitive aggressiveness (Lumpkin & Dess, 1996), konsep ini juga digunakan oleh (Zahra, 1995).
Dalam mengukur orientasi kewirausahaan dari penelitian yang dilakukan oleh Lee and Shang (2001, 599), mengemukakan bahwa indicator orientasi kewirtausahaan terdiri dari : Sedangkan menurut Yuyun Wirasasmita mengutip Yuyus dan Kartib (2010,65) mengemukakan beberapa kemampuan yang harus dimiliki oleh wirausaha, yaitu: 1. Tidak puas bila yang diinginkan belum diperoleh (need of achievement) 2. Terus berusaha sekalipun orang lain mengatakan tidak mungkin (need of achievement) 3. Terus bekerja sampai dicapainya tujuan akhir (need of achievement) 4. Apa yang dicapai adalah hasil kerja keras (internal locus of control) 5. Untung dan rugi usaha ditentukan oleh diri sendiri (internal locus of control) 6. Mampu menguasai diri (internal locus of control) 7. Orang lain banyak yang dapat bekerja sebaik saya (internal locus of control) 8. Suka mengambil keputusan sendiri (self reliance) 9. Saya lebih suka melibatkan teman(self reliance) 10. Suka berjumpa dengan orang baru(self reliance) 11. Berinisiatif untuk memulai pembicaraan (ektraversion) 12. Menyukai banyak kesibukan (ektra version)
Covin & Slevin (1989) juga berpendapat yang sama bahwa nilai-nilai dan perilaku orientasi kewirausahaan meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu: innovativeness, risktaking and pro-activeness. Lumpkin and Dess, 1996, p. 138 – 149; mengemukakan
bahwa orientasi kewirausahaan diukur melalui lima (5) dimensi yaitu, autonomy (otonomi), innovation (inovasi), risk taking (pengambilan risiko), aggressive to compete (bertindak positif dan agresif dalam bersaing). Otonomi (autonomy) adalah tindakan individu atau tim yang membawa ide-ide atau visi baru dan berupaya mencapainya. Inovasi dapat diartikan sebagai kecenderungan perusahaan untuk membolehkan dan mendukung ide-ide baru, percobaan dan proses kreatif yang mungkin berupa produk baru, pelayanan baru atau proses teknologi. Inovasi (innovation) adal;ah menciptakan nilai lebih besar untuk konsumen, untuk komunitas lingkungan pada saat yang sama memberikan manfaat lebih besar dari pesaing. Fontana, (2011:1) mengemukakan definisi inovasi sebagai keberhasilan ekonomi berkat adanya pengenalan cara baru atau kombinasi baru dari cara lama dalam mentransformasikan input menjadi output (teknologi) yang menghasilkan perubahan besar atau drastis dalam perbandingan antara nilai guna (benefit) yang dipersepsikan oleh konsumen atas manfaat suatu produk (barang dan/atau jasa) dan harga yang ditetapkan oleh produsen. Berani mengambil risiko (risk taking) adalah keberanian pelaku usaha untuk mengambil risiko atas segala keputusan yang diambilnya. Bertindak proaktif adalah keberanian pelaku usaha untuk melakukan tindakan guna menghadapi permasalahan di depan kebutuhan atau perubahan yang mungkin terjadi. Gosh (2001) menyatakan bahwa proaktif dapat diukur melalui hal berikut ini yang diperlukan untuk mencapai kinerja optimal, yaitu; memuaskan kebutuhan konsumen, hubungan yang akrab antara
atasan dan bawahan, regionalisasi, kepemimpinan, ketersediaan dukungan keuangan dan teknologi. Agresif dalam bersaing (aggressive to compete) merupakan keberanian pelaku usaha untuk membuka pasar baru dan mencoba untuk lebih sukses lagi. Kelima dimensi ini menjadi satu kesatuan dalam diri wirausahawan dan kemudian menjadi panduan tindakan bagi wirausahawan tersebut. Melalui orientasi kewirausahaan, pimpinan akan mampu membawa perusahaan mencapai kinerja yang lebih baik. Hisrich,
Peters
and
Sheperd
(2008)
mengemukakan
bahwa:‖orientasi
kewirausahaan memiliki dimensi antara lain, mengidentifikasi dan evaluasi peluang, inovasi, pengambilan risiko, manajemen usaha pengembangan ide baru pada produk, proses, atau service dapat meningkatkan pangsa pasar perusahaan, dan mengarahkan kinerja yang lebih baik‖. Selanjutnya, Fontana (2011:19) menyatakan bahwa: ―perusahaan yang dapat mengimplementasikan inovasi dengan efektif dapat menikmati beberapa peluang keuntungan. Perusahaan mendapatkan benefit dari kenaikan produktivitas dan dapat menerima adaptasi untuk pengembangan proses produksi‖ (Sankar, 1991, Burgelman and et al., 1988). Implementasi ide baru dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, mengarahkan kinerja yang lebih tinggi. Kajiannya juga menunjukkan bahwa penggunaan ide baru dengan efektif akan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk berinovasi. Pengembangan dapat menciptakan peluang baru untuk perusahaan dan melengkapi perusahaan dengan keunggulan bersaing (Abernathy and et al., 1988).
Pada dasarnya inovasi adalah memperbaiki, mengubah, mengembangkan bahkan menciptakan ide, metode, produk yang baru. Dengan istilah yang sederhana inovasi menyangkut dengan eksploitasi komersil dari ide- ide yang baru. Freeman (1982) menunjukkan bahwa inovasi adalah transaksi komersil yang pertama dalam pengembangan produk baru, proses, sistem atau perlengkapan. Kim Man (2010, p. 160), menyatakan bahwa spesialisasi dan hambatan organisasi memiliki pengaruh pada teknik inovasi; inovasi secara konseptual tetapi memiliki keterbatasan secara empiris. Hal ini disebabkan inovasi merupakan suatu proses yang dinamis dalam mengantisipasi perubahan , baik perubahan kebutuhab, keinginan,selera konsumen maupun perubahan lingkungan. Zajac, Golden and Shortell, (1998) dalam kajiannnya menyatakan adanya hubungan antara keterbasan inovasi secara empiris antara intensitas bersaing dengan inovasi. Pentingnya inovasi telah diketahui secara konseptual, namun sangat jarang diteliti secara empiris. Adanya hubungan yang positif antara intensitas persaingan dan inovasi dapat menjadikan siklus waktu produksi menjadi lebih pendek dengan biaya yang lebih rendah, merubah desain produk, keberagaman produk, proses manajemen dengan restrukturisasi organisasi (Damanppour, 1987). Penelitian De Meyer & Grag (2005), mengutip Fontana (2011, p. 117-119) mengemukakan sejumlah faktor-faktor yang menghambat terjadinya inovasi di Asia, yaitu: kelangkaan sumber daya untuk inovasi, seperti jumlah peneliti pada R & D, waktu yang dibutuhkan untuk memulai sebuah bisnis, pola pikir yang lebih menekankan pada
efisiensi dari pada penciptaan nilai baru (value creation), lebih berorientasi pada hasil daripada proses, sehingga proses penciptaan nilai bukan merupakan yang utama. Berdasarkan hal hal yang dikemukakan di atas dapat dijelaskan bahwa pasar yang merangsang inovasi secara geografis berjarak jauh dan berukuran kecil dan berbeda secara kultural hanya memiliki pengetahuan
yang relatif sedikit tentang
bagaimana membangun merek, mengembangkan saluran distribusi dan promosi yang canggih. Kadang kala situasi ini ditambah lagi dengan tingginya jarak fisik antara pembeli dan produsen, kurangnya pengetahuan pelaku usaha tentang pasar untuk pengembangan produk/layanan yang baru. Hal ini disebabkan pelaku usaha yang tidak melakukan hasil riset pasar, atau ada yang melakukan riset pasar tetapi dengan data yang relatif kurang valid dan tidak akurat. Pelaku usaha tidak berusaha pada proses penciptaan nilai (creating value) melalui inovasi tetapi lebih pada memenuhi kapasitas produksi . Apa yang perlu dilakukan organisasi agar inovasi berhasil? . Penelitian De Meyer & Grag (2005), mengutip Fontana (2011, p 11 117 - 119) mengemukakan sejumlah faktor-faktor yanng menghambat terjadinya inovasi di Asia, yaitu : 1. Kelangkaaan sumber daya untuk inovasi, seperti jumlah peneliti pada R & D, waktu yang dibutuhkan untuk memulai sebuah bisnis, pola pikir yang lebih menekankan pada efisiensi dari pada penciptaan nilai baru (value creation), lebih berorientasi pada hasil daripada proses, sehinga proses penciptaan nilai bukan merupakan yang utama. 2. Pasar-pasar yang merangsang inovasi secara geografis berjarak jauh dan berukuran kecil dan berbeda secara kultural. Sedikit pengetahuan tentang bagaimana membangun merek, mengembangkan saluran distribusi dan promosi uang canggih.
Situasi ditambah lagi dengan
tingginya jarak fisik antara pembeli dan produsen,
kurangnya pengetahuan tentang pasar untuk pengembangan produk/layanan yang baru. Hal ini diperparah dengan hasil riset pasar dimana datanya relatif kurang valid dan tidak akurat. 3. Kebijakan industrial yang ada hanya untuk mengejar ketertinggalan industrialis (pola pikir persaingan, pola pandang makro-indutri) bukan pada penciptaaan nilai melalui inovasi (pola pikir kolaborasi, pola pandang mikro - manajerial). Data tahun 2004 menunjukkan bahwa pengusaha Indonesia membutuhkan waktu 151 hari untuk memulai usaha baru, dimana hal ini berkaitan dengan masalah administrasi dan perizinan. Bandingkan dengan Singapura yang hanya membutuhkan waktu 6 (enam) hari. 4. Banyak organisasi yang memiliki budaya yang cenderung menolak inovasi (inovatioaverse organizational culture), yang berkonsekuensi pada situasi self fulfilling prophecy dari mentalitas keterbelakangan dan organisasi hierarkis - birokratis yang menghambat kreatifitas. Hal ini ditandai dengan banyaknya jumlah perusahaan keluarga di Asia atau memiliki budaya keluarga yang kuat sehingga menimbulkan atau menyebabkan rendahnya jarak kognitif atau rendahnya keberagaman berpikir dan pengetahuan tidak produktif bagi inovasi. Hal ini juga ditandai dengan adanya persepsi negara-negara industri bahwa barang-barang industri Asia adalah barang murahan hasil kerja karyawan atau pekerja, dengan biaya atau upah rendah, sehingga kualitas produk rendah di pasar ekspor yang sering diperburuk dengan citra diri perusahaan-perusahaan di Asia. Dari hasil pengamatan yang dilakukan,
rendahnya penciptaan nilai yang rendah mendominasi pada kegiatan perdaganagn (trading). 5. Adanya fenomena di Asia, tentang kurangnya penghargaan yang cukup terhadap aset yang tidak berwujud (intangible assets). Membangun merek sering diabaikan atau hanya diartikan sebagai pemilihan nama yang keren. Fenomena lainnya adalah kurangnya kemampuan mendesain yang baik dan rendahnya jumlah paten yang diberikan kepada warga Asia sementara itu mereka harus membayar royalti dan lisensi. Untuk tercapainya penciptaan nilai yang berkembang melalui inovasi Fontana (2011, 124 ) mengemukakan ada delapan (8) prinsip manajeman inovasi, yaitu : 1. Tidak ada inovasi tanpa kepemimpinan, artinya inovasi yang berhasil membutuhkan visi
yang jelas yang didefinisikan oleh kepemimpinan dalam organisasi dan oleh
penciptaan lingkungan yang memungkinkan visi tersebut disebarkan, dibagikan dan dimiliki oleh semua orang dan kolaborasinya yang ada dalam organisasi. 2. Inovasi membutuhkan manajeman risiko yang terkalkulasi. Tantangan inovasi yanng kedua adalah mengetahui bagaimana mengelola risiko, karena semua inovasi memiliki risiko, termasuk
memastikan karyawam memiliki
perilaku sebagai pengusha atau intrapreneur. Meyer & Grag (2005)
agar
perusahaan perlu menciptakan stimulus yanng dipengaruhi oleh budaya perusahaan menyampaikan 3 (tiga) hal, yaitu :
a. Berikan role model (model peran) kepada seseorang atau kelompok yang berani mengambil risiko dan memberikan balas jasa (reward) b. Berikan posisi jaminan bila melakukan kegagalan dalam berinovasi, dan memberikan kesempatan kembali. c. Menciptakan jejaring inovator/wirausaha (networking) diantara para wirausahah yang sudah ada dengan mereka yang potensial. 3. Inovasi dipicu oleh kreatifitas. Inovasi dimulai oleh adanya kreatifitas dan adalah tugas organisasi
untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terciptanya kreatifitas, dengan melakukan (a) membentuk tim kerja atau kelompok (b) mengekspos anggota-anggota organisasi pada informasi (c) memberikan imbal jasa (recognition) dan pengakuan yang layak untuk mendorong kreatifitas (d) menetapkan tekanan dan tenggat tertuang dengan lingkungan organisasi yang mendukung (e) menggunakan instrumen masalah secara kreatif (team oriented problem solving approach) 4. Inovasi membutuhkan itegrasi organisasi Untuk melaksanakan inovasi yang berhasil seluruh anggota harus memiliki jiwa dan spirit inovasi. 5. Membutuhkan keungulan dalam manajemen proyek, yang antara lain : a. Kemampuan dlam membuat perencanaan b. Mengatur semua pemangku kepentingan (stakeholders) baik yang endukung maupun yang menentang inivasi
c. Orgnisasikan
aliran
informasi
terutama
informasi
yang
berasal
dari
lingkungadi luar organisasi d. Tentukan manajer proyek (product champion, heavyweight project manager e. Penuhi tiga
sasaran pengembangan rpoduk, yaitu penuhi kriteria desain
dengan kualitas tinggi, gunakan sumber daya seefisien mungkin, luncurkan serta distribusikan produk tepat waktu. f. Gunakan waktu secara efisien (time based competition) g. Kembangkan sistem untuk merespons dinamika dan kompleksitas lingkungan yangbtidka diharapkan atau terhadap ketidak pastian lingkungan. 6. Efektifitas inovasi membutuhkan informasi. Informasi yang berkualitas sebagai sumber daya yang penting untuk efektifitas inovasi , untuk mangakses informasi yang berkualitas harus diperhtikan hal hal berikut : a. Melakukan akses informasi dengan kontak langsung (face to face contat is still way to transfer information) b. Rancang struktur fisik organisasi sedemikian rupa sehingga menciptakan efektifitas pergerakan c.
Rancang
struktur organisasi
yang
menunjang
komunikasi,
keterbukaan. d. Pilih "gatekeeper" yanng handal untuk organisasi inovatif anda. 7. Hasil dari upaya kreatif perlu dilindungi
integrasi
dan
Penggunaan hak cipta, paten dilengkapi dengan trade secrets, merek monopolis atas sumber daya, menciptakan captive markets, mempercepat pengembangan produk. 8. Inovasi yang berhasil adalah yang memiliki pemahaman yang baik tentang pasar. Kemampuan berkomunikasi dengan konsumen , pelangan serta pelanggan yang potensial, serta pihak pihak lain yang mempengaruhi keputusan membeli merupakan faktor fundamental untuk keberhasilan inovasi. Menurut Damanpour (1987), inovasi mengambil siklus waktu yanng lebih pendek pada industri dengan biaya yang lebih rendah dan juga perubahan desain produk, keberagaman produk dan proses manajemen denagn restrkturisasi organisasi. Kajian modelini diadopsi oleh
Damanpour dalam pengukuran inovasi
pada usaha kecil menengah. Selanjutnya , kajian yanng baru dilakukan oleh Lin dan Chen (2007) menunnjukkan bahwa 80% perusahaan yang diteliti mengaplikasikan inovasi teknologi , dan inovasi teknologi tidak menjelaskan tentang penjualan. Orientasi wirausaha (entrepreneurical orientation) merupakan konsep perilaku organisasi yang berkaitan dengan innovativeness, proactive dan risk taking (Miller, 1983) ditambah dengan autonomy dan competitive aggressiveness (Lumpkin & Dess, 1996), konsep ini juga digunakan oleh (Zahra, 1995) Orientasi kewirausahaan akan meningkatkan kinerja bagiusaha mikro , hal ini sesuai dengan hasil penelitian Brown, 1996 dan Wilkund (1998, 1999), Lumpkin & Dess (2001, Kreiser, Marino dan Weaver (2002) dan Wilkund dan Shepherd (2003). Selanjutnya (Awang, et al 2010) juga mengemukan hal yang sama bahwa entrepreneurical orientation (EO) memiliki hubungan yang significant dengan Return
On Sale (ROS) yang merupakan salah satu kinerja keuangan perusahaan. Mengutip (Lee - Hsieh, 2010, p-109), entreprenuership tidak hanya ditemukan
. tetapi juga
terdapat pada saat ini dan juga pada perusaaahaan besar yang memiliki sejarah yang panjang Drucker, 1985b), Drucker (1985a)
mengatakan bahwa entreprenuership
adalah suatu perilaku atas dasar konsep dan pemikiran. Setiap orang yang mampu membuat keputusan yang berani dan aktif menjadi seorang entrepreneur.
siap
menghadapi masalah mampu
dalam situasi yang norman entrepreneur dapat
mengambil kesempatan pada lingkungan sekitarnya dalam situasi normal dan mencoba mengadakan kesempatan
yang ada di lingkungan
memiliki keberanian menanggung risiko berasal dari orang orang
untuk
sekitarnya. Juga
memulai suatu bisnis umumnya
yang memiliki memiliki model nilai dan prilaku
entrepreneurship. (Weerawardena & O'Cass, 2004). Entrepreneurship
harus dapat menemukan sumber inovasi, perubahan
lingkungan, dan kesempatan di lingkungan yang ada , dan dapat menahami prinsip prinsip keberhasilan inovasi dan menggunakannya. Kewirausahaan
adalah suata
faktor penting yang mempengaruhi keunggulan bersaing yang berkelanjutan, dan juga merupakan faktor penting untuk
kapabilitas dan inovasi pemasaran karena dapat
mengubah lingkungan dan membuka bisnis atau pelayan baru (Ducker, 1985a) Yuyun Wirasasmita (dikutip Yuyus,
mengemukakan beberapa kemampuan yang
harus dimiliki wiraswasta, yaitu : 1. Self knowledge yaitu memiliki pengetahuan tentang usaha yang akan dilakukan atau ditekuninya.
2. Imagination ,yaitu memiliki imajinasi, ide dan presfektif serta tidak mengandalkan pada sukses masa lalu 3. Practical knowledge, yaitu memiliki pengetahuan praktis, misalnya pengetahuan teknik, desain, prosesing, pembukuan, administrasi dan pemasaran 4. Search skill, yaitu kemampuan menemukan, berkreasi dan berimajinasi 5. Forseigh, yaitu berpandangan jauh kedepan computation skill, yaitu kemmapuan berhitung dan memprediksi keadaan di masa yang akan dating 6. Communication skill, yaitu kemampuan untuk berkomunikasi, bergaul dan berhubungan dengan orang lain. Proses inovasi berusaha melakukan penciptaan nilai (creating value), ataupun berusaha melakukan sesuatu yang menambah nilai kegunaan sutau produk. Penciptaan nilai ayau menambah nilai (value added), dilakukan dalam usaha menciptakan sesuatu yang baru, sesduatu yang berbeda, sesuatu yang unik, sehingga memiliki nilai tersendiri bagi konsumen.Untuk tercapainya penciptaan nilai yang berkembang melalui inovasi Fontana (2011, p. 124) mengemukakan ada delapan (8) prinsip manajemen inovasi, yaitu: 1. Tidak ada inovasi tanpa kepemimpinan, artinya inovasi yang berhasil membutuhkan visi yang jelas yang didefinisikan oleh kepemimpinan dalam organisasi dan oleh penciptaan lingkungan yang memungkinkan visi tersebut disebarkan, dibagikan dan dimiliki oleh semua orang dan kolaborasinya yang ada dalam organisasi. 2. Inovasi membutuhkan manajemen risiko yang terkalkulasi. Tantangan inovasi yang kedua adalah mengetahui bagaimana mengelola risiko, karena semua inovasi memiliki risiko, termasuk memastikan karyawan memiliki perilaku sebagai pengusaha atau wiraswasta. Meyer & Grag (2005) agar perusahaan perlu menciptakan stimulus, yang dipengaruhi oleh budaya perusahaan menyampaikan 3 (tiga) hal, yaitu: role model (model peran) kepada seseorang atau kelompok yang berani mengambil risiko dan memberikan balas jasa (reward); posisi jaminan bila melakukan kegagalan dalam berinovasi, dan memberikan kesempatan
3.
4. 5. 6. 7. 8.
kembali dan menciptakan jejaring inovator/wirausaha (networking) diantara para wirausaha yang sudah ada dengan mereka yang potensial. Inovasi dipicu oleh kreativitas. Inovasi dimulai oleh adanya kreativitas dan adalah tugas organisasi untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terciptanya kreativitas, dengan melakukan: (a) membentuk tim kerja atau kelompok; (b) mengekspos anggota-anggota organisasi pada informasi; (c) memberikan imbal jasa (recognition) dan pengakuan yang layak untuk mendorong kreativitas; (d) menciptakan lingkungan organisasi yang mendukung; (e) kerjasama dalam memecahkan masalah (team oriented problem solving approach). Inovasi membutuhkan integrasi organisasi. Untuk melaksanakan inovasi yang berhasil seluruh anggota harus memiliki jiwa dan spirit inovasi. Efektifitas inovasi membutuhkan informasi. Informasi yang berkualitas sebagai sumber daya yang penting untuk efektifitas inovasi, untuk mengakses informasi yang berkualitas. Pilih ―gatekeeper‖ yang handal untuk organisasi inovatif anda. Hasil dari upaya kreatif perlu dilindungi. Penggunaan hak cipta, paten dilengkapi dengan trade secrets, merek monopolist atas sumber daya, menciptakan captive markets, mempercepat pengembangan produk. Inovasi yang berhasil adalah yang memiliki pemahaman yang baik tentang pasar. Kemampuan berkomunikasi dengan konsumen, pelanggan serta pelanggan yang potensial, serta pihak pihak lain yang mempengaruhi keputusan membeli merupakan faktor fundamental untuk keberhasilan inovasi.
Dari prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas dapat dijelaskan bahwa untuk usaha i mikro juga membutuhkan pelaku usaha yang memiliki tujuan yang hendak dicapai (sekalipun tidak dinyatakan dalam visi dan misi, karena industri mikro jarang yang memiliki visi dan misi), pelaku usaha yang mempertimbangkan risiko yang akan terjadi, membutuhkan informasi baik informasi tentang kebutuhan dan keinginan konsumen, informasi tentang teknologi terkini yang dapat digunakan terutama informasi tentang pasar potensial. Menurut Damanpour (1987), inovasi mengambil siklus waktu yang lebih pendek untuk industri pada perubahan desain produk, keberagaman produk dan proses manajemen dengan restrukturisasi organisasi.
Kajian model ini diadopsi oleh
Damanpour dalam pengukuran inovasi pada usaha kecil menengah.
Selanjutnya,
kajian yang baru dilakukan oleh Lin dan Chen (2007) menunjukkan bahwa 80% perusahaan yang diteliti mengaplikasikannya inovasi teknologi, tetapi tidak untuk inovasi teknologi penjualan. Konsep kewirausahaan dengan paradigma baru yang dimulai pada abad 21, ketika perguruan tinggi memulai program orientasi kewirausahaan dan menjadi istilah umum pada jurnal manajemen dan manajemen strategi. Orientasi kewirausahaan merupakan konsep perilaku organisasi yang berkaitan dengan innovativeness, proactive dan risk taking (Miller, 1983) ditambah dengan autonomy dan competitive aggressiveness (Lumpkin & Dess, 1996), konsep ini juga digunakan oleh (Zahra, 1995). Demikian juga konsep konsep yang dikemukakan oleh Peter F. Drucker (1985), Hisrich, Peters and Shepperd (2008), Lumpkin & Dess (1996) imemiliki indikator yang relative sama untuk orientasi kewirausahaan yaitu dengan menggunakan 4 (empat) dimensi yaitu, agresif dalam bersaing (competitive aggressiveness), proaktif (proactive), inovasi (innovativeness) dan berani mengambil risiko (risk taking). Orientasi kewirausahaan akan meningkatkan kinerja bagi perusahaan kecil, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Brown, 1996 dan Wilkund (1998, 1999), Lumpkin & Dess, Kreiser, Marino dan Weaver (2002) dan Wilkund dan Shepherd (2003). Selanjutnya (Awang, et al., 2010) juga mengemukakan hal yang sama bahwa orientasi kewirausahaan memiliki hubungan yang signifikan dengan Return On Sale (ROS) yang merupakan salah satu ukuran kinerja keuangan perusahaan.
Miller (1983) mengutip Awang (2010, 35) mengemukakan bahwa orientasi kewirausahaan yang
terdiri dari inovasi, proaktif dan pengambilan risiko. Melalui
orientasi kewirausahaan , pimpinan akan mampu membawa perusahaan mencapai kinerja yang lebih baik. Dalam situasi yang normal wiraswasta dapat mengambil kesempatan pada lingkungan sekitarnya dan mencoba mengambil peluang yang ada di lingkungan sekitarnya. Juga memiliki keberanian menanggung risiko untuk memulai suatu bisnis umumnya berasal dari orang-orang yang memiliki ide dan semangat kewirausahaan . Sesuai Drucker (1985) pelaku usaha tentu saja menanggung risiko risiko kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan sumber daya sekarang untuk harapan yang akan datang. Survey yang dilakukan (Booz & Company, 2006), menemukan ada tiga tipe strategi inovasi, yaitu; need seekers, market readers dan technology drivers, dimana need seekers dan market readers sebagai tipe inovator tipe penyesuai, sementara technology drivers sebagai tipe pendaya tarik. Oleh karena itu penting untuk menanamkan budaya kewirausahaan pad manajer level menengah dan atas harus memiliki model nilai dan perilaku kewirausahaan . Wirausaha harus dapat menemukan sumber inovasi, perubahan lingkungan, dan kesempatan di lingkungan yang ada, dan dapat memahami prinsip-prinsip keberhasilan inovasi dan menggunakannya. Orientasi kewirausahaan juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi keunggulan bersaing yang berkelanjutan, dan juga merupakan faktor penting untuk kapabilitas dan inovasi pemasaran karena dapat mengubah lingkungan dan membuka
bisnis atau pelayan baru (Ducker, 1985). Man, Lau and Chan (2002) mengemukakan terdapat enam bidang utama untuk mengembangkan kompetensi kewirausahaan, yaitu opportunity,
relationship,
conceptual,
organizing
strategic
merupakan
faktor
and
comminment
competencies. Kewirausahaan
(wiraswastaship)
yang
mempengaruhi
keungulan bersaing yang berkelanjutan (Weerawardana & O'Cass, 29004)
seperti
dikutip Lee & Hsieh (2010, 113). Umumnya perusahaan yang memiliki karakteristik kewirausahaan memiliki kinerja yang lebih tinggi (Khandwalla, 1985). Untuk usaha mikro pelaku usaha yang memiliki orientasi kewirausahaan mampu memodifikasi produknya sehingga dapat memenuhi kebutuhan konsumen tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya. Pelaku usaha industri mikro makanan yang memiliki orientasi kewirausahaan adalah pelaku usaha yang memiliki jiwa wirausaha, mampu menciptakan sesuatu yang baru baik pada proses, produk maupun pelayanan, dan memiliki kemampuan untuk memasarkannya atau memperluas jangkauan pasar yang ada. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pelaku usaha mikro yang memiliki orientasi kewirausahaan mampu memenuhi kebutuhan konsumen sesuai dengan perubahan, sehingga usaha yang dimiliki dapat memiliki pertumbuhan (bahkan dapat meningkatkan skala usahanya dari skala usaha mikro menjadi usaha kecil atau menengah).
BAGIAN KETIGA PERSAINGAN DAN KINERJA INDUSTRI MIKRO
Keunggulan Bersaing Tujuan suatu usaha seperti yang dikemukakan oleh Peter Drucker adalah: “is to create customer.” Usaha dapat melakukan ini melalui penciptaan dan penyerahan nilai ekonomi (creating and delivering economic value). Besanko, et. al (2010:365), mengemukakan bahwa: ―business are succesfull in creating more value than competitors will attain an advantaged position relative to competitors in the market place.” Penciptaan nilai yang melebihi dari pesaing merupakan salah satu sumber keunggulan bersaing. Setiap perusahaan akan berusaha untuk lebih unggul dibanding pesaingnya, sehingga perusahaan perlu membuat strategi yang diperlukan untuk menghadapi pesaingnya melalui keunggulan keunggulan yang dimiliki. Keunggulan bersaing merupakan kemampuan perusahaan menawarkan manfaat (benefit) yang berbeda dengan pesaing (Wang, 2011).
Menciptakan nilai yang lebih besar daripada nilai yang diciptakan oleh pesaing merupakan bagian dari keunggulan bersaing. Terdapat dua komponen utama yang menentukan nilai suatu produk, yaitu manfaat (benefit) dan pengorbanan (cost). Manfaat (benefit) produk dapat dilihat dari solusi alternatif, kualitas serta customize yang dimiliki produk tersebut, sedangkan manfaat jasa yang menyertai produk tersebut dapat dilihat dari dimensi kualitas jasa. Hax and Majluf (1996) menyebut ada empat sumber daya saing perusahaan, yaitu: kompetensi yang unik, keberlanjutan (sustainability), appropriability (kemampuan memanfaatkan potensi) dan opportunity atau kesempatan pada saat yang tepat. Kompetensi unik hanya muncul apabila organisasi melakukan investasi pada aset yang memiliki daya tahan, spesialisasi, dan sulit ditukar (durable, specialized, and untradeable). Untuk itu digunakan persamaan nilai V= Value sebagai berikut: Benefit (B)/Cost (C). Manfaat yang dirasakan (Nilai: produk, pelayanan, karyawan dan citra), sedangkan C= Cost (Biaya, moneter, waktu, energi dan mental). Selain manfaat dan jasa masih terdapat lagi manfaat dari sisi relationship yang terdiri dari citra, kepercayaan dan solidaritas. Sementara itu pengorbanan (cost) terdiri dari harga (secara moneter) dan harus dibayar untuk mendapatkan produk (termasuk jasa yang menyertainya) dan pengorbanan dari sisi waktu, upaya dan energi yang diperlukan untuk memperolehnya dan juga konflik yang ditimbulkannya. Pemikiran dasar dari penciptaan strategi bersaing berawal dari pengembangan rumusan umum tentang bagaimana bisnis akan dikembangkan, apa yang menjadi
tujuan dan kebijakan perusahaan. Pada dasarnya pengertian keunggulan bersaing memiliki dua arti yang berbeda tetapi saling berhubungan, (Dogre dan Vikrey, 1994, p. 664-670). Pengertian pertama menekankan pada superior (keunggulan) dalam hal keunggulan sumber daya dan keahlian yang dimiliki perusahaan. Perusahaan yang memiliki kompetensi pemasaran, kompetensi manufacturing dan inovasi dapat menjadikan sumber daya dimaksud untuk mencapai keunggulan bersaing. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Day & Wesley (1998), yang menyebutkan bahwa; sources of advantage are superior skill, superior resources and superior control. Sedangkan pengertian kedua menekankan pada keunggulan dalam pencapaian kinerja. Pengertian ini terkait dengan posisi perusahaan dibandingkan dengan pesaingnya. Perusahaan yang terus memperhatikan perkembangan kinerjanya dan berupaya untuk meningkatkan kinerja memiliki peluang mencapai posisi persaingan yang lebih baik maka sebenarnya perusahaan telah memiliki modal yang kuat untuk terus bersaing dengan perusahaan lain. Konsep yang dikemukakan oleh Hill & Jones (2009,76) tentang the roots of competitive advantage, terlihat bahwa keunggulan bersaing dapat diwujudkan dengan menciptakan keunggulan pada efisiensi, kualitas,
inovasi, respon pelanggan yang
semua ini dapat terbentuk dari kapabilitas distingtif. Kapabilitas distingtif dibentuk dari sumber daya yang tersedia dan kapabilitas yang dimiliki organisasi atau perusahaan seperti dalam gambar di bawah ini:
The Roots Of Competitive Advantage :
Resources
Superior Distinctive Competencies
Efficiency Quality Innovation Customer responsiveness
Differentiation Value
Higher
Creation
Profits
Low Cost
Capabilities
Sumber: Hill & Jones(2009, 123)
Gambar 3.1 The Roots Of Competitive Advantage
Keunggulan bersaing (competitive advantage) dapat dicapai jika strategi yang ada dapat menciptakan nilai (value creating), dan tidak dilakukan oleh pesaing. Nilai (value); merupakan atribut yang disediakan oleh perusahaan dalam bentuk barang atau jasa yang bersedia dibayar konsumennya (Hitt, Ireland dan Hoskisson, 2008). Keunggulan bersaing (Competitive advantage); pada dasarnya berkembang dari nilai yang mampu diciptakan oleh perusahaan untuk pembelinya yang melebihi biaya perusahaan dalam menciptakannya. Nilai adalah apa yang pembeli bersedia untuk membayar dan nilai tersebut berasal dari tawaran harga yang lebih rendah daripada
pesaing untuk manfaat yang sama atau memberikan manfaat yang unik yang lebih daripada sekadar mengimbangi harga yang lebih tinggi. Hitt, Ireland & Hosskinson (2008,13) mengemukakan bahwa :”individual resources alone may not yield competitive advantage. In general competitive advantage are formed through combination and integration of set of resources”. Kombinasi dan integrasi akan dapat menciptakan keunggulan bersaing, dibandingkan jika sumber daya berdiri sendiri. Kombinasi dan integrasi berbagai sumber daya yang dilakukan akan menciptakan nilai yang lebih baik. Sebuah perusahaan yang mampu bersaing dapat memasuki pasar dengan sumber daya yang memiliki kemampuan untuk bersaing dan dapat menjadi tidak memiliki keunggulan bersaing, ketika perusahaan lain mengembangkan sebuah atribut atau kombinasi atribut yang dapat mengungguli pesaingnya. Atribut tersebut dapat berupa akses sumber daya, akses sumber daya manusia yang sangat terlatih dan terampil atau akses teknologi baru baik teknologi informasi maupun teknologi yang digunakan untuk membantu proses produksi. Keberlanjutan keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage) berkaitan dengan kerangka waktu. Sebaliknya, keunggulan kompetitif berkelanjutan akan terjadi ketika upaya pesaing untuk membuat berlebihan keunggulan kompetitif telah berhenti (Rumelt, 1984). Ketika tindakan imitatif telah berakhir tanpa mengganggu keunggulan kompetitif perusahaan, strategi bersaing yang dimiliki perusahaan dapat disebut berkelanjutan.
