Orasi Ilmiah: Teknik Geolokasi Nirkawat Sebagai Kunci Teknologi Masa Depan
Oleh Muhammad Reza Kahar Aziz, ST., MT., PhD.
Disampaikan pada Sidang Senat Penerimaan Mahasiswa Baru Institut Teknologi Sumatera Tahun 2016
INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA 2016
Assalamu’alaykum Warahmatullah Wabarakatuh. Yang kami hormati, Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti, Direktur Sarana dan Prasarana Sumber Daya Iptek Dikti, Rektor Institut Teknologi Bandung, para Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Provinsi Lampung, Ketua dan Anggota Senat Institut Teknologi Sumatera, Rektor Institut Teknologi Sumatera dan para Wakil Rektor Institut Teknologi Sumatera, para Ketua Lembaga, Ketua Jurusan, Koordinator Program Studi, Dosen, dan Tenaga Kependidikan Institut Teknologi Sumatera, seluruh Hadirin, Undangan, dan Mahasiswa Baru Institut Teknologi Sumatera angkatan 2016. Tabik pun. Hadirin yang saya hormati, Alhamdulillah, kami ucapkan terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada kami, untuk menyampaikan orasi ilmiah pada sidang terbuka penerimaan mahasiswa baru Institut Teknologi Sumatera tahun 2016. Saya ucapkan selamat atas keberhasilan para mahasiswa baru Institut Teknologi Sumatera angkatan 2016, yang telah lulus seleksi menjadi mahasiswa. Selamat datang dan bergabung di Institut Teknologi Sumatera untuk belajar, berkarya, berinovasi, dan berkontribusi dalam memandu perubahan yang mampu meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia maupun dunia [1]. Pada kesempatan ini, perkenankan kami untuk menyampaikan orasi ilmiah mengenai teknik geolokasi nirkawat atau wireless geolocation technique sebagai kunci teknologi masa depan.1
1Orasi
ilmiah ini merupakan bagian dari penelitian kami selama 6 tahun, 2010 – 2016, ketika studi master Telekomunikasi di Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung [4], hingga studi doktor di School of Information Science, Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST) [25].
Hadirin yang kami hormati, Dahulu, manusia berkirim pesan untuk berkomunikasi dengan menggunakan tulisan, yang ditulis di atas media berupa kertas dan lainnya. Pesan dikirimkan oleh kurir, seperti burung maupun manusia, yang dikenal sebagai petugas pos. Kemudian muncul teknologi telegraf dan telepon menggunakan kabel tembaga sebagai kawat jalur komunikasi analog untuk mengirimkan pesan suara. Teknologi komunikasi analog langsung melakukan konversi frekuensi gelombang suara menjadi frekuensi gelombang elektromagnetik. Frekuensi pada gelombang elektromagnetik, yang disebut carrier frequency (frekuensi pembawa/kurir), jauh lebih tinggi dari pada gelombang suara. Sekitar seratus tahun yang lalu, pada tahun 1889, Heinrich Hertz menghasilkan bentuk gelombang elektromagnetik yang baru, yaitu gelombang radio yang bergerak dengan kecepatan cahaya. Penemuan ini telah menjadi fajar dunia nirkawat (tanpa kawat), sekaligus menjadikan teori elektromagnetik Maxwell diterima oleh para peneliti di dunia [2]. Nama Herzt pun telah kita kenal karena telah diabadikan menjadi satuan untuk frekuensi. Sejarah mencatat, pada tahun 1901, Guglielmo Marconi (penerima nobel fisika tahun 1909) dan timnya berhasil mengirimkan pesan melalui sinyal radio, untuk pertama kalinya di dunia, melintasi samudera Atlantik, dengan jarak sekitar 3.400 km, dari Poldhu, Cornwall, Inggris menuju Signal Hill, St. John’s, Newfoundland, Canada. Pesan suara yang berhasil dikirimkan adalah kode morse tiga titik yaitu huruf “S” [3]. Setelah itu, pesan berupa suara dan gambar pun dapat dikirimkan melalui gelombang radio, sehingga siaran radio dan televisi pun dapat dinikmati. Pada tahun 1981, telah lahir generasi pertama (1G) dari sistem wireless mobile communication (komunikasi bergerak nirkawat) atau dikenal juga sebagai wireless cellular (seluler nirkawat) yang masih menggunakan teknologi analog. Teknologi seluler nirkawat mengadopsi sel-sel hexagonal pada sarang lebah sebagai sel komunikasi antara perangkat telepon dengan Base Transceiver Station (BTS) sebagai pusat sel. Saat itu, ada berbagai macam
