Orientasi Keberagaman, Modal Sosial dan Prasangka terhadap Kelompok Agama Lain pada Mahasiswa Muslim Susilo Wibisono Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Abstract. The aim of this research is to analyze relation between social capital and prejudice toward others religion's group. Quantitative method was used in this research. The measurement scale was developed from previous existing measurements. The measurement of religious orientation was adapted from the Religious Orientation Scale revised edition, that was done by Gorsuch and McPherson (1989).The measurement of prejudice towards other groups was developed based on the indicators made by Lin (2005), which negative indicators are favourable indicators, and positive indicators were unfavourable. As for the measurement of social capital, it was based on the social capital measurement done by Van der Gaag and Sneijders (2004). The result of this analysis shows that there is a difference in the level of prejudice towards others religion's group based on the religious orientation held by the respondent. This can be seen from the covariant analysis which has an F value = 8,219, and p value = 0,006 (p<0,01). The respondent with an extrinsic religious orientation tends to have a higher level of prejudice compared to those with an intrinsic religious orientation.
Keywords: Religious orientation, prejudice, social capital. Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan modal sosial terhadap prasangka pada kelompok agama lain ditinjau dari modal sosial dan orientasi keberagamaan pada mahasiswa muslim. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Alat ukur dikembangkan dengan adaptasi atas beberapa alat ukur yang telah ada sebelumnya. Pengukuran orientasi keberagamaan menggunakan adaptasi Religious Orientation Scale edisi revisi yang dikembangkan Gorsuch dan McPherson (1989). alat ukur prasangka terhadap kelompok lain dikembangkan berdasarkan indikator yang disampaikan Lin (2005), yaitu indikator negatif sebagai indikator favorable dan indikator positif sebagai indikator yang unfavorable. Sedangkan pengukuran modal sosial didasarkan pada alat ukur modal sosial yang dikembangkan Van Der Gaag & Sneijders (2004). Hasil analisis data menunjukkan ada perbedaan level prasangka terhadap penganut agama lain berdasarkan orientasi keberagamaan yang dimiliki oleh responden. Hal ini ditunjukkan oleh analisis kovarian yang menghasilkan nilai F = 8,219 dengan p = 0,006 (p<0,01). Responden dengan orientasi keberagamaan ekstrinsik cenderung memiliki level prasangka yang lebih tinggi dibandingkan responden dengan orientasi keberagamaan intrinsik.
Kata kunci: Orientasi keberagamaan, prasangka, modal sosial.
Korespondensi: Susilo Wibisono. Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Kampus Terpadu Jl. Kaliurang Km 14.5, Besi, Sleman, Yogyakarta 55584. Email:
[email protected]
136
INSAN Vol. 14 No. 03, Desember 2012
Susilo Wibisono
Sebagai negara yang plural, Indonesia memiliki karakteristik penduduk yang sangat beragam, baik dari sisi ras, suku bangsa, bahasa, bahkan agama. Keragaman yang telah terjaga selama ratusan tahun ini, akhir-akhir ini terlihat bagaikan bara di dalam sekam. Konflik antar suku dan antar pemeluk agama telah terjadi di Indonesia, khususnya pasca reformasi yang membawa implikasi pada lahirnya kebebasan dalam mengekspresikan pendapat dan gagasan. Konflik antar umat beragama yang tak kunjung diatasi akan dapat melahirkan teror. Teror ini berlangsung secara personal maupun kolektif, juga secara fiisik maupun pikiran. Teror yang bersifat fisik berupa tindak kekerasan satu pihak atas pihak lain, sedangkan teror pikiran lahir dalam bentuk prasangka yang tidak fair dalam menilai perilaku kelompok umat beragama lain. Berkembangnya teknologi internet yang kemudian melahirkan berbagai bentuk jejaring sosial juga membuat fenomena ini semakin muncul ke permukaan. Prasangka ini tidak didominasi oleh satu kalangan umat beragama saja, melainkan hampir pada semua umat beragama, fenomena prasangka terhadap kelompok lain juga hadir. Penelitian ini difokuskan pada masyarakat Islam, khususnya kalangan mahasiswa. Dalam konteks mahasiswa, pengalaman penulis berinteraksi dengan mahasiswa, baik dalam relasi formal maupun relasi pergaulan menunjukkan bahwa fenomena prasangka terhadap umat agama lain masih relatif kuat. Dalam aktivitas diskusi misalnya, sebagian mahasiswa memiliki kecenderungan untuk menganalisis fenomena konf lik antar umat beragama secara tidak objektif, melainkan berdasarkan tendensi prasangka atas pihak-pihak yang berkonflik. Jika hal ini terus dibiarkan, toleransi yang semestinya terbangun dalam konteks relasi antar umat beragama dapat terancam. Padahal di sisi lain, toleransi dan kasih sayang sesama merupakan tonggak ajaran agama Islam yang dikembangkan oleh Rasulullah selama menjalani periode Madinah. Hal ini terlihat jelas dari muatan Piagam Madinah yang tidak hanya
INSAN Vol. 14 No. 03, Desember 2012
mengakomodasi kepentingan umat Islam semata, melainkan juga menegaskan posisi umat agama lain, dalam konteks tersebut yaitu Yahudi dan Nasrani sebagai saudara. Semangat lain terkait dengan keniscayaan bagi upaya membangun ikatan secara luas antara lain termaktub dalam Kitab suci Al Quran, yakni surah Al Hujarat ayat 14 yang menyatakan bahwa tujuan penciptaan manusia yang beraneka ragam adalah agar terbangun upaya untuk saling mengenal satu sama lain. Pada dasarnya tidak ada yang berbeda di mata Sang Pencipta terkait perbedaan-perbedaan tersebut, kecuali kadar ketaqwaan yang dimiliki oleh masing-masing individu terhadap-Nya. Pandangan interaksi antar kelompok menyatakan bahwa proses interaksi antar kelompok sangat memiliki peluang bagi timbulnya konflik (Faturochman, 1993). Proses ini diawali dengan proses kategorisasi, pengidentitasan, dan perbandingan. Masingmasing kelompok yang ada secara cepat akan melakukan kategorisasi diri dan merasakan adanya perbedaan dengan kelompok lain. Perasaan berbeda dengan kelompok lain ini menimbulkan cara pandang yang dikotomik berupa ingroup (kelompok saya) dan outgroup (kelompok lain). Dikotomi cara pandang ini dapat membangun prasangka terhadap kelompok lain yang merupakan pemicu bagi timbulnya konflik antar kelompok. Dalam relasi antar umat beragama, kondisi yang demikian masih acapkali muncul. Hal ini diperkuat dengan peran media massa yang mencitrakan kelompok tertentu secara negatif, apalagi ketika media tersebut juga memiliki kepentingan idiologis di dalamnya. Kondisi yang demikian juga terjadi pada kalangan mahasiswa. Kebebasan menyatakan pendapat yang terbuka lebar pasca reformasi membawa dampak bagi menjamurnya berbagai aliran pemikiran dalam agama-agama yang ada di Indonesia. Kehidupan beragama kemudian menjadi sesuatu yang rentan bagi meletusnya konf lik antar kelompok.