Menurut Porter, keunggulan bersaing yang berkelanjutan terjadi bila perusahaan dapat memberikan margin di atas rata-rata pesaing dalam jangka panjang. Porter (1998) juga memperkenalkan konsep rantai nilai (value chain) sebagai keunggulan bersaing (competitive advantage) dengan menjelaskan bahwa dalam perusahaan terdapat serangkaian kegiatan yang memberikan kontribusi terhadap nilai akhir atau jasa yang dijual kepada konsumen. Value itu sendiri menurut Porter merupakan sejumlah uang yang oleh pembeli dirasakan dengan harga dibayar untuk mendapatkan produk atau jasa tersebut. Rangkaian kegiatan yang berbeda secara fisik dan teknologi secara bersama-sama menciptakan nilai yang disebut rantai nilai (value chain). Pada rantai nilai dengan simbol tulang ikan (bonefish) ditampilkan total value yang terdiri dari value activities dan margin. Value activities adalah aktivitas-aktivitas yang berbeda secara fisik dan teknologi yang digunakan perusahaan yang terdiri dari aktivitas primer (primary activities) dan aktivitas pendukung (support activities). Aktivitas primer (primary activities) tersebut terdiri dari: 1. Inbound
logistic
yaitu
aktivitas
yang
berhubungan
dengan
penerimaan,
penyimpanan, penyebaran input pada produk. 2. Operation yaitu aktivitas yang berhubungan dengan transfer input menjadi output. 3. Out bound logistic yaitu kegiatan mengumpulkan dan mendistribusikan produk pada pembeli. 4. Marketing and sales yaitu merupakan kegiatan yang dimaksudkan agar costumer melakukan pembelian terhadap suatu produk. 5. Service yaitu aktivitas yang berhubungan dengan tersedianya pelayanan untuk meningkatkan atau mempertahankan value dari produk.
Sedangkan aktivitas pendukung (support activities) terdiri dari: 1. Procurement, aktivitas yang mendukung terhadap pengadaan input yang digunakan dalam value chain perusahaan. 2. Technology development, setiap value activity melibatkan teknologi atau menambah teknologi dalam proses, mengkombinasikan sub-teknologi yang berbeda yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. 3. Human resource management, terdiri dari aktivitas-aktivitas yang terlibat dalam perekrutan, pelatihan, pengembangan, dan kompensasi untuk semua personil. 4. Firm infrastructure, terdiri dari sejumlah aktivitas yang
termasuk general
management, planning, finance, accounting, legal, government affair dan quality management. Margin merupakan perbedaan antara total nilai (total value) dan aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan. Sistem nilai (value system) yang ada dalam perusahaan akan menentukan keunggulan bersaing (competitive advantage) perusahaan, baik dari segi harga yang lebih murah karena proses produksi yang lebih baik, layanan yang lebih baik dari pesaing maupun peningkatan kinerja pembeli (buyer performance). Setiap perusahaan mempunyai value chain yang berbeda tergantung dari strategi perusahaan masing-masing. Salah satu strategi (Porter, 2011) tersebut adalah Porter generic strategies atau strategik generik yang didasarkan pada biaya (cost) dan diferensiasi (differentiation) dengan 5 kuadran seperti dalam gambar berikut:
Gambar 3.2 Porter’s Generic Competitive Strategies
1. Cost leadership (Keunggulan Biaya): Suatu organisasi menjadi produsen dengan biaya rendah dalam industrinya. Keuntungan diperoleh dengan menyamakan diri dengan pesaing, baik melalui harga dan memperoleh keuntungan yang lebih besar atau dengan membangun volume melalui harga di bawah pesaing. 2. Differentiation (diferensiasi) yaitu: Perusahaan berusaha menjadi beda dalam beberapa dimensi yang memiliki nilai bagi pelanggan. Perusahaan yang dapat memperoleh dan memelihara perbedaan akan memperoleh kinerja di atas rata-rata apabila harga premium yang ditetapkan melebihi tambahan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh keunikan. Berbeda dengan strategi keunggulan biaya, ada lebih
dari satu strategi diferensiasi yang berhasil dalam satu industri jika terdapat banyak atribut yang dipandang penting oleh pembeli. 3. Focus Differentiation (fokus diferensiasi): Menjadi beda melalui dimensi nilai dalam suatu pasar sasaran yang khas. Perusahaan menggunakan strategi ini untuk mengidentifikasi pesaing yang memiliki kinerja kurang. 4. Cost Focus (Fokus biaya): Perusahaan menciptakan keunggulan harga dalam pasar sasaran, menjadi produsen biaya rendah dalam segmen tertentu. Perusahaan menggunakan strategi pesaing yang kinerjanya di atas rata-rata, memiberikan manfaat tinggi dengan biaya rendah pada segmen tertentu. 5. Best Cost Prover (BCP) : Perusahaan menciptakan nilai atau manfaat yang lebih besar untuk konsumen dari pada pengorbanan moneter yang dikeluarkan. Dengan kata lain pada kwadran ini dapat disederhanakan “giving customer more value for money”. Tindakan
untuk
menciptakan
keunggulan
bersaing
tersebut,
memiliki
konsekuensi penting dalam struktur industri, dimana terdapat lima kekuatan bersaing yang menentukan kemampuan perusahaan di dalam suatu industri untuk memperoleh laba dimana investasi yang melebihi biaya modal. Lima kekuatan yang memberikan keunggulan bersaing menurut Longenecker, Moore, Pretty (2003, 36), antara lain pelayanan yang unik, harga yang rendah, produk yang tidak tergantikan, pelanggan yang loyal dan pelayanan yang baik. Kesemuanya ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Price/Value
Unique Service
COMPETITIVE Costumer Convinience
Notable Costumer Experience
Sumber: Longenecker, Moore dan Peety (2003: 5)
Gambar 3.3 Dasar-dasar Persaingan Unggul
Model yang dirancang oleh Longenecker, Moore dan Petty ini untuk keunggulan bersaing terdiri dari result (hasil), Strategies (strategi) dan Foundations (dasar). Result dalam hal ini terwujud dalam Profit (laba), Market (pasar), Customer (pelanggan) dan Survival (kemampuan tetap eksis). Sedangkan strategi yang dimaksudkan di sini menggambarkan
bagaimana
memilih
dan
menetapkan
strategi
umum
untuk
meningkatkan dan mempertahankan daya saing perusahaan berdasarkan strategi biaya dan diferensiasi yang digunakan. Foundation (dasar) dilihat dari lingkungan eksternal yaitu, ekonomi, sosial budaya, teknologi, lingkungan global dan ekologikal. Sedangkan foundation (dasar) yang lainnya yaitu organizational (organisasi) dalam artian sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki oleh perusahaan. Dalam menghadapi persaingan yang demikian ketat dewasa ini esensi strategi adalah meningkatkan
dan mempertahankan keunggulan bersaing (sustainability
competitive advantage) melampaui pesaing perusahaan. Keunggulan
bersaing yang
berkelanjutan adalah tujuan strategis dan fokus utama yang ingin dicapai oleh perusahaan. Untuk itu seyogyanya setiap perusahaan dapat menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan dengan menciptakan keunikan sumber daya baik pada keunikan sumber daya yang berwujud maupun sumber daya yang tidak berwujud (intangible assets), yang salah satunya adalah menciptakan kapabilitas distingtif dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja. Sumber daya manusia yang memiliki komitmen pada organisasi, distinctive capabilities (kapabilitas distingtif), orientasi kewirausahaan (entrepreneurial oriented) akan dapat mewujudkan keunggulan bersaing (competitive advantage) yang tercermin pada pencapaian superior value atau nilai nilai unggul antara lain, sumber daya manusia yang memiliki superior skill, superior resources dan superior control. Pencapaian nilai nilai keunggulan akan menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan (suitable competitive advantage) yang akan mewujudkan profit, market, customer and survival (Longenecker, Moore dan Petty , 2003) untuk pencapaian kinerja perusahaan yang berkelanjutan (sustainability business performance). Dimensi pengukuran keunggulan bersaing berbeda antara satu dengan lainnya, Boston University mengusulkan 6 (enam) variabel keunggulan bersaing (competitive advantage), yaitu: jatuh tempo (due dates), layanan (service), kualitas (quality), fleksibilitas (flexibility), biaya (cost) dan inovasi. Instrumen ini telah digunakan pada berbagai organisasi di dunia lebih dari sepuluh tahun melalui beberapa kali percobaan dan modifikasi, sehingga menjadi lebih valid dan dipercaya (Wu et, al. 2011, 129). Definisi operasional keenam variabel tersebut adalah sebagai berikut:
a. Quality (Kualitas), perusahaan harus memiliki kualitas produk yang stabil dengan tingkatan kegagalan yang rendah agar pengecer dan wholesaler’s membeli produk mereka. Kualitas produk yang baik tidak terlepas dari kualitas operasional industri. b. Cost, biaya produksi tergambar pada harga produk, apakah harga yang ditawarkan bisa bersaing di pasaran. Efektifitas operasional merupakan salah satu cara untuk menekan biaya produksi. c. Due dates, berkaitan dengan perubahan yang terjadi di pasar dan waktu (speed). Oleh
karena
itu
kajian
yang
didasarkan
pada
ketetapan
waktu
untuk
operasionalisasi menentukan kinerja waktu. d. Flexibility, suatu industri harus memiliki flexibility yang tinggi untuk merespons perubahan yang cepat dipasar jika ingin bertahan (manufacturer's rapid respond). e. Innovativeness, sebagai salah satu cara terbaik untuk kelanjutan perusahaan Dengan demikian industri harus membuat perubahan yang cepat atau desain untuk meluncurkan produk baru di pasar (manufacturer's innovativeness). f. Service, menyertakan pelayanan purna jual bagi konsumen dengan informasi yang memadai sebagai dasar pertimbangan untuk membeli (product information). Berdasarkan hal hal yang telah dikemukakan di atas dapt dikatakan bahwa keunggulan bersaing merupakan kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan atau organisasi dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen dengan memberikan
nilai/manfaat
yang lebih besar daripada yang diberikan oleh pesaingnya. Konsep yang digunakan i adalah Michael Porter (1998 & 2011), Longenecker, Moore dan Petty (2003) Hitt, Ireland & Hoskinsson (200), Hill & Jones (2009). Konstruk yang dibangun disesuaikan dengan indikator-indikator yang terdapat pada keunggulan
bersaing untuk usaha mikro yang sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya. Dimensi yang digunakan antara lain keunggulan produk, keunggulan pelayanan, keunggulan citra dan keunggulan biaya. Dimensi keunggulan bersaing usaha mikro dapat diwujudkan pada keunggulan produk, keunggulan pelayanan yang diberikan kepada pelanggan, keunggulan citra atau image yang ada dan pada keunggulan biaya. Untuk usaha mikro menciptakan keunggulan bersaing harus dapat menciptakan nilai produk yang berbeda dengan yang ditawarkan oleh pesaingnya. Perbedaan tersebut bisa dalam bentuk produk dengan kemasan yang lebih menarik disertai dengan adanya informasi tentang produk, sistem delivery produk maupun pada proses pelayanan yang lebih baik kepada konsumen. Sumber daya yang dimiliki dan kapabilitas yang dimiliki oleh suatu perusahaan menggambarkan keunggulan bersaing dan merupakan penentu terbesar keunggulan bersaing untuk meraih keberhasilan di pasar. Seperti yang dikemukakan Thompson et.al (2011, 144) yang mengemukakan bahwa :‖a company resources and capability represent its competitive assets and are big determinants of its competitiveness and ability to succeed in the marketplace”. Akses terhadap sumber daya, sumber daya yang dimiliki dapat menjadi kapabilitas usaha mikro yang menjadikan salah satu sumber keunggulan bersaing. Sumber daya adalah asset yang kempetitif yang dimiliki dan dikontrol oleh perushaan sedangkan kapabilitas adalah kapabilitas sutau perusahaan untuk melakukan akegiatan yang menguntungkan. Lebih lanjut Thompson et.al (2011, 145) menyatakan bahwa :‖ a resource is a competitive asset that is owned or controlled by a company; a capacity is the capacity of the firm to perform some activity profiency”. Tantangan yang dihadapi
adalah pada usaha mikro akses terhadap sumber daya relatif sulit. Sebagai contoh; sebagian usaha mikro mengalami kesulitan untuk akses terhadap perbankan atau non perbankan, disebabkan ketidahtahuan dan kesulitan memenuhi prosedur . demikian juga kepemilikan sumber daya, banyak usaha mikro yang tidak memiliki sumber daya yang seharusnya dimiliki sehingga usaha mikro kurang memiliki kapabilitas untuk meraih keunggulan bersaing.
Sumber Daya
Organisasi merupakan kumpulan sumber daya dan kemampuan atau kapabilitas. Berdasarkan teori sumber daya atau Resource-Based View (RBV) mengemukakan bahwa sumber daya dapat memberikan keunggulan bersaing apabila memiliki karakteristik bernilai (valuable), langka (rare) tidak dapat ditiru imperfectly imitable dan tidak ada barang pengganti (not substitutable) (Barney, 1991). Usaha manajemen untuk menghasilkan meningkatkan kinerja dapat dilakukan dengan membangun keunggulan bersaing yang berkelanjutan melalui kemampuan memanfaatkan sumber daya seperti sumber daya organisasi, peralatan, sumber daya manusia, sumber daya tidak berwujud dan reputasi organisasi. Teori ini juga fokus pada bagaimana suatu perusahaan atau organisasi memperlakukan dan mendapatkan keunggulan bersaing dengan mendayagunakan sumber daya (dengan harga yang rendah dan produktivitas yang tinggi), menambah nilai dan menciptakan hambatan agar sulit untuk ditiru pesaing.
Beberapa kajian yang mendukung pentingnya RBV, menyatakan bahwa: jika sumber daya dan strategi bisnis diformulasi dan diimplementasi dengan
baik dapat
meningkatkan keunggulan bersaing perusahaan secara signifikan. Selanjutnya Hitt, Ireland & Hoskisson (2008) mengemukakan bahwa sumber daya, kemampuan dan kompetensi inti adalah karakteristik keunggulan bersaing. Sumber daya adalah sumber kapabilitas perusahaan Kapabilitas dalam perputarannya adalah sumber dari kompetensi inti. Identifikasi sumber daya atau aset dalam suatu perusahaan adalah tugas yang sulit (Graig & Grant, 1993). Keunggulan bersaing sangat dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan menggunakan sumber daya seperti sumber daya teknologi, modal dan tenaga kerja. Teori ini juga mengatakan bahwa sumber daya dapat memberikan keunggulan bersaing yang berkelanjutan jika hanya sulit ditransfer, seperti dikutip dari Greeve, 2009 (Reed & DeFillippi, 1990, Barney, 1991) atau digunakan sebagai investasi utama yang digunakan untuk meningkatkan keunggulan bersaing (Dieickx & Cool, Kogut and Zander). Sumber daya adalah input bagi proses produksi perusahaan yang dapat berupa, barang modal, kemampuan, keuangan, paten dan manajer yang berbakat (Hitt, et al. 2005). Definisi lain menyatakan bahwa : ―the activities and processes at the organization
utilize
certain
assets.
These
assets
are
called
(http://managementstudyguide.com/resources-competencies-distinctive capabilities.htm).
resources.‖
Berdasarkan definisi di atas sumber daya dapat dikelompokkan dalam aset berwujud (tangible assets) barang modal dan keuangan dan aset tidak berwujud (intangible assets), kemampuan, paten dan manajer yang berbakat. Aset berwujud merupakan sarana fisik dan keuangan yang digunakan suatu perusahaan untuk menyediakan nilai bagi pelanggan. Aset yang terlihat adalah aset yang paling mudah untuk diidentifikasikan dan dapat dilihat pada neraca (balance sheet) perusahaan, di antaranya fasilitas produksi, bahan baku, real estate dan komputer. Sedangkan aset yang tidak berwujud adalah aset yang tidak dapat dilihat tetapi memiliki nilai. Cokins (2004, 10) menyatakan bahwa: ―tangible assets are buildings, machines and inventories, sedangkan intangible assets is something with potential that’s grows with time.‖ Newbert (2008) dalam kajiannya menemukan adanya hubungan antara kombinasi sumber daya dengan kapabilitas distingtif dengan keunggulan bersaing dan kinerja bisnis. Demikian juga kombinasi sumber daya dan kapabilitas memiliki hubungan yang positif dengan keunggulan bersaing. Sumber daya dan kapabilitas memiliki hubungan yang positif dengan kinerja. Hill & Jones (2009, 124), menggambarkan bahwa kombinasi sumber daya dan kapabilitas membentuk kapabilitas distingtif kapabilitas dan menciptakan keunggulan bersaing dengan superior efficiency, quality, innovation dan customer response. Sumber daya memiliki hubungan orientasi kewirausahaan atau sebaliknya, karena dalam memulai suatu usaha, masalah sumber daya (yang merupakan eksternal faktor) dan motivasi, keinginan dan minat untuk berusaha (merupakan internal faktor) dimana keduanya merupakan kombinasi untuk menghasilkan kapabilitas. Sumber daya
juga memiliki hubungan orientasi kewirausahaan seperti yang dikemukakan oleh Irava and Mores (2010, 235) yang menyebutkan bahwa: ―resources strongly influence the firm’s entrepreneurial Orientation.‖ Demikian juga Hill & Jones (2009) dalam the roots of competitive advantage menunjukkan hubungan antara orientasi kewirausahaan dengan sumber daya yang membentuk kapabilitas distingtif. Man et. al (2008, 5) menyatakan bahwa: ―from available resources, he is she can also develop better organization capabilities such as the firm’s innovative capability, cost saving ability, quality and flexibility.‖ Sumber daya yang tersedia dapat dikembangkan menjadi kapabilitas organisasi baik dalam bentuk kapabilitas, inovasi, penghematan biaya peningkatan kualitas dan fleksibilitas. Untuk mencapai keberhasilan bagi usaha mikro kecil makanan khas Aceh juga membutuhkan beragam sumber daya termasuk keuangan, teknologi, sumber daya manusia dan pengetahuan. Seperti yang dikemukakan oleh Park & Kim (2010, 288), in order to be successful, small medium enterprise need occupy various resources including financial, technological, human and knowledge resources. Berdasarkan berbagai pernyataan di atas, sumber daya dapat menjadi kapabilitas distingtif, dengan menggunakan berbagai sumber daya yang dimiliki baik yang berwujud maupun tidak berwujud akan membentuk suatu kemampuan baik dari segi kapabilitas organisasi, sumber daya manusia, teknologi, keuangan dan sebagainya. Hitt, Ireland & Hoskinson (2008) menyatakan sumber daya perusahaan meliputi: (1) sumber daya manusia (human resources) seperti pengalaman (experience),
kemampuan (capabilities), pengetahuan (knowledge), keahlian (skill) dan pertimbangan (judgment
dari
seluruh
pegawai
perusahaan;
(2)
sumber
daya
perusahaan
(organizational resources) seperti proses dan sistem perusahaan, termasuk strategi perusahaan, struktur, budaya, manajemen pembelian material, produksi/operasi, keuangan, riset dan pengembangan, pemasaran, sistem informasi dan sistem pengendalian; dan (3) sumber daya fisik seperti (pabrik dan peralatan, lokasi geografis, akses terhadap material, jaringan distribusi dan teknologi). Jika perusahaan dapat mengoptimalkan ketiga sumber daya di atas dapat memberikan keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustainability competitive advantage). Callis (2010) mengemukakan: ―People are the main asset of any business. Its economic success or failure is largely determined by the people that make it up: how well they using managed, how easily their ideas technologies‖. Keberhasilan suatu organisasi tergantung pada orang atau sumber daya manusia yang ada di dalam organisasi tersebut. Setiap
orang
yang
ada
dalam
organisasi harus
dapat
mengembangkan diri, membutuhkan keterampilan yang baru (new skills) dalam lingkungan organisasi yang tidak stabil (rarely stable). Secara umum model yang dikemukakan oleh Porter (2008) merupakan perwujudan
dari
teori
RBV
(Resources
Based
Value).
Teori
sumber
daya
menggambarkan beberapa tipe sumber daya yang dapat dipertimbangkan sebagai sesuatu yang strategik, dan membagi sumber daya dalam beberapa bagian penting sesuai dengan fungsi rantai nilai (Porter, 2008) dan sesuai Grant's (1991) yang dikelompokkan dalam sumber daya manusia, sumber daya berwujud dan sumber daya tidak berwujud.
Suatu perusahaan harus memiliki sumber daya dan kapabilitas yang lebih unggul dari para pesaingnya. Tanpa keunggulan ini, para pesaing hanya dapat meniru apa yang dilakukan oleh perusahaan lain dan keuntungan yang diperoleh lambat laun akan menurun. Sumber daya perusahaan sebagai aset yang berguna untuk menciptakan keunggulan biaya atau dalam menciptakan diferensiasi, berikut ini adalah beberapa contoh sumber daya antara lain: paten dan trademark, proprietary know-how, installed customer base, reputation of the firm atau reputasi perusahaan dan brand equity. Tabel 2.4 di bawah ini terdapat beberapa contoh profil sumber daya yang memenuhi persyaratan, yaitu: value able (bernilai), hard to copy (sulit untuk ditiru), rare (langka) dan tidak memiliki barang substitusi (non- substitutable).
Tabel 3.1 Profil Sumber Daya yang Memenuhi Persyaratan Resources Physical Reputation Organizational Financial Intellectual Tenhnological
Valuable Yes Yes Yes Yes Yes Yes
Hard to Copy Sometimes Yes Yes Sometimes Yes Sometimes
Rare NotUsually Yes Yes No Usually Sometimes
NonSubstitutable Sometimes Yes Yes No Sometimes Sometimes
Sumber :http//www.quickmba.com
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sumber daya organisasi yang paling berharga, jarang, sulit ditiru, dan tidak mudah tergantikan adalah sumber daya reputasi (image, ekuitas merek, kredibilitas korporasi, dan lainnya) dan sumber daya
organisasional (seperti; etos kerja karyawan, kepemimpinan yang visioner, komitmen karyawan). Barney seperti yang dikutip Hitt, Ireland dan Hoskinson (2008), sumber daya berwujud dibagi atas 4 jenis sumber daya berwujud seperti dalam Tabel 3.2 berikut: Tabel 3.2 Sumber Daya Berwujud Sumber Daya Berwujud Sumber Daya Finansial
Sumber Daya Fisik Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Organisasi
Kapasitas peminjaman perusahaan Kemampuan untuk, menghasilkan dana internal Kecanggihan dan lokasi dari pabrik, dan peralatan perusahaan Akses bahan baku Pelatihan, pengalaman, penilaian (judgement), intelegensi, pandangan, kemampuan adaptasi, komitmen dan loyalitas manajer dan pekerja perusahaan Struktur formal dan sistem perencanaan pengenalian suatu kooordinasi formal perusahaan
Aset tidak berwujud adalah aset suatu perusahaan yang tidak disentuh atau dilihat tetapi yang seringkali penting dalam menciptakan keunggulan kompetitif: merek, reputasi perusahaan, moral organisasi, pemahaman teknik, paten dan merek dagang, serta akumulasi pengalaman dalam suatu organisasi. Karena tidak dapat dilihat sumber daya tidak berwujud lebih sulit untuk dimengerti dan ditiru oleh pesaing, dan sebagai sumber keunggulan bersaing yang berkesinambungan, manajer lebih menyukai
menggunakan sumber daya yang tidak berwujud sebagai dasar dari kemampuan dan kompetensi inti perusahaan. Dari suatu pengamatan yang dilakukan, para eksekutif diminta untuk mengidentifikasikan kemampuan yang mereka yakini sebagai sumber keunggulan
bersaing
perusahaan
yang
berkesinambungan.
Manajer
tersebut
mengidenfikasikan lebih dari 30 sumber keunggulan bersaing, dan yang paling banyak disebut adalah sumber daya yang tidak berwujud, yaitu reputasi perusahaan dalam hal mutu. Penemuan ini dikuatkan dengan survei 847 CEO perusahaan di Inggris. Dirancang untuk memberikan persepsi para CEO tersebut terhadap pentingnya sumber daya tak berwujud bagi perusahaan, hasil pengamatan ini menguatkan pentingnya reputasi perusahaan. Reputasi perusahaan menduduki peringkat teratas oleh para CEO, dalam hal pentingnya diantara 13 sumber daya tak berwujud. Menurut Barney seperti yang dikutip Hitt, Ireland dan Hoskinson (2008), sumber daya berwujud
dan
sumber daya tidak berwujud, yang antar lain, yaitu ; Sumber Daya Teknologi. Sumber Daya untuk Inovasi, Reputasi. Sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud merupakan kapabilitas perusahaan. Kapabilitas adalah sumber kompetensi inti perusahaan, yang merupakan pengembangan keunggulan bersaing yang berkesinambungan. Secara relatif, sumber daya tak berwujud, dibanding dengan sumber daya berwujud dapat menghasilkan keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Tabel 2.7 di bawah ini menunjukkan perbedaan sumber daya organisasi untuk beberapa perusahaan
Tabel 3.3 Contoh Sumber Daya yang Berbeda Kapabilitas Organisasi
Aset Berwujud
Aset Tidak Berwujud
Sistem reservasi Hampton Inn
Merek Burdweiser
Jasa layanan pelenaggan Dell Program Pelatihan
Cadangan kas Ford Motor Co.
Reputasi Dell Computer
Kepemilikan tanah George Pasific
Iklan Nike dengan Lebron James
Manajemen P&G Sistem pembelian dan pengadaan logistik dalam perusahaan Wal-Mart Proses pengembangan produk Apple
Armada penerbangan Virgin Airlines
Katie Couric sebagai pembawa acara Today di NBC Tim Manajemen IBM
Resep Coca-Cola milik Coke
Budaya Wal- Mart
Koordinasi distribusi global Coke
Proses Innovasi 3 M
Sumber Daya Fisik Sumber Daya Sumber daya Keuangan
Sumber Daya Fisik
Karakteristik Relevan
Indikator Utama
Kapasitas peminjaman perusahaan dan kemampuannya untuk menghasilkan dana secara internal menentukan kapasitas investasinya
Sumber daya fisik membatasi alternatif kemungkinan produksi perusahaan yang
Rasio utang/ekuitas Arus kas operasi/arus kas bebas Peringkat kredit
Nilai pasar aset tetap Umur perlengkapan modal
Aset Berwujud
Aset Tidak Berwujud
Kapabilitas Organisasi
mempengaruhi posisi biayanya. Karakteristik utama mencakup : Ukuran, lokasi, kecanggguhan teknik dan fleksibilitas dan pabrik dan peralatan Lokasi dan penggunaan alternatif dari tanah dan bangunan Cadangan bahan baku
Skala pabrik Fleksibilitas aset tetap
Properti intelektual, protofolio , paten, hak cipta, rahasia dagang.
Jumlah dan signifikansi paten Pendapatan dari pemberian lisensi atas paten dan hak cipta
Sumber Daya tak Berwujud Sumber daya teknologi
Sunber inovasi, fsilitas riset, tenaga kerja teknis dan ilmuwan
Reputasi
Reputasi di mata pelanggan melaui kepemilikan merek dan nama dagang; hubungan yang baik dengan pelanggan; reputasi dai kualitas dan keandalan produk dan jasa perusahaan. Repuutasi perusahaan di mata pemasok (termasuk pemasok komponen , bank dan penyandang dana, serta karyawan dan
Persentase karyawan litbang dari total karyawan Jumlah dan lokasi fasilitas riset Pengakuan merek Ekuitas merek Persentase pembeliaan berulang Ukuran ukuran yang objektif dari kinerja produk yang komparatif (misalnya, pringkat dari Asosiasi Konsumen, peringkat JD Power
Aset Berwujud
Aset Tidak Berwujud calon karyawan), di mata pemerintah dan badan pemerintah, serta di mata komunitas.
Kapabilitas Organisasi
Survei Reputasi Perusahaan (misalnya Business Week)
Sumber : RM Grant, Contemporary Strategy Analysis (Oxford Blackwell, 2009)
Selanjutnya Hitt, Ireland & Hoskisson (2008) mengemukakan; sumber daya, kemampuan dan kompetensi inti adalah karakteristik keunggulan bersaing. Sumber daya adalah sumber kapabilitas perusahaan yang merupakan dasar dari sumber kompetensi inti. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan Meta Analysis oleh Tood, Ketchen, Combs & Tod (2008) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sumber daya dengan kinerja. Demikian juga hasil penelitian Newbert (2008) yang menunjukkan adanya hubungan antara kombinasi sumber daya dan kapabilitas dengan kinerja bisnis. Berdasarkan pandangan Resources Base View atau RBV menunjukkan bahwa sumber daya yang digunakan dalam perusahaan dapat menciptakan keunggulan kompetitif. Pendapat ini didasarkan pada dua asumsi (Barney, 1991, Mata et al., 1995) yang utama, yaitu; tentang keanekaragaman dan immobilitas sumber daya (resources diversity and immobility resources), yaitu: seperti dikutip dari Brown (2007). Keanekaragaman sumber daya kadang disebut juga sebagai heterogenitas sumber daya berkaitan dengan apakah perusahaan memiliki sumber daya atau
kemampuan yang juga dimiliki oleh sejumlah perusahaan lainnya yang bersaing, sehingga sumber daya tersebut tidak dapat memberikan keunggulan bersaing. Immobilitas sumber daya mengacu pada sumber daya yang sulit diperoleh oleh pesaing karena biaya pengembangan, memperoleh atau menggunakan sumber daya yang terlalu tinggi. Kedua asumsi ini digunakan untuk menentukan apakah suatu organisasi mampu menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan dengan menyediakan kerangka kerja untuk menentukan apakah suatu proses teknologi memberikan keunggulan yang nyata. Pandangan berbasis sumber daya perusahaan menunjukkan bahwa sumber daya manusia suatu organisasi dapat memberikan kontribusi yang signifikan
bagi
keunggulan bersaing yang berkelanjutan dengan menciptakan keterampilan khusus, budaya perusahaan yang sulit untuk ditiru. Dengan kata lain menciptakan keragaman sumber daya (meningkatkan pengetahuan dan keterampilan) dan immobilitas sumber daya (budaya orang yang mau bekerja) sebagai unsur untuk mempertahankan keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Untuk menciptakan keragaman dan immobilitas sumber daya, organisasi harus memiliki praktek manajemen dan sumber daya manusia yang memadai, proses organisasi, sistem manajemen pengetahuan, kesempatan memperoleh pendidikan baik formal maupun informal, serta interaksi sosial dengan membangun komunitas di tempat kerja seperti dikutip Brown (2007) dari Afiouni (2007); Barney (1991); Mata et al., (1995) dan Schafer, (2004). Pandangan RBV mengemukakan bahwa sumber daya (resources) dapat menjadi keunggulan bersaing jika sumber daya tersebut sulit untuk ditransfer (Reed and
DeFillipi, 1990, Barner, 1991) atau merupakan hal yang pokok untuk diinvestasikan (Dierickx and Cool, 1989; Kogut and Zander, 1992). Sejalan dengan pendapat di atas Suseno (2005) mengemukakan bahwa sumber daya perusahaan dan tipe sumber daya, baik tangible maupun intangible semuanya menciptakan keunggulan bersaing. Pengadopsian inovasi teknologi mengalami kemajuan lebih lambat (Gort and Klepper, 1982) pada perusahaan kecil daripada perusahaan yang memiliki kapabilitas teknologi yang tinggi (Dewar and Dutton, 1986). Karyawan dalam organisasi, perlu pengembangan tidak hanya dalam hal pelatihan dan pengembangan tetapi juga dilengkapi dengan coaching skill dari manajer. Fontana, (2011, p. 79), organisasi perlu mendorong para individu dalam organisasi untuk menjadi pencetus ide, persistence, percaya diri, berani mengambil risiko, dan mampu memberi inspirasi yang visioner untuk berinovasi. Hasil kajian Kelliher Felicity & Reinl Leana (2009. p 521) yang menyatakan bahwa: sumber daya tidak hanya dihadapi oleh industri besar tetapi industri mikro mengalami masalah keterbatasan sumber daya, kekuatan lingkungan yang minimal (environmental power), dan budaya kepemilikan (owner-center ship culture). Hirrich, Peters and Sheperd (2008) menyatakan bahwa perusahaan yang dikelola secara tradisional dan yang dikelola dengan wirausaha berbeda dalam hal kontrol sumber daya. Usaha yang memiliki orientasi kewirausahaan, tidak terlalu mengkhawatirkan kepemilikan sumber daya namun lebih mengkhawatirkan akses terhadap sumber daya dari pihak lain seperti, modal finansial, intelektual, keahlian, kompetensi dan lain sebagainya.
Untuk usaha mikro, juga mengalami kesulitan akses dan pengelolaan sumber daya terutama akses sumber daya keuangan dan bahan baku. Di lain pihak pelaku usaha industri mikro makanan khas juga memiliki sumber daya tertentu yang tidak dimiliki oleh usaha sejenis dari daerah lain, terutama kemampuan dan ketrampilan sumber daya manusia.
Untuk proses produksi
makanan khas Aceh memerlukan
kemampuan dan keterampilan khusus yang dipelajari secara turun temurun dan dapat dikatakan sebagai suatu tacit knowledge. Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Hill & Jones (2009) tentang the roots of competitive adavantage yang mengemukakan bahwa sumber daya
dan kemampuan merupakan dasar untuk
menciptakan kapabilitas distingtif. Konsep sumber daya yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep Barney (1991), Hitt, Ireland dan Hoskinson (2008). Konstruk yang dibangun dalam penelitian ini disesuaikan dengan kondisi usaha industri mikro makanan khas Aceh. Dimensi sumber daya berwujud maupun tidak berwujud dalam penelitian ini menggunakan 5 dimensi, yaitu dimensi sumber daya keuangan, sumber daya manusia, sumber daya organisasi, sumber daya fisik dan sumber daya intelektual.
Kapabilitas Distingtif (Distinctive Capabilities)
Literatur strategi manajemen menyebutkan kapabilitas distingtif atau distinctive capabilities atau dapat juga disebut sebagai kompetensi adalah merupakan suatu bagian yang penting bagi strategi perusahaan dan dapat dijadikan sebagai dasar untuk keunggulan bersaing. Kapabilitas distingtif merupakan kesatuan keterampilan dan teknologi yang terpadu dimana knowledge driven dan perilaku rutin akan membentuk keunggulan bersaing (Prahalad and Hamel, 1990). Kurakko dan Welsh (2002) mengemukakan bahwa kapabilitas distingtif dikembangkan melalui proses keterbukaan suatu konsep yang baru bagi perusahaan, seperti mengambil kesempatan, proses kreatif dan inovasi. Dierckx and Cool (1989, 213) menyebutkan adanya perbedaan antara sumber daya dan kapabilitas distingtif, yang menyebutkan bahwa: ―capabilities also differ from resources in that they can not given monetary value, as can tangible plant and equipmant and so deeply embedded in the organizational ruotines and practices that they cannnot be easily imitiated.‖ Perbedaan utama antara sumber daya dengan kapabilitas distingtif adalah bahwa kapabilitas tidak memiliki nilai uang (not monetary given value), dibanding dengan sumber daya. Kapabilitas distingtif, telah dikembangkan oleh Snow dan Hrebiniak dilanjutkan dengan Hitt dan Ireland. Menggunakan konsep yang sama antara lain: kompetensi organisasi, kemampuan khusus perusahaan dan aset yang tidak terlihat (Pavitt, 1991; Prahalad & Hamel, 1990; Hayes, Wheelright & Clark, 1988; Itami & Roehl, 1987; Hofer & Schendel, 1978).