teknologi 1G dengan nama yang berbeda-beda di banyak negara. Kemudian pada tahun 1991, generasi kedua (2G), yaitu Global System for Mobile Communications (GSM), mulai menyebar secara internasional. Sekitar tahun 2000, teknologi 2G mulai booming di Indonesia, sehingga masyarakat umum, bahkan mahasiswa pun mulai memiliki telepon genggam untuk berkomunikasi. Berbeda dengan teknologi 1G, teknologi 2G menggunakan sistem komunikasi digital. Gelombang suara pada layanan voice call (panggilan suara) terlebih dahulu dikonversi menjadi sinyal digital yang merupakan representasi informasi biner sebelum ditumpangi (dimodulasi) ke frekuensi pembawa. Dengan teknologi digital, layanan Short Message Service (SMS) bisa dilakukan [4], [5]. Pada perkembangan selanjutnya, layanan data melalui internet dapat diakses pada generasi 2.5 (2.5G), yaitu General Packet Radio Service (GPRS) dengan kecepatan sekitar 168 kbps. Kemudian pada generasi 2.75 (2.75G), Enhanced Data Rates for Global Evolution (EDGE) meningkatkan kecepatan data menjadi sebesar 473.6 kbps [6]. Tentu saja kecepatan data saat itu terasa lambat. Hal ini disebabkan bandwidth (lebar pita frekuensi) yang digunakan masih cukup kecil, yaitu 200 KHz [7], [8]. Sehingga kadang kita sering mendengar istilah “fakir bandwidth” ketika seseorang sedang mengakses internet dengan kecepatan rendah. Dengan menggunakan modulasi Gaussian Minimum Shift Keying (GMSK), dari bandwidth 200 KHz didapatkan 271 ribu simbol dalam satu detik [6], sehingga satu simbol memiliki durasi 3.7 mikro detik. Simbol sinyal ini masih kuat menghadapi perusakan sinyal akibat dari pantulanpantulan sinyal dari transmitter (pengirim) ke receiver (penerima) oleh dinding, bangunan, pohon, dan lain-lain, atau kita sebut sebagai multipath fading. Tahun 2001, Third Generation Partnership Project (3GPP) yang merupakan kolaborasi badan-badan standar telekomunikasi di dunia, menggunakan teknologi Wideband Code Division Multiple Access (WCDMA) pada Universal Mobile Telecommunication System (UMTS) untuk generasi ketiga (3G) dan High Speed Packet Access
(HSPA) untuk 3.5G. Usaha untuk meningkatkan kecepatan data dilakukan dengan meningkatkan bandwidth hingga 5 MHz dengan konsekuensi makin kecilnya durasi simbol sinyal yang dikirimkan. Hal ini membuat rentan perusakan simbol sinyal akibat dari akumulasi sinyal-sinyal yang dipantulkan oleh sekitar. WCDMA mengatasi masalah ini dengan cara mengalikan simbol dengan spread code sehingga symbol menjadi lebar durasinya dan tahan terhadap kerusakan akibat dari multipath fading [4], [5]. Sejak tahun 2004, 3GPP mengembangkan Long Term Evolution (LTE) untuk 3.75/3.9G dengan bandwidth sampai 20 MHz untuk kecepatan hingga 326 Mbps yang dikeluarkan pada tahun 2010 dan LTE-Advanced untuk generasi keempat (4G) dengan bandwidth 5x20 MHz untuk kecepatan hingga 3 Gbps 2 pada tahun 2015. LTE menggunakan Orthogonal Frequency Division Multiple Access (OFDMA) untuk downlink yaitu dari arah BTS menuju perangkat telepon, dan Single Carrier Frequency Division Multiple Access (SCFDMA) pada sisi uplink. OFDMA memetakan bit-bit pada subcarrier frequency sebesar 15 KHz dengan menggunakan sebuah fast fourier transform (FFT), sedangkan SCFDMA menggunakan dua kali FFT, sebelum mentransmisikan sinyal melalui udara dengan gelombang radio, membuat seolah-olah simbol data yang dikirimkan memiliki durasi yang cukup besar sehingga kuat menghadapi perusakan simbol oleh sinyal pantulan tersebut [4] - [6]. Hadirin yang kami hormati, Kami yaitu saya dan Iskandar telah menginvestigasi downlink LTE 3.9G pada High Altitude Platforms (HAPs) [4]. HAPs merupakan kandidat sistem komunikasi di masa depan yang menggunakan balon atau pesawat udara dengan ketinggian sekitar 20 km, sebagai alternatif untuk mengisi gap pada sistem komunikasi yang ada sekarang ini, yaitu sistem komunikasi terrestrial dan satelit. HAPs mengatasi keterbatasan coverage (jangkauan sinyal) oleh sistem
2 Kecepatan
data yang disampaikan dalam orasi ilmiah ini adalah kecepatan untuk kondisi satu pengguna dengan jarak yang dekat dengan antenna pemancar.