137
Orientasi Keberagaman, Modal Sosial dan Prasangka terhadap Kelompok Agama Lain pada Mahasiswa Muslim
Pemikiran tertentu dalam proses interpretasi nilai-nilai agama memiliki implikasi yang besar dalam membangun prasangka terhadap kelompok agama lain. Prasangka antar kelompok dapat menjadi sumbu bagi konflik horizontal yang sangat merugikan, baik secara finansial maupun secara sosiokultural. Prasangka juga akan mendorong terbangunya sikap negatif dan kecenderungan untuk melakukan agresi terhadap kelompok lain (Fischer, dkk., 2007). Prasangka yang terbangun d ar i kategor i sasi , pengi d enti tasan d an pembandingan ini semakin mudah terbangun ketika satu kelompok memperoleh informasi tentang kelompok lain hanya dari ingroup-nya saja. Kejadian demikian banyak terkonfirmasi terutama dalam konteks kelompok agama. Terbatasnya interaksi antar kelompok ini di sisi lain merupakan indikator dari lemahnya modal sosial yang dimiliki oleh sebuah kelompok. Padahal, modal sosial ini merupakan satu hal yang sangat penting bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang hidup dalam keanekaragaman sebagaimana masyarakat Indonesia. Secara akademik, kajian mengenai modal sosial diidentikkan dengan dua cara pandang. Pertama, modal sosial dianggap sebagai sumber daya berupa informasi, ide, dan dukungan yang dapat dihasilkan individu dari relasi sosial yang dibangunnya. Semakin luas jaringan sosial yang dimiliki, maka kapasitas terhadap informasi baru, ide dan dukungan dari pihak lain atas dirinya akan semakin besar. Kedua, modal sosial mengacu pada karakteristik yang merepresentasikan berbagai mekanisme interaksi anggota sebuah komunitas sosial. Cara pandang kedua ini tidak terbatas pada antar individu dalam satu komunitas, melainkan antara individu dengan komuitas lain, dan antar komunitas yang berbeda (Grootaert, dkk., 2004). Kapasitas modal sosial ini kemudian dibagi menjadi beberapa dimensi, yaitu dimensi kelompok/jaringan, kepercayaan dan solidaritas, aksi kolektif, informasi dan
138
komunikasi, ikatan sosial, serta pemberdayaan (Grootaert, dkk., 2004). Prasangka antar kelompok sebagai sebuah fungsi psikologis memiliki keterkaitan dengan dimensi kepribadian individu (Sibley & Duckitt, 2008). Keterkaitan antara kepribadian dan trait individual ini mulai dipelajari sejak penelitian yang dikembangkan oleh Allport pada tahun 1954 dan Adorno pada tahun 1950. Selain faktor kepribadian, ideologi yang dianut seseorang juga turut membangun level prasangkanya terhadap kelompok lain (Sibley & Duckitt, 2008). Ideologi yang dianut dan ditanamkan kepada individu ini juga mempengaruhi bagaimana orientasi keberagamaan yang dikembangkan. Orientasi keberagamaan memiliki posisi yang saling berhubungan dengan keputusan individu untuk masuk dalam kelompok keagamaan tertentu. Orientasi keberagamaan merupakan konstruk individual. Hal ini mengacu pada kepribadian inividu, pengalaman keberagamaan, dan sikap keberagamaan (Barret, dkk., 2004). Orientasi (Kartono & Gulo, 2000) merupakan kemampuan individu untuk menempatkan diri dalam kenyataan atau lingkungan dengan berpedoman pada berbagai hal yang diyakininya. Kajian tentang orientasi keberagamaan yang paling terkenal dikembangkan oleh Allport dan Ross (1967) yang menyatakan bahwa orientasi keberagamaan individu dibagi menjadi dua, yaitu orientasi ekstrinsik dan intrinsik. Meskipun ke m u d i a n B a t s o n ( B a r re t , d k k . , 2 0 04 ) menambahkan satu bentuk orientasi keberagamaan yang dikenal dengan quest, atau orientasi petualangan dalam beragama. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menarik asumsi bahwa prasangka antar agama yang dibagun oleh individu diperngaruhi oleh modal sosial yang dimiliki dan orientasi keberagamaan yang dikembangkan dalam dirinya.