Peluang untuk mempertahankan keunggulan bersaing ditentukan oleh dua hal, yaitu distinctive capabilities dan reproducible capabilities dan kombinasi keduanya sehingga dapat menciptakan suatu sinergi. Kapabilitas distingtif dapat berupa, paten, lisensi yang eksklusif, merek yang kuat dan kepemimpinan yang efektif, kerjasama atau tacit knowledge. Sedangkan reproducible capabilities sesuatu yang dapat dibeli atau diciptakan oleh pesaing sehingga dapat menjadi sumber keunggulan bersaing. Awang (2010, 34) menyatakan bahwa: ―orientasi kewirausahaan dan kapabilitas distingtif (distinctive capabilities) merupakan bagian dari konsep orientasi strategi. Orientasi strategi perusahaan menjelaskan tentang keunggulan bersaing yang akan meningkatkan kinerja dikemukakan oleh Stevenson, Robert dan Grousbeck (1989), selanjutnya Bettis
& Hitt (1995) menemukan bahwa hubungan antara orientasi
kewirausahaan dan kapabilitas distingtif terhadap kinerja, yaitu jika pemilik perusahaan memiliki orientasi kewirausahaan yang lebih tinggi diprediksikan akan memiliki kinerja yang lebih baik (Smart Conan, 1994). Kapabilitas distingtif sebagai kekuatan unik yang memungkinkan perusahaan mencapai superior efisiensi, kualitas dan inovasi untuk menciptakan kreasi nilai dan keunggulan bersaing (Hill & Jones,2009). Kay (1993, 364) mengemukakan bahwa: ―Success in business derives from adding values of your own, not diminishing that your competitors and it is based on distinctive capability , not destructive capacity.‖ Keberhasilan suatu usaha tergantung pada bagaimana usaha tersebut beruasaha memberikan nilai tambah bagi produknya dan didasarkan pada distingtif kapabilitas sebagi kekuatan khas yang dimiliki suatu usaha yang dapat menjadi sumber keunggulan bersaing. Sementara menurut Pearce and Robinson (2008) menyatakan
bahwa fondasi utama kapabilitas khusus (distinctive capabilities) adalah keistimewaan kompetensi sumber daya yang terdiri dari: aset yang terlihat (tangible asset), aset yang tidak terlihat (intangible asset) dan keistimewaan kompetensi. Hitt, Ireland & Hoskinson (2008) mengemukakan beberapa contoh kapabilitas perusahaan antara lain, distribusi (penggunaan tehnik manajemen logistik yang efektif), Sumber Daya Manusia (motivasi ,pemberdayaan dan penggajian karyawan) . Sistem informasi Manajemen ( pengawasan persediaan yang efektif dan efiasien), Pemasaran (promosi dan pelayanan konsumen yang efektif), Manajemen (struktur organisasi yang efektif, produk yang inovatif), serta penelitian dan pengembangan. Kapabilitas distingtif hanya muncul apabila organisasi melakukan investasi pada aset yang berdaya tahan, spesialisasi, dan sulit ditukar-tukar hal ini disebut dengan (durable, specialized and untradeable). Kapabilitas distingtif juga merujuk pada semua yang ada dalam suatu organisasi dan membandingkannya dengan para pesaing, (Bakar, 2009, p. 3), sedangkan Ulrich (1997) yang menggunakan istilah kapabilitas organisasi (organizational capability) untuk menggambarkan kapabilitas distingtif yaitu
apa yang dilakukan suatu organisasi dan
bagaimana melakukannya. Kapabilitas berasosiasi dengan grup atau kelompok yang kumpulan kompetensi individu yang menjadikan kompetensi organisasi. Sehingga menjadikan organisasi memiliki keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustainability competitive advantage). Kapabilitas juga dapat disebutkan sebagai kompetensi karyawan dengan strategi bisnis tertentu memainkan peranan utama untuk mencapai keunggulan bersaing yang berkelanjutan (Barney, 1991).
Mitzbert & Quinn (1991) mengemukakan bahwa secara teori hubungan kapabilitas distingtif sebagai sumber keunggulan bersaing dapat dilihat ke belakang pada awalnya oleh Selznick (1957), Snow & Hrebiniak (1980), Graig and Grant (1993) kemudian Hitt dan Ireland (2005) yang mendefinisikan kapabilitas distingtif atau kompetensi adalah sumber daya yang berwujud dan tidak berwujud
terdiri dari
keuangan, fisik, manusia, teknologi, reputasi dan hubungannya dengan perusahaan itu sendiri. Aaker (1989) mengemukakan bahwa aset, kapabilitas dan keterampilan merupakan dasar untuk bersaing, yang dapat dijadikan dasar untuk keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Selanjutnya Aaker memberikan penekanan pentingnya manajemen strategi untuk mengembangkan dan memelihara aset dan keterampilan menekankan pentingnya manajemen strategi untuk mengembangkan dan memelihara aset dan keterampilan (skill) sebagaimana memilih strategi yang ada sehingga berperan dalam keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Prahalad & Hamel (1990) menyatakan bahwa: kapabilitas distingtif merupakan satu kesatuan keterampilan dan teknologi yang unik yang memberikan kontribusi terhadap keunggulan bersaing. Kuratko dan Welsh (2002) mengulangi pernyataan tersebut yang mengemukakan bahwa kapabilitas distingtif dapat dikembangkan dengan kompetensi khusus melalui proses kewirausahaan; seperti mengenali peluang yang ada, proses kreatif dan inovasi. Hitt dan Ireland (2005) membangun teori ini dengan menggunakan konsep core atau organization, firm specific competencies, resource deployments dan intangible assets (Pavitt, 1991; Prahalad & Hamel, 1990; Hayes, Wheelright & Clark, 1988; Itami & Roehl, 1987; Hofer & Schendel, 1978).
Rumelt (1994) mengemukakan 4 aspek karakteristik perusahaan dengan kompetensi inti, yaitu: pertama, elemen ini mendukung produk tertentu atau bisnis tertentu; kedua, kompetensi adalah dominasi untuk sementara waktu karena lebih stabil dan berkembang lebih lambat daripada produk. Ketiga kompetensi dikembangkan melalui praktek yang berkelanjutan. Keempat, kapabilitas distingtif merupakan pernyataan bahwa persaingan yang melebihi kompetensi. Berdasarkan argumen di atas, jelaslah bahwa kapabilitas perusahaan sangat penting sebagai bentuk benchmark. Dalam mengkaji isu ini, perlu dilakukan pengidentifikasian bagaimana keterkaitan kapabilitas membentuk sebuah strategi pilihan perusahaan atau bagaimana faktor-faktor ini memperkuat kejelasan strategi perusahaan. Untuk menjelaskan hubungan ini, hubungan ini, dapat digunakan teori pandangan berbasis sumber daya (Peteraff, 1993) bahwa konsep keberagaman perusahaan melahirkan individu alamiah dari sumber daya dan kompetensi mereka yang merupakan kunci manajemen strategik. Secara konseptual, perusahaan memiliki kapabilitas distingtif akan mampu berproduksi dan bersaing di pasar (Barney, 1991). Hasil penelitian Bakar, et.al., 2009, menunjukkan adanya hubungan antara orientasi kewirausahaan dan kapabilitas distingtif dengan kinerja bisnis dalam bidang usaha perusahaan pertanian di Malaysia. Kapabilitas distingtif merupakan sesuatu yang penting untuk memandu perusahaan kecil mencapai kinerja yang lebih tinggi, sama seperti kajian lain yang telah dilakukan menemukan bahwa kapabilitas distingtif akan membuat kinerja menjadi lebih baik (Lumpkin & Dess, 1996, 2001; Wilklund, 1998). Hal yang sama yang dikemukakan oleh Hitt, Ireland & Hosskinson (2008): ―Distinctive capabilities were crucial to guide small firms for higher performance.‖
Kapabilitas distingtif organisasi dapat memberikan memberikan kinerja yang tinggi, tergantung pada tipe produk atau pasar yang akan dikembangkan. Fluery & Fluery (2003, 32) mengulangi pernyataan sebelumnya bahwa, kapabilitas distingtif relevan untuk mencapai tujuan perusahaan dan dapat dipertimbangkan sebagai kapabilitas distingtif atau kompetensi inti perusahaan. Kajian yang berhubungan dengan ini King et al. (2001), menyatakan bahwa kapabilitas perusahaan atau kompetensi memiliki relevansi dengan kinerja yang tinggi (high performance). Untuk lebih menekankan pernyataan ini, Fluery dan Fluery (2003, 25) berpendapat bahwa organisasi harus berkonsentrasi pada pengembangan kapabilitas distingtif perusahaan untuk menjadi lebih kompetitif. Awang et. al (2010) dalam kajiannya menemukan hubungan antara orientasi kewirausahaan dan kapabilitas distingtif dengan kinerja. Instrumen Kapabilitas distingtif yang dikembangkan oleh Hitt & Ireland (2005), terdiri dari 55 item yang dikelompokkan dalam 7 fungsional area, yaitu: administrasi
umum;
(2)
produksi/operasi;
(3)
rekayasa;
(4)
penelitian
(1) dan
pengembangan; (5) keuangan; (6) sumber daya manusia; (7) hubungan masyarakat dan pemerintahan. Seperti pendapat di atas Gsosh et. al., (2001) mengembangkan instrumen kapabilitas distingtif sebagai kekuatan unik yang memungkinkan perusahaan untuk menciptakan kreasi nilai, mencapai superior efisiensi, kualitas dan inovasi dengan beberapa indikator, sebagai berikut: a. Kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen (An ability to satisfy customer's need);
b. Kapabilitas regionalisasi (Regionalization capability); c. Pengembangan kapabilitas dan ide-ide baru secara tetap (Constantly Developing New Ideas and Capabilities i.e., Innovativeness); d. Mampu mengidentifikasi pasar dengan baik misal mencari peluang (Can always identify market well, i.e., opportunity seeker); e. Mampu mengidentifikasi relung pasar (Ability to identify niches, i.e., focuser); f. Memiliki hubungan baik antara manajemen puncak dan karyawan (Good relationship between top management and employees, i.e., brain-rather-thanbrawn-centered capability). Konsep kapabilitas distingtif menurut pendapat bebarapa ahli dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.4. Konsep Kapabilitas Distingtif No
Nama 1Whellen
&
Definisi
Hunger Kapabilitas distingtif merupakan aset yaitu competency, process, skill atau knowledge yang dapat (2000) dikendalikan Distinctive capabilities are (1) (An 2Ghosh (2001) ability to satisfy customer's need; (2) Regionalization capability); (3) Constantly Developing New Ideas and Capabilities i.e., innovativeness); (4) Can always identify market well, i.e., opportunity seeker (5) Ability to identify niches, i.e., focuser) (6) Good relationship between top management and employees, i.e., brain-rather-than-brawn-centered capability) 3Hitt, Ireland & Administrasi umum, produksi/operasi, rekayasa, Hoskinson (2008) penelitian dan pengembangan, keuangan, sumber daya manusia dan hubungan masyarakat dan pemerintah
No
Nama 4 Lumpkin & Dess`(2001)
5Craven (2003)
6Best (2004)
Berdasarkan Tabel 3.4.
Definisi Kapabilitas distingtif suatu perusahaan dapat dibentuk melalui pengembangan human capital dan dukungan teknologi Kapabilitas distingtif perusahaan dapat dijadikan keunggulan bersaing adalah sumber daya yang superior, keahlian sumber daya manusia dan pengendalian yang superior Kapabilitas distingtif suatu perusahaan dapat dibentuk melalui tiga hal, yaitu, kepemimpinan biaya, keunikan dan keunggulan pemasaran
di atas dapat dijelaskan bahwa untuk terdapat
keberagaman batasan serta pengertian kapabilitas distingtif. Untuk usaha industri mikro makanan khas Aceh kapabilitas distingtif dapat menjadi pembeda dengan usaha yang sejenis. Masing-masing pelaku usaha industri mikro makanan khas Aceh memiliki kapabilitas yang berbeda beda baik dari segi proses pengembangan, informasi tentang manajemen keuangan, struktur modal yang dimiliki, administrasi usaha, manajemen wirausaha maupun teknologi yang digunakan. Sebagai contoh kemampuan pelaku usaha industri mikro makanan memperoleh pinjaman dari perbankan atau pihak supplier menunjukkan kepercayaan pihak lain terhadap perusahaan, demikian juga kemampuan pelaku usaha membuat laporan keuangan, kemampuan pelaku usaha menggunakan teknologi informasi, semua ini merupakan kapabilitas distingtif yang dapat meningkatkan efisiensi untuk proses produksi, sehingga biaya produksi menjadi lebih rendah dari usaha lain yang sejenis.
Hal tersebut di atas dapat dijadikan sebagai salah satu sumber keunggulan bersaing yaitu sumber keunggulan biaya. Artinya
konsumen mendapatkan manfaat
yang sama tetapi dengan pengorbanan (biaya) yang lebih rendah dibandingkan dengan harga dari usaha lain (pesaing). Dimensi kapabilitas distingtif yang digunakan adalah; proses pengembangan, informasi keuangan, struktur modal yang dimiliki, administrasi usaha, manajemen wirausaha dan teknologi yang digunakan. Usaha mikro yang memiliki keunggulan bersaing yang tinggi dipastikan akan memiliki kinerja yang tinggi, hal ini dikarenakan bahwa dengan memiliki keunggulan bersaing berarti produk yang dihasilkan mampu menguasai pasar sasaran yang pada akhirnya keunggulan bersaing akan menciptakan kinerja perusahaan yang tinggi. Kajian kajian yang telah dilakukan menemukan adanya hubungan antara keunggulan bersaing dengan kinerja usaha, sebagai contoh kajian yang dilakukan oleh Wang & Lo, 2003; Wiklund & Shepherd, 2003; Bowen & Ostroff, 2004; Morgan et al., 2004 dan Alimin et.al (2010)
Kinerja Bisnis
Kinerja secara sederhana dapat didefinisikan " .............the end of activity" atau hasil akhir suatu kegiatan Wheelen and Hunger, (2002), sedangkan mengutip (Clark, 1999) performance history suggests that marketing performance measures have moved in three consistent directions over the years: first,from (1) financial to non-financial
output measures; (2) from output to input measures;, third, (3) from undimensional to multidimensional measures.‖ Kinerja dapat juga diartikan sebagai tingkat pencapaian atau prestasi dari perusahaan dalam periode waktu tertentu. Kinerja akan sangat mennetukan perkembangan suatu usaha. Pada dasarnya tujuan utama suatu usaha adalah untuk tetap survive (bertahan) dan tujuan ekspansi yang semua itu dapat dicapai juka usaha tersebut memperoleh laba (profit). Perolehan laba dari suatu usaha dapat tercapai apabila usaha tersebut memiliki kinerja (performa) yang baik. Secara sederhana kinerja perusahaan dapat dilihat dari tingkat penjualan, tingkat keuntungan yang diperoleh, tingkat pengembalian modal tingkat turn over dan pangsa pasar yang dapat diraih (Jauch and Glulueck, 1988). Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Jika dilihat dari asal katanya, kata kinerja adalah terjemahan dari kata performance, yang menurut The ScribnerBantam English Dictionary, terbitan Amerika Serikat dan Canada , berasal dari akar kata ―to perform‖ dengan beberapa ―entries‖ yaitu: melaksanakan (to do or carry out, execute);
(1) melakukan, menjalankan, (2) memenuhi atau melaksanakan
kewajiban suatu niat atau nazar (to discharge of fulfill; as vow); (3) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab (to execute or complete an under staking); dan (4) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin (to do what is
expected of a person machine). Beberapa pengertian berikut ini akan memperkaya wawasan kita tentang kinerja, (Veithzal , Fawzi, 2009). Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta (Stolovitch and Keeps:1992). Kinerja merupakan salah satu kumpulan total dari kerja yang ada pada diri pekerja (Griffin: 1987). Kinerja dipengaruhi oleh tujuan (Mondy and Premeaux: 1993). Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya (Hersey and Blanchard: 1993). Dalam bidang sumber daya manusia kinerja k, inerja merujuk kepada pencapaian tujuan karyawan atas tugas yang diberikan (Casio: 1992). Kinerja merujuk kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik (Donnelly, Gibson and Ivancevich: 1994). Pencapaian tujuan yang telah ditetapkan merupakan salah satu tolok ukur kinerja individu. Ada tiga kriteria dalam melakukan penilaian kinerja individu, yakni: (a) tugas individu; (b) perilaku individu; dan (c) ciri individu (Robbin: 1996). Kinerja sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun perusahaan (Schermerhorn, Hunt and Osborn: 1991). Kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A),
motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu kinerja = ƒ (A x M x O). Artinya: kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan. Dengan demikian, kinerja ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan. Kesempatan kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang tinggi yang sebagian merupakan fungsi dari tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalikan karyawan itu. Meskipun seorang individu mungkin bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang menjadi penghambat. Awang et. al., (2011, p. 14), menyatakan: kapabilitas distingtif (Distinctive Capabilities) dan orientasi kewirausahaan (entrepreneurial orientation) adalah bagian dari konsep strategi perusahaan, yang menjelaskan tentang keunggulan bersaing yang berkelanjutan dalam meningkatkan kinerja keuangan (Stevenson, Robert dan Grousbeck, 1989). Selanjutnya Bettis & Hitt (1995) mengemukakan dari hasil penelitiannya bahwa kapabillitas distingtif dan orientasi kewirausahaan menciptakan keunikan dan selangkah ke depan dari perusahaan yang lain dalam menghadapi kemampuan bertahan pada arena persaingan. Keberagaman kapabilitas distingtif dan orientasi
kewirausahaan
pada
tingkat
yang
lebih
tinggi
diprediksikan
akan
meningkatkan kinerja menjadi lebih baik. Sehubungan dengan itu, kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan performance sebagai kata benda (noun) di mana salah satu entrinya adalah hasil dari sesuatu pekerjaan (thing done), pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan
sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing,
dalam upaya
pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika. Kinerja perekonomian Indonesia seperti yang tercermin dalam angka Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengalamu pertumbuhan sebesar 6,3% (2007) dimana pertumbuhan PDB Usaha Kecil dan Menengah mencapai 6,4%. Kinerja usaha mikro dapt dilihat pada ukuran keuangan (financial measurement) maupun non keuangan (non-financial measument). Pont and Shaw (2003) menyatakan bahwa: ―in measuring performance to the convergence of for trends; firstly, after decade of downsizing major corporations were reaching the point of diminishing returns which had led to a refocusing on marketing, as a driver of future profit and growth . Secondly, there has been increasing demand for information related to marketing, which traditional had been poorly reported in firm financial statements. Thirdly, measures of business performance such as the Balanced Score Card have attracted attention to the issue of which marketing measures should be included in the overall assessment of business performance. Finally, marketing managers have become frustrated with traditional performance measures that they believe undervalue what they do.
Selanjutnya hasil penelitian Ambler & Kokkinaki (1997) yang telah mereview 150 artikel menyebutkan bahwa pengukuran kinerja yang paling utama adalah sales (and growth) sebesar 22,3% dari total pengukuran, pangsa pasar (market share) 17,1% dan kontribusi profit (profit contribution) 11,0% dan preferensi merek/niat membeli (brand preference/purchase intent) 11,0%. Sedangkan pengukuran kinerja secara financial sebesar 67,3% dan 32,7% pengukuran non financial. Demikian juga yang dikemukakan oleh Cokins (2004, 47): ―organizations need more nonfinancial measures.‖ Untuk pengukuran kineja bisnis tidak hanya ukuran
finansial tetapi juga harus menggunakan pengukuran non finansial, untuk mengukur kinerja tidak hanya pada ukuran laba (profit), tetapi juga harus fokus pada pemasaran sebagai dasar utama diperolehnya keuntungan. Sehingga dalam pengukuran Balance Score Card juga memasukkan unsur ini. Mengutip (Ma, 2007:712), kajian-kajian yang telah dilakukan menunjukkan hubungan yang signifikan antara keunggulan bersaing (competitive advantage) dengan kinerja (performance) (Ma, 2000; Fahy, 2000; Gimenez & Ventura, 2002; Wang & Lo, 2003; Wiklund &Shepherd, 2003; Bowen & Ostroff, 2004; Morgan et al., 2004; Ray, Barney, & Muhanna, 2004). Kinerja dapat dilihat dari perspektif ―financial‖ dan ―non-financial‖ dengan unsur utama adalah ―sales based‖ dan ―organizational based‖ (Alimin,
et al., 2010, 160).
Masih mengutip Alimin, kajian (Wang & Lo, 2003; Neely, 2005; Falshaw, Glaister & Ekrem, 2006), menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keunggulan bersaing dengan sales-based performance organisasi, dimana sales-based performance diukur dengan pendapatan penjualan, profitabilitas, ROI, produktivitas, nilai tambah produk, pangsa pasar dan pertumbuhan produk. Kajian lainnya mengilustrasikan adanya hubungan
yang signifikan antara keunggulan bersaing
(competitive advantage) dan organizational-based performance yang diukur dengan penekanan
pada
efisiensi
internal
proses
organisasi,
kepuasan
konsumen,
pengembangan karyawan dan kepuasan kerja (Wang & Lo, 2003, 486). Pengembangan konseptual kinerja mulai dilakukan kajian kajian secara empiris untuk menguji konsep ini menyimpulkan bahwa, ukuran kinerja perusahaan telah berpindah dari 3 dimensi yaitu, dari ukuran finansial ke non-finansial, kedua; dari ukuran
output ke ukuran input, ketiga dari ukuran un-dimensional ke dimensional. Kinerja juga merupakan konstruk yang komplek bagi suatu perusahaan (Greve, 2009, 8). Kinerja perusahaan dianggap baik bagi manajemen belum tentu baik oleh pemilik perusahaan. Hal ini disebabkan dalam menilai kinerja perusahaan, seorang manajer lebih cenderung menggunakan persepsinya dibanding menggunakan kriteria yang ditetapkan berdasarkan tujuan perusahaan.
Kinerja perusahaan
juga dapat
diukur berdasarkan keuntungan perusahaan (profitability), pangsa pasar (market share) perusahaan dan nilai bagi pelanggan (customer value). Elemen keunggulan bersaing (competitive advantage) yang menyangkut terhadap kinerja perusahaan (Day and Wensley, 1998) seperti dikutip Guiltinan dan Paul (1994) . Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan Pont & Shaw (2003) terdapat beberapa indikator untuk pengukuran kinerja, seperti dalam Tabel 3.5. berikut: Tabel 3.5 Indikator Pengukuran Kinerja Number
Performance Measures
Financial/Nonfinancial
1
Sales (and Growth)
Financial
2
ROI
Financial
3
Market Share
Financial
4
ROA/Profitability
Financial
5
Service Quality
Non-Financial
6
Satisfaction (Customer and Company)
Non-Financial
7
New Product Success Rate
Non-Financial
8
Overall Performance
Non-Financial
9
Customer Retention/loyalty
Non-Financial
10
Overall Performance competitors
11
ROE
Financial
12
Satisfaction with overall performance
Non-Financial
13
Return on Sale
Financial
14
Brand Awareness
Non-Financial
15
Gross Operating Profit
Financial
16
Dollar Share of the Served Market
Financial
17
Occupancy Rate
Non-Financial
18
Customer Complaints
Non-Financial
19
Expectations Achieved by Organization
Non-Financial
20
Number of Visitors to Website
Non-Financial
21
Room Occupancy Rate
Non-Financial
22
Attracting new Customer
Non-Financial
23
Return on Capital
Financial
24
Volunteer Increased/Decreased
Number Non-Financial
25
Employee Turn Over
Non-Financial
relative
to Non-Financial
Mengacu pada pendapat (Chuang & Liao, 2006) untuk pengukuran kinerja dapat diklasifiksikan sebagai berikut:
Tabel 3.6. Pengukuran Kinerja Menurut Chuang dan Liao
Performance Measure
Financial/Non financial
Sales (and Growth)
Financial
Market Share
Financial
Return on Asstes (ROA)
Financial
Return on Equity (ROE)
Financial
Return on Investment (ROI)
Financial
Customer Complain
Non-financial
Satisfaction (Customer and Company)
Non-financial
Employee Turnover
Non-financial
Service Quality
Non-financial
Berdasarkan kajian kajian diatas dapat dikemukankan bahwa pengukuran indikator kinerja adalah kemampuan untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan atau kemampuan suatu organisasi merealisasikan tujuan yang ditetapkan baik kualitas mupun kuantitas. Pengukuran kinerja untuk industri mikro makanan khas juga dapat diukur dengan kinerja keuangan dan kinerja non keuangan; kinerja keuangan (financial) yaitu (i) volume penjualan; (ii) tingkat keuntungan; (iii) jumlah pengembalian barang yang kadaluwarsa. Sedangkan kinerja non-keuangan (nonfinancial), yaitu (i) cakupan /jangkauan pasar; (ii) jumlah keluhan pelanggan; (iii) tingkat
kepuasan pelanggan (iv) jumlah pekerja yang masuk dan keluar (employee turn over) perusahaan. Tabel3.7 di bawah ini menjelaskan beberapa konsep kinerja bisnis menurut beberapa para ahli:
Tabel 3.7 Konsep Kinerja Bisnis No
Penulis
Konsep
1
Ambler & Kokkinaki (1997)
Sales growth, market share, profit contribution and purchase intent
2
Day &WEsley (1998)
Source of Advantage, positional advantage and performance outcome
3
Clark (1999)
Performance history suggests that performance have moved in three consistent directions over the year (1) financial to non-financial output measures; (2) from output to input measures (3) from undimensional to multidimensional measures
4
Kotler, (2002)
5
Chuang & Liao, (2006)
Hayes
&
Blom Profitability, market customer value
shares
and
Financial (Sales growth, market share, ROA, ROE, ROI), Non-financial (customer complain, satisfaction for customer and company, employee turn over and service quality.
BAGIAN KEEMPAT METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan
Penelitian ini didesain dalam bentuk penelitian deskriptif dan penelitian verifikatif. Penelitian deskriptif ditujukan untuk memberi gambaran variabel-variabel yang diteliti, meliputi kinerja perusahaan melalui keunggulan bersaing yang meliputi variabel orientasi kewirausahaan, distingtif kapabilitis dan sumber daya dengan menggunakan statistik deskriptif. Dengan studi deskriptif diharapkan dapat tergambarnya identitas usaha mikro
yaitu menguraikan
dan mentransformasi-kan data ke dalam bentuk
angka-angka, persentase dan tabel-tabel yang dibutuhkan sehingga mudah untuk dipahami dan diinterpretasikan. Dengan demikian pertanyaan riset: Apakah mikro
usaha
sudah memiliki kemampuan yang menciptakan kapabilitas distingnif dan
keunggulan bersaing dari pemanfaatan
sumber daya yang dimiliki dan orientasi
wirausaha pelaku usaha mikro untuk mengantisipasi perubahan internal dan eksternal yang ada akan dijelaskan dengan pendekatan analisis statistik deskriptif. Penelitian verifikatip bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah ada pengaruh dan berapa besar pengaruh orientasi wirausaha (Entrepreneurial Orientation) dan sumber daya (Resources) terhadap kapabilitas distingtif (Distinctive Capabilities atau ) dan Keunggulan Bersaing (Competitive Advantage ) baik secara parsial maupun simultan
dan implikasinya pada kinerja bisnis untuk
usaha
mikro.
Bagaimana
pengaruh orientasi wirausaha (Entrepreneurial Orientation ), sumber daya (Resources) terhadap kapabilitas distingtif
(Distinctive Capabilities) dan Keunggulan Bersaing
(Competitive Advantage ) dan implikasinya pada kinerja bisnis. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, yakni melakukan pengukuran terhadap ciri-ciri kuantitatif dan kualitatif unit analisisnya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah
usaha mikro .Pelaksanaan penelitian ini
dilakukan berdasarkan pada suatu cakupan atau titik waktu tertentu yang bersifat cross section atau sekali bidik (one snapshot). Dengan demikian informasi yang diperoleh merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada suatu kurun waktu tertentu. Mengingat penelitian ini terdiri dari dua jenis penelitian, yakni penelitian deskriptif dan penelitian verifikatif, yang dilaksanakan melalui
pengumpulan data lapangan, maka metode
penelitian yang digunakan adalah metode survey deskriptif dan survey eksplanatori yang kedua metode tersebut termasuk dalam tipe penelitian investigasi. Dengan menggunakan tipe penelitian investigasi tersebut, maka tipe penelitian ini pada dasarnya termasuk dalam penelitian kausalitas dengan tujuan penelitiannya menguji hipotesis tentang hubungan antara variabel yang diteliti dan hipotesis yang dirumuskan (Singarimbun, 1986). Untuk kepentingan menjelaskan hubungan antara variabel penelitian dan berbagai hubungan antar variabel tersebut dianalisis dengan menggunakan statistika inferensial yaitu Structural Equation Modelling (SEM)
Operasionalisasi Variabel
Variable variable yang ada pada suatu penelitian harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu oparasional variable yang terdiri dari konsep ataupun konstruk,
sub variable atau dimensi dan indikator. Tujuan dirumuskannya suatu operasional variable agar memudahkan membuat instrument penelitian dan supaya penelitian lebih terarah dalam mengukur setiap variable yang digunakan.
Tabel 4. 1 Contoh Operasionalisasi Variabel Penelitian Konsep Variabel
Dimensi
1. Orientasi 1. Bersaing Kewirausaha dengan agresif Sudut pandang orientasi berwirausaha berupa keberanian untuk bersaing secara agresif, kesediaan untuk proaktif dalam memahami pasar, 2. Proaktif melakukan inovasi untuk memperbaiki produk, dan memiliki keberanian mengambil risiko. 3. Inovasi
4. Pengambilan Risiko
Indikator 1. Kemampuan bersaing 2. Kemampuan mencari pasar baru 3. Kemampuan merespon perubahan pasar 4. Kemampuan memodifikasi produk 1. Menyediakan sampel 2. Layanan pengantaran pesanan 3. Menjadi pelopor produk baru 1. Mendorong munculnya kreatifitas 2. Mendorong gagasan pengembangan produk 3. Gagasan kemasan
1. Risiko produk tidak laku 2. Pesanan dengan
Skala Ordinal
Item 1-5
Ordinal
1-5
Ordinal
1-5
Ordinal
1-5
Konsep Variabel
Dimensi
Indikator
Skala
Item
1. Besarnya modal 2. Likuiditas 3. Equity (kekayaan) 4. Perolehan Laba
Ordinal
1-5
1. Kepatuhan pekerja 2. Motivasi dan disiplin 3. Memiliki asosiasi usaha sejenis 4. Ketrampilan yang dimiliki pekerja
Ordinal
1-5
1. Pelatihan untuk pekerja 2. Pelatihan pekerja oleh pihak lain 3. Pengalaman pekerja 4. Ketrampilan pekerja 5. Kecerdasan pekerja
Ordinal
115
uang muka 3. Mencantumkan tanggal kadaluarsa 2. Sumber Daya: Kepemillikan aset tertentu yang digunakan dalam proses produksi dalam menambah atau menciptakan nilai, sumber daya dapat dikelompokkan dalam sumber daya berwujud maupun sumber daya tidak berwujud. Sumber daya terdiri dari sumber daya keuangan, sumber daya maorganisasi, sumber daya manusia, sumber daya fisik dan sumber daya intelektual.
1. Sumber Daya Keuangan
2. Sumber Daya Organisasi
3. Sumber daya Manusia
4. Sumber daya fisik
5. Sumber Daya Intelektual
1. Lokasi usaha 2. Gerai/Toko 3. Pabrik dan Peralatan 4. Teknologi yang digunakan
1. Hak paten 2. Merek 3. Rahasia perusahaan
Ordinal 115
Ordinal 115
Konsep Variabel
Dimensi
3. Kapabilitas 1. Proses Distingtif Pengembangan Kemampuan dan keterampilan yang dapat melahirkan kekuatan unik yang memungkinkan perusahaan mencapai superior 2. Informasi Keuangan efisiensi, superior kualitas dan inovasi untuk menciptakan nilai dan produk yang inovatif serata memiliki daya saing. 3. Struktur Modal
4. Administrasi umum
5. Manajemen Wirausaha
6. Teknologi Informasi
Indikator 1. Penentuan kapasitas produksi 2. Riset pasar 3. Rencana Pengembangan Usaha 1. Memiliki pembukuan 2. Membuat Laporan Keuangan 3. Memiliki cadangan Keuntungan 1. Perbandingan Modal sendiri dan pinjaman 2. Frekuensi pinjaman 3. Kecukupan Modal Kerja 4. Pinjaman bunga rendah
1. Administrasi transaksi 2. Kearsipan 3. Peralatan pendukung usaha 1. Pengalaman bisnis 2. Koordinasi perencanaan dan pelaksanaan 3. Kepemimpinan
1. Melayani pesanan dengan telepon 2. Melayani penjualan internet
Skala
Item
Ordinal
1- 5
Ordinal
11- 5
Ordinal
1- 5
Ordinal
11- 5
Ordinal
11- 5
Ordinal
1- 5
Konsep Variabel
Dimensi
Indikator
Skala
Item
Ordinal
1- 5
Ordinal
1- 5
Ordinal
1- 5
Ordinal
1-5
3. Menggunakan otomatisasi 4. Pembaharuan peralatan 4. Keunggulan 1. Keunggulan Bersaing: produk Kemampuan perusahaan menghasilkan produk makanan khas daerah yang memiliki perbedaan dengan 2. Keunggulan Pelayanan produk sejenis, baik cita rasa, pelayanan penjualan maupun memiliki citra produk yang lebih baik serta harga yang kompetitif dibandingkan produk para pesaing. 3. Keunggulan Citra
4. Keunggulan Biaya
5. Kinerja Bisnis 1. Kinerja Finansial Hasil akhir yang diperoleh dalam kegiatan menyatukan orientasi kewirausahaan dan sumber daya menjadikannya
1. Keunikan produk 2. Kesesuain produk dengan kebutuhan pelanggan 3. Perbedaan produk 1. Membantu pelanggan 2. Memberi informasi dan saran 3. Memberi pelayanan cepat 4. Pencegahan masalah
1. Nama baik 2. Citra atau image produk 3. Popularitas
1. Perbandingan biaya dengan usaha sejenis 2. Perbandingan harga 3. Perbandingan kualitas prod 1. Volume Penjualan 2. Tingkat Keuntungan 3. Jumlah pengembalian yang kadaluwarsa
Konsep Variabel
Dimensi
sebagai kapabilitas 2. Kinerja NonFinansial distingtif yang dapat menciptakan kemampuan untuk bersaing yang menghasilkan kinerja yang dapat berbentuk finansial atau non-finansial.