terrestrial, serta keterbatasan link budget (daya sinyal) pada sistem satelit. Kontribusi kami telah dipublikasikan pada prosiding international tahun 2013 [9]. Paper ini telah membawa nama Institut Teknologi Sumatera untuk pertama kalinya di dunia karya ilmiah internasional melalui Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE) Xplore dan Scopus, hingga dikutip oleh artikel pada jurnal Q1 IEEE pada tahun 2014 [10], [11].3 Saat ini para peneliti telekomunikasi sedang bekerja untuk memenuhi persyaratan generasi kelima (5G) yang dibuat oleh salah satu badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu International Telecommunication Union (ITU), lebih khusus lagi ITU-Radio (ITU-R). ITU-R membuat spesifikasi standar International Mobile Telecommunication 2000 (IMT-2000) untuk 3G, IMT-Advanced untuk 4G, dan IMT-2020 untuk 5G. 3GPP diharapkan dapat menyelesaikan semua persyaratan spesifikasi IMT-2020, sehingga dapat dipublikasikan pada tahun 2020 bersamaan dengan Olimpiade 2020 di Tokyo. Kecepatan user experience (pengalaman pengguna) 100 – 1000 Mbps, dan kecepatan data puncak 20 Gbps, dan latency/delay 1 ms, efisiensi energi 100x bits/Joule, kecepatan pengguna hingga 500 km/jam, dan 1 juta perangkat/km2, merupakan beberapa di antara spesifikasi IMT-2020 untuk 5G [5], [12]. Berbagai teknologi diusulkan untuk memenuhi tantangan-tantangan dari persyaratan 5G. mmWave (gelombang mili meter) pada frekuensi 28 GHz, 38 GHz, 60 GHz, dan E-band (71-76 GHz dan 81-86 GHz) saat ini banyak diteliti sebagai kandidat 5G untuk mendapatkan lebar pita hingga 1 GHz sehingga dapat mencapai kecepatan puncak 20 Gbps [13]. Frekuensi ini memiliki panjang gelombang dengan orde mili meter dengan beamwidht (pola radiasi) yang kecil, sehingga disebut pencil beam. Teknologi lain yang diusulkan adalah energy harvesting (panen energy dari sinyal radio yang diterima) untuk meningkatkan efisiensi energi, wireless charging, full duplex, multi relay, dan masih
3
Kategori jurnal internasional bereputasi terbagi menjadi empat yaitu Q1 – Q4, dengan Q1 menunjukkan jurnal dengan kualitas terbaik di dunia.