Prasangka Antar Kelompok Kelompok-kelompok yang ada di masyarakat berpotensi untuk menimbulkan konflik (Ancok, 2004). Kehadiran berbagai kelompok di tengah
INSAN Vol. 14 No. 03, Desember 2012
Susilo Wibisono
masyarakat dapat memunculkan persaingan antar kelompok. Kalangan psikolog sosial banyak melihat berbagai gejala kecenderungan suatu kelompok yang mengutamakan kelompoknya sendiri dibandingkan dengan kelompok di luar kelompoknya. Hal yang demikian telah lama terjadi, dalam berbagai konteks yang berbedabeda. Dan hal ini telah menjadi tantangan logis bagi karakteristik masyarakat yang majemuk. Pada masyarakat Indonesia, kategorisasi kelompok dapat dibagi ke dalam beberapa hal, misalnya: jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), kelas sosial ekonomi, etnis, fungsi, fraksi politik, dan agama. Dalam hubungan antar kelompok, prasangka antar kelompok atau yang juga dikenal dengan istilah prasangka sosial merupakan topik yang penting dibahas. Prasangka adalah sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu yang hanya didasarkan atas keanggotaan dalam kelompok yang lain (Brown, 2006). Sherif & Sherif (1969) menegaskan bahwa prasangka merupakan sikap negatif dari suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berangkat dari norma satu kelompok tersebut. Norma adalah kesepakatan-kesepakatan informal yang terbangun melalui suatu proses, dan kemudian menjadi aturan tidak tertulis yang disepakati bersama. Prasangka menjadi satu konstrak yang penting dalam kajian psikologi karena terkait dengan diskriminasi. Dari definisinya saja, prasangka telah mengarah pada dimensi-dimensi yang negative terhadap pihak lain. Dalam konteks ini, berlaku cara pandang ingroup dan outgroup. Brown (2006) menyatakan bahwa prasangka dapat dibagi ke dalam tiga bentuk, yaitu sexism, racisme, dan ageism. Sexisme mengacu pada prasangka yang muncul berdasarkan perbedaan jenis kelamin, yakni antara identitas sebagai lakilaki dan identitas sebagai perempuan. Prasangka ini kerapkali melahirkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Racism adalah prasangka yang didasarkan atas perbedaan rasa
INSAN Vol. 14 No. 03, Desember 2012
atau suku. Prasangka ini dapat melahirkan konflik horizontal antara dua suku, seperti yang pernah terjadi di Sambas dan Sampit antara suku Dayak dan Madura. Sedangkan ageisme merupakan prasangka yang muncul antara dua kelompok dengan usia yang berbeda, misalnya kecenderungan kelompok muda untuk menilai golongan tua sebagai pihak yang konservatif, kolot dan tidak berkembang. Sebaliknya, kalangan tua juga menilai kalangan muda sebagai generasi yang terburu-buru, tidak berpengalaman dan tidak mau belajar dari yang tua. Lin (2005) mengembangkan pengukuran yang digunakan untuk memprediksi prasangka antar kelompok ini dengan identifikasi beberapa karakteristik positif dan negatif yang dilabelkan pada kelompok tertentu. Karakteristik negatif tersebut antara lain antisosial, dingin, licik, menyimpan sesuatu yang negatif, berpikiran sempit, banyak bicara tapi miskin aksi, agresif, egois, sukar ditebak, dan ambisius. Karakteristik positif yang juga dilampirkan antara lain pekerja keras, cerdas, terencana, patuh, disiplin, serius, serta memiliki akar tradisi yang kuat. Pada masyarakat Indonesia yang plural, prasangka dapat terjadi dalam berbagai konteks perbedaan yang ada, tidak terbatas pada tiga kategori yang dikembangkan oleh Brown (2006) di atas. Setiap dimensi kemajemukan yang disandang masyarakat Indonesia mengandung potensi bagi lahirnya stereotype dan prasangka. Baru-baru ini, dimensi kemajemukan yang menjadi sentra persoalan adalah kemajemukan dalam hal keyakinan beragama. Stephan, dkk (2002) mengidentifikaksi bahwa prasangka lahir dalam diri individu sebagai implikasi perasaan terancam. Ancaman ini dapat berupa ancaman yang realistis (realistic threat) maupun ancaman simbolik (symbolic threat). Ancaman realistis ini merepresentasikan kekhawatiran individu terkait dengan kekalahan ingroup secara ekonomi maupun politis. Hal ini dikhawatirkan akan membawa implikasi pada berbagai indikator
139
Orientasi Keberagaman, Modal Sosial dan Prasangka terhadap Kelompok Agama Lain pada Mahasiswa Muslim
kesejahteraan ingroup. Ancaman simbolik merepresentasikan kekhawatiran ingroup terhadap kekalahan dalam sosialisasi nilai dan norma di tengah masyarakat oleh kelompok lain (outgroup) (Lin, 2005). Faktor lain yang mempengaruhi munculnya prasangka terhadap kelompok lain adalah kecemasan antar kelompok dan stereotipe yang negatif. Kecemasan antar kelompok mengacu pada perasaan tidak nyaman ketika sedang menjalin interaksi dengan orang dari kelompok yang berbeda. Sedangkan stereotipe negatif adalah keyakinan yang melekat dalam diri bahwa kelompok lain tertentu memiliki karakteristikkarakteristik yang negatif semacam tidak jujur, manipulatif, bodoh, tidak bersih, dan tidak bertanggung jawab (Lin, 2005).
Modal Sosial Dalam pidato pengukuhan Drs. Djamaludin Ancok, Ph.D sebagai Guru Besar di fakultas Psikologi UGM, diungkapkan bahwa konsep modal sosial pertama kali dicetuskan oleh Hanifan pada tahun 1916 untuk membicarakan faktor substansi dalam kehidupan masyarakat yang antara lain berupa niat baik, rasa simpati, perasaan bersahabat, dan hubungan sosial yang membentuk unit sosial (Ancok, 2003). Gagasan mengenai modal sosial semakin banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Ancok (2003) mensinyalir hal ini sebagai indikator semakin lemahnya tingkat kepedulian manusia terhadap manusia lainnya dan semakin merenggangnya hubungan sesama manusia. Modal sosial didefinisikan secara berbedabeda oleh para pakar ilmu sosial. Perbedaan ini dapat dikelompokkan ke dalam dua pola, yaitu bahwa modal sosial menekankan pada jaringan hubungan kelompok (social network) dan modal sosial sebagai karakteristik yang melekat pada diri individu yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial (Ancok, 2003). Karakteristik jaringan sosial yang dimaksud dalam kelompok definisi yang
140
pertama adalah bahwa jaringan sosial tersebut harus memiliki pengaruh terhadap perilaku individu dan memfasilitasi upaya pencarian solusi masalah (Ancok, 2003). Karakteristik individu pada pola yang kedua mengacu pada nilai-nilai yang mampu memfasilitasi terjalinnya kerjasama dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Pada perkembangan mutakhir, konsep modal sosial ini kemudian terus meluas. Hal ini terjadi sebagai implikasi perkembangan teknologi informasi yang terus berevolusi sehingga memudahkan interaksi antar manusia meskipun tanpa harus berhadapan langsung (face to face). Kondisi demikian membuat cakupan modal sosial pada akhirnya juga meliputi modal virtual (virtual capital) (Ellison, Steinfield, & Lampe, 2007). Konsepsi yang serupa sebenarnya telah disampaikan oleh Bourdieu & Wacquant (1992) yang menyatakan bahwa modal sosial pada dasarnya adalah akumulasi sumber daya, baik yang sifatnya aktual maupun virtual yang memungkinkan individu maupun kelompok untuk menjalin hubungan dengan pihak lain. Sebagai sebuah kapasitas individu, modal sosial dijelaskan melalui beberapa dimensi, yaitu aktivitas produktif bagi diri sendiri, hubungan personal dengan orang lain, aktivitas rekreasional, aktivitas produktif bagi orang lain, hubungan dengan publik, dan kemampuan membangun kontak dengan orang lain yang belum dikenal (Van Der Gaag & Sneijders, 2004). Modal sosial merupakan bagian dari proses yang tidak hanya bersifat kognitif, melainkan juga bersifat afektif. Oleh karenanya, pembentukan kapasitas modal sosial ini hanya dapat dilakukan dengan pelibatan orang lain yang dikondisikan untuk bekerjasama demi sebuah tujuan. Modal sosial, sebagaimana dideskripsikan oleh Blakeley & Suggate (1997) memiliki beberapa elemen yang menyusunnya, yaitu kepercayaan (trust), kohesivitas, altruisme, gotong royong, jaringan, dan kolaborasi sosial. Konstruksi ini memiliki pengaruh yang besar terhadap