Indikator
Skala
Item
1. Cakupan pasar yang dilayani 2. Keluhan pelanggan 3. Kepuasan pelanggan. 4. Keluar masuk pekerja (employee turn over)
Sumber Data dan Cara Penentuan Data
Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini berasal dari penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Data yang dikumpulkan melalui penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dari sampel yang diambil dari populasi. Populasi dalam hal ini adalah usaha mikro yang ada di daerah penelitian yang direncanakan. Sampel adalah sebagian dari populasi usaha mikro di daerah penelitian yang direncanakan. Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini didasarkan pada kebutuhan analisis statistik dalam menguji hipotesis penelitian. Jika digunakan Structural Equation Model jumlah sampel minimum yang dibutuhkan umumnya 5 sampai dengan 10 indikator penelitian atau minimal 100 responden (Hoyle, 1995, Hair, 1998).
Pendekatan tersebut dianggap kasar, sehingga diperlukan pertimbangan
lainnya dalam menetapkan besarnya sampel yang diperlukan. Dengan menggunakan teknik analisis Structural Equation Modeling dimana parameter yang diuji pada
dasarnya adalah parameter korelasi atau kovarian yaitu apakah matrik korelasi atau kovarian sampel sesuai dengan sesuai dengan matrik korelasi atau kovarians populasinya Jika mengacu pada Rule of Thumb bahwa ukuran sampel minimum 200 atau mengacu pada ukuran sampel adalah 75 dikali jumlah indikator penelitian, maka ukuran sampel sebanyak 375 .Sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan peneliti untuk penelitian ini diambil 400 sampel dan sudah dianggap sudah melebihi ketentuan minimum yang ada.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan teknik pengumpulan data observasi, wawancara dan kuesioner . Teknik pengumpulan data dengan observasi dilakukan terutama yang berkaitan perilaku para pelaku industri mikro makanan
orientasi
wirausaha
yaitu
suatu
perilaku
atau
jiwa
kewirausahaan
(entreprenuership), keunikan sumber daya pelaku usaha mikro , kapabilitas distingtif yang dimiliki dan kemampuannya
untuk bersaing serta kinerja bisnis usaha mikro.
Observasi ini merupakan teknik pengumpulan data yang non sistematis yang tidak menggunakan instrumen pengamatan. Pengumpulan data yang utama dalam penelitian ini dilakukan dengan mengedarkan kuesioner yang telah dipersiapkan untuk para pelaku usaha mikro di daerah sampel yang terpilih, dengan mengajukan kuesioner tertutup dan terbuka. Kemudian kuesioner yang telah diisi oleh responden akan dilakukan pengujian validitas dan realibilitasnya.
Rancangan Analisis Data
Dalam menganalisis hubungan antar variabel dan kekeliruan pengukurannya digunakan SEM (Structural Equation Modelling) . Setiap variabel dijabarkan dalam sub variabel dan kemudian diukur dengan ukuran peringkat jawaban dengan skala ordinal dengan skala ukur 1 - 5. Sebelum kuesioner didistribusikan dilakukan beberapa pengujian terlebih dahulu, yaitu pengujian validitas dan pengujian realibilitas Untuk pengujian validitas dan realibilitas diambil sampel secara acak sabanyak 30 responden.
Uji Validitas Setiap indikator
hasil pengisian kuesioner diuji tingkat validitasnya terutama
karena adanya kemungkinan ketidak
sungguhan dari sejumlah responden dalam
mengisi kuesioner yang diajukan. Kesungguhan responden akan menentukan tingkat validitas. Validitas suatu hasil penelitian sangat dipengaruhi oleh alat pengukur variabel yang diteliti. Untuk menguji kesungguhan jawaban responden digunakan uji validitas dan uji reliabilitas. Uji validitas untuk mengetahui kemampuan instrumen untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi objek pengukuran yang dilakukan oleh instrumen tersebut. Singarimbun (1995) dan Sekaran (2000), menjelaskan bahwa validitas menunjukkan sejauh mana alat pengukur itu ingin mengukur apa yang ingin di ukur. Validitas butir-butir pertanyaan diukur dengan mengkorelasi nilai tiap ítem pertanyaan dengan total skor faktor melalui penggunaan correlation product moment dari Pearson (Sugiono, 2002).
Pengujian
validas
kuesioner
dilakukan
dengan
melakukan
penelitian
pendahuluan atau preliminary reseach edengan mengambil sampel kecil (n<30). Suatu butir dinyatakan valid apabila nilai r hitung lebih besar daripada nilai r tabel dengan tingkat signifikansi 5% dan jumlah sampel sebanyak n (df = n-1) sebagai titik kritis dari korelasi untuk kesahihan suatu butir. Dengan asumsi tingkat signifikansi 5% dan jumlah sampel untuk uji validitas sebanyak 30, diperoleh nilai r tabel dengan df 29 (30-1) adalah 0,367, sehingga item-item tersebut dinyatakan valid. Rumus :
r
n xi y xi y
n x x n y y 2 i
2
2
2
i
Untuk rumus tersebut : xi : skor jawaban untuk pertanyaan ke-i y : skor total setiap responden n : banyaknya responden penelitian
Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui apakah alat pengumpul data menunjukkan tingkat ketepatan, keakuratan, kestabilan atau konsistensi dalam mengungkapkan gejala tertentu dari sekelompok individu, walaupun dilakukan pada waktu yang berbeda. Uji reliabilitas dilakukan terhadap item pernyataan yang valid untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan
pengukuran kembali terhadap fenomena yang sama. Pengujian reliabilitas ditujukan untuk menunjukkan suatu pengukuran yang memberikan hasil yang relatif tidak berbeda apabila dilakukan pengukuran kembali pada subjek yang sama. Reliabilitas merupakan suatu instrument untuk menyatakan apakah alat ukur sudah cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat ukur yang bermanfaat untuk mengukur instrumen penelitian yang benar-benar bebas dari kesalahan sehingga hasilnya konsisten dan dapat berlaku pada kondisi yang berbeda (Cooper dan Emory, 1995). Reliabilitas pada suatu kuesioner digunakan sebagai alat pengumpul data. Instrumen yang baik tidak akan bersifat tendensius atau kecenderungan untuk menggiring responden dalam memberikan jawaban tertentu. Uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Coefficient Alpha Cronbach. Koefisien ini digunakan sebagai rujukan untuk mengukur sejauhmana homogenitas item pertanyaan yang diajukan dan mencerminkan konstruk-konstruk yang sama. Parameter yang digunakan untuk pengukurannya adalah koefisien konsistensi internal dari masingmasing item pertanyaan. Suatu instrumen penelitian reliabel apabila pengujiannya menghasilkan alpha lebih besar dari 0,7. Semakin mendekati 1,00 Coefficient Alpha Cronbachnya semakin reliabel suatu alat ukur. Rumus :
k i2 1 2 k 1 T
Dimana : k : banyak ítem pertanyaan 2i : varians dari skor ítem pertanyaan ke – i
2T : varians dari skor Total
Berdasarkan hasil perhitungan sampel untuk 394 sampel usaha mikro hasil pengujian validitas dan reliabiltias kuesioner suatu penelitian sebagai berikut :
Tabel 4.2 Contoh Hasil Analisis Validitas Kuesioner Orientasi Wirausaha
Item
Koefisien Validitas
R-Kritis
Keterangan
1
0.651
0.300
Valid
2
0.655
0.300
Valid
3
0.462
0.300
Valid
4
0.839
0.300
Valid
5
0.729
0.300
Valid
6
0.716
0.300
Valid
7
0.720
0.300
Valid
8
0.612
0.300
Valid
9
0.516
0.300
Valid
10
0.798
0.300
Valid
11
0.733
0.300
Valid
12
0.493
0.300
Valid
13
0.469
0.300
Valid
14
0.611
0.300
Valid
15
0.904
0.300
Valid
Item
Koefisien Validitas
R-Kritis
Keterangan
16
0.904
0.300
Valid
17
0.842
0.300
Valid
18
0.682
0.300
Valid
19
0.824
0.300
Valid
Tabel 4.3 Contoh Hasil Analisis Validitas Kuesioner Sumber Daya Item
Koefisien Validitas
R-Kritis
Keterangan
1
0.651
0.300
Valid
2
0.873
0.300
Valid
3
0.621
0.300
Valid
4
0.565
0.300
Valid
5
0.655
0.300
Valid
6
0.772
0.300
Valid
7
0.614
0.300
Valid
8
0.917
0.300
Valid
9
0.770
0.300
Valid
10
0.917
0.300
Valid
11
0.759
0.300
Valid
12
0.833
0.300
Valid
13
0.590
0.300
Valid
Item
Koefisien Validitas
R-Kritis
Keterangan
14
0.893
0.300
Valid
15
0.651
0.300
Valid
16
0.558
0.300
Valid
17
0.775
0.300
Valid
18
0.848
0.300
Valid
19
0.825
0.300
Valid
20
0.783
0.300
Valid
21
0.759
0.300
Valid
Tabel 4.4 Contoh Validitas Kapabilitas Distingktif Item
Koefisien Validitas
R-Kritis
Keterangan
1
0.488
0.300
Valid
2
0.433
0.300
Valid
3
0.500
0.300
Valid
4
0.675
0.300
Valid
5
0.755
0.300
Valid
6
0.460
0.300
Valid
7
0.889
0.300
Valid
Item
Koefisien Validitas
R-Kritis
Keterangan
8
0.480
0.300
Valid
9
0.860
0.300
Valid
10
0.825
0.300
Valid
11
0.531
0.300
Valid
12
0.575
0.300
Valid
13
0.440
0.300
Valid
14
0.455
0.300
Valid
15
0.760
0.300
Valid
16
0.434
0.300
Valid
17
0.590
0.300
Valid
18
0.400
0.300
Valid
19
0.740
0.300
Valid
20
0.565
0.300
Valid
21
0.816
0.300
Valid
22
0.338
0.300
Valid
23
0.603
0.300
Valid
24
0.461
0.300
Valid
Tabel 4.5 Contoh Hasil Analisis Validitas Keunggulan Bersaing
Item Koefisien Validitas R-Kritis 1 0.649 0.300 2 0.568 0.300 3 0.365 0.300 4 0.440 0.300 5 0.551 0.300 6 0.723 0.300 7 0.756 0.300 8 0.560 0.300 9 0.694 0.300 10 0.423 0.300 11 0.585 0.300 12 0.573 0.300 13 0.603 0.300 14 0.704 0.300 Sumber : Hasil Pengolahan Data Penelitian
Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Tabel 4.6 Hasil Analisis Validitas Kuesioner Kinerja Bisnis Item
Koefisien Validitas
R-Kritis
Keterangan
1
0.871
0.300
Valid
2
0.924
0.300
Valid
3
0.532
0.300
Valid
4
0.743
0.300
Valid
5
0.528
0.300
Valid
6
0.624
0.300
Valid
7
0.692
0.300
Valid
8
0.748
0.300
Valid
Tabel 4.7 Hasil Analisis Reliabilitas Kuesioner Penelitian
Variabel
Koefisien Reliabilitas R-Kritis Keterangan
Orientasi Kewirausahaan
0.928
0.700
Reliabilitas
Sumber Daya
0.958
0.700
Reliabilitas
Kapabilitas Distingtif
0.912
0.700
Reliabilitas
Keunggulan Bersaing
0.891
0.700
Reliabilitas
Orientasi Bisnis
0.777
0.700
Reliabilitas
Hasil pengujian validitas dan reliabilitas menunjukkan kuesioner penelitian terbukti valid dan reliabel.
Uji Hipotesis
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) rancangan analisis, yakni: 1. Statistik deskriptif yang dilengkapi dengan tabel distribusi frekuensi dan nilai rata rata skor dari setiap pertanyaan 2. Uji verifikatif dengan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM). Rancangan atau model analisis kausalitas SEM
untuk mengetahui bagaimana
pengaruh variabel Orientasi Wirausaha (Entrepreneurial Orientation) dan Sumber Daya (Resources)
terhadap Kapabilitas Distingtif (Distinctive Capabilities) dan
Keunggulan Bersaing (Competitive Advantage) baik secara parsial maupun simultan terhadap industri mikro makanan khas di Aceh.
Uji Hipotesis Deskriptif
Untuk pengujian hipotesis deskriftif (hipotesis 1) dilakukan dengan mengubah data kuantitatif kedalam
bentuk tabulasi dan grafik agar lebih mudah dianalisis
dipahami. Untuk memberikan gambaran pencapaian dari setiap variabel penelitian ini, digunakan rentang kriteria rata-rata skor dari jawaban responden. Bilamana diperoleh rata-rata skor 4 atau diatas 4 maka dapat disimpulkan bahwa secara umum responden memberikan respon setuju terhadap setiap item yang diajukan. Bilamana lebih kecil dari 4 maka masih cukup banyak responden yang memberikan penilaian kurang setuju.
Deskripsi terhadap variabel penelitian dilakukan dengan menganalisis masing-masing dimensi dari variabel penelitian berdasarkan setiap industri makanan skala mikro yang menjadi sampel. Alat analisis deskriptif yang digunakan adalah tabel distribusi frekuensi dengan pengujian (H1) yang menggunakan statistik uji rata-rata dengan statistik tstudent. Sebelum dilakukan pengujian rata-rata terlebih dahulu meningkatkan skala data ordinal menjadi data dengan skala interval dengan pengukurannya menggunakan metode successive interval. Pengujian ini dilakukan untuk variabel Orientasi Wirausaha (Entrepreneurical Orientation) , Kapabilitas Distingtif (Distinctive Capabilities) dan Sumber Daya (Resources) , Keunggulan Bersaing (Competitive Advantage) dan Kinerja Bisnis (Business Performance) usaha mikro di Aceh. Pemilihan batas empat (4) pada tersebut diatas didasarkan pada kategori jawaban bahwa untuk jawaban dengan bobot 4 atau lebih besar 4 dikatakan baik.:
Rumusan Hipotesis Statistik sebagai berikut : H0 : 1 4 Orientasi Wirausaha, Sumber Daya Kapabilitas Distingtif dan, Keunggulan Bersaing serta kinerja usaha mikro masih belum baik/memadai H0 : 1> 4 Orientasi Wirausaha, Sumber Daya Kapabilitas Distingtif dan, Keunggulan Bersaing serta kinerja usaha mikro masih sudah baik/memadai
Pengujian hipotesis 1 dilakukan dengan menggunakan statistik uji t. Dalam hal ini digunakan statistik uji t student dengan rumus sebagai berikut:
tj
x 4 , j 1, 2,3, 4 s/ n
Untuk mendapatkan rata-rata skor total dari setiap variabel
( x ) yang
dibutuhkan dalam menghitung nilai tj digunakan formula sebagai berikut :
k
x
n
il
xi l 1 k
x
n
i
, x i 1 n
(x x ) i
, s i 1
2
n 1
dengan : x
: rata-rata skor unit analisis
x
: rata-rata variabel penelitian
s
: simpangan baku
k
: banyak item dalam setiap variabel
n
: banyak unit analisis
t
: statistik uji distribusi t student
Kriteria Uji Tolak hipotesis nol jika nilai t hitung
lebih besar
dari nilai t tabel pada tingkat
signifikansi 5% dan derajat bebas (db) = n-1.
2). Uji Hipotesis Verifikatif Untuk pengujian hipotesis (Hipotesis 3 - 7 ) digunakan Structural Equation Modelling (SEM). Model ini digunakan karena ada beberapa kelebihan SEM, yaitu ; (1)
SEM merupakan kombinasi secara kompak dua metode analisis data multivariate, yaitu analisis faktor konfirmatori dan analisis jalur , (2) SEM mampu mengevaluasi kualitas data, khususnya berkenaan dengan masalah realibilita pengukuran laten yang diteliti dan (3) SEM mampu menganalisis simultan.c
model pengukuran dan moel struktural secara
Hair, et.al, 2010) menyatakan bahwa SEM is known many names:
Covariance Structure Analyisis, Latent Variable Analysis, and sometimes it even referred to by the name of the specializad software package (e.g. LISRELL or Amos model) . Structural Equation Model- SEM, yaitu suatu teknik analisis dalam statistika yang dipakai untuk menguji serangkaian hubungan atara beberapa unobservable variable yang terbentuk dari sub variabel indikator atau observable yang dianalisis menggunakan program LISRELL (Schumacer, Lomax, 1996, Ferdinand 2000). Lebih lanjut tahapan pada prosedur (Structural Equation Model- SEM), dapat dirinci sebagai berikut (Wijanto, 2008):
1.
Spesifikasi Model Model penelitian terdiri atas dua jenis persamaan, yaitu persamaan pengukuran
dan persamaan struktural. Persamaan struktural menunjukkan bentuk hubungan antara variable
latent
eksogen
dan
endogen.
Sedangkan
persamaan
pengukuran
memperlihatkan bentuk hubungan antara variable laten eksogen (endogen) dengan variabel observasi dalam hal ini dimensi dari variable penelitian.
Gambar 3. 1 Diagram Jalur Penelitian Pengaruh Oreientasi Kewirausahaan dan Sumber Daya terhadap Kinerja Bisnis melalui Kapabilitas Distingtif Keunggulan Bersaing
Keterangan Notasi
: : : : : : : : : :
Baca Ksai Eta Lambda Gamma Beta Delta Epsilon Zeta Phi
Notasi : Keterangan 1
: Variabel laten eksogen Orientasi Kewirausahaan
X1.1
: Dimensi Bersaing dengan agresif
X1.2
: Dimensi Proactif
X1.3
: Dimensi Inovasi
X1.4
: Dimensi Pengambilan Risiko
x1.1x1.4
: Koefisien hubungan antara variabel Kewirausahaan dengan dimensinya
1,.., 4
: Kekeliruan model penguruan variabel indikator eksogen Orientasi Kewirausahaan
2
: Variabel laten eksgen Sumber Daya
X2.1
: Dimensi Sumber Daya Keuangan
X2.2
: Dimensi Sumber Daya Manusia
X2.3
: Dimensi Sumber Daya Organisasi
X2.4
: Dimensi Sumber Daya Phisik
X2.5
: DimensiSumber Daya intelektual
x2.1x2.5
: Koefisien hubungan antara variabel laten Sumber Daya dengan dimensinya
5,.., 9
: Kekeliruan model penguruan variabel indikator eksogen Sumber Daya
1
: Variabel laten endogen kapabilitas distingtif
Y1.1
: Dimensi Proses Pengembangan
Y1.2
: Dimensi Informasi keuangan
Y1.3
: Dimensi Struktur Modal
Y1.4
: Dimensi Administrasi Umum
Y1.5
: Dimensi Manajemen Wirausaha
Y1.6
: Teknologi Informasi
y1.1-
: Koefisien hubungan antara variabel laten Kapabilitas Distingtif
laten
Orientasi
y1.6
dengan dimensinya
1,.., 6 : Kekeliruan model penguruan variabel indikator eksogen Kapabilitas Distingtif 1
: Variabel laten endogen Keunggulan Bersaing
Y2.1
: Dimensi Keunikan Produk
Y2.2
: Dimensi Keunikan Proses
Y2.3
: Dimensi Keunikan Pelayanan
Y2.4
: Dimensi Biaya
y21y2.3
: Koefisien hubungan antara variabel laten Bersaing dengan dimensinya
Keunggulan
7,.., 9 : Kekeliruan model penguruan variabel indikator Keunggulan Bersaing 2
: Variabel laten Kinerja Bisnis
Y2.1
: Dimensi Kinerja Finansial
Y2.2
: Dimensi Kinerja Non-finansial
y2.1y2.2
: Koefisien hubungan antara variabel laten dengan dimensinya
2.1,.., 2.2
: Kekeliruan model pengukuran variabel indikator endogen Kinerja Bisnis
11
: Koefisien pengaruh variabel laten Orientasi Kewirausahaan terhadap variabel laten Kapabilitas Distingtif
12
: Koefisien pengaruh variabel laten sumber daya variabel laten Keunggulan Bersaing
21
: Koefisien pengaruh variabel laten orientasi kewirausahaan terhadap variabel laten Keunggulan Bersaing
22
: Koefisien pengaruh variabel laten Sumber Daya terhadap variabel laten Keunggulan Bersaing
31
: Koefisien pengaruh variabel laten orientasi kewirausahaan terhadap variabel laten kinerja bisnis
32
: Koefisien pengaruh variabel laten Sumber Daya terhadap variabel laten kinerja bisnis
Kinerja Bisnis
terhadap
21
: Koefisien pengaruh variabel laten kapabilitas distingktif terhadap variabel laten keunggulan bersang
31
: Koefisien pengaruh variabel laten terhadap variabel laten Kinerja Bisnis
32
: Koefisien pengaruh variabel laten Keunggulan Bersaing terhadap variabel laten Kinerja Bisnis
1
: Kekeliruan model structural variabel laten kapabilitas distingtif
2
: Kekeliruan bersaing
3
: Kekeliruan model structural variabel laten kinerja bisnis
model
structural
kapabilitas
variabel
laten
distingtif
keunggulan
Model penelitian di atas dapat dituliskan dalam model statistik sebagai berikut:
Model Struktural :
1 111 122 1 2 211 222 1 3 311 322 311 321 2
Model Pengukuran : Model pengbukuran dari setiap variabel laten dapat disajikan dalam tabel di bawah ini:
Tabel 4.8 Model Pengukuran Variabel Laten No
Variabel
Indikator
Model Pengukuran
1 Orientaasi 1. Dimensi Bersaing dengan Kewirausahaan Agresif
2 Sumber Daya
2 Kapabilitas Distingtif
3 Kunggulan Bersaing
X1.1 11x 1 1
2. Dimensi Proaktif
X1.2 21x 1 2
3. Dimensi Pengambilan Risiko
X1.3 31x 1 3
4. Dimensi Inovasi
X1.4 41x 1 4
1. Sumber Daya Keuangan
X 2.1 12x 2 5
2. Sumber Daya Manusia
X 22 22x 2 6
3. Sumber Daya Organisasi
X 23 32x 2 7
4. Sumber daya Phisik
X 24 42x 2 8
5. Sumber daya Intelektual
X 25 52x 2 8
1. Dimensi Pengembangan
Proses
Y1.1 11y1 1
2. Dimensi Informasi Keuangan
Y1.2 21y1 2
3. Dimensi Struktur Modal
Y1.3 31y1 3
4. Dimensi Administrasi Umum
Y1.4 41y1 4
5. Dimensi Manajemen Wirausaha
Y1.5 51y1 5
6. Dimensi Teknologi Informasi
Y1.6 61y1 6
1. Dimensi Keunikan Produk
Y21 12y2 7
2. Dimensi Keunikan Proses
Y22 22y 2 8
3. Dimensi Keunikan Pelayanan
Y23 32y 2 9
4. Dimensi Biaya
No
Variabel
4 Kinerja Bisnis
Indikator
Model Pengukuran
1. Dimensi Keuangan (Finansial)
y Y3.1 3.1 3 10
2. Dimensi Non Finansial
y Y3.2 2.3 3 11
Identifikasi Model
Hal yang berkenaan dengan tahap ini adalah tentang masalah taksiran dari parameter-parameter dalam model tersebut, apakah dapat dilakukan penaksiran dengan solusi tunggal atau tidak. Parameter dalam model dapat memiliki taksiran tunggal jika syarat perlu yaitu banyak matrik korelasi antara indikator harus lebih besar atau sama dengan banyaknya parameter model yang akan ditaksir. Secara sederhana dirumuskan dengan derajat kebebasan. Jika derajat kebebasan nilainya lebih besar sama dengan nol maka parameter model dapat ditaksir dengan taksiran yang tunggal. Derajat bebas dalam SEM diformulasikan sebagai berikut:
p 1 df p t 2 Dengan p adalah banyaknya variabel indikator dan t menunjukkan banyaknya parameter model yang ditaksir. Dalam model penelitian ini, banyaknya parameter yang ditaksir sebanyak 47 yang terdiri dari 9 variabel gangguan eksogen (), 11 variabel gangguan endogen (), 9 koefisien jalur dari variabel laten eksogen ke variabel observed eksogen (x), 8 koefisien jalur dari variabel laten endogen ke variabel observed endogen (y) karena y
1.1, y 1.2 dan y 1.3 nilainya secara langsung ditetapkan sama dengan sebagai satu standardized syarat parameter model dapat ditaksir, 6 koefisien jalur dari eksogen ke endogen (), 3 koefisien jalur dari variabel laten endogen ke endogen (), dan 3 varians error model struktural (), 1 koefisien korelasi antara variabel eksogen (). Sedangkan variabel indikator dalam penelitian ini sebanyak p = 20.
p 1 df p t 2 20 1 20 47 2 163 Setelah dilakukan perhitungan nilai derajat bebas, diketahui bahwa model penelitian ini memiliki derajat bebas lebih besar dari nol sehingga dapat dilakukan penaksiran parameter model struktural.
Estimasi Model
Prinsipnya estimasi parameter pada Structural Equation Modeling (SEM) adalah berdasarkan minimalisasi selisih (residu) antara matriks varians-kovarians populasi dengan matriks varians-kovarians sampel S. Tujuan dari minimalisasi ini untuk menghasilkan S yang konvergen menuju . Untuk itu, terdapat beberapa metode untuk mengestimasi Structural Equation Modeling (SEM), yang salah satunya adalah Metode Kemungkinan Maksimum. Adapun Metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) merupakan metode estimasi yang paling sering digunakan. Metode ini meminimumkan fungsi berikut ini:
FML log tr S 1 log S p q Dimana tanda
menunjukkan determinant, dan S merupakan matriks
positive-definite yang artinya merupakan matriks non-singular. Metode ini memerlukan asumsi distribusi normal multivariate. Dikarenakan setiap dimensi dalam penelitian ini terdiri dari beberapa item, maka untuk mendapatkan skor dari dimensi terlebih dahulu dilakukan analisis faktor. Sebelum estimasi model dilakukan, terlebih dahulu dilakukan peningkatan skala pengukuran data menjadi skala interval menggunakan metode Successive Interval yang caranya dilakukan menurut seperti berikut ini: a. Memperhatikan nilai jawaban dari setiap pertanyaan dalam kuesioner b. Untuk setiap pertanyaan tersebut, dilakukan perhitungan ada berapa responden yang menjawab skor 1, 2, 3, 4, 5 = frekuensi (f ) c. Setiap frekuensi dibagi dengan banyaknya responden dan hasilnya = (p) d. Dihitung proporsi kumulatifnya (pk) e. Dengan menggunakan tabel normal, dihitung nilai Z untuk setiap proporsi kumulatif yang diperoleh f. Menentukan nilai densitas normal (fd) yang sesuai dengan nilai Z g. Menentukan nilai interval (scale value) untuk setiap skor jawaban dengan rumus sebagai berikut:
Scale Value =
( Density at lower lim it ) - ( Density at upper lim it ) ( Area below upper lim it ) - ( Area below lower lim it )
h. Menyesuaikan nilai skala ordinal ke interval, yaitu Skala Value (SV) yang nilainya terkecil (harga negatif yang terbesar) diubah menjadi sama dengan jawaban responden yang terkecil melalui transformasi berikut ini: Transformed Scale Value : SV = SV + {SV min} + Kategori Minimum
Evaluasi Model Evaluasi model dalam Structural Equation Modeling diawali dengan pengujian model pengukuran kemudian dilanjutkan dengan pengujian model struktural. a. Evaluasi Model Pengukuran Evaluasi model pengukuran meliputi validitas dan reliabilitas indikator dalam merefleksikan variabel penelitian. Validitas indikator menggambarkan bagaimana indikator sungguh-sungguh mampu mengukur variabel yang akan diukur. Analisis validitas dilakukan menggunakan teknik analisis faktor konfirmatori. Teknik ini digunakan atas dasar bahwa variabel penelitian merupakan sebuah konstruk laten yang diukur oleh indikator-indikator dan item-item. Koefisien validitas indikator dinyatakan sebagai nilai loading faktor (koefisien jalur standar dari konstruk terhadap indikator atau dari indikator terhadap item) dengan rumusan sebagai berikut:
ij 2 jj ( xi )
1
2
s ij
Dalam hal ini, variabel indikator,
merupakan varians variabel laten .
dan
adalah varians
Koefisien validitas yang berkisar antara 0.30 – 0,40 dianggap cukup tinggi untuk digunakan dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini, uji validitas dilakukan dengan program LISREL. Sedangkan reliabilitas indikator artinya tingkat keterpercayaan hasil suatu pengukuran indikator terhadap variabelnya. Untuk menghitung reliabilitas indikator dengan model struktural, Bollen (1989: 179-225) memberikan konsep baru dalam perhitungan reliabilitas. Reliabilitas untuk masing-masing variabel indikator dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
2i R 2 i 2 ( i2 ) 2 xi
Selanjutnya untuk mengukur reliabilitas konstruk digunakan Constructs Reliability (CR). Constructs reliability merupakan reliabilitas variabel-variabel indikator bagi suatu variabel latent dirumuskan sebagai berikut, (Hair et. al., 2006: 612):
CR Dalam hal ini, dan variabel
( i ) 2
( i ) 2 Var( i )
masing-masing menunjukkan besarnya pengaruh antara
dan variabel dan
adalah taksiran varians kekeliruan variabel
.
Ukuran reliabilitas pada persamaan di atas secara berurutan dinyatakan ―baik‖ jika masing-masing nilainya adalah 0.5 - 0.7 (Sharma, 1996: 165).
b. Evaluasi Model Struktural Tidak terdapat statistik tunggal dalam evaluasi model struktural, umumnya terdapat berbagai jenis indeks kecocokkan yang digunakan untuk mengukur derajat
kesesuaian antara model yang dihipotesiskan dengan data yang disajikan. Kesesuaian model dilihat dalam tiga kondisi: 1) Absolute Fit Measures (cocok secara absolut) 2) Incremental Fit Measures (lebih baik relatif terdapat model-model lain) 3) Parsimonious Fit Measures (lebih sederhana relatif terhadap model-model alternatif)
Chi-square
merupakan satu-satunya ukuran kesesuaian model dengan statistik
inferensial dalam Structural Equation Modeling (SEM). Chi-square bersifat sangat sensitif terhadap besarnya sampel yang digunakan. Semakin kecil nilai
semakin
baik model itu. Model diterima jika probabilitas p > . Langkah pengujian sebagai berikut: 1) Hipotesis pengujian H0 : = () Model cocok dengan data H1 : () Model tidak cocok dengan data
2) Statistik uji
2 = n 1 F ^
^ ^ F adalah nilai minimum untuk untuk metode penaksiran Maximum
Likelihood (ML). 3) Kriteria uji
Tolak H0 jika 2 hitung > 2 tabel dengan df =
1 p q p q 1 t dimana: p, q = 2
jumlah variabel indikator, dan t = jumlah parameter yang ditaksir. 4) Kesimpulan Jika H0 diterima maka dapat diambil kesimpulan bahwa model diterima, namun jika H0 ditolak maka dapat diambil kesimpulan bahwa model ditolak.
Selain dengan menggunakan statistik inference, pengujian kesesuaian model juga dapat dilakukan menggunakan statistik deskriptif. Tabel 3.10 berikut ini akan digambarkan Absolute Fit Measures, Incremental Fit Measures, Parsimonious Fit Measures yang digunakan dalam menguji apakah sebuah model dapat diterima atau ditolak.
Tabel 4. 9 Absolute Fit Measures, Incremental Fit Measures, Parsimonious Fit Measures Goodness of Fit Index (GFI)
Root mean square error of approximation (RMSEA) Expected cross-validation index (ECVI)
Incremental Fit Measures Adjusted goodness-of-fit Index(AGFI) Normed Fit Index (NFI)
Ukuran kesesuaian model secara deskriptif. GFI 0,90 mengindikasikan model fit atau model dapat diterima Nilai aproksimasi akar rata-rata kuadrat error. Diharapkan nilainya rendah. RMSA 0.08 berarti model fit dengan data Ukuran kesesuaian model jika model yang diestimasi dan diuji lagi dengan sampel yang berbeda tetapi dengan ukuran yang sama.
Nilai GFI yang disesuaikan 0,90 mengindikasikan model fit dengan data Ukuran kesesuaian model dengan basis komparatif terhadap base line atau model null. Model null
Tucker-Lewis Index (TLI)
umumnya merupakan suatu model yang menyatakan bahwa antara variabel yang terdapat dalam model tidak saling berhubungan. Menurut ukuran ini model dikatakan fit jika NFI 0,90. NFI = 0,90 artinya model diindikasikan 90% lebih baik bila dibandingkan dengan model null-nya. Ukuran kesesuaian model sebagai koreksi terhadap ukuran NFI, TLI > 0,90 model dikatakan fit
Lanjutan Tabel 3.12 Parsimonius Fit Measures Comparative fit index (CFI)
Incremental fit index (IFI)
Relative fit index (RFI)
Parsimonious normed fit index (PNFI) Parsimonious GFI (PGFI) Akaike Information Criterion (AIC) Sumber : Hair et al, (2006:621)
Ukuran kesesuaian model berbasis Komparatif dengan model null. CFI nilainya berkisar antara 0 sampai 1. CFI 0,90 dikatakan model fit dengan data. Ukuran komparatif yang dikemukakan Bollen. IFI nilainya berkisar antara 0 sampai 1. IFI 0,90 dikatakan model fit dengan data. Seperti ukuran kesesuaian komparatif lain, nilai RFI berkisar antara 0 sampai 1. RFI 0,90 dikatakan model fit dengan data. Ukuran kesesuaian model sebagai koreksi terhadap ukuran NFI. PNFI 0,90 model dikatakan fit. Ukuran kesesuaian model sebagai koreksi terhadap ukuran GFI. PGFI 0,90 model lebih parsimoni Ukuran kesesuaian parsimoni dari akaike. Semakin kecil nilai AIC menunjukkan model lebih parsimoni
Pengujian Hipotesis Penelitian
Setelah dilakukan penaksiran parameter model dan dilakukan uji kecocokkan model, selanjutnya adalah menguji hipotesis penelitian tentang pengaruh Orientasi kewirausahaan (OW) atau Entrepreneurial Orientation dan Sumber Daya (SD) atau Resources terhadap Kinerja Bisnis (KIN) atau Business Performance melalui Kapabilitas Distingtif (KD) atau Distinctive Capabilities dan Keunggulan Bersaing (KB) atau Competitive Advantage usaha mikro di Aceh baik secara parsial maupun simultan. Selanjutnya dilakukan sub struktur sub struktur dari diagram jalur di atas. Sub struktur pertama adalah untuk melihat bagaimana pengaruh orientasi kewirausahaan dan sumber daya terhadap kapabilitas distingtif. Secara visual sub struktur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.2 Diagram Jalur Sub Struktur 1
Rumusan Hipotesis Simultan H0 : 11 = 12 = 0 Orientasi kewirausahaan, sumber daya tidak berpengaruh terhadap Kapabilitas Distingtif secara simultan pada usaha mikro H1 : 1i 0
Orientasi kewirausahaan, sumber daya bepengaruh secara simultan terhadap Kapabilitas Distingtif pada usaha mikro
Statistika Uji
Fhitung
R2 / k (1 R2 ) / (n k 1)
Kriteria Uji Tolak hipotesis nol jika nilai Fhitung lebih besar dari nilai ttabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas (db) v1=k dan v2 = n-k-1. Terima hipotesis nol yang menyatakan tidak terdapat Pengaruh Orientasi kewirausahaan, Sumber daya terhadap Kapabilitas Distingtif pada usaha mikro industri makanan Aceh di provinsi Aceh jika terjadi sebaliknya.