banyak lagi. 50 miliar perangkat akan saling terhubung di tahun 2020 [14]. Seluruh perangkat akan memiliki alamat Internet Protocol (IP) sehingga menjadi Internet of the Thing (IoT) dengan komunikasi machine-to-machine (mesin ke mesin) dan device-to-device (perangkat ke perangkat). Teknik geolokasi sangat penting untuk mendukung teknologi masa depan ini. Beam yang kecil seperti pensil, memerlukan keakuratan dalam mengarahkan pancaran radiasinya untuk komunikasi maupun wireless charging, sehingga dapat meningkatkan kinerjanya. Hadirin yang kami hormati, Teknik geolokasi nirkawat telah digunakan sejak dahulu di dalam kehidupan kita, terutama untuk navigasi pesawat terbang. Bahkan, Global Positioning System (GPS) telah diteliti selama empat dekade [15]. Akan tetapi, perkembangan penelitian teknik geolokasi nirkawat baru meningkat dengan pesat dalam dua dekade terakhir [16]. Yaitu sejak tahun 1996, ketika Federal Communications Commission (FCC), di Amerika, mensyaratkan kemampuan penentuan lokasi untuk Emergency-911 (E-911) ada pada setiap perangkat nirkawat [17]. Pada saat ini dan pada masa depan, ada berbagai macam layanan dan aplikasi yang terkait dengan lokasi, sehingga menjadikan teknik geolokasi menjadi kunci teknologi. Di dalam perangkat telepon cerdas saat ini, berbagai macam aplikasi seperti Google Map, berbagai macam media sosial dan chatting, memerlukan kemampuan deteksi posisi. Dalam aspek komersial, teknik geolokasi yang akurat diperlukan untuk location-based billing (tagihan berbasiskan lokasi) [18], mobile yellow pages, tracking (pelacakan) paket, kargo, dan parsel [19]. Teknik geolokasi juga diperlukan di dalam intelligent transportation systems (sistem transportasi cerdas) [20], seperti navigasi kendaraan, informasi trafik, tracking kendaraan dan kapal, dan pelaporan kecelakaan [21]. Untuk aspek kesehatan, teknik geolokasi memainkan peranan penting untuk mendapatkan kemampuan mendeteksi posisi pasien, orang tua, anak-anak, dan penyandang cacat [22]. Keakuratan teknik geolokasi juga penting di dalam keamanan publik dan militer, yaitu E-911, deteksi penipuan,
tracking petugas emergency rescue, polisi, dan prajurit dalam menyelesaikan misinya [23]. Agrikultur yang presisi memerlukan kemampuan teknologi geolokasi untuk menentukan epidemi penyakit tanaman dan merencanakan panen dengan tepat [24], [25]. Teknik geolokasi nirkawat didefiniskan sebagai proses untuk menghitung dengan akurat koordinat geografis dari pemancar gelombang radio dengan cara mengamati hasil pengukuran yang presisi terhadap properti gelombang elektromagnetik dari sinyal yang diterima [25]. Time of arrival (TOA) yaitu waktu kedatangan sinyal pada penerima [23], Time Difference of Arrival (TDOA) yaitu perbedaan waktu kedatatangan sinyal pada dua penerima [18], Direction of Arrival (DOA) yaitu arah kedatangan sinyal pada penerima [26], Received Signal Strength (RSS) yaitu kuat sinyal yang diterima [22], Differential RSS (DRSS) yaitu perbedaan kuat sinyal pada dua penerima [27], merupakan beberapa properti sinyal gelombang elektromagnetik yang dipakai untuk menghitung estimasi lokasi dari pemancar radio. Sinyal dari pemancar radio secara umum diterima oleh minimal tiga penerima/sensor [25]. Banyak teknik geolokasi yang telah dikembangkan selama ini. Diawali dengan teknik yang menggunakan geometrik dari posisi sensor atau penerima (receiver) seperti metode triangulation maupun metode Least Squared (LS) [28]. Metode ini hanya menggunakan mean atau nilai rata-rata dari sampel pengukuran. Metode lain yang cukup akurat tetapi memerlukan kompleksitas yang tinggi yaitu metode GaussNewton [18], Method of Moments (MOM) dan Non-Linear Least Square (NLSS) [29]. Beberapa peneliti sejak tahun 2003 mengembangkan metode penentuan lokasi dengan memanfaatkan factor graph agar dapat memanfaatkan properti statistik dari hasil pengukuran sinyal elektromagnetik yang dikirimkan oleh pemancar radio sehingga menghasilkan deteksi posisi yang lebih akurat. Factor graph, selain memberikan kemudahan visual dalam analisa, juga menghasilkan algoritma dengan kompleksitas yang rendah karena dapat memecah formula yang rumit dan global menjadi beberapa formula lokal dan lebih sederhana [23], [25].