INSAN Vol. 14 No. 03, Desember 2012
Susilo Wibisono
pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti peningkatan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, perluasan partisipasi dalam aktivitas sosial, penguatan keserasian masyarakat dan penurunan tingkat kekerasan serta kejahatan dalam masyarakat. Mo d a l s o s i a l m e n g a c u p a d a i n te ra k s i antarindividu dalam suatu komunitas, namun demikian pengukuran terhadap konstrak modal sosial biasanya lebih mengacu pada output dari interaksi tersebut. Dengan mengutip Spellerber (1997), Suharto (2005) menyatakan bahwa beberapa indikator yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengukuran modal sosial antara lain: (a) Perasaan identitas; (b) Perasaan memiliki atau teralienasi; (c) Sistem kepercayaan dan idiologi; (d) Nilai-nilai dan tujuan; (e) Ketakutan-ketakutan; (f) Sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat; (g) Persepsi mengenai akses terhadap layanan, sumber dan fasilitas; (h) Tingkat kepercayaan; (i) Kepuasan dalam hidup; dan (j) Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan. Van Der Gaag & Sneijders (2004) mengembangkan pengukuran modal sosial dengan menggunakan beberapa aspek modal sosial yang menurutnya relevan. Aspek-aspek terebut adalah modal sosial yang terkait dengan prestige dan pendidikan, modal sosial yang terkait dengan kemampuan politik dan finansial, modal sosial yang terkait dengan kemampuan personal, modal sosial yang terkait dengan dukungan personal serta rendahnya tingkat isolasi sosial. Modal sosial yang terkait dengan prestis dan pendidikan diindikasikan oleh berbagai bentuk kapasitas individual yang meliputi kepemilikan relasi dengan media massa, kepemilikan relasi di lokasi-lokasi yang berjauhan, pengetahuan yang luas tentang berbagai hal, penghasilan yang relatif tinggi, jenjang pendidikan yang relatif tinggi, keaktifan di berbagai organiasi dan forum. Aspek modal sosial yang terkait dengan kemampuan politik dan finansial diindikasikan oleh beberapa
INSAN Vol. 14 No. 03, Desember 2012
indikator yaitu pemahaman terhadap berbagai dimensi kebijakan pemerintah dan keterampilan mengelola finansial. Aspek modal sosial yang terkait kemampuan personal diindikasikan antara lain oleh banyaknya bahan bacaan yang dikuasai, kemampuan berkomunikasi, kemampuan m e m a n f a a t k a n te k n o l o g i te r b a r u , d a n kepemilikan kendaraan untuk mobilitas. Modal sosial terkait dengan dukungan personal antara l a i n d i i n d i k a s i k a n m e l a l u i ke m u d a h a n memperoleh rekomendasi dan kemampuan mendamaikan dua pihak yang berkonf lik. Rendahnya isolasi sosial antara lain diindikasikan dengan rendahnya pengabaian sosial, mudah dipahami orang lain, kemampuan mempertahankan keakraban dan rendahnya isolasi pergaulan.
Orientasi Keberagamaan Sebagaimana disampaikan dalam Bab sebelumnya, orientasi merupakan kemampuan individu untuk menempatkan diri dalam kenyataan atau lingkungan dengan berpedoman pada berbagai hal yang diyakininya. Kajian tentang orientasi keberagamaan pada mulanya dikembangkan oleh Allport dan Ross (1967) yang membaginya menjadi dua, yaitu orientasi ekstrinsik dan intrinsik. Individu dengan orientasi keberagamaan ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan. Implikasinya adalah orang berpaling kepada Tuhan, akan tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Orang dengan orientasi keberagamaan ekstrinsik menggunakan agama sebagai penunjang motif-motif lain seperti kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Orang yang beragama dengan cara ini, melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama, seperti berpuasa, shalat, haji, dan sebagainya namun mereka tidak di dalamnya (Barret, dkk., 2004). Sedangkan orientasi keberagamaan intrinsik mengacu pada penerimaan agama dalam
141
Orientasi Keberagaman, Modal Sosial dan Prasangka terhadap Kelompok Agama Lain pada Mahasiswa Muslim
diri individu sebagai motif utama sebagaimana kebutuhan. Individu mampu membangun harmoni antara keyakinan agama dengan konteks lingkungannya. Individu yang memiliki orientasi ke b e ra g a m a a n i n t r i n s i k t i n g g i m a m p u membangun kehidupan yang seimbang antara keyakinan dan perilaku keberagamaannya (Barret, dkk., 2004). Batson (Barret, dkk., 2004) menambahkan satu bentuk orientasi keberagamaan yang lain, yaitu orientasi pada pencarian (quest). Individu dengan orientasi pada pencarian memandang agama sebagai proses yang terbuka dan mempertanyakan berbagai dasar yang membangun keyakinan atas suatu agama. Individu dengan orientasi ini akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial tanpa mereduksi kompleksitasnya. Individu tersebut juga memiliki kemungkinan untuk berpindah agama atau bahkan menjadi agnostik. Studi yang dikembangkan oleh Baker & Gorsuch (Lewis, Maltby, Day, 2005) menunjukkan b a hw a o ra n g y a n g m e m i l i k i o r i e n t a s i keberagamaan ekstrinsik akan cenderung merasa cemas dibandingkan orang yang memiliki orientasi keberagamaan intrinsik. Selain itu juga ditemukan bahwa orang dengan orientasi keberagamaan ekstrinsik akan memiliki skor depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang memiliki orientasi keberagamaan intrinsik. Namun demikian, beberapa penelitian lain menunjukkan adanya hasil yang berbeda (Maltby, dkk,1999). Model pengukuran yang dikembangkan oleh Maltby, dkk (1999) adalah dengan menjadikan orientasi keberagamaan sebagai variabel dengan intrinsik, ekstrinsik, dan quest sebagai parameter yang bentuknya nominal. Sehingga model pengujian yang dikembangkan adalah uji beda. Berbagai bentuk orientasi keberagamaan membangun kecenderungan untuk berkelompok dengan individu-individu lain yang memiliki orientasi sama. Kelompok tersebut pada akhirnya akan memiliki prasangka yang
142
berbeda-beda terkait dengan kelompok di luar agamanya. Berlandaskan pada teori inilah, penelitian ini dibangun untuk menganalisis bagaimana orientasi keberagamaan membawa dampak atas prasangka terhadap kelompok agama lain.