Rumusan Hipotesis Parsial H0 : 11 = 0
Orientasi kewirausahaan tidak berpengaruh terhadap Kapabilitas Distingtif
H1 : 1i 0
Orientasi kewirausahaan berpengaruh terhadap Kapabilitas Distingtif
H0 : 12 = 0
Sumber daya tidak berpengaruh terhadap Kapabilitas Distingtif
H1 : 12 0
Sumber daya berpengaruh terhadap Kapabilitas Distingtif
Statistika Uji
Kriteria Uji Tolak hipotesis nol jika nilai |thitung| lebih besar dari nilai ttabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas (db) = n-k-1. Terima hipotesis nol yang menyatakan tidak terdapat pengaruh parsial Orientasi kewirausahaan, sumber daya terhadap kapabilitas distingtif
Sub struktur kedua dalam diagram jalur, rumusan hipotesis dan statistika uji serta kriteria uji dapat digambarkan sebagi berikut: X1.1
Y1.1
X1.2
Y1.2 X1
Y1
X1.3
Y1.3
X1.4
Y1.4
X2.1
Y2.1 Y2.2
X2.2 X2
Y2
X2.3
Y2.3
X2.4
Y2.4
X2.5
Y2.5
Gambar 3.3 Diagram Jalur Sub Struktur 2 Model Struktural
Rumusan Hipotesis Simultan H0 : 21 = 22 = 0 Orientasi Kewirausahaan, Sumber Daya dan Kapabilitas Distingtif tidak berpengaruh secara simultan terhadap keunggulan bersaing H1 : 2i 0
Orientasi Kewirausahaan, Sumber Daya dan Kapabilitas Distingtif berpengaruh secara simultan terhadap keunggulan bersaing
Statistika Uji
Fhitung
R2 / k (1 R2 ) / (n k 1)
Kriteria Uji Tolak hipotesis nol jika nilai Fhitung lebih besar dari nilai ttabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas (db) v1=k dan v2 = n-k-1. Terima hipotesis nol yang menyatakan tidak terdapat pengaruh simultan Orientasi Kewirausahaan, Sumber Daya dan Kapabilitas Distingtif terhadap Keunggulan Bersaing jika terjadi sebaliknya.
Rumusan Hipotesis Parsial H0 : 21 = 0
Orientasi Kewirausahaan tidak berpengaruh terhadap Keunggulan Bersaing
H1 : 21 0
Orientasi Kewirausahaan berpengaruh terhadap Keunggulan Bersaing
H0 : 22 = 0
Sumber daya tidak berpengaruh terhadap Keunggulan Bersaing
H1 : 22 0
Sumber daya berpengaruh terhadap Keunggulan Bersaing
H0 : 2.1 = 0 Kapasitas distingtif secara parsial tidak berpengaruh terhadap keunggulan bersaing H1 : 2.1 ≠ 0 Kapasitas distingtif secara parsial berpengaruh terhadap keunggulan bersaing
Statistika Uji
Kriteria Uji Tolak hipotesis nol jika nilai |thitung| lebih besar dari nilai ttabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas (db) = n-k-1. Terima hipotesis nol yang menyatakan tidak terdapat pengaruh dari Orientasi Kewirausahaan atau Sumber Daya atau Kapabilitas Distingtif terhadap Keunggulan bersaing atau jika erjadi sebaliknya.
Sub struktur ketiga dalam diagram jalur, rumusan hipotesis dan statistika uji serta kriteria uji dapat digambarkan sebagi berikut:
Gambar 3.4 Sub Struktur 3 Diagram Jalur
Rumusan Hipotesis Simultan H0 : 31 = 0
Kapabilitas Distingtif dan Keunggulan bersaing secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap kinerja bisnis
H1 : 31 0 Kapabilitas Distingtif dan Keunggulan bersaing secara bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja bisnis pada
Statistika Uji
Fhitung
R2 / k (1 R2 ) / (n k 1)
Kriteria Uji Tolak hipotesis nol jika nilai Fhitung lebih besar dari nilai ttabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas (db) v1=k dan v2 = n-k-1. Terima hipotesis nol yang menyatakan tidak terdapat pengaruh simultan Kapabilitas Distingtif dan Keunggulan bersaing terhadap Kinerja Bisnis jika terjadi sebaliknya.
Rumusan Hipotesis Parsial H0 : 1.1 = 0 Kapabilitas distingtif secara parsial tidak berpengaruh terhadap kinerja bisnis. H1 : 1.1 ≠ 0
Kapabilitas distingtif secara parsial berpengaruh terhadap kinerja bisnis
H0 : 1.2 = 0 Keunggulan Bersaing secara parsial tidak berpengaruh terhadap kinerja bisnis H1 : 1.2 ≠ 0
Keunggulan Bersaing secara parsial berpengaruh terhadap kinerja bisnis
Statistika Uji
Kriteria Uji Tolak hipotesis nol jika nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas (db) = n-k-1. Terima hipotesis nol yang menyatakan tidak terdapat pengaruh dari kapabilitas distingtif atau keunggulan bersaing berpengaruh terhadap Kinerja bisnis jika erjadi sebaliknya. Sub struktur keempat dalam diagram jalur, rumusan hipotesis dan statistika uji serta kriteria uji dapat digambarkan sebagi berikut:
Gambar 3.5 Diagram Jalur Sub Struktur 4
Rumusan Hipotesis H0 : 1.1 = 0 Orientasi kewirausahaan dan sumber daya tidak berpengaruh terhadap kinerja bisnis melalui kapabilitas distingtif H1 : 1.1 = 0 Orientasi kewirausahaan dan sumber daya tidak berpengaruh terhadap kinerja bisnis melalui kapabilitas distingtif Statistika Uji
Kriteria Uji
Tolak hipotesis nol jika nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas (db) = n-k-1. Terima hipotesis nol yang menyatakan tidak terdapat pengaruh dari orientasi kewirausahaan dan sumber daya terhadap kinerja bisnis melalui kapabilitas distingtif atau jika terjadi sebaliknya. Sub struktur kelima dalam diagram jalur, rumusan hipotesis dan statistika uji serta kriteria uji dapat digambarkan sebagi berikut:
Gambar 3.6 Diagram Jalur Sub Struktur 5
Rumusan Hipotesis
H0 : 1.1 = 0 Orientasi kewirausahaan dan sumber daya tidak berpengaruh terhadap kinerja bisnis melalui keunggulan bersaing H1 : 1.1 = 0 Orientasi kewirausahaan dan sumber daya tidak berpengaruh terhadap kinerja bisnis melalui keunggulan bersaing
Statistika Uji
Kriteria Uji Tolak hipotesis nol jika nilai thitung lebih besar
dari nilai ttabel pada tingkat
signifikansi 5% dan derajat bebas (db) = n-k-1. Terima hipotesis nol yang menyatakan tidak terdapat pengaruh dari orientasi kewirausahaan dan sumber daya terhadap kinerja bisnis melalui keunggulan bersaing atau jika terjadi sebaliknya. Untuk melakukan uji variabel intervening untuk mengetahui apakah variabel Kapabilitas Distingtif dan Keunggulan Bersaing menjadi variabel intervening bagi hubungan Orientasi kewirausahaan dan Sumber Daya terhadap Kinerja Bisnis dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Orientasi kewirausahaan dan Sumber Daya berpengaruh terhadap Kinerja Bisnis melalui variabel intervening Kapabilitas Distingtif 2. Orientasi kewirausahaan dan Sumber Daya berpengaruh terhadap Kinerja Bisnis melalui variabel Keunggulan Bersaing
Menghitung Besar Pengaruh
Dalam analisis Structural Equation Modeling, penulis dapat menghitung besar pengaruh baik langsung maupun tidak langsung dari satu variabel laten terhadap variabel laten yang lain dan dari kedua pengaruh ini dapat dihitung pengaruh totalnya. Dalam format SEM, besarnya pengaruh langsung variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen dinyatakan oleh koefisien jalur yang dinotasikan sebagai γij (gamma), sedang besarnya pengaruh langsung variabel laten endogen terhadap variabel laten endogen lain dinyatakan oleh βij (beta). Besarnya hubungan korelatif antar variabel laten eksogen dinyatakan oleh koefisien kovarians yang dinotasikan sebagai Φii (phi) sedang δi (zeta) mewakili semua variabel laten eksogen yang tidak diobservasi yang secara teoritis telah atau belum dapat diidentifikasi. Variabel tersebut dalam persamaan diklasifikasikan sebagai kesalahan persamaan struktural atau error variables (Joreskog & Sorbom, 1996). Dalam SEM, identifikasi pengaruh variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen tidak hanya pengaruh langsung (Direct Effect, DE) tetapi juga pengaruh tidak langsung (Indirect Effect, IE). Pengaruh tidak langsung menjelaskan pengaruh variabel penyebab terhadap variabel akibat yang dimediasi atau terjadi melalui variabel laten endogen lain yang diberlakukan sebagai variabel antara. Besarnya pengaruh tidak langsung tersebut dapat ditentukan dengan persamaan (Hair, et al, 2006:869) berikut: IE = γij x βjj Berdasarkan pengaruh langsung (DE) dan tidak langsung (IE) selanjutnya dapat ditentukan besarnya pengaruh total (Total Effect, TE) (Hair, et al, 2006:870) variabel
laten eksogen terhadap variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen yang didefinisikan sebagai berikut: TE = DE + IE (Schumacker & Lomax, 1996 : 91; Hair, et al, 2006 : 870).
BAGIAN KELIMA APLIKASI PENGUKURAN ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN KINERJA BISNIS
Peningkatan daya saing dengan menciptakan keunggulan bersaing dipengaruhi olkeh banyak hal diantaranya adalah dimilikinya jiwa orientasi kewirausahaan, pengelolaan
dan akses sumber daya yang memadai sehingga dapat membentuk
kapabilitas distingtif yang merupakan salah satu sumber terciptanya keunggulan bersaing. Keunggulan bersaing yang dimiliki usaha mikro akan mendorong dicapainya kinerja usaha yang memadai. Pernyataan pernyataan tersebut perlu diuji melalui data yang dikumpulkan di lapangan. Oleh karena itu pada bagian ini akan dikaji apakah ada pengaruh oriantasi kewirausahaan dan sumber daya terhadap kinerja usaha mikro baik secara langsung maupun tidak langsung dengan melalui intervening variable kapabilitas distingtif dan keunggulan bersaing. Untuk memudahkan pemahaman diambil contoh hasil penelitian yang berkaitan dengan orientasi kewirausahaan dalam menciptakan keunggulan bersaing untuk mencapai kinerja bisnis pada usaha mikro di propinsi Aceh.
Deskripsi Orientasi Kewirausahaan, Sumber Daya, Kapabilitas Distingtif, Keunggulan Bersaing dan Kinerja
Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengaruh orientasi kewirausahaan dan sumber daya terhadap kinerja bisnis melalui kapasitas distingtif dan keunggulan bersaing, perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai deskripsi jawaban responden untuk masing-masing variabel dari kuesioner yang telah diisi oleh responden dari daerah penelitian dengan menggunakan data primer. Agar lebih mudah dalam memberikan penilaian terhadap jawaban responden pada setiap dimensi maupun variabel penelitian, akan dilakukan kategorisasi terhadap rata-rata skor tanggapan responden . Deskripsi
data
hasil
penelitian
dapat
digunakan
untuk
memperkaya
pembahasan, melalui gambaran data tanggapan responden dapat diketahui bagaimana tanggapan responden terhadap setiap variabel yang sedang diteliti. Agar lebih mudah menginterpretasikan variabel yang sedang diteliti, dilakukan kategorisasi terhadap skor tanggapan responden. Kategorisasi jumlah skor tanggapan responden Sugiyono (2009) yaitu berdasarkan rentang skor maksimum dan skor minimum dibagi jumlah kategori yang diinginkan dengan rumus sebagai berikut.
Rentang Skor Kategori =
Skor Maksimum - Skor Minimum 5
Keterangan: Skor maksimum
= jumlah responden x jumlah pernyataan x 5
Skor minimum
= jumlah responden x jumlah pernyataan x 1
Analisis deskripif dilakukan mengacu kepada setiap variabel yang ada pada variabel yang diteliti.
Orientasi Kewirausahaan Hasil data lapangan yang diperoleh menunjukkan sebagian besar menyatakan setuju terhadap pernyataan-pernyataan pada orientasi kewirausahaan. Orientasi kewirausahaan terdiri dari dimensi; bersaing dengan agresif, proaktif,
inovasi dan
pengambilan risiko. Dari 394 responden diperoleh jawaban mengenai Orientasi Kewirausahaan sebagai berikut: Pada variabel Orientasi kewirausahaan dengan jumlah item pernyataan 14 butir dan jumlah responden 394 orang, diperoleh total skor sebesar 20212, maka rentang skor setiap kategori ditentukan sebagai berikut:
Rentang Skor Kategori
394x14x5
– 394x14x1 5
27580 5516 4412,8 5
Jadi panjang interval untuk setiap kategori adalah 4412,8 sehingga dari jumlah skor tanggapan responden atas 14 butir pernyataan mengenai Orientasi kewirausahaan diperoleh total skor pada rentang kategori sebagai berikut:
20212 %
Sngt Tdk Baik
5516
Tidak Baik
9928,8
Cukup Baik
14341,6
Baik
18754,4
Sangat Baik
2316
27580
Berdasarkan pada rentang skor kategori orientasi kewirausahaan termasuk dalam rentang kategori baik 20210 yaitu pada interval rentang kategori (18754,4 – 2316) tetapi belum pada rentang skor kategori sangat baik. Untuk jumlah skor tanggapan dari 14 instrumen yang diajukan mengenai orientasi kewirausahaan, maka dapat diketahui bahwa tanggapan responden terhadap instrumen orientasi kewirausahaan berdasarkan frekuensi, nilai skor dan rata masing masing dimensi dan indikator dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 6.1 Tanggapan Responden Tentang Orientasi kewirausahaan Orientasi kewirausahaan Instrumen
SB
B
CB
TB
STB
Skor
Ratarata
Bersaing Dengan Agresif = 3,5975 Kemampuan bersaing
90
147
81
67
9
1424
3,61
Memperluas pasar
80
163
105
34
12
1447
3,67
Merespon perubahan
92
166
73
55
8
1461
3,71
Modifikasi produk
89
148
96
55
6
1341
3,40
Menyediakan sampel
90
188
62
38
16
1480
3,76
Pengantaran pesanan
86
192
91
25
0
1321
3,35
Pelopor produk baru
104
106
85
87
12
1385
3,52
Kreativitas
88
115
91
80
20
1353
3,43
Pengembangan produk
75
120
94
92
13
1334
3,39
170
112
28
7
1464
3,72
172
96
79
9
1333
3,38
Proaktif = 3,54
Inovasi = 3,48
Kemasan yang menarik Benchmarking
77 38
Pengambilan Risiko = 3,87 Risiko produk tidak laku
95
198
79
17
5
1543
3,92
Uang muka
105
142
92
36
19
1460
3,71
Risiko kadaluarsa
132
165
61
27
9
1566
3,97
1241
2192
1218
720
145
1241x5 2192x4 1218x3 720x2 145x1 20212 = 6205 = 8768 =3654 =1440 = 145
3,62
Total
Sumber: Hasil penelitian diolah (2012)
Tabel 6.1 di atas menjelaskan bahwa rata rata skor untuk masing masing dimensi bersaing dengan agresif, proaktif, inovasi dan pengambilan risiko. Rata-rata skor untuk bersaing dengan agresif sebesar 3,59; ini menunjukkan bahwa nilai skor yang ada masuk dalam kategori baik, yaitu berada pada range (2,6 – 3,4). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar usaha mikro memiliki agresifitas bersaing yang relatif baik. Indikator agresif dalam bersaing, merespon perubahan memiliki nilai skor rata rata sebesar (3,5975). Indikator dengan rata terteinggi adalah merespon perubahan , sekalipun sebanyak 55 responden (13,96%) meanggap tidak penting untuk merespon perubahan bahkan masih ada 8 responden menyatakan tidak sangat penting. Sesuai dengan kajian (Suseno, 2010) yang menyatakan bahwa rata rat usaha mikro bersifat fleksibel yaitu cepat merespon perubahan yang terjadi. Artinya semakin responsif pelaku usaha merespon perubahan selera konsumen maka akan semakin tinggi tingkat agresifitas berasing yang dimiliki usaha mikro. Rata rata terendah pada dimensi agresifitas adalah modifikasi produk yaitu sebesar 3,40. Hal ini mengindikasikan bahwa
sebagian besar pelaku usaha mikro
belum melihat pentingnya modifikasi produk , yaitu sebanyak 55 responden (13,96%) menyatakan tidak penting dan 1,52% menyatakan tidak sangat penting untuk memodifikasi produk. Skor nilai rata rata dimensi proaktif sebesar 3,54 ini menunjukkan proaktif berada pada skor cukup baik (2,8 - 3,6) , ini berarti sebagian besar pelaku usaha masih kurang proaktif dalam usahanya.
Indikator pengantaran pesanan memiliki rata rata skor
terendah (3,35), hal ini mengindikasikan masih ada sebagian usaha yang menyatakan tidak penting untuk mengantarkan pesanaan kepada konsumen yaitu sebanyak 25 responden (6,35%). Biasanya
pelaku
usaha bersedia mengantar pesanan dalam
jumlah besar saja. Selain itu masih ada pelaku usaha yang menyatakan bahwa menyediakan sampel tidak penting sebanyak 38 responden (9,65%) dan sebanyak 16 responden (4,07%) menanggap sangat tidak penting. Sedangkan untuk menjadi menjadi pelopor pengembangan produk , sebanyak 87 responden (22,08%) menanggap tidak penting dan 3,05% menganggap tidak penting. Inovasi sebagai salah satu kunci utama dalam wirausaha seperti yang dikemukakan oleh Drucker (1985) kunci utama wirausaha adalah inovasi. Indikator inovasi pada usaha mikro Aceh memiliki skor 3,48. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar usaha mikro kurang berinovasi. Sebanyak 80 responden (20,30%) menyatakan bahwa kreatifitas tidak penting dan 5,07% responden menyatakan bahwa kreatifitas tidak sangat penting. Sesuai dengan pernyataan
di atas sebanyak 92 responden (23,35%) menyatakan bahwa
pengembangan produk tidak penting dan sebanyak 13 responden (3,30%) menyatakan tidak perlu pengembangan produk. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar pelaku
usaha mikro
relatif tidak memiliki kreativitas
(tidak memiliki orientasi
kewirausahaan), mereka hanya sekedar meniru produk yang ada, membuatnya dan menjual kembali, sehingga produk yang dihasilkan tidak memiliki keunikan (pembeda) dengan produk lain yang sejenis.
Kemasan yang menarik, memiliki nilai skor rata rata tertinggi (3,72) terhadap inovasi , artinya sebagian besar pelaku usaha dapat menyadari bahwa kemasan yang menarik merupakan promosi yang baik bagi konsumen. Hanya 28 responden (7,12%) yang menyatakan tidak penting kemasan yang menarik bahkan tidak sangat penting sebanyak 7 responden (1,78%) . Dimensi keberanian pengambilan risiko memperoleh nilai rata rata 3,87. Dimensi dengan 4 indikator ini , dengan rata rata tertinggi pada indikator risiko kadaluarsa. Indikator ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha siap meanggung risiko produk yang kadaluarsa. Dari hasil penelitian menunjukkan
disebabkan oleh
banyaknya usaha yang memproduksi berdasarkan pesanan. tanggapan bahwa dalam berusaha pelaku usaha harus berani menanggung risiko produk yang tidak terjual sebesar 62,69% pelaku usaha menyatakan pentingnya untuk menanggung risiko barang yang tidak terjual. Untuk mengurangi risiko, pelaku usaha menyatakan pentingnya (36,04%) dan sangat penting (26,65%) untuk menerima uang muka, dan 13,96% pelaku usaha bersedia untuk tidak menerima uang muka, hal ini berdasarkan kepercayaan saja antar pelaku usaha dengan konsumennya. Kepentingan untuk mencantumkan tanggal kadaluarsa untuk produk produk tertentu , merupakan indikator yang tertinggi yang memb erikan kontribusi terhadap pengambilan risiko. Dari hasil penelitian , dapat dijelaskan bahwa sebagian besar usaha mikro belum mencantumkan tanggal kadaluarsa, hal ini disebabkan masih ada usaha yang memproduksi berdasarkan pesanan saja sesuai dan dengan permintaan
sehingga pelaku usaha menganggap tidak penting untuk mencantumkan tanggal kadaluarsa. Nilai rata-rata skor untuk variabel inovasi sebesar 3,48, merupakan rata rata terendah di antara 4 dimensi yang ada. Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak juga pelaku usaha mikro industri makanan yang menganggap dimensi inovasi penting tetapi tidak sangat penting. Padahal inovasi adalah variabel utama yang membentuk orientasi kewirausahaan. Orientasi kewirausahaan yang terdiri dari 4 dimensi memperlihatkan hasil perhitungan rerata skor responden mengenai orientasi kewirausahaan sebesar 3,48 berada pada interval 3,41 – 4,20. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orientasi kewirausahaan pada sebagian besar usaha mikro di Aceh sudah tinggi/baik (hanya sedikit di atas cukup baik), tetapi belum sangat tinggi/baik.
Sumber Daya Hasil data lapangan yang diperoleh dari 394 responden diperoleh jawaban mengenai Sumber Daya menunjukkan sebagian besar menyatakan setuju terhadap pernyataan-pernyataan pada variabel Sumber Daya. Variabel sumber daya dengan jumlah item pernyataan 20 butir dan jumlah responden 394 orang, diperoleh total skor sebesar 29703, maka rentang skor setiap kategori ditentukan sebagai berikut:
Rentang Skor Kategori
394x20x5
– 394x20x1 5
39400 7880 6304 5
Rentang skor kategori variabel sumber daya sebesar 6304 sehingga dari jumlah skor tanggapan responden atas 20 butir pernyataan mengenai Sumber Daya diperoleh nilai skorrantang kategori sebagai berikut. 29703 %
STBaik
7880
Tidak Baik
14184
Cukup Baik
20488
Baik
Sangat Baik
26792
33096
39400
Berdasarkan pada rentang skor kategori sumber daya termasuk dalam rentang kategori baik sebesar 29703,
yaitu pada interval rentang kategori
baik (26792 -
3309), tetapi belum pada rentang skor kategori sangat baik. Untuk jumlah skor tanggapan dari 20 instrumen sumber daya, pernyataan responden terhadap instrumen sumber daya berdasarkan frekuensi, nilai skor dan rata masing masing dimensi dan indikator dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 6.2 Tanggapan Responden Tentang Sumber Daya Sumber Daya (X2) Instrumen
SB
B
CB
TB
STB
Skor
Ratarata
Sumber Daya Keuangan = 3,58 Kecukupan 106 120 modal Likuiditas 72 93 Kekayaan 86 151 Perolehan 72 162 laba Sumber Daya Manusia = 3,96 Pelatihan untuk 103 186 pekerja Pelatihan dr 92 200 pihak lain Pengalaman 102 191 pekerja Ketrampilan 101 189 pekerja Kecerdasan 93 203 pekerja Sumber Daya Organisasi = 3,91 Patuh terhadap 95 201 peraturan Motivasi dan 100 187 disiplin Kerjasama dengan 73 179 usaha lain Ketrampilan 100 175 yang dimiliki Sumber Daya Fisik = 3,79 Lokasi 127 196 usaha Toko/gerai 119 188 Lanjutan Tabel 4.4. Instrumen SB B Teknologi usaha
5
132
121
26
21
1446
3,67
144 105
72 27
13 25
1321 1428
3,35 3,62
121
31
8
144
3,66
85
11
9
1545
3,92
90
10
2
1552
3,94
93
6
2
1567
3,97
99
5
0
1560
3,98
98
0
0
1571
3,99
94
4
0
1570
3,98
86
18
3
1545
3,92
139
3
0
1504
3,82
106
8
5
1539
3,91
71
0
0
1632
4,14
87
0
0
1608
4,08
CB
TB
STB
Skor
Ratarata
235
22
0
1302
3,30
Hak paten Merek Rahasia perusahaan
0 111 149
Sumber Daya Intelektual = 3,49 0 187 174 33 167 67 32 17 198
47
0
0
942 1505
2,39 3,82
1678
4,26
1773 3296 2165 481 153 Total (1773x5) (3296x4) (2165x3) (481x2) (153x1) 29703 = 8865 = 13192 =6531 = 962 = 153 Sumber : Hasil penelitian diolah (2012)
3,75
Tabel 6.4 di atas menjelaskan bahwa rata-rata skor untuk variabel sumber daya sebesar 3,93 yang terdiri 5 dimensi, yaitu: sumber daya keuangan, sumber daya manusia, sumber daya organisasi, sumber daya fisik, sumber daya intelektual. Dimensi sumber daya keuangan
memperoleh nilai rata rata sebesar 3,67,
sebanyak 6,6% usaha tidak memiliki modal yang cukup dan sangat tidak cukup 5,33%. Demikian juga perolehan laba sebanyak 30,72% usaha mikro memperoleh laba normal (normal profit), yaitu laba yang hanya dapat memenuhi modal kerja, sedangkan 10,15% tidak memperoleh laba yang cukup bahkan sangat tidak cukup. Hal ini mengindikasikan bahwa masih ada sebagian usaha mikro
yang memperoleh laba,
tetapi belum sampai pada tingkat investasi yang lebih besar. Ini disebabkan oleh karena
sebagian besar usaha mikro tidak memiliki
cadangan keuntungan yang mencukupi untuk sehingga tidak dapat melakukan proses pengembangan dan investasi.Sebagai contoh untuk usaha mikro hampir sebagian besar tidak dapat mengembangkan usahanya karena kekurangan modal, hal iini juga sesuai dengan kajian kajian yang dilakukan baik oleh Kuncoro (2010), Suseno (2010) ataupun Zamberi (2012) yang mengemukakan bahwa sebagian besar usaha mikro kekurangan modal.
Sumber daya manusia , memiliki nilai rata rata skor terbesar di antara semua dimensi yang ada pada variabel sumber daya manusia, terutama kecerdasan pekerja (3,99). Dari penelitian yang dilakukan dalam menerima pekerja pelaku usaha mempertimbangkan kecerdasan daripada pengalaman ataupun ketrampilan. Pelaku usaha berpendapat bahwa dengan pekerja yang cerdas lebih memudahkan
untuk
memberikan instruksi , menambah pengetahuan dan ketrampilan. Sedangkan pelatihan untuk pekerja baik pelatihan yang diselenggarakan oleh perusahaan atau pihak lain, masih ada resoonden yang tidak mengikutinya yaitu sebesar 5,08% dan
3,05%
pelatihan dari pihak lain. Untuk pelatihan yang diselenggarakan oleh pihak perusahaan adalah pelatihan yang tidak formal, dalam arti bahwa para pekerja baru diberikan pelatihan dalam waktu tertentu sambil bekerja (latihan praktek). Dimensi sumber daya organisasi memeperoleh nilai rata rata sebesar 3,96, dengan nilai rata rat tertinggi untuk indikator kepatuhan terhadap peraturan yang, hal ini berarti dengan patuhnya para pekerja terhadap peraturan akan gubah meningkatkan displin para pekerja. Data yang ada menunjukkan bahwa rata rata pekerja patuh terhadap peraturan yang ada. Indikator disiplin memperoleh nilai rata rata terendah pada dimensi ini, karena masih ada pekerja yang menyatakan tidak penting atau bahkan sangat tidak penting motivasi dan disiplin sebesar 5,33%. Dimensi sumber daya fisik memperoleh nilai rata rata 3,79,dengan nilai rata rata tertinggi pada lokasi usaha. Hal ini dapat dijelaskan bahwa lokasi usaha
,
umumnya berada pada sentra usaha industri. Dengan adanya sentra ini bagi pelaku usaha
memiliki kelebihan tersendiri, antara lain, lokasi yang strategis, kemudahan
akses dan sudah dikenal oleh masyarakat dan konsumen. Dengan adanya sentra
usaha ini konsumen tidak lagi harus mencari cari tetapi dapat langsung menuju sentra industri. Indikator terendah
teknologi usaha memiliki nilai rata rata terendah pada
dimensi ini (3,30) hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar usaha industri makanan khas tidak menggunakan teknologi dalam usahanya. Dari penelitian lapangan yang dilakukan sebagian besar pelaku usaha mesih menggunakan peralatan manual belum banyak yang menggunakan perkembangan teknologi yang ada. Dimensi sumber daya intelektual memiliki nilai rata rata tertendah adalah (3,49) dengan nilai rata rata terendah semua usaha mikro
indikator hak paten 2,39. Dapat dijelaskan bahwa
menyatakan tidak berkepentingan untuk
memiliki hak paten
52,54%, dan sebanyak 47,46% responden menyatakan cukup penting untuk emmiliki hak paten tetapi tidak memilikinya. Indikator rahasia perusahaan memperolah rata rata tertingggi (4,26). Hal ini berarti bahwa masing masing usaha memiliki rahasia baik tentang produk, proses atau ketrampilan , yang membuat perbedaan dengan produk sejenis. Tidak ada satu usahapun yang menyatakan tidak penting untuk memiliki rahasia perusahaan. Hal ini sesuai dengan kajian Suseno (2010) bahwa sebagian besar industri mikro tidak memiliki merek apalagi hak paten. Demikian juga kajian Kelliher & Reinl (2009) yang mengemukakan bahwa untuk usaha mikro industri memiliki likuiditas yang rendah dan sumber daya intelektual yang cenderung rendah bahkan tanpa pernah dipikirkan sama sekali.
Kapabilitas Distingtif
Variabel Kapabilitas Distingtif dengan jumlah item pernyataan 20-butir, diperoleh total skor sebesar 25137, maka rentang skor setiap kategori ditentukan sebagai berikut:
Rentang Skor Kategori
394x20x5
– 394x20x1 5
39400 7880 6304 5
Jadi panjang interval untuk setiap kategori adalah 25137 sehingga dari jumlah skor tanggapan responden atas 20 butir pernyataan mengenai Kapabilitas Distingtif diperoleh rentang skor kategori sebagai berikut.
25137 %
STBaik
7880
Tidak Baik
14184
Cukup Baik
20488
Baik
26792
Sangat Baik
33096
39400
Berdasarkan pada rentang skor kategori kapabilitas distingtif termasuk dalam rentang kategori cukup baik 25137 yaitu pada interval rentang kategori 26792) tetapi belum pada rentang skor kategori baik atau sangat baik.
(20488 -
Untuk jumlah skor tanggapan dari 20 pernyataan yang diajukan mengenai kapabilitas distingtif, maka dapat diketahui bahwa tanggapan responden terhadap instrumen sumber daya berdasarkan frekuensi, nilai skor dan rata
masing masing
dimensi dan indikator dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 6.3 Tanggapan Responden Tentang Kapabilitas Distingtif Kapabilitas Distingtif Instrumen
SB
B
CB
TB
STB
Skor
Ratarata
Proses Pengembangan = 3,23 Kapasitas produksi
33
199
160
2
0
1445
3,67
Riset pasar
2
45
244
102
1
1127
2,86
Rencana pengembangan
4
70
301
19
0
1241
3,15
Informasi Keuangan
= 2,8
Pembukuan
0
27
305
62
0
1147
2,91
Laporan keuangan Cadangan keuntungan
1
6
279
108
0
1082
2,75
8
10
259
109
8
1083
2,75
Stuktur Modal = 3,29 Lanjutan Tabel 4.5. Instrumen Perbandingan modal Frekuensi pinjaman
SB
B
CB
TB
STB
Skor
Ratarata
1
170
184
35
4
1311
3,33
3
237
143
11
0
1414
3,59
Kecukupan modal kerja Kemudahan memperoleh pinjaman
0
139
252
3
0
1318
3,35
0
50
252
92
0
1140
2,89
Administrasi Umum = 2,68 Pencatatan transaksi
0
43
272
79
0
1146
2,91
Kearsipan
0
3
245
146
0
1039
2,64
Peralatan pendukung
0
4
184
202
4
976
2,48
Manajeman Wirausaha = 3,58 Pengalaman pelaku usaha
90
175
129
0
0
1537
3,90
Koordinasi
4
145
192
53
0
1282
3,25
Kepemimpinan
5
218
170
1
0
1409
3,58
Teknologi Informasi = 3,45 Pemesanan via telpon
108
159
86
37
4
1512
3,84
Penjualan internet
74
87
98
128
17
1285
3,26
4
12
257
120
1
1080
2,74
3
63
322
4
2
1243
3,25
340
2052
4277
1187
24
340x5 = 1700
2052x4 = 8208
4277x3 1187x2 24x1 25137 = = 2374 = 24 12831
3,19
via
Cash register
Pembaharuan teknologi
Total
Sumber : Data Penelitian (diolah) 2012
Berdasarkan Tabel 6.3 di atas dapat dikemukakan bahwa
skor rata-rata
tertinggi terdapat pada indikator pengalaman pelaku usaha sebesar 3,90 yang dapat dijelaskan bahwa pelaku usaha memiliki pengalaman yang baik sebelum menekuni bisnis ini. Selanjutnya pemesanan dengan telepon memiliki skor yang
3,84 yang
menjelaskan bahwa sebagian besar pelaku usaha menerima pesanan dengan telepon. Untuk dimensi proses pengembangan, indikator riset pasar memiliki nilai rata terendah. Hal ini mengindikasikan bahwa hampir semua usaha tidak melakukan riset pasar. Dapat dikemukakan bahwa pelaku usaha relatif tidak dapat memenuhi tuntutan konsumen. Hal ini terlihat pada kurangnya modifikasi produk. Dimensi informasi keuangan, pembukuan memiliki kontribusi terbesar terhadap informasi keuangan sebagai dasar dibuatnya laporan keuangan. Sesuai dengan hasil penelitian sebagian besar pelaku usaha mikro
tidak melakukannya,
bahkan yang
sederhana sekalipun, sehingga tidak ada data tentang informasi keuangan . Hal ini sesuai dengan fenomena yang ada bahwa sebagian besar usaha mikro tidak memiliki data tentang kinerja karena tidak ada pencatatan transaksi bahkan yang sederhana sekalipun. Demikian juga kajian yang dilakukan oleh Zamberi
(2012) yang
mengemukakan bahwa usaha mikro cenderung tidak memiliki pembukuan sehingga untuk menentukan kinerja bisnis tidak dapat dilakukan secara akurat karena keterbatasan pelaku usaha mengenai pencataan keuangan. Modal bagi sebagian usaha mikro masih menjadi problem utama. Modal usaha bagi usaha mikro diperoleh dari modal sendiri atau dari keluarga, hanya sebagian kecil pelaku usaha yang memperoleh pinjaman. Indikator kemudahan memperoleh pinjaman
memiliki skor yang paling kecil (2,89) hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar pelaku usaha mikro
belum dapat memenuhi prosedur dan persyaratan dalam
memperolah pinjaman. Hal ini disebabkan oleh karena kesulitan
pelaku usaha
memenuhi prosedur pinjaman misalnya, membuat proposal atau laporan keuangan, karena sebagian besar usaha tidak memiliki informasi keuangan. Dimensi administrasi usaha , indikator terendah adalah peralatan pendukung (2,48) diikuti kearsipan (2,64) kemudian indikator pencatatan transaksi (2,91) . Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar pelaku usaha mikro tidak memiliki peralatan pendukung Pelaku usaha beralasan bahwa penggunaan peralatan pendukung yang modern akan menambah biaya yang dikeluarkan serta mengurangi keunikan produk. Demikian juga sebagian besar pelaku usaha tidak memiliki kearsipan maupun pencatatan transaksi usaha. Dimensi manajeman wirausaha, indikator pengalaman merupakan indikator yang memiliki rata rata tertinggi (3,90). Hal ini dapat dijelaskan bahwa sebagian besar pelaku usaha mikro mempertimbangkan pengalaman dalam memulai bisnisnya. Sedangkan kordinasi memiliki rata rata yang paling rendah pada dimensi ini (3,25), hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar pelaku belum melakukan koordinasi,
baik
untuk perencanaan, koordinasi antara pekerja dengan manajemen dan lainnya, hal ini disebabkan tidak adanya struktur organisasi dan pembagian pekerjaan Teknologi informasi yang digunakan sebagian besar usaha mikro adalah telepon . Sebagian besar pelaku usaha menerima pesanan lewat telepon. Penggunaan mesin (otomatisasi) misalnya memiliki rata rata
(2,74) , ini mengindikasikan bahwa pada
pelaku usaha sebagian besar tidak memiliki teknologi yang berkembang saat ini. Penjualan via internet memiliki rata rata terendah (2,74) , yang berarti sebagian usaha mikro tidak melakukan penjualan via internet. Berdasarkan hal yang dikemukakan di atas, nilai rata rata dimensi kapabilitas distingtif sebesar 3,19, merupakan skor terendah dari semua dimensi yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kapabilitas distingtif usaha mikro masih belum tinggi. Ini mengindikasikan bahwa, sesuai dengan fenomena yang ada bahwa keunikan produk belum dapat dijadikan sebagai kapabilitas distingtif. Sesuai dengan kajian Suseno (2010) bahwa sebagian besar industri mikro belum memiliki kapabilitas distingtif yang memadai, terutama untuk sumber daya intelektual bahkan masih banyak produk industri mikro yang belum memiliki merek apalagi hak paten. Demikian juga kajian Kelliher & Reinl (2009) yang mengemukakan bahwa untuk usaha mikro industri memiliki likuiditas yang rendah dan sumber daya intelektual yang cenderung rendah bahkan tanpa pernah dipikirkan sama sekali.