Hadirin yang kami hormati, Beberapa perintis teknik geolokasi nirkawat yang menggunakan factor graph telah mempublikasikan temuannya pada jurnal Q1 IEEE Transactions [19], [20], [22], [23]. Akan tetapi, teknik mereka belum dapat dipakai untuk mendeteksi posisi perangkat radio yang ilegal. Penelitian kami yang bekerja sama dengan private company di Jepang bertujuan untuk mengembangkan teknologi illegal radio monitoring (pemonitoran radio ilegal) untuk mengamankan Olimpiade Tokyo 2020. Teknik geolokasi untuk radio ilegal maupun radio yang tidak dikenal, juga dapat digunakan untuk mendeteksi korban bencana yang mempunyai pemancar radio aktif. Kami, yaitu saya, Khoirul Anwar, dan Tad Matsumoto, mengembangkan empat teknik geolokasi berbasis factor graph. Pada kerja sama ini, kami bertugas untuk menurunkan rumus baru teknik geolokasi, sedangkan perusahaan partner kami bertugas untuk membuat hardware (perangkat keras) dari rumus yang kami turunkan dan kemudian mematenkan hasil temuan kami, dimana kami dimasukkan sebagai inventor (penemu). Teknik pertama yang kami kembangkan yaitu teknik geolokasi berbasiskan DOA dan RSS factor graph. Teknik ini dipresentasikan pada European Cooperation in Science and Technology (COST) IC1004 meeting di Malaga, Spanyol, pada bulan Februari 2013. Teknik yang kami presentasikan terpilih menjadi empat terbaik dari 87 teknik yang dipresentasikan oleh mayoritas peneliti dari Eropa, untuk kemudian dimasukkan ke dalam COST IC1004 newsletter pada bulan Maret 2013 [30]. IC1004 ini merupakan aksi untuk Cooperative Radio Communications for Green Smart Environments [31]. Rumus baru yang kami turunkan pada teknik geolokasi berbasiskan DOA factor graph, telah kami ajukan untuk paten (patent pending) pada tahun 2013, dan kemudian diterima (accepted) untuk publikasi pada jurnal Q2 Springer pada tahun 2016 [32]. Paten kedua diajukan pada tahun 2014 (patent pending) untuk teknik geolokasi berbasiskan TDOA factor graph. Novelty (kebaharuan) dari
kontribusi kami pada teknik ini cukup besar, sehingga kami masih dalam proses persiapan untuk mengajukan ulang publikasi pada jurnal Q1 IEEE [33]. Paten ketiga kami ajukan pada tahun 2015 (patent pending), yaitu untuk teknik geolokasi berbasiskan DRSS factor graph. Kemudian teknik ini kami publikasikan ke prosiding internasional di Eropa pada tahun 2016 [27]. Teknik keempat yang tidak kami ajukan untuk paten adalah teknik geolokasi berbasiskan RSS factor graph dan Voronoi. Teknik ini dipublikasikan pada prosiding internasional Asia Modelling Symposium (AMS) 2015 di Kuala Lumpur, Malaysia, dan mendapatkan penghargaan makalah terbaik (best paper award) [34], kemudian diundang untuk dipublikasikan pada jurnal terkenal dalam dunia sistem simulasi oleh United Kingdom (UK) Simulation Society pada tahun 2016 [35]. Dari semua publikasi yang disebutkan di atas, nama Institut Teknologi Sumatera selalu diikutsertakan, sehingga diharapkan dapat ikut berkontribusi dalam memperkenalkan Institut Teknologi Sumatera di dunia internasional. Demikian orasi ilmiah yang dapat kami sampaikan. Kami berharap semoga semakin banyak karya ilmiah pada jurnal internasional Q1, penemuan, inovasi, paten, penghargaan kelas dunia, khususnya dari dosen, mahasiswa, dan seluruh civitas akademika Institut Teknologi Sumatera, yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia dan dunia, serta membawa Institut Teknologi Sumatera menjadi the leading world class university di masa depan. Untuk seluruh perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaykum warahmatullah wabarakatuh
Acknowledgment Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Iskandar yang telah menjadi pembimbing saya selama studi master di Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Tad Matsumoto dan Dr. Eng. Khoirul Anwar yang telah membimbing selama studi doktor di Japan
Advanced Institute of Science and Technology (JAIST). Terima kasih juga kami sampaikan untuk Institut Teknologi Sumatera (ITERA), ITB Voucher Scholarship, Doctor Research Fellowship (DRF) JAIST, dan Koden Electronic, Co., Ltd.