Landasan Teoritik Prasangka dapat dikatakan sebagai bentuk ketidakadilan sikap, karena hal ini hanya didasarkan pada pengalaman dan apa yang didengar oleh individu. Dalam konteks ajaran agama, prasangka merupakan sesuatu yang terlarang. Islam secara tegas melarangnya dengan menganalogikan prasangka sebagai perbuatan “memakan daging saudara sendiri”, bahkan dikatakan sebagai “seburuk-buruknya perkataan”. Dalam literatur sastra, prasangka pernah disampaikan oleh Sylado (2004) melalui ucapan Laksamana Cheng Ho yang mengatakan bahwa prasangka dapat mengantarkan pikiran seseorang mundur 100 tahun. Perbedaan latar belakang keyakinan dan agama merupakan salah satu faktor pemicu munculnya prasangka, disamping faktor kepribadian yang diatribusikan pada karakter kepribadian otoriter. Dalam konteks perbedaan agama, prasangka akan cenderung terbangun ketika orientasi keberagamaan yang dikembangkan adalah orientasi ekstrinsik. Orientasi keberagamaan ekstrinsik mendorong individu untuk menggunakan agama sebagai penunjang motif lain, seperti kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Orang yang beragama dengan cara ini, melaksanakan bentukbentuk luar dari agama, seperti berpuasa, shalat, haji, dan sebagainya namun mereka tidak di dalamnya. Secara operasional, model orientasi keberagamaan ini mewujud dalam fokus terhadap ritual dan ajaran-ajaran yang sifatnya simbolik dengan kecenderungan untuk tidak mengindahkan nilai-nilai universal ajaran agama yang berisi kebajikan serta toleransi. Individu
INSAN Vol. 14 No. 03, Desember 2012
Susilo Wibisono
dengan orientasi keberagamaan ekstrinsik akan cenderung lebih mudah mengembangkan prasangka terhadap kelompok lain di luar kelompoknya. Keterkaitan antara orientasi keberagamaan dan prasangka ini dapat dikontrol oleh modal sosial yang dimiliki oleh individu. Dalam penelitian ini, definisi modal sosial yang dimaksud lebih mengarah pada karakteristik individu. Modal sosial pada mahasiswa dilihat berdasarkan kapasitasnya dalam hal pendidikan, politik, personal skill, dukungan sosial yang dapat diakses, serta rendahnya isolasi sosial yang dialami. Modal sosial merupakan sebuah komponen psikologis yang digunakan oleh individu untuk membangun kemampuan berpikir lebih panjang dan perasaan toleransi sehingga mampu mereduksi kecenderungan untuk memenangkan prasangka di atas rasionalitas dalam memandang kelompok lain. Dalam penelitian ini, diasumsikan bahwa modal sosial memiliki korelasi yang negatif dengan prasangka terhadap kelompok agama lain.
Hipotesis Penelitian Ada perbedaan tingkat prasangka terhadap kelompok agama lain berdasarkan orientasi keberagamaan yang dimiliki. Individu dengan orientasi keberagamaan ekstrinsik akan cenderung memiliki prasangka yang lebih tinggi dibanding individu dengan orientasi keberagamaan intrinsik.
Dimensi Intrinsik Ekstrinsik
Subjek Penelitian Subjek Penelitian adalah mahasiswa Prodi Psikologi UII sejumlah 177 mahasiswa.
Metode Pengumpulan Data Pengambilan data dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan skala psikologis. Pengembangan skala psikologis didasarkan pada proses adopsi beberapa alat ukur yang telah ada sebelumnya dengan berbagai modifikasi yang menurut peneliti perlu dilakukan. Pengukuran terhadap konstrak orientasi keberagamaan dikembangkan dengan mengacu pada Religious Orientation Scale edisi revisi (Gorsuch & McPherson, 1989) yang mengacu pada kategorisasi Allport & Ross (1967). Alat ukur ini memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,83. Pengembangan alat ukur dilakukan dengan upaya menyesuaikannya dengan konteks kehidupan mahasiswa yang beragama Islam. Selain itu juga dilakukan penambahan item untuk mengantisipasi banyaknya item yang akan gugur ketika dilakukan analisis butir. Blueprint alat ukur orientasi keberagamaan ini adalah sebagai berikut pada Tabel 1. Pengembangan alat ukur prasangka terhadap kelompok lain lain dikembangkan berdasarkan indikator yang disampaikan Lin (2005), yaitu indikator negatif sebagai indikator favorable dan indikator positif sebagai indikator yang unfavorable. Indikator negatif ini meliputi beberapa karakteristik yang dapat dilekatkan pada individu maupun kelompok, yaitu antisosial, dingin, licik, ada udang di balik batu
Tabel 1. Blueprint alat ukur orientasi keberagamaan Nomor item 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 11,12,13,14,15,16,17,18,19,20,21,22,23,24
METODE PENELITIAN Variabel Penelitian Variabel penelitian dibagi menjadi tiga, yaitu: Variabel tergantung: Prasangka terhadap kelompok agama lain Variabel bebas : Orientasi keberagamaan Variabel kontrol : Modal sosial
INSAN Vol. 14 No. 03, Desember 2012
(menyembunyikan motif atau tendensi), berpikiran sempit, banyak bicara saja, agresif, egois, sukar ditebak, dan ambisius. Sedangkan karakteristik positif yang digunakan untuk pengukuran ini meliputi pekerja keras, cerdas, terencana, patuh, disiplin, serius, serta memiliki tradisi yang kuat. Pengukuran modal sosial dikembangkan berdasarkan beberapa aspek, yaitu modal sosial
143
Orientasi Keberagaman, Modal Sosial dan Prasangka terhadap Kelompok Agama Lain pada Mahasiswa Muslim
terkait dengan prestige dan pendidikan, terkait Setelah melalui prosedur tersebut, maka dengan politik, terkait dengan personal skill, orientasi keberagamaan menjadi variabel yang terkait dengan personal support, dan rendahnya nominal, sehingga analisis yang dapat tingkat isolasi sosial. Pengukuran konstrak ini dikembangkan untuk membuktikan adanya dikembangkan dengan mengacu pada blueprint pengaruh orientasi keberagamaan alat ukur pada Tabel 2 di bawah ini: Tabel 2. Blueprint alat ukur modal sosial Aspek Item Terkait prestise dan pendidikan 1,2,3,4,5 Terkait politik 6,7,8,9 Terkait personal skill 10,11,12,13, Terkait personal support 14,15,16,17 Isolasi sosial yang rendah 18,19,20,21,22,23,24,25,26,27,28,29,30 Aitem-aitem untuk aspek isolasi sosial yang rendah dikembangkan masih bersifat favorable terhadap isolasi sosial, sehingga skoringnya dilakukan dengan secara berkebalikan dengan aspek-aspek di atasnya.