Keunggulan Bersaing Hasil data lapangan yang diperoleh dari 394-responden yang menunjukkan terhadap pernyataan-pernyataan pada variabel Keunggulan Bersaing dengan jumlah item pernyataan 13 butir, diperoleh total skor kategori sebesar 18241, maka rentang skor setiap kategori ditentukan sebagai berikut.
Rentang Skor Kategori
394x13x5
– 394x13x1 5
25610 5122 4098 5
Jadi panjang interval untuk setiap kategori adalah 4098 sehingga dari jumlah skor tanggapan responden atas 13 butir pernyataan mengenai Keunggulan Bersaing diperoleh rentang sebagai berikut:
18241 %
Sngt Tdk Baik Tidak Baik Cukup Baik
5122
9220
13317
Baik
17415
Sangat Baik
21512
25610
Berdasarkan pada rentang skor kategori keunggulan bersaing termasuk dalam rentang kategori baik 18241 yaitu pada interval rentang kategori (17415 -
21512)
tetapi belum pada rentang skor kategori baik. Untuk jumlah skor tanggapan dari 13 instrumen
yang diajukan mengenai
kapabilitas distingtif, maka dapat diketahui bahwa tanggapan responden terhadap instrumen keunggulan bersaing berdasarkan frekuensi, nilai skor dan rata masing dimensi dan indikator dapat dilihat pada tabel berikut ini:
masing
Tabel 6.4 Tanggapan Responden Tentang Keunggulan Bersaing Keunggulan Bersaing Instrumen
SB
B
CB
TB
STB
Skor
Ratarata
Keunggulan Produk = 3,47 Keunikan produk
74
175
93
34
18
1435
3,64
Kesesuaian produk
32
168
102
84
8
1320
3,35
Perbedaan produk
8
185
175
15
11
1346
3,42
Keunggulan Citra = 3,82 Nama baik
1
295
97
0
1
1477
3,75
Image produk
85
216
87
6
0
1562
3,96
Popularitas
6
284
103
1
0
1477
3,75
Keunggulan Pelayanan = 3,83 Membantu pelanggan
140
176
76
2
0
1636
4,15
Memberi informasi & saran
67
152
81
69
25
13499
3,42
Pelayanan yang cepat
85
181
76
30
22
1459
3,70
Problem solving &
96
230
62
6
0
1598
4,06
menjaga perdamaian Keungggulan Biaya = 3,15 Biaya produksi
12
119
161
57
43
1176
2,98
Harga Produk
28
32
259
73
2
1193
3,03
Kualitas produk
66
126
129
63
10
1357
3,44
699
2339
1501
440
140
(2339x4) (1471x3) (440x2) (140x1) 18241 = 9356 =4413 = 880 = 97
3,57
Total
(699x5) = 3495
Sumber : Hasil Penelitian diolah (2012)
Tabel 6.6 di atas menjelaskan bahwa rata rata skor untuk variabel keunggulan bersaing yang terdiri dimensi, yaitu: keunggulan produk, keunggulan citra, keunggulan pelayanan, dan keunggulan biaya. Total skor rata untuk keunggulan bersaing sebesar 3,57 masuk dalam kontinum kategori baik (3,4 – 4,2) masuk dalam kategori baik sekalipun belum sangat baik. Indikator keunikan produk memiliki nilai rata rata skor tertinggi pada dimensi keunggulan produk. Hal ini sesuai dengan kekhasan yang memiliki keunikan tersendiri yang menjadi pembeda dengan produk sejenis . Skor rata rata terendah untuk dimensi ini adalah perbedaan produk (3,42) . Hal ini terjadi karena masing masing produk memiliki keunggulan tersendiri baik karena popularitas maupun kekhasan yang dimilikinya.
Dimensi keunggulan citra , image produk memiliki skor tertinggi (3,96) pada dimensi ini. Dapat dijelaskan bahwa image produk makanan merupakan hal yang penting karena menyangkut dengan jenis dan kualitas bahan baku yang digunakan. Untuk nama baik dan popularitas memiliki nilai rata rata skor yang sama , yaitu 3,75. Ini mangindikasikan produk yang dihasilakan usaha mikro relative dikenal . Dimensi pelayanan, rata rata tertinggi (4,06). Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar pelaku usaha telah memiliki kesadaran untuk memberikan pelayanan yang baik untuk pelanggan. Hal ini
terlihat dari tingginya rata rata skor indikator
membantu pelanggan (4,15), memberikan pelayanan yang cepat
(3,70) dan
memberikan informasi dan saran (3,42). Dimensi keunggulan biaya, merupakan dimensi dengan nilai rata rat skor terendah (3,15) dibanding dengan nilai rata rata skor dimensi lainnya. Indikator biaya produksi adalah indikator dengan rata rata skor terendah (2,98) . Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar proses produksi efisien,
sehingga
usaha mikro yang belum
menyebabkan tingginya biaya produksi. Hal ini disebabkan oleh
lamanya pengerjaan produk karena masih belum menggunakan teknologi (masih manual) Indikator harga produk (3,03), mengindikasikan masih tingginya harga produk, dibanding dengan harga produk sejenis dari daerah lain. Hal ini sesuai dnegan tingginya biaya produksi sehingga pelaku usaha masih belum dapat menetapkan harga yang bersaing. Selain itu skala produksi juga menyebabkan tingginya harga, karena pada umumnya jumlah produksi usaha mikro masih dalam skala kecil.
Rata rata skor dimensi tertinggi untuk variabel
keunggulan bersaing adalah
dimensi keunggulan pelayanan 3,83 diikuti dimensi keunggulan citra 3,82. Dapat dijelaskan bahwa usaha mikro sudah menyadari pentingnya melayani konsumen dengan baikdan memiliki citra yang relatif baik. Skor terendah adalah indikator biaya produksi sebesar 2,98; hal ini menunjukkan bahwa usaha mikro belum efisien dalam proses produksi. Hal ini sesuai dengan fenomena yang ada bahwa tingginya biaya produksi. Demikian juga tentang harga, dapat dikatakan hampir tidak terdapat perbedaan harga produk. Dapat juga dijelaskan bahwa struktur pasar produk
usaha mikro dapat dikatakan sebagai struktur pasar
persaingan sempurna sehingga pelaku usaha bukanlah price taker tetapi harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran.
Kinerja Hasil data lapangan yang diperoleh dari 394 responden menunjukkan variabel Kinerja Bisnis. dengan jumlah item pernyataan 8 butir dan jumlah, diperoleh total skor sebesar 2521,6. Rentang skor setiap kategori ditentukan sebagai berikut.
Rentang Skor Kategori
394x8x5
– 394x8x1 5
15760 3152 2521,6 5
Skor kategori sebesar 11402, sehingga dari jumlah skor tanggapan responden atas 8 butir pernyataan mengenai Kinerja Bisnis diperoleh rentang sebagai berikut.
11402 %
Sngt Tdk Baik Tidak Baik
3152
Cukup Baik Baik
5673,6
8195,2
10716,8
Sangat Baik
13238,4
15760
Berdasarkan pada rentang skor kategori kinerja bisnis usaha mikro industri makanan khas termasuk dalam rentang kategori baik 11402 yaitu pada interval rentang kategori (10716,8 – 13238,4) tetapi belum pada rentang skor kategori sangat baik. Untuk jumlah skor tanggapan dari 8 pernyataan yang diajukan mengenai kinerja bisnis, maka dapat diketahui bahwa tanggapan responden terhadap instrumen kinerja bisnis berdasarkan frekuensi, nilai skor dan rata masing masing dimensi dan indikator dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 6.5 Tanggapan Responden Tentang Kinerja Bisnis Kinerja Bisnis Instrumen
B
CB
TB
STB
Skor
Ratarata
1
198
138
57
0
1325
3,36
0
182
138
74
0
1354
3,44
159
161
74
0
0
1661
4,22
SB
Kinerja Finansial = 3,67 Volume penjualan Perolehan laba Pengembalian barang
Kinerja Non Finansial = 3,62 Cakupan pasar di luar kabupaten Cakupan pasar di luar propinsi Kepuasan pelanggan Jumlah keluhan Perputaran pekerja Total
14
105
125
81
69
1096
2,78
5
104
106
169
10
1107
2,81
117
175
86
11
5
1570
3,98
180
148
65
1
0
1689
4,29
153
176
65
0
0
1664
4,22
629
1249
797
393
84
(629x5) = 3145
(1249x4) =4996
(797x3) =2391
11402
3,65
(393x2) (84x1) = 786 = 44
Sumber : Hasil Penelitian diolah (2012)
Melalui jumlah skor rata-rata untuk dimensi kinerja keuangan berada pada skor 3,67 dan kinerja non-keuangan sebesar 3,62. Skor rata rata tertinggi untuk kinerja bisnis adalah indikator jumlah keluhan yaitu sebesar 4,29. Hal ini menjelaskan bahwa
tingkat keluhan konsumen terhadap produk atau layanan relatif kecil. tingkat pengembalian barang yang diterima relatif kecil. Sesuai dengan yang telah dikemukakan di atas bahwa sebagian usaha mikro industri
makanan khas Aceh
menjual produk berdasarkan pesanan. Untuk menghindari risiko produk yang tidak laku pelaku usaha memproduksi sesuai dengan jumlah permintaan saja bahkan sering terjadi tidak ada persediaan, Salah satu indikator kinerja non finansial yang memiliki rata rata tertinggi adalah jumlah keluhan . Hal ini dapat dijelaskan bahwa rata rata usaha mikro industri makanan khas relatif jarang mendapatkan pengaduan/keluhan tantang produk maupun pelayanan. Skor terendah adalah cakupan pasar baik cakupan pasar di luar kabupaten maupun cakupan pasar di luar propinsi. Usaha yang melayani pasar di luar kabupaten hanya 30,2% selebihnya hanya memasarkan produknya dalam kabupaten. Untuk cakupan pasar di luar propinsi hanya 27,67% saja selebihnya hanya melayani pasar di dalam propinsi sendiri. Sesuai dengan fenomena yang ada bahwa jangkauan pasar untuk usaha mikro masih relatif di dalam propinsi Aceh saja atau hanya pada kebupaten/kota. Kajian yang dilakukan oleh Hitt & Ireland (2008) juga menyatakan bahwa pada dasarnya usaha mikro ditandai dengan pangsa pasar yang kecil, demikian juga Bolton Comitte (1971) dan kajian Zamberi (2012) usaha mikro memiliki pangsa pasar yang kecil. Untuk melihat perbandingan antara lamda (λ) dan skor untuk masing-masing variabel penelitian yaitu; orientasi kewirausahaan, sumber daya, kapabilitas distingtif, keunggulan bersaing dan kinerja usaha mikro. Justifikasi perbandingan ini akan
menjelaskan dimensi yang paling berperan pada masing-masing variabel dibandingkan dengan nilai rata-rata skor yang diperoleh. Untuk menjelaskan kontribusi masing masing dimensi terhadap pembentukan variabel dapat dilihat pada
lamda masing masing dimensi. Besarnya lamda akan
menggambarkan besarnya kontribusi dimensi terhadap variabel.
Besarnya lamda
masing masing dimensi terhadap pembentukan variabel dibandingkan dengan nilai rata rata masing masing dimensi dan variabel dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.6. Perbandingan Lamda (λ) dengan Skor rata pernyataan responden No I (OW)
Dimensi
Variabel
Lamda (λ)
Bersaing dengan agresif
X11
0,7362
3,60
Proaktif
X12
0,7918
3,54
Inovasi
X13
0,8369** 3,48*
Pengambilan Risiko
X14
0,6873
Rerata (Mean of Mean) II (SD)
3,87 3,62
Sumber Daya Keuangan
X21
0,6967
Sumber Daya Manusia
X22
0,7722** 3,96
Sumber Daya Organisasi
X23
0,7566
3,91
Sumber Daya Fisik
X24
0.7571
3,79
Sumber Daya Intelektual
X25
0,6879
3,49*
Rerata (Mean of Mean) III (KD)
Skor
Proses Pengembangan
3,58
3,75 Y11
0,7247
3,23
Informasi Keuangan
Y12
0,6775
Struktur Modal
Y13
0,8056** 3,29
Administrasi Umum
Y14
0,7134
2,68*
Manajemen Wirausaha
Y15
0,7208
3,58
Teknologi Informasi
Y16
0,7665
3,45
Rerata (Mean of Mean) IV (KB)
3,19
Keunggulan Produk
Y21
0,6989
3,47
Keunggulan Citra
Y22
0,6900
3,82
Keunggulan Pelayanan
Y23
0,8406** 3,83
Keunggulan Biaya
Y24
0,7142
Rerata (Mean of Mean) V (KIN)
2,80
3,15* 3,57
Kinerja Finansial
Z11
0,7883
Kinerja Non Finansial
Z12
0,8807** 3,62*
Rerata (Mean of Mean)
3,67
3,9430
Sumber: Hasil penelitian (diolah) Keterangan : OW (Orientasi kewirausahaan) SD = Sumber Daya KD = kapabilitas Distingtif KB = Keunggulan Bersaing KIN= Kinerja *) nilai terendah **)nilai tertinggi
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui Nilai lamda tertinggi Variabel Orientasi kewirausahaan direfleksikan dengan inovasi yang memiliki Lamda (λ) tertinggi sebesar 0,8369 dan proaktif (0,7918) artinya dimensi inovasi dan dimensi proaktif sebagai dimensi yang terbesar merefleksikan variabel Orientasi kewirausahaan (OW). Orientasi kewirausahaan pelaku usaha mikro terbentuk karena pelaku usaha memiliki kreatifitas
dan inovasi sehingga dapat membuat produk yang dapat dipasarkan. Demikian juga proaktif dapat dijelaskan bahwa pelaku usaha memiliki inisiatif bagaimana memperluas jangkauan pasar . Skor nilai rata rata pada orientasi kewirausahaan sebesar (3,62 < 4) termasuk dalam kategori belum tinggi. Indiaktor tertinggi adalah dimensi pengambilan risiko yaitu sebesar 3,87 masih dalam kategori tidak tinggi (3,87 < 4), sedangkan inovasi memiliki skor terendah (3,48< 4,20). Hal ini mengindikasikan bahwa pelaku usaha mikro sebagian
besar
belum
memiliki
orientasi
kewirausahaan
tinggi.
Indikator
menyediakan sampel, untuk dipajang memiliki nilai yang kontribusi tertinggi terhadap proaktif , artinya jika pelaku usaha mikro sudah proaktif. Sumber daya (SD) terlihat bahwa yang memiliki lamda (λ) terbesar adalah dimensi sumber daya manusia, hal ini berarti bahwa pada variabel sumber daya, merupakan dimensi terbesar yang merefleksikan variabel ini, sedangkan dimensi terendah direfleksikan adalah sumber daya fisik.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa
sumber daya manusia merupakan sumber daya utama yang membentuk dimensi sumber daya atau dapat dikatakan sumber daya manusia pembentuk utama bagi variabel sumber daya. Skor rata rata variabel sumber daya (3,75 < 4) masih dikategorikan belum kuat artinya sebagian besar pelaku usaha mikro industri belum memiliki sumber daya yang kuat. Hal ini berarti pelaku usaha mikro belum memiliki sumber daya phisik yang memadai terutama dalam hal peralatan maupun teknologi yang digunakan. Lamda (λ) terbesar pada variabel kapabilitas distingtif adalah struktur modal (λ = 0,8056), ini mengindikasikan bahwa struktur modal merupakan rerfleksi terbesar pada
variabel kapabilitas distingtif. Struktur modal dalam hal ini adalah perbandingan antara modal sendiri dan modal pinjaman, jumlah modal kerja, maupun pinjaman dengan bunga rendah sebagai pembentuk terbesar struktur modal. Nilai skor kapabilitas distingtif usaha risikro sebesar (3,19 < 4), hal ini mengindikasikan bahwa kapabilitas distingtif masih belum baik. Nilai skor terendah pada variabel ini adalah administrasi umum (2,68) dan struktur modal (2,80), hal ini mengindikasikan bahwa pelaku usaha mikro belum memiliki administrasi yang memadai baik pada administrasi transaksi, kerasipan dokumen bisnis maupun peralatan pendukung usaha (komputer, telepon atau faksimili). Selanjutnya diikuti dengan struktur modal, yang mengindikasikan sebagian besar usaha mikro industri
makanan khas
belum memiliki modal yang memadai. Keunggulan Bersaing, dimensi keunggulan pelayanan memiliki lamda (λ) terbesar hal ini berarti bahwa pada dimensi keunggulan pelayanan merupakan dimensi terbesar yang merefleksikan variabel ini, sedangkan dimensi terendah direfleksikan adalah keunggulan citra. Skor rata-rata variabel keunggulan bersaing (3,57< 4) masih dikategorikan belum unggul, artinya sebagian besar pelaku usaha mikro
belum memiliki keunggulan
bersaing yang unggul. Hal ini berarti pelaku usaha mikro belum unggul terutama dari keunggulan biaya dengan nilai skor terendah yaitu 3,15, diikuti dengan keunggulan produk 3,47. Kinerja Bisnis, Lamda (λ) terbesar pada dimensi kinerja non-finansial, hal ini mengindikasikan
bahwa
merefleksikan variabel ini.
kinerja
non-keuangan
sebagai
dimensi
yang
paling
Skor rata rata variabel kinerja bisnis (3,65< 4) masih dikategorikan belum tinggi, artinya sebagian besar pelaku usaha mikro
belum memiliki kinerja yang tinggi. Skor
terendah pada dimensi ini adalah dimensi non
finansial sebesar 3,62 sedangakn
kinerja non finansial 3,67; mengindikasikan bahwa sebagian besar pelaku usaha mikro belum memiliki kinerja bisnis yang belum tinggi. Uji Hipotesis Deskriptif Rumusan uji hipotesis yang dikemukakan sebelumnya adalah sebagai berikut: Ho : i < 4
H1 : i ≥ 4
Orientasi
kewirausahaan,
Sumber
Daya
,Kapabilitas
Keunggulan Bersaing dan Kinerja Bisnis belum
baik/ tinggi.
Orientasi
Kapabilitas
kewirausahaan,
Sumber
Daya,
Keunggulan Bersaing dan Kinerja Bisnis usaha mikro
Distingtif,
Distingtif,
sudah baik/tinggi.
Untuk menentukan apakah akan menolak atau menerima uji
hipotesis yang
diajukan (H1) maka dilakukan uji hipotesis, yaitu dengan membandingkan nilai t tabel dan nilai thitung pada masing masing variabel. Jika nilai thitung > ttabel maka akan menerima H1, sebaliknya jika thitung < ttabel akan menerima H0. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan diperoleh nilai rata-rata, nilai standar deviasi dan nilai thitung pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.7. Nilai Rata-rata, Standar Deviasi dan thitung Masing-masing Variabel Variabel
Rata-rata
Standar deviasi
thitung
Keterangan
Orientasi 3,62 kewirausahaan
0,7290
16,3487
Tidak Menolak Ho
3,75
0,7110
12,5663
Tidak Menolak Ho
Kapabilitas Distingtif
3,19
0,8043
24,9383
Tidak Menolak Ho
Keunggulan Bersaing
3,57
0,7769
16,1002
Tidak Menolak Ho
3,65
0,7742
14,1026
Tidak Menolak Ho
Sumber Daya
Kinerja Bisnis
Sumber: Hasil perhitungan statistik deskriptif (2012) ttabel = 1,645 Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, dijelaskan bahwa nilai thitung untuk variabel orientasi wirusaha, sumber daya, kapabilitas distingtif, keunggulan bersaing dan kinerja, memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai ttabel (1,645) sehingga dapat dijelaskan menolak H1 dan tidak menolak H0, sehingga dapat dijelaskan bahwa, untuk usaha mikro belum memiliki : -
Sikap Orientasi Kewirausahaan yang tinggi
-
Pengelolaan dan akses terhadap Sumber Daya yang kuat.
-
Kapabilitas Distingtif yang baik/memadai.
-
Kemampuan Keunggulan Bersaing yang unggul
-
Kinerja Bisnis yang tinggi
Dari hasil uji hipotesis di atas menjelaskan bahwa sesuai dengan fenomena yang ada pada usaha mikro yang belum memiliki kinerja optimal. Hal ini dapat dilihat pada kemampulabaan, jangkauan pasar dan tidak ada pertumbuhan yang berarti. Sesuai dengan kajian Suseno (2010) yang menemukan bahwa usaha mikro belum bisa memperluas jangkauan pasar disebabkan produknya yang dihasilkan masih dalam skala kecil. Sumber daya juga masih belum kuat, hal ini sesuai dengan fenomena yang ada bahwa usaha mikro belum dapat mengelola samber daya yang dimiliki dengan optimal dan terbatasnya akses sumber daya terutama sumber daya keuangan. Demikian juga indikator kerjasama atau menjadi anggota asosiasi, hal ini mengindikasikan bahwa pelaku usaha mikro tidak antusias menjalin hubungan relasional dengan usaha sejenis, sehingga tidak memiliki kekuatan tawar (bargaining power). Sesuai dengan kajian Zamberi (2012) yang menyatakan bahwa usaha mikro mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan kerjasama yang disebut sebagai lack in business contact. Kapabilitas distingtif usaha belum baik, dari 6 dimensi yang ada skor terendah adalah administrasi umum dan informasi keuangan. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha mikro (Bolton Comitte, 1971) yang menyebutkan bahwa dalam usaha mikro belum memiliki struktur organisasi, belum ada pembagian pekerjaan dan tidak ada rencana ekspansi. Demikian juga Hill (2003), yang menyebutkan pada usaha mikro kecil ditandai dengan pangsa pasar yang kecil, belum ada manajeman dan pengelolaan usaha yang memadai.
Keungulan bersaing juga belum optimal ditandai dengan produk yang dihasilkan belum dapat bersaing dengan produk sejenis dari luar daerah. Usaha mikro memiliki keunggulan. Hal ini sesuai dengan kajian Kuncoro (2010) yang menyebutkan pelaku usaha mikro masih berorientasi pada proses dan memiliki pola pikir yang lebih kepada efisiensi daripada penciptaan nilai. Untuk mencapai keunggulan bersaing yang superior dibutuhkan penciptaan nilai, yaitu dapat memberikan nilai lebih kepada konsumen daripada nilai moneter, sebagaimana dikemukakan (Porter,2011) dengan konsep best cost provider yang menyebutkan bahwa: ―giving customer more value for money ‖. Uji Verifikatif Untuk melakukan uji verifikatif agar data tersebut dapat diolah menggunakan structural equation modeling SEM). Penggunaan SEM didasarkan justifikasi bahwa SEM
merupakan suatu model yang fleksibel, sekaligus dapat digunakan untuk
mengevaluasi kualitas pengukuran (reliabilitas dan validitas) dan dapat melakukan hubungan prediksi antar konstruk. Sesuai dengan persyaratan SEM untuk data dengan skor jawaban responden masih berbentuk skala ordinal maka terlebih dahulu data ordinal dikonversi menjadi skala interval melalui MSI (Method of Succesive Interval). Dalam structural equation modeling ada dua jenis model yang terbentuk, yaitu model pengukuran dan model struktural. Model pengukuran menjelaskan proporsi variance masing-masing variabel manifes (indikator) yang dapat dijelaskan di dalam variabel laten. Melalui model pengukuran akan diketahui indikator mana yang lebih dominan dalam merefleksikan variabel laten.
Setelah model pengukuran masing-masing variabel laten diuraikan selanjutnya akan dijabarkan model struktural yang akan mengkaji pengaruh masing-masing variabel laten independen (exogenous latent variable) terhadap variabel laten dependen (endogenous latent variable).
Sebelum melakukan uji verifikatif terlebih dahulu
dilakukan uji normallitas data, uji kecocokan model,sesuai dengan persyaratan pada SEM. Hasil Uji Normalitas Data Penggunaan metode estimasi maximum likelihood dalam structural equation modeling mengharuskan data berdistribusi normal multivariat. Untuk itu sebelum dilakukan pengolahan data, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji Chi-square (sesuai dengan aplikasi yang terdapat pada program LISREL 8.7) dan Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.8 Hasil Uji Normalitas Multivariat Test of Multivariate Normality for Continuous Variables
Skewness
Value Z-Score P-Value
Kurtosis
Skewness and Kurtosis
Value Z-Score P-Value
------ ------- ------- ------- ------- ------31.985
5,233 0.000
499.596
Chi-Square P-Value
---------- -------
5,171
0.000
54,122
0.000
Pada uji normalitas multivariat, diperoleh nilai chi-square sebesar 54,122 dengan p-value sebesar 0,000, oleh karena p-value lebih kecil dari 0,05 dapat disimpulkan bahwa data variabel manifes (indikator) tidak berdistribusi normal multivariat. Berdasarkan output Multivariate Normality tersebut di atas, model secara keseluruHAn menunjukkan tidak terpenuhinya asumsi normalitas, dimana p-value Skewness and Kurtosis sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05. Namun LISREL memiliki beberapa solusi yang dapat dilakukan ketika asumsi normalitas tidak terpenuhi, salah satu diantaranya adalah dengan cara menambahkan estimasi asymptotic covariance matrix. Seperti yang dikemukakan Raykov and Marcoulides (2006:30) Karena Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi normal multivariat, maka bila data tidak berdistribusi normal, metode estimasi yang digunakan adalah Satorra-Bentler robust maximum likelihood.
Hasil Uji Kecocokan Model Uji kecocokan model (goodness of fit) dilakukan untuk mengetahui apakah model yang diperoleh telah tepat dalam menggambarkan hubungan antar variabel yang sedang diteliti sehingga dapat dikategorikan kedalam model yang baik. Uji kecocokan model dalam structural equation modelling dapat dilihat berdasarkan beberapa kriteria pengujian kecocokan model seperti disajikan pada tabel berikut:
Tabel 5.9 Hasil Uji Kecocokan Model Ukuran Goodness of Fit
Nilai Hasil Estimasi
Kriteria
Keterangan
RMSEA
0,038*
<0,08
Fit
GFI
0,955*
>0.90
Fit
AGFI
0,937*
>0.90
Fit
RMR
0,034*
<0.08
Fit
SRMR
0,033*
>0.90
Fit
NFI
0,979*
>0.90
Fit
CFI
0,992*
<0.90
Fit
IFI
0,992*
<0.90
Fit
RFI
0,974*
<0.90
Fit
Sumber : Data Penelitian diolah (2012) Berikut penjelasan dari masing-masing uji kecocokan model tersebut: RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation), ukuran lainya yang masih memiliki hubungan dengan uji
2
adalah Root Mean Square Error of Approximation.
Berapa nilai RMSEA yang baik masih diperdebatkan, namu menurut HAir et al, (2006;748) bila nilai RMSEA dibawah 0,08 model masih bisa diterima. Dilihat dari nilai GFI (Goodness of Fit Index) untuk model yang diteliti sebesar 0,955 menunjukkan model yang diperoleh sudah memenuhi
kriteria, di
mana menurut Hair et al, (2006;747) nilai GFI lebih besar dari 0,90 menunjukkan model yang baik. Root Mean Square Residual (RMR) pada model yang diteliti sebesar 0,033, demikian juga nilai standarisasinya (SRMR) sebesar 0,033. Menurut Hair et al, (2006;753) nilai Standardized Root Mean Square Residual (SRMR) kurang dari 0,08 memenuhi kriteria model yang baik. Hasil ukuran kesesuaian absolut menunjukkan model yang diperoleh memenuhi kriteria goodness of fit pada ukuran RMSEA (0,031 < 0,08), GFI (0,944 > 0,90) dan SRMR (0,038 < 0,080) sehingga dapat disimpulkan bahwa model Hasil estimasi dapat diterima, artinya model empiris yang diperoleh masih sesuai dengan model teoritis.
Model Pengukuran Model pengukuran merupakan model yang menghubungkan antara variabel laten dengan variabel manifes. Pada penelitian ini terdapat 5 variabel laten dengan jumlah variabel manifes sebanyak 21. Variabel laten orientasi kewirausahaan terdiri dari 4 variabel manifes, sumber daya terdiri dari 5 variabel manifes, kapabilitas distingtif terdiri dari 6 variabel manifes, keunggulan bersaing terdiri dari 4 variabel laten dan kinerja bisnis terdiri dari 2 variabel manifes. Pada uji kecocokan model (goodness of fit) menyimpulkan bahwa model dapat diterima, artinya model yang diperoleh dapat digunakan untuk menguji hipotesis penelitian yang telah diajukan. Menggunakan metode estimasi robust maximum likelihood diperoleh diagram jalur full model pengaruh orientasi kewirausahaan dan
sumber daya terhadap kinerja bisnis melalui kapabilitas distingtif dan kapasitas bersaing seperti terlihat pada Gambar 6.1 berikut:
0.4747 0.5410 0.3510 0.4911 0.4804 0.4124 Y1.1
0.4580
X1.1
0.3730
X1.2
0.2997
X1.3
0.5276
X1.4
0.7362 0.7918 0.8369 0.6873
Y1.2
Y1.3
Y1.5
Y1.4
Y1.6
1
0.4885
OW
KD 0.2671 Y3.1
0.3786
Y3.2
0.2244
0.7883 0.4705
KIN
0.4686
0.5146
X2.1
0.4036
X2.2
0.4275
X2.3
0.4268
X2.4
0.5268
X2.5
0.3455 0.6967 0.7722 0.7566 0.7571 0.6879
0.3359
KB
SD
0.8807
3 0.4385 2
Y2.1
Y2.2
Y2.3
Y2.4
0.5115
0.5239
0.2933
0.4899
Gambar 6.1 Koefisien Standarisasi Permodelan Persamaan Struktural Keterangan: OW (orientasi Kewirausahaan, SD (sumber daya) KD (Kapabilitas Distingtif) KB (Keunggulan Bersaing) KIN (Kinerja Bisnis)
Melalui bobot faktor yang terdapat pada Gambar 4.1 dapat dilihat pada variabel laten Orientasi kewirausahaan (OW), indikator X1.3 (inovasi) paling kuat dalam merefleksikan variabel laten orientasi kewirausahaan, kemudian disusul indikator X 1.2
(proaktif). Sebaliknya indikator X1.4 (pengambilan risiko) paling lemah dalam merefleksikan variabel laten orientasi kewirausahaan. Selanjutnya pada variabel laten sumber daya (SD), indikator X2.2 (sumber daya manusia) paling kuat dalam merefleksikan variabel laten sumber daya, kemudian disusul indikator X2.4 (sumber daya fisik). Sebaliknya indikator X2.5 (sumber daya intelektual) paling lemah dalam merefleksikan variabel laten sumber daya. Pada variabel laten Kapasitas Distingtif (KD), indikator Y1.3 (struktur modal) dan Y1.6 (teknologi informasi) paling kuat dalam merefleksikan variabel laten kapasitas distingtif. Sebaliknya indikator Y1.2 (informasi keuangan) merupakan yang paling lemah dalam merefleksikan variabel laten kapasitas distingtif. Kemudian pada variabel laten Keunggulan Bersaing (KB), indikator Y2.3 (keunggulan pelayanan) dan Y2.4 (keunggulan biaya) paling kuat dalam merefleksikan variabel laten keunggulan bersaing, sebaliknya indikator Y2.1 (keunggulan produk) paling lemah dalam merefleksikan variabel laten keunggulan bersaing. Variabel laten kinerja bisnis (KIN), indikator Y3.2 (kinerja non finansial) lebih kuat dalam merefleksikan variabel laten kinerja bisnis dibanding indikator Y3.1 (kinerja finansial). Selanjutnya dilakukan pengujian derajat kesesuaian indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur orientasi kewirausahaan, sumber daya, kapasitas distingtif, keunggulan bersaing, dan kinerja bisnis melalui pendekatan construct reliability dan variance extracted. Construct reliability digunakan untuk melihat realibilitas konstruk masing masing dimensi terhadap variabel yang dibentuk. Berdasarkan rule of thumb contruct
yang ada realibility harus lebih besar dari 0,7 (Hair, 2006). Sedangkan
variance extracted digunakan untuk melihat sejauhmana masing-masing variabel dapat dijelaskan oleh dimensi yang ada. Hasil pengujian untuk masing-masing indikator variabel laten diuraikan pada tabel berikut:
Tabel 6.10 Construct Reliability dan Variance Extracted Masing-masing Variabel Laten Bobot Faktor Variabel Manifes OW X1.1
0.7362
X1.2
0.7918
X1.3
0.8369
X1.4
0.6873
SD
X2.1
0.6967
X2.2
0.7722
X2.3
0.7566
X2.4
0.7571
X2.5
0.6879
KD
Y1.1
0.7247
Y1.2
0.6775
Y1.3
0.8056
Y1.4
0.7134
Y1.5
0.7208
KB
KIN
Bobot Faktor Variabel Manifes OW Y1.6
SD
KD
KB
KIN
0.7665
Y2.1
0.6989
Y2.2
0.6900
Y2.3
0.8406
Y2.4
0.7142
Y3.1
0.7883
Y3.2
0.8807
3.0522 3.6705 4.4085 2.9437 1.6690
2
2.3417 2.7005 3.2492 2.1813 1.3970
1.6583 2.2995 2.7508 1.8187 0.6030
Construct Reliability 0.8489 0.8542 0.8760 0.8265 0.8221 Variance Extracted
0.5854 0.5401 0.5415 0.5453 0.6985
Variabel Orientasi kewirausahaan (OW), nilai variance extracted sebesar 0,5854 menunjukkan bahwa 58,54% informasi yang terdapat pada variabel manifes (keempat indikator) dapat tercermin melalui variabel laten orientasi kewirausahaan. Kemudian nilai construct reliability dari keempat indikator variabel laten orientasi kewirausahaan (0,8489) masih lebih besar dari yang di rekomendasikan yaitu 0,70. Variabel laten Sumber Daya (SD), nilai variance extracted sebesar 0,5401 menunjukkan bahwa 54,01% informasi yang terkandung pada variabel manifes (keenam indikator) dapat tercermin melalui variabel laten sumber daya. Kemudian nilai
construct reliability dari keenam indikator variabel laten sumber daya (0,8542) masih lebih besar dari yang di rekomendasikan yaitu 0,70. Selanjutnya pada variabel laten Kapasitas Distingtif (KD), nilai variance extracted sebesar 0,5415 menunjukkan bahwa 54,15% informasi yang terkandung pada variabel manifes (keenam indikator) dapat tercermin melalui variabel laten kapasitas distingtif. Kemudian nilai construct reliability dari keenam indikator variabel laten kapasitas distingtif (0,8760) masih lebih besar dari yang di rekomendasikan yaitu 0,70. Variabel laten Keunggulan Bersaing (KB), nilai variance extracted sebesar 0,5453 menunjukkan bahwa 54,53% informasi yang terkandung pada variabel manifes (keempat indikator) dapat tercermin melalui variabel laten keunggulan bersaing. Kemudian nilai construct reliability dari keempat indikator variabel laten keunggulan bersaing (0,8265) masih lebih besar dari yang di rekomendasikan yaitu 0,70. Terakhir pada variabel laten kinerja bisnis (KIN), nilai variance extracted sebesar 0,6985 menunjukkan bahwa 69,85% informasi yang terkandung pada variabel manifes (kedua indikator) dapat tercermin melalui variabel laten kinerja bisnis. Kemudian nilai construct reliability dari kedua indikator variabel laten kinerja bisnis (0,8221) masih lebih besar dari yang di rekomendasikan yaitu 0,70.