Referensi [1] ITERA, "Visi dan Misi Institut Teknologi Sumatera," [Online]. Available: http://www.itera.ac.id/tentang-itera/visi-dan-misi/. [2] P. Fairley, Electricity and Magnetism, Minneapolis: Twenty-First Century Books, 2008. [3] M. Fedunkiw, Inventing the Radio, Crabtree Publishing Company, 2007. [4] M. R. K. Aziz, Estimasi kanal downlink LTE pada sistem high altitude platforms (HAPs), Tesis Master, Institut Teknologi Bandung, 2012. [5] A. Osseiran, J. F. Monserrat, and P. Marsch, 5G Mobile and Wireless Communications Technology, Cambridge University Press, 2016. [6] P. Curwen and J. Whalley, Mobile Telecommunications in a High-Speed World: Industry Structure, Strategic Behaviour and Socio-Economic Impact, Gower Publishing, 2010. [7] M. Saily, G. Sébire, and E. Riddington, GSM/EDGE: Evolution and Performance, Wiley, 2011. [8] P. McGuiggan, GPRS in Practice: A Companion to the Specifications, Wiley, 2004. [9] M. R. K. Aziz and Iskandar, "Channel Estimation for LTE Downlink in High Altitude Platforms (HAPs) Systems," in International Conference On Information and Communication Technology (ICOICT), Bandung, 2013. [10] W. Q. Wang and D. Jiang, "Integrated wireless sensor systems via nearspace and satellite platforms: A review," IEEE Sensors Journal, vol. 14, no. 11, pp. 3903 - 3914, 2014. [11] Scimago Lab, "Scimago Journal & Country Rank, IEEE Sensors Journal," [Online]. Available: http://www.scimagojr.com/journalsearch.php?q=15047&tip=sid&clean=0. [Accessed 11 8 2016].
[12] F.-L. Luo and C. Zhang, Signal Processing for 5G: Algorithms and Implementations, Wiley, 2016. [13] Y. Niu, Y. Li , D. Jin, L. Su, and A. V. Vasilakos, "A survey of millimeter wave communications (mmWave) for 5G: opportunities and challenges," Wireless Networks, vol. 21, no. 8, pp. 2657-2676, 2015. [14] N. Komninos, The Age of Intelligent Cities: Smart Environments and Innovation-for-all strategies, Routledge, 2015. [15] C. Gentile, N. Alsindi, R. Raulefs, and C. Teolis, Geolocation Techniques, Principles and Applications, New York: Springer, 2013. [16] F. Yin, C. Fritsche, F. Gustafsson, and A. M. Zoubir, "TOA-based robust wireless geolocation and Cramer-Rao lower bound analysis in harsh LOS/NLOS environments," IEEE Transaction of Signal Processing, vol. 61, p. 2243–2255, 2013. [17] J. James J. Caffery and G. L. Stuber, "Overview of radiolocation in CDMA cellular systems," IEEE Communications Magazine, vol. 36, pp. 38-45, 1998. [18] C. Mensing and S. Plass, "Positioning based on factor graphs," EURASIP Journal on Advances in Signal Processing, vol. 2007, pp. 111, 2007. [19] H.-L. Jhi, J.-C. Chen, and C.-H. Lin, "A factor-graph-based TOA location estimator," IEEE TWC, vol. 11, p. 1764–1773, 2012. [20] H. Liu, F. K. W. Chan, and H. C. So, "Non-line-of-sight mobile positioning using factor graphs," IEEE Trans. on Vehicular Technology, vol. 58, p. 5279–5283, 2009. [21] B. T. Sieskul, F. Zheng, and T. Kaiser,, "On the effect of shadow fading on wireless geolocation in mixed los/nlos environments," IEEE Transaction of Signal Processing, vol. 57, p. 4196–4208, 2009. [22] C.-T. Huang, C.-H. Wu, Y.-N. Lee, and J.-T. Chen, "A novel indoor RSSbased position location algorithm using factor graphs," IEEE Trans. on Wireless Comm., vol. 8, p. 3050–3058, 2009. [23] J.-C. Chen, Y.-C. Wang, C.-S. Maa, and J.-T. Chen, "Network side mobile position location using factor graphs," IEEE Trans. on Wireless Comm., vol. 5, p. 2696–2704, 2006. [24] J. V. Stafford, Precision Agriculture ’05, Wageningen Academic Publishers, 2005.