Teknik Analisis Data Peneliti melakukan kategorisasi orientasi keberagamaan subjek penelitian ke dalam dua kategori, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Kategorisasi dilakukan dengan melakukan standardisasi terhadap skor orientasi keberagamaan, baik yang intrinsik maupun ekstrinsik, kemudian kategorisasi dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Jika Zintrinsik > 0,5 dan Zekstrinsik < 0, maka intrinsik Jika Zekstrinsik > 0,5 dan Zintrinsik < 0, maka ekstrinsik Di luar dua ketentuan di atas, maka dikatakan tidak terkategorikan.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
144
dan modal sosial terhadap prasangka pada kelompok agama lain adalah dengan menggunakan analisis kovarian (anacova). Analisis ini dipilih sesuai dengan komponen variabel yang dikembangkan dalam penelitian ini, yaitu variabel dependen ditinjau berdasarkan variabel independen yang nominal dan dikontrol dengan menggunakan variabel kontrol interval.
Hasil Penelitian Alat ukur yag telah disusun kemudian diujicobakan pada subjek penelitian sejumlah 177 (N=177). Analisis untuk melihat koefisien konsistensi internal (koefisien alpha) masingmasing dimensi ukur yang digunakan dalam penelitian ini memperoleh hasil sebagaimana disajikan dalam Tabel 3. sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil Uji Koefisien Konsistensi Internal (a) Koefisien konsistensi Internal Dimensi Ukur (a) Orientasi Keberagamaan Intrinsik 0,6532 Orientasi keberagamaan ekstrinsik 0,5537 Prasangka terhadap penganut Katholik/Kristen 0,7791 Prasangka terhadap penganut Yahudi 0,8395 Prasangka terhadap penganut Hindhu 0,7980 Prasangka terhadap penganut Budha 0,8403 Prasangka terhadap penganut Kong Hu Cu 0,8818 Persepsi terhadap penganut Islam 0,8828 Modal sosial 0,8561
INSAN Vol. 14 No. 03, Desember 2012
Susilo Wibisono
Berdasarkan uji koefisien internal yang dilakukan terhadap dimensi-dimensi ukur dalam penelitian tersebut, digugurkan beberapa aitem yang memiliki indeks koefisien internal rendah, yaitu aitem intrinsik_2, intrinsik_4, intrinsik_5, ekstrinsik_1, dan ekstrinsik_13. Tahap selanjutnya, peneliti melakukan kategorisasi nominal untuk variabel orientasi keberagamaan. Hal ini mengacu pada orientasi keberagamaan yang diposisikan sebagai variabel independen dalam penelitian ini. Kategorisasi yang dilakukan mengacu pada formula yang telah disampaikan dalam Bab III dan memperoleh hasil sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4. di bawah ini: Kondisi tidak terkategorikan mengacu pada individu-individu yang memiliki skor orientasi intrinsik dan ekstrinsik yang sama-sama tinggi atau sama-sama rendah. Dalam penelitian ini, selanjutnya data yang akan dianalisis adalah data yang bersumber dari 54 responden penelitian yang terdiri atas 25 orang dengan orientasi keberagamaan ekstrinsik dan 29 orang dengan orientasi keberagamaan intrinsik. Uji asumsi normalitas dilakukan terhadap dua variabel yang berbentuk interval, yaitu variabel prasangka terhadap penganut agama lain dan variabel modal sosial. Skor variabel prasangka diperoleh berdasarkan rerata skor prasangka terhadap masing-masing kelompok penganut agama di luar agama Islam. Pengujian dilakukan
pada masing-masing kelompok berdasarkan orientasi keberagamaan yang dimiliki. Hasil pengujian yang dilakukan menggunakan OneSample Kolmogorov-Smirnov memperoleh hasil sebagaimana Tabel 5 di bawah ini: Hasil uji asumsi normalitas yang disajikan dalam Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa data variabel penelitian, baik pada kelompok yang memiliki orientasi keberagamaan intrinsik maupun ekstrinsik memiliki distribusi yang normal. Uji asumsi yang kedua adalah uji asumsi homogenitas untuk pengujian menggunakan analisis kovarian. Uji asumsi homogenitas ini dilakukan menggunakan Uji Levene. Hasil pengujian menghasilkan nilai F = 0,038 dengan p = 0,846. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi homogenitas data penelitian dalam penelitian ini dapat terpenuhi. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa populasi dua kelompok yang akan dibandingkan (intrinsik dan ekstrinsik) memang dapat dibandingkan (comparable), karena memiliki variasi yang cenderung sama. K a t e go r i s a s i b e r d a s a r k a n o r i e n t a s i keberagamaan yang telah dilakukan kemudian diuji dengan menggunakan analisis kovarian untuk melihat apakah ada perbedaan tingkat prasangka terhadap penganut agama lain berdasarkan orientasi keberagamaan yang dimiliki dengan mengendalikan variabel modal
Tabel 4. Hasil Kategorisasi Nominal Variabel Orientasi Keberagamaan Orientasi Keberagamaan
Frekuensi
Prosentase
Ekstrinsik Intrinsik Tidak terkategorikan
25 29 122
14.20% 16.48% 69.32%
Total
177
100%
Variabel Prasangka terhadap Penganut Agama Lain Modal Sosial
Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Kelompok Nilai KS-Z Nilai p Intrinsik 0,744 0,637 (p>0,05) Ekstrinsik 0,541 0,931 (p>0,05) Intrinsik 0,495 0,967 (p>0,05) Ekstrinsik 1,069 0,931 (p>0,05)
INSAN Vol. 14 No. 03, Desember 2012
Keterangan Normal Normal Normal Normal
145
Orientasi Keberagaman, Modal Sosial dan Prasangka terhadap Kelompok Agama Lain pada Mahasiswa Muslim
sosialnya. Hasil analisis menghasilkan nilai F = 8,219 dengan p = 0,006 (p<0,01). Hal ini mengindikasikan bahwa ada perbedaan level prasangka terhadap penganut agama lain berdasarkan orientasi keberagamaan yang dimiliki oleh responden. Berdasarkan deskripsi data penelitian ditunjukkan bahwa pada responden yang memiliki orientasi keberagamaan ekstrinsik, prasangka cenderung lebih tinggi dibandingkan responden yang memiliki orientasi keberagamaan intrinsik. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa modal sosial yang dimiliki responden tidak berkorelasi dengan prasangka terhadap penganut agama lain.