Model Struktural Model struktural adalah model yang menghubungkan variabel laten exogenous dengan variabel laten endogenous atau hubungan variabel endogenous dengan variabel endogenous lainnya.
Verifikasi pengujian tentang Pengaruh Orientasi kewirausahaan dan Sumber Daya Terhadap Kapasitas Distingtif Pada bagian ini akan dilakukan uji verifikasi terhadap apakah terdapat pengaruh orientasi kewirausahaan dan sumber daya terhadap kapasitas distingtif. Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan software LISREL diperoleh koefisien jalur seperti pada Gambar 4.52dibawah ini:
0.4580
X1.1
0.3730
X1.2
0.2997
X1.3 X1.4
1
OW
0.5146
X2.1
0.4036
X2.2
0.4275
X2.3
0.4268
X2.4
0.5268
X2.5
0.6967 0.7722 0.7566 0.7571 0.6879
Y1.1
0.4747
0.7247
Y1.2
0.5410
0.6775 0.8056 0.7134
Y1.3
0.3510
0.4885
0.4686
0.5276
0.7362 0.7918 0.8369 0.6873
KD
0.7208 0.7665
Y1.4
0.4911
Y1.5
0.4804
Y1.6
0.4124
SD
Gambar 4.5 Diagram Jalur Pengujian Hipotesis 2 Dari gambar diatas dapat dikemukakan persamaan struktural orientasi kewirausahaan, sumber daya dan kapabilitas distingtif, demikian juga nilai t hitung pada masing-masing jalur. Tabel di bawah ini adalah persamaan struktural dimaksud:
Tabel 4.11 Persamaan Struktural Pengaruh Orientasi kewirausahaan dan Sumber Daya Terhadap Kapasitas Distingtif Endegenous Constructs KD
Exogenous Constructs OW SD 0,4266 0,4078 (8,0814)
R-Square 0,5115
(7,6745)
Keterangan: Angka dalam kurung adalah nilai statistik uji-t.
Untuk menghitung besarnya pengaruh ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pengaruh langsung dari OW ke KD (0,4266)²(100%)
Pengaruh tidak langsung dari OW ke KD melalui SD (0,4266)(0,4686)(0,4078)(100%)
= 18,21%
= 8,15% Pengaruh langsung SD
ke KD (0,4978)²(100%)
= 16,64% Pengaruh tidak
langsung SD ke KD melalui OW (0,4708)(0,4686)(0,4266)(100%) Total pengaruh OW dan SD ke KIN
= 8,15% = 51,15%
Secara bersama-sama kedua variabel independen (orientasi kewirausahaan dan sumber daya) memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 51,15% terhadap kapasitas distingtif pada usaha mikro. Sedangkan sisanya sebesar 48,85% dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain dil uar kedua variabel independen yang diteliti. Dapat disimpulkan bahwa
kapabilitas
distingtif
dapat
dibentuk
dengan
adanya
sikap
orientasi
kewirausahaan dan akses dan pengelolaan sumber daya yang dimiliki.
Setelah koefisien jalur dihitung, selanjutnya untuk membuktikan pengaruh orientasi kewirausahaan dan sumber daya signifikan baik secara simultan maupun secara parsial terhadap kapasitas distingtif, maka dilakukan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis dimulai dari pengujian secara simultan dan dilanjutkan dengan pengujian secara parsial. Pengujian secara simultan untuk melihat pengaruh orientasi kewirausahaan dan sumber daya secara bersama-sama terhadap kapasitas distingtif. Rumusan hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut :
Hipotesis: H0 Semua 1.i = 0 i = 1,2
Orientasi kewirausahaan dan sumber daya secara bersama-sama tidak berpengaruh
terhadap
kapasitas
distingtif. Hı : Ada 1.i 0 i = 1,2
Orientasi kewirausahaan dan sumber daya
secara
berpengaruh
bersama-sama
terhadap
kapasitas
distingtif
Pengujian hipotesis tersebut dilakukan melalui statistik uji F dengan ketentuan tolak Ho jika Fhitung lebih besar dari Ftabel, atau sebaliknya tidak menolak Ho jika Fhitung
lebih kecil atau sama dengan Ftabel. Melalui nilai koefisien determinasi (nilai R2) dapat dihitung nilai Fhitung dengan rumus sebagai berikut:
Fhitung =
(n-k-1)R 2Y1 (X1X2 ) k(1-R 2Y1 (X1X2 ) )
(394-2-1)×0,5115 2×(1-0,5115) = 204,705
Fhitung =
Dari tabel F untuk tingkat signifikansi 0,05 dan derajat bebas (2;391) diperoleh nilai Ftabel sebesar 3,019. Karena dari Hasil penelitian diperoleh nilai F hitung (204,705) dan lebih besar dibanding Ftabel (3,019), maka pada tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak H0 sehingga H1 diterima. Berdasarkan hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95% disimpulkan bahwa orientasi kewirausahaan dan sumber daya secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap kapasitas distingtif pada usaha mikro. Hal ini sesuai dengan Hill & Jones (2009), Irava & Mores (2010) yang mengemukakan bahwa ada hubungan antara orientasi
kewirausahaan
dan
sumber
daya.
Demikian
juga
antara
orientasi
kewirausahaan dengan kapabilitas distingtif Lumpkin & Dess (1996), Covin & Slevin (1989). Untuk dimensi orientasi kewirausahaan prioritas pertama adalah inovasi yang memiliki loading factor terbesar kemudian diikuti oleh proaktif dibandingkan dengan lainnya. Indikator utama yang harus dibenahi adalah pengembangan produk
serta
pada modifikasi dan
bencmarking. Hal ini dapat dijelaskan bahwa untuk
melakukan modifikasi dan pengembangan produk, pelaku usaha harus melakukan bencmarking dengan produk sejenis. Selain itu pelaku usaha harus bersikap proaktif
mencari pasar atau memperluas jangkauan pasar, seperti menyediakan sampel makanan dan mengantarkan pesanan . Untuk dimensi sumber daya prioritas pertama adalah stuktur modal yang memiliki loading factor terbesar kemudian diikuti oleh sumber daya intelaktual dibandingkan dengan lainnya. Indikator utama yang harus dibenahi adalah
pada
likuiditas dan merek serta hak paten pada sumber daya intelektual. Hal ini menjelaskan bahwa
sebagian
ketidakmampuannya
besar
pelaku
akses
usaha
terhadap
masih
kekurangan
permodalan.
Dapat
modal,
karena
dijelaskan
bahwa
ketidakmampuan pelaku usaha mendapatkan modal dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang proses dan prosedur untuk mendapatkan kredit. Bila kedua variabel tersebut ditingkatkan kinerjanya , maka akan meningkatkan kapabilitas distingtif yang dimiliki, karena adanya pengaruh yang positif dan signifikan antara orientasi kewirausahaan dan sumber daya terhadap kapabilitas distingtif. Setelah terbukti memiliki pengaruh simultan, selanjutkan dilakukan pengujian parsial untuk menguji apakah terdapat pengaruh variabel orientasi kewirausahaan terhadap kapabilitas distingtif. Rumusan hipotesis adalah sebagai berikut: Hipotesis: H0 : 1.1 = 0
Orientasi
kewirausahaan
secara
parsial
tidak
berpengaruh terhadap kapasitas distingtif. Hı : 1.1 ≠ 0
Orientasi kewirausahaan secara parsial berpengaruh terhadap kapasitas distingtif
Tabel 6.12 Hasil Pengujian Pengaruh Orientasi kewirausahaan Terhadap Kapasitas Distingtif thitung tkritis H0 H1
Koefisien Jalur 0,4266
Berdasarkan
7,232
hasil
pengujian
1,96
dapat
dilihat
ditolak
nilai
Diterima
thitung variabel orientasi
kewirausahaan (7,232) lebih besar dari tkritis (1,96). Karena nilai thitung lebih besar dibanding tkritis, maka pada tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak H 0 sehingga H1 diterima. Jadi berdasarkan hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95% disimpulkan bahwa orientasi kewirausahaan secara parsial berpengaruh terhadap kapasitas distingtif. Secara total orientasi kewirausahaan memberikan pengaruh sebesar (0,4266)² yaitu 18,49% terhadap kapasitas distingtif pada usaha mikro di Aceh. Hal ini sesuai dengan Drucker (1985) yang menyatakan terdapat hubungan antara orientasi kewirausahaan dengan kapabilitas distingtif, demikian juga hasil penelitian Awang, et al. (2010). Pengujian secara parsial untuk menguji apakah terdapat pengaruh variabel sumber daya terhadap kapabilitas distingtif dengan rumusan hipotesis seperti berikut.
Hipotesis: H0 : 1.2 = 0
Sumber daya secara parsial tidak berpengaruh terhadap kapasitas distingtif.
Hı: 1.2 ≠ 0
Sumber daya secara parsial berpengaruh terhadap kapasitas distingtif.
Tabel 6.13 Hasil Pengujian Pengaruh Sumber Daya Terhadap Kapasitas Distingtif Koefisien thitung tkritis Ho Hı Jalur 0,4078
6,306
1,96
ditolak
Diterima
Berdasarkan Hasil pengujian dapat dilihat nilai thitung variabel sumber daya (6,306) lebih besar dari tkritis (1,96). Karena nilai thitung lebih besar dibanding tkritis, maka dengan tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak H0 sehingga H1 diterima. Hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95% disimpulkan bahwa sumber daya secara parsial berpengaruh terhadap kapasitas distingtif. Secara total sumber daya memberikan pengaruh sebesar (0,4708)² atau 22,16% terhadap kapasitas distingtif pada usaha mikro di Aceh. Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Barney (1991), Peteraf (1993) dan juga pendapat Hill & Jones (2005) yang menyatakan bahwa sumber daya memiliki hubungan dengan kapabilitas distingtif.
Pengujian Pengaruh Orientasi Kewirausahaan, Sumber Daya, dan Kapabilitas Distingtif Terhadap Keunggulan Bersaing Berdasarkan
hasil
pengolahan
data
Pengujian
pengaruh
Orientasi
kewirausahaan, Sumber Daya dan Kapabilitas Distingtif terhadap Keunggulan Bersaing.
diperoleh koefisien jalur pada pengujian hipotesis
yang digambarkan secara visual
sebagai berikut:
X1.1
0.3730
X1.2
0.2997
X1.3
0.5276
X1.4
0.7362 0.7918 0.8369 0.6873
0.4686
0.4580
0.5146
X2.1
0.4036
X2.2
0.4275
X2.3
0.4268
X2.4
0.5268
X2.5
0.6967 0.7722 0.7566 0.7571 0.6879
OW 0.4747
Y1.1
0.5410
Y1.2
0.3510 0.4911
Y1.3 Y1.4
0.4804
Y1.5
0.4124
Y1.6
2 0.4385
0.7247 0.6775 0.8056 0.7134
Y2.1
0.5115
Y2.2
0.5239
Y2.3
0.2933
Y2.4
0.4899
0.6989
KD
0.4705
KB
0.7208 0.7665
0.6900 0.8406 0.7142
SD
Gambar 6.3 Diagram Jalur Pengujian Dari gambar 6.3
diatas dapat dikemukakan persamaan struktural orientasi
kewirausahaan, sumber daya dan kapabilitas distingtif, demikian juga nilai t hitung pada masing-masing jalur. Tabel di bawah ini adalah persamaan struktural dimaksud:
Tabel 6.14 Persamaan Struktural Pengaruh Orientasi kewirausahaan, Sumber Daya & Kapasitas Distingtif Terhadap Keunggulan Bersaing Endegenous Constructs KB
Exogenous Constructs OW SD KD 0,1288 0,2607 0,4705 (2,0935) (6,5710)
(4,2625)
R-Square 0,5615
Keterangan: Angka dalam kurung adalah nilai statistik uji-t.
Secara bersama-sama orientasi kewirausahaan, sumber daya dan kapasitas distingtif memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 56,15% terhadap keunggulan bersaing. Sedangkan sisanya sebesar 43,85% merupakan pengaruh faktor-faktor lain diluar ketiga variabel independen yang diteliti. Melalui nilai-nilai koefisien jalur yang terdapat pada gambar 6.3 di atas dapat dihitung besar pengaruh masing-masing variabel bebas (orientasi kewirausahaan, sumber daya dan kapasitas distingtif) terhadap keunggulan bersaing sebagai berikut: Pengaruh OW ,SD dan KD ke KB
Pengaruh langsung OW ke KB (0,1288)² x 100%
Pengaruh tidak Langsung OW ke KB melalui KD (0,1288)(0,4266)(),4705) x 100%
= 1,66%
= 2,58%
Pengaruh tidak langsung OW ke KB melalui SD dan KD (0,1288) (0,4686)(0,4078)(0,4705) x 100%
= 8,99%
Pengaruh langsung SD ke KB (0,2607)² x 100%
= 6,79%
Pengaruh tidak Langsung SD ke KB melalui KD
= 5,00%
Pengaruh tidak langsung SD ke KB melalui OW dan KD
= 9, 00%
Pengaruh langsung KD ke KB (0,4705)² x 100%
= 22,13%
Total Pengaruh
56,15%
Diantara ketiga variabel independen, kapasitas distingtif memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keunggulan bersaing, yaitu sebesar 22,14%. Sebaliknya variabel orientasi kewirausahaan terhadap keunggulan bersaing melalui sumber daya dan kapabilitas distingtif, yaitu hanya sebesar 1,39% lebih kecil dari pada pengaruh tidak langsung sumber daya melalui orientasi kewirausahaan dan kapabilitas distingtif yaitu sebesar 2,55%. Untuk dimensi kapabilitas distingtif prioritas pertama
adalah struktur modal
yang memiliki loading factor terbesar kemudian diikuti oleh teknologi informasi dibandingkan dengan lainnya. Indikator utama yang harus dibenahi adalah indikator informasi keuangan , administrasi umum dan penggunakan teknologi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa bagi sebagian besar pelaku usaha mikro memiliki
modal usaha
adalah modal sendiri atau pinjaman dari keluarga . Bila ketiga variabel tersebut ditingkatkan kinerjanya , maka akan meningkatkan keunggulan bersaing yang dimiliki, karena adanya pengaruh yang positif dan signifikan antara orientasi kewirausahaan, sumber daya
dan kapabilitas distingtif terhadap
keunggulan bersaing. Dapat disimpulkan bahwa keunggulan bersaing dibentuk melalui kapabilitas distingtif. Orientasi kewirausahaan dan sumber daya yang dimiliki tidak dapat membentuk keunggulan bersaing tanpa membentuk kapabilitas distingtif terlebih dahulu. Selanjutnya untuk membuktikan apakah pengaruh Orientasi kewirausahaan, sumber daya dan kapasitas distingtif signifikan baik secara simultan maupun secara parsial terhadap keunggulan bersaing, maka dilakukan pengujian hipotesis. Pengujian
hipotesis dimulai dari pengujian secara simultan dan dilanjutkan dengan pengujian secara parsial.
Pengaruh Orientasi kewirausahaan, Sumber Daya dan Kapasitas Distingtif Secara Bersama-sama Terhadap Keunggulan Bersaing
Drucker (1985) berpendapat bahwa, orientasi kewirausahaan dan kapabilitas distingtif mempunyai hubungan keunggulan bersaing . Demikian juga kajian yang dilakukan oleh Kim Man (2010) dan Prahalad & Hamel (1990), menemukan hal yang sama. Untuk menguji pengaruh Orientasi kewirausahaan, Sumber Daya dan Kapasitas Distingtif Secara Bersama-sama Terhadap Keunggulan Bersaing dilakukan uji simultan dengan rumusan hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis: H0 : Semua 2.i 2.1 =0 i = 1,2
Orientasi kewirausahaan, sumber daya dan kapasitas distingtif secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap keunggulan bersaing .
Hı: Ada 2.i 2.1 0 i = 1,2
Orientasi kewirausahaan, sumber daya dan kapasitas
distingtif
secara
bersama-sama
berpengaruh terhadap keunggulan bersaing
Pengujian hipotesis tersebut dilakukan melalui statistik uji F dengan ketentuan tolak H0 jika Fhitung lebih besar dari Ftabel, atau sebaliknya tidak menolak H0 jika Fhitung lebih kecil atau sama dengan Ftabel. Melalui nilai koefisien determinasi (nilai R2) dapat dihitung nilai Fhitung dengan rumus sebagai berikut:
Fhitung =
(n-k-1)R 2Y2 (X1X2Y1 ) k(1-R 2Y2 (X1X2Y1 ) )
Dari tabel F untuk tingkat signifikansi 0.05 dan derajat bebas (3;390) diperoleh nilai Ftabel sebesar 2,628. Karena dari hasil penelitian diperoleh nilai F hitung (166,645) dan lebih besar dibanding Ftabel (2,628), maka pada tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak H0 dan tidak menolak H1 . Berdasarkan hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95%
disimpulkan bahwa orientasi kewirausahaan , sumber daya dan
kapasitas distingtif secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap keunggulan bersaing . Selanjutnya untuk melihat Pengaruh Orientasi kewirausahaan Secara Parsial Terhadap Keunggulan Bersaing secara parsial dirumuskan hipotesis sebagai bertikut: Hipotesis: H0 : 2.1 = 0
Orientasi kewirausahaan secara parsial tidak berpengaruh terhadap keunggulan bersaing
Hı: 2.1 ≠ 0
Orientasi kewirausahaan secara parsial berpengaruh terhadap keunggulan bersaing
Tabel 4.17
Koefisien Jalur 0,1288
Hasil Pengujian Pengaruh Orientasi kewirausahaan Terhadap Keunggulan Bersaing thitung Ttabel H0 H1 2,0935
1,96
ditolak
Diterima
Berdasarkan hasil pengujian dapat dilihat nilai t hitung variabel Orientasi kewirausahaan (2,0935) lebih besar dari tkritis (1,96). Karena nilai thitung lebih besar dibanding tkritis, maka pada tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak H0 dan tidak menolak H1. Jadi berdasarkan hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95% disimpulkan bahwa orientasi kewirausahaan secara parsial berpengaruh terhadap keunggulan bersaing pada usaha mikro. Hal ini sesuai dengan hasil kajian yang dikemukakan oleh Drucker (1985), Newbert (2008) dan Lee & Shieh yang mengatakan adanya pengaruh antara orientasi kewirausahaan dengan keunggulan bersaing. Setelah terbukti adanya pengaruh simultan , selanjutnya dilakukan pengujian secara parsial untuk menguji apakan ada pengaruh variabel sumber daya terhadap keunggulan bersaing. Untuk maksud tersebut dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis: H0 : 2.2 = 0
Sumber daya secara parsial tidak berpengaruh terhadap keunggulan bersaing
Hı: 2.2 ≠ 0
Sumber daya
secara
keunggulan bersaing
parsial berpengaruh
terhadap
Tabel 4.18 Hasil Pengujian Pengaruh Sumber Daya Terhadap Keunggulan Bersaing Koef. Jalur thitung tkritis Ho Hı 0,2607
4,2625
1,96
ditolak
Diterima
Berdasarkan hasil pengujian dapat dilihat nilai thitung variabel sumber daya (4,2625) lebih besar dari tkritis (1,96). Karena nilai thitung lebih besar dibanding tkritis, maka dengan tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak Ho dan tidak menolak Hı. Jadi berdasarkan hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95% disimpulkan bahwa sumber daya secara parsial berpengaruh terhadap keunggulan bersaing pada usaha mikro. Secara total sumber daya memberikan pengaruh sebesar 4,28 % terhadap keunggulan bersaing pada usaha mikro di Aceh. Sumber daya berpengaruh positif dan signifikan terhadap keunggulan bersaing yang artinya peningkatan pengelolaan dan kemudahan akses sumber daya akan mampu meningkatkan keunggulan bersaing. Selanjutnya untuk melihat :‖Pengaruh Kapasitas Distingtif Terhadap Keunggulan Bersaing Secara Parsial, sebagai berikut : Hipotesis: H0 : 2.1 = 0
Kapasitas
distingtif
secara
parsial
tidak
berpengaruh
keunggulan bersaing pada usaha mikro Hı: 2.1 ≠ 0
Kapasitas distingtif secara parsial berpengaruh terhadap keunggulan bersaing pada usaha mikro
Tabel 4.19 Hasil Pengujian Pengaruh Kapasitas Distingtif Terhadap Keunggulan Bersaing
terhadap
Koef. Jalur
thitung
0,4705
6,5710
ttabel 1,96
H0
H1
ditolak
Diterima
Berdasarkan hasil pengujian dapat dilihat nilai t hitung variabel kapasitas distingtif (6,5710) lebih besar dari tkritis (1,96). Karena nilai thitung lebih besar dibanding tkritis, maka dengan tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak H0 dan tidak menolak H1 . Berdasarkan hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95% disimpulkan bahwa kapasitas distingtif secara parsial berpengaruh terhadap keunggulan bersaing pada usaha i mikro. Secara langsung kapasitas distingtif memberikan pengaruh sebesar 22,14% terhadap keunggulan bersaing .
Kapabilitas distingtif berpengaruh
positif dan signifikan terhadap keunggulan bersaing
yang artinya peningkatan
kapabilitas distingtif akan mampu meningkatkan keunggulan bersaing. Di antara orientasi kewirausahaan, sumber daya dan kapabilitas distingtif yang memberikan kontribusi terbesar adalah kapabillitas distingtif terhadap keunggulan bersaing. Hal ini sesuai dengan yang konsep yang dikemukakan oleh Bettis & Hill (2005) dan kajian yang dilakukan oleh Newbert (2008), Awang et.al (2010) dan Bakar` et.al(2011) bahwa kapabilitas ditingtif berpengaruh terhadap keunggulan bersaing.
Pengaruh Orientasi kewirausahaan dan Sumber Daya Terhadap Kinerja Bisnis Hipotesis selanjutnya yang akan diuji adalah pengaruh orientasi kewirausahaan dan sumber daya terhadap kinerja bisnis. Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan maka koefisien jalur pada pengujian hipotesis secara visual diagram jalur dapat digambarkan sebagai berikut:
0.4580
X1.1
0.3730
X1.2
0.2997
X1.3
0.5276
X1.4
0.7362 0.7918 0.8369 0.6873
OW Y3.1
0.3786
Y3.2
0.2244
0.7883
KIN
0.8807
0.4686
0.5146
X2.1
0.4036
X2.2
0.4275
X2.3
0.4268
X2.4
0.5268
X2.5
0.6967 0.7722 0.7566 0.7571 0.6879
SD
Gambar 4.7 Diagram Jalur Pengujian
Dari gambar persamaan struktural diatas dapat dilihat
pengaruh orientasi
kewirausahaan (OW), sumber daya (SD) terhadap kinerja bisnis (KIN), demikian juga nilai thitung
pada masing-masing jalur.Tabel di bawah ini menunjukkan
hubungan
masing masing variabel dan nilai t hitung pada masing masing jalur sebagai berikut :
Tabel 6.18 Persamaan Struktural Pengaruh Orientasi kewirausahaan & Sumber Daya Terhadap Kinerja Bisnis Endegenous Constructs KIN
Exogenous Constructs OW SD 0,1754 0,1740 (3,0737)
(2,9438)
Keterangan: Angka dalam kurung adalah nilai statistik uji-t.
R-Square 0,0897
Dari tabel di atas dapat dijelaskan besarnya pengaruh orientasi kewirausahaan (OW)
dan Sumber Daya (SD) terhadap kinerja (KIN), baik
pengaruh langsung
maupun tidak langsung dapat dirinci seperti di bawah ini. Menghitung besarnya pengaruh ini dapat dijabarkan sebagai berikut ;
Pengaruh langsung dari OW ke KIN (0,1754)²(100%)
Pengaruh tidak langsung dari OW ke KIN melalui SD (0,1754)(0,4686)(),1740)(100%)
= 3,08%
=
Pengaruh langsung SD ke KIN (0,1740)²(100%)
Pengaruh tidak langsung SD ke KIN melalui OW (0,1740)(0,4686)(0,1754)(100%) Total pengaruh OW dan SD ke KIN
1,43% =
3,03%
= 1,43% = 8,97%
Berdasarkan perhitungan di atas orientasi kewirausahaan memberikan pengaruh langsung yang lebih besar (3.08%) dibandingkan dengan pengaruh tidak langsung melalui sumber daya (1,43%) dan pengaruh langsung sumber daya (3,03%) terhadap kinerja bisnis usaha
di Aceh.
Hal ini mengindikasikan bahwa untuk usaha mikro
sekalipun memiliki sumber daya yang kuat tetapi tidak dibarengai dengan orientasi kewirausahaan pelaku usaha tidak menjamin kinerja bisnis yang lebih baik. Secara bersama-sama kedua variabel independen (orientasi kewirausahaan dan sumber daya) memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 8,97% terhadap kinerja bisnis pada mikro. Sementara sisanya sebesar 91,03% merupakan pengaruh faktorfaktor lain diluar variabel Orientasi kewirausahaan dan sumber daya.
Untuk dimensi orientasi kewirausahaan prioritas pertama adalah inovasi yang memiliki loading factor terbesar kemudian diikuti oleh proaktif dibandingkan dengan lainnya. Indikator utama yang harus dibenahi adalah pengembangan produk
serta
pada modifikasi dan
bencmarking. Hal ini dapat dijelaskan bahwa untuk
melakukan modifikasi dan pengembangan produk, pelaku usaha harus melakukan bencmarking dengan produk sejenis. Selain itu pelaku usaha harus bersikap proaktif mencari pasar atau memperluas jangkauan pasar, seperti menyediakan sampel produk dan kesediaan mengantarkan pesanan . Untuk dimensi sumber daya prioritas pertama adalah stuktur modal yang memiliki loading factor terbesar kemudian diikuti oleh sumber daya intelaktual dibandingkan dengan lainnya. Indikator utama yang harus dibenahi adalah
pada
likuiditas dan merek serta hak paten pada sumber daya intelektual. Hal ini menjelaskan bahwa
sebagian
ketidakmampuannya
besar akses
pelaku
usaha
terhadap
masih
permodalan.
kekurangan Dapat
modal,
karena
dijelaskan
bahwa
ketidakmampuan pelaku usaha mendapatkan modal dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang proses dan prosedur untuk mendapatkan kredit. Bila kedua variabel tersebut ditingkatkan kinerjanya , maka akan meningkatkan kapabilitas distingtif yang dimiliki, karena adanya pengaruh yang positif dan signifikan antara orientasi kewirausahaan dan sumber daya terhadap kapabilitas distingtif. Setelah koefisien jalur dihitung, selanjutnya untuk membuktikan apakah Orientasi kewirausahaan dan sumber daya pengaruh memiliki pengaruh signifikan baik secara simultan maupun secara parsial terhadap kinerja bisnis, maka dilakukan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis dimulai dari pengujian secara simultan dan dilanjutkan
dengan pengujian secara parsial. Untuk tujuan pengujian secara simultan dirumuskan hipotesis seperti berikut.
Pengaruh Orientasi kewirausahaan dan Sumber Daya Secara Bersama-sama Terhadap Kinerja Bisnis
Hipotesis: H0 : Semua 3.i = 0 i = 1,2
Orientasi
kewirausahaan
dan
sumber
daya
secara
bersama-sama
berpengaruh terhadap kinerja bisnis Hı : Ada 3.i 0
Orientasi kewirausahaan dan sumber daya secara bersama-sama berpe i = 1,2 terhadap kinerja bisnis
Pengujian hipotesis tersebut dilakukan melalui statistik uji F dengan ketentuan tolak H0 jika Fhitung lebih besar dari Ftabel, atau sebaliknya terima H0 jika Fhitung lebih kecil atau sama dengan Ftabel. Melalui nilai koefisien determinasi (nilai R2) dapat dihitung nilai Fhitung dengan rumus sebagai berikut.
Fhitung =
(n-k-1)R 2Z(X1X2 ) k(1-R 2Z(X1X2 ) )
Dari tabel Fhitung untuk tingkat signifikansi 0.05 dan derajat bebas (2;391) diperoleh nilai Ftabel sebesar 3,019. Karena dari hasil penelitian diperoleh nilai F hitung (33,2521) dan lebih besar dibanding Ftabel (3,019), maka pada tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak H0 dan tidak menolak H1.
Hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95% disimpulkan bahwa orientasi kewirausahaan dan sumber daya secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap kinerja bisnis pada usaha mikro. Hal ini sesuai dengan kajian Suseno (2010) yang mengemukakan adanya pengaruh orientasi kewirausahaan dan sumber daya terhadap kinerja bisnis. Selanjutnya untuk menguji pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis secara parsial dirtumuskan hipotesis sebagai berikut :―Orientasi Kewirausahaan Berpengaruh Secara Parsial Terhadap Kinerja Bisnis‖. Hipotesis: H0 : 3.1 = 0
OOrientasi kewirausahaan secara parsial tidak berpengaruh
terhadap
kinerjkinerja bisnis Hı: 3.1 ≠ 0
Orientasi kewirausahaan secara parsial berpengaruh terhadap kinerja bisnis
Tabel 5.19 Hasil Pengujian Pengaruh Orientasi kewirausahaan Terhadap Kinerja Bisnis Koef. Jalur
thitung
tkritis
Ho
Hı
0,1754
3,0737
1,96
Ditolak
Tidak Ditolak
Berdasarkan hasil pengujian dapat dilihat nilai t hitung variabel Orientasi kewirausahaan (3,0737) lebih besar dari tkritis (1,96). Karena nilai thitung lebih besar dibanding tkritis, maka pada tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak Ho dan tidak menolak
Hı. Jadi berdasarkan hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95%
disimpulkan bahwa Orientasi kewirausahaan secara parsial berpengaruh terhadap
kinerja bisnis pada usaha mikro di Aceh. Besarnya pengaruh langsung orientasi kewirausahaan terhadap kinerja adalah 3,08% sedangkan pengaruh tidak langsung melalui sumber daya sebesar 1,43%. Hal ini menjelaskan bahwa secara tidak langsung pengaruh Orientasi kewirausahaan lebih kecil dari pengaruh langsung. Untuk menguji pengaruh sumber daya terhadap kinerja bisnis secara parsial dirumuskan hipotesis sebagai berikut : “Sumber Daya Secara Bepengaruh Secara Parsial Terhadap Kinerja Bisnis‖. Hipotesis: H0 : 3.2 = 0
Sumber daya secara parsial tidak berpengaruh terhadap kinerja bisnis.
Hı : 3.2 ≠ 0
Sumber daya secara parsial berpengaruh terhadap kinerja bisnis
Tabel 6.13 Hasil Pengujian Pengaruh Sumber Daya Terhadap Kinerja Bisnis Koef. Jalur thitung ttabel Ho Hı 0,1740
2,9438
1,96
ditolak
Diterima
Berdasarkan hasil pengujian dapat dilihat nilai t hitung variabel sumber daya (2,9438) lebih besar dari tkritis (1,96). Karena nilai thitung lebih besar dibanding tkritis, maka dengan tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak Ho sehingga Ha diterima. Jadi berdasarkan hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95% disimpulkan bahwa sumber daya secara parsial berpengaruh terhadap kinerja bisnis pada usaha mikro di
Aceh. Hal sesuai dengan kajian Suseno (2010), Newbert (2008) dan Tod & Ketchen (2008). Besarnya pengaruh langsung sumber daya terhadap kinerja adalah 3,03% sedangkan pengaruh tidak langsung melalui sumber daya sebesar 1,43%. Hal ini menjelaskan bahwa secara langsung pengaruh sumber daya lebih besar dari pengaruh tidak langsung sumber daya melalui orientasi kewirausahaan.