[25] M. R. K. Aziz, Factor Graph-Based Geolocation Techniques for Position Detection Of Unknown Radio Wave Emitters, Dissertation, Japan Advanced Institute of Science and Technology, 2016. [26] J.-C. Chen, P. Ting, C.-S. Maa, and J.-T. Chen, "Wireless geolocation with TOA/AOA measurements using factor graph and sumproduct algorithm,," 2004. [27] M. R. K. Aziz, K. Anwar, and T. Matsumoto, "DRSS-based Factor Graph Geolocation Technique for Position Detection of Unknown Radio Emitter," in International Workshop on Advanced PHY and MAC Layer Design for 5G Mobile Networks and Internet of Things in conjunction with European WIRELESS 2016, Oulu, 2016 . [28] P. Kulakowski, J. Vales-Alonsob, E. Egea-Lopez, W. Ludwin, and J. Garca-Haro, "Angle-of-arrival localization based on antenna arrays for wireless sensor networks," Computers and Electrical Engineering, vol. 36, p. 1181–1186, 2010. [29] T. Qiao and H. Liu, "An improved method of moments estimator for toa based localization," IEEE Communications Letters, vol. 17, pp. 1321– 1324,, 2013. [30] M. R. K. Aziz, K. Anwar, and T. Matsumoto, "Joint RSS-DOA Factor Graphs based Geo-location Technique," COST IC1004 Newsletter, vol. 4, p. 4, March 2013. [31] "About IC1004," COST IC004, [Online]. Available: http://www.ic1004.org/index7fd1.html?page=default-extensions. [Accessed 12 8 2016]. [32] M. R. K. Aziz, K. Anwar, and T. Matsumoto, "A New DOA-based Factor Graph Geolocation Technique for Detection of Unknown Radio Wave Emitter Position Using The First-Order Taylor Series Approximation," EURASIP Journal on Wireless Communications and Networking (Accepted on 4 Aug 2016), 2016. [33] M. R. K. Aziz, K. Anwar, T. Matsumoto, "A Pythagorean TDOAbased Factor Graph Geolocation Technique for Position Detection of An Unknown Radio Emitter," IEEE Transactions on Vehicular Technology (TVT) (to be submitted).. [34] M. R. K. Aziz, K. Anwar, T. Matsumoto, "A New Wireless Geolocation Technique Using Joint RSS-based Voronoi and Factor Graph," in Asia Modelling Symposium (AMS) 2015, Kuala Lumpur, 2015.
[35] M. R. K. Aziz, Y. Lim, and T. Matsumoto, "A New RSS-based Wireless Geolocation Technique Utilizing Joint Voronoi and Factor Graph," International Journal of Simulation: Systems, Science and Technology (IJSSST) (Accepted on 23 March 2016).
Biografi
Muhammad Reza Kahar Aziz (
[email protected]) menerima gelar S.T. and M.T. (cum laude) di Teknik Elektro (Telekomunikasi) dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Indonesia, pada tahun 2004 and 2012, berturut-turut. Gelar Ph.D. ia dapatkan dari School of Information Science, Japan Advanced Institute of Science And Technology (JAIST), Nomi, Jepang, pada tahun 2016. Pada tahun 2004 – 2005, ia bersama Siemens Indonesia sebagai Microwave Service Engineer. Kemudian pada tahun 2005 – 2010, ia di Ericsson Indonesia sebagai Solution Engineer. Sejak tahun 2012, dia menjadi dosen di Institut Teknologi Sumatera (ITERA), Lampung Selatan, Indonesia. Ia merupakan 10% top performer Ericsson Indonesia employee pada tahun 2009 dan sebagai pemegang ITB Voucher Scholarship pada tahun 2011. Dia juga menerima Doctor Research Fellow (DRF) pada tahun 2013 – 2016. Pada tahun 2016 ia mendapatkan Overal Best Paper Award pada Asia Modelling Symposium (AMS) 2015. Bidang penelitiannya adalah sistem komunikasi nirkawat, komunikasi bergerak nirkawat, pemrosesan sinyal, dan geolokasi nirkawat.