Bahasan Di Indonesia, di samping perbedaan suku, perbedaan agama merupakan isu utama yang paling sensitif dalam menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan, karena selama ini telah terbangun prasangka yang negatif antar pemeluk agama di Indonesia. Prasangka merupaka fenomena psikologis yang paling sulit untuk dipahami, sehingga Gordon W. Allport (Romli, 2008) menyatakan bahwa memecahkan rahasia tentang atom lebih mudah dilakukan oleh ilmuwan alam dibandingkan memecahkan rahasia “atom” prasangka yang dilakukan oleh ilmuwan sosial. Hal ini salah satunya diindikasikan oleh beragamnya definisi mengenai prasangka yang disampaikan oleh para ahli. Namun demikian, dalam penelitian ini, pemahaman mengenai prasangka dimaknai sebagai penilaian atas individu atau kelompok tertentu yang didasarkan atas persepsi subjektif atas citra kelompok tersebut dan cenderung mengarah pada sisi yang negatif secara nilai dan norma. Banyak ahli yang kemudian menyatakan bahwa prasangka inilah yang kemudian dapat mengkulminasi menjadi bara konflik. Dalam konteks sosiologis, Romli (2008) mengidentifikasi dua faktor yang terkait dengan prasangka antar agama, yaitu faktor sejarah hubungan antar agama dan faktor
146
sosialisasi yang dikembangkan. Hasil penelitian di atas menemukan bahwa dalam konteks responden muslim, prasangka terhadap pemeluk agama lain memiliki kaitan dengan orientasi keberagamaan yang dikembangkan oleh individu. Responden yang memiliki orientasi keberagamaan ekstrinsik cenderung memiliki level prasangka terhadap pemeluk agama lain yang lebih tinggi dibandingkan responden dengan orientasi keberagamaan intrinsik. Penelitian ini mengkonfirmasi penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan oleh Allport dan Ross (1967) bahwa orientasi keberagamaan ekstrinsik cenderung mendukung prasangka terhadap penganut agama lain. Orientasi keberagamaan ekstrinsik adalah kecenderungan individu untuk memperlakukan agama sebagai sesuatu yang dimanfaatkan. Agama diposisikan untuk mendukung kepercayaan diri, memperbaiki status, bertahan melawan kenyataan, atau memberi sanksi pada suatu cara hidup. Orang dengan orientasi keberagamaan ekstrinsik menemukan bahwa agama bermanfaat dalam banyak hal, dan menekankan imbalan apa yang akan diperolehnya. Sementara itu, orientasi keberagamaan intrinsik memposisikan agama sebagai sesuatu yang dihayati. Iman dipandang sebagai sesuatu yang cenderung lebih menuntut pada keterlibatan di atas sekedar kompensasi. Konsep mengenai orientasi keberagamaan yang dikembangkan Allport dan Ross (1967) ini lahir berdasarkan pengamatan historis yang dilakukannya terhadap agama dalam ruang sosial yang cenderung memiliki dua sisi, menginspirasi lahirnya kebajikan namun juga acapkali mendorong terjadinya kekerasan. Hasil penelitian ini cenderung sama dengan apa yang pernah dihasilkan oleh Allport dan Ross (1967) sebelumnya. Namun demikian, ada beberapa penelitian, seperti penelitian Herek, Lough (Putra & Wongkaren, 2008) yang menyatakan bahwa orientasi keberagamaan
INSAN Vol. 14 No. 03, Desember 2012
Susilo Wibisono
intrinsik juga mendorong lahirnya prasangka. Penelitian terakhir ini menggugurkan keterkaitan antara orientasi keberagamaan dan prasangka. Putra & Wongkaren (2008) melanjutkan bahwa yang paling mendorong lahirnya prasangka dalam konteks psikologis adalah fanatisme terhadap tafsir agama yang cenderung ekslusif. Dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia, prasangka merupakan bentuk sikap yang tidak adil. Bahkan, prasangka sosial merupakan salah satu faktor penting yang mendorong terciptanya konflik horisontal di tengah masyarakat, khususnya konflik antar kelompok, baik atas dasar suku, agama, ras, maupun antar golongan (Nuraeni & Faturochman, 2010). Prasangka terhadap penganut agama lain timbul berdasarkan berbagai sebab yang telah mengakar kuat dalam ranah psikologis individu. Hal ini antara lain berupa latar belakang historis, perkembangan sosiokultural dan situasional, faktor kepribadian, dan perbedaan iti sendiri yang kemudian membangun persepsi ingroupoutgroup. Hal yang menimbulkan pertanyaan dalam penelitian ini adalah mengapa modal sosial tidak memiliki keterkaitan dengan timbulnya prasangka terhadap penganut agama lain? Konsepsi modal sosial yang dijadikan dikembangkan dalam penelitian ini adalah modal sosial yang dikembangkan oleh Van der Gaag & Snijders (2004). Konsep modal sosial yang dikembangkan Van der Gaag & Snijders (2004) tersebut dirasa kurang menyentuh dimensi perbedaan identitas, yakni bahwa orang dengan modal sosial yang tinggi mestinya memiliki bangunan toleransi
terhadap perbedaan yang tinggi pula. Hal ini sebagaimana konsepsi modal sosial yang dikembangkan Fukuyama (Ancok, 2003) bahwa modal sosial memiliki kaitan yang sangat erat dengan empat nilai, yaitu universalisme nilai tentang pemahaman terhadap orang lain, apresiasi, toleransi serta proteksi terhadap manusia dan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya.
SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dihasilkan berdasarkan penelitian ini adalah bahwa ada perbedaan level prasangka terhadap penganut agama lain berdasarkan orientasi keberagamaan yang dimiliki oleh responden. Hal ini ditunjukkan oleh analisis kovarian yang menghasilkan nilai F = 8,219 dengan p = 0,006 (p<0,01). Responden dengan orientasi keberagamaan ekstrinsik cenderung memiliki level prasangka yang lebih tinggi dibandingkan responden dengan orientasi keberagamaan intrinsik. Berdasarkan hasil dan proses penelitian yang telah dilakukan, peneliti merekomendasikan beberapa hal sebagai saran bagi umat beragama, agar lebih mengembangkan orientasi keberagamaan yang cenderung intrinsik guna mereduksi level prasangka terhadap pemeluk agama lain yang merupakan potensi bagi lahirnya konf lik horizontal antar pemeluk agama. Kemudian bagi peneliti selanjutnya, sebaiknya mengembangkan konsep modal sosial yang lebih relevan dalam konteks pergaulan antar umat beragama. Selain itu, penelitian yang sejenis dapat dikembangkan pula pada karakteristik subjek yang berbeda, khususnya terkait dengan agama yang dipeluknya.
PUSTAKA ACUAN Allport, G. W. & Michael J. R. 1967. Personal religious orientation and prejudice. Journal of Personality and Social Psychology 5(4):432–43. Ancok. D. 2003. Modal sosial dan kualitas masyarakat. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Psikologi UGM. Ancok. D. 2004. Problem dan Prospek pembauran antar kelompok di indonesia. Jogjakarta: Darussalam. Barret, D.W, Peckham, J.A.P, Hutchinson, G.T & Nagoshi, C.T. 2004. Cognitive motivation and religious orientation. Personality and Individual Differences 38 (2005) 461–474. Blakeley, R. & Diana S. (1997), “Public Policy Development”, dalam David Robinson, Social Capital and
INSAN Vol. 14 No. 03, Desember 2012
147
Orientasi Keberagaman, Modal Sosial dan Prasangka terhadap Kelompok Agama Lain pada Mahasiswa Muslim
Policy Development, Victoria: Institute of Policy Studies. B o u r d i e u & Wa c q u a n t . 1 9 9 2 . D e f i n i t i o n s o f S o c i a l c a p i t a l . Av a i l a b l e a t
http://www.socialcapitalresearch.com/definition.html Brown, C. 2006. Social Psychology. London: Sage Publications. CRCS, 2010. Laporan Tahunan kehidupan beragama di Indonesia. Yogyakarta: Centre for Religion and Cross Cultural Studies. Ellison, N.B; Steinfield, C, & Lampe, C. 2007. The Benefits of Facebook "Friends:" Social Capital and College Students' Use of Online Social Network Sites. Journal of Computer-Mediated Communication, 12(4), article 1. http://jcmc.indiana.edu/vol12/issue4/ ellison.html Faturochman, 1993. Perang kecil: problem yang terus berlangsung. Jurnal Psikologi, No. 2. 6-12. Fischer, P, Greitemeyer, T; Kastenmuller, A. 2007. What Do We Think About Muslims? The Validity of Westerners' Implicit Theories About the Associations Between Muslims' Religiosity, Religious Identity, Aggression Potential, and Attitudes Toward Terrorism. Group Processess and Intergroup Relations, 2007, Vol. 10 (3), page: 373-382. Grootaert. C, Narayan. D, Jones. V.N & Woolcock. M. 2004. Mesuring Social Capital: An Integrated Questionnaire. World Bank Working Paper, No. 18. Kartono, K & Gulo, D. 2000. Kamus Psikologi. Jakarta. Lewis, C.A; Maltby,J; Day,L. 1999. Religious Orientation, Religious Coping and happiness aming UK Adults. Personality and Individual Differencies 38 (2005), page: 1193-1202. Lin. M.W. 2005. When Being Good is Good… and Bad: The Dilemma of Asian Americans as the Model Minority in the United States. A Senior Honors Thesis. Ohio State University. Nuraeni & Faturochman. 2010. Faktor Prasangka Sosial dan Identitas Sosial Dalam Perilaku Agresi pada Konflik Warga (Kasus Konflik Warga Bearland dan Warga Palmeriam Matraman, Jakarta Timur). A v a i l a b l e a t
http://garuda.kemdiknas.go.id/jurnal/detil/id/0:206942/q/prejudice/offset/15/limit/15 Sherif, M., & Sherif, C. W. 1969. Social Psychology . New York: Harper & Row. Sibley,C.G & Duckitt, J, 2008. Personality and Prejudice: A Meta-Analysis and Theoretical Review. Pers Soc Psychol Rev August 2008vol. 12 no. 3 248-279 Spellerberg. A. 1997. Towards a Framework for The measurement of Social Capital. Wellington: The Institute of Policy Studies. Stephan, W. G., Boniecki, K.A., Ybarra, O., Bettencourt, A., Ervin, K.S., Jackson, L.A., McNatt, P.S., & Renfro, C. L. (2002). The Role of Threats in the Racial Attitudes of Blacks and Whites. Personality and Social Psychology Bulletin, 28(9), 1242-1254. Suharto,E. 2005. Membangun Massyarakat, Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama. Van Der Gaag, M & Sneijders, T.A.B. 2004. The Resource Generator: Social Capital Quantification with Concrete Items. Dutch Organization for Scientific Research, project number 510-50-204.
148
INSAN Vol. 14 No. 03, Desember 2012