Pengaruh Kapasitas Distingtif dan Keunggulan Bersaing Terhadap Kinerja Bisnis Hipotesis selanjutnya yang akan diuji adalah pengaruh kapasitas distingtif dan keunggulan bersaing terhadap kinerja bisnis. Secara visual diagram jalur pada pengujian hipotesis kelima digambarkan sebagai berikut:
0.4747
Y1.1
0.5410
Y1.2
0.7247
0.3510
Y1.3
0.8056
0.4911
Y1.4
0.4804
Y1.5
0.6775 0.7134
KD
0.7208 0.7665
Y3.1
0.3786
Y3.2
0.2244
0.7883 0.4124
Y1.6
0.5115
Y2.1
0.5239
Y2.2
KIN 0.6989
0.2933
Y2.3
0.4899
Y2.4
0.6900 0.8406
KB
0.7142
Gambar 4.8 Diagram Jalur Pengujian Hipotesis 5
0.8807
Dari gambar persamaan struktural diatas dapat dilihat pengaruh kapabilitas distingtif (KD) dan Keunggulan Bersaing (KD) terhadap kinerja bisnis (KIN), demikian juga nilai thitung pada masing-masing jalur. Tabel di bawah ini menunjukkan hubungan masing masing variabel dan nilai t hitung pada masing masing jalur sebagai berikut :
Tabel 6.14 Persamaan Struktural Pengaruh Kapasitas Distingtif dan Keunggulan Bersaing Terhadap Kinerja Bisnis Exogenous Constructs KD KB 0,2671 0,3455 (3,5460) (4,7644) Keterangan: Angka dalam kurung adalah nilai statistik uji-t Endegenous Constructs KIN
R-Square 0,1936
Secara bersama-sama kapasitas distingtif dan keunggulan bersaing memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 19,36% terhadap kinerja bisnis pada usaha mikro di Aceh. Sementara sisanya sebesar 80,64% merupakan pengaruh faktorfaktor lain diluar variabel kapasitas distingtif dan keunggulan bersaing. Untuk
variabel keunggulan bersaing,
keunggulan pelayanan memberikan
kontribusi terbesar , diikuti oleh keunggulan biaya . Hal ini ditandai bahwa untuk kedua indikator tersebut memiliki loading factor yang terbesar untuk variabel ini. menjelaskan bahwa pada keunggulan pelayanan,
Hal ini
hal ini menjelaskan bahwa
konsumen memerlukan pelayanan yang cepat dan bersahabat, Pada dasarnya
konsumen rela mengeluarkan biaya yang lebih besar asalkan mendapatkan pelayanan yang lebih baik. Untuk dimensi keunggulan biaya, usaha mikro di Aceh masih mengeluarkan biaya produksi yang relatif mahal karena tingginya upah tenaga kerja/buruh.
Bila
kedua variabel tersebut ditingkatkan kinerjanya , maka akan meningkatkan kinerja bisnis yang diperoleh, karena adanya pengaruh yang positif dan signifikan antara kapabilitas distingtif dan keunggulan bersaing terhadap kinerja bisnis. Selanjutnya untuk menentukan
besarnya pengaruh kapabilitas distingtif tdan
keunggulan bersaing terhadap kinerja baik secara langsung maupun tidak langsung dapat dilakukan sebagai berikut: Pengaruh KD & KB terhadap KIN
Pengaruh langsung KD ke KIN (0,1754)² x 100%
Pengaruh tidak langsung KD ke KIN melalui KB (0,2671)(0,4705)(0,3455) x 100%
= 3,08%
= 4,34%
Pengaruh langsung KB ke KIN (0,3455)² x 100% Total Pengaruh
= 11,94% = 19,36%
Pengaruh langsung keunggulan bersaing terhadap kinerja lebih besar dari pada pengaruh kapabilitas distingtif terhadap kinerja. Hal ini berarti untuk meningkatkan kinerja usaha mikro pelaku usaha harus dapat meningkatkan keunggulan bersaing mellaui peningkatan daya saing produk, proses maupun daya saing pelayanan yang diberikan kepada konsumen. Di samping itu untuk meningkatkan keunggulan bersaing
usaha mikro dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi , sehingga harga yang ditetapkan dapat bersing dengan harga produk sejenis dari daerah lain. Setelah koefisien jalur dihitung, selanjutnya untuk membuktikan apakah pengaruh kapasitas distingtif dan keunggulan bersaing baik secara simultan maupun secara parsial terhadap kinerja bisnis, maka dilakukan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis dimulai dari pengujian secara simultan dan dilanjutkan dengan pengujian secara parsial. Rumusan hipótesis simultan adalah sebagai berikut :‖Pengaruh Kapasitas Distingtif dan Keunggulan Bersaing Secara Bersama-sama Terhadap Kinerja Bisnis‖. Hipotesis: H0 : Semua 3.i = 0 i = 1,2
Kapasitas distingtif dan keunggulan bersaing tidak berpengaruh Secara bersama sama terhadap kinerja bisnis
Hı: Ada 3.i 0 i = 1,2
Kapasitas distingtif dan keunggulan bersaing secara bersamasama berpengaruh terhadap kinerja bisnis
Pengujian hipotesis tersebut dilakukan melalui statistik uji F dengan ketentuan tolak Ho jika Fhitung lebih besar dari Ftabel, atau sebaliknya terima Ho jika Fhitung lebih kecil atau sama dengan Ftabel. Melalui nilai koefisien determinasi (nilai R2) dapat dihitung nilai Fhitung dengan rumus sebagai berikut.
Fhitung =
(n-k-1)R 2Y3 (Y1Y2 ) k(1-R 2Y3 (Y1Y2 ) )
Dari tabel F untuk tingkat signifikansi 0.05 dan derajat bebas (2;391) diperoleh nilai Ftabel sebesar 3,019. Karena dari hasil penelitian diperoleh nilai F hitung (42,237) dan lebih besar dibanding Ftabel (3,019), maka pada tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak H0 sehingga H1 diterima. Jadi berdasarkan hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95% disimpulkan bahwa kapasitas distingtif dan keunggulan bersaing secara bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja bisnis pada industri mikro makanan di Aceh. Hal ini sesuai dengan Alvarez & Barney (2000), Lumpkin Dess (1996) dan Covin & slovin (1989). Setelah membuktikan adanya pengaruh simultan
selanjutnya dilakukan
pengujian secara parsial dari variabel Kapasitas Distingtif dan Keunggulan Bersaing Terhadap Kinerja Bisnis. Untuk pengujian ini
dirumuskan hipotesis berikut ini
:‖Kapabilitas Distingtif berpengaruh secara parsial terhadap Keunggulan Bersaing‖.
Hipotesis: H0 : 3.1 = 0
Kapasitas distingtif secara parsial tidak berpengaruh terhadap kinerja bisnis pada usaha mikro
Hı : 3.1 ≠ 0
Kapasitas
distingtif
secara
parsial
berpengaruh
terhadap kinerja bisnis pada usaha mikro
Tabel 6.22 Hasil Pengujian Pengaruh Kapasitas Distingtif TerhadapKinerja Bisnis Koef. Jalur
thitung
ttabel
Ho
Hı
0,2671
3,5460
1,96
ditolak
diterima
Berdasarkan hasil pengujian dapat dilihat nilai t hitung variabel kapasitas distingtif (3,5460) lebih besar dari tkritis (1,96). Karena nilai thitung lebih besar dibanding tkritis, maka pada tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak Ho sehingga Hı diterima. Hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95% disimpulkan bahwa kapasitas distingtif secara parsial berpengaruh terhadap kinerja bisnis pada usaha mikro di Aceh. Secara langsung kapasitas distingtif memberikan pengaruh sebesar 7,13% terhadap kinerja bisnis pada usaha mikro di Aceh.
Pengaruh variabel kapabilitas distingtif
terhadap kinerja bisnis adalah pengaruh positif dan signifikan yang artinya jika pelaku usaha mikro mampu meningkatkan
kapabilitas distingtif
yang dimiliki akan dapat
meningkatkan kenirja bisnisnya.Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Hill & Jones (2009), Hitt & Ireland (2005) serta kajian yang dilakukan oleh Awang et.al (2010) , Bakar et.al (2009). Untuk menguji
pengaruh secara parsial
perlu dirumuskan hipotesis berikut
:‖Keunggulan Bersaing Berpengaruh Secara Parsial Terhadap Kinerja Bisnis‖.
Hipotesis: H0 : 3.2 = 0
Keunggulan
bersaing
secara
parsial
tidak
berpengaruh terhadap kinerja bisnis pada usaha mikro Hı: 3.2 ≠ 0
Keunggulan bersaing secara parsial berpengaruh terhadap kinerja bisnis pada usaha mikro
Tabel 4.25 Hasil Pengujian Pengaruh Keunggulan Bersaing Terhadap Kinerja Bisnis Koef. Jalur
thitung
ttabel
Ho
Hı
0,3455
4,7644
1,96
ditolak
diterima
Berdasarkan hasil pengujian dari tabel diatas dapat dilihat nilai t hitung variabel keunggulan bersaing (4,7644) lebih besar dari ttabel (1,96). Karena nilai thitung lebih besar dibanding ttabel, maka dengan tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak Ho dan tidak menolak Hı. Jadi berdasarkan hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95% disimpulkan bahwa keunggulan bersaing secara parsial berpengaruh terhadap kinerja bisnis pada usaha mikro di Aceh. Secara langsung keunggulan bersaing memberikan pengaruh sebesar 11,94% terhadap kinerja bisnis pada industri mikro makanan di Aceh. .
Pengaruh variabel keunggulan bersaing terhadap kinerja bisnis adalah
pengaruh positif dan signifikan yang artinya jika pelaku usaha mikro industri makanan khas Aceh mampu meningkatkan
keunggulan bersaingn yang diciptakan maka akan
dapat meningkatkan kenirja bisnisnya. Hal ini sesuai dengan kajian Barney (1991) , Porter (2011) dan Alimin (2011), yang mengemukakan bahwa keunggulan bersaing memiliki hubungan dengan kinerja bisnis. Selanjutnya untuk menguji pengaruh variabel orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis melalui kapabilitas distingtif dirumuskan hipetesis berikut :‖Orientasi kewirausahaan, Sumber Daya Berpengaruh Terhadap Kinerja Bisnis melalui Kapabilitas Distingtif”. Berdasarkan Hasil pengolahan data menggunakan software LISREL diperoleh koefisien jalur pada pengujian hipotesis ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.26 Pengaruh Orientasi Kewirausahaan, Sumber Daya Terhadap Kinerja Bisnis Melalui Kapabilitas Distingtif
Endegenous Constructs KIN
Exogenous Constructs OW SD KD 0,1754 0,1740 0,2671 (3,1756) (7,4376) (1,5366)
R-Square 0,2151
Dari tabel di atas dapat dikemukakan bahwa, secara bersama-sama variabel orientasi kewirausahaan, sumber daya dan kapabilitas distingtif memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 21,51% terhadap kinerja bisnis pada usaha mikro di Aceh. Sedangkan sisanya sebesar 75,4 9% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar kedua variabel independen dan satu intervening variable yang diteliti.
Besarnya
pengaruh
langsung
maupun
tidak
langsung
antara
orientasi
kewirausahaan dan sumber daya terhadap kinerja bisnis melalui kapabilitas distingtif dapat dirinci sebagai berikut:
Pengaruh OW dan SD terhadap KIN melalui KD
Pengaruh langsung OW ke KIN (0,1754)² x 100%
Pengaruh tidak langsung OW ke KIN melalui KD
= 3,08%
(0,4266)(0,1754)(0,2671)
= 2,00%
Pengaruh tidak langsung OW ke KIN melalui SD & KD (0,4266)(0,4686)(0,4078) (0,2671) x 100%
= 2,18%
Pengaruh langsung SD ke KIN (0,1740)² x 100%
= 3,03%
Pengaruh tidak langsung SD ke KIN melalui KD
= 1, 91%
Pengaruh SD ke KIN melalui OW dan KD
=
2, 18%
Pengaruh langsung KD ke KIN (0,2671)² x 100% Total pengaruh
=
7,13%
21,51%
Dari perhitungan diatas dapat dijelaskan bahwa pengaruh langsung kapabilitas distingtif terhadap kinerja memiliki pengaruh yang terbesar (7,13%) dibanding pengaruh langsung dan tidak langsung.
Hal ini mengindikasikan bahwa variabel orientasi
kewirausahaan dan sumber daya bagi usaha mikro harus mencipatakan kapabilitas distingtif terlebih dahulu ,agar dapat meningkatkan kinerja bisnis. Setelah koefisien jalur dihitung, selanjutnya untuk membuktikan apakah pengaruh kapasitas distingtif dan keunggulan bersaing signifikan baik secara secara parsial terhadap kinerja bisnis, maka dilakukan pengujian hipotesis. Rumusan hipotesis dapat dikemukakan sebagai berikut:
Hipotesis: H0 :
11
* 3.1 = 0
Tidak terdapat pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap
kinerja
bisnis
melalui
kapabilitas
distingtif
H1 :
11
* 3.1 ≠0
Terdapat pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap
kinerja
bisnis
melalui
kapabilitas
distingtif
Untuk melihat pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis melalui kapabilitas distingtif dapat dilihat dengan membandingkan thitung dan ttabel (1,96). Untuk perhitungan thitung digunakan rumus sebagai berikut:
t-hitung = 19,0119 atau 19,01 Dari perhitungan di atas dapat dijelaskan bahwa nilai t hitung > ttabel (19,01> 1,96), sehingga menolak H0 dan tidak menolak H1. Dapat dikatakan bahwa orientasi kewirausahaan dan sumber daya mempengaruhi kinerja bisnis melalui kapabilitas distingtif. Untuk melihat pengaruh orientasi kewirausahaan dan sumber daya terhadap kinerja bisni melalui keungulan bersaing
dirumuskan hipotesis:‖Pengaruh Orientasi
kewirausahaan dan Sumber Daya Terhadap
Kinerja Bisnis Melalui Keunggulan
Bersaing‖ Berdasarkan Hasil pengolahan data menggunakan software LISREL diperoleh koefisien jalur pada pengujian hipotesis ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.27 Pengaruh Orientasi kewirausahaan, Kapasitas Distingtif, dan Keunggulan Bersaing Terhadap Kinerja Bisnis
Endegenous Constructs KIN
Exogenous Constructs OW SD KB 0,1754 0,1740 0,3455 (3,0737) (2,9438 ) (4,7644)
R-Square 0,2269
Berdasarkan tabel diatas dapat dikemukakan bahwa, secara bersama-sama variabel orientasi kewirausahaan, sumber daya dan keunggulan bersaing memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 22,69% terhadap kinerja bisnis pada usaha mikro di Aceh. Sedangkan sisanya sebesar 77,31% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar variabel yang diteliti.
Besarnya pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung pengaruh OW dan SD ke KIN melalui KB untuk masing masing variabel dapat dirinci sebagai berikut:
Pengaruh OW dan SD terhadap KIN melalui KB
Pengaruh langsung OW ke KIN (0,1754)² x 100%
Pengaruh tidak langsung OW ke KIN melalui KB
= 3,08%
(0,1754)(0,4266)(0,2671)
= 2,00%
Pengaruh tidak langsung OW ke KIN melalui SD dan KB (0,1288)(0,4686)(0,2607) (0,3455) x 100%
=
0,54%
Pengaruh langsung SD ke KIN (0,1740)² x 100%
= 3,03%
Pengaruh tidak langsung SD ke KIN melalui KB
=
Pengaruh tidak langsung SD ke KIN melalui OW & KB = 0,54%
Pengaruh Langsung KB ke KIN (0,3455)² x 100%
1,57%
= 11,93%
Total pengaruh
22,69%
Pengaruh total orientasi kewirausahaan dan sumber daya terhadap kinerja bisnis melalui keunggulan bersaing sebesar 22,69% lebih besar dibandingkan dengan besarnya pengaruh orientasi kewirausan dan sumber daya terhadap kinerja bisnis melalui kapabilitas distingtif keunggulan
bersaing
sebesar 21,51%.
merupakan
partial
Sehingga dapat dikatakan bahwa
intervening
variable
antara
orientasi
kewirausahaan dan sumber daya terhadap kinerja bisnis usaha mikro di Provinsi Aceh.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa untuk mencapai kinerja yang lebih baik usaha mikro tidak cukup hanya dengan menciptakan keunikan atau kekhususan sebagai kapabilitas distingtif , tetapi harus meningkatkan keunggulan bersaing dengan menciptakan
daya saing, baik melalui pengembangan produk, membuat inovasi
produk, memodifikasi produk sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen serta menentukan harga yang dapat bersaing. Setelah koefisien jalur dihitung, selanjutnya untuk membuktikan apakah ada pengaruh orientasi kewirausahaan dan suber daya terhadap kinerja bisnis melalui keunggulan bersaing maka dilakukan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis dengan pengujian secara parsial. Hipotesis: H0 :
11
* 32 = 0
Tidak
terdapat
pengaruh
orientasi
kewirausahaan terhadap kinerja bisnis melalui kapabilitas distingtif
H1 :
11
* 3.1 ≠ 0
Terdapat pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis melalui kapabilitas distingtif
Untuk melihat pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis melalui kapabilitas distingtif dapat dilihat dengan membandingkan t hitung dan ttabel (1,96).untuk perhitungan thitung digunakan rumus sebagai berikut:
t- hitung = 2,523367 atau 2,52
Dari perhitungan diatas dapat dijelaskan bahwa nilai t hitung > ttabel (2,52< 1,96), sehingga menolak H0 tidak menolak H1. Dapat dijelaskan bahwa orientasi kewirausahaan dan sumber daya mempengaruhi kinerja bisnis melalui keunggulan bersaing . Untuk melihat ringkasan hasil uji hipotesisi deskriftif, dan hasil uji verifikatif dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Ringkasan hasil uji hipotesis deskriftif menggambarkan pernyataan hipotesis dan keputusan hasil uji apakah menolak atau tidak menolak null hipothesis ( H0)
DAFTAR PUSTAKA Aceh dalam Angka, 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. th
Aaker, D.A, Kumar, V. and Day, D.S., 2001, Marketing Research, 7 edition., John Wiley & Sons, NY Awang Amran ,Asghar Said Abdul Rashid , Subari Anwar Khairul (2010), ,Study of Distinctive Capabilities and Entrepreneurial Orientation on Return on Sales among Small andmedium Agro-Based Enterprises (smaes) in Malaysia, International Business Research, Vol 3, No, 2, April 2010 Azwar, Syaifuddin. (2007). Validitas dan Reliabilitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bakar Abu Rahim Abdul, Hashim Fariza, Ahmad Hartini, Isa Md Filzah, Zakaria Hish (2009), Distinctive Capabilities and Strategic Thrusts of Malaysia’s. International Journal of Marketing Studies Barney, J. B. (1991). Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of Management, 17(1), 99-120. Berry, Albert et al. 2001. Small and Medium Enterprise Dynamics in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 37, No. 3, pp.363-384 Besanko Davis, David Dranove, Mark Shanley, Scott Schaefer (2010). Economics of Strategy. Fifth edition. Jhon Willey & Sons BPS.2010 . Statistical Yearbook of Indonesia 2009. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Borucki CC, Burke MJ 1999, An Eximination Of Service-Related Antecedents To Retail Store Performance, Journal of Organiation Behavior, 20, 1999. Ciasullovicensa Maria, Troisi Orlando. Sustainable Value Creation in SMEs: a Case study the TQM Journal, Vol 25 ISS: pp 44 – 61. Cokin Gary 2004. Performance Management, Finding The Missing Pieces (To Close The Intelegence Gap) Cooper & Emory, 1995; Business Research Method, McGraw - Hill Irwin, Singaopore. Crook T. Russel, Ketchen J.David Jr, Combs G.James & Todd Y.Samuel, 2008; "Strategic Resources and Performance a Meta-Analysis", Strat.Mgmt Journal, 29:1141-1154 DOI.10.1002/smj College of Business Administration. Depkop Website - http://infoukm.wordpress.com/
Dess, G.G., G.T. Lumpkin, dan J.G. Covin, 1997, ―Entrepreneurial Strategy Making and Firm Performance: Test of Contingency and Configurational Models‖, Strategic Management Journal, Vol.18, No. 9, p. 677 – 695 Dierickx I Nad Cool, K. (1989); Asset Stock Accumulation A Sustainability Of Competitive Advantage, Managemant Science. Journal vol. 35, 1504 – 1513. Diswandi, 2010. Strategi Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia Principle. Drucker, F. Peter (1985): Innovation and Entrepreneurship, Practice and Principles. Harper & Row Publisher, New York. Fontana Avanti (2011). Innovate we Can, How to create Value athrough Innovation in Your Organization and Society. Penerbit Cipta Inovasi Sejahtera, Jakarta Fiouni, F. (2007). Human Resource Management and Knowledge Management: A Road Map Toward Improving Organizational Performance. Journal of American Academy of Business, Cambridge, 11(2), 124. Ghosh C.B., Liang Wee Tan, Meng Teck Tan, Chan Ben, (2001), The Key Success Factors, Distinctive Capabilities, and Strategic Thrusts of Top SMEs in Singapore, Journal Business Research, 51, 209 – 221 Ghemawat P, Rivkin JW. 1998. Creating competitive advantage. Note 798062, Harvard Business School: Boston, MA. Grahovac Jovan & Miller J. Douglas (2009), Competitive Advantage and Performance: the Impact of Value Creation and Costliness of Imitation, Strategic Management Journal J, 30: 1192–1212 Greve R. Henrich (2009) Bigger and Safer; The Diffusion of Competitive Advantage, Strategic Management Journal J. 30 1 – 23 http//ericbrown.com/competitivefirm.htm
advantage-and-the,resources-based-view-of-the-
http//www.Aceh.go.id http//www.infoukm.wordpress.com ttp// www. Jurnalukm, 15 September 2011 http://www.smemagazine.asia/index.php?option=com_content&view=article&id=615:uk m-sumbang-533-persen-pdb&catid=100:indonesia&Itemid=475
Hair F.Joseph, Black C.William, Babin J. Barry, Anderson E. Ralp (2006) ; Multivariate Data Analysis, A Global Presfective, Pearson, New York Hendro, Ir.MM (2011); Dasar-dasar Kewirausahaan, Gelora Aksara Pratama.
Hideki Yamawaki, 2001, The Evolution and Structure of Industrial Clusters in Japan, The International Bank for Reconstruction and Development/ The World Bank.
Hill Jimmy , 2008, Multidimensional Study of the Key Determinants of Effective SME Marketing Activity: Part 1 Northern Ireland Centre for Entrepreneurship, University of Ulster at Jordanstown, Newtownabbey, Northern Ireland Hill, Hal. 2001, Small and Medium Enterprises in Indonesia, Asian Survey, Vol. 41, No. 2, pp.248-270 Hill Jimmy (2001) A multidimensional study of the key determinants of effective SME marketing Activity: Part 1 , International Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research, Vol. 7 No. 5, 2001, pp. 171-204. MCB University Press, 1355-2554, p 177 – 178 Hill Charles W.L. & Jones R.Garret (2009) , Strategic Management Theory Integrated`Approach
An
Hill, Hal. 2001. Small and Medium Enterprises in Indonesia. Asian Survey, Vol. 41, No. 2, pp.248-270. Hisrich D.Robert, Peters P.Michael, Shepherd A. Dean (2008): Entrepreneurship 7th edition Mc Graw – Hill, New York. Hitt A. Michael, Ireland R. Duane, Hoskisson E. Robert (2008) ; Startegic Management, Competitiveness and Globalization, South Western , US. Hoyle, Rick H. (1995). The Structural Equation Modeling Approach: Basic Concept and Fundamental Issues, di dalam Rick H. Hoyle (editor), Structural Equation Modeling: Concepts, Issues, and Application, Sage Publication, 1 – 15 Hult, G. T. M., & Ketchen, D. J., Jr. (2001). Does Market Orientation Matter? A Test Of The Relationship Between Positional Advantage And Performance. Strategic Management Journal, 22, 899–906 Hunger David J & Wheelen Thomas (2003) ; Management Startegics, Andi Yogyakarta Ismail Ismadi Aliamin, Rose Che Raduan, Abdullah Haslinda, Uli Jegak (2010) ,The Relationship Between Organisational Competitive Advantage and Performance
Moderated by the Age and Size of Firms, Journal vol. 15, no. 2, 157–173, July 2010
Asian Academy of Management
Joreskog , K.G Sorbom, D, du Toit , S and du Toit M, 1999, LESREL 8: New Statistical Features, Scientific Software Interrnational, Chicago. Julien Pierre-Andre & Charles Ramangalahy (2003) Competitive Strategy and Performence of Exporting SMEs: An Emperical Investigation of the Impact of Their Export Information Search and Competencies. Entrepreneurship Theory and Practice (ETP) Journal 1042 - 2587-01-2621.50. Baylor University Kaplan S. Robert & Norton P. David (2004); Strategy Maps, Converting Intangible Assets to Tangible Assets, Harvard Business Scholl Publishing Corporation. Kay, JA, (1993); Foundation of corporate success. How business strategies add value. Oxp\ford, UK, Oxford University Press. Kelliher Felicity & Reinl Leana (2009); A Resource -Based View Of Micro-Firm Managemant Practice, Jourmnal of Small Business and Enterpise Developmant Vol.16 No.3, 2009, p 521 - 532. Kuncoro, Mudrajad. (2007). Ekonomika Industri Indonesia : Menuju Negara Industri Baru 2030. Penerbit Andi. Yogyakarta. Leonidou C Leonidas, Palihawadana Dayananda dan Theodosiou Marios (2011); National Export-Promotion Programs as Drivers of Organizational Resources and Capabilities: Effects on Strategy, Competitive Advantage, and Performance. Journal International marketing, Vol.19. No.2 pp 1 - 29. Lee Sheng Jia, Hsieh Jung-Chiang, A Research In Relating Entrepreneurship, Marketing Capability, Innovative Capability And Sustained Competitive Advantage, Journal of Business & Economics Research - September, 2010 Volume 8, Number 9. Lennox Henry (2013). Intellectual Capital In A Recession, Evidence from UK SMEs. Journal of Intellectual Capital Vol.4, ISS: 1 pp 84-101. Luftman, J., & Kempaiah, R. M. (2007). The IS Organization of the Future: The IT Talent Challenge. Information Systems Management, 24(2), 129. Lumpkin, G. T., dan Dess, G. G., (1996), ―Clarifying the Entrepreneurial Orientation Construct and Linking it to Performance‖, Academy of Management Review, Vol. 21 (1), p. 135-172. Ma, H. (1999a). Anatomy of competitive advantage: A Select framework. Management Decision, 37(9), 709–718.
Man, Thomas W.Y& Lau, Theresa, Snape, Ed (2008).Entrepreneurical Competencies and the Performance of Small and Medium enterprises : an Investigation Through a Framework of Competitiveness. Journal of Small Business and Entrepreneurship Publisher. 06/22/2008 ———. (1999b). Creation and Preemption for Competitive Advantage. Management Decision, 37(3), 259–267. ———. (2000). Competitive Sdvantage and Firm Performance. Competitiveness Review, 10(2), 16. ———. (2004). Toward Global Competitive Advantage: Creation, competition, Cooperation and Co-option. Management Decision, 42(7), 907–924. Malhotra, N.K and Birks, D.F., 1999, Marketing Research: An Applied Approach, England: Prentice-Hall Mandy Mok Kim Man (2010); The Relationship Between Distinctive Capabilities, Innovativeness Strategy Types And The Export Performance Of Small And Medium-Size Enterprises (Smes) Of Malaysian Manufacturing Sector. International Journal Of Management And Innovation Volume 2 Issue 1 Masri Singarimbun, Sofian Effendi, 1995, Metode Penelitian Survei, Edisi Revisi, LP3ES, Jakarta Morgan A.Neil, Vorhies W. Dougas and Mason H. Charlotte, (2008), Market Orientation, Marketing Capabilities and Firm Performance ,Institutions of Higher Learning Medium Agro-Based Enterprises( SMEs) in Malaysia. Business Research Vol. 3, No. 2; April 2010 Mudrajad Kuncoro, 2002, Analisis Spasial dan Regional, Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Muhammad Taufiq, Proyeksi Sentra Menjadi
Nazir Moh. Ph.D (1999); Metode Penelitian, Ghalia Indonesia Jakarta Newbert L. Scott (28008) Value, Rareness, Competitive Advantage,and Performance: A Conceptual-Level EmpiricalIinvestigation of the Resource-Based View of the Firm, Strategic Management Journal , 29: 745–768 . Park Ji Young and Kim Soo Wook (2010); An Empirical Model To Assess The Influence Of The Government’s Research And Development Program On Korean
Small And Medium Enterprise (SME) Performance. The Asian Journal on Quality Vol. 11 No. 3, 2010 pp. 288-302 q Emerald Group Publishing Limited 1598-2688 DOI 10.1108/15982681011094032 Pearce A. John II & Robinson B.Richard Jr (2007) ; Startegic Management, Formulasi, Implementasi dan Pengendalian, Salemba Empat Peteraf, M. A. (1993). The cornerstones of competitive advantage: A resource-based view. Strategic Management Journal, 14, 179–191. Peteraf, M. A., & Bergen, M. E. (2003). Scanning dynamic competitive landscapes: A market-based and resource-based framework. Strategic Management Journal, 24, 1027–1041 Porter, Michael E (1998); The Competitive Advantage of Nation, Macmillan Business.
Basingstoke,
Porter Michael E (2008), Competitive Advantage (Keunggulan Bersaing) Menciptakan dan Mempertahankan KInerja Unggul, Karisma Publishing Group, Tangerang. Porter Michael E (2008), Lima Kekuatan itu Bentuk Strategi, Bisnis Harvard Review, January Prahalad C.K and Gary Hamel (1990); The Core Competence of the Corporation, Harvard Business Review, 68 (May-June) Raykov, Tenko and Marcoulides, George, A. 2006 , First Course in Structural Equation Modeling, (2nd ed), Lawrence Erlbaum Associates, Inc. New Jersey Ray, G., Barney, J. B., & Muhanna, W. A. (2004). Capabilities, Business Processes, And Competitive Advantage: Choosing The Dependent Variable In Empirical Tests Of The Resource-Based View. Strategic Management Journal, 25, 23–37.
Sato, Yuri. 2000. Linkage Formation by Small Firms: The Case of a Rural Kluster in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 36, Vol.1, pp.137-166 Schafer, D. S. 1990. Level of entrepreneurship and scanning source usage in very small businesses. Entrepreneurship Theory & Practice, 15(2): 19-31. Sekaran, Uma. (2003) Research method for business: A Skill building approach. (Four Edition. New York : John Wiley and Sons. Sethi Jyotsna, Saxena Anand, 2007: Entrepreneurial Competencies, Motivation, Performance and Rewards .
Setyo Hari Wijanto, 2008, Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.8 – Konsep dan Tutorial, Graha Ilmu, Yogyakarta Singh Rajwinder, Sandhu , H.S., Metri B.A. and Rajinder Kaur (2010) ,Relating Organised Retail Supply Chain Management Practices, Competitive Advantage And Organisational Performance, The Journal of Business Prespective, Vol 14, No.3, 2010 Soemacker & Lomax, 1996 : Sugema, Imam. 2002. Restrukturisasi Utang UKM. Jurnal Bisnis & Ekonomi Politik – INDEF, Jakarta, Vol. 5 No. 2 Juli hal. 35 – 44 Suseno Y.Djoko (2010): Pengaruh Stategi Bersaing, Sumber Daya Perusahaan Dan Implementasi Strategi Jenerik Terhadap Kinerja Dengan Lingkungan Operasi Sebagai Variabel Moderating, Jurnal Aplikasi Manajemen Vol 8 No.2 Teece DJ, Pisano G, Shuen A. 1997. Dynamic capabilities and strategic management. Strategic Management Journal 18(7): 509–533 Thee Kian Wie. 1993. Industrialisasi di Indonesia: Beberapa Kajian. LP3ES. Jakarta Tulus Tambunan, T.H., 2002, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu Penting, Jakarta: Salemba Empat.
Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM Veithzal ,Rivai Ahmad Fawzi MB, 2009, Manajemen Sumber Daya Manusia Dari Teori Ke Praktek, Penerbit Rajawali . Wang, Y., & Lo, H. (2003). Customer-focused performance and the dynamic model for Competence Building and Leveraging: A resource-based view. Journal of Management Development, 22(6), 483–526 Wayne Irava & Ken Moores (2010) ; Resources Supporting Entrepreneurial Orienttion in Multigenerational Family Firms. International Journal of Entrepreneurial Venturing, 2 (3/4), 222-245. Wernerfert, B. (1984). A resource based view of the firm. Strategic Management Journal, 5, 171-180. Wheelen and Hunger, 2002, Management Stategic, Andi Offset Yogayakarta. Wheelen, To, Hunger, David, 2010 ; Strategic management, Concept and Cases
Weijland, Hermine. 1999. Microenterprise Klusters in Rural Indonesia: Industrial Seedbed and Policy Target. World Development, Vol.27, No.9, pp.1515-1530 Wiklund, J., &Shepherd, D. (2003). Knowledge-Based Resources, Entrepreneurial Orientation, and the Performance of small and medium-sized businesses. Strategic Management Journal, 24, 1307–1314. Wilklund, J. (1998). Entrepreneurial Orientation As Predictor Of Performance And Entrepreneurial Behavior In Small Firms – Longitudinal Evidence. Frontier of Entrepreneurship Research. [Online] Available: http://www.babson. edu/entrep/fer/papers98/IX/IX_E/IX_E_text.htm (March 12, 1999). Wilklund, J. (1999). The Sustainability Of The Entrepreneurial Orientation-Performance Relationship,Frontiers Of Entrepreneurship Research, [Online]Available:http://www.babson.edu/entrep/fer/papers98/IX/IX_E/IX_E_text. htm (March 12, 1999]. Winardi J. Prof. Dr, 2004, Entreprenuer dan Entrepreneurship:, Prenada Media, Jakarta , 2010 Word Economic Forum, Laporan (WEF, 2011) Wul Yi-Hung, Lin Ju-Yueh, Chien Liang -Fei, and Yu Ming Hung, A Study on the , 2011 Relationship Among Supplier Capability, Partnership and Competitive Advantage in Taiwan’s Semiconductor Industry, International Journal of Electronic Business Management, Vol. 9, No. 2, pp. 122-138 . Yuyus Suryana, Prof Dr, S.E, M.S dan Bayu Kartib DR.IR, M.SI , 2011. Kewirausahaan, Pendekatan Karakteristik Wirausahawan Sukses, Kencana Media Group, Jakarta Zahra,S. 1993.A conceptual model of entrepreneurship as firm behavior: A critique and extension. Entrepreneurship: Theory and Practice, 17(4): 5-21. Zamberi Syed Ahmad (2013): Micro Small And Medium Size Enterprises Development In The Kingdom Of Saudi Arabia; Problem And Constraint. World Journal Entrepreneurship Management And Sustainable Development Vol.8 ISS:4 pp 217 - 232 th
Zikmund, W.G., 1997, Exploring Marketing Research, 6 ed., Fort Worth: The Dryden Press